Pada tahun 2005, menyadari semakin tingginya kasus narkoba di Indonesia selama hampir satu dekade penerapan UU Narkotika dan Psikotropika RI tahun 1997, pemerintah mengusulkan amandemen atau perubahan UU tersebut dengan mengajukan rancangan undang-undang (RUU) kepada DPR RI. Dasar dari pengajuan RUU tersebut adalah anggapan bahwa kedua pendekatan penanggulangan napza yang telah disebutkan di atas belum mendapat dukungan maksimal baik dari segi pembiayaan maupun dari sanksi pidana yang diberikan. RUU ini disahkan oleh presiden dan diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM RI yang terdiri dari 116 pasal dan 19 halaman penjelasannya untuk ditindaklanjuti dengan pembentukan Pansus Narkotika di bawah Komisi IX DPR RI, serta kemudian diproses sesuai mekanisme legislasi yang berlaku di DPR RI. Dan hingga awal tahun 2009, disebabkan oleh berbagai faktor, RUU tersebut belum dapat disahkan. Atas peluang tersebut, maka Persaudaraan Korban Napza Indonesia berusaha menanggapi dengan menyusun serangkaian kegiatan yang diawali acara debat publik serentak di berbagai daerah dengan judul, “Amandemen UU Narkotika dan Psikotropika RI: Akankah Pro Rakyat atau Pro Bandar?”
HOW TO CONSTRUCT AN UNDERCLASS, OR HOW THE WAR ON DRUGS BECAME A WAR ON EDUCA...
Debat Amandemen UU Narkotika & Psikotropika RI - Kertas Konsep
1. RANGKAIAN KEGIATAN PELIBATAN PUBLIK DALAM AMANDEMEN UU NARKOTIKA & PSIKOTROPIKA RI
Persaudaraan Korban Napza Indonesia
DEBAT PUBLIK
“Amandemen UU Narkotika dan Psikotropika RI: Akankah Pro
Rakyat1 atau Pro Bandar2?”
K
ebijakan pelarangan dan pemberantasan napza atau yang lebih dikenal dengan istilah
“perang terhadap narkoba” telah berlangsung selama tiga puluhan tahun lebih. Istilah
tersebut digagas oleh Presiden AS, Richard Nixon, pada tahun 1971 dengan menetapkan
narkoba sebagai musuh masyarakat nomor satu. Sejak sebelum Pemerintahan Nixon hingga saat ini,
kebijakan pengendalian napza di seluruh dunia mengacu pada kesepakatan internasional paska
perang candu di Cina, dimana perang ini sebenarnya lebih merupakan perang terhadap imperialisme
Inggris ketimbang perang terhadap candunya. Kesepakatan-kesepakatan tersebut telah mengalami
beberapa kali perubahan dari yang hanya mengatur pembatasan perdagangan opium tahun 1912
hingga lahirnya semboyan “sebuah Dunia yang Bebas Narkoba – Kita Bisa Membuatnya!” dalam
sidang umum PBB untuk sesi khusus permasalahan narkoba dunia tahun 1998.
Lebih dari satu dekade lalu Republik Indonesia merevisi kebijakan napza yang dilandasi oleh
semangat pelarangan dan pemberantasan „musuh masyarakat‟ ini dengan mengesahkan UU No. 22
tahun 1997 tentang Narkotika dan UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika beserta berbagai
bentuk kebijakan turunannya hingga pelaksanaan teknis. Salah satu turunan dua UU tersebut adalah
Keputusan Presiden No. 17 tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional yang menaungi seluruh
badan pemerintah untuk operasionalisasi penanggulangan narkoba, hingga ke tingkat daerah. Sejak
masa itu, upaya-upaya untuk mewujudkan bangsa yang bersih dari narkoba terus digalakkan di
seluruh pelosok negeri. Upaya tersebut digolongkan ke dalam dua pendekatan: 1) pengurangan
pasokan, dilakukan melalui pemberantasan produksi dan distribusi agar napza yang diilegalkan tidak
tersedia di tengah masyarakat; dan 2) pengurangan permintaan, dilakukan melalui kampanye dan
pendidikan anti narkoba (kebanyakan menakut-nakuti) dengan sasaran mereka yang belum pernah
mencoba, serta rehabilitasi bagi yang sudah terlanjur mengkonsumsi. Diharapkan kedua pendekatan
ini saling bersinergi: ketika tidak ada pasokan napza maka konsumsi dengan sendirinya akan hilang
dan sebaliknya. Maka, hingga saat ini penjara-penjara kita terus dipenuhi oleh kasus-kasus narkoba,
media massa kita tidak pernah sepi dari pemberitaan pengungkapan kasus narkoba, serta ruang
publik kita dipenuhi oleh berbagai bentuk media yang membawa pesan anti narkoba. Di atas semua
itu, pembiayaan dan anggaran negara untuk upaya-upaya tersebut terus meningkat baik untuk yang
bersifat represi demi mengurangi pasokan maupun yang bersifat persuasi demi mengurangi
permintaan masyarakat akan napza yang diilegalkan.
Dalam kenyataannya, upaya-upaya yang dibiayai negara dan jumlahnya terus meningkat tiap
tahunnya ini nampak tidak menunjukkan hasil yang diharapkan. Penelitian serta laporan-laporan PBB
untuk global, maupun BNN untuk nasional, konsisten menunjukkan konsumsi napza ilegal yang selalu
meningkat dari tahun ke tahun sejak kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai napza dibuat
Pengaturan/Pengendalian Napza dianggap kebijakan “pro rakyat” karena produk hukum ini menetapkan bahwa
1
produksi, distribusi, dan konsumsi napza dikuasai, dikendalikan, serta diatur oleh negara dengan tujuan melindungi
masyarakat dari dampak sosial ekonomi komodifikasi napza.
Perang Terhadap Narkoba dianggap kebijakan “pro bandar” karena walaupun bertujuan melindungi masyarakat
2
dari dampak buruk konsumsi napza, melalui upaya-upaya pelarangan dan pemberantasannya – bukan mengatur
produksi, distribusi, dan konsumsinya, motif mencari keuntungan dari komoditas ini menjadi beralih ke kerangka
ekonomi pasar gelap melalui peredaran jalanan yang selalu dikuasai sindikat kejahatan terorganisir (bandar).
2. RANGKAIAN KEGIATAN PELIBATAN PUBLIK DALAM AMANDEMEN UU NARKOTIKA & PSIKOTROPIKA RI
Persaudaraan Korban Napza Indonesia
dan diratifikasi oleh negara-negara anggota PBB. Bukan upayanya (pemberantasan dan pelarangan)
kurang gencar atau kurang anggaran untuk peralatan, pasukan, maupun spanduk. Namun upaya-
upaya tersebut telah terbukti gagal untuk membuat napza yang diilegalkan menjadi tidak tersedia di
tengah-tengah masyarakat serta masyarakat menjadi tidak mau mengkonsumsi atau tidak berani
mencobanya. Bahkan kebijakan pelarangan dan pemberantasan melalui kriminalisasi bagi anggota
masyarakat yang terlibat (minimal mengetahui dan tidak melapor) justru menjadikan napza memiliki
dampak sosial ekonomi yang jauh lebih buruk bagi masyarakat.
Ketiga napza yang dilarang dalam UN Covention on Narcotic Drugs tahun 1961 (ganja, koka, dan
opium) telah dikonsumsi masyarakat di berbagai belahan dunia sejak ribuan tahun lalu dan dalam
perkembangannya kemudian telah menjadi komoditas, produksi dan jual beli untuk memenuhi
konsumsi dilakukan manusia sebagai homo economicus. Pelarangan membuat komoditas-komoditas
ini kemudian beralih ke kerangka ekonomi pasar gelap. Dalam kerangka ekonomi ini, tidak hanya
pengendalian sebagai kewajiban negara atas kualitas dan harga saja yang terhapuskan, namun
seluruh sendi-sendi ekonomi napza dikuasai oleh sindikat-sindikat kejahatan terorganisir (bandar),
bebas pajak pula. Hal inilah yang membuat hingga saat ini kebijakan napza yang diterapkan dengan
melibatkan pasukan khusus, propaganda, peralatan canggih, serta biaya yang terus dinaikkan, justru
membuat keberadaannya tidak terkendali di tengah masyarakat. Pemberantasan dan pelarangan
sebuah komoditas yang dibutuhkan masyarakat atas potensinya pasti akan menimbulkan kerangka
ekonomi pasar gelap, dimana para bandarlah yang pasti meraup keuntungan besar sementara
masyarakat terus terpapar komoditas yang dikuasai para bandar ini. Di samping itu masyarakat juga
tereksploitasi oleh kesewenang-wenangan bandar dalam menentukan kualitas dan harga komoditas
dan oknum-oknum aparat yang mendapat legitimasi undang-undang sebagai kebijakan tertinggi
setelah UUD 1945 untuk menindak kasus-kasus narkoba. Melalui kebijakan seperti ini, negara
dilumpuhkan untuk mengendalikan dan melindungi rakyat yang jumlahnya terus meningkat di dalam
penjara-penjara karena kasus pemakaian narkoba. Dengan kebijakan seperti demikian, yang terjadi
adalah negara melepaskan bahkan menyerahkan kuasa produksi, distribusi, dan konsumsi napza
kepada para bandar – masyarakat tidak dapat terlindungi karena yang menguasai napza bukan lagi
negara.
Pada tahun 2005, menyadari semakin tingginya kasus narkoba di Indonesia selama hampir satu
dekade penerapan UU Narkotika dan Psikotropika RI tahun 1997, pemerintah mengusulkan
amandemen atau perubahan UU tersebut dengan mengajukan rancangan undang-undang (RUU)
kepada DPR RI. Dasar dari pengajuan RUU tersebut adalah anggapan bahwa kedua pendekatan
penanggulangan napza yang telah disebutkan di atas belum mendapat dukungan maksimal baik dari
segi pembiayaan maupun dari sanksi pidana yang diberikan. RUU ini disahkan oleh presiden dan
diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM RI yang terdiri dari 116 pasal dan 19 halaman
penjelasannya untuk ditindaklanjuti dengan pembentukan Pansus Narkotika di bawah Komisi IX DPR
RI, serta kemudian diproses sesuai mekanisme legislasi yang berlaku di DPR RI. Dan hingga awal
tahun 2009, disebabkan oleh berbagai faktor, RUU tersebut belum dapat disahkan. Atas peluang
tersebut, maka Persaudaraan Korban Napza Indonesia berusaha menanggapi dengan menyusun
serangkaian kegiatan yang diawali acara debat publik serentak di berbagai daerah dengan judul,
“Amandemen UU Narkotika dan Psikotropika RI: Akankah Pro Rakyat atau Pro Bandar?”
Tujuan Umum
1. Memberikan ruang kepada publik untuk pemahaman terbuka tentang latar belakang hingga
diimplementasikannya sebuah kebijakan napza dari tingkat global hingga lokal;
2. Menggalang dukungan berbagai pihak untuk mengubah landasan UU Narkotika dan
Psikotropika RI, bukan lagi pelarangan dan pemberantasan yang menyuburkan pasar gelap.
3. RANGKAIAN KEGIATAN PELIBATAN PUBLIK DALAM AMANDEMEN UU NARKOTIKA & PSIKOTROPIKA RI
Persaudaraan Korban Napza Indonesia
Landasan UU tersebut harus membuat negara memilki kemampuan mengendalikan napza
sehingga terjadi perlindungan terhadap masyarakat dari dampak buruk komodifikasi napza;
3. Mengajak peran serta aktif masyarakat dalam proses pembuatan atau perubahan kebijakan
publik. Bentuk peran serta aktif ini mulai dari pendidikan, penelitian, hingga perumusan
rancangan UU sebagai tandingan bagi RUU yang sudah ada di DPR RI.
Hasil yang Diharapkan
1. Adanya ruang publik untuk mengungkap permasalahan napza secara lebih terbuka, bukan
acara publik (seminar, penyuluhan, dll.) yang mengetengahkan tema anti narkoba sebagai
mainstream penanggulangan masalah narkoba saat ini;
2. Adanya dukungan/minat yang dapat ditindaklanjuti untuk megkaji permasalahan napza
sebagai masalah kebijakan publik, sosial, budaya suatu tatanan masyarakat dari berbagai
disiplin ilmu sebagai bahan untuk mendasari UU yang sedang dalam proses amandemen;
3. Adanya komitmen (tertulis) peserta debat untuk masuk dalam kepanitiaan3 yang telah
disiapkan panitia.
Pendekatan dan Metodologi
Acara akan dipandu oleh moderator4 dengan dua orang pendebat untuk masing-masing kubu [Kubu
Pro dan Kubu Kontra], serta seorang nara sumber yang akan memberikan kesaksian [Korban]
mengenai: 1) kesewenang-wenangan perlakuan aparat melalui pemerasan, suap, kekerasan fisik, dll.;
2) keberadaan napza ilegal di berbagai tempat, termasuk penjara, atas beking oknum dan
kecanggihan sindikat; 3) kesewenang-wenangan bandar akan harga, kualitas, kuantitas, maupun
ketersediaan napza sehingga memaksimalkan dampak sosial ekonomi termasuk kesehatan kepada
masyarakat sebagai obyek kriminalisasi perang terhadap narkoba.
Peserta akan menghadap atau membelakangi pendebat / para panelis, sesuai dengan setting
ruangan yang dapat disiapkan panitia. Jika memungkinkan, tempat bagi para peserta / audiens dibagi
dua berdasarkan kubu-kubu pendebat yang akan didukung sesuai pilihan audiens.
Susunan Acara:
1. Pengutaraan kondisi yang menimpa Korban, dan korban-korban lainnya – bila perlu
menggunakan data statistik, serta proyeksi atas keadaan jika tidak terjadi perubahan dalam
kebijakan napza nasional;
2. Pendebat Pertama dari tiap kubu diberikan kesempatan mengutarakan argumentasinya
(masing-masing 4-5 menit);
3. Moderator menggarisbawahi pokok argumentasi yang diutarakan tiap Pendebat kemudian
mempersilakan Pendebat Kedua dari tiap kubu untuk memperkuat argumentasi yang telah
diutarakan pendebat sebelumnya;
4. Audiens diberikan kesempatan untuk mempertajam argumentasi tiap kubu dengan
pertanyaan;
5. Tiap kubu melalui kedua pendebatnya diberikan kesempatan untuk merespon tanggapan
audiens demi mempertajam argumentasi;
6. Korban diberikan kesempatan untuk merespon pertanyaan audiens setelah kedua kubu
pendebat memberikan tanggapannya;
7. Sesi tanya jawab dan tanggapan;
Kepanititaan untuk menindaklanjuti Acara Debat perlu ditentukan sebelumnya sesuai konteks lokal permasalahan.
3
Namun secara umum akan terdapat empat kepanitiaan: 1) riset untuk draft RUU tandingan; 2) penulisan surat masal
kepada DPR RI; 3) media kampanye penolakan kriminalisasi; dan 4) kegiatan bersama kelompok pengguna dan
warga/kelompok warga lain. Jika memungkinkan, paniia lokal bisa membawa isu ini ke ranah politik dengan
menghubungkan caleg partai-partai peserta Pemilu 2009.
Moderator bisa hanya satu orang atau dua orang yang berada di masing-masing kubu.
4
4. RANGKAIAN KEGIATAN PELIBATAN PUBLIK DALAM AMANDEMEN UU NARKOTIKA & PSIKOTROPIKA RI
Persaudaraan Korban Napza Indonesia
8. Kedua kubu pendebat diberikan kesempatan untuk memberikan argumentasi penutup setelah
moderator mempersilahkan Korban untuk mengutarakan harapan-harapannya.;
9. Moderator menggarisbawahi kesepakatan-kesepakatan (jika ada) yang terjadi selama sesi
tanya jawab dan tanggapan, kemudian menyimpulkan tawaran-tawaran aksi sebagai
kesimpulan acara debat dan mengembalikan acara kepada panitia;
10. Panitia meminta audiens untuk bergabung di kelompok-kelompok sesuai tawaran aksi yang
telah digarisbawahi moderator, atau jika tidak terjadi kesepakatan dalam acara debat, panitia
dapat meminta audiens untuk bergabung dalam kelompok kepanitiaan yang telah disiapkan
sebelumnya.
Waktu dan Tempat
Jadwal Nasional: Serempak sejak 21 Maret hingga 26 April 2009
Durasi: 120-180 menit
Tempat & Kepanitiaan:
1. Medan – Persaudaraan Korban Napza Medan (Mona, 0856 4809 5000);
2. Denpasar – Ikatan Korban Napza Bali (Wahyunda, 0818 0554 6447);
3. Surabaya – East Java Action (Ari, 031 7071 0782);
4. Jakarta 1 – Forum Korban Napza (Herru, 0813 1016 5801);
5. Jakarta 2 – Adit, 0888 2074 1588 & Halik, 0811 983 113;
6. Bandung – Paguyuban Pengguna Napza Bandung (Lili, 0817 206 221);
7. Semarang – Performa (Yvonne, 0819 1459 2009);
8. Banda Aceh – Himpunan Peduli Napza (Hadi, 0813 6132 0963);
9. Tangerang – Tangerang Support Group (Eko, 0817 6847 260);
10. Serang – PKNI Banten (Chandra, 0812 1308 0335);
11. Sidoarjo – EJA Sidoarjo (Andrew, 031 7245 2977);
12. Malang – EJA Malang (Edi, 0341 7577 713).
Nara Sumber
1. Pakar sosial, budaya, hukum, kesehatan, politik, ekonomi (pro dekriminalisasi);
2. Aktivis Reformasi Kebijakan Napza Indonesia;
3. Badan Narkotika Provinsi/Kab/Kota;
4. LSM Anti Narkoba;
5. Korban Kebijakan Napza.
Peserta
1. Kelompok Pengguna dan Korban Napza;
2. Kelompok Orang tua/Pasangan/Sahabat Pengguna Napza;
3. Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat;
4. Kelompok-kelompok Akademisi ;
5. Partai-partai Politik;
6. Organisasi-organisasi Massa;
7. Forum Jurnalis;
8. Unsur Pemuka Agama;
9. Praktisi Perawatan Napza;
10. Unsur Pemerintahan Daerah;
11. Lainnya, sesuai kebutuhan lokal.
5. RANGKAIAN KEGIATAN PELIBATAN PUBLIK DALAM AMANDEMEN UU NARKOTIKA & PSIKOTROPIKA RI
Persaudaraan Korban Napza Indonesia
Pembiayaan
Acara ini akan dibiayai oleh tiap-tiap panitia di daerah masing-masing dengan menggalang dana
menggunakan proposal yang dibuat berdasarkan kertas konsep ini.
Komponen Biaya:
1. Konsumsi (snacks dan air dalam kemasan gelas) untuk 50-70 orang sesuai undangan;
2. Cetak undangan, selebaran, poster, dan media promosi lainnya;
3. Perlengkapan administrasi (daftar absen, pulpen, fotokopi paper);
4. Cinderamata untuk nara sumber (5 orang) dan moderator (1 atau 2 orang);
Sewa ruangan dan sound system;
5.
Bila dana yang terkumpul lebih untuk kelima komponen biaya di atas:
6. Ongkos pembuatan paper bagi nara sumber: Rp 500,000 per orang;
7. Biaya jasa moderator: Rp 300,000 per orang;
8. Makan siang/malam sesuai jumlah undangan.
6. RANGKAIAN KEGIATAN PELIBATAN PUBLIK DALAM AMANDEMEN UU NARKOTIKA & PSIKOTROPIKA RI
Persaudaraan Korban Napza Indonesia
Lampiran 1:
SKEMA RANGKAIAN KEGIATAN PELIBATAN
PUBLIK DALAM AMANDEMEN UU NARKOTIKA &
PSIKOTROPIKA RI, 2009
ACARA TAWARAN TINDAK
DEBAT LANJUT
Bentuk:
o Penulisan surat massal
Output: Bentuk:
ke DPR RI;
Dukungan lokal o Pengiriman surat
o Riset untuk draft UU
terhadap gerakan massal ke DPR RI;
oleh sejumlah
reformasi kebijakan o Pengajuan draft UU
kalangan, terutama
napza. berlandaskan
akademisi;
naskah akademik;
o Pembuatan media
o Penyebaran media
kampanye penolakan
kampanye;
kriminalisasi;
o Kegiatan-kegiatan
o Perencanaan kegiatan-
bersama kelompok
kegiatan kelompok
pengguna napza &
pengguna napza &
warga.
warga setempat untuk
pembuktian stigma.
Rangkaian kegiatan dilakukan serempak di sejumlah daerah berafiliasi dengan Persaudaraan
Korban Napza Indonesia. Rangkaian acara diorganisir oleh kepanitiaan lokal bersifat sukarela /
komersil dengan pelibatan aktif para pemangku kepentingan (pengguna napza dan keluarganya,
warga peduli, akademisi, aktivis, media massa) hingga aksi-aksi yang belum tercakup dalam
rangkaian kegiatan ini.