HdH diterbitkan dengan tujuan untuk menjadi sarana informasi, komunikasi dan dialog antar komunitas yang kini tengah diberdayakan oleh LBH Masyarakat. Publikasi ini hendak menyasar pembaca utamanya di lingkungan orang yang hidup dengan HIV/AIDS, pemakai narkotika, pekerja seks dan waria/transjender. Publikasi ini juga bertujuan untuk memicu diskusi di antara anggota komunitas-komunitas tersebut. Tentu inisiatif ini tidak lepas sebagai bentuk upaya untuk melengkapi pemberdayaan hukum masyarakat yang tengah kami lakukan di empat komunitas tersebut.
Tiga Hari Terakhir Bersama Rodrigo Gularte - Christina WLBH Masyarakat
When I tried to strengthen myself from the sense of feeling guilty, because I would not be able to escape him from the death penalty 3 days later, one of the executors who wore glasses said, “Mrs. Christina, please explain to Rodrigo once again that he should accept the notification and you should inform us the 4 last wishes that Rodrigo would like to propose. According to the regulation, we should provide Rodrigo’s will before the execution” While nodding, I said to myself, “Lord, please encourage Rodrigo and us.”
The Last Three Days with Rodrigo Gularte - Christina WLBH Masyarakat
Ketika saya sedang berusaha menguatkan perasaan saya dari rasa bersalah, karena saya tidak akan pernah bisa meloloskan dia dari pelaksanaan eksekusi 3 hari kemudian, seorang eksekutor yang berkacamata menyampaikan, “Bu Christina, tolong besok dijelaskan sekali lagi pada Rodrigo, ya, supaya dia bisa menerimanya dan ibu harus bisa menyampaikan kepada kami, apa 4 permintaan terakhir Rodrigo, karena dalam peraturan diberikan hak-haknya demikian sebelum dieksekusi.” Sambil mengangguk saya berkata dalam hati, “Tuhan, kuatkanlah Rodrigo, kuatkanlah kami.”
Surat Keberatan Terbuka LBH Masyarakat - PKNI - Yayasan STIGMA: Cabut Iklan K...LBH Masyarakat
Kami mendesak BNN untuk segera menghapus atau mencabut kedua publikasi tersebut yang telah termuat di dalam media-media sosial milik BNN. Kami juga mendesak agar BNN memastikan bahwa setiap publikasi dan informasi yang disampaikan ke publik ke depannya adalah publikasi dan informasi yang berbasiskan pada bukti ilmiah dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia dengan pemahamannya yang sangat terbatas mengenai persoalan narkotika dan adiksi agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut dengan UU Narkotika) diundangkan pada tanggal 12 Oktober 2009. Undang-undang ini merupakan revisi atas undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi direvisinya UU Nomor 22 tahun 1997 tersebut, antara lain: tindak pidana narkotika yang dilakukan dengan modus operandi yang semakin canggih, materi undang-undang yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan situasi terkini, dan perlunya penguatan kelembagaan dalam hal pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap narkotika.
Secara umum, terdapat beberapa hal baru yang dikenalkan oleh UU Narkotika, antara lain: adanya perubahan dan penambahan definisi di dalam bab tentang Ketentuan Umum, ruang lingkup dan tujuan yang diperluas, perluasan alat bukti dan adanya teknik penyidikan narkotika yang baru, serta ancaman pidana minimal untuk semua golongan narkotika.
Caveat - Volume February-March 2014 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
In this edition, Muhammad Afif Abdul Qoyim, an LBH Masyarakat’s caseworker, writes an article analyzing the possibility of the detainees, who are detained in police stations or other law enforcement agencies’ detention center, losing their right to vote. This is because the Election Committee does not seem very well prepared in securing their right to vote. He emphasizes, in the “Human Rights, Law, and Politics” column, the Election Committee must not only focus on the statutory election violations, – either those came from the political parties or the political candidates, but they also must be concerned with the detainees’ right to vote and to ensure that right is guaranteed, this is because right to vote is one of citizen’s rights protected by the Indonesia’s Constitution.
In the “Human Rights, HIV, and Drugs Policy” column, Aditiya Putra – an LBH Masyarakat’s Human Rights and Law program officer, writes an article about the new Indonesian social security and health care regulation. He criticizes this regulation on the ground that it is very discriminative against drug users. He argues that social security should be given equally to all citizens – a principle of universal coverage. However, contrary to this principle, the government, by enacting this regulation of social health security, the drug users will potentially be excluded from accessing that social security system. This is a discriminatory policy and it violates drug users’ right to health, as Aditiya argues.
Also, in this column, Ratna Dyah Kusumadewi, a legal intern at LBH Masyarakat, analyzes the inconsistencies of drug rehabilitation verdicts in Indonesia. She critically analyzes three different courts decisions. She pinpoints cases and rules, which could be precedents for judges to enforce rehabilitation based judgment for drug offenders, who are in need for drug treatments. She also recommends that judges should not merely interpret laws in black letter laws but also looking at the individual circumstances of each case for the interest of justice.
The last but not the least, Albert Wirya – an LBH Masyarakat’s volunteer and currently completing criminology studies at the University of Indonesia, will share his experience on working on a criminal casework, which the LBH Masyarakat is the clients’ legal representative. The case is
4 CAVEAT | February - March 2014
about a group of fishermen who are suspected trying to smuggle foreigners into Australia. In
“From Our Archive” column, Albert analyzes the case from the point of views of criminology. In
his essay, Albert focuses on the law enforcement performance when working on an organized
crime, which he argues that they might wrongfully prosecute minors but ironically fail to catch
the ‘big fish’.
Tiga Hari Terakhir Bersama Rodrigo Gularte - Christina WLBH Masyarakat
When I tried to strengthen myself from the sense of feeling guilty, because I would not be able to escape him from the death penalty 3 days later, one of the executors who wore glasses said, “Mrs. Christina, please explain to Rodrigo once again that he should accept the notification and you should inform us the 4 last wishes that Rodrigo would like to propose. According to the regulation, we should provide Rodrigo’s will before the execution” While nodding, I said to myself, “Lord, please encourage Rodrigo and us.”
The Last Three Days with Rodrigo Gularte - Christina WLBH Masyarakat
Ketika saya sedang berusaha menguatkan perasaan saya dari rasa bersalah, karena saya tidak akan pernah bisa meloloskan dia dari pelaksanaan eksekusi 3 hari kemudian, seorang eksekutor yang berkacamata menyampaikan, “Bu Christina, tolong besok dijelaskan sekali lagi pada Rodrigo, ya, supaya dia bisa menerimanya dan ibu harus bisa menyampaikan kepada kami, apa 4 permintaan terakhir Rodrigo, karena dalam peraturan diberikan hak-haknya demikian sebelum dieksekusi.” Sambil mengangguk saya berkata dalam hati, “Tuhan, kuatkanlah Rodrigo, kuatkanlah kami.”
Surat Keberatan Terbuka LBH Masyarakat - PKNI - Yayasan STIGMA: Cabut Iklan K...LBH Masyarakat
Kami mendesak BNN untuk segera menghapus atau mencabut kedua publikasi tersebut yang telah termuat di dalam media-media sosial milik BNN. Kami juga mendesak agar BNN memastikan bahwa setiap publikasi dan informasi yang disampaikan ke publik ke depannya adalah publikasi dan informasi yang berbasiskan pada bukti ilmiah dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia dengan pemahamannya yang sangat terbatas mengenai persoalan narkotika dan adiksi agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut dengan UU Narkotika) diundangkan pada tanggal 12 Oktober 2009. Undang-undang ini merupakan revisi atas undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi direvisinya UU Nomor 22 tahun 1997 tersebut, antara lain: tindak pidana narkotika yang dilakukan dengan modus operandi yang semakin canggih, materi undang-undang yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan situasi terkini, dan perlunya penguatan kelembagaan dalam hal pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap narkotika.
Secara umum, terdapat beberapa hal baru yang dikenalkan oleh UU Narkotika, antara lain: adanya perubahan dan penambahan definisi di dalam bab tentang Ketentuan Umum, ruang lingkup dan tujuan yang diperluas, perluasan alat bukti dan adanya teknik penyidikan narkotika yang baru, serta ancaman pidana minimal untuk semua golongan narkotika.
Caveat - Volume February-March 2014 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
In this edition, Muhammad Afif Abdul Qoyim, an LBH Masyarakat’s caseworker, writes an article analyzing the possibility of the detainees, who are detained in police stations or other law enforcement agencies’ detention center, losing their right to vote. This is because the Election Committee does not seem very well prepared in securing their right to vote. He emphasizes, in the “Human Rights, Law, and Politics” column, the Election Committee must not only focus on the statutory election violations, – either those came from the political parties or the political candidates, but they also must be concerned with the detainees’ right to vote and to ensure that right is guaranteed, this is because right to vote is one of citizen’s rights protected by the Indonesia’s Constitution.
In the “Human Rights, HIV, and Drugs Policy” column, Aditiya Putra – an LBH Masyarakat’s Human Rights and Law program officer, writes an article about the new Indonesian social security and health care regulation. He criticizes this regulation on the ground that it is very discriminative against drug users. He argues that social security should be given equally to all citizens – a principle of universal coverage. However, contrary to this principle, the government, by enacting this regulation of social health security, the drug users will potentially be excluded from accessing that social security system. This is a discriminatory policy and it violates drug users’ right to health, as Aditiya argues.
Also, in this column, Ratna Dyah Kusumadewi, a legal intern at LBH Masyarakat, analyzes the inconsistencies of drug rehabilitation verdicts in Indonesia. She critically analyzes three different courts decisions. She pinpoints cases and rules, which could be precedents for judges to enforce rehabilitation based judgment for drug offenders, who are in need for drug treatments. She also recommends that judges should not merely interpret laws in black letter laws but also looking at the individual circumstances of each case for the interest of justice.
The last but not the least, Albert Wirya – an LBH Masyarakat’s volunteer and currently completing criminology studies at the University of Indonesia, will share his experience on working on a criminal casework, which the LBH Masyarakat is the clients’ legal representative. The case is
4 CAVEAT | February - March 2014
about a group of fishermen who are suspected trying to smuggle foreigners into Australia. In
“From Our Archive” column, Albert analyzes the case from the point of views of criminology. In
his essay, Albert focuses on the law enforcement performance when working on an organized
crime, which he argues that they might wrongfully prosecute minors but ironically fail to catch
the ‘big fish’.
Caveat - Volume April-May 2013 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
The process of law enforcement in Indonesia has had a bad record such as in the case of Sengkon and Karta. The two were accused of committing theft and murder of husbandandwife Sulaimans that took place in Bekasi in 1974. Bekasi District Court then sentenced Sengkon to 12 years of prison and Karta to 7 years.
Asia Catalyst – an NGO based in New York – held the 2013 Right to Health Advocacy Training in Bangkok. Asia Catalyst provides management and advocacy training to grassroots groups in Asia which are working to promote the right to health.
Once again, a child from a poor socioeconomic background has become trapped in illicit narcotic trafficking in Jakarta. In May 2013, a sixteen year old boy named Aldo (not his real name) appeared before the Central Jakarta District Court. Aldo was a student in Taman Siswa Senior High School when he was arrested by the police for his alleged involvement in drug trafficking.
Judicial corruption does not seem to pick and choose where it will occur. It can happen in big cities like Jakarta or a small city like Jember in the province of East Java. People may find it difficult to prove that judicial corruption exists, but one can feel that it is there.
Dokumentasi Pelanggaran Hak Tersangka Kasus NarkotikaLBH Masyarakat
Buku yang anda pegang sekarang memuat laporan dokumentasi yang telah LBH Masyarakat lakukan selama satu tahun sepanjang 2011. Hasil dokumentasi tersebut mengafirmasi cerita-cerita yang sebelumnya pernah
kami dengar. Nyaris semua tahanan kasus narkotika pernah mengalami pelanggaran HAM di tingkat penyidikan, baik upaya paksa yang dilakukan dengan sewenang-wenang oleh pihak kepolisian maupun penyiksaan
dan perlakuan buruk lainnya. Buku ini tidak berpretensi untuk menyajikan laporan penelitian kuantitatif melainkan lebih kepada pemaparan analisis kualitatif yang terefleksi dari hasil temuan tersebut.
Documentation on The Violation of The Rights of The SuspectLBH Masyarakat
The book you are holding now compiles a report of LBH Masyarakat documentation conducted over one year in 2011. The results of this documentation affirms the stories we have heard before. Nearly all detainees in narcotics cases have experienced some sort of human rights violation during investigative phase, including arbitrary enforcement measures, torture and other mistreatment by the police. This book does not pretend to present a quantitative study. Instead, it provides a more qualitative analysis reflected from the findings.
Law enforcement measures inevitably involve a contradiction: on the one hand they aim to create order by imposing certain restrictions on freedoms and liberties, while on the other hand they must honor liberties and freedoms of every individual that they limit. Humans inherently are endowed with rights, and when these rights are derogated from them, their humanity is undermined. A question then arises, in the event of a crime that poses a threat to public order what are we supposed to do with the perpetrators of the crime? Doing nothing will disrupt public order and will lead to a chaos that in turn will deny the human rights of other individuals. Law enforcement essentially involves some restrictions to the human rights of the perpetrators, but at the same time, the perpetrators of the crime are also humans endowed with rights that must be protected. This is exactly the critical point of the tension between these two opposite situations.
Jejak Langkah Menciptakan Pengacara RakyatLBH Masyarakat
Buku “Jejak Langkah Menciptakan Pengacara Rakyat” adalah kumpulan pengalaman para penyuluh hukum LBH Masyarakat dalam melakukan pemberdayaan hukum di empat komunitas. Empat komunitas itu adalah komunitas nelayan Kali Adem, komunitas remaja keluarga korban Tragedi Mei 1998 di Klender, komunitas pemakai dan mantan pemakai narkotika di Jakarta, dan komunitas remaja yang bersekolah di sekolah alternatif di Terminal Depok.
Catatan perjalanan yang para penyuluh tuliskan di buku ini tidak berintensi untuk menjadi sebuah panduan lengkap dalam melakukan aktivitas pemberdayaan hukum. Guratan tulisan dalam buku ini sesungguhnya bertujuan untuk berbagi cerita perjalanan yang para penyuluh alami dalam melakukan pemberdayaan hukum. Membaca torehan pengalaman para penyuluh hukum dalam buku ini bisa membuat Anda tertawa kecil, larut dalam haru, terbawa dalam kegeraman, dan bukan tidak mungkin menginspirasikan Anda untuk dapat berbuat lebih
dalam melakukan pemberdayaan hukum.
Buku Saku Mengenal UU Keterbukaan Informasi PublikLBH Masyarakat
Indonesia, beberapa waktu yang lalu telah mengesahkan
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik. Kehadiran undang-undang ini tentu layak mendapat apresiasi positif karena menjadi landasan hukum bagi setiap orang untuk hak atas informasi, sekalipun dalam beberapa hal, undang-undang ini memiliki keterbatasan.
Buku saku ini disusun sebagai upaya untuk mengenalkan undang-undang yang baru tersebut kepada Pendamping masyarakat dan aktivis Ornop. Diharapkan setelah membaca buku saku ini dapat memperoleh pemahaman yang mendasar mengenai undang-undang tersebut, sehingga dapat menggunakannya ketika diperlukan
terutama dalam kerja-kerja mendampingi masyarakat.
Buku berjudul Wajah Pemberdayaan Hukum Masyarakat ini hadir dengan maksud untuk memberi potret yang jelas untuk menggambarkan apa itu pemberdayaan hukum masyarakat ala LBH Masyarakat. Kami sadar betul bahwa rumusan dalam buku ini bukanlah rumus baku untuk menjalankan pemberdayaan hukum masyarakat. Penjabaran ide-ide dalam buku ini hendaknya diperlakukan sebagai uraian ramuan, yang peracikannya diserahkan kepada setiap pelaku pemberdayaan. Gagasan dalam buku ini juga memang sejak awal diposisikan sebagai living manifestos. Dia tidak kaku, fleksibel dan adaptif. Dia akan menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Mengingat masyarakat akan terus berubah, begitu pula halnya dengan pemberdayaan hukum. Kami juga sadar betul bahwa pemberdayaan hukum masyarakat akan ada banyak model. Oleh karena itulah, buku ini adalah satu dari sekian banyak referensi yang dapat Anda rujuk ketika hendak menjalankan pemberdayaan hukum.
Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 2, 2010 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
HdH diterbitkan dengan tujuan untuk menjadi sarana informasi, komunikasi dan dialog antar komunitas yang kini tengah diberdayakan oleh LBH Masyarakat. Publikasi ini hendak menyasar pembaca utamanya di lingkungan orang yang hidup dengan HIV/AIDS, pemakai narkotika, pekerja seks dan waria/transjender. Publikasi ini juga bertujuan untuk memicu diskusi di antara anggota komunitas-komunitas tersebut. Tentu inisiatif ini tidak lepas sebagai bentuk upaya untuk melengkapi pemberdayaan hukum masyarakat yang tengah kami lakukan di empat komunitas tersebut.
Caveat - Volume February-March 2013 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
The Indonesian Civil Society Coalition against the Death Penalty (HATI Coalition) condemns the recent execution of Adami Wilson by the Attorney General’s Office, on Thursday, 14 March 2013.
“All human beings are born free and equal”. Regardless of the reality, this is the value that underpins human rights. Human rights is about equality, about everybody having the same rights, and that the government has the obligation to protect, respect and fulfill it. But, what if there area group of people who,since early in their lives, are discriminated and seen as less of a human being, and then thrust into marginalization,unable to claim their rights? What role must the government play to protect the rights of these people?
Monday, 18 March 2013, the Central Jakarta District Court decided to send a child who uses drugs to receive rehabilitation in a government social rehabilitation for children. Vince (not his real name) was one of ten suspects who were involved in this case. The proceedings were relatively quick and should be appreciated as the judge handed down the rehabilitation verdict to the child instead of imprisonment and put priority on children rights throughout the process.
Caveat - Volume November 2012-January 2013 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
The Indonesian House of Representatives (DPR) has agreed to discuss the Draft of the Indonesian Criminal Code in its 2013 National Legislation Program (Prolegnas), together with other 69 Draft Laws. This, of course, is an encouraging development given that Indonesia has been trying for the longest time to enact its new Criminal Code. The current Indonesian Criminal Code is a legacy of the Dutch colonial
era. It is, therefore, essential to have an updated version of the Criminal Code to reflect modern development of criminal law as well as international human rights standards.
In 2006, it is estimated that 5,129 inmates in Indonesia are affected by HIV and AIDS, accounting for as much as 3% of the estimated total of people living with HIV and AIDS in the country. There is a growing concern of HIV transmission in prisons stemming from the relatively high percentage of AIDS-related deaths in prison. Although the overall mortality in prisons has decreased from 2007 to 2009, AIDS-related deaths have actually increased.
In its 2012 year end press release, the Indonesian National
Narcotic Board (BNN) stated that 71 drug offenders have
been sentenced to death in Indonesia. Twenty of them are
Indonesian nationals while the remaining 51 are foreigners.
One Indonesian national who was on death row for drug
offense is Meirika Franola or also known as Ola. President
Susilo Bambang Yudhoyono gave clemency to Ola in 2011 and commuted his sentence from death penalty to life sentence. The clemency given to Ola appears to be no longer valued when BNN exposed drug trafficking that dragged Ola again.
Caveat - Volume July-August 2012 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
The relationship between ethnic and religious groups in Indonesia is vulnerable to conflict and has often lead to violence. The intensity of conflicts that has lead violence in the past few years is alarming. Take, for example, the
brutal attacks on Ahmadiyah followers in Cikeusik, Banten province, in early 2011; persistent assaults against the HKBP Filadelfia church in Bekasi, West Java, this year; and also this year, aggressive harassment of Shi’ite followers in Madura, East Java. These are but a few cases of conflicts involving violence between groups in Indonesia. The question remains, however, were these violent conflicts caused or perhaps triggered because of the different group
identities involved? In other words, such question assumes that that the violence is driven by ethnic or religious identity.
Indonesia has been attempting to address drug issues in many ways, which apparently and regrettably, has been more of a failure rather than a success. The government seems to be somewhat confused as to how it should tackle this problem. The number of drug dependents has not decreased despite the punitive approaches and extensive campaigns that demonize people who use drugs.
The third article seeks to provide an overview of how Indonesian drug policies have failed to respect human rights of drug users. However, a detailed analysis of the problems is beyond the scope of this article. It will, therefore, only seek to evaluate fundamental issues of the policies. At the end of this article, it will offer some key recommendations to address the problems that emerged.
Caveat - Volume September-October 2012 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
The idea of reforming Indonesian criminal justice system by amending the current Criminal Procedure Code (KUHAP) has been in suspended animation for much of the last decade. The draft revision has not been enacted and the progress to pass the draft revision practically halted. At
this pace it may take another decade for the draft to be passed and one may even conclude that the government and the parliament seem to not want to pass it at all. This is at odds with their enthusiasm to hastily pass legislation of lesser importance as of late.
On 17 November 2011, the Indonesian government, together with the other nine governments of South East Asian countries, declared political commitments to achieve zero new HIV infection, zero discrimination, and zero AIDS-related deaths. The fact that HIV epidemic in this region
has affected more than 1.5 million people, and the concern that such epidemic may have negative consequences on the realization of an ASEAN Community, has led these ten countries to declare and renew their political commitment in achieving the ‘Getting to Zero’ goals.
In February 2012, the Community Legal Aid Institute (LBH Masyarakat) filed a right-to-information request to the National Narcotic Board (BNN) asking for copies of three of their regulations related with the investigation of drug offences. Those regulations are, Regulation of the Head of BNN number 3 of 2011 regarding the Technique of Controlled Delivery, Regulation of the Head of BNN number 4 of 2011 regarding the Technique of Undercover Purchase, and Regulation of the Head of BNN number 5 of 2011 regarding the Technique of Inquiry and Investigation of Drug Offences. However, in March 2012, BNN declined the request arguing that the regulations in question were exempted from the public information category. In April 2012, LBH Masyarakat filed an objection with regard to that decision.
Caveat - VOLUME 16/II, SEPTEMBER 2010 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
September has been a gloomy month for Indonesia, in terms of its history of law and human rights, since 1965. The killing of Munir in 2004, Semanggi II tragedy in 1999, Tanjung Priok tragedy in 1984, and 1965 Massacre all took place in September. All of these human rights abuses are left unresolved, leaving no justice for the victims and perpetrators are unpunished. Put simply: impunity reigns over law and human rights. In early September, when we had our editorial meeting to discuss the ideas for this month’s CAVEAT, all of us were agreed to raise the issue of impunity in those so‐called past human rights violations. One major incident then occurred and changed our editorial decision, however.
On 12 September 2010, morning, some Christians were walking from their houses towards to their church (HKBP) in Ciketing, Bekasi, West Java. First Brigadier Police (Briptu) Galih Setiawan was there to lead and secure the walkers. While they were walking, there were four unknown men in motorcycle approached Hasian Lumban Toruan Sihombing and stabbed him in stomach. Briptu Galih Setiawan then put Toruan Sihombing in the motorcycle helped by Priest Luspida Simanjuntak. When they were taking Toruan Sihombing to the nearest hospital, the perpetrators attacked Priest Luspida with a wooden block and she was injured in head, back, and forehad.
What worse was in this situation that President Susilo Bambang Yudhoyono did not step forward and appear in public to condemn such cowardice act. Two days before the incident, President himself gave a speech commenting on the plan of Koran burning by Pastor Terry Jones in the US. People at large were angered as President Yudhoyono voiced out his concern on issue that was far away but neglected such an important issue in his backyard.
Apart from that, as usual, we also put reportage from Asia. In addition, Ajeng Larasati one of our legal researcher write an opinion for this edition CAVEAT with regard to a case of our client in which had to serve imprisonment seven days extra. She argues that maladministration of the judiciary system in which the correctional facility should be held responsible – together with the court and prosecutor office, leads to human rights violation.
Caveat - VOLUME 14/II, JULY 2010 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
The attacks against the offices of Tempo magazine and anti-corruption activist Tama Satrya Langkun early this month dominates the coverage in this month’s CAVEAT.
The Main Report investigates the incidents and explores need for the Indonesian National Police Force to conduct institutional reform.
This month our Additional Feature examines the urgency to develop and pass specific laws for protection of human rights activists. The safety of human rights activists is not a problem faced only in Indonesia. In this edition’s Rights in Asia, our partner the Asian Human Rights Commission has brought to light the plight of human rights activists in the Philippines, Nepal and Pakistan.
In the Opinion column, Maeve Showell highlights the urgency for Indonesia to ratify the UN Refugee Convention as regional debate heats up in the lead up to the Australian election. As always, CAVEAT also updates you on the latest activities of LBH Masyarakat.
This month LBH Masyarakat participated in the XVIII International AIDS Conference in Vienna where Ricky Gunawan delivered his presentation titled “Legal Literacy in Indonesia: A Tool for Empowering Drug Users, Fishermen, and People Living with HIV to facilitate self-representation.” In other news comes from one of our employees, Ajeng Larasati, has just been named as a 2010 JusticeMakers Fellow which brought three volunteers of International Bridges to Justice (IBJ) came to LBH Masyarakat to assist LBH Masyarakat in running its program.
In addition to our regular columns, LBH Masyarakat had also interviewed Taufik Basari, one of the youngest and most promising human rights lawyers in Indonesia. In the middle of his busy schedule, he shared with us his views on youth and human rights for our Interview.
Caveat - VOLUME 13/II, JUNE 2010 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
This month’s CAVEAT Main Report highlights this issue and asks us to think more beyond the OPCAT ratification. It is noteworthy that OPCAT ratification is not the end of the line, it is only the means for a greater end: the prevention of torture in detention facilities in Indonesia. Thus, we need to start thinking now –while urging the government to ratify OPCAT- what kind of NPMs would be best to implement once the protocol has been signed.
Our featured article takes a look at Indonesia’s elite anti terror squads, and calls for greater training to ensure that the anti-terror fight does not step out of bounds of human rights.
In our Rights in Asia column we have updates on human rights situations in Nepal, Philippines, and South Korea.
In Reportage, you may find series of activities conducted by Indonesian Networks against Torture (JAPI) –which LBH Masyarakat is a member of, in commemorating the anti-torture day this year.
Still related to torture, our Opinion section has a succinct overview of torture in Indonesian in the form of the Statement of AHRC on practice of torture in Indonesia. The statement generally highlights key issues such as torture criminalization, revision on Indonesian Penal Code and Criminal Procedure Code, police reform, and OPCAT ratification.
Caveat - VOLUME 12/II, MAY 2010 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
In this month’s Main Report we bring you coverage on a current LBH Masyarakat case. Humphery Ejike, a Nigerian national has been sentenced to death by a South Jakarta District Court after being convicted as a drug dealer. However the court failed to fully prove Mr Ejike’s guilt, instead it is alleged that the charge was fabricated and the judges were influenced by the race of the accused, rather than the evidence presented to the court. Such judicial prejudice has not only violated the Bangalore Principles, which mandates judges to examine cases impartially and in spirit of equality but the case has also violated Mr Ejike’s basic human rights as guaranteed by the 1945 Constitution and Convention on All Forms of Racial Discrimination (CERD) which was ratified by Indonesia in 1999. In addition to being discriminated against because of his race, Jeff has also had his right to fair trial violated as he was not given access to legal counsel or an appropriate interpreting service. The Additional Feature on this edition of CAVEAT reports on the after math of May 1998 riots and reflects on the wounds that have yet to be healed on the 12th anniversary of the events. The article explores the lack of justice obtained by the government on behalf of the many victims despite the abolition of Suhartos New Order regime. “Building A Rights-Based Approach of HIV/AIDS Case and Policy Advocacy” in Jakarta. Yoseph Adi Prasetyo from the National Human Rights Commission and human rights lawyer Taufik Basari attended the workshop to deliver presentation on the issue of HIV/AIDS, human rights and legal advocacy. The complete report on this workshop may be found in this edition’s Reportage. Last but not least, the Opinion Piece is an open letter written by the Asian Human Rights Commission to the Chief of the Indonesian National Police regarding the shooting of five terrorist suspects in Cikampek and Cawang.
Caveat - VOLUME 11/II, APRIL 2010 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
The constitutional court has rejected a review on the ‘Blasphemy Law’, a prominent LGBT conference was cancelled amid community uproar and a large scale
riot in the North Jakarta area of Koja on April 14 dominated the news cycle.
In this months CAVEAT Main Report, we have analysed the Koja riot. Hundreds of victims were injured and three public order officers were killed, former Indonesian vice president, Jusuf Kalla, called the clashes the biggest riots since May 1998. The Koja riot – which was triggered by reports that the government intended to destroy the tomb of Mbah Priuk, a celebrated Islamic figure buried on state owned land - has increased the calls urging government to disband the infamous Public Order Agency (Satpol PP).
From a human rights perspective the violence committed by the Satpol PP meets the criteria of ‘cruel treatment’ as pointed out by Article 16 of the Convention against
Torture or Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment (CAT). Thus, any Satpol PP officers who committed such acts should be punished according to the law.
There is a debate, however, whether disbanding the Satpol PP is the best solution. The government is adamant that
the force is still needed to enforce regional regulations.
In the Additional Feature, we present you an article outlining the reasons behind the cancellation of the International Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender and Intersex Association (ILGA) conference which was scheduled to be held in Surabaya at the end of March. The cancellation shows a lack of respect for LGBT rights in Indonesia as well as the constitutional ‘right to assemble’.
Our Rights in Asia section updates you on human rights conditions in three other Asian countries; Thailand, India, and the Philippines. The hot political situation in Bangkok has resulted in the Thai government blocking access to certain websites, which reflects anti democracy policy in Thailand.
We will also update you with LBH Masyarakat’s current activities. In our Reportage section’ we tell you of our efforts
to obtain legal birth certificates for hundreds of Jembatan Besi residents. Together with our paralegals and volunteers, we conducted several activities to ensure this community is able to formally apply for birth certificates without the use
of a ‘scalper’ which had made the process too expensive for most residents in the past.
Finally, Ricky Gunawan’s article ‘Indonesia’s Pluralism in Peril’ explores the lack of tolerance of pluralism in Indonesia following the constitutional review of the
‘Blasphemy Law’ as well as the cancellation of the ILGA conference. Ricky Gunawan argues that despite Indonesia’s pride for its multicultural heritage the fact is that
‘diversity is negated and human rights are diluted by fundamentalists.’
Caveat - VOLUME 10/II, MARCH 2010 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
The practice of framing not only violates a persons right to liberty and security because the victims are arrested, detained, and sentenced on unreasonable grounds,
but framing also violates a persons right not to be tortured. Framing victims have stated they had no choice but to admit to crimes that they did not commit after being
tortured. Despite the clear severity of framing crimes, framing unfortunately is not categorized as a human rights violation or even a crime in Indonesia. It’s seen as
merely a violation of the police code of conduct and thus perpetrators are not punished properly. The absence of proper punishment for framing is aggravated by the
fact that both internal and external monitoring mechanisms of the police institution are very weak. The phenomenon
of framing has stressed the need for reformation in the police institution.
Similarly our additional feature in this CAVEAT also calls for police reform. The article tells of the confession of Susno
Duadji -former National Police Head of Criminal Investigators- stating that a number of high ranking officers were involved corrupt activities during the investigation of an IDR 25 billion (US$ 2,75 millions) tax case. Susno’s confession has polarized public opinion. His supporters see
Susno’s comments as a strong sign for reformation within police institution whereas detractors claim him to be
unethical and manipulative. Either way it is clear that reform is needed to halt the rampant corruption from within the Polri.
We’re happy to inform you that we have started our new programme in conducting law and human rights education for people living with HIV/AIDS (PLHAs). Supported by the International Development Law Organization (IDLO), we have initiated our programme to empower more communities including Injection Drug Users (IDU), sex
workers, and lesbian, gay, bisexual, transgender (LGBT) communities. Besides starting our new programme, we are
continuing our current activities including our cooperation with the Voice of Human Rights (VHR) in broadcasting a law and human rights consultation radio show regularly. You can find more details about our activities in Reportage.
This month’s Rights in Asia report brings you human rights issues from three Asian countries: India, Sri Lanka, and Pakistan.
Last but not least, the opinion piece ‘Protecting Foreigners’ Rights in Indonesia’ written by Answer C. Styannes explores the provision in Constitutional Court Law which
enables foreigners to lodge a constitutional review to Constitutional Court. Styannes argues that the fact that the constitution is a social contract between the state and its
citizens does not mean that it is not allowed to provide human rights protections to foreigners.
Caveat - VOLUME 09/II, FEBRUARY 2010 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
In this month’s Main Article column, we examine the controversy currently surrounding the fundamental human rights of freedom of religion and freedom of expression. A recent application for constitutional review of the 1965
Blasphemy Law has re-invigorated the freedom of religion debate in Indonesia.
The Indonesia Constitution and domestic law on human rights guarantee freedom of religion and freedom of worship. Unfortunately, in practice, one cannot rely on this ‘guarantee’ to exercise the right to worship the religion of one’s choice. Those who have beliefs which are different to the mainstream religions may be labelled as deviant, or face physical abuse, as in the case of followers of Islamic sect, Ahmaddiya. This article critiques this gap between words and practice in relation to freedom of religion in Indonesia.
The Additional Feature in this month’s episode highlights the debate around the power of the Attorney General’s Office (AGO) to ban printed materials believed to have the potential to disrupt public order. In December last year, the AGO banned five books by a decree, igniting a debate on
freedom of expression. Author of banned book Enam Jalan Menuju Tuhan, Darmawan, filed an application for constitutional review with the Constitutional Court in February, on the grounds of violation of his right to freedom of expression. The government and supporters of the book
ban defend the actions of the AGO on the basis that freedom of expression and freedom to information are subject to limitation. Notwithstanding this, it is important to critically analyse whether the power to limit these rights is exercised in a manner compatible with the principles of human rights. We argue that, in accordance with the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), a degree of proportionate limitation on the exercise of
the right to freedom of expression and information in the name of public order is justifiable. However, even in such
circumstances, the power to ban books must be exercised in accordance with certain criteria; the exercise of power
should be a proportionate response to the threat, it should be exercised in accordance with a set of objective criteria and should be subject to review or appeal.
The final article is an opinion piece written by Ricky Gunawan which looks at the story of Rose, a drug user sentenced by Indonesian courts to rehabilitation. Rose
was asked to pay an amount of money for her rehabilitation even though Indonesia’s Narcotics Law clearly states that the state will pay the treatment costs of drug addicts
found guilty of drug offences under the Narcotics Law. Gunawan criticizes Indonesian’s legal system which is
unprepared to serve convicted drug users in need of rehabilitation.
Caveat - VOLUME 07/I, DECEMBER 2009 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
This year, Indonesia experienced an uncompromising state of affairs on human rights and bore witness to its own failing
rule of law. If these conditions further deteriorate, and the government fails to prevent such incidents, Indonesia risks
creating a state of anarchy, where the rule of law has collapsed and the enforcement of human rights is absent.
The country's failed legal reform has now been an issue for more than 10 years. Indonesia’s law apparatus, from the
National Police to the Attorney General's Office and the Supreme Court, have escaped the work of strategic and effective reforms.
In 2009, the National Police passed a decree regarding the implementation of human rights; yet torture and other violence continues. The reputation of the Attorney
General Office’s has failed to fully recover from its downfall in 2008 in which one of its high-ranking officials was imprisoned for corruption. Other senior AGO officials are
now accused of attempting to destroy the Corruption Eradication Commission (KPK). Meanwhile, the Supreme Court has not shown transparency in serving justice.
Ultimately, all three institutions have failed to exhibit integrity and transparency.
Ricky Gunawan’s opinion piece, "Indonesia’s Legal
System Biased and Unfair," corroborates this proposition.
Gunawan's opinion piece provides striking cases of a failed rule of law. He compares three cases in which ordinary people face legal procedures and one case in which a
powerful man is allegedly deceiving the law. He argues that, “Indonesia needs to reform and strengthen its legal system. Otherwise, the country will end up in pandemonium
where laws are only paper and human rights turn into human wrongs.”
Caveat - Volume April-May 2013 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
The process of law enforcement in Indonesia has had a bad record such as in the case of Sengkon and Karta. The two were accused of committing theft and murder of husbandandwife Sulaimans that took place in Bekasi in 1974. Bekasi District Court then sentenced Sengkon to 12 years of prison and Karta to 7 years.
Asia Catalyst – an NGO based in New York – held the 2013 Right to Health Advocacy Training in Bangkok. Asia Catalyst provides management and advocacy training to grassroots groups in Asia which are working to promote the right to health.
Once again, a child from a poor socioeconomic background has become trapped in illicit narcotic trafficking in Jakarta. In May 2013, a sixteen year old boy named Aldo (not his real name) appeared before the Central Jakarta District Court. Aldo was a student in Taman Siswa Senior High School when he was arrested by the police for his alleged involvement in drug trafficking.
Judicial corruption does not seem to pick and choose where it will occur. It can happen in big cities like Jakarta or a small city like Jember in the province of East Java. People may find it difficult to prove that judicial corruption exists, but one can feel that it is there.
Dokumentasi Pelanggaran Hak Tersangka Kasus NarkotikaLBH Masyarakat
Buku yang anda pegang sekarang memuat laporan dokumentasi yang telah LBH Masyarakat lakukan selama satu tahun sepanjang 2011. Hasil dokumentasi tersebut mengafirmasi cerita-cerita yang sebelumnya pernah
kami dengar. Nyaris semua tahanan kasus narkotika pernah mengalami pelanggaran HAM di tingkat penyidikan, baik upaya paksa yang dilakukan dengan sewenang-wenang oleh pihak kepolisian maupun penyiksaan
dan perlakuan buruk lainnya. Buku ini tidak berpretensi untuk menyajikan laporan penelitian kuantitatif melainkan lebih kepada pemaparan analisis kualitatif yang terefleksi dari hasil temuan tersebut.
Documentation on The Violation of The Rights of The SuspectLBH Masyarakat
The book you are holding now compiles a report of LBH Masyarakat documentation conducted over one year in 2011. The results of this documentation affirms the stories we have heard before. Nearly all detainees in narcotics cases have experienced some sort of human rights violation during investigative phase, including arbitrary enforcement measures, torture and other mistreatment by the police. This book does not pretend to present a quantitative study. Instead, it provides a more qualitative analysis reflected from the findings.
Law enforcement measures inevitably involve a contradiction: on the one hand they aim to create order by imposing certain restrictions on freedoms and liberties, while on the other hand they must honor liberties and freedoms of every individual that they limit. Humans inherently are endowed with rights, and when these rights are derogated from them, their humanity is undermined. A question then arises, in the event of a crime that poses a threat to public order what are we supposed to do with the perpetrators of the crime? Doing nothing will disrupt public order and will lead to a chaos that in turn will deny the human rights of other individuals. Law enforcement essentially involves some restrictions to the human rights of the perpetrators, but at the same time, the perpetrators of the crime are also humans endowed with rights that must be protected. This is exactly the critical point of the tension between these two opposite situations.
Jejak Langkah Menciptakan Pengacara RakyatLBH Masyarakat
Buku “Jejak Langkah Menciptakan Pengacara Rakyat” adalah kumpulan pengalaman para penyuluh hukum LBH Masyarakat dalam melakukan pemberdayaan hukum di empat komunitas. Empat komunitas itu adalah komunitas nelayan Kali Adem, komunitas remaja keluarga korban Tragedi Mei 1998 di Klender, komunitas pemakai dan mantan pemakai narkotika di Jakarta, dan komunitas remaja yang bersekolah di sekolah alternatif di Terminal Depok.
Catatan perjalanan yang para penyuluh tuliskan di buku ini tidak berintensi untuk menjadi sebuah panduan lengkap dalam melakukan aktivitas pemberdayaan hukum. Guratan tulisan dalam buku ini sesungguhnya bertujuan untuk berbagi cerita perjalanan yang para penyuluh alami dalam melakukan pemberdayaan hukum. Membaca torehan pengalaman para penyuluh hukum dalam buku ini bisa membuat Anda tertawa kecil, larut dalam haru, terbawa dalam kegeraman, dan bukan tidak mungkin menginspirasikan Anda untuk dapat berbuat lebih
dalam melakukan pemberdayaan hukum.
Buku Saku Mengenal UU Keterbukaan Informasi PublikLBH Masyarakat
Indonesia, beberapa waktu yang lalu telah mengesahkan
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik. Kehadiran undang-undang ini tentu layak mendapat apresiasi positif karena menjadi landasan hukum bagi setiap orang untuk hak atas informasi, sekalipun dalam beberapa hal, undang-undang ini memiliki keterbatasan.
Buku saku ini disusun sebagai upaya untuk mengenalkan undang-undang yang baru tersebut kepada Pendamping masyarakat dan aktivis Ornop. Diharapkan setelah membaca buku saku ini dapat memperoleh pemahaman yang mendasar mengenai undang-undang tersebut, sehingga dapat menggunakannya ketika diperlukan
terutama dalam kerja-kerja mendampingi masyarakat.
Buku berjudul Wajah Pemberdayaan Hukum Masyarakat ini hadir dengan maksud untuk memberi potret yang jelas untuk menggambarkan apa itu pemberdayaan hukum masyarakat ala LBH Masyarakat. Kami sadar betul bahwa rumusan dalam buku ini bukanlah rumus baku untuk menjalankan pemberdayaan hukum masyarakat. Penjabaran ide-ide dalam buku ini hendaknya diperlakukan sebagai uraian ramuan, yang peracikannya diserahkan kepada setiap pelaku pemberdayaan. Gagasan dalam buku ini juga memang sejak awal diposisikan sebagai living manifestos. Dia tidak kaku, fleksibel dan adaptif. Dia akan menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Mengingat masyarakat akan terus berubah, begitu pula halnya dengan pemberdayaan hukum. Kami juga sadar betul bahwa pemberdayaan hukum masyarakat akan ada banyak model. Oleh karena itulah, buku ini adalah satu dari sekian banyak referensi yang dapat Anda rujuk ketika hendak menjalankan pemberdayaan hukum.
Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 2, 2010 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
HdH diterbitkan dengan tujuan untuk menjadi sarana informasi, komunikasi dan dialog antar komunitas yang kini tengah diberdayakan oleh LBH Masyarakat. Publikasi ini hendak menyasar pembaca utamanya di lingkungan orang yang hidup dengan HIV/AIDS, pemakai narkotika, pekerja seks dan waria/transjender. Publikasi ini juga bertujuan untuk memicu diskusi di antara anggota komunitas-komunitas tersebut. Tentu inisiatif ini tidak lepas sebagai bentuk upaya untuk melengkapi pemberdayaan hukum masyarakat yang tengah kami lakukan di empat komunitas tersebut.
Caveat - Volume February-March 2013 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
The Indonesian Civil Society Coalition against the Death Penalty (HATI Coalition) condemns the recent execution of Adami Wilson by the Attorney General’s Office, on Thursday, 14 March 2013.
“All human beings are born free and equal”. Regardless of the reality, this is the value that underpins human rights. Human rights is about equality, about everybody having the same rights, and that the government has the obligation to protect, respect and fulfill it. But, what if there area group of people who,since early in their lives, are discriminated and seen as less of a human being, and then thrust into marginalization,unable to claim their rights? What role must the government play to protect the rights of these people?
Monday, 18 March 2013, the Central Jakarta District Court decided to send a child who uses drugs to receive rehabilitation in a government social rehabilitation for children. Vince (not his real name) was one of ten suspects who were involved in this case. The proceedings were relatively quick and should be appreciated as the judge handed down the rehabilitation verdict to the child instead of imprisonment and put priority on children rights throughout the process.
Caveat - Volume November 2012-January 2013 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
The Indonesian House of Representatives (DPR) has agreed to discuss the Draft of the Indonesian Criminal Code in its 2013 National Legislation Program (Prolegnas), together with other 69 Draft Laws. This, of course, is an encouraging development given that Indonesia has been trying for the longest time to enact its new Criminal Code. The current Indonesian Criminal Code is a legacy of the Dutch colonial
era. It is, therefore, essential to have an updated version of the Criminal Code to reflect modern development of criminal law as well as international human rights standards.
In 2006, it is estimated that 5,129 inmates in Indonesia are affected by HIV and AIDS, accounting for as much as 3% of the estimated total of people living with HIV and AIDS in the country. There is a growing concern of HIV transmission in prisons stemming from the relatively high percentage of AIDS-related deaths in prison. Although the overall mortality in prisons has decreased from 2007 to 2009, AIDS-related deaths have actually increased.
In its 2012 year end press release, the Indonesian National
Narcotic Board (BNN) stated that 71 drug offenders have
been sentenced to death in Indonesia. Twenty of them are
Indonesian nationals while the remaining 51 are foreigners.
One Indonesian national who was on death row for drug
offense is Meirika Franola or also known as Ola. President
Susilo Bambang Yudhoyono gave clemency to Ola in 2011 and commuted his sentence from death penalty to life sentence. The clemency given to Ola appears to be no longer valued when BNN exposed drug trafficking that dragged Ola again.
Caveat - Volume July-August 2012 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
The relationship between ethnic and religious groups in Indonesia is vulnerable to conflict and has often lead to violence. The intensity of conflicts that has lead violence in the past few years is alarming. Take, for example, the
brutal attacks on Ahmadiyah followers in Cikeusik, Banten province, in early 2011; persistent assaults against the HKBP Filadelfia church in Bekasi, West Java, this year; and also this year, aggressive harassment of Shi’ite followers in Madura, East Java. These are but a few cases of conflicts involving violence between groups in Indonesia. The question remains, however, were these violent conflicts caused or perhaps triggered because of the different group
identities involved? In other words, such question assumes that that the violence is driven by ethnic or religious identity.
Indonesia has been attempting to address drug issues in many ways, which apparently and regrettably, has been more of a failure rather than a success. The government seems to be somewhat confused as to how it should tackle this problem. The number of drug dependents has not decreased despite the punitive approaches and extensive campaigns that demonize people who use drugs.
The third article seeks to provide an overview of how Indonesian drug policies have failed to respect human rights of drug users. However, a detailed analysis of the problems is beyond the scope of this article. It will, therefore, only seek to evaluate fundamental issues of the policies. At the end of this article, it will offer some key recommendations to address the problems that emerged.
Caveat - Volume September-October 2012 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
The idea of reforming Indonesian criminal justice system by amending the current Criminal Procedure Code (KUHAP) has been in suspended animation for much of the last decade. The draft revision has not been enacted and the progress to pass the draft revision practically halted. At
this pace it may take another decade for the draft to be passed and one may even conclude that the government and the parliament seem to not want to pass it at all. This is at odds with their enthusiasm to hastily pass legislation of lesser importance as of late.
On 17 November 2011, the Indonesian government, together with the other nine governments of South East Asian countries, declared political commitments to achieve zero new HIV infection, zero discrimination, and zero AIDS-related deaths. The fact that HIV epidemic in this region
has affected more than 1.5 million people, and the concern that such epidemic may have negative consequences on the realization of an ASEAN Community, has led these ten countries to declare and renew their political commitment in achieving the ‘Getting to Zero’ goals.
In February 2012, the Community Legal Aid Institute (LBH Masyarakat) filed a right-to-information request to the National Narcotic Board (BNN) asking for copies of three of their regulations related with the investigation of drug offences. Those regulations are, Regulation of the Head of BNN number 3 of 2011 regarding the Technique of Controlled Delivery, Regulation of the Head of BNN number 4 of 2011 regarding the Technique of Undercover Purchase, and Regulation of the Head of BNN number 5 of 2011 regarding the Technique of Inquiry and Investigation of Drug Offences. However, in March 2012, BNN declined the request arguing that the regulations in question were exempted from the public information category. In April 2012, LBH Masyarakat filed an objection with regard to that decision.
Caveat - VOLUME 16/II, SEPTEMBER 2010 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
September has been a gloomy month for Indonesia, in terms of its history of law and human rights, since 1965. The killing of Munir in 2004, Semanggi II tragedy in 1999, Tanjung Priok tragedy in 1984, and 1965 Massacre all took place in September. All of these human rights abuses are left unresolved, leaving no justice for the victims and perpetrators are unpunished. Put simply: impunity reigns over law and human rights. In early September, when we had our editorial meeting to discuss the ideas for this month’s CAVEAT, all of us were agreed to raise the issue of impunity in those so‐called past human rights violations. One major incident then occurred and changed our editorial decision, however.
On 12 September 2010, morning, some Christians were walking from their houses towards to their church (HKBP) in Ciketing, Bekasi, West Java. First Brigadier Police (Briptu) Galih Setiawan was there to lead and secure the walkers. While they were walking, there were four unknown men in motorcycle approached Hasian Lumban Toruan Sihombing and stabbed him in stomach. Briptu Galih Setiawan then put Toruan Sihombing in the motorcycle helped by Priest Luspida Simanjuntak. When they were taking Toruan Sihombing to the nearest hospital, the perpetrators attacked Priest Luspida with a wooden block and she was injured in head, back, and forehad.
What worse was in this situation that President Susilo Bambang Yudhoyono did not step forward and appear in public to condemn such cowardice act. Two days before the incident, President himself gave a speech commenting on the plan of Koran burning by Pastor Terry Jones in the US. People at large were angered as President Yudhoyono voiced out his concern on issue that was far away but neglected such an important issue in his backyard.
Apart from that, as usual, we also put reportage from Asia. In addition, Ajeng Larasati one of our legal researcher write an opinion for this edition CAVEAT with regard to a case of our client in which had to serve imprisonment seven days extra. She argues that maladministration of the judiciary system in which the correctional facility should be held responsible – together with the court and prosecutor office, leads to human rights violation.
Caveat - VOLUME 14/II, JULY 2010 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
The attacks against the offices of Tempo magazine and anti-corruption activist Tama Satrya Langkun early this month dominates the coverage in this month’s CAVEAT.
The Main Report investigates the incidents and explores need for the Indonesian National Police Force to conduct institutional reform.
This month our Additional Feature examines the urgency to develop and pass specific laws for protection of human rights activists. The safety of human rights activists is not a problem faced only in Indonesia. In this edition’s Rights in Asia, our partner the Asian Human Rights Commission has brought to light the plight of human rights activists in the Philippines, Nepal and Pakistan.
In the Opinion column, Maeve Showell highlights the urgency for Indonesia to ratify the UN Refugee Convention as regional debate heats up in the lead up to the Australian election. As always, CAVEAT also updates you on the latest activities of LBH Masyarakat.
This month LBH Masyarakat participated in the XVIII International AIDS Conference in Vienna where Ricky Gunawan delivered his presentation titled “Legal Literacy in Indonesia: A Tool for Empowering Drug Users, Fishermen, and People Living with HIV to facilitate self-representation.” In other news comes from one of our employees, Ajeng Larasati, has just been named as a 2010 JusticeMakers Fellow which brought three volunteers of International Bridges to Justice (IBJ) came to LBH Masyarakat to assist LBH Masyarakat in running its program.
In addition to our regular columns, LBH Masyarakat had also interviewed Taufik Basari, one of the youngest and most promising human rights lawyers in Indonesia. In the middle of his busy schedule, he shared with us his views on youth and human rights for our Interview.
Caveat - VOLUME 13/II, JUNE 2010 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
This month’s CAVEAT Main Report highlights this issue and asks us to think more beyond the OPCAT ratification. It is noteworthy that OPCAT ratification is not the end of the line, it is only the means for a greater end: the prevention of torture in detention facilities in Indonesia. Thus, we need to start thinking now –while urging the government to ratify OPCAT- what kind of NPMs would be best to implement once the protocol has been signed.
Our featured article takes a look at Indonesia’s elite anti terror squads, and calls for greater training to ensure that the anti-terror fight does not step out of bounds of human rights.
In our Rights in Asia column we have updates on human rights situations in Nepal, Philippines, and South Korea.
In Reportage, you may find series of activities conducted by Indonesian Networks against Torture (JAPI) –which LBH Masyarakat is a member of, in commemorating the anti-torture day this year.
Still related to torture, our Opinion section has a succinct overview of torture in Indonesian in the form of the Statement of AHRC on practice of torture in Indonesia. The statement generally highlights key issues such as torture criminalization, revision on Indonesian Penal Code and Criminal Procedure Code, police reform, and OPCAT ratification.
Caveat - VOLUME 12/II, MAY 2010 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
In this month’s Main Report we bring you coverage on a current LBH Masyarakat case. Humphery Ejike, a Nigerian national has been sentenced to death by a South Jakarta District Court after being convicted as a drug dealer. However the court failed to fully prove Mr Ejike’s guilt, instead it is alleged that the charge was fabricated and the judges were influenced by the race of the accused, rather than the evidence presented to the court. Such judicial prejudice has not only violated the Bangalore Principles, which mandates judges to examine cases impartially and in spirit of equality but the case has also violated Mr Ejike’s basic human rights as guaranteed by the 1945 Constitution and Convention on All Forms of Racial Discrimination (CERD) which was ratified by Indonesia in 1999. In addition to being discriminated against because of his race, Jeff has also had his right to fair trial violated as he was not given access to legal counsel or an appropriate interpreting service. The Additional Feature on this edition of CAVEAT reports on the after math of May 1998 riots and reflects on the wounds that have yet to be healed on the 12th anniversary of the events. The article explores the lack of justice obtained by the government on behalf of the many victims despite the abolition of Suhartos New Order regime. “Building A Rights-Based Approach of HIV/AIDS Case and Policy Advocacy” in Jakarta. Yoseph Adi Prasetyo from the National Human Rights Commission and human rights lawyer Taufik Basari attended the workshop to deliver presentation on the issue of HIV/AIDS, human rights and legal advocacy. The complete report on this workshop may be found in this edition’s Reportage. Last but not least, the Opinion Piece is an open letter written by the Asian Human Rights Commission to the Chief of the Indonesian National Police regarding the shooting of five terrorist suspects in Cikampek and Cawang.
Caveat - VOLUME 11/II, APRIL 2010 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
The constitutional court has rejected a review on the ‘Blasphemy Law’, a prominent LGBT conference was cancelled amid community uproar and a large scale
riot in the North Jakarta area of Koja on April 14 dominated the news cycle.
In this months CAVEAT Main Report, we have analysed the Koja riot. Hundreds of victims were injured and three public order officers were killed, former Indonesian vice president, Jusuf Kalla, called the clashes the biggest riots since May 1998. The Koja riot – which was triggered by reports that the government intended to destroy the tomb of Mbah Priuk, a celebrated Islamic figure buried on state owned land - has increased the calls urging government to disband the infamous Public Order Agency (Satpol PP).
From a human rights perspective the violence committed by the Satpol PP meets the criteria of ‘cruel treatment’ as pointed out by Article 16 of the Convention against
Torture or Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment (CAT). Thus, any Satpol PP officers who committed such acts should be punished according to the law.
There is a debate, however, whether disbanding the Satpol PP is the best solution. The government is adamant that
the force is still needed to enforce regional regulations.
In the Additional Feature, we present you an article outlining the reasons behind the cancellation of the International Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender and Intersex Association (ILGA) conference which was scheduled to be held in Surabaya at the end of March. The cancellation shows a lack of respect for LGBT rights in Indonesia as well as the constitutional ‘right to assemble’.
Our Rights in Asia section updates you on human rights conditions in three other Asian countries; Thailand, India, and the Philippines. The hot political situation in Bangkok has resulted in the Thai government blocking access to certain websites, which reflects anti democracy policy in Thailand.
We will also update you with LBH Masyarakat’s current activities. In our Reportage section’ we tell you of our efforts
to obtain legal birth certificates for hundreds of Jembatan Besi residents. Together with our paralegals and volunteers, we conducted several activities to ensure this community is able to formally apply for birth certificates without the use
of a ‘scalper’ which had made the process too expensive for most residents in the past.
Finally, Ricky Gunawan’s article ‘Indonesia’s Pluralism in Peril’ explores the lack of tolerance of pluralism in Indonesia following the constitutional review of the
‘Blasphemy Law’ as well as the cancellation of the ILGA conference. Ricky Gunawan argues that despite Indonesia’s pride for its multicultural heritage the fact is that
‘diversity is negated and human rights are diluted by fundamentalists.’
Caveat - VOLUME 10/II, MARCH 2010 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
The practice of framing not only violates a persons right to liberty and security because the victims are arrested, detained, and sentenced on unreasonable grounds,
but framing also violates a persons right not to be tortured. Framing victims have stated they had no choice but to admit to crimes that they did not commit after being
tortured. Despite the clear severity of framing crimes, framing unfortunately is not categorized as a human rights violation or even a crime in Indonesia. It’s seen as
merely a violation of the police code of conduct and thus perpetrators are not punished properly. The absence of proper punishment for framing is aggravated by the
fact that both internal and external monitoring mechanisms of the police institution are very weak. The phenomenon
of framing has stressed the need for reformation in the police institution.
Similarly our additional feature in this CAVEAT also calls for police reform. The article tells of the confession of Susno
Duadji -former National Police Head of Criminal Investigators- stating that a number of high ranking officers were involved corrupt activities during the investigation of an IDR 25 billion (US$ 2,75 millions) tax case. Susno’s confession has polarized public opinion. His supporters see
Susno’s comments as a strong sign for reformation within police institution whereas detractors claim him to be
unethical and manipulative. Either way it is clear that reform is needed to halt the rampant corruption from within the Polri.
We’re happy to inform you that we have started our new programme in conducting law and human rights education for people living with HIV/AIDS (PLHAs). Supported by the International Development Law Organization (IDLO), we have initiated our programme to empower more communities including Injection Drug Users (IDU), sex
workers, and lesbian, gay, bisexual, transgender (LGBT) communities. Besides starting our new programme, we are
continuing our current activities including our cooperation with the Voice of Human Rights (VHR) in broadcasting a law and human rights consultation radio show regularly. You can find more details about our activities in Reportage.
This month’s Rights in Asia report brings you human rights issues from three Asian countries: India, Sri Lanka, and Pakistan.
Last but not least, the opinion piece ‘Protecting Foreigners’ Rights in Indonesia’ written by Answer C. Styannes explores the provision in Constitutional Court Law which
enables foreigners to lodge a constitutional review to Constitutional Court. Styannes argues that the fact that the constitution is a social contract between the state and its
citizens does not mean that it is not allowed to provide human rights protections to foreigners.
Caveat - VOLUME 09/II, FEBRUARY 2010 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
In this month’s Main Article column, we examine the controversy currently surrounding the fundamental human rights of freedom of religion and freedom of expression. A recent application for constitutional review of the 1965
Blasphemy Law has re-invigorated the freedom of religion debate in Indonesia.
The Indonesia Constitution and domestic law on human rights guarantee freedom of religion and freedom of worship. Unfortunately, in practice, one cannot rely on this ‘guarantee’ to exercise the right to worship the religion of one’s choice. Those who have beliefs which are different to the mainstream religions may be labelled as deviant, or face physical abuse, as in the case of followers of Islamic sect, Ahmaddiya. This article critiques this gap between words and practice in relation to freedom of religion in Indonesia.
The Additional Feature in this month’s episode highlights the debate around the power of the Attorney General’s Office (AGO) to ban printed materials believed to have the potential to disrupt public order. In December last year, the AGO banned five books by a decree, igniting a debate on
freedom of expression. Author of banned book Enam Jalan Menuju Tuhan, Darmawan, filed an application for constitutional review with the Constitutional Court in February, on the grounds of violation of his right to freedom of expression. The government and supporters of the book
ban defend the actions of the AGO on the basis that freedom of expression and freedom to information are subject to limitation. Notwithstanding this, it is important to critically analyse whether the power to limit these rights is exercised in a manner compatible with the principles of human rights. We argue that, in accordance with the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), a degree of proportionate limitation on the exercise of
the right to freedom of expression and information in the name of public order is justifiable. However, even in such
circumstances, the power to ban books must be exercised in accordance with certain criteria; the exercise of power
should be a proportionate response to the threat, it should be exercised in accordance with a set of objective criteria and should be subject to review or appeal.
The final article is an opinion piece written by Ricky Gunawan which looks at the story of Rose, a drug user sentenced by Indonesian courts to rehabilitation. Rose
was asked to pay an amount of money for her rehabilitation even though Indonesia’s Narcotics Law clearly states that the state will pay the treatment costs of drug addicts
found guilty of drug offences under the Narcotics Law. Gunawan criticizes Indonesian’s legal system which is
unprepared to serve convicted drug users in need of rehabilitation.
Caveat - VOLUME 07/I, DECEMBER 2009 - LBH MasyarakatLBH Masyarakat
This year, Indonesia experienced an uncompromising state of affairs on human rights and bore witness to its own failing
rule of law. If these conditions further deteriorate, and the government fails to prevent such incidents, Indonesia risks
creating a state of anarchy, where the rule of law has collapsed and the enforcement of human rights is absent.
The country's failed legal reform has now been an issue for more than 10 years. Indonesia’s law apparatus, from the
National Police to the Attorney General's Office and the Supreme Court, have escaped the work of strategic and effective reforms.
In 2009, the National Police passed a decree regarding the implementation of human rights; yet torture and other violence continues. The reputation of the Attorney
General Office’s has failed to fully recover from its downfall in 2008 in which one of its high-ranking officials was imprisoned for corruption. Other senior AGO officials are
now accused of attempting to destroy the Corruption Eradication Commission (KPK). Meanwhile, the Supreme Court has not shown transparency in serving justice.
Ultimately, all three institutions have failed to exhibit integrity and transparency.
Ricky Gunawan’s opinion piece, "Indonesia’s Legal
System Biased and Unfair," corroborates this proposition.
Gunawan's opinion piece provides striking cases of a failed rule of law. He compares three cases in which ordinary people face legal procedures and one case in which a
powerful man is allegedly deceiving the law. He argues that, “Indonesia needs to reform and strengthen its legal system. Otherwise, the country will end up in pandemonium
where laws are only paper and human rights turn into human wrongs.”
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondelferrydmn1999
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan tradisi, memiliki Jakarta sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan unik. Salah satu kesenian tradisional yang ikonik dan identik dengan Jakarta adalah ondel-ondel, boneka raksasa yang biasanya tampil berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ondel-ondel awalnya dianggap sebagai simbol budaya sakral dan memainkan peran penting dalam ritual budaya masyarakat Betawi untuk menolak bala atau nasib buruk. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, makna sakral ondel-ondel perlahan memudar dan berubah menjadi sesuatu yang kurang bernilai. Kini, ondel-ondel lebih sering digunakan sebagai hiasan atau sebagai sarana untuk mencari penghasilan. Buku foto Lensa Kampung Ondel-Ondel berfokus pada Keluarga Mulyadi, yang menghadapi tantangan untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel warisan leluhur di tengah keterbatasan ekonomi yang ada. Melalui foto cerita, foto feature dan foto jurnalistik buku ini menggambarkan usaha Keluarga Mulyadi untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel sambil menghadapi dilema dalam mempertahankan makna budaya di tengah perubahan makna dan keterbatasan ekonomi keluarganya. Buku foto ini dapat menggambarkan tentang bagaimana keluarga tersebut berjuang untuk menjaga warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.
Modul Projek - Modul P5 Kearifan Lokal _Menampilkan Tarian Daerah Nusantara_...
Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 3, 2010 - LBH Masyarakat
1. HdH
hak asasi manusia dan hiv
Edisi: Nomor 03, September 2010
Kabar Komunitas
Mengupas kegiatan yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat di empat komunitas yang
tengah diberdayakan yakni di komunitas Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), pemakai narkotika, pekerja seks,
dan wanita-pria.
Mengedepankan Musyawarah dalam Penyelesaian Kasus
Bersama dalam Susah, Bersama dalam Senang
Solidaritas Sebagai Potensi
Pelajaran dari Mandeknya Kasus Blora
Mari Bicara Hukum dan HAM
Beberapa anggota komunitas telah memahami apa yang dimaksud dengan HAM, namun tidak sedikit pula
yang sering kurang tepat mengerti apa itu HAM. Dalam kolom ini, kita akan mencoba memahami HAM secara
sangat ringkas.
Suara Komunitas
Hari Raya Idul Fitri jatuh di bulan September tahun ini. Dalam Suara Komunitas, LBH Masyarakat mencari tahu
apa sebenarnya makna Lebaran bagi teman-teman komunitas. Temukan pendapat mereka, dan bagaimana
dengan pandangan kamu tentang makna Lebaran?
2. HdH | 1
Daftar Isi
Dari Meja Redaksi
Kabar Komunitas
Mengedepankan Musyawarah dalam Penyelesaian Kasus
Bersama dalam Susah, Bersama dalam Senang
Solidaritas Sebagai Potensi
Pelajaran dari Mandeknya Kasus Blora
Mari Bicara Hukum dan HAM
Suara Komunitas
Galeria
1
2
2
3
4
6
8
9
10
Yang terhormat pembaca budiman,
September bagi umat Muslim di seluruh dunia, termasuk di Indonesia adalah bulan yang suci mengingat Hari Raya Idul
Fitri jatuh di bulan September. Walaupun sudah berlalu cukup lama, tidak ada salahnya kami mengucapkan Selamat Hari
Raya Lebaran bagi teman-teman yang merayakan. Mohon maaf lahir dan batin.
Lebaran di Indonesia tahun ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, selalu dirayakan dengan meriah. Kemeriahan ini bukan
hanya dinikmati oleh teman-teman Muslim tetapi juga non-Muslim. Ucapan selamat dari non-Muslim kepada Muslim
bukan hal yang aneh. Sajian ketupat dan opor ayam dari Muslim kepada non-Muslim juga sebuah pemandangan yang
sudah biasa. Menikmati Lebaran dalam suasana kebersamaan dan keberagaman tentu menjadi satu hal yang istimewa.
Apalagi, dalam suasana penuh kemeriahan itu semua orang tidak perlu khawatir kekurangan makanan dalam acara
silaturahim karena pasti akan selalu tersaji. Ada lelucon yang selalu muncul setiap kali Lebaran. Berat badan yang turun
akibat sebulan penuh berpuasa langsung ditebus dengan dua hari Lebaran dengan makan makanan daging dan
bersantan. Dalam suasana puasa dan Lebaran itulah kami menurunkan beberapa artikel yang bercerita seputar puasa.
Termasuk pertanyaan dalam Suara Komunitas yang kami ajukan adalah mengenai makna Lebaran bagi teman-teman
komunitas.
HdH edisi kedua juga menurunkan tulisan yang sangat singkat seputar hak asasi manusia (HAM). Hal ini dilakukan agar
teman-teman komunitas yang tadinya belum memahami apa itu HAM bisa memiliki pemahaman yang lebih tepat soal
HAM. Tulisan ini memang sengaja kami sampaikan dengan sangat singkat karena tidak bertujuan untuk memberi
penjelasan panjang lebar. Berbekal tulisan di edisi kali ini, maka dalam edisi berikutnya kami akan menurunkan tulisan
mengenai hubungan antara HAM dan HIV/AIDS. Akhir kata, selamat membaca. Semoga informasi yang kami sampaikan
dalam HdH senantiasa bermanfaat bagi para pembaca.
Terima kasih, dan salam hangat
Dari Meja Redaksi
Dewan Redaksi: Ricky Gunawan, Dhoho A. Sastro, Andri G.
Wibisana, Ajeng Larasati, Alex Argo Hernowo, Answer C.
Styannes, Pebri Rosmalina, Antonius Badar, Feri Sahputra,
Grandy Nadeak, Vina Fardhofa, dan Magdalena Blegur
Keuangan dan Sirkulasi: Rizky Halida dan Zaki Wildan
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat
Tebet Timur Dalam III B No. 10, Jakarta 12820
Telp. 021 830 54 50
Faks. 021 829 80 67
Email. contact@lbhmasyarakat.org
Website. http://www.lbhmasyarakat.org
HdH diterbitkan oleh Lembaga Bantuan Hukum
Masyarakat (LBH Masyarakat) dengan dukungan oleh
International Development Law Organization (IDLO) dan
OPEF Funds for International Development (OFID).
3. HdH | 2
Kabar Komunitas
Mengedepankan Musyawarah dalam Penyelesaian Kasus
Ibu Santi (bukan nama sebenarnya) wanita berusia 25 tahun asal Samarinda, Kalimantan Timur, bekerja di lembaga
sosial yang bergerak di bidang rehabilitasi sosial. Ia mengidap HIV melalui suaminya yang meninggal pada tahun 2005.
Dari pernikahannya tersebut mereka dikaruniai seorang putra sebut saja Junior. Hasil tes rumah sakit menunjukan
bahwa Junior negatif HIV. Sejak kelahirannya tahun 2005 Junior diasuh oleh Santi dan tinggal di rumah mertuanya di
Jakarta. Beberapa tahun kemudian Santi merasa ingin mandiri dan pulang ke Samarinda untuk membesarkan Junior di
sana. Akhirnya, pada tahun 2009 Santi dan Junior pulang ke Samarinda.
Santi yang hidup dalam keluarga sederhana pada saat itu belum bekerja sehingga dalam merawat Junior pun ia lakukan
dengan secukupnya. Mendengar hal seperti itu mertua Santi merasa tidak tega apabila cucunya hidup dalam
kekurangan. Mertuanya pun menawarkan kembali ke Jakarta dan merawat Junior, atas pertimbangan perawatan yang
memadai yang diberikan oleh mertuanya Santi pun akhirnya mau kembali ke Jakarta bersama Junior. Namun setelah
beberapa bulan, Santi kembali merasa tidak betah dan ingin hidup mandiri. Ia tidak mau merepotkan mertuanya terus
menerus. “Tidak enak rasanya merepotkan mertua saya melulu. Saya kan juga ingin bisa hidup mandiri bersama anak
saya,” kenang Santi ketika menceritakan pengalamannya itu kepada LBH Masyarakat. Lalu ia pun menyampaikan
keinginannya untuk pulang ke Samarinda dan membawa Junior kembali ke sana, tapi mertuanya tidak mengijinkan
Santi kembali ke Samarinda dengan membawa Junior. Santi pun berbesar hati dengan membiarkan Junior terlebih
dahulu tinggal di rumah mertuanya atas pertimbangan bahwa di Jakarta Junior mendapatkan pelayanan yang baik yang
diberikan oleh mertuanya. Santi pun akhirnya kembali ke Samarinda tanpa Junior.
Di Samarinda, Santi bekerja keras mencari pekerjaan untuk dapat menafkahi dia dan anaknya nanti. Akhirnya, kerja
kerasnya pun tidak sia-sia, ia mendapatkan pekerjaan di sebuah lembaga sosial yang bergerak di bidang rehabilitasi
sosial. Hari demi hari ia lalui tanpa Junior sang buah hatinya. Ia hanya bisa menghubungi Junior melalui handphone.
“Bagaimanapun akan jauh lebih baik kalau saya bisa ngobrol langsung dengan anak saya. Kalau bisa meluk dia kan,
gimana sih pak rasanya. Namanya ibu sama anak, masak cuma bisa ngobrol lewat HP sih,” ungkap Santi kepada LBH
Masyarakat.
Merasa telah bekerja dan cukup untuk menafkahi Junior dia berniat untuk
menjemput Junior di rumah mertuanya di Jakarta. Namun sayang, mertuanya
menolak keinginan Santi. Mertuanya merasa Junior sudah mendapatkan
perlakuan yang baik di sini dan khawatir jika nanti Junior di sana siapa yang
akan mengurus cucunya karena Santi bekerja. Pada awalnya Santi cukup
memahami apa yang dikhawatirkan oleh mertuanya tersebut. Namun karena
naluri seorang ibu yang sulit melepas darah dagingnya sendiri, ia bertekad
untuk berusaha semaskimal mungkin untuk dapat membahagiakan Junior dan
menghidupinya dengan layak. Ia pun kembali menyampaikan keinginannya
tersebut kepada mertuanya. Tapi, lagi-lagi ia harus kecewa dengan sikap mertuanya yang menolak permintaan Santi.
Santi menceritakan kisahnya tersebut kepada temannya, Dina (bukan nama sebenarnya), yang berada di Jakarta, dan ia
mendapatkan informasi keberadaan LBH Masyarakat yang mungkin dapat membantu penyelesaian kasus tersebut. Dina
bekerja di Yayasan Pelita Ilmu (YPI) yang memang bergerak di bidang HIV/AIDS dan sudah mengenal Santi sejak
beberapa waktu yang lalu. Dina dapat merujuk Santi ke LBH Masyarakat karena LBH Masyarakat secara rutin
mengadakan penyuluhan hukum di YPI selama sebulan sekali. Penyuluhan tersebut dilakukan setiap Rabu minggu ketiga
tiap bulannya di YPI.
“Bagaimanapun akan jauh lebih baik
kalau saya bisa ngobrol langsung
dengan anak saya. Kalau bisa meluk
dia kan, gimana sih pak rasanya.
Namanya ibu sama anak, masak cuma
bisa ngobrol lewat HP sih,” ungkap
Santi kepada LBH Masyarakat.
Santi pun akhirnya datang ke LBH Masyarakat untuk meminta bantuan hukum kepada LBH Masyarakat. Merasa hakhaknya sebagai ibu dirampas oleh mertuanya, ia laporkan kejadian tersebut kepada LBH Masyarakat. Sejak awal LBH
Masyarakat yakin bahwa masalah ini dapat diselesaikan melalui mediasi dan tanpa diselesaikan melalui jalur hukum.
Tidak ada persoalan hukum yang rumit dalam kasus ini. “Kami memandang bahwa persoalan ini sebenarnya bisa saja
diselesaikan secara musyawarah, secara kekeluargaan,” kata Alex Argo Hernowo, Asisten Manajer Bantuan Hukum dan
HAM LBH Masyarakat dengan didampingi oleh Magda Blegur, Staf Peneliti Hukum LBH Masyarakat, ketika menerima
Santi.
4. HdH | 3
Tidak lama setelah Santi menceritakan kasusnya itu, LBH Masyarakat yang diwakili oleh Magda akhirnya bertemu
dengan ibu mertua Santi dan membicarakan keinginan dan kepentingan dari kedua belah pihak. Magda mencoba
menyampaikan maksud dan tujuan dari LBH Masyarakat sebagai lembaga non-profit yang memberikan bantuan hukum
kepada kelompok rentan yang menghadapai masalah hukum. Sayang pada kesempatan pertama mediasi, tanggapan
dari mertua Santi tidak cukup baik. Mereka menolak untuk melakukan mediasi sehingga tidak ada hasil dari mediasi
tersebut. LBH Masyarakat dan Santi tidak menyerah untuk menuntut hak-haknya.
Akhirnya pertemuan kedua kembali diadakan. Kali kedua ini Santi kembali
ditemani oleh LBH Masyarakat yang diwakili oleh Alex dan Magda. LBH
Masyarakat kembali menyampaikan apa yang hendaknya menjadi tujuan dan
kepentingan bersama (yang tidak lain adalah kepentingan terbaik bagi Junior).
Sementara Santi bertemu dengan mertuanya meminta klarifikasi atas kasus yang
terjadi. Pada pertemuan kedua ini LBH Masyarakat memandang bahwa dari pihak
mertua Santi telah menunjukkan respon yang baik dan melihat bahwa secara
prinsipiil keduanya telah mencapai titik temu. Oleh karena Santi dan mertuanya
sepakat untuk menyelesaiakan masalah dengan kekeluargaan, LBH Masyarakat
kemudian mundur dan tidak ikut campur atas kesepakatan damai mengingat tidak
ada persoalan yang mendasar yang perlu diperdebatkan lagi. “Kami menyerahkan
hal-hal teknis kesepakatan keduabelah pihak kepada masing-masing saja.
Prinsipnya dua-duanya sepakat bahwa kepentingan Junior harus diletakkan di atas
segalanya,” ujar Magda kepada Santi dan mertuanya di kesempatan kedua
tersebut.
Pada akhirnya memang bahwa
setiap konflik atau masalah tidak
selalu harus diselesakan melalui
jalur hukum. Penyelesaian melalui
media musyawarah jauh memiliki
dampak yang baik bagi para pihak.
Tidak ada yang menang, pun tidak
ada yang merasa kalah. Proses
penyelesaian yang cepat serta
biaya yang tidak mahal juga
menjadi keuntungan bagi para
pihak yang mempunyai persoalan
hukum tersebut.
Keputusan bersama telah dicapai. Santi akhirnya berbesar hati untuk sementara merelakan anaknya Junior diasuh oleh
mertuanya karena pertimbangan demi kepentingan masa depan Junior. Atas kerelaannya tersebut mertua Santi
bersedia memberikan fasilitas biaya transportasi kepada Santi apabila ia ingin menjenguk Junior di Jakarta. Pada
akhirnya memang bahwa setiap konflik atau masalah tidak selalu harus diselesakan melalui jalur hukum. Penyelesaian
melalui media musyawarah jauh memiliki dampak yang baik bagi para pihak. Tidak ada yang menang, pun tidak ada
yang merasa kalah. Proses penyelesaian yang cepat serta biaya yang tidak mahal juga menjadi keuntungan bagi para
pihak yang mempunyai persoalan hukum tersebut. (AAH).
Bersama dalam Susah, Bersama dalam Senang
Banyak acara-acara yang mengusung kebersamaan dan berbagi yang dilakukan selama bulan puasa. Sebut saja sahur on
the road, buka puasa bersama, atau acara-acara amal lainnya yang diselenggarakan bersamaan dengan momen berbuka
puasa bersama. Kesemuanya dilakukan juga untuk menjalin silaturahim di antara pihak-pihak tersebut. Hal ini pula yang
ingin dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat), menjalin silaturahim sekaligus berbagi
dalam kebersamaan. Oleh karena itu, LBH Masyarakat mengadakan acara berbuka puasa bersama beberapa temanteman LBH Masyarakat, di antaranya adalah komunitas waria di Blora, Jakarta Pusat.
Acara buka puasa tersebut diadakan pada tanggal 25 Agustus 2010, bertempat di komunitas Blora. Perwakilan dari LBH
Masyarakat hadir dengan membawakan makanan berbuka puasa seperti bihun goreng dan martabak mini. Tak lupa juga
minuman teh berkemasan kotak. Beberapa teman-teman di komunitas Blora sudah duduk dan berkumpul saat LBH
Masyarakat datang. Mereka membantu merapikan dan menata makanan tersebut. Tak lama kemudian, Joyce, atau yang
lebih dikenal dengan Bunda Joyce bergabung dengan mereka. Bunda Joyce merupakan orang yang dituakan di
komunitas Blora. Sekedar informasi, komunitas Blora adalah komunitas transgender yang tinggal di sebuah rumah koskosan bersama di daerah Blora. Bunda Joyce inilah yang menjadi pemimpin di komunitas tersebut.
Waktu menunjukkan pukul 17.30 saat kami semua memulai obrolan santai. Sambil menunggu adzan magrib kami
banyak berdiskusi mengenai paralegal komunitas yang selama ini dikembangkan oleh LBH Masyarakat. Banyaknya
pertanyaan seputar paralegal karena LBH Masyarakat menawarkan teman-teman di komunitas Blora untuk menjadi
paralegal komunitas. Proses tersebut tentunya diawali dengan melakukan penyuluhan yang lebih intensif selama
beberapa bulan ke depan di komunitas Blora. LBH Masyarakat menjelaskan kepada mereka mengenai tugas dan
tanggung jawab paralegal. Pertanyaan dari mereka pun bermunculan seperti misalnya apa saja kualifikasi menjadi
5. HdH | 4
paralegal. “Kalo mau jadi paralegal syaratnya apa ya?,” tanya salah seorang waria kepada kami. “Susah ga ya jadi
paralegal? Maksudku itu akan seberapa repot sih?”, tanya waria lainnya. Saat adzan berkumandang, doa buka puasa
pun diucapkan oleh masing-masing orang. Makanan buka puasa pun segera disantap. Walaupun hanya sekedar bihun
goreng, martabak mini, serta the manis kemasan kotak, terlihat wajah-wajah puas dari mereka karena telah berhasil
menyelesaikan puasa di hari itu.
Saat adzan berkumandang,
doa buka puasa pun
diucapkan oleh masingmasing orang. Makanan
buka puasa pun segera
disantap. Walaupun hanya
sekedar
bihun
goreng,
martabak mini, serta the
manis
kemasan
kotak,
terlihat wajah-wajah puas
dari mereka karena telah
berhasil
menyelesaikan
puasa di hari itu.
Sambil menikati santap buka, Bunda Joyce bercerita tentang pengalaman mereka
berlibur bersama ke daerah Subang yang terletak di Jawa Barat. Liburan tersebut
dilakukan sekaligus mengunjungi saudara dari Bunda Joyce yang sedang mengadakan
acara syukuran. Cerita Bunda juga sesekali ditambahkan oleh Thalia, Boru, dan tementeman komunitas lain. Mereka menyewa sebuah mobil menuju ke Subang, dan
sekembalinya dari acara syukuran tersebut, mereka menghampiri setiap tempat wisata
yang ada disekitar, termasuk pemandian air panas di Ciater. “Seru banget kak waktu kita
ke Ciater gitu. Apalagi rame-rame, suasana kebersamaannya kerasa banget,” ujar
Thalia.
Dari cerita tersebut, tergambarkan dengan jelas kebersamaan mereka. Perjalanan
berjam-jam tersebut terdengar sangat menyenangkan karena selalu diselingi dengan
cerita yang menarik dan penuh dengan canda tawa. Kebersamaan inilah yang selama ini
telah disadari oleh LBH Masyarakat sebagai salah satu kekuatan dari komunitas Blora.
Kebersamaan dan solidaritas yang tinggi antar sesama penghuni komunitas ini menjadi potensi tersendiri dari mereka,
di mana tidak banyak komunitas lain memilikinya. Hal ini dikarenakan pada saat melaksanakan pekerjaan mereka, tidak
jarang mereka harus bersaing satu sama lain.
Kebersamaan dan solidaritas yang terjalin antara mereka tidak hanya terlihat saat keadaan yang menyenangkan, tetapi
juga saat terjadi permasalahan di antara mereka. Walaupun mereka bersaing dalam pekerjaan, namun jika ada teman
sekomunitasnya yang mendapatkan masalah, mereka memperlihatkan simpati terhadap teman tersebut. Lebih jauh
lagi, bagi beberapa orang, simpati ini kemudian tertuang dalam tindakan nyata untuk membantu temannya tersebut.
Hal ini terlihat pada saat Boru dan beberapa teman lain mengalami penganiayaan dari orang yang tidak dikenal. Thalia,
yang juga merupakan peer educator HIV/AIDS, tidak ragu untuk meluangkan waktunya untuk menemani temantemannya membuat laporan polisi dan melakukan visum di rumah sakit.
Sesuai dengan nilai-nilai pemberdayaan hukum masyarakat yang melekat dengan LBH
Masyarakat, potensi-potensi yang ada di komunitas Blora ini begitu sayang untuk tidak
dikembangkan atau diperkuat. LBH Masyarakat melihat apabila potensi ini lebih
dikembangkan lagi, akan ada banyak manfaat untuk komunitas itu sendiri. Salah satu
bentuk pengembangannya adalah dengan menjadikan mereka yang memiliki nilai
kebersamaan dan solidaritas untuk menjadi paralegal komunitas. Dengan begitu, saat
ada permasalahan hukum yang terjadi di komunitas mereka, ada seseorang yang
dapat memberikan apa yang kami sebut sebagai pertolongan pertama pada kasus
(P3K). Apalagi, pekerjaan sebagai pekerja seks membuat mereka menjadi komunitas
yang rentan terhadap permasalahan hukum.
Selain kebersamaan dan solidaritas, sebenarnya masih banyak nilai positif yang dapat
diambil dari komunitas ini. Keterbukaan mereka, kedisiplinan, dan ketangguhan
mereka dalam menjalani kehidupan diantaranya. Semua hal tersebut merupakan
potensi yang sangat berharga guna membantu mereka mencapai bentuk terbaik yang
mereka inginkan sebagai sebuah komunitas. (AL).
Salah
satu
bentuk
pengembangannya adalah
dengan menjadikan mereka
yang
memiliki
nilai
kebersamaan dan solidaritas
untuk menjadi paralegal
komunitas. Dengan begitu,
saat ada permasalahan
hukum yang terjadi di
komunitas mereka, ada
seseorang
yang
dapat
memberikan apa yang kami
sebut sebagai pertolongan
pertama pada kasus (P3K).
Solidaritas Sebagai Potensi
Napza kependekan dari Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif, biasa dikenal dengan istilah Narkoba (Narkotika dan
obat-obatan terlarang). Ketika kita mendengar kata itu, maka yang pertama kali terbersit dalam benak kita adalah
sesuatu yang tidak baik, menakutkan, harus segera dijauhkan, bahkan kalau perlu harus segera dimusnahkan.
“Narkotika adalah barang haram,” begitulah ungkapan yang sering kita dengar. Demikian juga halnya ketika kita
6. HdH | 5
mendengar seorang penyalahguna narkotika, maka hal pertama yang terpikirkan adalah dia bukan orang baik, harus
dikucilkan, orang yang tidak punya masa depan, pendosa, dan lain sebagainya. Pola pikir seperti itu berangkat dari
ideologi tertentu atau pendekatan moral. Pola pikir seperti itu jelas bukan pola pikir yang benar. Bicara narkotika maka
erat kaitannya dengan kesehatan. Pemakaian narkotika oleh karena itu harusnya dilihat dalam konteks
penyalahgunaan narkotika. Ada tindakan yang meyalahgunakan narkotika. Yang seharusnya untuk kepentingan medis
malah untuk kepentingan kesenangan pribadi. Pemakai narkotika oleh karenanya harus dilihat sebagai pasien yang
membutuhkan pemulihan dari ketergantungannya. Dalam konteks inilah pemakai narkotika sering disebut sebagai
‘korban’ oleh komunitas pemakai narkotika yang gigih memperjuangkan hak-hak pemakai narkotika yang sering
dilanggar.
Pemakai
narkotika
oleh
karenanya harus dilihat sebagai
pasien
yang
membutuhkan
pemulihan
dari
ketergantungannya.
Dalam
konteks inilah pemakai narkotika
sering disebut sebagai ‘korban’
oleh
komunitas
pemakai
narkotika
yang
gigih
memperjuangkan
hak-hak
pemakai narkotika yang sering
dilanggar.
Tindakan yang dilakukan para pemakai atau pecandu dengan menyalahgunakan
narkotika memang tindakan yang keliru. Namun, sekalipun mereka melakukan
tindakan yang dipandang negatif oleh masyarakat tentunya ada hal-hal positif
yang dapat dibangun dan dikembangkan dari dalam diri mereka. Banyak potensi
mereka yang sebenarnya dapat digali, tetapi tidak sedikit dari mereka yang tidak
menyadari akan hal itu. Sedikit yang menyadari bahwa mereka memiliki potensi
untuk dikembangkan. Memang, sangat sulit untuk mengembangkan potensi diri
seseorang yang kepercayaan dirinya rendah karena telah begitu sering
mengalami stigma dan diskriminasi. Tidak mudah untuk membangun semangat
dan antusiasme pemakai narkotika yang sulit untuk percaya dengan orang
baru/luar. Tapi bukan berarti tidak mungkin untuk mengembangkan potensi
mereka.
LBH Masyarakat yang telah sejak awal kelahirannya bergelut dengan pemberdayaan komunitas pemakai narkotika
melihat potensi luar biasa dari para pemakai. “Pecandu itu orangnya pinter-pinter loh,” begitu yang sering kami dengar
ketika melakukan penyuluhan. Banyak pemakai narkotika yang punya kemampuan di bidang seni seperti misalnya
bermusik. Salah satu paralegal LBH Masyarakat, Bambang Sutrisno akrab dipanggil Beng-beng, mantan pemakai
narkotika, memiliki kemampuan di bidang menggambar. Beberapa gambar dalam publikasi LBH Masyarakat banyak
menggunakan hasil karya Beng-beng. Ini adalah salah satu contoh bahwa pemakai narkotika bukanlah ‘sampah
masyarakat’ tetapi seperti mutiara yang terpendam.
Solidaritas, juga menjadi salah satu potensi komunitas pemakai narkotika. Solidaritas sesama pemakai narkotika
tumbuh karena lazimnya pemakai narkotika akan lebih percaya sesama mereka daripada dengan orang baru. Sesama
pemakai narkotika pun memiliki rasa senasib sepenanggungan. Pedihnya stigma dan sakitnya diskriminasi tidak akan
bisa dirasakan oleh orang lain selain mereka. Dengan adanya rasa solidaritas yang kuat itulah diharapkan satu sama
lainnya dapat membangkitkan rasa kepercayaan diri anggota komunitas. Kepercayaan diri yang tinggi, perlahan tapi
pasti, akan membantu mereka untuk mengatasi persoalan hukum yang tidak jarang mereka hadapi. Solidaritas yang
tumbuh dan berkembang dalam komunitas akan memudahkan pengorganisiran komunitas. Sebagai kelompok rentan,
mereka sudah seyogyanya saling bahu membahu membantu temannya yang mengalami stigma dan diskriminasi.
Keberadaan kelompok yang terorganisir dengan sendirinya akan memudahkan mereka untuk bersatu
memperjuangkan hak mereka.
Saat ini sudah banyak komunitas-komunitas kecil pemakai narkotika yang sudah
terbentuk. Basis kelompok-kelompok itu bermacam-macam. Komunitas Gambir dan
komunitas Jati Negara misalnya berbasis pada layanan metadon di puskesmas di
wilayah tersebut. Adapula komunitas yang berbasis berdasarkan wilayah jangkauan
dari LSM-LSM harm reduction, dan masih banyak lagi. Komunitas-komunitas kecil
tersebut kemudian bergabung dalam kelompok yang lebih besar lagi yag disebut
dengan Forum Korban Napza (FORKON) yang berdiri sejak 2008an. FORKON saat ini
telah menjadi mitra LBH Masyarakat. FORKON banyak melakukan kerja-kerja
pendampingan hukum terhadap pemakai narkotika yang ingin memperoleh hak
rehabilitasinya. Tidak heran FORKON menjalankan fungsi tersebut mengingat
beberapa anggota aktifnya adalah paralegal LBH Masyarakat.
bagaimanapun
juga
merekalah
yang
akan
merasakan
keuntungan
dengan adanya kelompok
yang lebih terkelola dengan
baik. Juga, merekalah yang
akan mengalami kerugian
apabila kelompoknya sendiri
tidak dapat bersatu padu.
7. HdH | 6
Mencermati potensi solidaritas itulah yang melatarbelakangi LBH Masyarakat bersama FORKON terus aktif
menjangkau komunitas-komunitas untuk mempererat hubungan dan mulai mendorong mereka agar dapat melakukan
pengorganisasian diri yang lebih disiplin. Karena bagaimanapun juga merekalah yang akan merasakan keuntungan
dengan adanya kelompok yang lebih terkelola dengan baik. Juga, merekalah yang akan mengalami kerugian apabila
kelompoknya sendiri tidak dapat bersatu padu. (GN).
Pelajaran dari Mandeknya Kasus Blora
Tentu kita masih mengingat kasus kekerasan yang dialami oleh teman-teman dari komuntas waria Blora beberapa
waktu lalu. Kekerasan berupa penyerangan dan pemukulan yang tidak hanya menyebabkan luka fisik tetapi juga rasa
traumatik yang mendalam. Penyerangan tersebut dilakukan pada waktu dini hari oleh sekelompok homophobia dengan
mengendarai mobil. Luka fisik masih bisa diobati dengan obat-obatan namun butuh waktu yang lebih lama untuk
mengobati luka psikis. Ketakutan akan terjadinya kejadian yang sama masih menghantui para korban. Terlebih, tidak
ada satupun dari para korban yang mengetahui alasan penyerangan tersebut.
Kekerasan yang dialami seakan menjadi konsekuensi atau resiko atas pekerjaan mereka sebagai pekerja seks. Sebuah
pekerjaan yang dipandang hina oleh masyarakat, melengkapi stigma atas identitas mereka sebagai waria. Ancaman
kekerasan terhadap komunitas waria bahkan kini semakin meninggi, apabila melihat beberapa kejadian terakhir di
masyarakat. Ancaman tersebut tidak hanya datang dari kalangan Satpol PP yang kerap mengejar dan menangkap
mereka dengan alasan ketertiban umum atau klien mereka sendiri yang ternyata mengingkari perjanjian awal. Ancaman
juga datang dari kelompok homophobia.
Berbicara kasus kekerasan yang disebut di atas, sebenarnya kasus ini adalah kasus yang tidak mudah diselesaikan. Hanya
ada satu saksi yang benar-benar melihat peristiwa itu terjadi. Namun yang bersangkutan menolak untuk menjadi saksi
karena khawatir keamanan diri maupun keluarganya akan terancam oleh kelompok penyerang. Sementara itu baik
korban maupun saksi, tidak ada yang mengingat persis nomor polisi mobil penyerang. Sehingga tidak ada petunjuk
untuk memulai penyidikan. Keadaan yang sulit ini diperparah dengan aparat penegak hukum yang tidak melakukan
tindakan hanya sekedarnya. Tidak ada upaya ekstra dari kepolisian untuk melakukan penyidikan dan inisiatif untuk
membongkar kejahatan tersebut. Beragam cara sebenarnya bisa dilakukan mulai dengan menjalankan patroli di wilayah
sekitar tempat kejadian perkara secara rutin dan insidental. Secara khusus juga bisa melakukan penyamaran sehingga
apabila kelompok penyerang akan beraksi tidak akan menyadari ada polisi yang
Sekalipun komunitas waria hidup
sudah mengintai. Bisa juga menggali informasi secara lisan dari saksi kunci
dengan stigma dan diskriminasi
kemudian berdasarkan informasi yang ada dikembangkan untuk melakukan
yang cukup kental, ditambah lagi
pencarian lebih luas. Sampai saat ini belum ada titik terang atas keberadaan
menjalani
pekerjaan
sebagai
pelaku. Memang keadaan di wilayah Blora saat ini relatif tidak terlalu mencekam
pekerja seks yang penuh caci dari
namun ketakutan masih membayangi mereka terutama para korbannya langsung.
masyarakat umum, bukan berarti
komunitas
ini
tidak
dapat
memberikan kontribusi terhadap
proses hukum. Komunitas waria
memiliki solidaritas yang tinggi.
Dengan
modal
ini
mereka
seharusnya bisa bersama-sama
melindungi komunitas.
Proses hukum yang sedang berlangsung dapat dibilang sedang buntu namun
bukan berarti masalah itu akan ditinggal begitu saja. Ada banyak cara yang masih
harus ditempuh dan patut dilakukan untuk turut membantu proses penegakan
hukum dan dapat mencegah terjadinya kekerasan serupa. Misalnya tidak boleh
bersikap pasrah terhadap proses hukum yang berjalan.
Sekalipun komunitas waria hidup dengan stigma dan diskriminasi yang cukup
kental, ditambah lagi menjalani pekerjaan sebagai pekerja seks yang penuh caci dari masyarakat umum, bukan berarti
komunitas ini tidak dapat memberikan kontribusi terhadap proses hukum. Komunitas waria memiliki solidaritas yang
tinggi. Dengan modal ini mereka seharusnya bisa bersama-sama melindungi komunitas. Jika ada anggota komunitas
yang dianiaya atau mengalami kekerasan, anggota komunitas lainnya siap membantu. Siap mendampingi. Ada rasa
memiliki yang seharusnya muncul dari kebersamaan yang erat itu. Bermodalkan rasa solidaritas yang tinggi dapat
memberikan perlindungan ekstra dari dalam komunitas itu sendiri. Contoh konkritnya, apabila X diserang oleh Y, Z
sebagai teman X yang kebetulan berada di dekat tempat kejadian, siap melindungi X dari serangan Y. Apabila
diperlukan, Z bisa melakukan ‘serangan balik’ yang sifatnya bela paksa atau biasa disebut oleh orang awam sebagai bela
diri.
8. HdH | 7
Secara hukum, ada beberapa syarat untuk bisa disebut sebagai tindakan bela paksa. Pertama, pembelaan dilakukan
untuk melindungi nyawa atau membela kehormatan atau harta benda diri sendiri ataupun orang lain. Dalam contoh di
atas, Z melakukan bela paksa untuk melindungi X. Kedua, ada serangan yang melawan hukum. Dalam hal ini, Y jelas
melakukan serangan melawan hukum karena Y tidak berwenang melakukan pemukulan. Y adalah orang biasa yang tidak
punya kewenangan untuk melakukan tindakan tersebut. Ketiga, tindakan bela paksa harus dilakukan secara tidak
berlebihan. Misalnya, Y menyerang X dengan pisau kecil. Z hanya bisa melakukan bela paksa misalnya dengan memukul
Y dengan balok kayu di bagian kaki untuk sekedar membuatnya jatuh sehingga tidak bisa melarikan diri. Apabila sudah
jatuh, tidak perlu Z memukul berkali-kali hingga menyebabkan Y meninggal dunia. Dengan demikian, komunitas
sendirilah yang turut menjaga komunitas mereka, dan bisa membantu proses penyelesaian kasus. Setelah berhasil
melumpuhkan lawan, mereka bisa secara bersama-sama melapor ke polisi sambil membawa pelaku untuk selanjutnya
diproses.
Kasus Blora di atas dapat dijadikan pelajaran bagi teman-teman waria untuk dapat melakukan bela paksa. Masih banyak
hal yang dapat dilakukan oleh komunitas juga tentunya selain bela paksa. Tapi contoh ini adalah sesuatu yang sangat
mungkin dapat dilakukan dengan mudah. Akan menjadi bela paksa yang efektif apabila tindakan tersebut dilakukan oleh
bersama-sama. Artinya, kerjasama yang baik amat dibutuhkan dalam membela diri. Selain itu dibutuhkan kepekaan
untuk menyadari adanya ancaman yang terjadi dan keberanian menghadapi ancaman itu. Keberanian dapat timbul dari
kesadaran untuk saling melindungi satu sama lain. Keberanian akan muncul dari kesadaran bahwa apabila serangan
yang muncul sekarang terhadap orang lain tidak dihadapi, besar kemungkinan bisa menimpa diri kita di waktu yang akan
datang. Oleh karena itulah rasa kebersamaan itulah yang akhirnya akan kembali membantu kita mengatasi ketakutan
akan sesuatu. (VF).
9. HdH | 8
Mari Bicara Hukum dan HAM
Mengenal Hak Asasi Manusia
Dalam beberapa kali kesempatan LBH Masyarakat melakukan penyuluhan hukum di komunitas-komunitas orang dengan
HIV/AIDS, pemakai narkotika, pekerja seks, dan waria, banyak sekali anggota komunitas yang memahami hak asasi
manusia dengan sangat baik. Namun, tidak sedikit pula yang kurang tepat mengartikan apa itu HAM. Dalam kolom Mari
Bicara Hukum dan HAM edisi kali ini kami akan menjelaskan mengenai HAM. Diharapkan setelah membaca kolom ini,
teman-teman komunitas dapat memahami HAM secara lebih baik lagi.
Apa itu Hak Asasi Manusia?
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada diri kita karena kita manusia. Hak ini dimiliki oleh setiap
manusia tanpa perlakuan diskriminatif, apapun kewarganegaraannya, tempat tinggal, jenis kelamin, suku, agama,
bahasa, orientasi seksual, dan lain sebagainya.
HAM adalah hak seorang manusia yang sangat asasi dan tidak bisa diintervensi oleh manusia di luar dirinya atau oleh
kelompok atau oleh lembaga mana pun untuk meniadakannya.
Apa contoh HAM?
HAM pada dasarnya dapat dikategorikan ke dalam dua bidang yaitu hak sipil dan politik; dan hak ekonomi, sosial dan
budaya. Contoh HAM di bidang:
1. Sipil-politik: hak untuk berkumpul, kebebasan beragama, hak untuk berpendapat dan berekspresi.
2. Ekonomi-sosial-budaya: hak atas perumahan, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan.
Semua hak ini saling berhubungan, saling bergantung, dan tidak dapat dipisahkan sendiri-sendiri. Pemenuhan satu hak
akan membantu memajukan pemenuhan hak lainnya. Pelanggaran atas satu hak juga akan berakibat pada pelanggaran
hak lainnya.
HAM dan Kewajiban Negara
Di dalam HAM terdapat hak dan kewajiban. Hak dimiliki oleh manusia (warga negara), sementara kewajiban menjadi
tanggung jawab Negara. Artinya, tidak ada istilah kewajiban asasi manusia. Namun, kita sebagai manusia juga harus
menghormati HAM orang yang lain juga.
Berdasarkan hukum, Negara memiliki tiga bentuk kewajiban yaitu: yaitu menghormati (to respect), melindungi (to
protect) dan memenuhi (to fulfil).
Kewajiban untuk menghormati adalah kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi,
kecuali atas hukum yang sah.
Kewajiban untuk melindungi mengharuskan Negara untuk melindungi setiap orang dan/atau kelompok dari
pelanggaran HAM.
Kewajiban untuk memenuhi berarti Negara harus mengambil langkah aktif (positif) untuk memastikan bahwa
HAM setiap warga negaranya terpenuhi.
Dalam edisi berikutnya, kami akan menuliskan apa hubungan antara HAM dengan HIV/AIDS. Jadi pastikan kamu mendapatkan edisi
Oktober 2010. (RG).
10. HdH | 9
Suara Komunitas
LBH Masyarakat bertanya: Apa makna Lebaran bagi kamu?
Stella, waria
“Lebaran merupakan sesuatu yang indah dan ada suka dan dukanya. Di tahun ini sedih dirasakan karena tidak pulang ke
kampung halaman. Pun kalau pulang ke kampung halaman harus berpenampilan seperti laki-laki. Sedangkan kalau
berlebaran di sini bisa berkumpul bersama teman-teman, jalan-jalan sampai pagi melakukan hal-hal yang
menyenangkan sehingga tearsa mengasikan dan menyenangkan.”
Thalia, waria
“Lebaran merupakan saat yang membahagiakan dan membanggakan karena kita sudah berpuasa selama sebulan
penuh. Apalagi tahun ini bisa berpuasa secara penuh sehingga lebaran menjadi saat yang membanggakan. Di Lebaran ini
juga saya berdoa kepada Tuhan semoga Tuhan melindungi orang tua dan memberikan rezeki kepada mereka.”
Jeni (bukan nama sebenarnya)
“Lebaran adalah hari kemenangan dimana kita sudah melewati bulan suci Ramadhan dengan berpuasa melawan hawa
nafsu. Berkumpul bersama keluarga, teman untuk menguatkan tali silaturahim dan saling memaafkan kesalahan satu
sama lainnya. Momen Lebaran memberi pelajaran untuk rendah hati, ikhtiar, dan melakukan ibadah berupa kebaikan di
kehidupan kita sehari-hari.”
Mella, mantan pemakai narkotika
“Lebaran kemarin menyenangkan, walaupun aku Nasrani tapi aku ikut merayakan juga dengan ke tempat teman-teman.
Silatuharim juga, saling maaf-in, ga ada perbedaan antar umat beragama, saling menghormati dan menghargai. Sama
yang pasti makan ketupat juga, kue-kue Lebaran, hehehe. Dan pesen aku sih antar umat beragama tetap saling
menghormati. Jangan sampai kaya kejadian kemarin di Bekasi.”
Yolla, waria
“Cukup menyenangkan karena alhamdulilah bisa open house di kosan karena bisa berbagi dengan teman-temanku.”
11. HdH | 10
Galeria
Suasana penyuluhan hukum mengenai UU Narkotika yang diadakan di Suku Dinas Kesehatan
Jakarta Timur, Senin, 27 September 2010. Tampak di depan, Ajeng Larasati, Asisten Manajer
Bantuan Hukum dan HAM LBH Masyarakat tengah memberikan presentasi.
12. HdH | 11
Tentang LBH Masyarakat
Berangkat dari ide bahwa setiap anggota masyarakat memiliki potensi untuk turut berpartisipasi aktif mewujudkan
negara hukum yang demokratis, sekelompok Advokat, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi mendirikan
sebuah organisisasi masyarakat sipil nirlaba bernama Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH
Masyarakat).
Visi LBH Masyarakat adalah terwujudnya partisipasi aktif dan solidaritas masyarakat dalam melakukan pembelaan dan
bantuan hukum, penegakan keadilan serta pemenuhan HAM. Sementara misinya adalah mengembangkan potensi
hukum yang dimiliki oleh masyarakat untuk secara mandiri dapat melakukan gerakan bantuan hukum serta penyadaran
hak-hak warga negara, dari dan untuk masyakarat.
Secara ringkas, visi dan misi LBH Masyarakat diimplementasikan melalui tiga program kerja utama, yakni:
(1) Pemberdayaan hukum masyarakat melalui pendidikan hukum, penyadaran hak-hak masyarakat, pemberian
informasi mengenai hukum dan hak-hak masyarakat serta pelatihan-pelatihan bantuan hukum bagi masyarakat;
(2) Advokasi kasus dan kebijakan publik;
(3) Penelitian permasalahan publik dan kampanye hak asasi manusia baik di tingkat nasional maupun internasional.