Workshop penulisan buku (Buku referensi, monograf, BUKU...
Majelis dzikir modern dari sudut pandang psikologi kelompok
1. Running Head: Mekanisme Majelis Dzikir Modern
Mekanisme Majelis Dzikir Modern
Dari Sudut Pandang Psikologi Kelompok
Muhammad Faisal
1
2. Abstract
Group ritual is one of the contemporary fenomenon that
become salient in the Indonesian ummah. This type of ritual
has „Hypnotized‟ the mass into the „Spiritual realm‟. Group
dzikir is one of the revolutionary group ritual that started this
ritual trend in Indonesia. This article analyze the process that
underlies the group dzikir, using group psychological
perspective. The repression of group guilt into
unconsciousness and emotional contagion is suspected to be
some of the few determinant of group dzikir popularity.
Keywords: Group dzikir, emotional contagion, group
psychodynamics.
2
3. Pendahuluan
Manusia modern telah berevolusi menjadi nomaden materialistik. Rumah
hanya menjadi halte persinggahan, waktu yang dapat diluangkan untuk diri, keluarga,
dan ritual agama semakin terkikis, sedangkan pekerjaan telah menjadi nafas
kehidupan. Nuansa kompetitif dan budaya individualistik semakin mendorong
manusia untuk berpikir secara pragmatik. Hal tersebut juga terjadi pada umat Islam
metropolis di Indonesia, dimana beberapa ritual yang terenkulturasi seperti
pembacaan ratib, maulid, qasidah, munajat bersama dan dzikir berjamaah sudah
mulai ditinggalkan. Ritual-ritual tersebut sudah tidak dipraktekan di masyarakat
religius metropolitan. Akan tetapi, terkadang masih dapat ditemukan di pinggiran
kota Jakarta.
Danah Zohar dan Ian Marshall (2000) mengatakan bahwa krisis fundamental
dari zaman kini adalah permasalahan spiritual. Permasalahan spiritual atau krisis
spiritual telah menjadi sebuah hal yang umum. Bastaman (1995) mengatakan bahwa
di indonesia sendiri, khususnya kota-kota besar, beban psikologis ini sudah mulai
lazim dirasakan dalam kehidupan pribadi dan keluarga. Hal ini terungkap dalam
berbagai keluhan seperti gelisah, serba tidak puas, perasaan serba ragu, serba salah,
frustasi, sengketa batin dan sengketa dengan orang lain, merasa hampa, kehilangan
semangat hidup, munculnya berbagai penyakit psikosomatis, dan perilaku yang
mencerminkan ketidaktenangan.
Tren baru dalam ritual-ritual keagamaan lalu muncul sebagai respon terhadap
kegersangan spiritual umat. Kegiatan ini dipelopori oleh beberapa ulama muda yang
mengkonstruksi ulang majelis-majelis dzikir. Dalam waktu yang cukup singkat,
kegiatan majelis dzikir menjadi sangat diminati. Dari sebuah majelis kecil kegiatan
dzikir berubah menjadi acara yang kolosal. Terkadang pelaksanaanya di sebuah
lapangan besar, atau lahan parkir. Acara-acara dzikir menarik minat televisi dan
berkembang menjadi sebuah tayangan rutin statiun televisi. Hal tersebut
menunjukkan adanya perubahan besar dalam konstruksi ritual kelompok, secara
khusus ritual dzikir Islam.
3
4. Lambat laun, majelis dizikirpun disemarakan oleh kalangan politikus. Dalam
salah artikel wawancara di Gatra (2003) Arifin Ilham bercerita:
Masyarakat sekarang kan butuh yang riil. Itu yang membuat Ustad
Ja'far Umar Thalib sampai datang. Beliau sampai bilang, ''Wah ini
bukan zikir-zikiran, ini zikir beneran.'' Ada Hidayat Nurwahid dan
Ismail Yusanto. Kemarin Pak Hamzah Haz ikut zikir, tadi malam saya
ngobrol sama Pak Wiranto dan Pak Wismoyo. Nanti ke Panglima,
kemudian ke tempat Ibu Mega. Jadi semua masuk.
Pernyataan ini menunjukkan bagaimana majelis dzikir dengan format baru
makin diminati berbagai kalangan masyarakat, bahkan dijadikan sebuah sarana untuk
konsilidasi politik. Kelompok majelis dzikir modern memiliki dinamika dan aturan
tersendiri. Pada umumnya ustad, kiyai, atau ulama yang menjadi pemimpin dzikir
berdiri atau duduk di depan jamaah. Acara biasanya dimulai dengan tausiyah singkat
untuk mengingatkan pentingnya makna dzikir. Lalu dilanjutkan dengan dzikir
terpimpin.
Perubahan dinamika kelompok dalam ritual keagamaan seperti ini kurang
mendapatkan perhatian ilmiah, sehingga proses-proses yang berlangsung didalamnya
masih jauh dari ranah penjelasan psikologis. Artikel ini akan mengulas dinamika
kelompok dzikir modern dengan menggunakan teori-teori psikologi sosial klasik.
Hasilnya akan menjadi kerangka untuk meneliti secara empirik perilaku dan tren
sosio-religius masyarakat.
Psikodinamika Kelompok
Terdapat beberapa pendekatan teoretis tentang dinamika kelompok di dalam
kajian psikologi sosial. Antara lain adalah teori psikodinamika fungsi kelompok dari
Bion (1948-1951). Bion mendasarkan teorinya pada hasil pengamatan dan
partisipasinya dalam kelompok-kelompok terapi. Sekalipun demikian, teorinya dapat
juga diproyeksikan pada kelompok lain.
Kelompok berfungsi pada taraf tidak sadar dan didasarkan pada kecemasan-
kecemasan dan motivasi-motivasi dasar yang terdapat pada manusia. Ia menganggap
4
5. kelompok sebagai versi makrokosmos dari individu. Dengan konsep-konsep dari
Bion mengenai kelompok penulis akan menganalisis proses majelis dzikir.
Menurut Bion (dalam Sarwono, 2004), pada kelompok terdapat:
- Kebutuhan-kebutuhan dan motif-motif (Fungsi dari Id)
- Tujuan dan mekanisme (fungsi Ego)
- Keterbatasan-keterbatasan (fungsi Superego)
Kelompok juga dikatakan mempunyai konflik-konflik yang senilai dengan
oedipoes kompleks pada taraf individual.
a. Kelompok kerja
Kelompok kerja adalah kelompok yang bertujuan melaksanakan suatu tugas.
Ia mempunyai sejumlah peraturan dan prosedur. Ia memiliki mekanisme administrasi
untuk mencapai kerjasama mekanisme anggota kelompok. Oleh karena itu, Bion
cenderung menamakan kelompok kerja ini sebagai kelompok bertaraf tinggi
(sophisticated). Kelompok ini relatif tidak beremosi dan berorientasi pada kenyataan.
Ciri-ciri emosional kelompok akan muncul pada saat keberadaanya
dipertanyakan. Namun, emosi-emosi ini harus ditekan (repressed) demi keutuhan
kelompok. Sistem yang ada akan mengatur sedemikian rupa sehingga emosi-emosi
yang timbul tidak saling berkonflik. Fungsi kelompok kerja ini mirip dengan fungsi
dari Ego. Sebagaimana Ego, kelompok kerja ini memiliki beberapa sifat berikut:
- Dikuasai oleh prinsip realitas.
- Diaktifkan oleh kebutuhan untuk mempertahankan diri.
- Menyalurkan emosi-emosi untuk mencegah konflik sambil memberi
kesempatan untuk meredakan ketegangan.
- Berespons terhadap peraturan dan keterbatasan dari kelompok (Superego)
maupun terhadap tuntutan-tuntutan emosionalnya (Id).
b. Asumsi-asumsi dasar tentang kelompok
Bion mengatakan bahwa ada tiga asumsi dasar tentang mekanisme kerja
kelompok yang masing-masing berkaitan dengan keadaan emosi tertentu dari
kelompok. Ketiga asumsi dasar tersebut adalah:
5
6. 1. Asumsi ketergantungan
2. Asumsi pasangan
3. Asumsi lawan-lari.
1) Asumsi ketergantungan
Dalam asumsi ini kelompok dianggap terbentuk karena adanya perasaan-perasaan
ketidakberdayaan dan frustasi di kalangan anggotanya. Dalam keadaan merasa tidak
berdaya dan frustasi ini, individu-individu anggota kelompok itu mencari dan
mengharapkan perlindungan serta perawatan dari pemimpinnya. Pemimpin dianggap
mempunyai kemampuan yang dapat mengarahkan perilaku kelompok dan interaksi
antara anggota kelompok. Ciri dari kelompok semacam ini adalah inefisiensi dalam
komunikasi antaranggota, karena komunikasi yang ada hanyalah komunikasi antara
anggota dan pemimpin.
2) Asumsi pasangan
Dalam asumsi ini kelompok dianggap terbentuk karena adanya dorongan pada
anggota untuk saling berpasangan. Komunikasi mantap yang terjadi antara dua orang
dari jenis kelamin yang berbeda dianggap mempunyai tujuan-tujuan seksual. Timbul
harapan bahwa akan terjadi keturunan-keturunan yang akan mempertahankan
eksistensi (kekekalan) kelompok. Jadi, selain perasaan tidak mau terasing satu dengan
yang lainnya, juga terbentuk atas dasar emosi mengharap. Fungsi pemimpin adalah
sebagai juru selamat (mesiah) yang bertugas menjad kelestarian pasangan dan
mempertahankan keutuhan kelompok serta memperkecil kemungkinan pecahnya
kelompok.
3) Asumsi melawan-lari
Emosi yang mendasari ini adalah kemarahan, ketakutan, kebencian, dan
agresivitas. Cara satu-satunya yang diketahui oleh kelompok untuk mempertahankan
eksistensi mereka adalah berkelahi melawan sesuatu atau lari menghindari sesuatu.
Tugas pemimpin adalah memungkinkan anggota-anggota kelompoknya untuk bisa
melawan atau melarikan diri.
6
7. Bion tidak menutup kemungkinan adanya asumsi-asumsi lain, tetapi ia
menyatakan bahwa dalam observasinya, ketiga asumsi inilah yang sering terjadi.
c. Mentalitas kelompok
Mentalitas kelompok merupakan fungsi superego dari kelompok. Ia
merupakan kesepakatan atau kemauan bersama dari anggota-anggotanya. Bagaimana
anggota-anggota itu menyalurkan pendapatnya masing-masing sampai membentuk
kesepakatan kelompok, individu itu sendiri tidak menyadarinya. Ia hanya mengetahui
bahwa bila ada seseorang yang bertingkah laku menyimpang dari kesepakatan
bersama, ia tidak senang, atau tidak setuju. Jadi, jika ada anggota kelompok yang
bertingkah laku menentang asumsi dasar yang sedang berlaku dalam kelompok, maka
akan ada suatu mekanisme yang mengembalikan perilaku orang itu ke jalan yang
benar.
d. Kebudayaan kelompok
Kebudayaan kelompok adalah struktur kelompok pada suatu waktu tertentu,
pekerjaan yang dilakukan, dan organisasi yang dianutnya, kebudayaan kelompok itu
merupakan hasil konflik antara kemauan-kemauan individual dan mentalitas
kelompok. Sebagai contoh, kelompok egalitarian, kelompok agresif, kelompok
pembuat keputusan, dan sebagainya. Setiap kelompok bisa mempunyai beberapa
struktur sekaligus. Salah satu struktur yang dominan pada saat tertentu adalah yang
menentukan asumsi dasar yang berlaku pada saat itu.
Emotional contagion
Hogg dan Tindale (2003) mengatakan bahwa emotional contagion adalah
sebuah proses dimana mood dan emosi dari orang di sekitar kita mempengaruhi
kondisi emosi kita sendiri. Dengan kata lain emotional contagion adalah proses
dimana kita “Menangkap” emosi orang lain. Dahulu konsep mengenai emotional
contagion banyak dikaitkan dengan perilaku patologis. Seperti Le Bon (dalam Hogg
dan Tindale, 2003) mengatakan bahwa individu ketika sudah bergabung ke dalam
sebuah crowd dapat berubah emosinya menjadi agresif, karena bergabungnya
7
8. individu ke dalam crowd memancing pemikiran primitif individu. Padahal penularan
emosi secara umum terjadi karena faktor-faktor psikofisiologis, perilaku, dan
fenomena sosial.
Perilaku emosi yang tampak atau yang hadir dalam sebuah lingkungan dapat
memancing emosi yang sama dalam diri kita sendiri. Sebagai contoh, ketika orang
lain senyum kepada kita terkadang kita juga ikut tersenyum. Terkadang dapat juga
terjadi proses contercontagion atau respon komplementer, dimana emosi dari
lingkungan memancing respon emosi yang berlawanan dari diri kita. Sebagai contoh,
terkadang perilaku marah dari seseorang anak akan memancing tawa
(contercontagion emotion) dari orang tua.
Further et al (dalam Hogg dan Tindale, 2003) mengatakan bahwa
sesungguhnya emotional contagion memiliki sebuah fungsi adapatif untuk entitas
sosial. Emotional contagion merupakan sebuah perilaku yang dapat dijelaskan dari
berbagai dimensi. Misalnya, perilaku emotional contagion dapat dijelaskan dari
sudut pandang teori belajar, dimana perilaku tersebut merupakan sebuah respon
emotional yang terkondisikan. Sedangkan Hatfield et al (dalam Hogg dan Tindale,
2003) mengatakan bahwa emotional contagion terjadi karena adanya interaksi dari
mimik wajah dan sinkronisasi. Ketika seorang individu memeragakan atau meniru
mimik wajah, gerakan, dan suara dari seorang individu ia akan dengan sendirinya
mengalami penularan emosi atau emotional contagion.
McIntosh, Druckman dan Zajonc (dalam Hogg dan Tindale, 2003)
mengatakan bahwa penggunaan istilah „Contagion’ lebih bermakna ‘Induced’ atau
ditanamkan. Secara lebih lanjut mereka mengatakan bahwa emosi yang ditanamkan
sangat bergantung kepada seberapa besar target dari sumber informasi disukai oleh
subyek. Konsep lain yang juga dapat menjelaskan perilaku emotional contagion
adalah sinkronisasi interaksi. Dalam sinkronisasi interaksi perilaku emosi individu
mengikuti perilaku dari kelompok dalam rangka sinkronisasi dan penyesuaian.
Sinkronisasi bukan hanya melibatkan koordinasi dari gerakan tubuh secara mikro dan
makro akan tetapi juga melibatkan koordinasi dari afek dan sikap antara rekan yang
8
9. saling berinteraksi. Hasil dari sebuah proses sinkronisasi adalah afek positif yang
dapat berupa perasan suka terhadap rekan, atau kepuasan dalam interaksi dan rapport
yang lebih baik antara individu. Dari sudut pandang sinkronisasi perubahan emosi
lebih merupakan hasil dari interaksi jika dibandingkan dengan sebuah transfer emosi.
Majelis Dzikir Arifin Ilham
Pada Majelis dzikir yang dipimpin oleh Arifin Ilham prosesi yang
berlangsung diawali oleh tausiyah (ceramah ruhani singkat), dimana para jemaah
(peserta) diingatkan akan pentingnya dzikir dalam kehidupan, dan bagaimana dzikir
dapat memembantu seorang individu untuk menjadi lebih baik dalam berbagai aspek
hidupnya. Lalu, acara dilanjutkan dengan dzikir yang dipimpin oleh ust Arifin Ilham.
Secara umum ust Arifin Ilham membaca dzikir telebih dahulu, lalu para peserta
diminta mengikuti apa-apa yang telah dikatakan. Para peserta dari Majelis dzikir dari
ustad Arifin Ilham memiliki keunikan dalam hal pakaian. Seluruh peserta diminta
untuk menggunakan pakaian putih-putih, dimana hal tersebut melambangkan
kesucian. Pada pertengahan proses dzikir, ustad Arifin Ilham menyertakan doa, dan
kalimat-kalimat yang mengharukan sehingga para peserta terbawa oleh suasana.
Terkadang ust Arifin Ilham selaku pemimpin dzikir juga turut menangis. Hal ini
biasanya disertai dengan tangisan histeris dari peserta majelis dzikir. Majelis dzikir
juga sering kali diikuti oleh tokoh-tokoh keagamaan dan politik, selain itu disiarkan
secara tunda atau langsung di televisi. Pada akhir acara ustad Arifin Ilham kembali
memberikan siraman rohani kepada para peserta, dengan menyertakan petuah-petuah
agama, lalu dihubungkan dengan kondisi aktual masyarakat.
Diskusi
Menurut psikodinamika kelompok dari Bion. Maraknya ritual-ritual dzikir
dapat disebut sebagai bentuk aktualisasi dari drive unconscious masyarakat. Sejak
dahulu, norma-norma dan nilai-nilai konservatif masyarakat Indonesia sangat erat
dengan ritual-ritual keagamaan, namun batasan tradisi tersebut semakin pudar ketika
media massa sudah semakin mudah untuk diakses.
9
10. Ketika masyarakat meninggalkan nilai-nilai atau melanggar norma-norma
yang telah tertanam di dalam unconscious sejak kecil melalui proses pendidikan,
larangan, dan anjuran dari orangtua, maka perasaan bersalah akan tampil. Lalu,
perasaan bersalah ini kian lama membentuk anxiety dalam diri individu serta
kelompok. Munculnya berbagai ragam ritual dalam bentuk yang baru seperti majelis
dzikir dapat menampilkan ingatan kelompok (collective memory) terhadap norma dan
superego kelompok, karena nilai-nilai yang ditampilkan adalah nilai-nilai lama.
Kegiatan majelis dzikir merupakan magnet nilai-nilai, dan norma-norma
konvensional yang mampu menghapus anxiety masyarakat modern. Hal ini sesuai
dengan pernyataan dari Freud bahwa agama berfungsi untuk mengembalikan apa-apa
yang telah direpresi (dalam Rakhmat, 2003). Masyarakat berusaha untuk mengurangi
dan menghilangkan kecemasan-kecemasan yang dialaminya dengan berusaha berlari
menghindari lingkungan-lingkungan yang memberikan ketegangan. Disini ritual
keagamaan berperan secara simbolis sebagai superego dalam tingkat makrokosmos.
Dalam kaitannya dengan teori Bion yang mengatakan dinamika kelompok
sebagai kelompok kerja yang berorientasi kepada kondisi realistik. Dapat dikatakan
bahwa kelompok majelis dzikir, sebagaimana yang diselenggarakan oleh Ustad Arifin
Ilham berusaha untuk mencapai tujuan realistik. Dimana tugas dari sebuah kelompok
majelis dzikir adalah untuk menghilangkan ketegangan-ketegangan intrapersonal
individu akibat dari rasa bersalah, karena telah melanggar sejumlah nilai-nilai dan
norma konvensional. Sesuai dengan teori Bion, sebuah kelompok kerja ditentukan
peraturan-peraturan tertentu dan hal-hal yang dapat mengganggu proses berjalannya
kelompok akan berusaha untuk direpress. Dalam majelis dzikir hal ini terwujud
dalam bentuk peraturan-peraturan seperti dresscode yang serba putih-putih. Jika
dikaitkan dengan psikodinamika dari Freud hal ini dapat menampilkan unconscious
individu mengenai kesucian diri ke dalam consciousness.
Jika kita melihat kepada berbagai asumsi-asumsi psikoanalisa kelompok dari
Bion, majelis dzikir memenuhi tiga asumsi psikoanalisa kelompok. Pada asumsi
ketergantungan, anggota kelompok berharap pada pemimpin dari kelompok tersebut
10
11. untuk melepaskan segala permasalahan dan beban frustasi yang dialaminya. Dalam
majelis dzikir modern ustad memiliki peran sebagai pelepas beban kognitif dan
emosional yang dialami oleh individu. Ustad diharapkan dapat melakukan perubahan-
perubahan pada diri individu melalui proses dzikir. Pada asumsi pasangan kelompok
majelis dzikir diasumsikan terbentuk karena adanya dorongan antar anggota untuk
saling berpasangan. Sang pemimpin dari kelompok tersebut bertugas menjaga
kelestarian pasangan dan mempertahankan keutuhan kelompok serta memperkecil
kemungkinan pecahnya kelompok. Ustad selaku pemimpin kelompok, sosok yang
sangat diharapkan untuk memenuhi dan menjaga kelangsungan kelompok,
memberikan saran-saran dan petuah-petuah untuk berhasil dalam kehidupan sosial.
Pada Asumsi ketiga dari Bion dikemukakan bahwa peran kelompok adalah
sebagai tempat untuk melawan atau berlari. Pada kebanyakan kasus, ritual sering kali
digunakan sebagai media pelarian. Perlarian dari kemarahan, kebencian, ketakutan
eksistensial dan agresivitas. Freud sendiri sebagai pelopor teori dinamika kepribadian
memandang ritual agama sebagai pelarian dari impuls-impuls seksual yang direpress.
Tentu penjelasan Freud disini berlaku pada tingkat individu. Perbedaannya pada teori
Bion yang menjadi subyek adalah kelompok dan determinan dari perilaku tidak hanya
terfokus pada aspek seksual. Jadi pelarian yang dilakukan oleh individu jika
dipandang dari psikodinamika Freud bersifat intrapersonal, dimana individu berusah
berlari atau menghilangkan perasaan bersalah, kecemasan, dan rasa takut.
Sendangkan dari sudut pandang Bion, individu berusaha berlari dari lingkungan
sosial yang menimbulkan berbagai kecemasan tersebut. Ketika kelompok masyarakat
menghadiri sebuah majelis dzikir secara masal mereka berusaha untuk berlari dari
kondisi lingkungan yang tidak menyenangkan. Individu beralih dari suasana
individualis kota kepada suasana kolektivis majelis dzikir.
Aspek mentalitas kelompok majelis dzikir modern adalah superego dari
berbagai kelompok masyarakat. Dimana ia berfungsi mengembalikan nilai-nilai dan
norma-norma yang sudah ditinggalkan oleh individu dalam lingkungan kota yang
dipandang individualitik. Superego juga bertugas menekan segala jenis dorongan
11
12. aggresif dan seksual. Sehingga ketika menjalani proses zikir individu cenderung
berada dalam keadaan melankolis. Hal itu disebabkan terjadinya dominasi superego
terhadap id. Dalam mentalitas kelompok juga terdapat norma-norma yang diterapkan
hanya pada saat ritual berlangsung. Hal-hal seperti tertawa, bertanya, berdiri saat
tidak diperintahkan, tidak menyimak menjadi sesuatu yang dianggap melanggar
norma dari kelompok.
Fungsi khotbah sangat penting bagi peserta majelis zikir, karena khotbah
keagamaan dapat mengubah kesadaran individu (Jung dalam Rakhmat, 2003).
Menurut Jung, pengalaman religius awal timbul dari kontak ketidaksadaran. Hal ini
mungkin tidak terdapat dalam teori Bion atau Freud, akan tetapi konsep mengenai
unconscious hampir selalu ada pada setiap teori psikodinamika baik psikodinamika
individual maupun kelompok. Peran dari khotbah adalah untuk mengantarkan apa-
apa yang terdapat dalam ketidaksadaran individu ke dalam kesadaran. Oleh karena
itu, proses khotbah yang dilaksanakan dua kali dalam majelis dzikir cukup efektif
dalam melakukan hal tersebut.
Pada saat-saat tertentu dari ritual majelis dzikir, para peserta menangis dengan
histeris. Freud dalam psikoanalisa individual mengembangkan sebuah konsep yang
dinamakan dengan “Work”. Dreamwork menurut Freud adalah proses transformasi
dari afek dan motif unconscious ke dalam “Dream” (dalam Ekman, Good, Heider,
dan Prawitasari, 1997). Prosesi dari majelis dzikir yang menghanyutkan membawa
individu dari kesadaran ke dalam tingkat preconscious atau sebuah kondisi “Dream”.
Hal itu yang membantu individu untuk menampilkan emosi melankolis dalam ritual
dzikir. Akan tetapi penjelasan mengenai dreamwork hanya dapat menjelaskan
fenomenon menangis pada taraf individual.
Pada taraf kelompok teori yang dapat menjelaskan hal ini adalah teori
emotional contagion (penularan emosi). Hogg dan Tindale (2003) mengatakan bahwa
emosi dari seseorang di sekitar kita dapat dengan mudah mempengaruhi emosi kita
sendiri. Penularan emosi ini terjadi karena faktor psikofisiologis. Dalam sebuah
majelis dzikir proses penularan emosi sangat terlihat. Pada awal sesi dzikir seorang
12
13. ustad akan mengingatkan para peserta tentang berbagai manfaat dzikir, suasana
tenang dan sedih sudah mulai dibangun oleh ustad pimpinan. Lalu saat sesi utama
dzikir, yaitu dzikir, ustad akan membacakan dzikir dengan pengeras suara, lalu
melafalkan dzikir tersebut dengan suara sedih dan sering kali menangis. Suasana ini
sangat menular dalam sebuah ruangan dzikir.
Dari teori belajar (learning theories), perilaku menangis dari para peserta
majelis dzikir terjadi karena respon emosional yang dikondisikan (conditionned).
Karena, melalui banyaknya stimulus emosional yang disediakan oleh panitia majelis
dzikir, para peserta akan dengan sendirinya menampilkan perilaku menangis ketika
hadir di tempat tersebut. Penjelasan lain dari Further et al (dalam Hogg & Tindale,
2003) mengatakan bahwa penularan emosi terjadi karena individu ingin beradaptasi
secara sosial. Menangis menandakan bahwa seseorang sudah mencapai sebuah
ketulusan dan tingkat konsentrasi tinggi dalam doa. Ketika seorang peserta majelis
dzikir tidak menangis dalam proses tersebut maka ia telah gagal untuk mencapai
sebuah ketulusan dan konsentrasi. Dengan demikian, individu peserta majelis dzikir
akan berusaha keras untuk dapat menangis agar dapat beradaptasi dengan lingkungan
sosialnya. Dengan menangis, seorang peserta majelis dzikir dapat terhindar dari
penilaian sosial negatif.
William James (2004) mengatakan bahwa pengalaman mistis yang dialami
oleh seseorang yang sedang menjalani ritual keagamaan meliputi empat poin. Salah
satu diantara poin tersebut adalah situasi noetik dan kepasifan. Dalam „Kepasifan‟
datangnya situasi mistik bisa dikondisikan oleh beberapa tindakan pendahuluan yang
dilakukan secara sengaja. Pada saat kesadaran yang khas muncul sang mistikus
merasa bahwa untuk sementara hasratnya menghilang, dan ia merasa direngkuh serta
dikuasai oleh kekuatan yang lebih tinggi. Hal inilah yang dilakukan dalam sebuah
prosesi ritual kelompok, dimana terdapat tindakan pendahuluan yang dilakukan
secara sengaja seperti khotbah, pembacaan ayat suci, atau doa. Sebagai contoh, ketika
kondisi klimaks dari prosesi berlangsung peserta dari ritual dzikir mengalami luapan
13
14. emosi sebagai akibat dari pengalaman mistis. Namun, ketika seseorang meninggalkan
kelompok majelis dzikir seketika pengalaman tersebut hilang.
Kesimpulan
Secara umum, ritual dzikir dari sudut pandang psikologis merupakan sebuah
ruang terapi mental yang mengembalikan kognisi-emosi individu kepada keadaan
hemeostatik. Berbagai atribut dan ritual yang terdapat di dalam ritual dzikir terdiri
dari unsur-unsur simbolik yang bekerja pada taraf ketidaksadaran untuk
mengembalikan individu kepada ranah nilai-nilai serta norma yang terdapat di dalam
superego. Di satu sisi, hasil dari majelis dzikir akan memberi manfaat psikologis bagi
individu dan kelompok untuk mencapai sebuah kestabilan kognisi-emosi, namun di
sisi lain individu dan kelompok tidak akan mengetahui dengan pasti bagaimana ia
mencapai kondisi tersebut. Oleh sebab itu, efek dari sebuah ritual kelompok
sebagaimana ritual dzikir hanya bersifat temporal. Ketenangan sementara inilah yang
mendorong individu dan kelompok untuk menghadiri secara terus menerus berbagai
majelis dzikir.
Animo masyarakat terhadap ritual dzikir akan terus meningkat seiring dengan
kekeruhan moral dan spiritual masyarakat. Akan tetapi, bertambah banyaknya majelis
dzikir dapat memberi efek „Permen karet‟ ketika masyarakat mencapai sebuah
kesadaran dimana mereka membutuhkan agama sebagai jawaban atas berbagai
permasalahan praktis kehidupan. Permen karet akan terasa manis pada saat pertama
kali dikunyah, namun lambat laun ia akan terasa pahit dan dibuang.
Daftar Pustaka
Anggadha, A (Kamis 10/03/2005). GMPI PP Dzikir bersama demi partai.
Detikinet.com
Atwater, E.1983. The psychology of adjusment personal growth in a changing world
2nd ed. Prentice Hall: New Jersey.
Bastaman, H. D.1995. Integrasi psikologi dengan Islam: menuju psikologi islami.
Pustaka pelajar: Bandung.
14
15. Ekman, P, Good, B.J, Heider, K.G & Prawitasari, J.E.1997. Emosi, ekspresi,wajah,
dan budaya. Fakultas Psikologi universitas Gajah Mada: Yogyakarta.
Fauzan Jayadi. Minggu, (16 November 2003). Muhammad Arifin Ilham: Selama ini
kita cuma zikir-zikiran. Suara merdeka online.
Jalaludin Rakhmat. (2003). Psikologi Agama. Mizan: Bandung.
James, W. (2004). The varieties of religious experiences, perjumpaan dengan Tuhan
ragam pengalaman religius manusia. Mizan kronik zaman baru: Bandung.
KH Arifin Ilham ajak umat Islam untuk selalu berdzikir.kutaikartanegara.com
Sarwono, S.W. (2005). Teori-teori psikologi sosial. Rajagrafindo persada: Jakarta.
Ustad M, Arifin Ilham. Pentingnya keteladanan dalam mendidik anak. Ummionline.
Wulf, D.M.(1997). Psychology of religion classic & contemporary 2nd ed. Wiley:
New York
Zohar, D & Ian Marshall. (2000). Spiritual Intelligence the ultimate intelligence.
Bloomsbury: London.
15