SlideShare a Scribd company logo
1 of 33
1.1     Pengertian Cyberporn

         TEKNOLOGI komunikasi telah mengakibatkan perubahan besar dalam kehidupan
manusia. Sejak perkembangan komputer dan dikomersialkannya internet pada medio 1990-
an, telah terjadi ledakan besar dalam penggunaan istilah cyberspace. Cyberpunk, cybersex,
cyberporn, cybermedia, dan cyberlove, adalah beberapa di antara sekian banyak istilah yang
dilekatkan pada kata cyber. Penggabungan dua konsep tersebut tentunya telah meleburkan
makna awal dari masing-masing kata dan melahirkan pemaknaan baru setelahnya.
Peralihan teknologi manual ke teknologi kabel sudah bukan zamannya lagi. Persoalan
nirkabel yang kini tengah menguak di dalam kehidupan manusia postmodern, telah menjadi
menu sehari-hari. Di tiap penjuru dunia, kini, transfer informasi dan komunikasi berlangsung
dari detik-demetik. Perubahan esensi fisik tidak lagi mengagetkan umat manusia. Yang
menjadi persoalan kemudian adalah substansi dari wujud fisik tersebut. Bagaimana substansi
tersebut berpindah dan bermutasi dari pikiran satu ke pikiran yang lainnya (mind to mind).
Masing-masing makna memiliki penafsiran tersendiri yang dikontekskan dengan keadaan,
kondisi, dan penggunaannya. Cyberlove, misalnya, frase ini merujuk pada proses atau kondisi
di mana kasih sayang dan perasaan telah bermustasi menjadi piranti di dunia maya. Segenap
perasaan yang melukiskan emosi seseorang terhadap lawan jenis, atau bahkan sesama jenis,
saling bertransfer melalui jejaring virtual. Dan sesaat setelah itu, kontak fisik (baru
dimungkinkan) terjadi ketika persetujuan di antara keduanya saling mengiyakan.

         Yasraf Amir Piliang menulis:
Migrasi kemanusiaan ini telah menimbulkan perubahan besar dalam cara setiap orang
menjalani dan memaknai “kehidupan”. Berbagai cara hidup dan bentuk kehidupan yang
sebelumnya dilakukan berdasarkan relasi-relasi alamiah, kini dilakukan dengan cara yang
baru, yaitu cara artifisial.

         Menurutnya, kini, cyberspace telah menciptakan sebuah kehidupan yang dimediasi
secara mendasar oleh teknologi, sehingga barbagai fungsi alam kini diambil alih oleh
substitusi teknologisnya, yang disebut dengan kehidupan artifisial (artificial life). Termasuk
cara manusia untuk memperlihatkan perasaan dan emosi, kasih sayang, dan cinta.
CYBERMEDIA mengandaikan proses komunikasi yang terjadi antara manusia
dengan medium mesin. Dalam hal ini internetlah yang menjadi pemain kunci dalam proses
tersebut. Sementara komputer, berperan sebagai perangkat kerasnya. Di sini, pelbagai
fenomena komunikasi kerap berlangsung, mulai dari yang sederhana-komunikasi
interpersonal-, sampai pada persoalan yang lebih kompleks-komunikasi kelompok (virtual
community). Persoalan komunikasi interpersonal via internet merupakan persoalan yang
sangat kompleks. Banyak hal yang bisa dideretkan. Pelbagai faktor dan keunikan pun bisa
didedah. Semisal hubungan virtual terkait persoalan bisnis, politik, budaya, bahkan mencari
pasangan.

        Teknologi internet memungkinkan kita untuk berbuat apa saja. Hal-hal yang positif
dapat digali di sana. Pun demikian jika kita berniat melakukan hal-hal yang negatif.
Keduanya, seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Saling bersinggungan satu
sama lain. Dan mencari jodoh, menurut saya, adalah termasuk hal yang pertama. Karena
mencari jodoh adalah sesuatu yang sakral dan mengakar di dalam budaya kita.
Di Indonesia, ajang pencarian jodoh tersebut sebagian besar menggunakan fasilitas Yahoo
Messenger atau MIRC. Keduanya memberikan kenyamanan untuk berkomunikasi secara
interaktif kepada lawan bicara melalui teks. Bahkan lebih lanjut, memungkinkan
penggunanya untuk mengetahui lawan bicaranya secara holistik. Baik audio maupun visual.
Kita dapat mendengar suara dan melihat wajah mereka melalui layar monitor.
Namun, persoalannya bukan di situ. Mengandaikan internet sebagai ajang mencari jodoh
seperti mengandaikan kita mencari pekerjaan di koran-koran. Pelbagai perjuangan ’unik’
dilakukan. Persoalan-persoalan seperti ketegangan dan pengalaman unik kerap dirasakan.
Tapi, dalam konteks ini, akankah internet mereduksi esensi dari pencarian jodoh itu? Dengan
kata lain, apakah mencari jodoh via internet mereduksi makna sakral yang bernama cinta?
Entahlah!

        Di sini, menurut pengakuan Enzt (dalam Roman Cyber; Yayan Sopian, 2003: 49),
melakukan hubungan interpersonal di dunia cyber memberikan perbedaan yang luar biasa.
Baginya, berhubungan di dunia cyber sangat berbeda jika disandingkan dengan berhubungan
di dunia nyata. Kualitas hubungan yang dilakukan di dunia maya tersebut terkesan lebih
eksotik dan menyenangkan.

        Jadi dalam ihwal ini, ada perbedaan yang sulit dijelaskan tentang persoalan
menggunakan internet sebagai ajang mencari jodoh. Ada penjelasan relatif bagi bermacam-
macam individu yang menikmatinya. Kesenangan yang didapat oleh individu tertentu belum
tentu inheren bagi individu lainnya. Pengalaman fantastis yang dirasakan ketika
berkomunikasi tanpa melihat langsung wujud fisik merupakan pengalaman unik tersendiri
bagi penikmatnya.

         Kita tidak bisa menjustifikasi bahwa mereka yang menggunakan internet sebagai
medium mencari jodoh adalah pecundang. Bukan berarti mereka tidak memiliki keberanian
untuk membincang persoalan cinta kepada orang lain secara langsung. Pun tidak dapat
disebut sebagai introvert. Bahkan, lebih jauh, mereka justru menggunakan internet untuk hal-
hal di luar stigma-stigma itu. Mungkin mereka memiliki kriteria-kriteria pasangan yang justru
akan terpenuhi lebih mudah jika menggunakan internet. Semisal perbedaan suku, bahasa, dan
bangsa, mengingat jumlah pengakses internet luar biasa banyaknya. Atau mungkin mereka
terlalu sibuk sehingga tidak dapat meluangkan waktu untuk sekadar bergaul dengan orang
lain. Maka tentunya, internet adalah pilihan alternatif.

         Mencari jodoh via internet bukanlah sesuatu yang diharamkan. Menggali inovasi
dan alternatif dalam menentukan masa depan di dunia maya tampaknya menjadi fenomena
anyar. Mengakhiri sub ini , saya ingin mengkhatamkan tulisan ini dengan kalimat: ”Selamat
Mencari Jodoh Anda!” [ ]

         - CYBERPORN: Ketika Ruang Maya Menjadi Privasi?-

         My reaction to porn films is as follows: After the first ten minutes,
I want to go home and screw. After the first 20 minutes,
I never want to screw again as long as I live.
~Erica Jong, Playboy Magazine, September 1975

         WACANA cyberporn (lagi-lagi) tidak terlepas dari area basah, berbau, dan
berlendir. Namun sayang, deskripsi ini cuma di awang-awang, cuma otak kita-lah yang
mengonstruksinya melalui udara di kepala. Di depan mata, hati, juga telinga. Dan melekat
dingin di sumsum tulang belakang.

         Cyberporn mengandaikan transaksi seksual yang terjadi di jejaring virtual. Dari
karakter-karakter yang ter-input melalui tuts komputer, bikin janji, tatap muka, hingga
persetubuhan itu (jika ada). Tapi lebih luas, cyberporn tidak hanya itu, ia sekadar medium
yang ingin membantu proses penetrasi maya di alam bawah sadar usernya. Bagi mereka yang
kerap kehausan libido, atau hanya ingin menambah referensi seksual, cyberporn adalah salah
satu alternatif.

         Nah, bagaimana dengan fenomena cyberporn serta impaknya di tengah masyarakat
khususnya mahasiswa? Merujuk dari data yang ditulis Wikipedia.com tentang jumlah user
yang meminta situs porno sekira 68 juta, mengindikasikan bahwa (sebetulnya) fenomena
cyberporn sudah sedemikian mewabah. Tak dapat dimungkiri bahwa industri pornografi
virtual ini menjadi salah satu industri terbesar yang menjaring pundi-pundi uang. Selain itu,
jua tak dapat dimungkiri syahwat yang meledak harus segera dimanjakan. Inilah yang
kemudian dimanfaatkan oleh industri itu.

         Akses terhadap situs-situs porno telah memberikan impak negatif yang sangat
prinsipil. Terhadap mahasiswa misalnya. Di Yogyakarta misalnya, seperti yang ditulis dalam
Jurnal Balairung edisi 38, bahwa mahasiswa adalah user terbesar. Data ini sangat berpotensi
untuk mereduksi tataran sosial yang sudah berlaku. Ritus kebiasaan berubah sedemikian
cepatnya. Orang tidak lagi peduli dengan norma-norma yang telah berlaku. Pelbagai tindak
kejahatan dapat dilakukan dalam private sphere tanpa ada yang tahu dan menghakimi.
Sebagai contoh, di dunia nyata, tentu saja, tindakan kita sangat dipengaruhi dan dibatasi oleh
hak dan kewajiban kita, baik sebagai makhluk individu maupun sosial. Tindakan-tindakan
yang kita lakukan memiliki konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan kepada
lingkungan sekitar. Namun, ketika berada di dunia maya, kita berhak dan bebas melakukan
apa saja, termasuk tindakan asusila (disini kita menyepakati bahwa mengakses situs porno
termasuk tindakan asusila). Orang lain tidak akan merasa terganggu atau dirugikan secara
langsung, bukan?

         Ya, pergeseran nilai ini memang telah memberikan celah bagi menjamurnya tindak
asusila yang terselubung. Norma yang berlaku seakan-akan ada namun tiada. Lalu,
pertanyaannya, akankah masyarakat kita akan menjadi masyarakat “basah dan berlendir“?
Disgusting!!

         POLEMIK tentang proses kerja di dunia maya memang tak kan pernah habisnya.
Karena kebenaran sangat relatif dan kontekstual. Tidak ada definisi baku tentangnya. Sarat
dengan penafsiran dan pembenaran yang terkadang diamini seadanya. Ini tak lain karena
jejaring maya (bahkan) tidak berTuhan. Tidak ada yang mau untuk diatur. Tidak ada nilai-
nilai dan norma pakem yang disematkan padanya.

         Kondisi ini berimpak pada penafikan akan penafsiran batas-batas nilai. Termasuk di
dalamnya persoalan cinta, kasih sayang dan perasaan. Juga tidak ketinggalan ihwal
kepentingan bawah perut, syahwat. Jadi wajar, jika pelecehan seksual atau pemerkosaan yang
diinginkan bisa terjadi tiap detakan jantung!




1.2    Pornografi

         Pornografi (dari bahasa Yunani= pornographia — secara harafiah tulisan tentang
atau gambar tentang pelacur) (kadang kala juga disingkat menjadi "porn," "pr0n," atau
"porno") adalah penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksual manusia secara terbuka
(eksplisit) dengan tujuan membangkitkan birahi (gairah seksual). Pornografi berbeda dari
erotika. Dapat dikatakan, pornografi adalah bentuk ekstrem/vulgar dari erotika. Erotika
sendiri adalah penjabaran fisik dari konsep-konsep erotisme. Kalangan industri pornografi
kerap kali menggunakan istilah erotika dengan motif eufemisme namun mengakibatkan
kekacauan pemahaman di kalangan masyarakat umum.

         Pornografi dapat menggunakan berbagai media — teks tertulis maupun lisan, foto-
foto, ukiran, gambar, gambar bergerak (termasuk animasi), dan suara seperti misalnya suara
orang yang bernapas tersengal-sengal. Film porno menggabungkan gambar yang bergerak,
teks erotik yang diucapkan dan/atau suara-suara erotik lainnya, sementara majalah seringkali
menggabungkan foto dan teks tertulis. Novel dan cerita pendek menyajikan teks tertulis,
kadang-kadang dengan ilustrasi. Suatu pertunjukan hidup pun dapat disebut porno.
Sejarah


        Sebuah lukisan dinding erotik dari Pompeii

        Pornografi mempunyai sejarah yang panjang. Karya seni yang secara seksual
bersifat sugestif dan eksplisit sama tuanya dengan karya seni yang menampilkan gambar-
gambar yang lainnya. Foto-foto yang eksplisit muncul tak lama setelah ditemukannya
fotografi. Karya-karya film yang paling tuapun sudah menampilkan gambar-gambar telanjang
maupun gambaran lainnya yang secara seksual bersifat eksplisit.

        Manusia telanjang dan aktivitas-aktivitas seksual ditampilkan dalam sejumlah karya
seni paleolitik (mis. patung Venus), namun tidak jelas apakah tujuannya adalah
membangkitkan rangsangan seksual. Sebaliknya, gambar-gambar itu mungkin mempunyai
makna spiritual. Ada sejumlah lukisan porno di tembok-tembok reruntuhan bangunan
Romawi di Pompeii. Salah satu contoh yang menonjol adalah gambar tentang sebuah bordil
yang mengiklankan berbagai pelayanan seksual di dinding di atas masing-masing pintu. Di
Pompeii orang pun dapat menjumpai gambaran zakar dan buah zakar yang ditoreh di sisi
jalan, menunjukkan jalan ke wilayah pelacuran dan hiburan, untuk menunjukkan jalan kepada
para pengunjung (lihat Seni erotik di Pompeii). Para arkeolog di Jerman melaporkan pada
April 2005 bahwa mereka telah menemukan apa yang mereka yakini sebagai sebuah
gambaran tentang adegan porno yang berusia 7.200 tahun yang melukiskan seorang laki-laki
yang sedang membungkuk di atas seorang perempuan dalam cara yang memberikan kesan
suatu hubungan seksual. Gambaran laki-laki itu diberi nama Adonis von Zschernitz. [2]

        Buku-buku komik porno yang dikenal sebagai kitab suci Tijuana mulai muncul di
AS pada tahun 1920-an.
Edisi pertama Playboy.

         Pada paruhan kedua abad ke-20, pornografi di Amerika Serikat berkembang dari apa
yang disebut "majalah pria" seperti Playboy dan Modern Man pada 1950-an. Majalah-
majalah ini menampilkan perempuan yang telanjang atau setengah telanjang perempuan,
kadang-kadang seolah-olah sedang melakukan masturbasi, meskipun alat kelamin mereka
ataupun bagian-bagiannya tidak benar-benar diperlihatkan. Namun pada akhir 1960-an,
majalah-majalah ini, yang pada masa itu juga termasuk majalah Penthouse, mulai
menampilkan gambar-gambar yang lebih eksplisit, dan pada akhirnya pada 1990-an,
menampilkan penetrasi seksual, lesbianisme dan homoseksualitas, seks kelompok,
masturbasi, dan fetishes.

         Film-film porno juga hampir sama usianya dengan media itu sendiri. Menurut buku
Patrick Robertson, Film Facts, "film porno yang paling awal, yang dapat diketahui tanggal
pembuatannya adalah A L'Ecu d'Or ou la bonne auberge", yang dibuat di Prancis pada 1908.
Jalan ceritanya menggambarkan seorang tentara yang kelelahan yang menjalin hubungan
dengan seorang perempuan pelayan di sebuah penginapan. El Satario dari Argentina
mungkin malah lebih tua lagi. Film ini kemungkinan dibuat antara 1907 dan 1912. Robertson
mencatat bahwa "film-film porno tertua yang masih ada tersimpan dalam Kinsey Collection
di Amerika. Sebuah film menunjukkan bagaimana konvensi-konvensi porno mula-mula
ditetapkan. Film Jerman Am Abend (sekitar 1910) adalah, demikian tulis Robertson, "sebuah
film pendek sepuluh menit yang dimulai dengan seorang perempuan yang memuaskan
dirinya sendiri di kamarnya dan kemudian beralih dengan menampilkan dirinya sedang
berhubungan seks dengan seorang laki-laki, melakukan fellatio dan penetrasi anal."
(Robertson, hlm. 66)

         Banyak film porno seperti itu yang dibuat dalam dasawarsa-dasawarsa berikutnya,
namun karena sifat pembuatannya dan distribusinya yang biasanya sembunyi-sembunyi,
keterangan dari film-film seperti itu seringkali sulit diperoleh.

         Mona (juga dikenal sebagai Mona the Virgin Nymph), sebuah film 59-menit 1970
umumnya diakui sebagai film porno pertama yang eksplisit dan mempunyai plot, yang
diedarkan di bioskop-bioskop di AS. Film ini dibintangi oleh Bill Osco dan Howard Ziehm,
yang kemudian membuat film porno berat (atau ringan, tergantung versi yang diedarkan),
dengan anggaran yang relatif tinggi, yaitu film Flesh Gordon.

         Film tahun 1971 The Boys in the Sand dapat disebutkan sebagai yang "pertama"
dalam sejumlah hal yang menyangkut pornografi. Film ini umumnya dianggap sebagai film
pertama yang menggambarkan adegan porno homoseksual. Film ini juga merupakan film
porno pertama yang mencantumkan nama-nama pemain dan krunya di layar (meskipun
umumnya menggunakan nama samaran). Ini juga film porno pertama yang membuat parodi
terhadap judul film biasa (judul film ini The Boys in the Band). Dan ini adalah film porno
kelas X pertama yang dibuat tinjauannya oleh New York Times.

         Teknologi dan pornografi

         Pornografi yang diedarkan secara massal sama tuanya dengan mesin cetak sendiri.
Hampir bersamaan dengan penemuan fotografi, teknik ini pun digunakan untuk membuat
foto-foto porno. Bahkan sebagian orang mengatakan bahwa pornografi telah menjadi
kekuatan yang mendorong yang mendorong teknologi dari mesin cetak, melalui fotografi
(foto dan gambar hidup) hingga video, TV satelit dan internet. Seruan-seruan untuk mengatur
atau melarang teknologi-teknologi ini telah sering menyebutkan pornografi sebagai dasar
keprihatinannya.

         Video: Betamax, VHS, DVD, dan format-format pada masa depan

         Selama sejarahnya, kamera film juga telah digunakan untuk membuat pornografi,
dan dengan munculnya perekam kaset video rumahan, industri film porno pun mengalami
perkembangan besar-besaran dan melahirkan bintang-bintang "film dewasa" seperti Ginger
Lynn, Christy Canyon, dan Traci Lords (belakangan diketahui usianya di bawah usia legal,
yaitu 18 tahun, pada saat membuat sebagian besar dari film-filmnya). Orang kini dapat
menonton film porno dengan leluasa dalam privasi rumahnya sendiri, ditambah dengan
pilihan yang lebih banyak untuk memuaskan fantasi dan fetishnya.

         Ditambah dengan hadirnya kamera video yang murah, orang kini mempunyai sarana
untuk membuat filmnya sendiri, untuk dinikmati sendiri atau bahkan untuk dijual dan
memperoleh keuntungan.

         Ada yang berpendapat bahwa Sony Betamax kalah dalam perang format dari VHS
(dalam menjadi sistem rekam/tonton video di rumah) karena industri video film biru memilih
VHS ketimbang sistem Sony yang secara teknis lebih unggul. Upaya-upaya inovasi lainnya
muncul dalam bentuk video interaktif yang memungkinkan pengguna memilih variabel-
variabel seperti sudut kamera berganda, penutup berganda (mis. "Devil in the Flesh", 1999),
dan isi DVD untuk komputer saja.

         Para produsen film erotik diramalkan akan memainkan peranan penting dalam
menentukan standar DVD yang akan dating. Kelengkapan (outfit) yang besar cenderung
mendukung Cakram cahaya biru yang memiliki kapasitas tinggi, sementara kelengkapan
yang kecil umumnya lebih mendukung HD-DVD yang tidak begitu mahal. Menurut sebuah
artikel Reuter 2004 "Industri bermilyar-milyar dolar ini menerbitkan sekitar 11.000 judul
dalam bentuk DVD setiap tahunnya, memberikannya kekuatan yang sangat besar untuk
memengaruhi pertempuran antara kedua kelompok studio dan perusahaan teknologi yang
saling bersaing untuk menetapkan standar untuk generasi berikutnya" [3].

         Manipulasi foto dan pornografi yang dihasilkan oleh komputer

         Sejumlah pornografi dihasilkan melalui manipulasi digital dalam program-program
editor gambar seperti Adobe Photoshop. Praktik ini dilakukan dengan membuat perubahan-
perubahan kecil terhadap foto-foto untuk memperbiaki penampilan para modelnya, seperti
misalnya menyingkirkan cacat pada kulit, memperbaiki cahaya dan kontras fotonya, hingga
perubahan-perubahan besar dalam bentuk membuat photomorph dari makhluk-makhluk yang
tidak pernah ada seperti misalnya gadis kucing atau gambar-gambar dari para selebriti yang
bahkan mungkin tidak pernah memberikan persetujuannya untuk ditampilkan menjadi film
porno.
Manipulasi digital membutuhkan foto-foto sumber, tetapi sejumlah pornografi
dihasilkan tanpa aktor manusia sama sekali. Gagasan tentang pornografi yang sepenuhnya
dihasilkan oleh komputer sudah dipikirkan sejak dini sebagai salah satu daerah aplikasi yang
paling jelas untuk grafik komputer dan pembuatan gambar tiga dimensi.

         Pembuatan gambar-gambar lewat komputer yang sangat realistik menciptakan
dilema-dilema etika baru. Ketika gambar-gambar khayal tentang penyiksaan atau
pemerkosaan disebarkan secara luas, para penegak hukum menghadapi kesulitan-kesulitan
tambahan untuk menuntut gambar-gambar otentik yang menampilkan perbuatan kriminal,
karena kemungkinan gambar-gambar itu hanyalah gambar sintetik. Keberadaan foto-foto
porno palsu dari para selebriti memperlihatkan kemungkinan untuk menggunakan gambar-
gambar palsu untuk melakukan pemerasan atau mempermalukan siapapun yang difoto atau
difilmkan, meskipun ketika kasus-kasus itu menjadi semakin lazim, pengaruhnya
kemungkinan akan berkurang. Akhirnya, generasi gambar-gambar yang sama sekali bersifat
sintetik, yang tidak merekam peristiwa-peristiwa yang sesungguhnya, menantang kritik-kritik
konvensional terhadap pornografi.

         Hingga akhir 1990-an pornografi yang dihasilkan melalui manipulasi digital belum
dapat dihasilkan dengan murah. Pada awal 2000-an kegiatan ini semakin berkembang, ketika
perangkat lunak untuk pembuatan model dan animasi semakin maju dan menghasilkan
kemampuan-kemampuan yang semakin tinggi pada komputer. Pada tahun 2004, pornografi
yang dihasilkan lewat komputer gambarnya melibatkan anak-anak dan hubungan seks dengan
tokoh fiksi seperti misalnya Lara Croft sudah dihasilkan pada tingkat yang terbatas. Terbitan
Playboy pada Oktober 2004 menampilkan foto-foto telanjang dada dari tokoh permainan
video BloodRayne. [4]

         Internet

         Dengan munculnya internet, pornografi pun semakin mudah didapat. Sebagian dari
pengusaha wiraswasta internet yang paling berhasil adalah mereka yang mengoperasikan
situs-situs porno di internet.[rujukan?] Demikian pula foto-foto konvensional ataupun video
porno, sebagian situs hiburan permainan video "interaktif". Karena sifatnya internasional,
internet memberikan sarana yang mudah kepada konsumen yang tinggal di negara-negara di
mana keberadaan pornografi dilarang sama sekali oleh hukum, atau setidak-tidaknya mereka
yang tidak perlu memperlihatkan bukti usia, dapat dengan mudah mendapatkan bahan-bahan
seperti itu dari negara-negara lain di mana pornografi legal atau tidak mengakibatkan tuntutan
hukum. Lihat pornografi internet.

        Biaya yang murah dalam penggandaan dan penyebaran data digital meningkatkan
terbentuknya kalangan pribadi orang-orang yang tukar-menukar pornografi. Dengan
munculnya aplikasi berbagi file peer-to-peer seperti Kazaa, tukar-menukar pornografi telah
mencapai rekor yang baru. Pornografi gratis tersedia secara besar-besaran dari para pengguna
lainnya dan tidak lagi terbatas pada kelompok-kelompok pribadi. Pornografi gratis dalam
jumlah besar di internet juga disebarkan dengan tujuan-tujuan pemasaran, untuk
menggalakkan para pelanggan yang membeli program bayaran.

        Sejak akhir tahun 1990-an, "porno dari masyarakat untuk masyarakat" tampaknya
telah menjadi kecenderungan baru. Kamera digital yang murah, perangkat lunak yang kian
berdaya dan mudah digunakan, serta akses yang mudah ke sumber-sumber bahan porno telah
memungkinkan pribadi-pribadi untuk membuat dan menyebarkan bahan-bahan porno yang
dibuat sendiri atau dimodifikasi dengan biaya yang sangat murah dan bahkan gratis.

        Di internet, pornografi kadang-kadang dirujuk seagai pr0n yaitu plesetan dari p0rn
— porno yang ditulis dengan angka nol. Salah satu teori tentang asal-usul ejaan ini ialah
bahwa ini adalah siasat yang digunakan untuk mengelakkan penyaring teks dalam program-
program pesan pendek atau ruang obrol.

        Menurut Google, setiap hari terjadi 68 juta pencarian dengan menggunakan kata
"porno" atau variasinya.

        Status hukum pornografi sangat berbeda-beda. Kebanyakan negara mengizinkan
paling kurang salah satu bentuk pornografi. Di beberapa negara, pornografi ringan dianggap
tidak terlalu mengganggu hingga dapat dijual di toko-toko umum atau disajikan di televisi.
Sebaliknya, pornografi berat biasanya diatur ketat. Pornografi anak dianggap melanggar
hukum di kebanyakan negara, dan pada umumnya negara-negara mempunyai pembatasan
menyangkut pornografi yang melibatkan kekerasan atau binatang.

        Sebagian orang, termasuk produser pornografi Larry Flynt dan penulis Salman
Rushdie, mengatakan bahwa pornografi itu penting bagi kebebasan dan bahwa suatu
masyarakat yang bebas dan beradab harus dinilai dari seberapa jauh mereka bersedia
menerima pornografi.

            Kebanyakan negara berusaha membatasi akses anak-anak di bawah umur terhadap
bahan-bahan porno berat, misalnya dengan membatasi ketersediaannya hanya pada toko buku
dewasa, hanya melalui pesanan lewat pos, lewat saluran-saluran televisi yang dapat dibatasi
orang tua, dll. Biasanya toko-toko porno membatasi usia orang-orang yang masuk ke situ,
atau kadang-kadang barang-barang yang disajikan ditutupi sebagian atau sama sekali tidak
terpampang. Yang lebih lazim lagi, penyebaran pornografi kepada anak-anak di bawah umur
dianggap melanggar hukum. Namun banyak dari usaha-usaha ini ternyata tidak mampu
membatasi ketersediaan pornografi karena akses yang cukup terbuka terhadap pornografi
internet.

            B.        Jenis-jenis cyberporn

            Ketentuan Pidana UU ini diatur dalam Bab VII mulai dari Pasal 29 sampai Pasal 41.
Adapun perbuatan yang dilarang adalah

                 1. memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan,
                       menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan,
                       menyewakan/menyediakan pornografi (P.29);
                 2.    menyediakan jasa pornografi (P.30);
                 3. meminjamkan/mengunduh pornografi (Pasal 31);
                 4.    memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau
                       menyimpan produk pornografi (P.32);
                 5. mendanai/memfasilitasi perbuatan dalam Pasal 29 dan 30 (P.33);
                 6. sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek/model yang mengandung
                       muatan pornografi (P.34);
                 7. menjadikan orang lain sebagai objek/model yang mengandung muatan
                       pornografi (P.35);
                 8. mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan/di muka umum
                       yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan,
                       atau yang bermuatan pornografi lainnya (P.36); melibatkan anak dalam
                       kegiatan dan/atau sebagai objek dalam produk pornografi/jasa pornografi
                       (P.37); dan
9.    mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan
                  kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan
            10. produk atau jasa pornografi (P. 38).


        C. Undang-Undang Pornografi
        Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

        Undang-Undang Pornografi (sebelumnya saat masih berbentuk rancangan
bernama Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi, disingkat RUU
APP, dan kemudian menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi) adalah suatu produk
hukum berbentuk undang-undang yang mengatur mengenai pornografi (dan pornoaksi pada
awalnya). UU ini disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR pada 30
Oktober 2008[1]




                          UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


                                NOMOR 44 TAHUN 2008


                                        TENTANG


                                      PORNOGRAFI


                    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


                          PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

          Menimbang :


 a. bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dengan
 menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa,
 beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam
 kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat
 setiap warga negara;
b. bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin
berkembang luas di tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan tatanan sosial
masyarakat Indonesia;

        c. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi yang
ada saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat;

        d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf
b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Pornografi;

        Mengingat :


Pasal 20 Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 29 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;




        Dengan Persetujuan Bersama

        DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PORNOGRAFI.




                                             BAB I

                                     KETENTUAN UMUM



                                        Pasal 1

        Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar
bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui
berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat
kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

         2. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh
orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi
teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar,
majalah, dan barang cetakan lainnya.

         3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan
hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

         4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.

         5. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

         6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.




                                                Pasal 2

         Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan
terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum,
nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.




                                                Pasal 3

         Undang-Undang ini bertujuan:
a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika,
berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta
menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;

          b. menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat
istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk;

          c. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak
masyarakat;

          d. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari
pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan

          e. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.




                                              BAB II

                                  LARANGAN DAN PEMBATASAN



                                          Pasal 4

          (1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit
memuat:

          a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;

          b. kekerasan seksual;

          c. masturbasi atau onani;

          d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;

          e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.

        (2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:

        a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan
ketelanjangan;

        b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;

        c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau

        d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung
layanan seksual.




                                             Pasal 5



Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud

        dalam Pasal 4 ayat (1).




                                             Pasal 6

        Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan,
memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.




                                             Pasal 7

        Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4.
Pasal 8

        Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek
atau model yang mengandung muatan pornografi.




                                             Pasal 9

        Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang
mengandung muatan pornografi.




                                             Pasal 10

        Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan
atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual,
persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.




                                             Pasal 11

        Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau

                                            Pasal 10.




                                             Pasal 12

        Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan,
menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa
pornografi.
Pasal 13

        (1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan
perundang-undangan.

        (2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.




                                            Pasal 14

        Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan,
dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan
pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.




                                            BAB III

                                   PERLINDUNGAN ANAK




                                            Pasal 15

        Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan
mencegah akses anak terhadap informasi pornografi.



                                        Pasal 16

        (1) Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan,
keluarga, dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan,
serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban
atau pelaku pornografi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan, pendampingan, serta pemulihan
sosial, kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.




                                             BAB IV

                                        PENCEGAHAN

                                          Bagian Kesatu

                                        Peran Pemerintah



                                        Pasal 17

        Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.




                                             Pasal 18

        Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17,
Pemerintah berwenang:

        a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk
pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;

        b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi; dan

        c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam
maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi.
Pasal 19

        Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17,
Pemerintah Daerah berwenang:

        a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk
pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di
wilayahnya;

        b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi di wilayahnya;

        c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam
pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan

        d. mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka
pencegahan pornografi di wilayahnya.



Bagian Kedua

        Peran Serta Masyarakat




                                             Pasal 20

        Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.



                                        Pasal 21

        (1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dapat
dilakukan dengan cara:

        a. melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;
b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;

        c. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur
pornografi; dan

        d. melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak
pornografi.

        (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.




                                           Pasal 22

        Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat (1) huruf a berhak mendapat perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.




                                            BAB V

                   PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN

                                 DI SIDANG PENGADILAN




                                           Pasal 23

        Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
pelanggaran pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara
Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.



                                       Pasal 24
Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum
Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak
terbatas pada:

         a. barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan
cetakan, baik elektronik, optik, maupun bentuk penyimpanan data lainnya; dan

         b. data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.



                                         Pasal 25

         (1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses,
memeriksa, dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam fail komputer,
jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya.

         (2) Untuk kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan data, atau penyedia
jasa layanan elektronik berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data elektronik
yang diminta penyidik.

         (3) Pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik setelah
menyerahkan dan/atau membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berhak menerima tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data elektronik
dari penyidik.




                                             Pasal 26

         Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 dan mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilik data, penyimpan data,
atau penyedia jasa layanan komunikasi di tempat data tersebut didapatkan.




                                             Pasal 27
(1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa
dilampirkan dalam berkas perkara.

           (2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa
dapat dimusnahkan atau dihapus.

           (3) Penyidik, penuntut umum, dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan
dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan
sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data elektronik yang dimusnahkan atau
dihapus.




                                               BAB VI

                                          PEMUSNAHAN

                                               Pasal 28

           (1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan.

           (2) Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh penuntut umum dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya
memuat:

           a. nama media cetak dan/atau media elektronik yang menyebarluaskan
pornografi;

           b. nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;

           c. hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan

           d. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang dimusnahkan.




                                              BAB VII
KETENTUAN PIDANA

                                             Pasal 29

           Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan,
menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar
rupiah).




                                             Pasal 30

           Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).




                                             Pasal 31

           Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/
atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).




                                             Pasal 32

           Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan,
memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 33

        Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).




                                             Pasal 34

        Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek
atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).




                                             Pasal 35

        Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang
mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau
pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).




                                             Pasal 36

        Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau
di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan,
atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 37

         Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35,
dan Pasal 36, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.




                                              Pasal 38

         Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan,
menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa
pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling
sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).




                                              Pasal 39

         Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal
32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 adalah kejahatan.




                                              Pasal 40

         (1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu
korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau
pengurusnya.

         (2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri
maupun bersama-sama.

         (3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi
tersebut diwakili oleh pengurus.

         (4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
diwakili oleh orang lain.

         (5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus korporasi
menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi
supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.

         (6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk
menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di
tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

         (7) Dalam hal tindak pidana pornografi yang dilakukan korporasi, selain pidana
penjara dan denda terhadap pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap korporasi
dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan
dalam setiap pasal dalam Bab ini.




                                             Pasal 41

         Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi
dapat dikenai pidana tambahan berupa:

         a. pembekuan izin usaha;

         b. pencabutan izin usaha;

         c. perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan

         d. pencabutan status badan hukum.
BAB VIII

                                  KETENTUAN PENUTUP

                                           Pasal 42

        Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Undang-Undang ini, dibentuk
gugus tugas antardepartemen, kementerian, dan lembaga terkait yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Presiden.




                                           Pasal 43

        Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan
setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang
berwajib untuk dimusnahkan.




                                           Pasal 44

        Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-
undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.




                                           Pasal 45

        Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

        Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
I. UMUM

        Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara.

        Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya
teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan andil terhadap meningkatnya
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memberikan pengaruh
buruk terhadap moral dan kepribadian luhur bangsa Indonesia sehingga mengancam
kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia. Berkembangluasnya pornografi di
tengah masyarakat juga mengakibatkan meningkatnya tindak asusila dan pencabulan.

        Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah mengisyaratkan
melalui Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa
mengenai ancaman yang serius terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dan terjadinya
kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa, yang salah satunya
disebabkan oleh meningkatnya tindakan asusila, pencabulan, prostitusi, dan media
pornografi, sehingga diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mendorong
penguatan kembali etika dan moral masyarakat Indonesia.

        Pengaturan pornografi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang
ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 43
Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kurang memadai dan
belum memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat sehingga perlu dibuat
undang-undang baru yang secara khusus mengatur pornografi.

        Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan
terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum,
nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara. Hal tersebut berarti bahwa
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah:

          1. menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran agama;

          2. memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan larangan
yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara serta menentukan jenis sanksi bagi yang
melanggarnya; dan

          3. melindungi setiap warga negara, khususnya perempuan, anak, dan generasi
muda dari pengaruh buruk dan korban pornografi.

          Pengaturan pornografi dalam Undang-Undang ini meliputi (1) pelarangan dan
pembatasan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; (2) perlindungan
anak dari pengaruh pornografi; dan (3) pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi, termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan.

          Undang-Undang ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari
pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan
dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan ringan, serta
memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping
itu, pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan.

          Untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi, Undang-Undang
ini mewajibkan kepada semua pihak, dalam hal ini negara, lembaga sosial, lembaga
pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat untuk memberikan
pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak
yang menjadi korban atau pelaku pornografi.

          Berdasarkan pemikiran tersebut, Undang-Undang tentang Pornografi diatur
secara komprehensif dalam rangka mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan
masyarakat Indonesia yang beretika, berkepribadian luhur, dan menjunjung tinggi nilai-
nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat setiap warga
negara.
4.Pencegahan cyberporn

        Metrotvnews.com, Padang: Pengamat sosial Dr Silfia Hanani mengatakan, gugus
tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi dalam melaksanakan tugas-tugasnya harus
menghindari bias gender.


"Pencegahan dan penanangan pornografi indikatornya jangan dalam konteks berpakaian,
karena kebijakan tersebut bisa saja menimbulkan bias," kata dosen Program Studi Sosiologi
Pascasarjana Universitas Andalas (Unand) Padang, Rabu (11/4).


Presiden SBY membentuk gugus tugas Pencegahan dan Penanangan Pornografi untuk
menjamin kelancaran dan keefektifan pelaksanaan undang-undang. Hal itu diwujudkan
melalui Peraturan Presiden Nomor 25 tahun 2012. Gugus tugas itu sendiri nantinya
bertanggung jawab langsung kepada Presiden.


Menurut dia, kalau indikator atau kriteria pornografi hanya dalam berpakaian, misalnya
perempaun menggunakan rok di atas lutut, maka akan kurang tepat karena masalahnya
dihadapkan pada kondisi multikultural. Namun kalau untuk kasus Sumatera Barat
indikatornya berpakaian tidak masalah, karena masyarakatnya sudah akrab dengan pakaian
muslimah, ujarnya.


Jadi, menurut dia, penetapan kriteria pornografi harus mencari formula yang tepat dan jangan
hanya melihat dari sisi perempuan, agar keberadaan gugus tugas Pencegahan dan Penanganan
Pornografi ini tidak menimbulkan bias gender.


Ia menjelaskan, gugus tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi juga bertugas
mengoordniasikan upaya pencegahan dan penanganan masalah pornografi dan memantau
pelaksanaan pencegahan dan penanganannya.


Kemudian juga melaksanakan sosialisasi, edukasi, kerja sama pencegahan dan penanganan
pornografi, serta melaksanakan evaluasi pelaporan. "Kalau edukasi saya sependapat. Tapi
yang diedukasi bukan perempuan saja, tapi juga laki-laki,"
Cyberporn

More Related Content

Viewers also liked

The Black and White Cookie Company II
The Black and White Cookie Company IIThe Black and White Cookie Company II
The Black and White Cookie Company IIJoshua Auerbach
 
Lack of libido in men
Lack of libido in menLack of libido in men
Lack of libido in menDennis George
 
International pharmacy graduates licensing procedure in quebec
International pharmacy graduates licensing procedure  in quebecInternational pharmacy graduates licensing procedure  in quebec
International pharmacy graduates licensing procedure in quebecDennis George
 

Viewers also liked (6)

The Black and White Cookie Company II
The Black and White Cookie Company IIThe Black and White Cookie Company II
The Black and White Cookie Company II
 
Bab 2 Kualitas
Bab 2 KualitasBab 2 Kualitas
Bab 2 Kualitas
 
Lack of libido in men
Lack of libido in menLack of libido in men
Lack of libido in men
 
Brazil
BrazilBrazil
Brazil
 
BALANCED SCORECARD
BALANCED SCORECARDBALANCED SCORECARD
BALANCED SCORECARD
 
International pharmacy graduates licensing procedure in quebec
International pharmacy graduates licensing procedure  in quebecInternational pharmacy graduates licensing procedure  in quebec
International pharmacy graduates licensing procedure in quebec
 

Similar to Cyberporn

metaverse.docx
metaverse.docxmetaverse.docx
metaverse.docxkakwahyu3
 
Tugas digital etnografi 6
Tugas digital  etnografi 6Tugas digital  etnografi 6
Tugas digital etnografi 6Yohana Parida
 
Syahdyah Amna 1606916586 Tugas Digital Etno 6
Syahdyah Amna 1606916586 Tugas Digital Etno 6Syahdyah Amna 1606916586 Tugas Digital Etno 6
Syahdyah Amna 1606916586 Tugas Digital Etno 6Syahdyah Amna
 
Dampak positif & negatif situs jejaring sosial
Dampak positif & negatif situs jejaring sosialDampak positif & negatif situs jejaring sosial
Dampak positif & negatif situs jejaring sosialdhifaf178
 
PPT Sosiologi Komunikasi (Cybercommunity).pptx
PPT Sosiologi Komunikasi (Cybercommunity).pptxPPT Sosiologi Komunikasi (Cybercommunity).pptx
PPT Sosiologi Komunikasi (Cybercommunity).pptxinikamu1
 
Sejarah internet sriii
Sejarah internet sriiiSejarah internet sriii
Sejarah internet sriiihandayanisri
 
Dampak jejaring social terhadap remaja
Dampak jejaring social terhadap remajaDampak jejaring social terhadap remaja
Dampak jejaring social terhadap remajareynaldodp
 
Kejahatan di Balik Jejaring Sosial
Kejahatan di Balik Jejaring SosialKejahatan di Balik Jejaring Sosial
Kejahatan di Balik Jejaring SosialNon Formal Education
 
Bagaimana Menyikapi "Peradaban BARU Manusia (SOCIETY 5.0) di Era Revolusi Ind...
Bagaimana Menyikapi "Peradaban BARU Manusia (SOCIETY 5.0) di Era Revolusi Ind...Bagaimana Menyikapi "Peradaban BARU Manusia (SOCIETY 5.0) di Era Revolusi Ind...
Bagaimana Menyikapi "Peradaban BARU Manusia (SOCIETY 5.0) di Era Revolusi Ind...Kanaidi ken
 
PENGARUH JEJARING SOSIAL FACEBOOK TERHADAP SEMANGAT PEMUDA
PENGARUH JEJARING SOSIAL FACEBOOK TERHADAP SEMANGAT PEMUDAPENGARUH JEJARING SOSIAL FACEBOOK TERHADAP SEMANGAT PEMUDA
PENGARUH JEJARING SOSIAL FACEBOOK TERHADAP SEMANGAT PEMUDAERik Parker
 

Similar to Cyberporn (20)

Makalah cybercrime
Makalah cybercrimeMakalah cybercrime
Makalah cybercrime
 
metaverse.docx
metaverse.docxmetaverse.docx
metaverse.docx
 
Tugas Digital Etnografi 6
Tugas Digital Etnografi 6Tugas Digital Etnografi 6
Tugas Digital Etnografi 6
 
Tugas digital etnografi 6
Tugas digital  etnografi 6Tugas digital  etnografi 6
Tugas digital etnografi 6
 
Syahdyah Amna 1606916586 Tugas Digital Etno 6
Syahdyah Amna 1606916586 Tugas Digital Etno 6Syahdyah Amna 1606916586 Tugas Digital Etno 6
Syahdyah Amna 1606916586 Tugas Digital Etno 6
 
Dampak positif & negatif situs jejaring sosial
Dampak positif & negatif situs jejaring sosialDampak positif & negatif situs jejaring sosial
Dampak positif & negatif situs jejaring sosial
 
PPT Sosiologi Komunikasi (Cybercommunity).pptx
PPT Sosiologi Komunikasi (Cybercommunity).pptxPPT Sosiologi Komunikasi (Cybercommunity).pptx
PPT Sosiologi Komunikasi (Cybercommunity).pptx
 
Sejarah internet sriii
Sejarah internet sriiiSejarah internet sriii
Sejarah internet sriii
 
internet
internetinternet
internet
 
Sejarah internet
Sejarah internetSejarah internet
Sejarah internet
 
Dampak internet bagi remaja2
Dampak internet bagi remaja2Dampak internet bagi remaja2
Dampak internet bagi remaja2
 
Sejarah internet
Sejarah internetSejarah internet
Sejarah internet
 
Dampak jejaring social terhadap remaja
Dampak jejaring social terhadap remajaDampak jejaring social terhadap remaja
Dampak jejaring social terhadap remaja
 
Sejarah internet
Sejarah internetSejarah internet
Sejarah internet
 
Sejarah internet
Sejarah internetSejarah internet
Sejarah internet
 
Kejahatan di Balik Jejaring Sosial
Kejahatan di Balik Jejaring SosialKejahatan di Balik Jejaring Sosial
Kejahatan di Balik Jejaring Sosial
 
Internet
InternetInternet
Internet
 
Bagaimana Menyikapi "Peradaban BARU Manusia (SOCIETY 5.0) di Era Revolusi Ind...
Bagaimana Menyikapi "Peradaban BARU Manusia (SOCIETY 5.0) di Era Revolusi Ind...Bagaimana Menyikapi "Peradaban BARU Manusia (SOCIETY 5.0) di Era Revolusi Ind...
Bagaimana Menyikapi "Peradaban BARU Manusia (SOCIETY 5.0) di Era Revolusi Ind...
 
Makalah interaksi sosial
Makalah  interaksi sosialMakalah  interaksi sosial
Makalah interaksi sosial
 
PENGARUH JEJARING SOSIAL FACEBOOK TERHADAP SEMANGAT PEMUDA
PENGARUH JEJARING SOSIAL FACEBOOK TERHADAP SEMANGAT PEMUDAPENGARUH JEJARING SOSIAL FACEBOOK TERHADAP SEMANGAT PEMUDA
PENGARUH JEJARING SOSIAL FACEBOOK TERHADAP SEMANGAT PEMUDA
 

Cyberporn

  • 1. 1.1 Pengertian Cyberporn TEKNOLOGI komunikasi telah mengakibatkan perubahan besar dalam kehidupan manusia. Sejak perkembangan komputer dan dikomersialkannya internet pada medio 1990- an, telah terjadi ledakan besar dalam penggunaan istilah cyberspace. Cyberpunk, cybersex, cyberporn, cybermedia, dan cyberlove, adalah beberapa di antara sekian banyak istilah yang dilekatkan pada kata cyber. Penggabungan dua konsep tersebut tentunya telah meleburkan makna awal dari masing-masing kata dan melahirkan pemaknaan baru setelahnya. Peralihan teknologi manual ke teknologi kabel sudah bukan zamannya lagi. Persoalan nirkabel yang kini tengah menguak di dalam kehidupan manusia postmodern, telah menjadi menu sehari-hari. Di tiap penjuru dunia, kini, transfer informasi dan komunikasi berlangsung dari detik-demetik. Perubahan esensi fisik tidak lagi mengagetkan umat manusia. Yang menjadi persoalan kemudian adalah substansi dari wujud fisik tersebut. Bagaimana substansi tersebut berpindah dan bermutasi dari pikiran satu ke pikiran yang lainnya (mind to mind). Masing-masing makna memiliki penafsiran tersendiri yang dikontekskan dengan keadaan, kondisi, dan penggunaannya. Cyberlove, misalnya, frase ini merujuk pada proses atau kondisi di mana kasih sayang dan perasaan telah bermustasi menjadi piranti di dunia maya. Segenap perasaan yang melukiskan emosi seseorang terhadap lawan jenis, atau bahkan sesama jenis, saling bertransfer melalui jejaring virtual. Dan sesaat setelah itu, kontak fisik (baru dimungkinkan) terjadi ketika persetujuan di antara keduanya saling mengiyakan. Yasraf Amir Piliang menulis: Migrasi kemanusiaan ini telah menimbulkan perubahan besar dalam cara setiap orang menjalani dan memaknai “kehidupan”. Berbagai cara hidup dan bentuk kehidupan yang sebelumnya dilakukan berdasarkan relasi-relasi alamiah, kini dilakukan dengan cara yang baru, yaitu cara artifisial. Menurutnya, kini, cyberspace telah menciptakan sebuah kehidupan yang dimediasi secara mendasar oleh teknologi, sehingga barbagai fungsi alam kini diambil alih oleh substitusi teknologisnya, yang disebut dengan kehidupan artifisial (artificial life). Termasuk cara manusia untuk memperlihatkan perasaan dan emosi, kasih sayang, dan cinta.
  • 2. CYBERMEDIA mengandaikan proses komunikasi yang terjadi antara manusia dengan medium mesin. Dalam hal ini internetlah yang menjadi pemain kunci dalam proses tersebut. Sementara komputer, berperan sebagai perangkat kerasnya. Di sini, pelbagai fenomena komunikasi kerap berlangsung, mulai dari yang sederhana-komunikasi interpersonal-, sampai pada persoalan yang lebih kompleks-komunikasi kelompok (virtual community). Persoalan komunikasi interpersonal via internet merupakan persoalan yang sangat kompleks. Banyak hal yang bisa dideretkan. Pelbagai faktor dan keunikan pun bisa didedah. Semisal hubungan virtual terkait persoalan bisnis, politik, budaya, bahkan mencari pasangan. Teknologi internet memungkinkan kita untuk berbuat apa saja. Hal-hal yang positif dapat digali di sana. Pun demikian jika kita berniat melakukan hal-hal yang negatif. Keduanya, seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Saling bersinggungan satu sama lain. Dan mencari jodoh, menurut saya, adalah termasuk hal yang pertama. Karena mencari jodoh adalah sesuatu yang sakral dan mengakar di dalam budaya kita. Di Indonesia, ajang pencarian jodoh tersebut sebagian besar menggunakan fasilitas Yahoo Messenger atau MIRC. Keduanya memberikan kenyamanan untuk berkomunikasi secara interaktif kepada lawan bicara melalui teks. Bahkan lebih lanjut, memungkinkan penggunanya untuk mengetahui lawan bicaranya secara holistik. Baik audio maupun visual. Kita dapat mendengar suara dan melihat wajah mereka melalui layar monitor. Namun, persoalannya bukan di situ. Mengandaikan internet sebagai ajang mencari jodoh seperti mengandaikan kita mencari pekerjaan di koran-koran. Pelbagai perjuangan ’unik’ dilakukan. Persoalan-persoalan seperti ketegangan dan pengalaman unik kerap dirasakan. Tapi, dalam konteks ini, akankah internet mereduksi esensi dari pencarian jodoh itu? Dengan kata lain, apakah mencari jodoh via internet mereduksi makna sakral yang bernama cinta? Entahlah! Di sini, menurut pengakuan Enzt (dalam Roman Cyber; Yayan Sopian, 2003: 49), melakukan hubungan interpersonal di dunia cyber memberikan perbedaan yang luar biasa. Baginya, berhubungan di dunia cyber sangat berbeda jika disandingkan dengan berhubungan di dunia nyata. Kualitas hubungan yang dilakukan di dunia maya tersebut terkesan lebih eksotik dan menyenangkan. Jadi dalam ihwal ini, ada perbedaan yang sulit dijelaskan tentang persoalan menggunakan internet sebagai ajang mencari jodoh. Ada penjelasan relatif bagi bermacam-
  • 3. macam individu yang menikmatinya. Kesenangan yang didapat oleh individu tertentu belum tentu inheren bagi individu lainnya. Pengalaman fantastis yang dirasakan ketika berkomunikasi tanpa melihat langsung wujud fisik merupakan pengalaman unik tersendiri bagi penikmatnya. Kita tidak bisa menjustifikasi bahwa mereka yang menggunakan internet sebagai medium mencari jodoh adalah pecundang. Bukan berarti mereka tidak memiliki keberanian untuk membincang persoalan cinta kepada orang lain secara langsung. Pun tidak dapat disebut sebagai introvert. Bahkan, lebih jauh, mereka justru menggunakan internet untuk hal- hal di luar stigma-stigma itu. Mungkin mereka memiliki kriteria-kriteria pasangan yang justru akan terpenuhi lebih mudah jika menggunakan internet. Semisal perbedaan suku, bahasa, dan bangsa, mengingat jumlah pengakses internet luar biasa banyaknya. Atau mungkin mereka terlalu sibuk sehingga tidak dapat meluangkan waktu untuk sekadar bergaul dengan orang lain. Maka tentunya, internet adalah pilihan alternatif. Mencari jodoh via internet bukanlah sesuatu yang diharamkan. Menggali inovasi dan alternatif dalam menentukan masa depan di dunia maya tampaknya menjadi fenomena anyar. Mengakhiri sub ini , saya ingin mengkhatamkan tulisan ini dengan kalimat: ”Selamat Mencari Jodoh Anda!” [ ] - CYBERPORN: Ketika Ruang Maya Menjadi Privasi?- My reaction to porn films is as follows: After the first ten minutes, I want to go home and screw. After the first 20 minutes, I never want to screw again as long as I live. ~Erica Jong, Playboy Magazine, September 1975 WACANA cyberporn (lagi-lagi) tidak terlepas dari area basah, berbau, dan berlendir. Namun sayang, deskripsi ini cuma di awang-awang, cuma otak kita-lah yang mengonstruksinya melalui udara di kepala. Di depan mata, hati, juga telinga. Dan melekat dingin di sumsum tulang belakang. Cyberporn mengandaikan transaksi seksual yang terjadi di jejaring virtual. Dari karakter-karakter yang ter-input melalui tuts komputer, bikin janji, tatap muka, hingga persetubuhan itu (jika ada). Tapi lebih luas, cyberporn tidak hanya itu, ia sekadar medium
  • 4. yang ingin membantu proses penetrasi maya di alam bawah sadar usernya. Bagi mereka yang kerap kehausan libido, atau hanya ingin menambah referensi seksual, cyberporn adalah salah satu alternatif. Nah, bagaimana dengan fenomena cyberporn serta impaknya di tengah masyarakat khususnya mahasiswa? Merujuk dari data yang ditulis Wikipedia.com tentang jumlah user yang meminta situs porno sekira 68 juta, mengindikasikan bahwa (sebetulnya) fenomena cyberporn sudah sedemikian mewabah. Tak dapat dimungkiri bahwa industri pornografi virtual ini menjadi salah satu industri terbesar yang menjaring pundi-pundi uang. Selain itu, jua tak dapat dimungkiri syahwat yang meledak harus segera dimanjakan. Inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh industri itu. Akses terhadap situs-situs porno telah memberikan impak negatif yang sangat prinsipil. Terhadap mahasiswa misalnya. Di Yogyakarta misalnya, seperti yang ditulis dalam Jurnal Balairung edisi 38, bahwa mahasiswa adalah user terbesar. Data ini sangat berpotensi untuk mereduksi tataran sosial yang sudah berlaku. Ritus kebiasaan berubah sedemikian cepatnya. Orang tidak lagi peduli dengan norma-norma yang telah berlaku. Pelbagai tindak kejahatan dapat dilakukan dalam private sphere tanpa ada yang tahu dan menghakimi. Sebagai contoh, di dunia nyata, tentu saja, tindakan kita sangat dipengaruhi dan dibatasi oleh hak dan kewajiban kita, baik sebagai makhluk individu maupun sosial. Tindakan-tindakan yang kita lakukan memiliki konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan kepada lingkungan sekitar. Namun, ketika berada di dunia maya, kita berhak dan bebas melakukan apa saja, termasuk tindakan asusila (disini kita menyepakati bahwa mengakses situs porno termasuk tindakan asusila). Orang lain tidak akan merasa terganggu atau dirugikan secara langsung, bukan? Ya, pergeseran nilai ini memang telah memberikan celah bagi menjamurnya tindak asusila yang terselubung. Norma yang berlaku seakan-akan ada namun tiada. Lalu, pertanyaannya, akankah masyarakat kita akan menjadi masyarakat “basah dan berlendir“? Disgusting!! POLEMIK tentang proses kerja di dunia maya memang tak kan pernah habisnya. Karena kebenaran sangat relatif dan kontekstual. Tidak ada definisi baku tentangnya. Sarat dengan penafsiran dan pembenaran yang terkadang diamini seadanya. Ini tak lain karena
  • 5. jejaring maya (bahkan) tidak berTuhan. Tidak ada yang mau untuk diatur. Tidak ada nilai- nilai dan norma pakem yang disematkan padanya. Kondisi ini berimpak pada penafikan akan penafsiran batas-batas nilai. Termasuk di dalamnya persoalan cinta, kasih sayang dan perasaan. Juga tidak ketinggalan ihwal kepentingan bawah perut, syahwat. Jadi wajar, jika pelecehan seksual atau pemerkosaan yang diinginkan bisa terjadi tiap detakan jantung! 1.2 Pornografi Pornografi (dari bahasa Yunani= pornographia — secara harafiah tulisan tentang atau gambar tentang pelacur) (kadang kala juga disingkat menjadi "porn," "pr0n," atau "porno") adalah penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksual manusia secara terbuka (eksplisit) dengan tujuan membangkitkan birahi (gairah seksual). Pornografi berbeda dari erotika. Dapat dikatakan, pornografi adalah bentuk ekstrem/vulgar dari erotika. Erotika sendiri adalah penjabaran fisik dari konsep-konsep erotisme. Kalangan industri pornografi kerap kali menggunakan istilah erotika dengan motif eufemisme namun mengakibatkan kekacauan pemahaman di kalangan masyarakat umum. Pornografi dapat menggunakan berbagai media — teks tertulis maupun lisan, foto- foto, ukiran, gambar, gambar bergerak (termasuk animasi), dan suara seperti misalnya suara orang yang bernapas tersengal-sengal. Film porno menggabungkan gambar yang bergerak, teks erotik yang diucapkan dan/atau suara-suara erotik lainnya, sementara majalah seringkali menggabungkan foto dan teks tertulis. Novel dan cerita pendek menyajikan teks tertulis, kadang-kadang dengan ilustrasi. Suatu pertunjukan hidup pun dapat disebut porno.
  • 6. Sejarah Sebuah lukisan dinding erotik dari Pompeii Pornografi mempunyai sejarah yang panjang. Karya seni yang secara seksual bersifat sugestif dan eksplisit sama tuanya dengan karya seni yang menampilkan gambar- gambar yang lainnya. Foto-foto yang eksplisit muncul tak lama setelah ditemukannya fotografi. Karya-karya film yang paling tuapun sudah menampilkan gambar-gambar telanjang maupun gambaran lainnya yang secara seksual bersifat eksplisit. Manusia telanjang dan aktivitas-aktivitas seksual ditampilkan dalam sejumlah karya seni paleolitik (mis. patung Venus), namun tidak jelas apakah tujuannya adalah membangkitkan rangsangan seksual. Sebaliknya, gambar-gambar itu mungkin mempunyai makna spiritual. Ada sejumlah lukisan porno di tembok-tembok reruntuhan bangunan Romawi di Pompeii. Salah satu contoh yang menonjol adalah gambar tentang sebuah bordil yang mengiklankan berbagai pelayanan seksual di dinding di atas masing-masing pintu. Di Pompeii orang pun dapat menjumpai gambaran zakar dan buah zakar yang ditoreh di sisi jalan, menunjukkan jalan ke wilayah pelacuran dan hiburan, untuk menunjukkan jalan kepada para pengunjung (lihat Seni erotik di Pompeii). Para arkeolog di Jerman melaporkan pada April 2005 bahwa mereka telah menemukan apa yang mereka yakini sebagai sebuah gambaran tentang adegan porno yang berusia 7.200 tahun yang melukiskan seorang laki-laki yang sedang membungkuk di atas seorang perempuan dalam cara yang memberikan kesan suatu hubungan seksual. Gambaran laki-laki itu diberi nama Adonis von Zschernitz. [2] Buku-buku komik porno yang dikenal sebagai kitab suci Tijuana mulai muncul di AS pada tahun 1920-an.
  • 7. Edisi pertama Playboy. Pada paruhan kedua abad ke-20, pornografi di Amerika Serikat berkembang dari apa yang disebut "majalah pria" seperti Playboy dan Modern Man pada 1950-an. Majalah- majalah ini menampilkan perempuan yang telanjang atau setengah telanjang perempuan, kadang-kadang seolah-olah sedang melakukan masturbasi, meskipun alat kelamin mereka ataupun bagian-bagiannya tidak benar-benar diperlihatkan. Namun pada akhir 1960-an, majalah-majalah ini, yang pada masa itu juga termasuk majalah Penthouse, mulai menampilkan gambar-gambar yang lebih eksplisit, dan pada akhirnya pada 1990-an, menampilkan penetrasi seksual, lesbianisme dan homoseksualitas, seks kelompok, masturbasi, dan fetishes. Film-film porno juga hampir sama usianya dengan media itu sendiri. Menurut buku Patrick Robertson, Film Facts, "film porno yang paling awal, yang dapat diketahui tanggal pembuatannya adalah A L'Ecu d'Or ou la bonne auberge", yang dibuat di Prancis pada 1908. Jalan ceritanya menggambarkan seorang tentara yang kelelahan yang menjalin hubungan dengan seorang perempuan pelayan di sebuah penginapan. El Satario dari Argentina mungkin malah lebih tua lagi. Film ini kemungkinan dibuat antara 1907 dan 1912. Robertson mencatat bahwa "film-film porno tertua yang masih ada tersimpan dalam Kinsey Collection di Amerika. Sebuah film menunjukkan bagaimana konvensi-konvensi porno mula-mula ditetapkan. Film Jerman Am Abend (sekitar 1910) adalah, demikian tulis Robertson, "sebuah film pendek sepuluh menit yang dimulai dengan seorang perempuan yang memuaskan dirinya sendiri di kamarnya dan kemudian beralih dengan menampilkan dirinya sedang
  • 8. berhubungan seks dengan seorang laki-laki, melakukan fellatio dan penetrasi anal." (Robertson, hlm. 66) Banyak film porno seperti itu yang dibuat dalam dasawarsa-dasawarsa berikutnya, namun karena sifat pembuatannya dan distribusinya yang biasanya sembunyi-sembunyi, keterangan dari film-film seperti itu seringkali sulit diperoleh. Mona (juga dikenal sebagai Mona the Virgin Nymph), sebuah film 59-menit 1970 umumnya diakui sebagai film porno pertama yang eksplisit dan mempunyai plot, yang diedarkan di bioskop-bioskop di AS. Film ini dibintangi oleh Bill Osco dan Howard Ziehm, yang kemudian membuat film porno berat (atau ringan, tergantung versi yang diedarkan), dengan anggaran yang relatif tinggi, yaitu film Flesh Gordon. Film tahun 1971 The Boys in the Sand dapat disebutkan sebagai yang "pertama" dalam sejumlah hal yang menyangkut pornografi. Film ini umumnya dianggap sebagai film pertama yang menggambarkan adegan porno homoseksual. Film ini juga merupakan film porno pertama yang mencantumkan nama-nama pemain dan krunya di layar (meskipun umumnya menggunakan nama samaran). Ini juga film porno pertama yang membuat parodi terhadap judul film biasa (judul film ini The Boys in the Band). Dan ini adalah film porno kelas X pertama yang dibuat tinjauannya oleh New York Times. Teknologi dan pornografi Pornografi yang diedarkan secara massal sama tuanya dengan mesin cetak sendiri. Hampir bersamaan dengan penemuan fotografi, teknik ini pun digunakan untuk membuat foto-foto porno. Bahkan sebagian orang mengatakan bahwa pornografi telah menjadi kekuatan yang mendorong yang mendorong teknologi dari mesin cetak, melalui fotografi (foto dan gambar hidup) hingga video, TV satelit dan internet. Seruan-seruan untuk mengatur atau melarang teknologi-teknologi ini telah sering menyebutkan pornografi sebagai dasar keprihatinannya. Video: Betamax, VHS, DVD, dan format-format pada masa depan Selama sejarahnya, kamera film juga telah digunakan untuk membuat pornografi, dan dengan munculnya perekam kaset video rumahan, industri film porno pun mengalami perkembangan besar-besaran dan melahirkan bintang-bintang "film dewasa" seperti Ginger
  • 9. Lynn, Christy Canyon, dan Traci Lords (belakangan diketahui usianya di bawah usia legal, yaitu 18 tahun, pada saat membuat sebagian besar dari film-filmnya). Orang kini dapat menonton film porno dengan leluasa dalam privasi rumahnya sendiri, ditambah dengan pilihan yang lebih banyak untuk memuaskan fantasi dan fetishnya. Ditambah dengan hadirnya kamera video yang murah, orang kini mempunyai sarana untuk membuat filmnya sendiri, untuk dinikmati sendiri atau bahkan untuk dijual dan memperoleh keuntungan. Ada yang berpendapat bahwa Sony Betamax kalah dalam perang format dari VHS (dalam menjadi sistem rekam/tonton video di rumah) karena industri video film biru memilih VHS ketimbang sistem Sony yang secara teknis lebih unggul. Upaya-upaya inovasi lainnya muncul dalam bentuk video interaktif yang memungkinkan pengguna memilih variabel- variabel seperti sudut kamera berganda, penutup berganda (mis. "Devil in the Flesh", 1999), dan isi DVD untuk komputer saja. Para produsen film erotik diramalkan akan memainkan peranan penting dalam menentukan standar DVD yang akan dating. Kelengkapan (outfit) yang besar cenderung mendukung Cakram cahaya biru yang memiliki kapasitas tinggi, sementara kelengkapan yang kecil umumnya lebih mendukung HD-DVD yang tidak begitu mahal. Menurut sebuah artikel Reuter 2004 "Industri bermilyar-milyar dolar ini menerbitkan sekitar 11.000 judul dalam bentuk DVD setiap tahunnya, memberikannya kekuatan yang sangat besar untuk memengaruhi pertempuran antara kedua kelompok studio dan perusahaan teknologi yang saling bersaing untuk menetapkan standar untuk generasi berikutnya" [3]. Manipulasi foto dan pornografi yang dihasilkan oleh komputer Sejumlah pornografi dihasilkan melalui manipulasi digital dalam program-program editor gambar seperti Adobe Photoshop. Praktik ini dilakukan dengan membuat perubahan- perubahan kecil terhadap foto-foto untuk memperbiaki penampilan para modelnya, seperti misalnya menyingkirkan cacat pada kulit, memperbaiki cahaya dan kontras fotonya, hingga perubahan-perubahan besar dalam bentuk membuat photomorph dari makhluk-makhluk yang tidak pernah ada seperti misalnya gadis kucing atau gambar-gambar dari para selebriti yang bahkan mungkin tidak pernah memberikan persetujuannya untuk ditampilkan menjadi film porno.
  • 10. Manipulasi digital membutuhkan foto-foto sumber, tetapi sejumlah pornografi dihasilkan tanpa aktor manusia sama sekali. Gagasan tentang pornografi yang sepenuhnya dihasilkan oleh komputer sudah dipikirkan sejak dini sebagai salah satu daerah aplikasi yang paling jelas untuk grafik komputer dan pembuatan gambar tiga dimensi. Pembuatan gambar-gambar lewat komputer yang sangat realistik menciptakan dilema-dilema etika baru. Ketika gambar-gambar khayal tentang penyiksaan atau pemerkosaan disebarkan secara luas, para penegak hukum menghadapi kesulitan-kesulitan tambahan untuk menuntut gambar-gambar otentik yang menampilkan perbuatan kriminal, karena kemungkinan gambar-gambar itu hanyalah gambar sintetik. Keberadaan foto-foto porno palsu dari para selebriti memperlihatkan kemungkinan untuk menggunakan gambar- gambar palsu untuk melakukan pemerasan atau mempermalukan siapapun yang difoto atau difilmkan, meskipun ketika kasus-kasus itu menjadi semakin lazim, pengaruhnya kemungkinan akan berkurang. Akhirnya, generasi gambar-gambar yang sama sekali bersifat sintetik, yang tidak merekam peristiwa-peristiwa yang sesungguhnya, menantang kritik-kritik konvensional terhadap pornografi. Hingga akhir 1990-an pornografi yang dihasilkan melalui manipulasi digital belum dapat dihasilkan dengan murah. Pada awal 2000-an kegiatan ini semakin berkembang, ketika perangkat lunak untuk pembuatan model dan animasi semakin maju dan menghasilkan kemampuan-kemampuan yang semakin tinggi pada komputer. Pada tahun 2004, pornografi yang dihasilkan lewat komputer gambarnya melibatkan anak-anak dan hubungan seks dengan tokoh fiksi seperti misalnya Lara Croft sudah dihasilkan pada tingkat yang terbatas. Terbitan Playboy pada Oktober 2004 menampilkan foto-foto telanjang dada dari tokoh permainan video BloodRayne. [4] Internet Dengan munculnya internet, pornografi pun semakin mudah didapat. Sebagian dari pengusaha wiraswasta internet yang paling berhasil adalah mereka yang mengoperasikan situs-situs porno di internet.[rujukan?] Demikian pula foto-foto konvensional ataupun video porno, sebagian situs hiburan permainan video "interaktif". Karena sifatnya internasional, internet memberikan sarana yang mudah kepada konsumen yang tinggal di negara-negara di mana keberadaan pornografi dilarang sama sekali oleh hukum, atau setidak-tidaknya mereka yang tidak perlu memperlihatkan bukti usia, dapat dengan mudah mendapatkan bahan-bahan
  • 11. seperti itu dari negara-negara lain di mana pornografi legal atau tidak mengakibatkan tuntutan hukum. Lihat pornografi internet. Biaya yang murah dalam penggandaan dan penyebaran data digital meningkatkan terbentuknya kalangan pribadi orang-orang yang tukar-menukar pornografi. Dengan munculnya aplikasi berbagi file peer-to-peer seperti Kazaa, tukar-menukar pornografi telah mencapai rekor yang baru. Pornografi gratis tersedia secara besar-besaran dari para pengguna lainnya dan tidak lagi terbatas pada kelompok-kelompok pribadi. Pornografi gratis dalam jumlah besar di internet juga disebarkan dengan tujuan-tujuan pemasaran, untuk menggalakkan para pelanggan yang membeli program bayaran. Sejak akhir tahun 1990-an, "porno dari masyarakat untuk masyarakat" tampaknya telah menjadi kecenderungan baru. Kamera digital yang murah, perangkat lunak yang kian berdaya dan mudah digunakan, serta akses yang mudah ke sumber-sumber bahan porno telah memungkinkan pribadi-pribadi untuk membuat dan menyebarkan bahan-bahan porno yang dibuat sendiri atau dimodifikasi dengan biaya yang sangat murah dan bahkan gratis. Di internet, pornografi kadang-kadang dirujuk seagai pr0n yaitu plesetan dari p0rn — porno yang ditulis dengan angka nol. Salah satu teori tentang asal-usul ejaan ini ialah bahwa ini adalah siasat yang digunakan untuk mengelakkan penyaring teks dalam program- program pesan pendek atau ruang obrol. Menurut Google, setiap hari terjadi 68 juta pencarian dengan menggunakan kata "porno" atau variasinya. Status hukum pornografi sangat berbeda-beda. Kebanyakan negara mengizinkan paling kurang salah satu bentuk pornografi. Di beberapa negara, pornografi ringan dianggap tidak terlalu mengganggu hingga dapat dijual di toko-toko umum atau disajikan di televisi. Sebaliknya, pornografi berat biasanya diatur ketat. Pornografi anak dianggap melanggar hukum di kebanyakan negara, dan pada umumnya negara-negara mempunyai pembatasan menyangkut pornografi yang melibatkan kekerasan atau binatang. Sebagian orang, termasuk produser pornografi Larry Flynt dan penulis Salman Rushdie, mengatakan bahwa pornografi itu penting bagi kebebasan dan bahwa suatu
  • 12. masyarakat yang bebas dan beradab harus dinilai dari seberapa jauh mereka bersedia menerima pornografi. Kebanyakan negara berusaha membatasi akses anak-anak di bawah umur terhadap bahan-bahan porno berat, misalnya dengan membatasi ketersediaannya hanya pada toko buku dewasa, hanya melalui pesanan lewat pos, lewat saluran-saluran televisi yang dapat dibatasi orang tua, dll. Biasanya toko-toko porno membatasi usia orang-orang yang masuk ke situ, atau kadang-kadang barang-barang yang disajikan ditutupi sebagian atau sama sekali tidak terpampang. Yang lebih lazim lagi, penyebaran pornografi kepada anak-anak di bawah umur dianggap melanggar hukum. Namun banyak dari usaha-usaha ini ternyata tidak mampu membatasi ketersediaan pornografi karena akses yang cukup terbuka terhadap pornografi internet. B. Jenis-jenis cyberporn Ketentuan Pidana UU ini diatur dalam Bab VII mulai dari Pasal 29 sampai Pasal 41. Adapun perbuatan yang dilarang adalah 1. memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan/menyediakan pornografi (P.29); 2. menyediakan jasa pornografi (P.30); 3. meminjamkan/mengunduh pornografi (Pasal 31); 4. memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi (P.32); 5. mendanai/memfasilitasi perbuatan dalam Pasal 29 dan 30 (P.33); 6. sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek/model yang mengandung muatan pornografi (P.34); 7. menjadikan orang lain sebagai objek/model yang mengandung muatan pornografi (P.35); 8. mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan/di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya (P.36); melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek dalam produk pornografi/jasa pornografi (P.37); dan
  • 13. 9. mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan 10. produk atau jasa pornografi (P. 38). C. Undang-Undang Pornografi Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Undang-Undang Pornografi (sebelumnya saat masih berbentuk rancangan bernama Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi, disingkat RUU APP, dan kemudian menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi) adalah suatu produk hukum berbentuk undang-undang yang mengatur mengenai pornografi (dan pornoaksi pada awalnya). UU ini disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR pada 30 Oktober 2008[1] UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara;
  • 14. b. bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin berkembang luas di tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia; c. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi yang ada saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Pornografi; Mengingat : Pasal 20 Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PORNOGRAFI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  • 15. 1. Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. 2. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya. 3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. 4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. 5. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pasal 2 Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara. Pasal 3 Undang-Undang ini bertujuan:
  • 16. a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan; b. menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk; c. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat; d. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan e. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat. BAB II LARANGAN DAN PEMBATASAN Pasal 4 (1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; atau
  • 17. f. pornografi anak. (2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin; c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual. Pasal 5 Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). Pasal 6 Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 7 Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
  • 18. Pasal 8 Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi. Pasal 9 Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi. Pasal 10 Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya. Pasal 11 Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10. Pasal 12 Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.
  • 19. Pasal 13 (1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan perundang-undangan. (2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus. Pasal 14 Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB III PERLINDUNGAN ANAK Pasal 15 Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi. Pasal 16 (1) Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
  • 20. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB IV PENCEGAHAN Bagian Kesatu Peran Pemerintah Pasal 17 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Pasal 18 Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah berwenang: a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet; b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
  • 21. Pasal 19 Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah Daerah berwenang: a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya; b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan d. mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di wilayahnya. Bagian Kedua Peran Serta Masyarakat Pasal 20 Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Pasal 21 (1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dilakukan dengan cara: a. melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;
  • 22. b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan; c. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi; dan d. melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 22 Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a berhak mendapat perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB V PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN Pasal 23 Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pelanggaran pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Pasal 24
  • 23. Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada: a. barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik, maupun bentuk penyimpanan data lainnya; dan b. data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya. Pasal 25 (1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses, memeriksa, dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam fail komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya. (2) Untuk kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data elektronik yang diminta penyidik. (3) Pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik setelah menyerahkan dan/atau membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhak menerima tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data elektronik dari penyidik. Pasal 26 Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan komunikasi di tempat data tersebut didapatkan. Pasal 27
  • 24. (1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dilampirkan dalam berkas perkara. (2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dapat dimusnahkan atau dihapus. (3) Penyidik, penuntut umum, dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data elektronik yang dimusnahkan atau dihapus. BAB VI PEMUSNAHAN Pasal 28 (1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan. (2) Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut umum dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat: a. nama media cetak dan/atau media elektronik yang menyebarluaskan pornografi; b. nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan; c. hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan d. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang dimusnahkan. BAB VII
  • 25. KETENTUAN PIDANA Pasal 29 Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Pasal 30 Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 31 Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 32 Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  • 26. Pasal 33 Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 34 Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 35 Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Pasal 36 Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
  • 27. Pasal 37 Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya. Pasal 38 Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 39 Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 adalah kejahatan. Pasal 40 (1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. (2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun
  • 28. berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama. (3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus. (4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain. (5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan. (6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor. (7) Dalam hal tindak pidana pornografi yang dilakukan korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap korporasi dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini. Pasal 41 Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa: a. pembekuan izin usaha; b. pencabutan izin usaha; c. perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan d. pencabutan status badan hukum.
  • 29. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 42 Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Undang-Undang ini, dibentuk gugus tugas antardepartemen, kementerian, dan lembaga terkait yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal 43 Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan. Pasal 44 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang- undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. Pasal 45 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang- Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
  • 30. I. UMUM Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara. Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan andil terhadap meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memberikan pengaruh buruk terhadap moral dan kepribadian luhur bangsa Indonesia sehingga mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia. Berkembangluasnya pornografi di tengah masyarakat juga mengakibatkan meningkatnya tindak asusila dan pencabulan. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah mengisyaratkan melalui Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa mengenai ancaman yang serius terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa, yang salah satunya disebabkan oleh meningkatnya tindakan asusila, pencabulan, prostitusi, dan media pornografi, sehingga diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mendorong penguatan kembali etika dan moral masyarakat Indonesia. Pengaturan pornografi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kurang memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat sehingga perlu dibuat undang-undang baru yang secara khusus mengatur pornografi. Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum,
  • 31. nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara. Hal tersebut berarti bahwa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah: 1. menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran agama; 2. memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan larangan yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara serta menentukan jenis sanksi bagi yang melanggarnya; dan 3. melindungi setiap warga negara, khususnya perempuan, anak, dan generasi muda dari pengaruh buruk dan korban pornografi. Pengaturan pornografi dalam Undang-Undang ini meliputi (1) pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; (2) perlindungan anak dari pengaruh pornografi; dan (3) pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan. Undang-Undang ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan. Untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi, Undang-Undang ini mewajibkan kepada semua pihak, dalam hal ini negara, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat untuk memberikan pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi. Berdasarkan pemikiran tersebut, Undang-Undang tentang Pornografi diatur secara komprehensif dalam rangka mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang beretika, berkepribadian luhur, dan menjunjung tinggi nilai- nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat setiap warga negara.
  • 32. 4.Pencegahan cyberporn Metrotvnews.com, Padang: Pengamat sosial Dr Silfia Hanani mengatakan, gugus tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi dalam melaksanakan tugas-tugasnya harus menghindari bias gender. "Pencegahan dan penanangan pornografi indikatornya jangan dalam konteks berpakaian, karena kebijakan tersebut bisa saja menimbulkan bias," kata dosen Program Studi Sosiologi Pascasarjana Universitas Andalas (Unand) Padang, Rabu (11/4). Presiden SBY membentuk gugus tugas Pencegahan dan Penanangan Pornografi untuk menjamin kelancaran dan keefektifan pelaksanaan undang-undang. Hal itu diwujudkan melalui Peraturan Presiden Nomor 25 tahun 2012. Gugus tugas itu sendiri nantinya bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Menurut dia, kalau indikator atau kriteria pornografi hanya dalam berpakaian, misalnya perempaun menggunakan rok di atas lutut, maka akan kurang tepat karena masalahnya dihadapkan pada kondisi multikultural. Namun kalau untuk kasus Sumatera Barat indikatornya berpakaian tidak masalah, karena masyarakatnya sudah akrab dengan pakaian muslimah, ujarnya. Jadi, menurut dia, penetapan kriteria pornografi harus mencari formula yang tepat dan jangan hanya melihat dari sisi perempuan, agar keberadaan gugus tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi ini tidak menimbulkan bias gender. Ia menjelaskan, gugus tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi juga bertugas mengoordniasikan upaya pencegahan dan penanganan masalah pornografi dan memantau pelaksanaan pencegahan dan penanganannya. Kemudian juga melaksanakan sosialisasi, edukasi, kerja sama pencegahan dan penanganan pornografi, serta melaksanakan evaluasi pelaporan. "Kalau edukasi saya sependapat. Tapi yang diedukasi bukan perempuan saja, tapi juga laki-laki,"