Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1) Dokumen tersebut membahas pro dan kontra kebijakan Ujian Nasional sebagai alat pengendalian mutu pendidikan di Indonesia.
2) Ada yang berpandangan bahwa Ujian Nasional telah merusak kualitas pendidikan, sementara kementerian pendidikan berpendapat bahwa evaluasi seperti Ujian Nasional penting untuk mengukur capaian peserta didik.
3) Dokumen tersebut menawarkan beberapa model alternatif
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Powerpoint tugas filsafat UNNES
1. KEBIJAKAN UN SEBAGAI
PENGENDALIAN MUTU
(Sebuah Tanggapan)
Mohamad Fadli *)
NIM. 0102514062
2. Dilemma UN
• Dilaksanakan terus, muncul pekikan elemen
masyarakat pemerhati pendidikan yang tidak pro,
dan terus beranggapan bahwa rendahnya mutu
pendidikan Indonesia saat ini merupakan efek
kebijakan UN
• Dihapus pun akan rentan masalah, sebab sekolah
bisa jadi “seadanya” menyelenggaran proses
pembelajaran karena tidak ada pencapaian hasil
standar nasional yang harus dikejar
3. • Kosongnya beban dan iklim kompetisi untuk
memperoleh nilai standar yang terpantau
dapat memicu lemahnya kinerja guru di
sekolah untuk memproses peserta didik secara
optimal.
• Mendikbud akan mempertahankan kebijakan
ini tahun depan, Doni Koesoema A.,
berkomentar kontra.
4. Kontradiksi Opini
• Doni Koesoema A., (Kompas,13/11 2013)
menyatakan bahwa dampak masif rusaknya
seluruh sendi dan dinamika pendidikan nasional
adalah akibat kebijakan UN selama ini.
• Mengatasnamakan kritik masyarakat, Doni
Koesoema menulis bahwa UN merupakan biang
kerok kualitas pendidikan nasional tak kunjung
bangkit.
5. Tanggapan penulis
• Pandangan Doni Koesoema tentu saja
berlebihan sebab patologi (penyakit) UN
bukan pada kebijakan tetapi lebih pada
sararan yang melaksanakan kebijakan UN itu
sendiri.
6. • Doni Koesoema juga meyatakan bahwa Mendikbud
mendasari pemikirannya tentang pendidikan dengan
asumsi lama: proses pendidikan ala pabrik (logika pabrik)
karena itu, yang dibahas dan diasumsikan adalah
pengendalian barang komoditas, bukan manusia
• Mendikbud menulis (dalam Kompas, 23/10/2013): Secara
umum pengendalian mutu didahului dengan mengukur
nilai produk dan membandingkannya dengan standar
yang ditetapkan (Grant, Montgomery). Dengan demikian,
dalam pengendalian mutu harus ada kegiatan evaluasi:
dari menilai, membandingkan, dan memutuskan hasil
penilaian (Bloom).
7. Tanggapan Penulis
• Mendikbud menyatakan hal di atas sebenarnya bukan
mengasumsikan manusia (peserta didik) sebagai produk benda mati
dan guru sebagai alat produk benda mati tersebut.
• Mendikbud meminjam alur pikir dua pakar di atas sebagai analogi
bahwa betapa pentingnya pengendalian proses dan betapa
pentingnya pemantauan hasil proses tersebut melalui alat evaluasi
semacam ulangan, tugas, ujian, dan sebagainya sebagai wujud
pengendalian melekat (online).
• Sedangkan pengendalian secara terpisah (off line) seperti ujian
akhir proses pembelajaran (UN) untuk memastikan lulusan sesuai
standar kompetensi.
8. Realitas UN
• Patologi pelaksanaan tes UN selama ini adalah “kebocoran
soal” dengan sekian ragam modusnya sehingga tidak terjadi
mekanisme mengukur kompetensi peserta didik yang
sesungguhnya harus terukur.
• Ada “pembelaan” dan “keberpihakan” sekolah atas siswa
walaupun dalam konteks yang negatif dan sangat tidak
dikehendaki oleh pembuat kebijakan itu sendiri.
• Jalan tengah, mengkombinasikan nilai raport dengan hasil
UN dilakukan tetapi tidak menjadi solusi yang baik, sebab
sekolah membengkakkan nilai siswa agar mereka bisa lulus.
9. • Semakin ditingkatkan jumlah variasi dan paket
soal, semakin kreatif oknum tertentu yang
membocorkan.
• Jual beli soal atau kunci jawaban menjadi
“bisnis” subur akhir tahun pelajaran.
• Keterlambatan distribusi paket soal di
sejumlah wilayah di tanah air.
10. Evaluasi, Suatu Keniscayaan
• Evaluasi merupakan keniscayaan yang tidak dapat
ditawar-tawar keberadaannya.
• Evaluasi merupakan muara proses dalam
pendidikan dan pembelajaran di sekolah.
• Tawaran tes UN sebagai salah satu alat evaluasi:
ok. Namun model dan pelaksanaan tes UN harus
dirancang dengan sistem yang cerdas agar
dampak pelaksanaannya benar-benar
mencerdaskan.
11. Model Hipotetik TES
• Doni Koesoema A., menawarkan ujian sumatif
untuk mata pelajaran tertentu bagi kelas IV, VII,
dan XI sebagai ganti UN.
• Kendalanya adalah peserta didik masih terpola
dengan jenjang SD, SMP, SMA di mana tempat
dan kondisi belajarnya berbeda. Artinya, begitu
tamat SD, lalu masuk SMP kelas VII, peserta didik
diberi ujian sumatif sangat tidak kondusif.
12. • Informasi terkini, UN tetap dipertahankan dengan
pola yang lebih sistematis serta konstruksi soal
UN mencakup wilayah berpikir yang lebih luas
meliputi: problem solving, afektif, psikomotorik,
serta interaktif. Ini merupakan gambaran umum
wilayah soal UN.
• Tawaran-tawaran solusi di atas merupakan
hipotesa positif yang pantas dihargai, setidaknya
ada upaya menemukan solusi guna mengubah
sistem yang lebih baik dari sebelumnya.
13. • Tawaran yang juga mungkin adalah rujuk
dengan kebijakan NEM di era 1985. Artinya,
nilai UN jangan dijadikan sebagai alat satu-satunya
menentukan lulus tidaknya peserta
ujian. Sekolah sebagai tempat
terselenggaranya pendidikan dan
pembelajaran diberi wewenang untuk
menentukan kelulusan peserta didik.
14. Aspek lain
• Hal lain yang tidak dapat diabaikan adalah
keberadaan buku-buku pelajaran tertentu yang
di-UN-kan harus seragam sehingga objek yang
diukur akan sama untuk semua wilayah di tanah
air.
• Pengembangan di luar itu boleh berbeda di setiap
wilayah sesuai kondisinya, tetapi paket rujukan
materi yang diujikan khusus harus sama.