Dari Sudut Tepian Mahakam: 30 Catatan Tentang Issu-Issu Lokalitas Ditengah Gelombang Globalisme
1. Page | i
Dari Sudut Tepian Mahakam
30 Catatan Tentang Issu-Issu Lokalitas Ditengah
Gelombang Globalisme
Tri Widodo W. Utomo
2013
Pusat Kajian Hukum Administrasi Negara
Lembaga Administrasi Negara RI
2. Page | ii
P r a k a t a
DSTM adalah singkatan dari Dari Sudut Tepian Mahakam. Sejak saat saya dimutasi dari
Bandung ke Samarinda bulan Oktober 2004, "Tepian" menjadi satu kosakata yang
sangat melekat dihati dan pikiran saya. Selain sebagai julukan Kota Samarinda yang
berarti TEduh, raPI dan amAN, "Tepian" juga mengandung arti denotatatif sebagai
kota yang berposisi di sepanjang tepian Sungai Mahakam. Dengan demikian,
Samarinda dan Mahakam adalah saudara kandung, saudara kembar, atau ibarat
sebuah koin yang sama dengan 2 (dua) sisi yang berbeda. Mahakam dan Samarinda
adalah 2 (dua) hal yang tidak bisa saling menggantikan (substituting), melainkan
saling melengkapi (complementing). Tiada Samarinda tanpa Mahakam, selayaknya
tiada malam tanpa bintang-gemintang di langit ...
Ketika saya dipercaya menjadi Kepala Bidang Kajian Aparatur PKP2A III, salah satu
program prioritas yang saya perjuangkan adalah penerbitan Jurnal, yang kemudian
bernama "Borneo Administrator". Sebagaimana layaknya sebuah jurnal atau
penerbitan berkala lainnya, terdapat 1 (satu) rubrik berupa editorial. Nah, sebagai
penulis naskah (script-writer) rubrik tersebut, tidak mungkin tidak bagi saya untuk
melekatkan kata "Tepian", sehingga lahirlah ... DSTM, hingga sekarang !!
Jadi, halaman "DSTM" ini berisi catatan-catatan saya yang tertuang secara rutin dalam
Editorial Jurnal Borneo Administrator terbitan PKP2A III LAN, semenjak kali pertama
terbit pada tahun 2005.
Semangat yang saya usung dalam catatan-catatan tersebut adalah membedah issu-issu
kedaerahan dan dinamika di tingkat lokal, kemudian menganalisis keterkaitannya
dalam konteks global atau konstelasi globalisasi. Singkatnya, tulisan-tulisan ini
30 Catatan Tentang Dinamika Issu-Issu Lokalitas Ditengah Gelombang Globalisme
3. Page | iii
mencoba menerapkan prinsip think globally, act locally. Pola berpikir seperti ini
mengasumsikan bahwa setiap peristiwa atau kebijakan di tingkat lokal dapat
merupakan respon terhadap peristiwa atau kebijakan di tingkat global; atau
sebaliknya, dinamika lokalitas tidak menutup kemungkinan membawa pengaruh yang
signifikan terhadap arus perubahan di tingkat global. Pola berpikir seperti ini juga
menyiratkan sebuah harapan agar para elit lokal, para birokrat lokal, serta aktor-
aktor lokal lainnya selalu berpikir out of the box dalam menyikapi sebuah fenomena
yang terjadi, dan khususnya dalam merumuskan sebuah kebijakan.
Akhir kata, selamat menikmati ... dan jangan lupa, berikan kontribusi pemikiran
untuk lebih baiknya silaturahmi ide diantara kita.
Salam semangat tak pernah padam !!
4. Page | iv
D a f t a r I s i
Prakata …………………………………………………………………………………………… ii
Daftar Isi …………………………………………………………………………………………… iii
BAGIAN PERTAMA: Issu-Issu Pembangunan dan Global (Developmentalism and
Globalism)
Catatan # 1 Memahami Konsep Negara Kesejahteraan ……………………….. 1
Catatan # 2 Anakronisme dalam Kebijakan Publik ………………............. 5
Catatan # 3 Mental Pensiun dan Dutch Disease …………………………………. 9
Catatan # 4 Pembangunan Daerah Diantara Globalisme dan Lokalisme . 13
Catatan # 5 Ambalat: Antara Kedaulatan dan Kesejahteraan ………...... 16
Catatan # 6 Pengelolaan SDA dan Kesejahteraan Rakyat …………......... 19
Catatan # 7 Kinerja Ekonomi dan Peran Strategis Negara ................ 22
Catatan # 8 Manajemen Kepulauan dan Daratan ……………………………….. 26
Catatan # 9 Perijinan, Konflik, dan Rekayasa Sosial ………………………….. 30
BAGIAN KEDUA: Issu-Issu Otonomi Daerah (Decentralization and Localism)
Catatan # 10 Logika Otonomi ………………………………………………………………. 33
Catatan # 11 Ironi Otonomi Daerah ……………………………………………………… 36
Catatan # 12 Otonomi dan Altruisme Kepala Daerah ....................... 39
Catatan # 13 Otonomi Dalam Kacamata Keluarga …………………............ 43
Catatan # 14 DAU dan Masa Depan Daerah ………………………………………….. 45
Catatan # 15 Desentralisasi Asimetris dan/dalam Negara Kesatuan …… 48
Catatan # 16 Semangat Kebatinan ”Wong Yogya” dan Paham
Konstitusionalisme .............................................. 53
BAGIAN KETIGA: Issu-Issu Politik dan Hukum
Catatan # 17 Korupsi dan Keresahan Pejabat Publik ....................... 57
Catatan # 18 PP No. 37/2006, Paradoks Wakil Rakyat, dan Fenomena
“Jaman Edan” ................................................... 60
5. Page | v
Catatan # 19 Penunjukan Langsung ............................................ 64
Catatan # 20 Rakyat vs Parpol Dalam Suksesi Kepemimpinan ............. 67
Catatan # 21 Pemilihan Gubernur dan ”Perjanjian Sosial” Baru ……...... 70
BAGIAN KEEMPAT: Issu-Issu Birokrasi dan Reformasi Birokrasi
Catatan # 22 Kelembagaan dan Persaingan ……………………………………..... 73
Catatan # 23 Perubahan, Pelayanan dan Perubahan Paradigma
Pelayanan ......................................................... 76
Catatan # 24 Politik ”Jalan Terakhir” dan Birokrasi yang Frustrasi ....... 79
Catatan # 25 ”Manajemen Lebaran” Dalam Pelayanan Publik ............. 83
Catatan # 26 Toleransi Dalam Perspektif Hukum Publik (Kasus Penggunakan
Mobil Dinas Untuk Keperluan Pribadi) ........................ 87
Catatan # 27 Belajar Reformasi dari Korea Selatan ......................... 90
Catatan # 28 Dimensi Kultural Reformasi Birokrasi (Belajar dari Korea
Selatan) ............................................................ 94
Catatan # 29 Anomali Dalam Reformasi Birokrasi (Tabukah PNS Mengkritik
Birokrasi?) ......................................................... 98
Catatan # 30 Potret Pelayanan Publik di Era Reformasi .................... 10
6. Page | 1
Catatan # 1
Memahami Konsep Negara Kesejahteraan
(Welfare State)
SEMENJAK pertengahan abad ke-19, banyak negara di
dunia memasuki babak baru berupa pergeseran arah
bandul paradigma pembangunan dari ekstrem kanan yang
bersifat liberalis kearah kiri yang lebih bercorak
sosialisme. Mekanisme pasar (market mechanism) yang
telah berjalan sekitar satu abad, mulai bergerak kearah mekanisme negara
(state mechanism). Konsekuensinya, negara harus lebih aktif berperan dalam
pembangunan nasionalnya masing-masing guna meminimalisir kegagalan pasar
(market failure) yang dibawa sistem liberal. Dengan kata lain, fungsi
mewujudkan kesejahteraan dikembalikan sebagai fungsi dasar negara. Dalam
rangka membangun kesejahteraan tersebut, negara dibenarkan untuk
melakukan intervensi apapun demi terwujudnya keadilan dan kemakmuran
rakyatnya. Inilah esensi dari interventionist state1
yang lahir dari konsep
welfare state (negara kesejahteraan).
Namun apa yang dimaksud dengan welfare state (negara kesejahteraan) itu?
Tulisan ini mencoba menguraikan asal-muasal timbulnya negara kesejahteraan
beserta implikasinya.
Welfare State sendiri merupakan respon terhadap konsep nacht-wachter staat
(night watchman state, negara penjaga malam). Pada negara penjaga malam,
karakter dasarnya adalah kebebasan (liberalism), yang berkembang pada abad
pertengahan hingga abad ke-18, terutama karena dorongan paham tentang
Invisible Hands yang termuat dalam buku Adam Smith dan David Ricardo
berjudul The Wealth of Nations: An Inquiry into the Nature and Causes
(1766).
Dalam sistem liberal ini, peran negara sangat minim, sehingga sering
dikatakan juga sebagai minimum state atau minarchism, yakni sebuah
pandangan yang meyakini bahwa pemerintah tidak memiliki hak untuk
menggunakan monopoli memaksakan atau mengatur hubungan atau transaksi
antar warga negara. Dengan kata lain, pemerintah lebih mengedepankan
pendekatan laissez faire dalam menciptakan kesejahteraan. Sebagai gantinya,
mekanisme pasar mendapat porsi besar dalam pemenuhan kebutuhan
1
Tentang teori Interventionist State ini, baca misalnya Ajit Karnik, Theories of State
Intervention, Working Paper No. 96/11, University of Bombay, Department of Economic.
Karnik mengulas empat pendekatan intervensi negara yakni neo-classical, public choice,
transactions costs dan information theoretic. Available and downloadable at
http://www.mu.ac.in/arts/social_science/eco/pdfs/depart/dwp38.pdf
7. 2
masyarakat. Adapun negara/pemerintah hanya mempunyai fungsi/peran
perlindungan warga negara dari penyerangan, pencurian, pelanggaran
kontrak, penipuan, dan gangguan keamanan lainnya.
Maka tidaklah aneh jika institusi negara yang dibentuk dalam sistem
liberalism juga hanya institusi yang berhubungan dengan aspek keamanan,
yakni militer, kepolisian, peradilan, pemadam kebakaran, termasuk penjara.
Diluar institusi yang menangani soal keamanan tersebut, masih dimungkinkan
dibentuk institusi lain yakni yang berhubungan dengan perpajakan. Dalam
prakteknya, sistem liberalisme ini sering membawa konsekuensi lahirnya
ketimpangan sosial dan ketidakadilan ekonomi karena merebaknya praktek
exploitation de l’homme par l’homm, nation par nation, sehingga melahirkan
kemiskinan dan kesenjangan yang parah antar kelompok masyarakat.
Situasi seperti inilah yang melatarbelakangi lahirnya sosialisme, atau paham
baru yang menghendaki campur tangan pemerintah secara lebih intensif
dalam bidang ekonomi dan seluruh bidang kehidupan masyarakat yang
terwujud dalam bentuk welfare state. Di berbagai negara, pemaknaan
welfare state sendiri berbeda-beda (lihat misalnya Paul Spicker, An
Introduction to Social Policy), yakni:2
• An ideal model. The "welfare state" usually refers to an ideal model of
provision, where the state accepts responsibility for the provision of
comprehensive and universal welfare for its citizens.
• State welfare. Some commentators use it to mean "welfare provided
by the state". This is the main use in the USA.
• Social protection. In many "welfare states", notably those in Western
Europe and Scandinavia, social protection are not delivered only by the
state, but by a combination of government, independent, voluntary,
and autonomous public services. These countries are usually thought of
as "welfare states".
Dalam welfare state, pemerintah/negara memiliki diskresi (freies ermessen)
untuk melakukan segala sesuatu demi mencapai tujuan meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Hak yang “bebas” inilah yang kemudian melahirkan
ekses pengaturan yang berlebihan (excessive regulatory), sehingga melahirkan
praktek maximum state atau etatism. Itulah sebabnya, welfare state yang
tidak terkontrol akan bertransformasi kedalam bentuk yang paling ekstrem
dari welfare state yakni marxism dan communism.
Situasi seperti ini berkembang luas pada abad 19. Maka, tidaklah aneh jika
negara dengan paham welfare state ini memperluas hak intervensinya hingga
ranah privat, sehingga muncul sindiran bahwa seorang warga negara di
2
http://www2.rgu.ac.uk/publicpolicy/introduction/wstate.htm Selanjutnya Spicker juga
memberi perbandingan penerapan welfare state di Inggris, Jerman, Perancis, Swedia, AS,
China, Uni Eropa, serta negara berkembang secara umum.
8. 3
welfare state sejak lahir hingga mati selalu berurusan dengan pranata negara
yang termanifestasikan dalam bentuk instrumen kebijakan atau peraturannya.
Bentuk sosialisme yang ekstrem ini hanya bertahan 1 (satu) abad, dan mulai
hancur sejak pertengahan abad 20 yang ditandai oleh pecahnya Uni Soviet
(balkanisasi). Pada saat itu, muncul gugatan terhadap paham negara
kesejahteraan (welfare state), yang ternyata juga dipandang gagal dalam
mewujudkan kesejahteraan rakyat. Inilah yang disebut dengan krisis negara
kesejahteraan.
Bahkan dalam bukunya berjudul After Welfare State (2012), Tom C. Palmer
(ed) mengugat welfare state sebagai pihak yang bertanggungjawab atas
terjadinya dua krisis yang melanda dunia saat ini, yakni krisis keuangan dan
krisis hutang. Selanjutnya, Palmer juga menulis: Young people today are
being robbed. Of their rights. Of their freedom. Of their dignity. Of their
futures. The previous generation and its predecessors, who either created or
failed to stop the world-straddling engine of theft, degradation,
manipulation, and social control we call the welfare state.3
Krisis negara kesejahteraan ini pada gilirannya melahirkan paham baru
tentang neo-liberalism. Artinya, neo-liberalisme adalah sebuah paham yang
lahir sebagai respon ekstrem namun logis terhadap kegagalan negara dalam
membangun kesejahteraan, serta bertujuan mengurangi kembali peran/fungsi
dan institusi negara yang dianggap terlalu besar. Pada tahap inilah muncul
berbagai pemikiran tentang privatization (ES. Savas, 1997), banishing
bureaucracy (David Osborne and Peter Plastrik, 1998), government is best
when governs least (quotation by Thomas Jefferson), governance without
government (James N. Rosenau and Ernst-Otto-Czempiel), dan sebagainya.
Intinya sama, yakni bagaimana pemerintah mengembalikan urusan publik
kepada publik, serta menyediakan ruang partisipasi yang lebih luas bagi
masyarakat dalam menjalankan urusan publik.
Dalam konteks mengurangi peran/fungsi pemerintah dan membuka keran
partisipasi luas kepada masyarakat tadi, maka terdapat implikasi kelembagaan
berupa munculnya NGOs dan Quasi NGOs (QUANGOS). Inilah yang oleh Prof.
Jimly Ashshidiqie sering disebut dengan The New Trias Politica dimana peran
dan interaksi antara Government, Market, dan Civil Society harus semakin
berimbang. Dan dalam konstelasi The New Trias Politica tadi, secara otomatis
3
Buku-buku serupa yang “menggugat” eksistensi negara ksejahteraan antara lain The Welfare
State in Crisis (Ramesh Mishra, 1983), The Welfare State’Crisis and The Transformation of
Social Service Works (Michael B. Fabricant and Steve Burghardt, 1992), Southern European
Welfare States: Between Crisis and Reform (Martin Rhodes, 1997), The Welfare State’s
Other Crisis: Explaining the New Partnership Between Nonprofits Organization and the
State (Claire Frances Ullman, 1999), Development and the Crisis of Welfare State: Parties
and Policies in Global Markets (Evelyne Huber and John D. Stephens, 2001), The Future of
the Welfare State: Crisis Myths and Crisis Realities (Francis G. Castles, 2004), France in
Crisis: Welfare, Inequality, and Globalization Since 1980 (Timothy B. Smith, 2004), The
Double Crisis of the Welfare State and What We Can Do About It (Peter Taylor-Gooby,
2013), dan sebagainya.
9. 4
model dan desain kelembagaan pemerintah harus semakin ramping serta
efektif dan efisien. Tri Widodo WU
Catatan: tulisan ini belum pernah dipublikasikan kecuali pada Blog penulis.
http://triwidodowutomo.blogspot.com/
10. 5
Catatan # 2
Anakronisme Dalam Kebijakan Publik
SEMENJAK lahir hingga matinya, seorang warga negara
selalu dan terus berurusan dengan negara melalui
seperangkat tata nilai dan pedoman perilaku yang disebut
kebijakan publik (public policy). Pengertian dan ruang
lingkup kebijakan publik sendiri sangat luas, meliputi
segala sesuatu yang dilakukan maupun yang tidak
dilakukan oleh pemerintah (whatever the governments choose to do or not to
do). Sedangkan output dari kebijakan adalah serangkaian tindakan yang
dibutuhkan untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi sekaligus
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Singkatnya, kebijakan publik
adalah sebuah instrumen yang dimiliki oleh negara untuk menjalankan
fungsinya memberikan pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan warga
negara.
Oleh karena kebijakan merupakan instrumen untuk melayani dan membangun
kesejahteraan publik, maka harus dijamin bahwa kebijakan tadi benar-benar
dibuat melalui proses dan analisis yang cermat serta dengan menetapkan
target atau tujuan-tujuan yang rasional dan sesuai kebutuhan masyarakat.
Kegagalan dalam mengidentifikasikan tujuan kebijakan serta proses formulasi
yang tepat, akan berdampak pada kegagalan implementasi kebijakan itu
sendiri.
Salah satu bentuk kegagalan kebijakan (policy failure) adalah terjadinya
anakronisme kebijakan. Anakronisme sendiri adalah sebuah gaya bahasa
pertentangan, atau menggambarkan sebuah paradoks dan anomali.
Anakronisme juga merujuk pada istilah yang sering digunakan untuk
menjelaskan adanya kesalahan logika dalam memahami suatu fenomena atau
peristiwa, atau berpikir tidak sesuai dengan zaman ketika sebuah fenomena
atau peristiwa terjadi. Dengan kata lain, anakronisme, seperti diperkenalkan
oleh Mohammed Arkoun dan Mohammad Abed Al Jabiri, adalah pembacaan
atas sebuah pemikiran dengan tafsiran-tafsiran yang berasal dari luar konteks
historisitasnya (Ahmad Baso, 1999).
Salah satu wujud anakronisme dalam kebijakan publik adalah fakta adanya
kesenjangan ekonomi regional dan keterbelakangan daerah yang dijawab
dengan pemekaran wilayah. Kebijakan pemekaran wilayah dipandang sebagai
obat mujarab terhadap disparitas pembangunan, dan hingga saat ini terbukti
salah. Pemekaran wilayah secara esensial bukanlah issu ekonomi
pembangunan atau ekonomi spasial, melainkan issu administrasi
pemerintahan. Artinya, tujuan pemekaran akan lebih cocok untuk mengatasi
problem rentang kendali (span of control) pemerintahan dan kecepatan
11. 6
pelayanan publik disbanding menyelesaikan soal kesenjangan tadi. Seorang
petinggi Kementerian Dalam Negeri, Dr. Made Suwandi, bahkan pernah
mengatakan bahwa menjawab kesenjangan dengan pemekaran wilayah sama
artinya dengan sakit kepala diobati dengan obat sakit perut.
Setelah satu dekade pemekaran berjalan, terbukti bahwa 80 persen daerah
otonom baru (DOB) divonis gagal. Sayangnya, indikasi kegagalan DOB tidak
dijawab dengan upaya pengembangan kapasitas atau mengatasi aspek-aspek
yang dianggap gagal, justru dijawab dengan moratorium (penghentian
sementara). Akibatnya, terjadi lagi anakronisme kebijakan. Moratorium
pemekaran, selain tidak ada landasan yuridis yang eksplisit, juga berpotensi
menutup hak-hak daerah yang benar-benar sudah cukup mampu secara
ekonomis maupun administratif, untuk dikembangkan menjadi DOB. Oleh
karena itu, kebijakan yang lebih tepat untuk menyikapi kegagalan DOB
bukanlah moratorium, namun seleksi yang lebih ketat terhadap nafsu
pemekaran yang melanda para politisi lokal. Menghentikan – meskipun
sementara – hak yang tertuang dalam konstitusi, adalah sebuah langkah yang
inkonstitusional.
Kasus otonomi khusus yang dimiliki Aceh dan Papua juga bisa diamati sebagai
sumber anakronisme kebijakan. Penerbitan UU No. 21/1999 untuk Papua serta
UU No. 18/1999 jo. UU No. 11/2006 untuk Aceh adalah jawaban pemerintah
pusat untuk mengatasi potensi disintegrasi dan problem ekstraksi sumber daya
alam yang berlebihan. Kelemahan dan kekurangan dalam implementasi otsus
bagi kedua daerah tersebut, akan menjadi anakronisme jika dijawab dengan
meninjau ulang kebijakan otonomi khusus. Dalam hal ini, harus dipahami
bahwa otsus adalah refleksi dari komitmen pusat. Jika ternyata hasilnya
belum sesuai harapan, maka bukan otsusnya yang perlu digugat, tetapi
komitmennya yang perlu diperkuat. Bahkan jika memungkinkan, penguatan
komitmen ini dapat diperluas untuk daerah-daerah lain dengan mendesain
otsus-otsus baru yang benar-benar membumi dan tidak seragam (asymmetrical
decentralization).
Dalam tulisannya berjudul “Pilkada yang Tersandera” (Kompas, 16/7/10),
peneliti LIPI, Syarif Hidayat, secara tidak langsung juga mengamati terjadinya
anakronisme kebijakan dalam konteks pemilihan umum kepala daerah.
Menurutnya, pilkada sangat penting dalam mewujudkan demokratisasi di
tingkat lokal dan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Namun, saat ini
pilkada sedang tersandera oleh anasir pragmatisme politik elit, sehinga kurang
mampu mencapai tujuan yang dikehendaki. Langkah pembenahan kedepan
bukanlah “menganiaya” atau bahkan “membunuh” pilkada, melainkan
membebaskan pilkada dari “sandera” yang mengurungnya.
Berbagai kasus diatas mengilustrasikan bahwa disadari atau tidak, ternyata
banyak kebijakan publik di sekitar kita yang tidak sesuai dengan semangat
awal atau filosofi dasar pada saat kebijakan tersebut dirumuskan.
Pertanyaannya kemudian adalah, mengana anakronisme tadi dengan mudah
12. 7
menjangkiti kebijakan publik di Indonesia, dan apa faktor-faktor yang
mempengaruhinya?
Salah satu jawaban yang paling mungkin adalah adanya pragmatisme dalam
proses perumusan kebijakan, yakni kecenderungan mencari cara instant
terhadap permasalahan yang timbul, tanpa dikaji efektivitas dari pilihan-
pilihan kebijakan dan tanpa memperhitungkan tingkat probabilitas
keberhasilan suatu kebijakan. Selain itu, anakronisme dalam kebijakan publik
juga dipicu oleh kurang mentradisinya atau kurang dihargainya policy research
sebagai bagian tak terpisahkan dari policy making. Akibatnya, kebijakan yang
ada memiliki kemungkinan gagal (implementation failure) yang lebih besar,
atau hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu secara tidak berimbang.
Kebijakan yang melenceng dari semangat awal serta menghasilkan keuntungan
kepada pihak-pihak tertentu secara tidak seimbang ini sering dikenal dengan
istilah kebijakan simbolis (symbolic policy). Christina Andrews dan Michiel de
Vries dalam papernya berjudul Between symbolic and evidence-based
policies: The Brazilian efforts to increase the quality of basic education
(2010) memberi ilustrasi yang sangat gamblang tentang symbolic policy yang
terjadi di Brazil.
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dasarnya, pemerintah Brazil
memberlakukan kebijakan semua guru harus memiliki kualifikasi minimal
sarjana. Namun seiring dengan gelombang desentralisasi yang terjadi di
negara tersebut, para guru yang telah mencapai jenjang pendidikan tinggi
cenderung pindah ke daerah yang memberikan tunjangan atau insentif lebih
besar kepada guru. Akibatnya, investasi pemerintah untuk menyekolahkan
para guru membawa manfaat secara tidak seimbang bagi daerah maupun bagi
masyarakat umum pengguna jasa layanan pendidikan dasar. De Vries juga
memberi perbandingan dengan Mongolia yang memiliki kemampuan anggaran
jauh lebih kecil dibanding Brazil, dan dengan kondisi geografis yang sangat
luas dan berat, namun ternyata kinerjanya jauh lebih baik dalam hal tingkat
melek huruf (literacy), tingkat partisipasi sekolah (years of schooling), serta
indikator-indikator pendidikan dasar lainnya.
Ironisnya, Indonesia-pun mengalami situasi seperti yang terjadi di Brazil.
Selain kasus pendidikan dasar, kasus pemberian berbagai macam subsidi juga
mencerminkan merebaknya anakronisme atau symbolic policy tadi. Subsidi
yang semestinya lebih banyak dinikmati oleh penduduk miskin (the poors),
kenyataannya lebih banyak dinikmati oleh kelompok kaya (the haves).
Kelompok kaya yang memiliki aset seperti pabrik, mobil, atau mesin-mesin,
jelas memanfaatkan subsidi jauh lebih besar dibanding kelompok yang tidak
memilikinya.
Mencermati fenomena diatas, maka jelas diperlukan adanya sebuah
perombakan yang cukup mendasar dalam sistem formulasi kebijakan publik di
masa-masa mendatang. Anakronisme maupun symbolic policy harus dihindari
semampu mungkin. Maka, adanya kebijakan yang didasarkan pada hasil kajian
13. 8
(research-based policy), atau kebijakan yang dirumuskan dengan
memperhatikan bukti-bukti nyata (evidence-based policy), sangat perlu untuk
dibudayakan. Dengan research-based policy, sebuah kebijakan hanya layak
diimplementasikan apabila telah mengalami telaah akademis melalui kajian
yang komprehensif dan teruji. Dengan evidence-based policy, sebuah
kebijakan akan dibuat dan dilaksanakan apabila fakta-fakta obyektif memang
menuntut untuk itu. Dengan kata lain, kedua hal ini diharapkan dapat
menghindari jebakan kebijakan berupa lahirnya anakronisme dalam kebijakan
publik ataupun symbolic policy. Tri Widodo WU
Sumber asli: Jurnal Borneo Administrator Vol. 6 No. 3 (Desember, 2010)
14. 9
Catatan # 3
Mental Pensiun dan Dutch Disease
HINGGA saat ini, citra PNS masih “kembar identik”
dengan sosok manusia yang kurang sejahtera, hanya
mencari jaminan masa tua, tidak terampil, serta
cenderung bermental malas dan korup. Dengan setumpuk
atribut negatif seperti itu, sudah dapat dipastikan
mereka tidak mungkin menjadi faktor produksi yang
unggul bagi organisasi. Pelayanan publik yang prima otomatis juga jauh
panggang dari api. Yang terjadi justru sebaliknya, dimana para PNS tadi lebih
banyak menjadi beban dari pada pengabdi negara.
Bahkan, tidak jarang seorang PNS yang masih aktif sudah berpikir jauh
kedepan tentang berbagai persiapan saat memasuki masa pensiun. Masa
pensiun dipersepsikan sebagai era kegelapan dimana manusia tidak mampu
lagi berkarya secara kreatif dan produktif, sehingga masa kerja benar-benar
menjadi kesempatan menumpuk modal menjelang pensiun.
Itulah kira-kira gambaran tentang mental pensiun dari seorang PNS. Dengan
jelas kita bisa melihat ciri-ciri manusia bermental pensiun ini, misalnya tidak
punya cukup keterampilan, tidak memiliki target dan ukuran kinerja dalam
aktivitasnya, pulang cepat ketika kolega atau atasannya masih menunjukkan
kesibukan tinggi, khawatir dan kasak-kusuk jika tidak masuk dalam SK
kegiatan, tidak pernah atau tidak mau memegang posisi penting dalam sebuah
tim, memiliki sumber penghasilan yang sangat terbatas karena tidak mampu
menjalin network, serta mudah puas dengan kondisi seadanya dan tidak
menyukai tantangan baru dari pekerjaannya.
Jika mental seperti itu hanya menghinggapi segelintir orang, mungkin tidak
perlu terlalu dirisaukan. Namun jika kondisi tersebut sudah menjadi
kecenderungan umum, maka institusi pemerintah jelas berada pada keadaan
yang sangat mengkhawatirkan. Mereka pada dasarnya adalah benalu/parasit
yang membawa spread-effect seperti kanker, yakni menggerogoti dari dalam
secara perlahan-lahan. Semakin banyak benalu dalam organisasi, maka
semakin cepatlah organisasi tadi layu dan akhirnya mati. Ironisnya, ternyata
mental pensiun itu tidak hanya menjangkiti para pegawai di instansi
pemerintah, namun juga lembaga pemerintahan itu sendiri.
Mari kita lihat pemerintah daerah secara umum.
Ketika kebijakan otonomi daerah digulirkan, tujuan utamanya adalah
membentuk sosok daerah yang kuat dan mandiri. Pada gilirannya, daerah
15. 10
diharapkan dapat menjalankan fungsi pelayanan dan peningkatan
kesejahteraan bagi masyarakat. Sayangnya, konstruksi daerah yang kuat dan
mandiri tadi nampaknya masih lebih berada di alam idealita dibanding alam
realita. Peristiwa-peristiwa maraknya protes buruh dan sengketa pertanahan,
atas kasus-kasus gizi buruk dan epidemi berbagai jenis penyakit, atau
kelangkaan energi dan sembako, menunjukkan bahwa pelayanan dan
kesejahteraan publik masih belum sesuai harapan khalayak, untuk tidak
menyebut tidak ada peningkatan.
Fenomena yang terang benderang justru semakin menguatnya tingkat
ketergantungan daerah terhadap alokasi angaran dari Pusat. Berbagai daerah
yang dinilai memiliki kapasitas fiskal yang tinggi, dan oleh karenanya harus
dikurangi porsi DAU-nya, ternyata menjerit dan menolak dengan keras. Dan
faktanya, jumlah dana perimbangan yang digelontorkan Pusat semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Dengan kata lain, kondisi ketergantungan ini
menjurus kepada hubungan dependensi yang makin akut, yang jika tidak
segera dicarikan jalan keluarnya, maka dapat menimbulkan jebakan atau
perangkap ketergantungan (dependency trap).
Kondisi dependency trap ini pernah pula terjadi pada level negara. Selama
masa Orde Baru, hutang luar negeri menjadi sumber pendanaan utama yang
jumlahnya semakin menggunung. Padahal, fungsi hutang luar negeri hanyalah
sebagai pelengkap dari sumber pendanaan domestik. Ketika kita sadar bahwa
jumlah hutang kita sudah diluar perhitungan akal sehat, saat itulah kita
tersadar bahwa bangsa kita sudah masuk perangkap negara donor (debt trap).
Dan ketika independensi ekonomi keuangan sudah goyah, maka independensi
politik-pun menjadi terganggu.
Dalam skala lokal, jika daerah memiliki dependensi yang kronis terhadap
Pusat, maka pada saat itu sesungguhnya sudah tidak ada lagi semangat
otonomi. Sekali lagi, otonomi dan desentralisasi harus berkorelasi secara
positif terhadap kemandirian daerah. Pertanyaannya, mengapa daerah masih
relatif memiliki ketergantungan yang makin besar terhadap Pusat?
Judul tulisan ini barangkali bisa membantu mencari jawaban.
Dengan mengambil analogi pegawai yang pasif dan kurang kreatif, maka
seperti itu pula-lah kondisi beberapa daerah di Indonesia. Dengan kata lain,
daerah terkena mental pensiun, yang kurang bekerja keras namun ingin hidup
serba berkecukupan. Daerah kurang dapat memanfaatkan faktor produksi
seperti kekayaan alam yang dimiliki secara bijak dan lestari. Sebaliknya,
mereka cenderung mengeluarkan kebijakan yang ekstraktif eksploitatif dalam
jangka pendek. Hasil dari eksploitasi tadi kemudian dihabiskan secara cepat
untuk program-program konsumsi non-investasi.
Manajemen ekstraktif eksploitatif tadi secara nyata menghasilkan orang-orang
kaya baru dan kerusakan lingkungan yang semakin nyata pula. Tanah longsor
dan banjir semakin merajalela dan tidak terkendali. Makin banyak income dari
16. 11
eksploitasi alam, makin banyak dana perimbangan, dan makin banyak dana
dalam APBD, makin sering pula kasus bencana alam (karena ulah manusia)
terjadi. Bagaimana logika tersebut terjadi? Seharusnya, setiap rupiah harus
berdampak positif terhadap masyarakat, bukan sebaliknya! Kalau kita mau
jujur, itulah bukti telah terjadinya mal-administrasi atau mis-manajemen
dalam pembangunan.
Dalam khasanah akademis, mis-manajemen seperti dipaparkan diatas sering
dikenal dengan istilah Dutch Disease (penyakit Belanda). Ketika menemukan
sumber minyak baru yang berlimpah, bukan kemajuan yang di dapat, tetapi
justru kemelaratan penduduknya. Dalam hal ini, lembaga penelitian bernama
Christian Aid selama 10 tahun menyimpulkan bahwa “bukannya memicu
kemajuan dan mendorong pertumbuhan, bukannya mengangkat jutaan orang
miskin dan memberi masyarakat miskin kebutuhan mendasar, minyak justru
lebih sering menghambat pembangunan/kemajuan” (Sudi Ariyanto, Kompas,
8/10/2004). Dalam istilah yang serupa, Dutch Disease sering dikenal juga
dengan resource curse (kutukan sumber daya alam). Dapat dibayangkan,
ketika sumber daya alam habis, dan aktivitas perekonomian menjadi lumpuh,
apa yang akan terjadi? Gambaran kota-kota yang ditinggalkan penduduknya
karena sudah tidak ada sumber kehidupan, seperti San Zhi di Taiwan, Craco di
Itali, Gunkanjima di Jepang, Kadykchan dan Chernobyl di Rusia, Otzenrath di
Jerman, dan sebagainya, adalah ilustrasi yang harus menjadi pembelajaran
serius bagi kita semua.
Baik Dutch Disease maupun resource curse terjadi karena pemerintah yang
tidak kreatif dan kurang bijak dalam menerapkan politik dan manajemen
anggaran. Semestinya, mereka memikirkan investasi masa depan,
memperbesar government saving, sesedikit mungkin mengeksploitasi sumber
daya alam, serta membangun daya saing industri. Pada saat yang sama,
pengelolaan anggaran harus benar-benar cerat dan diperuntukkan bagi
kegiatan yang prioritas saja.
Faktanya, kemampuan daerah dalam pengelolaan anggaran kian
mengecewakan di era otonomi. Di Kalimantan Timur, misalnya, dari 13
kabupaten/kota, hanya Malinau yang mendapat predikat wajar dari Badan
Pemeriksa Keuangan, sedangkan 12 daerah lainnya masuk dalam kategori
‘bermasalah’. Ketua BPK Anwar Nasution menyebutkan, persentase LKPD yang
mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian, atau opini terbaik dari BPK,
terus berkurang, dari 7 persen pada 2004 menjadi 1 persen tahun 2007.
Sedangkan LKPD yang mendapatkan opini Tidak Wajar (TW), atau opini
terburuk dari BPK, justru bertambah dengan cepat, yakni dari 4 persen
menjadi 19 persen dari jumlah LKPD yang diaudit. Selain itu, pengelolaan
keuangan daerah juga mengkhawatirkan karena banyak pemda yang
cenderung mengalokasikan dananya dalam bentuk bantuan sosial yang jelas-
jelas tidak produktif.
Menyimak situasi diatas, nampaknya kita membutuhkan re-design dalam
kebijakan otonomi daerah di masa depan. Inovasi, kreativitas, dan semangat
17. 12
pembaruan dari jajaran pemerintah daerah harus didorong terus untuk
menghasilkan kemandirian yang hakiki. Mentalitas pengabdian berupa kerja
keras, rela berkorban, pantang menyerah, dan keikhlasan dalam berbakti,
harus terus ditumbuhkan. Sosok pensiunan yang konsumtif dan tidak mampu
lagi produktif (layaknya mayat hidup) harus ditinggalkan dengan membangun
kemampuan diri tiada henti. Setiap diri kita adalah faktor produksi dan faktor
produktif yang harus terus diasah, sehingga kita dapat menatap masa depan
dengan tegak, meskipun memasuki usia pensiun. Tri Widodo W.U.
Sumber asli: Jurnal Borneo Administrator Vol. 4 No. 2 (Agustus, 2008)
18. 13
Catatan # 4
Pembangunan Daerah Diantara Globalisme dan
Lokalisme
SECARA umum terdapat persepsi di kalangan masyarakat
luas bahwa Kalimantan merupakan wilayah yang relatif
terbelakang dan terisolir, terlebih daerah yang secara
geografis terletak di wilayah pedalaman dan perbatasan
antar negara. Dengan kondisi yang demikian, terkesan
bahwa daerah-daerah tersebut kurang tersentuh oleh kemajuan teknologi dan
arus informasi kontemporer. Disini seolah berlaku sebuah hukum alam bahwa
semakin tradisional sebuah masyarakat, dan semakin terisolir sebuah daerah,
maka semakin jauh pula masyarakat dan daerah tersebut dari sentuhan
gelombang globalisasi.
Tapi benarkah demikian? Hipotesis diatas ternyata tidak selamanya tepat
untuk wilayah Kalimantan. Hal ini misalnya ditunjukkan oleh fenomena
mahalnya harga bahan-bahan kebutuhan pokok di wilayah “pedalaman”
seperti Nunukan dan Malinau, yang diakibatkan oleh seretnya supply dari
produsen domestik. Namun sebaliknya, di daerah tersebut justru dapat
ditemukan dengan mudah berbagai barang produksi luar negeri dengan harga
yang relatif murah. Masyarakat di daerah perbatasanpun lebih sering
mendapat informasi dari media elektronik negara tetangga; bahkan beberapa
orang ada juga yang menyekolahkan anaknya di negeri seberang. Belum lagi
jika kita bicara masalah tenaga kerja lintas negara, issu-issu trafficking,
illegal trading, smuggling, dan sebagainya, maka nampak sekali bahwa di
daerah-daerah yang notabene “terbelakang” (menurut kriteria Kementerian
Pembangunan Daerah Tertinggal, 2005), ternyata justru mengandung potensi
masalah berskala internasional. Contoh lain adalah rencana Pemerintah Pusat
untuk membangun jaringan pipa gas alam bawah laut yang menghubungkan
Bontang – Semarang sejauh 1.100 km. Banyak pengamat yang menilai proyek
ini sebagai bagian dari konspirasi kapitalis global yang ingin mengeksploitasi
SDA wilayah pedalaman demi mencapai maximum utility bagi daerah (atau
negara) lain yang lebih maju.
Dari perspektif otonomi daerah, kedua contoh diatas memberikan sinyal yang
kurang menggembirakan. Sebab, otonomi daerah dan globalisasi sesungguhnya
bukan sesuatu yang bersifat saling menolak atau menegasikan satu sama lain.
Memang semangat desentralisasi adalah untuk mendorong peningkatan
kapasittas pemerintahan lokal dan kemandirian masyarakat lokal dalam
menjalankan urusan-urusan berskala lokal. Sebaliknya, globalisasi bukan pula
merupakan sesuatu yang superior terhadap lokalisasi (segala sesuatu yang
bersifat kedaerahan). Idealnya, diantara keduanya dapat membentuk
19. 14
konvergensi globalisasi atas otonomisasi, yakni kondisi dimana globalisasi
dapat berjalan dengan baik tanpa menimbulkan gesekan terhadap
desentralisasi/otonomi. Kondisi ini oleh beberapa pakar menyebut pula
sebagai fenomena glokalisasi atau sintesa antara globalisasi dan lokalisasi
(Ohashi, 2002; Kacowics, 1999).
Namun dalam tataran empiris, yang kerap kali muncul malahan divergensi
globalisasi terhadap desentralisasi. Dalam contoh diatas, otonomi daerah di
wilayah perbatasan belum mampu menghasilkan pelayanan publik dan
kebutuhan penduduk sehari-hari secara murah, cepat, dan berkualitas.
Sementara di Bontang, otonomi daerah belum mampu membangun keberanian
aparat setempat untuk melindungi kepentingan ekonomis daerahnya.
Sebagaimana yang terjadi di belahan dunia lainnya, globalisasi justru
mempercepat proses penurunan daya saing produk lokal dan pelemahan daya
tahan masyarakat untuk mempertahankan produk unggulannya.
Itulah sebabnya, Walter B. Stohr dalam bukunya Global Challenge and Local
Response (1990) mengatakan bahwa restrukturisasi ekonomi mondial yang
merupakan akibat logis dari globalisasi adalah ibarat virus AIDS, yang
disebutnya local community AIDS. Disebut demikian, karena globalisasi itu
menghilangkan (atau setidaknya mengurangi) kekebalan dan kemampuan
suatu komunitas menghadapi tantangan global, yang pada akhirnya akan
menghilangkan inovasi dan fleksibilitas anggota komunitas tersebut. Senada
dengan Stohr, mantan PM Malaysia, Datuk Mahathir Muhammad bahkan
menyebut globalisasi sebagai musuh bersama (common enemy) bagi negara-
negara ASEAN, karena bukan hanya merusak ekonomi lokal, tetapi lebih jauh
bisa menciptakan perlambatan ekonomi, anarki ekonomi, bahkan kekacauan
sosial (“Kompas”, 5/2/04). Dengan kata lain, jika kita mengikuti pola pikir
kedua pakar diatas, maka globalisasi harus ditolak karena mengancam
keberlangsungan pembangunan daerah.
Pertanyaannya, dapatkah kita menolak globalisasi? Selain melawan sejarah
peradaban, menolak globalisasi berarti pula menolak berbagai kemanfaatan
yang menyertai proses integrasi ekonomi politik dunia ini. Untuk itu, yang
lebih kita butuhkan sesungguhnya adalah bagaimana mengatasi dampak buruk
globalisasi, sekaligus mempromosikan lokalisme. Dalam hal ini, salah satu
pendukung utama paham lokalisme adalah Colin Hines yang menulis buku
berjudul Localization: The Global Manifesto (2000). Hines yakin bahwa
globalisasi bukanlah pemberian Tuhan, sehingga ia mengajak untuk merubah
pandangan kita kearah "teologi baru globalisasi" dengan lebih memberi tempat
kepada paham "lokalism" yg melindungi dan membangun kembali ekonomi
lokal. Itulah sebabnya, pendekatan utama dalam buku ini adalah "Protect the
Local, Globally". Konkritnya, segala sesuatu yang bisa diproduksi di suatu
negara atau daerah, harus dilakukan (jangan mendatangkan produk asing). Hal
ini penting agar meningkatkan kontrol lokal atas ekonomi dan segala potensi
untuk dapat disebarkan secara lebih adil diantara penduduk lokal.
20. 15
Ditengah tarik ulur antara globalisasi dan lokalisasi tadi, kebijakan
desentralisasi atau otonomi daerah nampaknya merupakan jawaban yang
cukup ideal untuk membangun potensi daerah dan memperkuat identitas lokal
tanpa harus menolak mentah-mentah arus globalisasi. Tentu saja, urgensi
otonomi daerah disini bukanlah untuk menghilangkan secara langsung dampak
negatif globalisasi. Esensi otonomi lebih pada upaya menciptakan landasan
politis-yuridis-sosiologis yang kuat bagi daerah untuk membangun dirinya
berdasarkan kebutuhan, karakteristik dan potensi yang dimilikinya. Dari sini,
diharapkan akan lahir dua prasyarat penting untuk menghadapi globalisasi: 1)
kapasitas lokal baik dalam hal SDM maupun kemampuan ekonomis; dan 2)
sebuah blue-print pembangunan daerah jangka panjang yang inklusif,
akomodatif, visioner, dan berkesinambungan. Dengan kata lain, otonomi
daerah sesungguhnya hanya menyediakan anti-bodi terhadap virus community
AIDS melalui pengembangan dua hal tadi.
Pada gilirannya, blue-print pembangunan yang matang dan terarah, ditunjang
oleh kapasitas lokal yang mantap diharapkan akan bermuara pada proteksi
dan promosi tiga faktor strategis di daerah, yakni: local culture and values,
local commodities, dan local resources. Disisi lain, daerah juga harus mampu
mengenali dan menggali potensi sendiri, agar sedikit demi sedikit makin
memperkecil ketergantungan kepada Pusat atau juga dunia luar. Dalam hal
ini, perlu dipertimbangkan adanya reorientasi pembangunan industri yang
berfokus pada daerah (district level industrialization). Artinya, suatu industri
hendaknya tidak melulu dibangun di wilayah metropolitan dan sekitarnya, tapi
perlu digeser ke daerah pinggiran (periphery) dengan mengoptimalkan bahan
baku lokal, tenaga kerja lokal, serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
lokal. Strategi seperti ini telah terbukti berhasil di negara-negara Eropa
beberapa dekade lalu.
Satu hal yang tidak bisa ditinggalkan adalah, untuk membangun dan
memperkokoh local identity dan local competitiveness di era otonomi, harus
dimulai dari reformasi birokrasi publik, terutama di level daerah. Dalam hal
ini, regulasi harus benar-benar dirumuskan secara efektif demi merangsang
majunya local entrepreneurs, sementara korupsi, pungli, serta retribusi ganda
atau berlebih, harus segera di stop. Birokrasi lokal yang reformed ini, diyakini
akan menjadi salah satu prasyarat untuk menunjang proses pembangunan
daerah diantara arus globalisme dan lokalisme secara harmonis. Tri Widodo
WU.
Sumber asli: Jurnal Borneo Administrator Vol. 2 No. 1 (April, 2006)
21. 16
Catatan # 5
Ambalat: Antara Kedaulatan dan
Kesejahteraan
DI tengah hiruk-pikuk perseteruan para elit politik
mengenai kenaikan harga BBM, kasus Ambalat tiba-tiba
menyentak perhatian seluruh lapisan masyarakat
Indonesia. Padahal, dilihat dari luas wilayahnya,
Ambalat hanyalah setitik koordinat dari hamparan
nusantara yang terbentang dari Sabang sampai
Merauke. Selain itu, tidak ada gejolak dalam negeri yang berarti ketika
Indonesia kehilangan Sipadan dan Ligitan (2002) atau Timor Timur (1999).
Namun mengapa rakyat Indonesia begitu tersinggung dan seketika tersulut
jiwa nasionalismenya ketika Malaysia mengklaim blok Ambalat?
Jawabannya hanya satu: Ambalat teramat penting bagi rakyat dan pemerintah
Indonesia. Entah itu karena potensi minyak yang melimpah, atau karena harga
diri bangsa telah terlanjur terpatri di tanah dan air Ambalat. Itulah sebabnya,
walaupun hanya “sejengkal” saja, namun darah rela untuk ditumpahkan. Issu
“nasionalisme” seperti ini ternyata masih terus relevan semenjak jaman-
jaman kerajaan sebagaimana tersurat dalam historiografi tradisional, hingga
sejarah kebangsaan modern seperti saat ini. Dalam masyarakat Jawa lama,
misalnya, terdapat prinsip sadumuk bathuk sanyari bumi, ditohi tumekaning
pati (penghinaan dan perampasan sejengkal tanah akan dibela sampai mati).
Filosofi serupa juga mudah ditemukan di berbagai masyarakat adat di
Indonesia. Dan filosofi semacam inilah yang telah memberikan kekuatan dan
semangat bagi kaum pribumi untuk mempertahankan kedaulatan dan mengusir
penjajah yang mencoba merebut tanah warisan para leluhur kita.
Sesungguhnya bukan hanya Ambalat yang menjadi pangkal sengketa antar
pemerintahan. Fenomena rebutan pulau juga terjadi antara Jepang dan Korea
Selatan menyangkut pulau Dokdok (Takeshima). Dalam lingkup yang lebih
kecil, Pemprov DKI Jakarta dan Pemprov Banten-pun sempat bersitegang
memperebutkan Kepulauan Seribu. Berbagai kasus tadi menyadarkan kita
bahwa the borderless world seperti yang pernah dikemukakan Kenichi Ohmae
(1990), hanyalah sebuah visi imajiner belaka. Justru dalam era Information
Technology yang mendorong lahirnya globalisasi ini, kejelasan kaidah hukum
tentang perbatasan dan manajemen pembangunan wilayah perbatasan harus
makin diperhatikan. Kekaburan aturan dan kelemahan administrasi perbatasan
hanya akan menjadikan kawasan perbatasan sebagai medan penghamburan
sumber daya, bukan sebagai medan pembangunan yang merangsang investasi.
Timor Timur, Sipadan dan Ligitan, serta sekarang Ambalat, telah
membuktikan hal itu.
22. 17
Coba bayangkan, berapa banyak biaya yang telah dikeluarkan oleh negara
untuk membiayai (baca: mempertahankan) pulau-pulau tadi. Dalam kasus
Sipadan-Ligitan yang berakhir damai saja, hanya untuk membayar jasa
pengacara internasional di sidang International Court of Justice, pemerintah
harus merogoh puluhan milyar rupiah. Sekarang jika kasus Ambalat harus
diselesaikan diujung senjata, berapa besar biaya yang harus ditanggung rakyat
Indonesia? Pengerahan pasukan dan persenjataan militer bukanlah “proyek”
skala mikro. Ini adalah pekerjaan raksasa yang bisa mengeringkan kas negara
dalam waktu relatif singkat. Belum lagi kerusakan infrastruktur yang
diakibatkan oleh perang itu, dan kebutuhan untuk melakukan program
rekonstruksi.
Ditengah hempasan krisis ekonomi yang belum pulih benar, serta terjangan
bencana dahsyat diberbagai penjuru tanah air, opsi angkat senjata jelas
bukan opsi ideal. Bahkan dalam keadaan ekonomi politik yang sudah
mapanpun, perang bukanlah jalan keluar yang terbaik atas suatu konflik.
“Anggaran perang” jauh lebih mulia apabila digunakan untuk pembangunan
sosial ekonomi yang sedang terpuruk. Saat ini, tuntutan alokasi anggaran yang
lebih besar untuk sektor sosial ekonomi tidak dapat ditunda lagi. Sebagai
contoh, tuntutan menaikkan anggaran pendidikan menjadi 20% dari
APBN/APBD serta pendidikan gratis. Belum lagi sektor-sektor lain yang
membutuhkan dana tidak sedikit seperti pengentasan kemiskinan, pengadaan
rumah sederhana, pembangunan infrastruktur fisik, pembukaan wilayah
terisolasi, dan sebagainya. Pertanyaannya, apakah hal-hal mendasar tadi
harus dikorbankan hanya demi setitik Ambalat?
Tentu tidak! Kedaulatan harus tetap kita pertahankan. Namun harus dipahami
bahwa kedaulatan bukan sesuatu yang bersifat trade off dengan
kesejahteraan. Kedaulatan justru adalah titik awal membangun
kesejahteraan; sehingga setiap tindakan yang mengakibatkan penurunan
kesejahteraan rakyat dengan alasan kedaulatan, tidak dapat diterima akal
sehat. Masalahnya sekarang adalah, bagaimana kita dapat menjaga
kedaulatan tanpa mengorbankan kesejahteraan?
Kuncinya terletak pada tertib hukum dan profesionalitas dalam manajemen
perbatasan. Selain itu, sudah saatnya bangsa ini meninggalkan argumen
kesejarahan atau rantai kepemilikan (chain of title) yang mengklaim wilayah
negara sebagai bekas wilayah kerajaan pada masa lampau. Logika berpikir
bahwa Ambalat merupakan bagian Indonesia hanya karena pernah menjadi
bagian dari Kasultanan Bulungan, jelas tidak memiliki kekuatan hukum yang
kuat, dan bahkan dapat menjadi bahan tertawaan diplomat asing. Dinamika
interaksi antar bangsa sudah berubah sedemikian cepat. Oleh karena itu,
pertimbangan-pertimbangan obyektif seperti penyusunan ocean plan,
pemberian nama-nama dan atribut terhadap pulau-pulau kosong, pembinaan
kemasyarakatan khususnya kepada kelompok nelayan, pengelolaan pulau
secara aktif, penggalangan kerjasama yang kuat dan saling menghargai antar
23. 18
negara, dan sebagainya, harus diutamakan, dan itu merupakan tantangan
yang berat bagi aparat di tanah air.
Diluar kasus Ambalat ini, harus kita sadari masih banyak sekali kasus-kasus
penting yang membutuhkan perhatian serius. Pemberantasan korupsi, illegal
logging, dan lain-lain, jangan sampai terlupakan hanya karena ingin
berkonsentrasi pada upaya memenangkan persaingan dengan Malaysia di lepas
pantai Sulawesi itu. Walaupun katakanlah kita bisa mempertahankan Ambalat,
namun tidak dapat mengalahkan koruptor dan para pembalak liar, tetap saja
kesejahteraan hanya menjadi impian semata. Nasib Ambalat memang penting,
namun nasib bangsa Indonesia jauh lebih penting lagi. Dan nasib bangsa ini
hanya bisa diperbaiki melalui pembenahan secara sistemik, tidak sekedar
menyelesaikan sengketa Ambalat. Tri Widodo WU.
Sumber asli: Jurnal Borneo Administrator Vol. 1 No. 1 (April, 2005)
24. 19
Catatan # 6
Pengelolaan SDA dan Kesejahteraan Rakyat
DALAM Jurnal Foreign Affairs Vol. 83 No. 4 (2004), Nancy
Birdsall dan Arvind Subramaniam menulis artikel yang
sangat menarik berjudul Saving Iraq from Its Oil. Dari
judulnya saja sudah sangat jelas bahwa Irak perlu
diselamatkan dari mis-management dalam pengelolaan
sumber daya alam (SDA) yang melimpah. Sebagai salah
satu negara penghasil minyak terbesar di dunia, ternyata warga Irak tetap
saja tergolong miskin. Rakyat Irak ibarat tikus mati di gudang beras, atau
semut kelaparan di lautan gula. Bahkan Birdsall dan Subramaniam menyatakan
dengan cukup sarkastik bahwa kekayaan alam bagi rakyat Irak bukan menjadi
berkah, melainkan kutukan (resource curse).
Sesungguhnya bukan hanya Irak yang mengalami kegagalan pembangunan
(mal-development). Saat ini paling tidak terdapat 34 negara berkembang yang
30% atau lebih pendapatannya berasal dari ekspor minyak dan gas alam.
Ironisnya, 12 negara diantaranya masih memiliki pendapatan per kapita
dibawah 1,500 dollar, sementara lebih dari setengah jumlah penduduknya
hanya berpenghasilan kurang dari 1 dollar per hari. Dengan kata lain, negara-
negara dengan kekayaan alam yang berlimpah justru dicirikan oleh kemiskinan
rakyatnya yang parah. Disamping itu, tiga perempat dari 34 negara
berkembang tadi secara politik juga kurang demokratis, serta tidak memiliki
suprastruktur politik (dan ekonomi) yang mapan.
Pertanyaannya, mengapa SDA yang melimpah dapat menimbulkan dampak
koruptif dalam sebuah negara? Salah satu jawabnya adalah bahwa pada saat
harga melonjak, pemerintahan di negara kaya SDA cenderung bertindak
konsumtif dan royal, namun pada saat harga jatuh, mereka harus memotong
banyak biaya berbagai pembangunan sarana umum dan penyediaan pelayanan
publik. Disamping itu, aspek manajemen memegang peran kunci dalam kasus
itu. Sebab, sejarah menunjukkan bahwa negara yang sesungguhnya lebih
miskin SDA, namun memiliki kesejahteraan yang lebih baik dan lebih merata.
Sebagai contoh, Belanda jauh lebih makmur dibanding Spanyol pada abad ke-
17 yang memiliki cadangan emas dan perak sangat besar. Demikian pula,
Jepang dan Swiss lebih sejahtera dibanding Rusia yang kaya dengan berbagai
bahan tambang. Beberapa contoh lain juga dapat dengan mudah ditambahkan
disini.
Dalam kasus-kasus diatas, SDA dipandang sebagai berkah yang turun dari
langit dan menjadi alat untuk membasmi kemiskinan, namun tidak diimbangi
dengan pengelolaan yang baik. Akibatnya, mis-management dan korupsi yang
25. 20
lebih menonjol, sementara kesejahteraan penduduk tidak pernah membaik.
Dari kasus diatas nyatalah bahwa korupsi merupakan bentuk mal-development
dari proses pembangunan nasional yang berdampak langsung terhadap taraf
hidup penduduk suatu negara.
BAGAIMANA dengan Kalimantan Timur? Dengan luas wilayah 245.237 km2
,
Kaltim adalah propinsi terluas di Indonesia (setelah terjadi pemekaran wilayah
di Papua). Selain itu, Kaltim juga merupakan satu dari empat propinsi terkaya
(selain Aceh, Riau dan Papua) dalam hal SDA. Dilihat dari sumber daya mineral
dan energi, misalnya, Kaltim memiliki cadangan minyak sebesar 1,17 juta
MMSTB, gas bumi 48.680 BSCF, batubara 6,45 milyar ton dan emas 60,50 juta
ton. Kaltim juga memiliki hutan seluas 14,67 juta ha, meliputi kawasan hutan
lindung, hutan produksi dan hutan konservasi. Hutan Tropika Basah di Kaltim
juga merupakan paru-paru dunia terbesar setelah Brazil. Sedangkan kawasan
budidaya non kehutanan seluas 5,24 juta ha, diperuntukkan sebagai lahan
perkebunan seluas 4,7 juta ha (4,09 juta ha untuk kelapa sawit dan 0,61 juta
ha untuk komoditas perkebunan lainnya) dan lahan pertanian 0,6 juta ha.
Sementara itu, potensi perairan meliputi perairan laut seluas 98 ribu km2
dan
perairan umum seluas 2,28 juta ha, dengan hasil perikanan rata-rata 350 ribu
ton per tahun.
Melihat potensi yang sedemikian besar, semestinya optimisme yang
terbentang didepan kita. Namun sebagaimana propinsi lainnya, kesejahteraan
rakyat di Kaltim dan 3 propinsi terkaya tadi juga masih jauh dari harapan.
Bahkan kinerja ekonomi di beberapa daerah yang kurang ditopang oleh SDA
seperti DKI dan Bali, nampaknya jauh berada diatas capaian Kaltim. Disini,
secara asumtif dapat ditarik hipotesis awal bahwa melimpahnya SDA kurang
berkorelasi secara positif terhadap kemajuan pembangunan sosial ekonomi
masyarakat.
PROSES mentransformasi SDA menjadi kesejahteraan bersama memang bukan
persoalan sepele. Dalam hal ini, Birdsall dan Subramaniam (2004)
menyodorkan tiga alternatif pengelolaan SDA, yakni privatisasi perusahaan
minyak bumi (dan SDA lainnya), menghimpun dana khusus dari hasil
pengolahan dan penjualan minyak untuk membatasi kebebasan pemerintah
dalam fungsi pembelanjaan, serta membuat mekanisme distribusi / alokasi
hasil minyak bumi langsung kepada masyarakat. Pemikiran Birdsall dan
Subramaniam tadi nampaknya terlalu makro dan sumir, meskipun tetap perlu
kita pertimbangkan secara cermat. Dalam tataran yang lebih mikro,
pengelolaan SDA perlu diimbangi dengan peningkatan aspek teknologi,
pembenahan fungsi-fungsi manajemen, dan pelurusan terhadap itikad dan
komitmen para pelaku di bidang pengelolaan SDA. Dalam aspek teknologi,
misalnya, eksplorasi dan eksploitasi SDA jelas membutuhkan teknologi yang
tidak saja bersifat eksploratif dan eksploitatif, namun mestinya juga ramah
lingkungan serta dapat menjamin keberlangsungan (sustainability)
pengelolaan SDA itu sendiri. Disisi lain, aspek perencanaan dan pengawasan
harus pula dibenahi. Pada saat yang bersamaan, orientasi jangka pendek dari
26. 21
pemerintah dan pengusaha yang memandang SDA sebagai windfall harus
diubah menjadi orientasi kemanfaatan secara merata untuk jangka panjang.
Satu hal yang jelas, membangun kesejahteraan membutuhkan waktu yang
amat panjang, sementara SDA hanyalah salah satu input yang harus dikelola
dengan baik agar dapat meningkatkan kesejahteraan. Itulah sebabnya,
ketergantungan terhadap SDA harus dikurangi dengan menciptakan sumber-
sumber dan input baru yang lebih inovatif, sambil kita berpikir bagaimana
memperbaiki sistem pengelolaan SDA selama ini. Tri Widodo WU.
Sumber asli: Jurnal Borneo Administrator Vol. 1 No. 2 (Agustus, 2005)
27. 22
Catatan # 7
Kinerja Ekonomi dan Peran Strategis Negara
SETELAH hampir satu dekade reformasi bergulir, hasil
positif mulai dapat dirasakan oleh bangsa Indonesia.
Dalam bidang ekonomi pada umumnya, dan sektor
investasi pada khususnya, kemampuan daya saing
(competitiveness index) Indonesia mengalami peningkatan
yang cukup berarti. Index yang dikeluarkan oleh WEF
(World Economic Forum) berdasarkan 3 (tiga) komponen utama, yakni makro
ekonomi, kelembagaan, serta teknologi tadi menunjukkan bahwa Indonesia
berhasil “naik kelas” dari peringkat ke-69 dari 107 negara pada tahun 2005,
menjadi peringkat ke-50 dari 125 negara pada tahun 2006. Namun, dalam
laporan berjudul The Global Competitiveness Report 2006-2007 itu juga
nampak dengan jelas bahwa peringkat Indonesia tetap jauh berada di bawah
Singapura (urutan ke-5), Jepang (ke-7), Malaysia (ke-26), Thailand (ke-35),
dan India (ke-43).
Laporan diatas paling tidak mengimplikasikan 2 (dua) hal. Pertama, Negara
telah memainkan peran yang cukup berhasil dalam memperbaiki persoalan-
persoalan domestik, sekaligus menciptakan iklim yang kondusif bagi
berkembangnya investasi asing maupun investasi dalam negeri. Dan peran
inilah yang perlu terus dimantapkan untuk membangun kinerja ekonomi yang
lebih fenomenal di masa mendatang. Dalam buku terbarunya berjudul State-
Building: Governance and World Order in the 21st Century (2004), Francis
Fukuyama mengatakan bahwa inilah saatnya untuk memperkuat peran negara,
guna mengatasi kegagalan-kegagalan negara pada periode sebelumnya seperti
aksi-aksi terorisme, penyebaran penyakit, meningkatnya angka kemiskinan,
serta merebaknya perang sipil. Jika kalimat ini dibalik, maka berbagai
peristiwa tadi sesungguhnya bersumber dari kegagalan negara menjalankan
tugas dan fungsinya.
Pada era 1980-an, peran negara memang sedikit mengalami distorsi ketika
reaksi terhadap paham “statisme” dan gelombang pemikiran tentang
deregulasi, debirokratisasi, dan privatisasi yang menuntut terjadinya
perampingan organisasi sektor publik dengan fungsi sesedikit mungkin
(minimum state), berlangsung dengan derasnya. Fenomena liberalisasi ini
dalam beberapa hal, alternatif ini membawa hasil yang luar biasa seperti
pertumbuhan ekonomi dan integrasi pasar mondial. Namun dalam beberapa
hal lainnya, justru menimbulkan problematika baru yakni merosotnya
kapasitas negara (Rizal Mallarangeng, 2006). Bahkan dengan sangat terbuka
Fukuyama menyatakan bahwa selama lebih dari satu generasi, kecenderungan
dalam politik dunia adalah melemahkan negara, baik karena alasan normatif
28. 23
maupun alasan ekonomi. Fakta inilah yang menjadi basis utama pemikiran
Fukuyama tentang perlunya langkah-langkah secara sistematis untuk
memperkuat peran negara.
Implikasi kedua, meskipun menunjukkan trend peningkatan, kinerja ekonomi
Indonesia dinilai tetap terendah dibandingkan negara-negara di Asia. Disini,
WEF menunjukkan persoalan klasik yang harus diperbaiki Indonesia yakni
masalah infrastruktur, ketidakefisienan birokrasi, dan ketidakstabilan
penentuan kebijakan. Seolah memperkuat argumen Fukuyama, rekomendasi
WEF tadi menyiratkan bahwa birokrasi negaralah yang menjadi penyebab
utama (primus inter pares) dari berbagai permasalahan ekonomi di suatu
negara, seperti kesenjangan sektoral / regional, kemiskinan, pengangguran,
pertumbuhan yang melambat, dan sebagainya. Padahal, pemerataan dan
keadilan ekonomi merupakan syarat mutlak tercapainya kesejahteraan pada
jangka panjang (World Bank, World Development Report 2006 on Equity and
Development, 2006).
Dewasa ini, banyak negara yang telah memiliki komitmen untuk
menghilangkan kesenjangan ekonomi maupun sosial politik, dengan
memberikan peluang yang lebih besar dan lebih seimbang kepada seluruh
warga negaranya. Dalam hal ini, Development Outreach Edisi Februari (World
Bank, 2006), misalnya, memberikan ilustrasi yang sangat gamblang bagaimana
9 negara di Eropa Timur (Bulgaria, Kroasia, Republik Ceko, Hungaria,
Makedonia, Rumania, Serbia dan Montenegro, dan Slovakia) mengeluarkan
deklarasi bersama untuk menghapus kemiskinan, diskriminasi dan kesenjangan
yang akut antar penduduk di Eropa. Deklarasi tadi selengkapnya berbunyi:
“Building on the momentum of the 2003 conference, ‘Roma in an Expanding
Europe: Challenges for the Future,’ we pledge that our governments will
work toward eliminating discrimination and closing the unacceptable
gaps between Roma and the rest of society, as identified in our Decade
Action Plans. We declare the years 2005–2015 to be the Decade of Roma
Inclusion, and we commit to support the full participation and involvement
of national Roma communities in achieving the Decade's objectives and to
demonstrate progress by measuring outcomes and reviewing experiences in
the implementation of the Decade's Action Plans. We invite other states to
join our effort.”
Deklarasi diatas dengan sangat jelas menekankan tentang janji dan komitmen
Negara untuk bekerja keras mengurangi diskriminasi dan kesenjangan antar
kelompok masyarakat. Caranya, mereka memfokuskan pada 4 (empat) area
utama, yakni pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, dan perumahan.
Keempat sektor ini secara simultan diharapkan dapat mengatasi persoalan
pendapatan, diskriminasi dan gender.
Pangalama Cina juga sangat layak untuk kita simak. Semenjak menjabat
sebagai Presiden dan Perdana Menteri, Hu Jintao dan Wen Jiabao komit
menjalankan program xiaokang (well-off society atau masyarakat yang relatif
sejahtera). Xiaokang sendiri berasal dari Buku Nyanyian klasik Cina, yang
29. 24
dipersepsikan Deng Xiaoping sebagai tahap pembangunan diantara
terpenuhinya kebutuhan dasar dengan kesejahteraan yang nyata (true
prosperity). Dengan program xiaokang ini, koefisien Gini yang mencapai angka
0.45 pada tahun 2004, yang berarti kesenjangan sudah berada pada tahap
”alert”, namun sekarang sudah dapat ditekan hingga dibawah 3. Resepnya
cukup sederhana, yakni transformasi birokrasi yang lebih terbuka dan aktif
(more transparent and participatory government), serta reorientasi peran
pemerintah dari rekayasa pembangunan ekonomi, investasi dalam
infrastruktur fisik, pemberian pelayanan publik secara langsung, hingga
pengembangan SDM (investing in human capital). Sekali lagi, pelajaran yang
dapat ditarik adalah bagaimana komitmen dalam pembangunan dan aksi nyata
untuk menjalankan program pembangunan, yang ditopang oleh kemampuan
yang memadai, benar-benar dimiliki oleh pemerintah, baik di tingkat pusat
maupun di daerah.
Pertanyaan yang menggelitik adalah, bagaimana dengan Indonesia? Bagaimana
pula di daerah-daerah di Indonesia? Harus diakui bahwa Indonesia masih
berkutat dengan kesenjangan ekonomi. Data BPS (Statistik 60 Tahun Indonesia
Merdeka, 2005) menyebutkan bahwa kesenjangan pendapatan rumah tangga
periode 1995-2000 perbandingan pendapatan terendah dengan tertinggi
adalah 1 : 4,63. Hal ini tentu saja masih cukup memprihatinkan, mengingat
pada tahun 1985 perbandingannya adalah 1 : 3,81, sementara pada tahun
1990 tingkat kesenjangannya mencapai 1 : 4,29. Data diatas mencerminkan
bahka hingga saat ini kita belum bisa benar-benar keluar dari belenggu krisis
ekonomi. Atau dengan kata lain, kinerja ekonomi makro Indonesia saat ini
masih belum menggembirakan, meskipun peringkat daya saing telah
mengalami peningkatan.
Sementara itu dalam skala regional, Kalimantan Timur dikenal sebagai salah
satu daerah terkaya di Indonesia dalam hal potensi sumber daya alam dan
potensi ekonomi lainnya. Hal ini diindikasikan oleh tingginya PDRB per kapita
di Kalimantan Timur serta di kabupaten/kota di provinsi ini. Namun dilihat
dari kinerja pembangunan sosial ekonomi, masih kurang menggembirakan,
dilihat dari fenomena kemiskinan yang cukup tinggi, fasilitas pendidikan dan
kesehatan yang kurang memadai, jaringan transportasi darat maupun udara
yang belum dapat menghubungkan seluruh daerah, dan sebagainya.
Atas dasar gambaran diatas, maka penguatan kapasitas institusional negara
merupakan opsi kebijakan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dalam hal ini,
Fukuyama menawarkan satu format institusi negara yang kecil namun lebih
kuat. Pemerintah sebaiknya juga tidak hanya mengedepankan prinsip
keterwakilan (representativeness) sebagai elemen kunci demokratisasi,
namun juga perlu memberi porsi besar terhadap kemampuan menjalankan
pemerintahan (governability). Dengan kata lain, pemerintah tidak semata
dituntut mengembangkan tata pemerintahan yang demokratis (democratic
regime) namun lebih dari itu harus mengedepankan tata pemerintahan yang
berkinerja tinggi dalam pembangunan (development regime). Selain itu,
keberpihakan pemerintah kepada kelompok masyarakat lemah atau miskin
30. 25
harus benar-benar dibentuk melalui perumusan kebijakan yang pro-poor dan
pro-growth.
Dalam skala yang lebih riil di level daerah, perlu terus dipelihara dan
ditingkatkan iklim investasi yang kondusif terhadap pencapaian visi dan misi
daerah. Dengan kata lain, harus dibangun adanya hubungan timbal balik
(reciprocal) antara potensi sumber daya alam dengan kebijakan investasi di
daerah. Dalam hal ini, faktor SDA merupakan pull factor yang dapat
merangsang atau mengundang investasi; sebaliknya investasi bisa dipandang
sebagai push factor yang dapat memberi nilai tambah (value added) terhadap
potensi SDA yang berlimpah. Dan jika hal ini dapat dilakukan, maka investasi
telah mampu membawa proses transformasi dari basis keunggulan berbanding
(comparative advantage) suatu daerah menjadi keunggulan bersaing
(competitive advantage). Tri Widodo W.U.
Sumber asli: Jurnal Borneo Administrator Vol. 2 No. 3 (Desember, 2006)
31. 26
Catatan # 8
Manajemen Kepulauan dan Daratan
SELAMA ini, Indonesia dikenal sebagai negara dengan
karakter geopolitik berupa kepulauan (archipelago
state). Sebagai negara dengan 17.508 pulau, memang
sangat logis jika konsep pembangunan wilayah di
Indonesia berbasis dan/atau berwawasan kepulauan.
Prinsip pembangunan berwawasan kepulauan inipun
sesungguhnya telah tercantum dalam Deklarasi Juanda
13 Desember 1957, yang memandang wilayah laut dan darat sebagai suatu
kesatuan yang utuh dengan filosofi Tanah Air. Dalam prakteknya, tetap saja
wilayah kepulauan belum terbangun secara optimal, bahkan cenderung
tertinggal oleh pembangunan di wilayah daratan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Direktur Jenderal Pembinaan dan
Pengembangan Masyarakat Kawasan Transmigrasi, Depnakertrans, 42
kabupaten dari 52 kabupaten yang terdapat di 7 provinsi kepulauan (Maluku,
Maluku Utara, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat,
Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau) tergolong sebagai kabupaten tertinggal
(Suara Pembaruan, 16/10/2006). Senada dengan pernyataan tersebut,
Direktur Pemberdayaan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan
Perikanan, menegaskan bahwa saat ini tidak ada aturan yang berpihak pada
pembangunan wilayah kepulauan, yang tanpa disadari, merupakan bentuk
diskriminasi nasional (Kompas, 01/06/2006). Ironisnya, provinsi kepulauan
seperti Maluku Utara justru dikelola dengan pendekatan kontinental atau
daratan, padahal 76,27 persen wilayahnya berupa laut, sedangkan daratan
hanya 23,73 persen (Suara Pembaruan, 01/04/2006).
Boleh saja provinsi kepulauan merasa lebih tertinggal dibanding wilayah lain
yang berkarakter daratan, atau merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat
yang memberi prioritas lebih bagi pembangunan provinsi non-kepulauan.
Namun faktanya, pembangunan provinsi non-kepulauan-pun juga tidak kalah
tertinggal. Dari 26 provinsi non-kepulauan, masih terdapat 152 kabupaten
tertinggal. Ini berarti bahwa jumlah rata-rata daerah tertinggal baik di
provinsi kepulauan maupun non-kepulauan adalah 6 kabupaten per provinsi.
Adapun peta sebaran kabupaten tertinggal adalah 123 berada di Indonesia
Timur, 58 di Sumatera, 1 di Bali, dan hampir nol di Jawa atau hanya 17
kabupaten saja (Antara News, 01/09/2009; 21/06/2009).
KALIMANTAN adalah salah satu kontinen yang masih menghadapi masalah
ketertinggalan pembangunan. Sebagai kesatuan daratan, Kalimantan dengan
luas 743.330 km2
masih kalah dibanding luas Papua yang 890.000 km2
. Namun
32. 27
dilihat bagian kontinen yang masuk sebagai yurisdiksi NKRI, maka wilayah
Kalimantan lebih luas dibanding Papua. Dalam hal ini, luas wilayah 4 provinsi
di Kalimantan adalah 507.412,18 km2
(dengan rincian Kalbar 120.114,32 km2
;
Kalteng 153.564,50 km2
; Kalsel 38.884,28 km2
; dan Kaltim 194.849,08 km2
),
sedangkan total luas 2 provinsi di Papua adalah 424.500,80 km2
(Papua Barat
114.566,40 km2
dan Papua 309.934,40 km2
). Dengan ukuran yang sedemikian
besar, mudah ditebak bahwa kualitas pembangunan di wilayah tadi tidaklah
sebaik yang diharapkan, baik dalam arti pertumbuhan pembangunan maupun
pemerataan hasil-hasilnya.
Dalam prakteknya, di wilayah daratan ataupun di kepulauan, sering ditemukan
masalah yang serupa (common problem). Problem utama adalah masih
banyaknya isolasi daerah dan keterputusan interaksi sosial ekonomi antar
daerah. Meskipun secara geografis berdekatan, namun hubungan antar daerah
tidak terbangun karena keterbatasan infrastruktur dasar (jalan, jembata,
listrik, telepon) atau ketiadaan moda transportasi darat, sungai, laut maupun
udara. Akibatnya, daerah-daerah yang berdekatan tidak memiliki saling
ketergantungan atau hubungan saling membutuhkan. Problem mendasar
lainnya adalah kenyataan bahwa kawasan yang kaya sumber daya alam ini
justru menjadi kantong-kantong kemiskinan dengan kualitas sumber daya
manusia yang rendah.
Ilustrasi diatas menjelaskan bahwa problema pembangunan di daerah terjadi
bukan karena faktor kondisi geografis, namun lebih pada sistem dan pola
manajemennya. Baik provinsi kepulauan maupun provinsi daratan
membutuhkan model-model kebijakan pembangunan yang sesuai dengan
karakteristik obyektifnya. Pola kepulauan tentu saja tidak dapat diterapkan
untuk wilayah kontinen, dan sebaliknya. Selain itu, keunggulan berbanding
(comparative advantages) antar kedua wilayah tadi jelas berbeda, dan oleh
karenanya perlu dieksplorasi agar dapat bertransformasi menjadi keunggulan
bersaing (competitive advantages).
Dari perspektif perencanaan pembangunan, berbagai permasalahan tadi
muncul karena tidak terintegrasinya pembangunan daerah kedalam skema
pembangunan wilayah. Untuk itu, salah satu langkah strategis untuk
mengatasi kondisi tersebut adalah dengan merumuskan kerangka
pembangunan makro (grand design). Artinya, pola manajemen sebuah
kontinen (pulau besar) ataupun kepulauan harus didasarkan pada strategi
umum (generic framework), meskipun masing-masing daerah otonom memiliki
kewenangan pengaturan yang lebih spesifik di wilayahnya (implementation
policy).
Langkah lain yang perlu dikembangkan adalah menciptakan mekanisme
solidaritas antar kawasan. Solidaritas antar kawasan ini bisa terwujud jika ada
2 (dua) kondisi yang berbeda, misalnya: 1) antara daerah penghasil komoditas
tertentu dengan daerah yang berfungsi mengolah, memasarkan, atau
memanfaatkan komoditas tersebut; atau 2) antara daerah bagian hulu (yang
memberi dampak tertentu) dengan daerah di bagian hilir (yang menerima
33. 28
dampak), misalnya dalam konteks DAS (daerah aliran sungai). Dalam konteks
pengelolaan Sungai Besar, misalnya, bentuk solidaritas yang konkrit bisa
terjadi antara daerah di hulu dengan daerah di hilir (upstream – downstream
solidarity). Pola yang dapat dipilih misalnya: daerah hulu bertanggungjawab
terhadap keberlangsungan supply air dan kemurnian dari polutan yang dapat
mencemari air sungai; sedangkan daerah hilir perlu menyediakan dana sebagai
kompensasi atau insentif bagi penduduk di daerah hulu.
Jika mekanisme solidaritas tadi bisa dibangun, maka akan tercipta hubungan
saling membutuhkan dan saling ketergantungan antar daerah di kawasan
tertentu, baik dalam konteks kepulauan maupun daratan. Selanjutnya, pola
solidaritas tadi akan bermanfaat untuk memperkokoh posisi daya tawar
(bargaining power) daerah terhadap pasar atau aktor ditingkat nasional,
regional, dan internasional.
Pertanyaannya, bagaimana cara membangun mekanisme solidaritas antar
daerah dalam sebuah kawasan tersebut?
Langkah pertama adalah lakukan identifikasi / pemetaan daerah-daerah yang
memiliki kesamaan dalam keunggulan komparatif, misalnya sesama penghasil
batu bara, sesama daerah sebagai basis konservasi lingkungan, sesama daerah
dengan potensi sumber daya kelautan, dan lain-lain. Daerah-daerah ini kita
masukkan dalam kelompok (pool) A. Selanjutnya, lakukan identifikasi /
pemetaan daerah-daerah yang tidak masuk dalam kelompok tersebut, namun
memiliki kepentingan dalam proses produksi atau pemanfaatan keunggulan
komparatif tertentu. Daerah-daerah ini kita masukkan dalam kelompok (pool)
B. Setelah terbentuk pool A dan B, maka langkah berikutnya adalah
membentuk asosiasi antar daerah dengan kesamaan keunggulan komparatif
yang telah teridentifikasikan pada tahap pertama. Sebagai contoh, ”asosiasi
daerah penghasil batu bara dan asosiasi pengusaha batu bara Kalimantan”.
Asosiasi-asosiasi seperti inilah yang harus berfungsi sebagai ”regulator” yang
berhubungan dengan eksploitasi keunggulan komparatif tadi, khususnya dalam
hubungan dengan daerah atau pelaku bisnis batu bara diluar Kalimantan. Dan
dengan adanya asosiasi lokal yang diisi oleh pelaku bisnis dan pelaku
kebijakan antar daerah dalam satu kawasan ini, maka daya saing produk lokal
dapat lebih dijaga sekaligus mempertahankan posisi tawar terhadap pelaku
bisnis dan pelaku kebijakan dari luar kawasan.
SATU hal lain yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan adanya efek
negatif dari pemberlakuan otonomi daerah. Sebagaimana indikasi yang sering
terlihat, kebijakan desentralisasi membawa implikasi dimilikinya kewenangan
yang semakin bulat oleh daerah otonom terhadap wilayahnya. Hal ini menjadi
trade-off bagi upaya membangun sinergi dan kohesi pembangunan antar
daerah / wilayah. Setiap daerah menjadi semakin selfish atau memiliki ego
yang lebih tinggi dalam memikirkan daerahnya sendiri. Padahal, dari teori
ekonomi lokasi (spatial economy), sebuah daerah jelas memiliki keterkaitan
dan ketergantungan dengan daerah lain. Konsekuensinya, kebijakan
34. 29
pembangunan sebuah daerah harus selalu ditempatkan dalam konteks
pembangunan regional (embedding local policy into broader context of
development).
Dalam konteks Kalimantan, misalnya, pembangunan jalan trans Kalimantan
tidak mungkin dapat tercapai jika sistem perencanaan pembangunan masih
terkonsentrasi secara spasial provinsi, apalagi level kabupaten/kota. Demikian
pula, arus komoditas pertanian atau barang-barang ekonomi juga semestinya
tidak dibatasi oleh batas wilayah. Itu dalam konteks kontinen Kalimantan.
Sementara itu dalam lingkup yang lebih sempit, pembangunan di Kalimantan
Timur, misalnya, juga membutuhkan konsep-konsep lintas wilayah, misalnya
keberadaan Teluk Balikpapan dan Sungai Mahakam. Kedua asset ini saja
pemanfaatannya sudah sangat multi sektor, lintas daerah, dan lintas
pendekatan, sehingga kebijakan yang dirumuskan juga harus betul-betul
mempertimbangkan kepentingan lintas wilayah tersebut. Singkatnya, otonomi
daerah dapat menjelma menjadi ancaman bagi daerah karena menguatnya
egoisme regional dan melupakan kohesivitas wilayah.
Dalam kaitan inilah, perlu adanya manajemen yang terintegrasi dalam
pembangunan regional. Dalam konteks Kalimantan, penulis mengusulkan
sebuah konsep tentang Kalimantan Incorporated. Dengan konsep ini, setiap
aktivitas usaha yang dijalankan, setiap kebijakan yang dirumuskan dan
diaplikasikan, dan setiap perubahan yang diinginkan dalam skala kontinen
Kalimantan, harus merepresentasikan kebutuhan bersama untuk kemajuan
bersama. Dan dengan sinergi lintas daerah inilah, keluhan-keluhan abadi
tentang rendahnya kualitas pembangunan di wilayah daratan/kontinen
(termasuk wilayah kepulauan) dapat diatasi secara perlahan namun sistemik.
Tri Widodo WU
Sumber asli: Jurnal Borneo Administrator Vol. 5 No. 1 (April, 2009)
35. 30
Catatan # 9
Perijinan, Konflik, dan Rekayasa Sosial
DALAM segmen Teropong, KOMPAS edisi 27/7/2012
membuat laporan investigasi yang sangat menyentuh
tentang konflik antar warga Kecamatan Balaesang
Tanjung, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Konflik
ini dipicu oleh dikeluarkannya Ijin Usaha Pertambangan
(IUP) untuk PT Cahaya Manunggal Abadi dengan luas areal
sekitar 5.000 hektar yang mencakup delapan desa. Bahkan Ijin Amdalnya
keluar tanpa sepengetahuan atau persetujuan warga.
Sikap sebagian besar warga menolak rencana penambangan tersebut karena
secara turun-menurun mereka telah menyandarkan hidup dari hasil kebun dan
ladang yang amat subur dan ditanami dengan jenis komoditas kakao, cengkeh,
kelapa, dan lainnya. Sayangnya, penolakan mereka tidak pernah didengar oleh
pemerintah. Potensi konflik semakin meruncing saat muncul sebagian warga
yang sepakat dengan rencana penambangan tersebut. Meski sebagian warga
yang mendukung rencana tersebut mengaku karena terpaksa, tidak urung
konflik kedua belah pihak telah menimbulkan korban jiwa maupun korban
material yang tidak sedikit.
Bukan yang Pertama
Konflik sosial yang dipicu oleh pemberian ijin pertambangan bukan sekali ini
terjadi. Kasus Balaesang Tanjung seakan menjadi pengulangan kasus-kasus
yang terjadi d berbagai daerah. Rasanya masih hangat dalam ingatan
masyarakat terjadinya kerusuhan Bima yang terjadi Desember 2011 silam.
Pemicu kerusuhanpun sama, yakni dikeluarkannya Ijin Usaha Pertambangan
(IUP) untuk PT Sumber Mineral Nusantara dengan luas areal lebih dari 24 ribu
hektar. Protes warga yang sudah berjalan lebih dari setahun tidak digubris,
termasuk rekomendasi Komnas HAM kepada Bupati Bima. Puncaknya, pada
tanggal 24/12/2011 massa memblokir Pelabuhan Sape dan terjadilah peristiwa
berdarah yang menewaskan 4 orang dan puluhan korban hilang (Sumbawa
News, 25/12/2011).
Selain kasus Balaesang Tanjung maupun kasus Bima, masih banyak konflik
sosial yang dipicu oleh kebijakan pemerintah mengeluarkan perijinan. Scale-
up, sebuah LSM yang bergerak dalam bidang pembangunan sosial
berkelanjutan, misalnya, menyebut banyaknya tumpang tindih perijinan lahan
di lapangan yang memicu konflik sosial. Di Riau saja, terdapat 241 konflik
36. 31
sosial yang terjadi dalam 4 tahun terakhir (http://scaleup.or.id). Belum lagi
konflik di daerah dan sektor lainnya.
Pengulangan berbagai konflik sosial tersebut seolah memberikan gambaran
kepada kita bahwa pemerintah tidak pernah belajar dari kasus-kasus lama
untuk mencegah agar kasus yang sama tidak berulang di daerah lain. Praktek
perijinan selalu saja penuh dengan kepentingan kelompok tertentu dan
merugikan kelompok lainnya. Proses pengambilan keputusan hingga
munculnya ijin tersebut nampaknya juga hanya mempertimbangkan sisi
prosedural, namun kurang mendalami aspek sosiologis dan psikologis warga
yang terkena kebijakan. Negara gagal mengelola perijinan sebagai instrumen
negara kesejahteraan (welfare state) sekaligus memfungsikannya sebagai
wahana rekayasa sosial.
Rekayasa Sosial
Meski citra perijinan sekarang sudah teramat buruk dimata publik karena
praktek-praktek yang buruk, namun harus disadari bahwa munculnya perijinan
sebagai tindakan administratif pemerintah justru dimaksudkan untuk
mewujudkan perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan
harta benda warga negara. Secara lebih detil, perijinan yang baik akan dapat
mencapai tujuan-tujuan ideal sebagai berikut: 1) mewujudkan tertib sosial
dan tertib hukum dalam masyarakat; 2) meningkatkan pemerataan dan
mengentaskan kemiskinan; 3) mendorong iklim investasi dan pertumbuhan
ekonomi sektor riil di daerah; 4) mencegah pengelolaan sumber daya alam
secara ekstraktif eksploitatif; serta 5) menjadi sumber pendapatan
daerah/negara (Utomo, 2010).
Dengan kata lain, perijinan yang benar mestinya dapat mendorong efek positif
berupa pertumbuhan ekonomi, sekaligus mencegah sejak dini kerusakan
lingkungan alam maupun sosial. Namun jika dikelola dengan kurang bijak,
maka justru efek negatiflah yang akan terjadi. Itulah sebabnya mengapa
perijinan dikatakan sebagai sebuah instrumen rekayasa pembangunan atau
rekayasa sosial (social reengineering). Rekayasa yang baik akan memberi hasil
yang baik, sementara rekayasa yang buruk akan memberi hasil buruk juga.
Bagaimana perijinan dapat menjadi alat rekayasa sosial? Aliran utilitarianisme
dalam khazanah hukum administrasi negara menyatakan bahwa perijinan
diperlukan bukan sekedar memberikan legalitas terhadap aktivitas tertentu
dari seorang warna negara, namun juga jaminan bahwa aktivitas tersebut
bermanfaat baik bagi dirinya, keluarganya, maupun orang lain. Artinya,
perijinan memiliki wajah ganda, yakni wajah kepastian hukum di satu sisi dan
kemanfaatan publik disisi lain.
Agar dua sisi tersebut bisa berjalan seimbang, maka pemerintah berhak
menetapkan persyaratan, kewajiban, dan larangan yang melekat pada
perijinan tertentu. Persyaratan adalah kondisi-kondisi yang harus dipenuhi
pemohon ijin seperti kelengkapan administratif, kualifikasi personal atau
37. 32
badan usaha, dan lain-lain. Penetapan persyaratan ini pada hakekatnya
merupakan upaya pengendalian, yang berarti bahwa tidak setiap orang atau
setiap badan usaha dapat diberikan ijin tertentu. Kewajiban adalah hal-hal
yang harus dilakukan pemegang ijin seperti keharusan menjaga kelestarian
lingkungan, mempekerjakan penduduk sekitar, menggunakan bahan dasar
lokal (local content), atau membayar retribusi/pajak kepada pemerintah,
yang apabila tidak dilakukan maka ijin yang telah diberikan dapat dicabut
kembali disertai ancaman sanksi. Jadi, penetapan kewajiban ini dimaksudkan
untuk menggaransi dampak positif dari pemberian ijin. Adapun larangan berisi
pembatasan bagi pemegang ijin untuk tidak menyelenggarakan aktivitas selain
dari yang disebutkan dalam ijin, atau larangan menggunakan bahan baku dari
luar negeri, memproduksi barang lebih dari ketentuan yang berlaku, dan
sebagainya. Hal ini diperlukan untuk mencegah kemungkinan dampak negatif
dari pemberian ijin tersebut.
Dalam realitanya, sebuah ijin jarang sekali menekankan aspek kewajiban dan
larangan tersebut. Ijin cenderung mudah dikeluarkan sepanjang persyaratan
administratif sudah lengkap. Maka, perijinan tidak pernah menjadi alat
rekayasa sosial. Perijinan lebih banyak dimanfaatkan sebagai sumber
pendapatan daerah semata, tanpa memperhatikan fungsi perijinan yang lain
secara seimbang. Akan lebih buruk lagi ketika kepentingan politis masuk
dalam rezim perijinan, maka potensi konflik sosial akan semakin besar,
seperti terlihat dalam berbagai kasus yang muncul belakangan ini.
Dengan demikian, untuk mencegah merebaknya konflik sosial di kemudian
hari, pendekatan hukum saja sangat tidak memadai. Pendekatan teknokratis-
administratif dengan memperbaiki sistem perijinan secara menyeluruh,
diyakini menjadi pilihan solusi yang lebih jitu dan cerdas untuk jangka
panjang. Tri Widodo WU
Catatan: tulisan ini belum pernah dipublikasikan kecuali pada Blog penulis.
http://triwidodowutomo.blogspot.com/
38. 33
Catatan # 10
Logika Otonomi
SETELAH berjalan selama 8 tahun, sudah sepantasnya
jika kebijakan desentralisasi melalui pemberian otonomi
luas kepada daerah telah menampakkan hasilnya bagi
masyarakat. Bangunan gedung-gedung pemerintah,
kemunculan pusat-pusat pertumbuhan baru, atau
penambahan infrastruktur dasar, adalah beberapa hasil
kasat mata (tangible) yang positif dari gelombang
transfer kewenangan dari Pusat kepada Daerah. Namun jika kita mau berpikir
seimbang, maka fakta-fakta masih tingginya tingkat kemiskinan dan
pengangguran, merebaknya inefisiensi penggunaan anggaran, atau munculnya
kasus-kasus mis-manajemen seperti banjir, kemacetan, penggusuran, aksi
massa jalanan, dan sejenisnya, adalah tugas-tugas yang masih terbengkalai.
Mis-manajemen, mal-administrasi, inkompetensi aparatur, kegagalan
kebijakan, atau apapun namanya adalah satu kondisi yang harus disikapi
dengan arif dan dicarikan jalan keluar yang terbaik. Kecenderungan mencari
dalih atau kambing hitam, mengelak dari tanggungjawab, atau
mengedepankan alibi untuk berkelit dari kinerja yang rendah, sudah bukan
jamannya lagi diikuti. Dalam alam realita, sayangnya, masih sering dijumpai
adanya logika yang asimetris antara pandangan Pusat dengan persepsi Daerah.
Pemerintah Pusat, misalnya, menilai bahwa kinerja Daerah dalam pelaksanaan
urusan-urusan yang telah diserahkan relatif masih sangat rendah, baik dilihat
dari pengelolaan anggaran maupun pencapaian target output dan outcomes-
nya. Dengan kata lain, gelombang transfer kewenangan dan sumber daya dari
Pusat, tidak sebanding dengan kemampuan Daerah untuk
mengoperasionalisasikannya. Ketika kewenangan (discretion = D) dan
sumberdaya (resources = R) jauh melampaui kemampuan (capacity = C), atau
dapat dirumuskan dalam formula D + R > C, maka terjadilah inefektivitas dan
inefisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dan ketika kinerja
penyelenggaraan pemerintahan daerah rendah, maka cukup logis jika Pusat
bermaksud untuk “membantu” pelaksanaan tugas-tugas kedaerahan.
Inisiatif Pusat untuk “membantu” daerah inilah yang kemudian sering
diinterpretasikan sebagai upaya intervensi aau resentralisasi. Dalam hal ini,
orang Daerah justru memiliki logika yang sedikit kontradiktif. Menurut
mereka, kapasitas atau kompetensi daerah merupakan konsekuensi logis dari
penyerahan kewenangan dan sumberdaya secara penuh. Jika Pusat tidak
sepenuh hati menyerahkan kewenangan dan sumberdaya tadi, maka yang
terjadipun adalah inefektivitas dan inefisiensi penyelenggaraan pemerintahan
39. 34
daerah. Dalam bentuk formula, logika Daerah kira-kira dapat dirumuskan
sebagai fungsi C = D max + R max. Sayangnya, telah menjadi asumsi dasar bagi
sebagian besar pejabat daerah bahwa Pusat tidak sungguh-sungguh
memberdayakan Daerah melalui kebijakan otonomi. Ilustrasi yang sering
digunakan adalah: kepala dilepas, ekor dipegang. Urusan-urusan tertentu
yang ditarik kembali (misalnya pertanahan), dana perimbangan yang tidak
berimbang, aturan-aturan yang dinilai terlalu kaku dan mengikat kreativitas
daerah, adalah beberapa contoh belum seriusnya Pusat mengimplementasikan
otonomi daerah.
Bahkan, tidak jarang muncul pemikiran di kalangan birokrat daerah, bahwa
reformasi birokrasi daerah tidak mungkin terwujud jika tidak didahului dengan
mereformasi birokrasi di tingkat Pusat. Analoginya, kita tidak mungkin
membersihkan pencemaran di wilayah hilir jika proses pencemaran di wilayah
hulu tidak dihentikan. Dalam hal ini, Pusat adalah hulu, dan Daerah adalah
hilir. Logika ini sangat sederhana namun begitu jelas dan mengena sasaran.
Paparan diatas menyiratkan adanya kebuntuan (bottleneck) logika antara
Pusat dan Daerah. Contoh korsleting logika yang lain misalnya dalam hal
inovasi dan kreativitas daerah dalam bidang urusan tertentu. Cukup banyak
“tuduhan” yang dialamatkan kepada daerah karena bermental imitasi
(meniru) atau plagiasi (menjiplak). Perumusan Perda adalah satu aktivitas
yang paling rentan terhadap praktek copy and paste. Penetapan jenis-jenis
retribusi daerah atau kebijakan tertentu lainnya, juga seringkali merupakan
turunan dari jenis retribusi atau kebijakan tertentu di daerah tetangganya.
Ketika otonomi tidak melahirkan semangat inovasi, kreasi, dan invensi, maka
saat itulah otonomi dikatakan mengalami disfungsi. Dan disini, Daerah
menjadi tersangka utama.
Namun jika optik dan logika kedaerahan yang kita pakai, maka persoalannya
tidak terletak di Daerah, melainkan Pusat yang tidak konsisten dengan
kebijakannya sendiri. Ambil contoh SPM. UU No. 32/2004 mengamanatkan
secara tegas bahwa pemerintah (Pusat) harus menyusun SPM untuk urusan
wajib, yakni urusan yang berhubungan denga kebutuhan dasar masyarakat
seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, lingkungan hidup, perhubungan,
koperasi, kependudukan, dan sebagainya. Daerah, diwajibkan menyusun
Rencana Pencapaian SPM berpedoman pada SPM yang ditetapkan oleh
Departemen Teknis terkait. Ironisnya, bagaimanapun semangatnya Daerah
untuk menyusun RP-SPM, tidak banyak artinya jika Pusat belum memiliki SPM
itu sendiri. Padahal, UU No. 32/2004 sudah berjalan hampir 5 tahun, bahkan
sudah dalam wacana revisi, namun Pusat belum menjalankannya!
Contoh lain adalah mengenai reformasi kelembagaan. Postur Pemda yang
selama ini dianggap gemuk bahkan cenderung terjangkit penyakit obesitas
(kegemukan), dirasionalisasikan melalui penerapan PP No. 41/2007. Faktanya,
upaya membangun figur Perangkat Daerah yang ramping, efektif, efisien,
ekonomis, dan kaya fungsi, menjadi terhambat gara-gara ketentuan peraturan
perundang-undangan sektoral yang meminta Daerah untuk membentuk
40. 35
kelembagaan baru selain yang diatur dalam PP No. 41/2007. Akibatnya mudah
diterka, sosok Daerah yang terbentuk adalah sosok yang tambun dan boros
sumber daya. Pada gilirannya, kondisi ini mengganjal langkah reformasi
birokrasi di daerah.
Tentu saja, korsleting atau asimetri logika otonomi antara Pusat dan Daerah
tersebut akan menghambat laju otonomi itu sendiri. Oleh karenanya,
mendekatkan hati, menyamakan persepsi, mengintensifkan koordinasi, adalah
sebuah kebutuhan mutlak. Otonomi adalah produk bangsa yang merupakan
kepentingan bersama, bukan kepentingan Pusat, bukan pula kepentingan
Daerah. Majunya daerah otonom bukan merupakan prestasi Pusat, bukan pula
prestasi daerah yang bersangkutan. Setiap keberhasilan yang diraih oleh suatu
daerah adalah keberhasilan bangsa Indonesia sebagai sebuah entitas, dan
setiap kegagalan suatu daerah adalah kegagalan kita semua pula.
Maka, otonomi tidak hanya bermakna kompetisi, namun juga kooperasi.
Artinya, otonomi harus bermuara pada terbentuknya koopetisi (kerjasama
dalam iklim kompetisi, atau kompetisi yang tidak menghilangkan semangat
kerjasama). Otonomi juga tidak identik dengan merebaknya ego sektor, ego
wilayah, dan ego jabatan yang melahirkan raja-raja kecil (little kings and
barons). Sebaliknya, otonomi harus melahirkan pelayan-pelayan besar (great
servants). Akhirnya, otonomi bukanlah logika. Otonomi adalah kesatuan visi
dan komitmen untuk membangun bangsa yang lebih demokratis, lebih maju,
lebih cerdas, lebih merata dan berkeadilan, serta lebih sejahtera. Tri
Widodo WU
Sumber asli: Jurnal Borneo Administrator Vol. 5 No. 2 (Agustus, 2009)
41. 36
Catatan # 11
Ironi Otonomi Daerah
DALAM sebuah diskusi di kantor PKP2A III LAN, seorang
pejabat teras Pemprov Kalimantan Timur sempat
melontarkan gagasan sederhana namun mengandung
sindiran yang sangat kuat. Menurutnya, di era otonomi
luas seperti saat ini perlu dipikirkan adanya mekanisme
dan alat ukur untuk menilai/mengevaluasi instansi Pusat
oleh Daerah, agar terjadi hubungan Pusat dan Daerah yang lebih obyektif dan
seimbang. Sebab, selama ini hanya Pusat yang seolah-olah ”berhak” menilai
daerah dengan memberikan banyak sekali instrumen evaluasi, namun daerah
sama sekali tidak memiliki hak yang sama untuk menilai Pusat.
Pernyataan yang menyiratkan adanya ”kegundahan” di kalangan birokrat
daerah tadi dapat diinterpretasikan dalam beberapa kemungkinan. Pertama,
”ledakan besar” desentralisasi (big bang decentralization) telah melahirkan
kecemasan munculnya egoisme kedaerahan yang kronis. Setelah puluhan
tahun terkooptasi oleh kekuasaan yang sentralistis dan monopolis, Daerah
nampaknya ingin menghilangkan segala sesuatu yang bernuansa ”Pusat”
dengan cara menonjolkan berbagai atribut kedaerahan seperti putra daerah,
retribusi daerah, atau bahkan otonomi daerah itu sendiri. Kecenderungan
seperti inilah yang disebut Gerry Stoker (dalam Rethinking Local Democracy,
1996) sebagai perangkap kedaerahan (the trap of localism). Artinya, otonomi
yang semestinya mampu membuka peluang bagi otoritas daerah untuk berpikir
bebas dan kreatif secara global guna memajukan daerahnya, justru
berdampak pada makin sempitnya pola pikir (mindset) para pelaku otonomi di
daerah.
Fenomena kedua menunjukkan indikasi yang sebaliknya, dimana ”otonomi
setengah hati” atau bahkan resentralisasi semakin menguat semenjak
dilakukannya revisi terhadap UU Pemda tahun 1999. Hasrat berbagai
Departemen dan LPND untuk menerbitkan beragam pedoman, juklak maupun
instrumen evaluasi mengilustrasikan ketakutan mereka kehilangan ”hak
kontrol” atas daerah. Uniknya, mereka membiarkan diri mereka immune,
untouchable, atau tak tersentuh oleh kreasi dan aspirasi daerah. Dengan kata
lain, Pusat masih memposisikan diri sebagai atasan, owner, dan/atau patron
bagi daerah. Dua pola pengawasan terhadap Perda melalui mekanisme
evaluasi dan klarifikasi sebagaimana diatur dalam UU Pemda 2004, semakin
meneguhkan ”prasangka” tentang resentralisasi tersebut. Ini berarti pula
bahwa praktek administrasi publik di Indonesia sesungguhnya masih lebih
bercorak top-down, dan kurang memberi ruang bagi berkembangnya proses
42. 37
difusi inovasi yang berbasis locally bottom-up initiative serta self-help
empowerment.
Kedua fenomena tersebut dapat dikatakan sebagai ironi otonomi daerah,
karena merupakan dampak yang sama sekali tidak diharapkan ketika
kebijakan otonomi digulirkan pertama kali. Diluar keduanya, masih ada satu
ironi desentralisasi lain yang sesungguhnya telah lama diprediksi di buku-buku
text. Fenomena ini berkaitan dengan pergeseran peran dan posisi Provinsi
yang semakin mengecil. Dalam hal ini, Schiavo-Campo dan Sundaram (dalam
To Serve and To Preserve: Improving Public Administration In A Competitive
World, 2000) menjelaskan bahwa pada abad ke-19, Provinsi merupakan unit
penghubung (intermediate administrative entity) antara Pusat dan Daerah
(Kabupaten/Kota). Sebagai unit intermediasi, Provinsi memiliki dua posisi
monopoli, yaitu sebagai ”agen tunggal” dalam menjabarkan kebijakan Pusat
yang menyangkut urusan kepemerintahan daerah, serta ”agen tunggal” yang
menyediakan seluruh informasi tentang daerah kepada Pusat. Namun dengan
adanya desentralisasi, timbullah efek loncatan katak (leapfrogging effect),
yakni terjadinya transfer kewenangan dan sumberdaya Pusat langsung kepada
Kabupaten/Kota. Pada saat yang sama, terjadi pula transfer sebagian
kewenangan dan sumberdaya dari Provinsi. Proses inilah yang menjadikan
fungsi dan peran Provinsi menjadi tidak lagi signifikan. Sebagai ilustrasi, pasal
38 UU No. 32/2004 hanya memberikan tiga tugas / wewenang Gubernur selaku
wakil Pemerintah, yaitu koordinasi, pembinaan, dan pengawasan
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan tugas pembantuan di daerah.
Ironisnya, layer atau jenjang struktur organisasi di tingkat Provinsi masih lebih
panjang dan lebih besar dibanding layer di tingkat Pusat atau di
Kabupaten/Kota. Di Provinsi terdiri dari lima layer, masing-masing adalah
Sekda (Eselon I-b), Asisten (Eselon II-a), Kepala Biro (Eselon II-b), Kepala
Bagian (Eselon III-a), dan Kepala Sub-bagian (Eselon IV-a). Di tingkat Pusat
(Departemen) sendiri terdiri dari empat layer, masing-masing adalah Direktur
Jenderal (Eselon I-a), Direktur (Eselon II-a), Kepala Bidang (Eselon III-a), dan
Kepala Sub-bidang (Eselon IV-a). Demikian pula di Kabupaten/Kota hanya
terdiri dari empat layer, yakni Sekda (Eselon II-a), Asisten (Eselon II-b),
Kepala Bagian (Eselon III-a), dan Kepala Sub-bagian (Eselon IV-a). Disini
terlihat dengan jelas bahwa besaran kelembagaan Provinsi kurang akordion
dengan beban tugas yang disandangnya. Dan mengingat esensi otonomi daerah
berada pada Kabupaten/Kota, maka format kelembagaan Provinsi jelas
membutuhkan penyesuaian ulang.
JIKA tidak dapat diatasi dengan baik, tiga ironi otonomi diatas dapat
mengancam tiga kondisi ideal yaitu tumbuhnya demokrasi lokal yang sehat,
meningkatnya kesejahteraan sosial ekonomi rakyat, serta membaiknya mutu
pelayanan umum. Untuk itu, paling tidak diperlukan dua langkah simultan
sebagai prasyarat utama keberhasilan otonomi daerah. Pertama, adanya
kebesaran hati dan kepercayaan (trust) Pusat terhadap Daerah. Pemerintah
Pusat hendaknya tidak selalu mencari-cari celah untuk melakukan intervensi,
karena konsekuensi logis otonomi adalah berkurangnya kadar interventionist
43. 38
state. Kedua, adanya kemauan Daerah untuk meningkatkan kapasitas SDM,
kelembagaan dan finansialnya secara terus menerus. Sebab, konsekuensi logis
otonomi yang lain adalah harus dilakukannya capacity building bagi seluruh
sub-sistem pemerintahan daerah.
Manakala kedua hal tersebut dapat dijalankan dengan baik, maka akan
tercapai sinergi dan harmoni antara Pusat dan Daerah. Tidak akan ada lagi
hasrat Pusat untuk mengkooptasi Daerah; tidak akan ada lagi sikap arogan
Daerah terhadap Pusat; serta tidak akan ada lagi sengketa atau rebutan obyek
kewenangan antara Pusat dan Daerah. Dan satu hal lagi: tidak akan ada lagi
sindiran dan ungkapan bernada kegundahan sebagaimana tercermin pada
paragrap awal tulisan ini. Tri Widodo WU.
Sumber asli: Jurnal Borneo Administrator Vol. 1 No. 3 (Desember, 2005)
44. 39
Catatan # 12
Otonomi dan Altruisme Kepala Daerah
MENURUT data Kementerian Dalam Negeri, dari seluruh
penyelenggaraan Pilkada periode 2005-2009, 210
diantaranya masuk kategori “bermasalah”, dengan rincian
14 pemilihan gubernur, 163 pemilihan bupati, dan 33
pemilihan walikota (Koran Sindo, 9/4/2010). Jenis-jenis
masalah yang ditemui sangat beragam, mulai dari data
pemilih yang tidak akurat, persyaratan calon yang tidak lengkap, kesalahan
penghitungan, kerusuhan massa, hingga kasus-kasus politik uang (money
politics) yang berakhir di pengadilan. Fakta seperti ini perlu dicermati dan
dijadikan pelajaran berharga agar tidak terulang lagi, mengingat pada tahun
2010 ini saja akan dilaksanakan 244 pilkada, dari total 532 pilkada hingga
2014.
Meskipun masih banyak Pilkada bermasalah, namun harus diakui bahwa secara
umum dampak yang dihasilkan dari Pilkada secara “demokratis” ini cukup
menggembirakan, misalnya makin menguatnya desentralisasi fiskal yang
berdampak pada meningkatnya uang beredar di daerah dan munculnya kaum
entrepreneur baru. Jika sebelum era otonomi 70% uang beredar di Jakarta,
pada tahun 2007 jumlah tersebut turun menjadi 47% (Harian Kabar Indonesia,
6/8/2008). Selain itu, semangat otonomi juga mampu mendongkrak inovasi
para kepala daerah terpilih, yang antara lain diindikasikan oleh keberhasilan
meraih penghargaan dalam berbagai sektor pembangunan.
Namun, otonomi daerah juga menyisakan kisah-kisah unik yang kurang enak
didengar. Kebijakan yang merupakan “anak kandung” reformasi ini tidak
hanya melahirkan raja-raja kecil di daerah seperti dikhawatirkan banyak pihak
selama ini, namun juga sosok “manusia setengah dewa”. Sosok seperti ini
misalnya tercermin dari cerita seorang teman dari salah satu daerah di Jawa
Tengah yang terkenal sebagai penghasil susu sapi yang menuturkan bahwa
bupatinya hidup teramat sederhana sehingga sampai saat inipun belum
memiliki rumah pribadi dan terpaksa tinggal bersama mertuanya. Senada
dengan cerita diatas, teman lain dari salah satu daerah di Jawa Timur yang
menjadi basis ormas Islam terbesar di Indonesia, bercerita bahwa bupatinya
tidak pernah mau menggunakan dana APBD meski untuk membiayai perjalanan
dinas. Dia juga dengan bangga meyakinkan bahwa bupatinya sangat sedikit
waktu untuk istirahat karena masih menerima tamu hingga dini hari, dan
bahkan menjelang fajar-pun sudah harus menerima tamu yang sebagian besar
masyarakat miskin.
45. 40
Fenomena unik tadi tidak terkecuali terjadi juga di Kalimantan. Dalam sebuah
kesempatan memfasilitasi penyusunan standar pelayanan di sebuah SKPD,
tiba-tiba muncul celetukan yang cukup menggelitik dari seorang peserta
bahwa di daerahnya tidak pernah ada keluhan dari masyarakat. Pada saat itu
saya kemukakan adanya dua kemungkinan dari fakta tersebut, yakni kinerja
pelayanan daerah memang sudah sangat baik, atau masyarakat belum
memiliki keberanian untuk mengadu dan menyampaikan keluhan. Ternyata,
argumen saya dimentahkan dengan jawaban: ”di daerah kami, keluhan
disampaikan langsung oleh masyarakat kepada bupati”. Di daerah yang sama
juga pernah muncul keluhan dari aparat Satpol PP yang melakukan penertiban
PKL yang melanggar Perda, namun si pedagang kemudian mengadu langsung
kepada bupati dan sang bupati memerintahkan Satpol PP untuk
mengembalikan gerobak dagangan si PKL. Akibatnya, petugas Satpol PP
merasa frustasi karena hasil kerjanya menjadi sia-sia dan dimentahkan oleh
diskresi bupati yang semestinya justru menjadi pihak paling berkepentingan
terhadap penegakan aturan di daerah. Bupati daerah ini memang dikenal
sangat dekat dengan rakyat dan menerapkan pendekatan secara personal atau
non-kedinasan terhadap masyarakat.
Berbagai fenomena diatas sesungguhnya menjelaskan tentang altruisme, atau
sebuah sikap pengorbanan diri demi kebaikan dan kesejahteraan orang lain
(selfless concern for the welfare of others, Wikipedia). Terminologi altruisme
sendiri secara khusus bersumber dari ilmu ethology (studi tentang perilaku
binatang), dan secara umum dari ilmu evolusi sosial. Istilah ini merujuk pada
perilaku seekor binatang yang memberikan kekuatan kepada binatang lain
namun mengurangi kekuatan dirinya sendiri (self-sacrifice for the benefit of
others).
Secara teoretik, pemberian pelayanan dan pemenuhan kebutuhan barang/jasa
bagi masyarakat sendiri dapat ditempuh melalui empat mekanisme, yakni: 1)
altruisme (belas kasihan); 2) anarkhi (ketiadaan sistem/aturan); 3) mekanisme
pasar (hukum permintaan dan penawaran); serta 4) mekanisme
pemerintah/negara (kebijakan publik). Altruisme adalah pola alokasi sumber
ekonomi atas dasar hubungan pemberian (gift relationship, charity).
Sementara itu, mekanisme anarkhi akan muncul manakala ada komoditas yang
terbatas namun dibutuhkan dan diperebutkan oleh orang banyak. Pembagian
sembako di musim lebaran yang sering menelan korban karena berdesak-
desakan, adalah contoh nyata dari bekerjanya mekanisme anarkhi ini.
Dalam konteks kebijakan publik maupun penyelenggaraan pemerintahan, dua
mekanisme pertama sangat tidak dianjurkan. Mekanisme anarkhi, dengan
alasan apapun jelas harus dihindarkan. Sedangkan untuk mekanisme
altruisme, meskipun cukup baik namun sifatnya sangat rapuh karena efektif
tidaknya sangat tergantung kepada kerelaan hati dan keikhlasan seseorang
untuk berbuat sesuatu. Dengan kata lain, mekanisme altruistik bekerja dalam
ranah privat (perseorangan) dan hampir tidak mungkin dilembagakan secara
formal (institutionalized) sebagai bagian dari penyelenggaraan pelayanan