SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 78
Downloaden Sie, um offline zu lesen
KUMPULAN CERPEN
Oleh: Fajar Sany
Juni 2016
Bersama, Menuju Kegelapan
Sebuah mobil yang berisi sekumpulan remaja, merayap dalam guyuran hujan deras,
menuju sebuah wilayah perbukitan yang dipenuhi pohon.
Karena jarak pandang yang terbatas, salah seorang dari mereka menyuruh untuk
menepi sejenak, tapi si pengemudi menolaknya.
“Kamu ini penakut sekali sih. Nih, aku nyalakan lampu kabutnya.” Kata Bayu pada Elan.
Hujan pun berhenti, tapi jalanan tetap berkabut. Tak lama kemudian, dari arah yang
berlawanan muncul sebuah mobil. Pengemudinya membunyikan klakson dan
menurunkan kaca depan.
“Hey, kalian mau kemana?” Tanya bapak tersebut.
“Kami mau ke kota Kalér.” Jawab Bayu.
“Jangan lewat sini, saya juga balik arah, mau lewat jalan bawah saja, biarlah macet
juga.”
“Terimakasih pak, tapi kami akan tetap lewat sini, lebih asyik daripada harus bermacet-
macetan ditengah kota.”
“Ouh... yasudah, saya cuman ngasih saran.”
***
Kembali ke perjalanan, mereka mendapati sebuah mobil yang berhenti di pinggir jalan.
Semua lampu seinnya menyala kelap-kelip.
“Maaf pak, mobilnya kenapa? Apa ada yang bisa kami bantu?” Tanya Bayu.
“Oh tidak, tidak apa-apa, tadi hanya mogok sebentar, lalu istirahat sejenak. Ini juga mau
berangkat lagi.”
“Syukur kalau begitu.”
“Mmm... kalian mau kesana ya, kota Kalér?”
“Iya pak, ini kami baru lulus SMA, mau ngerayain di rumah teman kami.”
“Jangan lewat sana, makanya ini saya juga balik arah.”
“Memangnya kenapa pak?”
“Ya jangan saja, tadi saya ketemu orang sini, katanya bahaya kalo lewat sini sendirian,
apalagi sekarang cuacanya hujan.”
“Tapi kami ada 7 orang pak?”
“Maksudnya, kendaraannya jangan sendirian, baiknya banyakan seperti konvoi, atau
minimal 3 mobil.”
Bapak itupun kemudian berlalu.
Karena merasa aneh, Elan menyarankan Bayu untuk berbalik arah saja dan
menggunakan jalan bawah, tapi ditolak.
“Kenapa harus merasa aneh, dan kenapa pula harus balik arah, terus mengambil jalan
bawah?”
***
Di pertengahan jalan, mereka menemukan sebuah warung, kemudian berhenti untuk
membeli rokok.
“Hanya kalian dalam satu mobil?” Tanya seorang ibu pemilik warung tersebut.
“Ya...”
“Sebaiknya kalian tidak lewat sini, balik arah dan ambil jalan lain. Sangat berbahaya,
apalagi sekarang berkabut dan hujan.”
Bayu menggaruk-garuk kepalanya, “Bu, sebenarnya ada apa? Sebelumnya saya sudah
bertemu dua orang bapak-bapak, mereka mengatakan hal yang sama pada kami.”
“Ya, tadi suami saya juga baru memberitahu seorang bapak-bapak yang menggunakan
mobil sedan merah.”
“Sebenarnya ada apa sih bu?”
Ibu itu berwajah datar. Tanpa menatap Bayu, dia merapi-rapikan dagangannya.
“Aku tidak mengerti dengan mereka semua, sebenarnya ada apa?” Keluh Bayu.
“Bay, sebaiknya kita balik arah saja. Aku merasa ada yang tidak beres dengan tempat
ini.” Kata Elan.
“Ah, sepertinya kamu juga terbawa omongan orang-orang tadi.”
“Kalau kamu takut kegelapan, keterlaluan, kita kan bersama-sama? Kalau sendirian
wajar. Yasudah kita bersama-sama saja menuju kegelapan, hahaha!”
***
Mereka sampai pada tanjakan yang cukup panjang. Tiba-tiba hujan turun mengguyuri
mereka.
“Weuh, makin gelap saja...” kata Elan.
Lampu kabut tetap tidak mampu untuk menembus tirai air yang menghalangi
pandangan. Laju mereka menjadi melambat. Jam di dasbor menunjukkan pukul 16.50.
Setelah itu, jalanan menurun.
“Hati-hati Bay... santai saja.” Kata Elan gemetaran.
“Ya aku tahu, ini juga santai!”
Di akhir turunan, mereka mendapati pepohonan rimbun di sebelah kiri jalan yang
membuat kegelapan.
Tiba-tiba Elan berteriak, “Bay, belok kiri, itu jalannya kesana, belok, belok!” Sambil
menunjuk ke pepohonan tadi.
Bayu meliuk ke kiri, tapi mobil langsung menukik ke bawah, jatuh menuju kegelapan.
Semuanya hanya bisa berteriak meminta tolong. Jam di dasbor menunjukkan pukul
17.00.
Setelah itu suara-suara teriakan tersebut berhenti, menyisakan suara hujan dan
beberapa hewan yang menjadi saksi bisu.
3 September 2015
Gunung Pembuktian
Pagi itu, Deni, Khairul, dan Radit telah berkumpul di rumah Amir.
“Selamat datang semuanya, maaf kalau rumahku berantakan, lagipula ini bukan
rumahku. Aku lebih suka menyebutnya posko, hehehe...” kata Amir, “baik, kita mulai
saja sekarang.”
Mereka berempat kemudian berangkat dengan berjalan kaki.
Sampailah mereka di perkampungan bawah gunung. Deni dan Radit tampak kelelahan.
Botol minum yang mereka bawa telah habis, sedangkan Khairul masih tersisa
setengahnya.
“Aku sudah bilang agar banyak makan, minum, dan istirahat sebelum hari pendakian
tiba, supaya tidak repot ke kaliannya. Deni, Radit, katanya ini pendakian keempat
kalian?”
Mereka berdua hanya mengusap keningnya yang berlumuran keringat.
***
Malam pun tiba, sampailah di pertengahan gunung. Mereka mendirikan tenda dan
bermalam disana sebelum melanjutkan perjalanan esok harinya. Amir, Dani, dan Khairul
berkumpul mengelilingi api unggun.
“Radit dimana ya?” Tanya Khairul.
Deni mengintip ke dalam tenda, “Tidur!”
“Padahal jam di tanganku belum sampai angka 9, dia sudah tidur. Atau memang jamku
yang salah?”
“Tidak... tidak salah,” balas Amir, “mungkin jam dia yang terlalu maju.”
***
Esok paginya mereka melanjutkan perjalanan. Deni dan Radit tampak ngos-ngosan,
sedangkan Khairul terlihat ceria sambil bernyanyi kecil.
“Bagaimana kalian tidak lelah, padahal kita baru saja istirahat, sedangkan kalian
mengemut permen? Kemarin sore sebelum berangkat kan aku sudah mengingatkan.”
Kata Amir.
Khairul mengeluarkan bungkusan berisi beberapa gula merah, lalu menyodorkannya
pada Deni dan Radit.
“Tidak usah, aku juga bawa.” Kata Deni.
“Nah, itu kamu bawa kenapa tidak diemut?” Tanya Amir.
Deni tersenyum, “tadinya aku mau, tapi setelah melihat permen Radit, aku jadi tertarik.”
“Uh... gula merah, aku tidak suka rasanya, terlalu manis.” Kata Radit.
***
Setelah melalui perjalanan yang melelahkan, sampailah di tujuan utama, puncak
gunung. Wajah mereka berempat terlihat ceria ketika menyaksikan pemandangan kota
dari atas, dengan kabut putih yang menutupi wilayah perhutanan di sekitarnya.
“Syukur, kita sampai di puncak sesuai rencana.”
Kemudian Khairul duduk di sebuah batu sambil melihat pemandangan. Sesekali dia
memotret dengan kameranya.
Radit menulis sesuatu di kertas, kemudian memotretnya bersama pemandangan. Deni
pun meniru, tapi dengan kata-kata yang berbeda, “Indonesia itu luas, jangan cuman
diem dirumah.”
Amir tertawa melihat mereka berdua.
***
Lima hari kemudian, Deni, Khairul, dan Radit berkumpul kembali di rumah Amir.
“Selamat sore, mohon maaf bang Amir tidak bisa hadir, dia ada halangan, jadi
diwakilkan pada saya.”
“Langsung saja, setelah kami bermusyawarah, maka yang lolos masuk kelompok
pecinta alam ini adalah...”
“Khairul.”
“Apa...” kata Radit, “apa alasannya?”
“Ya, kenapa?” Tambah Deni.
“Lelaki tersebut terdiam sejenak, “saya tidak bisa memberitahukannya, biar bang Amir
saja nanti yang bicara.”
Radit mendekat, lalu berdiri seperti orang yang menantang.
“Ayolah, kemarin aku sudah bersusah payah mengikuti ujian tersebut, masa aku tidak
lulus?”
“Hmmm...”
“Baiklah.”
“Alasannya karena...” lelaki itu membuka kertas, “Deni, ingin menjadi pecinta alam
karena ikut-ikutan saja; sedangkan Radit, karena ingin mempecundangi orang lain.”
“Mempecundangi? Aku tidak mengerti ini!” Kata Radit dengan tinggi.
“Ya, aku juga tidak mengerti ikut-ikutan saja bagaimana?” Tambah Deni.
“Saya sudah memberitahukannya, jika ada yang mau protes, besok pagi bang Amir
sudah kembali, saya hanya melaksanakan tugas saja. Terima kasih.”
Lelaki itu kemudian langsung pergi tanpa menghiraukan Deni dan Radit yang
menggerutu.
10 September 2015
Pencuri Sapi
Pagi itu, Ahsan dan beberapa warga berkumpul di sebuah saung.
“Selama saya tinggal disini, baru sekarang mendengar bapak kehilangan sapi.”
“Saya juga heran, tidak ada bekasnya, seakan sapi itu menghilang secara tiba-tiba.”
Kata Ahsan.
“Mungkin sapi anda diambil oleh makhluk halus.” Kata seorang warga.
Tak lama kemudian datanglah seorang kakek-kakek sambil menghisap rokok lintingan.
“Bisa jadi... ayam-ayam saya juga pernah menghilang secara misterius, tanpa
meninggalkan jejak.”
“Dan tahukah kalian siapa pelakunya?”
Semuanya terdiam melongo.
Kakek tersebut kemudian membisikkan sesuatu.
***
Malam harinya, Ahsan bersama pekerjanya melakukan ronda hingga matahari terbit.
Namun tidak ada tanda-tanda yang hendak mencuri. Malam berikutnya pun masih
sama, terus hingga malam ketiga.
Esok paginya, Ahsan menemui si kakek.
“Nihil, sama sekali tidak ada.”
“Kek, harimau hitam itu hanyalah mitos...”
“Hmmm...” si kakek mengelus-elus jenggotnya.
Tok-tok-tok!
Seorang pemuda datang dan memperkenalkan diri, kemudian ikut mengobrol.
“Pak Ahsan, saya dengar 3 hari yang lalu anda kehilangan sapi?”
“Ya...” jawab Ahsan.
“Saya sudah mendengar ceritanya.”
“Jadi begini...” pemuda itu kemudian menceritakan sesuatu.
***
Malamnya, Ahsan bersama pekerjanya kembali meronda, kali ini dibantu oleh si pemuda
tadi dan teman-temannya. Tapi seperti malam-malam sebelumnya, tidak ada tanda
siapapun yang hendak mencuri. Malam besoknya pun sama, hingga malam keenam
tiba.
“Sudah 6 malam kita melakukan ronda, tak ada sedikitpun tanda-tanda yang akan
mencuri sapiku, semuanya tampak normal. Tapi ini benar-benar aneh... lalu siapa yang
malam minggu kemarin mencuri sapiku dengan sangat rapih? Tanpa berbekas
sedikitpun...”
Si pemuda menggaruk-garuk kepalanya, “Saya juga merasa aneh, tumben sindikat
pencuri hewan ternak itu tidak beraksi, entah tidak beraksi kesini, atau memang mereka
sudah pensiun.”
“Mungkin yang mencuri sapi bapak menggunakan teknologi semacam teleportasi.”
***
Keesokan harinya, semua kembali berkumpul di saung.
“Saya rasa kita semua harus logis. Harimau hitam tentu tidak logis, karena harimau
yang sebenarnya saja sudah punah di pulau ini. Kemudian sindikat pencuri hewan
ternak yang memiliki ilmu tidak terlihat, mungkin pindah daerah operasinya, atau
kebetulan sedang tidak beraksi.” Kata Ahsan.
Setelah berbincang-bincang cukup lama, mereka membubarkan diri.
***
Seminggu berlalu, keadaan berjalan seperti biasa, tidak ada keanehan apapun.
Malam itu, tinggal 2 jam lagi menuju tahun baru. Pusat kota yang terletak di sebelah
utara tampak lebih bercahaya dari biasanya, dari sana terdengar suara dentuman
petasan dan mercon.
Ahsan yang sedang makan malam bersama keluarganya, terpaksa menerima seorang
tamu yang datang tiba-tiba.
“Kata sepupu saya, kabarnya komplotan itu mulai bergerak ke wilayah ini. Saya harap
bapak waspada, apalagi sekarang malam tahun baru, warga sini banyak yang pergi ke
kota.”
“Apakah mereka memiliki ilmu hitam tidak terlihat? Karena saya pernah diberitahu
tentang mereka.”
“Bukan... yang ini memiliki kemampuan menghipnotis.”
***
Waktu menunjukkan tepat pukul 00.00, serentak nyala kembang api menggila di langit
kota, disertai suara-suara yang membuat orang-orang tidak bisa memejamkan matanya.
Keadaan baru benar-benar sepi pada pukul 2. Ahsan yang setengah tidur di teras,
dibangunkan oleh suara dengungan halus yang berasal dari pepohonan di belakang
rumahnya.
Ketika dia memeriksanya, tidak ditemukan apa-apa.
Namun saat memeriksa kompleks peternakannya, dia terkejut setengah mati ketika
seekor sapinya melayang ke atas, menuju sebuah benda seperti pesawat terbang, tapi
tanpa sayap, dan tanpa suara sedikitpun.
Hendak lari, saat itu pula sekujur tubuhnya menjadi kaku. Dia hanya bisa melihat kalau
dirinya juga ikut melayang ke atas seperti sapinya.
15 September 2015
Smartphone Ratna
Hari itu sepertinya bukan hari yang baik bagi Ratna, dia pulang ke rumah dengan wajah
muram; badannya bungkuk lesu. Pamannya yang sedang mengobrol dengan tetangga
menyudahi obrolan, lalu masuk ke dalam kamarnya.
“Sepertinya ada masalah?”
“Tidak ada…”
“Benar?”
“Iya… Ratna hanya sedikit lemas, tadi ujian matematika dapat nilai 5, dan harus
mengulanginya lagi besok.”
“Hmmm… yasudah.”
“Eh… kalau mau martabak, ada di atas kulkas, rasa coklat kacang kesukaanmu.”
“Terimakasih paman.”
***
Esok paginya, Ratna dimarahi oleh gurunya karena terlambat, akibat angkot yang
ditumpanginya mogok.
“Huh… terlambat melulu, dasar siput!” Kata Nani, teman sekelas Ratna, di kantin.
Tak lama kemudian, datang Lina dan Tika, kawan se-geng Nani. Ratna memainkan
smartphone-nya, tidak menghiraukan kehadiran mereka.
“Uh, aku jadi gemas sama anak ini… heh, kenapa sih waktu itu kita ngajakin ke pantai,
kamu gak mau ikut, malah seperti… menghindar gitu, keki ya sama kita-kita ini?”
Ratna tetap memainkan smartphone-nya.
“Jawab hey!” Nani menyenggol lengan Ratna.
“Karena aku tidak punya uang untuk kesananya.”
“Tidak punya uang? Bukannya pamanmu yang sekarang jadi orangtuamu itu bekerja?
Ya berarti punya uang dong, kenapa gak minta? Benar kan kata aku juga, kamu keki.”
“Jangan berkata seperti itu, kamu tidak tahu tentang aku atau juga pamanku!”
“Eh… biasa aja dong tidak perlu melotot seperti itu matanya, mentang-mentang yatim
piatu, jangan merasa kebal ya, dan…”
“Lihat mukaku ketika aku sedang berbicara!” Dengan penuh emosi, Nani menepak
tangan Ratna sehingga smartphone-nya terjatuh.
Ratna langsung mendorong Nani hingga bertengkar.
Tak berlangsung lama, Yayu yang juga teman sekelas mereka, datang melerai; menarik
Ratna keluar dari incaran bogem Nani.
“Tak bisakah kamu berhenti mengganggu Ratna?” Tanya Yayu.
Nani memperbaiki rambutnya yang acak-acakan, “Dia keki sih sama aku, Lina, dan
Tika.”
Yayu membawa Ratna keluar dari kantin.
“Kamu tidak apa-apa?”
“Tidak apa… aku hanya sakit sedikit.” Jawab Ratna sambil mengelap ujung bibirnya
yang berdarah.
***
Besoknya, Nani dan kawan-kawan kembali mendatangi Ratna, kali ini di taman kota.
“Hey, aku hanya mau minta maaf soal kemarin.”
“Ya, tidak apa-apa.”
“Eh, selama ini kok kita tidak pernah tahu sih siapa pacar kamu?”
“Aku tidak punya pacar.”
“Yang benar… masa sih, kamu kan cantik. Mmm… sepertinya di HP ada foto-foto si dia
tuh.”
“Sumpah tidak ada.” Kata Ratna sambil terus memainkan smartphone-nya.
“Masih saja cuek, menyebalkan.” Kata Nani dalam hati. Matanya meliuk ke smartphone
Ratna, kemudian mencoba mengambilnya.
“Apaan? Diamlah Nan, jangan menggangguku!”
Nani kembali mencobanya dan berhasil, tapi terlepas sehingga jatuh ke tanah.
Untungnya, Yayu yang baru saja kembali dari membeli makanan, segera datang dan
membawa Ratna dari sana.
“Huh dasar! Di HP-nya pasti ada tuh semua rahasianya.” Kata Nani.
***
“Terimakasih Yay, sudah repot-repot mau membantuku.”
“Tidak apa-apa lah, itulah gunanya sahabat.”
“Hmmm… seharusnya kamu jangan terlalu sering memainkan HP-mu, bersosial lah
secara langsung, bukan lewat dunia maya. Lagipula tidak baik kalau sedang mengobrol
dengan orang, atau ada orang yang dikenal disekitar kita, kita malah cuek, seperti
memainkan HP misalnya.”
“Hemh… iya Yay makasih.”
***
Siang itu, seorang siswa datang ke kantin, “Wey, ada yang ketabrak tuh diluar,
meninggal!”
Nani dan Yayu yang sedang mengobrol, segera menuju ke tempat kejadian.
Di jalan depan sekolah, mereka melihat tubuh Ratna yang bersimbah darah telah
ditutupi oleh koran.
“Segera hubungi polisi, ini ada yang berhasil memotret plat nomornya!” Kata seorang
warga.
Ketika tubuh Ratna diangkut warga ke dalam ambulans, smartphone-nya terjatuh dari
saku rok. Nani yang melihat, dengan sigap mengambilnya. Dia langsung ke pinggir
jalan.
“Apa yang kamu lakukan? Kembalikan Nan!” Kata Yayu sambil mencengkeram lengan
Nani.
“Setelah melihat isinya!” Jawab Nani.
Ketika dibuka, isinya hanya game, musik, dan foto-foto ayah dan ibunya yang telah lama
wafat; tidak ada foto-foto lelaki atau yang lainnya.”
“Selama ini tuduhanku salah.” Kata Nani.
21 September 2015
Kunjungan Alien
Pada suatu waktu di tahun 1870-an, sekelompok alien datang dengan damai ke bumi.
Mereka saling bertukar barang dengan penduduk setempat. Alien memberikan
beberapa peralatan canggih mereka (yang sebenarnya tidak dimengerti manusia), dan
manusia memberikan barang-barang seperti pedang, senapan, meriam, bendera
kerajaan, dan beberapa cinderamata.
Selanjutnya mereka kembali mengunjungi bumi berkali-kali, hingga terakhir kalinya di
tahun 1970.
Setelah sekian lama tidak mengunjungi bumi, pada tahun 2015 mereka kembali
berkunjung. Namun tidak seperti sebelum-sebelumnya, kali ini mereka kecewa.
Pemimpinnya bertanya kenapa mereka kecewa.
Mereka menjawab, “Kali ini penduduk bumi tidak menyenangkan seperti yang dulu…”
“Kenapa?”
“Mereka seperti tidak menganggap kami. Ketika kami datang, perhatian mereka hanya
pada sebuah alat yang mereka pegang; ketika kami berkeliling, mereka hanya sibuk
memainkan alat tersebut.”
“Lalu apa yang kalian bawa dari kunjungan kali ini?”
“Hanya ini…” kata salah satu dari mereka sambil menunjukkan foto-foto selfie dan
groufie mereka bersama manusia.
23 September 2015
Lembur
Hari ini mungkin adalah hari yang kurang mengenakkan bagi Anton, dimana dia
diharuskan lembur secara mendadak oleh bosnya. Biasanya dia diberitahu sehari
sebelumnya, tapi setelah bosnya diganti oleh seorang ibu-ibu, semuanya berubah;
termasuk uang lembur yang berkurang, malah terkadang telat atau tidak diberikan.
Malamnya, setelah mengerjakan tugas yang bertumpuk, Anton merasa lapar. Jam
menunjukkan pukul 20.30. Kebetulan sekali di ruangan itu ada Dita yang ikut lembur
bersamanya. Usia Dita 5 tahun lebih muda, parasnya cantik; katanya ada beberapa
karyawan yang kepincut padanya, tapi ditanggapi dengan dingin.
“Mau nasi goreng, atau lebih mewah, pizza?” Tanya Anton.
“Ah tidak usah repot-repot, saya makan di rumah saja.”
“Hmmm… tapi nanti juga mau kan?”
Dita tersenyum kecil.
“Eh, pake parfum apa sih, kok gak biasanya… baunya alami gini seperti aroma bunga-
bungaan, biasanya kan wangi parfum merek Versace itu deh kalo gak salah.”
Dita kembali hanya tersenyum kecil.
***
Setelah memakan nasi goreng yang dibeli di depan kantor, muncul bisikan-bisikan di
telinga Anton sebelah kiri.
“Kamu lihat perempuan itu? Tubuhnya menggairahkan, kulitnya bersih kuning terang,
matanya tajam, hidungnya mancung, bibirnya tipis, dan rambutnya lurus panjang.
Apakah kamu tidak tertarik untuk mencobanya?”
“Tidak…” kata Anton dalam hati.
“Benarkah?”
Jantung Anton mulai berdegup kencang, nafasnya naik-turun, matanya terus
memperhatikan Dita, otaknya mengimajinasikan sesuatu.
Dia berdiri, berjalan perlahan mendekati Dita.
Kembali muncul bisikan, kali ini di telinga kanannya.
“Berhenti, jangan lakukan perbuatan tercela itu!”
“Apa kamu mau saudarimu, bibimu, nenekmu, bahkan ibumu sendiri diperlakukan
seperti itu?”
“Dan lebih parahnya lagi, kelak istrimu kalau sudah menikah nanti?”
Langah Anton terhenti, berdiri terpaku.
“Kamu kenapa?” Tanya Dita.
“Oh… tidak… tidak apa-apa, ini perut sepertinya kepenuhan, jadi perlu diberdirikan….”
***
Keesokan paginya, Anton terpaksa izin datang terlambat ke kantor karena harus
menolong tetangga yang rumahnya kebakaran. Mobil pemadam kebakaran tidak bisa
masuk ke perumahan sempit itu, jadi dia harus bulak-balik mengambil air dari beberapa
rumah warga.
Beruntung api tidak keburu membesar, dan dapat segera dipadamkan.
“Fiuh… syukurlah.” Kata Anton di ruang TV.
Tak lama kemudian, ponselnya berdering.
“Halo?”
“Halo Anton?”
“Iya?”
“Kabar duka, rekan kerja kita ada yang meninggal.”
“Siapa?”
“Dita.”
“Apa? Semalam aku lembur bersamanya…”
“Hah, kamu mabok? Dini hari tadi jasadnya ditemukan warga di pesawahan, menurut
Polisi dia menjadi korban pemerkosaan sekaligus perampokan.”
“Sumpah aku tidak mabok, dan aku tidak pernah mabok… semalam aku lembur
bersama Dita…”
“Mungkin kamu lelah ketika lemburnya, jadi berhalusinasi.”
“Sumpahnya, tidak!”
“Ya ya ya… lebih baik sekarang kamu kesini saja.”
27 September 2015
Tetangga
Semua orang pasti mengharapkan memiliki tetangga yang baik. Apa jadinya kalau tidak
memiliki tetangga yang baik? Syukur aku memiliki tetangga yang baik, tidak pernah
mengganggu, hanya saja dia lebih tertutup dibandingkan tetangga yang lainnya. Dia
memiliki seorang istri, seorang anak perempuan, dan seorang anak laki-laki.
Suatu sore aku mendengar suara keributan dari tetanggaku itu.
“Aku ingin mobil!” Kata istrinya, diikuti suara pintu yang dibanting.
Benar dugaanku, yang jarang atau tidak pernah ribut, sekali ributnya, seperti gunung
berapi yang lama tidak aktif.
***
Selama sebulan ini, sepertinya mereka jarang berada di rumah, atau memang jarang
keluar rumah. Entahlah, terkadang memberikan kesan misterius.
Ketika sedang mandi, aku mendengar suara orang berbicara yang berasal dari
tetanggaku itu. Aku dapat mendengarnya, karena tembok ini berbatasan langsung
dengan rumahnya; ditambah ada lubang ventilasi yang berdekatan dengan genting
rumahnya. Namun, suara orang yang berbicara itu tidak seperti yang sedang
mengobrol, tidak terdengar suara lawan bicaranya, tapi terdengar seperti yang sedang
komat-kamit.
***
Pagi itu, aku melihat sebuah mobil di depan rumahnya, lalu bersama istri dan kedua
anaknya, masuk ke dalam mobil dan pergi entah kemana. Mungkin liburan, karena
sekarang hari Sabtu.
Sabtu depannya, aku kembali melihat sebuah mobil di depan rumahnya, kali ini berbeda
dengan sebelumnya. Tak lama kemudian istrinya masuk ke dalam mobil tersebut,
dengan pakaian yang glamour, lalu pergi entah kemana. Baru sekarang aku melihat
istrinya seperti itu, biasanya pakaiannya sederhana.
Awalnya aku tidak yakin kalau tetanggaku itu memiliki dua mobil, tapi berubah ketika
melihat dua mobil tersebut yang selalu bulak-balik hampir setiap harinya, ditambah
mereka membeli sepeda motor sebanyak tiga unit. Satu untuk dia dan istrinya, dan
sisanya masing-masing untuk kedua anaknya. Pikirku, mungkin mereka memiliki
pekerjaan baru yang mengharuskan menggunakan mobil.
***
Tiga bulan berlalu, pada suatu malam aku merasa sangat kepanasan, begitu pula istri
dan seorang putriku. Semuanya merasa aneh, karena diluar, udara terasa normal,
dingin. Setelah kunyalakan kipas angin dan membuka beberapa jendela, hawa panas
masih terasa, namun dapat diminimalisir; semuanya kembali tidur.
Sekitar pukul 2 dini hari, aku pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil; lalu aku
mencium bau yang tidak sedap, bau amis yang datang dari lubang ventilasi. Selesai itu,
aku naik ke atas untuk memeriksa, dan ternyata benar, bau tersebut berasal dari
tetanggaku.
Kuberanikan untuk mengetuk pintu rumahnya, tapi tidak ada respon. Saat kuputuskan
untuk pulang, pintu terbuka, anak perempuannya keluar dan langsung memelukku.
“Pak Yudi… tolong saya pak!”
“Kenapa, ada apa ini?”
“… ayah… ayah…”
“Kenapa dengan ayah?”
“Dia membunuh Ari… dan juga… dan juga… ibu….” Tangannya yang berlumuran darah
mengenai bajuku.
Aku langsung masuk ke dalam dan mendapati istri serta anak lelakinya terbujur kaku
bersimbah darah di lantai ruangan keluarga. Tapi, aku tidak menemukan dia.
Lalu aku naik ke lantai dua dan menemukannya di gudang; dia sedang berdiri
menghadap dinding. Disana terdapat menyan, buah-buahan, kopi, rokok, lilin, dan
benda-benda aneh lainnya. Ketika kupanggil, dia membalikkan badannya ke arahku,
kulihat matanya merah, dan wajahnya gelap. Dia tersenyum padaku.
5 Oktober 2015
Misteri Gantung Diri
Brak! Suara pintu dibanting yang menggetarkan jendela, terdengar sangat jelas. Eka
berlari menyusuri kamar-kamar kos di sebelah kirinya. Wajahnya terlihat merah dengan
kedua matanya yang terbuka lebar.
Dia mengetuk beberapa kamar, tapi tidak ada respon. Keadaan begitu sepi, seakan
seluruh penghuninya tidak berada di dalam. Padahal bukan hari libur.
Di depan, dia bertemu dengan Dadan, pemilik warung sebelah yang dekat dengan para
penghuni kos.
“Neng Eka, sore gini kok lari-lari kayak dikejar hantu, ada apa?”
Eka memegang pundak Dadan. “Pak... tolong saya pak...” Nafasnya tersengal-sengal
sambil menunjuk-nunjuk ke arah kosan.
“Gina pak... Gina...”
“Kenapa?”
“Dia bunuh diri di kamar.”
Beberapa saat kemudian, datang Hani, teman kuliahnya, tapi tidak ngekos disana.
“Hey ada apa sepertinya ada masalah?”
“Ah nanti dijelasin neng, sekarang ikut aja ke dalam!”
***
Mereka bertiga berlari menuju kamar yang terletak di ujung.
Dengan wajah tegang, Dadan dan Hani memasuki kamar tersebut.
“Hah... mana?” Tanya Hani.
Eka menggaruk-garuk kepalanya kebingungan. “Tadi disini...tadi disini dia gantung diri
pake kabel!”
“Tapi ini gak ada neng?” Kata Dadan.
“Kamu ngelindur?” Tanya Hani.
“Aku gak bohong Ni, tadi aku bener-bener ngeliat dia ngegantung disini... disini!”
“Ah kamu mungkin lagi stres gara-gara kebanyakan tugas, gapunya uang, atau lagi
guntreng sama si aa.” Kata Hani sambil memegang pangkal lengan kanan Eka. “Udah
sekarang mah gini aja, kita ke warung Pak Dadan nenangin diri, tenang, ntar aku yang
bayar.”
***
Mereka bertiga berjalan pelan. Dadan dan Hani meliuk-liuk ke setiap penjuru.
“Sepi sekali.” Kata Dadan.
Wajah Eka masih tampak bingung, dia tidak percaya dengan apa yang baru saja
dilihatnya.
Hani memegang pundaknya, “Menurut penelitian, dibanding laki-laki, perempuan lebih
mudah berhalusinasi ketika mengalami masalah. Itulah kenapa perempuan tidak boleh
melakukan pekerjaan berat yang menguras banyak tenaga, baik pikiran maupun fisik.”
Eka tidak membalas omongan Hani.
“Ada juga yang bilang kalau untuk menyadarkan orang yang sedang berhalusinasi,
seperti tidak merespon pembicaraan temannya adalah...”
“Dengan menceburkannya ke air!”
Hani mendorong Eka ke sebuah kolam ikan disampingnya. Beruntung ikan di kolam
tersebut sedang tidak ada.
Eka langsung bangkit dan memandang ke arah Hani sambil menyibak rambutnya yang
basah menutupi mata. Dia melihat beberapa orang yang dikenalnya keluar dari kamar
kos. Beberapa dari mereka membawa kertas besar yang bertuliskan: SELAMAT ULANG
TAHUN YANG KE-20 EKA
Kemudian datang Gina sambil membawa bolu yang sudah dipasangi lilin yang menyala.
Dia menyodorkannya pada Eka yang masih terpaku di kolam.
“Tiup Ka!” Kata Gina.
“Liat itu zombie nyuruh niup lilin.” Kata Hani.
Eka meniup lilinnya sambil senyam-senyum. “Sialan, aku lupa kalau sekarang bulan
April.” Gerutunya dalam hati.
“Wah konspirasi tingkat tinggi sampe ngelibatin Pak Dadan.” Kata Eka.
“Hehe... maap neng...” kata Dadan.
Para penghuni kos yang lain keluar dari dalam kamarnya menonton Eka sambil tertawa-
tawa.
Gina terus cekikikan puas meski terkadang mengusap-ngusap lehernya yang nampak
merah.
“Untung dia gak lama-lama ngeliatin aku ngegantung, kalo iya, bisa mati beneran aku.”
Katanya dalam hati.
19 Nopember 2015
Cepot dan Tentara Belanda
Secepat kilat, Cepot dan Dawala terus berlari tanpa melihat ke belakang. Seekor anjing
galak mengejar setelah mereka berdua mencoba mengusirnya dari pekarangan milik
warga.
“La, lari dimensi, lari dimensi!” Teriak Cepot.
“Diam, terus lari!” Balas Dawala.
Setelah melewati belokan, mereka melihat saung yang tertutupi pagar hidup, lalu
bersembunyi disana. Si anjing pun kehilangan jejak, kemudian pergi entah kemana.
“Aman!” Kata Cepot.
Mereka berdiam diri disana mendinginkan tubuh sambil meminum lahang dari penjual
yang lewat.
***
Krak... dug!
Terdengar suara ranting patah dan benda keras yang membentur tanah, disertai suara
orang yang berbicara bahasa asing.
Setelah dilihat, sekumpulan tentara Belanda sedang berkumpul di jejeran pohon kelapa
yang terletak dekat perkebunan warga pribumi.
Seorang bapak-bapak mendekati dan berbicara dengan mereka, tapi kemudian dibentak
dan diusir. Selang beberapa menit, seorang kakek-kakek datang, dan bernasib sama
dengan bapak tadi.
“Kurang ajar!” Kata Cepot, “La, ayo kita marahi mereka!”
***
“Mau apa lagi kau inlander!?” Sentak seorang yang berbadan kekar dan tinggi pada
Cepot.
“Ehm... anu... maaf kang, eh tuan... itu kan pohon kelapanya milik warga sini, jadi...”
“Jadi kami tidak boleh mengambilnya, begitu?” Sambil melotot menatap kedua mata
Cepot.
“Ini negeri siapa, siapa yang jadi tuanmu hey, kamu tahu dimana letak Nederlands
Indie?”
“Di... disini tuan...”
“Jaaah, kamu tahu itu, diatas kakimu.”
“Sekarang pergi dari sini dom inlander!”
Cepot dan Dawala pun meninggalkan sekumpulan tentara Belanda tersebut dan kembali
ke saung.
***
“Ari kamu ngajakin kayak harimau, pas ketemu malah jadi kucing.” Kata Dawala.
“Emmm, kirain gak akan segalak itu, kan harus secara baik-baik.”
“Iya tapi lihat situasi dan kondisi juga, mereka kan tentara.”
“Sudah, sekarang giliran saya yang ngadepin bule-bule bangsat itu, mereka perlu
dikasih silat!” Kata Dawala sambil mengencangkan ikat pinggangnya.
Cepot tidak peduli dan membiarkan adiknya pergi sendiri. Dia malah tidur-tiduran sambil
bersiul.
Tidak sampai 5 menit, Dawala kembali sambil terhuyung-huyung. Wajahnya bonyok.
“Eleuh... kamu gak apa-apa La?”
Dawala mengacungkan jempolnya, “ba... ba... baik...” lalu jatuh ke tanah.
***
Di rumah, Cepot terus berpikir bagaimana caranya untuk memberi pelajaran pada
tentara Belanda itu. Dia menyandarkan badannya pada pohon sambil bermain suling.
Lalu, dia teringat pada cerita Si Kancil.
“Aha!”
Segera dia menuju pasar yang berada tidak jauh dari sana.
***
Pagi-pagi, Cepot berdandan untuk menyamarkan dirinya sebagai seorang pedagang
panggul.
Di dekat kamp, terlihat tentara Belanda yang kemarin, sedang bersantai sambil bermain
kartu. Dengan tenang Cepot berjalan ke depannya.
“Oi inlander, apa yang kau jual?”
“Saya jual bumbu-bumbu masakan, tuan.”
“Aaah, tepat sekali, kami mau bakar ikan.”
“Mmm, ikannya dapat dari mana tuan?”
“Eih, kenapa bertanya seperti itu? Bukan urusanmu! Yang pasti dari kolam sebelah
sana.”
Cepot menaikkan pundak sambil menggaruk kepalanya, “ehe... iya tuan maaf, bumbu-
bumbu ini dapat melezatkan ikan-ikan yang akan tuan bakar.”
“Iya pasti itu, tentu saja!”
Mereka kemudian memborong semua dagangan Cepot.
***
Sorenya, seorang Jenderal Belanda melakukan pemeriksaan ke kamp tersebut. Semua
pasukan berkumpul di lapangan.
Namun di tengah-tengah upacara, seorang tentara memegang perutnya sambil meminta
izin untuk ke toilet; satu persatu diikuti pula oleh tentara yang lainnya. Beberapa kali
terdengar suara kentut dan geraman perut. Upacara pun menjadi kacau. Si Jenderal
kebingungan, lalu memanggil seorang kapten yang menjadi pimpinan kamp, tapi si
kapten pun sama-sama menderita. Tanpa mempedulikan keberadaan sang Jenderal,
semua pasukan berlarian ke belakang kamp.
Dari kejauhan, Cepot cekikikan puas bersama warga setempat.
22 Nopember 2015
Cepot Pergi ke Tasikmalaya
Trak! Sebuah anak panah menancap tepat di lingkaran merah yang terletak di tengah
lingkaran-lingkaran merah dan putih.
“Giliranmu.” Kata Ajang.
Cepot membidik panahnya, dan...
Stak! Anak panah mengenai lingkaran merah yang paling luar.
“Ha... meleset, coba lagi Pot!”
“Ah kampret euy!”
Cepot membidik panahnya lagi, kali ini tangannya sedikit gemetaran, dan...
Wusss! Tiba-tiba bertiup angin kencang disertai debu dan dedaunan. Setelah reda, anak
panah tersebut tidak terlihat. Kemudian mereka mencarinya cukup lama; hingga
akhirnya ditemukan menancap pada seekor kambing yang tergeletak sekarat.
“Waduh celaka!” Kata Cepot.
“Pot kabur Pot!”
Ketika baru melangkahkan kakinya, seorang bapak-bapak berbadan gendut datang dan
langsung melihat kambing tersebut. Sialnya, Ajang dan Cepot menggendong panah
mereka di punggung.
“Kalian membunuh kambing saya!? Kurangajar!”
Tidak dapat menyangkal, mereka berdua segera mengambil langkah seribu.
“Wah euy... si bapak larinya kenceng!” Kata Cepot setelah meliuk ke belakang.
Tanpa disadari, mereka berdua menuju sebuah tebing tinggi yang terdapat sungai di
bawahnya. Pepohonan yang rimbun menghalangi pandangan.
Krasss! Mereka berdua langsung menghentikan larinya, tapi sayangnya sudah
terlambat. Mereka langsung terjun bebas ke bawah. Ajang jatuh terlebih dahulu
membentur sebuah batu, sedangkan Cepot masih sempat melihatnya sebelum dia
tercebur ke dalam air.
“Jaaang!”
Brusss!
“Ja... a... aa... a... ng!”
“Jaaang!”
“Jaaang!”
“Jaaa... jang?”
Cepot memperhatikan sekelilingnya, terlihat jam dinding, jendela, tirai, dan meja.
“Mimpi tadi bisa jadi pertanda, aku harus bertemu dengannya!”
***
Cepot dan Dawala sedang berada di Makassar ikut ayahnya, Semar yang dinas disana.
Khawatir terjadi sesuatu pada Ajang, sahabat lamanya tersebut yang tinggal di
Tasikmalaya, Cepot mengajak Dawala untuk kesana, dan sekalian pulang ke Bandung.
Karena perjalanan menggunakan kapal laut akan memakan waktu yang lama, maka
Semar menyuruh mereka untuk naik pesawat terbang.
Mendengarnya, Cepot senang bukan main karena dari dulu dia ingin sekali naik
pesawat terbang. Sayangnya, dia tidak tahu bagaimana caranya bepergian
menggunakan pesawat terbang; sehingga Dawala lah yang mengurusi semuanya,
karena dia pernah sekali naik pesawat.
Tiga hari kemudian, setelah melalui berbagai proses, mereka berdua telah berada di
dalam pesawat. Suasana pesawat yang nyaman, membuat mereka tertidur selama di
perjalanan.
***
“Tuan, tuan,” seorang pramugari membangunkan, “pesawat telah sampai di tujuan,
silahkan keluar melalui pintu belakang.”
“Aaah, akhirnya sampai juga, sudah lama aku tidak makan kupat tahu Singaparna.” Kata
Cepot.
“Heeuh, sama, ayo kita kesana.”
“Ngomong-ngomong, kenapa ya udaranya terasa panas begini?” Kata Cepot sambil
mengepak-ngepak bajunya. “Perasaan Tasik tidak sepanas ini.”
“Mungkin inilah yang dinamakan pemanasan global, terasa kan?” Kata Dawala.
***
Di dalam gedung bandara, Cepot merasa aneh karena tulisan-tulisan yang ada tidak
menggunakan bahasa Indonesia, meski ada bahasa Inggrisnya. Seragam para petugas
bandara, pakaian orang-orang, dan pembicaraan yang terdengar serasa asing baginya,
walaupun wajah-wajah mereka sama dengan di Indonesia.
Dawala yang juga menyadari keanehan tersebut, menelan ludahnya dalam-dalam.
“Permisi pak, saya mau tanya, kalau pintu keluar disebelah mana ya?” Tanya Cepot
pada seorang petugas keamanan yang melewat.
Petugas tersebut diam dan memperhatikan Cepot dengan saksama.
“Pak, pintu keluar disebelah mana ya?”
“Aaah, awak mesti datang dari Indonesia?”
Cepot terdiam sejenak.
“Iya saya Indonesia, terus kenapa?”
“Selamat datang di lapangan terbang antarabangsa Kuala Lumpur kerajaan Malaya.”
Cepot pun menyadari dimana dia berada sekarang. Dia tahu Kuala Lumpur.
“Dawala... kéhéd! Ini bukan Tasikmalaya, tapi Malaya! Salah beli tiket!”
Selesai bertengkar, mereka segera memesan tiket tujuan Tasikmalaya. Beruntung
mereka diberi uang lebih oleh Semar, tapi sesampainya di Tasikmalaya, mereka tidak
bisa jajan, serta terpaksa jalan kaki dan menumpang truk bak terbuka untuk sampai ke
rumah Ajang.
Akhirnya Cepot dapat bertemu sahabatnya itu dalam keadaan sehat.
25 Nopember 2015
Cepot jadi Pahlawan Dadakan
Grummm! Suara sepeda motor sport memecah kelengangan taman kota di sore hari.
Burung-burung yang bertengger beterbangan ke langit. Dengan gagahnya Cepot melaju
pelan menyusuri jalan sambil membonceng pacarnya, Tika.
“Kemana lagi neng?”
“Ke atas yuk, biar bisa liat pemandangan.”
Cepot memacu motornya ke arah perbukitan. Tangan Tika memegang pundak Cepot
untuk menjaga keseimbangan.
“Enakeun euy, apalagi kalau sambil dipijitin.” Goda Cepot.
“Enak aja, emangnya aku tukang pijit?”
Setelah beberapa menit, mereka sampai di sebuah tebing. Dengan romantis mereka
memandangi kota yang mulai berkelap-kelip lampunya.
Tika mengambil ponselnya, dan...
Trilit! Trilit! Trilit!
Cepot terkejut, lalu berusaha menjauhkan ponsel tersebut dari telinganya. Tapi Tika
mendekatkannya lagi. Suaranya sangat keras, membuat telinga cepot berdenging.
Meski cepot berusaha menjauhkannya kembali dan protes, Tika seakan tidak peduli, dia
terus mendekatkannya ke telinga Cepot.
Trilit! Trilit! Trilit!
Trilit! Trilit! Trilit!
Trilit! Trilit! Trilit!
“Aaah!”
Ternyata itu semua hanya mimpi. Tepat di dekat telinga kanannya, ponsel Cepot
berbunyi. Di layar terpampang gambar bel dan tulisan hari Sabtu pukul 10.32.
“Oh sial!”
Tanpa berlama-lama lagi dia langsung bangkit dari kasurnya.
***
“Tidak ada alasan, cepat kesini!Sudah telat setengah jam lebih, janjian macam apa ini?”
Kata Tika melalui ponsel.
Cepot mencari sepeda motor sport-nya, tapi tidak ada. Yang ada hanyalah sebuah
sepeda motor bebek, itupun spatbor belakangnya belumterpasang, dan bensinnya
hampir kosong.
“Dawala, kéhéd, motor aing!” Gerutu Cepot.
***
Di pom bensin, Cepot membuka dompetnya yang berisi STNK, SIM, dan tiga lembar
uang 10 ribu.
“Aduh lupa... sial... sial!”
Dia tidak punya pilihan lain selain melanjutkan perjalanan, karena jika balik lagi ke
rumah, akan membuat dia lebih terlambat, belum lagi jalanan yang macet.
Dengan kemampuan “selap-selip” nya, Cepot dapat menembus mobil-mobil yang
menutupi jalan. Tapi karena kurang teliti, dia menuju jalan yang salah.
Ketika akan berbalik arah, tiba-tiba datang sebuah sepeda motor dengan kecepatan
tinggi.
Triiit!
Hampir menabrak roda depan sepeda motor Cepot, si pengendara banting stang ke
kanan, membentur tembok rendah, kemudian terpental ke semak-semak. Beruntung
masih hidup, hanya mengalami memar-memar. Cepot yang terkejut langsung terjatuh.
Beberapa saat kemudian, datang tiga orang mengendarai sepeda motor. Seorang
bapak-bapak langsung menghampiri Cepot, sedangkan yang lainnya segera mendekati
pengendara tadi.
“Terimakasih jang, berkat dirimu, kami selamat! Kamu tidak apa-apa?”
“Iya pak gak apa-apa, tadi cuman kaget aja.”
Bapak tersebut terdiam sebentar menatap wajah Cepot, kemudian membuka
dompetnya, dan memberikan 5 lembar uang 100 ribu. “Ini untuk kamu sebagai
balasannya menjadi pahlawan kami.”
“Mmm... maksudnya... saya jadi pahlawan apa?”
“Orang itu telah mencuri data-data penting perusahaan kami, dan juga uang 100 juta.
Kalau dia berhasil membawanya, perusahaan kami bisa bangkrut, tapi berkat kamu...
kami selamat. Terima kasih.”
Cepot langsung berlagak sungkan, walau sebenarnya dia ingin segera meraih uang 500
ribu itu dari tangan si bapak.
“Oh... iya, sama-sama pak.”
***
Sesampainya di depan sebuah warung, dia melihat Tika sedang menunggu. Dengan
percaya diri sambil senyam-senyum, Cepot menghampirinya.
Tika memarahiCepot habis-habisan. Cepot hanya diam saja seperti murid yang sedang
diceramahi gurunya.
Setelah reda, Cepot mengeluarkan jurus “pendingin amarah wanita” nya dengan
mengeluarkan kata-kata manis. Lalu Cepot memperlihatkan isi dompetnya dan berkata,
“neng, kita ke danau yuk. Aa tadi jadi pahlawan dadakan dan dapet ini.”
Mata Tika langsung terbuka lebar, “hayu atuh!”
“Hehehe...” Cepot tersenyum lebar.
26 Nopember 2015
Lelaki yang Gantung Diri
Brak! Sebotol minuman bersoda jatuh ke lantai. Seorang lelaki segera mengetuk-ngetuk
pintu kamar disebelahnya, dan kamar yang lainnya, tapi tidak ada tanggapan. Lalu dia
berlari menuju halaman depan.
“Kang Yana kenapa kok lari-lari kayak dikejar setan?” Tanya Arif, bapak penjaga kos.
“Dedi pak... Dedi...”
“Kenapa dengan kang Dedi?”
“Dia... dia gantung diri di kamar...”
“Waduh... kok bisa? Ayo kita periksa!”
Saat hendak melangkah, datang Lalan, teman sekelas Yana, tapi tidak ngekos disana.
“Ada apa ini, sepertinya ada masalah?”
“Ah nanti dijelasin kang, sekarang ikut kami aja ke dalem!”
***
Di dalam kompleks kos, Lalan melihat kesana-sini. Suasana kosan begitu sepi, tidak
ada seorangpun yang terlihat selain mereka bertiga.
“Aneh, kok sepi sekali ya? Padahal sekarang hari Rabu.” Kata Lalan.
Sampai di depan pintu kamar, mereka terdiam sejenak saling berpandangan satu sama
lainnya dengan tegang.
Arif membuka pintu.
“Lah... gak ada siapa-siapa kang?”
Yana menggaruk-garuk kepalanya, “ta ta tadi dia disini, ngegantung pake kain... disini!”
“Yakin kang gak salah lihat? Tapi ini gak ada, bekasnya juga enggak.”
“Mungkin kamu berhalusinasi Yan.” Kata Lalan.
“Aku tidak berhalusinasi! Aku...”
“Sudah, kita ke warung depan aja dulu buat nenangin diri, tenang aku yang bayarin.”
***
Mereka bertiga berjalan pelan. Arif memperhatikan satu persatu kamar kos yang masih
sepi seakan ditinggal penghuninya.
“Menurut ahli psikologi, permasalahan hidup bisa membuat stres, dan terkadang stres
dapat membuat penderitanya berhalusinasi.” Kata Lalan sambil memegang pundak
Yana.
“Ya... mungkin kamu stres karena masalah kuliah, masa depan yang masih gelap, krisis
keuangan, masalah keluarga, masalah teman, dan... masalah perempuan, ya, biasanya
laki-laki begitu rapuh ketika bermasalah dengan perempuan.”
“Jadi... apa masalahmu dengan si dia?”
Yana hanya diam dengan tatapan kosong ke depan.
“Mmm... katanya untuk menyadarkan orang yang berhalusinasi adalah...”
“Mmm...”
“Dengan menceburkannya ke kolam yang berisi air!”
Sekuat tenaga Lalan mendorong Yana ke sebuah kolam ikan di sampingnya. Beruntung
ikan-ikannya sedang tidak ada.
Yana segera bangkit dan memandang ke arah Lalan sambil menyibak rambutnya yang
basah menutupi mata. Dia melihat pintu-pintu kamar terbuka, kemudian beberapa orang
yang dikenalnya keluar dari dalam. Mereka berdiri didekat kolam sambil tertawa-tawa,
dan membentangkan kertas besar yang bertuliskan: SELAMAT ULANG TAHUN KE-20
YAN!
Kemudian datang Asti, pacarnya, sambil membawa bolu yang sudah dipasangi lilin yang
menyala.
Dedipun muncul. “Hey lur, maaf tadi udah bikin kamu kaget! Hehehe...”
“Kalian harusnya ngeliat gimana ekspresi muka dia waktu ngeliat aku ngegantung,
hahaha!”
“Liat tuh zombie lagi ngomong.” Kata Lalan menunjuk ke Dedi.
“Sialan, aku lupa kalau sekarang bulan April.”Kata Yana. “Koplok, ini konspirasi tingkat
tinggi sampe ngelibatin pak Arif!”
“Hehehe... maaf atuh kang!”
Dedi cekikikan puas sambil mengusap-ngusap lehernya yang tampak merah.
“Untung dia gak lama-lama ngeliatin aku ngegantung, kalo iya, bisa mati beneran aku.”
Katanya dalam hati.
27 Nopember 2015
Perempuan Selalu Benar
Suatu hari, ibu guru bahasa Inggris kelas XI akan mengadakan ujian. Semua siswa
diwajibkan membawa kamus.
Maman yang hanya memiliki kamus Inggris-Indonesia ---karena kamus Indonesia-
Inggris lamanya rusak--- berniat membeli kamus baru. Sebelum berangkat ke toko buku,
dia meminta saran pada temannya, Yuda, tentang kamus yang bagus.
***
Ujian pun tiba, setiap murid disuruh ke depan dan menulis di papan tulis,
menerjemahkan bahasa Indonesia ke Inggris.
Kini giliran Maman maju kedepan.
“Oke Maman, terjemahkan ini...”
“Di Amerika Serikat, menyetir mobil di lajur kiri adalah salah, yang benar adalah di lajur
kanan.”
Maman membuka kamus, dia hampir berhasil menyusun kalimatnya, tapi kemudian
kebingungan.
“Kenapa Man, ada masalah?”
“Oh ini bu lagi nyari...” Maman membolak-balik kamusnya.
“Waktunya habis, silahkan duduk. Selanjutnya, Mila maju ke depan.”
***
Ketika istirahat, Dani, Jaka, dan Maman berkumpul di kantin.
“Sayang sekali kamu Man, padahal tinggal sedikit lagi.” Kata Jaka. “Emang kenapa
sampe ngebolak-balik gitu, gak ketemu katanya, atau gimana?”
“Iya aku nyari kata 'salah' kok gak ada.”
“Oh ya?” Kata Dani. “Coba lihat kamusnya.”
Dani mengamati setiap halaman, dari awal sampai akhir. Kemudian sampul depannya.
“Pantes...”
“Kenapa Dan?”
“Perempuan selalu benar...”
“Maksudnya?”
“Lihat penyusunnya alias pembuatnya, tiga orang bersaudari.”
“Apa hubungannya?”
“Ya, karena pembuatnya perempuan, tiga orang lagi; mereka tidak memasukkan kata
'salah' karena perempuan selalu benar. Coba lihat ini, kata 'benar' ada, sedangkan kata
'salah' tidak ada. Mustahil salah cetak, ini sudah cetakan ke-3.”
“Kamu benar Dan...” kata Maman sambil bengong. “Lain kali aku beli yang pembuatnya
laki-laki.”
29 Nopember 2015
Orangtua Selalu Benar
Pagi itu, setengah berlari Agus menuju sebuah ruangan yang terletak di pojok lorong
gedung. Sampai di depan pintu, dia melihat seorang bapak-bapak bertubuh tinggi besar
sedang duduk di kursi depan kelas.
“Pagi pak, maaf telat.”
“Silahkan duduk Gus.”
Pak Domo, itulah nama dosen tersebut. Selain mengajar mata kuliah Matematika di
kelasnya saat ini, dia juga mengajar mata kuliah Fisika dan Statistika di kelas lainnya.
“Yang lainnya kemana Gus?” Tanya pak Domo sambil membagi-bagikan kertas soal
ujian.
“Gak tau pak, gak liat sama gak ada kabar.”
Melihat soal ujian tersebut, Agus terpana sambil menggaruk-garuk kepalanya.
***
Satu jam lewat lima belas menit pun berlalu. Belum ada satupun soal yang dijawab
Agus. Matanya tampak berat, dan rambutnya acak-acakan. Waktu yang tersisa tinggal
lima belas menit lagi.
Pak Domo merogoh saku bajunya, “halo?” Lalu berjalan keluar kelas. Sampai 5 menit
dia belum kembali.
Agus segera memanfaatkan kesempatan tersebut dengan menghampiri Fikri dan Nida.
Tanpa basa-basi dia langsung menyalin apa yang ada di kertas jawaban mereka
berdua.
***
Minggu depannya ketika bertemu kembali dengan kuliah Matematika, pak Domo
memberikan kertas jawaban ujian pada Agus.
“Nyontek darimana Gus?”
Jantung Agus langsung berdetak kencang. “Anu pak... mmm...”
“Ini kok jawabannya dari nomer 1 sampai 10 sama dengan Fikri, sisanya dari 11 sampai
20 sama dengan Nida?”
“Yang lainnya juga jawabannya ada yang sama, tapi kayaknya cuman kamu aja yang
nyontek ke Fikri sama Nida, kenapa Gus? Padahal jawaban mereka juga banyak yang
salah.”
“Itu pak... mmm...”
“Iya Gus?”
“Soalnya mereka kan suami-istri dan udah punya anak, saya kira jawaban mereka
bakalan benar semua, soalnya kan orangtua selalu benar.”
PakDomo mengangkat tinggi alisnya. “Kata siapa itu Gus?”
“Kata ibu saya pak...”
“Hmmm...”pak Domo mendekati Agus, kemudian mengangkat jempolnya tepat di depan
muka Agus.
“Benar sekali Gus, seratus buat kamu!”
“Besok ke ruangan samping laboratorium komputer ya, remedial!”
“Aduh pak...” Agus menempelkan tangannya ke jidat.
2 Desember 2015
Pelesetan Transformers: Kejeniusan Megatron
Suatu hari, Decepticon mendatangi Jakarta untuk mencari Sam yang kabur dari Amerika
Serikat. Sam memegang sebuah kacamata yang menyimpan koordinat lokasi The Cube.
Setelah penyamarannya terbongkar oleh aksi konyol agen Sector Seven yang dipimpin
oleh Simon, Decepticon membuat kerusakan disana-sini. Autobot segera datang untuk
melawan, tapi mereka dapat dipojokkan. Pasukan Indonesia yang datang pun berhasil
dihancurkan dengan mudah.
Ketika Megatron akan membunuh Optimus, senjata di tangannya tiba-tiba macet.
Kemudian dia melihat ke lubang senjatanya sambil dikocok-kocok.
Duar!
Senjata pamungkas tersebut meletus dan meledakkan kepala Megatron berkeping-
keping. Peluru energinya tembus hingga mengenaidada Starscream yang berdiri di
belakangnya.
Duar!
Dada Starscream pun meledak. Kedua pentolan Decepticon tersebut langsung rubuh ke
tanah tak bergerak lagi.
Melihat keduanya mati, anggota Decepticon yang lain menjadi kalang kabut. Optimus
segera mengambil kesempatan, dan langsung menghajar para Decepticon, diikuti oleh
Autobot lainnya.
Akhirnya semua Decepticon dapat dihabisi. Dunia terselamatkan. Sam dan Mikaela
yang dari tadi menonton dari kejauhan segera datang ke TKP.
“Waw... kukira Megatron benar-benar jenius.” Kata Sam.
4 Desember 2015
Pelesetan Batman: 'Blunder' si Joker
Malam itu, markas Joker diserang oleh Batman, Robin, dan Batgirl. Pasukan Joker
berhasil membunuh Robin dan Batgirl, tetapi Batman dapat menghabisi mereka semua
hingga tersisa Joker saja.
Sebelum berhadapan dengan Batman, Joker mendengarkan rekaman seorang agen
mata-matanya yang memberitahu kelemahan Batman.
Di atap gedung, Joker beradu jotos dengan Batman. Tentu saja Joker bukan tandingan
Batman. Berkali-kali Joker melayangkan pukulannya, tapi tidak berefek sama sekali;
sebaliknya, dengan mudah Batman mendaratkan bogemnya yang membuat Joker
kelabakan. Meskipun demikian, Joker terus tertawa.
Batman melempar Joker hingga hampir terjatuh dari gedung, tapi dia memegang kerah
bajunya. Joker sudah tahu dengan kebiasaan ini, dia tahu Batman tidak akan pernah
membunuh musuh-musuhnya.
“Ada kata-kata terakhir?” Tanya Batman.
“Ada! Tapi pertanyaan...”
“Katakan!”
“Kapan nikah?”
“Hah, aku sudah kebal dengan itu, yang lain!”
“Baik...”
“Apa kelemahan Superman?”
“Batu kripton!”
“Terlalu mudah, berikan pertanyaan yang lebih sulit!”
“Hmmm... baiklah...” Joker mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, “berbicara tentang
batu kripton, kamu tahu ini apa?”
Batman memandang tajam ke tangan Joker.
“Apa? Aaah... tidaaak!”
“Hehehehehe... kenapa Man?”
“Sialan kau Joker! Jangan buah peria itu! Aaargh!”
“Hahaha...”Joker tertawa puas, “kamu sama seperti Superman, sama-sama superhero
yang memiliki kelemahan!”
“Tidak... Joker, plis!”
Batman melepaskan pegangannya. Membuat Joker langsung terjatuh dari puncak
gedung 10 tingkat tersebut.
“Oh sial...” kata Joker.
Duak! Tubuhnya menghantam beton. Dia langsung tewas. Belum cukup sampai disitu,
sebuah truk pengangkut sampah melewat dan... craaak! Tamatlah riwayatnya.
5 Desember 2015
Gadis Itu Bernama
Srat! Tepat di depan Beni, seorang pengendara sepeda motor menjambret tas milik
seorang ibu-ibu pejalan kaki. Ibu-ibu tersebut berteriak minta tolong, namun keadaan
yang sepi membuat si penjambret leluasa kabur.
Masih dalam pandangan, Beni langsung memacu kencang sepeda motornya. Hingga
daerah keramaian, Beni masih bisa melihatnya; namun si penjambret berhasil lolos
setelah memasuki wilayah pemukiman. Tidak bisa menemukannya, Beni memilih
pulang; tapi bensin yang hampir kosong mengharuskannya mampir dulu ke sebuah
SPBU.
Di SPBU, dia malah jengkel karena antrian yang panjang, dan adanya orang-orang 'elite'
yang tidak mengantri, ditambah asap dari sebuah truk pabrik.
Tiba-tiba matanya kemudian tertuju pada seorang gadis yang sedang berdiri di ujung.
“Cantik sekali...”
Hatinya yang tadi sumpek, seketika menjadi adem.
***
Dua hari kemudian, Beni kembali melalui jalan tadi untuk memata-matai jika jambret
tersebut muncul lagi. Masih penasaran dengan si gadis, dia menuju SPBU kemarin.
Betapa senangnyaBeni dapat melihat kembali si gadis. Dia ingin berkenalan, tapi belum
berani. Keesokan harinya pun sama, hanya melihat dari kejauhan sambil mengagumi
pesonanya.
***
Hari keempat, Beni memberanikan diri untuk berkenalan dengan si gadis. Tapi
sayangnya gadis tersebut tidak ada disana.
Hari kelima dan keenam, masih belum menyerah, dia kembali kesana, tapi gadis
tersebut masih tidak ada juga.
Hari ketujuh semangatnya hampir hilang, tapi menyerah bukanlah pilihannya. Di hari ini
akhirnya dia dapat melihat si gadis.
Beni turun dari sepeda motornya, lalu menghampiri si gadis. Rambutnya yang sedikit
acak-acakan dia rapikan oleh tangannya.
“Sore neng.”
“Sore juga, ada apa?”
“Sa... saya... saya Beni.”
“Siapa ya?”
“Iya saya Beni... ummm... cuman mau kenalan aja.”
“Kenalan? Apa ada yang penting sekali?”
“Pengen tau aja namaeneng siapa, he...”
“Hmmm, saya Nurlaela.”
“Oh Nurlaela... dipanggilnya apa?”
“Lela.”
“Eh... ehm... neng Lela, selama ini saya suka merhatiin eneng terus. Neng itu cantik,
anggun, kulitnya bersih terang, menimbulkan semacam perasaan sejuk gitu di hati
saya.”
“Oh makasih, tapi ini judulnya acara gombal seperti di TV atau ngerayu gitu ya?”
“Enggak... hehehe... pengen kenalan aja....”
“Ngomong-ngomong, neng sepertinya sering sekali ada disini ya, ngapain sih neng?”
Nurlaela tersenyum kecil. “Nungguin seseorang.”
“Seseorang? Waduh... udah punya pacar dong? Atau jangan-jangan, udah punya
suami?”
“Enggak, saya sendiri kok, orang masih 19 tahun juga.”
“Owh, lebih tuaan saya dong.”
“Hmmm... gitu ya?”
“Iya, hehe... jadi, nungguin siapa dong neng?”
“Saya lagi nungguin...”
“Ummm...”
“Nungguin temen saya tuh baru beres jam kerjanya, sekarang giliran saya yang kerja.”
“Kerja apa gitu neng?”
“Ngeladenin orang yang mau ngisi bensin lah, kan saya kerja disini, gimana sih akang
ini.”
“Oh iya yah...” Beni menggaruk-garuk kepalanya.
9 Desember 2015
Mobil Baru si Bagja
Sore itu sehabis kerja, Bagja mengendarai mobil sedannya yang baru saja dia beli.
Saking senangnya, dia bernyanyi-nyanyi sambil menyetel musik Rock n' Roll
kesukaannya. Suara raungan gitar dan vokal yang melengking memenuhi mobil yang
hanya diisi oleh dirinya sendiri.
Saat memasuki daerah pemukiman penduduk,tiba-tiba, mesin mobil tersebut mati. Coba
dihidupkan kembali, tidak bisa; dicoba berkali-kali lagi, masih tetap tidak menyala.
Diperiksa mesinnya, semua tampak baik-baik saja. Roda, ban, dan rem pun tidak ada
yang bermasalah.
Bagja kebingungan, dia melamun. Diluar hujan turun dengan cepat. Di dasbor, terdapat
sebatang coklat pemberian kekasihnya yang menutupi panel kemudi, dia tersenyum.
Ketika sedang mengunyah coklat tersebut, matanya tertuju pada panel indikator bahan
bakar yang merah menyala, menandakan bahwa tangkinya kosong.
“Aduh!” Bagja menepuk dahinya,” lupa... pantas mesinnya mati....”
Terpaksa dia harus meminta tolong pada warga sekitar untuk menderek mobilnya ke
sebuah SPBU yang letaknya cukup jauh dari sana.
9 Desember 2015
Mobil Misterius
Pagi itu para warga berkumpul di rumah pak Wisnu, membahas tentang mobil misterius
yang kerap muncul di malam hari. Misterius karena mobil tersebut berjalan sendiri tanpa
ada seorangpun di dalamnya, dan selalu muncul di malam hari. Meskipun tidak
mengganggu, tetap membuat warga resah dan penasaran. Haris, seorang pemuda yang
masih orang baru di kampung itu, sangat antusias dengan masalah ini, karena di
kampung lamanya pernah terjadi kasus serupa, yaitu delman hantu yang berjalan tanpa
ditarik kuda dan tidak ada orangnya.
Malam Jumat, Haris dan para pemuda melakukan ronda malam. Mereka menanti
kehadiran mobil misterius tersebut. Namun hingga adzan shubuh berkumandang, tidak
juga muncul. Esok malamnya pun masih samahingga malam Senin. Yang muncul
hanyalah sebuah mobil berisi sekumpulan anak muda glamor yang hendak pesta ke
kota.
Malam Rabu minggu depan, ketika sedang tidur, Haris dibangunkan oleh temannya
bahwa mobil misterius tersebut muncul di jalan dekat lapangan sepak bola. Secara
sembunyi-sembunyi, para pemuda mengawasi mobil tersebut perlahan melaju
mengelilingisekitar lapangan, kemudian masuk ke lapangan. Lampu jalan yang
menembus kaca depan, menunjukkan tidak ada seorangpun di dalamnya.
Setelah itu mereka memutuskan untuk mendekatinya. Tanpa diduga, mobil tersebut
menabrak salah seorang pemuda hingga terpental; membuat mereka marah lalu
menendang, memukul, dan menggoyang-goyangkan mobil tersebut. Namun itu malah
membuat mobil terus melaju hingga tertahan oleh pepohonan.
Tiba-tiba, muncul dua orang lelaki muda berkacamata.
“Tunggu! Tahan! Jangan rusak mobil itu!”
“Siapa kalian?” Tanya Haris.
“Kami pegawai perusahaan yang sedang menguji mobil yang dikendalikan dari jarak
jauh oleh komputer.”
“Haaah?” Kata yang lainnya.
Setelah mendengar penjelasan dari kedua lelaki berkacamata tersebut, Haris dan
pemuda lainnya memutuskan untuk bubar. Akhirnya teka-teki mobil misterius yang
selama ini menghantui kampung tersebut, selesai sudah.
“Uh dasar perusahaan, bikin percobaan di daerah orang lain seenaknya saja gak bilang-
bilang dulu!” Gerutu Haris.
10 Desember 2015
Piring Terbang
Ketika aku sedang asyik ngumpul bareng teman-teman sambil ditemani pisang goreng
dan kopi di saung dekat sawah, tiba-tiba datang si Boni yang berlari seperti dikejar
hantu.
“Buuud! Buuud!”
“Wow wow wow... tenang... tenang... kenapa Don?” Tanyaku.
“Disana ada piring terbang Bud!”
“Eeeh... piring terbang, apa yang kamu bicarakan?”
“Lebih baik kita kesana sekarang dan melihatnya!” Kata Boni.
Kami sampai didekat sebuah rumah yang memiliki kebun yang luas. Aku melihat ke
langit, tidak ada apapun, selain warna birunya dan awan-awan putih.
Dari sebuah pintu belakang rumah tersebut, tiba-tiba muncul sebuah sendok yang
melayang, kemudian garpu, kemudian mangkuk, kemudian... piring!
Melihat kami, seorang ibu-ibu di dalam rumah tersebut langsung marah dan
mengarahkan lemparannya kepada kami.
Beberapa saat kemudian datang seorang ibu-ibu lain. “Sudah, jangan diganggu, pergi
dari sini, ibu itu lagi stres gara-gara mobilnya yang baru dia beli seminggu yang lalu,
hilang waktu diparkir di pasar.”
“Eih... apa?” Kataku.
Setelah itu kamipun kembali ke saung. Kukira piring terbang alien, eh ternyata piring
makan yang diterbangkan oleh ibu-ibu stres.
11 Desember 2015
Pelesetan Superhero Amerika: Rahasia Kostum Wonderwoman
Tiga orang superhero ternama kelas dunia sedang bersantai di sebuah bar di kota New
York. Mereka adalah Batman, Superman, dan Wonderwoman.
“Ngomong-ngomong, kenapa sih kalian pake celana dalemnya diluar, terus pake sayap
lagi?” Tanya Wonderwoman.
“Kalo aku sih pake celana dalem diluar cuman masalah estetika aja biar keliatan kuat
kayak binaragawan gitu; terus sayap juga sama, biar ada wibawanya, kebayang kan
kalo aku gak pake sayap? Kayak kepala tanpa rambut.” Jawab Superman.
“Aku juga sama, cuman kalo buat aku, sayap ada fungsi buat ngelindungin badan dari
dingin, kan aku kerjanya malem-malem; juga buat nyembunyiin peralatan rahasia juga.”
Kata Batman.
“Nah, kamu sendiri kenapa kostumnya seksi banget kayak mau renang?” Tanya
Superman.
“Hmmm... kalian mau tau?”
“Karena dengan kostum seksi seperti itu yang nakal, bisa bikin musuh yang cowok
pikirannya jadi ngeres, pikiran ngeres kan jadi kacau fokusnya, fokus kacau jadi
gampang kan ngurusinnya? Lah itu rahasia umum kali.”
“Ooo... begitu....” kata Batman dan Superman.
15 Desember 2015
Nasib si Reaktor
Sebagai orang yang berkecimpung di bidang Teknologi Informasi (TI), tas punggung
berisi Laptop, Smartphone, dan pakaian rapih adalah yang harus ada pada diri Arif;
menjadikannya semacam seragam yang mesti dikenakan setiap hari, termasuk ketika
sedang jalan-jalan.
Ketika sedang bersantai di sebuah kios kue alun-alun kota, dia melihat seorang
perempuan muda sedang berlari mengejar seorang lelaki berbadan besar yang
memegang sebuah tas berwarna merah.
“Itu pasti jambret, aku harus menolongnya!”
Arif menitipkan barang-barangnya pada pemilik kios, kemudian mengejar lelaki tersebut.
Ketika tepat berada puluhan sentimeterdi belakangnya, Arif segera loncat dan menahan
kedua kakinya, membuatnya langsung terjatuh dengan posisi dada dan muka
membentur tanah hingga berdarah.
“Aha, kena kamu! Sekarang kembalikan tas itu!”
Beberapa saat kemudian datang sekelompok lelaki yang bukannya membantu Arif, tapi
malah menghajarnya.
Duk! Duak! Kapow!
“Bentar... ben... bentar... tahan dulu! Kenapa malah saya yang dihajar, saya kan
mencoba menolong perempuan itu darijambret ini?”
“Menolong? Kamu mengacaukan semuanya!” Kata seorang lelaki berkemeja hitam,
“Adegannya, pemainnya, dan waktunya; kami sedang membuat film, kamu tidak lihat?”
Arif melihat sekelilingnya, ada sejumlah kru film beserta peralatannya. Semua orang
hanya menatapnya kosong. Dia tidak bisa berkata apa-apa lagi selain 'maaf'. Sambil
tertunduk dengan mukanya yang lebam-lebam, dia kembali ke kios, lalu pulang ke
rumahnya.
17 Desember 2015
Sosok Misterius
Sitanggu adalah kampung yang terletak di daerah yang menanjak. Alam pegunungan
membuat suasananya sejuk. Seorang pemuda bernama Agum sedang berkumpul
bersama teman-temannya di sebuah warung, menikmati udara pagi yang masih gelap
sambil ditemani kopi, rokok, dan gorengan.
Dari atas, terdengar suara mesin truk, kemudian...
Krak... Kress... Krats... Duaaar!
Suara ranting-ranting patah dengan cepat disusul oleh suara ledakan yang sangat keras
seperti bom, memecah kesunyian dengan dahsyat. Warga langsung keluar dari
rumahnya. Dari jalan sebelah atas, terlihat nyala api yang sangat terang disertai asap
hitam pekat membumbung ke udara.
Agum dan warga berduyun-duyun menuju lokasi kejadian. Disana, di samping kiri jalan
yang merupakan jurang, terdapat sebuah truk tangki bahan bakar minyak yang sedang
terbakar hebat. Bagian depannya nyaris tidak berbentuk lagi.
Hingga beberapa menit berlalu, api masih menyala besar akibat pepohonan lebat
disekitarnya yang ikut terbakar. Belum ada warga yang berani turun. Pemadam
kebakaran pun dipastikan lama tibanya karena letakkampung yang jauh dari kota.
Dari api yang membara, muncul sesosok tubuh yang terbakar berjalan luntang-lantung.
Kebetulan hanya Agum dan seorang temannya yang melihat. Mereka berdua segera
turun ke bawah.
Sempat mencari-cari sebentar di rerimbunan pohon, akhirnya mereka menemukan
sosok tersebut di bibir sungai sedang bersiap menceburkan diri, kemudian...
Cebur!
Api yang melahap tubuhnya seketika hilang. Betapa terkejutnya Agum ketika dia bisa
melihat dengan jelas sosok tersebut adalah seorang laki-laki tampan bertubuh atletis.
Tapi yang lebih mengejutkannya adalah tidak ada sedikitpun bekas terbakar di
tubuhnya.
“Woi kalian kok malah bengong, bukannya nolongin... saya pinjem pakaian boleh gak,
pakaian saya tadi abis kebakar, kalian lihat sendiri kan? Jangan khawatir, nanti saya
kembaliin.”
Teman Agum segera naik ke atas menuju rumahnya.
“A... a... aku... aku gak percaya dengan ini... si... siapa kamu? Harusnya kamu udah
mati... tapi tidak ada luka sedikitpun?”
“Nanti saya jelasin kalo udah pake baju.”
Teman Agum pun datang sambil membawakan pakaian dalam, celana, dan kaus.
“Baiklah, tapi cuman kalian aja yang tahu, oke!”
Agum dan temannya mengangguk.
“Saya Superman....”
“Sup apa?” Tanya Agum.
“Superman.”
“Apa? Bagaimana mungkin kamu ini Super...”
“Kalian liat aku enggak apa-apa kan walaupun udah kebakar api, masih belum
percaya?”
“Ya aku percaya...”
“Tapi, kalau memang benar kamu Superman, ngapain kamu disini, bukannya pekerjaan
kamu itu wartawan, dan pacar kamu itu Lilis eh Luis maksudnya?”
“Ya... itu dua tahun yang lalu, sekarang saya jualan baju. Kebetulan tadi saya lagi lari
pagi, karena sambil dengerin musik dan mata merem, gak nyadar dari depan itu truk
langsung nabrak saya, mungkin remnya blong. Sadar-sadar udah kebakar, sial banget
kan?”
Setelah bercakap-cakap cukup lama, Superman langsung terbang pulang ke rumahnya.
Tidak ada warga yang melihat karena hari masih cukup gelap.
17 Desember 2015
Ayah di Langit
Siang itu Talita berjalan pelan keluar dari gerbang sekolahnya sambil sesekali
mengusap air mata yang membasahi pipinya. Pandangannya tertuju pada tanah
dibawah yang basah setelah diguyur hujan. Teman-temannya berjalan melewati,
bersama ayah dan ibu masing-masing.
Di rumah, dia termenung sendiri di kamar, sambil memandangi langit sore lewat jendela.
Lasri, pembantu yang sekaligus tetangganya, pamit untuk pulang. Beberapa menit
kemudian, sebuah mobil sedan putih tiba di depan pagar rumah, ibunya pulang.
“Dedek, mamah pulang!” Sambil membawa sebungkus roti kukus.
Biasanya dia akan langsung memakannya, tapi sekarang tidak.
“Dedek kenapa cemberut begitu?”
Dia masih terdiam memandang keluar jendela.
“Mah...”
“Iya sayang?”
“Kenapa mamah tadi pagi tidak datang ke sekolah Lita? Teman-teman datang ke
sekolah bersama ayah ibunya.”
“Dan... mamah... ayah Lita siapa, teman-teman yang lain punya ayah?”
Ibunya mendekat lalu memeluknya.
“Maafkan mamah sayang, tadi mamah kira pekerjaan di kantor bisa dilewat, tapi
ternyata tidak, mamah menyesal sekali. Dan... tentang ayah, sebenarnya Lita juga
punya ayah; dia orangnya baik, pintar, dan tampan. Tanpanya, Lita tidak akan pernah
lahir. Mata Lita juga sama dengan mata ayah.”
“Sekarang dia ada dimana, kenapa Lita belum pernah bertemu?” Tanyanya pelan.
“Ada... ayah ada... tapi sekarang dia sedang berada di langit. Dan suatu hari nanti kita
akan bertemu ayah disana.”
“Di langit... apa yang sedang ayah lakukan di langit?”
“Dia... dia sedang berbahagia sekarang, dan terkadang dia melihat kita dari sana.
Sekarang, makan dulu nih rotinya ya.”
Kemudian Talita memakan roti kukus tersebut.
***
Keesokan harinya di sekolah, Talita terlibat pertengkaran dengan beberapa temannya;
hingga salah seorang dari mereka menyinggung tentang ayahnya.
Sepulang sekolah, Talita menangis sendiri di taman dekat sekolah. Seorang guru yang
kebetulan melewat menghampirinya, kemudian mengobrol sebentar, lalu mengantarnya
pulang.
“Mamah, aku benar-benar ingin bertemu ayah! Jangan bohong ayah ada dimana!”
“Mamah tidak bohong dek, dia ada dilangit. Sekarang mamah harus pergi, ada
pertemuan dengan klien!” Kata ibunya sambil sesekali menjawab obrolan di telepon
genggam. Kemudian dengan terburu-buru menuju halaman depan, lalu pergi
mengendarai mobil. Tinggal dia dan Lasri berdua di rumah.
***
Sore itu, Lasri berada di kantor polisi, duduk menghadap seorang lelaki yang
menginterogasi dirinya. Sementara itu di ruangan lain, ibu Talita sedang menangis.
“Ketika saya sampai disana, dia sudah berada di atas tembok, kemudian ketika saya
berteriak menyuruhnya turun,dia malah meloncat sambil berusaha menggapai langit.”
Jawab Lasri sedikit gemetaran.
“Apa ada kata-kata yang dia ucapkan sebelum jatuh?” Tanya penyidik.
“Ada, sebelumnya saya tanya apa yang sedang dia lakukan disana, dia menjawab ingin
bertemu ayahnya di langit, kemudian meloncat dan... jatuh.”
Sebelumnya, siang itu Talita ditemukan tewas di halaman belakang setelah terjatuh dari
atap rumahnya.
9 Januari 2016
Hari yang Aneh
Mobil sedan berwarna perak itu berhenti di depan sebuah gedung rumah sakit yang
sudah ditinggalkan. Dilihat dari arsitekturnya, berasal dari tahun 1970-an. Cuaca yang
mendung membuat suasana menjadi gelap meski hari masih jam 2 siang. Arman dan
seorang temannya keluar dari mobil, lalu masuk ke gedung tersebut.
Di dalam, mereka menemukan hampir semua perabotan masih utuh, meski telah
tertutup debu dan sarang laba-laba.
“Sepertinya rumah sakit ini ditinggalkan begitu saja.” Kata teman Arman.
“Benar, bisa dibayangkan kepanikan saat itu.”Balas Arman.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki yang berlarian menggema ke seluruh ruangan.
“Ya ampun, suara apa itu?” Kata Arman.
“Sepertinya ada yang tidak beres, ayo kita...”
Belum selesai temanArman berbicara, duak! Pintu di belakang terbuka. Muncul banyak
orang berpakaian compang-camping berlarian ke arah mereka berdua sambil berteriak,
“tolong!”
“Aaah tidaaak!” Teriak Arman. Dia terbangun dari tidurnya.
“Sialan, ternyata hanya mimpi!”
Dia melihat ke jam dinding, “oh tidak, aku bisa dimarahi bos.”
Dengan kecepatan tinggi, dia segera mandi, berpakaian, sarapan, lalu berangkat ke
kantornya.
***
Sesampainya di kantor, Arman lega karena ternyata hari itu bos tidak bisa hadir. Tapi
dia merasa aneh dengan pemandangan yang ada, tidak ada satupun keyboard yang
terpasang ke setiap komputer.
“Jon, pada kemana semua keyboard komputer disini?” Tanya Arman.
“Eh, kamu tahu hari ini hari apa?”
“Hari Jumat?” Jawab Arman.
“Benar, dan sekarang itu adalah hari... hari tanpa keyboard!”
“Hah, aku baru dengar?” Arman keheranan.
“Ya memang bukan sedunia, hanya kantor ini saja. Ikuti saja yang ada.”
Arman menggaruk-garuk kepalanya, “ini hari yang aneh, aku pasti masih bermimpi.”
Tanpa banyak bicara, seharian Arman bekerja tanpa keyboard di komputernya.
13 Januari 2016
Cerita Ani dan Budi di Terminal Bus
Ditengah guyuran hujan deras, Budi berlari menuju sebuah terminal bus. Dalamhiruk
pikuk orang-orang, dia melihat seorang perempuan berbaju merah di kejauhan.
“Ani...” katanya pelan, kemudian mengeras, “Ani!”
Ani pun menoleh mencari-cari arah suara panggilan tersebut.
Budi segera menghampiri Ani.
“Ani... jangan pergi, jangan tinggalkan aku.” Kata Budi sambil memegang lengan Ani.
“Tidak bisa Budi, aku harus pergi, kamu sendiri yang menginginkan aku memutuskan
ini.”Kata Ani.
“Maafkan aku Ani, aku tidak bermaksud seperti itu....”Mata Budi mulai mengeluarkan air
mata.
Ani berusaha tegar supaya tidak ikut menangis, meskipun dalam hatinya marah
bercampur sedih.
“Ani... maafkan aku, kumohon jangan pergi....”
“Tidak bisa... aku harus pergi....” Ani tersenyum sedih.
“Kumohon Ani....”
Ani menempelkan tangan kanannya ke pipi kiri Budi, lalu menyeka air matahingga bulu
mata bawahnya. Mata Budi menjadi lebih merah dan mengeluarkan lebih banyak air
mata.
“Hentikan Budi, hentikan tangisanmu itu.”
Kedua mata Budi berkedip-kedip, terus semakin berkedip-kedip; memerah dan
mengeluarkan air.
“Budi, hentikan, itu tetap tidak akan merubah keputusanku untuk...”
“Aaaaaa!” Budi berteriak sekeras-kerasnya, “Mataku!”
Orang-orang disekitar kagetdan memandang kearah Budi.
Budi berlarian kesana kemari sambil berkata, “Air! Air!” Tapi letak toilet terlalu jauh.
“Sialan! Panas! Apa ini!?”Kata Budi.
Beberapa saat kemudian dia melihat seorang pedagang keliling tak jauh dari sana, lalu
segera menghampiri dan mengambil sebotol air mineral, kemudian menyiramkan ke
kedua matanya.
Ani terkejut, dia melihat ujung-ujung jari tangan kanannya berwarna sedikit jingga.
Tasnya dibuka, dia mengeluarkan sebungkus makanan bertuliskan: Keripik Ultra Pedas
yang belum lama dimakannya tadi ketika dalam perjalanan ke terminal.
“Ooops....” katanya dalam hati.
Budi pun akhirnya segera pergi ke klinik terdekat, dan Ani sendiri segera naik ke bus
dan pergi entah kemana.
27 Januari 2016
Insiden Cekikikan
Pagi itu suasana kelas terasa tegang. Semua siswa duduk dengan tegak. Mata mereka
tidak lepas dari memandangi pintu.
“Apakah semalam kamu sudah menghafal?” Tanya Ujang.
“Sedikit.” Jawab Atang.
“Mampus….” Kata Ujang lagi.
Tlak… tlak… tlak… terdengar suara langkah kaki, kemudian, kreeek… pintu terbuka.
Muncul seorang bapak-bapak berbadan tinggi besar, tetapi tidak berkumis tebal, alisnya
yang tebal. Pandangannya tajam menyapu semua siswa.
“Baik, kita mulai ujiannya.”
Pak Guru kemudian mengambil sebatang kapur pendek dari atas meja.
Atang dan Ujang melotot melihat semua yang ditulis di papan tulis, soal-soal matematika
yang memusingkan.
Tak ada seorangpun yang bergerak, hanya memelototi papan tulis seperti Atang dan
Ujang.
Kapur yang dipegang pun habis, Pak Guru mengambil satu lagi yang sama-sama
pendek seperti sebelumnya.
Greeek… greeek….
Ketika ditulis, tidak memunculkan tulisan.
Siswa tetap diam.
Pak Guru melihat benda putih di tangannya tersebut, kemudian dia berkata, “Apa? Ini
bukan kapur, tapi sukro!”
“Haaah?” Kata para siswa keheranan.
Berbeda dengan yang lainnya, Atang malah tertawa cekikikan, dan itu membuat Pak
Guru marah.
Plak! Sukro itu pun membentur kepala Atang.
“Atang, mengerjakannya diluar.” Kata Pak Guru dengan dinginnya.
“Tapi pak?” Kata Atang.
“Keluar.”
“Tapi pak?”
“Keluar atau nilainya nol.”
Atang lalu keluar dari kelas.
“Pak, bagaimana saya mau mengerjakan kalau soalnya ditulis di papan tulis di dalam
kelas?” Atang komplain.
Pak Guru memberikan selembar kertas yang berisi soal-soal tersebut.
“Sial…” Kata Atang di dalam hati.
Akhirnya Atang mengerjakan ujian matematika di luar kelas akibat cekikikannya
tersebut.
9 Februari 2016
Sosok Dari Rerimbunan Pohon
Tuing… duaaar! Suara bom terdengar dari arah utara.
Di sebuah desa di selatan, tiga orang pemuda berseragam coklat sedang duduk di
bawah pohon sambil membawa senapan di punggungnya.
“Bud, loe yakin kalo pasukan kita bisa nahan itu pasukan Belanda?” Tanya Anto.
“Yakin gak yakin kita tetep disuruh jagain ini desa.” Jawab Budi.
Beberapa saat kemudian terdengar suara tembakan yang saling berbalas satu sama
lainnya dari arah utara.
“Ngeri banget ya kayaknya kalo kita ke garis depan sana.” Kata Anto.
“Iya, tapi lebih ngeri lagi malem-malem gini ini desa kayak desa mati, gak ada
penghuninya.” Kata Dodi.
Krik… krik… krik… krik… krik… suara jangkrik beserta binatang malam lainnya
terdengar ramai.
“Tolong! Tolong! Tolong!” Tiba-tiba terdengar suara perempuan dari arah rerimbunan
pohon.
“Widih… siapa tuh cewek malem-malem gini?” Kata Anto.
“Loe periksa sana To.” Pinta Dodi.
“Gila loe, bisa-bisa setan tuh, takut gue ah!” Jawab Anto.
“Yaudah kita bertiga aja kesana, sulit amat sih. Ketemu setan juga kagak bakalan mati,
kecuali kalo bawa bedil.” Kata Budi.
Mereka bertiga menghampiri rerimbunan pohon tersebut, lalu…
Sesosok perempuan muda muncul dengan berjalan sempoyongan, kedua tangannya
menjulur ke depan, mulutnya mengeluarkan darah, dan perutnya bolong berdarah-
darah.
“Sun… sun… sundel bolooong!” Kata Budi sambil menunjuk-nunjuk.
Tanpa basa-basi, mereka bertiga langsung lari terbirit-birit.
Tak beberapa lama kemudian, dari rerimbunan pohon muncul seorang laki-laki
berseragam coklat sama seperti mereka bertiga.
“Eh goblok malah lari, ini cewek korban mortir Belanda malah dikira sundel bolong.
Bukannya ditolongin, ntar keburu mati….” kata lelaki tersebut.
Perempuan itu pun terjatuh ke tanah.
“Yah, mati deh… bener kan. Kampret tuh mereka semua.”
9 Februari 2016
Kemana Pensil Itu Pergi
Trililililit! Trililililit! Trililililit! Sore itu telepon Mamat berbunyi.
“Halo?”
“Mat, mungkin ini terdengar tidak enak, tapi... batas waktunya aku undur menjadi besok
siang.”
“Apa, bagaimana bisa? Bagaimana...”
“Lakukan saja, atau kamu akan kehilangan jutaan rupiah yang berharga itu,
penjelasannya nanti belakangan.”
Tuuut! Penelepon tersebut menutup teleponnya.
Beni dan Erlan melihat ke arah bos mereka.
“Ada apa bos?” Tanya Beni.
Mamat tidak segera menjawabnya, dia langsung mengarahkan tangan kanannya ke
kertas di meja.
“Besok pagi harus selesai.” Katanya.
Beni dan Erlan saling bertatapan, kemudian melakukan pekerjaannya masing-masing.
Tak beberapa lama kemudian Mamat terlihat mencari-cari sesuatu, kursinya diputar ke
kanan dan ke kiri.
“Dimana itu?”
“Dimana apa bos?” Tanya Beni.
“Pensil itu, pensil yang ada warna biru di ujungnya....”
“Terakhir kali kulihat, sebelum bos menerima telepon, ada di genggaman tangan kanan
bos.” Jawab Beni.
“Uh, tapi kok jadi tidak ada ya, kemana pensil itu pergi?”
Mamat mengacak-ngacak hampir semua benda di sekitarnya, tapi pensil tersebut tidak
ada.
“Aduh, dimana ya?”
Hingga matahari terbenam, Mamat masih belum menemukannya. Kemudian dia pergi
ke toilet untuk buang air kecil. Selesai buang air kecil dia membasuh mukanya, lalu
mengaca.
“Kampreeet!” Katanya sambil mengambil sebuah kayu panjang dari jepitan telinga
kanannya, yang ternyata adalah sebatang pensil dengan warna biru di ujungnya.
Akhirnya pensil hilang tersebut berhasil ditemukan.
Mamat kembali ke ruangan kerjanya, kemudian mengerjakan pekerjaannya.
12 Februari 2016
Suara Tertawaan Misterius
Malam itu, Syarip keluar dari kosannya untuk membeli makanan. Ketika akan melewati
jalan yang biasa dilaluinya, jalan tersebut tertutup lumpur bekas banjir tadi sore.
Terpaksa dia melewati jalan yang membelah kompleks pekuburan. Jalan itu sepi dan
minim penerangan.
Di pertengahan jalan, dia merasa ada seseorang yang mengikutinya di belakang, tapi
setelah dilihat, tidak ada siapa-siapa. Bulu kuduknya mulai berdiri.
Beberapa menit kemudian dia mendengar suara langkah kaki di sampingnya, tapi
setelah dilihat, ternyata seekor kucing.
Syarip mempercepat langkahnya hingga sampai di depan sebuah masjid yang dipenuhi
oleh beberapa pedagang kaki lima.
Selesai membeli makanan, dia kembali melewati jalan tersebut.
Beberapa menit kemudian...
Hihihihi!
Tiba-tiba terdengar suara tertawaan perempuan misterius.
Dia melihat ke sekelilingnya, tidak ada siapa-siapa.
Hihihihihi! Suara tersebut kembali terdengar
Hihihihihi! Hihihihihi! Hihihihihi! Lama kelamaan volumenya semakin tinggi.
“Iiih kunti!” Kata Syarip sambil berlari sekencang-kencangnya.
Suara tersebut terus terdengar hingga dia sampai di depan kos.
Drrrt... drrrt... drrrt... terasa sesuatu bergetar di badannya.
“Eh?” dia mengambil ponsel di saku jaketnya.
Ternyata ponsel tersebutlah yang mengeluarkan suara tertawaan perempuan tersebut.
“Goblok, ini pasti si Doni yang ngejailin masang alarm pake ringtone kunti!”
Masuk ke dalam kos, Doni dan teman-teman yang lain langsung tertawa terbahak-bahak
mengetahui reaksi Syarip. Akhirnya Doni mengakui kalau dialah yang telah menyetel
alarm ber-ringtone suara tertawaan kuntilanak tersebut.
12 Februari 2016
Perut Buncit Samadengan Koruptor
Siang itu pulang sekolah, Aceng berjalan melewati pasar. Di depan sebuah toko mainan,
dia melihat seorang ibu hamil sedang duduk sambil menunggu angkutan umum lewat.
Dihampirinya ibu tersebut, kemudian...
Duk! Aceng memukul perut ibu itu menggunakan tangan kanannya.
Sontak orang-orang segera menampar Aceng.
“Kurangajar kau bocah SD! Apa masalahmu?”
“Dia koruptor yang harus dibasmi pak!” Jawab Aceng mantap.
“Eh... darimana kamu tahu kalau dia koruptor?”
“Kata Pak Dono satpam di sekolah saya, koruptor itu merusak negara, karena itu harus
dihajar, dan ciri-cirinya adalah berperut buncit!” Jawab Aceng lagi.
Mendengar jawaban tersebut, orang-orang hanya melongo sambil garuk-garuk kepala.
Ibu-ibu hamil tadi beruntung tidak mengalami luka yang serius.
Sedangkan Aceng langsung diusir dari sana.
“Pergi sana dasar bocah edan!” Kata orang-orang.
27 Februari 2016
Penggaris yang Bergerak Sendiri
Hoam! Arya terbangun dari tidur sebentarnya. Dikucek-kucek matanya, kemudian dia
melihat penggaris di meja bergerak-gerak sendiri.
Arya meliuk ke kanan-kirinya, tidak ada siapapun. Semua teman-teman sekelasnya
sedang berada diluar, menikmati jam istirahat.
“Apa-apaan ini?” Katanya.
Dia menahan penggaris tersebut, pergerakan berhenti.
Dia melepasnya, penggaris kembali bergerak kesana-kemari.
“Jangan-jangan ini kerjaan setan yang diceritain Pak Didin.”
Lalu dia bangkit dari bangkunya. Penggaris berhenti bergerak, tapi tidak dipedulikan.
Saat berjalan menuju pintu, terdengar suara cekikikan. Setelah dicari, berasal dari
tempat duduk Arya. Disana Boni sedang jongkok dibawah mejanya.
“Hahaha, vis bro!” Kata Boni.
“Ngapain kamu disana?” Tanya Arya.
“Hanya menjahilimu pake ini....” jawabnya sambil memegang sebatang magnet.
Ternyata Bonilah yang dari tadi menggerak-gerakkan penggaris Arya yang terbuat dari
besi menggunakan magnetnya.
Boni lalu mengajak Arya keluar dari kelas dan jajan di kantin.
3 Maret 2016
Senjata Rahasia Soni
Dor! Suara tembakan terdengar jelas menggelegar di udara. Memecah keheningan
malam itu.
Seorang lelaki berbadan tinggi besar berlari dengan cepat menyusuri gang sempit,
diikuti oleh dua orang lelaki lain yang memegang pistol di tangannya.
Lelaki berbadan besar itu kemudian menemui tembok di ujung gang. Begitupun di
sebelah kanan-kirinya yang hanya tembok tinggi.
“Tidak ada jalan lagi Son... sekarang angkat tangan dan balikkan badanmu kesini!” Kata
seorang lelaki yang mengejarnya.
“Akhirnya, setelah 3 tahun menjadi buronan, malam ini petualanganmu berakhir.”
Tambah lelaki pengejar yang satunya lagi.
Soni membalikkan badannya, wajahnya terlihat datar, kemudian dia mengangkat
tangannya perlahan.
Kedua polisi tadi masih menodongkan pistol ke arahnya.
“Uuuh! Bau apa ini?” Kata seorang polisi itu.
Soni tersenyum kecil, “itu adalah bau [sensor] ku yang menjadi senjata rahasia,
hahaha!”
“Sialan! Baunya... menusuk hidung, tenggorokan, dan paru-paruku!”
“Kurangajar kamu Son! Baj... jing....”
Kedua polisi itupun ambruk tak sadarkan diri ke tanah.
Soni melangkahi tubuh keduanya, kemudian pergi dari tempat itu. Akhirnya dia kembali
lolos dari kejaran polisi yang selalu berusaha menangkapnya selama ini.
24 Maret 2016
Tas Kejutan
Tengah siang itu, Boni dan Dodi sedang duduk-duduk di bawah sebuah pohon yang
melindungi mereka dari terik matahari. Di ujung jalan, mereka melihat seorang
pengendara sepeda motor yang akan melewati jalan di depan mereka. Mereka berdua
saling menatap satu sama lain sambil tersenyum. Mata mereka dengan tajam
memperhatikan pengendara tersebut.
Beberapa saat kemudian...
Boni ke tengah jalan sambil melambai-lambaikan kedua tangannya.
Pengendara lelaki tersebut berhenti, “kenapa ya bang?”
“Maaf bisa minta tolong, apa anda membawa kunci pas? Ini motor saya bermasalah.”
Jawab Boni.
“Oh, ada.” Pengendara itu lalu meminggirkan sepeda motornya.
Ketika sedang melihat mesin sepeda motor Boni, Dodi muncul dari balik semak-semak,
kemudian menempelkan sebuah kain ke hidungnya. Tak sampai 5 detik, pengendara itu
langsung tak sadarkan diri.
Boni segera menyeret tubuhnya ke semak-semak, mengambil tas di punggung, lalu
pergi membawa kabur sepeda motornya. Sedangkan Dodi menggunakan sepeda motor
Boni.
***
Di rumah kontrakan Boni, mereka berdua tertawa-tawa sambil merokok dan minum-
minum.
“Kerja bagus Dod!” Kata Boni.
“Ya ya ya, hahaha! Sepertinya isi tas itu berharga sekali Bon...” balas Dodi.
Boni mengambil tas tersebut, “uh... berat juga, apa ya isinya?”
Sreeet... Boni mengeluarkan sebuah kotak kardus dari dalamnya.
“Ha... sepertinya benda yang sangat berharga!” Kata Boni.
Kardus pun dibuka, dan ternyata isinya adalah...
Sebuah bom waktu rakitan, dan layar LED-nya yang berwarna merah menunjukkan
angka: 00.00.03
“Apa?” kata Boni.
Tatapan Dodi terlihat kosong.
DUAAARRR!!!
Bom tersebut meledak, mereka berdua tewas seketika. Rumah kontrakan tersebut
langsung hancur berkeping-keping. Beruntung tidak ada korban jiwa lain selain mereka
berdua karena rumah tersebut tidak menyatu dengan rumah warga yang lainnya.
24 Maret 2016
Pertemuan Dengan Muka Rata
Cerita ini adalah kisah nyata yang dialami oleh seorang sepupu teman saya ketika
sepupunya itu masih mesantren di salah satu pondok pesantren yang ada di wilayah
Bandung pada tahun 2003 lalu. Saat itu dia duduk di kelas 3 MAK (Madrasah Aliyah
Keagamaan), dan menjadi anggota organisasi santri (sama dengan OSIS di sekolah
umum) bagian BLAT (Bagian Listrik Air dan Transportasi).
13 tahun yang lalu, kondisi pesantrenku saat itu tidaklah seperti sekarang ini. Dalam
penglihatanku, sekarang seperti kota kecil yang dipenuhi oleh bangunan-bangunan
megah. Di siang hari, bangunan-bangunan tersebut terlihat elegan dan kokoh dengan
warnanya yang didominasi warna biru. Ketika malam tiba, lampu-lampunya yang
berwarna-warni tampak gemerlapan seperti di kota-kota pada umumnya. Tidak ada
bagian-bagian yang gelap, semuanya sudah tersinari cahaya lampu; kalaupun ada yang
gelap akibat lampunya putus atau rusak, itu tidak akan lama karena cepat diganti oleh
pengurus pondok. Kamera CCTV hampir terpasang disetiap bagian-bagian penting.
Jalan-jalan yang dulunya masih banyak yang kumuh, apalagi ketika musim hujan,
sekarang sudah tidak ada lagi karena semuanya telah di beton atau di paving block.
Semuanya telah berubah menjadi indah. Jika memikirkan masaku saat itu, kemudian
membandingkannya dengan saat ini, aku merasa sedih; betapa enaknya santri-santri
sekarang karena fasilitasnya yang melimpah, apalagi sekarang sudah ada internet
dengan media sosialnya dan tentu saja smartphone, dan berbagai teknologi canggih
lainnya, sedangkan aku dulu? Kamera digital pun masih barang mahal dan langka. Ya...
setidaknya itu dalam anggapanku.
Bandung, Nopember 2003, saat itu adalah liburan panjang pertengahan tahun yang
bertepatan dengan bulan Ramadhan. Jadi seminggu sebelum hari Idul Fitri tiba, pondok
meliburkan santrinya selama sebulan. Kami biasa menyebutnya: perpulangan Idul Fitri.
Tapi, tidak semua santri pulang ke asalnya masing-masing, karena kelas 6 dan kelas 5
(setingkat dengan kelas 3 dan 2 SMA) diharuskan melaksanakan piket pondok. Mereka
yang tidak bisa melaksanakan piket pondok, diharuskan membuat surat pernyataan.
Ada 4 kelompok yang masing-masing masa tugasnya adalah satu minggu. Santri bebas
memilih kelompoknya, dan itu dilakukan seminggu sebelum liburan panjang tiba. Aku
memilih kelompok-1 yang bertugas di minggu pertama liburan panjang, tepatnya ketika
bulan Ramadhan tersisa 1 minggu lagi. Biasanya mereka yang memilih kelompok ini
adalah yang domisilinya di Bandung Raya, tak peduli dia pribumi atau pendatang.
Bagiku, piket pondok adalah saat yang menyenangkan, karena seperti camping. Kami
bebas melakukan apapun di pondok, asalkan tidak melakukan hal-hal yang dapat
merusak pondok atau mengganggu Kamtibmas pondok dan masyarakat sekitar. Pondok
menjadi seperti rumah kami yang besar, dengan fasilitas camping tentunya. Kami pun
bisa bebas keluar pondok dan menjelajahi lingkungan sekitar, asalkan ketika waktu
pengabsenan hadir, dan tidak semua anggota meninggalkan pondok. Pengabsenan
dilaksanakan ketika selepas shalat shubuh dan isya yang diimami langsung oleh
pimpinan pondok (kiai). Untuk santri putra, terdapat 3 Rayon (sama dengan blok dalam
perumahan), yaitu Rayon A, B, dan C. Rayon A dan C memiliki dua pos, sedangkan
Rayon B hanya satu; itu karena Rayon A dan C memiliki gerbang yang menghubungkan
dengan luar pondok. Aku kebagian di pos Rayon A yang diposisikan dekat asrama
santri, tepatnya di panggung yang biasa dipakai untuk menampilkan acara-acara
kesenian atau pengumuman penting bagi santri putra.
Hari ke-4, sekitar pukul 23-an, aku merasa seperti bukan di malam hari, tidak terasa
kantuk sedikitpun; malah badan terasa segar. Aku yakin ini efek kopi hitam yang
kuminum 3 jam lalu. Di pos, aku dan dua orang temanku sesama kelas 6, dan tiga orang
kelas 5 sedang menonton TV yang dibawa oleh salah seorang temanku yang
domisilinya tidak jauh dari pondok. Saat itu TV-nya masih berjenis tabung. Teman posku
sesama kelas 6 yang lain ada yang sedang sibuk mengecat lemarinya, dan ada yang
sedang berkumpul mengelilingi api unggun sambil ngobrol-ngobrol dengan santri lainnya
di lapangan kecil dekat jemuran.
Pukul 2 dini hari, aku keluar dari pos untuk mengambil beberapa buku komik di kamarku
yang terletak di Rayon B, tepatnya di kamar khusus bagi bagian BLAT. Bukan hanya
komik, tapi beberapa buku bacaan lainnya yang sudah aku bawa sebelumnya sebagai
persiapan untuk membunuh waktu selama piket pondok.
Saat hendak keluar dari kamar, datang seorang santri kelas 5 mengatakan bahwa di
kamar mandi hurufL (disebut demikian karena jejeran kamar mandinya jika dilihat dari
atas membentuk huruf L), tiga kamar mandinya yang terletak diujung tampak gelap,
karena lampunya putus atau bagaimana. Saat itu jika dibandingkan dengan sekarang,
kondisi kamar mandi hurufL di malam hari terkesan angker. Posisinya yang terletak
diantara Rayon A dan B, lebih rendah dibandingkan tanah sekitar, bersebelahan
langsung dengan selokan besar (tersambung dengan sungai Citarum), lantainya yang
keramik merah, dindingnya yang agak kumuh berlumut, langit-langitnya yang bilik
bambu, dan rerumputan disekitarnya yang lebat benar-benar membuat merinding. Tapi
sebagai seorang pengurus, aku tidak boleh takut apalagi malas. Aku kesana seorang
diri sambil membawa peralatan kelistrikan dan tiga buah bohlam yang masih berjenis
pijar.
Sesampainya disana, benar saja ketiga kamar mandi tersebut masing-masing
bohlamnya putus. Ketika aku hendak memasang bohlam di kamar mandi yang ketiga,
aliran listrik dari PLN ke pondok terputus, suatu kejadian yang biasa terjadi di pondok.
Suasana menjadi gelap total, apalagi aku berada di dalam ruangan; diluar hanya ada
penerangan dari sinar bulan, itupun kalau langit cerah. Aku tidak berani bergerak karena
ditakutkan terjatuh ke bawah. Kemudian aku mengambil senter yang kugantungkan di
sabuk. Sayangnya setelah kunyalakan, senter tersebut tanpa sengaja jatuh ke bawah,
karena aku kurang kuat memegangnya.
Saat kulihat kebawah, senter tersebut menyinari sesuatu; bukan sebuah kotak
penyimpanan alat mandi, atau benda lainnya. Aku heran karena benda itu berbulu,
setelah kuperhatikan lebih seksama lagi (karena mataku sedikit minus), ternyata itu
adalah sebuah kepala! Ya sebuah kepala buntung yang wajahnya menghadap ke lantai.
Tidak ada darah yamg terlihat, hanya rambutnya yang hitam gimbal acak-acakan. Tak
sampai 5 detik jantungku sudah berdegup kencang dengan keringat dingin yang keluar
deras dari seluruh pori-pori tubuh membasahi celana, baju, dan mukaku. Aku mencoba
teriak dan bergerak, tapi aku tidak bisa, sekujur tubuh seakan membatu, telingaku juga
berdenging tidak bisa mendengar suara diluar. Hanya mataku saja yang bisa digerakkan
dan berkedip. Selama 6 tahun aku mesantren disini, aku sudah mendengar banyak
sekali cerita mistis, tapi baru kali ini aku mengalaminya sendiri.
Mataku masih tertuju pada kepala buntung itu. Lalu, kepala itu berputar menghadapkan
wajahnya kearahku. Dan aku bisa melihat wajah kepala buntung itu... rata! Maksudku
bukan rata datar, tapi rata tanpa mata, hidung, mulut, dll. Seperti orang yang menutup
kepalanya dengan kain yang biasa dipakai maling, namun tanpa ada lubang sedikitpun.
Kulitnya putih pucat dan dekil karena menyentuh lantai yang sedang kotor oleh bekas
langkah kaki-kaki santri.
Kemudian, si muka rata itu berbicara dalam bahasa Sunda kasar yang artinya adalah
menyuruhku memperingati para santri yang menggunakan kamar mandi disini agar tidak
suka ribut seperti bersiul, nyanyi-nyanyi, bercanda ria, dan keributan yang lainnya,
karena itu sangat mengganggu dia. Kalau masih suka ribut, maka dia akan mengganggu
santri tersebut saat sedang menggunakan kamar mandi ini. Suaranya berat seperti
bapak-bapak berusia 50 tahunan, dan aku bisa melihat di bagian yang seharusnya
terdapat mulut, bergerak-gerak saat dia sedang berbicara.
Senter itupun mati, dan aku kembali tidak bisa melihat apapun. Beberapa detik
kemudian, lampu menyala, lalu badan dan pendengaranku pulih kembali. Terdengar
suara generator diesel yang sangat bising diluar. Kami biasa menyebutnya: genset.
Tangan kananku masih memegang bohlam yang hendak dipasangkan. Kepala buntung
bermuka rata tadi sudah tidak ada.
Selesai mengerjakan tugasku itu, aku kembali ke kamar bagian BLAT untuk menyimpan
peralatan. Aku tidak bisa tidur hingga waktu shalat shubuh tiba. Selesai shalat shubuh
dan pengabsenan, baru aku bisa tertidur pulas di kamar hingga dibangunkan oleh
temanku pada pukul 13.30-an. Dia bertanya kenapa aku tidak berada di pos, aku
langsung saja menceritakan apa yang tadi malam baru kualami. Temanku itu kemudian
mengajakku ke pos, dan kebetulan disana ada seorang kakak alumnus pondok yang
rumahnya masih di sekitaran pondok. Aku menceritakan kejadian tadi malam (yang
membuat santri kelas 6 dan 5 disana melongo). Kakak alumnus tersebut kemudian
menceritakan bahwa tanah kamar mandi huruf L tersebut dulunya adalah sebuah
pekuburan tua misterius, yang mana tidak ada seorang warga pun yang mengklaimnya.
Ketika hendak dibangun kamar mandi huruf L, beserta lapangan untuk jemuran di
depannya, pekuburan tersebut dibongkar. Saat itu kakak alumnus tersebut masih duduk
di kelas 2, dan dia melihat banyak sekali tulang belulang manusia. Setelah dibongkar,
bekas pekuburan tersebut lalu diuruk.
Kini meskipun belasan tahun sudah berlalu, aku tidak akan pernah melupakan
pengalaman mistis tersebut.
17 Mei 2016
Sistem Baru, Jenderal
Suatu waktu, Hasta, seorang jenderal tertinggi Kerajaan Yutun ditugasi oleh raja
mengunjungi Kekaisaran Adikara untuk belajar bagaimana Kekaisaran tersebut
mengorganisir pasukannya. Hasta pun pergi dengan ditemani beberapa petinggi
kerajaan.
Sesampainya di Kekaisaran Adikara, Hasta takjub terhadap kekaisaran tersebut yang
mampu mengorganisir pasukannya yang berjumlah sangat banyak dengan begitu
teratur. Belasan kali lebih banyak daripada negaranya. Pasukan yang ada tidak hanya
berasal dari penduduk Kekaisaran Adikara saja, tapi juga dari berbagai negara yang
menjadi jajahan atau sekutu kekaisaran; menjadikan pasukan Kekaisaran Adikara multi
negara. Dalam pandangan Hasta, tidak mudah untuk mengatur pasukan yang
heterogen.
Beberapa hari kemudian, tanpa diduga suatu kelompok pemberontak yang
menginginkan pemerintahan diganti menjadi republik, menyerang kekaisaran. Serangan
pemberontak tersebut kerapkali merepotkan karena dilakukan secara sporadis dan juga
didukung persenjataan yang cukup banyak. Hasta berkesempatan untuk menyaksikan
bagaimana pasukan Kekaisaran Adikara beraksi.
Namun Hasta merasa aneh karena semua pasukan yang maju bertempur adalah
perempuan, entah itu komandan lapangan, pasukan infanteri, kru kendaraan lapis baja,
operator artileri, personil medis, dan yang lainnya. Sedangkan pasukan laki-lakinya
hanya menyaksikan saja jalannya pertempuran melalui televisi. Baru kali ini Hasta
menyaksikan bagaimana perempuan diterjang badai peluru senapan mesin, dicabik-
cabik granat atau roket, ditusuk bayonet, dan dihajar popor senapan. Pemandangan
tersebut membuat Hasta pusing.
Hasta bertanya kepada salah satu Jenderal Kekaisaran Adikara, kenapa semua yang
maju ke medan perang adalah perempuan. Jenderal lelaki tersebut menjawab, “Karena
negara kami sudah menerapkan sistem kesetaraan gender, apakah negaramu belum
menerapkan sistem ini jenderal?”
Hasta mengerutkan dahinya, kemudian menggaruk-garuk kepalanya yang beruban.
22 Mei 2016
Dia Dari Masa Lalu
Kota Bandung, hari Jumat di pertengahan Maret 2013.
Jam di tanganku menunjukkan pukul 16.37, langit telah dipenuhi awan-awan hitam,
keadaan cukup gelap tanpa ada sedikitpun sinar jingga matahari yang menembus awan,
dan udara terasa dingin. Kukeluarkan jaket dari dalam kantong punggung, lalu
kukenakan. Tak sampai satu menit, hujan turun dengan deras. Rintik-rintiknya
berukuran besar, menghasilkan suara keras ketika menghantam angkot yang kunaiki ini;
terdengar seperti dilempari batu.
“Kiri!” Kata salah seorang penumpang ibu-ibu yang duduk menghadap ke pintu. Angkot
berhenti di depan sebuah warung kecil yang disekitarnya terdapat banyak pohon-pohon
besar. Seorang perempuan muda tampak sudah menunggu ibu-ibu tadi sambil
membawa payung. Aku pun ikut turun, kemudian menghampiri warung kecil tersebut.
Disana ada beberapa bapak-bapak yang sedang ngopi.
Salah seorang dari mereka ada yang berprofesi sebagai guru SMA. Dia menceritakan
kalau tahun kemarin dia pernah diancam oleh orang tua salah seorang siswanya karena
memberikan PR (Pekerjaan Rumah) yang dianggap terlalu sulit; padahal PR tersebut
dia susun berdasarkan apa yang telah dia ajarkan.
Dalam keadaan hujan seperti ini, pisang goreng dan kopi memang camilan yang pas.
Apalagi suasana disini terasa sejuk. Sebenarnya aku merindukan bajigur atau bandrek
yang dijual oleh para pedagang tradisional, namun keberadaannya saat ini begitu
langka. Aku kurang menyukai versi instan karena rasanya tidak senikmat versi
tradisional.
Pukul 17.25, hujan masih belum berhenti, meski tidak sederas tadi. Aku tidak bisa
berlama-lama disini karena nanti malam aku harus ke kosan temanku memenuhi janji
bertanding sepak bola. Tentunya permainan sepak bola di komputer. Tapi, aku merasa
berat untuk beranjak, posisinya sudah terlanjur enak. Apalagi suasananya yang dingin
seperti ini, membawaku kepada yang namanya melamun, dan itu terasa nikmat.
Kemudian, aku melihat seorang perempuan muda yang memegang payung berjalan
menuju trotoar, lalu dia berdiri disana menunggu angkot yang melintas. Tubuhnya
sedikit kurus, tidak terlalu tinggi, rambutnya hitam panjang melebihi bahu, dan kulitnya
terang. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena dia tidak meliuk kearah sini, hanya
sampingnya saja.
Tiba-tiba aku jadi teringat seseorang, dari masa lalu. Seseorang yang pernah membuat
wajahku memerah di depan teman-temanku, dan itu membuatku malu. Seseorang yang
pernah membuatku menjadi bisa menggambar sebuah taman kota dengan sangat
indah, padahal sebelumnya aku tidak bisa menggambar seperti itu. Dan berbagai
kenangan indah lainnya. Perempuan itu bernama Yayu. 4 tahun lalu, ketika kami
diwisuda, selesailah ceritaku di kampus, begitupula dengannya. Kejadian saat itu
memang menyakitkan, bahkan aku belum meminta maaf kepadanya. Aku sungguh
menyesal selama 4 tahun ini. Maka dari itu, aku ingin meminta maaf. Mungkin
perempuan di trotoar itu adalah Yayu.
Aku beranjak dari tempat duduk, kemudian berjalan ke dekatnya. Tadinya aku hanya
ingin memastikan saja dengan melihat wajahnya kalau itu Yayu, tapi aku keceplosan
mengatakan 'Yayu' dengan cukup keras. Perempuan itu pun melihat kearahku, sehingga
aku pun bisa melihat wajahnya. Ternyata benar itu Yayu! Wajahnya tidak berubah, tapi
sekarang terlihat lebih berseri.
“Yayu, itukah kamu, sedang apa disini?” Tanyaku.
Dia hanya tersenyum.
Aku berjalan perlahan mendekatinya.
“Yay?” Kataku lagi.
Dia masih tersenyum.
Lalu sebuah telapak tangan berada di depanku, menghalangi penglihatan. Telapak
tangan milik seorang bapak-bapak yang berada di sampingku.
“Hey jang, ari kamu kenapa?” Tanyanya.
“Mau nyapa teman saya.” Jawabku.
“Kamu berkhayal atau bagaimana?” Katanya lagi.
Kulihat Yayu sudah tidak ada.
“Tadi disitu ada seorang perempuan pak, pake payung.” Kataku.
“Perempuan pake payung? Dari tadi tidak ada siapa-siapa disitu. Kamu berbicara sendiri
seperti orang yang melindur.”
Kulihat kembali, memang benar tidak ada siapa-siapa. Orang-orang di warung kecil itu
semuanya melihat ke arahku, yang sedang melewat juga.
Ibu-ibu pemilik warung menghampiriku, kemudian memberikan sebotol air tawar.
“Minum Aqua dulu jang, gratis.” Katanya.
Oh, ternyata tadi hanya halusinasi akibat lamunanku saja. Sialan.
30 Mei 2016
Catatan Seorang Gadis Asri
Sebuah karet gelang merah mendarat di kepala belakang Hira. Refleks dia memegang
kepala belakangnya, lalu meliuk ke belakang mencari-cari sumber datangnya benda
tersebut. Anak-anak lelaki dan perempuan di belakangnya tampak duduk dengan
tenang menulis apa yang ada di papan tulis, begitu pula dengan yang ada di sebelah
kanan dan kiri.
Beberapa menit kemudian, sebuah karet gelang merah kembali mendarat di kepala
belakang Hira. Kali ini, dia meliuk dengan cepat sehingga berhasil memergoki pelakunya
yang ternyata adalah Resti dan gengnya.
“Uuu... dasar sok cantik!”
“Dasar kalian dengki!” Balas Hira sambil membidikkan karet gelang tadi ke arah Resti.
Tanpa disadari, bu guru masuk kembali ke kelas, “Hira, jangan main-main!”
“Mereka yang duluan...”
“Sudah kamu jangan malah ikut-ikutan!” Kata bu guru.
Resti dan gengnya cekikikan puas melihat Hira.
***
Esok pagi, kalender hari ini menunjukkan tanggal merah, sekolah libur. Hira mengambil
sepedanya, kemudian mengunjungi warung-warung yang berada di sekitar sambil
membawa banyak kue buatan ibunya untuk dijual.
“Semoga semua kue itu laris hari ini.” Kata ibunya saat Hira kembali ke rumah.
“Ayah masih sakit?” Tanya Hira.
“Masih.”
Hira melihat ayahnya terbaring di tempat tidur. Dia adalah seorang guru SD. Sudah 6
bulan terakhir ini tidak mengajar karena terkena stroke.
“Kita masih belum punya biaya.” Kata ibunya.
***
Sepulang sekolah, Hira bermain badminton bersama Nina, sahabatnya, dan teman-
teman yang lainnya. Resti dan gengnya yang kebetulan melewat, memaksakan diri
bergabung.
“Main badminton saja kok pake make-up?” Kata Resti.
Kumpulan Cerpen oleh Fajar Sany edisi Juni 2016
Kumpulan Cerpen oleh Fajar Sany edisi Juni 2016
Kumpulan Cerpen oleh Fajar Sany edisi Juni 2016
Kumpulan Cerpen oleh Fajar Sany edisi Juni 2016

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt? (20)

CERITA PENDEK PENGALAMAN PRIBADI BAHASA INDONESIA
CERITA PENDEK PENGALAMAN PRIBADI BAHASA INDONESIACERITA PENDEK PENGALAMAN PRIBADI BAHASA INDONESIA
CERITA PENDEK PENGALAMAN PRIBADI BAHASA INDONESIA
 
Cerpen
CerpenCerpen
Cerpen
 
cerkak
cerkakcerkak
cerkak
 
Cerpen (harus terpisah)
Cerpen (harus terpisah)Cerpen (harus terpisah)
Cerpen (harus terpisah)
 
Contoh cerpen singkat
Contoh cerpen singkatContoh cerpen singkat
Contoh cerpen singkat
 
Cerita seks bokep ngetot tante hot
Cerita seks bokep ngetot tante hotCerita seks bokep ngetot tante hot
Cerita seks bokep ngetot tante hot
 
Hujan di bulan desember
Hujan di bulan desemberHujan di bulan desember
Hujan di bulan desember
 
Cerkak (Cerita Cekak) Sepatu Anyar
Cerkak (Cerita Cekak) Sepatu AnyarCerkak (Cerita Cekak) Sepatu Anyar
Cerkak (Cerita Cekak) Sepatu Anyar
 
Cinta pertama
Cinta pertamaCinta pertama
Cinta pertama
 
Kliping cerpen
Kliping cerpenKliping cerpen
Kliping cerpen
 
Cerpen-Hal Tak Terduga
Cerpen-Hal Tak TerdugaCerpen-Hal Tak Terduga
Cerpen-Hal Tak Terduga
 
Drama 3 orang persahabatan
Drama 3 orang persahabatanDrama 3 orang persahabatan
Drama 3 orang persahabatan
 
Naskah drama bawang merah bawang
Naskah drama bawang merah bawangNaskah drama bawang merah bawang
Naskah drama bawang merah bawang
 
Cerpen 1 pop
Cerpen 1 popCerpen 1 pop
Cerpen 1 pop
 
Cerita seks bokep tante nila hot
Cerita seks bokep tante nila hotCerita seks bokep tante nila hot
Cerita seks bokep tante nila hot
 
Dgt
DgtDgt
Dgt
 
Naskah drama 5 orang tema persahabatan
Naskah drama 5 orang tema persahabatanNaskah drama 5 orang tema persahabatan
Naskah drama 5 orang tema persahabatan
 
CERPEN SUDUT PANDANG KETIGA "JIKA KAU SAHABAT"
CERPEN SUDUT PANDANG KETIGA "JIKA KAU SAHABAT"CERPEN SUDUT PANDANG KETIGA "JIKA KAU SAHABAT"
CERPEN SUDUT PANDANG KETIGA "JIKA KAU SAHABAT"
 
Naskah drama munafik
Naskah drama munafikNaskah drama munafik
Naskah drama munafik
 
Bahasa Indonesia - Resensi Buku Non Fiksi
Bahasa Indonesia - Resensi Buku Non FiksiBahasa Indonesia - Resensi Buku Non Fiksi
Bahasa Indonesia - Resensi Buku Non Fiksi
 

Ähnlich wie Kumpulan Cerpen oleh Fajar Sany edisi Juni 2016

Kumpulan cerita lucu
Kumpulan cerita lucuKumpulan cerita lucu
Kumpulan cerita lucujuniato
 
Kumpulan Teks Anekdot
Kumpulan Teks AnekdotKumpulan Teks Anekdot
Kumpulan Teks AnekdotFirdika Arini
 
Struktur Cerpen Perjalanan Terindah By Zulfa Fadila
Struktur Cerpen Perjalanan Terindah By Zulfa FadilaStruktur Cerpen Perjalanan Terindah By Zulfa Fadila
Struktur Cerpen Perjalanan Terindah By Zulfa Fadilanadyaera24
 
Si lugu dan si malin kundang (hamsad rangkitu)
Si lugu dan si malin kundang (hamsad rangkitu)Si lugu dan si malin kundang (hamsad rangkitu)
Si lugu dan si malin kundang (hamsad rangkitu)Arvinoor Siregar SH MH
 
Badai badai puber onessfee.blogspot.com
Badai badai puber onessfee.blogspot.comBadai badai puber onessfee.blogspot.com
Badai badai puber onessfee.blogspot.comonessfee
 
Persahabatan yang rapuh
Persahabatan yang rapuhPersahabatan yang rapuh
Persahabatan yang rapuhAmore Tsuki
 
116414016 novel-minang-giring-giring-perak
116414016 novel-minang-giring-giring-perak116414016 novel-minang-giring-giring-perak
116414016 novel-minang-giring-giring-perakBeni Irvan
 
35651435 giring-giring-perak-makmur-hendrik
35651435 giring-giring-perak-makmur-hendrik35651435 giring-giring-perak-makmur-hendrik
35651435 giring-giring-perak-makmur-hendrikBeni Irvan
 
Garwo Omah Dowo.docx
Garwo Omah Dowo.docxGarwo Omah Dowo.docx
Garwo Omah Dowo.docxBackLinking
 
Garwo Omah Dowo.docx
Garwo Omah Dowo.docxGarwo Omah Dowo.docx
Garwo Omah Dowo.docxBackLinking
 

Ähnlich wie Kumpulan Cerpen oleh Fajar Sany edisi Juni 2016 (20)

Ceritaku
CeritakuCeritaku
Ceritaku
 
Kumpulan cerita lucu
Kumpulan cerita lucuKumpulan cerita lucu
Kumpulan cerita lucu
 
Cerpen
CerpenCerpen
Cerpen
 
Cuti sekolah telah bermula
Cuti sekolah telah bermulaCuti sekolah telah bermula
Cuti sekolah telah bermula
 
Kumpulan Teks Anekdot
Kumpulan Teks AnekdotKumpulan Teks Anekdot
Kumpulan Teks Anekdot
 
Struktur Cerpen Perjalanan Terindah By Zulfa Fadila
Struktur Cerpen Perjalanan Terindah By Zulfa FadilaStruktur Cerpen Perjalanan Terindah By Zulfa Fadila
Struktur Cerpen Perjalanan Terindah By Zulfa Fadila
 
Si lugu dan si malin kundang (hamsad rangkitu)
Si lugu dan si malin kundang (hamsad rangkitu)Si lugu dan si malin kundang (hamsad rangkitu)
Si lugu dan si malin kundang (hamsad rangkitu)
 
Badai badai puber onessfee.blogspot.com
Badai badai puber onessfee.blogspot.comBadai badai puber onessfee.blogspot.com
Badai badai puber onessfee.blogspot.com
 
Deja Vu
Deja VuDeja Vu
Deja Vu
 
Persahabatan yang rapuh
Persahabatan yang rapuhPersahabatan yang rapuh
Persahabatan yang rapuh
 
Anekdot
AnekdotAnekdot
Anekdot
 
116414016 novel-minang-giring-giring-perak
116414016 novel-minang-giring-giring-perak116414016 novel-minang-giring-giring-perak
116414016 novel-minang-giring-giring-perak
 
Cupang
CupangCupang
Cupang
 
Teks eksplung
Teks eksplungTeks eksplung
Teks eksplung
 
35651435 giring-giring-perak-makmur-hendrik
35651435 giring-giring-perak-makmur-hendrik35651435 giring-giring-perak-makmur-hendrik
35651435 giring-giring-perak-makmur-hendrik
 
kuis ptm.docx
kuis ptm.docxkuis ptm.docx
kuis ptm.docx
 
BAB 1.docx
BAB 1.docxBAB 1.docx
BAB 1.docx
 
Kereta malam
Kereta malamKereta malam
Kereta malam
 
Garwo Omah Dowo.docx
Garwo Omah Dowo.docxGarwo Omah Dowo.docx
Garwo Omah Dowo.docx
 
Garwo Omah Dowo.docx
Garwo Omah Dowo.docxGarwo Omah Dowo.docx
Garwo Omah Dowo.docx
 

Mehr von Fajar Sany

Presentasi Proposal Tugas Akhir
Presentasi Proposal Tugas AkhirPresentasi Proposal Tugas Akhir
Presentasi Proposal Tugas AkhirFajar Sany
 
Proposal Tugas Akhir
Proposal Tugas AkhirProposal Tugas Akhir
Proposal Tugas AkhirFajar Sany
 
Tabel Tag HTML
Tabel Tag HTMLTabel Tag HTML
Tabel Tag HTMLFajar Sany
 
Modul Microsoft Office Powerpoint 2007
Modul Microsoft Office Powerpoint 2007Modul Microsoft Office Powerpoint 2007
Modul Microsoft Office Powerpoint 2007Fajar Sany
 
Intel Larrabee
Intel LarrabeeIntel Larrabee
Intel LarrabeeFajar Sany
 
Pengertian Sistem Operasi
Pengertian Sistem OperasiPengertian Sistem Operasi
Pengertian Sistem OperasiFajar Sany
 
Pengertian AGP, PCI, ISA, EISA dan VESA
Pengertian AGP, PCI, ISA, EISA dan VESAPengertian AGP, PCI, ISA, EISA dan VESA
Pengertian AGP, PCI, ISA, EISA dan VESAFajar Sany
 
Merakit PC Desktop untuk Gaming dengan Mainboard Gigabyte G1-Sniper
Merakit PC Desktop untuk Gaming dengan Mainboard Gigabyte G1-SniperMerakit PC Desktop untuk Gaming dengan Mainboard Gigabyte G1-Sniper
Merakit PC Desktop untuk Gaming dengan Mainboard Gigabyte G1-SniperFajar Sany
 
Linked List dalam Struktur Data
Linked List dalam Struktur DataLinked List dalam Struktur Data
Linked List dalam Struktur DataFajar Sany
 
Command Line di Linux
Command Line di LinuxCommand Line di Linux
Command Line di LinuxFajar Sany
 
Beberapa Istilah dalam Dunia Teknologi Informasi
Beberapa Istilah dalam Dunia Teknologi InformasiBeberapa Istilah dalam Dunia Teknologi Informasi
Beberapa Istilah dalam Dunia Teknologi InformasiFajar Sany
 
Perintah-Perintah Dasar DOS
Perintah-Perintah Dasar DOSPerintah-Perintah Dasar DOS
Perintah-Perintah Dasar DOSFajar Sany
 
Array dalam Struktur Data
Array dalam Struktur DataArray dalam Struktur Data
Array dalam Struktur DataFajar Sany
 
Algoritma Knuth-Morris-Pratt
Algoritma Knuth-Morris-PrattAlgoritma Knuth-Morris-Pratt
Algoritma Knuth-Morris-PrattFajar Sany
 
Perbandingan Memori Internal DDR, DDR2 dan DDR3
Perbandingan Memori Internal DDR, DDR2 dan DDR3Perbandingan Memori Internal DDR, DDR2 dan DDR3
Perbandingan Memori Internal DDR, DDR2 dan DDR3Fajar Sany
 
Multidimensional Array dalam Struktur Data
Multidimensional Array dalam Struktur DataMultidimensional Array dalam Struktur Data
Multidimensional Array dalam Struktur DataFajar Sany
 
Kumpulan Kode C & C++
Kumpulan Kode C & C++Kumpulan Kode C & C++
Kumpulan Kode C & C++Fajar Sany
 
Analisis Suatu Script Web
Analisis Suatu Script WebAnalisis Suatu Script Web
Analisis Suatu Script WebFajar Sany
 

Mehr von Fajar Sany (20)

Presentasi Proposal Tugas Akhir
Presentasi Proposal Tugas AkhirPresentasi Proposal Tugas Akhir
Presentasi Proposal Tugas Akhir
 
Proposal Tugas Akhir
Proposal Tugas AkhirProposal Tugas Akhir
Proposal Tugas Akhir
 
Tabel Tag HTML
Tabel Tag HTMLTabel Tag HTML
Tabel Tag HTML
 
Modul Microsoft Office Powerpoint 2007
Modul Microsoft Office Powerpoint 2007Modul Microsoft Office Powerpoint 2007
Modul Microsoft Office Powerpoint 2007
 
Linux Zenwalk
Linux ZenwalkLinux Zenwalk
Linux Zenwalk
 
Intel Larrabee
Intel LarrabeeIntel Larrabee
Intel Larrabee
 
Pengertian Sistem Operasi
Pengertian Sistem OperasiPengertian Sistem Operasi
Pengertian Sistem Operasi
 
Pengertian AGP, PCI, ISA, EISA dan VESA
Pengertian AGP, PCI, ISA, EISA dan VESAPengertian AGP, PCI, ISA, EISA dan VESA
Pengertian AGP, PCI, ISA, EISA dan VESA
 
Merakit PC Desktop untuk Gaming dengan Mainboard Gigabyte G1-Sniper
Merakit PC Desktop untuk Gaming dengan Mainboard Gigabyte G1-SniperMerakit PC Desktop untuk Gaming dengan Mainboard Gigabyte G1-Sniper
Merakit PC Desktop untuk Gaming dengan Mainboard Gigabyte G1-Sniper
 
Linked List dalam Struktur Data
Linked List dalam Struktur DataLinked List dalam Struktur Data
Linked List dalam Struktur Data
 
Command Line di Linux
Command Line di LinuxCommand Line di Linux
Command Line di Linux
 
Beberapa Istilah dalam Dunia Teknologi Informasi
Beberapa Istilah dalam Dunia Teknologi InformasiBeberapa Istilah dalam Dunia Teknologi Informasi
Beberapa Istilah dalam Dunia Teknologi Informasi
 
Perintah-Perintah Dasar DOS
Perintah-Perintah Dasar DOSPerintah-Perintah Dasar DOS
Perintah-Perintah Dasar DOS
 
Array dalam Struktur Data
Array dalam Struktur DataArray dalam Struktur Data
Array dalam Struktur Data
 
Algoritma Knuth-Morris-Pratt
Algoritma Knuth-Morris-PrattAlgoritma Knuth-Morris-Pratt
Algoritma Knuth-Morris-Pratt
 
Perbandingan Memori Internal DDR, DDR2 dan DDR3
Perbandingan Memori Internal DDR, DDR2 dan DDR3Perbandingan Memori Internal DDR, DDR2 dan DDR3
Perbandingan Memori Internal DDR, DDR2 dan DDR3
 
Multidimensional Array dalam Struktur Data
Multidimensional Array dalam Struktur DataMultidimensional Array dalam Struktur Data
Multidimensional Array dalam Struktur Data
 
Kumpulan Kode C & C++
Kumpulan Kode C & C++Kumpulan Kode C & C++
Kumpulan Kode C & C++
 
Analisis Suatu Script Web
Analisis Suatu Script WebAnalisis Suatu Script Web
Analisis Suatu Script Web
 
Teknologi Web
Teknologi WebTeknologi Web
Teknologi Web
 

Kumpulan Cerpen oleh Fajar Sany edisi Juni 2016

  • 2. Bersama, Menuju Kegelapan Sebuah mobil yang berisi sekumpulan remaja, merayap dalam guyuran hujan deras, menuju sebuah wilayah perbukitan yang dipenuhi pohon. Karena jarak pandang yang terbatas, salah seorang dari mereka menyuruh untuk menepi sejenak, tapi si pengemudi menolaknya. “Kamu ini penakut sekali sih. Nih, aku nyalakan lampu kabutnya.” Kata Bayu pada Elan. Hujan pun berhenti, tapi jalanan tetap berkabut. Tak lama kemudian, dari arah yang berlawanan muncul sebuah mobil. Pengemudinya membunyikan klakson dan menurunkan kaca depan. “Hey, kalian mau kemana?” Tanya bapak tersebut. “Kami mau ke kota Kalér.” Jawab Bayu. “Jangan lewat sini, saya juga balik arah, mau lewat jalan bawah saja, biarlah macet juga.” “Terimakasih pak, tapi kami akan tetap lewat sini, lebih asyik daripada harus bermacet- macetan ditengah kota.” “Ouh... yasudah, saya cuman ngasih saran.” *** Kembali ke perjalanan, mereka mendapati sebuah mobil yang berhenti di pinggir jalan. Semua lampu seinnya menyala kelap-kelip. “Maaf pak, mobilnya kenapa? Apa ada yang bisa kami bantu?” Tanya Bayu. “Oh tidak, tidak apa-apa, tadi hanya mogok sebentar, lalu istirahat sejenak. Ini juga mau berangkat lagi.” “Syukur kalau begitu.” “Mmm... kalian mau kesana ya, kota Kalér?” “Iya pak, ini kami baru lulus SMA, mau ngerayain di rumah teman kami.” “Jangan lewat sana, makanya ini saya juga balik arah.” “Memangnya kenapa pak?” “Ya jangan saja, tadi saya ketemu orang sini, katanya bahaya kalo lewat sini sendirian, apalagi sekarang cuacanya hujan.”
  • 3. “Tapi kami ada 7 orang pak?” “Maksudnya, kendaraannya jangan sendirian, baiknya banyakan seperti konvoi, atau minimal 3 mobil.” Bapak itupun kemudian berlalu. Karena merasa aneh, Elan menyarankan Bayu untuk berbalik arah saja dan menggunakan jalan bawah, tapi ditolak. “Kenapa harus merasa aneh, dan kenapa pula harus balik arah, terus mengambil jalan bawah?” *** Di pertengahan jalan, mereka menemukan sebuah warung, kemudian berhenti untuk membeli rokok. “Hanya kalian dalam satu mobil?” Tanya seorang ibu pemilik warung tersebut. “Ya...” “Sebaiknya kalian tidak lewat sini, balik arah dan ambil jalan lain. Sangat berbahaya, apalagi sekarang berkabut dan hujan.” Bayu menggaruk-garuk kepalanya, “Bu, sebenarnya ada apa? Sebelumnya saya sudah bertemu dua orang bapak-bapak, mereka mengatakan hal yang sama pada kami.” “Ya, tadi suami saya juga baru memberitahu seorang bapak-bapak yang menggunakan mobil sedan merah.” “Sebenarnya ada apa sih bu?” Ibu itu berwajah datar. Tanpa menatap Bayu, dia merapi-rapikan dagangannya. “Aku tidak mengerti dengan mereka semua, sebenarnya ada apa?” Keluh Bayu. “Bay, sebaiknya kita balik arah saja. Aku merasa ada yang tidak beres dengan tempat ini.” Kata Elan. “Ah, sepertinya kamu juga terbawa omongan orang-orang tadi.” “Kalau kamu takut kegelapan, keterlaluan, kita kan bersama-sama? Kalau sendirian wajar. Yasudah kita bersama-sama saja menuju kegelapan, hahaha!” *** Mereka sampai pada tanjakan yang cukup panjang. Tiba-tiba hujan turun mengguyuri mereka.
  • 4. “Weuh, makin gelap saja...” kata Elan. Lampu kabut tetap tidak mampu untuk menembus tirai air yang menghalangi pandangan. Laju mereka menjadi melambat. Jam di dasbor menunjukkan pukul 16.50. Setelah itu, jalanan menurun. “Hati-hati Bay... santai saja.” Kata Elan gemetaran. “Ya aku tahu, ini juga santai!” Di akhir turunan, mereka mendapati pepohonan rimbun di sebelah kiri jalan yang membuat kegelapan. Tiba-tiba Elan berteriak, “Bay, belok kiri, itu jalannya kesana, belok, belok!” Sambil menunjuk ke pepohonan tadi. Bayu meliuk ke kiri, tapi mobil langsung menukik ke bawah, jatuh menuju kegelapan. Semuanya hanya bisa berteriak meminta tolong. Jam di dasbor menunjukkan pukul 17.00. Setelah itu suara-suara teriakan tersebut berhenti, menyisakan suara hujan dan beberapa hewan yang menjadi saksi bisu. 3 September 2015
  • 5. Gunung Pembuktian Pagi itu, Deni, Khairul, dan Radit telah berkumpul di rumah Amir. “Selamat datang semuanya, maaf kalau rumahku berantakan, lagipula ini bukan rumahku. Aku lebih suka menyebutnya posko, hehehe...” kata Amir, “baik, kita mulai saja sekarang.” Mereka berempat kemudian berangkat dengan berjalan kaki. Sampailah mereka di perkampungan bawah gunung. Deni dan Radit tampak kelelahan. Botol minum yang mereka bawa telah habis, sedangkan Khairul masih tersisa setengahnya. “Aku sudah bilang agar banyak makan, minum, dan istirahat sebelum hari pendakian tiba, supaya tidak repot ke kaliannya. Deni, Radit, katanya ini pendakian keempat kalian?” Mereka berdua hanya mengusap keningnya yang berlumuran keringat. *** Malam pun tiba, sampailah di pertengahan gunung. Mereka mendirikan tenda dan bermalam disana sebelum melanjutkan perjalanan esok harinya. Amir, Dani, dan Khairul berkumpul mengelilingi api unggun. “Radit dimana ya?” Tanya Khairul. Deni mengintip ke dalam tenda, “Tidur!” “Padahal jam di tanganku belum sampai angka 9, dia sudah tidur. Atau memang jamku yang salah?” “Tidak... tidak salah,” balas Amir, “mungkin jam dia yang terlalu maju.” *** Esok paginya mereka melanjutkan perjalanan. Deni dan Radit tampak ngos-ngosan, sedangkan Khairul terlihat ceria sambil bernyanyi kecil. “Bagaimana kalian tidak lelah, padahal kita baru saja istirahat, sedangkan kalian mengemut permen? Kemarin sore sebelum berangkat kan aku sudah mengingatkan.” Kata Amir. Khairul mengeluarkan bungkusan berisi beberapa gula merah, lalu menyodorkannya pada Deni dan Radit. “Tidak usah, aku juga bawa.” Kata Deni.
  • 6. “Nah, itu kamu bawa kenapa tidak diemut?” Tanya Amir. Deni tersenyum, “tadinya aku mau, tapi setelah melihat permen Radit, aku jadi tertarik.” “Uh... gula merah, aku tidak suka rasanya, terlalu manis.” Kata Radit. *** Setelah melalui perjalanan yang melelahkan, sampailah di tujuan utama, puncak gunung. Wajah mereka berempat terlihat ceria ketika menyaksikan pemandangan kota dari atas, dengan kabut putih yang menutupi wilayah perhutanan di sekitarnya. “Syukur, kita sampai di puncak sesuai rencana.” Kemudian Khairul duduk di sebuah batu sambil melihat pemandangan. Sesekali dia memotret dengan kameranya. Radit menulis sesuatu di kertas, kemudian memotretnya bersama pemandangan. Deni pun meniru, tapi dengan kata-kata yang berbeda, “Indonesia itu luas, jangan cuman diem dirumah.” Amir tertawa melihat mereka berdua. *** Lima hari kemudian, Deni, Khairul, dan Radit berkumpul kembali di rumah Amir. “Selamat sore, mohon maaf bang Amir tidak bisa hadir, dia ada halangan, jadi diwakilkan pada saya.” “Langsung saja, setelah kami bermusyawarah, maka yang lolos masuk kelompok pecinta alam ini adalah...” “Khairul.” “Apa...” kata Radit, “apa alasannya?” “Ya, kenapa?” Tambah Deni. “Lelaki tersebut terdiam sejenak, “saya tidak bisa memberitahukannya, biar bang Amir saja nanti yang bicara.” Radit mendekat, lalu berdiri seperti orang yang menantang. “Ayolah, kemarin aku sudah bersusah payah mengikuti ujian tersebut, masa aku tidak lulus?” “Hmmm...” “Baiklah.”
  • 7. “Alasannya karena...” lelaki itu membuka kertas, “Deni, ingin menjadi pecinta alam karena ikut-ikutan saja; sedangkan Radit, karena ingin mempecundangi orang lain.” “Mempecundangi? Aku tidak mengerti ini!” Kata Radit dengan tinggi. “Ya, aku juga tidak mengerti ikut-ikutan saja bagaimana?” Tambah Deni. “Saya sudah memberitahukannya, jika ada yang mau protes, besok pagi bang Amir sudah kembali, saya hanya melaksanakan tugas saja. Terima kasih.” Lelaki itu kemudian langsung pergi tanpa menghiraukan Deni dan Radit yang menggerutu. 10 September 2015
  • 8. Pencuri Sapi Pagi itu, Ahsan dan beberapa warga berkumpul di sebuah saung. “Selama saya tinggal disini, baru sekarang mendengar bapak kehilangan sapi.” “Saya juga heran, tidak ada bekasnya, seakan sapi itu menghilang secara tiba-tiba.” Kata Ahsan. “Mungkin sapi anda diambil oleh makhluk halus.” Kata seorang warga. Tak lama kemudian datanglah seorang kakek-kakek sambil menghisap rokok lintingan. “Bisa jadi... ayam-ayam saya juga pernah menghilang secara misterius, tanpa meninggalkan jejak.” “Dan tahukah kalian siapa pelakunya?” Semuanya terdiam melongo. Kakek tersebut kemudian membisikkan sesuatu. *** Malam harinya, Ahsan bersama pekerjanya melakukan ronda hingga matahari terbit. Namun tidak ada tanda-tanda yang hendak mencuri. Malam berikutnya pun masih sama, terus hingga malam ketiga. Esok paginya, Ahsan menemui si kakek. “Nihil, sama sekali tidak ada.” “Kek, harimau hitam itu hanyalah mitos...” “Hmmm...” si kakek mengelus-elus jenggotnya. Tok-tok-tok! Seorang pemuda datang dan memperkenalkan diri, kemudian ikut mengobrol. “Pak Ahsan, saya dengar 3 hari yang lalu anda kehilangan sapi?” “Ya...” jawab Ahsan. “Saya sudah mendengar ceritanya.” “Jadi begini...” pemuda itu kemudian menceritakan sesuatu.
  • 9. *** Malamnya, Ahsan bersama pekerjanya kembali meronda, kali ini dibantu oleh si pemuda tadi dan teman-temannya. Tapi seperti malam-malam sebelumnya, tidak ada tanda siapapun yang hendak mencuri. Malam besoknya pun sama, hingga malam keenam tiba. “Sudah 6 malam kita melakukan ronda, tak ada sedikitpun tanda-tanda yang akan mencuri sapiku, semuanya tampak normal. Tapi ini benar-benar aneh... lalu siapa yang malam minggu kemarin mencuri sapiku dengan sangat rapih? Tanpa berbekas sedikitpun...” Si pemuda menggaruk-garuk kepalanya, “Saya juga merasa aneh, tumben sindikat pencuri hewan ternak itu tidak beraksi, entah tidak beraksi kesini, atau memang mereka sudah pensiun.” “Mungkin yang mencuri sapi bapak menggunakan teknologi semacam teleportasi.” *** Keesokan harinya, semua kembali berkumpul di saung. “Saya rasa kita semua harus logis. Harimau hitam tentu tidak logis, karena harimau yang sebenarnya saja sudah punah di pulau ini. Kemudian sindikat pencuri hewan ternak yang memiliki ilmu tidak terlihat, mungkin pindah daerah operasinya, atau kebetulan sedang tidak beraksi.” Kata Ahsan. Setelah berbincang-bincang cukup lama, mereka membubarkan diri. *** Seminggu berlalu, keadaan berjalan seperti biasa, tidak ada keanehan apapun. Malam itu, tinggal 2 jam lagi menuju tahun baru. Pusat kota yang terletak di sebelah utara tampak lebih bercahaya dari biasanya, dari sana terdengar suara dentuman petasan dan mercon. Ahsan yang sedang makan malam bersama keluarganya, terpaksa menerima seorang tamu yang datang tiba-tiba. “Kata sepupu saya, kabarnya komplotan itu mulai bergerak ke wilayah ini. Saya harap bapak waspada, apalagi sekarang malam tahun baru, warga sini banyak yang pergi ke kota.” “Apakah mereka memiliki ilmu hitam tidak terlihat? Karena saya pernah diberitahu tentang mereka.” “Bukan... yang ini memiliki kemampuan menghipnotis.” ***
  • 10. Waktu menunjukkan tepat pukul 00.00, serentak nyala kembang api menggila di langit kota, disertai suara-suara yang membuat orang-orang tidak bisa memejamkan matanya. Keadaan baru benar-benar sepi pada pukul 2. Ahsan yang setengah tidur di teras, dibangunkan oleh suara dengungan halus yang berasal dari pepohonan di belakang rumahnya. Ketika dia memeriksanya, tidak ditemukan apa-apa. Namun saat memeriksa kompleks peternakannya, dia terkejut setengah mati ketika seekor sapinya melayang ke atas, menuju sebuah benda seperti pesawat terbang, tapi tanpa sayap, dan tanpa suara sedikitpun. Hendak lari, saat itu pula sekujur tubuhnya menjadi kaku. Dia hanya bisa melihat kalau dirinya juga ikut melayang ke atas seperti sapinya. 15 September 2015
  • 11. Smartphone Ratna Hari itu sepertinya bukan hari yang baik bagi Ratna, dia pulang ke rumah dengan wajah muram; badannya bungkuk lesu. Pamannya yang sedang mengobrol dengan tetangga menyudahi obrolan, lalu masuk ke dalam kamarnya. “Sepertinya ada masalah?” “Tidak ada…” “Benar?” “Iya… Ratna hanya sedikit lemas, tadi ujian matematika dapat nilai 5, dan harus mengulanginya lagi besok.” “Hmmm… yasudah.” “Eh… kalau mau martabak, ada di atas kulkas, rasa coklat kacang kesukaanmu.” “Terimakasih paman.” *** Esok paginya, Ratna dimarahi oleh gurunya karena terlambat, akibat angkot yang ditumpanginya mogok. “Huh… terlambat melulu, dasar siput!” Kata Nani, teman sekelas Ratna, di kantin. Tak lama kemudian, datang Lina dan Tika, kawan se-geng Nani. Ratna memainkan smartphone-nya, tidak menghiraukan kehadiran mereka. “Uh, aku jadi gemas sama anak ini… heh, kenapa sih waktu itu kita ngajakin ke pantai, kamu gak mau ikut, malah seperti… menghindar gitu, keki ya sama kita-kita ini?” Ratna tetap memainkan smartphone-nya. “Jawab hey!” Nani menyenggol lengan Ratna. “Karena aku tidak punya uang untuk kesananya.” “Tidak punya uang? Bukannya pamanmu yang sekarang jadi orangtuamu itu bekerja? Ya berarti punya uang dong, kenapa gak minta? Benar kan kata aku juga, kamu keki.” “Jangan berkata seperti itu, kamu tidak tahu tentang aku atau juga pamanku!” “Eh… biasa aja dong tidak perlu melotot seperti itu matanya, mentang-mentang yatim piatu, jangan merasa kebal ya, dan…”
  • 12. “Lihat mukaku ketika aku sedang berbicara!” Dengan penuh emosi, Nani menepak tangan Ratna sehingga smartphone-nya terjatuh. Ratna langsung mendorong Nani hingga bertengkar. Tak berlangsung lama, Yayu yang juga teman sekelas mereka, datang melerai; menarik Ratna keluar dari incaran bogem Nani. “Tak bisakah kamu berhenti mengganggu Ratna?” Tanya Yayu. Nani memperbaiki rambutnya yang acak-acakan, “Dia keki sih sama aku, Lina, dan Tika.” Yayu membawa Ratna keluar dari kantin. “Kamu tidak apa-apa?” “Tidak apa… aku hanya sakit sedikit.” Jawab Ratna sambil mengelap ujung bibirnya yang berdarah. *** Besoknya, Nani dan kawan-kawan kembali mendatangi Ratna, kali ini di taman kota. “Hey, aku hanya mau minta maaf soal kemarin.” “Ya, tidak apa-apa.” “Eh, selama ini kok kita tidak pernah tahu sih siapa pacar kamu?” “Aku tidak punya pacar.” “Yang benar… masa sih, kamu kan cantik. Mmm… sepertinya di HP ada foto-foto si dia tuh.” “Sumpah tidak ada.” Kata Ratna sambil terus memainkan smartphone-nya. “Masih saja cuek, menyebalkan.” Kata Nani dalam hati. Matanya meliuk ke smartphone Ratna, kemudian mencoba mengambilnya. “Apaan? Diamlah Nan, jangan menggangguku!” Nani kembali mencobanya dan berhasil, tapi terlepas sehingga jatuh ke tanah. Untungnya, Yayu yang baru saja kembali dari membeli makanan, segera datang dan membawa Ratna dari sana. “Huh dasar! Di HP-nya pasti ada tuh semua rahasianya.” Kata Nani. *** “Terimakasih Yay, sudah repot-repot mau membantuku.”
  • 13. “Tidak apa-apa lah, itulah gunanya sahabat.” “Hmmm… seharusnya kamu jangan terlalu sering memainkan HP-mu, bersosial lah secara langsung, bukan lewat dunia maya. Lagipula tidak baik kalau sedang mengobrol dengan orang, atau ada orang yang dikenal disekitar kita, kita malah cuek, seperti memainkan HP misalnya.” “Hemh… iya Yay makasih.” *** Siang itu, seorang siswa datang ke kantin, “Wey, ada yang ketabrak tuh diluar, meninggal!” Nani dan Yayu yang sedang mengobrol, segera menuju ke tempat kejadian. Di jalan depan sekolah, mereka melihat tubuh Ratna yang bersimbah darah telah ditutupi oleh koran. “Segera hubungi polisi, ini ada yang berhasil memotret plat nomornya!” Kata seorang warga. Ketika tubuh Ratna diangkut warga ke dalam ambulans, smartphone-nya terjatuh dari saku rok. Nani yang melihat, dengan sigap mengambilnya. Dia langsung ke pinggir jalan. “Apa yang kamu lakukan? Kembalikan Nan!” Kata Yayu sambil mencengkeram lengan Nani. “Setelah melihat isinya!” Jawab Nani. Ketika dibuka, isinya hanya game, musik, dan foto-foto ayah dan ibunya yang telah lama wafat; tidak ada foto-foto lelaki atau yang lainnya.” “Selama ini tuduhanku salah.” Kata Nani. 21 September 2015
  • 14. Kunjungan Alien Pada suatu waktu di tahun 1870-an, sekelompok alien datang dengan damai ke bumi. Mereka saling bertukar barang dengan penduduk setempat. Alien memberikan beberapa peralatan canggih mereka (yang sebenarnya tidak dimengerti manusia), dan manusia memberikan barang-barang seperti pedang, senapan, meriam, bendera kerajaan, dan beberapa cinderamata. Selanjutnya mereka kembali mengunjungi bumi berkali-kali, hingga terakhir kalinya di tahun 1970. Setelah sekian lama tidak mengunjungi bumi, pada tahun 2015 mereka kembali berkunjung. Namun tidak seperti sebelum-sebelumnya, kali ini mereka kecewa. Pemimpinnya bertanya kenapa mereka kecewa. Mereka menjawab, “Kali ini penduduk bumi tidak menyenangkan seperti yang dulu…” “Kenapa?” “Mereka seperti tidak menganggap kami. Ketika kami datang, perhatian mereka hanya pada sebuah alat yang mereka pegang; ketika kami berkeliling, mereka hanya sibuk memainkan alat tersebut.” “Lalu apa yang kalian bawa dari kunjungan kali ini?” “Hanya ini…” kata salah satu dari mereka sambil menunjukkan foto-foto selfie dan groufie mereka bersama manusia. 23 September 2015
  • 15. Lembur Hari ini mungkin adalah hari yang kurang mengenakkan bagi Anton, dimana dia diharuskan lembur secara mendadak oleh bosnya. Biasanya dia diberitahu sehari sebelumnya, tapi setelah bosnya diganti oleh seorang ibu-ibu, semuanya berubah; termasuk uang lembur yang berkurang, malah terkadang telat atau tidak diberikan. Malamnya, setelah mengerjakan tugas yang bertumpuk, Anton merasa lapar. Jam menunjukkan pukul 20.30. Kebetulan sekali di ruangan itu ada Dita yang ikut lembur bersamanya. Usia Dita 5 tahun lebih muda, parasnya cantik; katanya ada beberapa karyawan yang kepincut padanya, tapi ditanggapi dengan dingin. “Mau nasi goreng, atau lebih mewah, pizza?” Tanya Anton. “Ah tidak usah repot-repot, saya makan di rumah saja.” “Hmmm… tapi nanti juga mau kan?” Dita tersenyum kecil. “Eh, pake parfum apa sih, kok gak biasanya… baunya alami gini seperti aroma bunga- bungaan, biasanya kan wangi parfum merek Versace itu deh kalo gak salah.” Dita kembali hanya tersenyum kecil. *** Setelah memakan nasi goreng yang dibeli di depan kantor, muncul bisikan-bisikan di telinga Anton sebelah kiri. “Kamu lihat perempuan itu? Tubuhnya menggairahkan, kulitnya bersih kuning terang, matanya tajam, hidungnya mancung, bibirnya tipis, dan rambutnya lurus panjang. Apakah kamu tidak tertarik untuk mencobanya?” “Tidak…” kata Anton dalam hati. “Benarkah?” Jantung Anton mulai berdegup kencang, nafasnya naik-turun, matanya terus memperhatikan Dita, otaknya mengimajinasikan sesuatu. Dia berdiri, berjalan perlahan mendekati Dita. Kembali muncul bisikan, kali ini di telinga kanannya. “Berhenti, jangan lakukan perbuatan tercela itu!”
  • 16. “Apa kamu mau saudarimu, bibimu, nenekmu, bahkan ibumu sendiri diperlakukan seperti itu?” “Dan lebih parahnya lagi, kelak istrimu kalau sudah menikah nanti?” Langah Anton terhenti, berdiri terpaku. “Kamu kenapa?” Tanya Dita. “Oh… tidak… tidak apa-apa, ini perut sepertinya kepenuhan, jadi perlu diberdirikan….” *** Keesokan paginya, Anton terpaksa izin datang terlambat ke kantor karena harus menolong tetangga yang rumahnya kebakaran. Mobil pemadam kebakaran tidak bisa masuk ke perumahan sempit itu, jadi dia harus bulak-balik mengambil air dari beberapa rumah warga. Beruntung api tidak keburu membesar, dan dapat segera dipadamkan. “Fiuh… syukurlah.” Kata Anton di ruang TV. Tak lama kemudian, ponselnya berdering. “Halo?” “Halo Anton?” “Iya?” “Kabar duka, rekan kerja kita ada yang meninggal.” “Siapa?” “Dita.” “Apa? Semalam aku lembur bersamanya…” “Hah, kamu mabok? Dini hari tadi jasadnya ditemukan warga di pesawahan, menurut Polisi dia menjadi korban pemerkosaan sekaligus perampokan.” “Sumpah aku tidak mabok, dan aku tidak pernah mabok… semalam aku lembur bersama Dita…” “Mungkin kamu lelah ketika lemburnya, jadi berhalusinasi.” “Sumpahnya, tidak!” “Ya ya ya… lebih baik sekarang kamu kesini saja.” 27 September 2015
  • 17. Tetangga Semua orang pasti mengharapkan memiliki tetangga yang baik. Apa jadinya kalau tidak memiliki tetangga yang baik? Syukur aku memiliki tetangga yang baik, tidak pernah mengganggu, hanya saja dia lebih tertutup dibandingkan tetangga yang lainnya. Dia memiliki seorang istri, seorang anak perempuan, dan seorang anak laki-laki. Suatu sore aku mendengar suara keributan dari tetanggaku itu. “Aku ingin mobil!” Kata istrinya, diikuti suara pintu yang dibanting. Benar dugaanku, yang jarang atau tidak pernah ribut, sekali ributnya, seperti gunung berapi yang lama tidak aktif. *** Selama sebulan ini, sepertinya mereka jarang berada di rumah, atau memang jarang keluar rumah. Entahlah, terkadang memberikan kesan misterius. Ketika sedang mandi, aku mendengar suara orang berbicara yang berasal dari tetanggaku itu. Aku dapat mendengarnya, karena tembok ini berbatasan langsung dengan rumahnya; ditambah ada lubang ventilasi yang berdekatan dengan genting rumahnya. Namun, suara orang yang berbicara itu tidak seperti yang sedang mengobrol, tidak terdengar suara lawan bicaranya, tapi terdengar seperti yang sedang komat-kamit. *** Pagi itu, aku melihat sebuah mobil di depan rumahnya, lalu bersama istri dan kedua anaknya, masuk ke dalam mobil dan pergi entah kemana. Mungkin liburan, karena sekarang hari Sabtu. Sabtu depannya, aku kembali melihat sebuah mobil di depan rumahnya, kali ini berbeda dengan sebelumnya. Tak lama kemudian istrinya masuk ke dalam mobil tersebut, dengan pakaian yang glamour, lalu pergi entah kemana. Baru sekarang aku melihat istrinya seperti itu, biasanya pakaiannya sederhana. Awalnya aku tidak yakin kalau tetanggaku itu memiliki dua mobil, tapi berubah ketika melihat dua mobil tersebut yang selalu bulak-balik hampir setiap harinya, ditambah mereka membeli sepeda motor sebanyak tiga unit. Satu untuk dia dan istrinya, dan sisanya masing-masing untuk kedua anaknya. Pikirku, mungkin mereka memiliki pekerjaan baru yang mengharuskan menggunakan mobil. *** Tiga bulan berlalu, pada suatu malam aku merasa sangat kepanasan, begitu pula istri dan seorang putriku. Semuanya merasa aneh, karena diluar, udara terasa normal,
  • 18. dingin. Setelah kunyalakan kipas angin dan membuka beberapa jendela, hawa panas masih terasa, namun dapat diminimalisir; semuanya kembali tidur. Sekitar pukul 2 dini hari, aku pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil; lalu aku mencium bau yang tidak sedap, bau amis yang datang dari lubang ventilasi. Selesai itu, aku naik ke atas untuk memeriksa, dan ternyata benar, bau tersebut berasal dari tetanggaku. Kuberanikan untuk mengetuk pintu rumahnya, tapi tidak ada respon. Saat kuputuskan untuk pulang, pintu terbuka, anak perempuannya keluar dan langsung memelukku. “Pak Yudi… tolong saya pak!” “Kenapa, ada apa ini?” “… ayah… ayah…” “Kenapa dengan ayah?” “Dia membunuh Ari… dan juga… dan juga… ibu….” Tangannya yang berlumuran darah mengenai bajuku. Aku langsung masuk ke dalam dan mendapati istri serta anak lelakinya terbujur kaku bersimbah darah di lantai ruangan keluarga. Tapi, aku tidak menemukan dia. Lalu aku naik ke lantai dua dan menemukannya di gudang; dia sedang berdiri menghadap dinding. Disana terdapat menyan, buah-buahan, kopi, rokok, lilin, dan benda-benda aneh lainnya. Ketika kupanggil, dia membalikkan badannya ke arahku, kulihat matanya merah, dan wajahnya gelap. Dia tersenyum padaku. 5 Oktober 2015
  • 19. Misteri Gantung Diri Brak! Suara pintu dibanting yang menggetarkan jendela, terdengar sangat jelas. Eka berlari menyusuri kamar-kamar kos di sebelah kirinya. Wajahnya terlihat merah dengan kedua matanya yang terbuka lebar. Dia mengetuk beberapa kamar, tapi tidak ada respon. Keadaan begitu sepi, seakan seluruh penghuninya tidak berada di dalam. Padahal bukan hari libur. Di depan, dia bertemu dengan Dadan, pemilik warung sebelah yang dekat dengan para penghuni kos. “Neng Eka, sore gini kok lari-lari kayak dikejar hantu, ada apa?” Eka memegang pundak Dadan. “Pak... tolong saya pak...” Nafasnya tersengal-sengal sambil menunjuk-nunjuk ke arah kosan. “Gina pak... Gina...” “Kenapa?” “Dia bunuh diri di kamar.” Beberapa saat kemudian, datang Hani, teman kuliahnya, tapi tidak ngekos disana. “Hey ada apa sepertinya ada masalah?” “Ah nanti dijelasin neng, sekarang ikut aja ke dalam!” *** Mereka bertiga berlari menuju kamar yang terletak di ujung. Dengan wajah tegang, Dadan dan Hani memasuki kamar tersebut. “Hah... mana?” Tanya Hani. Eka menggaruk-garuk kepalanya kebingungan. “Tadi disini...tadi disini dia gantung diri pake kabel!” “Tapi ini gak ada neng?” Kata Dadan. “Kamu ngelindur?” Tanya Hani. “Aku gak bohong Ni, tadi aku bener-bener ngeliat dia ngegantung disini... disini!” “Ah kamu mungkin lagi stres gara-gara kebanyakan tugas, gapunya uang, atau lagi guntreng sama si aa.” Kata Hani sambil memegang pangkal lengan kanan Eka. “Udah
  • 20. sekarang mah gini aja, kita ke warung Pak Dadan nenangin diri, tenang, ntar aku yang bayar.” *** Mereka bertiga berjalan pelan. Dadan dan Hani meliuk-liuk ke setiap penjuru. “Sepi sekali.” Kata Dadan. Wajah Eka masih tampak bingung, dia tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Hani memegang pundaknya, “Menurut penelitian, dibanding laki-laki, perempuan lebih mudah berhalusinasi ketika mengalami masalah. Itulah kenapa perempuan tidak boleh melakukan pekerjaan berat yang menguras banyak tenaga, baik pikiran maupun fisik.” Eka tidak membalas omongan Hani. “Ada juga yang bilang kalau untuk menyadarkan orang yang sedang berhalusinasi, seperti tidak merespon pembicaraan temannya adalah...” “Dengan menceburkannya ke air!” Hani mendorong Eka ke sebuah kolam ikan disampingnya. Beruntung ikan di kolam tersebut sedang tidak ada. Eka langsung bangkit dan memandang ke arah Hani sambil menyibak rambutnya yang basah menutupi mata. Dia melihat beberapa orang yang dikenalnya keluar dari kamar kos. Beberapa dari mereka membawa kertas besar yang bertuliskan: SELAMAT ULANG TAHUN YANG KE-20 EKA Kemudian datang Gina sambil membawa bolu yang sudah dipasangi lilin yang menyala. Dia menyodorkannya pada Eka yang masih terpaku di kolam. “Tiup Ka!” Kata Gina. “Liat itu zombie nyuruh niup lilin.” Kata Hani. Eka meniup lilinnya sambil senyam-senyum. “Sialan, aku lupa kalau sekarang bulan April.” Gerutunya dalam hati. “Wah konspirasi tingkat tinggi sampe ngelibatin Pak Dadan.” Kata Eka. “Hehe... maap neng...” kata Dadan. Para penghuni kos yang lain keluar dari dalam kamarnya menonton Eka sambil tertawa- tawa. Gina terus cekikikan puas meski terkadang mengusap-ngusap lehernya yang nampak merah.
  • 21. “Untung dia gak lama-lama ngeliatin aku ngegantung, kalo iya, bisa mati beneran aku.” Katanya dalam hati. 19 Nopember 2015
  • 22. Cepot dan Tentara Belanda Secepat kilat, Cepot dan Dawala terus berlari tanpa melihat ke belakang. Seekor anjing galak mengejar setelah mereka berdua mencoba mengusirnya dari pekarangan milik warga. “La, lari dimensi, lari dimensi!” Teriak Cepot. “Diam, terus lari!” Balas Dawala. Setelah melewati belokan, mereka melihat saung yang tertutupi pagar hidup, lalu bersembunyi disana. Si anjing pun kehilangan jejak, kemudian pergi entah kemana. “Aman!” Kata Cepot. Mereka berdiam diri disana mendinginkan tubuh sambil meminum lahang dari penjual yang lewat. *** Krak... dug! Terdengar suara ranting patah dan benda keras yang membentur tanah, disertai suara orang yang berbicara bahasa asing. Setelah dilihat, sekumpulan tentara Belanda sedang berkumpul di jejeran pohon kelapa yang terletak dekat perkebunan warga pribumi. Seorang bapak-bapak mendekati dan berbicara dengan mereka, tapi kemudian dibentak dan diusir. Selang beberapa menit, seorang kakek-kakek datang, dan bernasib sama dengan bapak tadi. “Kurang ajar!” Kata Cepot, “La, ayo kita marahi mereka!” *** “Mau apa lagi kau inlander!?” Sentak seorang yang berbadan kekar dan tinggi pada Cepot. “Ehm... anu... maaf kang, eh tuan... itu kan pohon kelapanya milik warga sini, jadi...” “Jadi kami tidak boleh mengambilnya, begitu?” Sambil melotot menatap kedua mata Cepot. “Ini negeri siapa, siapa yang jadi tuanmu hey, kamu tahu dimana letak Nederlands Indie?” “Di... disini tuan...”
  • 23. “Jaaah, kamu tahu itu, diatas kakimu.” “Sekarang pergi dari sini dom inlander!” Cepot dan Dawala pun meninggalkan sekumpulan tentara Belanda tersebut dan kembali ke saung. *** “Ari kamu ngajakin kayak harimau, pas ketemu malah jadi kucing.” Kata Dawala. “Emmm, kirain gak akan segalak itu, kan harus secara baik-baik.” “Iya tapi lihat situasi dan kondisi juga, mereka kan tentara.” “Sudah, sekarang giliran saya yang ngadepin bule-bule bangsat itu, mereka perlu dikasih silat!” Kata Dawala sambil mengencangkan ikat pinggangnya. Cepot tidak peduli dan membiarkan adiknya pergi sendiri. Dia malah tidur-tiduran sambil bersiul. Tidak sampai 5 menit, Dawala kembali sambil terhuyung-huyung. Wajahnya bonyok. “Eleuh... kamu gak apa-apa La?” Dawala mengacungkan jempolnya, “ba... ba... baik...” lalu jatuh ke tanah. *** Di rumah, Cepot terus berpikir bagaimana caranya untuk memberi pelajaran pada tentara Belanda itu. Dia menyandarkan badannya pada pohon sambil bermain suling. Lalu, dia teringat pada cerita Si Kancil. “Aha!” Segera dia menuju pasar yang berada tidak jauh dari sana. *** Pagi-pagi, Cepot berdandan untuk menyamarkan dirinya sebagai seorang pedagang panggul. Di dekat kamp, terlihat tentara Belanda yang kemarin, sedang bersantai sambil bermain kartu. Dengan tenang Cepot berjalan ke depannya. “Oi inlander, apa yang kau jual?” “Saya jual bumbu-bumbu masakan, tuan.”
  • 24. “Aaah, tepat sekali, kami mau bakar ikan.” “Mmm, ikannya dapat dari mana tuan?” “Eih, kenapa bertanya seperti itu? Bukan urusanmu! Yang pasti dari kolam sebelah sana.” Cepot menaikkan pundak sambil menggaruk kepalanya, “ehe... iya tuan maaf, bumbu- bumbu ini dapat melezatkan ikan-ikan yang akan tuan bakar.” “Iya pasti itu, tentu saja!” Mereka kemudian memborong semua dagangan Cepot. *** Sorenya, seorang Jenderal Belanda melakukan pemeriksaan ke kamp tersebut. Semua pasukan berkumpul di lapangan. Namun di tengah-tengah upacara, seorang tentara memegang perutnya sambil meminta izin untuk ke toilet; satu persatu diikuti pula oleh tentara yang lainnya. Beberapa kali terdengar suara kentut dan geraman perut. Upacara pun menjadi kacau. Si Jenderal kebingungan, lalu memanggil seorang kapten yang menjadi pimpinan kamp, tapi si kapten pun sama-sama menderita. Tanpa mempedulikan keberadaan sang Jenderal, semua pasukan berlarian ke belakang kamp. Dari kejauhan, Cepot cekikikan puas bersama warga setempat. 22 Nopember 2015
  • 25. Cepot Pergi ke Tasikmalaya Trak! Sebuah anak panah menancap tepat di lingkaran merah yang terletak di tengah lingkaran-lingkaran merah dan putih. “Giliranmu.” Kata Ajang. Cepot membidik panahnya, dan... Stak! Anak panah mengenai lingkaran merah yang paling luar. “Ha... meleset, coba lagi Pot!” “Ah kampret euy!” Cepot membidik panahnya lagi, kali ini tangannya sedikit gemetaran, dan... Wusss! Tiba-tiba bertiup angin kencang disertai debu dan dedaunan. Setelah reda, anak panah tersebut tidak terlihat. Kemudian mereka mencarinya cukup lama; hingga akhirnya ditemukan menancap pada seekor kambing yang tergeletak sekarat. “Waduh celaka!” Kata Cepot. “Pot kabur Pot!” Ketika baru melangkahkan kakinya, seorang bapak-bapak berbadan gendut datang dan langsung melihat kambing tersebut. Sialnya, Ajang dan Cepot menggendong panah mereka di punggung. “Kalian membunuh kambing saya!? Kurangajar!” Tidak dapat menyangkal, mereka berdua segera mengambil langkah seribu. “Wah euy... si bapak larinya kenceng!” Kata Cepot setelah meliuk ke belakang. Tanpa disadari, mereka berdua menuju sebuah tebing tinggi yang terdapat sungai di bawahnya. Pepohonan yang rimbun menghalangi pandangan. Krasss! Mereka berdua langsung menghentikan larinya, tapi sayangnya sudah terlambat. Mereka langsung terjun bebas ke bawah. Ajang jatuh terlebih dahulu membentur sebuah batu, sedangkan Cepot masih sempat melihatnya sebelum dia tercebur ke dalam air. “Jaaang!” Brusss! “Ja... a... aa... a... ng!”
  • 26. “Jaaang!” “Jaaang!” “Jaaa... jang?” Cepot memperhatikan sekelilingnya, terlihat jam dinding, jendela, tirai, dan meja. “Mimpi tadi bisa jadi pertanda, aku harus bertemu dengannya!” *** Cepot dan Dawala sedang berada di Makassar ikut ayahnya, Semar yang dinas disana. Khawatir terjadi sesuatu pada Ajang, sahabat lamanya tersebut yang tinggal di Tasikmalaya, Cepot mengajak Dawala untuk kesana, dan sekalian pulang ke Bandung. Karena perjalanan menggunakan kapal laut akan memakan waktu yang lama, maka Semar menyuruh mereka untuk naik pesawat terbang. Mendengarnya, Cepot senang bukan main karena dari dulu dia ingin sekali naik pesawat terbang. Sayangnya, dia tidak tahu bagaimana caranya bepergian menggunakan pesawat terbang; sehingga Dawala lah yang mengurusi semuanya, karena dia pernah sekali naik pesawat. Tiga hari kemudian, setelah melalui berbagai proses, mereka berdua telah berada di dalam pesawat. Suasana pesawat yang nyaman, membuat mereka tertidur selama di perjalanan. *** “Tuan, tuan,” seorang pramugari membangunkan, “pesawat telah sampai di tujuan, silahkan keluar melalui pintu belakang.” “Aaah, akhirnya sampai juga, sudah lama aku tidak makan kupat tahu Singaparna.” Kata Cepot. “Heeuh, sama, ayo kita kesana.” “Ngomong-ngomong, kenapa ya udaranya terasa panas begini?” Kata Cepot sambil mengepak-ngepak bajunya. “Perasaan Tasik tidak sepanas ini.” “Mungkin inilah yang dinamakan pemanasan global, terasa kan?” Kata Dawala. *** Di dalam gedung bandara, Cepot merasa aneh karena tulisan-tulisan yang ada tidak menggunakan bahasa Indonesia, meski ada bahasa Inggrisnya. Seragam para petugas bandara, pakaian orang-orang, dan pembicaraan yang terdengar serasa asing baginya, walaupun wajah-wajah mereka sama dengan di Indonesia.
  • 27. Dawala yang juga menyadari keanehan tersebut, menelan ludahnya dalam-dalam. “Permisi pak, saya mau tanya, kalau pintu keluar disebelah mana ya?” Tanya Cepot pada seorang petugas keamanan yang melewat. Petugas tersebut diam dan memperhatikan Cepot dengan saksama. “Pak, pintu keluar disebelah mana ya?” “Aaah, awak mesti datang dari Indonesia?” Cepot terdiam sejenak. “Iya saya Indonesia, terus kenapa?” “Selamat datang di lapangan terbang antarabangsa Kuala Lumpur kerajaan Malaya.” Cepot pun menyadari dimana dia berada sekarang. Dia tahu Kuala Lumpur. “Dawala... kéhéd! Ini bukan Tasikmalaya, tapi Malaya! Salah beli tiket!” Selesai bertengkar, mereka segera memesan tiket tujuan Tasikmalaya. Beruntung mereka diberi uang lebih oleh Semar, tapi sesampainya di Tasikmalaya, mereka tidak bisa jajan, serta terpaksa jalan kaki dan menumpang truk bak terbuka untuk sampai ke rumah Ajang. Akhirnya Cepot dapat bertemu sahabatnya itu dalam keadaan sehat. 25 Nopember 2015
  • 28. Cepot jadi Pahlawan Dadakan Grummm! Suara sepeda motor sport memecah kelengangan taman kota di sore hari. Burung-burung yang bertengger beterbangan ke langit. Dengan gagahnya Cepot melaju pelan menyusuri jalan sambil membonceng pacarnya, Tika. “Kemana lagi neng?” “Ke atas yuk, biar bisa liat pemandangan.” Cepot memacu motornya ke arah perbukitan. Tangan Tika memegang pundak Cepot untuk menjaga keseimbangan. “Enakeun euy, apalagi kalau sambil dipijitin.” Goda Cepot. “Enak aja, emangnya aku tukang pijit?” Setelah beberapa menit, mereka sampai di sebuah tebing. Dengan romantis mereka memandangi kota yang mulai berkelap-kelip lampunya. Tika mengambil ponselnya, dan... Trilit! Trilit! Trilit! Cepot terkejut, lalu berusaha menjauhkan ponsel tersebut dari telinganya. Tapi Tika mendekatkannya lagi. Suaranya sangat keras, membuat telinga cepot berdenging. Meski cepot berusaha menjauhkannya kembali dan protes, Tika seakan tidak peduli, dia terus mendekatkannya ke telinga Cepot. Trilit! Trilit! Trilit! Trilit! Trilit! Trilit! Trilit! Trilit! Trilit! “Aaah!” Ternyata itu semua hanya mimpi. Tepat di dekat telinga kanannya, ponsel Cepot berbunyi. Di layar terpampang gambar bel dan tulisan hari Sabtu pukul 10.32. “Oh sial!” Tanpa berlama-lama lagi dia langsung bangkit dari kasurnya. *** “Tidak ada alasan, cepat kesini!Sudah telat setengah jam lebih, janjian macam apa ini?” Kata Tika melalui ponsel.
  • 29. Cepot mencari sepeda motor sport-nya, tapi tidak ada. Yang ada hanyalah sebuah sepeda motor bebek, itupun spatbor belakangnya belumterpasang, dan bensinnya hampir kosong. “Dawala, kéhéd, motor aing!” Gerutu Cepot. *** Di pom bensin, Cepot membuka dompetnya yang berisi STNK, SIM, dan tiga lembar uang 10 ribu. “Aduh lupa... sial... sial!” Dia tidak punya pilihan lain selain melanjutkan perjalanan, karena jika balik lagi ke rumah, akan membuat dia lebih terlambat, belum lagi jalanan yang macet. Dengan kemampuan “selap-selip” nya, Cepot dapat menembus mobil-mobil yang menutupi jalan. Tapi karena kurang teliti, dia menuju jalan yang salah. Ketika akan berbalik arah, tiba-tiba datang sebuah sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Triiit! Hampir menabrak roda depan sepeda motor Cepot, si pengendara banting stang ke kanan, membentur tembok rendah, kemudian terpental ke semak-semak. Beruntung masih hidup, hanya mengalami memar-memar. Cepot yang terkejut langsung terjatuh. Beberapa saat kemudian, datang tiga orang mengendarai sepeda motor. Seorang bapak-bapak langsung menghampiri Cepot, sedangkan yang lainnya segera mendekati pengendara tadi. “Terimakasih jang, berkat dirimu, kami selamat! Kamu tidak apa-apa?” “Iya pak gak apa-apa, tadi cuman kaget aja.” Bapak tersebut terdiam sebentar menatap wajah Cepot, kemudian membuka dompetnya, dan memberikan 5 lembar uang 100 ribu. “Ini untuk kamu sebagai balasannya menjadi pahlawan kami.” “Mmm... maksudnya... saya jadi pahlawan apa?” “Orang itu telah mencuri data-data penting perusahaan kami, dan juga uang 100 juta. Kalau dia berhasil membawanya, perusahaan kami bisa bangkrut, tapi berkat kamu... kami selamat. Terima kasih.” Cepot langsung berlagak sungkan, walau sebenarnya dia ingin segera meraih uang 500 ribu itu dari tangan si bapak. “Oh... iya, sama-sama pak.”
  • 30. *** Sesampainya di depan sebuah warung, dia melihat Tika sedang menunggu. Dengan percaya diri sambil senyam-senyum, Cepot menghampirinya. Tika memarahiCepot habis-habisan. Cepot hanya diam saja seperti murid yang sedang diceramahi gurunya. Setelah reda, Cepot mengeluarkan jurus “pendingin amarah wanita” nya dengan mengeluarkan kata-kata manis. Lalu Cepot memperlihatkan isi dompetnya dan berkata, “neng, kita ke danau yuk. Aa tadi jadi pahlawan dadakan dan dapet ini.” Mata Tika langsung terbuka lebar, “hayu atuh!” “Hehehe...” Cepot tersenyum lebar. 26 Nopember 2015
  • 31. Lelaki yang Gantung Diri Brak! Sebotol minuman bersoda jatuh ke lantai. Seorang lelaki segera mengetuk-ngetuk pintu kamar disebelahnya, dan kamar yang lainnya, tapi tidak ada tanggapan. Lalu dia berlari menuju halaman depan. “Kang Yana kenapa kok lari-lari kayak dikejar setan?” Tanya Arif, bapak penjaga kos. “Dedi pak... Dedi...” “Kenapa dengan kang Dedi?” “Dia... dia gantung diri di kamar...” “Waduh... kok bisa? Ayo kita periksa!” Saat hendak melangkah, datang Lalan, teman sekelas Yana, tapi tidak ngekos disana. “Ada apa ini, sepertinya ada masalah?” “Ah nanti dijelasin kang, sekarang ikut kami aja ke dalem!” *** Di dalam kompleks kos, Lalan melihat kesana-sini. Suasana kosan begitu sepi, tidak ada seorangpun yang terlihat selain mereka bertiga. “Aneh, kok sepi sekali ya? Padahal sekarang hari Rabu.” Kata Lalan. Sampai di depan pintu kamar, mereka terdiam sejenak saling berpandangan satu sama lainnya dengan tegang. Arif membuka pintu. “Lah... gak ada siapa-siapa kang?” Yana menggaruk-garuk kepalanya, “ta ta tadi dia disini, ngegantung pake kain... disini!” “Yakin kang gak salah lihat? Tapi ini gak ada, bekasnya juga enggak.” “Mungkin kamu berhalusinasi Yan.” Kata Lalan. “Aku tidak berhalusinasi! Aku...” “Sudah, kita ke warung depan aja dulu buat nenangin diri, tenang aku yang bayarin.” ***
  • 32. Mereka bertiga berjalan pelan. Arif memperhatikan satu persatu kamar kos yang masih sepi seakan ditinggal penghuninya. “Menurut ahli psikologi, permasalahan hidup bisa membuat stres, dan terkadang stres dapat membuat penderitanya berhalusinasi.” Kata Lalan sambil memegang pundak Yana. “Ya... mungkin kamu stres karena masalah kuliah, masa depan yang masih gelap, krisis keuangan, masalah keluarga, masalah teman, dan... masalah perempuan, ya, biasanya laki-laki begitu rapuh ketika bermasalah dengan perempuan.” “Jadi... apa masalahmu dengan si dia?” Yana hanya diam dengan tatapan kosong ke depan. “Mmm... katanya untuk menyadarkan orang yang berhalusinasi adalah...” “Mmm...” “Dengan menceburkannya ke kolam yang berisi air!” Sekuat tenaga Lalan mendorong Yana ke sebuah kolam ikan di sampingnya. Beruntung ikan-ikannya sedang tidak ada. Yana segera bangkit dan memandang ke arah Lalan sambil menyibak rambutnya yang basah menutupi mata. Dia melihat pintu-pintu kamar terbuka, kemudian beberapa orang yang dikenalnya keluar dari dalam. Mereka berdiri didekat kolam sambil tertawa-tawa, dan membentangkan kertas besar yang bertuliskan: SELAMAT ULANG TAHUN KE-20 YAN! Kemudian datang Asti, pacarnya, sambil membawa bolu yang sudah dipasangi lilin yang menyala. Dedipun muncul. “Hey lur, maaf tadi udah bikin kamu kaget! Hehehe...” “Kalian harusnya ngeliat gimana ekspresi muka dia waktu ngeliat aku ngegantung, hahaha!” “Liat tuh zombie lagi ngomong.” Kata Lalan menunjuk ke Dedi. “Sialan, aku lupa kalau sekarang bulan April.”Kata Yana. “Koplok, ini konspirasi tingkat tinggi sampe ngelibatin pak Arif!” “Hehehe... maaf atuh kang!” Dedi cekikikan puas sambil mengusap-ngusap lehernya yang tampak merah. “Untung dia gak lama-lama ngeliatin aku ngegantung, kalo iya, bisa mati beneran aku.” Katanya dalam hati. 27 Nopember 2015
  • 33. Perempuan Selalu Benar Suatu hari, ibu guru bahasa Inggris kelas XI akan mengadakan ujian. Semua siswa diwajibkan membawa kamus. Maman yang hanya memiliki kamus Inggris-Indonesia ---karena kamus Indonesia- Inggris lamanya rusak--- berniat membeli kamus baru. Sebelum berangkat ke toko buku, dia meminta saran pada temannya, Yuda, tentang kamus yang bagus. *** Ujian pun tiba, setiap murid disuruh ke depan dan menulis di papan tulis, menerjemahkan bahasa Indonesia ke Inggris. Kini giliran Maman maju kedepan. “Oke Maman, terjemahkan ini...” “Di Amerika Serikat, menyetir mobil di lajur kiri adalah salah, yang benar adalah di lajur kanan.” Maman membuka kamus, dia hampir berhasil menyusun kalimatnya, tapi kemudian kebingungan. “Kenapa Man, ada masalah?” “Oh ini bu lagi nyari...” Maman membolak-balik kamusnya. “Waktunya habis, silahkan duduk. Selanjutnya, Mila maju ke depan.” *** Ketika istirahat, Dani, Jaka, dan Maman berkumpul di kantin. “Sayang sekali kamu Man, padahal tinggal sedikit lagi.” Kata Jaka. “Emang kenapa sampe ngebolak-balik gitu, gak ketemu katanya, atau gimana?” “Iya aku nyari kata 'salah' kok gak ada.” “Oh ya?” Kata Dani. “Coba lihat kamusnya.” Dani mengamati setiap halaman, dari awal sampai akhir. Kemudian sampul depannya. “Pantes...” “Kenapa Dan?” “Perempuan selalu benar...”
  • 34. “Maksudnya?” “Lihat penyusunnya alias pembuatnya, tiga orang bersaudari.” “Apa hubungannya?” “Ya, karena pembuatnya perempuan, tiga orang lagi; mereka tidak memasukkan kata 'salah' karena perempuan selalu benar. Coba lihat ini, kata 'benar' ada, sedangkan kata 'salah' tidak ada. Mustahil salah cetak, ini sudah cetakan ke-3.” “Kamu benar Dan...” kata Maman sambil bengong. “Lain kali aku beli yang pembuatnya laki-laki.” 29 Nopember 2015
  • 35. Orangtua Selalu Benar Pagi itu, setengah berlari Agus menuju sebuah ruangan yang terletak di pojok lorong gedung. Sampai di depan pintu, dia melihat seorang bapak-bapak bertubuh tinggi besar sedang duduk di kursi depan kelas. “Pagi pak, maaf telat.” “Silahkan duduk Gus.” Pak Domo, itulah nama dosen tersebut. Selain mengajar mata kuliah Matematika di kelasnya saat ini, dia juga mengajar mata kuliah Fisika dan Statistika di kelas lainnya. “Yang lainnya kemana Gus?” Tanya pak Domo sambil membagi-bagikan kertas soal ujian. “Gak tau pak, gak liat sama gak ada kabar.” Melihat soal ujian tersebut, Agus terpana sambil menggaruk-garuk kepalanya. *** Satu jam lewat lima belas menit pun berlalu. Belum ada satupun soal yang dijawab Agus. Matanya tampak berat, dan rambutnya acak-acakan. Waktu yang tersisa tinggal lima belas menit lagi. Pak Domo merogoh saku bajunya, “halo?” Lalu berjalan keluar kelas. Sampai 5 menit dia belum kembali. Agus segera memanfaatkan kesempatan tersebut dengan menghampiri Fikri dan Nida. Tanpa basa-basi dia langsung menyalin apa yang ada di kertas jawaban mereka berdua. *** Minggu depannya ketika bertemu kembali dengan kuliah Matematika, pak Domo memberikan kertas jawaban ujian pada Agus. “Nyontek darimana Gus?” Jantung Agus langsung berdetak kencang. “Anu pak... mmm...” “Ini kok jawabannya dari nomer 1 sampai 10 sama dengan Fikri, sisanya dari 11 sampai 20 sama dengan Nida?” “Yang lainnya juga jawabannya ada yang sama, tapi kayaknya cuman kamu aja yang nyontek ke Fikri sama Nida, kenapa Gus? Padahal jawaban mereka juga banyak yang salah.”
  • 36. “Itu pak... mmm...” “Iya Gus?” “Soalnya mereka kan suami-istri dan udah punya anak, saya kira jawaban mereka bakalan benar semua, soalnya kan orangtua selalu benar.” PakDomo mengangkat tinggi alisnya. “Kata siapa itu Gus?” “Kata ibu saya pak...” “Hmmm...”pak Domo mendekati Agus, kemudian mengangkat jempolnya tepat di depan muka Agus. “Benar sekali Gus, seratus buat kamu!” “Besok ke ruangan samping laboratorium komputer ya, remedial!” “Aduh pak...” Agus menempelkan tangannya ke jidat. 2 Desember 2015
  • 37. Pelesetan Transformers: Kejeniusan Megatron Suatu hari, Decepticon mendatangi Jakarta untuk mencari Sam yang kabur dari Amerika Serikat. Sam memegang sebuah kacamata yang menyimpan koordinat lokasi The Cube. Setelah penyamarannya terbongkar oleh aksi konyol agen Sector Seven yang dipimpin oleh Simon, Decepticon membuat kerusakan disana-sini. Autobot segera datang untuk melawan, tapi mereka dapat dipojokkan. Pasukan Indonesia yang datang pun berhasil dihancurkan dengan mudah. Ketika Megatron akan membunuh Optimus, senjata di tangannya tiba-tiba macet. Kemudian dia melihat ke lubang senjatanya sambil dikocok-kocok. Duar! Senjata pamungkas tersebut meletus dan meledakkan kepala Megatron berkeping- keping. Peluru energinya tembus hingga mengenaidada Starscream yang berdiri di belakangnya. Duar! Dada Starscream pun meledak. Kedua pentolan Decepticon tersebut langsung rubuh ke tanah tak bergerak lagi. Melihat keduanya mati, anggota Decepticon yang lain menjadi kalang kabut. Optimus segera mengambil kesempatan, dan langsung menghajar para Decepticon, diikuti oleh Autobot lainnya. Akhirnya semua Decepticon dapat dihabisi. Dunia terselamatkan. Sam dan Mikaela yang dari tadi menonton dari kejauhan segera datang ke TKP. “Waw... kukira Megatron benar-benar jenius.” Kata Sam. 4 Desember 2015
  • 38. Pelesetan Batman: 'Blunder' si Joker Malam itu, markas Joker diserang oleh Batman, Robin, dan Batgirl. Pasukan Joker berhasil membunuh Robin dan Batgirl, tetapi Batman dapat menghabisi mereka semua hingga tersisa Joker saja. Sebelum berhadapan dengan Batman, Joker mendengarkan rekaman seorang agen mata-matanya yang memberitahu kelemahan Batman. Di atap gedung, Joker beradu jotos dengan Batman. Tentu saja Joker bukan tandingan Batman. Berkali-kali Joker melayangkan pukulannya, tapi tidak berefek sama sekali; sebaliknya, dengan mudah Batman mendaratkan bogemnya yang membuat Joker kelabakan. Meskipun demikian, Joker terus tertawa. Batman melempar Joker hingga hampir terjatuh dari gedung, tapi dia memegang kerah bajunya. Joker sudah tahu dengan kebiasaan ini, dia tahu Batman tidak akan pernah membunuh musuh-musuhnya. “Ada kata-kata terakhir?” Tanya Batman. “Ada! Tapi pertanyaan...” “Katakan!” “Kapan nikah?” “Hah, aku sudah kebal dengan itu, yang lain!” “Baik...” “Apa kelemahan Superman?” “Batu kripton!” “Terlalu mudah, berikan pertanyaan yang lebih sulit!” “Hmmm... baiklah...” Joker mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, “berbicara tentang batu kripton, kamu tahu ini apa?” Batman memandang tajam ke tangan Joker. “Apa? Aaah... tidaaak!” “Hehehehehe... kenapa Man?” “Sialan kau Joker! Jangan buah peria itu! Aaargh!”
  • 39. “Hahaha...”Joker tertawa puas, “kamu sama seperti Superman, sama-sama superhero yang memiliki kelemahan!” “Tidak... Joker, plis!” Batman melepaskan pegangannya. Membuat Joker langsung terjatuh dari puncak gedung 10 tingkat tersebut. “Oh sial...” kata Joker. Duak! Tubuhnya menghantam beton. Dia langsung tewas. Belum cukup sampai disitu, sebuah truk pengangkut sampah melewat dan... craaak! Tamatlah riwayatnya. 5 Desember 2015
  • 40. Gadis Itu Bernama Srat! Tepat di depan Beni, seorang pengendara sepeda motor menjambret tas milik seorang ibu-ibu pejalan kaki. Ibu-ibu tersebut berteriak minta tolong, namun keadaan yang sepi membuat si penjambret leluasa kabur. Masih dalam pandangan, Beni langsung memacu kencang sepeda motornya. Hingga daerah keramaian, Beni masih bisa melihatnya; namun si penjambret berhasil lolos setelah memasuki wilayah pemukiman. Tidak bisa menemukannya, Beni memilih pulang; tapi bensin yang hampir kosong mengharuskannya mampir dulu ke sebuah SPBU. Di SPBU, dia malah jengkel karena antrian yang panjang, dan adanya orang-orang 'elite' yang tidak mengantri, ditambah asap dari sebuah truk pabrik. Tiba-tiba matanya kemudian tertuju pada seorang gadis yang sedang berdiri di ujung. “Cantik sekali...” Hatinya yang tadi sumpek, seketika menjadi adem. *** Dua hari kemudian, Beni kembali melalui jalan tadi untuk memata-matai jika jambret tersebut muncul lagi. Masih penasaran dengan si gadis, dia menuju SPBU kemarin. Betapa senangnyaBeni dapat melihat kembali si gadis. Dia ingin berkenalan, tapi belum berani. Keesokan harinya pun sama, hanya melihat dari kejauhan sambil mengagumi pesonanya. *** Hari keempat, Beni memberanikan diri untuk berkenalan dengan si gadis. Tapi sayangnya gadis tersebut tidak ada disana. Hari kelima dan keenam, masih belum menyerah, dia kembali kesana, tapi gadis tersebut masih tidak ada juga. Hari ketujuh semangatnya hampir hilang, tapi menyerah bukanlah pilihannya. Di hari ini akhirnya dia dapat melihat si gadis. Beni turun dari sepeda motornya, lalu menghampiri si gadis. Rambutnya yang sedikit acak-acakan dia rapikan oleh tangannya. “Sore neng.” “Sore juga, ada apa?”
  • 41. “Sa... saya... saya Beni.” “Siapa ya?” “Iya saya Beni... ummm... cuman mau kenalan aja.” “Kenalan? Apa ada yang penting sekali?” “Pengen tau aja namaeneng siapa, he...” “Hmmm, saya Nurlaela.” “Oh Nurlaela... dipanggilnya apa?” “Lela.” “Eh... ehm... neng Lela, selama ini saya suka merhatiin eneng terus. Neng itu cantik, anggun, kulitnya bersih terang, menimbulkan semacam perasaan sejuk gitu di hati saya.” “Oh makasih, tapi ini judulnya acara gombal seperti di TV atau ngerayu gitu ya?” “Enggak... hehehe... pengen kenalan aja....” “Ngomong-ngomong, neng sepertinya sering sekali ada disini ya, ngapain sih neng?” Nurlaela tersenyum kecil. “Nungguin seseorang.” “Seseorang? Waduh... udah punya pacar dong? Atau jangan-jangan, udah punya suami?” “Enggak, saya sendiri kok, orang masih 19 tahun juga.” “Owh, lebih tuaan saya dong.” “Hmmm... gitu ya?” “Iya, hehe... jadi, nungguin siapa dong neng?” “Saya lagi nungguin...” “Ummm...” “Nungguin temen saya tuh baru beres jam kerjanya, sekarang giliran saya yang kerja.” “Kerja apa gitu neng?” “Ngeladenin orang yang mau ngisi bensin lah, kan saya kerja disini, gimana sih akang ini.” “Oh iya yah...” Beni menggaruk-garuk kepalanya.
  • 43. Mobil Baru si Bagja Sore itu sehabis kerja, Bagja mengendarai mobil sedannya yang baru saja dia beli. Saking senangnya, dia bernyanyi-nyanyi sambil menyetel musik Rock n' Roll kesukaannya. Suara raungan gitar dan vokal yang melengking memenuhi mobil yang hanya diisi oleh dirinya sendiri. Saat memasuki daerah pemukiman penduduk,tiba-tiba, mesin mobil tersebut mati. Coba dihidupkan kembali, tidak bisa; dicoba berkali-kali lagi, masih tetap tidak menyala. Diperiksa mesinnya, semua tampak baik-baik saja. Roda, ban, dan rem pun tidak ada yang bermasalah. Bagja kebingungan, dia melamun. Diluar hujan turun dengan cepat. Di dasbor, terdapat sebatang coklat pemberian kekasihnya yang menutupi panel kemudi, dia tersenyum. Ketika sedang mengunyah coklat tersebut, matanya tertuju pada panel indikator bahan bakar yang merah menyala, menandakan bahwa tangkinya kosong. “Aduh!” Bagja menepuk dahinya,” lupa... pantas mesinnya mati....” Terpaksa dia harus meminta tolong pada warga sekitar untuk menderek mobilnya ke sebuah SPBU yang letaknya cukup jauh dari sana. 9 Desember 2015
  • 44. Mobil Misterius Pagi itu para warga berkumpul di rumah pak Wisnu, membahas tentang mobil misterius yang kerap muncul di malam hari. Misterius karena mobil tersebut berjalan sendiri tanpa ada seorangpun di dalamnya, dan selalu muncul di malam hari. Meskipun tidak mengganggu, tetap membuat warga resah dan penasaran. Haris, seorang pemuda yang masih orang baru di kampung itu, sangat antusias dengan masalah ini, karena di kampung lamanya pernah terjadi kasus serupa, yaitu delman hantu yang berjalan tanpa ditarik kuda dan tidak ada orangnya. Malam Jumat, Haris dan para pemuda melakukan ronda malam. Mereka menanti kehadiran mobil misterius tersebut. Namun hingga adzan shubuh berkumandang, tidak juga muncul. Esok malamnya pun masih samahingga malam Senin. Yang muncul hanyalah sebuah mobil berisi sekumpulan anak muda glamor yang hendak pesta ke kota. Malam Rabu minggu depan, ketika sedang tidur, Haris dibangunkan oleh temannya bahwa mobil misterius tersebut muncul di jalan dekat lapangan sepak bola. Secara sembunyi-sembunyi, para pemuda mengawasi mobil tersebut perlahan melaju mengelilingisekitar lapangan, kemudian masuk ke lapangan. Lampu jalan yang menembus kaca depan, menunjukkan tidak ada seorangpun di dalamnya. Setelah itu mereka memutuskan untuk mendekatinya. Tanpa diduga, mobil tersebut menabrak salah seorang pemuda hingga terpental; membuat mereka marah lalu menendang, memukul, dan menggoyang-goyangkan mobil tersebut. Namun itu malah membuat mobil terus melaju hingga tertahan oleh pepohonan. Tiba-tiba, muncul dua orang lelaki muda berkacamata. “Tunggu! Tahan! Jangan rusak mobil itu!” “Siapa kalian?” Tanya Haris. “Kami pegawai perusahaan yang sedang menguji mobil yang dikendalikan dari jarak jauh oleh komputer.” “Haaah?” Kata yang lainnya. Setelah mendengar penjelasan dari kedua lelaki berkacamata tersebut, Haris dan pemuda lainnya memutuskan untuk bubar. Akhirnya teka-teki mobil misterius yang selama ini menghantui kampung tersebut, selesai sudah. “Uh dasar perusahaan, bikin percobaan di daerah orang lain seenaknya saja gak bilang- bilang dulu!” Gerutu Haris. 10 Desember 2015
  • 45. Piring Terbang Ketika aku sedang asyik ngumpul bareng teman-teman sambil ditemani pisang goreng dan kopi di saung dekat sawah, tiba-tiba datang si Boni yang berlari seperti dikejar hantu. “Buuud! Buuud!” “Wow wow wow... tenang... tenang... kenapa Don?” Tanyaku. “Disana ada piring terbang Bud!” “Eeeh... piring terbang, apa yang kamu bicarakan?” “Lebih baik kita kesana sekarang dan melihatnya!” Kata Boni. Kami sampai didekat sebuah rumah yang memiliki kebun yang luas. Aku melihat ke langit, tidak ada apapun, selain warna birunya dan awan-awan putih. Dari sebuah pintu belakang rumah tersebut, tiba-tiba muncul sebuah sendok yang melayang, kemudian garpu, kemudian mangkuk, kemudian... piring! Melihat kami, seorang ibu-ibu di dalam rumah tersebut langsung marah dan mengarahkan lemparannya kepada kami. Beberapa saat kemudian datang seorang ibu-ibu lain. “Sudah, jangan diganggu, pergi dari sini, ibu itu lagi stres gara-gara mobilnya yang baru dia beli seminggu yang lalu, hilang waktu diparkir di pasar.” “Eih... apa?” Kataku. Setelah itu kamipun kembali ke saung. Kukira piring terbang alien, eh ternyata piring makan yang diterbangkan oleh ibu-ibu stres. 11 Desember 2015
  • 46. Pelesetan Superhero Amerika: Rahasia Kostum Wonderwoman Tiga orang superhero ternama kelas dunia sedang bersantai di sebuah bar di kota New York. Mereka adalah Batman, Superman, dan Wonderwoman. “Ngomong-ngomong, kenapa sih kalian pake celana dalemnya diluar, terus pake sayap lagi?” Tanya Wonderwoman. “Kalo aku sih pake celana dalem diluar cuman masalah estetika aja biar keliatan kuat kayak binaragawan gitu; terus sayap juga sama, biar ada wibawanya, kebayang kan kalo aku gak pake sayap? Kayak kepala tanpa rambut.” Jawab Superman. “Aku juga sama, cuman kalo buat aku, sayap ada fungsi buat ngelindungin badan dari dingin, kan aku kerjanya malem-malem; juga buat nyembunyiin peralatan rahasia juga.” Kata Batman. “Nah, kamu sendiri kenapa kostumnya seksi banget kayak mau renang?” Tanya Superman. “Hmmm... kalian mau tau?” “Karena dengan kostum seksi seperti itu yang nakal, bisa bikin musuh yang cowok pikirannya jadi ngeres, pikiran ngeres kan jadi kacau fokusnya, fokus kacau jadi gampang kan ngurusinnya? Lah itu rahasia umum kali.” “Ooo... begitu....” kata Batman dan Superman. 15 Desember 2015
  • 47. Nasib si Reaktor Sebagai orang yang berkecimpung di bidang Teknologi Informasi (TI), tas punggung berisi Laptop, Smartphone, dan pakaian rapih adalah yang harus ada pada diri Arif; menjadikannya semacam seragam yang mesti dikenakan setiap hari, termasuk ketika sedang jalan-jalan. Ketika sedang bersantai di sebuah kios kue alun-alun kota, dia melihat seorang perempuan muda sedang berlari mengejar seorang lelaki berbadan besar yang memegang sebuah tas berwarna merah. “Itu pasti jambret, aku harus menolongnya!” Arif menitipkan barang-barangnya pada pemilik kios, kemudian mengejar lelaki tersebut. Ketika tepat berada puluhan sentimeterdi belakangnya, Arif segera loncat dan menahan kedua kakinya, membuatnya langsung terjatuh dengan posisi dada dan muka membentur tanah hingga berdarah. “Aha, kena kamu! Sekarang kembalikan tas itu!” Beberapa saat kemudian datang sekelompok lelaki yang bukannya membantu Arif, tapi malah menghajarnya. Duk! Duak! Kapow! “Bentar... ben... bentar... tahan dulu! Kenapa malah saya yang dihajar, saya kan mencoba menolong perempuan itu darijambret ini?” “Menolong? Kamu mengacaukan semuanya!” Kata seorang lelaki berkemeja hitam, “Adegannya, pemainnya, dan waktunya; kami sedang membuat film, kamu tidak lihat?” Arif melihat sekelilingnya, ada sejumlah kru film beserta peralatannya. Semua orang hanya menatapnya kosong. Dia tidak bisa berkata apa-apa lagi selain 'maaf'. Sambil tertunduk dengan mukanya yang lebam-lebam, dia kembali ke kios, lalu pulang ke rumahnya. 17 Desember 2015
  • 48. Sosok Misterius Sitanggu adalah kampung yang terletak di daerah yang menanjak. Alam pegunungan membuat suasananya sejuk. Seorang pemuda bernama Agum sedang berkumpul bersama teman-temannya di sebuah warung, menikmati udara pagi yang masih gelap sambil ditemani kopi, rokok, dan gorengan. Dari atas, terdengar suara mesin truk, kemudian... Krak... Kress... Krats... Duaaar! Suara ranting-ranting patah dengan cepat disusul oleh suara ledakan yang sangat keras seperti bom, memecah kesunyian dengan dahsyat. Warga langsung keluar dari rumahnya. Dari jalan sebelah atas, terlihat nyala api yang sangat terang disertai asap hitam pekat membumbung ke udara. Agum dan warga berduyun-duyun menuju lokasi kejadian. Disana, di samping kiri jalan yang merupakan jurang, terdapat sebuah truk tangki bahan bakar minyak yang sedang terbakar hebat. Bagian depannya nyaris tidak berbentuk lagi. Hingga beberapa menit berlalu, api masih menyala besar akibat pepohonan lebat disekitarnya yang ikut terbakar. Belum ada warga yang berani turun. Pemadam kebakaran pun dipastikan lama tibanya karena letakkampung yang jauh dari kota. Dari api yang membara, muncul sesosok tubuh yang terbakar berjalan luntang-lantung. Kebetulan hanya Agum dan seorang temannya yang melihat. Mereka berdua segera turun ke bawah. Sempat mencari-cari sebentar di rerimbunan pohon, akhirnya mereka menemukan sosok tersebut di bibir sungai sedang bersiap menceburkan diri, kemudian... Cebur! Api yang melahap tubuhnya seketika hilang. Betapa terkejutnya Agum ketika dia bisa melihat dengan jelas sosok tersebut adalah seorang laki-laki tampan bertubuh atletis. Tapi yang lebih mengejutkannya adalah tidak ada sedikitpun bekas terbakar di tubuhnya. “Woi kalian kok malah bengong, bukannya nolongin... saya pinjem pakaian boleh gak, pakaian saya tadi abis kebakar, kalian lihat sendiri kan? Jangan khawatir, nanti saya kembaliin.” Teman Agum segera naik ke atas menuju rumahnya. “A... a... aku... aku gak percaya dengan ini... si... siapa kamu? Harusnya kamu udah mati... tapi tidak ada luka sedikitpun?” “Nanti saya jelasin kalo udah pake baju.”
  • 49. Teman Agum pun datang sambil membawakan pakaian dalam, celana, dan kaus. “Baiklah, tapi cuman kalian aja yang tahu, oke!” Agum dan temannya mengangguk. “Saya Superman....” “Sup apa?” Tanya Agum. “Superman.” “Apa? Bagaimana mungkin kamu ini Super...” “Kalian liat aku enggak apa-apa kan walaupun udah kebakar api, masih belum percaya?” “Ya aku percaya...” “Tapi, kalau memang benar kamu Superman, ngapain kamu disini, bukannya pekerjaan kamu itu wartawan, dan pacar kamu itu Lilis eh Luis maksudnya?” “Ya... itu dua tahun yang lalu, sekarang saya jualan baju. Kebetulan tadi saya lagi lari pagi, karena sambil dengerin musik dan mata merem, gak nyadar dari depan itu truk langsung nabrak saya, mungkin remnya blong. Sadar-sadar udah kebakar, sial banget kan?” Setelah bercakap-cakap cukup lama, Superman langsung terbang pulang ke rumahnya. Tidak ada warga yang melihat karena hari masih cukup gelap. 17 Desember 2015
  • 50. Ayah di Langit Siang itu Talita berjalan pelan keluar dari gerbang sekolahnya sambil sesekali mengusap air mata yang membasahi pipinya. Pandangannya tertuju pada tanah dibawah yang basah setelah diguyur hujan. Teman-temannya berjalan melewati, bersama ayah dan ibu masing-masing. Di rumah, dia termenung sendiri di kamar, sambil memandangi langit sore lewat jendela. Lasri, pembantu yang sekaligus tetangganya, pamit untuk pulang. Beberapa menit kemudian, sebuah mobil sedan putih tiba di depan pagar rumah, ibunya pulang. “Dedek, mamah pulang!” Sambil membawa sebungkus roti kukus. Biasanya dia akan langsung memakannya, tapi sekarang tidak. “Dedek kenapa cemberut begitu?” Dia masih terdiam memandang keluar jendela. “Mah...” “Iya sayang?” “Kenapa mamah tadi pagi tidak datang ke sekolah Lita? Teman-teman datang ke sekolah bersama ayah ibunya.” “Dan... mamah... ayah Lita siapa, teman-teman yang lain punya ayah?” Ibunya mendekat lalu memeluknya. “Maafkan mamah sayang, tadi mamah kira pekerjaan di kantor bisa dilewat, tapi ternyata tidak, mamah menyesal sekali. Dan... tentang ayah, sebenarnya Lita juga punya ayah; dia orangnya baik, pintar, dan tampan. Tanpanya, Lita tidak akan pernah lahir. Mata Lita juga sama dengan mata ayah.” “Sekarang dia ada dimana, kenapa Lita belum pernah bertemu?” Tanyanya pelan. “Ada... ayah ada... tapi sekarang dia sedang berada di langit. Dan suatu hari nanti kita akan bertemu ayah disana.” “Di langit... apa yang sedang ayah lakukan di langit?” “Dia... dia sedang berbahagia sekarang, dan terkadang dia melihat kita dari sana. Sekarang, makan dulu nih rotinya ya.” Kemudian Talita memakan roti kukus tersebut. ***
  • 51. Keesokan harinya di sekolah, Talita terlibat pertengkaran dengan beberapa temannya; hingga salah seorang dari mereka menyinggung tentang ayahnya. Sepulang sekolah, Talita menangis sendiri di taman dekat sekolah. Seorang guru yang kebetulan melewat menghampirinya, kemudian mengobrol sebentar, lalu mengantarnya pulang. “Mamah, aku benar-benar ingin bertemu ayah! Jangan bohong ayah ada dimana!” “Mamah tidak bohong dek, dia ada dilangit. Sekarang mamah harus pergi, ada pertemuan dengan klien!” Kata ibunya sambil sesekali menjawab obrolan di telepon genggam. Kemudian dengan terburu-buru menuju halaman depan, lalu pergi mengendarai mobil. Tinggal dia dan Lasri berdua di rumah. *** Sore itu, Lasri berada di kantor polisi, duduk menghadap seorang lelaki yang menginterogasi dirinya. Sementara itu di ruangan lain, ibu Talita sedang menangis. “Ketika saya sampai disana, dia sudah berada di atas tembok, kemudian ketika saya berteriak menyuruhnya turun,dia malah meloncat sambil berusaha menggapai langit.” Jawab Lasri sedikit gemetaran. “Apa ada kata-kata yang dia ucapkan sebelum jatuh?” Tanya penyidik. “Ada, sebelumnya saya tanya apa yang sedang dia lakukan disana, dia menjawab ingin bertemu ayahnya di langit, kemudian meloncat dan... jatuh.” Sebelumnya, siang itu Talita ditemukan tewas di halaman belakang setelah terjatuh dari atap rumahnya. 9 Januari 2016
  • 52. Hari yang Aneh Mobil sedan berwarna perak itu berhenti di depan sebuah gedung rumah sakit yang sudah ditinggalkan. Dilihat dari arsitekturnya, berasal dari tahun 1970-an. Cuaca yang mendung membuat suasana menjadi gelap meski hari masih jam 2 siang. Arman dan seorang temannya keluar dari mobil, lalu masuk ke gedung tersebut. Di dalam, mereka menemukan hampir semua perabotan masih utuh, meski telah tertutup debu dan sarang laba-laba. “Sepertinya rumah sakit ini ditinggalkan begitu saja.” Kata teman Arman. “Benar, bisa dibayangkan kepanikan saat itu.”Balas Arman. Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki yang berlarian menggema ke seluruh ruangan. “Ya ampun, suara apa itu?” Kata Arman. “Sepertinya ada yang tidak beres, ayo kita...” Belum selesai temanArman berbicara, duak! Pintu di belakang terbuka. Muncul banyak orang berpakaian compang-camping berlarian ke arah mereka berdua sambil berteriak, “tolong!” “Aaah tidaaak!” Teriak Arman. Dia terbangun dari tidurnya. “Sialan, ternyata hanya mimpi!” Dia melihat ke jam dinding, “oh tidak, aku bisa dimarahi bos.” Dengan kecepatan tinggi, dia segera mandi, berpakaian, sarapan, lalu berangkat ke kantornya. *** Sesampainya di kantor, Arman lega karena ternyata hari itu bos tidak bisa hadir. Tapi dia merasa aneh dengan pemandangan yang ada, tidak ada satupun keyboard yang terpasang ke setiap komputer. “Jon, pada kemana semua keyboard komputer disini?” Tanya Arman. “Eh, kamu tahu hari ini hari apa?” “Hari Jumat?” Jawab Arman. “Benar, dan sekarang itu adalah hari... hari tanpa keyboard!” “Hah, aku baru dengar?” Arman keheranan.
  • 53. “Ya memang bukan sedunia, hanya kantor ini saja. Ikuti saja yang ada.” Arman menggaruk-garuk kepalanya, “ini hari yang aneh, aku pasti masih bermimpi.” Tanpa banyak bicara, seharian Arman bekerja tanpa keyboard di komputernya. 13 Januari 2016
  • 54. Cerita Ani dan Budi di Terminal Bus Ditengah guyuran hujan deras, Budi berlari menuju sebuah terminal bus. Dalamhiruk pikuk orang-orang, dia melihat seorang perempuan berbaju merah di kejauhan. “Ani...” katanya pelan, kemudian mengeras, “Ani!” Ani pun menoleh mencari-cari arah suara panggilan tersebut. Budi segera menghampiri Ani. “Ani... jangan pergi, jangan tinggalkan aku.” Kata Budi sambil memegang lengan Ani. “Tidak bisa Budi, aku harus pergi, kamu sendiri yang menginginkan aku memutuskan ini.”Kata Ani. “Maafkan aku Ani, aku tidak bermaksud seperti itu....”Mata Budi mulai mengeluarkan air mata. Ani berusaha tegar supaya tidak ikut menangis, meskipun dalam hatinya marah bercampur sedih. “Ani... maafkan aku, kumohon jangan pergi....” “Tidak bisa... aku harus pergi....” Ani tersenyum sedih. “Kumohon Ani....” Ani menempelkan tangan kanannya ke pipi kiri Budi, lalu menyeka air matahingga bulu mata bawahnya. Mata Budi menjadi lebih merah dan mengeluarkan lebih banyak air mata. “Hentikan Budi, hentikan tangisanmu itu.” Kedua mata Budi berkedip-kedip, terus semakin berkedip-kedip; memerah dan mengeluarkan air. “Budi, hentikan, itu tetap tidak akan merubah keputusanku untuk...” “Aaaaaa!” Budi berteriak sekeras-kerasnya, “Mataku!” Orang-orang disekitar kagetdan memandang kearah Budi. Budi berlarian kesana kemari sambil berkata, “Air! Air!” Tapi letak toilet terlalu jauh. “Sialan! Panas! Apa ini!?”Kata Budi.
  • 55. Beberapa saat kemudian dia melihat seorang pedagang keliling tak jauh dari sana, lalu segera menghampiri dan mengambil sebotol air mineral, kemudian menyiramkan ke kedua matanya. Ani terkejut, dia melihat ujung-ujung jari tangan kanannya berwarna sedikit jingga. Tasnya dibuka, dia mengeluarkan sebungkus makanan bertuliskan: Keripik Ultra Pedas yang belum lama dimakannya tadi ketika dalam perjalanan ke terminal. “Ooops....” katanya dalam hati. Budi pun akhirnya segera pergi ke klinik terdekat, dan Ani sendiri segera naik ke bus dan pergi entah kemana. 27 Januari 2016
  • 56. Insiden Cekikikan Pagi itu suasana kelas terasa tegang. Semua siswa duduk dengan tegak. Mata mereka tidak lepas dari memandangi pintu. “Apakah semalam kamu sudah menghafal?” Tanya Ujang. “Sedikit.” Jawab Atang. “Mampus….” Kata Ujang lagi. Tlak… tlak… tlak… terdengar suara langkah kaki, kemudian, kreeek… pintu terbuka. Muncul seorang bapak-bapak berbadan tinggi besar, tetapi tidak berkumis tebal, alisnya yang tebal. Pandangannya tajam menyapu semua siswa. “Baik, kita mulai ujiannya.” Pak Guru kemudian mengambil sebatang kapur pendek dari atas meja. Atang dan Ujang melotot melihat semua yang ditulis di papan tulis, soal-soal matematika yang memusingkan. Tak ada seorangpun yang bergerak, hanya memelototi papan tulis seperti Atang dan Ujang. Kapur yang dipegang pun habis, Pak Guru mengambil satu lagi yang sama-sama pendek seperti sebelumnya. Greeek… greeek…. Ketika ditulis, tidak memunculkan tulisan. Siswa tetap diam. Pak Guru melihat benda putih di tangannya tersebut, kemudian dia berkata, “Apa? Ini bukan kapur, tapi sukro!” “Haaah?” Kata para siswa keheranan. Berbeda dengan yang lainnya, Atang malah tertawa cekikikan, dan itu membuat Pak Guru marah. Plak! Sukro itu pun membentur kepala Atang. “Atang, mengerjakannya diluar.” Kata Pak Guru dengan dinginnya. “Tapi pak?” Kata Atang.
  • 57. “Keluar.” “Tapi pak?” “Keluar atau nilainya nol.” Atang lalu keluar dari kelas. “Pak, bagaimana saya mau mengerjakan kalau soalnya ditulis di papan tulis di dalam kelas?” Atang komplain. Pak Guru memberikan selembar kertas yang berisi soal-soal tersebut. “Sial…” Kata Atang di dalam hati. Akhirnya Atang mengerjakan ujian matematika di luar kelas akibat cekikikannya tersebut. 9 Februari 2016
  • 58. Sosok Dari Rerimbunan Pohon Tuing… duaaar! Suara bom terdengar dari arah utara. Di sebuah desa di selatan, tiga orang pemuda berseragam coklat sedang duduk di bawah pohon sambil membawa senapan di punggungnya. “Bud, loe yakin kalo pasukan kita bisa nahan itu pasukan Belanda?” Tanya Anto. “Yakin gak yakin kita tetep disuruh jagain ini desa.” Jawab Budi. Beberapa saat kemudian terdengar suara tembakan yang saling berbalas satu sama lainnya dari arah utara. “Ngeri banget ya kayaknya kalo kita ke garis depan sana.” Kata Anto. “Iya, tapi lebih ngeri lagi malem-malem gini ini desa kayak desa mati, gak ada penghuninya.” Kata Dodi. Krik… krik… krik… krik… krik… suara jangkrik beserta binatang malam lainnya terdengar ramai. “Tolong! Tolong! Tolong!” Tiba-tiba terdengar suara perempuan dari arah rerimbunan pohon. “Widih… siapa tuh cewek malem-malem gini?” Kata Anto. “Loe periksa sana To.” Pinta Dodi. “Gila loe, bisa-bisa setan tuh, takut gue ah!” Jawab Anto. “Yaudah kita bertiga aja kesana, sulit amat sih. Ketemu setan juga kagak bakalan mati, kecuali kalo bawa bedil.” Kata Budi. Mereka bertiga menghampiri rerimbunan pohon tersebut, lalu… Sesosok perempuan muda muncul dengan berjalan sempoyongan, kedua tangannya menjulur ke depan, mulutnya mengeluarkan darah, dan perutnya bolong berdarah- darah. “Sun… sun… sundel bolooong!” Kata Budi sambil menunjuk-nunjuk. Tanpa basa-basi, mereka bertiga langsung lari terbirit-birit. Tak beberapa lama kemudian, dari rerimbunan pohon muncul seorang laki-laki berseragam coklat sama seperti mereka bertiga.
  • 59. “Eh goblok malah lari, ini cewek korban mortir Belanda malah dikira sundel bolong. Bukannya ditolongin, ntar keburu mati….” kata lelaki tersebut. Perempuan itu pun terjatuh ke tanah. “Yah, mati deh… bener kan. Kampret tuh mereka semua.” 9 Februari 2016
  • 60. Kemana Pensil Itu Pergi Trililililit! Trililililit! Trililililit! Sore itu telepon Mamat berbunyi. “Halo?” “Mat, mungkin ini terdengar tidak enak, tapi... batas waktunya aku undur menjadi besok siang.” “Apa, bagaimana bisa? Bagaimana...” “Lakukan saja, atau kamu akan kehilangan jutaan rupiah yang berharga itu, penjelasannya nanti belakangan.” Tuuut! Penelepon tersebut menutup teleponnya. Beni dan Erlan melihat ke arah bos mereka. “Ada apa bos?” Tanya Beni. Mamat tidak segera menjawabnya, dia langsung mengarahkan tangan kanannya ke kertas di meja. “Besok pagi harus selesai.” Katanya. Beni dan Erlan saling bertatapan, kemudian melakukan pekerjaannya masing-masing. Tak beberapa lama kemudian Mamat terlihat mencari-cari sesuatu, kursinya diputar ke kanan dan ke kiri. “Dimana itu?” “Dimana apa bos?” Tanya Beni. “Pensil itu, pensil yang ada warna biru di ujungnya....” “Terakhir kali kulihat, sebelum bos menerima telepon, ada di genggaman tangan kanan bos.” Jawab Beni. “Uh, tapi kok jadi tidak ada ya, kemana pensil itu pergi?” Mamat mengacak-ngacak hampir semua benda di sekitarnya, tapi pensil tersebut tidak ada. “Aduh, dimana ya?”
  • 61. Hingga matahari terbenam, Mamat masih belum menemukannya. Kemudian dia pergi ke toilet untuk buang air kecil. Selesai buang air kecil dia membasuh mukanya, lalu mengaca. “Kampreeet!” Katanya sambil mengambil sebuah kayu panjang dari jepitan telinga kanannya, yang ternyata adalah sebatang pensil dengan warna biru di ujungnya. Akhirnya pensil hilang tersebut berhasil ditemukan. Mamat kembali ke ruangan kerjanya, kemudian mengerjakan pekerjaannya. 12 Februari 2016
  • 62. Suara Tertawaan Misterius Malam itu, Syarip keluar dari kosannya untuk membeli makanan. Ketika akan melewati jalan yang biasa dilaluinya, jalan tersebut tertutup lumpur bekas banjir tadi sore. Terpaksa dia melewati jalan yang membelah kompleks pekuburan. Jalan itu sepi dan minim penerangan. Di pertengahan jalan, dia merasa ada seseorang yang mengikutinya di belakang, tapi setelah dilihat, tidak ada siapa-siapa. Bulu kuduknya mulai berdiri. Beberapa menit kemudian dia mendengar suara langkah kaki di sampingnya, tapi setelah dilihat, ternyata seekor kucing. Syarip mempercepat langkahnya hingga sampai di depan sebuah masjid yang dipenuhi oleh beberapa pedagang kaki lima. Selesai membeli makanan, dia kembali melewati jalan tersebut. Beberapa menit kemudian... Hihihihi! Tiba-tiba terdengar suara tertawaan perempuan misterius. Dia melihat ke sekelilingnya, tidak ada siapa-siapa. Hihihihihi! Suara tersebut kembali terdengar Hihihihihi! Hihihihihi! Hihihihihi! Lama kelamaan volumenya semakin tinggi. “Iiih kunti!” Kata Syarip sambil berlari sekencang-kencangnya. Suara tersebut terus terdengar hingga dia sampai di depan kos. Drrrt... drrrt... drrrt... terasa sesuatu bergetar di badannya. “Eh?” dia mengambil ponsel di saku jaketnya. Ternyata ponsel tersebutlah yang mengeluarkan suara tertawaan perempuan tersebut. “Goblok, ini pasti si Doni yang ngejailin masang alarm pake ringtone kunti!” Masuk ke dalam kos, Doni dan teman-teman yang lain langsung tertawa terbahak-bahak mengetahui reaksi Syarip. Akhirnya Doni mengakui kalau dialah yang telah menyetel alarm ber-ringtone suara tertawaan kuntilanak tersebut. 12 Februari 2016
  • 63. Perut Buncit Samadengan Koruptor Siang itu pulang sekolah, Aceng berjalan melewati pasar. Di depan sebuah toko mainan, dia melihat seorang ibu hamil sedang duduk sambil menunggu angkutan umum lewat. Dihampirinya ibu tersebut, kemudian... Duk! Aceng memukul perut ibu itu menggunakan tangan kanannya. Sontak orang-orang segera menampar Aceng. “Kurangajar kau bocah SD! Apa masalahmu?” “Dia koruptor yang harus dibasmi pak!” Jawab Aceng mantap. “Eh... darimana kamu tahu kalau dia koruptor?” “Kata Pak Dono satpam di sekolah saya, koruptor itu merusak negara, karena itu harus dihajar, dan ciri-cirinya adalah berperut buncit!” Jawab Aceng lagi. Mendengar jawaban tersebut, orang-orang hanya melongo sambil garuk-garuk kepala. Ibu-ibu hamil tadi beruntung tidak mengalami luka yang serius. Sedangkan Aceng langsung diusir dari sana. “Pergi sana dasar bocah edan!” Kata orang-orang. 27 Februari 2016
  • 64. Penggaris yang Bergerak Sendiri Hoam! Arya terbangun dari tidur sebentarnya. Dikucek-kucek matanya, kemudian dia melihat penggaris di meja bergerak-gerak sendiri. Arya meliuk ke kanan-kirinya, tidak ada siapapun. Semua teman-teman sekelasnya sedang berada diluar, menikmati jam istirahat. “Apa-apaan ini?” Katanya. Dia menahan penggaris tersebut, pergerakan berhenti. Dia melepasnya, penggaris kembali bergerak kesana-kemari. “Jangan-jangan ini kerjaan setan yang diceritain Pak Didin.” Lalu dia bangkit dari bangkunya. Penggaris berhenti bergerak, tapi tidak dipedulikan. Saat berjalan menuju pintu, terdengar suara cekikikan. Setelah dicari, berasal dari tempat duduk Arya. Disana Boni sedang jongkok dibawah mejanya. “Hahaha, vis bro!” Kata Boni. “Ngapain kamu disana?” Tanya Arya. “Hanya menjahilimu pake ini....” jawabnya sambil memegang sebatang magnet. Ternyata Bonilah yang dari tadi menggerak-gerakkan penggaris Arya yang terbuat dari besi menggunakan magnetnya. Boni lalu mengajak Arya keluar dari kelas dan jajan di kantin. 3 Maret 2016
  • 65. Senjata Rahasia Soni Dor! Suara tembakan terdengar jelas menggelegar di udara. Memecah keheningan malam itu. Seorang lelaki berbadan tinggi besar berlari dengan cepat menyusuri gang sempit, diikuti oleh dua orang lelaki lain yang memegang pistol di tangannya. Lelaki berbadan besar itu kemudian menemui tembok di ujung gang. Begitupun di sebelah kanan-kirinya yang hanya tembok tinggi. “Tidak ada jalan lagi Son... sekarang angkat tangan dan balikkan badanmu kesini!” Kata seorang lelaki yang mengejarnya. “Akhirnya, setelah 3 tahun menjadi buronan, malam ini petualanganmu berakhir.” Tambah lelaki pengejar yang satunya lagi. Soni membalikkan badannya, wajahnya terlihat datar, kemudian dia mengangkat tangannya perlahan. Kedua polisi tadi masih menodongkan pistol ke arahnya. “Uuuh! Bau apa ini?” Kata seorang polisi itu. Soni tersenyum kecil, “itu adalah bau [sensor] ku yang menjadi senjata rahasia, hahaha!” “Sialan! Baunya... menusuk hidung, tenggorokan, dan paru-paruku!” “Kurangajar kamu Son! Baj... jing....” Kedua polisi itupun ambruk tak sadarkan diri ke tanah. Soni melangkahi tubuh keduanya, kemudian pergi dari tempat itu. Akhirnya dia kembali lolos dari kejaran polisi yang selalu berusaha menangkapnya selama ini. 24 Maret 2016
  • 66. Tas Kejutan Tengah siang itu, Boni dan Dodi sedang duduk-duduk di bawah sebuah pohon yang melindungi mereka dari terik matahari. Di ujung jalan, mereka melihat seorang pengendara sepeda motor yang akan melewati jalan di depan mereka. Mereka berdua saling menatap satu sama lain sambil tersenyum. Mata mereka dengan tajam memperhatikan pengendara tersebut. Beberapa saat kemudian... Boni ke tengah jalan sambil melambai-lambaikan kedua tangannya. Pengendara lelaki tersebut berhenti, “kenapa ya bang?” “Maaf bisa minta tolong, apa anda membawa kunci pas? Ini motor saya bermasalah.” Jawab Boni. “Oh, ada.” Pengendara itu lalu meminggirkan sepeda motornya. Ketika sedang melihat mesin sepeda motor Boni, Dodi muncul dari balik semak-semak, kemudian menempelkan sebuah kain ke hidungnya. Tak sampai 5 detik, pengendara itu langsung tak sadarkan diri. Boni segera menyeret tubuhnya ke semak-semak, mengambil tas di punggung, lalu pergi membawa kabur sepeda motornya. Sedangkan Dodi menggunakan sepeda motor Boni. *** Di rumah kontrakan Boni, mereka berdua tertawa-tawa sambil merokok dan minum- minum. “Kerja bagus Dod!” Kata Boni. “Ya ya ya, hahaha! Sepertinya isi tas itu berharga sekali Bon...” balas Dodi. Boni mengambil tas tersebut, “uh... berat juga, apa ya isinya?” Sreeet... Boni mengeluarkan sebuah kotak kardus dari dalamnya. “Ha... sepertinya benda yang sangat berharga!” Kata Boni. Kardus pun dibuka, dan ternyata isinya adalah... Sebuah bom waktu rakitan, dan layar LED-nya yang berwarna merah menunjukkan angka: 00.00.03 “Apa?” kata Boni.
  • 67. Tatapan Dodi terlihat kosong. DUAAARRR!!! Bom tersebut meledak, mereka berdua tewas seketika. Rumah kontrakan tersebut langsung hancur berkeping-keping. Beruntung tidak ada korban jiwa lain selain mereka berdua karena rumah tersebut tidak menyatu dengan rumah warga yang lainnya. 24 Maret 2016
  • 68. Pertemuan Dengan Muka Rata Cerita ini adalah kisah nyata yang dialami oleh seorang sepupu teman saya ketika sepupunya itu masih mesantren di salah satu pondok pesantren yang ada di wilayah Bandung pada tahun 2003 lalu. Saat itu dia duduk di kelas 3 MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan), dan menjadi anggota organisasi santri (sama dengan OSIS di sekolah umum) bagian BLAT (Bagian Listrik Air dan Transportasi). 13 tahun yang lalu, kondisi pesantrenku saat itu tidaklah seperti sekarang ini. Dalam penglihatanku, sekarang seperti kota kecil yang dipenuhi oleh bangunan-bangunan megah. Di siang hari, bangunan-bangunan tersebut terlihat elegan dan kokoh dengan warnanya yang didominasi warna biru. Ketika malam tiba, lampu-lampunya yang berwarna-warni tampak gemerlapan seperti di kota-kota pada umumnya. Tidak ada bagian-bagian yang gelap, semuanya sudah tersinari cahaya lampu; kalaupun ada yang gelap akibat lampunya putus atau rusak, itu tidak akan lama karena cepat diganti oleh pengurus pondok. Kamera CCTV hampir terpasang disetiap bagian-bagian penting. Jalan-jalan yang dulunya masih banyak yang kumuh, apalagi ketika musim hujan, sekarang sudah tidak ada lagi karena semuanya telah di beton atau di paving block. Semuanya telah berubah menjadi indah. Jika memikirkan masaku saat itu, kemudian membandingkannya dengan saat ini, aku merasa sedih; betapa enaknya santri-santri sekarang karena fasilitasnya yang melimpah, apalagi sekarang sudah ada internet dengan media sosialnya dan tentu saja smartphone, dan berbagai teknologi canggih lainnya, sedangkan aku dulu? Kamera digital pun masih barang mahal dan langka. Ya... setidaknya itu dalam anggapanku. Bandung, Nopember 2003, saat itu adalah liburan panjang pertengahan tahun yang bertepatan dengan bulan Ramadhan. Jadi seminggu sebelum hari Idul Fitri tiba, pondok meliburkan santrinya selama sebulan. Kami biasa menyebutnya: perpulangan Idul Fitri. Tapi, tidak semua santri pulang ke asalnya masing-masing, karena kelas 6 dan kelas 5 (setingkat dengan kelas 3 dan 2 SMA) diharuskan melaksanakan piket pondok. Mereka yang tidak bisa melaksanakan piket pondok, diharuskan membuat surat pernyataan. Ada 4 kelompok yang masing-masing masa tugasnya adalah satu minggu. Santri bebas memilih kelompoknya, dan itu dilakukan seminggu sebelum liburan panjang tiba. Aku memilih kelompok-1 yang bertugas di minggu pertama liburan panjang, tepatnya ketika bulan Ramadhan tersisa 1 minggu lagi. Biasanya mereka yang memilih kelompok ini adalah yang domisilinya di Bandung Raya, tak peduli dia pribumi atau pendatang. Bagiku, piket pondok adalah saat yang menyenangkan, karena seperti camping. Kami bebas melakukan apapun di pondok, asalkan tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak pondok atau mengganggu Kamtibmas pondok dan masyarakat sekitar. Pondok menjadi seperti rumah kami yang besar, dengan fasilitas camping tentunya. Kami pun bisa bebas keluar pondok dan menjelajahi lingkungan sekitar, asalkan ketika waktu pengabsenan hadir, dan tidak semua anggota meninggalkan pondok. Pengabsenan dilaksanakan ketika selepas shalat shubuh dan isya yang diimami langsung oleh pimpinan pondok (kiai). Untuk santri putra, terdapat 3 Rayon (sama dengan blok dalam
  • 69. perumahan), yaitu Rayon A, B, dan C. Rayon A dan C memiliki dua pos, sedangkan Rayon B hanya satu; itu karena Rayon A dan C memiliki gerbang yang menghubungkan dengan luar pondok. Aku kebagian di pos Rayon A yang diposisikan dekat asrama santri, tepatnya di panggung yang biasa dipakai untuk menampilkan acara-acara kesenian atau pengumuman penting bagi santri putra. Hari ke-4, sekitar pukul 23-an, aku merasa seperti bukan di malam hari, tidak terasa kantuk sedikitpun; malah badan terasa segar. Aku yakin ini efek kopi hitam yang kuminum 3 jam lalu. Di pos, aku dan dua orang temanku sesama kelas 6, dan tiga orang kelas 5 sedang menonton TV yang dibawa oleh salah seorang temanku yang domisilinya tidak jauh dari pondok. Saat itu TV-nya masih berjenis tabung. Teman posku sesama kelas 6 yang lain ada yang sedang sibuk mengecat lemarinya, dan ada yang sedang berkumpul mengelilingi api unggun sambil ngobrol-ngobrol dengan santri lainnya di lapangan kecil dekat jemuran. Pukul 2 dini hari, aku keluar dari pos untuk mengambil beberapa buku komik di kamarku yang terletak di Rayon B, tepatnya di kamar khusus bagi bagian BLAT. Bukan hanya komik, tapi beberapa buku bacaan lainnya yang sudah aku bawa sebelumnya sebagai persiapan untuk membunuh waktu selama piket pondok. Saat hendak keluar dari kamar, datang seorang santri kelas 5 mengatakan bahwa di kamar mandi hurufL (disebut demikian karena jejeran kamar mandinya jika dilihat dari atas membentuk huruf L), tiga kamar mandinya yang terletak diujung tampak gelap, karena lampunya putus atau bagaimana. Saat itu jika dibandingkan dengan sekarang, kondisi kamar mandi hurufL di malam hari terkesan angker. Posisinya yang terletak diantara Rayon A dan B, lebih rendah dibandingkan tanah sekitar, bersebelahan langsung dengan selokan besar (tersambung dengan sungai Citarum), lantainya yang keramik merah, dindingnya yang agak kumuh berlumut, langit-langitnya yang bilik bambu, dan rerumputan disekitarnya yang lebat benar-benar membuat merinding. Tapi sebagai seorang pengurus, aku tidak boleh takut apalagi malas. Aku kesana seorang diri sambil membawa peralatan kelistrikan dan tiga buah bohlam yang masih berjenis pijar. Sesampainya disana, benar saja ketiga kamar mandi tersebut masing-masing bohlamnya putus. Ketika aku hendak memasang bohlam di kamar mandi yang ketiga, aliran listrik dari PLN ke pondok terputus, suatu kejadian yang biasa terjadi di pondok. Suasana menjadi gelap total, apalagi aku berada di dalam ruangan; diluar hanya ada penerangan dari sinar bulan, itupun kalau langit cerah. Aku tidak berani bergerak karena ditakutkan terjatuh ke bawah. Kemudian aku mengambil senter yang kugantungkan di sabuk. Sayangnya setelah kunyalakan, senter tersebut tanpa sengaja jatuh ke bawah, karena aku kurang kuat memegangnya. Saat kulihat kebawah, senter tersebut menyinari sesuatu; bukan sebuah kotak penyimpanan alat mandi, atau benda lainnya. Aku heran karena benda itu berbulu, setelah kuperhatikan lebih seksama lagi (karena mataku sedikit minus), ternyata itu adalah sebuah kepala! Ya sebuah kepala buntung yang wajahnya menghadap ke lantai. Tidak ada darah yamg terlihat, hanya rambutnya yang hitam gimbal acak-acakan. Tak sampai 5 detik jantungku sudah berdegup kencang dengan keringat dingin yang keluar deras dari seluruh pori-pori tubuh membasahi celana, baju, dan mukaku. Aku mencoba teriak dan bergerak, tapi aku tidak bisa, sekujur tubuh seakan membatu, telingaku juga berdenging tidak bisa mendengar suara diluar. Hanya mataku saja yang bisa digerakkan
  • 70. dan berkedip. Selama 6 tahun aku mesantren disini, aku sudah mendengar banyak sekali cerita mistis, tapi baru kali ini aku mengalaminya sendiri. Mataku masih tertuju pada kepala buntung itu. Lalu, kepala itu berputar menghadapkan wajahnya kearahku. Dan aku bisa melihat wajah kepala buntung itu... rata! Maksudku bukan rata datar, tapi rata tanpa mata, hidung, mulut, dll. Seperti orang yang menutup kepalanya dengan kain yang biasa dipakai maling, namun tanpa ada lubang sedikitpun. Kulitnya putih pucat dan dekil karena menyentuh lantai yang sedang kotor oleh bekas langkah kaki-kaki santri. Kemudian, si muka rata itu berbicara dalam bahasa Sunda kasar yang artinya adalah menyuruhku memperingati para santri yang menggunakan kamar mandi disini agar tidak suka ribut seperti bersiul, nyanyi-nyanyi, bercanda ria, dan keributan yang lainnya, karena itu sangat mengganggu dia. Kalau masih suka ribut, maka dia akan mengganggu santri tersebut saat sedang menggunakan kamar mandi ini. Suaranya berat seperti bapak-bapak berusia 50 tahunan, dan aku bisa melihat di bagian yang seharusnya terdapat mulut, bergerak-gerak saat dia sedang berbicara. Senter itupun mati, dan aku kembali tidak bisa melihat apapun. Beberapa detik kemudian, lampu menyala, lalu badan dan pendengaranku pulih kembali. Terdengar suara generator diesel yang sangat bising diluar. Kami biasa menyebutnya: genset. Tangan kananku masih memegang bohlam yang hendak dipasangkan. Kepala buntung bermuka rata tadi sudah tidak ada. Selesai mengerjakan tugasku itu, aku kembali ke kamar bagian BLAT untuk menyimpan peralatan. Aku tidak bisa tidur hingga waktu shalat shubuh tiba. Selesai shalat shubuh dan pengabsenan, baru aku bisa tertidur pulas di kamar hingga dibangunkan oleh temanku pada pukul 13.30-an. Dia bertanya kenapa aku tidak berada di pos, aku langsung saja menceritakan apa yang tadi malam baru kualami. Temanku itu kemudian mengajakku ke pos, dan kebetulan disana ada seorang kakak alumnus pondok yang rumahnya masih di sekitaran pondok. Aku menceritakan kejadian tadi malam (yang membuat santri kelas 6 dan 5 disana melongo). Kakak alumnus tersebut kemudian menceritakan bahwa tanah kamar mandi huruf L tersebut dulunya adalah sebuah pekuburan tua misterius, yang mana tidak ada seorang warga pun yang mengklaimnya. Ketika hendak dibangun kamar mandi huruf L, beserta lapangan untuk jemuran di depannya, pekuburan tersebut dibongkar. Saat itu kakak alumnus tersebut masih duduk di kelas 2, dan dia melihat banyak sekali tulang belulang manusia. Setelah dibongkar, bekas pekuburan tersebut lalu diuruk. Kini meskipun belasan tahun sudah berlalu, aku tidak akan pernah melupakan pengalaman mistis tersebut. 17 Mei 2016
  • 71. Sistem Baru, Jenderal Suatu waktu, Hasta, seorang jenderal tertinggi Kerajaan Yutun ditugasi oleh raja mengunjungi Kekaisaran Adikara untuk belajar bagaimana Kekaisaran tersebut mengorganisir pasukannya. Hasta pun pergi dengan ditemani beberapa petinggi kerajaan. Sesampainya di Kekaisaran Adikara, Hasta takjub terhadap kekaisaran tersebut yang mampu mengorganisir pasukannya yang berjumlah sangat banyak dengan begitu teratur. Belasan kali lebih banyak daripada negaranya. Pasukan yang ada tidak hanya berasal dari penduduk Kekaisaran Adikara saja, tapi juga dari berbagai negara yang menjadi jajahan atau sekutu kekaisaran; menjadikan pasukan Kekaisaran Adikara multi negara. Dalam pandangan Hasta, tidak mudah untuk mengatur pasukan yang heterogen. Beberapa hari kemudian, tanpa diduga suatu kelompok pemberontak yang menginginkan pemerintahan diganti menjadi republik, menyerang kekaisaran. Serangan pemberontak tersebut kerapkali merepotkan karena dilakukan secara sporadis dan juga didukung persenjataan yang cukup banyak. Hasta berkesempatan untuk menyaksikan bagaimana pasukan Kekaisaran Adikara beraksi. Namun Hasta merasa aneh karena semua pasukan yang maju bertempur adalah perempuan, entah itu komandan lapangan, pasukan infanteri, kru kendaraan lapis baja, operator artileri, personil medis, dan yang lainnya. Sedangkan pasukan laki-lakinya hanya menyaksikan saja jalannya pertempuran melalui televisi. Baru kali ini Hasta menyaksikan bagaimana perempuan diterjang badai peluru senapan mesin, dicabik- cabik granat atau roket, ditusuk bayonet, dan dihajar popor senapan. Pemandangan tersebut membuat Hasta pusing. Hasta bertanya kepada salah satu Jenderal Kekaisaran Adikara, kenapa semua yang maju ke medan perang adalah perempuan. Jenderal lelaki tersebut menjawab, “Karena negara kami sudah menerapkan sistem kesetaraan gender, apakah negaramu belum menerapkan sistem ini jenderal?” Hasta mengerutkan dahinya, kemudian menggaruk-garuk kepalanya yang beruban. 22 Mei 2016
  • 72. Dia Dari Masa Lalu Kota Bandung, hari Jumat di pertengahan Maret 2013. Jam di tanganku menunjukkan pukul 16.37, langit telah dipenuhi awan-awan hitam, keadaan cukup gelap tanpa ada sedikitpun sinar jingga matahari yang menembus awan, dan udara terasa dingin. Kukeluarkan jaket dari dalam kantong punggung, lalu kukenakan. Tak sampai satu menit, hujan turun dengan deras. Rintik-rintiknya berukuran besar, menghasilkan suara keras ketika menghantam angkot yang kunaiki ini; terdengar seperti dilempari batu. “Kiri!” Kata salah seorang penumpang ibu-ibu yang duduk menghadap ke pintu. Angkot berhenti di depan sebuah warung kecil yang disekitarnya terdapat banyak pohon-pohon besar. Seorang perempuan muda tampak sudah menunggu ibu-ibu tadi sambil membawa payung. Aku pun ikut turun, kemudian menghampiri warung kecil tersebut. Disana ada beberapa bapak-bapak yang sedang ngopi. Salah seorang dari mereka ada yang berprofesi sebagai guru SMA. Dia menceritakan kalau tahun kemarin dia pernah diancam oleh orang tua salah seorang siswanya karena memberikan PR (Pekerjaan Rumah) yang dianggap terlalu sulit; padahal PR tersebut dia susun berdasarkan apa yang telah dia ajarkan. Dalam keadaan hujan seperti ini, pisang goreng dan kopi memang camilan yang pas. Apalagi suasana disini terasa sejuk. Sebenarnya aku merindukan bajigur atau bandrek yang dijual oleh para pedagang tradisional, namun keberadaannya saat ini begitu langka. Aku kurang menyukai versi instan karena rasanya tidak senikmat versi tradisional. Pukul 17.25, hujan masih belum berhenti, meski tidak sederas tadi. Aku tidak bisa berlama-lama disini karena nanti malam aku harus ke kosan temanku memenuhi janji bertanding sepak bola. Tentunya permainan sepak bola di komputer. Tapi, aku merasa berat untuk beranjak, posisinya sudah terlanjur enak. Apalagi suasananya yang dingin seperti ini, membawaku kepada yang namanya melamun, dan itu terasa nikmat. Kemudian, aku melihat seorang perempuan muda yang memegang payung berjalan menuju trotoar, lalu dia berdiri disana menunggu angkot yang melintas. Tubuhnya sedikit kurus, tidak terlalu tinggi, rambutnya hitam panjang melebihi bahu, dan kulitnya terang. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena dia tidak meliuk kearah sini, hanya sampingnya saja. Tiba-tiba aku jadi teringat seseorang, dari masa lalu. Seseorang yang pernah membuat wajahku memerah di depan teman-temanku, dan itu membuatku malu. Seseorang yang pernah membuatku menjadi bisa menggambar sebuah taman kota dengan sangat indah, padahal sebelumnya aku tidak bisa menggambar seperti itu. Dan berbagai kenangan indah lainnya. Perempuan itu bernama Yayu. 4 tahun lalu, ketika kami diwisuda, selesailah ceritaku di kampus, begitupula dengannya. Kejadian saat itu memang menyakitkan, bahkan aku belum meminta maaf kepadanya. Aku sungguh
  • 73. menyesal selama 4 tahun ini. Maka dari itu, aku ingin meminta maaf. Mungkin perempuan di trotoar itu adalah Yayu. Aku beranjak dari tempat duduk, kemudian berjalan ke dekatnya. Tadinya aku hanya ingin memastikan saja dengan melihat wajahnya kalau itu Yayu, tapi aku keceplosan mengatakan 'Yayu' dengan cukup keras. Perempuan itu pun melihat kearahku, sehingga aku pun bisa melihat wajahnya. Ternyata benar itu Yayu! Wajahnya tidak berubah, tapi sekarang terlihat lebih berseri. “Yayu, itukah kamu, sedang apa disini?” Tanyaku. Dia hanya tersenyum. Aku berjalan perlahan mendekatinya. “Yay?” Kataku lagi. Dia masih tersenyum. Lalu sebuah telapak tangan berada di depanku, menghalangi penglihatan. Telapak tangan milik seorang bapak-bapak yang berada di sampingku. “Hey jang, ari kamu kenapa?” Tanyanya. “Mau nyapa teman saya.” Jawabku. “Kamu berkhayal atau bagaimana?” Katanya lagi. Kulihat Yayu sudah tidak ada. “Tadi disitu ada seorang perempuan pak, pake payung.” Kataku. “Perempuan pake payung? Dari tadi tidak ada siapa-siapa disitu. Kamu berbicara sendiri seperti orang yang melindur.” Kulihat kembali, memang benar tidak ada siapa-siapa. Orang-orang di warung kecil itu semuanya melihat ke arahku, yang sedang melewat juga. Ibu-ibu pemilik warung menghampiriku, kemudian memberikan sebotol air tawar. “Minum Aqua dulu jang, gratis.” Katanya. Oh, ternyata tadi hanya halusinasi akibat lamunanku saja. Sialan. 30 Mei 2016
  • 74. Catatan Seorang Gadis Asri Sebuah karet gelang merah mendarat di kepala belakang Hira. Refleks dia memegang kepala belakangnya, lalu meliuk ke belakang mencari-cari sumber datangnya benda tersebut. Anak-anak lelaki dan perempuan di belakangnya tampak duduk dengan tenang menulis apa yang ada di papan tulis, begitu pula dengan yang ada di sebelah kanan dan kiri. Beberapa menit kemudian, sebuah karet gelang merah kembali mendarat di kepala belakang Hira. Kali ini, dia meliuk dengan cepat sehingga berhasil memergoki pelakunya yang ternyata adalah Resti dan gengnya. “Uuu... dasar sok cantik!” “Dasar kalian dengki!” Balas Hira sambil membidikkan karet gelang tadi ke arah Resti. Tanpa disadari, bu guru masuk kembali ke kelas, “Hira, jangan main-main!” “Mereka yang duluan...” “Sudah kamu jangan malah ikut-ikutan!” Kata bu guru. Resti dan gengnya cekikikan puas melihat Hira. *** Esok pagi, kalender hari ini menunjukkan tanggal merah, sekolah libur. Hira mengambil sepedanya, kemudian mengunjungi warung-warung yang berada di sekitar sambil membawa banyak kue buatan ibunya untuk dijual. “Semoga semua kue itu laris hari ini.” Kata ibunya saat Hira kembali ke rumah. “Ayah masih sakit?” Tanya Hira. “Masih.” Hira melihat ayahnya terbaring di tempat tidur. Dia adalah seorang guru SD. Sudah 6 bulan terakhir ini tidak mengajar karena terkena stroke. “Kita masih belum punya biaya.” Kata ibunya. *** Sepulang sekolah, Hira bermain badminton bersama Nina, sahabatnya, dan teman- teman yang lainnya. Resti dan gengnya yang kebetulan melewat, memaksakan diri bergabung. “Main badminton saja kok pake make-up?” Kata Resti.