1. Kertas
Diskusi:
Menggugat
Penerapan
Produk
Rekayasa
Genetik
[PRG]
di
Indonesia
Benih
PRG
dan
Persamalahannya
Apa
yang
dikuatirkan
banyak
orang
termasuk
kami
(KONPHALINDO)
sekitar
awal
tahun
90an
bahwa
produk
rekayasa
genetik
(PRG)
akan
menyerbu
ke
negara
sedang
berkembang
termasuk
Indonesia.
Kini,
hanya
dalam
tempo
satu
dekade
saja
kekuatiran
itu
telah
menjadi
kenyataan
apalagi
benih
PRG
mulai
disebut-‐sebut
akan
menjadi
komoditi
strategis
di
sektor
pertanian
guna
mengatasi
persoalan
ketahanan
pangan
nasional.
Kehadiran
benih
PRG
seakan
memberi
jawaban
menjanjikan
untuk
mengatasi
krisis
pangan
masa
depan.
Sejumlah
ilmuwan
muda,
pengusaha
dan
pejabat
pemerintah
pun
memuji
dan
menaruh
harapan
pada
bidang
teknologi
rekayasa
genetika
benih
tersebut,
bahkan
secara
diam-‐diam
mereka
telah
mempersiapkan
ujicoba
beberapa
jenis
benih
PRG
tertentu
untuk
dilepas
ke
alam.
Akhirnya,
benih
PRG
tertentu
secara
material
dinyatakan
sudah
layak
sesuai
“laboratorium”
dan
dijamin
aman
untuk
dilepas
ke
alam.
Maka,
teknik
rekayasa
genetika
untuk
benih
pangan
persoalannya
beralih
urusannya
dari
tangan
“laboratorium”
ke
tangan
pengusaha
dan
para
pejabat
pemerintahan,
atau
urusan
komersial,
hukum
dan
politik.
Persoalan
pelepasan
benih
PRG
akan
berhubungan
dengan
aturan-‐aturan
sosial
dan
hukum-‐hukum
alam,
tidak
heran
apabila
kehadiran
benih
PRG
kemudian
menuai
kontroversi
di
kalangan
masyarakat
terkait
dengan
masalah
ketimpangan
ekonomi,
dampak
lingkungan,
dan
ketidakjelasan
perangkat
hukum
yang
mengatur
pelepasan
benih
PRG
ke
pasar.
Ketidakjelasan
perangkat
hukum
mengatur
pelepasan
benih
PRG
telah
disalahgunakan.
Misalnya,
dicurigai
saat
ini
ujicoba
benih
PRG
sudah
dilaksanakan
di
beberapa
daearah.
Sayangnya
informasi
mengenai
tahap
ujicoba
itu
sangat
terbatas,
apalagi
berharap
untuk
mendapatkan
laporan
hasil
ujicoba
lapangan
itu
semakin
jauh,
tidak
mudah
bisa
diakses
oleh
publik.
Padahal,
informasi
sumber
benih
PRG,
jenis
benih,
kode
benih,
dan
lokasi
ujicoba
benih
PRG
di
lapangan
merupakan
hak
yang
harus
diketahui
oleh
publik.
Pejabat
pemerintah
kuatir
dengan
persoalan
kegagalan
panen,
kemudian
merancang
program
ketahanan
pangan
nasional. 1
Dalam
program
ketahanan
1
Masterplan
Percepatan
dan
Perluasan
Pembangunan
Ekonomi
Indonesia
(MP3EI)
2011-‐2025,
Kementerian
Koordinator
Bidang
Perekonomian,
Kementerian
Perencanaan
Pembangunan
Naisonal/Badan
Perencanaan
Pembangunan
Nasional.
2. pangan
tersebut
mengajukan
penggunaan
benih
PRG
sebagai
salah
satu
jawaban
persoalan
ketahanan
pangan.
Alasannya
benih
PRG
tertentu
tersebut
memiliki
keunggulan
terhadap
serangan
bakteri,
serangga
atau
hama
yang
sering
menyebabkan
kegagalan
panen.
Lembaga
pemerintah
yang
diserahkan
tanggungjawab
untuk
menguji
kelayakan
produk
rekayasa
genetika
atau
transgenik
adalah
Komisi
Keamanan
Hayati
dan
Pangan.
Menurut
Ketua
Komisi
Keamanan
Hayati
dan
Pangan
(KKHP)
bersama
Badan
Pengawas
Obat
dan
Makanan
(BPOM)
yang
disampaikan
kepada
media
cetak
nasional,
baru
enam
benih
PRG
yang
direkomendasikan,
dan
benih
PRG
yang
sudah
siap
dilepas
ke
alam
bebas
atau
dipasarkan
itu
antara
lain:
benih
PRG
jagung,
benih
PRG
padi,
dan
benih
PRG
tebu.
Apabila
ditelusuri
ke
belakang,
ternyata
benih
PRG
yang
diumumkan
di
atas
sebetulnya
sudah
lama
dipersiapkan
untuk
dilepas
ke
alam
atau
dipasarkan
namun
tertahan
masalah
hukum
yang
mengatur
pelepasannya.
Karena
belum
ada
peraturan
teknis
mengatur
tata
cara
pelapasan
benih
PRG
di
Indonesia,
dengan
alasan
itulah
pada
5
Oktober
2011
Kementerian
Pertanian
mengeluarkan
Peraturan
Menteri
Pertanian
Nomor:
61/Permentan/OT/140.10/2011
tentang
Pengujian,
Penilaian,
Pelepasan
dan
Penarikan
varietas.2
Peraturan
Menteri
Nomor:
61
tahun
2011
yang
baru
ini
bukan
hanya
mengatur
aspek
teknis
mengenai
tata
cara
pelepasan
benih
PRG
ke
pasar
atau
ke
alam,
namun
lebih
jauh
lagi
Permentan
ini
memberikan
“jalan
terbuka”
dan
pengakuan
atau
legitimasi
terhadap
penerapan
benih
PRG
di
wilayah
Indonesia.
Dengan
demikian
keragu-‐raguan
dan
perdebatan
mengenai
teknik
rekayasa
genetika
benih
pangan
pun
dianggap
selesai,
dan
dinyatakan
sudah
layak
dan
aman
sesuai
rekomendasi
KKHP,
sesuai
syarat
pelepasannya
merujuk
tata-‐cara
yang
disebutkan
dalam
Permentan.
Dibalik
Permentan
PRG
itu
sendiri
masih
tersimpan
keragu-‐raguan
di
kalangan
ilmuwan,
pada
kenyataannya
mereka
masih
kesulitan
menjelaskan
resiko
dan
dampak
yang
ditimbulkan
dikemudian
hari
terhadap
mahluk
hidup
dan
ekosistemnya.
Namun
kekuatan
modal
perusahaan
pangan
multinasional
mendominasi
proses
politik
pertanian
nasional
maka
pandangan
sosial
dan
lingkungan
kurang
dihiraukan.
Seterusnya,
mereka
mencoba
meyakinkan
kepada
semua
orang
bahwa
benih
PRG
adalah
jawaban
masa
depan
pertanian
yang
menjanjikan.
Bagaimanapun,
penerapan
benih
PRG
akan
membawa
persoalan
baru
di
kalangan
petani
miskin
dan
persoalan
tak
kelihatan
seperti
ancaman
keanekaragaman
plasma
nutfa
di
alam.
Maka,
suka
atau
tidak
suka,
persoalan
2
Catatan:
Permentan
ini
sebetulnya
bukan
produk
hukum
baru
tetapi
perbaikan
Permentan
sebelumnya,
yakni
Permentan
Nomor
37/Permentan/OT.140/8/2006
tentang
Pengujian,
Penilaian,
Pelepasan
dan
Penarikan
Varietas.
3. pelepasan
benih
PRG
ke
alam
bebas
atau
ke
pasar
perlu
dilakukan
pengamatan
dan
pengawasan
lebih
ketat.
Sementara
persoalan
kelembagaan
untuk
melaksanakan
tugas
pengamatan
dan
pengawasan
itu
sendiri
masih
rentang
untuk
diselewengkan
dan
disalahgunakan.
PRG
untuk
pangan
sudah
dilegalkan
di
wilayah
Indonesia,
akan
tetapi
perangkat-‐perangkat
lainnya
seperti
kontrol
sosial
dan
mekanisme
penyelesaian
pelanggaran
belum
berfungsi
sebagaimana
diharapkan.
Karane
itulah,
kami
mengambil
inisiasi
menyusun
kertas
diskusi
ini,
yg
diberi
judul
“Menggugat
Pelepasan
Benih
PRG
di
Indonesia”.
Tujuan
dari
kertas
diskusi
ini
guna
membangun
konsolidasi
di
kalangan
pemerhati
penerapan
transgenik,
membangun
kerjasama
antar
pemerhati
lingkungan
dan
para
petani,
serta
pihak-‐pihak
yang
peduli
masalah
keberlanjutan
ekologi
dan
pertanian
berkelanjutan
di
Indonesia.
Diharapkan
terbangun
kesadaran
di
kalangan
pemerhati
lingkungan
dan
organisasi
atau
kelompok
petani
mencermati
dan
mengawasi
ancaman
pelepasan
benih
PRG
di
wilayah
Indonesia.
Menggugat
Penerapan
Kehati-‐hatian
Kecaman
dan
tudingan
terhadap
bioteknologi
modern
pun
seolah-‐olah
sudah
tak
beralasan
lagi
saat
ini,
seperti
dikuatirkan
para
peduli
lingkungan,
sejak
Negara-‐negara
peserta
konvensi
Keanekaragaman
Hayati
mengakui
dan
menandatangani
sebuah
dokumen
bernama
Protokol
Cartagena
yang
khusus
mengatur
masalah
Keamanan
Hayati.
Indonesia
sebagai
salah
satu
negara
peserta
konvensi
Keanekaragaman
Hayati,
dan
turut-‐serta
menandatangani
dokumen
tersebut,
dan
dinyatakan
secara
politik
dengan
meratifikasi
Protokol
Kartagena
menjadi
Undang-‐undang
No.
21
tahun
2004.
Selanjutnya,
setahun
kemudian
pemerintah
Indonesia
menerbitkan
Peraturan
Pemerintah
No.
21
tahun
2005
tentang
Keamanan
Hayati
Produk
Rekayasa
Genetik
(PRG).
Segala
kekuatiran
dan
bahaya
penerapan
bioteknologi
atau
PRG
di
Indonesia
seakan
sudah
diantisipasi
dan
dirumuskan
dalam
Peraturan
Pemerintah
ini,
hal
itu
disebutkan
dalam
Pasal
3,
Peraturan
Pemerintah
No.21
tahun
2005,
yang
bunyinya
sebagai
berikut:
“Pengaturan
yang
diterapkan
dalam
Peraturan
Pemerintah
ini
menggunakan
pendekatan
kehati-‐hatian
dalam
rangka
mewujudkan
keamanan
lingkungan,
keamanan
pangan
dan/atau
pakan
dengan
didasarkan
pada
metode
ilmiah
yang
sahih
serta
mempertimbangkan
kaidah
agama,
etika,
sosial
budaya,
dan
estetika”.
Walaupun
penerapan
PRG
telah
diakui
dalam
hukum
Indonesia
dan
dinyatakan
aman
berdasarkan
rekomendasi
penelitian
para
ahli
namun
hal
itu
4. tidak
serta-‐merta
berarti
benih
PRG
itu
sudah
bisa
bebas
dilepas
ke
pasar
atau
alam,
tetapi
masih
harus
mempertimbangkan
kaidah
agama,
etika,
sosial
budaya
dan
estetika
dalam
proses
pengambilan
keputusan.
Sayangnya,
pendapat
agama,
etika,
sosial
budaya
dan
estika
itu
masih
belum
diperhitungkan
justru
sebaliknya
sering
disalahgunakan
untuk
kepentingan
komersialisasi
pelepasan
benih
PRG
itu
sendiri.
Penerapan
kata
kehati-‐hatian
itu
sendiri
masih
memicu
multitafsir
dan
perlu
dirumuskan
kembali.
Alasannya,
penerapan
kata
kehati-‐hatian
saat
ini
masih
sebatas
pencantuman
dalam
regulasi
dan
bersifat
administrasi
saja,
pada
kenyataannya
masih
sulit
digunakan
untuk
mengukur
dampak-‐dampak
yang
akan
ditimbulkan,
atau
apakah
bentuk
kehidupan
yang
baru
itu
sungguh-‐
sungguh
aman
ketika
dilepas
ke
alam
dan
apakah
aman
dikonsumsi
manusia.
Bagaimanapun,
kecerobohan
dan
kelalaian
selalu
mengintai
dan
menyertai
benih
PRG,
hal
itu
bisa
terjadi
mulai
dari
pekerjaan
di
laboratorium
sampai
paska
panen.
Jadi,
kesannya
penerapan
kehati-‐hatian
di
Indonsia
lebih
dititikberatkan
pada
aspek
struktur
kelembagaan
yakni,
Komisi
Keamanan
Hayati
PRG,
dan
Balai
Kliring
Keamanan
Hayati.3
Kehadiran
kelembagaan
KKH
dan
BCH
kesannya
sudah
cukup
kuat,
bahkan
dianggap
telah
mewakili
dan
memenuhi
syarat
kehati-‐hatian
keamanan
hayati
di
Indonesia.
Sayangnya,
pengertian
kehati-‐hatian
itu
belum
memaksukan
pertimbangan
suara-‐suara
lain
sesuai
perintah
Pasal
3,
PP
21
tahun
2005.
Sebagian
besar
pemahaman
kalangan
masyarakat
Indonesia
melihat
benih
PRG
itu
seakan
bukan
lagi
bentuk
kehidupan,
dan
semua
seakan
berpikir
bisa
dikendalikan
dan
ditarik
kembali
jika
tidak
aman.
Pandangan
seperti
itu
ternyata
menyesatkan
sama
sekali,
kata
Elenita
C.
Dano
peneliti
berasal
dari
Davao
City,
Filipina.
Ia
telah
melakukan
penelitian
yang
ekstensif
khususnya
isu-‐
isu
yang
mempengaruhi
konservasi
dan
pengembangan
sumberdaya
genetika
tumbuhan
berbasis
komunitas
di
kawasan
Asia
Tenggara.
Menurut
dia,
transgenik
itu
dapat
menyebabkan
perubahan-‐perubahan
baik
ekologi
maupun
sosial
yang
tidak
dapat
ditarik
kembali.
Buruknya,
perilaku
pengusaha
transgenik
Indonesia
itulah
yang
dikuatirkan
karena
mencoba
menerobos
pagar
kehatian-‐hatian
tersebut
dengan
berbagai
cara
antara
lain,
mengaburkan
identitas
benih
PRG
seakan
benih
biasa,
dan
harusnya
masih
tahap
ujicoba
tetapi
sudah
dilepas
kepada
petani,
misalnya,
cermati
kasus
kapas
transgenik
di
Sulawesi
Selatan.
Sehubungan
dengan
persoalan
itu
perlu
dipertimbangkan
dan
diperkuat
jaringan
pemerhati
terhadap
persoalan
pelepasan
benih
PRG
di
Indonesia.
3
Struktur
Kelembagaan
KKH
dan
BCH
diatur
dalam
Peraturan
Pemerintah
(PP)
No.
39
tahun
2010
tentang
5. Pro
Transgenik
dan
Pro
Organik
Dikuatirkan
penerapan
pertanian
nasional
ke
depan
akan
didominasi
teknologi
transgenik
modern
atau
benih
PRG.
Sudah
tentu
hal
itu
akan
membawa
konsekuensi
terhadap
persoalan
sosial
karena
menciptakan
kelas
baru
dan
keberpihakan
terhadap
benih
PRG,
artinya
keberhasilan
benih
PRG
akan
ditindaklanjuti
dengan
peningkatan
sebaran
luasan
lahan
penanamannya.
Kelemahan,
sampai
saat
ini
belum
ada
informasi
pasti
mengenai
jumlah
luas
lahan
yang
dialokasikan
untuk
penanaman
benih
PRG.
Tidak
ada
batasannya,
dan
persoalan
inilah
yang
dikuatirkan
sebab
benih
biji-‐bijian
PRG
akan
hidup
berdampingan,
dan
dikuatirkan
dari
waktu
ke
waktu
benih
PRG
akan
mendominasi
dan
sebaliknya
benih-‐benih
lokal
akan
punah.
Sementara
sisi
lain
para
petani
tanaman
organik
akan
berisiko
tanamannya
tercemar
oleh
tanaman
benih
PRG
yang
tumbuh
di
sekitarnya,
karena
benangsari
dapat
berpindah
dan
menempuh
perjalanan
sampai
jauh
akibat
terbawa
angin
atau
berkat
bantuan
serangga
dan
burung.
Hidup
berdampingan
sebagai
sebuah
kebijakan
sangatlah
berisiko,
menurut
Elenita.
Bukti-‐bukti
menunjukkan
bahwa
tanaman
konvensional
tercemar
transgenik,
meski
tanaman
transgenik
itu
ditanam
secara
eksperimental
atau
ujicoba
dalam
skala
terbatas
dan
belum
disetujui
untuk
penanaman
komersial.
Pengamanan
benih
PRG
semakin
ruwet
di
beberapa
daerah
Indonesia
khususnya
Pulau
Jawa,
misalnya,
kepemilikan
lahan
petani
dari
waktu
semakin
kecil
dan
jarak
antar
lahan
pertanian
berdekatan.
Bahkan
lahan
pertanian
ada
yang
berbatasan
dengan
kawasan
perlindungan
plasma
nutfa.
Pencemaran
transgenik
pada
tanaman
konvensional,
kerabat
liar
dan
kerabat
gulmanya,
tak
terhindari
dan
dapat
menimbulkan
ancaman
serius
pada
keanekaragaman
hayati
dan
sumber
genetika
untuk
keamanan
pangan
jangka
panjang.
Dikuatirkan
status
varietas
biji-‐bijian
benih
di
alam
liar
maupun
yang
dikelola
petani
sangat
rentan
tercemar
benih
PRG.
Sementara
pertanian
organik
di
Indonesia
masih
tahap
sedang
berkembang,
dan
belum
dilihat
sebagai
pesaing
utama
pertanian
transgenik.
Namun
demikian
prospek
petani
untuk
terjun
ke
pertanian
organik
mungkin
akan
terbatas
akibat
meluasnya
budidaya
benih
PRG.
Bagaimanapun,
produk-‐produk
pertanian
organik
ke
depan
akan
memegang
peran
penting
untuk
menentang
atau
mengsaingi
luasan
dan
dampak
yang
ditimbulkan
oleh
PRG.
Sayangnya,
pemerintah
masih
menutup
sebelah
mata
terhadap
produk
pertanian
organik,
dan
melindungi
varietas
plasma
nutfanya
namun
persoalan
ini
diserahkan
kepada
kebutuhan
dan
mekanisme
pasar.
Lemah
Mekanisme
Sosial
Kontrol
6. Pengawasan
terhadap
pelepasan
PRG
masih
lemah
di
kalangan
masyarakat
kita,
secara
terprogram
pengawasan
keamanan
hayati
lebih
bersumber
pada
kapasitas
kerja
kelembagaan
antara
lain:
Lembaga
Ilmu
Pengetahuan
Indonesia
(LIPI),
Kantor
Kementerian
Lingkungan
Hidup,
dan
Kementerian
Pertanian,
serta
lembaga
yang
baru
dibentuk
yaitu,
Komisi
Keamanan
Hayati
dan
Balai
Kliring
Keamanan
Hayati.
Selain
kelembagaan
pemerintah
media
cetak,
lembaga
independen
dan
organisasi
petani
kenyataannya
masih
terbatas
kapasitasnya
untuk
melakukan
kajian-‐kajian
lapangan
mengenai
dampak
pelepasan
benih
PRG
di
wilayah
Indonesia.
Keseimbangan
informasi
mengenai
pendekatan
kehati-‐hatian
penerapan
PRG
pun
dirasakan
kurang
berimbang
bahkan
cenderung
memberian
informasi
yang
menyesatkan
terhadap
produk
transgenik.
Sebagai
contoh,
Ketua
Komisi
Keamanan
Pangan
dan
Hayati
Indonesia
dan
Asosiasi
Benih
Indonesia
menilai
persoalan
benih
PRG
sudah
aman
dan
mengalihkan
benih
PRG
kepersoalan
monopoli
perusahaan
asing,
dan
berharap
pemerintah
bisa
membuka
ruang
untuk
memproduksi
benih
rekayasa
genetik
dalam
negeri.
Yang
dipertentangkan
bukan
mengenai
substansi
bahaya
dan
kehati-‐hatian
dari
benih
PRG
itu
sendiri
tetapi
telah
bergeser
kepada
isu
politik
ekonomi
yakni
monopoli
impor
PRG,
dan
mereka
pun
mengusulkan
jalan
keluarnya
mendesak
pemerintah
untuk
menghasilkan
benih
PRG
dalam
negeri.
Hal
yang
tak
bisa
diingkari
mengapa
penerapan
PRG
Indonesia
didominasi
pemikiran
bioteknologi,
dan
sisi
lain
lemah
kontrol
sosial
terhadap
Komisi
Keamanan
Pangan
dan
Hayati
Indonesia
(KKPHI).
Beberapa
faktor
penyebab
lemahnya
kontrol
sosial
terhadap
KKPHI
antara
lain:
belum
ada
kesamaan
pandangan
di
kalangan
masyarakat
khususnya
LSM
soal
penerapan
teknologi
transgenik
di
Indonesia.
Masih
terbatas
kegiatan
kajian
maupun
investigasi
lapangan
mulai
dari
tahap
kegiatan
laboratorium
sampai
pelepasan
PRG
di
Indonesia.
Belum
terbangun
jaringan
kerja
antar
LSM,
organisasi
petani
dan
media
cetak
guna
memberikan
pelayanan
informasi
berimbang
kepada
masyarakat
mengenai
bahaya
dibalik
pelepasan
PRG
di
Indonesia.
Usulan
Rencana
Aksi
Mengingat
masih
banyak
hal
penting
yang
harus
segera
dikerjakan,
perlu
dikaji
dan
dipertegas
sehubungan
dengan
penerapan
benih
PRG
serta
perangkat
pendukung
lainnya,
untuk
itulah
kami
menawarkan
usulan
rencana
aksi
ke
depan,
yaitu:
1.
Melakukan
kajian
pemetaan
terhadap
perusahaan-‐perusahaan
GMO
dan
LMO
yang
bergerak
atau
beroperasi
di
Indonesia,
dan
jenis
benih
yang
dimasukan
ke
dalam
wilayah
Indonesia.
7. 2.
Melakukan
kajian
dan
investigasi
ke
lokasi-‐lokasi
pelepasan
benih
PRG,
dan
memberikan
masukan
kepada
KKH
dan
BCH
terkait
dengan
perkembangan
fakta
lapangan.
3.
Melakukan
diskusi
terfokus
dengan
kelompok
petani-‐petani
pengguna
benih
transgenik
dan
benih
non-‐transgenik,
untuk
mengindentifikasi
pola
pemanfaatan
dan
perubahan
sosial
dan
ekosistem
pertaniannya.
4.
Melakukan
diskusi
dengan
KKH
dan
BCH
hasil
investigasi
lapangan,
dan
mendesak
membuat
batasan-‐batasan
kehati-‐hatian
yang
lebih
nyata
lagi
seperti
pembatasan
luasan
penyebaran
GMO
dan
LMO
di
wilayah
Indonesia.
5.
Memperbanyak
dan
menyebarluaskan
laporan
investigasi
atau
studi
lapangan
kepada
media
publik,
pihak
terkait,
dan
kalangan
masyarakat.
6.
Membangun
jaringan
kerja
di
kalangan
LSM,
organisasi
petani,
media
publikasi
dan
akademisi
guna
membatasi
penyebaranluasan
pertanian
transgenik
dan
memperkuat
pertanian
organik
di
wilayah
Indonesia.
7.
Memperkuat
jaringan
kerja
dengan
unsur-‐unsur
yang
berkaitan
dengan
kaidah
agama,
etika,
sosial
budaya,
dan
estetika.
-‐-‐
***
-‐-‐
Kertas
Diskusi
ini
disusun
oleh
Ruddy
Gustave,
KONPHALINDO
(Konsorsium
Nasional
untuk
Pelestarian
Alam
Indonesia),
Desember
2011.
Alamat
Sekretariat:
Jalan:
Slamet
Riyadi
IV,
RT
10/RW
04,
No.
49-‐50,
Kelurahan
Kebun
Manggis,
Jatinegara,
Jakarta
Timur
13150
Phone/Fax:
021-‐8564164;
Mobile:
0856
1154094
Email: konphalindo@gmail.com
8. Bacaan
lebih
lanjut:
Biosafety
and
Environment;
An
Introduction
to
The
Cartagena
Protocol
on
Biosafety,
UNEP
&
CBD,
published
June
2003.
National
Biosafety
Framework
of
The
Republic
of
Indonesia,
Ministry
of
Environment
of
The
Republic
of
Indonesia
Cooperating
with
UNEP
-‐
GEF
Project
for
The
Development
of
National
Biosafety
Framework
in
Indonesia,
2004.
Buku
Putih
Indonesia
2005
–
2025,
Penelitian,
Pengembangan
dan
Penerapan
Ilmu
Pengetahuan
dan
Teknologi
Bidang
Ketahanan
Pangan,
Diterbitkan
oleh
Kementerian
Negara
Riset
dan
Teknologi
Indonesia,
2006.
Peraturan
Presiden
Republik
Indonesia
Nomor
39
tahun
2010
tentang
Komisi
Keamanan
Hayati
Produk
Rekayasa
Genetik.
Peraturan
Pemerintah
Republik
Indonesia
Nomor
21
tahun
2005
tentang
Keamanan
Hayati
Produk
Rekayasa
Genetik.
Undang-‐Undang
Republik
Indonesia
Nomor
21
tahun
2004
tentang
Pengesahan
Cartagena
Protokol
on
Biosafety
on
The
Convention
on
Biological
Diversity.
Peraturan
Menteri
Pertanian
Nomor
61/Permentan/OT.140/10/2011
tentang
Pengujian,
Penilaian,
Pelepasan,
dan
Penarikan
Varietas.
Peraturan
Menteri
Pertanian
Nomor
37/Permentan/OT.140/8/2006
tentang
Pengujuan,
Penilaian,
Pelepasan
dan
Penarikan
Varietas.
Keputusan
Menteri
Pertanian
Nomor
107/Kpts/KB.430/2/2001
tentang
Pelepasan
Secara
Terbatas
Kapas
Transgenik
Bt
DP
5690B
sebagai
varietas
unggul
dengan
nama
NuCOTN
35B
(Bollagard)
Keputusan
Menteri
Pertanian
Nomor
03/Kpts/KB.430/1/2002
tentang
Lanjutan
Pelepasan
Secara
Terbatas
Kapas
Transgenik
Bt
DP
5690B
sebagai
varietas
unggul
dengan
nama
NuCOTN
35B
(Bollgard)
sebagaimana
telah
ditetapkan
dalam
keputusan
Menteri
Pertanian
Nomor
107/Kpts/KB.430/2/2001.
Keputusan
Menteri
Pertanian
Nomor
102/Kpts/KB.430/2/2003
tentang
Pelepasan
Secara
Terbatas
Kapas
Transgeni
Bt
DP
5690B
sebagai
varietas
unggul
dengan
nama
NuCOTN
35B
(Bollgard).