Koruptor, Perusahaan Maling Kayu, dan Perampas Tanah
1. LAWAN 3 Parasit Ekonomi Rakyat Riau; Koruptor, Perusahaan
Maling Kayu, dan Perampas Tanah Rakyat
Pendahuluan
Kehidupan rakyat kini semakin meradang! bahwa kenyataan-kenyataan ekonomi secara nasional, negara
kita masih terbelenggu oleh ketergantungan yang sangat besar dari pemodal asing yang bahkan secara kasat
mata bisa kita lihat bersama dengan adanya penguasaan besar-besaran seluruh aset kekayaan alam negara kita
–terutama di sektor tambang, oleh perusahaan-perusahaan asing yang jelas berkepentingan mengeruk
sebanyak-banyaknya keuntungan dari hasil kekayaan alam kita yang besar ini. Misalnya saja Exxon Mobil
Oil, Freeport, Petro China, Rio Tinto, Newmont dan beberapa perusahaan asing lain yang menguasai hampir
80% industri hulu pertambangan dan migas di Indonesia dengan hak eksploitasi (kontrak karya) yang
waktunya puluhan tahun –bahkan ada yang mencapai 100 tahun dan mengambil keuntungan 90% dari total
keuntungan bersih US$ 10 Milyar per tahunnya atau sekitar US$ 9 milyar dibandingkan dengan sisa US$ 1
Milyar per tahun untuk jatah dalam negeri yang masih harus dibagi antara Pemerintah dan Industri Tambang-
Migas Dalam Negeri. Inilah jawaban dari kecilnya pendapatan sektor tambang dan migas dalam APBN
(ataupun APBD) yang hanya berkisar US$ 1,2 – 1,7 Juta per tahunnya. Dari kecilnya pendapatan inilah,
pemerintah selalu menggunakan alasan ini untuk terus mengambil hutang luar negeri sebanyak-banyaknya
untuk menutup anggaran belanja negara (atau daerah) yang jumlahnya mencapai US$ 162 Milyar dan akan
bertambah dengan rencana pemerintah untuk kembali mengambil hutang sebesar Rp. 2,8 Trilyun atau sekitar
US$ 210 juta pada APBN-P 2007. Hal inilah yang kemudian berakibat pada sedikitnya alokasi pembiayaan
subsidi bagi kebutuhan rakyat banyak (Pendidikan, Kesehatan, Pertanian –kredit usaha tani, pupuk, bibit,
teknologi produksi dll, Perumahan dll) karena alokasi pembiayaan yang paling besar hanyalah untuk
membayar bunga dan cicilan pokok hutang yang rata-rata mencapai hampir 30% dari APBN. Konsesi
hutang ini biasanya diberikan dengan perjanjian investasi industri asing yang menghancurkan industri dalam
negeri kita karena kalah dalam persaingan modal. Hancurnya industri dalam negeri inilah yang kemudian
berakibat pada semakin banyaknya perusahaan-perusahaan dalam negeri yang tutup, dan menambah deretan
panjang jumlah pengangguran serta menyempitnya lapangan pekerjaan. Hal inilah yang kemudian memicu
jumlah ekspor TKI ke luar negeri, tingginya angka kriminalitas, konflik sosial horizontal. Daerah pedesaan
yang didominasi oleh basis produksi pertanian juga semakin tidak berkembang (kalau bisa dikatakan semakin
hancur) yang dilihat dari penurunan angka pertumbuhan sektor produksi pertanian dari 6,4% pada triwulan I
tahun 2006, menjadi 5,9% pada triwulan I tahun 2007 (atau minus 0,5% dalam setahun). Walaupun menurut
BPS, indikator makro ekonomi pertumbuhan sektor pertanian kita menunjukkan hal yang menggembirakan
dengan PDB (Pendapatan Domestik Bruto) tahun 2006 tumbuh 4,12%, penyerapan tenaga kerja sektor
pertanian naik 2,97% pada tahun 2005, serta angka ekspor hasil produk pertanian meningkat 20,41% pada
tahun 2006 melalui program LUEP (Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan), ternyata tidak mempengaruhi
tingkat kesejahteraan kaum tani secara umum. Data BPS tersebut secara makro ekonomi mungkin
memberikan gambaran yang menggembirakan bagi kita –kaum tani Indonesia, akan tetapi ternyata gambaran
makro ekonomi tersebut tidak berpengaruh pada NTP (Nilai Tukar Petani) yang juga menurut BPS malah
menurun pada tahun 2006 hingga sebesar 15,55% yang disebabkan oleh kenaikan biaya produksi pertanian
yang semakin besar setiap tahunnya (mulai lahan –yang terus menyempit karena konversi lahan produksi
pertanian menjadi lahan rekreasi, perdagangan dan jasa yang bisa dilihat dari data jumlah petani tak
bertanah menjadi 49,5% dari 48,6% dari tahun 1995 hingga 1999 di Jawa dan 18,7% dari 12,7% di luar
Jawa—yang menyebabkan banyak konflik tanah antara masyarakat dengan perusahaan-pemerintah,
kredit usaha tani, pupuk, bibit, harga pasar, dll) hampir 200% kelipatannya dari biaya produksi sebelumnya
dengan indeks harga yang dibayar petani lebih tinggi 1,17% dibanding indeks harga yang diterima petani
sebesar 0,86% pada tahun 2006 yang disebabkan naiknya harga BBM dan Gas yang telah dijual pada
perusahaan asing (privatisasi). Angka-angka inilah yang membuktikan bahwa tingkat kesejahteraan kaum tani
Indonesia terus merosot dari tahun ke tahun. Rencana pemerintah untuk membagikan tanah seluas 8 juta
hektar lebih dalam Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) atau Landreform Plus juga masih samar-
samar dan belum jelas arahnya, apakah prioritas utamanya adalah menyelesaikan sengketa pertanahan untuk
kepentingan kaum tani ataukah hanya siasat baru dalam me-legalkan penjualan tanah/lahan bagi kepentingan
perusahaan-perusahaan modal asing? Atau hanyalah sekedar memindah kaum tani tak bertanah menuju
daerah2 transmigrasi baru? Karena ketidak jelasan inilah, maka kita harus mengawal dan mendorong maju
PPAN agar dijalankan secara benar untuk kepentingan kesejahteraan kaum tani –utamanya dalam arah
penyelesaiaan sengketa agraria selama ini.
Penguasaan yang sangat besar kekayaan alam negara kita oleh industri-industri modal asing, hingga
berakibat pada ketergantungan yang sangat besar terhadap hutang luar negeri menyebabkan kecilnya
pembiayaan ekonomi negara pada kebutuhan masyarakat secara umum –dan kaum tani khususnya, dalam
sektor pendidikan, kesehatan, perumahan, pertanian dan lainnya yang membuat kompetisi/persaingan sumber
daya manusia terdidik dan produktifitas nasional menjadi lemah dan tidak seimbang dihadapan para penjajah
2. modal asing ini. Semua hal ini bisa terjadi dengan peran pemerintah dan elit-elit politik di parlemen yang
dengan sadar membuat aturan-aturan (seperti UU PMA tahun 1967, ditambah UU Migas 2001, Perjanjian
Perdagangan Bebas –ternasuk hasil produksi pertanian di WTO yang berakibat pada membanjirnya produk
hasil pertanian impor, hingga yang terakhir UU Penanaman Modal 2007) yang memberikan jalan mulus bagi
penjajah modal asing ini untuk semakin masuk hingga langsung ke desa-desa melalui UU Otonomi Daerah
Tahun 1999 untuk lebih bebas dan brutal mengeruk kekayaan alam negara kita dan memperbudak rakyat
Indonesia di bumi pertiwi-nya sendiri. Kemerdekaan bangsa kita yang belum lama ini kita peringati, menjadi
tidak lebih hanya upacara formal yang dilakukan setiap tahun tanpa kesadaran yang memperlihatkan bahwa
kita saat ini lebih terjajah oleh modal asing dibandingkan dengan penjajahan fisik-kolonial sebelumnya dan
bersama-sama merumuskan bagaimana jalan keluar mengatasi penjajahan modal asing selamaini.
Dengan kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintahan yang tidak produktif (penguasaan asset tambang
oleh asing), alokasi dana pembangunan pun serasa jauh jika dikatakan untuk penyejahteraan rakyat. Di Riau,
hal ini bukanlah permasalahan asing lagi. Di sela-sela penderitaan rakyat mengahadapi banjir saja misalnya,
kasus dugaan korupsi dana Badan Kesejahteraan Sosial (BKS) mencuat. Selain itu, perusahaan-perusahaan
yang memiliki “orang-orang” kuat pun diduga melakukan perluasaan lahan produksinya hingga merambah
hutan, perkebunan, kampaung masyarakat. Tak ayal lagi, penderitaan tersebut diikuti dengan semakin
sempitnya lahan produksi masyarakat akibat penguasaan yang terlalu besar tanah untu Hutan Tanaman
Industri (HTI), Hak Guna Usaha (HGU), dan lain sebagainya. Dari itu, Sentral gerakan Rakyat Riau
(SEGERA) yang merupakan front persatuan gerakan rakyat milti-sektoral, terdiri dari; Serikat Tani Riau
(STR), Serikat Mahasiswa Riau (SeMaR), Ikatan Pelajar-Mahasiswa Kecamatan Bengkalis (INPERALIS),
dan Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS) Riau menyimpulkan bahwa, ada tiga parasit –
pengganggu – ekonomi rakyat Riau yang mesti dimusnahkan sekarang juga. Tiga parasit tersebut anak dari
kapitalisme global, akbibat dari ketidakproduktifan satu bangsa dalam mengelola sumber daya alamnya.
Ketiga parasit itu adalah; Koruptor, Perusahaan pelaku illegal loging, dan para perampas tanah rakyat!
Setidaknya, sepanjang tahun 2007 rakyat Riau sudah menunjukkan perlawanannya terhadap 3 parasit
ekonomi tersebut. Tak kurang sebanyak 6 kali mobilisasi (6-8 Maret, 1 Mei, 12 Juli, 9 Agustus, 5
September, 6 November) SEGERA telah melakukan mobilisasi umum untuk melawan 3 parasit
ekonomi rakyat itu.
Koruptor
Dalam sebuah harian local, Riau Mandiri edisi Selasa (10/04/07), Wakil Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) Erry Riyana Hardjapamekas menyatakan lembaganya telah menerima sebanyak 553 laporan
pengaduan masyarakat di Provinsi Riau terkait dugaan tindak pidana korupsi. Laporan tersebut diterima KPK
sejak tahun 2004 dan untuk 2007 saja hingga bulan Maret, KPK telah menerima 40 pengaduan dari
masyarakat. Meski demikian dari banyaknya pengaduan itu setelah ditelaah hanya 122 laporan atau 22,06
persen yang tergolong tindak pidana korupsi dan diteruskan kepada instansi yang berwenang. Instansi tersebut
adalah kepolisian, kejaksaan, BPKP, Inspektorat Jenderal, BPK, Mahkamah Agung dan Bawasda. Erry Riyana
mengungkapkan, dari 553 laporan dari Riau itu, sebanyak 11 laporan sedang ditelaah. Kemudian 8 laporan
lainnya ditindaklanjuti internal KPK dan sebanyak 319 yang telah ditelaah tidak disampaikan kepada instansi
berwenang antara lain karena bukan tindak pidana korupsi, kurang dilengkapi bukti awal, tanpa alamat
pengadu. Selain itu sebanyak 93 laporan dikembalikan kepada pelapor untuk dimintakan keterangan
tambahan. Dan yang mengejutkan lagi, menurutnya ada 18 ribu laporan yang masuk sejak KPK berdiri sejak
akhir tahun 2003 dari seluruh provinsi di Indonesia, tidak hanya laporan tindak pidana korupsi yang masuk ke
KPK, tapi juga ada juga laporan masalah perselingkuhan di keluarga, persaingan usaha, konflik di perusahaan
dan lainnya.
Di Riau, beberapa kasus dugaan korupsi sejak awal tahun 2007 yang menarik perhatian adalah; dugaan
korupsi Program Ekonomi Kerakyata (PEK) Kabupaten Kampar sebesar Rp. 43 Milyar, dugaan korupsi Dana
Panitia Legislatif (Panleg) sebesar Rp. 3,5 Milyar, Dugaan Korupsi di Sekolah Menegah Atas (SMA) Plus
sebesar Rp. 3,5 Milyar, dugaan Korupsi pembuatan kapal Laksmana sebesar Rp. 5,22 Milyar, dugaan korupsi
pengadaan mobil kebakaran, dan lain sebagainya. Kasus-kasus yang mengemuka ini – walaupun tidak kami
tuliskan secara komprehenship – menunjukkan bahwa, angka dugaan korupsi di Riau cukup tinggi. Dan bias
dikatakan sangat kontraproduktif dengan program kerakyatan yang digembar-gemborkan oleh pemerintahan
Rusli Zainal.
Perusahaan Maling Kayu
Menurut JIKALAHARI, Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini, sekitar 3,3 juta hektar hutan alam
di provinsi riau hilang. Musnahnya kawasan hutan alam ini disebabkan maraknya investasi sektor kehutanan
dan perkebunan di Riau sejak era tahun 80-an serta aktivitas pembalakan liar (illegal logging). Hal ini
ditengarai bahwa semasa rezim Orde Baru membangun jaringan kekuasaan ekonominya di bawah kangkangan
kapitalisme global dengan memberikan + 580.000 ha (Separuhnya diperuntukkan bagi HPH/TI PT. Arara
Abadi, seluas hampir 300.000 ha) perkebunan pulp kepada 2 perusahaan dan diperkirakan memboyong 20 juta
meter kubik kayu per tahunnya, atau setara dengan 91% dari total penebangan semua industri berbasis kayu di
3. Indonesia. Sementara itu, menurut laporan Human Rigth Wacth tahun 2003 lalu, untuk PT. Caltex Pasifix
Indonesia (CPI) atau PT. Chevron Pasific Indonesia (CPI) saja mendapatkan jatah seluas + 3,2 juta ha atau
sekitar 32.000 KM. Lalu, 6 juta ha HPH di Riau merupakan milik kaum elit di luar Riau. Jika ditotalkan
keseluruhannya, maka peruntukan lahan bagi perkebunan/industri kehutanan skala besar di Riau seluas 9,5
juta ha.
Kebijakan inilah kemudian yang ditengarai menyebabkan bencana dimana-mana, mulai dari bencana
asap, banjir, konflik tanah, kemiskinan, dan lain sebagainya. Bencana asap misalnya, menurut Walhi Riau
bersama LSM lingkungan lainnya bahwa periode Juli-Agustus 2006 telah teridentifikasi bahwa kebakaran
terjadi di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Produksi (HPH), dan perkebunan Sawit di seluruh
Riau, dengan rincian luasan terbakar HTI 47.186 ha, perkebunan Sawit 42.094 ha, HPH 39.055 ha, kawasan
Gambut 91.198 ha, dan kawasan non-Gambut 82.503 ha. Inilah kemudian yang menjadi indikasi penyebab
12.000 orang terkena ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan), 3.000 orang terkena iritasi mata, 10.000 orang
terkena diare dan mencret (Catatan Akhir Tahun 2006 JIKALAHARI). Ini tentunya belum termasuk kepada
kerugian yang diderita oleh rakyat akibat banjir – diantaranya disebebkan oleh terlampau luasnya tanaman
monokultur skala besar - yang menurut buku hitam WALHI Riau, pada tahun 2003 saja sebesar Rp. 793,3
milyar. Dan di tahun 2006, menurut Riau Pos dari akibat banjir yang melanda 3 kecamatan di kabupaten
Kampar; Tambang, Tapung Hilir, dan Kampar Kiri mendera 3.000 jiwa lebih dan sedikitnya 50 orang
meninggal dunia. Sementara itu belum lagi tanaman rakyat yang rusak. Ini tentunya tidak termasuk data
kerugian akibat banjir yang menjarahi daerah Rokan Hulu, Pekanbaru, Kuansing, Bengkalis, dan lain-lain.
Kendati Kondisi Hutan Alam Riau sudah dalam keadaan kritis tahun 2004, namun ternyata eksploitasi
hutan alam tetap berlangsung pesat sepanjang tahun 2005, baik yang dilakukan oleh Penebang liar (Illegal
Logging) maupun oleh pemegang izin konsesi (Legal Logging). Keduanya sama-sama memberikan andil besar
terhadap hilangnya tutupan hutan alam di Riau yang mengakibatkan Bencana Banjir dan Kabut Asap terjadi
secara rutin pada tahun 2005. Pada akhir Tahun 2004 JIKALAHARI mencatat tutupan hutan alam Riau hanya
tersisa seluas 3,21 juta hektar atau 35 % dari 8,98 juta hektar total luas daratan Provinsi Riau. Penurunan Luas
Hutan Alam di Riau terjadi secara Drastis dari tahun 1984 ke tahun 2005 yaitu seluas 3 juta hektar, penurunan
tertinggi terjadi antara tahun 1999 ke tahun 2000 yaitu seluas 840 ribu hektar. Berarti jika dirata-ratakan per
tahun hutan alam Riau hilang seluas 150 ribu hektar.
Aktifitas Eksploitasi ini dipastikan akan terus berlanjut sepanjang tahun 2006 karena di atas Hutan
Alam yang tersisa sebagian besar sudah dikuasai Perusahaan besar swasta bidang Perkebunan dan Hutan
Tanaman Industri (HTI). Hasil analisis JIKALAHARI menemukan bahwa seluas 789.703 hektar dari Hutan
Alam yang tersisa tahun 2004 sudah dikuasai untuk dieksplotasi oleh 2 group Perusahaan Bubur Kertas Riau
yaitu APRIL (Asia Pacific Resources International Ltd.) Induk PT. RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper)
seluas 278.371 hektar dan APP (Asia Pulp And Paper) Induk PT. IKPP (Indah Kiat Pulp and Paper) seluas
511.331 hektar beserta Perusahaan mitranya, dan seluas 390.471 hektar telah dikuasai oleh Perusahaan
Perkebunan. Ini belum termasuk 19 Perusahaan HPH yang sekarang masih menguasai 834.249 hektar Hutan
Alam dan Aktifitas Penebangan Liar yang sudah masuk dalam Kawasan Lindung.
Pada tanggal 14 Juni 2005 Pemerintah Pusat melalui Menteri Kehutanan M.S. Ka’ban telah membuat
target pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia hingga mencapai 5 Juta hektar HTI pada
tahun 2009. Sementara hingga saat ini telah ada seluas 2,16 juta Hektar HTI yang sudah dibangun, berarti
masih akan ada seluas 2,84 juta Hektar lagi HTI yang akan dibangun hingga tahun 2009. Untuk kontek Riau,
Kebijakan ini patut dipertanyakan signifikansinya terhadap upaya penyelamatan Hutan Alam yang tersisa,
karena keberadaan 2 Pabrik bubur Kertas (APRIL/RAPP dan APP/IKPP Group) di Riau yang mempunyai
kapasitas produksi 4 Juta Ton per tahun dalam prakteknya tidak pernah serius menanam HTI untuk memenuhi
kebutuhan Bahan Baku yang telah mencapai 18 juta meter kubik per tahun. Saat ini saja kedua Perusahaan
Bubur Kertas dan mitranya telah mengantongi izin seluas masing-masing 1.137.028 Hektar untuk APP dan
681.778 Hektar untuk APRIL, sementara operasional kedua perusahaan ini sudah begitu lama (23 tahun IKPP
dan 12 tahun RAPP) namun anehnya HTI yang berhasil mereka bangun baru mampu 30 % dari total
kebutuhan kapasitas Industri terpasangnya 4 juta ton per tahun. Hal ini berarti kedua perusahaan ini bisa
dikatakan gagal/tidak serius, dan hanya mau mengeksploitasi Hutan Alam untuk memenuhi kebutuhan bahan
bakunya. Tidak hanya itu, kedua perusahaan ini juga kerap menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kayu
alam, dan terus mengajukan izin perluasan konsesi di atas Hutan Alam. APRIL misalnya, saat ini masih terus
giat melobby Pemerintah untuk dapat menguasai Hutan Alam Gambut Dalam di Semenanjung Kampar dan
Pulau Padang seluas 215.790 ha untuk dieksploitasi Kayu Alamnya.
Menurut JIKALAHARI pada tahun 2001-2003 APP dan APRIL juga memanfaatkan secara maksimal
kewenangan Kepala Daerah dalam mengeluarkan izin HTI atau IUPHHK-HT dengan menggunakan mitra-
mitranya untuk mendapatkan izin eksploitasi Hutan Alam. Bahkan hingga dicabutnya kewenangan Kepala
Daerah pada awal 2002 melalui Kepmenhut 541/KPTS-II/2002 tanggal 21 Februari dan diperkuat dengan PP
34 tahun 2002 tanggal 8 juni 2002, mitra-mitra APP dan APRIL tetap mendapatkan izin-izin baru di atas
Hutan Alam. JIKALAHARI mencatat ada 34 IUPHHK-HT yang masih dikeluarkan 4 bupati (Inhil, Inhu, Siak
dan Pelalawan) dan Gubernur Riau sampai awal 2003. Izin ini jelas telah cacat Hukum, namun baik APP dan
APRIL yang menerima kayunya maupun Kepala Daerah yang mengeluarkan Izin seolah-olah tutup mata,
penebangan kayu alam terus berlanjut. Hingga pada tanggal 15 Januari 2005 Menteri Kehutanan M.S. Ka’ban
mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2005 dan diteruskan dengan surat edaran
4. ke Gubernur se Indonesia tanggal 25 Februari 2005 yang pada intinya menegaskan bahwa semua IPHHK-HT
yang pernah dikeluarkan Kepala Daerah akan dilakukan Verifikasi mengingat kewenangan Kepala Daerah
telah dicabut. Menjelang akhir tahun 2005 tim verifikasi bentukan Menteri Kehutanan ini dikabarkan telah
turun ke kabupaten Pelalawan, namun apakah hasil verifikasinya menyatakan 21 IUPHHK-HT cacat hukum
atau tidak hingga kini belum jelas.
Perampas Tanah Rakyat
Secara logis, sempitnya lahan produksi, yang mengakibatkan rakyat tidak sanggup lagi
mempertahankan hidup secara layak. Rakyat Sialang Rimbun misalnya, hanya mampu mengonsumsi Ubi
untuk makanan sehari-harinya, dan sedikit saja dari mereka yang sanggup membeli beras. Inilah hasil dari
istilah Pembangunanisme kapitalisme-neoliberal yang dikoar-koarkan pemerintahan SBY-Kalla serta
ditindaklanjuti oleh Rusli Zainal. Program-program palsu, lips servis, entah apalagi namanya. Pembangunan
yang bisa dikatakan tidak mampu mengaliri sebagian desa di kecamatan Pinggir dengan listrik.
Sempitnya lahan pertanian yang mengakibatkan rendahnya pendapatan rakyat, seperti yang sudah
kami tegaskan diatas, adalah hasil perasan dari kebijakan pemberian izin pengelolaan hutan/perkebunan secara
besar-besaran, seperti PT. Arara Abadi, yang dalam catatan Human Rigth Wacth sudah banyak memakan
korban. Mulai di kabupaten Pelalawan, Kampar, Siak, hingga Bengkalis.
Inilah kemudian yang melahirkan bentuk-bentuk perlawanan rakyat petani berbagai tempat di Riau.
Untuk kasus PT. Arara abadi misalnya, sudah banyak korban yang berjatuhan seperti bentrokan antara rakyat
angkasa, Balam Merah di Kabupaten Pelalawan dengan perusahaan yang merupakan bagian dari Sinar Mas
Group (SMG) itu tahun 2001, kasus Mandiangin (Kab. Siak) tahun 20031, kasus kec. Pinggir2 (kab. Bengkalis)
tahun 2005-2006, kasus Tapung (kab. Kampar) 2006, terbaru adalah kasus di Pinang Sebatang dan sei.
Mandau (Akhir tahun 2006). Hal yang paling memiriskan dari kesimpulan pemerintahan di propinsi Riau
adalah, selalu mengambil kebijakan stanvas bagi setiap kasus yang ada, bukan malah mengumpulkan data-
data tersebut bagi alasan pencabutan SK Gubernur yang pernah dikeluarkan pada 9 Februari 1990. Dan
kemudian, tahun 1996 Menteri Kehutanan pada tanggal 25 November 1996 mengeluarkan surat Pemberian
Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri seluas 299.975 ha di Riau kepada PT. Arara Abadi. Surat tersebut
bernomor 743/kpts-II/1996 - di Jakarta, isinya menyebutkan bahwa, surat tersebut merupakan surat balasan
perusahaan tersebut mengenai permohonan penyediaan lahan untuk perkebunan yang dikirimkan kepada
Gubernur Riau pada 7 Oktober 1989 bernomor 57/AIP/UM/-DL/X/89. Hal inilah kemudian yang menjadi
dasar konflik agraria antara rakyat dengan perusahaan. Konflik yang memakan tanah adat, ulayat, perkebunan
rakyat, bahkan hingga kepada samarnya batas desa, kampong, pekuburan, dan lain sebagainya.
Konflik Antara Masyarakat Riau di beberapa Kabupaten dengan PT. Arara Abadi; Sebuah Catatan
Penting
Menurut data yang disampaikan oleh Human Rigth Watch pada 20 Februari 2001 lalu, bahwa Asia
Pulp & Paper dari Sinar Mas Group telah memimpin pertumbuhan yang luar biasa ini sebagai produsen
terbesar di Indonesia, menghasilkan setengah dari seluruh produksi pulp dan seperempat dari kertas di negara
ini3. Dengan total kapasitas pulp saat ini sebesar 2,3 juta metrik ton dan kapasitas pengemasan sebesar 5,7 juta
metrik ton, Indonesia menempati urutan pertama di antara negara-negara Asia selain Jepang, dan urutan
kesepuluh dalam produksi dunia, setelah raksasa-raksasa seperti International Paper, Enso, Georgia Pacific
dan UPM Kymmene. Berkantor pusat di Singapura, saat ini APP memiliki 16 fasilitas pabrik di Indonesia dan
Cina dan memasarkan produknya di lebih dari 65 negara di enam benua4. Pabrik APP Indah Kiat di Perawang,
Riau, adalah salah satu dari dua pabrik kertas terbesar di dunia5. Indah Kiat sendiri memiliki kapasitas
1 Untuk desa Mandiangin, dari investigasi STR terhadap sengketa antara masyarakat desa tersebut dengan PT. Arara
Abadi luasnya diperkirakan, dusun Banjar Sebelas 2000 ha, Banjar Lima 1600 ha, Tanah Bolang 2000 ha, Nangko Blantak 2500
ha, Guntung 1500 ha, Sei Jojab 4000 ha, Meranti Tinggi 1500 ha, Air Padang 3000 ha, Sei Lebui 2000 ha. Sementara itu, Desa
Minas Barat, memiliki lahan konflik dengan perusahaan dimaksud kurang lebih diperkirakan sebesar 30.000 ha, dengan 20 titik
konflik di Sungai Minas, Sungai Kili, Pangkalan Tua, Sungai Labuai, Utuh Ateh, Sungai Arang, Sungai Kiapah, Sungai Katuk,
Sungai Menarah, Sungai Mandiangin, Air Jamban, Sungai rintis, Sungai Air Duri, Sungai Air Bekesik, Sungai Iar Balam, Sungai
Kayu Apah, Sungai Tak Bedau, Sungai Kelabau
2 Di Kecamatan Pinggir, untuk dusun Suluk Bongkal saja (desa Beringin), lahan konflik diperkirakan STR terdiri dari;
Tanah Adat seluas 2000 ha, hak Ulayat 1500 ha, tanah warisan diluar tanah ulayat 1086 ha, pelepasan PT. CPI 500 ha. Ponti Lipai
350 ha, Selengkuk 650 ha, Sialang Untuh 600 ha, Sialang Sinapal 350 ha, Gunung Melibur 200 ha, Lubuk Tempalo 650 ha, Buluh
Apo 300 ha.
3 Diarmid O'Sullivan, quot;Indonesia: Tempting but not without Risksquot; Financial Times, Industry Surveys, World Paper and
Pulp, http://specials.ft.com/ln/ftsurveys/industry/sc7bbe.htm (diambil pada tanggal 3 Oktober 2002).
4 Asia Pulp & Paper (APP), http://www.asiapulppaper.com/content/about.asp?menu=1 (diambil pada tanggal 3 Oktober
2002); dan siaran pers yang dikirim melalui email kepada Human Rights Watch dari APP/Sinar Mas Group on 19 Juni 2002
(salinan file ada di Human Rights Watch).
5 Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP), milik keluarga konglomerat Tanoto (Raja Garuda Mas), yang juga terletak di
Riau dan merupakan salah satu pesaing terbesar APP. RAPP juga terkait dengan PT Indah Kiat, pabrik pulp terbesar di dunia;
5. produksi sebesar 2 juta ton pulp dan 1,5 juta ton kertas per tahun, yang telah meningkat pesat dari hanya
120.000 ton pada tahun 19896.
Serat kayu untuk pabrik Indah Kiat dipasok oleh Arara Abadi, yang adalah anak perusahaan Sinar Mas
Group, konglomerat yang memiliki APP. Arara Abadi adalah salah satu perkebunan kayu pulp terbesar di
Indonesia, yang menguasai konsesi 300.000 hektar di Riau. Peralihan hak atas lahan masyarakat tanpa proses
seharusnya atau tanpa ganti rugi yang adil dan tepat waktu merupakan faktor utama yang mendorong
perselisihan dan kekerasan antara Arara Abadi dan masyarakat sekitarnya.
Peraturan pemerintah provinsi yang dibuat bahkan pada saat awal pengembangan konsesi perkebunan
mengharuskan lahan yang digunakan untuk usahatani masyarakat dan produksi karet dikeluarkan dari areal
kerja HTI7. Tahun lalu, sebuah survei telah dilaksanakan di kecamatan Bunut (Kabupaten Pelalawan, di mana
desa Betung, Angkasa dan Belam Merah berada. Lihat Peta B)8 oleh tim gabungan yang terdiri dari berbagai
pihak yang berkepentingan, termasuk perwakilan dari pemerintah lokal, berbagai LSM, para pemimpin
masyarakat lokal, dan Arara Abadi, untuk menentukan luas lahan di dalam kawasan HTI yang diklaim oleh
masyarakat lokal. Meskipun areal yang diteliti hanya sebagian kecil saja dari kawasan milik Arara Abadi,
survei tersebut menemukan kira-kira 20.000 hektar lahan yang diklaim oleh masyarakat. Fakta bahwa survei
kepemilikan lahan secara sistematis dan menyeluruh belum pernah dilakukan merupakan indikasi kegagalan
pemerintah dalam menegakkan hak-hak asasi: hukum Indonesia mengharuskan lahan yang diklaim pihak
ketiga dikeluarkan dari konsesi hutan.
Catatan Arara Abadi menunjukkan bahwa 113.595 hektar lahan konsesinya telah dikalim oleh
masyarakat lokal. Walaupun perusahaan ini menegaskan bahwa setengah dari kasus-kasus ini telah
diselesaikan, mereka mengakui bahwa 57.000 hektar masih dalam sengketa. Akan tetapi, perusahaan ini tidak
memberi rincian yang terkait dengan penyelesaian yang dilakukan atau lokasi lahan yang dituntut, sehingga
tidak mungkin melakukan pemeriksaan silang tentang kemungkinan klaim-klaim ini saling tumpang tindih
dengan yang ditemukan oleh timgabungan tersebut9.
Seperti polisi provinsi, para pejabat APP bersikeras bahwa Arara Abadi telah menerima konsesi yang
sah dari pemerintah Indonesia. Selain itu karena penduduk lokal tidak memiliki surat kepemilikan resmi atas
lahan tersebut, maka mereka tidak mempunyai hak yang sah10. Direktur Arara Abadi mengakui bahwa hampir
semua masalah keamanan mereka bukan bersumber dari quot;penebangan liarquot; seperti yang berulang-ulang
ditegaskan oleh berbagai perwakilan, tetapi dari berbagai tuntutan hak atas lahan tradisional oleh masyarakat
lokal.
Sebenarnya, hampir semua masalah keamanan kami berasal dari masyarakat lokal. Mereka memiliki
hak ulayat. Reformasi telah membangkitkan rasa kepemilikan dan keberanian masyarakat dalam mengajukan
tuntutan meskipun mereka tidak mempunyai dokumen resmi. Kadang-kadang pemerintah mengirim seorang
penengah (mediator), tetapi ganti ruginya sering terlalu mahal11.
Komentar ini mengungkapkan beberapa hal. Pertama, mereka menjelaskan bahwa istilah quot;penebangan
liarquot; yang tidak tepat sering digunakan untuk mengaburkan tuntutan hak atas lahan masyarakat dan membuat
keluhan-keluhan sah dan perlu dinegoisasikan menjadi seperti kegiatan kriminal. Hal ini merupakan faktor
yang mendorong konflik-konflik di Angkasa/Belam Merah dan Mandiangin yang diuraikan di bawa. Kedua,
pengamatan bahwa reformasi telah membuat masyarakat menjadi quot;lebih beraniquot; dalam mendesakkan tuntutan
mereka merupakan tanda betapa besarnya rasa takut masyarakat akibat diintimidasi di masa lampau. Ketiga,
komentar pejabat tersebut menegaskan status kelas dua hak masyarakat asli, meskipun diakui oleh undang-
undang. Pejabat Arara Abadi tersebut jelas menyadari bahwa masyarakat mempunyai hak ulayat12, tetapi
secara tidak langsung menyatakan bahwa akhirnya biaya ganti rugilah yang menentukan apakah hak-hak ini
tingkat produksi tahunan mencapai dua juta ton. RAPP seluruhnya dimiliki oleh sebuah induk perusahaan di Singapura, yaitu
APRIL (Asia Pulp Resources International, Ltd).
6 Barr, Banking on Sustainability.
7 quot;Jika di dalam suatu kawasan konservasi terdapat lahan yang merupakan milik pribadi, la han desa, pekarangan atau
sawah yang diolah oleh pihak ketiga, maka lahan ini harus dikeluarkan dari wilayah kerja suatu perkebunan. Jika lahan ini
diinginkan oleh Arara Abadi, maka mereka harus menyelesaikannya dengan pihak-pihak yang terlibat sesuai dengan peraturan
yang berlaku.quot; Suar Keputusan Menteri Kehutanan SK No. 743 /KPTS-II/1996 (pasal 4, paragraf 1). Yang mesti diingat adalah,
batas waktu inclaving yang diatur oleh SK tersebut selama 2 tahun dari dikeluarkannya Surat dimaksud.
8 Survei yang dilakukan tidak mencakup semua wilayah kecamatan; hanya 14 desa yang disurvei. Tim Teknis
Klarifikasi Penyelesaian Masalah PT Arara Abadi Dengan Masyarakat Petalangan, quot;Laporan Pelaksanaan Hasil Pengecekan Tata
Batas Areal HPHTI PT Arara Abadi.quot; Laporan survei tidak diterbitkan, Kantor Bupati Pelalawan, Riau, 1 Agustus 2001.
9 quot;Land Ownership Disputesquot; (Rekapitulasi Maslah Lahan di Areal HPHTI PT Arara Abadi Distrik), dikutip dalam
AMEC Simons Forest Industry Consulting, quot;APP Pulp Mills & Sinar Mas Group Forestry Companies: Preliminary Wood Supply
Assessment,quot; Document 2111 B1754aD10, 12 Oktober 2001, h. 32.
10 Wawancara Human Rights Watch dengan staf pusat APP dan Arara Abadi, Tangerang, 13 Februari 2002; dan staf
lapangan di Perawang, Riau, 14 Februari 2002
11 Wawancara Human Rights Watch dengan Soebardjo, Direktur Arara Abadi, Tangerang, 13 Februari 2002
(Wawancara dilakukan dalam bahasa Inggris).
12 Ia secara terang-terangan menyatakannya sebagai quot;hak ulayatquot;, yang secara resmi digunakan dalam Undang-undang
Pokok Agraria No. 5/1960 untuk mengakui hak masyarakat adat (salah satu Undang-udang yang dikerluarkan setelah Indonesia
merdeka) . Lahan yang pemiliknya tidak diketahui atau tidak dapat dibuktikan dengan surat kepemilikan diperlakukan sebagai
lahan negara. Namun peraturan pelaksanaan undang-undang ini tidak pernah dikeluarkan dan pengaruh undang-undang ini di
lapangan sangat kecil karena sebagain masyarakat tidak pernah diberatahu bahwa mereka harus mengajukan permohonan untuk
mendapatkan surat bukti hak kepemilikan.
6. akan diakui atau tidak.
Walaupun Indonesia mengakui hak ulayat dalam undang-undangnya, proses resmi bagi masyarakat
lokal untuk mengajukan tuntutan atas lahan belum ada. Berhadapan dengan staf perusahaan dan pegawai
pemerintahan lokal yang tidak responsif dan tidak dapat diminta pertanggung gugatannya, masyarakat
mungkin mencoba mengajukan kasusnya ke pengadilan. Namuan praktik korupsi dan penyuapan yang harus
dilakukan menyebabkan cara ini menjadi tidak praktis bagi masyarakat lokal yang miskin dalam usaha
mencari keadilan. Bahkan, perusahaan-perusahaan mengeluh bahwa pengadilan yang korup kadang-kadang
meminta mereka memberi ganti rugi kepada penuntut yang tidak sah. Dalam ulasannya pada bulan Juni tahun
2002 mengenai sistem pengadilan di Indonesia, seorang Utusan Khusus tentang Kemandirian Hakim dan
Pengacara (Special Rapporteur on the Independence of Judges and Lawyers) dengan terkejut menyimpulkan
bahwa ia quot;tidak menyadari betapa korupsi sudah sedemikian merasuk ke semua sendi.13quot; Penilaian ini
dikuatkan oleh laporan penelitian yang rinci tentang sistem pengadilan yang disusun oleh Indonesian
Corruption Watch. LSM independen ini mendokumentasikan korupsi dan penerimaan suap di semua tingkat
proses pengadilan14.
Karena tidak memperoleh surat kepemilikan dan sistem peradilan yang ada tidak menolong mereka,
masyarakat lokal mempunyai beberapa cara untuk membuat pengaduan mereka didengar, dan pengaduan
secara informal yang disampaikan ke para pejabat lokal sering dibubarkan oleh pihak yang berwajib, sehingga
masyarakat lokal menjadi lebih tersingkir. Seperti yang dikatakan secara terbuka oleh pejabat polisi provinsi,
OK, mungkin kadang-kadang lahan disita tanpa diberi ganti rugi. Tetapi jika mereka tidak mempunyai
surat-surat bukti kepemilikan, maka mereka tidak mempunyai hak sama sekali. Kebanyakan mereka tidak
mempunyai surat bukti kepemilikan. Apa bukti tuntutan mereka? Jadi mereka tidak berhak atas apapun15.
Lahan Arara Abadi yang luas tidak saja dirampas dari penguasaan lokal. Hutan alamnya juga dibabat
habis, yang sebelumnya digunakan secara tradisional oleh masyarakat sekitar untuk usahatani lokal dan
pengumpulan hasil hutan, termasuk pohon madu yang berharga secara ekonomi dan budaya yang terdapat di
hutan alam, yang kepemilikannya diwariskan dari generasi ke generasi. Kebun buah-buahan dan pohon karet
masyarakat juga dibabat. Lahan luas yang dikuasai untuk HTI pulp, digabung dengan konsesi-konsesi yang
luas milik perkebunan pulp terbesar kedua di Indonesia, ditambah dengan konsesi-konsesi penebangan dan
perkebunan kelapa sawit-menyisakan sedikit lahan yang dapat digunakan untuk memperoleh sumber
penghidupan tradisional yang bergantung pada hutan (Peta B menunjukkan seluruh wilayah konsesi).
Peraturan pemerintah mengharuskan semua lokasi dan ladang desa dihilangkan dari wilayah kerja HTI, dan
penanaman tidak diizinkan dalam jarak 1,5 km dari desa-desa atau jalan16. Namun demikian, pohon-pohon
akasia sudah biasa ditanam hingga ke pinggir jalan, dan di beberapa desa, hingga ke pintu dapur rumah-rumah
penduduk desa. Seorang pria mengeluh, quot;Kalau kami ingin membangun kakus, kami harus menebang pohon
akasia.17quot;
Kenyataannya, perluasan APP/Sinar Mas Group yang dibiayai dari hutang telah menghasilkan pasokan
serat kayu yang melampaui pasokan kayu dari perkebunan akasia dan hutan alam yang tersedia dalam konsesi
Arara Abadi. Akibatnya APP/SMG harus membeli dari hutan alam tebang habis di luar wilayah konsesinya
yang sudah sangat luas18. APP/SMG mengakui ketergantungannya pada pembukaan hutan alam untuk
memenuhi kebutuhan pabrik: angka-angka yang dilaporkan APP/SMG kepada Human Rights Watch
menunjukkan bahwa saat ini pabrik APP, PT Indah Kiat, di Perawang mengunakan kayu seperti itu untuk
memenuhi 65 persen dari kebutuhan kayunya-dari total 9,8 juta ton per tahun-saat ini, dari jumlah itu, 25
persen berasal dari luar wilayah kon sesinya (meskipun kritikus menyatakan angka itu mendekati 50 persen)19.
Saat ini, konsesi Arara Abadi meliputi 6 kabupaten. Pada saat dikeluarkan di akhir tahun 1980-an, HTI
ini merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia. Akan tetapi, pada bulan Oktober tahun 2001, Arara
Abadi mengumumkan keinginannya untuk memperluas areal operasinya sebesar dua-pertiga, yang berarti
tambahan penebangan seluas 190.000 hektar hutan alam dalam lima tahun berikutnya untuk memasok
kapasitas pabrik Indah Kiat Riau yang diperbesar20. Perluasan ini akan dilaksanakan melalui quot;usaha bersamaquot;
dengan rekan-rekan yang tidak ditentukan dan di bawah persyaratan yang tidak ditentukan. Lagipula, untuk
memenuhi peningkatan kebutuhan akibat peningkatan kapasitas produksi, APP/Sinar Mas Group berencana
untuk melipatduakan luas hutan alam yang akan dibabat dalam lima tahun mendatang.
Sekarang ini, insentif ekonomi menjadi tidak layak bagi APP dan pabrik-pabrik pulp di seluruh
Indonesia untuk melanjutkan perluasan kapasitas yang berlebihan dan ketergantungan terhadap pembabatan
hutan alam, dan tekanan keuangan yang kuat akibat biaya pabrik yang sangat besar dan hutang yang berasal
dari kelompok kreditor (saat ini sebagian di antaranya menuntut APP untuk membayar kembali melalui proses
litigasi) untuk melanjutkan penghematan dan meningkatkan produksi, tanpa memperhatikan konsekuensi
13 Derwin Pereira, quot;U.N. Condemns Indonesia's Justicequot; Straits Times, 23 Juli 2002.
14 quot;Lifting the Lid on the Judicial `Mafia',quot; Indonesian Corruption Watch, Jakarta. 2002.
15 Wawancara Human Rights Watch dengan pejabat tinggi kepolisian di tingkat provinsi, 19 Februari 2002.
16 Surat Keputusan Menteri KehutananSK No. 743 /KPTS-II/1996, Surat Peraturan Bupati Kampar 21 November 1989.
17 Aliansi Peduli Pelalawan (APPEL), Prahara Abadi? Buku Putih Peristiwa Penyerangan Massal Karyawan Pam
Swakarsa PT Arara Abadi, (Pekanbaru, Riau: APPEL, Mei 2001).
18 Barr, Banking on Sustainability.
19 Barr, Banking on Sustainability.
20 AMEC Simons Forestry Consulting, quot;APP Pulp Mills & Sinar Mas Group Forestry Companies: Preliminary Wood
Supply Assessment,quot; Document 2111 B1754aD10, 12 Oktober 2001.
7. terhadap hak-hak asasi dan lingkungan. Insentif seperti ini, terutama di saat peraturan yang efektif masih tetap
tidak ada, akan tetap mengancam hak-hak asasi anggota masyarakat lokal.