Dokumen tersebut membahas revisi pedoman penyusunan rencana tata ruang berdasarkan perspektif pengurangan risiko bencana. Dokumen ini menjelaskan pentingnya mengintegrasikan aspek mitigasi bencana ke dalam perencanaan tata ruang, baik di tingkat provinsi maupun kawasan strategis nasional. Selain itu, dokumen ini memberikan contoh penerapan kajian risiko bencana dalam proses perencanaan tata ruang.
Manajer Lapangan Pelaksanaan Pekerjaan Gedung - Endy Aitya.pptx
Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Perspektif Bencana
1.
2. MATERI TEKNIS
REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN
RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN
PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
2014
3. PENANGGUNG JAWAB :
R. Aryawan Soetiarso Poetro, Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal,
selaku Project Board SCDRR Phase II.
TIM PENGARAH :
Oswar Muadzin Mungkasa, Direktur Tata Ruang dan Pertanahan
TIM PENULIS :
Gita Chandrika
TIM SUPERVISI :
Mia Amalia Indra Ade Saputra Agung Dorodjatun
Rinella Tambunan Nana Apriyana Gina Puspitasari
Santi Yulianti Togu Pardede
Aswicaksana Astri Yulianti
MATERI TEKNIS
REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG
BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
4. MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — iii
Penyelenggaraan penataan ruang seperti yang tercantum Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007, bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman,
produktif, dan berkeianjutan. Aman dapat diartikan sebagai aman dari bencana alam,
bencana sosial, dan bencana kegagalan teknologi. Saat ini, baik Pemerintah maupun
pemerintah daerah provinsi, masing-masing telah dan tengah menyusun rencana tata
ruang Kawasan Strategis Nasional [KSN) dan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Provinsi.
Sebagai bentuk perwujudan ruang yang aman dan berkeianjutan, proses perencanaan
tata ruang ini periu memperhatikan aspek mitigasi bencana.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
mengamanatkan pengajian risiko bencana yang meliputi tingkat ancaman, kerentanan,
kapasitas, risiko serta kebijakan penanggulangan bencana. Namun demikian, hingga saat
ini, perencanaan tata ruang belum banyak memanfaatkan hasil kajian dan peta risiko
bencana dalam penyusunan materi teknisnya. Dalam pedoman penyusunan rencana tata
ruang, baik untuk RTRW Provinsi maupun RTR KSN, belum sepenuhnya mengintegrasikan
seluruh aspek mitigasi bencana, baik secara proses, muatan. dan kelembagaan.
Materi buku ini merupakan kelanjutan dari hasil kajian Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional [Bappenas) tentang
Tinjauan Kebencanaan KSN Jabodetabekpunjur, dengan memasukkan lebih luas aspek
mitigasi bencana dan merumuskan penerapannya secara teknis agar terintegrasi ke dalam
rencana tata ruang. Kajian ini diharapkan dapat menyempurnakan pedoman penyusunan
rencana tata ruang yang ada dan dapat berkontribusi dalam penyempurnaan proses
perencanaan tata ruang sebagai instrumen mitigasi bencana maupun proses penyusunan
kajian pengurangan risiko bencana.
Tentunya hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi berbagai pihak, baik
pemerintah pusat, maupun provinsi, yang sedang dalam proses menyusun atau meninjau
kembali rencana tata ruang wilayahnya. Saran dan masukan yang konstruktif akan kami
terimadengansenanghatiuntukpeningkatankualitaspenataanruangnasionaldandaerah.
Jakarta, Desember 2014
Direktur Tata Ruang dan Pertanahan
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Kata Pengantar
5. iv — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
KATA PENGANTAR.................................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................................................ v
DAFTAR TABEL .......................................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................................... ix
DAFTAR SINGKATAN................................................................................................................. xi
RINGKASAN EKSEKUTIF........................................................................................................... xxiii
Bab 1 Pendahuluan................................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................................................... 1
1.2 Maksud dan Tujuan........................................................................................................................... 3
1.3 Ruang Lingkup Materi Teknis........................................................................................................ 3
1.4 Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan............................................................................................ 4
1.5 Kedudukan Materi Teknis ............................................................................................................... 6
1.6 Sistematika Materi Teknis ............................................................................................................... 8
Bab 2 Mitigasi Bencana Dalam Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau
Kecil (RPWP3K) Dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)............................ 13
2.1 Mitigasi Bencana dalam Rencana Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil....................................................................................................... 13
2.1.1 Dasar Hukum..................................................................................................................... 13
2.1.2 Jenis, Tingkat Risiko, dan Wilayah Bencana di Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil.............................................................................................................. 14
2.1.3 Mitigasi Bencana dalam Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil..................................................................................................... 15
2.1.4 Mitigasi Bencana dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil (RZWP3K)......................................................................................... 23
2.1.5 Contoh Aplikasi Mitigasi Bencana dalam Perencanaan PWP3K...................... 26
2.1.6 Keterkaitan RZWP3K dengan RTRW Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS) dalam Rencana Tata Ruang dan Keterkaitannya dengan
Mitigasi Bencana.............................................................................................................. 29
2.2 Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam Rencana Tata Ruang
dan Keterkaitannya dengan Mitigasi Bencana.................................................................... 32
Daftar Isi
6. MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — v
2.2.1 Dasar Hukum..................................................................................................................... 32
2.2.2 Penyelenggaraan KLHS dalam Rencana Tata Ruang........................................... 33
2.2.3 KLHS dan Mitigasi Bencana dalam Rencana Tata Ruang................................... 39
2.2.4 Contoh Kajian Kebencanaan dalam KLHS untuk Rencana Tata Ruang........ 42
Bab 3 Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana Ke Dalam
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi................................................. 49
3.1 Dasar Hukum Pengintegrasian.................................................................................................. 49
3.2 Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dalam Pelaksanaan
Penataan Ruang.............................................................................................................................. 51
3.3 Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Proses
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi........................................................... 57
3.4 Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Ketentuan
Teknis Muatan RTRW Provinsi.................................................................................................... 64
3.5 Contoh Peran Penataan Ruang dalam Pengurangan Risiko Bencana......................... 74
3.6 Tantangan dalam Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam
Penyusunan RTRW Provinsi......................................................................................................... 75
Bab 4 Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana Ke Dalam Penyusunan
Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional.................................................... 81
4.1 Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dalam Penyusunan Rencana
Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN)............................................................ 81
4.2 Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan
Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional............................................................... 102
4.3 Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Muatan Rencana Tata Ruang
Kawasan Strategis Nasional........................................................................................................ 113
4.4 Contoh Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam RTR KSN Tipologi
Kawasan Perkotaan Metropolitan Jabodetabekpunjur.................................................... 123
4.5 Tantangan dalam Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam
RTR Kawasan Strategis Nasional................................................................................................ 130
Bab 5 Pemetaan Pemangku Kepentingan........................................................................... 137
5.1 Pemetaan Pemangku Kepentingan dalam Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana..............................................................................................................................................137
5.1.1 Kelembagaan Penanggulangan Bencana di Tingkat Nasional........................ 137
5.1.2 Kelembagaan dalam Penyusunan Rencana Nasional Penanggulangan
Bencana (Renas PB)......................................................................................................... 141
5.1.3 Kelembagaan Penanggulangan Bencana di Daerah.......................................... 143
7. vi — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
5.2 Pemetaan Pemangku Kepentingan dalam Penyusunan RTRW Provinsi....................145
5.3 Pemetaan Pemangku Kepentingan dalam Penyusunan RTR Kawasan
Strategis Nasional........................................................................................................................... 149
Bab 6 Arahan Untuk Implementasi...................................................................................... 155
6.1 Arahan Implementasi Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam
Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN melalui Integrasi Dokumen/Proses........157
6.1.1 Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW Provinsi)...................................... 157
6.1.2 Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN)............................ 162
6.2 Arahan Penguatan Muatan.........................................................................................................164
6.2.1 Percepatan Ketersediaan dan Peningkatan Kualitas Rencana
Penanggulangan Bencana (RPB)................................................................................ 164
6.2.2 Percepatan Penyusunan Peta Dasar dan Peta Tematik....................................... 167
6.3 Arahan Penguatan Kelembagaan.............................................................................................170
6.3.1 Kerangka Regulasi........................................................................................................... 170
6.3.2 Keberadaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)...................... 172
6.3.3 Kapasitas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)............................ 174
6.3.4 Penguatan BKPRD terkait Kebencanaan................................................................. 174
6.4 Rencana Tindak Lanjut..................................................................................................................175
8. MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — vii
2.1 Perbandingan Jenis-jenis Bencana......................................................................................................... 14
2.2 Mitigasi Bencana secara Fisik dan Nonfisik.......................................................................................... 17
2.3 Kegiatan Struktur/Fisik untuk Mitigasi terhadap Setiap Jenis Bencana di Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil..................................................................................................................... 18
2.4 Mitigasi Bencana berdasarkan Tingkat Risiko..................................................................................... 21
2.5 Keterkaitan Penapisan KLHS dengan Perencanaan Penanggulangan Bencana.................... 40
2.6 Keterkaitan Komoditas Unggulan dengan Rawan Bencana di KAPET Bima............................ 43
3.1 Perbandingan Jenis Bencana.................................................................................................................... 54
3.2 Perbandingan Cakupan Jenis-jenis Bencana yang Dibahas Dalam RPB dan
RTRW Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten......................................................................... 57
3.3 Kajian Risiko Bencana untuk Setiap Jenis Bencana dalam Analisis Karakteristik
Tata Ruang....................................................................................................................................................... 61
4.1 Isu Strategis Nasional dan Fokus Penanganan Setiap Tipologi Kawasan
Strategis Nasional.......................................................................................................................................... 86
4.2 Kajian Risiko Bencana untuk Setiap Tipologi KSN............................................................................. 102
4.3 IRBI Provinsi Bali............................................................................................................................................. 106
4.4 IRBI Provinsi DKI Jakarta.............................................................................................................................. 109
4.5 Skala Peta RTR KSN berdasarkan Tipologi KSN................................................................................... 114
4.6 Standar Minimal Peta Dasar untuk Peta Bahaya dan Peta Risiko Bencana
Berdasarkan Jenis Bencana........................................................................................................................ 117
4.7 Bencana Prioritas di Jabodetabekpunjur.............................................................................................. 124
4.8 Aspek-aspek Kebencanaan yang Perlu Diperhatikan pada Rencana Struktur
Ruang dan Rencana Pola Ruang.............................................................................................................. 125
5.1 Kementerian/Lembaga yang terkait dalam Pelaksanaan Penanggulangan
Bencana............................................................................................................................................................. 138
5.2 Pemangku Kepentingan dalam Prosedur Penyusunan RTR KSN................................................. 150
5.3 Keterlibatan Sektor berdasarkan Tipologi KSN................................................................................... 151
6.1 Tantangan dalam Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana Ke dalam
Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN............................................................................................. 156
6.2 Kesesuaian antara Jangka Waktu RPB Provinsi dengan Waktu Peninjauan Kembali
Perda RTRW Provinsi..................................................................................................................................... 157
6.3 Indeks Risiko Bencana 8 Provinsi yang Belum Memiliki Perda RTRW Provinsi........................ 159
6.4 Indeks Risiko Bencana Multi Ancaman 10 Kabupaten/Kota Tertinggi
Tahun 2013...................................................................................................................................................... 176
DaftarTabel
9. viii — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
1.1 Kedudukan Materi Teknis terhadapPeraturan Perundang-undangan Bidang
Penataan Ruang dan Bidang Penanggulangan Bencana.......................................................... 7
1.2 Keterkaitan Materi Teknis dengan Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi
dan RTR KSN, serta Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana........................ 8
2.1 Mitigasi Bencana dalam Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil...................................................................................................................................... 17
2.2 Diagram Alir Penentuan Alokasi Ruang WP3K............................................................................... 24
2.3 Ilustrasi Pembagian Zona yang Mempertimbangkan Aspek Kebencanaan....................... 25
2.4 Peta Indeks Risiko Bencana Tsunami................................................................................................. 27
2.5 Contoh Sabuk Hijau di Lahan Reklamasi untuk Meredam Tsunami...................................... 28
2.6 Keterkaitan Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecildengan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Penataan Ruang........... 30
2.7 Kedudukan KLHS dalam Penyusunan RTR...................................................................................... 37
2.8 Penjabaran Proses dan Integrasi KLHS dalam Penyusunan RTR ............................................ 39
2.9 Kedudukan KLHS dalam Tata Cara Proses Peyusunan RTR KSN ............................................. 40
2.10 Keterkaitan KLHS dan Kajian Risiko Bencana dalam Penyusunan
Rencana Tata Ruang................................................................................................................................ 42
2.11 Kerangka Pikir Penyusunan KLHS RTR KSN KAPET Bima............................................................ 45
2.12 Peta Overlay Rawan Bencana dan Komoditas............................................................................... 46
3.1 Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dalam Pelaksanaan
Penataan Ruang........................................................................................................................................ 52
3.2 Pendekatan Kajian Risiko Bencana.................................................................................................... 53
3.3 Keterkaitan Peta Rencana Tata Ruang dengan Peta Risiko Bencana..................................... 66
3.4 RPB sebagai Masukan dalam Peninjauan Kembali RTRW.......................................................... 60
3.5 Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Proses
Penyusunan RTRW Provinsi.................................................................................................................. 64
3.6 Bagan Alir Tata Cara Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan dalam
Penyusunan Rencana Tata Ruang....................................................................................................... 66
3.7 Metode Pengkajian Risiko Bencana................................................................................................... 67
3.8 Metode Umum Pengkajian Risiko Bencana.................................................................................... 68
3.9 Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Muatan RTRW Provinsi.......................... 70
Daftar Gambar
10. MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — ix
4.1 Proses Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan
RTR KSN untuk Kriteria 1 (a) KSN dalam Satu Wilayah Kabupaten/Kota.............................. 104
4.2 Proses Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan
RTR KSN untuk Kriteria 1 (b) KSN Lintas Kabupaten/Kota dalam Satu Provinsi................. 107
4.3 Proses Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan
RTR KSN untuk Kriteria 2 KSN Berbasis Kawasan/Objek Strategis.......................................... 111
4.4 Peta Ancaman Bencana Banjir............................................................................................................. 127
4.5 Peta Kerentanan Bencana Banjir......................................................................................................... 127
4.6 Peta Risiko Bencana Banjir.................................................................................................................... 128
11. x — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Daftar Singkatan
A
Amdal : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
B
BAKORSURTANAL: Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
BAPPEDA: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
BAPPENAS: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Base map: Peta dasar
BATAN: Badan Tenaga Nuklir Nasional
BG: Badan Geologi
BGN: Badan Geologi Nasional
BIG: Badan Informasi Geospasial, sebelumnya bernama Badan Koordinasi Survei dan
Pemetaan Nasional (BAKORSURTANAL).
BKPRN: Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional
BMKG: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofi sika
BNPB: Badan Nasional Penanggulangan Bencana
BPPT: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
BPS: Badan Pusat Statistik
D
DAMKAR: Pemadam Kebakaran
DAS: Daerah Aliran Sungai
DISHIDROS: Dinas Hidro Oseanografi TNI AL (TNI Angkatan Laut), merupakan lembaga
survei pemetaan hidro-oseanografi dibawah TNI AL.
Dit. KKDT: Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
Dit.TRP: Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
DKI Jakarta: Daerah Khusus Ibukota Jakarta
E
EWS: Early Warning System/Sistem Peringatan Dini
G
GIS: Geographis Infrmation System atau Sistem Informasi Geografi s/SIG
H
HFA: Hyogo Framework for Action
I
IAB: Indeks Ancaman Bencana
IG: Informasi Geospasial
12. MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xi
IGD: Informasi Geospasial Dasar
IGT: Informasi Geospasial Tematik
IRBI: Indeks Rawan Bencana Indonesia
J
JABODETABEKPUNJUR: Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur
JORR 2: Jakarta Outer Ring Road 2
K
KAPET: Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu
KDB: Koefi sien Dasar Bangunan
KEK: Kawasan Ekonomi Khusus
Kemendagri: Kementerian Dalam Negeri
Kemenhub: Kementerian Perhubungan
Kemenhut: Kementerian Kehutanan
Kemenkes: Kementerian Kesehatan
Kemenperind: Kementerian Perindustrian
Kemen-PU: Kementerian Pekerjaan Umum
Kemensos: Kementerian Sosial
Kementan: Kementerian Pertanian
K/L: Kementerian/Lembaga
KKP: Kementerian Keluatan dan Perikanan
KLB: Koefi sien Lantai Bangunan
KLH: Kementerian Lingkungan Hidup
KLHS: Kajian Lingkungan Hidup Strategis
KPBPB: Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
KRB: Kajian Risiko
KSN: Kawasan Strategis Nasional
KTC: Kepadatan timbulnya campak
KTDB: Kepadatan timbulnya demam berdarah
KTHIV/AIDS: Kepadatan timbulnya HIV/AIDS
KTM: Kepadatan timbulnya malaria
KZB: Koefisien Zona Bangunan
L
LAPAN: Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
M
MATEK: Materi Teknis
MP3EI: Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
P
PB: Penanggulangan Bencana
PDF (Portable Document Format): adalah sebuah format berkas yang dibuat oleh Adobe,
meliputi: teks, huruf, citra dan grafik vektor dua dimensi
PDRB: Produk Domestik Regional Bruto
PEMKAB: Pemerintah Kabupaten
13. xii — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
PEMKOT: Pemerintah Kotamadya
PEMPROV: Pemerintah Provinsi
Perka BNPB: Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Perpres: Peraturan Presiden
Peta KRB: Peta Kerentanan Bencana
PRB: Pengurangan Risiko Bencana
PKN: Pusat Kegiatan Nasional
PP: Peraturan Pemerintah
R
RTH : Ruang Terbuka Hijau
RPB: Rencana Penanggulangan Bencana
RPWP3K: Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
RTH Publik: merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah
daerah kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum.
RTR KSN: Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional
RTRWN: Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
RTRWP: Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
RZPW3K: Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
S
SCDRR: Safer Communities through Disaster Risk Reduction
SDA: Sumber Daya Alam
SNI : Standar Nasional Indonesia
U
UNDP: United Nations of Development Programme
UTM: Universal Transverse Mercator/sistem koordinat yang terproyeksi
14. MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xiii
I. Latar Belakang
Sebagai negara rawan bencana, sangat penting bagi Indonesia memiliki kesiapsiagaan
dalam mengantisipasi bencana untuk dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan
oleh bencana tersebut. Upaya pencegahan dan mitigasi bencana menjadi sangat
penting untuk mengurangi risiko bencana yang mungkin timbul. Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2007 tentang PenanggulanganBencana telah mengamanatkan pada
pasal 35 dan 36 agar setiap daerah mempunyai perencanaan penanggulangan bencana
yang menjadi acuan dalam upaya penanggulangan bencana. Sehubungan dengan hal
tersebut, sangatlah penting bagi setiap daerah untuk mengintegrasikan pengurangan
risiko bencana ke dalam dokumen-dokumen perencanaan daerah, seperti Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM), dan Rencana Tata Ruang (RTR) untuk menjamin pelaksanaannya dapat efektif
dan terintegrasi.
Berdasarkan amanat Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
semua pemerintah daerah (provinsi, kabupaten dan kota) wajib menyusun Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang selanjutnya dilegalisasikan menjadi Peraturan Daerah
(Perda), dengan masa berlaku selama 20 tahun dan ditinjau kembali setiap 5 tahun.
Sehubungan dengan upaya pengurangan risiko bencana, rencana tataruang saat ini
juga perlu memasukkan kajian risiko bencana untuk mengidentifikasikan kerawanan,
tingkat ancaman, tingkat kerentanan, dan tingkat kapasitas di suatu wilayah.
Memasukkan upaya pengurangan risiko bencana kedalam penataan ruang, yang
meliputi perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang, harus menjadi prioritas Pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan
terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan
rentan, serta berpihak pada upaya pelestarian lingkungan hidup.
Mengingat pentingnya upaya mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam
dokumen perencanaan daerah, maka kerjasama UNDP dengan BNPB, Bappenas, dan
Kementerian Dalam Negeri melalui Proyek Safer Communities through Disaster Risk
Reduction (SCDRR) Fase II berupaya untuk mengintegrasikan pengurangan risiko bencana
ke dalam rencana tata ruang. Sejalan dengan Prioritas Aksi 4 dari Hyogo Framework for
Action (HFA) 2005-2015 yakni“Reduce the underlying risk factors”, proyek ini memberikan
dukungan kepada Pemerintah Pusat untuk memasukkan pengurangan risiko bencana ke
dalam sektor-sektor pembangunan terpilih, salah satunya penataan ruang.
Ringkasan Eksekutif
15. xiv — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Rencana tata ruang, dengan fungsinya untuk mengarahkan pemanfaatan ruang jangka
panjang, sangat berguna dalam mereduksi keterpaparan jumlah penduduk, kegiatan
sosial ekonomi, dan sarana prasarana dari ancaman bencana. Saat ini, pedoman
penyusunan rencana tata ruang yang ada yang relevan dengan kebencanaan adalah
untuk letusan gunung api, gempa bumi, dan reklamasi pantai. Salah satu output proyek
ini adalah terselenggaranya dukungan bagi pengarusutamaan kebijakan pengurangan
risiko bencana dalam pembangunan di daerah, termasuk dalam perencanaan,
pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
II. Tujuan
Maksud dari kegiatan ini adalah untuk menyusun Materi Teknis Revisi Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana.
Sementara tujuan dari kegiatan ini adalah memberikan masukan perbaikan terhadap
pedoman-pedoman penyusunan rencana tata ruang (RTR) yang telah ada saat ini untuk
mengintegrasikan pendekatan pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang.
Materi teknis yang dihasilkan akan diusulkan kepada Badan Koordinasi Penataan Ruang
Nasional (BKRN) sebagai masukan dalam merumuskan pedoman yang dapat menjadi
acuan bagi Pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, khususnya Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi (RTRW Provinsi) dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis
Nasional (RTR KSN). Pedoman ini nantinya dapat melengkapi pedoman yang telah ada
saat ini, khususnya (a) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 15 Tahun 2009 tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi, dan (b) Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum No. 15 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Nasional (KSN). Perumusan pedoman tersebut harus
dilakukan sesuai dengan arahan dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
dan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sebagai landasan untuk
mengintegrasikan pendekatan pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang.
III. Metodologi
Dalammengintegrasikanpenguranganrisikobencanakedalamrencanatataruang,terdapat
3 hal yang harus dilakukan, yaitu:
a. Integrasi dokumen/proses. Mengatur bagaimana mengintegrasikan kajian risiko
bencana (KRB) dalam dokumen Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) ke dalam
dokumen rencana tata ruang (RTR) dalam proses penyusunan rencana tata ruang.
Dalam hal ini, terdapat masalah perbedaan jangka waktu antara penyusunan atau
peninjauan kembali rencana tata ruang dengan periode Rencana Penanggulangan
Bencana (RPB).
16. MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xv
b. Integrasi spasial. Mengatur bagaimana mengintegrasikan kajian risiko bencana
(KRB) ke dalam muatan rencana tata ruang. Hal ini sudah diatur dalam Standar
Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana.
c. Koordinasi Kelembagaan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Materi Teknis ini lebih difokuskan
pada pembahasan mengenai integrasi proses/dokumen dan koordinasi
kelembagaan, dengan tambahan pembahasan mengenai integrasi spasial/muatan
yang menjadi irisan dengan Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana
(SPR KRB). Integrasi spasial/muatan telah dibahas secara detil dalam Standar
Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana. Lihat Gambar 1.
Gambar 1
Keterkaitan Materi Teknis dengan Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN,
serta Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana
IV. Hasil Kajian dan Analisis
Kegiatan ini dilakukan melalui perumusan serangkaian output, sebagai berikut:
1. Output 1: Keterkaitan Kajian Risiko Bencana dengan KLHS dalam RTRW Provinsi
dan RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN).Output ini dicapai dengan melakukan
kajian terhadap peraturan perundang-undangan tentang Kajian Lingkungan
Hidup Strategis (KLHS), pengurangan risiko bencana, Pedoman Penyusunan RTRW
Provinsi, dan Pedoman Penyusunan RTR KSN dan dokumen-dokumen penunjang
Sumber: Hasil Analisis
Integrasi
Spasial/
Muatan
Koordinasi
Kelembagaan
Integrasi
Dokumen/
Proses
Integrasi
Spasial/Muatan
Materi
Teknis
Standar Penataan Ruang
di Kawasan Rawan
Bencana
Pedoman Penyusunan
RTR KSN
Pedoman Penyusunan
RTRW Provinsi
MelengkapiMelengkapi
17. xvi — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
lainnya.Selain itu juga dilakukan diskusi dengan Kementerian Negara Lingkungan
Hidup.Dari diskusi dan kajian ini dapat diperoleh gambaran mengenai keterkaitan
Kajian Risiko Bencana (KRB) dengan KLHS dalam rencana tata ruang, khususnya
dalam RTRW Provinsi dan RTR KSN.Hasil kajian ini juga menjadi masukan dalam
mengintegrasikan KRB ke dalam rencana tata ruang wilayah provinsi dan kawasan
strategis nasional.
2. Output 2: Mitigasi Bencana dalam Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil (RPWP3K). Output ini dicapai dengan melakukan kajian terhadap
peraturan perundang-undangan tentang rencana pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil (RPWP3K), pengurangan risiko bencana, dan dokumen-dokumen
penunjang lainnya, serta diskusi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan.Dari
diskusi dan kajian ini dapat diperoleh gambaran mengenai posisi mitigasi bencana
dalam rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
3. Output 3: Integrasi Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Penyusunan RTRW
Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN). Output ini dicapai dengan
melakukan desk study. Berdasarkan hasil kajian tersebut, dan diskusi dengan
Kementerian Pekerjaan Umum dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana,
dilakukan pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan
RTRW Provinsi dan RTR KSN.
4. Output 4: Pemetaan KelembagaanPengintegrasian Pengurangan Risiko Bencana ke
dalam Rencana Tata Ruang. Output ini dicapai melalui: (i) Hasil dari Output 3; dan
(ii) Pengumpulan data dan informasi dalam bentuk diskusi dan wawancara dengan
stakeholder yang relevan.Hasil diskusi dengan berbagai stakeholder yang relevan,
dikombinasikan dengan hasil dari output 3, dilakukan pemetaan kelembagaan.
5. Output 5: Penyusunan Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata
Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana. Output ini dilakukan
melalui: Diskusi Terarah (Focus Group Discussion/FGD) dan lokakarya. Hasil
dari FGD ini menjadi masukan dalam perumusan draft materi teknis.Lokakarya
diselenggarakan untuk mendiseminasikandraft materi teknis revisi pedoman
penyusunan RTR yang telah disusun dan membangun kesepakatan rencana
tindak lanjut dengan mengundang berbagai stakeholder yang lebih luas. Hasil dari
lokakarya ini juga menjadi masukan dalam menyempurnakan draft materi teknis
yang akan diberikan kepada Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN).
V. Kesimpulan
Pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam RTR dimulai sejak tahap
persiapan penyusunan RTR, yaitu dengan mengkaji muatan kebencanaan yang ada di
RTR. Tahap paling penting adalah tahap pengolahan dan analisis data, pada tahap ini
dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana yang ada dalam dokumen Rencana
PenanggulanganBencana(RPB)kedalamanalisispenyusunanRTR.Pengintegrasiannya
adalah: (i) Peta Kerawanan yang sifatnya jangka panjang, dijadikan dasar perumusan
18. MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xvii
tujuan, kebijakan, strategi, serta perumusan rencana struktur ruang dan rencana pola
ruang; dan (ii) Peta Kerentanan, Peta Kapasitas, dan Peta Risiko yang bersifat jangka
menengah (5 tahun) dijadikan masukan bagi perumusan arahan pemanfaatan ruang
(indikasi program utama). Seperti dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2
Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan RTR
Salah satu isu yang muncul dalam upaya pengintegrasian adalah adanya perbedaan
jangka waktu antara periode Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dengan waktu
penyusunan atau peninjauan kembali RTR. Idealnya, pada saat peninjauan kembali/
penyusunan RTR, RPB sudah tersedia.
Sumber: Hasil Analisis
19. xviii — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Gambar 3
Waktu Pengintegrasian PRB ke dalam RTR
1. PengarusutamaanPenguranganRisikoBencanaKeDalamPenyusunanRencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi
a. Integrasi pada saat proses penyusunan RTRW Provinsi
Untuk 8 (delapan) provinsi yang penyusunan RTRWnya sudah mendapatkan
persetujuan substansi dari Menteri PU, maka sebaiknya segera dilakukan
pengintegrasian kajian risiko bencana dengan mengacu pada RPB Provinsi 2012-
2016 sebelum RTRW menjadi Perda. Hal ini signifikan karena 6 (enam) dari 8 provinsi
tersebut memiliki kelas risiko tinggi, dan hanya Provinsi Sumatera Selatan dan
Kepulauan Riau yang memiliki kelas risiko sedang. Lihat Tabel 1.Bila dilihat dari IRBI
2013, maka dari 33 provinsi yang ada, sebanyak 26 provinsi memiliki kelas risiko
tinggi, dan hanya 7 provinsi yang memiliki kelas risiko sedang, yaitu Jambi, Sumatera
Selatan, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, KalimantanTengah, Gorontalo, dan Papua.
Tabel 1
Indeks Risiko Bencana 8 Provinsi yang Belum Memiliki Perda RTRW Provinsi
No Provinsi Skor Kelas Risiko
1 Sumatera Utara 150 Tinggi
2 Riau 147 Tinggi
3 Kepulauan Riau 116 Sedang
4 Sumatera Selatan 142 Sedang
5 Kalimantan Barat 157 Tinggi
6 Kalimantan Selatan 152 Tinggi
7 Kalimantan Timur 165 Tinggi
8 Sulawesi Tenggara 169 Tinggi
Sumber: Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) 2013
Apabila pengintegrasian dilakukan menunggu sampai dilakukan peninjauan
kembali akan terlalu lama.Mengingat hampir semua provinsi tersebut masuk
dalam kelas risiko tinggi, maka sebaiknya pengintegrasian dilakukan segera.
Sumber: Hasil Analisis
20. MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xix
Mengingat RPB Provinsi yang ada mempunyai jangka waktu 2012-2016,
sementara sekarang sudah tahun 2014, maka hal ini akan menjadi masalah.
Alternatifnya adalah:(i)Pengintegrasian segera dilakukan walau hanya untuk 2
tahun terakhir (2014-2016);(ii)Pengintegrasian dilakukan setelah RPB yang baru
disusun (jangka waktu 2017-2022); atau(iii) SKPD segera menyusun pengkajian
risiko bencana yang baru berkoordinasi dengan BPBD dengan jangka waktu yang
disesuaikan dengan penyusunan atau peninjauan kembali RTRW.
Untuk saat ini mungkin dapat dilakukan kombinasi dari (i) dan (iii), dengan
pertimbangan berikut ini: (a) Peta Kerawanan dan peta ancaman bersifat jangka
panjang, sehingga peta kerawanan dan peta ancaman yang ada dapat digunakan
untuk acuan perumusan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang, serta
indikasi arahan peraturan zonasi; (b) Sedangkan peta kerentanan, peta kapasitas,
dan peta risiko bersifat jangka menengah, sehingga perlu diperbaharui oleh SKPD
sesuai waktu berkoordinasi dengan BPBD. Peta kerentanan, peta kapasitas, dan
peta risiko yang telah diperbaharui digunakan untuk acuan perumusan indikasi
program utama sebagai arahan pemanfaatan ruang untuk 5 tahun berikutnya;
(c) Sebelum waktu peninjauan kembali, sebaiknya RPB yang baru sudah disusun
dengan memperhatikan waktu peninjauan kembali RTRW Provinsi tersebut.
Sehubungan dengan upaya pengurangan risiko bencana ini, maka BKPRN perlu
mempertimbangkan untuk memasukkan kajian risiko bencana menjadi salah
satu muatan yang harus ada dalam rencana tata ruang, dan dikaji kualitasnya
pada saat proses persetujuan substansi. Seperti Kajian Lingkungan Hidup
Strategis (KLHS).
b. Integrasi pada saat peninjauan kembali RTRW Provinsi
Untuk 25 RTRW Provinsi yang sudah menjadi Perda, pengintegrasian kajian risiko
bencana dilakukan pada saat peninjauan kembali RTRW tersebut. Untuk itu,
diperlukan penyesuaian periode antara RPB dengan waktu peninjauan kembali
RTRW Provinsi.Mengingat adanya keterbatasan kapasitas BNPB/BPBD, maka
penyesuaian penyusunan RPB ini dilakukan dengan pemrioritasan berdasarkan
kelas risikonya, semakin tinggi kelas risiko provinsi yang bersangkutan, semakin
diprioritaskan penyusunannya. Apabila hal tersebut tidak dimungkinkan, maka
SKPD, berkoordinasi dengan BPBD, menyiapkan pengkajian risiko bencana
secara mandiri yang jangka waktunya disesuaikan dengan waktu peninjauan
kembali RTRW Provinsi. Pengkajian risiko bencana secara mandiri ini dilakukan
dengan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum
Pengkajian Risiko Bencana.
Pengintegrasian pengurangan risiko bencana memiliki fungsi strategis dan
berkaitan dengan peninjauan kembali rencana tata ruang. Peninjauan kembali
21. xx — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
rencana tata ruang dilakukan 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. Namun, PP
No. 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang pasal 82 (2)
menetapkan bahwa peninjauan kembali rencana tata ruang dapat segera
dilakukan tanpa menunggu 5 (lima) tahun apabila terjadi perubahan lingkungan
strategis berupa (a) bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan; (b) perubahan batas territorial negara yang ditetapkan
dengan undang-undang; atau (c) perubahan batas wilayah daerah yang
ditetapkan dengan undang-undang. BKPRN perlu membahas hal tersebut dan
mempertimbangkan apakah peninjauan kembali dapat dilakukan segera untuk
mengantisipasi kejadian bencana alam dan sebagai upaya pengurangan risiko
bencana, terutama di daerah-daerah dengan kelas risiko tinggi.Hal ini sangat
signifikan mengingat bahwa hasil kajian BNPB menunjukkan 204 juta (80%)
rakyat Indonesia tinggal di kawasan rawan bencana.
Sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan pemrioritasan berdasarkan
kelas risiko suatu daerah.Semakin tinggi kelas risikonya semakin diprioritaskan
pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam rencana tata ruangnya untuk
dapat segera dilakukan. Saat ini, dalam Indeks Risiko Bencana Indonesia 2013,
kabupaten/kota dibedakan menjadi kelas risiko tinggi, sedang, danrendah,
dimana322kabupaten/kota(65%)memilikikelasrisikotinggi,dan174kabupaten/
kota (35%) memiliki kelas risiko sedang, dan tidak ada yang memiliki kelas
risiko rendah. Dengan demikian perlu dilakukan perumusan ulang kelas risiko
bencana yang lebih rinci untuk kebutuhan perumusan prioritas tersebut di atas.
Penyusunan kajian risiko bencana (KRB) didasarkan pada tiga hal utama, yakni:
a) jumlah jiwa terpapar; b) kerugian (rupiah); dan c) kerusakan lingkungan (ha).
Ketiganya merupakan komponen penyusun KRB yang kemudian diterjemahkan
ke dalam kelas risiko tinggi, risiko sedang, dan risiko rendah sesuai dengan
dampak yang terjadi.Berdasarkan ketiga komponen tersebut dapat dirumuskan
ulang kelas risikonya yang lebih rinci, untuk kebutuhan perumusan prioritas.
Apabila RTRW sedang dalam proses penyusunan, maka pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana dapat segera diintegrasikan. Namun, bila RTRW
sudah menjadi Perda, maka hal ini tidak mudah bagi Pemerintah Daerah.Karena
tidak mudah membuat Perda, terutama terkait dengan hal-hal yang bersifat non-
teknis. Dalam Lokakarya Materi Teknis – Bappenas-SCDRR II yang diselenggarakan
pada tanggal 30 Juni 2014, ada usulan dari Daerah, bahwa untuk RTRW yang sudah
Perda, sebaiknya kajian risiko bencana dilakukan dengan memasukkannya sebagai
addendum. Apabila perubahan dibuat dalam bentuk addendum, maka tidak
perlu melibatkan DPRD lagi. Namun demikian perlu digarisbawahi bahwa upaya
penguranganrisikobencanatidakhanyaterbataspadatahapanalisis,yaitudengan
22. MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xxi
melakukan kajian risiko bencana, tetapi hasil analisis tersebut harus diterjemahkan
ke dalam kebijakan, strategi, rencana struktur ruang dan rencana pola ruang, serta
rencana pemanfaatan ruang secara sinkron dengan alur yang jelas.
Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan oleh BKPRN bila hendak menetapkan
perlunya Daerah segera mengintegrasikan kajian risiko bencana ke dalam RTRW
adalahketersediaankonsultanyangpahamdansiapuntukmelakukanhaltersebut.
Seperti diketahui, penyusunan RTRW di Daerah umumnya dilakukan oleh pihak
ketiga (konsultan). Dengan demikian, apabila pengarusutamaan pengurangan
risiko bencana (PRB) ke dalam rencana tata ruang (RTR) akan dilaksanakan, harus
dipastikan terlebih dulu bahwa sudah ada konsultan-konsultan yang siap dan
dapat melakukannya. Jangan sampai Daerah sudah menganggarkan kegiatan
tersebut, tetapi ternyata konsultannya belum ada yang siap untuk melakukan
pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam RTR.
2. PengarusutamaanPenguranganRisikoBencanaKeDalamPenyusunanRencana
Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional
Sama seperti pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam RTRW Provinsi,
tantangan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam RTR KSN adalah
kesesuaian jangka waktu antara Rencana Penanggulangan Bencana yang ada
dengan waktu penyusunan atau peninjauan kembali RTR KSN.
a. Integrasi pada saat proses penyusunan RTR Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN)
Untuk RTR KSN yang belum menjadi Perpres atau masih dalam proses
penyusunan, perlu segera dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana.
Sehubungan dengan itu perlu ada koordinasi antara BKPRN dengan BNPB/BPBD
dalam mengintegrasikan kajian risiko bencana ke dalam penyusunan RTR KSN,
dengan memperhatikan jangka waktunya.
Untuk RTR KSN yang sudah dalam proses penyusunan: (a) Bila RPB Provinsi/
Kabupaten/Kota sudah ada dan jangka waktunya sesuai, maka kajian risiko
bencana dapat segera diintegrasikan ke dalam penyusunan RTR KSN;dan (b) Bila
RPBProvinsi/Kabupaten/Kotabelumadaataujangkawaktunyatidaksesuai,maka
K/L dapat melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi
dengan BPBD untuk: (i) Segera diintegrasikan ke dalam proses penyusunan RTR
KSN; atau (ii) Diintegrasikan pada saat peninjauan kembali RTR KSN tersebut,
tergantung sudah seberapa jauh tahap penyusunan RTR KSN tersebut, misal
Raperpes.Pengkajian dilakukan oleh K/L dengan mengacu pada Perka BNPB No.
02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.
23. xxii — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Untuk RTR KSN yang belum disusun, maka dalam penyusunannya nanti langsung
dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana sesuai dengan kebutuhan
masing-masing tipologi.
b. Integrasi pada saat peninjauan kembali RTR Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN)
Untuk RTR KSN yang telah menjadi Perpres, maka pengintegrasian kajian risiko
bencana dilakukan pada saat peninjauan kembali. Langkah-langkah sebagai
berikut: (i) Periksa apakah RPB Provinsi/Kabupaten/Kota sudah ada dan apakah
jangka waktunya sesuai. Bila sesuai, maka dapat langsung diintegrasikan; (ii) Bila
RPB Provinsi/Kabupaten/Kota belum ada, maka K/L melakukan pengkajian risiko
bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BPBD, dan dengan mengacu
pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian
Risiko Bencana; (iii) Bila jangka waktunya tidak sesuai, maka K/L melakukan
pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BPBD, dengan
memperhatikan RPB Provinsi/Kabupaten/Kota yang sudah ada.
3. Percepatan Ketersediaan dan Peningkatan Kualitas Rencana Penanggulangan
Bencana (RPB)
Saat ini RPB yang telah ada adalah untuk 33 provinsi (kecuali Kalimantan Utara)
serta 63 kabupaten/kota.Apabila kegiatan upayapenyusunan RPB pada tingkat
kabupaten/kota dilanjutkan serta diagendakan secarateratur dan konsisten setiap
tahun, maka sekitar 275 kabupaten/kota lagi akanselesai kurang lebih dalam 9 tahun
lagi (33 kabupaten/kota per tahun)1
.
Sementara saat ini, status per 30 Mei 2014,sudah 25 provinsi yang mempunyai perda
RTRW Provinsi (75%), 290 kabupaten memiliki perda RTRW Kabupaten (72,9%),
dan 75 kota memiliki perda RTRW Kota (80,6%)2
. Saat peninjauan kembali tentunya
diharapkan dapat dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan
RTRW tersebut. Namun hal ini akan menjadi masalah bila pada saat peninjauan
kembali tersebut ternyata RPB Kabupaten/Kota tersebut belum tersedia.
Hal yang masih menjadi tantangan utama yang dihadapi yaitu bagaimana
mempercepat penyusunan RPB Kabupaten/Kota yang berkualitas sehingga dapat
digunakan sebagai dasar pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan
RTRW Kabupaten/Kota.Semua hal tersebut di atas menjadi signifikan dalam
penyusunan RTR KSN, karena pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke
dalam RTR KSN dilakukan berdasarkan RPB Provinsi/Kabupaten/Kota yang ada,
1
BNPB, Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2015-2019, draft 3, halaman 78.
2
Rekapitulasi Progress Penyelesaian RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia, Ditjen Penataan Ruang,
Kementerian Pekerjaan Umum, Status 30 Mei 2014.
24. MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xxiii
kecuali untuk tipologi tertentu yang membutuhkan kajian risiko bencana secara
khusus (seperti KSN rawan bencana).
HalinimenjaditantanganutamaBNPBdalam:(i)MemperkuatBPBDProvinsisehingga
dapat menyusun RPB sendiri yang berkualitas dan memfasilitasi BPBD Kabupaten/
Kota; dan (ii) Memperkuat BPBD Kabupaten/Kota sehingga dapat menyusun RPB
sendiri yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan rencana tata ruang.
Apabila pada saat hendak menyusun atau melakukan peninjauan kembali RTRW/
RTR KSN, RPB belum ada, memang dimungkinkan bagi K/L atau SKPD untuk
melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BNPB/
BPBD dan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum
Pengkajian Risiko Bencana. Namun bila hal ini dilakukan, maka ada dua hal yang
perlu dipertimbangkan, yaitu:
i. Tugas BPBD akan berkurang. Dalam Permendagri No. 46 tahun 2008 tentang
Pedoman Organisasi danTata Kerja BPBD pasal 4 disebutkan bahwa BPBD Provinsi
dan BPBD Kabupaten/Kota mempunyai tugas, antara lain, menetapkan pedoman
dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana; serta menyusun,
menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana. Sementara dalam
Perka BNPB No. 3 tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan BPBD (Bab 4)
disebutkan bahwa koordinasi BPBD dengan instansi atau lembaga dinas/badan
secara horizontal pada tahap prabencana antara lain dilakukan dalam bentuk
penyusunan kebijakan dan strategi penanggulangan bencana, penyusunan
perencanaan penanggulangan bencana, penentuan standar kebutuhan
minimum, pengurangan risiko bencana, dan pembuatan peta rawan bencana.
Bila hal ini berlanjut terus, dikhawatirkan tugas BPBD menyempit hanya fokus
pada hal-hal operasional saat tanggap darurat dan pascabencana. Padahal secara
struktur organisasi, BPBD memiliki bidang pencegahan dan kesiapsiagaan.
ii. Kualitas RPB yang dihasilkan. Bila K/L atau SKPD melakukan sendiri pengkajian
risiko bencana, BNPB harus sudah mempunyai mekanisme yang baku untuk
menjamin kualitas setiap RPB (dan KRB) yang disusun oleh setiap BPBD maupun
SKPD dan K/L agar memiliki kualitas sesuai standar yang ditetapkan dapat dijamin
bahwa kualitas yang dihasilkan dapat memenuhi standar yang ditetapkan BNPB.
4. Percepatan Penyusunan Peta Dasar dan Peta Tematik
Ketersediaan peta dasar untuk pelaksanaan pengkajian risiko bencana yang akan
diintegrasikan ke dalam muatan rencana tata ruang merupakan tantangan yang
25. xxiv — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
harus segera ditangani, terutama untuk peta-peta skala besar. Saat ini peta-peta yang
sudah ada, sebagai berikut3
: (i) Skala 1:250.000 sudah ada untuk semua provinsi; (ii)
Skala1:50.000sudahadauntuksemuakabupaten;(iii)Skala1:25.000sudahadauntuk
Jawa-Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi4
; (iv) Skala 1:10.000 sedang dibuat untuk
kota-kota di P. Jawa; (v) Sedangkan peta rupabumi untuk skala yang lebih besar, yaitu
1:5.000, 1:2.000, dan 1:1.000 belum tersedia. Peta-peta skala besar ini digunakan
untuk penyusunan rencana rinci (RTR KSN/P/K dan RDTR).Tantangannya adalah
bagaimana agar Badan Informasi Geospasial (BIG) dapat memenuhi kebutuhan
tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama. Anggaran adalah salah satu kendala
utama, di samping ketersediaan SDM dengan kapabilitas yang dibutuhkan.
Tantangan ketersediaan peta, tidak hanya pada ketersediaan peta dasar tetapi juga
peta tematik.Peta kerawanan dan peta ancaman dibuat oleh K/L atau SKPD terkait.
BNPB tidak menyusun sendiri peta bahaya/ancaman, tetapi menggunakan peta yang
disusun oleh K/L atau SKPD terkait.Berdasarkan peta kerawanan tersebut disusun
peta ancaman/bahaya (hazard).Peta ancaman baru dapat dibuat bila ada peta dasar.
Berdasarkan peta ancaman/bahaya, disusun peta risiko. Jadi langkah-langkahnya
adalah: (1) tersedianya peta dasar; yang digunakan sebagai dasar penyusunan (2)
peta bahaya; yang kemudian menjadi dasar bagi perumusan (3) peta risiko. Hal
tersebut juga menjadi tantangan tersendiri karena peta bahaya baru dapat dibuat
bila ada peta dasar. Sedangkan peta dasar yang lengkap baru ada untuk peta skala
1:250.000 dan 1:50.000, sementara peta skala 1:25.000 baru ada untuk Jawa-Bali,
Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Sedangkan peta tematik (peta kerawanan) yang siap
dan dapat digunakan untuk menyusun peta bahaya, misalnya dari Badan Geologi,
baru ada peta skala 1:250.0005
. Permasalahannya adalah bagaimana menyusun peta
bahaya skala 1:50.000 bila yang tersedia baru peta tematik skala 1:250.000.
Dalam konteks pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana
tata ruang, dapat dilakukan langkah-langkah berikut ini:
a. Membuat pemrioritasan. Kabupaten/kota/kawasan yang memiliki kelas
risiko tinggi diprioritaskan pembuatannya. Semakin tinggi risikonya semakin
diprioritaskan pembuatannya. Prioritas utama adalah untuk membuat peta skala
1:25.000 untuk kota-kota dengan kelas risiko tinggi, dan peta skala 1:10.000
untuk kawasan-kawasan dalam kabupaten/kota yang memiliki kelas risiko
tinggi. Hal ini juga bukan merupakan hal yang mudah karena berdasarkan IRBI
2013 terdapat 322 kabupaten/kota (65%) dengan kelas risiko tinggi, sementara
sisanya 174 kabupaten/kota (35%) memiliki kelas risiko sedang. Kabupaten/kota
3
BIG dalam Diskusi Terarah Materi Teknis – SCDRR-II, Bappenas, 10 Juni 2014.
4
BIG dalam Lokakarya Materi Teknis SCDRR II – Bappenas, 30 Juni 2014.
5
BNPB, Ibid.
26. MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xxv
dengan kelas risiko semakin tinggi, perlu semakin diprioritaskan pembuatan
peta dasarnya. Contohnya, Kabupaten Cianjur yang memiliki kelas risiko tertinggi
di Indonesia dengan skor 250. Perlu ada kesepakatan antara BNPB dan BKPRN
mengenai kabupaten/kota dan kawasan-kawasan yang perlu diprioritaskan
pembuatan petanya.
b. Perlu adanya koordinasi antara BKPRN dan BNPB dalam menetapkan kawasan-
kawasan yang perlu diprioritaskan pembuatan peta dasar skala 1:5.000, 1:2.000,
1:1.000 untuk penyusunan rencana tata ruang kawasan rawan bencana.
c. BKPRN perlu membahas tantangan penyediaan peta kerawanan dan peta bahaya
yang harus disiapkan oleh K/L dan Daerah. Karena tanpa peta-peta tersebut, peta
risiko tidak dapat dibuat. Dan sementara ini peta yang ada, misalnya dari Badan
Geologi, baru ada peta skala 1:250.000.
Untukdaerahyangbelummemilikipetadasar,makadapatmenggunakanCitraTegak
Resolusi Tinggi6
. Citra Tegak Resolusi Tinggi ini memiliki kedetilan skala submeter.
Peta CitraTegak ResolusiTinggi tersebut masih memiliki banyak kesalahan, sehingga
perlu dikoreksi dulu, yaitu dengan koreksi: (i) Radiometrik, koreksi dilakukan oleh
LAPAN; dan (ii) Geometrik, koreksi dilakukan oleh BIG.Peta yang telah dikoreksi dapat
digunakan oleh daerah sebagai peta dasar.Pemerintah Daerah dapat mengirim surat
ke BIG untuk meminta agar penyusunan peta untuk daerahnya diprioritaskan.
5. Pemetaan Pemangku Kepentingan
a. Kerangka Regulasi
Saat ini peraturan perundang-undangan yang ada sudah banyak, namun masih
berjalan sendiri-sendiri. Untuk penyusunan rencana tata ruang mengacu pada
UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan peraturan turunannya,
sedangkan untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana, termasuk
penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), mengacu pada UU No. 24
tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan peraturan turunannya. Saat
ini belum ada peraturan yang dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan
pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan rencana
tata ruang.Peraturan yang menjadi acuan dalam penyusunan rencana tata ruang,
dalam hal ini RTRW Provinsi dan RTR KSN, adalah Permen PU No. 15/PRT/M/2009
dan Permen PU No. 15/PRT/M/2012.Namun peraturan tersebut belum secara
jelas memberikan arahan bagi penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN yang
berbasis pengurangan risiko bencana (mitigasi bencana). Namun demikian, perlu
6
BIG, dalam Diskusi Terarah Materi Teknis - SCDRR II, Bappenas, 10 Juni 2014.
27. xxvi — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
dikemukakan pula bahwa saat ini Ditjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan
Umum sedang menyusun Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana
(sudah pada tahap legal drafting).
Sehubungan dengan hal tersebut, maka langkah-langkah berikut ini dapat
dijadikan alternatif solusi:
1. Diperlukan satu pedoman yang dapat menjadi acuan bagi pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang. Saat ini sudah
terdapat upaya-upaya untuk merumuskan pedoman tersebut, antara lain:
a. Upaya yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri bekerja sama
dengan Georisk Jerman dan Badan Geologi yang sedang menyusun
pedoman penerapan informasi kebencanaan geologi untuk penyusunan
rencana tata ruang;
b. Upaya yang dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum, berkoordinasi
dengan BNPB, yang telah menyusun Standar Penataan Ruang di Kawasan
Rawan Bencana (SPR-KRB) dan saat ini telah mencapai proses legal
drafting; dan
c. Upaya yang dilakukan oleh Bappenas dengan dukungan SCDRR II yang
tengah menyusun Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana
Tata Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana,
khususnya untuk RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional.
2. Apabila daerah akan melakukan pengarusutamaan pengurangan risiko
bencana ke dalam rencana tata ruang, maka sebaiknya pada saat melakukan
penyusunan atau peninjauan kembali RTRW sudah tersedia pedoman yang
dapat digunakan sebagai acuan. Pedoman tersebut harus jelas dan dapat
diimplementasikan. Oleh karenanya, sebaiknya dibuat satu pedoman saja
mengenai upaya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam
rencana tata ruang yang mengkombinasikan antara pedoman yang telah
dibuat oleh Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian PPN/Bappenas, dan
KementerianDalamNegeri.Selainituperludipertimbangkanbahwapedoman
tersebut tidak hanya menjadi acuan dalam penyusunan RTRW Provinsi dan
RTR KSN, tetapi juga rencana tata ruang lainnya (RTRW Kabupaten dan RTRW
Kota, serta rencana rinci lainnya).
Sehubungan dengan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke
dalam rencana tata ruang ini, ada kekhawatiran dari Daerah. Pada dasarnya
Daerah hanya melaksanakan arahan dari Pemerintah Pusat.Namun sebaiknya
harus ada integrasi antara arahan-arahan yang dibuat oleh Pemerintah
Pusat sehingga tidak membingungkan buat Daerah.Salah satunya adalah
28. MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xxvii
antara Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Dalam Negeri.
Sudah saatnya norma-norma yang ada di Kementerian Pekerjaan Umum dan
Kementerian Dalam Negeri diintegrasikan dan disinkronkan, sehingga tidak
membingungkan buat daerah.
3. Agar dapat menjadi acuan bagi pemerintah daerah maupun K/L dalam
melakukan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana
tata ruang, maka pedoman tersebut harus memiliki kerangka regulasi yang
cukup kuat. Alternatif yang dapat dilakukan:
a. Membuat Surat Edaran Bersama 3 Menteri (Kemen PU, Kemendagri,
dan BNPB) tentang Pedoman Pengarusutamaan Pengurangan Risiko
Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang. SEB ini dibuat agar pedoman
pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam RTR dapat
segera disusun dan menjadi acuan bagi pemerintah daerah maupun K/L.
Dengan demikian pengarusutamaan PRB dapat segera dilakukan. SEB ini
bersifat sementara.
b. Pada saat yang sama dimulai proses penyusunan Peraturan Menteri PU
tentang Pedoman Pengurangan Risiko Bencana dalam Rencana Tata
Ruang. Dengan demikian pedoman tersebut nantinya memiliki dasar
hukum yang lebih kuat.
4. Materi Teknis yang disusun ini dapat digunakan sebagai masukan dalam
penyusunan Pedoman Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke
dalam Rencana Tata Ruang tersebut di atas.
Muatan Materi Teknis ini telah melalui pembahasan dalam (a) diskusi
bilateral dengan Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, dan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana; (b) diskusi terarah untuk mendapatkan masukan
dari pemangku kepentingan terkait; dan (b) lokakarya untuk diseminasi dan
mendapatkan masukan dari pemangku kepentingan yang lebih luas. Dengan
demikian diharapkan muatannya sudah sesuai dengan kebutuhan dan dapat
dipertanggungjawabkan untuk memberikan masukan bagi penyusunan
Pedoman Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Rencana
Tata Ruang.Selain itu dalam penyusunan MateriTeknis ini juga sudah dengan
memperhatikan Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana
(draft) yang sedang disusun oleh Kementerian Pekerjaan Umum, sehingga
muatannya dapat saling melengkapi.
29. xxviii — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
b. Keberadaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Hingga bulan Februari 2014 telah terbentuk 436 BPBD yang terdiri dari 33 BPBD
Provinsi dan 403 BPBD Kabupaten/Kota (81% dari 497 kabupaten/kota).Berarti
masih ada 94 kabupaten/kota yang belum memiliki BPBD.Untuk kabupaten/
kota yang belum memiliki BPBD,tugas dan fungsi penanggulangan bencana
dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai fungsi yang bersesuaian dengan
fungsi penanggulangan bencana.
Di kabupaten/kota yang belum memiliki BPBD, bentuk kelembagaan kebencanaan
dapat berbeda-beda, baik dari segi SKPD penanggungjawab maupun eselonnya.
Di suatu kabupaten/kota kelembagaan kebencanaan ini dapat berada di bawah
eselon2,3,atau4.Misalnya,sebagaicontoh,diKabupatenGrobogan(JawaTengah)
kebencanaan menjadi bagian dari Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan
Masyarakat(Kesbanglinmas), di mana kebencanaan berada di bawah Bidang
Pengamanan dan Penanggulangan Bencana. Mengingat bahwa hasil kajian BNPB
menunjukkan bahwa 204 juta (sekitar 80%) rakyat Indonesia tinggal di kawasan
rawan bencana7
, maka sebaiknya semua kabupaten/kota memiliki BPBD.
Sehubungan dengan hal tersebut, prioritas utama adalah menyegerakan
pembentukan BPBD di 94 kabupaten/kota yang belum memiliki BPBD saat ini.
Setelah BPBD terbentuk, tantangan berikutnya adalah masalah kapasitas BPBD.Bila
dibandingkan dengan BKPRD yang sudah terbentuk cukup lama, maka kapasitas
BPBD merupakan salah satu isu yang penting diperhatikan. Isu kapasitas ini antara
lain terkait dengan sumber daya manusia, sarana dan prasarana, serta anggaran
yang dimiliki oleh BPBD. Kapasitas BPBD perlu diperkuat antara lain agar mampu
menyusun Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) sendiri yang berkualitas dan
sesuai dengan kebutuhan rencana tata ruang sehingga dapat diintegrasikan.
c. Kapasitas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Struktur BPBD yang ada saat ini dirasakan sudah cukup untuk penyelenggaraan
penanggulangan bencana di daerah, hanya perlu dioptimalkan lagi dalam hal
sumber daya manusia dan anggarannya.Dirasakan sumber daya manusia yang
adasaatinimasihsangatkurangkapabilitasnyadalampenanggulanganbencana,
khususnya untuk aspek pencegahan dan mitigasi bencana (perencanaan), karena
saat ini fokusnya masih lebih pada hal-hal yang operasional (kesiapsiagaan dan
tanggap darurat)8
.
Hal tersebut merupakan tantangan yang harus dihadapi, yaitu bagaimana agar
7
Bapak Lilik Kurniawan, Direktur Pengurangan Risiko Bencana,“Isu-isu Strategis Pengarusutamaan Pengurangan Risiko
Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang”, Kedeputian Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, BNPB, Keynote Speech
dalam Diskusi Terarah Materi Teknis-SCDRR-II, Bappenas, 10 Juni 2014.
8
Diskusi Terarah Materi Teknis-SCDRR-II, Bappenas, 10 Juni 2014.
30. MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xxix
Pemerinah Daerah mau memprioritaskan pembentukan BPBD, dan bila sudah
terbentuk, mau memprioritaskan penguatan BPBD, baik dari segi penguatan
sumber daya manusia maupun anggaran.
Dalam pembentukan dan penguatan BPBD ini, sebaiknya pemerintah daerah juga
mempertimbangkan karakteristik fisik daerahnya, misalnya provinsi kepulauan
seperti NTT atau kota kepulauan sepertiTernate. Sebagai wilayah kepulauan, maka
saranadanprasaranaevakuasimenjadiisuyangsangatpentinguntukdiperhatikan.
d. Penguatan BKPRD terkait Kebencanaan
Sehubungan dengan belum masuknya pengarusutamaan pengurangan risiko
bencana ke dalam salah satu tugas BKPRD dan tidak masuknya kelembagaan
bencana, BPBD, sebagai anggota BKPRD, maka tantangannya adalah bagaimana
meningkatkan kapasitas BKPRD terhadap kebencanaan, terutama dalam upaya
pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang. Ada
beberapa alternatif yang dapat diambil: (i) Memasukkan kelembagaan bencana,
dalam hal ini BPBD, sebagai salah satu anggota BKPRD; atau (ii) Memasukkan
BPBD ke dalam Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang pada saat penyusunan
rencanatataruang,dankedalamKelompokKerjaPemanfaatandanPengendalian
Pemanfaatan Ruang pada saat rencana tata ruang sudah selesai disusun dan
masuk pada tahap implementasi; atau (iii) Memasukkan BPBD dalam Tim Teknis
tentang penanggulangan bencana.
Dari hasil lokakarya, khusus untuk isu kelembagaan, dihasilkan beberapa butir
penting berikut ini:
1. Terkait dengan pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam
perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang,
diperlukan pelibatan BPBD dan BKPRD. Dalam konteks tersebut maka
penting agar BPBD menjadi anggota BKPRD. Penguatan BKPRD dan BPBD
dalam penanganan aspek kebencanaan menjadi hal yang penting pula.
2. Penguatan BKPRD dalam aspek kebencanaan, antara lain dengan cara (dapat
dilakukan ketiganya): (i) eselon 2 masuk sebagai anggota BKPRD; eselon 3
masuk dalam pokja BKPRD; dan masuk dalam tim teknis BKPRD.
3. Bila BPBD direkomendasikan untuk masuk sebagai anggota BKPRD, dan
BNPB direkomendasikan untuk masuk sebagai anggota BKPRN, maka perlu
dipikirkan bagaimana mekanismenya karena ada peraturan yang perlu diubah.
Misalnya, Keppres tentang BKPRN perlu direvisi. Sebelumnya tentu harus ada
kesepakatan terlebih dahulu mengenai keanggotaan tersebut. Hal ini penting
karenasalahsatutujuanpenyelenggaraanpenataanruangadalahmewujudkan
ruang wilayah nasional yang aman (UU No. 26 tahun 2007 pasal 3), di mana
kebencanaan adalah salah satu isu strategis.
31. xxx — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
4. Mendagri bersama para Menteri anggota BKPRN berkewajiban untuk
melakukan fungsi dan pembinaan BKPRD dalam penyelenggaran penataan
ruang terkait upaya pengurangan risiko
VI. Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil kajian ini adalah sebagai berikut:
1. Perlunya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata
ruang. Jika hal ini disepakati seluruh stakeholders terkait, maka implikasinya adalah:
(i) Rencana tata ruang yang belum disusun, dalam penyusunannya nanti langsung
mengintegrasikan perspektif pengurangan risiko bencana; (ii) Rencana tata
ruang yang masih dalam proses penyusunan (s/d persetujuan substansi), segera
mengintegrasikanperspektifpenguranganrisikobencanaini;(iii)Rencanatataruang
yang sudah dalam proses Raperda dan sudah Perda atau sudah Raperpres dan sudah
Perpres, segera mengintegrasikan perspektif pengurangan risiko bencana pada saat
dilakukan peninjauan kembali yang pertama; (iv) Daerah-daerah yang memiliki
kelas risiko sangat tinggi (perlu dirumuskan kriterianya), segera mengintegrasikan
perspektif pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruangnya.
2. Indeks Risiko Bencana Multi Ancaman 10 Kabupaten/Kota Tertinggi Tahun 2013.
No Kabupaten/Kota Provinsi Skor Kelas Risiko Status RT/RW
1 Cianjur Jawa Barat 250 Tinggi
Perda 2012,
PK RT/RW 2017
2 Garut Jawa Barat 238 Tinggi
Perda 2011
PK RT/RW 2016
3 Sukabumi Jawa Barat 231 Tinggi
Perda 2012
PK RT/RW 2017
4 Lumajang Jawa Timur 231 Tinggi
PK RT/RW 2014
5 Tasikmalaya Jawa Barat 225 Tinggi
Perda 2012
PK RT/RW 2017
6 Halmahera Selatan Maluku Utara 224 Tinggi
Perda 2012
PK RT/RW 2017
7 Maluku Barat Daya Maluku 223 Tinggi
Perda 2013
PK RT/RW 2018
8 Majene Sulawesi Barat 221 Tinggi
Perda 2012
PK RT/RW 2017
9 Malang Jawa Timur 219 Tinggi
PK RT/RW 2015
10 Jember Jawa Timur 219 Tinggi Belum Perda
Sumber: IRBI 2013 dan Roadmap (draft), Bappenas
3. Pengurangan risiko bencana menjadi salah satu muatan yang dikaji pada saat
proses persetujuan substansi di BKPRN. Pengurangan risiko bencana ini mencakup:
(a) kajian risiko bencana pada tahap analisis, dan (b) muatan pengurangan risiko
bencana dalam kebijakan, rencana, dan indikasi program utama.
32. MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xxxi
4. K/L atau SKPD dapat melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri
berkoordinasi dengan BNPB/BPBD dan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun
2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, apabila Rencana
Penanggulangan Bencana (RPB) belum ada pada saat penyusunan atau peninjauan
kembali rencana tata ruang.
5. BNPB dilibatkan dalam proses persetujuan substansi untuk menjamin kualitas
kajian risiko bencana yang dilakukan telah memenuhi standar.
6. Perlumembuatpemrioritasandalampembuatanpetadasarberdasarkankelasrisiko
suatu daerah/kawasan. Kabupaten/kota/kawasan yang memiliki kelas risiko tinggi
diprioritaskan pembuatannya. Semakin tinggi risikonya semakin diprioritaskan
pembuatan peta dasarnya.
7. Pentahapan pembuatan peta dasar sebagai berikut:
i. Tahap pertama adalah menyelesaikan pembuatan peta skala 1:25.000 untuk
seluruh Indonesia, dan peta skala 1:10.000 untuk kawasan-kawasan dalam
kabupaten/kota yang memiliki kelas risiko tinggi;
ii. Tahap kedua adalah membuat peta skala 1:5.000, 1:2.000, 1:1.000 untuk
kawasan-kawasan dengan kelas risiko tinggi.
8. BKPRN perlu membahas tantangan penyediaan peta kerawanan dan peta bahaya
yang harus disiapkan oleh K/L dan Daerah. Karena tanpa peta-peta tersebut, peta
risiko tidak dapat dibuat.
9. Dibuat satu pedoman untuk memudahkan implementasi oleh pemerintah daerah.
Pedoman tersebut disusun dengan mengintegrasikan berbagai upaya yang telah
dilakukan saat ini terkait dengan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana
ke dalam rencana tata ruang. Pedoman tersebut menjadi acuan dalam penyusunan
RTRW Provinsi, RTRW Kabupaten, RTRW Kota dan RTR Kawasan Strategis Nasional.
10. Dasar hukum pedoman tersebut adalah (i) Surat Edaran Bersama 3 Menteri (Kemen
PU, Kemendagri, dan BNPB); yang kemudian ditingkatkan menjadi (ii) Peraturan
Menteri PU.
11. Alternatif penguatan BKPRD terhadap kebencanaan dilakukan dengan cara: (i)
Memasukkan BPBD sebagai salah satu anggota BKPRD; (ii) Memasukkan BPBD ke
dalam Kelompok Kerja PerencanaanTata Ruang pada saat penyusunan rencana tata
ruang, dan ke dalam Kelompok Kerja Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan
Ruang pada saat rencana tata ruang sudah selesai disusun dan masuk pada tahap
implementasi; (iii) Memasukkan BPBD dalam Tim Teknis tentang penanggulangan
bencana.
12. Perlu dilakukan penguatan BKPRN dengan melibatkan BNPB.
33. xxxii — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
VII. REKOMENDASI
Dalam upaya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana
tata ruang, khususnya RTRW Provinsi dan RTR KSN, maka usulan rekomendasi
disampaikan pada BKPRN dan BNPB, adalah sebagai berikut:
A. BKPRN
BKPRNmelaksanakanrapateselonIIBKPRNuntukmenyepakatipengarusutamaan
pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, yang meliputi:
1. Dibutuhkan pedoman pengarusutamaan PRB ke dalam RTR, baik untuk RTRW
Provinsi, RTRW Kabupaten, RTRW Kota, dan RTR KSN. Perlu pula disepakati: (i)
Kerangka regulasi pedoman; dan (ii) Muatan pedoman.
2. Pengurangan risiko bencana (PRB) menjadi salah satu muatan yang dikaji
pada saat proses persetujuan substansi di BKPRN. BNPB dilibatkan dalam
proses persetujuan substansi untuk menjamin kualitas kajian risiko bencana
yang dilakukan telah memenuhi standar;
3. Membuat prioritas pembuatan peta dasar berdasarkan kelas risiko suatu daerah;
4. Penguatan BKPRD untuk materi kebencanaan. BPBD diusulkan menjadi
anggota BKPRD;
5. Dibuat satu pedoman untuk memudahkan implementasi oleh pemerintah
daerah. Pedoman tersebut disusun dengan mengintegrasikan berbagai
upaya yang telah dilakukan saat ini terkait dengan pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang. Pedoman tersebut
menjadi acuan dalam penyusunan RTRW Provinsi, RTRW Kabupaten, RTRW
Kota dan RTR Kawasan Strategis Nasional.
B. BNPB
1. Berkoordinasi dengan BKPRN dalam menetapkan daerah-daerah yang perlu
diprioritaskan pembuatan peta dasar dan peta tematiknya berdasarkan kelas
risiko suatu daerah;
2. Mendorong agar Pemerintah Daerah memrioritaskan pembentukan dan
penguatan BPBD (sumber daya manusia maupun anggaran);
3. Mendorong percepatan penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana di
kabupaten/kota; dan
4. Merumuskan kelas risiko yang lebih rinci (tidak hanya tinggi, sedang, rendah).
34. MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xxxiii
BAB 1
Pendahuluan
35. xxxiv — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
36. MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 1
BAB 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Indonesia yang terdiri dari gugusan kepulauan mempunyai potensi bencana
yang sangat tinggi dan juga sangat bervariasi dari aspek jenis bencana. Kondisi
alam tersebut serta adanya keanekaragaman penduduk dan budaya di Indonesia
menyebabkan timbulnya risiko terjadinya bencana alam, bencana ulah manusia dan
kedaruratan kompleks, meskipun disisi lain juga kaya akan sumberdaya alam.
Dengan kondisi sebagai negara rawan bencana, dan mengingat bahwa negara
bertanggung jawab melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan
dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana, maka dikeluarkanlah UU
No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. UU ini menjadi acuan bagi
upaya penanggulangan bencana di Indonesia. Penyelenggaraan penanggulangan
bencana terdiri atas 3(tiga) tahap, yang meliputi tahap prabencana, tanggap darurat,
dan pasca bencana. Penyelenggaraan untuk ketiga tahap tersebut harus dilakukan
secara terintegrasi.
Kompleksitas penyelenggaran penanggulangan bencana memerlukan suatu
penataan dan perencanaan yang matang, terarah dan terpadu. Penanggulangan
yang dilakukan selama ini belum didasarkan pada langkah-langkah yang sistematis
dan terencana, sehingga seringkali terjadi tumpang tindih dan bahkan terdapat
langkah upaya penting yang tidak tertangani. Pemaduan dan penyelarasan arah
penyelenggaraan penanggulangan bencanapada suatu kawasan membutuhkan
dasar yang kuat dalam pelaksanaannya. Hal ini dapat dilakukan melalui kajian risiko
bencana. Kajian risiko bencana merupakan perangkat untuk menilai kemungkinan
dan besaran kerugian akibat ancaman yang ada. Dengan mengetahui kemungkinan
dan besaran kerugian, fokus perencanaan dan keterpaduan penyelenggaraan
penanggulanganbencanamenjadilebihefektif.Dapatdikatakankajianrisikobencana
merupakan dasar untuk menjamin keselarasan arah dan efektivitas penyelenggaraan
penanggulangan bencana pada suatu daerah.
Sebagai negara rawan bencana, sangat penting bagi Indonesia untuk memiliki
kesiapsiagaan dalam mengantisipasi bencana untuk dapat mengurangi dampak
yang ditimbulkan oleh bencana tersebut. Dalam hal ini upaya pencegahan dan
37. 2 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
mitigasi bencana menjadi sangat penting untuk mengurangi risiko bencana yang
mungkin timbul. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana telah mengamanatkan pada pasal 35 dan 36 agar setiap daerah mempunyai
perencanaan penanggulangan bencana yang menjadi acuan dalam upaya
penanggulangan bencana. Sehubungan dengan hal tersebut, sangatlah penting
bagi setiap daerah untuk mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam
dokumen-dokumen perencanaan daerah, seperti Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Tata
Ruang (RTR) untuk menjamin pelaksanaannya yang efektif dan terintegrasi.
Mengingat pentingnya upaya mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke
dalamdokumenperencanaandaerah,makakerjasamaUNDPdenganBNPB,Bappenas,
dan Kementerian Dalam Negeri melalui Proyek Safer Communities through Disaster
Risk Reduction (SCDRR) Fase II berupaya untuk mengintegrasikan pengurangan risiko
bencana ke dalam rencana tata ruang. Sejalan dengan Prioritas Aksi 4 dari Hyogo
Framework for Action (HFA) 2005-2015 yakni “Reduce the underlying risk factors”,
proyek ini memberikan dukungan kepada Pemerintah Pusat untuk memasukkan
pengurangan risiko bencana ke dalam sektor-sektor pembangunan terpilih. Salah
satu output proyek ini adalah terselenggaranya dukungan bagi pengarusutamaan
kebijakan pengurangan risiko bencana dalam pembangunan di daerah, termasuk
dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Sehubungandenganitu,proyekinimemberikandukungankepadaPemerintahPusat
untuk memasukkan perspektif pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction/
DRR) ke dalam sektor-sektor pembangunan terpilih melalui perumusan materi
teknis bagi pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam sektor-sektor
pembangunan, khususnya penataan ruang. Rencana tata ruang, dengan fungsinya
untuk mengarahkan pemanfaatan ruang jangka panjang, sangat berguna dalam
mereduksi keterpaparan jumlah penduduk, kegiatan sosial ekonomi, dan sarana
prasarana dari ancaman bencana. Saat ini, pedoman penyusunan rencana tata ruang
yang ada yang relevan dengan kebencanaan adalah untuk letusan gunung api,
gempa bumi, dan reklamasi pantai.
Berdasarkan amanat Undang-undang Nomor 26Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
semua pemerintah daerah (provinsi, kabupaten dan kota) wajib menyusun Rencana
Tata RuangWilayah (RTRW) yang selanjutnya dilegalisasikan menjadi Peraturan Daerah
(Perda), dengan masa berlaku selama 20 tahun dan ditinjau kembali setiap 5 tahun.
Sehubungan dengan upaya pengurangan risiko bencana, rencana tataruang saat ini
juga perlu memasukkan kajian risiko bencana untuk mengidentifikasikan kerawanan,
tingkat ancaman, tingkat kerentanan, dan tingkat kapasitas di suatu wilayah.
Memasukkan upaya pengurangan risiko bencana kedalam penataan ruang, yang
38. MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 3
meliputi perencanaantataruang,pemanfaatanruang,danpengendalianpemanfaatan
ruang, harus menjadi prioritas Pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan
terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan
rentan, serta berpihak pada upaya pelestarian lingkungan hidup.
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dari kegiatan ini adalah untuk menyusun Materi Teknis Revisi Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko
Bencana. Sementara tujuan dari kegiatan ini adalah memberikan masukan perbaikan
terhadap pedoman-pedoman penyusunan rencana tata ruang (RTR) yang telah ada
saat ini untuk mengintegrasikan pendekatan pengurangan risiko bencana ke dalam
penataan ruang.
Materi teknis yang dihasilkan akan diusulkan kepada Badan Koordinasi Penataan
Ruang Nasional (BKRN) sebagai masukan dalam merumuskan pedoman yang
dapat menjadi acuan bagi Pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan
pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang,
khususnya Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW Provinsi) dan Rencana Tata
RuangKawasanStrategisNasional(RTRKSN).Pedomanininantinyadapatmelengkapi
pedoman yang telah ada saat ini, khususnya (a) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
No. 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Provinsi, dan (b) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 15 Tahun 2012
tentang Pedoman Penyusunan RencanaTata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Nasional
(KSN). Perumusan pedoman tersebut harus dilakukan sesuai dengan arahan dalam
UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No. 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana sebagai landasan untuk mengintegrasikan pendekatan
pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang.
1.3 Ruang Lingkup Materi Teknis
Adapun ruang lingkup kegiatan penyusunan Materi Teknis Revisi Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko
Bencana meliputi:
l Mengkaji peraturan perundang-undangan yang terkait, khususnya Pedoman
Penyusunan RencanaTata RuangWilayah Provinsi (Permen PU No 15Tahun 2009)
dan Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional
(Permen PU No 15 Tahun 2012);
l Mengkaji dan mengintegrasikan hasil dua studi yang telah dilakukan, yaitu
“Perencanaan Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional: Tinjauan Kebencanaan,
Studi Kasus Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur” dan “Kaji Ulang
Pedoman Perencanaan Tata Ruang dalam rangka Pengurangan Risiko Bencana
(PRB) di Indonesia”;
39. 4 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
l Melakukan pengumpulan data dan informasi dari stakeholder yang relevan,
khususnya Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, dan Badan Nasional Penanggulangan
Bencana melalui diskusi bilateral;
l Mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan rencana
tata ruang wilayah provinsi dan kawasan strategis nasional;
l Mengkaji mitigasi bencana dalam Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil (RPWP3K) dan keterkaitan kajian risiko bencana dengan Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam penataan ruang;
l Melakukan pemetaan stakeholder;
l Menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terfokus untuk mendapatkan masukan
terhadap materi teknis yang disusun dari stakeholder yang relevan;
l Menyelenggarakan lokakarya untuk mendiseminasikan materi teknis yang telah
disempurnakan dan menyepakati rencana tindak lanjut; dan
l Menyusun Materi Teknis bagi Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang
berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana
1.4 Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan
Kegiatan ini dilakukan melalui perumusan serangkaian output, sebagai berikut:
1. Output 1: Keterkaitan Kajian Risiko Bencana dengan KLHS dalam RTRW Provinsi
dan RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN)
Output ini dicapai dengan melakukan kajian terhadap peraturan perundang-
undangan tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), pengurangan
risiko bencana, Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi, dan Pedoman Penyusunan
RTR KSN dan dokumen-dokumen penunjang lainnya.Selain itu juga dilakukan
diskusi dengan Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Dari diskusi dan kajian ini dapat diperoleh gambaran mengenai keterkaitan Kajian
RisikoBencana(KRB)denganKLHSdalamrencanatataruang,khususnyadalamRTRW
Provinsi dan RTR KSN.Hasil kajian ini juga menjadi masukan dalam mengintegrasikan
KRB ke dalam rencana tata ruang wilayah provinsi dan kawasan strategis nasional.
2. Output 2: Mitigasi Bencana dalam Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil (RPWP3K)
Output ini dicapai dengan melakukan kajian terhadap peraturan perundang-
undangan tentang rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
(RPWP3K), pengurangan risiko bencana, dan dokumen-dokumen penunjang
lainnya, serta diskusi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Dari diskusi dan kajian ini dapat diperoleh gambaran mengenai posisi mitigasi
bencana dalam rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
3. Output 3: Integrasi Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Penyusunan RTRW
Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN)
40. MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 5
Output ini dicapai dengan melakukan desk study, yang mencakup:
a. Mengkaji pedoman-pedoman yang ada tentang penyusunan RTRW Provinsi
dan RTR KSN serta pedoman terkait lainnya;
b. Mengkaji peraturan perundang-undangan serta dokumen tentang
penanggulangan bencana.
c. Mengkaji dokumen-dokumen penunjang lainnya, termasuk dua studi yang
telah dihasilkan oleh SCDRR II, yaitu “Perencanaan Tata Ruang Kawasan
Strategis Nasional: Tinjauan Kebencanaan, Studi Kasus Penataan Ruang
Kawasan Jabodetabekpunjur” dan “Kaji Ulang Pedoman Perencanaan Tata
Ruang dalam rangka Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Indonesia”.
Berdasarkan hasil kajian tersebut, dan diskusi dengan Kementerian Pekerjaan
UmumdanBadanNasionalPenanggulanganBencana,dilakukanpengintegrasian
pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN.
4. Output 4: Pemetaan KelembagaanPengintegrasian Pengurangan Risiko Bencana
ke dalam Rencana Tata Ruang
Output ini dicapai melalui:
a. Hasil dari Output 3; dan
b. Pengumpulan data dan informasi dalam bentuk diskusi dan wawancara
dengan stakeholder yang relevan.
Stakeholder yang relevan meliputi: Bappenas, Kementerian Pekerjaan Umum,
Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
dan Kementerian Lingkungan Hidup.
Hasil diskusi dengan berbagai stakeholder yang relevan, dikombinasikan dengan
hasil dari output 3, dilakukan pemetaan kelembagaan.
5. Output 5: Penyusunan Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata
Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana
Penyusunan materi teknis terdiri atas dua tahap, yaitu:
a. Penyusunan draft materi teknis revisi pedoman penyusunan RTR
Draft materi teknis disusun berdasarkan output 1 sampai dengan output 4.
Untuk mempertajam pengintegrasian kajian risko bencana (KRB) ke dalam
pedoman penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi dan
Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Nasional (KSN), serta pemetaan
kelembagaan, dilakukan Diskusi Terarah (Focus Group Discussion/FGD). Hasil
dari FGD ini menjadi masukan dalam perumusan draft materi teknis.
b Penyusunan materi teknis revisi pedoman penyusunan RTR (final)
Lokakarya diselenggarakan untuk mendiseminasikan draft materi teknis
revisi pedoman penyusunan RTR yang telah disusun dan membangun
kesepakatan rencana tindak lanjut dengan mengundang berbagai
stakeholder yang lebih luas. Hasil dari lokakarya ini juga menjadi masukan
dalam menyempurnakan draft materi teknis yang akan diberikan kepada
41. 6 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN). Peserta lokakarya
meliputi anggota BKPRN, pemerintah provinsi DKI Jakarta, dan pemerintah
daerah dalam Bodetabekpunjur.
1.5 Kedudukan Materi Teknis
MateriTeknisiniditujukanuntukmemberikanmasukanbagaimanamengintegrasikan
perspektif pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan rencana tata ruang,
khususnya penyusunan RTRW Provinsi dan penyusunan RTR KSN. Diharapkan hal
ini dapat memperbaharui paradigma perencanaan tata ruang berbasis mitigasi
bencana, sehingga rencana tata ruang yang disusun nantinya telah memuat upaya-
upaya pengurangan risiko bencana.
Materi Teknis ini bersifat komplementer terhadap Pedoman Penyusunan RTRW
Provinsi dan Pedoman Penyusunan RTR KSN yang ada. Selain itu Materi Teknis ini
juga akan melengkapi aturan yang lebih rinci yang saat ini sedang disusun oleh
Kementerian Pekerjaan Umum, yaitu Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan
Bencana (SPR KRB).Kedudukan Materi Teknis terhadap pedoman-pedoman yang
telah ada dapat dilihat pada Gambar 1.1.
Dalam mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang,
terdapat 3 hal yang harus dilakukan, yaitu:
a. Integrasi dokumen/proses. Mengatur bagaimana mengintegrasikan kajian risiko
bencana (KRB) dalam dokumen Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) ke
dalam dokumen rencana tata ruang (RTR) dalam proses penyusunan rencana
tata ruang. Dalam hal ini, terdapat masalah perbedaan jangka waktu antara
penyusunan atau peninjauan kembali rencana tata ruang dengan periode
Rencana Penanggulangan Bencana (RPB).
b. Integrasi spasial. Mengatur bagaimana mengintegrasikan kajian risiko bencana
(KRB) ke dalam muatan rencana tata ruang. Hal ini sudah diatur dalam Standar
Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana.
c. Koordinasi Kelembagaan.
Sehubungandenganhaltersebutdiatas,makaMateriTeknisinilebihdifokuskanpada
pembahasan mengenai integrasi proses/dokumen dan koordinasi kelembagaan,
dengan tambahan pembahasan mengenai integrasi spasial/muatan yang menjadi
irisan dengan Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (SPR KRB).
42. MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 7
Integrasi spasial/muatan telah dibahas secara detil dalam Standar Penataan Ruang di
Kawasan Rawan Bencana. Lihat Gambar 1.2.
Gambar 1.1
Kedudukan Materi Teknis terhadap
Peraturan Perundang-undangan Bidang Penataan Ruang
Dan Bidang Penanggulangan Bencana
Perka BNPB No. 2/2012
Pedoman Umum
43. 8 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Gambar 1.2
Keterkaitan Materi Teknis dengan Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN,
serta Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana
Sumber: Hasil Analisis
1.6 Sistematika Materi Teknis
Materi teknis ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:
Bab 1 PENDAHULUAN
Bab 1 yang merupakan pendahuluan membahas mengenai latar belakang
penyusunan materi teknis, maksud dan tujuan penyusunan, ruang lingkup
pembahasan, metodologi penyusunan, dan kedudukan materi teknis ini
terhadap pedoman penyusunan rencana tata ruang yang ada.
Bab 2 MITIGASI BENCANA DALAM RENCANA PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
DAN PULAU-PULAU KECIL (RPWP3K) DAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP
STRATEGIS (KLHS)
Bab 2 ini terdiri atas dua subbab, yaitu subbab pertama membahas mitigasi
bencana dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sedangkan
subbab kedua membahas kajian lingkungan hidup strategis dalam penataan
ruang. Subbab pertama membahas dasar hukum mitigasi bencana dan jenis,
tingkat risiko, dan wilayah bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Selain itu juga dibahas mitigasi bencana dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir
Integrasi
Spasial/
Muatan
Koordinasi
Kelembagaan
Integrasi
Dokumen/
Proses
Integrasi
Spasial/Muatan
Materi
Teknis
Standar Penataan Ruang
di Kawasan Rawan
Bencana
Pedoman Penyusunan
RTR KSN
Pedoman Penyusunan
RTRW Provinsi
MelengkapiMelengkapi
44. MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 9
dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) serta contoh aplikasi mitigasi bencana dalam
perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Subbab ini juga
membahas keterkaitan antara perencanaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil dengan perencanaan tata ruang.
Subbab kedua membahas tentang penyelenggaraan kajian lingkungan hidup
strategis (KLHS) dalam rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata
ruang kawasan strategis nasional, serta keterkaitannya dengan pengurangan
risiko bencana dalam perencanaan tata ruang.
Bab 3 PENGARUSUTAMAAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA KE DALAM
PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI
Sesuai dengan tujuan materi teknis ini, maka Bab 3 membahas langkah-langkah
yang harus dilakukan dalam mengintegrasikan perspektif pengurangan risiko
bencana ke dalam penyusunan rencana tata ruang provinsi. Hal-hal yang
dibahas meliputi dasar hukum, penyelenggaraan penanggulangan bencana
dalam penataan ruang, pengintegrasian perspektifpengurangan risiko bencana
ke dalam proses penyusunan RTRW Provinsi, serta pengintegrasian kajian risiko
bencana (KRB) ke dalam ketentuan teknis muatan RTRW Provinsi. Pembahasan
dalam bab ini ditutup dengan pembahasan mengenai tantangan yang dihadapi
dalam pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan
RTRW Provinsi.
Bab 4 PENGARUSUTAMAAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA KE DALAM
PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG KAWASAN STRATEGIS NASIONAL
Pembahasan dalam Bab 4 diawali dengan perumusan kriteria bagi penentuan
perlu/tidaknya melakukan kajian risiko bencana khusus bagi setiap tipologi KSN
yang ada. Kriteria ini dirumuskan dengan memperhatikan bentuk KSN serta
isu strategis nasional dan fokus penangangan setiap tipologi KSN. Setelah itu
dilakukanpembahasanterhadappengarusutamaanpenguranganrisikobencana
ke dalam proses penyusunan rencana tata ruang kawasan strategis nasional
(RTR KSN). Dilanjutkan dengan pembahasan mengenai pengintegrasian kajian
risiko bencana (KRB) ke dalam muatan RTR KSN. Kemudian diberikan contoh
pengintegrasian KRB tersebut ke dalam RTR KSN dengan Tipologi Kawasan
Perkotaan Metropolitan Jabodetabekpunjur. Terakhir dibahas tantangan yang
dihadapi dalam pengarusutamaan pengurangan risiko bencana tersebut ke
dalam penyusunan RTR KSN.
Bab 5 PEMETAAN PEMANGKU KEPENTINGAN
Bab 5 membahas tentang pemangku kepentingan dalam pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana ke dalam perencanaan tata ruang. Sebagai
pendahuluan dibahas mengenai pemetaan pemangku kepentingan dalam
penyelenggaranpenanggulanganbencana,yaitukelembagaanpenanggulangan
bencana di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Setelah itu dilakukan
pemetaan pemangku kepentingan dalam pengarusutamaan pengurangan
risiko bencana ke dalam penyusunan RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Stategis
Nasional (KSN).
45. 10 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Bab 6 IMPLEMENTASI
Bab 6 merupakan bab terakhir dari Materi Teknis ini. Bab ini membahas langkah-
langkah yang harus dilakukan untuk mengimplementasikan pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN
dengan mempertimbangkan berbagai tantangan yang dihadapi.
46. MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 11
BAB 2
Mitigasi Bencana dalam Rencana
PengelolaanWilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (RPWP3K) dan
Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS)
47. 12 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
48. MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 13
Pada bab ini dibahas mitigasi bencana dalam rencana pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil dan bagaimana keterkaitannya dengan penataan ruang. Selain itu bab
ini juga membahas kajian lingkungan hidup strategis dalam perencanaan tata ruang dan
kaitannya dengan mitigasi bencana.
2.1 Mitigasi Bencana dalam Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil
2.1.1 Dasar Hukum
Mitigasi Bencana dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulaukecil(PWP3K)mengacupadaUUNo.27tahun2007tentangPengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K)Pasal 56 yang mengamanatkan
bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah dalam menyusun perencanaan
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil wajib memuat mitigasi
bencana sesuai dengan jenis, tingkat risiko, dan wilayah bencananya.
Upaya mitigasi bencana harus dilaksanakan sejak tahap perencanaan.
UU No. 27 tahun 2007 menitikberatkan pada upaya preventif pada tahap
prabencana.Amanat ini mengandung makna bahwa paradigma penanganan
bencana yang selama ini dilakukan perlu direformasi dari pendekatan
fatalistik-reaktif melalui manajemen krisis menjadi pendekatan terencana
pro-aktif melalui pengurangan risiko. Pengurangan risiko dilakukan melalui
tiga upaya: pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan. Ketiga upaya tersebut
dalam UU No. 27 Tahun 2007 disebut mitigasi. Mitigasi bencana adalah
upaya untuk mengurangi risiko bencana baik secara struktur atau fisik
BAB 2
MitigasiBencanadalamRencana
PengelolaanWilayahPesisirdanPulau-
PulauKecil(RPWP3K)danKajian
LingkunganHidupStrategis(KLHS)
49. 14 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun nonstruktur atau
nonfisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi bencana di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil.
Atas dasar itu maka diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai kegiatan
pengurangan risiko bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai
dengan jenis, tingkat risiko, dan wilayah bencana. Mitigasi bencana ini diatur
lebih lanjut dalam PP No. 64 tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
2.1.2 Jenis, Tingkat Risiko, dan Wilayah Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau -
pulau Kecil
Bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat diakibatkan karena
peristiwa alam dan/atau perbuatan orang.Perbandingan jenis-jenis bencana
yang ditetapkan oleh BNPB dan PP No. 64 tahun 2010 dapat dilihat pada
Tabel 2.1.
Tabel 2.1
Perbandingan Jenis-jenis Bencana
Jenis-jenis Bencana dalam
PP No. 64 tahun 2010
Jenis-jenis Bencana dalam
Perka BNPB No. 02 tahun 2012
No Jenis Bencana Penyebab No Jenis Bencana
1. Gempa Bumi Peristiwa Alam 1. Gempa Bumi
2. Tsunami Peristiwa Alam 2. Tsunami
3. Gelombang Ekstrim Peristiwa Alam 3. Gelombang Ekstrim dan Abrasi
4. Gelombang Laut Berbahaya Peristiwa Alam 4. Letusan Gunung Api
5. Letusan Gunung Api Peristiwa Alam 5. Banjir
6. Banjir Peristiwa Alam Perbuatan Orang 6. Tanah Longsor
7. Kenaikan Paras Muka Air Laut Peristiwa Alam Perbuatan Orang
8. Tanah Longsor Peristiwa Alam Perbuatan Orang
9. Erosi Pantai Peristiwa Alam Perbuatan Orang
10. Angin Puting Beliung Peristiwa Alam
Jenis bencana lainnya 7. Kekeringan
8. Cuaca Ekstrim
9. Kebakaran Hutan dan Lahan
10.
Kebakaran Gedung dan
Permukiman
11. Epidemi dan Wabah Penyakit
12. Gagal Teknologi
Sumber: PP No. 64 tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan Perka BNPB No. 02
tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana