Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Psikologi Sastra Novel "Cala Ibi"
1. ANALISIS TOKOH UTAMA DALAM CALA IBI KARYA NUKILA AMAL BERDASARKAN
PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA
Oleh: Marlina
A. Pendahuluan
Karya sastra adalah refleksi pengarang tentang hidup. Bagi seorang sastrawan,
karya yang dibuatnya adalah sebuah kelahiran baru bagi dirinya. Kelahiran yang
menghimpun segala pengalaman dan membuat perpaduannya dengan dunia imaji yang
membuat dirinya semakin bermakna. Bagi seorang pengarang, karyanya adalah bagian
dari diri yang menggambarkan kreativitas dan kepekaannya terhadap apa yang dialaminya
dalam kehidupan. Kehidupan yang dipadu dengan daya imajinasi dan kreasi yang
didukung pula oleh pengalaman dan pengamatan atas kehidupan itulah yang akan
mewakili begitu banyak hal yang pernah ditemuinya dalam kehidupan.
Karya sastra sebagai miniatur kehidupan memindahkan berbagai lukisan kehidupan
dalam sebuah karya yang indah. Disajikan dalam rentetan bahasa yang menuntun
pembaca memasuki sebuah dunia, pengarang mencoba menuntun pembaca memasuki
sebuah dunia baru yang diciptakannya. Jiwa-jiwa manusia pada tokoh yang dibuat
pengarang, latar kehidupan yang digambarkan lewat deskripsi kata, gejolak batin dan
berbagai pertentangan hidup menjadi hal yang menarik untuk dibahas dan digauli dengan
penuih perasaan.
Novel Cala Ibi karya Nukila Amal, menyeruak dan menggetarkan sastra Indonesia.
Cala Ibi telah menyumbangkan warna baru dalam jagad sastra kita dan memiliki peluang
besar untuk hadir sebagai karya sastra besar yang abadi dan universal. Sebuah koreografi
kata yang tangkas, indah, metaforis, dan bernas dengan kalimat-kalimat yang menjelma
menjadi rangkaian aforisma. Cala Ibi mengeksplorasi hakikat nama, peristiwa dan cerita,
maya dan nyata, diri dan ilusi, tapi juga memperkarakan kodrat kata dan bahasa itu
sendiri.
Seorang ahli filsafat dan seorang ahli sastra. Keduanya dipertemukan oleh novel
Cala Ibi. Ada pengalaman surealistik antara mimpi dan kenyataan yang keluar masuk.
Novel ini mengisahkan tentang tokoh Maya, seorang gadis yang bertemu dengan dirinya
1
2. yang lain bernama Maia, pertemuan dengan naga bernama Cala Ibi, sosok bernama Ujung
dan Tepi. Dari tokoh-tokoh inilah banyak pergumulan antara maskulinitas dan feminitas,
mondar-mandirnya dunia nyata dan mimpi, rasio dan hati, kata dan rasa, keteraturan dan
ketakteraturan, dan seterusnya.
Novel ini juga memuat kesan karnaval, nokturnal, verbal. Karnaval
mengindikasikan suatu keadaan yang ramai, sementara nokturnal berkaitan dengan
malam yang memiliki dua macam keadaan. Malam sering diisi dengan kegiatan yang gila-
gilaan, dugem (dunia gemerlap) misalnya. Tapi di satu sisi juga puitis karena malam
mengindikasikan sesuatu yang biasanya romantis.
B. Landasan Teoretis
1. Pendekatan Psikologi Sastra
Istilah psikologi sastra menurut Wellek dan Waren memiliki empat kemungkinan
pengertian antara lain: (1) studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi, (2)
studi proses kreatif, (3) studi hukum dan tipe-tipe psikologi yang diterapkan pada karya
sastra, dan (4) mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca). Keempat
hal tersebut merupakan kemungkinan yang dimungkinkan menjadi pembahasan dalam
psikologi sastra. Adapun Wellek dan Waren kemudian menekankan bahwa kemungkinan
ketiga merupakan pengertian yang paling berkaitan dengan karya sastra. (Wellek dan
Waren, 1995:90)
Adanya penelitian psikologi sastra dipengaruhi oleh beberapa hal, yakni adanya
anggapan bahwa karya sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran
pengarang yang berada pada situasi setangah sadar (subconcious), dan setelah jelas baru
dituangkan ke dalam bentuk secara sadar (conscious). Antara sadar dan tidak sadar selalu
mewarnai proses imajinatif pengarang. Di samping itu, perwatakan tokoh secara psikologis
juga termasuk dalam pemikiran dan perasaan pengarang ketika menciptakan karya sastra.
Demikian juga halnya dengan inspirasi. Inspirasi sebagai sebuah bagian tak
terpisahkan dari proses kreatif pengarang dalam menciptakan karya sastra merupakan
sebutan tradisional untuk faktor yang ada dalam alam bawah sadar ketika proses
penciptaan. Inspirasi pada mitos kepercayaan Yunani dihubungkan dengan dewi-dewi
2
3. Muse (musik) dan putri-putri ingatan. Demikian juga dikatakan bahwa para penyair berada
dalam keadaan yang lain daripada biasanya bila ia sedang mendapatkan inspirasi (Wellek
dan Waren, 1995: 98)
Dua penjelasan tersebut menekankan bahwa ketika seorang pengarang
melakukan sebuah proses kreatif, jiwa pengarang tersebut cenderung dikuasai sebuah
dorongan bawah sadar. Ini tak dapat dipungkiri lagi karena pada dasarnya, ketika
penciptaan itu terjadi, inspirasi dan alam bawah sadar pengarang memasuki sebuah
dimensi lain dari dunia nyatanya. Imaji dan inspirasi membawa pengarang untuk membuat
sebuah dunia lain yang dipengaruhi oleh kondisi jiwanya saat itu. Sementara jiwa
merupakan bagian terpenting dalam sebuah kajian psikologi.
Pada dasarnya, psikologi sastra ditopang oleh tiga pendekatan sekaligus.
Pertama, pendekatan tekstual yang mengkaji aspek psikologis tokoh dalam karya sastra.
Kedua, pendekatan reseptif-pragmatik yang mengkaji aspek psikologis pembaca sebagai
penikmat karya sastra yang terbentuk dari pengaruh karya yang dibacanya, serta proses
resepsi pembaca dalam menikmati karya sastra. Ketiga, pendekatan ekspresif yang
mengkaji aspek psikologis penulis ketika melakukan proses kreatif yang terproyeksi lewat
karyanya, baik penulis sebagai pribadi maupun wakil masyarakatnya (Roekhan, 1990:88)
Sejalan dengan pernyataan di atas, dalam pengkajian psikologi sastra ini akan
digunakan beberapa pendekatan. Sebagian menggunakan pendekatan tekstual, yang
mengkaji aspek psikologis tokoh dalam karya sastra. Sebagian lagi menggunakan
pendekatan ekspresif, yang mengkaji aspek psikologis sang pengarang, yakni Nukila Amal
ketika melakukan proses kreatif yang teproyeksi lewat karyanya, baik pengarang sebagai
pribadi maupun wakil masyarakatnya.
Psikologi sastra dari aspek tekstual, pada awalnya memang tak bisa lepas dari
prinsip-prinsip Freud tentang psikologi dalam. Buku Freud tentang interpretasi mimpi telah
banyak mengilhami para peneliti psikologi teks. Hendaknya dalam meneliti psikologi
sastra, para peneliti mampu menggali sistem berpikir, logika, angan-angan, dan cita-cita
hidup yang ekspresif. Perasaan takut, phobi, was-was, histeris, aman dan sebagainya juga
menjadi objek kajian psikologi sastra yang pelik. Terlebih jika teks sastra sudah mulai
membicarakan tentang (yang disebut oleh Freud) illution. Karena hal tersebut sulit
3
4. dikendalikan dan dikontrol, sehingga peneliti sering mengalami kebingungan. Sangat sulit
membedakan antara illution dengan mimpi. Selain menggunakan teori Freud yang masih
sedikit berkaitan dengan teori dasarnya (berhubungan dengan sensibilitas), kami juga
menggunakan teori Jung. Karena dari beberapa tokoh psikologi kepribadian, seperti
Willard Allport, William Sheldon, Burrhus Frederic Skinner, Sigmund Freud, Carl Gustav
Jung, Erich Fromm, Ransom Rogers, Victor E. Frankl, dan Abraham Harold Maslow, hanya
Freud dan Junglah yang memiliki teori tentang mimpi (Dream Analysis).
Sebagai gambaran, mula-mula kami akan mengungkap apakah teks sastra
melalui pelaku-pelakunya dapat merefleksikan unsur-unsur psikologi atau tidak. Dari
situlah mungkin akan muncul hal-hal yang menyebabkan faktor kejiwaan dominan dalam
teks sastra. Namun, tidak terpaku pada kajian narasi dalam substansi tokoh saja,
melainkan perlu mencermati apakah kajian tersebut berhubungan dengan realitas atau
tidak.
2. Hakikat Tokoh
Dalam pembicaraan sebuah fiksi ada istilah tokoh, penokohan, dan perwatakan.
Kehadiran tokoh dalam cerita fiksi merupakan unsur yang sangat penting bahkan
menentukan.
Pendefinisian istilah tokoh, penokohan dan perwatakan banyak diberikan oleh
para ahli, berikut ini beberapa definisi tersebut: Tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku
cerita (Nurgiyantoro, 2000: 165). Penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkan
tokoh-tokoh dalam ceritanya dan bagaimana tokoh-tokoh tersebut, ini berarti ada dua hal
penting, yang pertama berhubungan dengan teknik penyampaian sedangkan yang kedua
berhubungan dengan watak atau kepribadian tokoh-tokoh tersebut (Suroto, 1989: 92-93).
Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh
seperti ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas peribadi seorang tokoh
(Nurgiyantoro, 2000: 165). Penokohan atau karakter atau disebut juga perwatakan
merupakan cara penggambaran tentang tokoh melalui perilaku dan pencitraan.
4
5. Panuti Sudjiman mencerikan definisi penokohan adalah penyajian watak tokoh
dan penciptaan citra tokoh (1992: 23). Hal senada diungkapkan oleh Hasim dalam
(Fanani, 1997: 5) bahwa penokohan adalah cara pengarang untuk menampilkan watak
para tokoh di dalam sebuah cerita karena tanpa adanya tokoh, sebuah cerita tidak akan
terbentuk.
Untuk mengenal watak tokoh dan penciptaan citra tokoh terdapat beberapa cara,
yaitu:
a. Melalui apa yang diperbuat oleh tokoh dan tindakan-tindakannya, terutama sekali
bagaimana ia bersikap dalam situasi kritis.
b. Melalui ucapan-ucapan yang dilontarkan tokoh.
c. Melalui penggambaran fisik tokoh. Penggambaran bentuk tubuh, wajah dan cara
berpakaian, dari sini dapat ditarik sebuah pendiskripsian penulis tentang tokoh cerita.
d. Melalui jalan pikirannya, terutama untuk mengetahui alasan-alasan tindakannya.
e. Melalui penerangan langsung dari penulis tentang watak tokoh ceritanya. Hal itu tentu
berbeda dengan cara tidak langsung yang mengungkap watak tokoh lewat perbuatan,
ucapan, atau menurut jalan pikirannya (Sumardja, 1997: 65-66).
Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh, tokoh cerita dibedakan
menjadi dua yaitu tokoh utama (central character, main character)dan tokoh tambahan
(pheripheral character)
(Nurgiyantoro, 2000: 176-178).
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya. Tokoh ini tergolong penting.
Karena ditampilkan terus menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita.
Karena tokoh utama paling banyak ditampilkan ada selalu berhubungan dengan tokoh-
tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Tokoh
tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita
dan itu bersifat gradasi, keutamaannya bertingkat maka perbedaan antara tokoh utama
dan tambahan tidak dapat dilakukan secara pasti.
Karena tokoh berkepribadian dan berwatak, maka dia memiliki sifat-sifat karakteristik
yang dapat dirumuskan dalam tiga dimensi, yaitu:
5
6. a. Dimensi fisiologis, adalag ciri-ciri badan, misalnya usia (tingkat kedewasaan), jenis
kelamin, keadaaan tubuh, ciri-ciri muka, dan lain sebagainya.
b. Dimensi sosiologis, adalah ciri kehidupan masyarakat, misalnya status sosial,
pekerjaan, peranan dalan masyarakat, tingkat pendidikan, dan sebagainya.
c. Dimensi psikologis, adalah latar belakang kejiwaan, misalnya mentalitas, tingkat
kecerdasan dan keahlian khusus dalam bidang tertentu (Satoto, 1993: 44-45).
C. Pembahasan
1. Deskripsi Cala Ibi
Membaca Cala Ibi mengesankan betapa samar dan remangnya perbedaan
antara prosa dan puisi yang selama ini dilekatkan pada dunia sastra. Cala Ibi bukan
prosa, bukan pula puisi, tapi barangkali sekaligus keduanya. Novel ini berkisah tentang
satu tokoh dalam dua dunia yang berbeda. Novel Cala Ibi berkisah tentang satu tokoh
dalam dunia yang berbeda. Yakni Maya dan Maia. Saat pagi telah menjelma, maka ia
bernama Maya, memulai kesibukan layaknya wanita karier di Jakarta. Namun, bila malam
telah tiba, namanya bukan lagi Maya, melainkan Maia. Dalam malam-malam itulah Maia
dibawa sang naga bernama Cala Ibi menembus batas ruang dan waktu, mengarungi
lautan mimpi yang tak bertepi. Di dalam mimpinya, ia pernah berada pada suatu tempat
entah abad berapa di tanah leluhurnya, Maluku, Maia melihat terang yang paling nyalang.
Ada dukun perempuan bernama Bai Guna Tobana yang namanya pernah menjadi sejarah
di pulau itu. Maia juga melihat peristiwa dan hal lain yang pernah menjadi sejarah di pulau
itu. Sejak para penjajah memperebutkan rempah-rempah di sana, hingga peristiwa
masuknya agama Islam ke pulau tersebut. Demikianlah Maia mengarungi dunianya
dengan Cala Ibi. Dengan petualangan yang tak pernah berakhir, bahkan dengan
berakhirnya novel ini sekalipun, Maia kemudian bertemu dengan sosok-sosok misterius
lain seperti Ujung dan Tepi yang kemudian melahirkan tangisan seorang bayi dari sebuah
persetubuhan yang singkat, dalam kabut pekat.
6
7. 2. Kajian Psikologis dalam Cala Ibi
Nukila Amal sebagai penulis baru yang langsung mendobrak dunia sastra dengan
Cala Ibinya, datang menyenandungkan irama lain yang teramat indah, namun acapkali
dianggap tidak penting, yaitu mimpi. Dalam usaha menyibak rahasia ketidaksadaran
manusia, Freud menggunakan teknik analisis mimpi. Ia mencoba menganalisis dan
menginterpretasikan simbol-simbol yang terkandung dalam mimpi-mimpi pasiennya,
sebuah usaha menemukan makna laten dalam hidup manusia. Dalam Cala Ibi, sebagian
besar yang tertulis adalah kisah-kisah mengenai mimpi. Mimpi seorang tokoh bernama
Maya, yang mengalami permasalahan dalam keluarganya, antara ia, ayah dan ibunya.
Maya merasa menjadi satu-satunya perempuan berkedudukan penting. Ada keengganan
dan sungkan menyebut prestasinya sebagai kesuksesan. Orang tuanya tak menganggap
prestasinya sebagai kebanggaan dan justru mengejarnya dengan harapan agar lekas
menikah, memperoleh momongan.
Maya sebagai seorang pribadi yang sering mengalami mimpi bisa jadi memiliki apa
yang dikatakan Jung sebagai sisi gelap (Shadow). Shadow mengandung dua aspek primer
: satu berhubungan dengan ketidaksadaran personal, dan yang lain dengan
ketidaksadaran kolektif. Jung percaya, terkadang Shadow bekerja sama dengan insting
seksual (Freudian) dan kehendak untuk berkuasa (Adlerian). Shadow juga memiliki sisi
positif di samping sisi negatif. Maia seolah menjadi shadow dari diri Maya yang nyata.
Maia menjadi Shadow positif dari pribadi Maya. Dalam kenyataan, secara implisit, Maya
merasa punya ego yang tinggi untuk menolak pertunangan, pernikahan dan anak.
Sedangkan dalam mimpinya, Maia memiliki kebalikan karakter yang positif dari sikap
Maya. Maya memiliki keinginan untuk menikah, dan mempunyai anak. Ini terlihat dari
mimpinya pada halaman Ilalang dan Mengibu-Anak. Berikut kutipannya:
"Pemandangan seorang ibu menyusui bayinya. Tiba-tiba kau rasa, bahwa hal itu
bukanlah sebuah pemandangan biasa yang telah sering kau lihat di mana-mana. Malam
itu tampak di luar yang biasa. Kau berdiri mematung menatap pemandangan di depanmu.
Terkesima." (Mengibu-Anak: 175-176)
3. Mengkaji Cala Ibi dengan Teori mimpi Sigmund Freud
7
8. Dalam psikoanalisis, teknik analisis mimpi digunakan Freud untuk menyibak
rahasia ketidaksadaran pasien. Tugas Freud adalah menganalisis dan
menginterpretasikan simbol-simbol yang terkandung dalam mimpi-mimpi pasiennya
sebagai sebuah usaha untuk menemukan makna laten. Makna laten itu sendiri berarti
suatu makna tersembunyi, tidak nampak, tapi memiliki potensi untuk muncul. Dari berbagai
pengalaman klinis, Freud yakin bahwa simbol-simbol tersebut memiliki makna universal.
Tongkat, ular, pohon, misalnya, menyimbolkan penis. Kotak, pintu, lemari kayu, adalah
representasi vagina. Di samping makna universal tersebut, Freud juga percaya bahwa
simbol-simbol tersebut harus dipertimbangkan dan diinterpretasikan dalam konflik unik
individu. Simbol-simbol yang memiliki makna ganda inilah yang membuat analisis menjadi
sulit. Jika mencoba menganalisis simbol-simbol dalam mimpi Maya, maka akan ditemukan
banyak sekali simbol yang dapat diterjemahkan, seperti sang naga, mutiara Laila, jatuh,
kota kata-kata, tuan tanah, kamar kuning, penjara merah, dan pertemuan dengan Ujung
dan Tepi. Simbol-simbol dan peristiwa dalam mimpi Maya tentu memiliki makna laten yang
dimaksudkan oleh Freud. Mungkin sang Naga bisa bermakna sebuah keberanian. Naga
memang tidak ada dalam dunia nyata, tetapi dalam kepercayaan orang Tionghoa
dianggap sebagai mahluk yang kuat, besar, identik dengan api, dapat terbang, dan
memiliki sifat pelindung. Maya sebagai seorang gadis yang menolak untuk segera
menikah, tidak memberontak dengan cara yang kasar. Kesabarannya yang tanpa
pemberontakan justru menjadi kekuatan sejati seorang perempuan. Karena kekuatan
perempuan justru berada pada kelemahannya. Dalam mimpinya mengenai jatuh, Maia
tentu mengalami puncak pengalaman psikologi yang begitu membuat jantungnya
berdebar-debar. Bersatunya antara rasa takut, pasrah, dan kosong. Bahkan dalam
kekosongan itu Maia sempat berpikiran yang tidak-tidak dan berimajinasi sepuas hati. Jadi,
mimpi adalah tempat meluapkan semua imajinasi. Maya menciptakan dunianya sendiri.
Dan kenyataan menjadi referensi dunia mimpinya. Dalam Mutiara Laila, Laila beberapa
kali mengajak Maia beriteraksi. Beberapa kali Laila mengacaukan barang-barangnya, tapi
Maia tak bisa berbuat apa-apa. Hal itu menunjukkan bahwa Maya memiliki ketakutan dan
ketidaksiapan memiliki anak. Ketakutan dan ketidaksiapan itu makin membesar ketika
tekanan-tekanan dari kedua orang tuanya muncul.
8
9. Dalam Cala Ibi Maya mendeskripsikan mimpi itu sendiri. Baginya, "Dalam mimpi, apa-
apa dan siapa-siapa, adalah bukan apa adanya, tapi sebuah ujaran, penyampaian,
pengingatan, peringatan, rekaman, perjalanan kehidupan, kenyataan...dunia itu indah, tak
nyata, di luar segala...tuturan bahasanya lembut, berlapis, manis, liris—seperti perempuan,
seperti puisi,..." (halaman 12). Jika dikaitkan dengan pengertian di atas, maka mimpi-mimpi
Maya merupakan sebuah ujaran dari representasi kehidupannya; penyampaian pesan-
pesan tersirat, pengingatan bahwa ia sudah dewasa dan sudah layak menikah; peringatan
bahwa sebagai seorang perempuan tidak sepantasnya menolak pernikahan dan menjadi
perawan tua; rekaman masa lalunya; perjalanan kehidupannya dari kecil hingga dewasa;
terkadang menyembunyikan dan menunjukkan kenyataan, dan sebagainya.
Dalam pandangan Freud, mimpi merupakan usaha yang samar dalam
mewujudkan suatu harapan. Dalam kehidupan nyata, Maya merasa memiliki masalah
dengan keinginan kedua orang tuanya, dengan cerita-cerita dari bibinya mengenai sebuah
pernikahan. Dari situ Maya merasa kehilangan sebagian harapannya untuk bisa hidup
bebas (dalam artian tidak terkekang oleh seorang lelaki) dalam hidupnya. Ia juga merasa
kehilangan sesuatu dari kedua orang tuanya, memberi jarak antara ia dan orang tuanya.
Perasaan kehilangan tersebut pernah muncul dalam salah satu mimpinya. Dalam
pandangan Freud, mimpi merupakan usaha yang samar dalam mewujudkan suatu
harapan. Dalam kehidupan nyata, Maya merasa memiliki masalah dengan keinginan
kedua orang tuanya, dengan cerita-cerita dari bibinya mengenai sebuah pernikahan. Dari
situ Maya merasa kehilangan sebagian harapannya untuk bisa hidup bebas (dalam artian
tidak terkekang oleh seorang lelaki) dalam hidupnya. Ia juga merasa kehilangan sesuatu
dari kedua orang tuanya, memberi jarak antara ia dan orang tuanya. Perasaan kehilangan
tersebut pernah muncul dalam salah mimpinya. Seperti kutipan berikut; "Ia yang pernah
begitu sempurna waktu kecil dulu. Teman, pahlawan, lutut dan dadanya tumpuan tangisan.
Kau rasakan kehilangan itu (dan firasat aneh muncul tiba-tiba: ia akan terluka, karena
sebuah dosa-dosanya ataukah dosamu, kau tak tahu). Kau telah besar kini, dirinya
menghilang ketika kau berangkat dewasa, dirinya menjelma harapan keinginan beban
kewajiban,..." (Rumah Siput Berpaku: 81) Maka mimpi seperti menjadi alternatif untuk
memunculkan harapan kembali. Maya berharap ibunya bisa mengerti dirinya, bahwa ia
belum ingin menikah. Menurut Freud, harapan-harapan tersebut merupakan motif tak
9
10. sadar yang tidak dapat diterima individu, atau pada hakikatnya bersifat erotik. Sebagai
contoh untuk bagian ini, dalam mimpi Maia melihat dan mengetahui sejarah beranak-
pinaknya Bai Guna Tobona hingga menjadi Maluku seperti sekarang ini. Ia menyaksikan
bersetubuhnya seorang wanita dan seorang lelaki dengan penggambaran sebagai berikut:
"Satu perempuan bersetubuh dengan lelaki. Lelaki memasuki, lelaki merasuki.
Satuperempuan merasa dirinya bagai terbelah, tapi terasa indah. Dan tiba-tiba ia telah
setengah, merasai betapa saat itu dirinya terindah. Ditatapnya wujud diri baru yang
tampak aneh itu (tubuh ini, tubuhnya, tubuhku). Keadaan utuh, luruh tubuh, dua yang satu,
satu yang setengah, keutuhan setelah terbelah, luruh yang mengutuh. Seluruh. Setubuh.
Keutuhan itu. Sempurna." (Tuan Tanah: 67)
Sewaktu tidur, impuls-impuls ini mencari ekspresi tetapi selalu mengalami sensor.
Akibatnya, impuls tersebut mencari ekspresi tak langsung (melalui displacement) dengan
bentuk-bentuk simbol bersifat samar, seperti yang termanifestasikan dalam mimpi-mimpi.
Selain contoh di atas, Maia juga mengalami satu kejadian dalam mimpinya yang mirip
dengan apa yang dialami oleh Bai Guna Tobona. Maia bertemu dengan seorang lelaki
yang mendekat padanya, saling berkata-kata. Lelaki yang seolah dapat membaca hasrat
di dalam hatinya. Ini berkaitan dengan apa yang dikatakan Freud, bahwa harapan dalam
mimpi merupakan motif tak sadar yang tidak dapat diterima individu, atau pada hakikatnya
bersifat erotik. Berikut kutipannya:
"Suatu saat di atas tanah, tak jauh dari serakan cengkih yang jatuh dari bajumu, ia
bangkit melepas mani (mengangankan, kelak kau dan dia saling mengusaikan, usai penuh
seluruh...mengangankan, tanah bumi akan jadi rahim untuk melahirkan fosil bayi kecil,
mineral tak berbentuk yang jelita, bermimpi jadi daging dalam tanah gulita)." (Ilalang: 172)
Beberapa mimpi Maya memang bersifat agak erotis. Menyentuh sisi
keperempuanannya. Sisi-sisi femininnya nampak pada mimpi-mimpi mengenai Penjara
Merah, yang menggambarkan ketakutan-ketakutan Maia atas apa yang terjadi ada
peremuan-perempuan eneh yang ada di penjara itu.
4. Mengkaji Cala Ibi dengan Teori mimpi Carl Gustav Jung
10
11. Lain halnya dalam pandangan Jung, mimpi merupakan ledakan spontan dari
materi yang direpresikan dalam ketidaksadaran personal dan kolektif. Manifestasi yang
terepresi itu, menurut Jung, sebenarnya tidak selalu berupa usaha pemahaman kebutuhan
seksual atau agresif, seperti dikonsepsikan Freud. Sebagai gantinya, Jung mengartikan
mimpi sebagai usaha untuk menyelesaikan masalah dan konflik yang dihadapi seseorang
pada masa sekarang dan memiliki makna bagi perkembangan mereka ke arah yang sehat.
Maya dengan masalah-masalah yang ia hadapi, berupa tekanan-tekanan psikologi dari
kedua orang tuanya yang terus mempertanyakan mengapa ia memutuskan pertunangan
yang ada; dan sikap-sikap yang seolah-olah terus memaksanya untuk mencari jodoh,
membuat dirinya yang lain (yakni Maia) untuk mencari pemecahan atau sekedar harapan
dalam mimpinya.
Jung mengatakan bahwa mimpi merupakan kompensasi dalam kehidupan. Jika dalam
kehidupan nyata Maya ialah seorang gadis yang memiliki masalah dengan keinginan
kedua orang tuanya, maka dalam mimpi pun muncul Maia dengan tekanan-tekanan
psikologis yang sama. Maia dengan sifat yang tidak jauh berbeda dengan aslinya. Maia
berusaha menyesuaikan diri dan kepribadian Maya. Orang yang sangat pemalu, misalnya,
bisa bermimpi bahwa mereka dikagumi dalam pesta. Dalam analisis mimpinya, Jung
menggunakan beberapa cara:
a. Metode amplifikasi (Method of Amplification)
Seperti asosiasi bebas yang dimulai dengan simbol tertentu dan bergerak lebih jauh, Jung
menggunakan metode amplifikasi untuk menganalisis konflik dan problema yang dihadapi
pasiennya. Dalam proses, makna ganda dari simbol menjadi jelas ketika pasien
mengalami insight dengan problema yang mereka hadapi. Seringkali asosiasi pasien
dimulai dengan arah yang ditentukan oleh analis. Analis mencoba melihat satu serial
mimpi pasiennya. Jung percaya bahwa analisis satu seri mimpi itu penting karena dapat
menginterpretasikan problem dan konflik pasien dengan lebih akurat. Jung juga melihat
bahwa mimpi-mimpi seseorang sepanjang hidup merupakan gambaran proses individuasi.
Sebagai contoh penggunaan metode ini, secara sederhana dapat diketahui dari mimpinya
bahwa konflik atau problem yang dihadapi Maya, salah satunya adalah perihal jodoh.
b. Tes Asosiasi Kata (Word-Association Test)
11
12. Jung adalah pelopor teknik eksperimental yang disebut dengan tes asosiasi kata. Dia
menggunakannya sebagai tes analisis mimpi. Prosedur terapi ini melibatkan pasien dalam
merespon stimulus kata dengan kata-kata apapun yang terjadi padanya. Jung mencatat
tenggang waktu antara presentasi inisial stimuli dan respon yang diberikan pasien, serta
penggunaan waktu laten sebagai indikator kemungkinan pertahanan dan konflik dalam diri
pasien. Asumsinya adalah bahwa dalam interval waktu yang lebih panjang, maka lebih
besar pula wilayah konflik dalam psike yang ditarik. Besar tidaknya wilayah konflik individu
diketahui karena kondisi-kondisi berikut:
a) Pasien mengulang stimulus kata beberapa kali seolah dia tidak
mendengarnya.
b) Mereka salah mendengar satu atau beberapa kata
c) Mereka memberi respon lebih dari satu kata
d) Mereka memberi reaksi tidak bermakna
e) Mereka gagal merespon semuanya.
Kegagalan merespon kata-kata juga mencerminkan konflik tersembunyi.
c. Terapi Lukisan
Teknik lain yang digunakan Jung dalam menganalisis mimpi adalah terapi lukisan. Jung
mendorong pasien untuk mengekspresikan perasaan atau pemikiran yang tidak disadari
dalam lukisan. Terapi dengan cara melukis menolong pasien memperjelas simbol yang
mereka lihat dalam mimpi dan mendorong pasien untuk menyelesaikan masalahnya
secara aktif. Dalam pandangan Jung, terapi lukisan memiliki efek terapis yang real. Cara
tersebut dapat menggerakkan pasien dari pusat kematian menuju ke arah realisasi diri.
Dari ketiga terapi yang dipaparkan oleh Carl Gustav Jung, yang paling tepat dan
diterapkan serta dimanfaatkan oleh Maya adalah asosiasi kata. Ia tidak menyembunyikan
mimpinya. Malah menuliskannya pada sebuah buku tertentu, yang khusus dibuat untuk
mencatat mimpi-mimpi yang pernah dialaminya. Ia berusaha mengingat baik tiap kata,
kalimat yang diucapkan tokoh-tokoh dalam mimpinya, ataupun peristiwa dalam mimpinya.
Dengan demikian, konflik yang dialami Maya tidak tersembunyi.
12
13. D. Kesimpulan
Novel Cala Ibi merupakan novel yang dari segi kajian psikologi sastra merupakan
novel yang menggambarkan studi hukum dan tipe-tipe psikologi yang diterapkan pada
karya sastra. Tokoh Maya dan Maia sebagai tokoh yang dikaji dalam studi ini merupakan
sentral dari cerita yang memberikan penggambaran dua dunia yang berbeda, antara
terangnya siang dan gulitanya malam. Melalui dua tokoh ini pula Nukila Amal sebagai
penulis mencoba memasukkan jiwa tokoh perempuan yang mencoba mengungkapkan
harapan dan hasratnya untuk mendapat sebuah pengakuan dan sejuta keinginan yang tak
akan mungkin diraihnya karena adanya kekangan. Tokoh Maya digambarkan sebagai
seorang manusia yang mendapat tekanan akibat sebuah keadaan yang dialaminya, baik
dari keinginan orang tuanya untuk menjodohkan dia atau hasratnya untuk menjadi sosok
gadis lain yang jauh di luar dari sifat aslinya, menemukan sebuah dunia lain melalui
mimpinya.
Mimpi merupakan media yang digunakan oleh pengarang untuk memasuki dunia,
karena melalui mimpi inilah tokoh dapat menguasai dunianya yang seolah terkekang oleh
ketidakberdayaannya sebagai perempuan, bahkan seorang manusia. Melalui mimpi ini
pula pergolakan batin, tekanan-tekanan hidup tokoh, hingga lamunan-lamunan erotisnya
dipaparkan secara mendalam oleh pengarang. Pengarang mencoba memasuki alam
bawah sadarnya dan menciptakan dunia lain seperti apa yang diharapkannya. Namun
demikian, pengarang sendiri tidak selalu menyatakan pengungkapannya dalam bahasa
yang gamblang, melainkan lebih banyak dalam narasi kata-kata yang kaya akan metafor,
sehingga pembaca dituntut untuk memasuki jiwa dari tulisan ini untuk dapat memahami
karya ini secara utuh.
Kajian psikologi sastra novel ini akan mengajak pembaca untuk memahami jiwa
tokoh sebagai gambaran dari manusia yang tak pernah lepas dari hasrat dan impian.
Melalui metafor-metafor yang tertuang dengan begitu kaya di sana, pembaca akan
dituntun untuk memasuki jiwa tokoh dan memaknai simbol-simbol yang dijadikan media
untuk mengungkapkan hasrat, harapan, dan impian pengarang yang diciptakannya melalui
tokoh.
13
14. E. Bahan Referensi
Amal, Nukila. 2004. Cala Ibi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Burhan Nurgiyantoro. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta.: Gajah Mada University
Press.
Djojosuroto, Kinayati. 2006. Analisis Teks Sastra dan Pengajarannya. Yogyakarta: Pustaka.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Widyatama.
Feist, Jess dan Gregory J. Feist. 2006. Theories of Personality. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Wellek, Rene dan Austin Waren. 1995. Teori Kesusasteraan. Diterjemahkan oleh Melani
Budianta. Jakarta: Gramedia.
14