3. Kata ketakhinggaan (infinity) berasal dari bahasa latin, infinitas yang berarti
yang tak terhingga. Pada masa Yunani kuno kata yang digunakan untuk
ketakhinggaan adalah "apeiron" yang berarti tidak terbatas, tidak terhingga,
tidak pasti/tidak tentu, atau tidak terdefinisi. Menurut orang Yunani, asal mula
terbentuknya dunia berasal dari kekacauan (original chaos) yang dinamakan
apeiron. Selain itu, menurut orang Yunani, konsep ketakterhinggaan dalam
dunia nyata dapat diamati melalui tiga hal yaitu: waktu yang kelihatannya
tidak ada ujungnya, ruang dan waktu bisa bersifat ‘jika dibagi’ maka tidak akan
ada hentinya/akhirnya, dan ruang itu tidak memiliki batas.
Jadi, tak hingga adalah sesuatu yang tiada berbatas maupun berpenghujung,
atau sesuatu yang lebih besar dari sebarang batas yang ditetapkan. Tak hingga
sering dilambangkan dengan simbol ∞.
4. Perkembangan pemikiran manusia, melihat berhitung dalam pengertian yang lebih
luas lagi. Mereka tidak hanya memperhatikan bilangan besar tetapi juga memikirkan
bagaimana hakekat sesungguhnya bilangan besar yang tak hingga. Demikian pula,
manusia tidak sekedar melihat bilangan itu sampai pada ketiadaan atau nol. Tetapi juga
memikirkan bagaimana sebenarnya hakekat bilangan-bilangan yang terus mendekati
ketiadaan dan bagaimana jika digandakan dengan bilangan yang terus mendekati
ketakhinggaan. Utamanya, hal ini dapat kita jumpai pada zaman Yunani Kuno dengan
munculnya Paradoks Zeno yang baru bisa terjawab setelah 2000 tahun kemudian,
ketika ahli-ahli matematika menciptakan pengertian limit dari seri/deret tak hingga.
Para ahli menyimpulkan bahwa kesulitan itu terletak pada pengertian dasar tentang
bilangan yang kita pergunakan dalam berhitung. Demikianlah akhirnya muncul
pengertian bilangan transfinit yang berbeda dengan pengertian bilangan sebelumnya.
Dengan pengertian bilangan transfinit itu masalah ketakhinggaan dapat terpecahkan.
5. Menurut Ouspensky, dalam alam mengenal bilangan tak hingga. Alam adalah luas
yang tak hingga dalam waktu yang tak hingga pula, sehingga sifat alam apabila
bilangan-bilangan itu terus sama setelah mengalami operasi berhitung dan tidak ikut
berubah seperti halnya pada matematika biasa.
Tak hingga ditambah tak hingga atau dikali tak hingga atau juga dipangkat tak
hingga adalah tetap sama tak berubah yakni tak hingga juga. Itulah sifat alam sehingga
bilangan demikian itu serasi dengan alam. Dengan demikian, menurut Ouspensky
bukannya ketakhinggaan yang perlu kita pecahkan melalui berhitung melainkan
konsep berhitung atau matematika kitalah yang tidak mencerminkan sifat alam
sesungguhnya. Konsep matematika itulah yang perlu diubah.
6. Untuk simbol tak terhingga (∞) diperkirakan berasal dari
varian pada Ouroboros klasik, dengan ular melingkar sekali
sebelum makan ekornya sendiri, dan penggambaran seperti
dari loop ganda. Meskipun dugaan lain bisa juga Ouroboros ini
merupakan pembaharuan siklus abadi hidup dan tak terbatas,
konsep keabadian dan kembali abadi, dan merupakan siklus
kehidupan, kematian dan kelahiran kembali, yang mengarah ke
keabadian seperti dalam phoenix. Mungkin dari kata tak
terbatas lah yang menjadikan dugaan bahwa simbol tak hingga
berasal dari varian ouroboros klasik.
7. Awal Yunani, tercatat bahwa ide infinity paling awal berasal dari
Anaximander, seorang filsuf dari Yunani pra-Socrates yang tinggal di
Miletus. Dia menggunakan kata “apeiron” yang berarti tak berbatas. Namun,
awal pembuktian infinity matematika dilakukan oleh Zeno dari Elea (490 SM
- 430 SM)
• Zeno dari Elea (490 SM - 430 SM)
Ada 4 paradoks Zeno yang terkenal yaitu
• Paradoks dikotomi
• Perlombaan lari achiles dengan kura-kura
• Anak panah
• Gerakan orang berurutan
8. Zeno menganalogikan paradoks ini dengan membayangkan
lomba lari Achilles dan seekor kura-kura. Keduanya dianggap
lari dengan kecepatan konstan dan kura-kura sudah tentu jauh
lebih lambat. Untuk itu, si kura-kura diberi keuntungan
dengan start awal di depan, katakanlah 10 meter. Ketika lomba
sudah dimulai, Achilles akan mencapai titik 10 m (titik di mana
kura-kura mula-mula).
Tetapi si kura ini juga pasti sudah melangkah maju, jauh lebih lambat memang,
katakanlah dia baru melangkah 1 meter. Beberapa saat kemudian Achilles berada
di titik 11m, tapi si kura lagi-lagi sudah melangkah maju 0,1 m. Demikian
seterusnya, setiap kali Achilles berada pada titik di mana kura-kura sebelumnya
berada, si kura-kura sudah melangkah lebih maju. Artinya, Achilles, secepat apa
pun dia berlari tidak akan bisa mendahului kura-kura.
9. Aristoteles (384 SM – 322 SM), bersikukuh terhadap
keberhinggaan (finite). Dia menolak himpunan tak hingga dan
garis tak hingga (garis bisa panjang tapi tidak sampai tak hingga).
Salah satu alasan penolakannya adalah Thomas Lamp Paradox.
Paradox ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Bayangkan suatu
lampu yang pada waktu t, dimana t dinyatakan sebagai t = 1 -
(1/2^n), pada saat n genap lampu hidup, dan pada saat n ganjil
lampu mati. Masalahnya adalah pada saat t = 1, apakah kondisi
lampu hidup atau mati ? Pada saat t = 1, n tak hingga, padahal
takhingga tidak bisa dipastikan apakah genap ataukah ganjil.
2. Aristoteles
Aristoteles menghindari aktualitas/kenyataan tentang ketidakterhinggaan dengan
mendefinisikan potentially infinity. Definisi potensial infinity ini, bukan actual infinity, diakui
para matematikawan dan filsuf selama dua abad. Maka, bilangan bulat (integer) adalah
berpotensi tak terhingga (potentially infinity) karena kita selalu bisa menambahkan bilangan
satu untuk mendapatkan bilangan yang lebih besar.
10. Dalam hasil kerjanya Arithmetica Infinitorum, dia memperluas apa yang
dikerjakan Toricelli (1608 – 1647 M) dan Cavalieri (1598 – 1647 M) tentang
ketidakterbagian dan dengan proses induksi yang hebat ia menemukan
bahwa:
Ekspansi tak terhingga ini untuk π, walaupun bukan yang pertama,
menggambarkan dengan jelas sebuah proses tak terhingga (infinite process)
3. John Wallis
tanpa dasar pembenaran. Pada tahun 1655, Wallis memberi simbol infinit , yang menandakan
sebuah kurva yang tak berujung. Satu dugaan tentang mengapa ia memilih simbol ini adalah
bahwa ia mengambil dari Roman numeral (angka Romawi) untuk 1000 yang diambil dari
Etruscan numeral untuk 1000, yang terlihat seperti CIC kadang-kadang digunakan untuk
mengartikan ‘many’ (banyak). Dugaan lainnya adalah bahwa ia mengambilnya dari abjad
Yunani ω (omega).
11. Descartes telah memecahkan kebuntuan beberapa abad, yakni
dapat menjelaskan paradoks Zeno secara memuaskan dengan
menggunakan limit jumlah deret tak hingga. Paradoks ini
diselesaikan secara matematika.
Dalam paradoks Zeno, dianalogikan Achilles dan kura-kura lari.
Achilles mencapai posisi awal kura-kura yaitu 10 meter. Kemudian
Achilles mencapai posisi kedua kura-kura dalam 1 meter.
Demikian pula Achilles mencapai posisi ketiga kura-kura dalam
0,1 meter dan seterusnya ...
4. Rene Descartes
Jarak yang diperlukan Achilles untuk menyusul kura-kura akan membentuk Deret Geometri
tak berhingga:
10 + 1 + 0,1 + 0,01 + ....
dengan ratio (perbandingan antara dua suku yang berurutan) r = 0,1.
12. Dan jumlah suku-suku yang banyaknya tak hingga pada deret tersebut adalah
berhingga, karena deret diatas adalah deret yang konvergen, bisa dicari dengan:
a = suku pertama
r = adalah rasio
Sehingga jumlah total deret untuk memecahkan paradoks zeno adalah
Jadi Kura-kura akan tersusul oleh Achilles hanya dalam waktu 10/0,9 detik.
13. Dalam antinominya, Kant mempertentangkan tak hingga dan terhingga
dalam masalah ruang dan waktu. Mengemukakan dalam bentuk antinomi
tersebut, ternyata Kant mempertahankan kedua-duanya yakni Kant
menyatakan bahwa ruang dan waktu terhingga dan juga tak hingga.
Tentunya hal ini berkaitan dengan alam pikiran Kant sendiri yang yakin
bahwa ada “sesuatu di dalam sesuatu itu sendiri” yang terletak “di luar”
pemikiran tetapi merupakan kenyataan yang terpisah. Alasan untuk
mengatakan dunia terhingga kata Kant akan sama kuat dengan alasan
5. Imanuel Kant
untuk mengatakan dunia tak hingga. Oleh karena itu, antinomi Kant ikut menggolongkan
terhingga dan tak hingga demikian sebagai “sesuatu di dalam sesuatu itu sendiri” dan terletak
“di luar” pemikiran manusia. Dengan pandangan Kant ini maka ketakhinggaan yang belum
dibahas dalam matematika pada waktu itu tidak juga menemukan pemecahan secara filsafat.
Ketakhinggaan merupakan sesuatu yang belum dipahami orang.
14. 1. Misalnya, urutan angka - 1, 2, 3 dan seterusnya - meluas tanpa batas. Ketika
ditulis dalam pecahan tertentu dalam bentuk desimal, mereka akan
mengulangi tanpa batas.
2. Misalnya, kalkulator akan menunjukkan bahwa 2/3 sama dengan 0,6666,
tetapi deretan enam dalam angka 0,6666 tidak berakhir setelah empat digit.
Keenam dalam angka 0,6666 berlanjut sejauh yang dimungkinkan oleh layar
kalkulator; dalam teori, angka 0,6666 meluas selamanya - tanpa batas.
3. Dalam geometri, segmen garis memiliki dua titik akhir yang berbeda - titik
A dan B. Garis, bagaimanapun, akan meluas tanpa batas di kedua arah.