Diese Präsentation wurde erfolgreich gemeldet.
Die SlideShare-Präsentation wird heruntergeladen. ×

Fiqih Aulawiyah - Fikih Prioritas Amal

Anzeige
Anzeige
Anzeige
Anzeige
Anzeige
Anzeige
Anzeige
Anzeige
Anzeige
Anzeige
Anzeige
Anzeige
Nächste SlideShare
Fiqh prioritas
Fiqh prioritas
Wird geladen in …3
×

Hier ansehen

1 von 16 Anzeige

Fiqih Aulawiyah - Fikih Prioritas Amal

Herunterladen, um offline zu lesen

Beramal wajib, sunnah, mubah, makruh, haram. Sunah dengan mubah. Sunnat dengan wajib. Fardhu kifayah dengan fardhu 'ain. Fardhu 'ain dengan fardhu 'ain.

Beramal wajib, sunnah, mubah, makruh, haram. Sunah dengan mubah. Sunnat dengan wajib. Fardhu kifayah dengan fardhu 'ain. Fardhu 'ain dengan fardhu 'ain.

Anzeige
Anzeige

Weitere Verwandte Inhalte

Diashows für Sie (20)

Ähnlich wie Fiqih Aulawiyah - Fikih Prioritas Amal (20)

Anzeige

Weitere von Anas Wibowo (20)

Aktuellste (20)

Anzeige

Fiqih Aulawiyah - Fikih Prioritas Amal

  1. 1. FIQIH AULAWIYAH Materi Syari’ah Islamiyah
  2. 2. FIQH AULAWIYAH ■ Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mengalami benturan dalam beramal. ■ Contohnya: dalam waktu yang bersamaan, kita harus bekerja, juga harus berdakwah? ■ Mana yang harus didahulukan? ■ Kita punya uang yang terbatas, kita harus memberi nafkah atau harus membayar hutang? ■ Mana yang harus diprioritaskan? ■ Jika terjadi benturan amal, bagaimana cara membuat skala prioritas amal?
  3. 3. PRIORITAS AMAL ■ Untuk menentukan prioritas dalam beramal, kita tidak boleh hanya mengandalkan logika. ■ Tidak boleh hanya mengandalkan analisis fakta. ■ Tidak boleh hanya mengandalkan pertimbangan manfa’at dan mudharat. ■ Tidak boleh hanya mengandalkan kesesuaian dengan hawa nafsunya.
  4. 4. ■ Apa amal yang harus kita kerjakan terlebih dahulu? ■ «ِ‫ن‬َ‫ت‬ْ‫اج‬َ‫ف‬ ٍ‫ء‬ْ‫ي‬َ‫ش‬ ْ‫ن‬َ‫ع‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬ُ‫ت‬ْ‫ي‬َ‫ه‬َ‫ن‬ ‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫إ‬َ‫ف‬َ‫أ‬ِ‫ب‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬ُ‫ت‬ْ‫ر‬َ‫َم‬‫أ‬ ‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫إ‬َ‫و‬ ُ‫ه‬ْ‫و‬ُ‫ب‬‫ا‬ْ‫و‬ُ‫ت‬ْ‫أ‬َ‫ف‬ ٍ‫ر‬ْ‫م‬ ْ‫م‬ُ‫ت‬ْ‫ع‬َ‫ط‬َ‫ت‬ْ‫اس‬ ‫ا‬َ‫م‬ ُ‫ه‬ْ‫ن‬ِ‫م‬» ■ “Jika aku melarang kalian dari sesuatu maka tinggalkanlah ia dan jika aku memerintahkan sesuatu perintah kepada kalian maka ambillah darinya sesuai dengan kemampuan kalian.” (HR. al-Bukhari dan Muslim) ■ Apa yang disebut “sesuai kemampuan”? ■ Apa sandarannya? ■ Apakah mengikuti pilihan “nafsu” kita sendiri? ■ Ataukah harus mengikuti ketentuan syari’at?
  5. 5. Ketentuan syari’at: ■ Bila terjadi “benturan” dalam beramal, bagaimana membuat skala prioritasnya? 1. Bila mubah bertemu sunnah, maka yang sunnah harus didahulukan. 2. Bila sunnah bertemu wajib, maka yang wajib harus didahulukan 3. Bila wajib bertemu wajib, mana yang harus didahulukan?
  6. 6. Bila wajib bertemu wajib ■ Fardhu ‘ain harus didahulukan dari fardhu kifayah. ■ Namun harus diingat, fardhu kifayah bisa menjadi fardhu ‘ain bila pelaksanaannya belum sempurna. ■ Bagaimana bila fardhu ‘ain berbenturan dengan fardhu ‘ain?
  7. 7. Contoh: ■ Menghadap kiblat adalah kewajiban. Jika sudah berusaha tapi tetap tidak tahu arah kiblat maka harus sholat menghadap arah yang menurut dugaannya adalah arah kiblat. Sehingga tetap melaksanakan sholat. ■ Jika di hutan tidak ditemukan makanan kecuali dengan memburu babi, maka makan babi sekadar untuk bertahan hidup harus dilakukan. ■ Jika uang terbatas, memberi nafkah kebutuhan makan harus didahulukan dari membayar hutang tepat waktu.
  8. 8. ■ “... wajib bagi seorang Muslim untuk berupaya mengamati agar ia bisa shalat menghadap kiblat dan menghadapkan wajahnya dalam shalat ke Ka'bah. Tidak menjadi masalah baginya jika ia kemudian keliru dalam upayanya mencari dan menentukan arah yang benar tersebut, sehingga ia menghadap bukan ke arah kiblat. Ini bisa terjadi pada seseorang yang sedang melakukan perjalanan (musafir) dalam kondisi tidak mengetahui arah, atau hari dalam keadaan sangat mendung sehingga menyulitkan seseorang untuk menentukan arah, sehingga saat itu dia shalat dengan landasan dugaan kuatnya saja bahwa ia sedang menghadap ke arah Ka'bah. Dia tidak harus mengulang shalatnya, jika kemudian diketahui bahwa arahnya itu keliru, walaupun dia telah melaksanakan shalat, baik hal itu diketahuinya sebelum ataupun setelah keluar waktu shalat.
  9. 9. ■ Dari Muadz bin Jabal ra., ia berkata: ■ “Kami shalat bersama Rasulullah Saw. pada hari yang sangat mendung dalam suatu perjalanan ke arah selain kiblat. Ketika Beliau Saw. selesai dari shalatnya dan bersalam, matahari kembali terang. Maka kami berkata: 'Wahai Rasulullah, kita shalat ke arah selain kiblat.” Beliau berkata: “Sungguh shalat kalian telah diangkat dengan hak pada Allah azza wa jaIIa.” (HR. Thabrani)
  10. 10. ■ Yang lebih tegas dari itu adalah hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra., bahwa dia berkata: ■ “Pada satu malam yang sangat mendung kami melaksanakan shalat, dan arah kiblat tidak bisa kami temukan. Kami menetapkan satu tanda. Ketika kami selesai, kemudian kami memperhatikan ternyata kami telah shalat ke arah selain kiblat. Lalu kami ceritakan hal itu kepada Rasulullah Saw., maka Beliau Saw. bersabda: “Kalian telah melakukan dengan baik.” Dan Beliau Saw. tidak memerintahkan kami mengulang shalat.” (HR. al-Baihaqi) (Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah)
  11. 11. ■ “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat- Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (TQS. al- Maaidah: 3)
  12. 12. َ‫و‬ ُ‫ه‬َ‫ض‬ْ‫ر‬ِ‫ع‬ ُّ‫ل‬ُِ‫ُي‬ ِ‫د‬ ِ‫اج‬َ‫و‬ْ‫ل‬‫ا‬ َُّ‫َل‬ُ‫ه‬َ‫ت‬َ‫وب‬ُُُ‫ع‬ ■ Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Penundaan pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang yang mampu membayarnya menghalalkan kehormatannya (untuk di-ghibah) dan hukumannya." (HR Ahmad, Abu Dawud, Nasa`i no.4611, Ibnu Majah, dan Al Hakim)
  13. 13. Contoh: ■ Jika dalam berobat (dioperasi) harus membuka aurat, maka berobat dengan operasi yang membuka aurat harus dilakukan. ■ Jihad harus didahulukan walaupun harus mengorbankan jiwa. ■ Minum khomer untuk memelihara jiwa harus didahulukan dari memelihara akal. ■ Memelihara kehormatan dari ancaman pemerkosaan harus didahulukan dari menjaga harta.
  14. 14. ■ “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (TQS. al-Baqarah: 216) ■ Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ■‫يد‬ِ‫ه‬َ‫ش‬ َ‫و‬ُ‫ه‬َ‫ف‬ ِ‫ه‬ِ‫ال‬َ‫م‬ َ‫ن‬‫و‬ُ‫د‬ َ‫ل‬ِ‫ت‬ُ‫ق‬ ْ‫ن‬َ‫م‬ ■ "Siapa yang terbunuh karena membela hartanya maka dia syahid.” (HR. Bukhari no.2300) ■ ِ‫ع‬ ِ‫ِف‬ َ‫ة‬َ‫ل‬‫ا‬َ‫ط‬ِ‫ت‬ْ‫س‬ ِ‫اِل‬ ‫ا‬َ‫ب‬ِّ‫الر‬ َ‫َب‬ْ‫َر‬‫أ‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ َّ‫ن‬ِ‫إ‬ٍََّ ََِِْْ‫ب‬ ِ‫م‬ُُِِْْْ‫ل‬‫ا‬ ِِْ‫ر‬ ■ "Sesungguhnya seburuk-buruk riba adalah merusak kehormatan orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan.“ (HR. Abu Dawud no.4233)
  15. 15. ■ َِّ‫ال‬ َ‫ول‬ُ‫س‬َ‫ر‬ ‫ا‬‫و‬ُ‫ل‬َ‫أ‬َ‫س‬ ِ‫ر‬‫ا‬َ‫ص‬ْ‫ن‬َْ‫اْل‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ ‫ا‬ً‫اس‬َ‫ن‬ َّ‫َن‬‫أ‬َ‫و‬ ِ‫ه‬ْ‫ي‬ََِ‫ع‬ ُ‫ه‬َِّ‫ال‬ ‫ى‬ََِّ‫ص‬ ِ‫ه‬َ‫م‬ََِّ‫س‬ َّ‫ّت‬ََ ْ‫م‬ُ‫اه‬َ‫ط‬ْ‫َع‬‫أ‬َ‫ف‬ ُ‫وه‬ُ‫ل‬َ‫أ‬َ‫س‬ َُّ‫ُث‬ ْ‫م‬ُ‫اه‬َ‫ط‬ْ‫َع‬‫أ‬َ‫ف‬َ‫م‬ َ‫ال‬َ‫ق‬ ُ‫ه‬َ‫د‬ْ‫ن‬ِ‫ع‬ ‫ا‬َ‫م‬ َ‫د‬َ‫ف‬َ‫ن‬ ‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫إ‬‫ا‬ َ‫ع‬ ُ‫ه‬َ‫ر‬ِ‫خ‬َّ‫َد‬‫أ‬ ْ‫ن‬ََِ‫ف‬ ٍَْْ‫خ‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ ‫ي‬ِ‫د‬ْ‫ن‬ِ‫ع‬ ُ‫ن‬‫و‬ُ‫ك‬َ‫ي‬ُ‫ي‬ ْ‫ف‬ِ‫ف‬ْ‫ع‬َ‫ت‬َْْ‫ي‬ ْ‫ن‬َ‫م‬َ‫و‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬ْ‫ن‬ُ‫ه‬َّ‫ف‬ِ‫ع‬ َ‫م‬َ‫و‬ ُ‫ه‬َِّ‫ال‬ ِ‫ه‬ِ‫ن‬َُْ‫ي‬ ِ‫ن‬ََْ‫ت‬َْْ‫ي‬ ْ‫ن‬َ‫م‬َ‫و‬ ُ‫ه‬َِّ‫ال‬ُ‫ه‬َِّ‫ال‬ ُ‫ه‬ْ‫ر‬ِّ‫ب‬َ‫ص‬ُ‫ي‬ ْ‫ر‬َّ‫ب‬َ‫ص‬َ‫ت‬َ‫ي‬ ْ‫ن‬‫ى‬َ‫ط‬ْ‫َع‬‫أ‬ ‫ا‬َ‫م‬َ‫و‬ ِْ‫ب‬َّ‫الص‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ َ‫ع‬َ‫س‬ْ‫َو‬‫أ‬ ٍ‫اء‬َ‫ط‬َ‫ع‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ ‫ا‬ً‫د‬َََ‫أ‬ ُ‫ه‬َِّ‫ال‬ ■ “bahwa beberapa orang Anshar meminta kepada Rasulullah, lalu beliau memberi mereka. Kemudian mereka meminta lagi kepadanya, lalu beliau memberi mereka hingga habis apa yang beliau miliki. Beliau bersabda: "Kebaikan (harta) yang ada padaku tidak akan aku simpan dari kalian. Dan barangsiapa yang menjaga kehormatan dirinya maka Allah Azza wa Jalla akan menjaga kehormatannya, dan barangsiapa yang bersabar maka Allah akan menjadikannya bersabar. Tidaklah seseorang diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.“ (HR. Abu Dawud no.1401)
  16. 16. Hasil Penerapan Syariah 1. Hifdzud-din. Menjaga agama. 2. Hifdzun-nafs. Menjaga jiwa. 3. Hifdzun-nasl. Menjaga keturunan. 4. Hifdzul-karamah. Menjaga kehormatan. 5. Hifdzul-aql. Menjaga akal. 6. Hifdzul-mal. Menjaga harta.

×