Integrasi nasional dalam bingkai bhinneka tunggal ika
Artikel guru
1. ARTIKEL GURU
Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Siswa
Pada bagian pembahasan ini, penulis mencoba menguraikan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi prestasi belajar siswa. Faktor-faktor yang penulis maksudkan adalah sebagai
berikut :
a. Faktor Intern
Faktor intern yaitu faktor yang datang dalam individu itu sendiri. Faktor intern ini terdiri dari
:
1) Faktor Jasmaniah
Faktor jasmaniah merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar
dimana faktor tersebut berhubungan dengan jasmaniah atau kondisi badan siswa. Sehingga
apabila kondisi badan siswa tergantung akan mempengaruhi hasil belajarnya. Olehnya itu,
jasmani harus dijaga agar selalu dalamkondisi yang prima.
2) Faktor Psikologis
Faktor eksteren adalah merupakan salah satu faktor intern yang dapat mempengaruhi
prestasi belajar siswa, Faktor psikologis ini berkenaan dengan kondisi kejiwaan siswa.
b. Faktor Ekstern
Faktor ekstern adalah faktor yang berasal dari luar individu yang dapat mempengaruhi
prestasi belajar.
Slameto (1987), mengemukakan bahwa ada tiga bagian faktor ekstern, yang dapat
mempengaruhi prestasi belajar yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
Prestasi belajar yang dicapai oleh seseorang siswa merupakan hasil interaksi berbagai faktor
yang berasal dari dalam diri siswa maupun faktor yang berasal dari luar siswa. Salah satu
faktor dari dalam diri siswa adalah minat belajar. Minat dapat mendorong seseorang siswa
untuk dapat belajar dengan baik. Siswa yang mempunyai minat belajar yang tinggi akan
menghasilkan prestasi belajar yang tinggi pula. Dimana siswa memperlihatkan adanya rasa
senang dan melalui mau belajar tanpa ada pengaruh dari siapapun. Karena mereka
melakukan semua itu didasari atas niat yang suci dan ikhlas. Dari keterangan di atas dapat
disimpulkan bahwa seseorang yang berminat dalam belajar dapat dilihat dalam kegiatan
belajarnya, adanya rasa senang, dapat dilihat dari frekwensi belajarnya. Hubungan minat
dengan prestasi belajar dapat digambarkan sebagai berikut: Siswa yang berminat dalam
pelajaran akan merasa senang dan penuh perhatian dalambelajar, ia akan dengan suka rela
aktif dalam mengikuti proses pembelajaran. Siswa yang demikian sudah barang tentu akan
menguasai materi pelajaran dengan baik sehingga prestasi belajarnya pun akan meningkat
pula.
2. Referensi - Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Siswa Slameto, 1987, Belajar dan
Fajktor-faktor yang mempengaruhinya, Jakarta: Bina Aksara.
Diposkan oleh Iday di 06.03 2 komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Label: artikel
Jumat, 04 Januari 2013
Mengatasi Anak Yang Malas Belajar
Beberapa hari lalu saya sempat berdiskusi dengan teman sekos saya, mulanya beliau
bercerita tentang adik laki-lakinya yang malas untuk belajar padahal sebentar lagi dia akan
menghadapi ujian akhir kelulusan SD. Sebuat saja namanya "Ardi", Ardi ini termasuk anak
yang belum bisa belajar dengan baik atau masih malas-malasan, kalaupun dia belajar itu
hanya untuk menghindari omelan kakak dan ibunyan yang selalu menyuruhnya untuk
belajar, dan bisa ditebak selama dia di ruang belajar yang dilakukan pun hanya pura-pura
belajar atau belajar asal-asalan, sekolah pun hanya sekedar sebagai rutinitas seharian yang
hanya berlalu begitu saja, sekedar menuruti perintah orang tua.
Apa yang terjadi pada Ardi sebenarnya juga banyak dialami anak-anak usia sekolah di
masyarakat kita. Tak terhitung lagi berapa banyak orang tua yang mengeluh dan kecewa
dengan nilai anaknya yang jeblok (jelek) karena anaknya malas belajar, dan sebaliknya tidak
jarang juga kita menemukan anak yang ngambek atau menagis gara-gara selalu disuruh
belajar. Ada orang tau yang memarahi anaknya, mengancam si anak untuk tidak akan
membelikan ini dan itu kalau si anak tidak belajar, membanding-bandingkan anaknya
dengan anak lain, atau bahkan ada orang tua yang mengunakan cara kekerasan (menjewer,
menyentil, mencubit, atau memukul) . Jelas semua ini akan sangat berpengaruh pada fisik
maupun psikis siswa.
Lalu sebenarnya bagaimana cara untuk mengatasi anak yang malas belajar? Masih perlu kita
dengarkan keluhan-keluahn orang tua tentang anaknya yang malas belajar? Haruskah anak
itu ngambek atau menagis gara-gara dimarahin orang tuanya dan disuruh-suruh untuk
belajar?
Untuk mengatasi permasalahan tersebut ada baiknya kalau terlebih dahulu kita mencari
penyebab dari prikalu malas belajar, kemudian baru mencari solusi guna
mengatasinya. Betul Bu / Pak ....? : D
Malas belajar pada anak secara psikologis merupakan wujud dari melemahnya kondisi
3. mental, intelektual, fisik, dan psikis anak. Malas belajar timbul dari beberapa faktor, untuk
lebih mudahnya terbagi menjadi dua faktor besar, yaitu: 1) faktor intrinsik (dari dalam diri
anak), dan 2) Faktor ekstrinsik (faktor dari luar anak).
1. Dari DalamDiri Anak (Intrinsik)
Rasa malas untuk belajar yang timbul dari dalam diri anak dapat disebabkan karena kurang
atau tidak adanya motivasi diri. Motivasi ini kemungkinan belum tumbuh dikarenakan anak
belum mengetahui manfaat dari belajar atau belum ada sesuatu yang ingin
dicapainya. Selain itu kelelahan dalam beraktivitas dapat berakibat menurunnya kekuatan
fisik dan melemahnya kondisi psikis. Misalnya, terlalu lama bermain, terlalu banyak
mengikuti les ini dan les itu, terlalu banyak mengikuti Ekstrakulikuler ini dan itu, atau
membantu pekerjaan orangtua di rumah, merupakan faktor penyebab menurunnya
kekuatan fisik pada anak. Contoh lainnya, terlalu lama menangis, marah-marah (ngambek)
juga akan berpengaruh pada kondisi psikologis anak.
2. Dari Luar Anak (Ekstrinsik)
Faktor dari luar anak yang tidak kalah besar pengaruhnya terhadap kondisi anak untuk
menjadi malas belajar. Hal ini terjadi karena:
a. Sikap Orang Tua
Sikap orang tua yang tidak memberikan perhatian dalam belajar atau sebaliknya terlalu
berlebihan perhatiannya, bisa menyebabkan anak malas belajar. Tidak cukup di situ, banyak
orang tua di masyarakat kita yang menuntut anak untuk belajar hanya demi angka (nilai)
dan bukan mengajarkan kepada anak akan kesadaran dan tanggung jawab anak untuk
belajar selaku pelajar. Akibat dari tuntutan tersebut tidak sedikit anak yang stress dan sering
marah-marah (ngambek) sehingga nilai yang berhasil ia peroleh kurang
memuaskan. Parahnya lagi, tidak jarang orang tua yang marah-marah dan mencela anaknya
bilamana anak mendapat nilai yang kuang memuaskan. Menurut para psikolog, sebenarnya
anak usia Sekolah Dasar janga terlalu diorentasikan pada nilai (hasil belajar), tetapi
bagaimana membiasakan diri untuk belajar, berlatih tanggung jawab, dan berlatih dalam
suatu aturan.
b. Sikap Guru
Guru selaku tokoh teladan atau figur yang sering berinteraksi dengan anak dan dibanggakan
oleh mereka, tapi tidak jarang sikap guru di sekolah juga menjadi objek keluhan
siswanya. Ada banyak macam penyebabnya, mulai dari ketidaksiapan guru dalam mengajar,
tidak menguasai bidang pelajaran yang akan diajarkan, atau karena terlalu banyak
memberikan tugas-tugas dan pekerjaan rumah. Selain itu, sikap sering terlambat masuk
kelas di saat mengajar, bercanda dengan siswa-siswa tertentu saja atau membawa masalah
rumah tangga ke sekolah, membuat suasana belajar semakin tidak nyaman, tegang dan
menakutkan bagi siswa tertentu.
4. c. Sikap Teman
Ketikan seorang anak berinteraksi dengan teman-temannya di sekolah, tentunya secara
langsung anak bisa memperhatikan satu sama lainnya, sikap, perlengkapan sekolah, pakaian
dan asesoris-asesoris lainnya. Tapi sayangnya tidak semua teman di sekolah memiliki sikap
atau perilaku yang baik dengan teman-teman lainnya. Seorang teman yang berlebihan
dalam perlengkapan busana sekolah atau perlengkapan belajar, seperti sepatu yang
bermerk yang tidak terjangkau oleh teman-teman lainnya, termasuk tas sekolah dan alat
tulis atau sepeda dan mainan lainnya, secara tidak langsung dapat membuat iri teman-
teman yang kurang mampu. Pada akhirnya ada anak yang menuntut kepada orang tuanya
untuk minta dibelikan perlengkapan sekolah yang serupa dengan temannya. Bilamana tidak
dituruti maka dengan cara malas belajarlah sebagai upaya untuk dikabulkan
permohonannya.
d. Suasana Belajar di Rumah
Bukan suatu jaminan rumah mewah dan megah membuat anak menjadi rajin belajar, tidak
pula rumah yang sangat sederhana menjadi faktor mutlak anak malas belajar. Rumah yang
tidak dapat menciptakan suasana belajar yang baik adalah rumah yang selalu penuh dengan
kegaduhan, kondisi rumah yang berantakan ataupun kondisi udara yang pengap. Selain itu
tersedianya fasilitas-fasilitas permainan yang berlebihan di rumah juga dapat mengganggu
minat belajar anak. Mulai dari radio tape yang menggunakan kaset, CD, VCD, atau komputer
yang diprogram untuk sebuah permainan (games), seperti Game Boy, Game Watch maupun
Play Stations. Kondisi seperti ini berpotensi besar untuk tidak terciptanya suasana belajar
yang baik.
e. Sarana Belajar
Sarana belajar merupakan media mutlak yang dapat mendukung minat belajar, kekurangan
ataupun ketiadaan sarana untuk belajar secara langsung telah menciptakan kondisi anak
untuk malas belajar.Kendala belajar biasanya muncul karena tidak tersedianya ruang belajar
khusus, meja belajar, buku-buku penunjang (pustaka mini), dan penerangan yang
bagus. Selain itu, tidak tersediannya buku-buku pelajaran, buku tulis, dan alat-alat tulis
lainnya, merupakan bagian lain yang cenderung menjadi hambatan otomatis anak akan
kehilangan minat belajar yang optimal.
Enam langkan untuk mengatasi malas belajar pada anak dan membantu orang tua dalam
membimbing dan mendampingi anak yang bermasalah dalam belajar antara lain:
1. Mencari Informasi
Orangtua sebaiknya bertanya langsung kepada anak guna memperoleh informasi yang tepat
mengenai dirinya. Carilah situasi dan kondisi yang tepat untuk dapat berkomunikasi secara
terbuka dengannya.Setelah itu ajaklah anak untuk mengungkapkan penyebab ia malas
5. belajar. Pergunakan setiap suasana yang santai seperti saat membantu ibu di dapur,
berjalan-jalan atau sambil bermain, tidak harus formal yang membuat anak tidak bisa
membuka permasalahan dirinya.
2. Membuat Kesepakatan bersama antara orang tua dan anak.
Kesepakatan dibuat untuk menciptakan kondisi dan tanggung jawab serta memotivasi anak
dalam belajar bukan memaksakan kehendak orang tua. Kesepakatan dibuat mulai dari
bangun tidur hingga waktu hendak tidur, baik dalamhal rutinitas jam belajar, lama waktu
belajar, jam belajar bilamana ada PR atau tidak, jam belajar di waktu libur sekolah,
bagaimana bila hasil belajar baik atau buruk, hadiah atau sanksi apa yang harus diterima dan
sebagainya. Kalaupun ada sanksi yang harus dibuat atau disepakati, biarlah anak yang
menentukannya sebagai bukti tanggungjawabnya terhadap sesuatu yang akan disepakati
bersama .
3. Menciptakan Disiplin.
Bukanlah suatu hal yang mudah untuk menciptakan kedisiplinan kepada anak jika tidak
dimulai dari orang tua. Orang tua yang sudah terbiasa menampilkan kedisiplinan dalam
kehidupan sehari-hari akan dengan mudah diikuti oleh anaknya. Orang tua dapat
menciptakan disiplin dalam belajar yang dilaksanakan secara konsisten dan
berkesinambungan. Latihan kedisiplinan bisa dimulai dari menyiapkan peralatan belajar,
buku-buku pelajaran, mengingatkan tugas-tugas sekolah, menanyakan bahan pelajaran yang
telah dipelajari, ataupun menanyakan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam suatu
pelajaran tertentu, terlepas dari ada atau tidaknya tugas sekolah.
4. Menegakkan Kedisiplinan.
Menegakkan kedisiplinan harus dilakukan bilamana anak mulai meninggalkan kesepakatan-
kesepakatan yang telah disepakati. Bilamana anak melakukan pelanggaran sedapat mungkin
hindari sanksi yang bersifat fisik (menjewer, menyentil, mencubit, atau memukul). Untuk
mengalihkannya gunakanlah konsekuensi-konsekuensi logis yang dapat diterima oleh akal
pikiran anak. Bila dapat melakukan aktivitas bersama di dalam satu ruang saat anak belajar,
orang tua dapat sambil membaca koran, majalah, atau aktivitas lain yang tidak mengganggu
anak dalamruang tersebut. Dengan demikian menegakkan disiplin pada anak tidak selalu
dengan suruhan atau bentakan sementara orang tua melaksanakan aktifitas lain seperti
menonton televisi atau sibuk di dapur.
5. Ketegasan Sikap
Ketegasan sikap dilakukan dengan cara orang tua tidak lagi memberikan toleransi kepada
anak atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukannya secara berulang-ulang. Ketegasan
sikap ini berlaku saat anak mulai benar-benar menolak dan membantah dengan alasan yang
dibuat-buat. Bahkan dengan sengaja anak berlaku 'tidak jujur' melakukan aktivitas-aktivitas
lain secara sengaja sampai melewati jam belajar. Ketegasan sikap yang diperlukan adalah
dengan memberikan sanksi yang telah disepakati dan siap menerima konsekuensi atas
pelanggaran yang dilakukannya.
6. Menciptakan Suasana Belajar
6. Menciptakan suasana belajar yang baik dan nyaman merupakan tanggung jawab
orangtua. Setidaknya orang tua memenuhi kebutuhan sarana belajar, memberikan
perhatian dengan cara mengarahkan dan mendampingi anak saat belajar. Sebagai selingan
orangtua dapat pula memberikan permainan-permainan yang mendidik agar suasana
belajar tidak tegang dan tetap menarik perhatian. Ternyata malas belajar yang dialami oleh
anak banyak disebabkan oleh berbagai faktor. Oleh karena itu sebelum anak terlanjur
mendapat nilai yang tidak memuaskan dan membuat malu orangtua, hendaknya orang tua
segera menyelidiki dan memperhatikan minat belajar anak. Selain itu, menumbuhkan
inisiatif belajar mandiri pada anak, menanamkan kesadaran serta tanggung jawab selaku
pelajar pada anak merupakan hal lain yang bermanfaat jangka panjang. style="display:
inline; line-height: 1.75em; margin: 0px; padding: 0px;">Jika enam langkah ini dapat
diterapkan pada anak, maka sudah seharusnya tidak adalagi keluhan dari orang tua tentang
anaknya yang malas belajar atau anak yang ngambek karena selalu dimarahi orang tuanya.
Diposkan oleh Iday di 21.50 1 komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Label: artikel
Jangan Takut Menjadi Guru
Undang-Undang Guru dan Dosenmengajak kita percaya bahwa program kualifikasi,sertifikasi, dan
pemberian beberapa tunjangan untuk guru akanmeningkatkan kualitas guru dan secaraotomatis
mendongkrak mutu pendidikan. Tentu kita tidak percaya sepenuhnya. Mengapa? Karena adasatuhal
yang sering kaliterluput dari diskursus tentang rendahnya kualitas guru diIndonesia, yaitu soal
birokratisasi profesi guru.
Birokratisasi juga menciptakan hubungan kerja "atasan-bawahan", yang lambat laun
menghilangkan kesejatian profesi guru yang seharusnya merdeka untuk menentukan
berbagai aktivitas profesinya tanpa harus terbelenggu oleh juklak dan juknis (petunjuk
pelaksana dan petunjuk teknis) yang selama ini menjadi bagian dari budaya para birokrat.
Guru menjadi tidak kreatif, kaku, hanya berfungsi sebagai operator atau tukang dan takut
melakukan berbagai pembaruan.
Rasa takut itu pada akhirnya semakin memperkokoh kekuasaan birokrasi dengan
menjadikan guru sebagai bagian dari pegawai-pegawai bawahan yang harus tunduk patuh
pada perintah "atasan". Guru yang berani mengkritik, apalagi memprotes tindakan "atasan"
yang tidak benar, dengan mudah diperlakukan sewenang-wenang seperti diintimidasi,
dimutasi, diturunkan pangkatnya atau bahkan dipecat dari pekerjaannya. Kasus mutasi
Waldonah di Temanggung, kasus mutasi 10 guru di Kota Tangerang, kasus pemecatan
7. Nurlela dan mutasi Isneti di Jakarta, serta beberapa kasus penindasan terhadap guru di
berbagai daerah menunjukkan begitu kuatnya proses birokratisasi profesi guru sampai saat
ini.
Proses yang sama terjadi pula sampai ke dalam kelas. Dalamproses pembelajaran, guru
lebih menempatkan diri sebagai agen- agen kekuasaan. Ia memerankan dirinya sebagai
pentransfer nilai-nilai ideologi kekuasaan yang tidak mencerahkan kepada anak-anak
didiknya daripada membangun suasana pembelajaran yang demokratis dan terbuka. Anak
didik dijadikan "bawahan-bawahan" baru yang harus tunduk dan patuh kepada guru sesuai
juklak dan juknis atau atas nama kurikulum.
Kondisi ini semakin diperparah ketika proses birokratisasi ikut memasuki jejaring organisasi
guru. Sebagian pengurusnya dikuasai oleh kalangan birokrasi. Akibatnya, organisasi yang
diharapkan mampu membangun komunitas guru yang intelektual-transformatif dan
melindungi gerakan pembaruan intelektual guru, justru jadi bagian dari rezim birokrasi yang
"mengebiri" kemerdekaan profesi guru.
Penunggalan organisasi guru menjadi bagian dari agenda penguatan kekuasaan birokrasi
yang tak terlepas dari kepentingan politik kekuasaan yang lebih besar lagi. Bisa dibayangkan,
guru menjadi tidak cerdas dan tumpul pemikirannya justru oleh ulah organisasinya sendiri.
Sungguh ironis!
Debirokratisasi
Program kualifikasi, sertifikasi, dan pemberian tunjangan kesejahteraan kepada guru jelas
bukan jawaban satu-satunya untuk membangun kualitas guru. Tanpa disertai gerakan
debirokratisasi profesi guru, sulit rasanya kesejatian kualitas guru akan terbangun.
Oleh karena itu, profesionalisme guru harus dibangun bersamaan dengan dorongan untuk
membangun keberanian guru melibatkan diri dalam setiap pengambilan kebijakan
pendidikan, bebas menyampaikan berbagai pandangan profesinya, mengkritik, bebas
berekspresi dan bebas berserikat sebagai wujud kemandirian profesinya. Bagaimana semua
itu dapat diwujudkan?
Beberapa pasal dalamUU Guru dan Dosen ternyata menjadikan debirokratisasi profesi guru
sebagai bagian penting dari upaya peningkatan kualitas guru. Pasal 14 Ayat 1 Butir (i)
menyebutkan: Dalammenjalankan tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh
kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan.
Klausul ini mempertegas hak guru untuk terlibat dalamsetiap pengambilan kebijakan
pendidikan, mulai dari tingkat sekolah sampai penentuan kebijakan pendidikan di tingkat
8. provinsi maupun pemerintahan pusat. Guru tidak boleh lagi ditempatkan sebagai bawahan
yang hanya menerima berbagai kebijakan birokrasi, tetapi harus duduk bersama untuk
merumuskan kebijakan yang partisipatif.
Pada pasal yang sama Butir (h) disebutkan: Guru berhak memiliki kebebasan untuk
berserikat dalam organisasi profesi guru. Pasal ini diperkuat oleh Pasal 41 Ayat 1 yang
menyebutkan bahwa: Guru dapat membentuk organisasi profesi yang bersifat independen,
juga Pasal 1 Butir (13) yang menyebutkan: Organisasi profesi guru adalah perkumpulan
berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan
profesionalitas guru.
Ketiga pasal ini mempertegas kemandirian guru untuk bebas berorganisasi dan melepaskan
diri dari kepentingan kekuasaan birokrasi. Pasal 1 Butir (13) mempertegas bahwa siapa pun
yang bukan guru tidak dibenarkan mendirikan dan mengurus organisasi guru, seperti yang
selama ini banyak dilakukan oleh birokrasi atau bahkan para petualang politik.
UU Guru dan Dosen juga memberikan perlindungan hukum kepada guru dari tindakan
sewenang-wenang birokrasi, baik dalam bentuk ancaman maupun intimidasi atas
kebebasan guru untuk menyampaikan pandangan profesinya, kebebasan
berserikat/berorganisasi, keterlibatan dalam penentuan kebijakan pendidikan dan
pembelaan hak-hak guru.
Pasal 39 Ayat 3 menegaskan bahwa guru mendapat perlindungan hukum dari tindak
kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak
birokrasi atau pihak lain. Ayat 4 pada pasal yang sama secara tegas memberi perlindungan
profesi kepada guru terhadap pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan
terhadap profesi dan terhadap pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru
dalam melaksanakan tugas.
UU Guru dan Dosen cukup mendorong proses debirokratisasi profesi guru. Ruang
kebebasan guru tanpa harus dibayangi ketakutan pada kekuasaan birokrasi kini mulai
terbuka lebar. Birokrasi kekuasaan harus menerima perubahan paradigma yang ditawarkan
undang-undang ini. Guru harus berani menempati ruang tersebut. Karena itu, jangan pernah
takut lagi untuk menjadi guru yang kreatif!