Dokumen ini membahas pandangan dan usulan Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) terhadap Rancangan Undang-Undang Desa yang diajukan pemerintah pada tahun 2012. KARSA berpandangan bahwa kebijakan baru tentang desa harus mengakui hak asal usul dan keberagaman sosial budaya desa sesuai dengan semangat reformasi. Dokumen ini membahas tiga poin kunci reformasi yaitu pengakuan hak asal usul
Analisis kebijakan mendorong hutan desa dan hutan kemasyarakatan
RUU Desa yang Menyembuhkan
1. Menggagas ‘RUU Desa atau disebut dengan nama
lain’ yang Menyembuhkan Indonesia:
Pandangan dan Usulan Lingkar untuk Pembaruan
Desa dan Agraria (KARSA) untuk Penyempurnaan
‘RUU Desa’ yang diajukan oleh Pemerintah Tahun
20121
Catatan Pembuka
Dokumen ini disusun dengan kesadaran tinggi bahwa dalam rangka penyusunan ‘Undang-
Undang Desa’ berbagai pihak, baik dari Pemerintah, Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia, maupun dari berbagai organisasi dan/atau jaringan kerja masyarakat sipil, telah
menyusun sejumlah Naskah Akademik yang dibutuhkan. Lingkar Pembaruan Desa dan
Agraria (KARSA) menyambut gembira dan memberikan penghormatan yang tinggi kepada
masing-masing inisiatif itu. Pada dasarnya Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria bersetuju
dan mendukung banyak gagasan yang telah disampaikan dalam berbagai Nasakah
Akademik dimaksud. KECUALI, tentunya, yang BERTENTANGAN dengan pokok-pokok
pikiran yang tercantum dalam dokumen ini.
Dokumen ini pada dasarnya terdiri dari 4 (empat) Bagian. Pada Bagian I, akan diuraikan
hal-hal yang berkaitan dengan ‘amanat reformasi’ berkaitan dengan pengaturan tentang
desa di masa yang akan datang, yang menurut pandangan Lingkar Pembaruan Desa dan
Agraria (KARSA) harus dijadikan titik tolak perencanaan kebijakan tentang desa yang baru.
Bagian II berisikan tinjauan terhadap naskah ‘RUU Desa’ yang sedang dibahas oleh
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat saat ini (Juni 2012). Sedangkan Bagian III
berisikan ulsan singkat tentang proses amandemen Pasal 18 UUD 1945 dan implikasinya
terhadap kedudukan dan regulasi tentang desa. Bagian IV berisikan kerangka usulan
1
Dokumen ini dimungkinkan oleh serangkaian kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk melalui sebuah
lokakarya penulisan yang turut disponsori Parade Nusantara, yang diselenggarakan di Yogyakarta, Tanggal 21 – 23
Februari 2012. Meski begitu, tanggungjawab atas seluruh isi dokumen ini sepenuhnya merupakan tanggungjawab
Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA), Yogyakarta.
1
2. Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria tentang ‘Rancangan Undang-Undang tentang
Desa atau disebut dengan nama lain’ yang sebaiknya disusun di masa depan sebagai
pengganti rancanagan yang tengah dibahas itu.
Kerangka usulan Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria terhadap substansi
‘Rancangan Undang-undang Desa atau disebut dengan nama lain’ dimaksud mencakup hal-
hal sebgai berikut:
1. Landasan Filosifis, Sosiologis, Historis dan Yuridis
2. Azas dan Tujuan Undang-Undang tentang ‘Desa atau disebut dengan nama lain’,
selanjutnya disebut Desa.
3. Penyelenggaraan Sistem Pemerintahan di Tingkat Desa
4. Kewenangan Desa
5. Demokrasi dan Kepemimpinan
6. Partisipasi Masyarakat dalam Pemerintahan dan Pembangunan Desa
7. Keuangan Desa
8. Sharing Pendapatan dari Asset dan Sumber Daya Alam di Desa
I. Amanat Reformasi tentang desa
“…kalau desa kita memang mulai bergerak maju atas kekuatannya sendiri, barulah seluruh
masyarakat kita akan pula naik tingkatan serta kemajuannya di dalam segala lapangan, …”
kata Sutan Sjahrir, salah seorang pendiri Republik ini pada suatu ketika. Pernyataan ini
secara langsung menunjukkan bahwa betapa desa merupakan entitas sosial yang memiliki
tempat penting bagi kemajuan suatu bangsa dan Negara, dalam hal ini adalah Indonesia.
Maka, ketika kita kembali membincangkan suatu kemungkinan tentang suatu kebijakan
Negara yang menyangkut desa ini, tidak bisa tidak kita harus menoleh kebelakang: melihat
kembali hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana sebenarnya cita-cita Proklamasi
berkenaan dengan desa ini, dan juga, bagaimana desa ini telah diatur sepanjang usia
Kemerdekaan selama ini. Menoleh kebelakang tentu saja bukan dimaksudkan untuk
sekedar bernostalgia tentang romantisme masa lalu, melainkan menjadi suatu upaya dalam
2
3. menemukan kembali energi-energi positif dalam menyongsong masa depan ‘komunitas
terbayangkan’ yang disebut Indonesia itu sendiri.
Meski lahir di tengah kontroversi pro dan kontra serta diwarnai tragedi “Jembatan
Semanggi Berdarah”, berbagai keputusan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan di
penghujung tahun 1998 lalu disambut optimis berbagai pihak sebagai langkah awal
kehidupan Bangsa Indonesia yang baru. Salah satu keputusan penting itu adalah lahirnya
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998
tentang Penyelenggaraan Ototomi Daerah; Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan
Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
dalam Kerangka Negara Keatuan Republik Indonesia.
Dalam TAP MPR RI No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah;
Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia sendiri, khususnya dalam bagian Menimbang, antara lain dinyatakan “bahwa
pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan
melalui otonomi daerah; pengaturan sumber daya nasional yang berkeadilan; serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah”; dan “bahwa penyelenggaraan otonomi daerah,
pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional; perimbangan keuangan
pusat dan daerah belum dilaksanakan secara proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip
demokrasi, keadilan dan pemerataan”.
Sebab itu TAP MPR RI No. XV/MPR/1998 memutuskan untuk menetapkan bahwa (Pasal
1): Penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata,
dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah; (Pasal 2) Penyelenggaraan otoonomi daerah dilaksanakan
dengan prinsip-prinsip demokratisasi dan memperhatikan keanekaragaman daerah; (Pasal
3, ayat 1) Pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional antara pusat
dan daerah dilaksanakan secara adil untuk kemakmuran masyarakat daerah dan bangsa
secara keseluruhan, dan (ayat 2) Pengelolaan sumberdaya alam dilakukan secara efektif
dan efisien, bertanggungjawab, transparan, terbuka, dan dilaksanakan dengan memberikan
3
4. kesempatan yang luas kepada pengusaha kecil, menengah dan koperasi; (Pasal 4)
Perimbangan keuangan pusat dan daerah dilaksanakan dengan memperhatikan potensi
daerah, luas daeerah, keadaan geografis, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan
masyarakat daerah; (Pasal 5) Pemerintah Daerah berwenang mengelola sumber daya
nasional dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan; (pasal 6)
Penyelenggaraan otonomi daerah; Pengaturan, pembagian, pemanfaatan sumber daya
nasional yang berkeadilan; dan Perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka
mempertahankan dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan
berdasarkan asas kerakyatan berkesinambungan yang diperkuat dengan pengawasan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan masyarakat. Seluruh ketentuan ini, sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 7, diatur lebih lanjut dengan Undang-undang.
Ketetapan MPR RI No. XV/MPR/1998 ini sendiri tentunya tidak dapat dilepaskan dari
keberadaan TAP MPR RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan
dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara,
yang pada hakekatnya “merupakan pernyataan kehendak rakyat untuk mewujudkan
pembaruan di segala bidang pembangunan nasional, terutama bidang-bidang ekonomi,
politik, hukum, serta agama dan sosial budaya’. Dalam bagian Bab II butir B, dinyatakan
bahwa:
“Tatanan kehidupan politik yang dibangun selama tiga puluh dua tahun telah menghasilkan
stabilitas politik dan keamanan. Namun demikian, pengaruh budaya masyarakat yang
sangat kental corak paternalistik dan kultur neofeodalistiknya mengakibatkan proses
partisipasi dan budaya politik dalam sistem politik nasional tidak berjalan sebagaimana
mestinya. (…) Kekuasaan eksekutif yang terpusat dan tertutup di bawah kontrol lembaga
kepresidenan mengakibatkan krisis struktural dan sistemik sehingga tidak mendukung
berkembangnya fungsi berbagai lembaga kenegaraan, politik, dan sosial secara
proporsional secara optimal. Terjadinya praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme di
masa lalu adalah salah satu akibat dari keterpusatan dan ketertutupan kekuasaan. (…)
Mekanisme hubungan pusat dan daerah cenderung menganut setralisasi kekuasaan dan
pengambilan keputusan yang kurang sesuai dengan kondisi geografis dan demografis.
Keadaan ini mengahambat penciptaan keadilan dan pemerataan hasil pembangunan dan
4
5. pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. (…) Pengembangan
kualitas sumber daya manusia dan sikap mental serta kaderisasi pemimpin bangsa tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Pola sentralistik dan nefeodalistik mendorong
mengalirnya sumber daya manusia yang berkualitas ke pusat sehiongga kurang memberi
kesempatan pengembangan sumber daya manusia di daerah. Akibatnya terjadi kaderisasi
dan corak kepemimpinan yang kurang memperhatikan aspek akseptabilitas dan
legitimasi”.
Agenda-agenda yang harus dijalankan dalam Reformasi politik ini adalah, antara lain, (a)
Menegakkan kedaulatan rakyat dengan memperdayakan peranan pengawasan oleh
lembaga negara, lebaga politik dan lembaga kemasyarakatan; (b) Menghormari
keberagaman asas atau ciri, aspirasi, dan program organisasi sosial politik dan organisasi
kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan Pancasila; dan (c) Pembagian secara
tegas wewenang kekuasaan antara esekutif, legislatif, dan yudikatif.
Kita pun tahu bahwa Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
termasuk ke dalam paket undang-undang yang dicabut pada masa-masa awal reformasi.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pun diberlakukan.
Pengaturan tentang keberadaan dan penyelenggaraan pemerintahan desa tercakup dalam
undang-undang yang baru ini. Pada tahun 2004, UU inipun direvisi menjadi UU No. 32
tahun 2004.
Menarik untuk merenungkan kembali apa yang dikatakan kebijakan baru ini tentang
kebijakan tentang desa di masa lalu. Pada Bagian Menimbang butir e. dinyatakan bahwa: “..
bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang
menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan desa, tidak sesuai
dengan jiwa Undang-undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta menghormati hak
asal usul Daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu diganti”.
Maka, bagi kami, ketika hendak mengevaluasi apakah pesan reformasi terkait dengan
kebijakan desa ini telah dipenuhi atau belum, setidaknya ada 3 (tiga) kata kunci yang perlu
dicermati. Semangat reformasi baru dapat kita katakan terpenuhi, dan itu berarti kita telah
menghindari kesalahan-kesalahan pada masa lalu, adalah jika kebijakan baru tentang desa
5
6. itu mampu merealisasikan (1) pengakuan atas hak asal-usul, (2) yang bersifat istimewa di
hadapan (hak-hak) Negara, di dalam situasi (3) keberagaman social dan budaya masing-
masing susunan asli (baca desa atau disebut nama lainnya) yang ada, yang pada masa
pasca-proklamasi 17 Agustus 1945 menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kesatuan
Negara-bangsa yang disebut Indonesia itu. Ketiga hal inilah inti dari pengakuan konstitusi
Indonesia terhadap desa, sebagaimana diatur dalam Pasal 18, Pasal 18B, dan Pasal 28i
Undang-undang Dasar 1945.
Ada-tidaknya pengakuan atas hak asal-usul dapat dilihat sejauh mana kebijakan Negara
mengakui keberlakukan hak-hak (bawaan) masing-masing susunan asli, yang sejatinya
meliputi 3 elemen utama. Masing-masing adalah hak-hak yang terkait pada susunan asli
sebagai persekutuan social dan budaya; susunan asli sebagai suatu system pengurusan
hidup bersama cq. pemerintahan; dan hak-hak yang berkaitan dengan hubungan yang
integral antara susunan asli dengan basis-basis materialnya. Keberlakukan ketiga hak
bawaan inilah yang sejatinya dapat disebut sebagai otonomi asli itu.
Pemenuhan syarat keistimewaan, dengan demikian, akan terlihat sejauh mana hak-hak
bawaan ini tetap berlaku – dengan penyesuaian yang tidak sampai menghilangkan hak
esensialnya -- di tengah sejumlah hak berian yang muncul sebagai hasil dari penyusunan
sejumlah kebijakan Negara yang muncul kemudian. Sedangkan pemenuhan syarat
keberagaman akan terlihat dari terbukanya ruang bagi penyelenggaraan sistem-sistem
pengurusan hidup bersama yang sejatinya memang sangat beragam itu. Termasuk
terbukanya ruang bagi keberlakukan system-sistem baru yang muncul sebagai akibat dari
keniscayaan perubahan social, politik, ekonomi, dan kebudayaan.
II. Posisi dan pemaknaan penyebutan desa atay disebut dengan nama lain pasca-
amandemen Pasal 18 UUD 1945
Pasca reformasi, UUD 1945 mengalami amandemen. Salah satunya adalah amandemen
terhadap Pasal 18. Dalam proses yang berlangsung pada bulan Agustus tahun 2000, alih-
alih menghapus pengakuan itu, boleh jadi karena sudah dianggap tidak relevan lagi dan
dimakan zaman, pengakuan terhadap keberdaan desa atau disebut dengan nama lain itu
6
7. justru semakin lebih tegas. Hal ini tampak dalam proses amandemen Pasal 18, yang
hasilnya kemudian dinormakan ke dalam Pasal 18B Ayat 2.
Memang, satu hal yang selalu menjadi perdebatan sebelum amandemen Pasal 18 adalah
bagaimana kedudukan (otonomi) desa terhadap (otonomi) Pemerintahan Daerah, dan juga
terhadap ‘otonomi sektoral’ lainnya, sebagaimana yang tergambarkan pada problem-
problem pengakuan terhadap ‘hak-hak masyarakat (hukum) adat’ pada UU Pokok Agraria,
UU Pokok Kehutanan, dan UU sektoral lainnya (Arizona, 2011). Menyangkut masalah yang
pertama, dalam proses amandemen Pasal 18 terjadi pedebatan serius soal ketidak-
konsistenan pengaturan norma-norma hukum yang menyangkut ‘pembagian daerah yang
besar dan kecil’ cq ‘hak istimewa’, serta keberadaan ‘susunan asli’ di dalam Pasal 18
dimaksud (lihat Naskah Komprehensif Amandemen UUD 1945, Buku 4, Jilid 2). Perdebatan
ini kemudian bermuara pada usul F TNI-POLRI cq. Taufiequrrahman Ruki yang
menyarankan pemilahan norma pengaturan yang tidak jelas itu ke dalam dua ranah
pengaturan yang berbeda satu sama lainnya. Usul ini diterima, dan bermuara pada,
pertama, soal ‘pembagian daerah besar dan kecil’ cq. ‘Pemerintahan Daerah’, yang
kemudian yang diatur oleh Pasal 18 dan 18A; dan kedua, adalah soal pengakuan ‘hak
istimewa’, sebagaimana yang kemudian diatur oleh Pasal 18B.
Pasal 18B itu pun mengatur dua entitas sosial-politik yang berbeda satu sama lainnya.
Pasal 18B Ayat (1) berbunyi ”Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan
undang-undang. Sedangkan Pasal 18B Ayat (2) berbunyi “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”2
Berbeda dengan situasi sebelum amandemen, penyebutan ‘kesatuan masyarakat hukum
adat’ tidak lagi menjadi sekedar berada pada penjelasan melainkan langsung berada pada
2
Pasca amandemen, para aktivis oerganisasi masyarakat sipil banyak membahas soal ‘pembatasan’ yang terdapat
dalam pasal ini (yang sesungguhnya juga sudah terjadi pada masa-masa sebelumnya, seperti yang terjadi pada
Undang-Undang Pokok Agraria 1960). Misalnya Simarmata (2002), dan Arozona (2011). Banyak argument yang
dapat disampaikan sebagai ‘opini tanding’ atas kekuatiran akan pembatasan-pembatasan itu. Namun, tulisan ini
tidak dimaksudkan untuk itu.
7
8. batang tubuh UUD 1945 hasil Amandemen Kedua itu. Artinya, melalui proses amandemen,
pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat itu semakin kuat dari waktu-waktu
sebelumnya.
Tentu saja, kemudian, hasil amendemen ini menghasilkan beberapa implikasi. Di
antaranya, melalui pengaturan pada Pasal 18 dan Pasal 18A, desa – dengan demikian
tentunya juga soal ‘Pemerintahan di Desa’ – tidak lagi menjadi bagian dari tata
pemerintahan yang diamanatkan langsung oleh konstitusi seperti yang pernah berlaku
pada masa pra-amandemen. Pasal 18 pasca-amandemen jelas-jelas mengatur hanya ada 3
unit wilayah yang disebit ‘Daerah’, berikut dengan Pemerintahan Propinsi, Kabupaten, dan
Kota. Tafsir selanjutnya, kalaupun diperlukan apa yang kemudian disebut sebagai sistem
pengaturan tentang ‘penyelenggaraan Pemerintahan di tingkat Desa atau disebut dengan
nama lain’ atau disingkat ‘Pemerintahan Desa atau disebut dengannama lain’,
kedudukannya tidaklah menjadi bagian dari rezim Pemerintahan Daerah, melainkan
menjadi unit pemerintahan yang otonom, berdasarkan ‘otonomi asli’ desa atau yang
disebut dengan nama lain, atau bisa juga disebut ‘otonomi desa’ sebagai ‘imbangan’ dari
‘otonomi daerah’, sebagaimana diatur oleh Pasal 18B Ayat 2. Kalaupun pengaturan tentang
‘Pemerintahan Desa’ itu perlu ‘merujuk’ pada pasal-pasal yang mengatur soal-soal yang
menyangkut kepemerintahan (daerah), hal itu tidak harus berarti ‘otonomi desa’ berada di
bawah ‘otonomi daerah’. Sebabnya adalah, alih-alih memberikan perhatian pada soal
‘pemerintahan desa’, proses amandemen Pasal 18 memang memberikan perhatian khusus
pada soal-soal yang menyangkut desa atau disebut dengan nama lain, sebagaimana yang
ditunjukkan oleh Pasal 18B ayat 2.
Maka, dalam konteks ini, kedudukan desa sebenarnya setara dengan kedudukan ‘daerah’
dan/atau ‘daerah istimewa’ itu. Hal ini didasarkan pada pandangan Prof. Talizinduhu
Ndraha (1999) yang menyebutkan bahwa kewenangan (dalam sistem pemerintahan) dapat
diturunkan/dikembangkan dari dua jenis hak yang berbeda satu sama lainnya. Masing-
masing adalah hak bawaan, yakni hak yang melekat pada entitas yang bersangkutan; dan
hak berian, yakni hak yang muncul sebagai hasil pemberian/peyerahan dari kekuasaan
yang lebih tinggi. Dengan konsepsi yang demikian maka sejatinya ‘Daerah’ memiliki
‘otonomi daerah’, yang dikembangkan berdasarkan ‘hak berian’, kecuali untuk daerah-
8
9. daerah tertentu sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 18B ayat 1, di mana hak-
haknya juga diturunkan dari hak-hak bawaan yang dimilikinya. Sementara Desa atau
disebut dengan nama lain memiliki ‘otonomi desa’, yang muncul sebagai konsekwensi ‘hak
bawaan’ (yang muncul sebagai akibat disebutkannya ‘hak asal-usul’ (sebelum amendemen)
dan/atau ‘hak-hak tradisional’ di dalam UUD 45 pasca-amandemen. Oleh sebab itu sering
pula disebut sebagai ‘otonomi asli’.
Perlu pula diingat bahwa, berbeda dengan posisi desa dan konsep volksgemeenschappen cq.
‘kesatuan masyarakat hukum adat’ pada UUD 1945, konsep ‘kesatuan masyarakat hukum
adat’ muncul secara langsung pada norma konstitusi. Seperti juga pada situasi sebelum-
amandemen, desa dan atau disebut dengan nama lain, kemudian, juga ‘sekedar’ menjadi
contoh saja dari apa yang kemudian disebut ‘masyarakat adat’, sebagai sandingan dari
penyebutan-penyebutan lain seperti nagari, marga, dan seterusnya. Atau dapat kita singkat
menjadi ‘desa atau disebut dengan nama lain’ saja.
Dalam pada itu, yang dimaksud sebagai ‘masyarakat hukum adat’ dalam proses
amandemen Pasal 18 adalah juga apa yang disebut ‘masyarakat adat’, konsep yang
diusulkan oleh OMS dalam rapat-rapat dengar pendapat dalam proses amandemen kedua.
Adanya kesamaan ‘objek yang diacu’ antara konsep ‘masyarakat hukum adat’, ‘masyarakat
adat’, dan ‘desa atau disebut dengan nama lain’ itu juga ditegaskan dan/atau dibenarkan
oleh Prof. Dr. Bagir Manan, SH. di dalam proses amandemen yang berlangsung tahun 2000
itu (lihat Naskah Komprehensif Amandemen UUD 1945, Buku 4, Jilid 2, hal. 1356.).
Selanjutnya, pengakuan terhadap hak-hak yang melekat kepada ‘kesatuan masyarakat
hukum adat’, ‘masyarakat adat’, atau ‘desa atau disebut dengan nama lain’ itu makin
diperkuat pula oleh kehadiran Bab XA, tentang Hak Azazi Manusia, Pasal 28i, yang
menyebutkan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman”.
Dengan argumentasi di atas, kami percaya bahwa pengakuan dan perlindungan hak-hak
masyarakat (hukum) adat dapat saja dicapai melalui undang-undang yang mengatur
tentang ‘desa dan atau disebut dengan nama lain’, sejauh undang-undang dimaksud tidak
semata-semata tentang ‘pemerintahan desa’, sebagaimana yang terdapat pada aturan-
9
10. perundangan tentang desa selama ini. Termasuk ‘semangat utama’ yang mewarnai ‘RUU
Desa’ yang tengah berproses itu.
Jika logika yang benar adalah sebagaimana sudah dijelaskan di atas maka, judul regulasi
yang paling tepat bagi regulasi tentang ‘kesatuan masyarakat hukum adat’ atau
‘masyarakat adat’, atau ‘desa atau disebut dengan nama lain’ dimaksud, sesuai pasal
konstitusi utama yang menjadi dasarnya, dalam hal ini adalah Pasal 18B ayat 2, adalah
sebagaimana dalam tata urutan berikut. Pertama, ‘Undang-undang tentang Pengakuan
dan Penghormatan terhadap Keberadaan dan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat’. Kedua,
‘Undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat’. Ketiga,
‘Undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat’ (sebagaimana
yang diusulkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan Dewan Perwakilan Daerah 2010).
Keempat, ‘Undang-undang tentang Desa atau disebut dengan nama lain’. Dengan demikian,
penyebutan sekedar ‘RUU Desa’, sebagaimana yang ada saat ini, adalah penyebutan yang
paling tidak sesuai, karena paling tidak konsisten dengan mandat konstitusi.
Selain tidak sesuai, penyebutan sekedar ‘RUU Desa’ itu juga sangat mudah ‘ditelikung’
menjadi sekedar regulasi tentang ‘pemerintahan desa’, sebagai ‘efek historis’ yang begitu
kental melekat pada sebutan ‘desa’ saat ini. Baik yang menjadi ‘keyakinan’ dari kalangan
pemerintah (termasuk aparat pemerintahan desa, sebagaimana yang tergambarkan dalam
RUU versi Pemerintah dan aspirasi Aparat Pemerintahan Desa, sebagaimana yang
disuarakan beberapa organisasi yang mengatasnamakan ‘aparat dan/atau rakyat desa’),
maupun kalangan masyarakat luas pada umumnya. Bahkan, anehnya, juga menjadi
‘keyakinan’ dari sebagian kalangan gerakan sosial dan perguruan tinggi sekalipun!
Realita lapangan memang sering berkata lain. Pengalaman dalam mengubah pandangan
bahwa kata desa itu tidak semata-mata merujuk pada pengertian desa sebagai hasil
kontruksi administrasi pemerintahan pada masa kolonial dan nasional, melainkan juga bisa
merujuk pada desa sebagai ’susunan asli’ yang ada sebelum upaya-upaya administrasi
pemerintahan itu dilakukan, sebagaimana yang pernah ada di di Jawa dan Bali pada masa
lampau misalnya, tidaklah mudah dimengerti. Boleh jadi, diperlukan satu kebiasaan baru,
sebagaimana telah ’ditemukan’ oleh masyarakat Bali, yang menyebut ’desa’ sebagai hasil
konstruksi proses administrasi pemerintahan itu sebagai desa dinas, dan desa adat untuk
10
11. menyebut entitas sosial yang tumbuh dalam proses perkembangan masyarakat (Bali) itu
sendiri. Dengan cara ini, kita mungkin lebih mudah membedakan keduanya; untuk yang
pertama (desa dinas), kita cukup menulisnya dengan kata desa saja, tapi desa (cetak
miring) untuk menunjukkan keberadaan desa adat – atau desa asli -- itu.
Selain itu, akibat pengalaman masa lalu, kata ’desa’ nyatanya begitu menakutkan bagi
kalangan yang terlibat dalam gerakan hak-hak masyarakat adat; dan sebaliknya, kata
’masyarakat adat’ dan/atau ’masyarakat hukum adat’ begitu ’tidak jelasnya’ bagi kubu yang
lain. Dalam sebuah diskusi dengan tokoh-tokoh penggerak Parade Nusantara, salah satu
organisasi ’persatuan aparat dan rakyat desa’ yang gigih memperjuangkan ’RUU Desa’ agar
segera ditetapkan misalnya, merasa ’jenggah’ jika ’RUU Desa’ yang tengah diperjuangkan
itu, sesuai dengan amanat Pasal 18 Ayat 2, diubah judulnya sesuai dengan tuntutan AMAN.
Padahal, Parade Nusantara sangat maklum dan mendukung apa yang menjadi concern
pihak AMAN, yang menginginkan ’RUU PPMA’ – oleh sebab itu juga ’RUU Desa’ -- itu tidak
sekedar mengatur soal Pemerintahan Desa, melainkna juga mengatur soal pengakuan dan
perlindungan hak-hak masyarakat adat pada umumnya. ”Kami memaklumi tuntutan
AMAN,” kata seorang tokoh Parade Nusantara suatu ketika. ”Tapi, mohon, kata ’desa’ tidak
dihilangkan dalam RUU yang sedang dibahas DPR itu. Kalau mau diganti dengan ’RUU
tentang Desa atau disebut dengan nama lain’ kami masih bisa menerimanya.” 3
Sebaliknya, bagi sebagian aktivis pendukung gerakan masyarakat adat, yang terjadi justru
sebaliknya. ”Kata desa itu penuh rekayasa demi kepentingan negara. Berbahaya bagi
kepentingan pengakuan hak-hak masyarakat adat,” kata Sandra Moniaga, seorang aktivis
senior yang gigih memperjuangkan sebutan ’masyarakat adat’ dalam proses amandemen
Pasal 18, berkali-kali. 4 Perdebatan di kalangan pendukung gerakan masyarakat tentang
konsepsi mana yang akan digunakan untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat
(hukum) adat, antara pilihan-pilihan yang tersedia itu, pun akhirnya tidak kunjung
berakhir. 5
3
Komunikasi pribadi, Yogyakarta, 15 Februari 2012.
4
Komunikasi pribadi. Terakhir terjadi pada 21 April 2012, di Tobelo, Halmahera Utara, Maluku Utara.
5
Silahkan ikuti diskusi pada adatlist@yahoogroups.com, mailing list resmi yang dikelola oleh Aliansi Masyarakat
Adat Nusantara, AMAN.
11
12. Bahkan kerancuan pengertian yang demikian itu juga dialami oleh kaum cerdik-cendekia
yang berkumpul di perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian. Salah satu
contohnya adalah sebagaimana yang tergambarkan dalam tabel berikut, yang merupakan
rangkuman hasil penelitian yang dilakukan Tim Peneliti FPPD (2008),6 dan juga
Kolopaking (2011).
Jika dicermati, tabel di atas secara tegas mengasumsikan bahwa (pengertian) ’desa’
tidaklah dapat berupa adat; dan desa adalah semata-mata unit wilayah yang saat ini diurus
oleh sebuah Pemerintahan Desa. Meski kami tahu yang dimaksud ’desa’ di sini adalah apa
yang dimaksud sebagai ’desa dinas’ tadi. Namun, penggunaan yang ’serampangan’ itu tetap
saja potensial menimbulkan kerancuan dalam menyusun kebijakan ke depan. Misalnya,
’desa adat’ – meminjam dikotomi yang dikembangkan masyarakat Bali tadi -- yang ada di
sebagian Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera, yang dikenal dengan sebutan ngata, banua,
wanua, marga, misalnya, jadi tersingkirkan sebagai contoh dari ’desa adat’. Bagaimana
mungkin ’Jawa, sebagian besar Sulawesi, Kalimantan Timur, sebagian Sumatera’
dikategorikan sebagai ‘tidak ada adat, tetapi ada desa’? Jika demikian halnya, lalu,
bagaimana kita mendudukkan keberadaan ‘kelurahan (sebelum diboyong ke kota), ngata,
banua, wanua, marga, sekedar menyebutkan contoh sebutan ’desa adat’ dari ’Jawa,
sebagian besar Sulawesi, Kalimantan Timur, sebagian Sumatera’? Bukankah sejatinya
kelurahan (sebelum ‘diboyong ke kota), ngata, banua, wanua, marga itu adalah ’desa adat’
atau sering juga disebut sebagai bentuk ’desa asli’, terlepas apakah masih sangat efektif
atau pun tidak sistem pengorganisasiannya?
6
Dikutip dari Naskah Akademik ‘Rancangan Undang-Undang Tentang Desa’, 2007, yang diedarkan oleh Direktorat
Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen
(sekarang Kementerian) Dalam Negeri. Lihat juga Kolopaking, 2011.
12
13. Ada adat, tetapi Adat sangat dominan. Desa tidak Papua
Tipe Desa Deskripsi Daerah
tidak ada desa. punya pengaruh.
Tidak ada adat, Pengaruh adat sangat kecil. Desa Jawa, sebagian besar
tetapi ada desa modern sudah tumbuh kuat. Sulawesi, Kalimantan
Timur, sebagian
Sumatera
Integrasi antara Adat dan desa sama-sama kuat. Sumatera Barat
desa dan adat. Terjadi kompromi keduanya.
Dualisme/Konflik Pengaruh adat jauh lebih kuat Bali, Kalimantan Barat,
antara adat ketimbang desa. Terjadi dualisme Aceh, NTT, Maluku.
dengan desa kepemimpinan lokal. Pemerintahan
desa tidak efektif.
Tidak ada desa Kelurahan sebagai unit administratif Wilayah perkotaan.
tidak ada adat (local state government). Tidak ada
demokrasi lokal.
Kerancuan yang demikian itu telah mengakibatkan gerakan sosial yang peduli dengan hak-
hak masyarakat adat dan/atau hak-hak petani dan/atau hak-hak masyarakat perdesaan
pada umumnya tersegregasi satu sama lain (lihat gambar). Realitas yang demikian tentulah
sangat tidak produktif. Hemat kami, sejumlah kompromi – yang tidak meninggalkan
substansi tentunya -- perlu diupayakan. Perdebatan yang mempertentangkan konsep-
konsep masyarakat hukum adat, masyarakat adat, desa dan atau disebut dengan nama lain,
menurut kami, sudah harus diakhiri. Gerakan pembelaan harus mulai memberikan
perhatian pada substansi dan proses-proses politik yang terus bergulir. Sebab itulah, dua
fenomena politik yang kami singgung di atas harus segera disikapi, dan tidak boleh
dibiarkan berproses ’sebagaimana adanya saja’.
III. Tinjauan Kritis atas ‘RUU Desa’ (versi Juni 2012)
Saat ini setidaknya beredar dua versi ’RUU Desa’. Satu versi adalah yang dijadikan bahan
bahasan antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dala masa sidang saat ini (Juni
2012), dan satunya lagi adalah versi DPD RI, sebagaimana yang tertuang pada Keputusan
Dewan Perwakilan Daerah No. 44/DPD/RI/IV/2010-2011 tentang Rancangan Undang-
Undang tentang Desa.
13
14. Masa depan desa yang baik – dalam arti sesuai dengan amanat Konstitusi -- seperti segera
dijanjikan ketika pada bagian Menimbang, Butir a., tercantum rumusan ” bahwa sesuai
ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan
negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
undang”. Inilah rumusan Pasal 18B: 2 hasil amandemen Pasal 18 pasca-reformasi itu.
Namun, optimisme itu segera buyar setelah kita membaca bagian yang sama, butir b., yang
berbunyi ”bahwa dalam upaya melaksanakan ketentuan huruf a, Pemerintah Pusat
berkewajiban menata kembali pengaturan mengenai desa sehingga keberadaannya mampu
mewadahi dan menyelesaikan berbagai permasalahan kemasyarakatan dan pemerintahan
sesuai dengan perkembangan dan dapat menguatkan identitas lokal yang berbasis pada
nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat dengan semangat modernisasi, globalisasi
dan demokratisasi yang terus berkembang”. Pertanyaan yang segera bisa kita ajukan
adalah: ”Apa hubungan antara penataan desa dengan pengakuan terhadap kesatuan
masyarakat hukum adat? Apakah diasumsikan bahwa MHA itu adalah desa? Kalau memang
begitu, mengapa hanya ‘desa’. Apa yang dimaksudkan dengan ‘desa’? Apakah juga desa
dengan penyebutan dengan nama lain sebagaimana yang pernah ada dalam Penjelasan
Pasal 18 sebelum mandemen? Apa dasar pengasumsian ini?
Optimisme yang sempat muncul tadi semakin buyar pula ketika kita membaca defenisi
desa yang digunakan. Sebagaimana yang tercantum apda Pasal 2, butir 5., desa
didefenisikan sebagai “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan hak asal-
usul, adat istiadat dan sosial budaya masyarakat setempat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia”. Menurut hemat kami, defenisi ini kurang konsisten dengan bunyi Pasal 18B: 2
yang menjadi DASAR pengaturan tentang desa ini. Pertanyaannya, mengapa tidak
disebutkan bahwa ‘desa, adalah kesatuan masyarakat hukum adat’.
14
15. Lebih dari itu, menurut kami, pernyataan ‘berdasarkan hak asal-usul, adat istiadat dan
sosial budaya masyarakat’ juga bersifat normatif dan tidak operasional, yang selama ini
telah menjadi arena pertarungan makna yang bermuara pada penggerogotan ’otonomi
desa’. Seharusnya defenisi ini langsung menunjukkan ’kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat’ yang bersumber dari ’hak asal-asul, dan
lainnya itu.....’ itu. Misalnya berupa ’kewenangan untuk TETAP MENGUASAI wilayah hidup
desa itu (yang dalam litaratur ilmiah disebut ’ulayat desa’), kewenangan untuk
menjalankan Pemerintahan (karena ’desa atau disebut dengan nala lain itu’ hakekatnya
juga sebuah organisasi yang menyelengarakan ’pemerintahan’ atau lebih tepatnya
’pengurusan hidup bersama’, kewenangan untuk menalankan proses peradilan (dalam
lingkup desa), dan karenanya adalah SUBYEK HUKUM dalam sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia.
Harapan akan hadirnya sebuah ’undang-undang tentang desa atau disebut dengan nama
lain’ pada ’RUU Desa’ versi ’Juni 2012’ benar-benar harus dikubur dengan kehadiran Pasal
2 yang berbunyi ” Di daerah kabupaten/kota dibentuk desa yang pengelolaannya berbasis
masyarakat (penebalan ditambahkan). Pendefenisian yang demikian ini tidak sesuai lagi
dengan amanat Pasal 18B: 2. Atau, bisa tetap relevan, namun penyelenggaraannya tetap
harus di dalam kerangka pengakuan atas ‘otonomi asli’ desa atau disebut dengan nama lain
itu. Dengan kata lain, menurut rumusan ini desa bukanlah sesuatu yang given dalam
realitas sosial-politik Indonesia (meruju pada hak bawaan), melainkan sesuatu yang
dimunculkan berdasarkan hak berian Negara! Kenyataan ini diperkuat oleh pengaturan
pada pasal-pasal selanjutnya.
Sebagai alternatif ke depan kami mengusulkan defenisi desa atau disebut dengan nama lain
itu adalah ”kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki hak asal usul yang berkaitan
dengan tatanan/struktur organisasi, ulayat (wilayah kehidupan), dan aturan-aturan yang
mengatur kehidupan bersama masyarakat desa yang bersangkutan, dan diberi kewenang
untuk menyelenggarakan Pemerintahan Nasional yang disebut pemerintahan desa dalam
sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Maka, konsisten dengan komentar untuk butir 5, seharusnya ‘Pemerintah Desa’
sebagaimana yang diatur pada Pasal 1, butir 7 menjadi TIDAK ADA. Sebagai gantinya, yang
15
16. ada adalah proses/peran penyelenggaraan ‘Pemerintahan di Desa’ yang diselenggarakan
oleh ‘desa atau disebut dengan nama lain’ itu. Seriring dengan beragamanya tingkat
perkembangan ‘desa atau disebut dengan nama lain’ itu, sistem ‘pemerintahan desa’ itu
bisa bersifat beragam pula, dan menjadi pilihan bagi ‘desa-desa atau disebut dengan nama
lain itu’, sebagaimana akan diuaraiakn lebih lanjut dalam bagianbagian berikut.
Dengan catatan yang demikian maka Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria ingin
menyatakan bahwa ‘RUU Desa’ versi Juli 2012 ini TIDAK SESUAI dengan AMANAT
REFORMSI dan rumusan Pasal 18B Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945.
Beberapa catatan lain yang bisa diberikan adalah sebagai berikut: (1) draf versi
Pemerintah ini hanya mengatur satu kemungkinan sistem penyelenggaraan ‘pemerintahan
desa’. Sejauh yang dapat dipahami, keberagaman hanya akan terjadi dalam hal
penyebutannya saja. Sementara hal-hal yang terkait dengan struktur pemerintahan,
kedudukan dan kewenangan, penyelenggaraan sistem demokrasi, hak dan kewajiban desa,
semuanya sama! Artinya, meski menyebut-nyebut pengakomodasian soal keragaman,
tetapi format desa tetap bersifat “default village” yaitu desa yang bentuk atau formatnya
seperti telah diatur seperti sekarang ini. Penyeragaman sebagaimana yang terjadi dalam
pemberlakukan UU No. 5/1979 akan terulang kembali. RUU baru ini belum memberi ruang
bagi berkembangnya apa yang disebut oleh Tim Peneliti FPPD sebagai “optional village”,
yaitu bentuk atau format desa lain yang boleh dipilih oleh pemerintah daerah sesuai
dengan karakteristik dan keragaman masyarakat desanya. Tidak ada opsi bagi daerah
untuk “boleh” melembagakan keragaman desa secara beragam.
Ingin dikatakan bahwa secara paradigmatis draf versi Pemerintah ini tetap mengandung 3
'penyakit akut' yang tidak atau belum diurus sebagaimana mestinya. Penyakit pertama,
draf ini tetap saja mencampuradukkan dua hal yang berbeda sama sekali, yakni soal
pengaturan tentang pengakuan (rekognisi) desa sebagaimana yang diamanatkan
konstitusi dan TAP MPR yang telah disebut tadi) dengan ‘pemerintahan’ sebagai suatu
kebutuhan penyelenggaraan negara di tingkat desa atau disebut dengan nama lain itu.
Meski dari ari segi judul, draf RUU ini adalah RUU tentang Desa. Namun, nyatanya, norma
pengaturan yang mayoritas adalah soal pemeritahan desa. Dimulai dari Pembentukan
Desa, Status Desa (yang tidak lain bicara soal satus Pemerintahan Desa atau Pemerintahan
16
17. Kelurahan), Struktur Pemerintahan Desa, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Kewajiban
dan Keweangan Kepala Desa, dan seterusnya, hingga Keuangan (Pemerintahan) Desa, dan
seterusnya.
Penyakit kedua, kalaupun ada klausul-klausul yang diarahkan pada pengakuan atas desa,
pengakuan-pengakuan itu, kemudian, menjadi macan ompong, sekedar formalitas, dan
akhirnya gugur tidak terealisasi, karena diserang ‘virus administratif’ yang dibawa oleh
hasrat pengaturan tentang ‘pemerintahan desa’ tadi. Cobalah perhatikan pasal-pasal yang
ada pada Bagian II tentang ‘Penataan Desa’, antara lain mengatur syarat pembentukan
desa, yang dikaitkan dengan waktu keberadaan dan jumlah populasinya. Hal ini menjadi
sangat ironik karena amanat konstitusi itu adalah soal pengakuan desa, yang sejatinya lahir
dari proses-proses sosial, ekonomi, politik dan budaya entitas yang bersangkutan, bukan
atas dasar proses pembentukan dari atas, sebagaimana bisa dilakukan untuk keperluan
Pemerintahan Desa.
Penyakit ketiga, dalam konteks pertemuan antara pengaturan atas desa dan kebutuhan
(birokrasi) penyelenggaraan Negara di tingkat desa, draf ini juga masih gagal
mengakomodasi keberagaman yang menjadi keniscayaan dalam tatanan sosial-budaya
yang ada di Indonesia. Seperti telah disinggung, draft ini tetap menganut default model,
yakni model tunggal bagi penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Jika dicermati lebih jauh maka versi terakhir RUU Desa ini, yang konon digodog langsung di
bawah pengawasan Menteri Dalam Negeri, jauh lebih mundur dari Direktorat Jenderal
Pemberdayaan Masyarakat Desa (versi Desember 2010) yang sempat beredar luas. Malah,
dapat dikatakan, naskah ‘RUU Desa versi DPD’ jauh lebih maju, dalam arti cukup
memperjelas hal-hal yang berkaitan aspek rekognisi dan azas subsidiaritas dalam
penyelenggaraan pemerintahan oleh Pemerintah Desa. Namun, menurut pandangan kami,
yang agak masih kurang tegas adalah soal ruang (otonomi) desa atau disebut dengan nama
lain itu, atau apa yang disebut sebagai desa adat dalam RUU Desa versi DPD RI ini.
Khususnya dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintahan Negara di Tingkat Desa.
Pengaturan tentang Pemerintahan Desa dalam RUU Desa versi DPD juga mengindikasikan,
menurut permahaman kami, adanya satu sistem pemerintahan desa sebagai default model.
17
18. Dengan kata lain, keberagaman dalam 'penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat desa
atau disebut dengan nama lain', yang sejatinya sebagai konsekwensi logis dari pengakuan
atas keberadaan dan kemampuan desa-desa adat itu dalam menyelenggarakan
pemerintahan belum benar-benar tertampung. Bahkan, bukan tidak mungkin, dengan
pengaturan ala RUU Desa versi DPD RI ini akan terjadi 'persaingan peran' antara 'desa
dinas’ (desa yang dibentuk untuk menyelenggarakan pemerintahan desa) versus desa adat,
sebagaimana yang 'lamat-lamat' terjadi di daerah-daerah yang telah menerapkan dual
system ini.
IV. Usulan Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria tentang Rancangan Undang-
Undang tentang Desa atau disebut dengan nama lain.
4.1. Tentang Landasan Filosofis: Desa sebagai DNA Kenegaraan dan Kebangsaan
Indonesia
Fakta sejarah menunjukkan desa atau disebut dengan nama lain, untuk selanjutnya disebut
desa, demikian pula dengan adat, menjadi topik pembicaraan yang mendapat sorotan
khusus dalam perbincangan menyusun dasar-dasar dan bentuk Negara sepanjang sidang-
sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan
sidang-sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang menggantikan,
sebagaimana tercatat dalam risalah yang dirujuk (Sekretariat Negara Republik Indonesia,
1995).
Setidaknya ada 3 simpul pemikiran yang dapat ditarik dalam perdebatan yang hangat itu.
Pertama, jelaslah bahwa, Indonesia yang hendak didirikan itu tidaklah berpijak pada
pengetahuan tentang Jawa saja, melainkan meliputi wilayah yang saat ini disebut
Nusantara itu. Dalam salah satu sesi sidang Mr. M. Yamin mengatakan “… Negara Indonesia
tak dapatlah didudukkan di atas hasil penyelidikan bahan-bahan yang didapat di Pulau
Jawa saja, karena keadaan itu boleh jadi menyesatkan pemandangan dan sedikit-dikit
mungkin melanggar pendirian kita. Sejak dari sekarang hendaklah meliputi seluruh
keadaan-keadaan di segala pulau Indonesia dengan pikiran yang sudah meminum air
persatuan Indonesia. Kita mendirikan Negara Indonesia atas keinsafan akan pengetahuan
yang luas dan lebar tentang seluruh Indonesia.”
18
19. Kedua, pada masa-masa awal berdirinya Indonesia itu, ada kesepahaman yang amat kuat
tentang yang kehendak bahwa negara baru yang ingin dibangun itu adalah sebuah Negara-
bangsa Indonesia yang baru sama sekali. Dipahami pula bahwa Negara-bangsa Indonesia
yang baru itu tidak bisa dilandaskan pada kebesaran-kebesaran Kerajaan Nusantara yang
pernah ada, karena menurut Mr. M. Yamin, kesemuanya masih bersifat etats patrimonies
(Negara berdasarkan keturunan) ataupun etats puissances (Negara atas dasar kekuasaan
semata).
Sebagai alternatifnya, yang menjadi topik penting yang ketiga, adalah soal dipilihnya desa –
dan adat --sebagai pondasi pendirian Negara bangsa Indonesia itu. “… Kita tidak mabuk
dengan hiburan menyembah kerajaan-kerajaan seribu satu malam atau bertanam pohon
beringin di atas awan, melainkan melihat kepada peradaban yang memberi tenaga yang
nyata dan kekuatan yang maha dahsyat untuk menyusun negara bagian bawah. Dari
peradaban rakyat zaman sekarang, dan dari susunan Negara Hukum Adat bagian bawahan,
dari sanalah kita mengumpulkan dan mengumpulkan sari-sari tata negara yang sebetul-
betulnya dapat menjadi dasar Negara,” ujar Mr. M. Yamin.
Pada kesempatan lain Mr. M. Yamin mengatakan bahwa ““… Kesanggupan dan kecakapan
Bangsa Indonesia dalam mengurus tata negara dan hak tanah yang semenjak beribu-ribu
tahun menjadi dasar negara dan rakyat murba, dapat diperhatikan pada susunan
persekutuan hukum pada susunan persekutuan hukum seperti 21.000 desa di Pulau Jawa,
700 nagari di Minangkabau, susunan Negeri Sembilan di Malaya, begitu pula di Borneo, di
tanah Bugis, di Ambon, di Minahasa, dan lain-lain sebagainya. … Susunan persekutuan yang
mengagumkan pada garis-garis besar tak rusak dan begitu kuat sehingga tak dapat
diruntuhkan oleh pengaruh Hindu, pengaruh feodalisme, dan pengaruh Eropa. Desa tinggal
desa dan susunan memang dari satu tempat ke tempat lain di seluruh Indonesia berubah-
ubah, dan bedanya, sebagai warna intan yang menyilaukan bermacam-macam seri.”
Mr. M. Yamin juga mengatakan bahwa “… Negara Indonesia disusun tidak dengan
meminjam atau meniru negeri lain, dan bukan pula suatu salinan daripada jiwa atau
peradaban bangsa lain, melainkan semata-mata suatu kelengkapan yang menyempurnakan
kehidupan bangsa yang hidup berjiwa di tengah-tengah rakyat dan tumpah-darah yang
19
20. menjadi ruangan hidup kita sejak purbakala; kelengkapan itu hendaklah sesuai dengan
sifat keinginan rakyat Indonesia sekarang. ... Maka dengan sendirinya ... menyusun dasar
negara itu dalam adat, agama, dan otak Indonesia, dan ... (di) dalamnya memanglah
tersimpan persesuaian dasar yang akan menjadi sendi pembentukan negara.”
Seperti kita ketahui, kemudian, desa atau disebut dengan
nama lain, memang diakui keberadaannya dalam UUD
Susunan
1945. Desa, yang merupakan susunan asli Bangsa
Asli
Indonesia itu, memiliki hak asal-usul, karenanya bersifat
istimewa, dan Negara harus menghormati keberadaan
Politik
pengakuan
hak-hak asal asul yang bersifat istimewa itu, sebagaimana
terhadap
desa
yang diamanatkan oleh Pasal 18 UUD 1945 sebelum
Bersifat Hak Asal-
Istimewa Usul
amandemen.
Pasca reformasi UUD 1945 mengalami amandemen. Salah satunya adalah terhadap Pasal
18. Dalam proses yang berlangsung pada bulan Agustus tahun 2000, alih-alih mengapus
pengakuan itu, pasca-amandemen pengakuan terhadap keberdaan desa atau disebut
dengan nama lain itu justru semakin ditegas dan semakin lebih jelas ketimbang
sebelumnya. Hal ini tampak dengan regas dan jelas dalam Pasal 18B Ayat 2, sebagaimana
yang akan dibahas lebih lanjut dalam bagian lain.
Realitas politik yang demikian jelas menunjukkan, ke depan, kelangsungan hidup negara-
bangsa ini akan sangat ditentukan -- oleh sebab itu akan didasarkan pada -- pengaturan
tentang desa yang benar, sebagaimana telah dimandatkan oleh konstitusi UUD 1945. Sejak
dulu hingga masa depan desa adalah DNA Negara-bangsa Indonesia, karena diyakini di desa
tumbuh dan berkembang nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang universal, yang
menjadi cita-cita pokok proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, sebagaimana yang
diamatkan oleh Pembukaan UUD 1945.
4.2. Tentang Landasan Sosial, Ekonomi, Politik, dan Budaya: Menghargai
Kemajemukan dan Menjadikan Desa sebagai arena utama pemberdayaan
warga Negara secara paripurna
20
21. Fakta menunjukkan bahwa Indonesia adalah masyarakat majemuk. Baik secara harisontal
(berdasarkan hal-hal yang bersifat turunan seperti suku, agama, dan ras), maupun
mejemuk secara vertikal (berdasarkan kategori-kategori yang bersifat capaian individual
ataupun kelompok, seperti soal kaya-miskin, powerfull – powerless, dominan-marginal, dan
seterusnya). Sejak awal Negara Republik Indonesia telah menghargai kemajemukan ini.
Bhineka Tunggal Ika pun kemudian menjadi semboyan Negara.
Prof. Dr. Koentjaraningrat (1970), Bapak Antropologi Indonesia memang menegaskan
bahwa “… gejala aneka warna kebudayaan itu masih merupakan suatu realitet yang tak
dapat diingkari…, sebaiknya kita terima dengan akal yang sehat dan memupuk kesatuan
bangsa kita dengan lebih dahulu mengakui dan menghormati semua variasi kebudayaan
yang ada di negara kita itu.”
Salah satu implikasinya adalah, Negara mengakui dan menghormati keberagaman sosial
dan budaya itu, sebagaimana yang tergambarkan pada semboyan Negara Bhineka Tunggal
Ika. Termasuk di dalamnya pengakuan atas keberadaan desa – atau disebut dengan nama
lain -- yang memiliki susunan asli berupa struktur, dukungan sumberdaya alam, dan
kapasitas sumberdaya manusia yang beragam pula. Maka, rekayasa sosial, ekonomi,
budaya, dan politik yang terjadi selama ini seharusnya makin memperkaya keberagaman
desa-desa (asli) di Indonesia saat ini.
Namun, dalam sejarah yang pernah dilalui, banyak kebijakan Negara justru mengarah pada
arah sebaliknya. Alih-alih menghargai keberagaman, kebijakan politik Negara – terlebih-
lebih pada era Orde Baru (1966 – 1998), kecenderungan yang terjadi justru berupa upaya
penyeragaman, yang terjadi hampir pada seluruh lapangan kehidupan sosial, ekonomi,
politik, dan budaya (Bourchier, 2007). Dalam ranah politik administrasi pemerintahan,
Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa hadir sebagai bagian
pengendalian sistem pemerintahan yang hyper-centralistic (Zakaria, 2000). Hasilnya sangat
kontra-produktif bagi masa depan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana disampaikan
Prof. Dr. Taufik Abdullah, Sejarawan Senior, Mantan Kepala LIPI, pada masa-masa awal
reformasi, “… Undang-undang yang mengatur hingga ke sistem desa itu adalah puncak dari
kesewenangan kebudayaan Orde Baru. (Akibatnya, terjadi) …krisis kepemimpinan yang
21
22. parah. … Pemerintah beranggapan mereka bisa kuat ketika kekuatan sosial di daerah-
daerah dihancurkan, … Desalah yang kemudian porak poranda. … Ketika Orde Baru jatuh,
pedesaan kehilangan jaring pengamannya, ikatan lama sudah hancur oleh kekuasaan. …
Maka, seperti yang kerap diberitakan di media massa, konflik kerap diselesaikan bukan
oleh tokoh, pemimpin, kepala adat yang berwibawa. (Puncaknya, terjadi ) … spiral
kebodohan yang menukik ke bawah. Satu tindakan bodoh ditanggapi dengan tindakan
bodoh lainnya. … ”
Dalam pada itu, sebagaimana dilaporkan oleh Ina E. Slamet (1965), disebabkan oleh
berbagai faktor, seperti pertumbuhan internal, dan terutama sekali karena pertumbuhan
feodalisme dan kolonialisme-kapitalisme di Nusantara, desa-desa di Indonesia telah
mengalami masalah kemiskinan, ketimpangan penguasaan sumber-sumber agraria, dan
kepemimpinan yang akut. Tentu, beberapa upaya mengatasi itu telah dilakukan sejak
proklamasi kemerdekaan RI. Namun, beberapa studi terakhir menunjukkan bahwa
pembangunan masyarakat desa yang telah dilakukan dalam beberapa dekade terakhir
tidak banyak mengubah situasi. ‘Kaya proyek, tapi miskin kebijakan’ yang mampu
memberdayakan desa, simpul Eko & Krisdiatmiko, eds., (2006). Bahkan, ‘pembangunan
justru meminggirkan desa’, terutama kelompok-kelompok marginal di desa, tulis
Krisdiatmiko & Dwipayana, eds., (2006).
Konsorsium Pembaruan Agraria (2011), mengutip data resmi dari Badan Pusat Statistik,
melaporkan bahwa sekitar 52% sumberdaya agraria dikuasi oleh hanya sekitar 2%
penduduk Indonesia. Betapa timpangnya penguasaan sumber-sumber kehidupan itu!
Situasi kemiskinan struktural ini makin mudah dipahami dengan melihat angka-angka
pertumbuhan konflik agraria yang dilaporkan oleh berbagai kalangan dalam beberapa
dekade terkahir (Poffenberger, 1997; Meyer & Stephen Bass, 1999; Global Witness, 2000;
ARD Inc., 2004; Wulan, et.al., 2004; Clark, ed., 2004).
Angka-angka statistik kemiskinan yang lebih banyak menunjukkan realitas ‘kemiskinan
statistik’ dalam beberapa dekade tetap saja fluktuatif. Namun tetap berkisar di angka 15%.
Terjadi stagnasi pengurangan jumlah kaum miskin. Kalaupun ada kelompok miskin yang
dapat ditingkatkan kesejahteraannya, sebagaimana yang rajin dikemukakan Pemerintah
22
23. melalui program-program kemiskinan yang telah dilaksanakannya, di saat yang sama, ada
sejumlah warga lain yang justru terjerembab ke lembah kemiskinan. Kaum miskin baru ini
muncul seiring dengan terus meningkatnya program-program pembangunan ekonomi
yang dikembangkan Pemerintah yang berbasis penggunaan sumberdaya alam secara
ekstraktif, padat modal, dan berorientasi eksport, ketimbang meningkatkan kualitas
teknologi pertanian yang diakrabi mayoritas penduduk perdesaan.
Oleh sebab itu, ke depan, desa harus menjadi instrumen pemberdayaan masyarakat desa
dalam arti yang sesungguhnya (Mahardika, 2001; Zakaria 2004; Eko, ed., 2005b; dan
Sahdan, ed., 2005). Dalam arti, meminjam konsepsi trisakti Soekarno, Proklamator dan
Presiden Pertama RI, pembangunan masyarakat desa ke depan haruslah ditujukan untuk
menjadikan (warga) desa bermartabat secara budaya, mandiri secara ekonomi, dan
berdaulat secara politik. Oleh karenanya, ‘UU Desa’ ke depan adalah ‘UU Desa’ yang dapat
menjadi jalan bagi upaya untuk ‘menyembuhkan negara-bangsa Indonesia’ yang tengah
sekarat, sebagaimana yang telah dijelaskan secara singkat di atas.
Maka, sesuai amanat konstitusi, Lingkaran Pembaruan Agraria (KARSA) berpendapat
bahwa ‘UU Desa’ ke depan TIDAK HANYA untuk mengatur soal ‘pemerintahan desa’,
sebagaimana yang terlihat jelas pada ‘RUU Desa’ yang diajukan Pemerintah dan dibahas
Parlemen saat ini. Namun – utamanya – adalah pengaturan tentang PENGAKUAN
(rekognisi) terhadap eksistensi desa – atau disebut dengan nama lain – berikut
implikasinya dalam berbagai sistem pengaturan lain dalam berbangsa dan bernegara di
Indonesia ini.
Termasuk di dalamnya adalah pengakuan
atas soal-soal yang berkaitan dengan
pengakuan terhadap tiga dimensi susunan
Desa sebagai
asli dan/atau desa atau disebuit dengan lain
organisasi yg
Desa sebagai
mengurus
persekutuan sosial
kehidupan politik,
& budaya
hukum, dan
sebagaimana yang ditunjukkan digaram di
pemerintahan
samping ini. Yakni, pertama pengakuan
Desa sebagai satuan wilayah
(ulayat) yg menjadi basis
desa sebagai persekutuan sosial dan
material komunitas ybs.
23
24. budaya, di mana di dalamnya terdapat sistem nilai dan aturan yang mengatur kehidupan
bersama susunan asli. Kedua, pengakuan terhadap desa sebagai suatu sistem organisasi
yang ditujukan untuk mengatur kehidupan politik, hukum, dan pemerintahan di dalam
lingkup komunitas yang bersangkutan; serta pengakuan terhadap basis material yang
berupa hak-hak penguasaan atas ulayat yang menjadi sumber kehidupan susunan asli yang
bersangkutan.
Dalam konteks desa yang sudah kehilangan ulayat-nya, baik karena alasan-alasan yang
berkaitan dengan pertumbuhan penduduk desa yang bersangkutan ataupun karena sebab-
sebab pengambil-alihan hak secara paksa pada waktu-waktu lampau, pengakuan pada ‘hak
penguasaan’ yang melekat pada desa ini menjadi mandat bagi (re-)distribusi aset negara
demi pengembangan kesejahteraan warga desa yang bersangkutan.
Tegasnya, melalui pengakuan atas hak asal usul dari susunan asli, ‘UU Desa’ dimaksudkan
juga sebagai instrument kebijakan dalam mengatasi kemiskinan, ketimpangan struktur
agraria, dan masalah kepemimpinan yang akut di tingat desa atau disebut dengan nama
lain itu. Untuk itu, sebagaimana pernah disampaikan Slamet (1965), pembangunan
masyarakat desa ke depan, karenanya, juga harus mengandung upaya-upaya
membangkitkan kepercayaan diri, daya cipta, dan inisiatif rakyat biasa itu sendiri. Upaya
itu dapat dilakukan melalui jalan pembaharuan desa (Zakaria, et.al., 2001; Juliantara, 2002;
Pambudi, et.al., 2003; Zakaria, 2004; dan Eko, ed., 2005a).
• Implikasi Kebijakan
Dengan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa ‘UU Desa’ ke depan juga harus dapat
mengatasi masalah-masalah berupa kerusakan sosial dan ekologis yang diakibatkan
berbagai kebijakan sebelum ini. Kebijakan tentang Desa, sebagaimana dilaporkan van
Ufford, ed. (1988); Antlov (1995); Zakaria (2000); dan Soetarto (2006), serta
pemberlakukan undang-undang sektoral lainnya, sebagaimana yang dilaporkan Fauzi
(1999); Simarmata (2002); dan Dianto Bachriadi, et.al., (2002), memang telah
memarginalisasi desa. Baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Oleh sebab itu, berbagai
kebijakan yang mengerogoti kapasitas desa itu harus pula segera direvisi, sebagaimana
24
25. telah diamanatkan oleh TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumberdaya Alam.
4.3. Tentang Landasan Historis dan Yuridis: Lex Spesialis Desa dalam Konstitusi
Desa, atau disebut dengan nama lain, pada intinya merujuk pada rumusan kesatuan
masyarakat hukum di tingkat lokal yang berhak mengatur dan mengurus kepentingan
rumah tangganya sendiri berdasarkan asal-usul dan (hukum) adat setempat. Dalam
perjalanannya pengaturan tentang desa oleh institusi negara telah diwarnai kepentingan
politik penguasa, hingga melunturkan sebagian besar identitas dari desa itu sendiri.
Kebijakan paling mutakhir – sebelum masa reformasi -- adalah fenomena pemberlakukan
UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa oleh Rezim Orde Baru, yang dengan
sistematik menyederhanakan desa melalui penyeragaman bangunan konsep institusional
yang mekanis dan sentralistis dengan model desa di Jawa sebagai rujukan utamanya. Hal
tersebut membawa konsekuensi porak-porandanya sebagian besar desa, baik dari sisi
lembaga (organisasi) maupun dari sisi entitas sosialnya yang seharusnya independen.
Padahal, dari sisi konstitusi, sesungguhnya UUD’45 telah secara eksplisit menyebutkan—
meskipun ‘hanya’ sebatas pada penjelasan Pasal 18—bahwa mengakui keberagaman
berbagai bentuk dan sebutan desa sebagai realitas yang tidak boleh dikesampingkan.
Dalam konteks mengakui keberadaan keberagaman desa tersebut, UUD’45 meletakkannya
dalam rejim pemerintahan daerah, di mana desa merupakan entitas pemerintahan mandiri
yang kedudukannya sama halnya dengan pemerintah daerah (supra-desa) yang ‘lebih
besar’. Pasal 18 menyebutkan bahwa: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan
kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan
dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.” Pada Bagian
memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara,
Penjelasan, khsususnya angka Romawi II, dikatakan bahwa: “Dalam territoir Negara
zelfbesturende landchappendan
volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan
Indonesia terdapat lebih kurang 250
marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh
karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik
Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan
25
26. negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah
tersebut.”
Nyatanya, yang kemudian berlaku, adalah sebaliknya. Dalam tataran pemerintahan daerah,
relasional pemerintah pusat dan daerah lebih cenderung meletakkannya dalam hubungan
yang hierarkhis bertingkat dan bersifat sub-ordinatif. Posisi dan kedudukan desa
kemudian sekedar merupakan sub-sistem dari Pemerintahan Kabupaten.
Proses amandemen Pasal 18 pada tahun 2000 lalu telah meluruskan kekeliruan itu dengan
memilah Pasal 18 lama menjadi 3 (tiga) pasal baru, berikut beberapa ayat yang
menyertainya. Masing-masing adalah Pasal 18 (baru), Pasal 18A, dan Pasal 18b. Pemilihan
ini telah menegaskan perbedaan antara “desa” dan “daerah” yang lebih besar (supradesa)
dalam bingkai penyelenggaraan hubungan sistem pemerintahan secara Nasional. Secara
khusus Pasal 18B ayat (2) menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Amandemen Pasal 18 pada dasarnya memperkuat konteks pengakuan (rekognisi)
keberadaan desa, yang pada dasarnya memang berbeda dengan—serta bukan merupakan
bagian dari sub-sistem—daerah yang lebih besar.
Oleh sebab itu, walaupun secara umum desa dimasukkan dalam konstruksi rejim
pemerintahan daerah (tercantum pada Bab VI tentang Pemerintahan Daerah), akan tetapi
konsekuensi pengakuan secara khusus ini juga membawa perlakuan yang juga khusus dan
tersendiri. Sebagaimana keberlakuan azas universal hukum yang menyatakan bahwa
ketentuan yang lebih khusus/spesifik berlaku mengalahkan/menyampingkan ketentuan
yang umum (lex spesialis derogat legi generalis). Untuk itu, diperlukan Undang-Undang
khusus yang mengatur tentang desa tersendiri,dan berada di luar Undang-Undang yang
mengatur pemerintahan daerah. Demikianlah amanat atributif dari konstitusi.
Akan tetapi, pesan konstitusi tersebut sepertinya masih gagal—atau sengaja didisain
sedemikian rupa—diterjemahkan dalam Undang-Undang yang (juga) mengatur desa pasca-
reformasi. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang relatif heavy
26
27. desentralisasi dengan spirit utama otonomi, pun “hanya” berhasil membawa perubahan
mengenai labelisasi bentuk dan sebutan desa yang tidak lagi seragam sebagaimana
pengaturan sebelumnya. Yaitu menyebutkan istilah “desa atau yang disebut dengan nama
lain.” Namun tetap tidak sampai pada pengakuan bahwa desa sesungguhnya juga
merupakan daerah otonom yang juga harus memperoleh perlakuan yang memadai
berkaitan dengan hak dan kewenangannya sebagai entitas hukum yang mandiri. Bahkan,
seolah ada kesepakatan pada tingkat elit politik yang secara aklamasi menyepakati bahwa
otonomi dalam politik disentralisasi (pemerintahan), sebagaimana yang tampak pada UU
22 Tahun 1999 maupun UU 32 Tahun 2004 yang ‘menyempurnakannya’, berhenti pada
tingkat kabupaten/kota saja!
Talizinduhu Ndraha (1999) menyebutkan bahwa kewenangan dalam sistem pemerintahan
dapat diturunkan dan/atau dikembangkan dari dua jenis hak yang berbeda satu sama lain.
Masing-masing adalah “hak bawaan” yang melekat pada entitas yang bersangkutan, dan
“hak berian” yang merupakan pemberian dari kekuasaan yang lebih tinggi. Maka, menurut
konsepsi ini daerah (supra-desa) memiliki “otonomi daerah”, sedangkan desa memiliki
‘otonomi desa’ atau sering juga disebut sebagai ‘otonomi asli’ (kecuali untuk daerah-daerah
tertentu yang bersifat isitimewa sebagimana dimaksud oleh Pasal 18B ayat 1).
Gagasan desentralisasi desa sebagai wujud derivasi dari amanat Pasal 18B ayat (2) UUD’45,
setidaknya menskemakan tiga aras desentralisasi. Pertama, desentralisasi politik
(devolusi); yaitu menegaskan/mengakui bahwa desa sebagai entitas yang otonom atau
sebagai local-self government, yang kemudian diikuti dengan pembagian hak dan
kekuasaan (Sutoro Eko dan Abdur Rozaki, 2005: 46). Di dalam desentralisasi politik juga
terkandung, kedua, gagasan desentralisasi pembangunan. Gagasan pembangunan yang
terdesentralisasi pada prinsipnya paralel dan terintegrasi dengan pemerintahan. Gagasan
utama desentralisasi pembangunan adalah menempatkan desa sebagai entitas yang
otonom dalam pengelolaan pembangunan. Dengan demikian, perencanaan desa dari bawah
ke atas (bottom up) juga harus ditransformasikan menjadi village self planning, sesuai
dengan batas-batas kewenangan yang dimiliki oleh desa. Desentralisasi pembangunan
identik dengan membuat perencanaan pembangunan cukup sampai di desa saja. Desa oleh
27
28. karenanya mempunyai kemandirian dalam perencanaan pembangunan tanpa instruksi dan
intervensi oleh pemerintah supradesa (Sutoro Eko dan Abdur Rozaki, 2005: 47).
Skema desentralisasi desa:
1. Desentralisasi politik: pembagian kewenangan dan
tanggungjawab kepada desa untuk mengelola pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan publik dasar.
2. Desentralisasi pembangunan: devolusi perencanaan desa yang
menegaskan desa berwenang membuat perencanaan sendiri
(village self planning).
3. Desentralisasi fiskal: alokasi dana desa untuk membiayai urusan
pemerintahan dan pembangunan
Desentralisasi politik dan desentralisasi pembangunan tidak dapat berjalan apabila tidak
diikuti dengan desentralisasi keuangan (fiskal) sampai ke desa. Tujuannya adalah
memastikan perimbangan keuangan antara pusat, daerah dan desa. Dana Alokasi Umum,
misalnya, harus dibagi secara seimbang antara provinsi, kabupaten/kota dan desa.
Demikian juga pembagian dana perimbangan (Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan SDA) maupun pemberian taxing power
kepada desa. Desa juga mempunyai hak dan kesempatan untuk melakukan pungutan,
retribusi maupun mengelola sumber-sumber lain di luar tanah kas desa, seperti pasar.
Pungutan dan hasil pasar desa dapat dikumpulkan langsung oleh desa tanpa harus disetor
kepada kabupaten, untuk pembiayaan urusan desa. Cara seperti ini memungkinan
penguatan kesempatan, kepercayaan, tanggungjawab dan sekaligus bisa mengurangi
budaya ketergantungan dan kultur mengemis pada kabupaten (Sutoro Eko dan Abdur
Rozaki, 2005: 48).
Desentralisasi desa sebagai sebuah wacana yang lebih lanjut akan direalisasikan menjadi
peraturan perundang-undangan sebagai benteng pengakuan desa (atau disebut dengan
nama lain) dengan demikian secara konstitusional feasibilitasnya memungkinkan.
Didasarkan pada pemahaman pada amanat Pasal 18B ayat (2) UUD’45, lebih jauh
28
29. desentralisasi desa merupakan ketentuan khusus (lex spesialis) dari rejim pemerintahan
daerah (lex generalis) sebagaimana ketentuan Pasal 18 dan Pasal 18A UUD’45.
• Tentang Azas
Dengan landasan-landasan berfikir sebagai mana telah dirinci pada bagian terdahulu maka
kebijakan yang akan mengatur desa atau disebut dengan nama lain di masa depan haruslah
disusun berdasar azas-azas berikut ini:
Rekognisi
Subsidiaritas
Keberagaman
Kesetaraan
Keadilan
Demokratis
• Tentang Tujuan
Adapun tujuan dari pengaturan desa atau disebut dengan nama lain itu adalah untuk
menghadirkan instrumen kebijakan yang memungkinkan suatu proses pembangunan dan
penyelenggaraan pemerintahaan Nasonal di tingkat desa atau disebut dengan nama lain itu
menjadi:
Desa yang Bermartabat secara Budaya
Desa yang Mandiri secara Ekonomi
Desa yang Berdaulat secara Politik
4.4. Tentang Penyelenggaraan Sistem Pemerintahan di Tingkat Desa
Implikasi dari amandemen konstitusi yang kemudian melahirkan rumusan Pasal 18 (baru)
dan Pasal 18A serta 18B UUD’45 adalah keharusan perubahan paradigma yang mendasari
29
30. penyelenggaraan pemerintahan daerah. Terutama berkaitan dengan keberadaan dan
kedudukan entitas otonom di tingkat lokal, dalam hal ini yang kita sebut sebagai desa (atau
disebut dengan nama lain) sebagaimana pesan Pasal 18B ayat (2). Perubahan mendasar
tersebut hadir sebagai konsekuensi dari pengakuan (recognition) terhadap “desa atau
disebut dengan nama lain” sebagai lembaga otonom yang dengan demikian harus pula
diakui status dan hak-haknya secara khusus, bahwa desa berada diluar kerangka sub-
sistem pemerintahan daerah; dalam hal ini kabupaten.
Pengakuan “desa atau disebut dengan nama lain” berdasarkan amanat Pasal 18B ayat (2)
setidaknya harus melingkupi pada tiga aras hak asal-usul, yaitu: pengakuan terhadap
susunan asli; pengakuan terhadap sistem norma/pranata sosial yang dimiliki dan berlaku;
serta, pengakuan terhadap basis material yakni ulayat serta aset-aset kekayaan desa
(property right). Dengan demikian, pengaturan lebih lanjut dari pengakuan “desa atau
disebut dengan nama lain” harus benar-benar mendasarkan pada pertimbangan pada ciri-
ciri keberagaman sosial dan budaya masyarakat yang ada. Oleh sebab itu, sistem
penyelenggaraan pemerintahan juga harus lebih beragam lebih daripada sekedar sistem
pemerintahan yang ada berlaku sekarang ini.
Apabila dalam pembicaraan hubungan pusat dan daerah sebagai konsekuensi pesan Pasal
18 baru dan Pasal 18A menghasilkan konsensus nasional mengenai desentralisasi dan
otonomi daerah, maka seyogyanya konsekuensi dari pesan Pasal 18B ayat (2) juga harus
menghasilkan konsensus nasional tentang desentralisasi dan otonomi desa. Perbedaannya,
jika dalam pesan Pasal 18 baru dan Pasal 18A desentralisasi melahirkan pengakuan
terhadap otonomi daerah melalui pembagian kekuasaan dan pembagian keuangan, sedang
dalam pesan Pasal 18B ayat (2) pengakuan terhadap entitas otonom-lah (baca: desa atau
disebut dengan nama lain) yang kemudian melahirkan desentralisasi desa yang—
seharusnya—juga lengkap dengan pembagian kekuasaan dan keuangan. Dengan demikian
basis nalarnya jelas; yaitu pengakuan membawa konsekuensi desentralisasi desa.
Namun oleh karena keberadaan “desa atau disebut dengan nama lain” secara karakteristik
cukup beragam—belum lagi bila ditambah dengan keberadaan konstruksi desa yang sudah
tidak asli lagi—maka implementasi desentralisasi dan otonomi desa hendaknya juga harus
30
31. bisa mengakomodasi eksistensi keberagaman tersebut. Lebih-lebih basis logikanya adalah
pengakuan yang melahirkan desentralisasi. Dalam kontek ini penting untuk mengingat apa
yang disampaikan Prof. Dr. R. Soepomo, SH. (1993). Menurutnya, “… persamaan hukum
hanyalah bisa diterima, jikalau didasarkan kepada persamaan keadaan dan kebutuhan; jika
tidak, keseragaman hukum akan dirasakan sebagai ketidak-adilan yang menyakitkan.”
Maka, dalam konteks mengakomodasi eksistensi
keberagaman setidaknya disain
desentralisasi desa akan mengarah pada tiga
desa,
macam bentuk penyelenggaraan pemerintahan
di aras desa itu. Masing-masing adalah sistem
desa adat; sistem desapraja; dan dan sistem
desa administratif. Pada level desa yang bukan
merupakan bagian dari subsistem pemerintahan
supradesa—disini sistem desa asli dan sistem
desa swapraja—dalam penyelenggaraan sistem
pemerintahan nasional, secara hukum
ketatanegaraan feasible untuk diwujudkan.7
Dalam sistem ‘desa asli’ (atau ‘dea adat’), maka penyelenggaraan sistem pemerintahan di
level lokal akan menerapkan desentralisasi dan pengakuan secara penuh dan istimewa
mengingat susunan kelembagaan asli, sistem norma/pranata sosial dan ulayat sebagai
wujud dari property right, semuanya masih hidup dan berjalan. Dalam hal ini kehadiran
negara melalui pengaturan, tidak lebih sekedar mengakui eksistensi dan kedudukan
melalui peran menunaikan kewajiban-kewajiban dalam rangka pemenuhan kebutuhan
hak-hak dasar kehidupan warga negaranya. Misalnya mengenai akses kesehatan dan
pendidikan. Di sini letak Negara —lembaga supradesa—terhadap sistem desa asli ada pada
posisi yang relative mengambang (floating state). Pengembangan kemandirian desa dalam
sistem desa asli akan lebih banyak ditopang dari keleluasaan desa dalam
7
Konsepsi Desapraja yang dimaksudkan dalam dokumen ini berbeda bentuknya dengan penyebutan yang sama pada Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja.
31
32. mengkapitalisasikan ulayat dan aset-aset (property right) yang dimiliki sesuai dengan
preferensi kemitraan institusi eksternal supradesa menurut selera desa yang
bersangkutan. Dengan demikian negara juga berkewajiban menggaransi ketersediaan dan
penguasaan property right oleh desa. Mengenai eksistensi sistem desa asli di dalam sistem
pemerintahan tersebut dapat dilabeli sebagai asymmetric recognition sebagaimana gejala
teoritis yang juga berlaku dalam daerah-daerah istimewa dalam mandat Pasal 18A—yang
dikecualikan dari desentralisasi dan otonomi daerah konvensional yang berlaku—yang
kita kenal dengan asymmetric decentralization. 8
Sedang sistem ‘desapraja’ dimunculkan sebagai respon untuk merevitalisasi keberadaan
desa-desa di sebagian besar Jawa dan sebagian di luar Jawa dalam untuk menjadi local-self
government. Prinsip dasar pertama adalah, desentralisasi desa merupakan pengakuan
negara terhadap self-governing community, dan prinsip selanjutnya adalah pembagian
kewenangan dan keuangan kepada desa untuk membuat desa sebagai local-self government
(Sutoro Eko dan Adur Rozaki, 2005: 45). Konsekuensi dari sistem desapraja, kewajiban
negara dalam desentralisasi keuangan adalah memastikan perimbangan keuangan yang
layak dan mencukupi untuk diberikan kepada desa sebagai modal pembangunan mereka.
Selain itu, juga harus ada upaya redistribusi aset-aset sebagai basis material (property
right) bagi desa sebagai wujud revitalisasi ‘ulayat’ yang selama ini telah berkurang baik
sebagai akibat dinamika pertambahan penduduk atau karena telah digerus oleh kekuatan
supradesa yang menghisap. Perbedaan mendasar pada sistem desapraja dibanding sistem
desa asli adalah dalam institusionalisasi tata pemerintahannya—baik mekanisme dan
lembaga penyelenggaranya—yang sedikit banyak akan diatur oleh hukum negara, yakni
‘undang-undang desa’ ini sendiri.
Perlu disampaikan bahwa konsepsi Desapraja yang dimaksud di dalam gagasan ini adalah
desa yang berbeda dari konsep desapraja yang (pernah) dimaksud oleh UU No. 19 Tahun
1965. Sistem desapraja berangkat dari asumsi bahwa negara mengakui entitas otonom (self
governing community) yang sekaligus memperoleh desentralisasi (local-self government).
8
Meskipun begitu, agar kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Tingkat Desa dapat berjalan efektif
maka pilihan Sistem Desa Asli ini HANYA dapat dilaksanakan jika struktur dan organsiasi desa asli yang bersangkutan telah
memenuhi syarat-syarat yang diperlukan bagi sebuah organisasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang
efisien, sebagaimana yang akan diatur oleh kebijakan khusus tentang hal ini.
32
33. Dengan demikian di dalam konsep desapraja tetap ada dan berlaku sistem pemerintahan
modern (baca: prasyarat pemerintah yang demokratis) melalui organ-organ kelengkapan,
mekanisme maupun prosedur dari sistem pemerintahan yang diatur oleh negara, namun
dengan tetap menghormati kedudukannya sebagai desa yang otonom. Artinya, otoritas
pemerintah supradesa hanya membuat pedoman mengenai prasyarat sistem pemerintahan
yang demokratis bagi entitas desa tanpa mengurangi otonomi desa. Misalnya, pedoman
mengenai nomenklatur organ-organ kelengkapan organisasi desa yang minimal harus ada
dalam rangka penyelenggaraan check and balances pilar-pilar lembaga kekuasaan
(eksekutif, legislatif dan—mungkin—yudikatif) di desa. Kemudian mengenai pedoman
tentang mekanisme hubungan antar pilar-pilar lembaga kekuasaan, dan juga pedoman
mengenai prosedur pengisian jabatan-jabatan di dalam pilar-pilar lembaga kekuasaan tadi.
Oleh karenanya sistem desapraja harus ditempatkan sebagai sistem pemerintahan yang
bukan merupakan bagian dari subsistem pemerintahan supradesa. Ini yang membedakan
dengan konsep desapraja sebagaimana yang dianut oleh rejim UU No. 19 Tahun 1965.
Desapraja menurut UU No. 19 Tahun 1965 meski merupakan local-self government tetapi
tetap diposisikan sebagai subsistem pemerintahan supradesa yang lebih tinggi.
Sebagaimana pengertian di dalam UU tadi yang meletakkan desapraja sebagai unit
terendah dalam hierarkhi sistem pemerintahan; yaitu daerah daerah tingkat III di bawah
provinsi dan kabupaten. Dimana dalam ketetuan tersebut dikenal istilah “Daerah Atasan”,
yaitu: Daerah Tingkat II dan Daerah Tingkat I yang menjadi atasan dari desapraja (Pasal 2
huruf b UU No. 19 Tahun 1965). Lebih-lebih di dalam UU tersebut dengan tegas juga
disebutkan bahwa “kepala desapraja adalah penyelenggara utama urusan rumah tangga
desapraja dan sebagai alat Pemerintah Pusat” (Pasal 8 ayat (1) UU No. 19 Tahun 1965).
Sementara sistem desa administrasi adalah berangkat dari kepanjangan tangan negara
untuk menunaikan fungsi-fungsi pelayanan publiknya terhadap warga negaranya,
mengingat sudah tidak ada lagi kelembagaan desa yang merepresentasikan otonomi dan
kemandirian komunitas. Akomodasi ini mengingat perkembangan sosial kemasyarakatan
yang heterogen yang semakin cepat terutama di daerah-daerah mulai maju oleh pengaruh
modernisasi. Dalam hal ini keberadaan sistem desa administrasi sama sekali merupakan
domainnya negara, yang dengan demikian desa administrasi kompatibel sebagai bagian
33
34. dari subsistem pemerintah supradesa. Model desa administrasi juga diutamakan untuk
daerah-daerah terpencil di mana warga dan sistem organisasi desa aslinya belum mampu –
atau belu mau -- menyelenggarakan sistem pelayanan publik yang diinginkan.
Rincian implikasi pemilahan sistem penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di
tingkat desa ke dalam 3 (tiga) tipologi ini terhadap (1) struktur organisasi; (2)
kepemimpinan; (3) sistem check and balances; (4) mekansime pertangggungjawaban; (5)
kewenangan dalam pemerintahan, dan (6) keuangan desa adalah sebagaimana tercantum
dalam Tabel 1 berikut.
9
Tabel 1: Perbedaan Nomenklatur pada 3 Tipologi Penyelenggaraan Pemerintahan di Tingkat Desa
11
Tipologi Desa Struktur/ Kepemim-pinan Sistem check and Mekanasime Kewenangan Keuangan
Organisasi balances Pertanggang- dalam
jawaban Pemerintah-an
dan Pembangun-
10
an
Sistem Desa Sesuai keadaan Sesuai keadaan Sesuai keadaan Sesuai keadaan Kewenagan yang Relatif Terbatas
Asli yang ada, yang ada yang ada yang ada dan relative terbatas,
dilengkapi dengan kepada Pembina kecuali yang
‘urusan (dalam hal ini berkaitan dengan
penyelengga-raan Pemerintah hak asal usul cq.
pemerintah-an di Kabupaten/Kota) hak untuk
tingkat desa’ menyelenggaraka
n pemerintahan
dgn keweangan
yang relative
12
terbatas;
pengelolaan hak
ulayat; dan
penyelenggaraan
13
pengadilan adat.
Sistem Desa- Pemerintahan Merit system& Terdapat lembaga Betanggungjawab Kewenagan yang Relaif Luas
praja Desa yang Terdiri Mekanisme yang kepada embaga Luas. a.l:
dari unsur Kepala Pemilihan merepresentasika yang • Pembuatan
Desa, Aparat Langsung n warga desa merepresentasikan dan penetapan
Perdes
Desa, dan ‘Badan warga desa kepada
• Kerjasama
Perwakilan’ atau Pembina (dalam hal antar desa
disebutu dengan ini Pemerintah • Pemberian ijin
dan
9
Rincian realisasi masing-masing unsur nomenklatur dalam ketiga tipologi penyelenggaraan pemerintahan di Tingkat Desa
akan diatur dalam Peraturan Daerah, sejauh yang tidak bertentangan dengan semangat PENGAKUAN yang menjadi dasar
Undang-Undang Desa mendatang, sebagaimana akan dibahas lebih lanjut dalam bagianbagian berikut.
10
Lebih lanjut lihat bahasan dalam bagian ‘Kewenangan Desa’.
11
Penjelasan lebih lanjut lihat bagian ‘Keuangan Desa’.
12
Dalam konteks ini struktur desa asli wajib memfasilitasi implementasi kewajiban negara (supradesa) dlm pemenuhan
kebutuhan dasar warga di desa yang bersangutan.
13
Termasuk urusan pelestarian kelembagaan adat.
34
35. nama lain Kabupaten/ Kota) pengelolaan
potensi SDA
desa
• Pengaturan
dan
pengambanga
n BUMDesa
• Merumuskan
dan
menetapkan
rencana
pembangunan
desa.
• Menentukan
dan
menetapkan
sumber-
sumber
pendapatan
asli desa
Sistem Desa Kepanjangan Merit system Jika dianggap Bertanggung-jawab Kewenagan yang Sejauh yang
Adminitrasi birokrasi dan perlu, Terdapat kepada Pembina dilimpahkan dibutuhkan
Pemerintah pengankatan lembaga yang (dalam hal ini Supra-desa,
Kabupaten oleh Pemerintah merepresentasika Pemerintah sejauh yang
Kabupaten n warga desa Kabupaten/ Kota) dibutuhkan. a.l:
• Memberikan
rekomendasi
pemberian
perijinan
usaha/kegiata
n yg berbasis
di desa
• Pelaksanaan
pembangunan
dlm urusan-
urusan tugas
pembantuan
• Tentang Kewenangan Desa
Pada dasarnya kewenangan desa dari cara perolehannya dapat dikategorikan sebagai
kewenangan atributif dan kewenangan distributif. Kewenangan atributif berkaitan dengan
hak yang telah ada pada suatu entitas baik kelompok (komunitas) maupun individu—
sering disebut sebagai kewenangan asli—yang kemudian diakui melalui pencantumnnya di
dalam konstitusi. Dalam tinjauan hukum tata negara, selanjutnya kewenangan atribusi
merupakan kewenangan yang bersumber dari konstitusi atau peraturan perundang-
undangan.
Sementara, kewenangan distributif adalah kewenangan yang diperoleh dari
pelimpahan/pembagian sebagian kewenangan dari pihak lain yang timbul sebagai
35
36. konsekuensi dari pengaturan di dalam peraturan perundang-undangan. Kewenangan yang
timbul sebagai akibat pelimpahan/pembagian kewenangan tersebut lebih lanjut menurun
pada dua bentuk kewenangan; yaitu kewenangan delegasi dan kewenangan mandat.
Konsekuensi daripada kewenangan delegasi adalah telah beralihnya tanggungjawab akibat
kewenangan yang dilimpahkan/dibagi dari pihak pemberi kewenangan semula menjadi
tanggungjawab pihak pemegang kewenanganyang dilimpahi kewenangan belakangan.
Kewenangan delegasi dalam tinjauan relasi pemerintah pusat dan daerah seringkali
dipadankan sebagai desentralisasi politik (pembagian kekuasasaan) sehingga muncul
klasifikasi adanya bidang politik/kekuasaan yang menjadi kewenangan pusat dan bidang
kekuasaaan yang menjadi kewenangan daerah.
Sedang dari kewenangan mandat, konsekuensi dari pelimpahan/pembagian kewenangan
tidak berakibat pada beralihnya tanggungjawab pihak pemegang kewenangan semula
kepada pihak yang menerima kewenangan yang bersangkutan. Jenis kewenangan mandat
ini di dalam tinjauan relasional pemerintah pusat dan daerah dapat dipadankan sebagai
bentuk dekonsentrasi dimana pemerintah yang “lebih tinggi” dapat memberikan tugas
kepada pemerintah yang “lebih rendah” untuk dijalankan dengan segala dukungan sarana,
infrastruktur dan sumberdaya dari pemberi tugas. Dalam istilah ketatapemerintahan
pelimpahan kewenangan yang berupa penugasan ini seringkali disebut dengan tugas
pembantuan (medebewind). Ketiga konsep kewenangan tersebut dapat dilihat dalam Tabel
2 berikut.
Tabel 2. Jenis-jenis Kewenangan Desa Dan Contohnya
Jenis Definisi Contoh
Kewenangan
(1) Atributif Rekognisi atas Hak asal-usul • Tanah Ulayat
(Dominan pada • Nilai dan Norma Sosial
Sistem Desa Asli)
• Struktur Organisasi Masyarakat Adat.
36
37. (2) Delegasi Desa mendapatkan • Pengelolaan Infrastruktur Sekolah
pelimpahan wewenang untuk
(Dominan pada • Pemeliharaan Infrastruktur Puskesmas.
penyelenggaran pelayanan
Sistem Desa publik dan pembangunan • Pengelolaan Posyandu.
Praja) dengan tanggung jawab dan
tanggunggugat kepada desa • Pengeloalaan Irigasi Desa
penerima wewenang. • Pengembangan kegiatan ekonomi desa.
Pemberian delegasi dilakukan
berdasarkan prinsip • Pembangunan dan pemeliharaan pasar
subsidiarity danco-production. desa.
• Pengembangan Badan Usaha Desa
(3) Mandat Desa mendapatkan • Program-program pemerintah yang
pelimpahan wewenang dijalankan ditingkat desa dan bekerja
(Dominan pada dengan tanggung jawab dan sama dengan pemerintah/masyarakat
Sistem Desa desa seperti sensus kependudukan,
tanggunggugat pada pemberi
Administratif). Penyelenggaraan pemilu, Program
mandate penanggulangan kemiskinan.
Dalam tataran eksistensi desa sebagai entitas yang otonom, maka kewenangan-
kewenangan tersebut dapat diidentifikasikan kepada desa, namun tentu dengan
penyesuaian-penyesuaian pada kebutuhan wacana otonomi dan desentralisasi desa.
Pertama, adalah kewenangan asli. Meminjam istilah Sutoro Eko (2004), kewenangan asli
disebut pula dengan kewenangan generik. Kewenangan asli atau juga sering disebut
dengan hak atau kewenangan asal-usul yang melekat pada desa sebagai kesatuan
masyarakat hukum (rechtgemeenschappen) dalam banyak kesempatan juga disamakan
dengan property right komunitas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
sebagai konsekuensi dari otonomi asli (Zakaria, 2000, dalam Sutoro Eko dan Abdur Rozaki,
2005: 58). Ada beberapa jenis kewenangan generik yang jamak dibicarakan, antara lain:
kewenangan membentuk dan mengelola sistem pemerintahan sendiri; kewenangan
mengelola sumberdaya lokal (tanah kas desa, tanah bengkok, tanah ulayat, hutan
adat/desa, dll); kewenangan membuat dan menjalankan hukum adat sendiri; kewenangan
mengelola dan merawat nilai-nilai budaya lokal (adat-istiadat); dan, kewenangan yudikatif
atau peradilan komunitas, misalnya dalam hal penyelesaikan konflik/sengketa non-
kriminal (Sutoro Eko, 2004, dalam Sutoro Eko dan Abdur Rozaki, 2005: 58).
37
38. Kewenangan generik merupakan indikator desa sebagai kesatuan masyarakat hukum
(rechtgemeenschappen) atau desa sebagai subyek hukum yang otonom
(volksbestuurgemeenschappen). Desa-desa di Jawa, misalnya, mempunyai wewenang
mengelola tanah kas desa maupu tanah bengkok secara mandiri untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan desa. Sementara desa-desa adat di luar Jawa umumnya
mempunyai hukum adat atau sistem nilai/pranata sosial untuk mengatur pemerintahan
maupun hubungan sosial serta mengelola sumberdaya lokal (tanah, hutan, sungai, dll).
Mengatur berarti membuat dan melaksanakan peraturan yang bersifat memaksa
(imperatif) dan mengikat warga, atau menentukan batas-batas yang boleh dilakukan dan
yang tidak boleh dilakukan oleh warga (Sutoro Eko dan Abdur Rozaki, 2005: 58-59).
Kedua, dalam memposisikan desa sebagai entitas otonom, maka kewenangan delegasi
harus ditempatkan pada pembagian bidang kekuasaan dalam penyelenggaraan
pemerintahan kepada desa melalui penerapan secara ketat prinsip subsidiarty. Yaitu
kewenangan yang melekat pada desa berkaitan dengan daftar bidang kekuasaan yang
memang mampu, lebih efektif dan efisien jika dilaksanakan oleh desa dibanding bila
dilaksankan oleh entitas supradsesa. Dari sisi desa, kewenangan ini bersifat co-production,
yaitu desa berperan dalam memproduksi barang dan jasa publik yang seharusnya
diproduksi oleh negara. Sebagai konsekwensinya negara harus membayar barang dan jasa
tersebut melalui alokasi anggaran untuk desa. Dalam kerangka pembangunan, ke depan
perlu ada gagasan kewenangan delegasi ini dilembagakan, yakni membuat desa sebagai
entitas pembangunan yang otonom, sehingga desa secara otonom bisa membuat
perencanaan dan pembiayaan pembangunan berdasarkan preferensi lokal versi mereka
sendiri. Dengan demikian keberadaan lembaga supradesa akan lebih pada posisi
memfasilitasi dan men-support celah dari proses pembangunan oleh desa yang desa sendiri
merasa tidak mampu menyelesaikannya.
Ketiga, dalam konteks kewenangan mandat, yaitu dalam rangka pelaksanaan tugas
pembantuan oleh desa. Ini sebenarnya bukan termasuk kategori kewenangan desa karena
tugas pembantuan hanya sekedar melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan,
sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia dengan kewajiban melaporkan
pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan. Dalam hal
38
39. ini titik kewenangannya justru pada desa yang harus memiliki keleluasaan untuk menolak
tugas pembantuan apabila tidak disertai dengan pendukungnya sehingga sekedar menjadi
beban desa saja. Padahal dalam konteks tugas pembantuan, tidak jarang program-program
kegiatan yang hendak dilaksanakan sesungguhnya memang merupakan kewajiban dari
kelembagaan pemerintah supradesa dalam rangka memenuhi kebutuhan hak-hak warga
negaranya. Misalnya mengenai program-program untuk memenuhi kebutuhan kesehatan,
pendidikan, kependudukan dan pemilihan umum.
Kewenangan desa dalam disain wacana desentralisasi dan otonomi desa tersebut pada
akhirnya tetap saja meniscayakan adanya kewenangan keuangan (fiskal)—yang tidak
boleh dilupakan—yang juga harus sampai ke desa. Hal ini penting guna memastikan
perimbangan keuangan antara pusat, daerah dan desa, untuk selanjutnya musti ada dana
alokasi desa. Dalam Dana Alokasi Umum, misalnya, harus dibagi secara seimbang antara
provinsi, kabupaten/kota dan desa.
• Tentang Demokrasi dan Kepemimpinan:
Sebagaimana dilaporkan Slamet (1965: 73 - 84), salah seorang antropolog senior lainnya,
pada bulan May 1951, Charles Wolf pernah menulis sebuah artikel di Majalah Far Eastern
Survey, yang antara lain menyatakan bahwa “Barangkali desa-lah, yang sepanjang sejarah
merupakan hampir satu-satunya tempat persemaian bagi tehnik organisasi dan demokrasi
di Asia Tenggara, bisa disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan dari masyarakat yang
baru; pengalaman yang kaya dari masyarakat desa dalam mencapai suatu pemufakatan dan
dalam menciptakan pimpinan yang bertanggungjawab, mungkin bisa meresap sampai ke
tingkat pemerintah-pemerintah nasional di Asia Tenggara dan mempengaruhi pula
bentuknya pemerintahan itu”. Pada waktu berikutnya, Oktober 1951, Justus van de Kroef,
pada majalah yang sama membantah pendapat itu. Menurutnya, “Desa tradisional
Indonesia tidaklah merupakan suatu demokrasi, maka tidak dapat pula dijadikan landasan
bagi ‘teknik-teknik organisasi dan operasi yang demokratis’ sebagaimana yang dikenal
dalam dunia Barat”. Di mana letak kebenaran yang sesungguhnya?
Atas pertanyaan yang diajukannya itu, Slamet berpendirian bahwa kebenaran dimaksud
terletak di antara kedua pandangan itu. Namun, untuk memahaminya, kata Slemet, kita
39