Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) berusaha mendirikan negara Islam di Indonesia pada 1940-1960-an dengan melakukan pemberontakan bersenjata di beberapa daerah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, dan Kalimantan Selatan. Gerakan ini akhirnya dapat ditumpas oleh operasi militer pemerintah.
3. Gerakan DI/TII merupakan suatu usaha untuk
mendirikan Negara islam di Indonesia dan merupakan
masalah politik dan militer.
Masalah politik ditimbulkan oleh upaya mengganti
dasar negara Pancasila dengan mendirikan negara
Islam.
Masalah militer ditimbulkan oleh upaya membentuk
kesatuan bersenjata di luar tubuh TNI, yang
cenderung menimbulkan kekacauan dan teror.
Pemberontakan DI/TII terjadi di beberapa daerah di
Indonesia.
5. Dipimpin oleh Soekarmadji Maridjan Kartosuwiryo.
Gerakan ini dimulai ketika Jawa Barat kosong akibat
ketentuan hasil Perundingan Renville yang
mengharuskan pasukan TNI ditarik mundur dari
kantong-kantong gerilya (hijrah) ke wilayah RI.
Namun, anggota Hizbullah dan Sabilillah tidak menaati
ketentuan tersebut.
Kosongnya kekuatan TNI membuka jalan bagi S.M
Kartosuwiryo yang bercita-cita mendirikan negara
Islam menanamkan pengaruhnya. Pada bulan
Maret 1948, ia membentuk gerakan darul islam
(DI).
6. Puncaknya, pada tanggal 7 Agustus 1949 di Desa Cisayong,
S.M Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam
Indonesia (NII).
Kembalinya pasukan TNI Divisi Siliwangi dari Yogyakarta
merupakan ancaman bagi kelangsungan dan tercapainya cita-
cita S.M Kartosuwiryo. Oleh karena itu, Pasukan TNI divisi
Siliwangi yang baru kembali dari hijrah harus dihancurkan,
agar tidak memasuki wilayah Jawa Barat. Sehingga terjadilah
bentrok antara pasukan DI/TII dengan pasukan Siliwangi.
Pada tahun 1960, pasukan Siliwangi melancarkan operasi
pagar betis dengan bantuan rakyat. Sehingga, pada tanggal 4
Juni 1962 gerombolan DI/TII dapat dihancurkan. Dalam
operasi Bharatayudha, S.M Kartosuwiryo dapat ditangkap di
Gunung Geber, daerah Majalaya (Jawa Barat), lalu dijatuhi
hukuman mati.
8. Dipimpin oleh Amir Fattah. Gerakan ini muncul
setelah pengakuan kedaulatan. Gerakan ini
terjadi di sejumlah tempat terpisah, walaupun
saling berhubungan.
Pemerintah membentuk GBN (Gerakan Banteng
Negara) yang berada dibawah pimpinan Letkol
Sarbini untuk menghancurkan gerakan ini.
9. Gerakan Amir Fatah
Amir Fatah diangkat oleh S.M Kartosuwiryo menjadi komandan
pertempuran Jawa Tengah. Ia menggerakan pemberontakan di
wilayah Brebes, Tegal, dan Pekalongan. Pemberontakan itu dapat
ditumpas dengan operasi militer GBN.
Pemberontakan Amir Fatah sempat menguat setelah
bergabungnya sisa-sisa pemberontakan dari Angkatan Umat
Islam, Batalyon 426, dan MMC. Untuk mengatasi masalah
tersebut, Divisi Diponegoro membentuk pasukan khusus
bernama Benteng Raiders.
10. Gerakan Angkatan Umat Islam
Gerakan ini dipelopori oleh Kyai Moh. Mafudz Abdurachman
yang dikenal sebagai Kyai Somalangu. Ia menggerakan
pemberontakan di wilayah Kebumen. Pemberontakan dapat
ditumpas oleh pasukan Divisi Diponegoro di bawah pimpinan
Letkol Ahmad Yani. Sisa-sisa pemberontak bergabung dengan
Amir Fatah.
11. Pemberontakan Batalyon 426
Pemberontakan ini terjadi di Kudus dan Magelang. Para
pemberontak menyatakan diri bergabung dengan DI/TII. Akibat
pemberontakan itu, gerakan DI/TII di Jawa Tengah menjadi
masalah yang amat serius. Untuk menumpas pemberontakan,
Divisi Diponegoro melancarkan operasi militer bernama Operasi
Merdeka Timur. Operasi militer tersebut dipimpin oleh Letkol
Soeharto.
13. Dipimpin oleh Kahar Muzakar yang berlatar belakang dari
kekecewaannya terhadap pemerintah RI karena menolak
keinginannya untuk menggabungkan seluruh anggota Komando
Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dengan APRIS.
Alasan pemerintah adalah karena anggota KGSS harus melewati
ujian penyaringan terlebih dahulu.
Kahar Muzakkar juga berkeinginan menjadi pemimpin APRIS
didaerah Sulawesi Selatan.
Karena ditolaknya permintaannya itu, ia menyatakan bahwa
Sulawesi Selatan telah bergabung dengan NII.
Pemberontakan ini tidak berlangsung lama setelah pemerintah
mengirimkan divisi Siliwangi untuk menuntaskannya. Kahar
Muzakkar tewas dalam penyergapan pertama.
15. Dipimpin oleh Daud Beureueh. Pada tahun 1953, ia menyatakan
bahwa Aceh telah bersatu dengan NII pimpinan S.M
Kartosuwiryo.
Upaya yang dilakukan pemerintah yakni , pemerintah RI
menempuh dua pendekatan, yaitu pendekatan persuasif
(mengembalikan kembali kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah dan menjelaskan tentang kesalah pahaman)dan
operasi militer (untuk menghancurkan kekuatan militer DI/TII).
Pemerintah menawarkan amnesti kepada Daud Beureueh
asalkan ia bersedia kembali ke tengah masyarakat. Kembalinya
Daud Beureueh ke tengah masyarakat, menandai berakhirnya
pemberontakan DI/TII di Aceh.
17. Dipimpin oleh Ibnu Hajar, mantan Letnan dua TNI.
Ia menggalang gerakan bernama Kesatuan Rakyat Jang Tertindas
(KRJT). Untuk memperkuat kedudukan KJRT, ia meminta bantuan
kepada Kahar Muzakkar dan Kartosuwiryo.
Pada akhir tahun 1954, Ibnu Hajar membulatkan tekadnya untuk
bergabung dengan NII dan diangkat menjadi panglima TII untuk
wilayah Kalimantan.
Pada bulan Juli 1963, Ibnu Hajar dapat ditangkap oleh operasi
militer. Dua tahun kemudian tepatnya pada bulan Maret 1965, ia
diadili oleh mahkamah militer. Pengadilan menjatuhinya
hukuman mati.