1. DEMOKRASI DAN ETIKA POLITIK
Oleh Mulyadi J. Amalik,
Peneliti dan Sekretaris Empowering Society Institute (ESI), Jakarta.
Sejarah Demokrasi.
Secara historis, demokrasi memang berkembang lebih dulu di dunia Barat, baik dalam
teori maupun praktik. Pada mulanya demokrasi berkembang di Yunani sekitar abad ke-5
Sebelum Masehi (SM). Socrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM), Aristoteles (384-322
SM) dan lain-lain adalah filsuf-filsuf yang memikirkan demokrasi. Fase ini disebut demokrasi
zaman klasik.
Fase demokrasi zaman modern dimulai sejak Abad Pencerahan (Abad ke-15 M hingga
awal abad ke-18 M) di Eropa. Pada fase ini, perjuangan demokrasi dilakukan untuk melawan
sistem pemerintahan monarkhi absolut yang dikuasai para bangsawan yang dilegitimasi
lembaga gereja. Para tokoh pembahas demokrasi yang ngetop pada Abad Pencerahan ini ialah
Niccolo Machiavelli (1469-1527) tentang republikanisme, Thomas Hobbes (1588-1679)
tentang negara berdaulat yang kuat, John Locke (1632-1704) tentang liberalisme, dan
Montesquieu (1689-1755) tentang Trias Politica. Konsep pemisahan kekuasaan Montesquieu
yang dikenal sebagai Trias Politica (pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif)
itu dianut dalam sistem politik Indonesia. Masa demokrasi modern ini ditandai oleh Revolusi
Amerika (1776) yang melahirkan demokrasi liberal dan federalisme, dan Revolusi Perancis
(1789) yang melahirkan konsep undang-undang sipil dan hak asasi manusia universal dalam
politik. Sistem peradilan Indonesia saja, misalnya, hingga kini mengadopsi sistem Eropa
Kontinental dan produk hukum Indonesia setelah merdeka mewarisi produk hukum Belanda,
sedangkan hukum Belanda dipengaruhi konsep Code Civil (Undang-undang Sipil) di
Perancis.
Pada awal abad ke-19 dan 20 pemikiran demokrasi bertumbuhan dengan wilayah
pembahasan yang lebih luas. Konsep negara, sistem pemerintahan, ideologi (politik dan
ekonomi), kelas dan konflik kelas, militer, partai politik, pemilihan umum, hubungan
antarnegara, lembaga perdamaian internasional, dan lain-lain merupakan isu-isu yang
bermunculan dari pemikiran para tokohnya. Pemikir-pemikir demokrasi di abad ini, antara
lain JJ. Rousseau (1712-1778) dengan konsep kontrak sosial antara rakyat dan penguasa,
John S. Mill (1806-1873) dengan konsep kebebasan (hak-hak individu) dalam demokrasi
liberal dan demokrasi perwakilan, Alexis de Tocqueville (1805-1859) dengan konsep
masyarakat sipil yang mandiri, Karl Marx (1818-1883) dan F. Engels (1820-1895) dengan
konsep demokrasi langsung dan masyarakat sosial-komunal modern tanpa negara, atau Max
Weber (1864-1920) dan J. Schumpeter (1883-1946) dengan konsep demokrasi perwakilan
sebagai ajang kompetisi kaum elit.
Di Indonesia, pemikiran demokrasi yang lebih beragam dan luas berkembang deras
setelah masa kemerdekaan, sementara sebelumnya hanya berupa cita-cita membentuk negara
merdeka atau berdaulat dari kungkungan penjajah. Para pemikir demokrasi kita tentu tak
asing dan mereka adalah sarjana-sarjana yang banyak mempelajari pemikir-pemikir dunia,
baik melalui sekolah formal maupun otodidak (belajar sendiri). Soekarno, Hatta, M. Natsir,
Syahrir, Tan Malaka, D.N. Aidit, dan seterusnya adalah sebagian kecil dari banyak tokoh
bangsa Indonesia yang memikirkan, menuliskan, dan memeraktikkan pandangan-pandangan
demokrasi mereka sesuai ideologi masing-masing. Dinamika ideologis di kalangan pejuang
demokrasi bangsa Indonesia itu tercermin pada substansi Pembukaan dan pasal-pasal UUD
1945 yang berisi semangat: 1) nasionalisme-sosialis; 2) sosialisme-demokrasi, dan 3)
1
2. nasionalisme-religius. Skema historis perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dilihat
pada tabel!
Tidak adakah demokrasi di negara-negara miskin dan berkembang di Asia, Afrika, atau
Amerika Latin sejak abad ke-18 hingga kini? Tentu ada cikal demokrasi asli yang bersumber
dari kearifan lokal (tradisi/adat), agama, atau norma komunitas, tetapi itu tidak berkembang
karena negara-negara miskin di benua tersebut kebanyakan berada di bawah jajahan bangsa-
bangsa Eropa dan Amerika Serikat. Nilai-nilai demokrasi pun tidak akan muncul dan
berkembang di sebuah negara merdeka dan berdaulat bila pemerintahannya dipimpin oleh
penguasa yang otoriter atau diktator.
Secara teoretik, istilah “demokrasi” berada dalam bahasan tentang sistem politik,
sedangkan istilah “sosialisme” atau “kapitalisme” masuk dalam bahasan tentang sistem
ekonomi. Khusus tentang istilah “komunisme” cenderung atau sering dicampurkan sebagai
bahasan sistem politik sekaligus sistem ekonomi. Penjelasan ini penting mengingat istilah-
istilah tersebut memiliki banyak variasi di setiap negara dan merupakan ide-ide besar atau
ideologi yang mempunyai landasan sejarah dan filsafat yang kuat.
Kata “demokrasi” berasal dari bahasa Yunani, yaitu “demos” dan “kratein”. “Demos”
berarti rakyat, orang-orang, atau kelompok orang, sedangkan “kratein” berarti memerintah.
Jadi, “demokrasi” berarti pemerintahan atau kekuasaan yang ditentukan oleh rakyat. Pada
titik ini jelas bahwa demokrasi bertentangan dengan kekuasaan yang bersifat absolut, seperti
kediktatoran, feodalisme, dan sejenisnya semisal fasisme (militerisme) atau tirani
minoritas/mayoritas. Kunci demokrasi setidaknya terpaut pada 3 (tiga) prinsip besar, yaitu 1)
konstitusional; 2) partisipatoris; dan 3) akuntabilitas. Demokrasi yang berjalan baik akan
menghasilkan keseimbangan pergiliran kepentingan dan pemenuhan kebutuhan diantara
pihak-pihak yang bersaing. Pada tingkat rakyat, demokrasi yang berjalan baik akan
memungkinkan terjadinya distribusi kekayaan atau pemerataan kesejahteraan karena negara
atau pemerintah mesti mengaturnya setidaknya berdasarkan tiga prinsip besar itu. Di sinilah
pemenuhan hak-hak asasi manusia mendapatkan wujud yang nyata dan demokrasi
substansial pun sejalan lurus dengan demokrasi prosedural.
Demokrasi substansial menyangkut pembentukan dan penegakan hukum, norma-norma
atau nilai kebebasan, persamaan, kedaulatan rakyat, kesejahteraan bersama, atau hak-hak
individu dan kolektif yang terangkum dalam hak asasi manusia universal. Demokrasi
prosedural menyangkut hal-hal, seperti proses pemilihan umum, partai politik, parlemen atau
lembaga legislatif/eksekutif, peran lembaga yudikatif, partisipasi rakyat, peran masyarakat
sipil atau pelaku usaha, kelompok oposisi, lembaga pengawas, posisi media massa, dan
semacamnya.
Etika Politik
Demokrasi di sini akan saya maknai lebih luas dan mendalam, yaitu sebagai proses
kultural atau budaya. Lantaran itu, demokrasi seabagai perilaku atau norma budaya tersebut
bisa dibahas dan dipraktikkan di lingkup-lingkup terkecil kehidupan kita, seperti dalam
keluarga, dalam kelas di sekolah, di lingkup RT/RW, dalam organisasi adat, atau dalam
kelompok pergaulan sehari-hari, dan seterusnya. Dengan demikian, demokrasi sebagai proses
politik akan menjadi bagian kecil saja dari proses kultural atau budaya kita dalam hidup
sehari-hari. Sebagai proses budaya, maka praktik demokrasi layak menghasilkan perilaku-
perilaku beradab, bermoral, atau manusiawi, baik diperlihatkan oleh individu-individu
maupun kelompok. Negarawan ialah seorang atau kelompok politisi yang menjadikan
demokrasi sebagai proses budaya, meski diwarnai konflik dan perbedaan yang tajam. Itu
tercermin dari para Bapak Bangsa kita, seperti Soekarno, Hatta, M. Natsir, dan lain-lain. Pada
konteks inilah etika politik sangat berperan mengontrol sikap, pilihan, dan tindakan yang
bersifat individual dan kelompok.
2
3. Apa itu etika? Sebelum masuk ke pembahasan tentang etika politik, kolom di bawah ini
akan menjelaskan perbedaan mendasar antara etika dan moral (etiket):
ETIKA MORAL (ETIKET)
Bukan ajaran moral atau sistem
nilai/norma, tetapi ilmu filsafat (filsafat
moral) yang membahas ajaran moral atau
sistem nilai/norma secara kritis dan
sistematis.
Merupakan refleksi kritis dan rasional
mengenai ajaran moral atau sistem
nilai/norma yang terwujud dalam
sikap/perilaku manusia sehari-hari
(individu maupun kelompok).
Memberikan pertanyaan fundamental
pada ajaran moral atau sistem
nilai/norma yang siap pakai bagi individu
atau kelompok. “Mengapa
saya/kelompok harus memilih langkah
atau cara berdasarkan sistem nilai/norma
itu, dan apa alasan mendasar
saya/kelompok melakukan tindakan itu?”
Menggugah pilihan sadar dan tanggung
jawab seseorang/kelompok atas
tindakan/perilakunya dalam menerapkan
suatu ajaran moral atau nilai/norma
tertentu.
Membongkar kesadaran semu dan
memberikan orientasi/arah ke mana dan
bagaimana seseorang/kelompok harus
melangkah dalam hidupnya.
Merupakan ajaran moral atau sistem
nilai/norma yang berisi anjuran pada
individu/kelompok untuk melakukan
perbuatan baik dan menghindari perbuatan
buruk.
Memiliki sumber atau acuan yang sudah
diterima masyarakat, seperti petuah,
wejangan, peraturan, nasihat, kitab adat,
atau kitab suci.
Merupakan tindakan/perilaku atau
kebiasaan yang diwariskan turun-temurun
ke setiap generasi melalui sistem adat,
agama, tradisi atau budaya, dan hukum.
Memberikan perintah dan petunjuk dalam
bertindak/berperilaku secara langsung dan
praktis sehingga siap pakai bagi setiap
individu atau kelompok dalam menentukan
langkah yang baik dan buruk dalam hidup
sehari-hari. “Inilah cara atau jalan yang
benar yang harus dipilih dan dilakukan!”
Berfungsi memberikan orientasi atau
arahan pada manusia (individu maupun
kelompok) untuk melangkah/bertindak ke
mana dan bagaimana seharusnya dalam
sepanjang hidup.
Merupakan tindakan/perilaku yang berasal
dari suara hati nurani, bukan emosional.
Sumber: A. Sony Keraf, Etika Bisnis, 1991: 20-21; F. Magnis-Suseno, Berfilsafat Dari Konteks,
1992: 10-11; dan Majid Fakhry, Etika Dalam Islam, 1996: xv-xvi. Isi kolom diolah oleh MJA
dari sumber-sumber tersebut.
Berangkat dari kolom pembeda di atas, maka dapat disimpulkan bahwa etika politik
merupakan pandangan filosofis yang merefleksikan secara kritis dan rasional sikap atau
perilaku manusia sehari-hari (individu maupun kelompok) dalam proses demokrasi. Etika
politik akan mengajukan pertanyaan fundamental pada sistem nilai atau norma yang
diterapkan oleh individu atau kelompok dalam berpolitik atau proses demokrasi. Atas dasar
apa dan mengapa sebuah kebaikan atau tindakan bermoral dilakukan seorang/sekelompok
politisi dalam ranah politik dan proses demokrasi? Apakah tindakan moral itu asli dan
dilakukan sebagai pilihan sadar atau palsu/semu dan dilakukan dalam keterpaksaan atau
tekanan lingkungan/kelompok?
Pertanyaan-pertanyaan etis di atas akan mengarah pada pilihan jawaban yang berasal dari
suara hati nurani ataukah tindakan emosional. Dalam hal ini, etika politik berfungsi sebagai
alat pembongkar atau penyingkap selimut-selimut palsu dan semu atas tindakan moral/norma
atau kebaikan yang diterapkan seorang individu atau kelompok dalam berdemokrasi. Namun,
etika politik tidak menjatuhkan vonis atau sanksi atas kepalsuan/kesemuan itu, melainkan
3
4. memberikan arah atau orientasi kepada sistem nilai/norma moral yang sejatinya, yaitu
nilai/norma yang berasal dari suara hati nurani (beradab dan “mengandung kebaikan untuk
bersama dan orang lain”).
Meminjam opini Dr. Haryatmoko yang mengutip Paul Ricoeur (1990) dalam artikel
“Etika Politik, Bukan Hanya Moralitas Politikus” (www.duniaesai.com/filsafat/fil1.html,
diakses Senin, 1 Maret 2010) bahwa tujuan etika politik terarah pada (1) hidup baik bersama
dan untuk orang lain dalam rangka (2) memperluas lingkup kebebasan dan (3) membangun
institusi-institusi yang adil. Tiga tujuan ini saling terkait. Bagi Ricoeur, etika politik bukan
cuma meneropong perilaku individual saja. Akan tetapi, etika politik pun meneropong
tindakan kolektif sebab etika politik ialah etika sosial. Pada etika individual, seseorang dapat
langsung bertindak menerapkan pandangannya di lapangan. Namun, pada etika politik (etika
sosial), penerapan pandangan seseorang dalam tindakan memerlukan kesepakatan dan
persetujuan warganegara sebanyak mungkin sebab sifatnya kolektif. Karena sifat hubungan
antara pandangan hidup seseorang dan tindakan kolektif itu tidak langsung, maka
memerlukan perantara sebagai jembatan penghubung. Simbol agama, sistem nilai atau
norma, lembaga keadilan, nilai kebebasan, prinsip kesetaraan, dan sebagainya dapat berfungsi
sebagai jembatan penghubungnya. Dengan demikian, etika politik berfungsi sebagai alat
analisis dan refleksi kritis/rasional atas korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif,
dan institusi-institusi di masyarakat.
Pancasila Sebagai Etika Politik.
Cukup lama Pancasila mengalami kemerosotan citra akibat salah guna pada masa Orde
Baru. Pancasila dijadikan alat pemukul oleh penguasa dalam bentuk asas tunggal untuk
seluruh organisasi sosial dan politik. Pihak yang tidak setuju dianggap subversi sehingga
harus direpresi dengan kekuatan militer dan birokrasi.
Kini sudah saatnya Pancasila dikembalikan ke tempatnya yang mulia, yaitu sebagai
fundamen etika politik khas Indonesia. Makna sila-sila Pancasila cukup menyuratkan dan
menyiratkan sistem nilai yang relevan bagi praktik politik dan proses demokrasi nasional di
Indonesia. Namun, Pancasila harus dipahami dulu dalam dua konteks yang niscaya. Pertama,
konteks historis, yaitu Pancasila sebagai kontrak politik di antara para tokoh politik nasional
Indonesia yang berbeda suku, bahasa, agama, dan ideologi. Di sini, Pancasila disepakati
menjadi basis sistem nilai atau norma politik negara-bangsa Indonesia yang berisi substansi
visi-misi negara Republik Indonesia masa depan. Kedua, konteks tekstual, yaitu Pancasila
sebagai jiwa konstitusi negara-bangsa Indonesia atau merupakan dasar/sistem nilai bagi
Batang Tubuh dan pasal-pasal dalam UUD 1945, termasuk hasil amandemen. Jadi, sila-sila
Pancasila tidak bisa dipahami secara lepas terpisah dari keseluruhan teks Pembukaan UUD
1945 dan kemudian tidak dapat dilepaskan pula dari teks Batang Tubuh dan pasal-pasalnya.
Pemahaman pada Pancasila berdasarkan dua kerangka itulah yang akan menjadikan
dasar negara tersebut utuh-menyeluruh. Dengan begitu, cukup alasan menjadikan Pancasila
sebagai dasar atau sistem nilai/norma berbangsa dan bernegara, baik dalam praktik politik
(proses demokrasi) maupun praktik ekonomi. Bila Pancasila ditafsirkan terpisah dari teks
Pembukaan UUD 1945 serta Batang Tubuh dan pasal-pasalnya sebagaimana terjadi pada era
Orde Baru yang dipecah menjadi 36 butir nilai, maka akan terjadi kekaburan dalam praktik
karena kehilangan konteks. Pancasila hanya menjadi slogan indah bak puisi saja. Padahal,
tafsir konstitusional Pancasila sudah termaktub dalam Batang Tubuh dan pasal-pasal UUD
1945 sendiri yang selanjutnya harus menjadi rujukan bagi pembentukan undang-undang atau
peraturan pemerintah di bawahnya. Inilah stadtfundamentalnorm masyarakat Indonesia
dalam berbangsa dan bernegara atau norma fundamental yang melandasi etika politik (proses
demokrasi) Indonesia.
4
5. Dengan demikian, Pancasila sebagai etika politik khas Indonesia merupakan alat refleksi
kritis dan rasional atas tindakan-tindakan moral para politisi atau penyelengara negara dan
masyarakat. Etika politik berbasis nilai Pancasila itu dapat memeriksa apakah norma dan
tindakan moralis yang diterapkan setiap insan/kelompok politik dalam proses
politik/demokrasi mengandung kesesatan ataukah sesuai dengan Pancasila yang tertulis
dalam Pembukaan UUD 1945. Pertanyaan-pertanyaan fundamental etika politik Pancasila
pun menyediakan orientasi bagi para pelaku kesesatan itu agar kembali ke jalan yang benar,
yaitu visi-misi bangsa sesuai pesan Pembukaan UUD 1945 serta Batang Tubuh dan pasal-
pasalnya.**
Catatan:
Paper disampaikan pada peserta SEKOLAH DEMOKRASI OGAN ILIR oleh Yayasan
PUSPA Indonesia dan KID di Inderalaya, Kab. Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Sabtu, 20 Maret
2010.
Daftar Pustaka.
Anhar Gonggong, 2005. “Soekarno dan Demokrasi Indonesia: Sebuah Pencarian (Presiden RI 1945-
1965)” dalam Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5 No. 1/2005, Jakarta: The Habibie Center.
Budi Setiawan, Pdt., “Sejarah Demokrasi,” dalam http://cwsgading.com/2009/08/31/sejarah-
demokrasi/ tanggal 31 Agustus 2009, diakses Senin, 1 Maret 2010.
Fatih Syuhud, A., “Islam dan Demokrasi” dalam Harian PELITA, 9 Nopember 2005.
Hikam, Muhammad AS., “Perkembangan Pemikiran dan Praktik Demokrasi dari Era Klasik Sampai
Kontemporer,” paper untuk Sekolah Demokrasi, Pertemuan II, diselenggarakan oleh
Yayasan Averroes di Malang, 15 Maret 2008.
Haryatmoko, “Etika Politik, Bukan Hanya Moralitas Politikus” dalam
http://tumasouw.tripod.com/artikel/etika_politik_bukan_hanya_moralitas.htm atau
http://www.duniaesai.com/filsafat/fil1.html, diakses Senin, 1 Maret 2010.
Junarto Imam Prakoso, “Memahami Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Bung Hatta (Wakil Presiden RI
1945-1956, Perdana Menteri RIS 1948-1950)” dalam Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5
No. 1/2005, Jakarta: The Habibie Center.
Magnis-Suseno, F., 1992. Berfilsafat Dari Konteks, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Majid Fakhry, 1996. Etika Dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Pusat Studi Islam
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Meyer, Thomas, 2002. Cara Mudah Memahami Demokrasi, Jakarta: Freidrich Ebert-Stiftung (FES)
Kantor Perwakilan Indonesia.
Omar Farooq, Mohammad, “Islam and Democracy: Perceptions and Misperceptions,” dalam Message
International (Mei 2002) atau dalam serial The Independent Bangladesh (16 Juni 2002).
Sony Keraf, A., 1991. Etika Bisnis, Membangun Citra Bisnis Sebagai Profesi Luhur, Yogyakarta:
Kanisius.
Sastrapratedja, M., “Pancasila Sebagai Dasar Negara, Asas Etika Politik dan Acuan Kritik Ideologi”
dalam http://www.psp.ugm.ac.id, diakses Senin, 1 Maret 2010.
Teguh Apriliyanto, “Mohammad Natsir: Islam, Kebangsaan, dan Demokrasi (Perdana Menteri NKRI,
6 September 1950-27 April 1951)” dalam Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5 No. 1/2005,
Jakarta: The Habibie Center.
_________ dan Tata Mustasya, “Sjahrir dan Sosialisme Indonesia (Perdana Menteri, 14 Nopember
1945-26 Juni 1947)” dalam Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5 No. 1/2005, Jakarta: The
Habibie Center.
5
6. Lampiran:
SEGITIGA GOOD GOVERNANCE
(TATA KEPEMERINTAHAN YANG BAIK)
NEGARA
Masyarakat SipilPengusaha/
Pemilik Modal
Sumber
hukum:
Pancasila &
UUD 1945
Tata Kepemerintahan yg Baik: -
Distribusi kekuasaan/kekayaan,
Partisipasi rakyat, Pengawasan
kebijakan, Konstitusional,
Akuntabilitas, Penegakan
hukum, kesetaraan, dst.
Negara: Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif;
TNI, Polri, Komisi-komisi Negara.
Pengusaha/Pemilik Modal: Konglomerat (Individu/Pelaku Usaha), BUMN, BUMD, Usaha Kecil
(Rakyat), Perusahaan Swasta Nasional, Koperasi.
Masyarakat Sipil: Media Massa, Organisasi Kemasyarakatan, LSM, Organisasi Mahasiswa,
Lembaga/Institusi/Paguyuban Rakyat, dsb.
SISTEM POLITIK DAN EKONOMI
Sistem Politik:
- Demokrasi (Liberal, Perwakilan, Sosialis, Pancasila);
- Monarkhi/Feodalisme;
- Fasisme;
- Teokrasi;
- Komunisme.
Sistem Ekonomi:
- Kapitalisme/Liberalisme;
- Neokapitalisme (Neoliberalisme);
- Sosialisme;
- Kesejahteraan;
- Komunisme.
6
7. PRINSIP/NILAI DALAM DEMOKRASI
Dalam praktek/proses berdemokrasi setidaknya ada tiga nilai atau prinsip yang diperlukan:
1. Kompromi. Dalam pemerintahan presidensil yang terbentuk melalui koalisi-multipartai
seperti Indonesia saat ini, kompromi politik tdk bisa dihindari.
2. Toleransi. Nilai toleransi ini berguna untuk mendasari perilaku politik setiap orang agar
terbiasa menerima perbedaan pendapat/ pandangan atau kepentingan orang lain.
3. Respek (Sikap hormat). Sikap hormat ini diperlukan dalam praktek/proses demokrasi agar
setiap perbedaan sikap/pendapat atau pertentangan pilihan mendapat perlakuan yang
manusiawi (adil dan beradab).
7