1. Presentasi ke-3
NIKAH SIRRI & NIKAH MUT’AH :
Definisi, Dalil, Hukum & Implikasinya
Oleh: Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA
2. TA’RIF NIKAH SIRRI
Kata “Sirri” berasal dari bahasa Arab, yang arti harfiyahnya,
“rahasia” (secret marriage). Menurut terminologi fiqh Maliki,
Nikah sirri, ialah: “Nikah yang atas pesan suami, para saksi
merahasiakannya untuk isterinya atau jama’ahnya, sekalipun
keluarga setempat”
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, Ahkamu al-Zawaj, menyatakan
bahwa nikah sirri adalah apabila laki-laki menikahi perempuan
tanpa wali dan saksi-saksi, serta merahasiakan pernikahannya.
Sehingga langsung dapat disimpulkan, bahwa pernikahan ini
bathil menurut jumhur ulama.
Wahbah Zuhaili menyatakan bahwa nikah sirri yakni nikah yang
dirahasiakan dan hanya diketahui oleh pihak yang terkait
dengan akad. Pada akad ini dua saksi, wali dan kedua
mempelai diminta untuk merahasiakan pernikahan itu, dan tidak
seorangpun dari mereka diperbolehkan menceritakan
akad tersebut kepada orang lain.
3. NIKAH SIRRI MENURUT FIQH
Menurut pandangan ulama, nikah sirri terbagi menjadi dua:
Pertama : Dilangsungkannya pernikahan suami istri tanpa kehadiran wali
dan saksi-saksi, atau hanya dihadiri wali tanpa diketahui oleh saksi-saksi.
Kemudian pihak-pihak yang hadir (suami-istri dan wali) menyepakati untuk
menyembunyikan pernikahan tersebut. Menurut pandangan seluruh ulama
fiqih, pernikahan yang dilaksanakan seperti ini batil. Lantaran tidak
memenuhi syarat pernikahan, seperti keberadaan wali dan saksi-saksi. Ini
bahkan termasuk nikah sifâh (perzinaan) atau ittikhâdzul-akhdân
(menjadikan wanita atau lelaki sebagai piaraan untuk pemuas nafsu).
…“ غير مسافحات ول َمتخِذات أ ّخدانBukan pezina dan bukan (pula) wanita yang
ٍ َ ْ ِ َ ُّ َ ٍ َ ِ َ ُ َ َْ
mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya …” [al- Nisâ`/4:25].
Kedua : Pernikahan terlaksana dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang
terpenuhi, seperti ijab, qabul, wali dan saksi-saksi. Akan tetapi, mereka
(suami, istri, wali dan saksi) satu kata untuk merahasiakan pernikahan ini
dari telinga masyarakat. Jumhur ulama memandang pernikahan seperti ini
sah, tetapi hukumnya dilarang. Sebab, suatu perkara yang rahasia, jika telah
dihadiri dua orang atau lebih, maka sudah bukan rahasia lagi. Dilarang,
karena adanya perintah Rasul Saw untuk walimah dan menghilangkan unsur
yang berpotensi mengundang keragu-raguan dan tuduhan tidak benar.
Sedangkan kalangan ulama
Malikiyah menilai pernikahan yang seperti ini batil. Karena
maksud dari perintah untuk menyelenggarakan pernikahan adalah
pemberitahuan, dan ini termasuk syarat sah pernikahan.
4. TERMINOLOGI NIKAH SIRRI DI INDONESIA
Dalam konteks masyarakat Indonesia, definisi nikah sirri ada
beberapa versi:
1. Pernikahan yang dipandang sah dari segi agama (Islam),
namun tidak didaftarkan ke KUA (selaku lembaga perwakilan
negara dalam bidang pernikahan).
2. Pernikahan yang dilakukan tanpa kehadiran wali dari pihak
perempuan.
3. Pernikahan yang sah dilakukan baik oleh agama maupun
secara negara (juga tercatat di KUA), namun tidak
disebarluaskan (tidak diadakan walimah/resepsi).
Nikah sirri yang banyak dilakukan oleh masyarakat Muslim
Indonesia yaitu pernikahan yang sah namun tidak didaftarkan
ke KUA. Dalam konteks ini terminologi yang tepat adalah
Nikah Sirri = Zawaj ‘Urfi = Nikah dibawah tangan.
5. ZAWAJ ‘URFI
Disebut nikah ‘urfi (adat) karena pernikahan ini merupakan adat
dan kebiasaan yang berjalan dalam masyarakat muslim sejak
masa Nabi Saw dan para sahabat, dimana mereka tidak perlu
untuk mencatat akad pernikahan mereka tanpa ada permasalahan
dalam hati mereka.
Nikah ‘urfi mudah untuk dipalsu dan digugat, berbeda dengan
pernikahan resmi yang sulit digugat.
Faktor-faktor pendorong nikah ‘urfi:
a. Problem Poligami.
b. Undang-undang usia.
c. Tempat tinggal yang tidak menetap.
d. Faktor Harta/Mahar yang tinggi.
e. Faktor Agama. Sebagian orang lebih menempuh jalan ini untuk
memenuhi hasratnya bersama kekasihnya dan tidak ingin terikat
dalam suatu pernikahan resmi.
6. EFEK NIKAH SIRRI
Diantara efek pernikahan sirri bagi anak & istri:
1. Istri tidak bisa menggugat suami, apabila
ditinggalkan oleh suami.
2. Penyelesaian kasus gugatan nikah sirri,
hanya bisa diselesaikan melalui hukum adat,
tidak bisa di pengadilan agama.
3. Pernikahan sirri tidak termasuk perjanjian yang kuat (mītsāqan
ghalīdha) karena tidak tercatat secara hukum.
4. Apabila memiliki anak, maka anak tersebut tidak memiliki status,
seperti akta kelahiran. Sebab untuk memperoleh akta kelahiran,
disyaratkan adanya akta nikah.
5. Istri tidak memperoleh tunjangan apabila suami meninggal,
seperti tunjangan jasa raharja. Apabila suami sebagai PNS,
maka istri tidak memperoleh tunjangan perkawinan
dan tunjangan pensiun suami
6. Anak & istri terancam tidak mendapat hak waris,
karena tidak ada bukti administrasi pernikahan.
7. MANFAAT PENCATATAN (AKTA) NIKAH
1. Menjaga hak dari kesia-siaan, baik hak suami istri atau hak anak
berupa nasab, nafkah, warisan dsb. Catatan resmi ini merupakan
bukti otentik yang tidak bisa digugat untuk mendapatkan hak tsb.
2. Menyelesaikan persengketaan antara suami istri atau para walinya
ketika mereka berselisih, karena bisa jadi salah satu diantara
mereka akan mengingkari suatu hak untuk kepentingan pribadi
dan pihak lainnya tidak memiliki bukti karena saksi telah tiada.
Maka dengan adanya catatan ini, hal itu tidak bisa diingkari.
3. Catatan dan tulisan akan bertahan lama, sehingga sekalipun yang
bertanda tangan telah meninggal dunia namun catatan masih
berlaku. Oleh karena itu, para ulama menjadikan tulisan
merupakan salah satu cara penentuan hukum.
4. Catatan nikah akan menjaga suatu pernikahan dari pernikahan
yang tidak sah, karena akan diteliti terlebih dahulu beberapa syarat
dan rukun pernikahan serta penghalang-penghalangnya.
5. Menutup pintu pengakuan dusta dalam pengadilan. Karena bisa
saja sebagian orang yang hatinya rusak telah mengaku
telah menikahi seorang wanita secara dusta untuk
menjatuhkan lawannya dan mencemarkan kehormatan
hanya karena mudahnya suatu pernikahan dengan saksi palsu.
8. DALIL PELARANGAN NIKAH SIRRI
Apabila pemerintah memandang adanya undang-undang
keharusan tercatatnya akad pernikahan, maka itu adalah
undang-undang yang sah dan wajib bagi rakyat untuk
mematuhinya dan tidak melanggarnya. QS. al-Nisa’: 59
يا أَ ي ها ا ل ذي ن ءا م نوا أ َ طي عوا ا و أَ طي عوا ال ر سو ل و أ ُ و لى ا ل َم ر
ِ ْ ْ ِْ َ َ ُ ّ ُ ِ َ َ ُ ِ َُ َ َ ِ ّ َ ّ َ
ْ ُ ِ
من ك م
Kaidah fiqh: تصرف المام على الرعية منوط بالمصلحة
لضرر ول ضرار فى اللسلم
Pencatatan perkawinan menjadi suatu keharusan yang
dilakukan karena membawa kemaslahatan yang lebih besar
bagi umat Islam. Ada kaidah fiqh جلب المصالح ودرء المفالسد
(menarik kemaslahatan dan menolak kemudaratan). Ulama
ushul fiqh mengklaim bahwa apabila ada aturan hukum yang
dibuat manusia nyata maslahatnya dan tidak bertentangan
dengan nash, ia dapat disebut bagian dari hukum itu sendiri.
9. KESIMPULAN HUKUM NIKAH SIRRI
Nikah sirri yang diartikan menurut terminologi fiqh, dilarang
dan tidak sah menurut hukum Islam, karena ada unsur sirri
(dirahasiakan nikahnya), yang bertentangan dengan ajaran
Islam dan bisa mengundang fitnah dan tuhmah, serta dapat
mendatangkan madarat/resiko berat bagi pelakunya dan
keluarganya. Nikah sirri juga tidak sah menurut hukum
positif, karena tidak melaksanakan ketentuan hukum
munakahat yang baku dan benar, dan tidak pula diadakan
pencatatan nikahnya oleh KUA.
Nikah dibawah tangan hukumnya sah menurut hukum Islam
sepanjang tidak motif “sirri”, karena telah memenuhi
ketentuan syari’ah yang benar. Nikah dibawah tangan tidak
sah menurut hukum positif, karena tidak memenuhi
peraturan UU yang berlaku dalam hukum perkawinan.
Nikah ‘urfi banyak mengandung persoalan (mafsadat/
mudharat). Sehingga dalam perspektif syari’at,
nikah ‘urfi, walau sah secara fiqh, tetapi perlu
dihindari.
10. NIKAH MUT’AH
Mut’ah identik dengan kata tamattu’ yang berarti bersenang-senang atau
menikmati. Secara istilah, mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang
wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu,
pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah
ditentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat
tinggal dan tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya jika meninggal
sebelum berakhirnya masa nikah mut’ah itu.
Nikah Mut’ah disebut juga pernikahan sementara (al-zawaj al-mu`aqqat).
Menurut Sayyid Sabiq, dinamakan mut’ah karena laki-lakinya bermaksud
untuk bersenang-senang sementara waktu saja. Dalam nikah mut’ah,
jangka waktu perjanjian pernikahan (ajal) dan besarnya mahar yang harus
diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang hendak dinikahi
(mahr, ajr), dinyatakan secara spesifik dan eksplisit.
Tujuan nikah mut’ah adalah kenikmatan seksual (istimta’), sehingga
berbeda dengan tujuan penikahan permanen, yaitu prokreasi (taulid an-
nasl). Pihak laki-laki tidak berkewajiban menyediakan kebutuhan sehari-hari
(nafaqah) untuk istri sementaranya, sebagaimana yang harus ia lakukan
dalam pernikahan permanen. Sejalan dengan itu,
pihak istri juga mempunyai kewajiban yang sedikit untuk
mentaati suami, kecuali dalam urusan seksual.
11. HUKUM NIKAH MUT’AH
Pada awal perjalanan Islam, nikah mut’ah memang dihalalkan,
كن ا نغزو مع رسلول الل صلا ى الل عليه وسلم ليس لن ا نس اء فقلن ا أل نستخص ي فنه ان ا
َْلُ مَّ اَ ِصْ ْلُ اَ اَ اَ ْلُ يِ مَّ اَمَّ مَّ اَاَ ِصْ يِ اَ اَمَّ اَ اَ ِصْ اَ اَ اَ يِ اَ ٌ اَ ْلُ ِصْ اَ اَ اَ اَ ِصْ اَ ِصْ يِ اَ اَ اَ ا
ُْل ِ ي
ِ ي
َّاَ ِصْ اَ يِ اَ ْلُ مَّ اَ مَّ اَ اَ اَ اَ ِصْ اَ ِصْ يِ اَ ِصْ اَ ِصْاَ اَ يِ مَّ ِصْ يِ يِاَ اَج ث ٍ ْلُ مَّ اَ اَاَ اَ ِصْ ْلُ م
عن ذلك ثم رخص لن ا أن ننكح المرأة ب الثلوب إلا ى أ اَل ثم قرأ عبد الل
ي ا أيه ا الذين آمنلوا ل تحرملوا طيب ات م ا أحل الل لكم ول تعتدوا إن الل ل يحب المعتدين
Kami pergi berperang bersama Rasulullah saw. tanpa membawa istri lalu
kami bertanya: Bolehkah kami mengebiri diri? Beliau melarang kami
melakukan itu kemudian memberikan rukhsah untuk menikahi wanita
dengan pakaian sebagai mahar selama tempo waktu tertentu lalu
Abdullah membacakan ayat tsb. (HR. BukhariMuslim).
Hadits dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin ‘Akwa berkata: Pernah
kami dalam sebuah peperangan, lalu datang kepada kami Rasul Saw
ِ يِ مَّ اَ ْلُ اَ مَّ اَمَّ مَّ اَاَ ِصْ يِ اَ اَمَّ اَ اَ ِصْ اَ يِ اَ اَ ْلُ ِصْ اَ ِصْ اَ ِصْ اَ ِصْ يِ ْلُ اَ ِصْ يِ م ِصْع اَ ِّ اَ ي
إن رسلول الل صلا ى الل عليه وسلم قد أذن لكم أن تستمتعلوا يعن ي ْلُت اَة النس اء ُْل ِ ي
Telah diizinkan bagi kalian nikah mut’ah maka sekarang mut’ahlah.
Namun hukum ini telah dimansukh/dihapus dengan larangan Rasul
Saw untuk menikah mut’ah. Para ulama berselisih pendapat kapan
diharamkannya nikah mut’ah tersebut.
Pendapat yang lebih rajih bahwa nikah mut’ah
diharamkan pada saat fathu makkah tahun 8 Hijriyah.
12. HUKUM NIKAH MUT’AH
al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim:
وال ص واب ا ل م خ تار أَ نّ ال ت ح ريم وا ل با حة كا نا م ر ت ي ن، و كا ن ت حَ ل ل قَ بل
ْ ً َ ْ َ َ َ ِ ْ َ ّ َ َ َ َ َ ِْ َ ِ ْ ّ َْ ُ ْ َ ّ َ
خ ي بر ، ث م ح ر م ت ي وم خ ي بر، ث م أ ُ بي ح ت ي وم ف تح م كة وَ ه و ي وم
ْ َ َ ُ ّ َ َْ ْ َ ْ َ ِ ّ ُ ََْ ْ َ ْ َ ّ ُ ّ ُ ََْ
أَ و طاس، ل ت صا ل ه ما، ث م ح ر م ت ي وم ئ ذ ب عد ث ل ثة أَ يام ت ح ري ما
ً ِ ْ َ ّ َ َ َ ْ َ ٍ ِ ْ َ ْ َ ّ ُ ّ ُ َ ِ ِ َ ّ ِ َ ْ
م ؤ ب دا إِ لى ي وم ا ل ق يا مة، وا س ت م ر ال ت ح ريم
ِ ْ ّ ّ َ َْ َ َ َِ ْ ْ َ َ ً َّ ُ
“yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah
dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni
dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika
perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika fathu
Makkah, atau hari perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan
untuk selamanya sampai hari kiamat”.
Alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah
mut’ah, karena ketika itu dalam keadaan perang yang jauh dari
istri, sehingga para sahabat yang ikut perang merasa sangat
berat. Dan lagi pada masa itu masih dalam masa peralihan dari
kebiasaan zaman jahiliyah.
Jadi wajar jika Allah memberikan keringanan
(rukhshah) bagi para sahabat ketika itu.
13. HUKUM NIKAH MUT’AH
Ada pendapat yang membolehkan nikah mut’ah ini berdasarkan fatwa sahabat
Ibnu Abbas r.a., padahal fatwa tersebut telah direvisi oleh Ibnu Abbas sendiri.
وقد روي عن بعض الصحابة وبعض التابعين أن زواج المتعة حلل، واشتهر
ذلك عن ابن عباس رضي ا عنه، وفي تهذيب السنن : وأما ابن عباس فانه
سلك هذا المسلك في إباحتها عند الحاجة والضرورة، ولم يبحها مطلقا، فلما
بلغه إكثار الناس منها رجع . فقال ابن عباس : ) إنا لله وإنا إليه راجعون (! وا
ما بهذا أفتيت، ول هذا أردت، ول أحللت إل مثل ما أحل ا الميتة والدم ولحم
. الخنزير، وما تحل إل للمضطر، وما هي إل كالميتة والدم ولحم الخنزير
Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan beberapa tabi’in bahwa nikah mut’ah hukumnya boleh, dan
yang paling populer pendapat ini dinisbahkan kepada sahabat Ibnu Abbas r.a., dan dalam kitab
Tahzhib as-Sunan dikatakan: sedangkan Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah ini tidaklah secara
mutlak, akan tetapi hanya ketika dalam keadaan dharurat. Akan tetapi ketika banyak yang
melakukannya dengan tanpa mempertimbangkan kedharuratannya, maka ia merevisi pendapatnya
tersebut. Ia berkata: “inna lillahi wainna ilaihi raji’un, demi Allah saya tidak memfatwakan seperti itu
(hanya untuk kesenangan belaka), tidak seperti itu yang saya inginkan. Saya tidak menghalalkan
nikah mut’ah kecuali ketika dalam keadaan dharurat, sebagaimana halalnya bangkai, darah dan
daging babi ketika dalam keadaan dharurat, yang asalnya tidak halal kecuali bagi dalam keadaan
dharurat. Nikah mut’ah itu sama seperti bangkai, darah, dan daging babi, yang awalnya haram
hukumnya, tapi ketika dalam keadaan dharurat maka hukumnya menjadi boleh”
14. Pandangan Kaum Syi’ah (Itsna ‘Asy’ariyah)
Dasar legitimasi kaum Syi’ah terhadap nikah muth’ah adalah al-
Qur’an surat an-Nisa’ ayat 24: فم ا استمتعتم به منهن فتآتلوهن أجلورهن فريضة
ً َاَ اَ ِصْ اَ ِصْ اَ ِصْ ْلُ ِصْ يِ يِ يِ ِصْ ْلُ مَّ اَ ْلُ ْلُ مَّ ْلُ ْلُ اَ ْلُ مَّ اَ يِ ا
Dalam Tarikh al-Fiqh al-Ja’fari dijelaskan, bahwa ketika Abu Nashrah
bertanya kepada Ibn Abbas tentang nikah muth’ah, Ibn Abbas
menerangkan, nikah itu diperbolehkan, menurut Ibn Abbas,
lengkapnya ayat itu adalah (terdapat tambahan :) الى اجل مسما ى
ً َاَ ْلُ ْلُ مَّ ْلُ ْلُ اَ ْلُ مَّ اَ يِ ا
فم ا استمتعتم به منهن )الى اجل مسمى( فتآتلوهن أجلورهن فريضة َّاَ اَ ِصْ اَ ِصْ اَ ِصْ ْلُ ِصْ يِ يِ يِ ِصْ ْلُ م
Sahabat lain yang sependapat dengan Ibn Abbas Ibn Mas’ud, Ubay
Ibn Ka’ab, dan Said Ibn Zubair.
Kaum Syi’ah berpendirian bahwa praktek nikah muth’ah terdapat
pada masa Nabi dan Khalifah Pertama. Baru pada periode
Khalifah Kedua, yakni Khalifah Umar Ibn Khattab, nikah muth’ah
dilarang.
15. TUJUAN NIKAH
Syariat nikah menurut Islam ini, ajaran Islam ingin melindungi
para wanita untuk mendapatkan hak-haknya. Para wanita tidak
dapat dipertukarkan lagi sebagaimana zaman jahiliyah. Para
wanita selain harus menjalankan kewajibannya sebagai istri,
juga mempunyai hak untuk diperlakukan secara baik
(mu’asyarah bil ma’ruf), dan ketika suami meninggal ia juga
dapat bagian dari harta warisan.
Demikian tujuan nikah menurut ajaran Islam. Sedangkan nikah
mut’ah adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu,
sehingga apabila waktunya telah habis maka dengan
sendirinya nikah tersebut bubar tanpa adanya talak. Dalam
nikah mut’ah si wanita yang menjadi istri juga tidak mempunyai
hak waris jika si suami meninggal. Dengan begitu, tujuan nikah
mut’ah ini tidak sesuai dengan tujuan nikah menurut ajaran
Islam sebagaimana disebutkan di atas, dan dalam nikah
mut’ah ini pihak wanita teramat sangat dirugikan. Oleh
karenanya nikah mut’ah ini dilarang oleh Islam.
16. DALIL HARAMNYA NIKAH MUT’AH
pendapat yang mengharamkannya dasar hukumnya sangat kuat, sebab
dilandaskan di atas hadis shahih sbb.
ْع ن ع ل ي ر ض ي ال ل ه ع نه قا ل : ن هى ر سو ل ال ل ه ص لى ال ل ه ع ل ي ه و س ل م عَ ن
َ َّ َ ِ ََْ ُ ّ َّ ِ ّ ُ ُ َ َ َ َ َ َْ ُ ّ َ ِ َ ّ َِ ْ َ
َ ََْ َ َ ِ َ ُْ ْ
ا ل م ت ع ة عا م خ ي ب ر
ِ ََ ُ ّ
ع ن س ل م ة بن الكوع رضي ا عنه قا لَ :ر خ ص ر سو ل ال ل ه ص لى ال ل ه ع ل يْ ه
َّ ِ ّ ُ ُ َ َ ّ َ َ َ َ ََ ْ َ
) و س ل م عا م أَ و طا س في ا ل م ت ع ة ث ل ثا ث م ن هى ع ن ها ) رواه مسلم
َ َْ َ َ ّ ُ ً َ َ ِ َ ُْ ْ ِ ٍ َ ْ َ َ َ َّ َ
Diriwayatkan bahwa sahabat Salamah bin al-Akwa’ r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. “
memperbolehkan nikah mut’ah selama tiga hari pada tahun Authas (ketika ditundukkannya
”Makkah, fathu Makkah) kemudian (setelah itu) melarangnya
عن ر بي ع ب ن س ب ر ة ا ل ج ه ن ي أ َ ن أ َ با هُ ح د ث ه أَ ن ه كا ن م ع ر سو ل ال ل ه ص لى ال ل ه
ُ ّ َّ ِ ّ ِ ُ َ َ َ َ َ ُ ّ ُ َّ َ َ ّ ّ َِ ُ ْ َ َ َْ ُ ْ ُ ِّ
ْع ل ي ه و س ل م ف قا ل يا أ َ ي ها ال نا س إ ِ ني ق د ك ن ت أَ ذ ن ت ل ك م في ا ل س ت م تا ع م ن
ِ ِ َْ ِْ ِ ِ ْ ُ َ ُ ِْ ُ ُْ ْ َ ّ ُ ّ َ ّ َ َ َ َ َ َّ َ ِ ََْ
ٌال ن سا ء و إ ِ ن ال ل ه ق د ح ر مَ ذ ل ك إِ لى ي و مِ ا ل ق يا م ة ف م ن كا ن ع ن د ه م ن هُ ن شَ ي ء
ْ ّ ِْ ُ َ ِْ َ َ ْ َ َ ِ َ َِ ْ ْ َ َ َ َِ ّ َ ْ َ َ ّ ّ َ ِ َ ّ
ف ل ي خ ل س بي ل ه و ل ت أ خ ذوا م ما آ ت ي ت مو ه ن ش ي ئا ) أخرجه مسلم وأبو داوود
ًَْ ّ ُ ُ َُْ ّ ِ ُ ُ َْ َ َ ُ َ َِ ّ َ َُْ
) والنسائي وابن ماجة وأحمد وابن حبان
Diriwayatkan dari Rabi’ bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w. bersabda: “wahai sekalian “
manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah
mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang masih mempunyai
ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan
”kepada wanita yang kalian mut’ah
17. Nikah Misyar
Nikah Misyar banyak ditemui di beberapa negara di Timur
Tengah, seperti Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab. Makna
kawin misyar adalah “lewat dan tidak lama-lama bermukim”.
Biasanya terjadi pada istri kedua atau seterusnya, dimana
seorang laki-laki pergi ke pihak wanita dan wanita tidak pindah
atau bersama laki-laki di rumahnya. Tujuan kawin jenis ini
agar suami terbebas dari kewajiban menafkahi istri serta
memberinya tempat tinggal seperti halnya terhadap istri
pertama.
Kawin misyar terkadang tidak tercatat (seperti ‘urfi), dan
terkadang tercatat dengan disertai bukti. Biasanya pihak
wanita ber-tanazul (keringanan tidak menuntut sebagian
haknya) terutama menyangkut materi, kecuali dalam nafkah
batin.