Teks tersebut membahas mengenai penataan ruang di Indonesia yang merupakan perjalanan panjang yang masih membutuhkan perbaikan. Penataan ruang yang baik diperlukan untuk menjamin kenyamanan hidup masyarakat dengan memanfaatkan ruang secara efektif sesuai daya dukung lingkungan. Teks tersebut memberikan contoh penataan ruang di Jepang dan Perancis yang telah berhasil mengatur ruang dengan baik, serta menekankan pentingnya
2. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
Majalah INOVASI
ISSN: 0917-8376
Volume 7/XVIII/Juni 2006
RUBRIK dan JUDUL Halaman No.Hal
EDITORIAL
Penataan Ruang Wilayah: Perjalanan Panjang Bangsa 1
TOPIK UTAMA
Aplikasi Data Penginderaan Jauh untuk Mendukung Perencanaan
Tata Ruang di Indonesia 4
Tata Ruang Nasional dan Kebutuhan Pemahaman Lintas Disipliner 13
Paradigma Kota Kompak: Solusi Masa Depan Tata Ruang Kota 19
Air sebagai Parameter Kendali dalam Tata Ruang 28
IPTEK
Memahami Proses Alamiah dalam Rusaknya Lingkungan Delta
Mahakam 31
Dinamika Stok Ikan: Faktor Penyebab dan Penanggulangannya 35
Bioteknologi di Indonesia: Kondisi dan Peluang 39
Mengenal Teknologi Pengurangan Pencemaran Udara Nox dan Sox 45
INOVASI
Pendekatan Konservasi Tumbuhan dengan Teknik Molekuler
Elektroforesis 50
3. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
NASIONAL
Hilangnya Ruang Publik Ancaman bagi Kapital Sosial 57
Peranan Komisi Pemberantas Korupsi dalam Memerangi Korupsi di
Indonesia 59
Tes Berkualitas untuk PNS Berkualitas 70
Keterpaduan Pemerintah dan Masyarakat Mengatasi Kepunahan
Tumbuhan Endemik di Indonesia 73
Impor Beras: Benarkah Merugikan Petani?; Lakukan Pemetaan
Perberasan Nasional dengan Segera 77
Melihat Potensi dari Sistem Usaha Tani Kontrak 80
HUMANIORA
Menuliskan “Islam”: Refleksi Pemikiran Inklusif Iqbal 84
Semangat Berhemat Energi: Belajar dari Negara Maju 88
Menuai Dampak Kegagalan Pendidikan Nasional 91
KESEHATAN
Ada Gula Ada Kanker 94
Antisense Oligonukleotide: Potensial Terapi dalam Penyakit
Genetik Akibat Gangguan Splicing 98
KIAT
Manajemen Referensi untuk Penulisan Makalah yang Effektif 102
Hidup di Luar Negeri 104
LIPUTAN KHUSUS
Menata Kembali Aceh Pascatsunami 106
TOKOH
Duta Besar RI untuk Jepang, Abdul Irsan, SH 108
4. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
Penataan Ruang Wilayah: Perjalanan Panjang Bangsa
Haris Syahbuddin
Email: harissyahbuddin@yahoo.com
Menurut UU No. 24 tahun 1992, tata
ruang didefinisikan sebagai wujud struktural
dan pola pemanfaatan ruang atau wadah,
baik direncanakan maupun tidak. Untuk
memberikan manfaat yang luas dan
berkelanjutan terhadap suatu ruang atau
wilayah diperlukan perencanaan terhadap
penataan ruang, yang meliputi ruang daratan,
ruang lautan, dan ruang udara. Meski secara
aktual penataan terhadap ruang laut dan
udara hampir tidak pernah dilakukan, namun
pencantuman kedua ruang tersebut dalam
UU perlu dilakukan, karena secara geopolitik
ketiganya merupakan satu kesatuan
geografis yg tidak dapat dipisahkan dan
berkait dengan kedaulatan negara.
Perencanaan tata ruang sendiri lebih terfokus
pada pemanfaatan ruang daratan itu sendiri,
karena di wilayah inilah tempat manusia dan
makhluk hidup lainnya berinterkasi menjaga
keseimbangan ekosistem. Artinya
perencanaan tata ruang tidak dapat
dipisahkan dari usaha-usaha menjaga
kelestarian lingkungan, keseimbangan
ekosistem dan bermuara pada tercapainya
kenyamanan hidup bagi segenap
penghuninya.
PBB menetapkan Human Proverty Index
(HPI) yang salah satu parameternya adalah
kelayakan standar hidup (a decent standard
of living) yang diukur berdasarkan kelayakan
akses individu terhadap seluruh peluang
ekonomi. Indikator ini diukur berdasarkan
prosentase jumlah penduduk yang tidak
memiliki akses terhadap air bersih dan
prosentase jumlah anak-anak yg memiliki
berat badan di bawah usia normal.
Digunakannya akses terhadap seluruh
kesempatan ekonomi dan air sebagai
indikator adalah cerminan basic need
manusia untuk memiliki kesempatan
mendapatkan pengetahuan, kesempatan
mendapatkan pelayanan kesehatan, dan
kesempatan hidup yang lebih panjang. Salah
satu cara mencapai HPI yang memadai
adalah melalui pemanfaatan ruang yang
effektif dan effisien serta sesuai dengan
potensi daya dukung lahannya.
Perencanaan tata ruang sesungguhnya
tidak dapat dilepaskan dari perencanaan dan
pengaturan tempat baik secara vertikal
maupun horizontal, berskala makro maupun
mikro. Indonesia dengan luas daratan sekitar
1.92 juta km2
atau memiliki ratio kepadatan
penduduk 126/km2
, masih memfokuskan diri
pada penataan ruang secara horizontal dan
skala makro. Bila pun ada pendirian
bangunan secara vertikal masih terfokus
pada penataan ruang vertikal ke atas.
Sedangkan keseimbangan penataan ruang
secara horizontal dan penataan ruang vertikal
ke bawah masih belum menunjukkan hasil
optimal. Secara horizontal saja, penataan
ruang menyimpan banyak persoalan serius
untuk dicarikan solusinya. Sedemikian
komplek persoalan penataan ruang ini terkait
keseimbangan antar makhluk hidup, serta
kenyamanan masyarakat yg hidup di
dalamnya, diperlukan ketegasan pemerintah
yang kian berpihak pada kepentingan publik,
untuk menegakkan peraturan yang sudah
beratus jumlahnya. Sangat dirasakan betapa
kepentingan ekonomi jangka pendeklah yg
mengemukan dalam menata ruang.
Pengalihfungsian puluhan bahkan ratusan
situ di sekitar Jabodetabek, kian luas zone
impermeabilitas akibat berkurangnya lahan
terbuka hijau di daerah perkotaan, penutupan
aliran pembuangan/sungai kecil oleh
bangunan, hilangnya hak publik atas akses
air bersih, klusterisasi zona industri di daerah
hulu dan badan sungai yg berakibat
tercemarnya air sejak hulu, pembuatan jalan
tol yang memutus kebutuhan air irigasi lahan
sawah potensial, atau pembuatan jalan bebas
hambatan yang justru mengekspansi jalan
umum, dll adalah contoh sedemikian kritis
penataan ruang kita. Ujung dari seluruh jenis
ketidaktaatan terhadap tata ruang dan daya
dukung lahan ini adalah dirugikannya hak-hak
masyarakat untuk mendapatkan kenyamanan
hidup yang mereka dambakan. Hampir dapat
dikatakan, negara menjadi tidak berdaya
mengurus rakyatnya dalam hal pemenuhan
hak-hak publik terkait pemanfaatan ruang.
Semangat otonomi daerah dapat pula
menjadi bumerang tersendiri bila salah dalam
memahami arti bahwa sesungguhnya
penataan ruang tidak mengenal batas wilayah
administratif. Sebab lahan sebagai basis
penataan ruang adalah bentang alam dan
merupakan satu kesatuan toposequence
EDITORIAL
1
5. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
yang tidak dapat dipisahkan satu dengan
lainnya. Tidak dapat dibayangkan apabila
sinergi penataan ruang antar wilayah tidak
dilakukan, Jakarta akan selamanya mendapat
kiriman banjir bandang dan sampah dari
wilayah Bopunjur, atau Semarang akan
selamanya menjadi kota rob. Kompensasi
wilayah hilir yang umumnya menjadi pusat
bisnis dan ekonomi terhadap daerah hulu
perlu dipikirkan sebagai insentif terhadap
sinergi pembangunan ini. Kekhawatiran
terhadap kian menguatnya otonomi daerah
terhadap kewenangan mengelola suatu
wilayah atau kawasan dan menjaga
ketahanan nasional diduga sebagai salah
satu alasan perlu dilakukan revisi terhadap
UU No. 24 tahun 1992 itu, di mana
pembahasan RUU Penataan Ruang tersebut
hingga ini masih terus dilakukan. Sebab
bukan tidak mungkin kemudian terjadi bahwa
suatu daerah bersikeras melakukan
pengelolaan ruang darat, ruang laut dan
ruang udara sebagai bagian dari zona
ekonomi, sehingga pelintas batas harus
membayar pajak dalam memanfaatkannya.
Kita dapat belajar dari negara negara
yang telah berhasil menata ruangnya dengan
sangat baik dan effisien. Jepang dengan 80%
wilayah terdiri dari pegunungan, dan hanya
20% dataran dengan panjang lereng yang
pendek terhadap garis pantai (potensial
menyebabkan erosi dan banjir), dengan
jumlah pendudukan separuh negeri kita,
mampu memanfaatkan ruang dengan effisien.
Pengembangan zona industri di tepi laut
memberi keuntungan dari sisi effisiensi
transportasi serta menghindari pencemaran
air sungai dan polusi udara bagi kawasan
pemukiman, fasilitas ruang terbuka hijau dan
taman bermain (koen) di setiap kelurahan
atau kecamatan (ku/cho), yang sekaligus
sebagai zone resapan air dan kolam
penampung air limbah, perencanaan saluran
penyalur dan pengelolaan limbah air rumah
tangga dan industri (water sewage) sebelum
akhirnya dialirkan ke sungai dan laut,
pembangunan pusat bisnis terintegrasi
dengan subway di kedalam puluhan meter di
bawah permukaan tanah, ketersediaan
luasan area bagi pejalan kaki (pedestrian)
dan pengendara sepeda yang manusiawi,
atau konsistensi pemda dalam menyiapkan
lahan bagi hutan untuk seratus tahun
mendatang seperti yg terdapat di kota Kobe,
demikian pula konservasi kawasan lindung.
Dengan demikian kenyamanan hidup menjadi
lebih baik, tanpa mengurangi efektivitas dan
effisiensi aktifitas penduduknya dalam
kegiatan ekonomi, pendidikan, dan lain
sebagainya. Dapat dikatakan bahwa
keterlambatan kerja pada iklim yang normal
tidak ditemukan. Seluruh jadwal kegiatan
dapat direncanakan dengan baik dan tepat
waktu.
Kita pun dapat belajar dari Perancis.
Keberadaan subway yang sudah lebih dari
100 tahun dan konservasi arsitektur klasik
setiap bangunan di seluruh kota, khususnya
Paris, menunjukkan taat nya mereka
terhadap peraturan yg dibuat. Keseimbangan
horizontal pun tak luput dari konsep penataan
kota mode dan budaya ini. Di kota Paris, kita
hanya akan menemukan satu gedung
menjulang tinggi yaitu menara Montparnasse,
yang dalam tahap pembangunannya
memerlukan diskusi lebih dari 10 tahun.
Selebihnya bangunan dengan jumlah lantai
tidak lebih dari lima, dikelilingi oleh ruas jalan
yang tertata secara diagonal, saling bersilang
rectangular. Atau bila kita ke arah Selatan
Perancis, di kota Monpellier kita dapat melihat
bagaimana pemerintah lokal membangun
jalur kereta dalam kota (Metro) dari Mosson
ke Port Marianne persis di antara barisan
pohon Sycamore yang telah berusia lebih dari
50 tahun dan tetap tumbuh di sisi kanan dan
kiri jalurnya. Dari contoh di atas dapat
dikemukan di sini bahwa penataan ruang
merupakan entry point menuju efektivitas dan
effisiensi pengelolaan lingkungan untuk
kesejahteraan masyarakat. Selain itu,
nampak bahwa penataan ruang merupakan
cerminan perjalanan panjang budaya suatu
bangsa, dan juga cerminan konsistensi dari
rencana yang telah dibuat minimal 50 tahun
sebelumnya. Dikatakan sebagai perjalan
budaya suatu bangsa, karena penataan
ruang yang baik telah menjadi kebutuhan
setiap individu. Dengan demikian kontrol
terhadap pemanfaatan suatu ruang dilakukan
oleh seluruh lapisan masyarakat, yang
sebelumnya dilibatkan secara aktif dalam
proses perencanaan.
Sesungguhnya lah kita telah memiliki
seluruh modal dasar tersebut. Masyarakat
yang cinta dan butuh akan lingkungan yang
terpelihara, kemudian warisan budaya baik
masyarakat Sumatera, Jawa hingga Papua.
Borobudur sebagai warisan budaya nenek
moyang, telah memberi pelajaran bahwa
dalam penataan ruang terdapat
keseimbangan di dalam struktur bangunan itu
sendiri, dan keseimbangan terhadap
lingkungannya. Sekarang yang dibutuhkan
adalah membangkitkan kembali kesadaran,
idealisme dan ketaatan para pejabat publik
2
6. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
sebagai pemegang wewenang penuh
pengalokasian wilayah terhadap rencana tata
ruang yang telah dibuat berdasarkan daya
dukung lahan, keterbukaan pemerintah
terhadap rencana pemanfaatan suatu
kawasan, dan kontrol terhadap pemanfaatan
suatu ruang yang dilakukan oleh masyarakat,
yang sejak dini dilibatkan secara aktif dalam
proses perencanaan. Para wakil rakyat di
lembaga legislatif dituntut untuk tidak segan
mempelajari dinamika peraturan dan
pemanfaatan ruang wilayah di setiap
kabupaten/kota, sehingga proses pengendali
pemanfaatan ruang dapat dilakukan sejak
dari unit terkecil penataan ruang wilayah.
Sehingga di masa datang tidak ada lagi
pemanfaatan ruang hanya semata
berdasarkan pertimbangan ekonomi dan
mengabaikan faktor lingkungan dan hak-hak
publik.
3
7. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
Aplikasi Data Penginderaan Jauh untuk Mendukung
Perencanaan Tata Ruang di Indonesia
Dwi Nowo Martono, Surlan, Bambang Tedja Sukmana
Kedeputian Penginderaan Jauh LAPAN, Jakarta
Email: nowo2003@yahoo.com
1. Latar Belakang
Perencanaan Tata Ruang wilayah
merupakan suatu upaya mencoba
merumuskan usaha pemanfaatan ruang
secara optimal dan efisien serta lestari bagi
kegiatan usaha manusia di wilayahnya yang
berupa pembangunan sektoral, daerah,
swasta dalam rangka mewujudkan tingkat
kesejahteraan masyarakat yang ingin dicapai
dalam kurun waktu tertentu.
Penyusunan tata ruang merupakan tugas
besar dan melibatkan berbagai pihak yang
dalam menjalankan tugas tidak terlepas dari
data spasial. Data spasial yang dibutuhkan
dalam rangka membuat suatu perkiraan
kebutuhan atau pengembangan ruang jangka
panjang adalah bervariasi mulai dari data
yang bersifat umum hingga detail. Bentuk
data spasial untuk kegiataan penataan ruang
umumnya berupa peta digital dan peta
analog yang masing-masing mempunyai
karakteristik dan spesifikasi yang berbeda,
dimana jenis dan ruang lingkup serta
kedetailan rencana tata ruang sangat
menentukan
Berkaitan dengan kesiapan data spasial
untuk mendukung tata ruang, ada beberapa
titik kritis yang perlu mendapatkan perhatian
kaitannya dengan prosedur kerja antara lain:
1. Belum adanya format data dan skala peta
dasar yang baku untuk penyusunan tata
ruang dalam berbagai tingkat. Ada
perbedaan format baku peta dengan
format operasional, demikian juga skala
peta dikaitkan dengan jenis data yang
harus digunakan dan prosedur pengolahan
data.
2. Pengalaman menunjukkan bahwa belum
memadainya kesadaran akan pentingnya
penyediaan data spasial yang akurat dari
kalangan pengguna. Data spasial yang
akurat tidak dilihat sebagai komoditas yang
strategis untuk kepentingan jangka
panjang.
3. Pembuatan atau penyusunan data spasial
skala 1 : 250.000 hingga 1 : 5000 untuk
tata ruang detail dilakukan dengan
anggapan peta sudah tersedia dan tidak
disediakan alokasi biaya untuk pembuatan
peta tersebut. Dampaknya adalah peta
yang digunakan sudah kadaluarsa.
4. Pada berbagai rencana kegiatan, ketelitian
peta yang dibutuhkan kadang-kadang
bukan merupakan hal yang utama, yang
diutamakan adalah penyebaran temanya.
Informasi lokasi dan batas-batas fisik lebih
diutamakan (bukan kepastian koordinat),
sedangkan dalam beberapa hal misalnya
infrastructure management kepastian
lokasi harus dicirikan dengan ketepatan
koordinat.
Kelengkapan dan kebenaran (kualitas)
input data spasial akan sangat berpengaruh
pada hasil atau keluarannya. Tanpa adanya
data spasial yang memadai dalam arti
kualitas planimetris dan informasi kualitatif,
maka proses pengambilan keputusan tidak
dapat dilaksanakan secara benar dan
bertanggung jawab.
2. Penginderaan Jauh untuk
Pengembangan Wilayah
Suatu wilayah baik di pedasaan maupun di
perkotaan menampilkan wujud yang rumit,
tidak teratur dan dimensi yang heterogen.
Kenampakan wilayah perkotaan jauh lebih
rumit dari pada kenampakan daerah
pedesaan. Hal ini disebabkan persil lahan
kota pada umumnya sempit, bangunannya
padat, dan fungsi bangunannya beraneka.
Oleh karena itu sistem penginderaan jauh
yang diperlukan untuk penyusunan tata ruang
harus disesuaikan dengan resolusi spasial
yang sepadan. Untuk keperluan
perencanan tata ruang detail, maka
resolusi spasial yang tinggi akan mampu
menyajikan data spasial secara rinci. Data
satelit seperti Landsat TM dan SPOT dapat
pula digunakan untuk keperluan penyusunan
tata ruang hingga tingkat kerincian tertentu,
misalnya tingkat I (membedakan kota dan
bukan kota). hingga sebagian tingkat II
(perumahan, industri, perdagangan, dsb.).
UTAMA
4
8. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
Sedangkan untuk tingkat III (rincian dari tingkat
II, misalnya perumahan teratur dan tidak teratur)
dan tingkat IV (rincian dari tingkat III, misalnya
perumahan teratur yang padat, sedang, dan
jarang.
Welch (1982) menyatakan bahwa untuk
penyusunan tata ruang perkotaan di Amerika
Serikat dengan memanfaatkan data
penginderaan jauh, menggunakan konsep
hubungan antara resolusi spasial data
penginderaan jauh dan tingkat kerincian data
yang dihasilkan, disajikan pada Gambar 1.
I II II IV Tingkat kerincian
Gambar 1. Hubungan antara resolusi spasial data penginderaan jauh dan kerincian
penggunaan lahan kota di Amerika Serikat (Sumber : Welch, 1982)
Gambar 1 mengisyaratkan bahwa citra
Landsat ETM dengan pixel 15 m dapat
digunakan untuk data penggunaan lahan kota
tingkat kerincian I sampai kerincian tingkat II,
atau untuk membedakan daerah yang secara
fisik berupa perumahan dan non perumahan
terhadap daerah sekitarnya. Untuk kerincian
tingkat III diperlukan resolusi spasial sekitar
1-3 m. dan tingkat kerincian III dan IV
masing-masing diperlukan resolusi spasial
lebih kecil atau sama dengan 1 m. Oleh
karena itu mengacu pendapat Welch, data
satelit resolusi tinggi dengan resolusi spasial
0.7-1.0 m dapat digunakan untuk
memperoleh sebagian data penggunaan
lahan dengan tingkat kerincian III dan IV.
3. Landasan Hukum Penyusunan Tata
Ruang
Struktur perencanaan pembangunan
nasional yang dicirikan dengan terbitnya
Undang-Undang No 25 Tahun 2004 tantang
sistem perencanaan nasional, maka kepala
daerah terpilih diharuskan menyusun
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) dan Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP) di daerahnya masing-masing.
Dokumen RPJM ini akan menjadi acuan
pembangunan daerah yang memuat antara
lain visi, misi, arah kebijakan dan program-
program pembangunan selama 5 (lima) tahun
ke depan. Dengan demikian terkait kondisi
tersebut, maka dokumen Rancana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) yang ada juga harus
mengacu pada visi dan misi tersebut.
Dengan kata lain RTRW yang ada
merupakan bagian dari terjemahan visi, misi
5
9. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
daerah yang dipresentasikan dalam bentuk
pola dan struktur pemanfaatan ruang.
Landasan hukum penyusunan tata ruang di
Indonesia secara umum mengacu pada
Undang-Undang Nomer 24 tahun 1992
tentang penataan ruang. Pedoman ini
sebagai landasan hukum yang berisi tentang
kewajiban setiap Propinsi, Kabupaten dan
Kota untuk menyusun tata ruang wilayah
sebagai arahan pelaksanaan pembangunan
daerah. Kewajiban Daerah untuk menyusun
tata ruang berkaitan dengan penerapan
desentralisasi dan otonomi daerah.
Menindak lanjuti Undang-Undang tersebut
di atas, Menteri Permukiman dan Prasarana
Wilayah Nomor 327/KPTS/M/2002
menetapkan enam pedoman bidang
penataan ruang, meliputi
a. Pedoman penyusunan RTRW propinsi.
b. Pedoman Penyusunan Kembali RTRW
propinsi.
c. Pedoman penyusunan RTRW kabupaten
d. Pedoman penyusunan kembali RTRW
kabupaten.
e. Pedoman penyusunan RTRW perkotaan.
f. Pedoman penyusunan kembali RTRW
perkotaan.
Pedoman seperti tertulis di atas sebagai
acuan bagi para penanggung jawab
pengembangan wilayah propinsi, kabupaten
dan kawasan perkotaan. Pedoman
penyusunan RTRW meliputi kegiatan
penyusunan mulai dari persiapan hingga
proses legalisasi. Hal-hal teknis operasional
yang belum diatur dalam keputusan Menteri
ini diatur lebih lanjut oleh pemerintah
kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24
tahun 1992 tentang penataan ruang, rencana
tata ruang dirumuskan secara berjenjang
mulai dari tingkat yang sangat umum sampai
tingkat yang sangat rinci seperti dicerminkan
dari tata ruang tingkat propinsi, kabupaten,
perkotaan, desa dan bahkan untuk tata ruang
yang bersifat tematis, misalnya untuk
kawasan pesisir, pulau-pulau kecil, jaringan
jalan, dan lain sebagainya.
Mengingat rencana tata ruang merupakan
salah satu aspek dalam rencana
pembangunan nasional dan pembangunan
daerah, maka tata ruang nasional, propinsi
dan kabupaten/kota merupakan satu
kesatuan yang saling terkait dan dari aspek
substansi dan operasional harus konsistensi.
RTRW nasional merupakan strategi dan
arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah
negara yang meliputi tujuan nasional dan
arahan pemanfaatan ruang antar pulau dan
antar propinsi. RTRW nasional disusun pada
tingkat ketelitian skala 1 : 1.000.000 untuk
jangka waktu selama 25 tahun
RTRW propinsi merupakan strategi dan
arahan kebijaksanaan pemanfaatan runag
wilayah propinsi yang berfokus pada
keterkaitan antar kawasan/kabupaten/kota.
RTRW propinsi disusun pada tingkat
ketelitian skala 1 : 250.000 untuk jangka
waktu 15 tahun.
RTRW kabupaten/Kota merupakan
rencana tata ruang yang disusun berdasarkan
perkiraan kecenderuangan dan arahan
perkembangan untuk pembangunan daerah
di masa depan. RTRW kabupaten/kota
disusun pada tingkat ketelitian 1 : 100.000
untuk kabupaten dan 1 : 25.000 untuk daerah
perkotaan, untuk jangka waktu 5-10 tahun
sesuai perkembangan daerah.
4. Ruang Lingkup Analisis Penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah
Berdasarkan landasan hukum dan
pedoman umum penyusunan tata ruang,
substansi data dan analisis penyusunan
RTRW propinsi dan kabupaten adalah
sebagai berikut :
4.1.Ruang Lingkup RTRW Propinsi
a. Substansi data dan analisis
- Kebijakan pembangunan
- Analisis regional
- Ekonomi regional
- Sumberdaya manusia
- Sumberdaya buatan
- Sumberdaya alam
- Sistem permukiman
- Penggunaan lahan
- Analisis kelembagaan
b. Substansi RTRW propinsi
- Arahan struktur dan pola pemanfaatan
ruang
- Arahan pengelolaan kawasan lindung
dan budidaya
- Arahan pengelolaan kawasan
perdesaan, perkotaan dan tematik
- Arahan pengembangan kawasan
permukiman, kehutanan, pertanian,
pertambangan, perindustrian, pariwisata
dan kawasan lainnya.
- Arahan pengembangan sistem pusat
permukiman perdesaan dan perkotaan
- Arahan pengembangan sistem
prasarana wilayah
6
10. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
- Arahan pengembangan kawasan yang
diprioritaskan
- Arahan kebijakan tata guna tanah , air,
udara dan sumberdaya alam Lain.
4.2. Ruang Lingkup RTRW Kabupaten
a. Substansi data dan analisis
- Kebijakan pembangunan
- Analisis regional
- Ekonomi dan sektor unggulan
- Sumberdaya manusia
- Sumberdaya buatan
- Sumberdaya alam
- Sistem permukiman
- Penggunaan lahan
- Pembiayaan pembangunan
- Analisis kelembagaan
b. Substansi RTRW propinsi
- Rencana struktur dan pola pemanfaatan
ruang
- Rencana pengelolaan kawasan lindung
dan budidaya
- Rencana pengelolaan kawasan
pedesaan, perkotaan dan tematik
- Rencana sistem prasarana wilayah
- Rencana penatagunaan tanah , air,
udara dan sumberdaya alam Lain.
- Rencana sistem kegiatan pembangunan
Secara rinci penjabaran dari tiap-tiap
substansi disajikan pada Tabel 1.
5. Pola Pemetaan Pemanfaatan Ruang
Berwawasan Lingkungan di Indonesia
Adanya peraturan perundang-undangan
penyusunan tata ruang yang bersifat nasional,
seperti Undang-Undang No 25 Tahun 2004
dan Keputusan Menteri Permukiman dan
Prasarana Wilayah Nomor 327/KPTS/M/2002
kiranya dapat digunakan pula sebagai dasar
dalam melaksanakan pemetaan mintakat
ruang sesuai asas optimal dan lestari. Untuk
menata ruang yang optimal dengan prinsip
lestari perlu adanya perencanaan yang
holistik antara potensi, kondisi dan kebutuhan
akan sumberdaya ruang. Penyusunan tata
ruang dalam konteks ini bukan sekedar
mengalokasikan tempat untuk suatu kegiatan
tertentu, melainkan menempatkan tiap tiap
kegiatan penggunaan lahan pada bagian
lahan yang berkemampuan serasi dan lestari
untuk kegiatan masing-masing. Oleh karena
itu hasil penyusunan tata ruang bukan tujuan,
akan tetapi sarana. Yang menjadi tujuan tata
ruang ialah manfaat total lahan/ruang dengan
sebaik-baiknya dari kemampuan total lahan
secara sinambung atau lestari.
6. Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Penyusunan Tata Ruang
Berdasarkan Gambar 2, peranan data
penginderaan jauh dan Sistem Informasi
Geografis (SIG) menjadi semakin jelas.
Gambar 2 menunjukkan bahwa semakin ke
kanan skala yang dibutuhkan semakin besar,
artinya semakin rinci pula informasi spasial
yang harus dapat diidentifikasi. Hal ini tentu
akan berpengaruh kepada jenis data
penginderaan jauh yang digunakan. Tabel 1
menjelaskan peranan data penginderaan
jauh dan SIG untuk mendukung penyusunan
peta tata lingkungan, peta tata ruang, peta
tata guna lahan dan peta ddesain guna lahan.
7. Langkah Langkah yang Dilakukan
LAPAN Dalam Mendukung
Implementasi Penyusunan Tata Ruang
Penyusunan Tata Ruang tidak terlepas
dari kebutuhan akan tersedianya data spasial
yang akurat , periodik ( 1-5 tahun) dan rinci
sesuai dengan tujuan tata ruang itu sendiri,
untuk propinsi atau kabupaten.
Salah satu alternatif yang paling mungkin
dalam rangka tersedianya data spasial untuk
tata ruang secara cepat adalah
memanfaatkan teknologi satelit penginderaan
jauh. Secara lebih rinci pemanfaatan data
penginderaan jauh untuk tata ruang disajikan
pada sub bab 6.
Di Indonesia pemanfaatan teknologi
penginderaan jauh sudah banyak dilakukan
oleh berbagai kalangan, baik institusi
pemerintah: LAPAN, BAKOSURTANAL,
BPPT dan lain sebagainya, juga oleh
kalangan perguruan tinggi dan organisasi
swasta. Pada umumnya upaya upaya yang
telah dilakukan untuk sosialisasi pemanfaatan
data penginderaan jauh antara lain meliputi
penguasaan teknologi penginderaan jauh,
pengembangan model-model yang diturunkan
dari data penginderaan jauh, kegiatan
inventarisasi sumberdaya alam dan
mengintegrasikan dengan aplikasi SIG.
7
11. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
Gambar 2. Pola penataan ruang berwawasan lingkungan di Indonesia
Tabel 1. Peranan data penginderaan jauh untuk mendukung penyusunan tata ruang wilayah
Jenis data Tata lingkungan Tata ruang Tata guna lahan Desain guna lahan
1. Landsat
(15–30 m)
1.Identifikasi
penggunaan
Lahan dengan
tingkat kerincian
I
2. Acuan Geo-
reference pada
skala 1 : 50.000
3. Menghitung
proporsi luas
masing masing
penggunaan
lahan.
4. Data dasar
spasial untuk
analisis lanjutan
1.Identifikasi
penggunaan
Lahan dengan
tingkat
kerincian I-II
2. Acuan Geo-
reference pada
skala 1 :
50.000
3.Menghitung
proporsi luas
masing masing
penggunaan
lahan
4. Data dasar
spasial untuk
analisis
lanjutan
Bahan untuk
orientasi wilayah
secara global
Bahan untuk
orientasi wilayah
secara global
8
12. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
Tabel 1. Lanjutan
Jenis data Tata lingkungan Tata ruang Tata guna lahan Desain guna lahan
2. SPOT4
(10 m)
Eros
SDA SDA 1. Identifikasi
penggunaan
lahan tingkat
kerincian II – III
2. Acuan Geo-
reference
sampai skala
1 : 25.000.
3. Menghitung
proporsi luas
penggunaan
lahan tingkat
kerincian II – III
4. Titik atau garis
kontur dengan
interval sampai
12.5 m
5.Data Dasar
spasial untuk
pengolahan
atau analisis
lanjutan
3. SPOT 5
( 2.5 m)
Ikonos,
Quick Bird
( 0.7–1 m)
SDA 1.Identifikasi
penggunaan lahan
tingkat kerincian III
-IV
2. Acuan Geo-
reference sampai
skala lebih besar
10.000
3.Menghitung
proporsi luas
penggunaan lahan
tingkat kerincian III
-IV
4. Informasi garis
kontur detail
5. Data dasar
spasial
pengolahan atau
analisis lanjutan
9
13. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
LAPAN sebagai instansi pemerintah yang
mempunyai kompetensi untuk menyediakan
data penginderaan jauh dan
memanfaatkannya dalam berbagai aplikasi
dalam skala nasional, sejak tahun 2000 telah
membangun dan menyusun berbagai model
aplikasi untuk berbagai kegiatan seperti
pertanian, kehutanan, iklim, geologi, tata
ruang dan lain sebagainya. Berbagai jenis
data dari resolusi rendah (NOAA, GMS dan
MODIS) sampai resolusi spasial tinggi baik
sensor pasif maupun aktif ( SPOT-5, IKONOS,
QUICK BIRD) juga digunakan untuk
mengembangkan model model aplikasi yang
lebih luas dan lebih dalam.
Untuk aplikasi data penginderan jauh
terkait tata ruang dalam rangka mendukung
ketersediaan data spasial, LAPAN telah
melakukan inventarisasi informasi spasial
penutup lahan skala 1:100.000 seluruh
Indonesia berbasis citra Landsat ETM.
Demikian juga untuk berbagai wilayah
prioritas telah tersedia informasi yang relatif
rinci berdasarkan data citra SPOT-5, IKONOS
dan QUICK BIRD. Berbagai contoh aplikasi
untuk tata ruang disajikan pada Gambar
Lampiran 1-3.
8. Penanganan Masalah yang Berkaitan
dengan Data Spasial
Dalam menangani masalah ketersediaan
data spasial yang up to date, salah satu data
spasial yang saat ini banyak digunakan
sebagai data dasar untuk penyusunan tata
ruang adalah informasi spasial yang
diturunkan dari data penginderaan jauh. Data
penginderaan jauh mempunyai berbagai jenis
dan tingkat ketelitian, disamping itu data
penginderaan jauh juga dapat memberikan
data real time serta selalu diperbaharui.
Teknologi penginderaan jauh mampu
menyediakan data mulai dari skala 1 :
1000.000 sampai dengan 1 : 5000. Oleh
karena itu pemanfaatan informasi spasial dari
data penginderaan jauh untuk tata ruang
telah mencakup seluruh skala dan sangat
fleksibel disesuaikan dengan tujuan
penyusunan tata ruang, apakah untuk tingkat
nasional, propinsi, kabupaten atau detail
teknis.
Tidak tersedianya informasi spasial yang
ideal untuk mendukung seluruh ruang lingkup
analisis penyusunan tata ruang baik dalam
aspek kuantitatif dan kualitatif bagaimanapun
harus ditutupi dengan pemanfaatan data
satelit penginderaan jauh yang
dikombinasikan dengan data spasial lainnya
melalui pendekatan SIG. Salah satu
pendekatan cerdas untuk mengoptimalkan
pemanfaatan data satelit penginderaan jauh
adalah melakukan kombinasi data
penginderaan jauh dengan data kontur dari
Suttle Radar Topographic Mission (SRTM)
dan data koordinat planimateris dari Global
Positioning System (GPS) untuk memperolah
informasi yang lebih akurat serta informasi
morfometri (kemiringan lereng, panjang
lereng dan bentuk lereng serta ketinggian
relatifnya) sesuai dengan skala yang
dibutuhkan. Sedangkan aspek kualitatif yang
merupakan informasi penutup
lahan/penggunaan lahan dapat digunakan
sebagai informasi kualitatif terkini untuk
mendukung perencanaan tata ruang dengan
tambahan kegiatan verifikasi lapangan
(ground truth). Verifikasi lapangan akan
sangat efektif hasilnya jika dilakukan oleh
mereka yang memahami dan menguasai
kondisi wilayah bersangkutan. Hal ini akan
sangat efisien dan efektif apabila terjalin
pelaksanaan kerjasama antara instansi
penyedia data satelit penginderaan jauh
dengan instansi pengguna, khususnya
pemerintah daerah guna menghasilkan
informasi keruangan yang diturunkan dari
citra satelit yang diverifikasi secara bersama.
9. Penutup
Dimasa yang akan datang diharapkan
seluruh pemangku kepentingan (stake holder)
yang terlibat dalam penyusunan tata ruang,
baik di tingkat propinsi maupun
kabupaten/kota dapat memanfaatkan
keunggulan teknologi penginderaan jauh dan
sistem informasi geografis untuk mendukung
penyusunan tata ruang. Dengan demikian
minimnya atau ketidaktersediaan data spasial
yang selama ini menjadi kendala utama
dalam penyusunan tataruang dapat dengan
cepat teratasi.
Pustaka
[1] Anonimus. 1993. Remote Sensing Note.
Japan Association on Remote Sensing.
University. Of Tokyo
[2] Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional.
2004. Peraturan Perundang-Undangan
Bidang Penataan Ruang. Buletin Tata
Ruang. Jakarta.
10
14. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
[3] Hadi Sabari.Y.. 2000. Struktur Tata
Ruang Kota. Pustaka Pelajar Offset.
Yogyakarta
[4] Larz T. Anderson. 2000. Petunjuk Dalam
Persiapan Perencanaan Kota. Jurusan
Perencanaan Wilayah dan Kota. Fakultas
Teknik. Universitas Diponegoro.
Semarang.
[5] Maskun. Soemitro. 1996. Penataan
Ruang dan Pembangunan Perkotaan
dalam kerangka Otonomi Daerah.
Proceding. CIDES. Jakarta
[6] Nurmandi. 1999. Manajemen Perkotaan.
Lingkaran Bangsa. Yogyakarta
[7] Socki. B.S.. 1993. The Potential of Aerial
Photos for Slum and Squatter Settlement
Detection and Mapping. Asian-Pasific
Remote Sensing Journal. Vol.5. No.2.
Bangkok.
[8] Sugeng Martopo, Tejoyuwono. 1987.
Pembangunan Wilayah Berwawasan
Lingkungan. Kumpulan Makalah Kursus
SEPADYA. Yogyakarta.
Lampiran
Gambar Lampiran 1. Contoh aplikasi data spasial untuk mendukung tata ruang skala 1:2.500
11
15. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
Gambar Lampiran 2. Contoh aplikasi data spasial untuk mendukung tata ruang skala 1:50.000
Gambar Lampiran 3. Contoh aplikasi data spasial untuk mendukung tata ruang skala 1:100.000
12
16. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
Sistematika Tata Ruang Nasional dan Kebutuhan
Pemahaman Lintas Disipliner
Hengky Abiyoso
Ketua Lembaga CENREDS
Yayasan Pengembangan Planologi dan Arsitektur
Untuk Kewiraswastaan Wilayah Tertinggal
(Center for Enhancement of Entrepreneurship, Urban and Regional Development Studies).
Email: cenreds@yahoo.com
1. Pendahuluan
Tata ruang dengan banyak
sistematika yang serba abstrak termasuk
di dalamnya adalah masalah lintas bidang
menyangkut kepentingan seperti
pelestarian lingkungan hidup, kepentingan
penataan ruang budidaya bagi kegiatan
produktif pemenuhan kebutuhan hidup
manusia, kepentingan tata ruang mukim
dan ruang sistem mobilitas manusia,
bahkan juga menyangkut masalah
kepentingan kedaulatan negara,
pertahanan dan keamanan. Dari semua
kepentingan itu, sesuatu yang terbanyak
dan cukup rumit variabelnya adalah yang
menyangkut sistem tata ruang mukim
manusia serta sistem ruang mobilitasnya.
Hal ini lebih umum disebut sebagai tata
ruang sistem kota serta sistem jaringan
jalan. Demikian rumit dan penting
keduanya, sehingga sering citra tentang
tata ruang di mata masyarakat tercermin
dari ukuran tentang apa yang dapat
dihasilkan oleh sistem ini bagi
kesejahteraan masyarakat.
2. Sistematika Sederhana Tata Ruang
Berkait masalah tata ruang nasional
kita, demikian banyak pihak sangat
berkepentingan, diantaranya adalah
masyarakat intelektual seperti dari sains
ilmu lingkungan, ilmu kehutanan, ilmu
pertanian, planologi, arsitektur, dan
sebagainya.
Dari demikian banyak sistematika
tentang tata ruang, salah satu yang paling
sederhana berkait dengan prioritas tujuan
adalah sistematika tata ruang menurut
tujuan-tujuannya yang ‘pro-ekologi’ dan
‘pro-populasi’1)
. Bila yang pertama adalah
untuk tujuan pelestarian dan perlindungan
alam serta lingkungan, yang terakhir ini
adalah menyangkut tata ruang untuk
aktivitas dan permukiman manusia serta
tata ruang untuk kawasan budidaya bagi
penopang kebutuhan hidup manusia.
Namun demikian, tata ruang ’propopulasi’
harus tunduk dan tidaklah boleh
samasekali bertentangan pelaksanaannya
dengan azas ‘pro-ekologi’.
Masyarakat ilmu lingkungan sangat
berkepentingan untuk memastikan bahwa
ruang di bumi ini dipergunakan oleh
manusia tanpa terjadi perusakan-
perusakan yang serius di dalamnya,
seperti menyangkut ancaman hilangnya
species-species tertentu tanaman akibat
penggundulan hutan yang akan
berdampak pada hilangnya species lain
karena terputusnya mata rantai makanan,
atau kontrol atas polusi udara yang akan
mengancam lapisan ozon dan
meningkatnya suhu global, dan
sebagainya. Masyarakat ilmu pertanian
dan kehutanan berkepentingan atas ruang
bagi budidaya pertanian serta hutan
industri dalam rangka pemenuhan
kebutuhan hidup manusia. Namun dalam
praktek lapangan ruang-ruang budidaya
ini banyak bersinggungan bahkan
bertumpang-tindih dengan ruang-ruang
konservasi.
Sebagai negara agraris, sebagian
besar masyarakat kita berkecimpung
dengan kegiatan pertanian, perkebunan
serta hutan tanaman industri, dimana
peningkatannya yang bersifat ekstensif
dan agresif dapat mengancam upaya
pelestarian lingkungan, utamanya
menyangkut area-area pegunungan,
tempat dimana sumber air dan kestabilan
lereng-lereng dapat terancam, serta
bahaya air bah dan longsor dapat
menimbulkan kerugian jiwa maupun
kerusakan lingkungan yang mahal.
UTAMA
13
17. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
Sementara itu ruang-ruang bagi
permukiman, kegiatan serta mobilitas
manusia juga memerlukan pengaturan
tersendiri. Bila tidak, maka berbagai
kebutuhan mukim, kegiatan serta mobilitas
manusia dapat bertumpang tindih dengan
kebutuhan ruang-ruang konservasi serta
ruang-ruang budidaya.
Ruang-ruang bagi kebutuhan
konservasi alam dapat dipandang sebagai
relatif permanen dan variasi jenis
eksploitasi ruangnya dapat dipandang
sebagai mendekati nol berkait dengan
tujuan pelestariannya maka ia tak
dieksploitasi. Sementara itu eksploitasi
ruang-ruang budidaya bagi kebutuhan
hutan industri serta kegiatan pertanian
dapat dipandang sebagai intensif, namun
variasi pola eksploitasi ruangnya dapat
dikatakan sederhana, terbatas atau nyaris
permanen. Sebuah area hutan industri
yang diperuntukkan bagi budidaya hutan
pinus misalnya, selama belasan atau
puluhan tahun pola eksploitasinya nyaris
tak akan berubah, demikian juga dengan
area bagi budidaya pertanian, perkebunan,
perikanan atau peternakan. Sebaliknya,
variasi kebutuhan ruang bagi pemukiman,
aktivitas serta mobilitas manusia adalah
demikian sangat kompleksnya.
3. Multi Fungsi Sistem Kota
Kebutuhan mukim manusia bervariasi
dari yang sangat sederhana seperti rumah
di ladang, secara ekstensif berupa rumah
vila di luar kota dengan pekarangan yang
luas sampai yang sangat intensif berupa
apartemen dengan lantai ganda di tengah
kota.
Kebutuhan ruang beraktivitas manusia
dapat berupa ruang bagi produktivitas
seperti pabrik, kantor, toko, pasar, sekolah
atau studio. Kebutuhan ruang bagi
pengembangan diri adalah seperti
lembaga-lembaga sekolah, universitas,
balai diklat dan kebutuhan akan ruang
bagi waktu senggang adalah seperti
taman-taman, tempat rekreasi, museum,
teater, sarana olah raga dan sebagainya.
Sementara itu kebutuhan ruang untuk
mobilitas manusia dapat dimulai dari jalan
setapak, jalan arteri, jalan bulevar, jalan
simpang susun, jalan tol, bandara,
terminal dan sebagainya.
Bila kebutuhan ruang bagi keperluan
konservasi alam serta budidaya pertanian
dan hutan seperti tak mengenal hierarkhi,
tak demikian halnya dengan ruang
kebutuhan mukim dan aktivitas bagi
manusia. Mendekati lahan-lahan budidaya
pertanian dan hutan sebagai tempat
aktivitas utama atau profesinya, manusia
cenderung tinggal relatif mengumpul pada
satuan-satuan ruang yang disebut
sebagai desa.
Kemudian dari sekian banyak satuan
permukiman desa akan diperlukan
sebuah pusat layan yang disebut sebagai
kota kecamatan. Setelah itu konstelasi
sejumlah desa dan kota kecamatan itu
akan membutuhkan sebuah pusat layanan
yang disebut sebagai kota kabupaten.
Jenjang di atasnya adalah kemudian kota
menengah yang membawahi beberapa
kota kabupaten, kemudian kota besar atau
kota metropolis yang dapat membawahi
sebuah propinsi, serta terakhir adalah kota
megapolitan yang tak jarang harus
melayani beberapa kota metropolitan.
4. Aglomerasi, Wilayah Maju dan
Tertinggal
Sehubungan dengan pemusatan-
pemusatan aktivitas manusia yang
cenderung mengumpul karena
pertimbangan keuntungan skala ekonomi
atau keuntungan dari lokasi yang saling
berdekatan satu sama lain antar unit-unit
ekonomi yang disebut sebagai keuntungan
‘aglomerasi’, maka kemudian
kecenderungan dari permukiman manusia
itu adalah serba memusat, yang kemudian
disebut sebagai sistem kota.
Dampaknya adalah kemudian muncul
apa yang disebut sebagai ‘wilayah-wilayah
maju’, tempat dimana kepadatan
penduduk membentuk satuan-satuan kota
besar kecil yang jaraknya serba efisien,
unit-unit ekonominya saling berdekatan
serta dalam jumlah yang ideal itu akan
semakin menggembirakan ‘pasar’, dimana
dengan itu investasi-investasi semakin
dipandang sangat menguntungkan apabila
diputuskan untuk diletakkan pada wilayah-
wilayah ‘padat’ seperti itu, dan keadaan itu
lebih lanjut memicu lagi datangnya arus
14
18. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
migrasi penduduk dari wilayah-wilayah
‘miskin’.
Pada sisi lain dari ‘wilayah maju’
muncul pula apa yang disebut sebagai
‘wilayah tertinggal’, dimana sebaliknya,
keadaannya adalah serba kepadatan
penduduknya yang relatif rendah, satuan-
satuan sistem kotanya adalah kota-kota
relatif kecil yang sangat tersebar dan
dengan jarak saling berjauhan serta
kurang efisien, sehingga akan kurang
menguntungkan bagi investasi. Sering
terjadi keputusan lokasi investasi serta
keputusan bermukim dari penduduk di
wilayah tertinggal itu cenderung berpindah
menuju ke wilayah maju karena
kemudahan hidup yang lebih banyak
didapatkan di sana daripada keadaan di
wilayah tertinggal itu. Keadaan seperti ini
sangat merugikan bagi kinerja makro
ekonomi nasional, karena pada wilayah
tertinggal banyak sekali potensi-potensi
terpendam terpaksa tak dapat digali dan
dimanfaatkan.
Sementara sebaliknya, pada wilayah
sangat maju pasokan berbagai jasa
sejenis sering melebihi kebutuhan,
sehingga terjadi apa yang disebut sebagai
‘duplikasi dan kesiasiaan’. Pada area
yang sama dapat muncul demikian banyak
pusat perbelanjaan, sehingga beberapa di
antaranya akhirnya akan tutup karena
kekurangan pengunjung. Pembangunan
jalan layang dan kemacetan lalulintas
terus saling berpacu, padahal
pembangunan itu seharusnya dapat lebih
dialokasikan pada sektor lainnya.
Situasi-situasi seperti itu
membutuhkan intervensi-intervensi
perencanaan seperti tentang bagaimana
situasi ketimpangan itu dapat diredakan,
dimana perkembangan wilayah tertinggal
dapat dirangsang agar dapat mengalir
migrasi dan relokasi investasi dari wilayah
maju dapat terjadi. Dengan kata lain, tata
ruang bagi kebutuhan aktivitas,
pemukiman serta mobilitas manusia atau
disebut kebutuhan akan ‘tata ruang sistem
kota’ adalah yang paling kompleks
dibanding dengan kebutuhan akan tata
ruang bagi kebutuhan konservasi sistem
ekologi serta budidaya pertanian dan
hutan.
Tata ruang sistem kota juga
membutuhkan tingkat-tingkat (hirarkhi)
perencanaan, seperti di tingkat nasional
dibutuhkan sistem kota secara nasional
menyangkut besaran dan jarak yang
terpadu (national city size distribution
system) yang akan mendukung sistem
makro ekonomi nasional secara terpadu
pula. Selanjutnya adalah kebutuhan
perencanaan intraregional yang terpadu,
dan di bawahnya lagi adalah keperluan
perencanaan pada tingkat lokal.
5. Kompleksitas Tata Ruang Sistem Kota
dan Kerjasama Lintas Sektor
Secara internal tata ruang sistem kota
sangat lah kompleks, demikian pula
dengan masalah eksternal lainnya.
Secara internal, karena tata ruang kota
menyangkut sistem serta ketahanan
perekonomian serta sistem perencanaan
kesempatan kerja nasional, ada beberapa
hal yang menarik untuk diperhatikan yaitu:
Pertama, terdapat kebutuhan secara
nasional akan perencanaan sistem kota
secara nasional yang integrated.
Kedua, karena perkembangan teori
ilmu perencanaan ruang ––dengan
demikian juga teori tentang sistem kota––
adalah sangat multiinterpretatif, berakibat
di antara para pakar keruangan terdapat
bermacam multiinterpretasi yang sangat
bervariasi atas teori keruangan serta teori
perkotaan yang sama. Hal ini
mengakibatkan adanya pertentangan
pendapat yang tajam dan menjadi salah
satu faktor yang belum dapat disinergikan
sebagai satu kesatuan utuh sebagai
sumbangan kemajuan ilmu tata ruang kota
bagi pembangunan nasional serta sistem
kota secara nasional.
Ketiga, dapat dikemukakan di sini
bahwa seandainya boleh menggunakan
pembading dengan perkembangan ilmu
lainnya, maka ilmu perencanaan ruang
adalah ‘seperti kurang beruntung’. Tidak
jarang ilmu ini di golongkan pada ilmu-ilmu
yang tidak begitu leluasa untuk
dikomersialkan. Atau dengan perkattan
lain ilmu ini lebih pantas untuk
disumbangkan bagi negara, bangsa dan
kemanusiaan.
15
19. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
Hipotesa keruangan beserta studi
lengkapnya seperti tentang perlunya
Indonesia memiliki countermagnet city
seukuran Jabodetabek di kawasan timur
Indonesia, tidak akan pernah memenuhi
pangsa pasar atau terjual, dan penulisnya
telah akan bersyukur bila kajian tersebut
perlahan-lahan mulai dapat diterima oleh
seluruh bangsa dan bersama-sama
diupayakan konkretisasinya, walau untuk
itu harus dilalui berbagai proses
perdebatan yang cukup panjang.
Ketika hasil studi ilmu perencanaan
kota memiliki peluang untuk
dikomersialkan, tidak dapat dipungkiri
bahwa kemudian terjadi praktik praktik
komersialisasi yang kurang dapat
dipertanggungjawabkan. Hal ini kemudian
menimbulkan kesan masyarakat bahwa
pembangunan sistem kota di Indonesia
kemudian menjadi sangat buruk.
Akibat ‘salah arah’ dari segelintir para
perencanaan kota tersebut, yang berakibat
kurang mendukung upaya pembangunan
wilayah serta sistem kota yang integrated
secara nasional itu, maka selain citra
pembangunan sistem kota menjadi buruk,
bersama industri ia tak kurang juga
kemudian ‘dimusuhi’ oleh banyak
masyarakat intelektual dari bidang
pertanian dan perdesaan.
Kota tidak mampu memberikan kesan
pusat kewiraswastaan, pusat
intelektualitas serta pusat kemajuan
seperti Singapura, Tokyo, New York atau
Toronto. Yang terjadi kemudian
munculnya ‘kota-kota baru arogan’ serta
industri berorientasi Jawa sentrisme atau
Jabotabek sentrisme. Kompleks
perumahan di seputar kota metropolitan
seperti Jakarta, Surabaya atau Bandung
terlihat memakai tembok keliling, gerbang,
satpam serta tak jarang juga gaya
eksklusivisme penghuninya, dimana setiap
jengkal daripada ‘kota’ milik developer itu
harus dibeli atau diangsur dengan KPR.
Sering lahan pertanian yang subur harus
beralih fungsi untuknya, padahal kelebihan
tenaga kerja pertanian di desa seharusnya
dapat ditampung di kota. Akhirnya nampak
bahwa perencana tentang ‘kota untuk
rakyat’ belum lah mencapai titik yang
diharapkan.
Strategi pemanfaatan kelebihan
tenaga kerja di sektor pertanian dan
perdesaan seharusnya dapat dikelola
dengan lebih rapi pada sektor perkotaan
dan industri serta jasa, sambil terus
meningkatkan kinerja sektor pertanian.
Kerjasama antara masyarakat pertanian
dan perkotaan seharusnya dapat lebih
akrab, erat, dan bukan sebaliknya. Desa
dan kota seharusnya saling tergantung
dan saling membutuhkan.
Tidak kalah penting adalah peranan
lembaga terkait dalam mensinergikan
sumberdaya antar desa dan kota. HKTI
misalnya, harus mampu berbicara tentang
rural development bahkan urban
development bagi pengelolaan kelebihan
tenaga kerja di desa, bekerjasama
dengan planolog dan arsitek. Selain itu,
perhatian pada wilayah perbatasan adalah
sesuatu yang serius untuk tak mengulang
kasus penggeseran patok batas negara di
hutan Kalimantan atau lepasnya pulau
Sepadan, Ligitan serta tenggelamnya
beberapa pulau kecil di perbatasan
dengan Singapura karena bisnis ilegal
pengerukan pasir laut yang membawa
resiko dampak pergeseran batas negara
yang dapat merugikan Indonesia.
6. Langkah Perbaikan ke Depan
Kedepan apakah yang dapat
disumbangkan oleh masyarakat pemerhati
masalah tata ruang bagi perbaikan sistem
serta pelaksanaannya agar tata ruang
nasional dapat memberikan hasil konkrit
pada kesejahteraan masyarakat?
Pertama harus diingat bahwa masalah
tata ruang nasional kini ditangani oleh oleh
Badan Eksekutif yang disebut BKTRN 2)
(Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional).
Berdsarkan Keppres No. 62 Th. 2000
secara terstruktur terdiri dari Ketua :
Menko Perekonomian, Wakil Ketua :
Menteri PU, Sekretaris : Ketua Bappenas,
Anggota : Menteri Pertanian, Menteri
Dalam Negeri, Menteri Pertahanan,
Menteri Otonomi Daerah dan Ketua BPN.
Bahwa terdapat banyak keluhan
menyangkut intransparansi serta berbagai
kebijakan tata ruang yang tidak tepat
seperti tentang Strategi Kapet yang
16
20. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
dianggap sebagai tidak tepat guna,
adanya usulan tata ruang terpadu
kawasan kota megapolitan oleh Gubernur
DKI dan bukan oleh BKTRN, sistem
hirarkhi kota yang tak jelas, serta banyak
keluhan lain, menunjukkan
ketidakterpaduan pada sistem dan
kebijakan tata ruang nasional kita.
Bila eksekutif memiliki badan BKTRN,
adakah DPR memiliki badan kontrolnya
yang definitif? Para pengurus BKTRN
masing-masing memiliki partner kerja
Komisi di DPR 3)
yang jelas sejak dari
Menko Perekonomian, Menteri PU, Ketua
Bappenas yang masing-masing berpartner
dengan Komisi Vi, V dan XI. Anggota
BKTRN seperti Menteri Pertahanan,
Menteri Dalam Negeri, Ketua BPN dan
Menteri Pertanian adalah partner kerja dari
Komisi I, II dan IV. Lalu bagaimana
seharusnya rapat kerja tata ruang nasional
antara eksekutif dan DPR? Adakah harus
selalu terdapat rapat gabungan Komisi I, II,
IV, V, VI XI dan seluruh pengurus serta
anggota BKTRN, atau akankah
masalahnya disederhanakan menjadi
sekedar rapat kerja antara seorang Ketua
BKTRN Menko Perekonomian dan Komisi
VI saja?
Dengan terkadinya perbaikan sistem
demokrasi dan legislasi dalam sistem
pemerintahan dan kehidupan kita, seperti
dibentuknya KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi), walau telah terdapat badan
badan seperti Mahkamah Agung,
Kejaksaan serta Kepolisian oleh
Pemerintah. Kemudian dibentuk pula
Komisi Yudisial, tempat dimana
masyarakat dapat melaporkan
keraguannya atas kinerja badan peradilan,
Komisi Kejaksaan bagi alat kontrol
Lembaga Kejaksaan, dan kelak Komisi
Kepolisian bagi alat kontrol Lembaga
Kepolisian, dan sebagainya.
Bila kita ingin menapak kesuasana
perbaikan sistem tata ruang nasional yang
lebih konkrit, Komisi Nasional Independen
yang mengontrol masalah Kebijakan Tata
Ruang Nasional4)
kita adalah salah satu
alternatif yang sudah selayaknya
diperhatikan dan dilaksanakan dengan
sungguh sungguh. Diperlukan forum yang
konkrit atas masalah tataruang nasional,
tempat dimana kapan saja masalah itu
dapat dibahas setiap hari setiap saat
secara terhormat dan setara dengan
BKTRN.
1). Seperti uraiannya dapat dibaca pada
artikel atau makalah “Wawasan Tata
Ruang” oleh Prof. Djoko Sudjarto pada
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Edisi Juli 1992 terbitan Jurusan Teknik
Planologi, ITB, maka terdapat demikian
banyak definisi tentang tata ruang, seperti
misalnya yang dikemukakan oleh Lynch
dan Rodwin (1958), Foley (1964, 1967),
(Wheaton, 1967), Weber (1967), Porteous
(1977), Wetzling (1978), Rapoport (1980),
Chadwick (1981), I Made Sandy (1986),
Soenaryono Danujo (1987) dan
sebagainya.
Sejauh ini penulis belum menemukan
apakah sebelumnya sistematika tataruang
sebagai ‘pro-ekologi’ dan ‘pro-populasi’ ini
telah pernah dikemukakan oleh para
pakar sains keruangan atau belum.
Penulis samasekali bukan merasa dalam
kapasitasnya sebagai pakar, namun
sekedar sebagai seorang aktivis LSM
dalam bidang pengabdian sosialisasi
tataruang bagi rakyat maupun bagi dialog
lintas disiplin ilmiah selama lebih dari 10
tahun, mendapatkan bahwa tataruang
bukanlah sesuatu yang mudah dipahami.
Tak hanya oleh masyarakat awam, namun
bahkan oleh banyak masyarakat
intelektual dari disiplin ilmiah lain seperti
misalnya ilmu hukum, ilmu agama, teknik
industri, ilmu pertanian dan sebagainya.
Penulis mendapatkan, bahwa semakin
batasan atau sistematika keruangan
disajikan sesuai tatabahasa dan visi dari
para pakar itu, maka ia seperti semakin
tak mudah dipahami oleh masyarakat
bahkan disiplin ilmiah lain selain daripada
tataruang itu sendiri.
2). BKTRN (Badan Koordinasi Tata Ruang
Nasional) yang dibentuk dengan Keppres
No. 75 tahun 1993, adalah bentuk
peningkatan dari sebuah Tim Kerja yang
semula dinamai sebagai “Tim Kordinasi
Pengelolaan Tata Ruang Nasional” yang
diketuai oleh Ketua Bappenas dengan
beberapa Menteri terkait masalah
tataruang sebagai anggotanya (Keppres
17
21. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
No. 57 Tahun 1989). Badan ini kemudian
pada masa Presiden Abdurrahman
diubah susunan kepengurusannya
(Keppres No. 62 Tahun 2000) seperti bila
semula ketuanya adalah Ketua Bappenas,
maka kini adalah Menko Perekonomian,
Wakil Ketuanya adalah Menteri PU, dan
Sekretaris BKTRN adalah Ketua
Bappenas. Anggota-anggota BKTRN
adalah Menteri Dalam Negeri, Menteri
Pertahanan, Menteri Pertanian, Menteri
Negara Lingkungan Hidup, Menteri
Negara Otonomi Daerah dan Kepala
Badan Pertanahan Nasional. Badan ini
memiliki Tim Teknis yang diketuai oleh
Menteri PU.
3). Tentang bidang-bidang yang dibawahi
oleh Komisi-Komisi di DPR serta
hubungan kerjanya dengan menteri-
menteri kabinet terkait, susunan
selengkapnya kiranya dapat diperiksa
antara lain pada website Humas
Sekretariat Jendral DPR-RI.
4). Komisi Nasional Independen yang
mengontrol masalah Kebijakan Tata
Ruang Nasional atau dapat disingkat
menjadi Komisi Nasional Tata Ruang
adalah pemikiran penulis tentang perlunya
dibentuk semacam Komisi ‘adhoc’
sebagaimana sebelumnya telah terdapat
Komisi-Komisi seperti itu seperti Komnas
HAM, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan,.
KPK dan sebagainya, dimana bidang-
bidang seperti itu dipandang seperti masih
kurang dapat ditangani dengan lebih
efektif oleh 11 Komisi-Komisi DPR yang
ada, dimana bila 11 Komisi di DPR seperti
lebih merupakan cerminan tempat
kedudukan partai-partai politik peserta
Pemilu, sedangkan Komisi adhoc atau
Komisi Khusus yang umumnya lebih
bersifat teknis, dimaksudkan lebih berisi
pakar-pakar dibidang dimaksud.
Dari demikian banyak (l.k. 45
buah) Komisi Nasional yang ada, tak
semuanya dipandang bekerja efektif dan
justru sering digerutui masyarakat sebagai
‘membebani anggaran negara’, sehingga
dalam beberapa kesempatan penulis
menyampaikan bahwa Komisi Tata Ruang
bila perlu didirikan dan dikerjakan secara
sukarela, atau Komisi-Komisi ad-hoc
sebaiknya ‘Datang dan Pergi’ atau ‘Aktif
dan Non-Aktif’ sesuai kadar urgensi atau
kegawatan masalahnya, agar tak terus
menerus membebani anggaran negara.
18
22. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
Paradigma Kota Kompak: Solusi Masa Depan Tata Ruang Kota?
Muhammad Sani Roychansyah
Staf Pengajar Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, FT UGM
Kolaborator Riset pada Department Architecture and Building Science,
Universitas Tohoku
E-mail: sani@hjogi.pln.archi.tohoku.ac.jp
1. Latar Belakang dan Perkembangan Ide
Kota Kompak
Dewasa ini, masalah keberlanjutan
(sustainability issues) merambah di semua
bidang kehidupan manusia, tak terkecuali
pada “pembangunan segitiga” lingkungan-
sosial-ekonomi kota. Seperti terlihat pada
Gambar 1. tuntutan bahwa perkembangan
pada sebuah kota mulai 2 dasa warsa
terakhir ini harus aspiratif terhadap kebutuhan
dan eksitensi masa depan ini, dijawab
dengan beberapa kata kunci seperti: efisiensi,
intensifikasi, konservasi, revitalisasi di dalam
upaya menyelaraskan pembangunan kembali
kota (sustainable urban redevelopment
movement)
Gambar 1. Tujuan pembangunan ber-
kelanjutan dan implementasinya dalam
konteks kota
Di sisi lain, meskipun dalam konsep
operasionalnya sangat beragam, dewasa ini
di dunia strategi “kota kompak” (compact city
strategy) dipandang sebagai alternatif utama
ide pengimplementasian pembangunan
berkelanjutan dalam sebuah kota [2][3][5].
Sebagai akibatnya, ide ini diadopsi oleh
banyak kota di dunia, utamanya di negara-
negara maju. Kecenderungan pengadopsian
ide ini, di samping membawa efek positif
pada wacana pembangunan berkelanjutan,
tetapi banyak pula yang diterapkan apa
adanya tanpa mempertimbangkan
permasalahan kota yang ada dan kekhasan
sebuah kota.
Ide kota kompak ini pada awalnya adalah
sebuah respon dari pembangunan kota acak
(urban sprawl development), seperti
ditunjukkan perbedaannya pada Tabel 1. Dan
sangat mungkin ini adalah siklus berulang
perkembangan kota dan tarik menarik
kepentingan pada fungsi kota sejak 2 abad
terakhir ini, silih berganti antara memusat dan
menyebar (centrist dan de-centrist), seperti
telah disinyalir oleh Breheny [1]. Pilihan
kompak atau tidak kompak dalam menjawab
masalah keberlanjutan dalam sebuah
“organisme” kota sebenarnya sangat
bergantung pada kecenderungan, perilaku,
kapasitas, fleksibiltas, dan tentunya kebijakan
dalam sebuah kota. Yang kiranya cukup
penting adalah optimalisasi tingkat
kekompakan kota (city compactness level)
dalam menjawab tantangan ini (lihat Gambar
2.).
Tak bisa dipungkiri, saat ini adalah era kota
berkelanjutan. Sebagai contoh Inggris di
mana isu sekaligus kebijakan kota kompak ini
telah hampir berjalan lebih kurang 2 dasa
warsa. Dari tahapan kecenderungan evolusi
kota pun, kebijakan “sustainable cities” lewat
program “urban renaissance” saat ini adalah
reaksi dari konsep “garden cities” dan “new
cities” di era “utopian planning” yang telah
terbukti banyak tak sejalan dengan
pembangunan berkelanjutan. Begitu pula
di Jepang, program “urban
Lingkungan
maksimalisasi efisiensi
energi; konservasi
sumber daya alam dan
habitat; minimalisasi
kerusakan/bencana
Sosial
meningkatkan kualitas
hidup; mendorong
kesetaraan sosial
Ekonomi
Mendorong eksistensi
ekonomi lokal,
ketersediaan
kesempatan kerja
KOTA
Positif secara keruangan
Berwawasan lingkungan
Efisien bagi transport
Bermanfaat dari sisi sosial
Vital bagi pembangunan
ekonomi
UTAMA
19
23. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
redevelopment” dengan salah satu kota
kompak sebagai alternatif utama strateginya
saat ini adalah reaksi logis dari
perkembangan kota pasca Perang Dunia ke-2
sampai era menggelembungnya ekonomi
Jepang di pertengahan tahun 1980-an
(bubble economic) di bawah sistem “modern
urban planning” mereka.
Gambar 2. Tingkat optimalisasi kota kompak
tergantung pada “ukuran” kota
Meskipun begitu, karena ide yang masih
relatif baru dan sedikitnya rujukan serta
contoh nyata keberhasilannya, membuat
daftar panjang perdebatan hingga kini.
Beberapa klaim bahwa kota kompak akan
mengurangi ketergantungan pada mobil
pribadi, perlindungan pada daerah peri-peri
dan daerah hijau, akses yang lebih baik
kepada fasilitas dan layanan kota, dijawab
dengan kekhawatiran membumbungnya
harga lahan dan properti dalam kota,
tergusurnya orang-orang yang mempunyai
lemah akses, dan hilangnya preferensi pribadi.
2. Atribut Kota Kompak
Masalah utama yang terjadi pada
penerapan ide kota kompak saat ini adalah
anggapan bahwa ide ini bisa secara instan
diterapkan tanpa melihat kasus per kasus
permasalahan yang dihadapi oleh sebuah
kota, di samping keharusan penyesuaian
Waktu
tingkat kekompakan
t0 t0+1 t0+2 t0+3
s0 s0+1 s0+2 s0+3 Ruang
Factor internal:
• kapasitas
• fleksibilitas
• kebijakan
Faktor eksternal:
• kecenderungan
• jaringan
F (kompak)=(internal, eksternal)
Aspek Pembangunan Acak
(Sprawl Development)
Pembangunan Terkendali
(Anti-Sprawl Development)
Kepadatan Kepadatan rendah Kepadatan tinggi
Pola
pertumbuhan
Pembangunan pada peri-peri kota,
ruang dan ruang hijau, melebar
Pembangunan pada ruang-ruang
sisa/antara, kompak
Guna lahan Homogen, terpisah-pisah “Mixed”, cenderung menyatu
Skala Skala besar (bangunan yang lebih
besar, blok, jalan lebar), kurang
detil, artikulasi bagi pengendara
mobil
Skala manusia, kaya dengan
detil, artikulasi bagi pejalan kaki
Layanan
komunitas
Shopping mall, perjalanan mobil,
jauh, sukar untuk ditemukan
Main street, jalan kaki, semua
fasilitas mudah ditemukan
Tipe komunitas Perbedaan rendah, hubungan
antar anggota lemah, hilangnya ciri
komunitas
Perbedaan tinggi dengan
hubungan yang erat, karakter
komunitas tetap terpelihara
Transportasi Transportasi yang berorientasi
pada kendaraan pribadi, kurang
penghargaan pada pejalan kaki,
sepeda, dan transit publik
Transportasi multi-sarana,
penghargaan pada pejalan kaki,
sepeda, dan transit publik
Disain jalan Jalan didisain untuk
memaksimalkan volume
kendaraan dan kecepatannya
(collector roads, cul de sac)
Jalan didisain untuk
mengakomodasikan berbagai
macam kegiatan (traffic calming,
grid streets)
Disain bangunan Bangunan jauh terletak/ditarik ke
belakang (set back), rumah tunggal
yang terpencar
Bangunan sangat dekat dengan
jalan, tipe tempat tinggal beragam
Ruang publik Perujudan kepentingan pribadi
(yards, shopping malls, gated
communities, private clubs)
Perujudan kepentingan publik
(streetscapes, pedestrian
environment, public park and
facilities)
Biaya
pembangunan
Biaya yang tinggi bagi
pembangunan baru dan biaya
layanan publik rutin
Biaya yang rendah bagi
pembangunan baru dan biaya
layanan publik rutin
Proses
perencanaan
Kurang terencana, hubungan
pelaku pembangunan dan aturan
lemah
Terencana dan hubungan pelaku
pembangunan dan aturan baik
(community based)
Tabel 1. Perbandingan antara pembangunan acak dan pembangunan terkendali
20
24. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
terhadap karakter kota. Simulasi beberapa
kebijakan transport dan tata guna lahan yang
erat dengan ide kota kompak ini menunjukkan
pentingnya melihat kondisi perkembangan
kota (pola pergerakan/transport, pola tata
guna lahan), selain juga optimalisasi
kebijakan antara yang bersifat tarik dan tekan
(pull-push policies) [8].
Tabel 2. Total konsumsi energi dari transport
kota di Kota Sapporo, Jepang tahun 2000-
2030 (ribu liter/hari)
Tabel 2. menunjukkan bahwa kebijakan-
kebijakan transport dan tata guna lahan yang
erat dengan ide kota kompak telah
menghasilkan kecenderungan pengurangan
jumlah konsumsi energi dari transport kota
20% atau lebih. Bahkan bila kombinasi antar
kebijakan berhasil, seperti pada kombinasi
Road Pricing (bersifat tekan) dan Public
Transport Priority (bersifat tarik) bisa
mengurangi sekitar 50% konsumsi energi dari
transport kota dalam jangka 30 tahun
penerapannya.
Gb.3. Seting definisi kota kompak
Lebih jauh untuk mengetahui bagaimana
pengimplementasian kota kompak pada
sebuah kota, kita perlu mengetahui atribut-
atribut pentingnya. Seperti diilustrasikan
melalui Gambar 3, kota kompak diartikan
sebagai sebuah strategi kebijakan kota yang
sejalan dengan usaha perujudan
pembangunan berkelanjutan untuk mencapai
sebuah sinergi antara kepadatan penduduk
kota yang lebih tinggi pada sebuah ukuran
ideal sebuah kota, pengkonsetrasian semua
kegiatan kota, intensifikasi transport publik,
perujudan kesejahteraan sosial-ekonomi
warga kota menuju peningkatan taraf dan
kualitas hidup kota.
Di sini keenam atribut itu tidak bisa
dipisahkan dan semestinya saling
mendukung keberadaan kota kompak.
Sebagai misal sebuah kota yang padat-rigid
dan mempunyai besaran (skala) ideal untuk
mencapai semua penjuru kotanya, tetapi
memiliki ketimpangan sosial-ekonomi
penduduk yang jelas dan masih sangat
tergantung pada kendaraan pribadi, belumlah
cukup untuk digolongkan sebagai kota
kompak. Sebaliknya, kota dengan sistem
transport yang maju, dengan ekonomi warga
yang tinggi pula, skala kotanya pun ideal,
namun pusat kota itu sendiri akan menjadi
senyap di malam hari dan hari libur sebab
warga kota lebih memilih tinggal di wilayah
luarnya, belum bisa digolongkan ke dalam
kategori kota kompak pula.
Pada Gambar 4. diilustrasikan keenam
atribut kota kompak ini. Usaha kenaikan
kepadatan penduduk dan lingkungan
tentunya terkait dengan optimalisasi lahan
dan infrastruktur dalam kota. Dengan
demikian, usaha ini pun akan mempunyai
efek positif untuk melindungi lahan-lahan
subur di luar kota. Kenaikan densitas
penduduk ini perlu disertai dengan usaha
penyatuan berbagai macam kegiatan dalam
area yang sama (mixed use development),
sehingga penduduk yang tinggal di mana pun
di dalam kota akan mampu terlayani secara
baik oleh sebuah sistem unit ini. Sistem
transportasi umum yang intensif akan
membantu dalam menyelesaikan masalah
kerusakan lingkungan dalam kota akibat
transportasi manusia, selain mendorong
berbagai kegiatan kota lebih aktif.
Atribut selanjutnya yaitu pertimbangan
besaran dan akses kota mutlak diperlukan.
Atribut ini juga sebagai pengendali jarak
maupun waktu tempuh kegiatan kota
sekaligus usaha untuk memudahkan
pengkoordinasian (smart urban management).
Target kota kompak itu sendiri adalah atribut
ke-5 yaitu kesejahteraan sosial-ekonomi
setiap penduduk kota yang kian meningkat
Kebijakan 2000 2015 2030
Do Nothing (DN) 352 370 377
Road Pricing (RP) 352 293 285
Transit Oriented Dev. (TOD) 352 256 248
Public Trans. Priority (PTP) 352 221 215
Urban Boundary (UB) 352 277 288
Cordon Line (CL) 352 244 228
UB+RP 352 299 311
UB+PTP 352 222 226
RP+TOD 352 231 223
RP+PTP 352 192 187
TOD+PTP 352 212 230
Kota
Kompak
Penaikan
densitaspenduduk
Pengkonsentrasian
kegiatan
Intensifikasi
Transportasi
umum
Pertimbanganskala
danakseskota
Kesejahteraan
sosial-ekonomi
Komunitasyang
Berkelanjutan
Karakter
Ruang
Waktu
Proses
menuju
kompak)
MasaLalu SaatIni MasaDepanProses
21
25. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
Penaikan penduduk dan lingkungan
Kepadatan penduduk dan lingkungan binaan (bangunan) tinggi, efisiensi bagi penggunaan
lahan dan infrastruktur kota
Pengkonsentrasian kegiatan
Kesatuan dari banyaknya ragam kegiatan, akses makin mudah terutama bagi pejalan kaki
Intensifikasi transportasi umum
Berkurangnya ketergantungan pada mobil pribadi, meningkatnya jumlah pejalan kaki dan
penggunaan transportasi umum, wawasan lingkungan
Pertimbangan besaran dan akses kota
Turunnya waktu tempuh, berkurangnya jarak tempuh, akses dan efektivitas dalam kota lebih
baik
Target kesejahteraan sosial-ekonomi
Kualitas hidup makin baik, performa hidup sehari-hari makin mudah
Proses (perbaikan) menuju kompak
Masa depan kota cenderung lebih kompak, didukung oleh berbagai program yang sesuai dan
dilakukan secara intensif
Gambar 4. Ilustrasi tampilan atribut kota kompak (kiri: performa yang tidak direkomendasikan,
kanan: performa yang direkomendasikan)
22
26. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
(better quality of life). Aspek sosial pada
atribut ini pun adalah interaksi sosial
yang harmonis pada semua lapisan
masyarakat di tengah kota. Atribut terakhir
yakni proses menuju sebuah keadaan yang
lebih baik. Atribut ini didasari oleh kenyataan
bahwa sebuah kota kompak adalah sebuah
target kondisi yang harus dilalui tahunan
karena menyangkut perubahan mendasar
pada sebuah kota melalui proses panjang
penerapan serangkaian kebijakan kota.
Seperti telah disinggung di depan,
meskipun ide dasar kota kompak ini telah
menjadi sebuah model terpopuler untuk
mewujudkan sebuah kota berkelanjutan
dewasa ini dan berbagai upaya penerapan
modelnya tengah banyak diujicobakan, di sini
perlu pula disebutkan dampak negatif yang
mungkin ditimbulkannya. Dalam Tabel 3 di
atas selain keuntungan yang telah banyak
disinggung, penerapan sebuah kota kompak
secara alami juga mampu mengakibatkan
beberapa kerugian, seperti: bertambah
mahalnya lahan di dalam kota; kekhawatiran
kualitas hidup yang berkurang dengan
adanya upaya menaikkan kepadatan
penduduk dalam kota; serta kemungkinan
tergusurnya penduduk yang mempunyai
akses lemah, termasuk orang berusia lanjut
dan para miskin. Dengan kebijakan yang
tepat dan berasas pada keadilan bagi semua
warga kota, ekses merugikan tersebut tentu
dapat diminimalisasi.
3. Implementasi Strategi Kota Kompak:
Belajar dari Mancanegara
Pada beberapa negara, terutama negara-
negara maju, ide dasar kota kompak itu telah
berhasil diusung ke dalam tingkat aplikasi
pada sebuah atau beberapa kebijakan kota.
Hal ini karena sifat responsif mereka terhadap
isu-isu model pembangunan berkelanjutan
(terutama gagasan wawasan lingkungan
dalam kota kompak ini) dan rintangan mereka
pada aspek kesejahteraan masyarakat kota
relatif kecil. Selain itu, beberapa perencana
Atribut Keuntungan Kerugian
Kenaikan kepadatan
penduduk dan
lingkungan
Aglomerasi ekonomi, pengurangan
kebutuhan perjalanan dan waktu,
preservasi lahan pertanian atau
lahan-lahan hijau terbuka,
penanggulangan degradasi
lingkungan, tata guna lahan yang
hemat energi, performa untuk
kegiatan ekonomi rendah
Harga lahan dan properti naik,
berkurangnya perumahan layak,
berkurangnya beberapa ameniti
kota, biaya operasi dan
perawatan naik, sedikit
bermasalah dalam akses ke
ruang hijau
Pengkonsentrasian
kegiatan
Penyediaan fasilitas dan
infrastruktur kota efisien,
pendistribusian servis dan barang
lebih merata, gaya dan budaya
hidup semakin variatif, vitalitas
sosial-ekonomi naik
Kualitas hidup masa depan masih
diperdebatkan, pembangunan
berbiaya tinggi jika strategi
pembangunan kotanya benar-
benar baru, pengurangan kualitas
kesehatan, kondisi lebih
“overcrowded”
Intensifikasi
transportasi umum
Transportasi umum yang lebih
baik, energi untuk transportasi
lebih hemat, pengurangan
ketergantungan pada mobil
pribadi, naiknya alternatif akses
dan pilihan perjalanan dalam kota
Kualitas dan penyesuaian
lingkungan, ditengarai tetap
banyak kemacetan dan tambahan
polusi udara
Pertimbangan
besaran dan akses
kota
Skala kota yang mudah dicapai
bagi semua moda transportasi,
pengurangan jarak bepergian,
servis dan fasilitas yang lebih
mudah, kontrol pembangunan
secara tepat
Cengkraman sentralisasi kota
akan lebih kuat, rintangan pada
komunikasi dan jaringan
(network)
Target
kesejahteraan
sosial-ekonomi
Interaksi sosial meningkat, sedang
pemisahan sosial bisa diturunkan,
penurunan perbedaan
kelas/sosial, penurunan angka
kejahatan, interaksi sosial yang
lebih baik
Berkurangnya ruang hunian,
displasi bagi kelas sosial yang
lemah, menurunnya faktor privasi
dalam kota
Tabel 3.Keuntungan dan kerugian ide kota kompak
23
27. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
meyakini secara tradisional kota-kota periode
terdahulu, terutama di daratan Eropa, adalah
bertipe kompak.
Amerika Serikat, Eropa dengan Inggris dan
Belanda sebagai pelopornya, Australia, dan
Jepang adalah negara-negara yang saat ini
secara intensif mengaplikasikan kebijakan
kota kompak dalam perencanaan ruang
kotanya. Di tataran negara berkembang sejak
satu dasa warsa terakhir, diskusi kota
kompak pun telah berlangsung dan dicoba
diaplikasikan ke dalam perencanaan kotanya.
Dhaka, Delhi, Bangkok, Teheran, Kairo, Cape
Town, Hongkong, Taiwan, dan banyak kota di
Amerika Latin adalah banyak kota yang
dilaporkan telah mengadopsi ide kota kompak
melalui gerakan kembali ke pusat kota ini [2]
[4] [6].
3.1. “Urban Renaissance” di Inggris
Di bawah program berjuluk “Urban
Renaissance” atau pembangunan kembali
kota, Pemerintah Inggris menitikberatkan ide
kota kompak sebagai bagian ide dasar
kebijakan yang ditempuh di dalamnya [10]. Ini
berlaku aktif sejak awal tahun 1990-an,
hampir berbarengan dengan program sejenis
di Belanda. Pada tahun 1998, sebuah Urban
Task Force di bawah arsitek terkenal, Richard
Rogers, dibentuk untuk lebih mengkonsepkan
beberapa strategi di dalamnya dan
mensosialisasikannya secara nasional.
Hasilnya diharapkan dapt terlihat 25 sampai
30 tahun kemudian. Program ini
dilatarbelakangi oleh masalah depopulasi
yang dikhawatirkan jika terus berlanjut akan
membawa kolapnya kota-kota di Inggris.
Gambat 5. Hubungan antar unit wilayah
dalam sebuah kota kompak (modifikasi dari
versi Inggris di Urban Task Force, [10])
Visi dasar dari program ini yaitu
memberdayakan komunitas local (local
community based program) yang mampu
membangun komunitasnya secara atraktif
(attractive community) dalam sebuah
lingkungan yang terjaga dan berkelanjutan
(well kept sustainable way) dan memiliki
layanan lingkungan yang baik (good quality
service) dengan seluruh potensi yang dimilki
untuk kesejahteraan bersama (prosperity
sharing). Ini juga salah satu strategi untuk
menarik penduduk untuk kembali tinggal di
dalam kota. Dalam konsep tata ruangnya,
seperti diilustrasikan dalam Gambar 5, visi
dalam sebuah komunitas lokal ini juga secara
integral ditransformasikan ke dalam cakupan
kota.
3.2. “Urban Redevelopment” di Jepang
Di Jepang, program sejenis dengan label
“Urban Redevelopment” mulai menjadi
patokan pembangunan berwawasan
lingkungan, terutama dijalankan melalui
pembangunan kembali ke pusat kota. Secara
prinsip bertujuan sama, yakni
mengoptimalkan pembangunan yang
dikonsentrasikan di dalam kota. Bedanya di
Inggris karena bersifat nasional
penerapannya hampir seragam pada semua
tataran lokal. Di Jepang, program ini bersifat
“kuasi-nasional” dengan interpretasi model
penerapannya yang sangat beragam di
berbagai kota di Jepang. Meskipun begitu, ide
yang sejalan dengan perujudan kota kompak
masih menjadi ide inti dari program ini.Pusat Kota
r=20 menit jalan kaki
Batas kota
Distrik Kontrol
Komunitas lokal
Jaringan,
layanan, dll.
24
28. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
Gambar 6. Ragam penerapan konsep kota
kompak pada beberapa kota di Jepang
(modifikasi dan kompilasi dari Koide, [6] dan
Kaidou, [5])
Seperti terlihat pada Gambar 6, tipe
penerapan konsep kota kompak di Jepang
sangat lah bervariasi. Kota Aomori di utara
Pulau Honshu yang sangat bersalju pada
musim dingin, menampakkan kemajuan cepat
pada pengkonsentrasian kegiatan di sekitar
stasiun di pusat kota kurang dari 5 tahun
belakang ini [7]. Kota Fukui di daerah
Hokuriku di sebelah barat lebih menitikkan
perujudan kota kompak melalui kebijakan
TOD (transit oriented development) yakni
pembangunan hanya diperkenankan pada
jalur-jalur transportasi umum. Kota Kobe
selepas gempa pada tahun 1995 juga telah
menyesuaikan tata ruangnya kembali
terkonsentrasi di pusat kota dan kompak
serta diawali dengan konsep serupa mulai
dari wilayah lokalnya. Sedangkan Kota
Sendai menjalankan pembangunan “kembali
ke pusat kota” melalui kebijakan TOD dan
kebijakan pengoptimalan transportasi umum
semacam “park and ride” bagi penduduk yang
datang dari wilayah peri-perinya.
Di kota-kota ukuran menengah dan besar
lainnya, pembangunan apartemen dan
kondominium pun terlihat diprioritaskan di
daerah-daerah CBD (central business district)
dan beberapa kawasan (lama) yang
dioptimalkan kembali melalui program
revitalisasi (urban revitalization) atau
pembangunan kembali (urban
redevelopment). Di tingkat lokal wilayah
melalui sistem perencanaan berbasis
komunitas (machi zukuri), terminologi
pengkonsentrasian kegiatan semacam kota
kompak ini pun telah pula menjadi
pengetahuan umum sehari-hari. Ini pula yang
menyebabkan kesadaran untuk hidup lebih
baik dan dukungan terhadap kebijakan-
kebijakan pemerintah Jepang pada program
ini pun terlihat positif.
4. Tantangan ke Depan Kota Kompak di
Indonesia
Berdasar analisis Jenks dan Burgess [4],
ide kota kompak masih jauh penerapannya
pada negara-negara berkembang,
dikarenakan mereka masih menghadapi
masalah lebih serius pada pemenuhan
kebutuhan dasar hidup dan lapangan
pekerjaan mereka dibanding prioritas
perujudan pembangunan berkelanjutan.
Hampir semua masalah yang terjadi di
banyak negara berkembang ini berpangkal
pada performa ekonomi mereka yang lebih
rendah dari pada negara maju pada
umumnya. Seperti di Kalkuta, India atau
Dhaka, Bangladesh, dari segi kepadatan
penduduk dan penggunaan transportasi tak
bermotor sehari-hari sebenarnya telah
memenuhi syarat pembangunan
berkelanjutan. Tapi sayang, hal ini bukan
merupakan hasil penerapan sebuah
kebijakan, tapi lebih diakibatkan masalah
ekonomi seperti rendahnya pendapatan per
kapita mereka.
Meskipun demikian, beberapa inovasi
pemerintah lokal seperti yang terjadi di
Bangkok dan Hongkong, serta banyak negara
di Amerika Latin untuk membangun kotanya
sejalan dengan isu terhangat ini menjadi
catatan tersendiri bahwa kebijakan ini pun
bisa secara positif memacu timbulnya
peningkatan performa ekonomi di wilayah-
wilayah itu. Diskusi dan pengangkatan tema
“pembangunan berwawasan lingkungan” ini
sebenarnya sedikit banyak telah tampak di
beberapa kota di Indonesia, meskipun masih
jauh dari ideal, terutama pada tataran
implementasi yang bersungguh-sungguh.
Apalagi, pembangunan yang sebenarnya
bertujuan memberi manfaat bagi peningkatan
taraf hidup masyarakat kota ini, masih saja
sering menjadikan rakyat kecil sebagai pihak
terakhir yang mengenyam manfaatnya, kalau
Kota Aomori
Pusat
Kota
Tepi Air (Waterfront)
Dalam
Tengah
Luar
Transport
Hub
Tempat
Kerja
Permukiman
Kota Fukui
Sekola
h
Fasilitas
Umum
Taman
Fasilitas
Harian
Akses
jalan
Sekola
h
Fasilitas
Umum
Taman
Fasilitas
Harian
Akses
jalan
Kota Kobe
Komunitas Ekonomi
Wilayah
Lingkungan
Kota
Kompak
Kesejahteraan lingkungan
berbasis pembangunan
komunitas lokal
Densitas ekonomi
berbasis promosi
tempat kerja
Komunitas berbasis
pembangunan
tenaga kerja
Komunitas Ekonomi
Wilayah
Lingkungan
Kota
Kompak
Kesejahteraan lingkungan
berbasis pembangunan
komunitas lokal
Densitas ekonomi
berbasis promosi
tempat kerja
Komunitas berbasis
pembangunan
tenaga kerja
Community Regional
Economic
Environment
Compact
Town
Community Regional
Economic
Environment
Compact
Town
Community Regional
Economic
Environment
Compact
Town
Compact
Town
Compact
Town
Compact
Town
Compact
Town
Community Regional
Economic
Environment
Compact
Town
Community Regional
Economic
Environment
Compact
Town
Community Regional
Economic
Environment
Compact
Town
Community Regional
Economic
Environment
Compact
Town
Community Regional
Economic
Environment
Compact
Town
Community Regional
Economic
Environment
Compact
Town
Community Regional
Economic
Environment
Compact
Town
Community Regional
Economic
Environment
Compact
Town
Compact
Town
Compact
Town
Compact
Town
Compact
Town
Kota Sendai
Sekarang
Alternatif 1 Alternatif 2
25
29. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
pun tidak boleh disebut sebagai korban atau
pun tumbal pembangunan.
Dari sini terlihat bahwa kota-kota di
Indonesia masih jauh dalam mengantisipasi
pembangunan berkelanjutan. Konsep ini
seharusnya lah segera direspon dan
dituangkan secara integral dan terpadu pada
semacam cetak biru pembangunan (tata
ruang) kota. Tentunya cara pandang terhadap
pembangunan perkotaan dan tata ruang
untuk saat ini juga perlu diubah sesuai
fenomena global ini. Selain itu, parameter
keberhasilan harus secara tegas ditentukan
untuk mempercepat pencapaian target dan
kesungguhan bertindak (political will), seperti:
penurunan jumlah kendaraan pribadi dalam
satuan waktu, penurunan konversi lahan hijau
ke area perumahan per satuan waktu,
peningkatan pembangunan rumah susun atau
peningkatan peremajaan kampung per satuan
waktu, dan sebagainya. Hal ini tentu harus
diikuti pula oleh penegakan hukum yang kuat
dari aparat yang berwenang. Tanpa ini,
pembangunan apa pun hanya akan dirasakan
oleh kalangan yang bisa memanfaatkan
lemahnya aturan dan penerapan hukum.
Selanjutnya yang perlu menjadi perhatian
adalah pemasyarakatan budaya hidup vertikal
(vertical living culture) kepada masyarakat.
Adanya anggapan bahwa kurang berartinya
hidup di rumah susun, apartemen, atau
karena tidak terdapat kepemilikan tanah di
dalamnya, perlu segera dikikis. Masyarakat
lemah akses, seperti para manula dan para
miskin juga harus mendapat prioritas bagi
keberlangsungan hidup mereka secara lebih
baik di tengah-tengah kota. Sistem
pembiayaan pembangunan yang berbeda
berdasar kemampuan masyarakat perlu
menjadi prioritas pemikiran sebelum bertindak.
5. Penutup
Paradigma pembangunan tata ruang kota
berkelanjutan dengan ide utama seperti
perujudan kota kompak terlihat semakin
menjadi kebutuhan tak terpisahkan dalam
pembangunan kota-kota di dunia dewasa ini.
Hal ini bisa dilihat dari pemanfaatan ide ini
yang tidak saja diterapkan di negara maju,
tetapi telah pula merambah negara-negara
berkembang. Namun begitu, apakah model
kota ini akan menjadi solusi jitu masa depan
tata ruang kota tampaknya juga memerlukan
pembuktian lebih jauh, meskipun ada indikasi
awal bahwa penerapan kebijakan ini relevan
bagi kota-kota yang telah mencoba
menerapkannya. Hal ini disebabkan
penerapan model kota kompak ini masih
sangat terbatas (model availability) dan
memerlukan waktu yang cukup panjang (long
term observation), maka perlu kehati-hatian
untuk mendiskusikan implikasi hasilnya.
Penerapan kebijakan kota kompak ini pun
tak bisa dipisahkan dari karakter masing-
masing kota. Meskipun bertujuan sama,
belum tentu kota satu dan lainnya mempunyai
hasil yang sama dalam pengimplementasian
sebuah kebijakan yang sama. Setiap kota
adalah organisme yang spesifik dengan
karakter yang spesifik pula. Upaya penerapan
kebijakan ini memerlukan sebuah kajian
mendalam dan panjang. Selain untuk
mensimulasikan kebijakan-kebijakan yang
tepat, upaya ini juga dalam rangka
memperkecil dampak negatif yang bisa
ditimbulkan oleh sebuah model kota kompak.
6. Daftar Pustaka
[1] Breheny, M., (1992) The Contradictions of
The Compact City: a Review, dalam
Breheny M. J., ed. (1992) Sustainable
Development and Urban Form, European
Research in Regional Science, 2, Pion,
London, 138-159.
[2] De Roo, G. and Miller, D. (2000) Compact
City and Sustainable Urban Development:
A Critical Assessment of policies and
Plans from an International Perspective,
Ashgate, Aldershot.
[3] Jenks, M.; Burton, E.; Williams, K., eds.
(1996) The Compact City: A Sustainable
Urban Form?, E & FN Spon, London
[4] Jenks, M.; Burgess, R., eds. (2000)
Compact Cities: Sustainable Urban
Forms for Developing Countries, E & FN
Spon, London.
[5] Kaidou, K. (2002), Compact City:
Towards an Image of Society in
Sustainable City (Kompakuto Shiti,
Jizokukanouna Shakai no Toshizou wo
Motomete), Gakugei Publisher, Kyoto,
dalam Bahasa Jepang.
[6] Koide, K. (2001) Compact City as a Policy,
and Its Implementation in some Japanese
Cities, dalam Japanese Journal of Real
Estate Sciences, 2001, Vol. 15, No. 3, 56-
63.
26
30. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
[7] Nikkei Shinbun, April 24, 2006, Shou, Juu,
Sei Machi Naka He: Konpakuto Shiti no
Kasoku (Commerce, Housing, Policy,
Back to the Central City: Compact City
Implementation)
[8] Roychansyah, M. S., Ishizaka, K., Omi, T.
(2003) A Study on New Urbanism:
Learning from Japanese Urban
Conditions and Its Issues, dalam
Proceedings of International Symposium
on City Planning, Sapporo, August 2003,
1-11.
[9] Roychansyah, M.S. (2005), A Study on
Characterizing and Evaluating Cities
toward Implementations of Compact City
Strategy (Konpakuto Shiti Senryaku no
Kanten kara no Toshi Tokusei no Haaku
to Hyouka ni Kansuru Kenkyuu), Disertasi
Doktor di Universitas Tohoku, Sendai,
tidak dipublikasikan.
[10]Urban Task Force (2002) Towards an
Urban Renaissance: Final Report of the
Urban Task Force Chaired by Lord
Rogers of Riverside, the Department of
the Environment, Transport, and Regions
(DoE), London.
27
31. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
Air sebagai Parameter Kendali dalam Tata Ruang
Rachmat Fajar Lubis
Graduate School of Science and Technology, Chiba University, Japan
E-mail : fajarlubis@graduate.chiba-u.jp
Perencanaan dan pengelolaan tata ruang
sangatlah diperlukan sebagai pedoman
bagi perencanaan pembangunan. Tujuanya
agar penataan lingkungan hidup dan
pemanfaatan sumber daya alam dapat
dilakukan secara aman, tertib, efisien dan
efektif. Dalam melaksanakan pembangunan,
penggunaan sumber daya alam dilakukan
secara terencana, rasional, optimal,
bertanggung jawab, dan sesuai dengan
kemampuan daya dukungnya, dengan
mengutamakan sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Di samping itu harus
memperhatikan pula kelestarian fungsi,
keseimbangan lingkungan hidup dan
keanekaragaman hayati guna mewujudkan
pembangunan yang berkelanjutan.
Suatu rencana tata ruang haruslah
memadukan dan menyerasikan tata guna
tanah, air, dan sumberdaya alam lainnya.
Semua unsur itu dipadukan dalam satu
kesatuan tata lingkungan yang harmonis,
dinamis serta ditunjang oleh pengelolaan
perkembangan kependudukan yang serasi.
Karena itu, rencana tata ruang disusun
melalui pendekatan wilayah dengan
memperhatikan sifat lingkungan alam dan
lingkungan sosial.
Perilaku pembangunan yang tidak
mendukung ekosistem lingkungan
menyebabkan penataan ruang wilayah juga
terfragmentasi dan tidak saling mendukung.
Pertumbuhan ekonomi jangka pendek yang
tidak lagi memperhatikan rencana jangka
panjang yang berwawasan lingkungan,
merupakan penyebab utama kerusakan
lingkungan sekitar. Pada akhirnya hal ini
akan sangat berpengaruh terhadap
percepatan pembangunan bangsa.
Tulisan ini hanya mencoba membahas
salah satu parameter kendali utama dalam
perencanaan tata ruang yaitu air atau
seringkali disebut sebagai sumberdaya air.
Dampak Tata Ruang terhadap Siklus Air
Pengembangan tata ruang sangatlah
berdampak terhadap siklus air yang ada di
wilayah tersebut. Siklus air yang dimaksud
dalam tulisan ini adalah siklus hidrologi,
yaitu siklus kesetimbangan antara air hujan,
air permukaan dan air tanah.
Dampak yang secara kualitatif sudah terjadi
antara lain [2]:
Penataan ruang di daerah perkotaan:
Perubahan fungsi lahan menjadi jalan,
tempat parkir dan bangunan lainnya akan
mengakibatkan perubahan nilai
evapotransrasi dan pola mikroklimat. Untuk
air permukaan akan mengakibatkan
penambahan aliran permukaan (runoff),
banjir di daerah hilir. Sedangkan untuk air
tanah dapat mengurangi besaran infiltrasi
air ke dalam tanah, besaran air tanah dan
aliran dasar di sungai (base flow) yang
berasal dari air tanah.
Penataan ruang di daerah pedesaan:
Peningkatan erosi dan sedimentasi yang
dapat berakibat pada berkurangnya tingkat
kesuburan lahan serta potensi bencana
alam. Dan pencemaran dari air permukaan
terhadap sungai, danau dan rawa.
Penataan ruang di daerah industri dan
pertambangan:
Potensi terbesar adalah pada masalah
pencemaran baik untuk air sungai maupun
air tanah. Potensi permasalahan lainnya
adalah kerusakan pada daerah aliran
sungai dan kawasan resapan mata air.
Penataan ruang untuk pengembangan
kawasan baru:
Perencanaan wilayah pemukiman baru
sangat memerlukan perhitungan mengenai
ketersediaan air yang akurat, secara
kuantitas dan kualitas. Banyak contoh
kasus ketersediaan air cukup memadai
secara kuantitas tetapi tanpa didukung oleh
kualitas yang baik. Akibatnya wilayah
tersebut ditinggalkan dan terbengkalai.
UTAMA
28
32. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
Mengacu pada permasalahan-
permasalahan di atas maka air sebagai
paramater kendali dalam tata ruang
sangatlah penting. Baik dari aspek kuantitas
maupun kualitas.
Paramater Kendali Kualitas dan
Kuantitas
Untuk aspek kuantitas, kata kunci
permasalahan utama adalah penggunaan
yang berkesinambungan (conjunctive use).
Secara sederhana berarti suatu upaya
untuk memanfaatkan sekaligus
mengupayakan sumber air tetap tersedia
dan tidak berkurang.
Model di bawah ini mencoba
menggambarkan bagaimana upaya
pemanfaatan sumber daya air haruslah
diselaraskan dengan upaya konservasinya.
Gambar 1. Model penataan ruang berdasarkan upaya konservasi sumberdaya air
(Modifikasi dari Department of Water Resources, California 2006)
Untuk aspek kualitas, kata kunci
permasalahan utama adalah pencegahan
polusi atau lebih spesifik kita sebut
pencemaran air. PP no 20/1990 [1]
mendefinisikan pencemaran air sebagai:
"Pencemaran air adalah masuknya atau
dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi
dan atau komponen lain ke dalam air oleh
kegiatan manusia sehingga kualitas air
turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan air tidak berfungsi lagi
sesuai dengan peruntukkannya” (Pasal 1,
Angka 2).
Hal terpenting untuk menyatakan daerah
ini tercemar atau tidak adalah harus ada
data dengan rentang waktu yang informatif.
Hal ini yang seringkali sulit. Data awal yang
menggambarkan kondisi sumber daya air
sebelum aktivitas penataan ruang
dilakukan, seringkali tidak didapatkan.
Akibatnya, sangat sulit menyatakan bahwa
sumber daya air di daerah ini tercemar
atau memang secara alami memiliki
komposisi seperti yang dikeluhkan setelah
penataan ruang berjalan.
Paramater Kendali Tata Ruang.
Teknik penataan ruang yang lain adalah
dengan cara memberi bobot atau nilai
kuantifikasi terhadap sumberdaya air untuk
setiap zonasi tata ruang. Cukup banyak
klasifikasi yang telah diajukan. Teknik
pemilihan metode klasifikasi yang tepat,
perlu dilakukan dengan memperhatikan
aspek kekhasan kondisi alam setempat.
Sebagai contoh untuk daerah yang kaya
dengan sungai atau air permukaan, maka
29
33. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
air permukaan ini haruslah dijadikan
sebagai bobot terbesar sehingga penataan
ruang akan mengikuti pola konservasi dan
eksploitasi air permukaan yang paling
efisien. Sebaliknya pada daerah yang
sumberdaya airnya didominasi oleh air
tanah atau air hujan maka pembobotan
haruslah dilakukan dengan bobot terbesar
pada aspek utama tersebut.
Salah satu kelemahan utama dari teknik
pembobotan ini adalah skala pembobotan
wilayah. Pembobotan ini akan berlangsung
efektif pada skala tata ruang yang detail
seperti 1:10.000 atau lebih kecil.
Kesimpulan
Upaya perencanaan tata ruang perlu
memperhatikan parameter-parameter
kendali yang berbeda-beda. Perbedaan ini
sangat ditentukan oleh kekhasan masing-
masing wilayah dan kepentingan budi daya
manusia. Tulisan ini mencoba memberikan
gambaran bahwa untuk mengintegrasikan
seluruh parameter kendali harus disertai
dengan pemahaman yang mendalam
tentang masing-masing parameter.
Daftar Pustaka
[1] ……, 1990 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 20, tentang
Pengendalian Pencemaran Air
[2] Randolph J, 2004, Environtmental
Land Use Planning and Management,
Island Press, p 36-52.
30
34. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
Memahami Proses Alamiah Degradasi
Lingkungan Delta Mahakam
Salahuddin Husein
Anggota Mailing List Lautan-Quran@yahoogroups.com
Kandidat Ph.D Geologi di Universiti Brunei Darussalam
Email: shddin@yahoo.com
1. Pendahuluan
Sebaran hutan mangrove di dataran Delta
Mahakam, yang terletak di Propinsi
Kalimantan Timur, mengalami degradasi akut.
Kawasan yang memiliki arti penting bagi
lingkungannya tersebut telah digantikan oleh
ribuan hektar tambak udang semenjak krisis
moneter di tahun 1997, yang didorong oleh
harga udang eksport yang melejit. Setelah
periode kemakmuran yang sangat singkat
tersebut, hanya sekitar 5 tahun dan dimana
sebagian besar keuntungan lari kepada
investor luar, penduduk setempat kini
menghadapi lingkungan yang rusak. Kualitas
air minum menurun, ternak udang terkena
penyakit, erosi pantai dan sungai meningkat,
konflik horisontal penggunaan lahan
meruncing, dan potensi perikanan di kawasan
hutan mangrove merosot drastis. Ditengah-
tengah fokus upaya penyelamatan lingkungan
di kawasan tersebut, tulisan ini mencoba
melihat proses-proses alamiah yang turut
berperan dalam perubahan tersebut.
2. Peran Hutan Mangrove
Delta Mahakam terbentuk dari hasil
sedimentasi Sungai Mahakam, sebuah sungai
terpanjang di Kalimatan Timur, selama ribuan
tahun. Luas datarannya adalah sekitar 1700
km2
yang terbagi menjadi 4 zona vegetasi,
yaitu: hutan tanaman keras tropis dataran
rendah, hutan campuran tanaman keras dan
palma dataran rendah, hutan rawa nipah dan
hutan bakau (Gambar 1). Dua zona vegetasi
yang terakhir, karena penyebarannya
tergantung pada keberadaan air laut,
seringkali disebut bersama-sama sebagai
hutan mangrove, dan menutupi 60% luas
dataran delta. Sistem perakaran hutan
mangrove yang kokoh mampu menahan
empasan ombak dan mencegah abrasi pantai,
membuatnya berfungsi sebagai zona
penyangga (buffer zone).
Ekosistem hutan mangrove merupakan
habitat bagi beragam jenis biota laut.
Penduduk setempat sudah lama
memanfaatkan kawasan ini sebagai areal
tangkapan ikan, udang, dan kepiting.
Kekayaan ekosistem Delta Mahakam sangat
didukung oleh lokasi delta tersebut yang
terletak di tepi barat Selat Makassar, sebuah
selat yang sangat penting bagi iklim dan
ekonomi dunia. Melalui selat inilah, arus laut
antara Samudera Pasifik dan Samudera
Hindia mengalir dan kaya akan zat-zat nutrisi.
Arus laut yang dikenal di dunia sebagai
Indonesian throughflow atau Arus Lintas
Indonesia (Arlindo) tersebut telah pernah
dikupas di dalam majalah ini [1].
Gambar 1. Zonasi tumbuhan di Delta Mahakam
3. Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove
Luas hutan mangrove di Delta Mahakam
semula diperkirakan mencapai 1000 km2
,
namun saat ini yang tersisa hanya 20 % [3].
Sekitar 80 % lainnya telah musnah dibabat
IPTEK
31
35. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
dan berganti menjadi ribuan hektar tambak
udang dengan produksi sekitar 5600 ton per
tahun [8] (Gambar 2 dan 3).
Selama ini, pengaruh pembabatan hutan
mangrove terhadap penurunan daya dukung
fisik pesisir dapat dikategorikan menjadi 3 hal,
yaitu peningkatan laju abrasi, intrusi air laut,
dan penurunan potensi perikanan.
Gambar 2. Citra satelit SPOT meliputi sebagian Delta Mahakam. Warna merah mengindikasikan
tutupan vegetasi, termasuk hutan mangrove. (a) Tahun 1992, tambak udang hanya meliputi 4 %
dari luas hutan mangrove. (b). Tahun 1998, tambak udang telah merusak 41% dari luas hutan
mangrove. (c) Inset dari daerah di dalam kotak bergaris putih pada gambar (b), menunjukkan pola
tambak yang berkembang di kawasan tersebut.
Gambar 3. Proses perubahan lahan secara
drastis di Delta Mahakam sebagai dampak krisis
moneter. Perubahan paling besar dialami oleh
hutan nipah (dimodifikasi dari Bourgeois et al.,
[2]).
Semenjak tahun 1996, laju abrasi diperkira-
kan mencapai sekitar 1.4 km2
per tahun;
semen-tara sebelumnya hanya sekitar 0.13
km2
per tahun [8]. Angka-angka tersebut
sungguh mengejutkan, karena
menunjukkan adanya peningkatan laju
abrasi pantai sebesar 10 kali lipat akibat
rusaknya hutan mangrove.
Dewasa ini, penduduk di bagian hilir daerah
aliran sungai (DAS) Mahakam semakin
sering mengalami intrusi air laut terhadap
sumur-sumur mereka dan menyebabkan air
sumur menjadi berasa payau. Hampir setiap
musim kemarau intrusi airlaut masuk
puluhan kilometer dari garis pantai dan juga
diduga menyebabkan semakin
menghilangnya berbagai jenis ikan air tawar.
Kegiatan pertambakan di Delta Mahakam
telah melebihi daya dukung lingkungan.
Ketika luas areal mangrove yang
dialihfungsikan melebihi 20%, masalah
degradasi lingkungan mulai muncul yang
berdampak pada kematian udang hingga
kegagalan panen [6]. Diperkirakan kematian
udang tersebut antara lain disebabkan oleh
pencemaran pakan udang, penggunaan
benih udang yang tidak bebas penyakit dan
sistem sanitasi tambak yang buruk.
Kegagalan panen tambak tersebut
kemudian berakibat pada terpicunya konflik
horisontal antara dua pelaku utama
ekonomi utama daerah tersebut, yaitu
petani tambak dan perusahaan industri
32
36. INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
minyak dan gas bumi. Petambak mengklaim
bahwa polusi dan limbah buangan dari
perusahaan yang menjadi penyebabnya.
Sedangkan perusahaan mengatakan telah
menggunakan teknik eksploitasi dan
pengelolaan limbah yang aman terhadap
lingkungan.
Hancurnya ekosistem mangrove juga
berakibat punahnya kawasan memijah dan
pembesaran untuk beragam jenis ikan di
Delta Mahakam dan kawasan laut di
sekitarnya. Kondisi tersebut mengakibatkan
merosotnya produksi perikanan pesisir.
Menurut pengakuan seorang nelayan,
sebelum marak pembukaan tambak tahun
1999, mereka bisa menangkap ikan bawal
sekitar 20 kilogram per hari. Namun, saat ini,
untuk mendapat 10 kilogram bawal per hari
sudah cukup sulit [7]. Bahkan para pencari
bibit udang sudah mengeluh karena hasil
perolehan bibit terus mengalami penurunan.
4. Pengaruh Proses Alamiah
Secara alamiah Delta Mahakam
menghadapi naiknya muka air laut yang
menyebabkan pengaruh energi laut
semakin kuat dan laju abrasi pantai
semakin meningkat. Secara umum, proses
naiknya air laut tersebut disebabkan oleh
dua faktor, yaitu pemanasan global dan
penurunan geologis. Semenjak abad ke 20,
diperkirakan akan terjadi kenaikan muka
airlaut sebesar 3 mm/tahun akibat
pemanasan global [5]. Sebelumnya,
kenaikan muka air laut akibat penambahan
volume air laut di kawasan tersebut
diperkirakan hanya sebesar 0.8 mm/tahun
[11]. Secara geologis, Delta Mahakam juga
terus-menerus mengalami penurunan
permukaan daratan (land subsidence)
dengan kecepatan sekitar 0.5 mm/tahun [9].
Hal ini terjadi karena sekitar 80 % dari
volume delta tersebut tersusun oleh
endapan lumpur yang bersifat mudah
terpadatkan. Selain itu, Delta Mahakam
terletak pada kawasan tektonik aktif,
dimana kerak bumi mengalami pergerakan
secara vertikal, membuat proses penurunan
daratan tersebut menjadi semakin signifikan.
Hasil analisa geomorfologi dan
sedimentologi menunjukkan proses
penurunan geologis tersebut diperkirakan
sekitar 2.7 mm/tahun [4].
Sungai Mahakam sebetulnya adalah jenis
sungai pasang-surut dimana pengaruh
proses pasang surut dari laut mencapai
jarak 140 km dari garis pantai ke arah hulu.
Bahkan pada musim kemarau yang sangat
ekstrim, seperti yang terjadi pada
penghujung tahun 1982, pengaruh pasang
surut tersebut mampu mencapai 360 km
dari garis pantai [10]. Debit rerata air laut
yang terbawa masuk ketika pasang dapat
mencapai 2,5 kali lebih besar daripada debit
rerata air tawar Sungai Mahakam, dan
analisa dinamika arus menunjukkan bahwa
transportasi sedimen pada bagian muara
delta adalah bergerak ke arah daratan [4].
Data-data tersebut menunjukkan bahwa
secara alamiah pengaruh laut terhadap
delta dan DAS Mahakam bagian hilir adalah
besar dan signifikan.
Meskipun demikian, berkurangnya hutan
mangrove di kawasan delta membuat
pengaruh proses pasang-surut tersebut
semakin dominan dan menyebabkan air laut
semakin mudah masuk ke arah daratan dan
membawa kembali limbah dari DAS
Mahakam. Hal ini cukup mudah dipahami
karena luasan hutan mangrove Delta
Mahakam yang dapat menampung
sementara air laut saat pasang semakin
berkurang.
5. Penutup dan Saran
Ternyata hilangnya zona penyangga pesisir
kawasan hutan mangrove akibat industri
tambak disertai oleh proses penurunan
delta secara alamiah karena faktor geologis.
Kombinasi faktor antropogenik dan alamiah
tersebut menyebabkan degradasi kualitas
lingkungan berlangsung sangat cepat.
Limbah-limbah dari DAS Mahakam, yang
mestinya mampu dibuang ke laut lepas,
akhirnya terperangkap di kawasan delta
yang semakin terbuka terhadap energi laut
yang semakin menguat. Untuk itu
diperlukan studi lingkungan yang integral
dan multidisiplin, yang tidak hanya meliputi
kawasan Delta Mahakam saja, namun juga
mempelajari perubahan lingkungan di
sepanjang daerah aliran Sungai Mahakam.
Menghadapi rusaknya hutan mangrove,
sebaiknya dilakukan langkah-langkah
praktis. Diperlukan penetapan status
perlindungan pada areal mangrove yang
masih utuh dan dilanjutkan dengan
rehabilitasi kawasan yang telah rusak.
Pemerintah diharapkan menyusun kembali
perencanaan tata ruang untuk kawasan
33