1. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Irian Jaya atau sekarang disebut dengan Papua adalah pulau terbesar kedua di dunia
setelah Greenland. Pulau ini terbagi atas 2 daerah kekuasaan, yaitu belahan timur yang
merupakan daerah kekuasaan pemerintahan Papua Nuginie, sedangkan daerah seluas 260.000
kilometer persegi yang berada di belahan barat, yaitu Papua termasuk daerah wilayah
pemerintahan Republik Indonesia.
Di Papua ini terdiri dari beberapa kabupaten dan suku-suku yang beraneka ragam.
Suku Asmat adalah salah satu suku yang ada di Papua. Populasi suku Asmat terbagi dua yaitu
mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua
populasi ini saling berbeda satu sama lain dalam hal cara hidup, struktur sosial dan ritual.
Mendengar suku Asmat, mungkin sekilas terpikir di benak kita mengenai pengayauan
kepala orang dan kanibalisme. Kata-kata ini membuat orang-orang takut. Dengan identiknya
suku Asmat terhadap kanibalisme, maka tumbuh stereotype mengenai suku Asmat. Orang
mendengar suku Asmat sebagai sebuah kata yang menjadi sinonim untuk kanibal. Pada tahun
1961, dalam sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh Rokefeller Jr, putra seorang gubernur
negara bagian New York, menghilang ke dalam hutan bakau di daerah ini. Menurut kabar,
Rokefeller Jr menjadi korban kanibalisme suku Asmat. Pada tahun 1968 dua orang misionaris
Australia dan Amerika Stan Dole dan Phil Masters dikabarkan dicincang dan dimakan oleh
suku Asmat.
Selain fakta bahwa Asmat adalah kanibal dan pemburu “kepala”, mereka juga “diburu
untuk nama”. Setiap orang diberi nama setelah seseorang meninggal, atau setelah membunuh
musuh. Seorang anak kadang-kadang diberi nama sepuluh tahun setelah lahir, dan setelah
desa menetapkan untuk membunuh seorang laki-laki dari desa musuh di dekatnya. Mereka
harus mempelajari nama laki-laki yang mereka bunuh, dan kemudian membawa tengkorak ke
desa mereka.
Dahulu, peristiwa mengerikan ini merupakan hal biasa bagi orang-orang Asmat. Hal
itu dikarenakan, kehidupan suku Asmat pada waktu itu penuh diliputi peperangan antar-clan
dan antarwilayah. Pada umumnya, yang menjadi pangkal persengketaan di antaranya,
1
2. masalah pelanggaran batas daerah sagu, pencurian ulat sagu, perzinahan, ataupun hanya
sekedar sakit hati. Mulanya konflik yang terjadi hanya berasal dari dua orang yang berselisih,
namun berubah menjadi konflik antarkeluarga. Makin lama, konflik kian berkembang
menjadi konflik antar-clan hingga akhirnya semakin membesar menjadi konflik antarwilayah.
Akhirnya, pecahlah peperangan antarwilayah yang berujung pada kayau mengayau kepala
orang dan kanibalisme.
B. Perumusan Masalah
1. Dari mana suku Asmat berasal?
2. Bagaimana suku Asmat melakukan upacara kematian?
3. Apa makna kematian pada suku Asmat?
4. Apa fungsi perahu lesung dan rumah bujang dalam kehidupab masyarakat Asmat?
5. Upacara-upacara apa saja yang terdapat dalam adat istiadat suku Asmat?
2
3. BAB II
PEMBAHASAN
Asal suku Asmat
Adat istiadat suku Asmat mengakui dirinya sebagai anak dewa yang berasal dari dunia
mistik atau gaib yang lokasinya berada di mana mentri tenggelam setiap sore hari. Nenek
moyang suku Asmat pada zaman dahulu melakukan pendaratan di buni di daerah
pengunungan. Selain itu orang suku Asmat juga percaya bila wilayahnya terdapat 3 macam
roh yang masing-masing mempunyai sifat baik, jahat, dan yang jahat namun mati.
Berdasarkan mitologi masyarakat Asmat yang berdiam di teluk flamingo, dewa itu bernama
Fumuriptis. Orang Asmat percaya bahwa mereka berasal dari Sang Pencipta (Fumeripits).
Pada suatu masa, Fumeripits terdampar di pantai dalam keadaan sekarat dan tidak sadarkan
diri. Namun nyawanya diselamatkan oleh sekolompok burung sehingga ia kembali pulih.
Kemudian ia hidup sendirian di sebeuah daerah yang baru. Karena kesepian, ia membangun
sebuah rumah panjang yang diisi dengan patung-patung dari kayu hasil ukirannya sendiri.
Namun ia masih merasa kesepian, kemudian ia membuat sebuah tifa yang ditabuhnya setiap
hari. Tiba-tiba, bergeraklah patung-patung kayu yang sudah dibuatnya tersebut mengikuti
irama tifa yang dimainkan. Sungguh ajaib, patung-patung itu pun kemudian berubah menjadi
wujud manusia yang hidup. Mereka menari-nari mengikuti irama tabuhan tifa dengan kedua
kaku agak terbuka dan kedua lutut bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan.
Semenjak itu, Fumeripits terus mengembara dan di setiap daerah yang disinggahinya,
ia membangun rumah panjang dan menciptakan manusia-manusia baru yang kemudian
menjadi orang-orang Asmat seperti saat ini. Semua itu ada di dalam dongeng suci Fumeripits.
Awal pengayauan kepala dan kanibalisme ini, berasal dari mitos yang hidup pada
orang-orang Asmat. Mitos ini menceritakan tentang kakak beradik Desoipits dan Biwiripits.
Diceritakan, saat itu laki-laki dewasa dari wilayah mereka sedang berperang, namun mereka
tidak ikut. Desoipits merasa punya kewajiban untuk membantu, dan dia menyuruh adiknya
Biwiripits untuk memenggal kepalanya. Desoipits bersikeras menyuruh Biwiripits agar mau
memenggal kepalanya. Namun, Biwiripits tetap tak mau memenggal kepala Desoipits karena
tidak tega memenggal kepala saudaranya sendiri.
Semakin kuat Biwiripits menolak, semakin keras pula desakan Desoipits agar adiknya
mau memenggalkan kepalanya. Akhirnya, Biwiripits tak tahan dengan desakan kakaknya.
3
4. Dengan terpaksa, Biwiripits akhirnya memberanikan diri memenggal kepala Desoipits.
Namun, keanehan terjadi saat itu. Suara Biwiripits masih terdengar. Entah bagaimana bisa
terjadi, kepala Biwiripits yang telah dipenggal masih bisa bicara. Merasa caranya tak
berhasil, Desoipits kembali mendesak Biwiripits untuk memotong-motong tubuhnya. Selain
itu Desoipits memerintahkan agar tubuhnya dibagikan kepada para pahlawan yang pulang
berperang. Karena tak bisa menolak lagi, Biwiripits kembali menuruti permintaan Desoipits.
Potongan tubuh Desoipits dibagikan kepada para pahlawan perang sebagai makanan bagi
mereka. Sejak saat itulah, timbul kebiasaan memakan daging dan memenggal kepala
manusia. Tengkorak manusia pun dihormati dan disimpan, terutama tengkorak orang yang
sanagt dicintai. Tengkorak saudara atau kerabat terdekat selalu digunakan sebagai bantal
kepala ataupun kalung, sedangkan tengkorak musuh dipajang untuk memperlihatkan
kebesaran dan keperkasaan atau juga penolak bala.
Oleh sebab itu, pengayauan dan kanibalisme, dilakukan orang-orang Asmat setelah
mereka berperang. Musuh yang telah mati ditombak, dibawa pulang ke kampung dengan
perahu lesung panjang. Dengan penuh kebanggaan, mereka membawa mayat musuh, diiringi
nyanyi-nyanyian. Setibanya di kampung, mereka disambut oleh orang-orang Asmat. Mayat
yang telah dibawa mulai dipotong-potong dan dibagikan kepada semua penduduk untuk
dimakan. Sambil menyanyikan lagu kematian, kepalanya dipenggal lalu dipanggang. Begitu
juga dengan otaknya, dibungkus dengan daun sagu untuk kemudian turut dipanggang.
Tengkorak kepala musuh yang telah dipenggal kemudian dipajang untuk memperlihatkan
kebesaran dan keperkasaan serta digunakan juga sebagai penolak bala.
Upacara kematian suku Asmat
Acara pengayauan kepala dan kanibalisme sebagai cara orang Asmat memandang
sebuah kematian, jauh berbeda dengan upacara kematian bagi keluarga yang ditinggal mati.
Walaupun suku Asmat terlihat sadis dengan kanibalismenya, namun disisi lain terdapat sisi
kemanusiaan yang mendalam pada diri orang-orang Asmat. Hal ini dapat terlihat saat
terdapat salah satu anggota keluarga orang Asmat yang meninggal.
Kematian orang Asmat tidak mengenal dalam hal mengubur mayat orang yang telah
meninggal. Bagi mereka, kematian bukanlah hal yang alamiah. Bila seseorang tidak mati
dibunuh, maka mereka percaya bahwa orang tersebut mati karena suatu sihir hitam. Bayi
yang baru lahir dan kemudian mati dianggap hal yang biasa dan mereka tidak terlalu sedih
karena mereka percaya bahwa roh bayi itu ingin segera ke alam roh-roh. Sebaliknya,
4
5. kematian orang dewasa mendatangkan duka cita yang amat mendalam bagi masyarakat
Asmat.
Mereka yakin bahwa setiap manusia mempunyai paling sedikit enam jiwa yang
menjiwai beberapa bagian tubuh yang berlainan. Berbagai macam penyakit yang diketahui
oleh orang Asmat disebabkan karena jiwa yang menjiwai bagian tubuh yang sakit itu sedang
pergi atau menghilang. Itulah sebabnya cara dan teknik yang digunakan dukun penyakit
namer ow untuk menyembuhkan orang sakit adalah dengan mengupayakan atau membujuk
jiwa yang pergi itu agar kembali ke tubuh si sakit tadi. Apabila beberapa jiwa yang telah
pergi dan tak dapat dibujuk agar kembali, si sakit yang bersangkutan akan meninggal.
Apabila ada orang tua yang sakit, maka keluarga terdekat berkumpul mendekati si
sakit sambil menangis, sebab mereka percaya ajal akan segera menjemputnya. Tidak ada
usaha-usaha untuk mengobati atau memberi makan kepada si sakit. Dengan tidak adanya
upaya medis yang dilakukan untuk menyembuhkan orang sakit, maka tidak heran jika tingkat
kematian suku Asmat sangat tinggi. Jika ada anggota keluarga yang sakit, keluarga
memanggil dukun penyakit namer ow. Keluarga tidak berani mendekatinya karena mereka
juga percaya, si sakit akan membawa keluarga yang paling dicintainya untuk menemaninya.
Di sisi rumah dimana si sakit dibaringkan dibuatkan semacam pagar dari dahan pohon nipah.
Ratapan dan tangisan semua anggota keluarga terus berlangsung. Semuanya semakin
menjadi, tatkala diketahui bahwa keluarga yang sakit sudah meninggal. Mereka tak bisa
menahan luapan kesedihan atas meninggalnya anggota keluarga mereka. Semua anggota
keluarga berebut memeluk mayat yang tak lain adalah anggota keluarga mereka. Rasa duka
cita yang tak tertahankan, akhirnya berubah menjadi tindakan yang tak terkendali. Anggota
keluarga terdekat mengguling-gulingkan tubuhnya di atas lumpur. Kerabat lainnya berusaha
menenangkan dan menjaga agar anggota keluarga yang mengguling-gulingkan tubuhnya di
atas lumpur, tidak melukai dirinya sendiri.
Ekspresi duka cita orang-orang Asmat terhadap anggota keluarga yang meninggal
dunia memang tak terkendali. Tak jarang orang yang mengguling-gulingkan tubuhnya di atas
lumpur, melukai dirinya sendiri. Rasa duka cita yang mendalam juga ditunjukkan dengan
menangis setiap hari bahkan sampai berbulan-bulan. Ada pula sebagian anggota keluarga
yang melumuri seluruh tubuhnya dengan lumpur dan mencukur habis rambutnya. Bagi yang
sudah menikah, berjanji tidak akan menikah lagi (walau nantinya menikah juga). Terdapat
5
6. juga beberapa anggota keluarga yang menutupi kepala dan wajahnya agar agar tidak menarik
bagi orang lain.
Sementara itu, orang-orang di dekat rumah kematian telah melakukan hal-hal yang
biasa mereka lakukan saat ada orang yang meninggal. Setiap lubang dan jalan masuk (kecuali
jalan masuk utama) di semua rumah ditutup, dengan maksud menghalangi roh-roh jahat.
Mereka percaya bahwa banyak roh jahat yang berkeliaran pada saat-saat menjelang kematian.
Maka dengan ditutupnya semua lubang di rumah roh-roh jahat tidak akan bisa masuk.
Dalam upacara kematian, jenazah orang-orang Asmat tidak dikuburkan keluarganya.
Jenazah tersebut diletakan di atas panggung di luar rumah panjang, di atas para (anyaman
bambu) yang telahdisediakan di luar kampong dan dibiarkan sampai busuk. Hal ini dibiarkan,
hingga tulang belulang saja yang tersisa dari jenazah. Kelak, tulang belulangnya
dikumpulkan dan disimpan di atas pokok-pokok kayu. Sementara itu, tengkorak kepalanya
diambil dan dipergunakan sebagai bantal. Hal ini dilakukan untuk menunjukan rasa cinta
kasih kepada keluarga yang meninggal. Orang Asmat percaya bahwa roh-roh orang yang
telah meninggal tersebut (bi) masih tetap berada di dalam kampong, terutama kalau orang itu
diwujudkan dalam bentuk patung mbis, yaitu patung kayu yang tingginya 5-8 meter. Selain
itu, terdapat cara lain yang dilakukan dalam memperlakukan jenazah. Jenazah diletakan di
atas perahu lesung panjang yang telah dipenuhi perbekalan seperti sagu dan ulat sagu. Perahu
lesung panjang tersebut kemudian dilepas ke sungai untuk seterusnya terbawa arus ke laut,
menuju peristirahatan terakhir para roh.
Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat telah mengubur jenazah
dan beberapa barang milik pribadi yang meninggal. Umumnya, jenazah lakki-laki dikubur
tanpa mengenakan pakaian, sedangkan jenazah wanita dikubur dengan mengenakan pakaian.
Orang Asmat juga tidak memiliki pemakaman umum, maka jenazah biasanya dikubur di
hutan, di pinggir sungai atau semak-semak tanpa nisan. Dimana pun jenazah itu dikubur,
keluarga tetap dapat menemukan kuburannya.
Demikian konsepsi orang Asmat tentang maut. Maut adalah perginya satu atau
beberapa jiwa manusia untuk tak kembali lagi. Jiwa-jiwa yang membebaskan diri dari tubuh
orang itu menjadi ruh yang berkeliaran sekitar tempat tinggal manusia. Sesudah beberapa
waktu tertentu ruh akan pergi ke dunia ruh di belakang ufuk, dan hidup abadi di sana atau
setelah beberapa waktu kembali ke bumi dan hidup kembali dalam tubuh seorang bayi.
6
7. Pembuatan perahu lesung
Setiap 5 tahun sekali, masyarakat Asmat membuat perahu-perahu baru. Dalam proses
pembuatan perahu hingga selesai, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Setelah pohon
dipilih, ditebang, dikupas kulitnya dan diruncingkan kedua ujungnya, batang itu telah siap
untuk diangkut ke pembuatan perahu. Sementara itu, tempat pegangan untuk menahan tali
penarik dan tali kendali sudah dipersiapkan. Pantangan yang harus diperhatikan saat
mengerjakan itu semua adalah tidak boleh membuat banyak bunyi-bunyian di sekitar tempat
itu. Masyarakat Asmat percaya bahwa jika batang kayu itu diinjak sebelum ditarik ke air,
maka batang itu akan bertambah berat sehingga tidak dapat dipindahkan. Untuk menarik
batang kayu, si pemilik perahu meminta bantuan kepada kerabatnya. Sebagian kecil akan
mengemudi kayu di belakang dan selebihnya menarik kayu itu.
Sebelum perahu digunakan, diadakan suatu upacara khusus yang dipimpin oleh
seorang tua yang berpengaruh dalam masyarakat. Maksudnya adalah agar perahu itu nantinya
akan berjalan seimbang dan lancar. Perahu pun dicat dengan warna putih di bagian dalam dan
di bagian luar berwarna merah berseling putih. Perahu juga bisa diberi ukiran yang berbentuk
keluarga yang telah meninggal atau berbentuk burung dan binatang lainnya. Ssetelah dicat,
perahudihias dengan daun sagu. Sebelum dipergunakan, semua perahu diresmikan terlebih
dahulu. Para pemilik perahu baru bersama dengan perahu masing-masing berkumpul di
rumah orang yang paling berpengaruh di kampung tempat diadakannya pesta sambil
mendengarkan nyanyi-nyanyian dan penabuhan tifa. Kemudian kembali ke rumah masing-
masing untuk mempersiapkan diri dalam perlombaan perahu. Para pendayung menghias diri
dengan cat berwarna putih dan merah disertai bulu-bulu burung. Kaum anak-anak dan
wannita bersorak-sorai memberikan semangat dan memeriahkan suasana. Namun, ada juga
yang menangis mengenang saudaranya yang telah meningggal. Dulu pembuatan perahu
dilaksanakan dalam rangka persiapan suatu penyerangan dan pengayauan kepala. Bila telah
selesai, perahu-perahu ini dicoba menuju tempat musuh dengan maksud agar memanas-
manasi mereka dan memancing suasana musuh agar siap berperang. Sekarang penggunaan
perahu lebih terahkan untuk pengangkutan bahan makanan.
Upacara Bis
Upacara bis merupakan salah satu kejadian penting di dalam kehidupan suku asmat.
Upacara ini berhubungan dengan pengukiran patung leluhur (bis) apabila ada permintaan
dalam suatu keluarga. Upacara ini diadakan untuk memperingati keluarga yang telah
7
8. meninggal karena terbunuh. Peringatan ini dibuat agar pembalasan terhadap pembunuh akan
segera dibalas dengan membunuh anggota keluarga dari pihak yang membunuh. Konon patung bis
adalah bentuk patung yang paling sakral. Untuk membuat patung leluhur atau saudara yang
telah meninggal diperlukan kurang lebih 6-8 minggu. Pengukiran patung dikerjakan di dalam
rumah panjang (bujang) dan selama pembuatan patung berlangsung, wanita tidak
diperbolehkan memasuki rumah tersebut. Dalam proses pembuatan patung biasanya terjadi
tukar-menukar istri yang disebut papis. Hal ini dilakukan untuk mempererat hubungan
persahabatan karena, pada waktu upacara peperangan antara wanita dan pria diadakan tiap
sore.
Patung bis menggambarkan rupa dari anggota keluarga yang telah meninggal. Yang
satu berdiri di atas bahu yang lain bersusun dan paling utama berada di puncak bis. Setelah
itu diberikan warna dan diberikan hiasan-hiasan. Usai didandani, patung bis ini diletakkan di
atas suatu panggung yang dibangun dirumah panjang. Pada saat itu, keluarga yang
ditinggalkan akan mengatakan bahwa pembalasan dendam telah dilaksanakan dan mereka
mengharapkan agar roh-roh yang telah meninggal itu berangkat ke pulau Sirets dengan
tenang. Mereka juga memohon agar keluarga yang ditinggalkan tidak diganggu dan diberikan
kesuburan. Biasanya, patung bis ini kemudian ditaruh dan ditegakkan di daerah sagu hingga
rusak. Suku Asmat juga mempunyai tempat khusus bagi pelaksanaan upacara-upacara
maupun peta yang disebut yew. Yew dibangun di pinggir sungai, dekat dengan tempat
penambatan perahu lesung orang Asmat. Dapat dimaklumi karena bagi orang Asmat sungai
adalah sarana transportasi utama.
Upacara perang-perangan ini bermaksud untuk mengusir roh-roh jahat dan pada
waktu ini, wanita berkesempatan untuk memukul pria yang dibancinya atau pernah menyakiti
hatinya. Sekarang ini, karena peperangan antar-clan sudah tidak ada lagi, maka upacara bis
ini dilakukan bila ada malapetaka di kampong atau apabila hasil pengumpulan bahan
makanan tidak mencukupi. Menurut kepercayaan, hal ini disebabkan roh-roh keluarga yang
telah meninggal yang belum diantar ke tempat peristirahatan terakhir, yaitu sebuah pulau di
muara sungai Sirets. Parung bis menggambarkan rupa dari anggota keluarga yang telah
meninggal. Yang satu berdiri di atas bahu yang lain, bersusun dan paling utama berada di
puncak bis. Setelah itu diberikan warna dan diberikan hiasan-hiasan.
Usai didandani, patung bis ini diletakkan di atas suatu panggung yang dibangun di
rumah panjang. Pada saat itu, keluarga yang ditinggalkan akan mengatakan bahwa
8
9. pembalasan dendam telah dilaksanakan dan mereka mengharapkan agar roh-roh yang telah
meninggal itu berangkat ke pulau Sirets dengan tenang. Mereka juga memohon agar keluarga
yang ditinggalkan tidak diganggu dan diberikan kesuburan. Biasanya, patung bis ini ditaruh
dan ditegakkan di daerah sagu hingga rusak.
Upacara pengukuhan dan pembuatan rumah bujang (ventpokmbu) orang-orang Asmat
mempunyai 2 tipe rumah, yaitu rumah keluarga dan rumah bujang (je). Rumah bujang inilah
yang amat penting bagi orang-orang Asmat rumah bujang ini dinamakan sesuai nama marga
(keluarga) pemiliknya. Rumah bujang merupakan pusat kegiatan baik yang bersifat religious
maupun yang bersifat non religious. Suatu keluarga dapat tinggal di sana, namun apabila ada
suatu penyerangan yang akan direncanakan atau uapacara-upacara tertentu, wanita dan anak-
anak dilarang masuk. Orang-orang Asmat melakukan upacara khusus untuk rumah bujang
yang baru, yang dihadiri oleh keluarga dan kerabat. Pembuatan rumah bujang juga diikuti
oleh beberapa orang dan upacara dilakukan dengan tari-tarian dan penabuhan tifa.
Dengan didirikannya perkampungan-perkampungan bagi orang-orang Asmat, maka
kehidupan mereka yang seminomad itu mulai berubah. Biasanya, kampung yang satu
berjauhan dengan kampung yang lain. Hal ini disebabkan adanya perasaan takut akan
diserang musuh yang sudah tertanam di pikiran orang-orang Asmat. Populasi suatu kampung
biasanya terdiri dari 100 hingga 1000 jiwa. Kampung-kampung tersebut terdiri dari beberapa
rumah keluarga dan rumah bujang. Tiap-tiap kampung memiliki daerah sagu dan daerah ikan
yang merupakan sumber makanan bagi seluruh warganya. Oleh karena itu, berburu dan
menangkap ikan merupakan kesibukan pokok masyarakat Asmat.
Peranan pria dan wanita
Dalam masyarakat Asmat, kaum wanita yang bekerja mencari dan mengumpulkan
bahan makan serta mengurus anak-anak. Kebiasaan ini sudah membudaya dalam kehidupan
mereka karena kaum pria dahulunya sering disibukkan dengan berperang. Pada dasarnya,
kegiatan kaum laki-laki terpusat di dalam rumah bujang yang dimana mereka berkumpul
untuk mendengarkan ritual-ritual yang berhubungan dengan peperangan dahulu serta
menceritakan dongeng para leluhur.
Pagi-pagi sebelum matahari terbit, kaum ibu dan wanita muda berangkat ke laut
mencari ikan. Mereka menjaring ikan di muara sungai dengan jaring yang terbuat dari
anyaman daun sagu. Caranya pun sederhana, dengan melemparkan jaring itu ke laut untuk
9
10. kemudian ditarik bersama-sama. Pekerjaan ini tidaklah mudah karena banyaknya lumpur di
daerah itu sehingga memberatkan dalam penarikan jaring. Selain menangkap ikan, kaum
wanita juga mengolah sagu, mencari umbi-umbian, dll untuk dijadikan bahan makanan.
Dalam kehidupan orang Asmat, peran kaum laki-laki dan perempuan adalah berbeda.
Kaum laki-laki memiliki tugas menebang pohon dan membelah batangnya. Pekerjaan
selanjutnya, seperti mulai dari menumbuk sampai mengolah sagu dilakukan oleh kaum
perempuan. Secara umumnya, kaum perempuan yang bertugas melakukan pencarian bahan
makanan dan menjaring ikan di laut atau di sungai. Sedangka kaum laki-laki lebih sibuk
dengan melakukan kegiatan perang antar clan atau antar kampung. Kegiatan kaum laki-laki
juga lebih terpusat di rumah bujang.
Kekerabatan
Dasar kekerabatan masyarakat Asmat adalah keluarga inti monogami, atau kadang-
kadang poligini, yang tinggal bersama-sama dalam rumah panggung (rumah keluarga) seluas
3 m x 5 m x 4 m yang sering disebut dengan tsyem. Walaupun demikian, ada kesatuan-
kesatuan keluarga yang lebih besar, yaitu keluarga luas uxorilokal (keluarga yang sesudah
menikah menempati rumah keluarga istri), atau avunkulokal (keluarga yang dudah menikah
menempati rumah keluarga istri dari pihak ibu). Karena itu, keluarga-keluarga seperti itu,
biasanya terdiri dari 1 keluarga inti senior dan 2-3 keluarga yunior atau 2 keluarga senior,
apabila ada 2 saudara wanita tinggal dengan keluarga inti masing-masing dalam satu rumah.
Jumlah anggota keluarga inti masyarakat Asmat biasanya terdiri dari 4-5 atau 8-10 orang.
Di setiap kampung yang didirikan di wilayah masyarakat Asmat, terdapat satu rumah
panjang yang merupakan semacam balai desa dimana para warga kampung berkumpul
membicarakan masalah-masalah yang menyangkut kepentingan seluruh warga. Rumah
panjang ini merupakan cerminan kehidupan mereka di masa lampau. Rumah panjang
dauhulunya berfungsi sebagai rumah bujang, atau Je dalam bahasa Asmat, dimana kaum pria
membicarakan dan merembukan penyerangan serta pengayauan kepala.
Rumah bujang terdiri 2 bagian utama yang tiap bagian dinamakan aipmu, yang
dimana masing-masingnya dipimpin oleh kepala aipmu. Sedangkan kepemimpinan Je secara
keseluruhan dipimpin oleh kepala Je. Kepala Je adalah orang yang diakui kekuasaannya
berdasarkan kemampuan-kemampuan yang menonjol. Kedudukan kepala Je, tidak harus
10
11. diberikan kepada orang yang paling tua, sehingga mungkin ada kekosongan pimpinan
sebelum kepala baru terpilih.
Upacara-upacara suku Asmat
Kehidupan orang Asmat banyak diisi oleh upacara-upacara. Upacara besar
menyangkut seluruh komuniti desa yang selalu berkaitan dengan penghormatan roh nenek
moyang seperti berikut ini :
a. Mbismbu (pembuat tiang)
b. Yentpokmbu (pembuatan dan pengukuhan rumah yew)
c. Tsyimbu (pembuatan dan pengukuhan perahu lesung)
d. Yamasy pokumbu (upacara perisai)
e. Mbipokumbu (upacara topeng)
Bahasa
Bahasa suku Asmat merupakan alat komunikasi diantara masyarakat suku Asmat,
yang banyak tersebar di wilayah papua. Meskipun suku Asmat mempunyai wujud budaya
bahasa keseharian tapi suku asmat menggunakan bahasa Indonesia. Banyak dikalangan
masyarakat suku Asmat tidak faham akan bahasanya. Dalam keseharian suku Asmat mereka
menggunakan bahasa nenek moyang yang sudah berumur ribuan tahun. Meskipun mereka
mempunyai bahasa sendiri sekalipun tetapi masyarakat suku Asmat tidak mengghilangkan
bahasa Indonesia.
Bahasa masyarakat Asmat bermacam-macam karena setiap berbeda wilayah mereka
mempunyai bahasa sendiri. Akan tetapi, setiap wilayah itu membuata rumpun bahasa yang
sama karena bahasa merupakan alat komunikasi yang harus dimengerti satu sama
lain. Bahasa suku Asmat mempunyai istilah selayang pancong. Dalam konteks catatan
sejarah, Papua mulai di ungkap dari tulisan tenteng new guienea, dimasa kedatangan portugis
seperti kulit gelap, berbulu tebal, dan rambutya yang kriting. Bahasa suku Asmat yang
menjadi salah satu pemerkaya bahasa dan adat istiadat kekayaan cultural.
Istilah bahasa yang digunakan suku asmat :
1. Aipmu ep = rumah bujang yang terbagi atas dua bagian utama yang menghadap ke udik
2. Aipmu sene = rumah bujang yang terbagi atas dua bagian utama yang menghadap ke
hilir
11
12. 3. Aipmu = bagian utama yang ada di tiap rumah bujang dan memiliki seorang kepala
4. Asmat-ow = manusia sejati
5. Bis = patung leluhur
6. Bivak = rumah di hutan yang berfungsi sebagai tempat tinggal sementara
7. Cemen = bagian terpenting pada patung bis
8. Cicemen = ukiran pada ujung perahu lesung panjang melambangkan anggota
keluarga yang telah meninggal
9. Fumiripits = Sang pencipta
10. Iguana = sejenis kapal
11. Je = rumah panjang yang berfungsi sebagai rumah bujang
12. Je-ti = rumah bujang utama
13. Mbeter = membawa lari
14. Papis = saling tukar menukar istri
15. Persem = perkawinan yang terjadi akibat adanya hubungan rahasia antara seorang
pemuda dan pemudi yang kemudian diakui sah oleh kedua orang tua masing-masing
16. Pomerem = emas kawin
17. Ti = kayu kuning
18. Tinis = perkawinan yang direncanakan
19. Wow-ipits = pemahat Asmat
20. Yerak = sejenis kayu
Sistem Perilaku
Sistem perilaku masyarakat suku Asmat masih terpengaruh oleh bahasa leluhur
mereka. Setan yang tidak membahayakan hidup ilmu sihir hitam juga banyak dipraktikan di
wilayah masyarakat Asmat, terutama oleh kaum wanita. Seseorang yang mempunyai
kekuatan ini dapat menyakiti atau membunuh manusia. Ilmu ini biasanya diturunkan oleh
seorang ibu kepada anak perempuannya untuk senjata perlindungan diri. Bahasa-bahasa
tersebut dibedakan pula antara orang Asmat pantai atau hilir sungai dan Asmat hulu sungai.
Lebih khusus lagi, oleh para ahli bahasa dibagi menjadi bahasa Asmat hilir sungai dibagi
menjadi sub kelompok Pantai Barat Laut atau pantai Flamingo, seperti misalnya bahasa
Kaniak, Bisman, Simay, dan Becembub dan sub kelompok Pantai Baratdaya atau Kasuarina,
seperti misalnya bahasa Batia dan Sapan.Sedangkan Asmat hulu sungai dibagi menjadi sub
kelompok Keenok dan Kaimok.
12
13. BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Suku Asmat adalah salah satu suku bangsa yang berada di Indonesia. Suku Asmat
sangat dikenal dengan hasil karya kayunya yang unik. Dalam segi kebudayaan, kesenian,
kepercayaan, suku Asmat termasuk suku yang masih orisinil dan terjaga keaslian tradisinya
dari zaman nenek moyang mereka, dibandingkan dengan suku-suku lainnya di Indonesia
yang telah banyak terpengaruh budaya luar. Kepercayaan yang dianut masyarakat Asmat juga
sangat unik, mereka menganggap bahwa alam sekeliling tempat tinggal manusia dihuni oleh
berbagai macam ruh yang mereka puja. Jadi, sebenarnya kebudayaan, kesenian dan sistem
kekerabatan yang ada di masyarakat ini berawal dari sistem kepercayaan yang mereka anut.
Karena semuanya merupakan penerapan dari sistem kepercayaan suku Asmat sendiri.
Kehidupan masyarakat Asmat pada zaman dahulu menandakan bahwa orang Asmat
memiliki ciri khas tertentu. Hal itu dapat dilihat dari adanya keahlian yang dimiliki
masyarakat Asmat (wow-ipits/pengukir Asmat) dalam hal mengukir dan memahat sehingga
menghasilkan benda-benda seni yang indah dan mengagumkan. Walaupun hanya
menggunakan alat-alat yang sederhana, mereka tetap dapat menghasilkan karya yang indah.
Di balik kekaguman itu, mungkin tertanam pikiran bahwa suku Asmat adalah suku
yang primitif, manusia kanibal yang suka mengayau kepala orang-orang luar di sekitarnya.
Kebiasaan papis dianggap sebagai kegiatan seksual yang tidak bermoral. Namun semua itu
hanyalah sejarah bagi masyarakat Asmat pada saat ini. Saat ini masyarakat Asmat lebih
terkenal dengan hasil karyanya dalam bidang seni pahat dan ukir. Semua kebudayaan yang
dimiliki oleh orang Asmat merupakan bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia ini.
B. Saran
Perlu dipikirkan bagaimana menjaga dan melestarikan kebudayaan, sistem
kepercayaan, dan terutama kesenian suku Asmat. Serta perlu juga dipikirkan cara untuk
melestarikan bakat dan karya-karya yang dimiliki oleh orang-orang Asmat tersebut sehingga
dapat dinikmati oleh generasi penerusnya.Karena segala yang dimiliki oleh orang Asmat
merupakan bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia ini. Dengan begitu suku Asmat tetap
terjaga keberadaannya dan tetap menjadi kesatuan dari bangsa Indonesia.
13
14. LAMPIRAN
Suku Asmat Tengkorak hasil kanibalisme
Rumah bujang Perahu lesung
14