SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 29
Downloaden Sie, um offline zu lesen
BAB II

                KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN



2.1.   Kajian Pustaka

2.1.1. Jejak ekologi (ecological footprint)

       Istilah dan konsep jejak ekologi pertama kali diusulkan pada tahun 1992 oleh

William Rees, seorang profesor di The University of British Columbia, Kanada.

Selanjutnya pada tahun 1996, William Rees dan Mathis Wackernagel menerbitkan

Our Ecological Footprint: Reducing Human Impact on the Earth. Jejak ekologi

penduduk mewakili area lahan produksi dan ekosistem akuatik yang dibutuhkan

untuk memproduksi sumberdaya yang diperlukan dan menyerap limbah yang

diproduksi penduduk tertentu terhadap bahan dasar kehidupan secara spesifik

dimanapun lahan itu terletak dipermukaan bumi.

       Jejak ekologi adalah suatu metode penghitungan sumber daya yang

memperkirakan konsumsi sumberdaya alam dan penyerapan limbah yang diperlukan

sebuah populasi manusia atau kegiatan ekonomi dalam bentuk luas lahan area

produktif (Wackernagel and Rees, 1996). Jika yang dikonsumsi lebih banyak

dibandingkan dengan     yang disediakan alam, maka kemudian dapat diasumsikan

bahwa tingkat konsumsi tidak dapat didukung oleh ketersediaan di alam. Standar unit

pengukuran jejak ekologi menggunakan global hektar (gha). Satuan gha digunakan

karena asumsi perhitungan jejak ekologi ini, sumberdaya alam yang digunakan

berasal ditempat manapun di permukaan bumi.
8



       Analisis jejak ekologi digunakan untuk menjawab pertanyaan dasar pada

pembangunan berkelanjutan yaitu : seberapa besar alam yang kita punya,

dibandingkan dengan seberapa besar alam yang kita gunakan (Bond, 2002).

Eksploitasi alam bisa dalam bentuk dan berbagai macam kegiatan, seperti makan,

transportasi dan energi. Besaran area analisis adalah populasi penduduk yang bisa

sangat bervariasi, mulai dari individu atau keluarga, atau melebar mulai dari kota,

wilayah, negara, atau bahkan seluruh bumi. Hasil perhitungan jejak ekologi ini

kemudian dibandingkan dengan biokapasitas yang tersedia. Adapun biokapasitas

adalah total jumlah lahan bioproduktif yang terdapat diwilayah tersebut. Menurut

Biocapacity Project (2007), biokapasitas adalah kemampuan ekosistem untuk

mendukung keanekaragaman hayati, memproduksi energi dan material biologi yang

bermanfaat, dan menyerap dan mendaur ulang sampah yang dihasilkan dari kegiatan

manusia termasuk emisi/ pancaran karbon. Bioproduktifitas adalah kemampuan

sebidang tanah untuk menghasilkan biomassa, yang merupakan berat (atau

diperkirakan setara dengan) bahan organik, termasuk hewan, tumbuhan dan mikro-

organisme (hidup atau mati) di atas atau di bawah permukaan tanah. Ekosistem yang

berbeda akan memiliki tingkat bioproduktifitas yang berbeda pula. Perbandingan

antara jejak ekologi dan biokapasitas akan memberikan gambaran tentang status jejak

ekologi, apakah defisit atau surplus. Dari perhitungan ini dapat diketahui kemampuan

lahan dalam mendukung konsumsi penduduk setempat.

       Pada awal dipublikasikan pada tahun 1996 oleh Mathis Wackernagel dan

William Rees, jejak ekologi dihitung menggunakan metode compound. Perhitungan

ini menggunakan data sekunder berupa data perdagangan nasional, berupa
9



sumberdaya biotik dan energi primer yang digunakan untuk menghitung jejak ekologi

suatu negara. Hasil perhitungan jejak ekologi ini disajikan per jenis penggunaan lahan

dalam perhitungan jejak ekologi kemudian dibandingkan dengan kapasitas biologi

per individu yang tersedia dalam negara tersebut. Metode ini lebih mudah diterapkan

karena data yang digunakan lebih mudah didapatkan dan digunakan sebagai dasar

perhitungan jejak ekologi negara di dunia pada organisasi Globalfootprint Network

yang dipimpin oleh Mathis Wackernagel. Menurut Wackernagel and Rees (1996),

konsumsi manusia terhadap sumberdaya alam dibagi menjadi 5 komponen yaitu

makanan, tempat tinggal, transportasi, barang konsumsi dan jasa. Dari kelima faktor

ini makanan, transportasi dan tempat tinggal merupakan penyumbang jejak ekologi

yang besar. Sebaliknya barang dan jasa hanya sedikit menyumbang jejak ekologi.

Metode perhitungan ini memang sangat detil dan fleksibel, namun sulit diaplikasikan

secara menyeluruh karena tidak semua aktifitas dan produk dapat diukur.

       Pada tahun 2000, Chambers et al. mengembangkan perhitungan jejak ekologi

menggunakan metode component. Pada metode ini, jejak ekologi dihitung untuk

aktifitas tertentu menggunakan data yang terkait pada wilayah yang diperhitungkan.

Contoh, untuk menghitung dampak aktifitas perjalanan mobil, data yang digunakan

berupa konsumsi bahan bakar, produksi energi, lahan terbangun dan jarak tempuh

(Chambers et al, 2000 dan Simons, 2004). Luas perhitungan pada tingkat wilayah,

yakni mengacu pada setiap wilayah geografis sub-nasional; sebuah desa, kota, atau

wilayah yang lebih besar. Sama dengan metode compound, metode component juga

menggunakan data sekunder. Hasil perhitungan jejak ekologi melalui pendekatan

komponen adalah jejak ekologi untuk aktivitas tertentu yang dihitung berdasarkan
10



data yang sesuai dengan pertimbangan wilayah. Hasil pendekatan berbasis komponen

ini lebih bersifat untuk mendidik, agar dapat memberikan perubahan perilaku

indvidu. Keuntungan menggunakan pendekatan ini adalah validitas perhitungan

sampai tingkat lokal dan individu dan memfasilitasi koleksi data dimana statistik

penggunaan sumberdaya alam detil tidak tersedia. Kerugian metode ini adalah terlalu

bergantung pada intensitas sumberdaya alam pada aktifitas-aktifitas terkait sehingga

menjadi kurang sensitif dalam perubahan teknologi lebih lebih sesuai bila digunakan

sebagai alat monitoring dan pengaturan perubahan perilaku.

       Metode yang ketiga adalah pengukuran langsung atau bottom up

measurement. Metode ini digunakan untuk menghitung jejak ekologi individu, rumah

tangga, perusahaan atau organisasi (Bond, 2002). Karena struktur metode yang

refleksif maka keunggulan metode ini sebagai self-learning tool terhadap orang yang

dihitung jejak ekologinya.

       Menurut Kitzes et al. (2007), perhitungan jejak ekologi nasional digunakan

untuk melaporkan hasil perhitungan jejak ekologi dalam satuan global hektar pada

tahun bersangkutan, yaitu hektar dengan produktivitas biologis rata-rata dunia dalam

suatu tahun. Normalisasi ini dicapai menggunakan perhitungan faktor produksi (yield

factor) dan faktor kesetaraan (equivalent factor). Yield faktor adalah produktifitas

negara tertentu dibandingkan dengan produktifitas dunia. Equivalent factor adalah

perbandingan potensi produktivitas suatu jenis penggunaan lahan dengan produktfitas

rata-rata penggunaan lahan dalam perhitungan jejak ekologi. Dari perspektif

pemanfaatan berkelanjutan, tanah yang berbeda tidak dapat secara langsung

dibandingkan atau disimpulkan tanpa menerapkan beberapa bentuk pembobotan
11



produktivitas (Wackernagel et al., 2004). Satuan global hektar digunakan untuk

menjawab pertanyaan berapa banyak kapasitas regeneratif planet digunakan oleh

aktivitas manusia tertentu atau populasi (Monfreda (2004) in Kitzes et al. (2007)).

Jadi skala global hektar lebih tepat bila digunakan untuk mengetahui mengetahui

konsumsi penduduk dunia perkapita dibandingkan dengan kapasitas yang mampu

disediakan oleh bumi. Pendekatan global hektar merekam permintaan sumberdaya

alam lokal dalam konteks global dan berguna untuk membandingkan jejak ekologi

antara area geografis.

       Pada makalah yang sama, Kitzes et al. (2007) menyatakan perhitungan jejak

ekologi juga dapat dihitung dalam hektar lokal, tanpa menerapkan produktivitas

berbasis normalisasi. Jejak ekologi yang dihitung dalam hektar lokal digunakan untuk

menjawab pertanyaan berapa banyak daerah bioproduktif yang digunakan oleh suatu

kegiatan manusia atau populasi (Wackernagel et al. (2004) in Kitzes et al. (2007)).

Jejak ekologi hektar lokal dapat ditentukan melalui 2 cara yaitu : 1) melalui

pendekatan wilayah yang diukur, yaitu didasarkan pada pengukuran penggunaan

lahan dalam laporan statistik nasional atau berasal dari aplikasi penginderaan jarak

jauh, 2) melalui pendekatan wilayah yang dihitung, yang didapat dengan cara

membagi produk aliran (konsumsi) dengan hasil panen lokal (Kitzes et al., 2007).

Karena pendekatan wilayah yang diukur tidak melibatkan perbandingan pertumbuhan

tahunan untuk ekstraksi, metode ini sendiri tidak dapat menunjukkan tingkat

penggunaan kawasan tertentu. Misalnya, satu hektar hutan bisa dipanen pada tingkat

yang lebih besar atau lebih kecil dari pertumbuhan tahunan dan pendekatan wilayah

yang diukur akan menggunakan jejak ekologi yang sama dari satu hektar. Tidak ada
12



perbedaan perhitungan menggunakan pendekatan antara wilayah diukur dan

pendekatan untuk lahan pertanian sehingga jumlah produk yang tumbuh dan

diekstraksi setiap tahun adalah sama. Penggunaan satuan lokal hektar ini lebih tepat

diterapkan pada penelitian yang fokus pada pengelolaan sumberdaya alam lokal dan

hanya dapat digunakan pada waktu sementara. Sementara beberapa peneliti

berpendapat bahwa hanya hektar lokal memberikan ukuran pengamatan permintaan

yang sebenarnya.

       Kelebihan konsep jejak ekologi adalah konsep ini memperhitungkan aliran

sumber daya dan limbah, yang semuanya membentuk bagian dari metabolisme suatu

daerah, sehingga menggugah kesadaran konsumen tentang darimana sumber daya

mereka berasal dan dampak limbah yang dihasilkan. Hal ini akan membantu dalam

meningkatkan kesadaran masyarakat dalam agar membentuk pola perilaku yang lebih

berkelanjutan. Selain itu jejak ekologi bisa digunakan sebagai indikator keberhasilan

pembangunan berkelanjutan, dipandang sebagai perkembangan positif dalam analisis

kebijakan.

       Wackernagel and Rees (1996) mengembangkan konsep jejak ekologi ini

melalui pendekatan compound. Pendekatan ini lebih menekankan pada apa yang

dikonsumsi oleh manusia, seperti konsumsi biotik (pangan) dan konsumsi energi

primer, bukan dari jenis-jenis kegiatan konsumsinya. Pendekatan compound ini

digunakan sebagai dasar perhitungan pada Globalfootprint network.

       Pada laporan Globalfootprint network (2005) yang ditulis oleh Wackernagel

at al., The ecological power of nations : the earth’s biocapacity as a new framework

for international cooperation menunjukan jika telah terjadi pertumbuhan jejak
13



ekologi yang cukup signifikan sejak tahun 1961 sampai dengan tahun 2005. Pada

tahun 1961, manusia mengunakan setengah dari kapasitas produksi secara hayati

bumi, namun pada tahun 2005 manusia menggunakan kapasitas produksi hayati bumi

35 % lebih banyak dari pada yang tersedia. Perhitungan jejak ekologi ini

mengabaikan hak mahluk hidup selain manusia (earth share). Kapasitas produksi

secara hayati bumi bagi individu di bumi pada tahun 2005 adalah sekitar 2,1 gha,

sedangkan jejak ekologi per kapita pada tahun 2005 adalah 1,8 gha. Sementara

ekonomi, populasi dan kebutuhan sumber tumbuh, ukuran planet tetap sama. Ini

berarti semakin berkurangnya modal alami dan semakin banyak sampah yang ada di

alam. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa makin maju sebuah negara maka

semakin besar pula jejak ekologinya sebagai berikut.

Tabel 2.1 Jejak ekologi per kapita 5 negara dengan jumlah terbesar di dunia tahun
         2005 (gha)

Negara     Lahan Lahan Lahan Lahan            Lahan   Lahan         Total      Bioka     Status
           pertan peng  hutan perika          penyera terbangun     jejak      pasitas
           ian    gemba       nan             pan                   ekologi
                  laan                        karbon
Uni        1,03   0,03  0,37  0,21            7,82    0,00          9,46       1,08      -8,38
Emirat
Arab
Amerika 1,38       0,30     1,02    0,10      6,51      0,10        9,42       5,02      -4,4
Kuwait    0,71     0,10     0,17    0,02      7,75      0,15        8,89       0,53      -8,36
Denmark 2,49       0,01     1,00    0,67      3,53      0,34        8,05       5,70      -2,35
Australia 1,93     2,82     0,94    0,08      1,98      0,06        7,81       15,42     7,61
Sumber : Globalfootprint Network, 2005
14



Tabel 2.2 Jejak ekologi perkapita 5 negara dengan jumlah terkecil di dunia tahun
         2005 (gha)

Negara        Lahan   Lahan Lahan Lahan         Lahan     Lahan    Total     Bioka     Status
              pertani pengg hutan perika        penyera   terban   jejak     pasitas
              an      embal           nan       pan       gun      ekologi
                      aan                       karbon
Bangladesh 0,33       0,00    0,07    0,07      0,13      0,04     0,57      0,25      -0,32
Congo       0,24      0,03    0,11    0,11      0,07      0,05     0,54      13,89     13,35
Haiti       0,31      0,04    0,09    0,09      0,06      0,03     0,53      0,26      -0,27
Afganistan 0,27       0,10    0,05    0,05      0,00      0,06     0,48      0,73      0,25
Malawi      0,21      0,00    0,15    0,15      0,07      0,03     0,47      0,47      0
Sumber : Globalfootprint Network, 2005

         Jejak ekologi Indonesia pada tahun 2005 adalah 0,95 gha, dengan jejak

pertanian 0,5 gha, jejak hutan 0,12 gha, jejak perikanan 0,16 gha, jejak penyerap

karbon 0,09 gha dan jejak terbangun 0,06 gha (Globalfootprint Network, 2005). Hasil

penelitian ini menunjukan konsumsi pangan memberikan kontribusi 70% terhadap

total jejak ekologi, yang kemudian diikuti oleh kebutuhan terhadap lahan penyerapan

karbon akibat konsumsi energi. Pada tahun yang sama biokapasitas Indonesia adalah

1,39 gha. Hal ini menunjukan pola konsumsi masyarakat Indonesia termasuk

berkelanjutan karena mengkonsumsi sumberdaya alam lebih sedikit dibandingkan

dengan yang mampu disediakan oleh alam.

         Environment Protection Authority (EPA) Victoria (2008), salah satu anggota

Global footprint Network, melakukan penelitian jejak ekologi di Kota Victoria.

Penduduk Victoria rata-rata membutuhkan 6,8 hektar kebutuhan lahan global untuk

mempertahankan gaya hidupnya. Jejak ekologi Victoria adalah sedikit lebih besar

dibandingkan dengan Australia (6,6 gha per orang). Pola konsumsi utama di Victoria

mirip dengan konsumsi rata-rata nasional, perbedaan yang menonjol ada
15



dipenggunaan energi perumahan (karena ketergantungan Victoria pada energi listrik

dari batubara). Sebagai bagian dari Australia, jejak ekologi Victoria lebih besar

karena mereka umumnya tinggal di kota-kota besar, di rumah-rumah yang relatif

besar, melakukan perjalanan jauh dan kebutuhan energi mereka saat ini bersumber

terutama dari bahan bakar fosil. Berikut ini gambar hasil penelitian jejak ekologi di

Victoria berdasarkan jenis penggunaan lahan.




Gambar 2.1 Jejak ekologi Kota Victoria berdasarkan jenis penggunaan lahan
Sumber : Environment Protection Authority Victoria (2008)

     Penggunaan lahan terbesar oleh Kota Victoria adalah lahan hutan yang

digunakan untuk menyerap karbon sebesar 56 % dari total luas lahan jejak ekologi,

32 % digunakan lahan bioproduktif untuk memenuhi konsumsi pangan, 8% untuk

mencukupi kebutuhan hasil hutan dan yang paling sedikit adalah 4 % yang digunakan

untuk memenuhi infrastruktur.

       Penelitian yang dilakukan EPA (2004) tentang jejak ekologi Kota Port Phillip

dengan sampel rumah tangga memberikan hasil bahwa rumah tangga yang diberi

pilihan gaya hidup yang berkelanjutan dalam menyenangkan dalam format interaktif
16



dan informatif untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam kehidupan yang

berkelanjutan yang diberikan selama satu semester mengalami perubahan terhadap

konsumsi gaya hidup dan tindakan terhadap lingkungan yang menjadi lebih ramah.

Dari studi tersebut   dapat diindikasikan bahwa penggunaan        penghitungan jejak

ekologi dapat digunakan untuk mendorong perubahan dan membantu ke arah

pemanduan pilihan individu mengenai perilaku yang bertanggung jawab terhadap

lingkungan. Hasil penelitian menunjukan terjadi pengurangan jejak ekologi sebanyak

6 persen dari 910 hektar menjadi 850 hektar.



2.1.2. Perhitungan jejak ekologi

       Perhitungan jejak ekologi (ecological footprint) didasarkan pada enam asumsi

dasar (Wackernagel et al., 2002 in Wackernagel et al., 2008) yaitu:

1. Sebagian besar konsumsi sumber daya dan limbah yang dihasilkan manusia dapat

   dilacak.

2. Kebanyakan aliran sumberdaya alam dan limbah dapat dihitung kedalam area

   biologi produktif untuk menelusuri alirannya. Sumberdaya alam dan limbah yang

   tidak dapat dihitung dikeluarkan dari penilaian, yang menjadikan hasil

   perhitungan jejak ekologi ini dibawah keadaan yang sebenarnya.

3. Dengan pembobotan masing-masing daerah kedalam proporsi produktifitas

   biologi yang digunakan, area yang berbeda dapat dikonversi ke dalam satuan

   umum global hektar, yaitu hektar dengan rata-rata produktifitas biologi dunia.

4. Karena satuan global hektar tunggal menyatakan satu jenis penggunaan, dan

   semua global hektar pada satu tahun menyatakan jumlah produktifitas yang sama,
17



     maka global hektar dapat dijumlahkan untuk mendapatkan indikator agregat jejak

     ekologi atau daya dukung lingkungan.

5.   Permintaan manusia, dinyatakan sebagai jejak ekologi, dapat secara langsung

     dibandingkan dengan pasokan alam, daya dukung lingkungan, ketika keduanya

     sama-sama dinyatakan dalam global hektar.

6.   Luas area permintaan dapat melebihi luas area yang disediakan jika permintaan

     pada ekosistem melebihi kapasitas regeneratif ekosistem (misalnya, manusia

     menuntut lebih dibandingkan daya dukung hutan, perikanan, dari ekosistem yang

     telah tersedia). Situasi ini, di mana jejak ekologi melebihi tersedia daya dukung

     lingkungan, dikenal sebagai overshoot.



        Dalam perhitungan jejak ekologi, daratan dan lautan produktif digolongkan

menjadi tujuh jenis type dasar (Chambers et al., 2000).

1.     Lahan pertanian, adalah lahan yang paling produktif secara hayati dibandingkan

       dengan semua jenis penggunaan lahan. Digunakan untuk menghasilkan semua

       produk tanaman, tanaman sawit dan karet.

2.     Lahan penggembalaan, adalah padang rumput dan tanah dan pepohonan jarang

       yang digunakan untuk menghasilkan pakan ternak.

3.     Lahan hutan, adalah hutan alami atau hutan tanam yang bisa menghasilkan

       produk kayu bulat maupun kayu bakar.

4.     Lahan perikanan, merupakan daerah tangkapan komersil yang sekitar 300 km

       dari pantai karena daerah pesisir merupakan daerah laut yang paling produktif.
18



5.   Lahan penyerap karbon, merupakan lahan hutan yang diperlukan untuk

     penyerapan emisi karbon yang dihasilkan manusia.

6.   Lahan terbangun, adalah lahan yang dihitung berdasarkan luas tanah yang

     ditutupi oleh infrastruktur, transportasi, perumahan, struktur industri dan waduk

     untuk pembangkit tenaga listrik listrik. Dengan asumsi bahwa apa yang

     dibangun akan menempati lahan yang sebelumnya merupakan lahan pertanian,

     kecuali kita memiliki bukti spesifik bahwa asumsi ini tidak berlaku. Asumsi ini

     didasarkan pada pengamatan bahwa pemukiman manusia yang umumnya

     terletak di daerah yang sangat subur dengan potensi untuk menghasilkan lahan

     pertanian unggulan (Wackernagel et al., 2002). Tanah terbangun memiliki

     produktifitas secara hayati setara dengan jejak ekologi karena keduanya

     menjelaskan perambahan lahan produktif secara hayati oleh infrastruktur fisik.

7.   Lahan keanekaragaman hayati, adalah digunakan untuk menjaga kelangsungan

     hidup spesies selain manusia, yang besarnya 12 persen dari total lahan dunia.



       Perhitungan jejak ekologi dibagi menjadi 3 tahap utama. Jejak ekologi

individu dihitung berdasarkan semua material biologi yang dikonsumsi dan semua

sampah biologi yang dihasilkan oleh tiap individu. Dan untuk menghitung jejak

ekologi suatu daerah diperoleh dengan cara menjumlahkan jejak ekologi semua

penduduk di daerah tersebut (Chambers et al., 2000).

       Tahap pertama adalah analisis konsumsi sumberdaya biotik (pangan) dengan

cara menambahkan produksi dan impor lalu dikurangi dengan ekspor. Alternatif lain

dengan cara menggunakan data konsumsi penduduk yang didapat secara primer. Jika
19



diperlukan, penyesuaian dilakukan untuk menghindari perhitungan dobel tipe lahan.

Contoh, pakan ternak berupa biji-bijian dimasukan dalam perhitungan lahan pertanian

tidak pada lahan rumput penggembalaan. Perhitungan luas lahan yang dibutuhkan

untuk konsumsi pangan didapat dengan cara membagi jumlah pangan yang

dikonsumsi per tahun (ton) dengan produksi tipe lahan atau laut tertentu per tahun

(ton per hektar) dari tempat asal panen.

       Langkah ke dua menentukan luas jejak ekologi dari sampah yang dihasilkan.

Dari perspektif jejak ekologi ada 3 kategori sampah dan masing-masing kategori

berbeda penanganannya dalam jejak ekologi.

       Kategori pertama adalah sampah biologi seperti sisa produk pertanian, produk

hewan, produk ikan, kayu dan karbon dioksida yang dihasilkan oleh kayu bakar dan

pembakaran bahan bakar fosil sudah termasuk didalam secara implisit dalam jejak

ekologi jika sampah ini dihasilkan didalam suatu proses biologi tertutup. Contoh,

lahan penggembalaan sapi seluas 1 hektar mampu menghasilkan produksi biomassa

dan untuk menyerap sampah biologi yang dihasilkan. Penyerapan sampah yang

dihasilkan dari material biologi yang dipanen tidak dihitung dalam jejak ekologi.

Begitu pula dengan CO2 yang dihasilkan oleh tumbuhan dan pernafasan manusia,

karena sampah ini dihasilkan dalam suatu proses biologi tertutup. Namun CO2 yang

dihasilkan oleh akibat pembakaran kayu bakar ataupun bahan bakar fosil dihitung

karena sampah ini dihasilkan oleh aktifitas non biologi manusia. Adapun lahan yang

dibutuhkan untuk menyerap sampah CO2 ini disebut dengan lahan penyerap karbon.

Kemampuan rata-rata hutan dalam penyerapan karbon dan jumlah emisi CO2 yang

dihasilkan adalah data dasar yang dibutuhkan dalam perhitungan lahan penyerap
20



karbon. Pada perhitungan lahan penyerap karbon tingkat lokal, maka kemampuan

rata-rata peyerapan karbon hutan tergantung pada jenis ekosistem hutan lokal (Scotti

et al., 2007). Hutan alami merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila

dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan (SPL) pertanian, dikarenakan

keragaman pohonnya yang tinggi, dengan tumbuhan bawah dan seresah di permukaan

tanah yang banyak.

       Kategori sampah yang ke dua adalah material yang secara khusus dikirim

pada suatu lahan. Jika lahan yang digunakan adalah lahan produktif, maka jejak lahan

ini dihitung sebagai lahan terbangun yang dipakai sebagai tempat penyimpanan

sampah jangka panjang. Contohnya adalah tempat pembuangan sampah akhir (TPA).

       Kategori sampah yang ke tiga adalah polutan dan racun yang tidak bisa

diserap ataupun diuraikan oleh proses biologi seperti plastik atau senyawa kimia.

Karena jejak ekologi menghitung lahan produktif yang digunakan untuk

memproduksi materi atau menyerap sampah, materi seperti plastik dan senyawa

kimia tidak dihasilkan oleh proses biologi atau diserap oleh sistem biologi, maka

sampah jenis ini tidak terdefinisi dalam jejak ekologi. Sehingga sampah ini tidak

masuk dalam perhitungan jejak ekologi.

       Tahap terakhir perhitungan adalah menjumlahkan jejak ekologi kedalam enam

tipe lahan yang merupakan gambaran konsumsi per kapita. Data per kapita yang

dikalikan dengan jumlah penduduk suatu daerah menggambarkan jejak ekologi

daerah tersebut. Hasil ini kemudian dibandingkan dengan biokapasitas lahan yang

ada.
21



2.1.3. Perhitungan jejak makanan (food footprint)

       Jejak makanan merupakan salah satu bagian dari jejak ekologi sehingga

perhitungan jejak makanan juga mengacu pada konsep perhitungan pada jejak

ekologi. Jenis lahan yang digunakan dalam perhitungan ini adalah 7 jenis penggunaan

lahan pada perhitungan jejak ekologi.

       Pada perhitungan jejak makanan, kebutuhan lahan diperoleh dari total luas

tiap jenis lahan yang dibutuhkan sejak pangan itu diproduksi, diangkut hingga sampai

ke tangan konsumen. Contoh bila penduduk mengkonsumsi beras yang diproduksi

dari luar wilayah, maka perhitungan jejak makanan meliputi luas lahan sawah untuk

menghasilkan beras, lahan penyerap karbon untuk menyerap emisi CO2 dari proses

transportasi dan lahan terbangun untuk konstruksi jalan. Semakin jauh sumber

produksi ke konsumen maka semakin besar jejak ekologi yang ditimbulkan, yang

artinya semakin banyak pula sumberdaya alam yang kita gunakan. Hasil perhitungan

metode jejak ekologi ini kemudian dibandingkan dengan biokapasitas yang ada untuk

mengetahui status penggunaan sumberdaya alam oleh manusia, apakah defisit atau

surplus.

       Pada perhitungan jejak makanan, konsumsi pangan hewani akan memberikan

jejak makanan yang lebih luas dibandingkan dengan konsumsi pangan nabati.

Perkiraan jejak makanan ini didasarkan pada biaya metode produksi makanan

modern, diantaranya : biaya penanaman tanaman (rumput) dan area/lahan yang

digunakan, pupuk petrokimia yang digunakan, pengendalian hama menggunakan

pestisida, biaya pengemasan dan biaya pengiriman. Semakin jauh lokasi pangan
22



berasal dengan konsumen, maka bahan bakar yang digunakan semakin banyak dan

menghasilkan emisi karbon yang semakin besar.

         Langkah pertama dalam perhitungan lahan produktif dalam pemenuhan

konsumsi pangan adalah menghitung rata-rata konsumsi pangan individu tahunan

dari data konsumsi regional dan membaginya dengan jumlah populasi didaerah

tersebut (Chambers et al., 2000). Alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan cara

pengukuran data konsumsi rumah tangga atau individu langsung menggunakan

metode survei (Bond, 2002 dan Rumbiyanti, 2009). Dari hasil perhitungan konsumsi

individu, dapat digunakan untuk menghitung konsumsi pangan suatu wilayah dengan

cara mengalikannya dengan jumlah penduduk di wilayah tersebut (Scotti et al.,

2008).

         Langkah kedua perhitungan jejak makanan adalah mengkonversi konsumsi

pangan menjadi satuan lahan yang dipeoleh dengan cara membagi jumlah konsumsi

masing-masing jenis pangan dibagi rata-rata hasil produksi pangan tahunan di daerah

asal pangan tersebut. Contoh, bila beras yang dikonsumsi di Kabupaten Bangka

Tengah berasal dari Provinsi Jawa Barat, maka data produksi beras yang digunakan

adalah data produksi beras dari daerah tersebut.

         Sedangkan untuk perhitungan produk pangan turunan yang telah berubah dari

bentuk panen awal seperti beras, gula, kecap, roti dan pangan lainnya harus diketahui

terlebih dahulu komposisi jenis dan berat bahan pembentuknya (Wackernagel at. al,

2005). Konversi kebutuhan lahan untuk pangan turunan           didapat dengan cara

mengalikan jumlah pangan turunan yang dikonsumsi dengan fraksi produk

(randemen). Kemudian baru dihitung jumlah lahan yang diperlukan dengan cara
23



membagi jumlah bahan primer yang diperlukan dengan produktifitas jenis bahan

pangan tersebut.


2.1.4. Konsumsi pangan

       Menurut Wackernagel et al. (2000) menyatakan bahwa jejak ekologi sangat

tergantung pada pendapatan, harga barang, nilai-nilai sosial yang dianut pribadi dan

masyarakat, yang kemudian akan mempengaruhi konsumsi. Konsumsi pangan pada

masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor. Konsumsi pangan merupakan gambaran

mengenai jumlah, jenis, dan frekuensi bahan makanan yang dikonsumsi seseorang

dan merupakan ciri khas pada suatu kelompok masyarakat tertentu. Harper dkk.

(2006) menyatakan faktor-faktor yang sangat mempengaruhi konsumsi pangan di

mana saja adalah: 1) ketersediaan pangan; 2) tingkat pendapatan; dan 3) pengetahuan

gizi. Selain itu penelitian Suhaimi tahun 2006 terhadap penduduk asli di Kabupaten

Kutai dalam Nugrahanto (2009) menunjukan faktor sosial, budaya dan ekonomi yang

mempengaruhi konsumsi menunjukkan bahwa faktor sosial yang mempengaruhi

konsumsi pangan adalah pengetahuan pangan dan gizi ibu, sedangkan ukuran

keluarga dan pendidikan kepala keluarga tidak berpengaruh secara signifikan.

Sedangkan faktor budaya yang berpengaruh secara signifikan yaitu : pola konsumsi

pangan, kesukaan terhadap bahan pangan, pantangan makan, dan status dalam

keluarga. Faktor ekonomi yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan yaitu tingkat

pendapatan juga berpengaruh signifikan terhadap konsumsi pangan rumah tangga.

       Gaya hidup juga merupakan faktor yang ber-hubungan dengan perilaku

makan, seperti model yang dikemukakan oleh Pelto (1980) bahwa perilaku makan
24



ditentukan oleh gaya hidup selain pengaruh sistem produksi dan distribusi pangan

serta sistem sosial ekonomi. Adapun gaya hidup tersebut merupakan hasil pengaruh

beragam fak-tor yaitu pendapatan, pekerjaan, pendidikan, etnik, tempat tinggal,

agama, pengetahuan kesehatan dan gizi serta karakteristik fisiologis. Dari uraian di

atas tampak jelas bahwa pengetahuan gizi dapat mempengaruhi keragaman konsumsi

pangan penduduk. Meskipun demikian, pengaruh positif pengetahuan gizi terhadap

keragaman konsumsi pangan dapat berubah atau ditiadakan oleh faktor daya beli atau

ekonomi,   ketersediaan waktu     untuk   membeli    atau   menyiapkan    makanan,

kepercayaan, kesukaan pangan dan, ketersediaan pangan.

       Keragaman konsumsi pangan di tingkat rumah tangga erat hubungannya

dengan ciri-ciri demografis, aspek sosial, ekonomi serta potensi sumberdaya alam

setempat. Akibat perbedaan tersebut dan kendala distribusi antar daerah, pola

konsumsi antar daerah akan bervariasi dari satu daerah dengan daerah yang lain,

bahkan antar perkotaan dan perdesaan (Sayekti, 2008). Selain itu terdapat dugaan

bahwa pola konsumsi sangat berkaitan dengan pola produksi setempat. Hasil

penelitian Sayekti (2008) menunjukan bahwa konsumsi beras lebih tinggi diwilayah

perdesaan dibandingkan dengan perkotaan, sedangkan untuk konsumsi pangan

hewani lebih besar pada perkotaan dibandingkan perdesan.


2.1.4.1 Pengaruh karakteristik tempat tinggal terhadap konsumsi pangan

       Komunitas sosial manusia secara umum sering dikategorikan menjadi 2

bagian, yaitu komunitas perdesaan dan komunitas perkotaan. Pembagian kategori ini

umumnya didasarkan atas jumlah penduduk dan pekerjaannya (Horton et al., 1984).
25



Walaupun sebenarnya pembagian ini tidak akan tidak akan memuaskan, karena tidak

mencakup komunitas-komunitas lainnya seperti tempat dagang atau kamp tambang.

Transportasi modern yang telah membuat batas kota dan desa menjadi kurang jelas

sehingga mengakibatkan perbedaan antara perdesaan perkotaan semakin sedikit.

Perkotaan

       Adapun definisi kota menurut Max Weber adalah tempat yang penghuninya

sebagian besar telah mampu memenuhi kebutuhannya lewat pasar setempat yang

barang-barangnya berasal dari pedesaan. Sedangkan menurut Bintarto, kota adalah

sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami

dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan

yang bersifat heterogen dan materialistik dibanding dengan daerah belakangnya.

Adapun ciri-ciri fisik kota ditandai adanya : 1) tempat-tempat untuk pasar; 2) tempat-

tempat untuk parker; 3) tempat-tempat rekreasi dan olahraga. Sedangkan ciri-ciri

sosial kota adalah : 1) pembagian kerja tegas; 2) masyarakatnya heterogen; 3)

individualism; 4) materialisme dan konsumerisme; 5) adanya toleransi sosial.

       Definisi perkotaan menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah Kawasan Perkotaan, adalah kawasan yang mempunyai kegiatan

utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman

perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial,

dan kegiatan ekonomi. Sedangkan menurut Kepmendagri Nomor 65 Tahun 1999

tentang Pedoman Umum Mengenai Pembentukan Kelurahan, kelurahan dibentuk di
26



kawasan perkotaan dengan memperhatikan persyaratan luas wilayah, jumlah

penduduk, potensi dan kondisi sosial budaya masyarakat.

        Adapun ciri-ciri suatu kota sesuai dengan Inmendagri Nomor 7 tahun 1986

tentang Penetapan Batas Wilayah Kota di Seluruh Indonesia adalah sebagai berikut :

1.   Fisik

Ciri-ciri aspek fisik wilayah kota adalah sebagai berikut:

     Tempat pemukiman penduduk yang merupakan satu kesatuan dengan luas,

     jumlah bangunan, kepadatan bangunan yang            relatif lebih tinggi dari pada

     wilayah sekitarnya;

     Proporsi bangunan permanen lebih besar ditempat itu dari pada diwilayah

     sekitarnya;

     Mempunyai lebih banyak bangunan fasilitas sosial – ekonomi ( sekolah,

     poliklinik, pasar, toko, kantor pemerintah ,dll ) dari pada wilayah sekitarnya.

2.   Sosial Ekonomi

Ciri–ciri wilayah kota berdasarkan aspek–aspek sosial ekonomi adalah sebagai

berikut :

     Mempunyai kepadatan penduduk yang relatif lebih besar dari pada wilayah

     sekitarnya, yang dalam satu kesatuan areal terbangun berjumlah sekurang -

     kurangnya 20.000 orang dipulau jawa, madura, dan bali, atau 10.000 di luar

     pulau–pulau tersebut;

     Mempunyai kepadatan penduduk yang relatif lebih tinggi dari wilayah

     sekitarnya;
27



    Mempunyai proporsi jumlah penduduk yang berkerja disektor non pertanian,

    seperti : Pemerintahan, perdagangan, industri , jasa dan lain – lain, yang lebih

    tinggi dari wilayah sekitarnya;

    Merupakan pusat kegiatan ekonomi yang menghubungkan kegiatan pertanian

    wilayah sekitarnya dan tempat pemasaran atau prosessing bahan baku untuk

    kegiatan industri.

Perdesaan

       Definisi desa menurut Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintah Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan

untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-

usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan

berada di Daerah Kabupaten.

       Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama

pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan fungsi kawasan

sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan

sosial, dan kegiatan ekonomi.

       Berbagai pengertian tersebut tidak dapat diterapkan secara universal untuk

desa-desa di Indonesia karena kondisi yang sangat beragam antara satu dengan yang

lainnya. Bagi daerah yang lebih maju khususnya di Pulau Jawa dan Pulau Bali, antara

desa dan kota tidak lagi terdapat perbedaan yang jelas sehingga pengertian dan

karakteristik tersebut menjadi tidak berlaku. Namun, bagi daerah yang belum
28



berkembang khususnya desa-desa di luar Pulau Jawa dan Pulau Bali, pengertian

tersebut masih cukup relevan.

       Adapun ciri-ciri sosial desa adalah sebagai berikut :

a) Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa.

b) Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan

c) Cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat

    dipengaruhi alam seperti : iklim, keadaan alam ,kekayaan alam, sedangkan

    pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan.


       Masing-masing karakteristik daerah ini akan menyebabkan perbedaan pola

konsumsi yang berbeda pula. Keragaman konsumsi pangan yang menunjukkan

perbedaan antara masyarakat perdesaan dan perkotaan ditunjukan dalam penelitian

Nugrahanto (2009) pada kota Kupang Nusa Tenggara Timur. Pada wilayah perkotaan

konsumsi pangan cukup beragam, dari beras, terigu dan sayur mayur. Konsumsi

karbohidrat padi-padian terutama beras di wilayah perkotaan lebih tinggi daripada

wilayah pedesaan, karena masyarakat didaerah pedesaan juga mengkonsumsi jagung

sebagai makanan pokoknya. Perbedaan ini sebabkan oleh rendahnya daya beli, akses

terhadap pasar yang relatif jauh juga semakin mendorong masyarakat lebih

mengandalkan hasil lahan sendiri baik untuk makanan pokok maupun bahan makanan

sayur mayur dan buah (Nugrahanto, 2009). Hal ini menunjukkan pola konsumsi pada

rumah tangga yang berpendapatan rendah lebih mengarah pada pangan pokok yang

berbasis potensi lokal dan variasi pangan kurang mendapat perhatian. Hasil senada

ditunjukan pula oleh penelitian Wood et al. (2008) di Australia utara. Populasi
29



penelitian diklasifikasikan berdasarkan jarak dengan pusat kota untuk mendeliniasi

batasan antara penduduk pribumi dan penduduk non-pribumi.

       Tingkat konsumsi dipengaruhi juga oleh pola makan atau kebiasaan makan.

Pola makan di pedesaan belum banyak terpengaruh pola makannya dibandingkan

dengan pola makan di perkotaan. Pada akhirnya kecukupan asupan makan di kota

baik kualitas maupun kuantitas lebih baik daripada kecukupan asupan makan di desa.

       Pola konsumsi masyarakat di perdesaan dan di perkotaan berbeda, karena

masyarakat di kota lebih mementingkan kandungan zat gizi makanan dari bahan

makanan yang dikonsumsi dilihat dari keadaan sosial ekonomi penduduk lebih

mampu, tersedianya fasilitas kesehatan memadai, fasilitas pendidikan lebih baik,

tersedianya tenaga kesehatan, serta lapangan usaha mayoritas penduduk pegawai dan

wiraswasta. Sedangkan di desa, pola konsumsi masyarakat kurang memenuhi syarat

dilihat dari keadaan sosial ekonomi yang tidak mampu, fasilitas kesehatan yang

terbatas, fasilitas pendidikan kurang, tersedianya tenaga kesehatan serta lapangan

kerja penduduk mayoritas petani dan buruh (BPS, 1994).



2.1.4.2 Pengaruh pendapatan terhadap konsumsi pangan

       Data SUSENAS tahun 2004, menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga

berhubungan dengan asupan total kalori dan asupan kalori dari kelompok pangan

utama. Semakin tinggi pendapatan rumah tangga maka semakin tinggi asupan kalori

dari   kelompok   pangan    hewani,   sayur   dan    buah-buahan.   Hal    tersebut

mengimplikasikan bahwa semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi

kemungkinan untuk mengonsumsi beragam jenis pangan. Rumah tangga sebagai
30



satuan/unit primer penghasil pendapatan juga merupakan unit primer konsumsi

pangan. Semakin tinggi pendapatan rumahtangga maka akan semakin tinggi pula

pendapatan yang dialokasikan untuk pangan. Tabel 2.3 menunjukkan perbedaan

tingkat konsumsi energi dan protein masyarakat antar kelompok pendapatan dengan

kecenderungan semakin tinggi pendapatan semakin tinggi pula tingkat konsumsinya.


Tabel 2.3 Konsumsi energi makanan dan protein menurut kelompok pendapatan

 Kelompok pendapatan       Penduduk     Energi              Protein
  (Rp/kap/ bulan)          (%)          (Kal/kap/hari)      (gram/kap/hari)
 I < 60.000                0,72         1. 240,9            31,5
 II = 60.000 – 79.999      3,45         1.452,0             28,0
 III = 80.000 – 99.999     7,80         1.627,6             37,5
 IV = 100.000 – 149. 999   23,17        1.794,9             43,3
 V = 150.000 – 199. 999    21,47        1.983,4             49,4
 VI = 200.000 – 299. 999 22,82          2.126,8             54,6
 VII = 300.000 – 499. 999 14,01         2.253,1             62,2
 VIII > 500.000           6,57          2.398,0             72,9
Sumber : Susenas 2004 BPS

       Hardinsyah (2007) melakukan review terhadap berbagai faktor yang menjadi

penentu keragaman konsumsi pangan yang mencakup faktor pengetahuan gizi, sosio

demografi dan ekonomi. Dari berbagai penelitian yang direview terdapat lima lima

faktor yang diduga merupakan penentu penting keragaman konsumsi pangan yaitu

daya beli pangan, pengetahuan gizi, waktu yang tersedia untuk pengelolaan pangan,

kesukaan pangan dan ketersediaan pangan.

       Hal senada juga ditunjukan oleh Sayekti (2008), semakin tinggi pendapatan

maka semakin rendah konsumsi pangan sumber karbohidrat padi-padian dan semakin
31



tinggi konsumsi sumber protein hewani daging, telur, susu serta makanan dan

minuman jadi.


2.1.4.3 Pengaruh pendidikan terhadap konsumsi pangan

       Pola konsumsi pangan juga tergantung dengan tingkat pendidikan anggota

rumah tangga. Umumnya semakin tinggi tingkat pendidikan formal penduduk

menyebabkan meningkatnya pengetahuan dan wawasan tentang pentingnya kualitas

pangan yang dikonsumsi. Hal ini akan menyebabkan semakin bervariasinya pangan

yang dikonsumsi sehingga kebutuhan gizi dan kesehatan akan menjadi lebih baik.

       Menurut Riyadi (2003) dalam Suyastiri (2008), semakin tinggi tingkat

pendidikan dan pengetahuan seseorang umumnya semakin tinggi pula kesadaran

untuk memenuhi pola konsumsi yang seimbang dan memenuhi syarat gizi serta

selektif dalam kaitannya tentang ketahanan pangan. Tingkat pendidikan akan

mempengaruhi        konsumsi   melalui   pemilihan   bahan   pangan.   Orang   yang

berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam

jumlah dan mutunya dibandingkan mereka yang berpendidikan lebih rendah.

Pendidikan sangat mempengaruhi kemampuan penerimaan informasi gizi yang

disampaikan kepadanya. Tingkat pendidikan yang sangat rendah menghambat

penerimaan informasi baru. Tingkat pendidikan formal umumnya mencerminkan

kemampuan seseorang untuk memahami berbagai aspek pengetahuan, termasuk

pengetahuan gizi.

       Semakin tinggi pendidikan seseorang, umumnya akses terhadap media massa

juga makin tinggi yang juga berarti aksesnya terhadap informasi yang berkaitan
32



dengan gizi juga semakin tinggi. Wanita terpelajar cenderung untuk tertarik terhadap

informasi gizi dan banyak di antara mereka yang memperoleh informasi tersebut dari

media cetak, khususnya majalah dan koran (Hickman et al., 1993 dalam Hardiansyah,

2007).


2.2.     Kerangka pemikiran

         Keterbatasan produksi pangan di Kabupaten Bangka Tengah menyebabkan

tingginya ketergantungan daerah ini terhadap pasokan pangan dari luar daerah. Disisi

lain, masih tersedia cukup lahan yang dapat digunakan untuk peningkatan produksi

pertanian. Untuk mengatasi hal ini, maka perlu dilakukan suatu kajian mengenai

kebutuhan lahan dalam mencukupi kebutuhan pangan penduduk. Hasil kajian ini

diharapkan dapat memberi arahan kebijakan yang tepat untuk mengatasi masalah

ketergantungan pangan. Jejak makanan digunakan sebagai metode kajian karena

dapat memberikan informasi mengenai kebutuhan lahan dalam mencukupi konsumsi

pangan penduduk.

         Jejak makanan adalah suatu metode penghitungan sumberdaya lahan yang

diperlukan untuk mencukupi kebutuhan pangan. Jejak makanan didapat dengan cara

membagi jumlah konsumsi pangan dengan produktifitas pangan. Hasil perhitungan

ini adalah luas lahan dalam satuan hektar. Besar jejak makanan sangat dipengaruhi

oleh jumlah konsumsi dan produktifitas lahan sumber pangan yang dikonsumsi.

Semakin besar jumlah konsumsi pangan maka semakin besar pula jejak makanan

yang ditimbulkan. Pertumbuhan penduduk dan perubahan gaya hidup akan
33



meningkatkan konsumsi pangan. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

konsumsi pangan adalah karakteristik tempat tinggal, pendapatan dan pendidikan.

       Karakteristik tempat tinggal akan mempengaruhi jenis dan jumlah pangan

yang dikonsumsi. Penduduk perkotaan cenderung lebih banyak mengkonsumsi

sumber protein hewani seperti daging, telur dan susu, serta pangan dalam bentuk

makanan atau minuman jadi. Hal ini disebabkan ketersediaan jenis pangan tersebut

lebih beragam dan mudah diakses oleh penduduk yang tinggal di perkotaan. Pada

penduduk yang tinggal di pedesaan, pangan yang dikonsumsi lebih banyak berupa

pangan nabati seperti jagung, umbi-umbian dan sayur-sayuran dan umumnya

dihasilkan sendiri. Hal ini disebabkan akses penduduk di perdesaan terhadap pangan

terbatas karena distribusinya yang kurang lancar akibat faktor transportasi.

       Pendapatan keluarga akan memberikan tingkatan kemampuan ekonomi

keluarga yang berbeda. Keluarga dengan kategori Pra Sejahtera, keluarga Sejahtera I,

keluarga Sejahtera II, keluarga Sejahtera III dan keluarga Sejahtera III+ akan

mengkonsumsi pangan yang berbeda baik jenis dan jumlahnya. Semakin tinggi

tingkat perekonomian keluarga maka akan mempunyai daya beli yang tinggi pula,

sehingga memberikan peluang yang lebih besar untuk memilih berbagai jenis

makanan.

       Tingkat pendidikan mempengaruhi keragaman konsumsi pangan. Umumnya

tingkat pendidikan yang tinggi akan menyebabkan mudahnya dalam menerima

informasi baru. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin tinggi pula

pengetahuan gizi. Tingkat pendidikan yang tinggi akan mempunyai pola konsumsi

yang berbeda dengan penduduk dengan tingkat pendidikan rendah.
34



       Jejak makanan ini dapat memberikan informasi mengenai seberapa besar

sumberdaya alam terutama lahan yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan

pangan penduduk perdesaan dan perkotaan di Kabupaten Bangka Tengah dan

seberapa besar sumberdaya lahan yang dimiliki. Hasil perhitungan jejak makanan ini

akan menggambarkan kebutuhan lahan penduduk dengan karakteristik berbeda yang

kemudian dibandingkan dengan lahan pertanian yang ada. Informasi lebih mengenai

jenis pangan apa yang paling banyak membutuhkan lahan dan kebijakan apa yang

harus diambil agar dapat mendukung jejak makanan. Jejak makanan ini tidak hanya

digunakan untuk mengetahui jenis konsumsi pangan tetapi juga dapat memberikan

patokan bagi perencana produksi pangan dan pertanian untuk mengetahui kelompok

pangan yang harus ditingkatkan produksinya sesuai dengan keadaan ekologi dan

ekonomi di Kabupaten Bangka Tengah.
35



                                      Kebijakan


        Permintaan                                            Pasokan


Pertumbuhan    Perubahan                      Produk pangan         Produk pangan
 penduduk      gaya hidup                      dari luar Kab.      dari Kab. Bangka
                                              Bangka Tengah             Tengah

        Konsumsi
                                                  Luas lahan            Luas lahan
                                                  Data produksi         Data produksi
                            Karakteristik
     Jenis dan jumlah          tempat
     konsumsi pangan          tinggal,
                            Pendapatan,        Biokapasitas             Biokapasitas
                             Pendidikan       lahan dari luar           lahan lokal


       Besar jejak                                         Biokapasitas
        makanan                                               lahan




                            Status biokapasitas lahan lokal
                               terhadap jejak makanan



                              Pengelolaan sumberdaya
                                 alam berkelanjutan


               : lingkup penelitian


Gambar 2.2. Kerangka pemikiran

Más contenido relacionado

Was ist angesagt?

Tiga Cara Memotong file Raster Sesuai Batas Polygon Menggunakan ArcGIS
Tiga Cara Memotong file Raster Sesuai Batas Polygon Menggunakan ArcGISTiga Cara Memotong file Raster Sesuai Batas Polygon Menggunakan ArcGIS
Tiga Cara Memotong file Raster Sesuai Batas Polygon Menggunakan ArcGISbramantiyo marjuki
 
Struktur Umur Penduduk Sumatera Selatan
Struktur Umur Penduduk Sumatera SelatanStruktur Umur Penduduk Sumatera Selatan
Struktur Umur Penduduk Sumatera SelatanFaharuddin Fahar
 
Perka BIG No. 3 Tahun 2016 tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta Desa
Perka BIG No. 3 Tahun 2016 tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta DesaPerka BIG No. 3 Tahun 2016 tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta Desa
Perka BIG No. 3 Tahun 2016 tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta DesaJaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
 
Ppt review jurnal
Ppt review jurnalPpt review jurnal
Ppt review jurnalAsrilazis
 
Perhitungan fertilitas-mortalitas-dan-migrasi1
Perhitungan fertilitas-mortalitas-dan-migrasi1Perhitungan fertilitas-mortalitas-dan-migrasi1
Perhitungan fertilitas-mortalitas-dan-migrasi1Aulia Nofrianti
 
CV Kanaidi, SE., M.Si., cSAP (Pembicara / Narasumber / Fasilitator / Pemateri )
CV Kanaidi, SE., M.Si., cSAP (Pembicara / Narasumber / Fasilitator / Pemateri  )CV Kanaidi, SE., M.Si., cSAP (Pembicara / Narasumber / Fasilitator / Pemateri  )
CV Kanaidi, SE., M.Si., cSAP (Pembicara / Narasumber / Fasilitator / Pemateri )Kanaidi ken
 
Panduan skripsi ta word revisi
Panduan skripsi ta word revisiPanduan skripsi ta word revisi
Panduan skripsi ta word revisiAsmin Tana
 
Analisis satuan kemampuan lahan
Analisis satuan kemampuan lahanAnalisis satuan kemampuan lahan
Analisis satuan kemampuan lahanSOFI ANI
 
Makalah perpetaan & sig
Makalah perpetaan & sigMakalah perpetaan & sig
Makalah perpetaan & sigEko Artanto
 
Logbook kegiatan aktualisasi
Logbook kegiatan aktualisasiLogbook kegiatan aktualisasi
Logbook kegiatan aktualisasiTaufiq Hidayat
 
Analisis spasial
Analisis spasialAnalisis spasial
Analisis spasial11-1-20-1
 
proyeksi air bersih
proyeksi air bersihproyeksi air bersih
proyeksi air bersihReza Nuari
 
Contoh Ppt Seminar Proposal
Contoh Ppt Seminar ProposalContoh Ppt Seminar Proposal
Contoh Ppt Seminar ProposalAgung Agung
 

Was ist angesagt? (20)

Review Jurnal
Review JurnalReview Jurnal
Review Jurnal
 
Tiga Cara Memotong file Raster Sesuai Batas Polygon Menggunakan ArcGIS
Tiga Cara Memotong file Raster Sesuai Batas Polygon Menggunakan ArcGISTiga Cara Memotong file Raster Sesuai Batas Polygon Menggunakan ArcGIS
Tiga Cara Memotong file Raster Sesuai Batas Polygon Menggunakan ArcGIS
 
Struktur Umur Penduduk Sumatera Selatan
Struktur Umur Penduduk Sumatera SelatanStruktur Umur Penduduk Sumatera Selatan
Struktur Umur Penduduk Sumatera Selatan
 
Perka BIG No. 3 Tahun 2016 tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta Desa
Perka BIG No. 3 Tahun 2016 tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta DesaPerka BIG No. 3 Tahun 2016 tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta Desa
Perka BIG No. 3 Tahun 2016 tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta Desa
 
Proyeksi penduduk
Proyeksi pendudukProyeksi penduduk
Proyeksi penduduk
 
Ppt review jurnal
Ppt review jurnalPpt review jurnal
Ppt review jurnal
 
Perhitungan fertilitas-mortalitas-dan-migrasi1
Perhitungan fertilitas-mortalitas-dan-migrasi1Perhitungan fertilitas-mortalitas-dan-migrasi1
Perhitungan fertilitas-mortalitas-dan-migrasi1
 
Populasi dan sampel
Populasi dan sampelPopulasi dan sampel
Populasi dan sampel
 
CV Kanaidi, SE., M.Si., cSAP (Pembicara / Narasumber / Fasilitator / Pemateri )
CV Kanaidi, SE., M.Si., cSAP (Pembicara / Narasumber / Fasilitator / Pemateri  )CV Kanaidi, SE., M.Si., cSAP (Pembicara / Narasumber / Fasilitator / Pemateri  )
CV Kanaidi, SE., M.Si., cSAP (Pembicara / Narasumber / Fasilitator / Pemateri )
 
Panduan skripsi ta word revisi
Panduan skripsi ta word revisiPanduan skripsi ta word revisi
Panduan skripsi ta word revisi
 
Analisis satuan kemampuan lahan
Analisis satuan kemampuan lahanAnalisis satuan kemampuan lahan
Analisis satuan kemampuan lahan
 
Makalah perpetaan & sig
Makalah perpetaan & sigMakalah perpetaan & sig
Makalah perpetaan & sig
 
Logbook kegiatan aktualisasi
Logbook kegiatan aktualisasiLogbook kegiatan aktualisasi
Logbook kegiatan aktualisasi
 
pengukuran timbulan sampah
pengukuran timbulan sampahpengukuran timbulan sampah
pengukuran timbulan sampah
 
Filsafat geografi
Filsafat geografiFilsafat geografi
Filsafat geografi
 
Analisis spasial
Analisis spasialAnalisis spasial
Analisis spasial
 
Tabel r
Tabel rTabel r
Tabel r
 
proyeksi air bersih
proyeksi air bersihproyeksi air bersih
proyeksi air bersih
 
Contoh Ppt Seminar Proposal
Contoh Ppt Seminar ProposalContoh Ppt Seminar Proposal
Contoh Ppt Seminar Proposal
 
Tugas Amdal (contoh KA - ANDAL)
Tugas Amdal (contoh KA - ANDAL)Tugas Amdal (contoh KA - ANDAL)
Tugas Amdal (contoh KA - ANDAL)
 

Ähnlich wie Bab II

Daya dukung lingkungan
Daya dukung lingkunganDaya dukung lingkungan
Daya dukung lingkungancandrasukar
 
Daya dukung lingkungan
Daya dukung lingkunganDaya dukung lingkungan
Daya dukung lingkunganRiska_21
 
Analisis daya-dukung-dan-analisis-pembagian-lokasi
Analisis daya-dukung-dan-analisis-pembagian-lokasiAnalisis daya-dukung-dan-analisis-pembagian-lokasi
Analisis daya-dukung-dan-analisis-pembagian-lokasiChintosa Into
 
Daya dukung lingkungan
Daya dukung lingkunganDaya dukung lingkungan
Daya dukung lingkungancandrasukar
 
Daya dukung lingkungan
Daya dukung lingkunganDaya dukung lingkungan
Daya dukung lingkungancandrasukar
 
Daya dukung lingkungan
Daya dukung lingkunganDaya dukung lingkungan
Daya dukung lingkungancandrasukar
 
Pengelolaan lingkungan berkelanjutan dalam perspektif pendidikan new
Pengelolaan lingkungan berkelanjutan dalam perspektif pendidikan newPengelolaan lingkungan berkelanjutan dalam perspektif pendidikan new
Pengelolaan lingkungan berkelanjutan dalam perspektif pendidikan newEdiSuryadi12
 
Bab 1. pendahuluan evaluasi lahan s1 agrotek by ndaru
Bab 1. pendahuluan evaluasi lahan s1 agrotek by ndaruBab 1. pendahuluan evaluasi lahan s1 agrotek by ndaru
Bab 1. pendahuluan evaluasi lahan s1 agrotek by ndaruPurwandaru Widyasunu
 
Krisis Iklim: perubahan sosial, inovasi dan tata kelola (Climate Crisis: soci...
Krisis Iklim: perubahan sosial, inovasi dan tata kelola (Climate Crisis: soci...Krisis Iklim: perubahan sosial, inovasi dan tata kelola (Climate Crisis: soci...
Krisis Iklim: perubahan sosial, inovasi dan tata kelola (Climate Crisis: soci...Farhan Helmy
 
Memahami Krisis Iklim dan Potensi Solusinya berdarkan En-ROADS Simulation
Memahami Krisis Iklim dan Potensi Solusinya berdarkan En-ROADS Simulation Memahami Krisis Iklim dan Potensi Solusinya berdarkan En-ROADS Simulation
Memahami Krisis Iklim dan Potensi Solusinya berdarkan En-ROADS Simulation Farhan Helmy
 
Tugas presentasi wayan
Tugas presentasi wayanTugas presentasi wayan
Tugas presentasi wayanWayan Susanto
 
Bahan Kuliah Pertanian Terpadu Bab 3 Prinsip Dasar Pertanian Terpadu
Bahan Kuliah Pertanian Terpadu Bab 3 Prinsip Dasar Pertanian TerpaduBahan Kuliah Pertanian Terpadu Bab 3 Prinsip Dasar Pertanian Terpadu
Bahan Kuliah Pertanian Terpadu Bab 3 Prinsip Dasar Pertanian TerpaduPurwandaru Widyasunu
 
Kerangka pemikiran penelitian
Kerangka pemikiran penelitianKerangka pemikiran penelitian
Kerangka pemikiran penelitianAndesSastraYunaf
 
Konsep DDDTLH Berdasar Jasa Ekosistem-1.pdf
Konsep DDDTLH Berdasar Jasa Ekosistem-1.pdfKonsep DDDTLH Berdasar Jasa Ekosistem-1.pdf
Konsep DDDTLH Berdasar Jasa Ekosistem-1.pdfsdgsperusahaanMuaraE
 
Pembangunan Berwawasan Lingkungan (Tugas Pengetahuan Lingkungan)
Pembangunan Berwawasan Lingkungan (Tugas Pengetahuan Lingkungan)Pembangunan Berwawasan Lingkungan (Tugas Pengetahuan Lingkungan)
Pembangunan Berwawasan Lingkungan (Tugas Pengetahuan Lingkungan)Nurul Afdal Haris
 

Ähnlich wie Bab II (20)

Daya dukung lingkungan
Daya dukung lingkunganDaya dukung lingkungan
Daya dukung lingkungan
 
Bab i ratih
Bab i ratihBab i ratih
Bab i ratih
 
Daya dukung lingkungan
Daya dukung lingkunganDaya dukung lingkungan
Daya dukung lingkungan
 
Analisis daya-dukung-dan-analisis-pembagian-lokasi
Analisis daya-dukung-dan-analisis-pembagian-lokasiAnalisis daya-dukung-dan-analisis-pembagian-lokasi
Analisis daya-dukung-dan-analisis-pembagian-lokasi
 
Daya dukung lingkungan
Daya dukung lingkunganDaya dukung lingkungan
Daya dukung lingkungan
 
Daya dukung lingkungan
Daya dukung lingkunganDaya dukung lingkungan
Daya dukung lingkungan
 
Daya dukung lingkungan
Daya dukung lingkunganDaya dukung lingkungan
Daya dukung lingkungan
 
Pengelolaan lingkungan berkelanjutan dalam perspektif pendidikan new
Pengelolaan lingkungan berkelanjutan dalam perspektif pendidikan newPengelolaan lingkungan berkelanjutan dalam perspektif pendidikan new
Pengelolaan lingkungan berkelanjutan dalam perspektif pendidikan new
 
Bab 1. pendahuluan evaluasi lahan s1 agrotek by ndaru
Bab 1. pendahuluan evaluasi lahan s1 agrotek by ndaruBab 1. pendahuluan evaluasi lahan s1 agrotek by ndaru
Bab 1. pendahuluan evaluasi lahan s1 agrotek by ndaru
 
Krisis Iklim: perubahan sosial, inovasi dan tata kelola (Climate Crisis: soci...
Krisis Iklim: perubahan sosial, inovasi dan tata kelola (Climate Crisis: soci...Krisis Iklim: perubahan sosial, inovasi dan tata kelola (Climate Crisis: soci...
Krisis Iklim: perubahan sosial, inovasi dan tata kelola (Climate Crisis: soci...
 
Ekotan 15
Ekotan 15Ekotan 15
Ekotan 15
 
Memahami Krisis Iklim dan Potensi Solusinya berdarkan En-ROADS Simulation
Memahami Krisis Iklim dan Potensi Solusinya berdarkan En-ROADS Simulation Memahami Krisis Iklim dan Potensi Solusinya berdarkan En-ROADS Simulation
Memahami Krisis Iklim dan Potensi Solusinya berdarkan En-ROADS Simulation
 
ISU LINGKUNGAN DI BEBERAPA NEGARA BAGIAN AMERIKA SERIKAT
ISU LINGKUNGAN DI BEBERAPA NEGARA BAGIAN AMERIKA SERIKATISU LINGKUNGAN DI BEBERAPA NEGARA BAGIAN AMERIKA SERIKAT
ISU LINGKUNGAN DI BEBERAPA NEGARA BAGIAN AMERIKA SERIKAT
 
Tugas presentasi wayan
Tugas presentasi wayanTugas presentasi wayan
Tugas presentasi wayan
 
Bahan Kuliah Pertanian Terpadu Bab 3 Prinsip Dasar Pertanian Terpadu
Bahan Kuliah Pertanian Terpadu Bab 3 Prinsip Dasar Pertanian TerpaduBahan Kuliah Pertanian Terpadu Bab 3 Prinsip Dasar Pertanian Terpadu
Bahan Kuliah Pertanian Terpadu Bab 3 Prinsip Dasar Pertanian Terpadu
 
Kerangka pemikiran penelitian
Kerangka pemikiran penelitianKerangka pemikiran penelitian
Kerangka pemikiran penelitian
 
Potensi Hutan
Potensi HutanPotensi Hutan
Potensi Hutan
 
Konsep DDDTLH Berdasar Jasa Ekosistem-1.pdf
Konsep DDDTLH Berdasar Jasa Ekosistem-1.pdfKonsep DDDTLH Berdasar Jasa Ekosistem-1.pdf
Konsep DDDTLH Berdasar Jasa Ekosistem-1.pdf
 
History spb
History spbHistory spb
History spb
 
Pembangunan Berwawasan Lingkungan (Tugas Pengetahuan Lingkungan)
Pembangunan Berwawasan Lingkungan (Tugas Pengetahuan Lingkungan)Pembangunan Berwawasan Lingkungan (Tugas Pengetahuan Lingkungan)
Pembangunan Berwawasan Lingkungan (Tugas Pengetahuan Lingkungan)
 

Mehr von Dianora Didi

Draft Raperbup penilaian dokumen lingkungan dan izin lingkungan kabupaten ban...
Draft Raperbup penilaian dokumen lingkungan dan izin lingkungan kabupaten ban...Draft Raperbup penilaian dokumen lingkungan dan izin lingkungan kabupaten ban...
Draft Raperbup penilaian dokumen lingkungan dan izin lingkungan kabupaten ban...Dianora Didi
 
Perda nomor 13 tahun 2016 ttg pengelolaan dan pengendalian limbah bahan berba...
Perda nomor 13 tahun 2016 ttg pengelolaan dan pengendalian limbah bahan berba...Perda nomor 13 tahun 2016 ttg pengelolaan dan pengendalian limbah bahan berba...
Perda nomor 13 tahun 2016 ttg pengelolaan dan pengendalian limbah bahan berba...Dianora Didi
 
Surat Deputi Menteri LH bidang tata lingkungan tentang integrasi pelaksanaan ...
Surat Deputi Menteri LH bidang tata lingkungan tentang integrasi pelaksanaan ...Surat Deputi Menteri LH bidang tata lingkungan tentang integrasi pelaksanaan ...
Surat Deputi Menteri LH bidang tata lingkungan tentang integrasi pelaksanaan ...Dianora Didi
 
Hasil Pendugaan Geolistrik di Desa Kurau Barat Kabupaten Bangka Tengah
Hasil Pendugaan Geolistrik di Desa Kurau Barat Kabupaten Bangka TengahHasil Pendugaan Geolistrik di Desa Kurau Barat Kabupaten Bangka Tengah
Hasil Pendugaan Geolistrik di Desa Kurau Barat Kabupaten Bangka TengahDianora Didi
 
Seminar rancangan perubahan Diklat PIM IV pola baru 2014
Seminar rancangan perubahan Diklat PIM IV pola baru 2014Seminar rancangan perubahan Diklat PIM IV pola baru 2014
Seminar rancangan perubahan Diklat PIM IV pola baru 2014Dianora Didi
 
Geolistrik Metode Sclumberger Garut Mei 2014
Geolistrik Metode Sclumberger Garut Mei 2014Geolistrik Metode Sclumberger Garut Mei 2014
Geolistrik Metode Sclumberger Garut Mei 2014Dianora Didi
 
Pemetaan zonasi air tanah kabupaten bangka tengah
Pemetaan zonasi air tanah kabupaten bangka tengahPemetaan zonasi air tanah kabupaten bangka tengah
Pemetaan zonasi air tanah kabupaten bangka tengahDianora Didi
 
Pemanfaatan air tanah
Pemanfaatan air tanahPemanfaatan air tanah
Pemanfaatan air tanahDianora Didi
 
Rancangan Peraturan Bupati Bangka Tengah tentang Perizinan Air Tanah
Rancangan Peraturan Bupati Bangka Tengah tentang Perizinan Air TanahRancangan Peraturan Bupati Bangka Tengah tentang Perizinan Air Tanah
Rancangan Peraturan Bupati Bangka Tengah tentang Perizinan Air TanahDianora Didi
 
Pertambangan bangka tengah
Pertambangan bangka tengahPertambangan bangka tengah
Pertambangan bangka tengahDianora Didi
 

Mehr von Dianora Didi (16)

Draft Raperbup penilaian dokumen lingkungan dan izin lingkungan kabupaten ban...
Draft Raperbup penilaian dokumen lingkungan dan izin lingkungan kabupaten ban...Draft Raperbup penilaian dokumen lingkungan dan izin lingkungan kabupaten ban...
Draft Raperbup penilaian dokumen lingkungan dan izin lingkungan kabupaten ban...
 
Perda nomor 13 tahun 2016 ttg pengelolaan dan pengendalian limbah bahan berba...
Perda nomor 13 tahun 2016 ttg pengelolaan dan pengendalian limbah bahan berba...Perda nomor 13 tahun 2016 ttg pengelolaan dan pengendalian limbah bahan berba...
Perda nomor 13 tahun 2016 ttg pengelolaan dan pengendalian limbah bahan berba...
 
Surat Deputi Menteri LH bidang tata lingkungan tentang integrasi pelaksanaan ...
Surat Deputi Menteri LH bidang tata lingkungan tentang integrasi pelaksanaan ...Surat Deputi Menteri LH bidang tata lingkungan tentang integrasi pelaksanaan ...
Surat Deputi Menteri LH bidang tata lingkungan tentang integrasi pelaksanaan ...
 
Pamflet
PamfletPamflet
Pamflet
 
Hasil Pendugaan Geolistrik di Desa Kurau Barat Kabupaten Bangka Tengah
Hasil Pendugaan Geolistrik di Desa Kurau Barat Kabupaten Bangka TengahHasil Pendugaan Geolistrik di Desa Kurau Barat Kabupaten Bangka Tengah
Hasil Pendugaan Geolistrik di Desa Kurau Barat Kabupaten Bangka Tengah
 
Seminar rancangan perubahan Diklat PIM IV pola baru 2014
Seminar rancangan perubahan Diklat PIM IV pola baru 2014Seminar rancangan perubahan Diklat PIM IV pola baru 2014
Seminar rancangan perubahan Diklat PIM IV pola baru 2014
 
Geolistrik Metode Sclumberger Garut Mei 2014
Geolistrik Metode Sclumberger Garut Mei 2014Geolistrik Metode Sclumberger Garut Mei 2014
Geolistrik Metode Sclumberger Garut Mei 2014
 
Pemetaan zonasi air tanah kabupaten bangka tengah
Pemetaan zonasi air tanah kabupaten bangka tengahPemetaan zonasi air tanah kabupaten bangka tengah
Pemetaan zonasi air tanah kabupaten bangka tengah
 
Pemanfaatan air tanah
Pemanfaatan air tanahPemanfaatan air tanah
Pemanfaatan air tanah
 
Lampiran 1
Lampiran 1Lampiran 1
Lampiran 1
 
Bab v
Bab vBab v
Bab v
 
Bab iv
Bab ivBab iv
Bab iv
 
Bab iii
Bab iiiBab iii
Bab iii
 
Abstrak
AbstrakAbstrak
Abstrak
 
Rancangan Peraturan Bupati Bangka Tengah tentang Perizinan Air Tanah
Rancangan Peraturan Bupati Bangka Tengah tentang Perizinan Air TanahRancangan Peraturan Bupati Bangka Tengah tentang Perizinan Air Tanah
Rancangan Peraturan Bupati Bangka Tengah tentang Perizinan Air Tanah
 
Pertambangan bangka tengah
Pertambangan bangka tengahPertambangan bangka tengah
Pertambangan bangka tengah
 

Bab II

  • 1. BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Jejak ekologi (ecological footprint) Istilah dan konsep jejak ekologi pertama kali diusulkan pada tahun 1992 oleh William Rees, seorang profesor di The University of British Columbia, Kanada. Selanjutnya pada tahun 1996, William Rees dan Mathis Wackernagel menerbitkan Our Ecological Footprint: Reducing Human Impact on the Earth. Jejak ekologi penduduk mewakili area lahan produksi dan ekosistem akuatik yang dibutuhkan untuk memproduksi sumberdaya yang diperlukan dan menyerap limbah yang diproduksi penduduk tertentu terhadap bahan dasar kehidupan secara spesifik dimanapun lahan itu terletak dipermukaan bumi. Jejak ekologi adalah suatu metode penghitungan sumber daya yang memperkirakan konsumsi sumberdaya alam dan penyerapan limbah yang diperlukan sebuah populasi manusia atau kegiatan ekonomi dalam bentuk luas lahan area produktif (Wackernagel and Rees, 1996). Jika yang dikonsumsi lebih banyak dibandingkan dengan yang disediakan alam, maka kemudian dapat diasumsikan bahwa tingkat konsumsi tidak dapat didukung oleh ketersediaan di alam. Standar unit pengukuran jejak ekologi menggunakan global hektar (gha). Satuan gha digunakan karena asumsi perhitungan jejak ekologi ini, sumberdaya alam yang digunakan berasal ditempat manapun di permukaan bumi.
  • 2. 8 Analisis jejak ekologi digunakan untuk menjawab pertanyaan dasar pada pembangunan berkelanjutan yaitu : seberapa besar alam yang kita punya, dibandingkan dengan seberapa besar alam yang kita gunakan (Bond, 2002). Eksploitasi alam bisa dalam bentuk dan berbagai macam kegiatan, seperti makan, transportasi dan energi. Besaran area analisis adalah populasi penduduk yang bisa sangat bervariasi, mulai dari individu atau keluarga, atau melebar mulai dari kota, wilayah, negara, atau bahkan seluruh bumi. Hasil perhitungan jejak ekologi ini kemudian dibandingkan dengan biokapasitas yang tersedia. Adapun biokapasitas adalah total jumlah lahan bioproduktif yang terdapat diwilayah tersebut. Menurut Biocapacity Project (2007), biokapasitas adalah kemampuan ekosistem untuk mendukung keanekaragaman hayati, memproduksi energi dan material biologi yang bermanfaat, dan menyerap dan mendaur ulang sampah yang dihasilkan dari kegiatan manusia termasuk emisi/ pancaran karbon. Bioproduktifitas adalah kemampuan sebidang tanah untuk menghasilkan biomassa, yang merupakan berat (atau diperkirakan setara dengan) bahan organik, termasuk hewan, tumbuhan dan mikro- organisme (hidup atau mati) di atas atau di bawah permukaan tanah. Ekosistem yang berbeda akan memiliki tingkat bioproduktifitas yang berbeda pula. Perbandingan antara jejak ekologi dan biokapasitas akan memberikan gambaran tentang status jejak ekologi, apakah defisit atau surplus. Dari perhitungan ini dapat diketahui kemampuan lahan dalam mendukung konsumsi penduduk setempat. Pada awal dipublikasikan pada tahun 1996 oleh Mathis Wackernagel dan William Rees, jejak ekologi dihitung menggunakan metode compound. Perhitungan ini menggunakan data sekunder berupa data perdagangan nasional, berupa
  • 3. 9 sumberdaya biotik dan energi primer yang digunakan untuk menghitung jejak ekologi suatu negara. Hasil perhitungan jejak ekologi ini disajikan per jenis penggunaan lahan dalam perhitungan jejak ekologi kemudian dibandingkan dengan kapasitas biologi per individu yang tersedia dalam negara tersebut. Metode ini lebih mudah diterapkan karena data yang digunakan lebih mudah didapatkan dan digunakan sebagai dasar perhitungan jejak ekologi negara di dunia pada organisasi Globalfootprint Network yang dipimpin oleh Mathis Wackernagel. Menurut Wackernagel and Rees (1996), konsumsi manusia terhadap sumberdaya alam dibagi menjadi 5 komponen yaitu makanan, tempat tinggal, transportasi, barang konsumsi dan jasa. Dari kelima faktor ini makanan, transportasi dan tempat tinggal merupakan penyumbang jejak ekologi yang besar. Sebaliknya barang dan jasa hanya sedikit menyumbang jejak ekologi. Metode perhitungan ini memang sangat detil dan fleksibel, namun sulit diaplikasikan secara menyeluruh karena tidak semua aktifitas dan produk dapat diukur. Pada tahun 2000, Chambers et al. mengembangkan perhitungan jejak ekologi menggunakan metode component. Pada metode ini, jejak ekologi dihitung untuk aktifitas tertentu menggunakan data yang terkait pada wilayah yang diperhitungkan. Contoh, untuk menghitung dampak aktifitas perjalanan mobil, data yang digunakan berupa konsumsi bahan bakar, produksi energi, lahan terbangun dan jarak tempuh (Chambers et al, 2000 dan Simons, 2004). Luas perhitungan pada tingkat wilayah, yakni mengacu pada setiap wilayah geografis sub-nasional; sebuah desa, kota, atau wilayah yang lebih besar. Sama dengan metode compound, metode component juga menggunakan data sekunder. Hasil perhitungan jejak ekologi melalui pendekatan komponen adalah jejak ekologi untuk aktivitas tertentu yang dihitung berdasarkan
  • 4. 10 data yang sesuai dengan pertimbangan wilayah. Hasil pendekatan berbasis komponen ini lebih bersifat untuk mendidik, agar dapat memberikan perubahan perilaku indvidu. Keuntungan menggunakan pendekatan ini adalah validitas perhitungan sampai tingkat lokal dan individu dan memfasilitasi koleksi data dimana statistik penggunaan sumberdaya alam detil tidak tersedia. Kerugian metode ini adalah terlalu bergantung pada intensitas sumberdaya alam pada aktifitas-aktifitas terkait sehingga menjadi kurang sensitif dalam perubahan teknologi lebih lebih sesuai bila digunakan sebagai alat monitoring dan pengaturan perubahan perilaku. Metode yang ketiga adalah pengukuran langsung atau bottom up measurement. Metode ini digunakan untuk menghitung jejak ekologi individu, rumah tangga, perusahaan atau organisasi (Bond, 2002). Karena struktur metode yang refleksif maka keunggulan metode ini sebagai self-learning tool terhadap orang yang dihitung jejak ekologinya. Menurut Kitzes et al. (2007), perhitungan jejak ekologi nasional digunakan untuk melaporkan hasil perhitungan jejak ekologi dalam satuan global hektar pada tahun bersangkutan, yaitu hektar dengan produktivitas biologis rata-rata dunia dalam suatu tahun. Normalisasi ini dicapai menggunakan perhitungan faktor produksi (yield factor) dan faktor kesetaraan (equivalent factor). Yield faktor adalah produktifitas negara tertentu dibandingkan dengan produktifitas dunia. Equivalent factor adalah perbandingan potensi produktivitas suatu jenis penggunaan lahan dengan produktfitas rata-rata penggunaan lahan dalam perhitungan jejak ekologi. Dari perspektif pemanfaatan berkelanjutan, tanah yang berbeda tidak dapat secara langsung dibandingkan atau disimpulkan tanpa menerapkan beberapa bentuk pembobotan
  • 5. 11 produktivitas (Wackernagel et al., 2004). Satuan global hektar digunakan untuk menjawab pertanyaan berapa banyak kapasitas regeneratif planet digunakan oleh aktivitas manusia tertentu atau populasi (Monfreda (2004) in Kitzes et al. (2007)). Jadi skala global hektar lebih tepat bila digunakan untuk mengetahui mengetahui konsumsi penduduk dunia perkapita dibandingkan dengan kapasitas yang mampu disediakan oleh bumi. Pendekatan global hektar merekam permintaan sumberdaya alam lokal dalam konteks global dan berguna untuk membandingkan jejak ekologi antara area geografis. Pada makalah yang sama, Kitzes et al. (2007) menyatakan perhitungan jejak ekologi juga dapat dihitung dalam hektar lokal, tanpa menerapkan produktivitas berbasis normalisasi. Jejak ekologi yang dihitung dalam hektar lokal digunakan untuk menjawab pertanyaan berapa banyak daerah bioproduktif yang digunakan oleh suatu kegiatan manusia atau populasi (Wackernagel et al. (2004) in Kitzes et al. (2007)). Jejak ekologi hektar lokal dapat ditentukan melalui 2 cara yaitu : 1) melalui pendekatan wilayah yang diukur, yaitu didasarkan pada pengukuran penggunaan lahan dalam laporan statistik nasional atau berasal dari aplikasi penginderaan jarak jauh, 2) melalui pendekatan wilayah yang dihitung, yang didapat dengan cara membagi produk aliran (konsumsi) dengan hasil panen lokal (Kitzes et al., 2007). Karena pendekatan wilayah yang diukur tidak melibatkan perbandingan pertumbuhan tahunan untuk ekstraksi, metode ini sendiri tidak dapat menunjukkan tingkat penggunaan kawasan tertentu. Misalnya, satu hektar hutan bisa dipanen pada tingkat yang lebih besar atau lebih kecil dari pertumbuhan tahunan dan pendekatan wilayah yang diukur akan menggunakan jejak ekologi yang sama dari satu hektar. Tidak ada
  • 6. 12 perbedaan perhitungan menggunakan pendekatan antara wilayah diukur dan pendekatan untuk lahan pertanian sehingga jumlah produk yang tumbuh dan diekstraksi setiap tahun adalah sama. Penggunaan satuan lokal hektar ini lebih tepat diterapkan pada penelitian yang fokus pada pengelolaan sumberdaya alam lokal dan hanya dapat digunakan pada waktu sementara. Sementara beberapa peneliti berpendapat bahwa hanya hektar lokal memberikan ukuran pengamatan permintaan yang sebenarnya. Kelebihan konsep jejak ekologi adalah konsep ini memperhitungkan aliran sumber daya dan limbah, yang semuanya membentuk bagian dari metabolisme suatu daerah, sehingga menggugah kesadaran konsumen tentang darimana sumber daya mereka berasal dan dampak limbah yang dihasilkan. Hal ini akan membantu dalam meningkatkan kesadaran masyarakat dalam agar membentuk pola perilaku yang lebih berkelanjutan. Selain itu jejak ekologi bisa digunakan sebagai indikator keberhasilan pembangunan berkelanjutan, dipandang sebagai perkembangan positif dalam analisis kebijakan. Wackernagel and Rees (1996) mengembangkan konsep jejak ekologi ini melalui pendekatan compound. Pendekatan ini lebih menekankan pada apa yang dikonsumsi oleh manusia, seperti konsumsi biotik (pangan) dan konsumsi energi primer, bukan dari jenis-jenis kegiatan konsumsinya. Pendekatan compound ini digunakan sebagai dasar perhitungan pada Globalfootprint network. Pada laporan Globalfootprint network (2005) yang ditulis oleh Wackernagel at al., The ecological power of nations : the earth’s biocapacity as a new framework for international cooperation menunjukan jika telah terjadi pertumbuhan jejak
  • 7. 13 ekologi yang cukup signifikan sejak tahun 1961 sampai dengan tahun 2005. Pada tahun 1961, manusia mengunakan setengah dari kapasitas produksi secara hayati bumi, namun pada tahun 2005 manusia menggunakan kapasitas produksi hayati bumi 35 % lebih banyak dari pada yang tersedia. Perhitungan jejak ekologi ini mengabaikan hak mahluk hidup selain manusia (earth share). Kapasitas produksi secara hayati bumi bagi individu di bumi pada tahun 2005 adalah sekitar 2,1 gha, sedangkan jejak ekologi per kapita pada tahun 2005 adalah 1,8 gha. Sementara ekonomi, populasi dan kebutuhan sumber tumbuh, ukuran planet tetap sama. Ini berarti semakin berkurangnya modal alami dan semakin banyak sampah yang ada di alam. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa makin maju sebuah negara maka semakin besar pula jejak ekologinya sebagai berikut. Tabel 2.1 Jejak ekologi per kapita 5 negara dengan jumlah terbesar di dunia tahun 2005 (gha) Negara Lahan Lahan Lahan Lahan Lahan Lahan Total Bioka Status pertan peng hutan perika penyera terbangun jejak pasitas ian gemba nan pan ekologi laan karbon Uni 1,03 0,03 0,37 0,21 7,82 0,00 9,46 1,08 -8,38 Emirat Arab Amerika 1,38 0,30 1,02 0,10 6,51 0,10 9,42 5,02 -4,4 Kuwait 0,71 0,10 0,17 0,02 7,75 0,15 8,89 0,53 -8,36 Denmark 2,49 0,01 1,00 0,67 3,53 0,34 8,05 5,70 -2,35 Australia 1,93 2,82 0,94 0,08 1,98 0,06 7,81 15,42 7,61 Sumber : Globalfootprint Network, 2005
  • 8. 14 Tabel 2.2 Jejak ekologi perkapita 5 negara dengan jumlah terkecil di dunia tahun 2005 (gha) Negara Lahan Lahan Lahan Lahan Lahan Lahan Total Bioka Status pertani pengg hutan perika penyera terban jejak pasitas an embal nan pan gun ekologi aan karbon Bangladesh 0,33 0,00 0,07 0,07 0,13 0,04 0,57 0,25 -0,32 Congo 0,24 0,03 0,11 0,11 0,07 0,05 0,54 13,89 13,35 Haiti 0,31 0,04 0,09 0,09 0,06 0,03 0,53 0,26 -0,27 Afganistan 0,27 0,10 0,05 0,05 0,00 0,06 0,48 0,73 0,25 Malawi 0,21 0,00 0,15 0,15 0,07 0,03 0,47 0,47 0 Sumber : Globalfootprint Network, 2005 Jejak ekologi Indonesia pada tahun 2005 adalah 0,95 gha, dengan jejak pertanian 0,5 gha, jejak hutan 0,12 gha, jejak perikanan 0,16 gha, jejak penyerap karbon 0,09 gha dan jejak terbangun 0,06 gha (Globalfootprint Network, 2005). Hasil penelitian ini menunjukan konsumsi pangan memberikan kontribusi 70% terhadap total jejak ekologi, yang kemudian diikuti oleh kebutuhan terhadap lahan penyerapan karbon akibat konsumsi energi. Pada tahun yang sama biokapasitas Indonesia adalah 1,39 gha. Hal ini menunjukan pola konsumsi masyarakat Indonesia termasuk berkelanjutan karena mengkonsumsi sumberdaya alam lebih sedikit dibandingkan dengan yang mampu disediakan oleh alam. Environment Protection Authority (EPA) Victoria (2008), salah satu anggota Global footprint Network, melakukan penelitian jejak ekologi di Kota Victoria. Penduduk Victoria rata-rata membutuhkan 6,8 hektar kebutuhan lahan global untuk mempertahankan gaya hidupnya. Jejak ekologi Victoria adalah sedikit lebih besar dibandingkan dengan Australia (6,6 gha per orang). Pola konsumsi utama di Victoria mirip dengan konsumsi rata-rata nasional, perbedaan yang menonjol ada
  • 9. 15 dipenggunaan energi perumahan (karena ketergantungan Victoria pada energi listrik dari batubara). Sebagai bagian dari Australia, jejak ekologi Victoria lebih besar karena mereka umumnya tinggal di kota-kota besar, di rumah-rumah yang relatif besar, melakukan perjalanan jauh dan kebutuhan energi mereka saat ini bersumber terutama dari bahan bakar fosil. Berikut ini gambar hasil penelitian jejak ekologi di Victoria berdasarkan jenis penggunaan lahan. Gambar 2.1 Jejak ekologi Kota Victoria berdasarkan jenis penggunaan lahan Sumber : Environment Protection Authority Victoria (2008) Penggunaan lahan terbesar oleh Kota Victoria adalah lahan hutan yang digunakan untuk menyerap karbon sebesar 56 % dari total luas lahan jejak ekologi, 32 % digunakan lahan bioproduktif untuk memenuhi konsumsi pangan, 8% untuk mencukupi kebutuhan hasil hutan dan yang paling sedikit adalah 4 % yang digunakan untuk memenuhi infrastruktur. Penelitian yang dilakukan EPA (2004) tentang jejak ekologi Kota Port Phillip dengan sampel rumah tangga memberikan hasil bahwa rumah tangga yang diberi pilihan gaya hidup yang berkelanjutan dalam menyenangkan dalam format interaktif
  • 10. 16 dan informatif untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam kehidupan yang berkelanjutan yang diberikan selama satu semester mengalami perubahan terhadap konsumsi gaya hidup dan tindakan terhadap lingkungan yang menjadi lebih ramah. Dari studi tersebut dapat diindikasikan bahwa penggunaan penghitungan jejak ekologi dapat digunakan untuk mendorong perubahan dan membantu ke arah pemanduan pilihan individu mengenai perilaku yang bertanggung jawab terhadap lingkungan. Hasil penelitian menunjukan terjadi pengurangan jejak ekologi sebanyak 6 persen dari 910 hektar menjadi 850 hektar. 2.1.2. Perhitungan jejak ekologi Perhitungan jejak ekologi (ecological footprint) didasarkan pada enam asumsi dasar (Wackernagel et al., 2002 in Wackernagel et al., 2008) yaitu: 1. Sebagian besar konsumsi sumber daya dan limbah yang dihasilkan manusia dapat dilacak. 2. Kebanyakan aliran sumberdaya alam dan limbah dapat dihitung kedalam area biologi produktif untuk menelusuri alirannya. Sumberdaya alam dan limbah yang tidak dapat dihitung dikeluarkan dari penilaian, yang menjadikan hasil perhitungan jejak ekologi ini dibawah keadaan yang sebenarnya. 3. Dengan pembobotan masing-masing daerah kedalam proporsi produktifitas biologi yang digunakan, area yang berbeda dapat dikonversi ke dalam satuan umum global hektar, yaitu hektar dengan rata-rata produktifitas biologi dunia. 4. Karena satuan global hektar tunggal menyatakan satu jenis penggunaan, dan semua global hektar pada satu tahun menyatakan jumlah produktifitas yang sama,
  • 11. 17 maka global hektar dapat dijumlahkan untuk mendapatkan indikator agregat jejak ekologi atau daya dukung lingkungan. 5. Permintaan manusia, dinyatakan sebagai jejak ekologi, dapat secara langsung dibandingkan dengan pasokan alam, daya dukung lingkungan, ketika keduanya sama-sama dinyatakan dalam global hektar. 6. Luas area permintaan dapat melebihi luas area yang disediakan jika permintaan pada ekosistem melebihi kapasitas regeneratif ekosistem (misalnya, manusia menuntut lebih dibandingkan daya dukung hutan, perikanan, dari ekosistem yang telah tersedia). Situasi ini, di mana jejak ekologi melebihi tersedia daya dukung lingkungan, dikenal sebagai overshoot. Dalam perhitungan jejak ekologi, daratan dan lautan produktif digolongkan menjadi tujuh jenis type dasar (Chambers et al., 2000). 1. Lahan pertanian, adalah lahan yang paling produktif secara hayati dibandingkan dengan semua jenis penggunaan lahan. Digunakan untuk menghasilkan semua produk tanaman, tanaman sawit dan karet. 2. Lahan penggembalaan, adalah padang rumput dan tanah dan pepohonan jarang yang digunakan untuk menghasilkan pakan ternak. 3. Lahan hutan, adalah hutan alami atau hutan tanam yang bisa menghasilkan produk kayu bulat maupun kayu bakar. 4. Lahan perikanan, merupakan daerah tangkapan komersil yang sekitar 300 km dari pantai karena daerah pesisir merupakan daerah laut yang paling produktif.
  • 12. 18 5. Lahan penyerap karbon, merupakan lahan hutan yang diperlukan untuk penyerapan emisi karbon yang dihasilkan manusia. 6. Lahan terbangun, adalah lahan yang dihitung berdasarkan luas tanah yang ditutupi oleh infrastruktur, transportasi, perumahan, struktur industri dan waduk untuk pembangkit tenaga listrik listrik. Dengan asumsi bahwa apa yang dibangun akan menempati lahan yang sebelumnya merupakan lahan pertanian, kecuali kita memiliki bukti spesifik bahwa asumsi ini tidak berlaku. Asumsi ini didasarkan pada pengamatan bahwa pemukiman manusia yang umumnya terletak di daerah yang sangat subur dengan potensi untuk menghasilkan lahan pertanian unggulan (Wackernagel et al., 2002). Tanah terbangun memiliki produktifitas secara hayati setara dengan jejak ekologi karena keduanya menjelaskan perambahan lahan produktif secara hayati oleh infrastruktur fisik. 7. Lahan keanekaragaman hayati, adalah digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup spesies selain manusia, yang besarnya 12 persen dari total lahan dunia. Perhitungan jejak ekologi dibagi menjadi 3 tahap utama. Jejak ekologi individu dihitung berdasarkan semua material biologi yang dikonsumsi dan semua sampah biologi yang dihasilkan oleh tiap individu. Dan untuk menghitung jejak ekologi suatu daerah diperoleh dengan cara menjumlahkan jejak ekologi semua penduduk di daerah tersebut (Chambers et al., 2000). Tahap pertama adalah analisis konsumsi sumberdaya biotik (pangan) dengan cara menambahkan produksi dan impor lalu dikurangi dengan ekspor. Alternatif lain dengan cara menggunakan data konsumsi penduduk yang didapat secara primer. Jika
  • 13. 19 diperlukan, penyesuaian dilakukan untuk menghindari perhitungan dobel tipe lahan. Contoh, pakan ternak berupa biji-bijian dimasukan dalam perhitungan lahan pertanian tidak pada lahan rumput penggembalaan. Perhitungan luas lahan yang dibutuhkan untuk konsumsi pangan didapat dengan cara membagi jumlah pangan yang dikonsumsi per tahun (ton) dengan produksi tipe lahan atau laut tertentu per tahun (ton per hektar) dari tempat asal panen. Langkah ke dua menentukan luas jejak ekologi dari sampah yang dihasilkan. Dari perspektif jejak ekologi ada 3 kategori sampah dan masing-masing kategori berbeda penanganannya dalam jejak ekologi. Kategori pertama adalah sampah biologi seperti sisa produk pertanian, produk hewan, produk ikan, kayu dan karbon dioksida yang dihasilkan oleh kayu bakar dan pembakaran bahan bakar fosil sudah termasuk didalam secara implisit dalam jejak ekologi jika sampah ini dihasilkan didalam suatu proses biologi tertutup. Contoh, lahan penggembalaan sapi seluas 1 hektar mampu menghasilkan produksi biomassa dan untuk menyerap sampah biologi yang dihasilkan. Penyerapan sampah yang dihasilkan dari material biologi yang dipanen tidak dihitung dalam jejak ekologi. Begitu pula dengan CO2 yang dihasilkan oleh tumbuhan dan pernafasan manusia, karena sampah ini dihasilkan dalam suatu proses biologi tertutup. Namun CO2 yang dihasilkan oleh akibat pembakaran kayu bakar ataupun bahan bakar fosil dihitung karena sampah ini dihasilkan oleh aktifitas non biologi manusia. Adapun lahan yang dibutuhkan untuk menyerap sampah CO2 ini disebut dengan lahan penyerap karbon. Kemampuan rata-rata hutan dalam penyerapan karbon dan jumlah emisi CO2 yang dihasilkan adalah data dasar yang dibutuhkan dalam perhitungan lahan penyerap
  • 14. 20 karbon. Pada perhitungan lahan penyerap karbon tingkat lokal, maka kemampuan rata-rata peyerapan karbon hutan tergantung pada jenis ekosistem hutan lokal (Scotti et al., 2007). Hutan alami merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan (SPL) pertanian, dikarenakan keragaman pohonnya yang tinggi, dengan tumbuhan bawah dan seresah di permukaan tanah yang banyak. Kategori sampah yang ke dua adalah material yang secara khusus dikirim pada suatu lahan. Jika lahan yang digunakan adalah lahan produktif, maka jejak lahan ini dihitung sebagai lahan terbangun yang dipakai sebagai tempat penyimpanan sampah jangka panjang. Contohnya adalah tempat pembuangan sampah akhir (TPA). Kategori sampah yang ke tiga adalah polutan dan racun yang tidak bisa diserap ataupun diuraikan oleh proses biologi seperti plastik atau senyawa kimia. Karena jejak ekologi menghitung lahan produktif yang digunakan untuk memproduksi materi atau menyerap sampah, materi seperti plastik dan senyawa kimia tidak dihasilkan oleh proses biologi atau diserap oleh sistem biologi, maka sampah jenis ini tidak terdefinisi dalam jejak ekologi. Sehingga sampah ini tidak masuk dalam perhitungan jejak ekologi. Tahap terakhir perhitungan adalah menjumlahkan jejak ekologi kedalam enam tipe lahan yang merupakan gambaran konsumsi per kapita. Data per kapita yang dikalikan dengan jumlah penduduk suatu daerah menggambarkan jejak ekologi daerah tersebut. Hasil ini kemudian dibandingkan dengan biokapasitas lahan yang ada.
  • 15. 21 2.1.3. Perhitungan jejak makanan (food footprint) Jejak makanan merupakan salah satu bagian dari jejak ekologi sehingga perhitungan jejak makanan juga mengacu pada konsep perhitungan pada jejak ekologi. Jenis lahan yang digunakan dalam perhitungan ini adalah 7 jenis penggunaan lahan pada perhitungan jejak ekologi. Pada perhitungan jejak makanan, kebutuhan lahan diperoleh dari total luas tiap jenis lahan yang dibutuhkan sejak pangan itu diproduksi, diangkut hingga sampai ke tangan konsumen. Contoh bila penduduk mengkonsumsi beras yang diproduksi dari luar wilayah, maka perhitungan jejak makanan meliputi luas lahan sawah untuk menghasilkan beras, lahan penyerap karbon untuk menyerap emisi CO2 dari proses transportasi dan lahan terbangun untuk konstruksi jalan. Semakin jauh sumber produksi ke konsumen maka semakin besar jejak ekologi yang ditimbulkan, yang artinya semakin banyak pula sumberdaya alam yang kita gunakan. Hasil perhitungan metode jejak ekologi ini kemudian dibandingkan dengan biokapasitas yang ada untuk mengetahui status penggunaan sumberdaya alam oleh manusia, apakah defisit atau surplus. Pada perhitungan jejak makanan, konsumsi pangan hewani akan memberikan jejak makanan yang lebih luas dibandingkan dengan konsumsi pangan nabati. Perkiraan jejak makanan ini didasarkan pada biaya metode produksi makanan modern, diantaranya : biaya penanaman tanaman (rumput) dan area/lahan yang digunakan, pupuk petrokimia yang digunakan, pengendalian hama menggunakan pestisida, biaya pengemasan dan biaya pengiriman. Semakin jauh lokasi pangan
  • 16. 22 berasal dengan konsumen, maka bahan bakar yang digunakan semakin banyak dan menghasilkan emisi karbon yang semakin besar. Langkah pertama dalam perhitungan lahan produktif dalam pemenuhan konsumsi pangan adalah menghitung rata-rata konsumsi pangan individu tahunan dari data konsumsi regional dan membaginya dengan jumlah populasi didaerah tersebut (Chambers et al., 2000). Alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan cara pengukuran data konsumsi rumah tangga atau individu langsung menggunakan metode survei (Bond, 2002 dan Rumbiyanti, 2009). Dari hasil perhitungan konsumsi individu, dapat digunakan untuk menghitung konsumsi pangan suatu wilayah dengan cara mengalikannya dengan jumlah penduduk di wilayah tersebut (Scotti et al., 2008). Langkah kedua perhitungan jejak makanan adalah mengkonversi konsumsi pangan menjadi satuan lahan yang dipeoleh dengan cara membagi jumlah konsumsi masing-masing jenis pangan dibagi rata-rata hasil produksi pangan tahunan di daerah asal pangan tersebut. Contoh, bila beras yang dikonsumsi di Kabupaten Bangka Tengah berasal dari Provinsi Jawa Barat, maka data produksi beras yang digunakan adalah data produksi beras dari daerah tersebut. Sedangkan untuk perhitungan produk pangan turunan yang telah berubah dari bentuk panen awal seperti beras, gula, kecap, roti dan pangan lainnya harus diketahui terlebih dahulu komposisi jenis dan berat bahan pembentuknya (Wackernagel at. al, 2005). Konversi kebutuhan lahan untuk pangan turunan didapat dengan cara mengalikan jumlah pangan turunan yang dikonsumsi dengan fraksi produk (randemen). Kemudian baru dihitung jumlah lahan yang diperlukan dengan cara
  • 17. 23 membagi jumlah bahan primer yang diperlukan dengan produktifitas jenis bahan pangan tersebut. 2.1.4. Konsumsi pangan Menurut Wackernagel et al. (2000) menyatakan bahwa jejak ekologi sangat tergantung pada pendapatan, harga barang, nilai-nilai sosial yang dianut pribadi dan masyarakat, yang kemudian akan mempengaruhi konsumsi. Konsumsi pangan pada masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor. Konsumsi pangan merupakan gambaran mengenai jumlah, jenis, dan frekuensi bahan makanan yang dikonsumsi seseorang dan merupakan ciri khas pada suatu kelompok masyarakat tertentu. Harper dkk. (2006) menyatakan faktor-faktor yang sangat mempengaruhi konsumsi pangan di mana saja adalah: 1) ketersediaan pangan; 2) tingkat pendapatan; dan 3) pengetahuan gizi. Selain itu penelitian Suhaimi tahun 2006 terhadap penduduk asli di Kabupaten Kutai dalam Nugrahanto (2009) menunjukan faktor sosial, budaya dan ekonomi yang mempengaruhi konsumsi menunjukkan bahwa faktor sosial yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah pengetahuan pangan dan gizi ibu, sedangkan ukuran keluarga dan pendidikan kepala keluarga tidak berpengaruh secara signifikan. Sedangkan faktor budaya yang berpengaruh secara signifikan yaitu : pola konsumsi pangan, kesukaan terhadap bahan pangan, pantangan makan, dan status dalam keluarga. Faktor ekonomi yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan yaitu tingkat pendapatan juga berpengaruh signifikan terhadap konsumsi pangan rumah tangga. Gaya hidup juga merupakan faktor yang ber-hubungan dengan perilaku makan, seperti model yang dikemukakan oleh Pelto (1980) bahwa perilaku makan
  • 18. 24 ditentukan oleh gaya hidup selain pengaruh sistem produksi dan distribusi pangan serta sistem sosial ekonomi. Adapun gaya hidup tersebut merupakan hasil pengaruh beragam fak-tor yaitu pendapatan, pekerjaan, pendidikan, etnik, tempat tinggal, agama, pengetahuan kesehatan dan gizi serta karakteristik fisiologis. Dari uraian di atas tampak jelas bahwa pengetahuan gizi dapat mempengaruhi keragaman konsumsi pangan penduduk. Meskipun demikian, pengaruh positif pengetahuan gizi terhadap keragaman konsumsi pangan dapat berubah atau ditiadakan oleh faktor daya beli atau ekonomi, ketersediaan waktu untuk membeli atau menyiapkan makanan, kepercayaan, kesukaan pangan dan, ketersediaan pangan. Keragaman konsumsi pangan di tingkat rumah tangga erat hubungannya dengan ciri-ciri demografis, aspek sosial, ekonomi serta potensi sumberdaya alam setempat. Akibat perbedaan tersebut dan kendala distribusi antar daerah, pola konsumsi antar daerah akan bervariasi dari satu daerah dengan daerah yang lain, bahkan antar perkotaan dan perdesaan (Sayekti, 2008). Selain itu terdapat dugaan bahwa pola konsumsi sangat berkaitan dengan pola produksi setempat. Hasil penelitian Sayekti (2008) menunjukan bahwa konsumsi beras lebih tinggi diwilayah perdesaan dibandingkan dengan perkotaan, sedangkan untuk konsumsi pangan hewani lebih besar pada perkotaan dibandingkan perdesan. 2.1.4.1 Pengaruh karakteristik tempat tinggal terhadap konsumsi pangan Komunitas sosial manusia secara umum sering dikategorikan menjadi 2 bagian, yaitu komunitas perdesaan dan komunitas perkotaan. Pembagian kategori ini umumnya didasarkan atas jumlah penduduk dan pekerjaannya (Horton et al., 1984).
  • 19. 25 Walaupun sebenarnya pembagian ini tidak akan tidak akan memuaskan, karena tidak mencakup komunitas-komunitas lainnya seperti tempat dagang atau kamp tambang. Transportasi modern yang telah membuat batas kota dan desa menjadi kurang jelas sehingga mengakibatkan perbedaan antara perdesaan perkotaan semakin sedikit. Perkotaan Adapun definisi kota menurut Max Weber adalah tempat yang penghuninya sebagian besar telah mampu memenuhi kebutuhannya lewat pasar setempat yang barang-barangnya berasal dari pedesaan. Sedangkan menurut Bintarto, kota adalah sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistik dibanding dengan daerah belakangnya. Adapun ciri-ciri fisik kota ditandai adanya : 1) tempat-tempat untuk pasar; 2) tempat- tempat untuk parker; 3) tempat-tempat rekreasi dan olahraga. Sedangkan ciri-ciri sosial kota adalah : 1) pembagian kerja tegas; 2) masyarakatnya heterogen; 3) individualism; 4) materialisme dan konsumerisme; 5) adanya toleransi sosial. Definisi perkotaan menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Kawasan Perkotaan, adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Sedangkan menurut Kepmendagri Nomor 65 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum Mengenai Pembentukan Kelurahan, kelurahan dibentuk di
  • 20. 26 kawasan perkotaan dengan memperhatikan persyaratan luas wilayah, jumlah penduduk, potensi dan kondisi sosial budaya masyarakat. Adapun ciri-ciri suatu kota sesuai dengan Inmendagri Nomor 7 tahun 1986 tentang Penetapan Batas Wilayah Kota di Seluruh Indonesia adalah sebagai berikut : 1. Fisik Ciri-ciri aspek fisik wilayah kota adalah sebagai berikut: Tempat pemukiman penduduk yang merupakan satu kesatuan dengan luas, jumlah bangunan, kepadatan bangunan yang relatif lebih tinggi dari pada wilayah sekitarnya; Proporsi bangunan permanen lebih besar ditempat itu dari pada diwilayah sekitarnya; Mempunyai lebih banyak bangunan fasilitas sosial – ekonomi ( sekolah, poliklinik, pasar, toko, kantor pemerintah ,dll ) dari pada wilayah sekitarnya. 2. Sosial Ekonomi Ciri–ciri wilayah kota berdasarkan aspek–aspek sosial ekonomi adalah sebagai berikut : Mempunyai kepadatan penduduk yang relatif lebih besar dari pada wilayah sekitarnya, yang dalam satu kesatuan areal terbangun berjumlah sekurang - kurangnya 20.000 orang dipulau jawa, madura, dan bali, atau 10.000 di luar pulau–pulau tersebut; Mempunyai kepadatan penduduk yang relatif lebih tinggi dari wilayah sekitarnya;
  • 21. 27 Mempunyai proporsi jumlah penduduk yang berkerja disektor non pertanian, seperti : Pemerintahan, perdagangan, industri , jasa dan lain – lain, yang lebih tinggi dari wilayah sekitarnya; Merupakan pusat kegiatan ekonomi yang menghubungkan kegiatan pertanian wilayah sekitarnya dan tempat pemasaran atau prosessing bahan baku untuk kegiatan industri. Perdesaan Definisi desa menurut Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal- usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Berbagai pengertian tersebut tidak dapat diterapkan secara universal untuk desa-desa di Indonesia karena kondisi yang sangat beragam antara satu dengan yang lainnya. Bagi daerah yang lebih maju khususnya di Pulau Jawa dan Pulau Bali, antara desa dan kota tidak lagi terdapat perbedaan yang jelas sehingga pengertian dan karakteristik tersebut menjadi tidak berlaku. Namun, bagi daerah yang belum
  • 22. 28 berkembang khususnya desa-desa di luar Pulau Jawa dan Pulau Bali, pengertian tersebut masih cukup relevan. Adapun ciri-ciri sosial desa adalah sebagai berikut : a) Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa. b) Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan c) Cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam seperti : iklim, keadaan alam ,kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan. Masing-masing karakteristik daerah ini akan menyebabkan perbedaan pola konsumsi yang berbeda pula. Keragaman konsumsi pangan yang menunjukkan perbedaan antara masyarakat perdesaan dan perkotaan ditunjukan dalam penelitian Nugrahanto (2009) pada kota Kupang Nusa Tenggara Timur. Pada wilayah perkotaan konsumsi pangan cukup beragam, dari beras, terigu dan sayur mayur. Konsumsi karbohidrat padi-padian terutama beras di wilayah perkotaan lebih tinggi daripada wilayah pedesaan, karena masyarakat didaerah pedesaan juga mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokoknya. Perbedaan ini sebabkan oleh rendahnya daya beli, akses terhadap pasar yang relatif jauh juga semakin mendorong masyarakat lebih mengandalkan hasil lahan sendiri baik untuk makanan pokok maupun bahan makanan sayur mayur dan buah (Nugrahanto, 2009). Hal ini menunjukkan pola konsumsi pada rumah tangga yang berpendapatan rendah lebih mengarah pada pangan pokok yang berbasis potensi lokal dan variasi pangan kurang mendapat perhatian. Hasil senada ditunjukan pula oleh penelitian Wood et al. (2008) di Australia utara. Populasi
  • 23. 29 penelitian diklasifikasikan berdasarkan jarak dengan pusat kota untuk mendeliniasi batasan antara penduduk pribumi dan penduduk non-pribumi. Tingkat konsumsi dipengaruhi juga oleh pola makan atau kebiasaan makan. Pola makan di pedesaan belum banyak terpengaruh pola makannya dibandingkan dengan pola makan di perkotaan. Pada akhirnya kecukupan asupan makan di kota baik kualitas maupun kuantitas lebih baik daripada kecukupan asupan makan di desa. Pola konsumsi masyarakat di perdesaan dan di perkotaan berbeda, karena masyarakat di kota lebih mementingkan kandungan zat gizi makanan dari bahan makanan yang dikonsumsi dilihat dari keadaan sosial ekonomi penduduk lebih mampu, tersedianya fasilitas kesehatan memadai, fasilitas pendidikan lebih baik, tersedianya tenaga kesehatan, serta lapangan usaha mayoritas penduduk pegawai dan wiraswasta. Sedangkan di desa, pola konsumsi masyarakat kurang memenuhi syarat dilihat dari keadaan sosial ekonomi yang tidak mampu, fasilitas kesehatan yang terbatas, fasilitas pendidikan kurang, tersedianya tenaga kesehatan serta lapangan kerja penduduk mayoritas petani dan buruh (BPS, 1994). 2.1.4.2 Pengaruh pendapatan terhadap konsumsi pangan Data SUSENAS tahun 2004, menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga berhubungan dengan asupan total kalori dan asupan kalori dari kelompok pangan utama. Semakin tinggi pendapatan rumah tangga maka semakin tinggi asupan kalori dari kelompok pangan hewani, sayur dan buah-buahan. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi kemungkinan untuk mengonsumsi beragam jenis pangan. Rumah tangga sebagai
  • 24. 30 satuan/unit primer penghasil pendapatan juga merupakan unit primer konsumsi pangan. Semakin tinggi pendapatan rumahtangga maka akan semakin tinggi pula pendapatan yang dialokasikan untuk pangan. Tabel 2.3 menunjukkan perbedaan tingkat konsumsi energi dan protein masyarakat antar kelompok pendapatan dengan kecenderungan semakin tinggi pendapatan semakin tinggi pula tingkat konsumsinya. Tabel 2.3 Konsumsi energi makanan dan protein menurut kelompok pendapatan Kelompok pendapatan Penduduk Energi Protein (Rp/kap/ bulan) (%) (Kal/kap/hari) (gram/kap/hari) I < 60.000 0,72 1. 240,9 31,5 II = 60.000 – 79.999 3,45 1.452,0 28,0 III = 80.000 – 99.999 7,80 1.627,6 37,5 IV = 100.000 – 149. 999 23,17 1.794,9 43,3 V = 150.000 – 199. 999 21,47 1.983,4 49,4 VI = 200.000 – 299. 999 22,82 2.126,8 54,6 VII = 300.000 – 499. 999 14,01 2.253,1 62,2 VIII > 500.000 6,57 2.398,0 72,9 Sumber : Susenas 2004 BPS Hardinsyah (2007) melakukan review terhadap berbagai faktor yang menjadi penentu keragaman konsumsi pangan yang mencakup faktor pengetahuan gizi, sosio demografi dan ekonomi. Dari berbagai penelitian yang direview terdapat lima lima faktor yang diduga merupakan penentu penting keragaman konsumsi pangan yaitu daya beli pangan, pengetahuan gizi, waktu yang tersedia untuk pengelolaan pangan, kesukaan pangan dan ketersediaan pangan. Hal senada juga ditunjukan oleh Sayekti (2008), semakin tinggi pendapatan maka semakin rendah konsumsi pangan sumber karbohidrat padi-padian dan semakin
  • 25. 31 tinggi konsumsi sumber protein hewani daging, telur, susu serta makanan dan minuman jadi. 2.1.4.3 Pengaruh pendidikan terhadap konsumsi pangan Pola konsumsi pangan juga tergantung dengan tingkat pendidikan anggota rumah tangga. Umumnya semakin tinggi tingkat pendidikan formal penduduk menyebabkan meningkatnya pengetahuan dan wawasan tentang pentingnya kualitas pangan yang dikonsumsi. Hal ini akan menyebabkan semakin bervariasinya pangan yang dikonsumsi sehingga kebutuhan gizi dan kesehatan akan menjadi lebih baik. Menurut Riyadi (2003) dalam Suyastiri (2008), semakin tinggi tingkat pendidikan dan pengetahuan seseorang umumnya semakin tinggi pula kesadaran untuk memenuhi pola konsumsi yang seimbang dan memenuhi syarat gizi serta selektif dalam kaitannya tentang ketahanan pangan. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi melalui pemilihan bahan pangan. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam jumlah dan mutunya dibandingkan mereka yang berpendidikan lebih rendah. Pendidikan sangat mempengaruhi kemampuan penerimaan informasi gizi yang disampaikan kepadanya. Tingkat pendidikan yang sangat rendah menghambat penerimaan informasi baru. Tingkat pendidikan formal umumnya mencerminkan kemampuan seseorang untuk memahami berbagai aspek pengetahuan, termasuk pengetahuan gizi. Semakin tinggi pendidikan seseorang, umumnya akses terhadap media massa juga makin tinggi yang juga berarti aksesnya terhadap informasi yang berkaitan
  • 26. 32 dengan gizi juga semakin tinggi. Wanita terpelajar cenderung untuk tertarik terhadap informasi gizi dan banyak di antara mereka yang memperoleh informasi tersebut dari media cetak, khususnya majalah dan koran (Hickman et al., 1993 dalam Hardiansyah, 2007). 2.2. Kerangka pemikiran Keterbatasan produksi pangan di Kabupaten Bangka Tengah menyebabkan tingginya ketergantungan daerah ini terhadap pasokan pangan dari luar daerah. Disisi lain, masih tersedia cukup lahan yang dapat digunakan untuk peningkatan produksi pertanian. Untuk mengatasi hal ini, maka perlu dilakukan suatu kajian mengenai kebutuhan lahan dalam mencukupi kebutuhan pangan penduduk. Hasil kajian ini diharapkan dapat memberi arahan kebijakan yang tepat untuk mengatasi masalah ketergantungan pangan. Jejak makanan digunakan sebagai metode kajian karena dapat memberikan informasi mengenai kebutuhan lahan dalam mencukupi konsumsi pangan penduduk. Jejak makanan adalah suatu metode penghitungan sumberdaya lahan yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan pangan. Jejak makanan didapat dengan cara membagi jumlah konsumsi pangan dengan produktifitas pangan. Hasil perhitungan ini adalah luas lahan dalam satuan hektar. Besar jejak makanan sangat dipengaruhi oleh jumlah konsumsi dan produktifitas lahan sumber pangan yang dikonsumsi. Semakin besar jumlah konsumsi pangan maka semakin besar pula jejak makanan yang ditimbulkan. Pertumbuhan penduduk dan perubahan gaya hidup akan
  • 27. 33 meningkatkan konsumsi pangan. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan adalah karakteristik tempat tinggal, pendapatan dan pendidikan. Karakteristik tempat tinggal akan mempengaruhi jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Penduduk perkotaan cenderung lebih banyak mengkonsumsi sumber protein hewani seperti daging, telur dan susu, serta pangan dalam bentuk makanan atau minuman jadi. Hal ini disebabkan ketersediaan jenis pangan tersebut lebih beragam dan mudah diakses oleh penduduk yang tinggal di perkotaan. Pada penduduk yang tinggal di pedesaan, pangan yang dikonsumsi lebih banyak berupa pangan nabati seperti jagung, umbi-umbian dan sayur-sayuran dan umumnya dihasilkan sendiri. Hal ini disebabkan akses penduduk di perdesaan terhadap pangan terbatas karena distribusinya yang kurang lancar akibat faktor transportasi. Pendapatan keluarga akan memberikan tingkatan kemampuan ekonomi keluarga yang berbeda. Keluarga dengan kategori Pra Sejahtera, keluarga Sejahtera I, keluarga Sejahtera II, keluarga Sejahtera III dan keluarga Sejahtera III+ akan mengkonsumsi pangan yang berbeda baik jenis dan jumlahnya. Semakin tinggi tingkat perekonomian keluarga maka akan mempunyai daya beli yang tinggi pula, sehingga memberikan peluang yang lebih besar untuk memilih berbagai jenis makanan. Tingkat pendidikan mempengaruhi keragaman konsumsi pangan. Umumnya tingkat pendidikan yang tinggi akan menyebabkan mudahnya dalam menerima informasi baru. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin tinggi pula pengetahuan gizi. Tingkat pendidikan yang tinggi akan mempunyai pola konsumsi yang berbeda dengan penduduk dengan tingkat pendidikan rendah.
  • 28. 34 Jejak makanan ini dapat memberikan informasi mengenai seberapa besar sumberdaya alam terutama lahan yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduk perdesaan dan perkotaan di Kabupaten Bangka Tengah dan seberapa besar sumberdaya lahan yang dimiliki. Hasil perhitungan jejak makanan ini akan menggambarkan kebutuhan lahan penduduk dengan karakteristik berbeda yang kemudian dibandingkan dengan lahan pertanian yang ada. Informasi lebih mengenai jenis pangan apa yang paling banyak membutuhkan lahan dan kebijakan apa yang harus diambil agar dapat mendukung jejak makanan. Jejak makanan ini tidak hanya digunakan untuk mengetahui jenis konsumsi pangan tetapi juga dapat memberikan patokan bagi perencana produksi pangan dan pertanian untuk mengetahui kelompok pangan yang harus ditingkatkan produksinya sesuai dengan keadaan ekologi dan ekonomi di Kabupaten Bangka Tengah.
  • 29. 35 Kebijakan Permintaan Pasokan Pertumbuhan Perubahan Produk pangan Produk pangan penduduk gaya hidup dari luar Kab. dari Kab. Bangka Bangka Tengah Tengah Konsumsi Luas lahan Luas lahan Data produksi Data produksi Karakteristik Jenis dan jumlah tempat konsumsi pangan tinggal, Pendapatan, Biokapasitas Biokapasitas Pendidikan lahan dari luar lahan lokal Besar jejak Biokapasitas makanan lahan Status biokapasitas lahan lokal terhadap jejak makanan Pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan : lingkup penelitian Gambar 2.2. Kerangka pemikiran