1. PEMEKARAN WILAYAH : MENIMBULKAN MASALAH BARU
OLEH : KURNIAWAN T ARIEF
KATA PENGANTAR
Karya Ilmiah ini dibuat pertama kali pada bulan tahun 2009 oleh
penulis
sewaktu
menjabat
dalam
LEM
(Lembaga
Eksekutif
Mahasiswa) Unswagati dan terus disempurnakan hingga saat ini.
Rekomendasi karya ilmiah ini pada semester ke 1 tahun 2009 pernah
disampaikan kepada Kementerian Dalam Negeri RI dan ditembuskan
ke Presiden RI dalam membuat kebijakan perpanjangan Moratorium
pembentukan daerah/wilayah baru, dan pernah disampaikan ke
Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat dan DPRD Kota Cirebon
sebagai jawaban atas wacana Tim P3C (Panitia Pembentukan Propinsi
Cirebon) yang sebelumnya telah membuat Statuta Pembentukan
Propinsi Cirebon yang hingga hari ini masih menjadi pro-kontra di
tengah masyarakat Ciayumajakuning. Rangkuman essay ini berhak
disebarluaskan
dan
digandakan
ke
semua
kalangan
yang
memerlukan dengan syarat mencantumkan nama asli penulis yang
tercantum diatas.
2. BAB I
PENDAHULUAN
Pemekaran wilayah merupakan fenomena yang mengiringi
penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Sebagian besar
daerah yang mengalami pemekaran berada di wilayah luar Pulau
Jawa. Sejak awal reformasi hingga akhir 2008, pertambahan daerah
otonom di Indonesia sudah mencapai 203 buah. Jumlah itu terdiri
dari 7 provinsi, 163 kabupaten dan 33 kota. Bahkan dalam triwulan
akhir tahun 2008, telah disetujui 12 daerah otonom baru. Sehingga,
jumlah daerah otonom di Indonesia menjadi 522 buah, yang terdiri
dari 33 provinsi, 297 kabupaten dan 92 kota. "Sungguh disayangkan
terberituknya
daerah
baru
itu
tidak
berbanding
lurus
dengan
peningkatan dan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan
daya saing daerah. Bahkan sebaliknya, di hampir sebagian besar
daerah otonom baru itu, pertumbuhan kesejahteraan cenderung
menurun, pelayanan publik cenderung stagnan, dan daya saing
daerah pun belum mengemuka," kata Mendagri Mardiyanto.(Pikiran
Rakyat,23/02/2009)
Jika dibandingkan dengan negara tetangga Filipina, jumlah
provinsi di Indoensia memang relatif lebih sedikit. Filipina hingga
tahun 2002, memiliki 79 provinsi dari jumlah penduduk sebesar
86.241.697 jiwa dan luas daratan diperkirakan 300.000 km. Anggota
Komisi II DPR RI Idrus Marham berpendapat, sebagian besar daerah
hasil pemekaran pasca-reformasi gagal dan hanya sebagian kecil yang
memenuhi harapan. Karena itu, pemekaran daerah harus dihentikan
hingga ada kajian terbaik mengenai kewilayahan.
3. Usulan pemekaran yang terjadi sekarang lebih banyak karena
prakarsa maupun pernyataan orang tertentu. Jumlah terbanyak
usulan pemekaran daerah selama ini berasal dari Legislatif/kepala
derah. Kenyataannya, keinginan atau usulan pemekaran daerah
selama ini minim dari kajian yang semestinya dilakukan. Keinginan
memekarkan wilayah sekarang ini sangat elitis dan cenderung
dipolitisir. Akibatnya, tujuan pemekaran wilayah itu lebih banyak
akibat ambisi kekuasan para elite. Pemekaran wilayah menjadi alat
tawar menawar antara masyarakat dengan tokoh yang ingin menjadi
pemimpin di wilayah baru itu.
Mantan Menteri Keuangan Sri MuIyani merasa prihatin jika
lahirnya provinsi, kabupaten serta kota yang baru mengakibatkan
ratusan miliar rupiah habis untuk membangun kantor bupati,
gubernur serta wall kota yang baru disertai kantor DPRD yang baru
hingga pembuatan baju seragam yang baru. "Saya sering diminta oleh
bupati dan wali kota baru untuk membantu membangun kantor
perbendaharaan negara yang baru dan kemudian kantor jaksa, polisi
yang baru,akibat pemekaran itu. Pada hal seharusnya dana itu
dimanfaatkan
memperbaiki
untuk
meningkatkan
pelayanan
publik,"
kesejahteraan
kata
Sri
rakyat
Mulyani.
serta
.(Pikiran
Rakyat,23/02/2009)
Banyak para ahli mengingatkan, banyaknya komplikasi yang
timbul sebagai akibat dari pelaksanaan pemekaran di Indonesia,
maka persetujuan untuk dapat melakukan pemekaran di masa
mendatang perlu dilakukan secara ketat dan sangat hati-hati. Untuk
keperluan ini, maka kebijakan pertama yang perlu dilakukan adalah
menentukan jumlah provinsi, serta kabupaten/kota yang dapat
dimekarkan
sampai
tahun
2025
mendatang.
Kajian
ini
perlu
4. dilakukan
agar
legislatif,
dapat
pengambil
keputusan,
menentukan
sampai
baik
eksekutif
jumlah
berapa
maupun
sebaiknya
pemekaran daerah dapat dilakukan di Indonesia pada tahun 2025
mendatang. Khusus untuk kajian bidang sosial ekonomi, maka
jumlah provinsi maksimum untuk Indonesia sampai tahun 2025
mendatang adalah tidak lebih dari 39 provinsi. Jumlah provinsi yang
telah ada di Indonesia sampai tahun 2009 adalah 33 provinsi.
Dengan demikian, masih terdapat peluang untuk melakukan
pemekaran daerah baru sebanyak enam provinsi lagi sampai tahun
2025 mendatang. Namun demikian, persetujuan untuk mengizinkan
pemekaran daerah itu harus dilakukan secara ketat dan sangat hatihati. Persetujuan daerah otonomi baru itu pun harus memperhatikan
dampak negatif yang dapat ditimbulkannya, baik dari segi sosial,
ekonomi dan keuangan untuk daerah pemekaran baru maupun
daerah induk serta kepentingan nasional secara keseluruhan.
Menurut Pakar Otonomi Daerah Eko Prasojo (2007) Pemekaran
memang tidak boleh diharamkan, tetapi pemekaran yang tidak tepat
menyebabkan
inefisiensi
bagaimanapun,
penyelenggaraan
kekuatan
penggunaan
keuangan
pemerintah
keuangan
negara
memiliki
negara.
untuk
keterbatasan.
Sebab
membiayai
Problem
pemekaran terjadi karena kepentingan politik elite lebih menonjol
daripada kepentingan kesejahteraan masyarakat. Secara politis,
pemekaran juga diartikan sebagai "pembukaan" lapangan pekerjaan
politik menjadi anggota DPRD dan lapangan jabatan baru lain yang
muncul sebagai konsekuensi terbentuknya daerah otonom.
Pemekaran juga sekaligus membuat konfigurasi baru kekuatan
partai politik di daerah yang dimekarkan yang bisa saja berbeda
5. dengan daerah induknya. Terkait dengan implementasi kebijakan PP
129/2000, bisa dikatakan bahwa persetujuan politik pemekaran
daerah sering berada "dalam ruang gelap". Ukuran persetujuan lebih
sering dilakukan secara administratif oleh tim konsultan, sedangkan
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah tidak berdaya untuk menolak
pemekaran. Prosedur pemekaran daerah (OTDA ) pun diusulkan
sebaiknya berasal dari pemerintah dan tidak dari DPR, sehingga
pembahasan
terhadap
kelayakan
bersama
dengan
Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) dapat dilakukan dengan baik
berdasarkan data dan informasi yang tersedia dari kementerian
terkait.
Pengusulan
administrasi
itu
susuai
pun
dengan
harus
memenuhi
ketentuan
yang
persyaratan
berlaku
yang
menyangkut dengan surat persetujuan dari pihak yang berwenang
seperti DPRD dan kepala daerah yang bersangkutan.
Sementara semakin jauh dari ibu kota daerah maka akan
semakin
tertinggal
pula
daerah
itu,
sehingga
para
elite
dari
masyarakat yang berada di daerah yang tertinggal itu berupaya untuk
menghadirkan pemerintahan sendiri. Ketiga, dan ini sering tidak
diungkap sebagai alasan tertulis, adalah upaya untuk bagi-bagi
kekuasaan di tingkat lokal. Perputaran elite di tingkat yang begitu
lambat, bahkan sejumlah elite daerah yang sudah keenakan di kursi
kekuasaan dan jabatan, terus mempertahankannya dengan berbagai
cara, sehingga muncul kecemburuan dari para elite lain yang juga
haus kekuasaan. Alasan pertama dan kedua tentu saja dapat kita
benarkan baik secara sosiologis maupun secara yuridis, sedangkan
alasan
ketiga
yang
mendominasi
munculnya
daerah-daerah
pemekaran baru adalah sebuah dosa politik yang dilakukan oleh elit
politik terhadap rakyatnya. Sebuah kesalahan memaknai otonomi
daerah.
6. Konflik di antara para elite lokal itu dalam memperebutkan
kekuasaan dan jabatan sering tak bisa dihindari, termasuk di
dalamnya melibatkan rakyat (arus bawah) dalam wujud konflik
horizontal (antara lain terbukti pada kasus Mamassa, Sulawesi
Selatan,
dan
Morowali,
Sulawesi
Tengah,Tapanuli
Utara
dll).
Akibatnya, dengan berbagai cara pula berupaya memekarkan daerah
sehingga bisa memperoleh jabatan atau kekuasaan di daerah baru
itu. Apalagi bagi mereka yang sudah berjasa dalam memperjuangkan
daerah pemekaran, sudah memosisikan diri sebagai pihak yang harus
dapat bagian jatah kursi jabatan atau politik dan kekuasaan di
daerah baru itu. Pemekaran Daerah telah menguras enerji Pemerintah
Provinsi dan prosesnya sering menimbulkan ketidakstabilan daerah.
Pemekaran sering kurang memperhatikan aspek kemampuan
daerah (yang akan dimekarkan). Sebaiknya
ketentuan tentang
pemekaran harus lebih mengedepankan faktor-faktor yang dimiliki
daerah
yang
berkaitan
langsung
dengan
kemampuan
daerah
pemekaran untuk menyelenggarakan pelayanan publik lebih baik
dibandingkan dengan daerah induknya. Pemekaran saat ini lebih
tinggi bobot politiknya daripada aspek kondisi obyektif daerah. Harus
ada
audit
independent
yang
komprehensif
yang
mengevaluasi
kelayakan pemekaran dan ada masa transisi untuk pemekaran yang
diawasi oleh daerah induk. Setelah menunjukkan kinerja yang baik
baru dimekarkan.
7. DASAR PEMIKIRAN
1. UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
2. UU No 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
3. PP No. 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan,
Penghapusan dan Penggabungan Daerah
4. UU Nomor 32 Tahun 2004
5. Statuta Pembentukan Provinsi Cirebon ( P3C ) pada tahun 2009
MAKSUD DAN TUJUAN PENYUSUNAN KAJIAN
1. Membuat analisa kebijakan berdasarkan kajian akademis yang
berimbang
2. Memperoleh rekomendasi untuk kemudian diolah menjadi sebuah
referensi kebijakan secara empiris
3. Membuat literature terapan berdasar literature yang berasal dari
berbagai data dan studi yang dapat dijadikan pembanding serta
penyeimbang kebijakan
4. Mengawal proses pendewasaan politik local yang berimplikasi bagi
kesejahteraan masyarakat wilayah regional bukan untuk
aspirasi
satu kelompok local yang berkepentingan saja
5. Memfollow up dan merangsang terciptannya good-governance dan
goodpolitical will bagi iklim birokrasi pemerintahan di Wilayah III
Cirebon
8. BAB II
PEMBAHASAN
menurut PP 78 2007 Sasaran pemekaran daerah yang diharapkan
sebagai implementasi Otonomi daerah adalah :
1. Tercapainya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundangundangan pusat dan daerah,
2. Meningkatnya kerjasama antar pemerintah daerah.
3. Terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif, efisien,
dan akuntabel.
4. Meningkatnya
kapasitas
pengelolaan
sumberdaya
aparatur
pemerintah daerah yang profesional dan kompeten.
5. Terkelolanya sumber dana dan pembiayaan pembangunan secara
transparan, akuntabel, dan profesional
6. Tertatanya daerah otonom baru.
Guru besar Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Indonesia,
Prof. Dr. Eko Prasojo dkk, dalam makalah "Grand Desain Penataan
Daerah
dari Aspek Sosial,
Politik
dan Budaya"
menyebutkan,
pemekaran daerah akan diikuti oleh pembagian, bahkan pemecahan
sumber daya yang dimiliki daerah. Pembagian ataupun pemecahan
itu terjadi baik di tingkat elite maupun masyarakat, bahkan antara
elite
dengan
konsekuensi
massa,
ikutan
sehingga
yang
sulit
konflik
merupakan
dihindari.
Kemudian
rangkaian
beberapa
permasalahan yang timbul akibat pelaksanaan otonomi daerah
adalah
1.
Penyelenggaraan otonomi daerah oleh Pemerintah Pusat
selama ini cenderung tidak dianggap sebagai amanat konstitusi
sehingga proses desentralisasi menjadi tersumbat.
9. 2.
Kuatnya kebijakan sentralisasi membuat semakin tingginya
ketergantungan daerah-daerah kepada pusat yang nyaris mematikan
kreatifitas masyarakat beserta seluruh perangkat pemerintahan di
daerah.
3.
Adanya kesenjangan yang lebar antara daerah dan pusat dan
antar-daerah sendiri dalam kepemilikan sumber daya alam, sumber
daya budaya, infrastruktur ekonomi, dan tingkat kualitas sumber
daya manusia.
4.
Adanya kepentingan melekat pada berbagai pihak yang
menghambat penyelenggaraan otonomi daerah Salah wacana politik
lokal yang cukup hangat sejak otonomi penuh ini adalah pemekaran
wilayah. akhir-akhir ini merupakan salah satu tema politik yang
menggelembung dimasyarakat.
Menurut Laode Ida ( 2005) ada beberapa alasan yang muncul
ketika sebuah daerah dimekarkan; Pertama, dikaitkan dengan
rentang kendali suatu wilayah daerah yang dianggap terlalu luas,
sehingga untuk mendekatkan pihak pengambil kebijakan (yang
bertempat di ibu kota pemerintahan daerah) dengan masyarakat,
dipandang
perlu
menghadirkan
pemerintahan
daerah
meningkatkan
kualitas
baru.
suatu
Alasan
pelayanan
institusi
ini
terkait
pemerintah
dan
struktur
dengan
daerah
upaya
terhadap
masyarakatnya. Kedua, dalam rangka menciptakan pemerataan
pembangunan,
karena
kenyataannya
konsentrasi
kegiatan
dan
pertumbuhan pembangunan (ekonomi) selalu berada di ibu kota
pemerintahan daerah dan wilayah sekitarnya.
Departemen Dalam Negeri sesungguhnya pernah melakukan
evaluasi terhadap daerah otonom baru itu. Berdasarkan hasil evaluasi
Depdagri tahun 2007, terhadap 148 daerah otonom baru yang
dibentuk mulai tahun 1999 sampai 2005, diperoleh gambaran
banyaknya daerah otonom baru yang tidak atau belum mampu
10. menunjukkan kemajuan yang berarti. Sebenarnya, pemerintah telah
mengantisipasi
dari
obsesi
tuntutan
pemekaran
daerah
atau
pembentukan daerah otonom itu. Salah satunya yaitu pemerintah
memperketat
persyaratan pembentukan derah pemekaran yang
tertuang dalam Paraturan Pemerintah (PP) No. 78/2007 tentang Tata
Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Untuk
membentuk
sebuah
provinsi
minimal
harus
ada
lima
(5)
kabupaten/kota
PP No. 78/2007 itu merupakan penyempumaan dari PP No.
129/2000. PP No. 129/2000 tentang Persyaratan dan Pembentukan
Derah Pemekaran, mensyaratkan, pembentukan provinsi minimal
harus ada 3 kabupaten/kota, pembentukan kabupaten/kota minimal
3 kecamatan.Pengaturan lainnya yakni batas usia daerah otonom
baru dapat dimekarkan kembali jika telah berusia 10 tahun untuk
provinsi, dan tujuh tahun untuk kabupaten/kota. PP itu pun tentang
persyaratan pembentukan daerah pemekaran itu nantinya akan
memuat pula tantang kajian daerah yang akan dimekarkan. Pada PP
No. 129/2000, kajian terhadap daerah pemekaran itu hanya memuat
tujuh kriteria kuantitatif. Maka dalam RPP akan memuat 11 penilaian
kuantitatif terhadap kajian daerah pemekaran. ( Pasal 6 PP 78 2007)
Sebelas penilaian kuantitatif itu yakni factor :
1.
Kependudukan,
2.
Kemampuan Keuangan,
3.
Kemampuan Ekonomi masyarakat,
4.
Sosial Budaya,
5.
Sosial Politik
6.
Potensi Daerah,
7.
Luas Daerah,
8.
Pertahanan,
9.
Keamanan,
11. 10. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat
11. Rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan.
Mekanisme
pembentukan/pemekaran
daerah
otonom
baru
dilaksanakan dengan dua cara yaitu:
a. Mekanisme pembentukan/pemekaran daerah melalui Pemerintah.
b. Mekanisme pembentukan/pemekaran daerah melalui Hak Inisiatif
DPR/DPRD
Mekanisme pemekaran daerah melalui Pemerintah didasarkan
pada UU Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana direvisi dengan UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua UU
tersebut mengatur mengenai pembentukan daerah dan sebagai
aturan pelaksananya diatur dalam PP Nomor 129 Tahun 2000
tentang
Persyaratan
Pembentukan
dan
Kriteria
Pemekaran,
Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Karena UU Nomor 22
Tahun 1999 telah direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004, maka
pelaksanaan pembentukan daerah juga sekarang mengacu pada PP
Nomor 78 Tahun 2007. Dalam UU dan peraturan tersebut dinyatakan
bahwa
pembentukan
daerah
harus
memenuhi
persyaratan
administratif, teknis dan fisik kewilayahan. Mekanisme pemekaran
daerah melalui hak inisiatif DPR didasarkan pada hak legislasi DPR
dalam membentuk UU yang salah satunya adalah UU Pembentukan
Daerah.
DPR
mengajukan
usulan
UU
Pembentukan
Daerah
berdasarkan usulan masyarakat yang disampaikan kepada DPR.
Dalam beberapa tahun terakhir, usulan pembentukan beberapa
daerah dilakukan melalui mekanisme hak inisiatif DPR sehingga
alasan politis lebih dominan dibandingkan alasan teknis. Bahkan dari
hasil wawancara terungkap bahwa Kepala Pemerintah dari daerah
induk sendiri awalnya tidak tahu adanya usulan pemekaran daerah
dari masyarakatnya yang disampaikan ke DPR.
12. Sebagaimana diketahui, dalam PP 78 2007 tentang syarat
pembentukan daerah baru yaitu :
Pasal 4
(1) Pembentukan daerah provinsi berupa pemekaran provinsi dan
penggabungan beberapa kabupaten/kota yang bersandingan pada
wilayah provinsi yang berbeda harus memenuhi syarat administratif,
teknis, dan fisik kewilayahan.
(2)
Pembentukan daerah kabupaten/kota berupa pemekaran
kabupaten/kota
dan
penggabungan
beberapa
kecamatan
yang
bersandingan pada wilayah kabupaten/kota yang berbeda harus
memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
Pasal 5
(1) Syarat administratif pembentukan daerah provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat(1) meliputi:
a. Keputusan masing-masing DPRD kabupaten/kota yang akan
menjadi
cakupan
wilayah
calon
provinsi
tentang
persetujuan
pembentukan calon provinsi berdasarkan hasil Rapat Paripurna;
b. Keputusan bupati/walikota ditetapkan dengan keputusan bersama
bupati/walikota
wilayah
calon
provinsi
tentang
persetujuan
pembentukan calon provinsi;
c. Keputusan DPRD provinsi induk tentang persetujuan pembentukan
calon provinsi berdasarkan hasil Rapat Paripurna;
d. Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon
provinsi; dan
e. Rekomendasi Menteri.
(2)
Syarat
administratif
pembentukan
daerah
kabupaten/kota
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2),meliputi:
a. Keputusan DPRD kabupaten/kota induk tentang persetujuan
pembentukan calon kabupaten/kota;
13. b.
Keputusan
bupati/walikota
induk
tentang
persetujuan
pembentukan calon kabupaten/kota;
c. Keputusan DPRD provinsi tentang persetujuan pembentukan calon
kabupaten/kota;
d. Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon
kabupaten/kota; dan
e. Rekomendasi Menteri.
(3)
Keputusan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan ayat (2)huruf a diproses berdasarkan
aspirasi sebagian besar masyarakat setempat.
(4)
Keputusan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat
yang dituangkan dalam keputusan DPRD kabupaten/kota yang akan
menjadi cakupan wilayah calon provinsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3).
Pasal 6
(1)
Syarat teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi
faktor kemampuan ekonomi,potensi daerah, sosial budaya, sosial
politik,
kependudukan,
kemampuan
keuangan,
luas
tingkat
daerah,
pertahanan,keamanan,
kesejahteraan
masyarakat,
dan
rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan daerah.
(2) Faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai berdasarkan
hasil kajian daerah terhadap indikator sebagaimana tercantum dalam
lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Pemerintah ini.
(3) Suatu calon daerah otonom direkomendasikan menjadi daerah
otonom baru apabila calon daerah otonom dan daerah induknya
mempunyai total nilai seluruh indikator dan perolehan nilai indikator
faktor kependudukan, faktor kemampuan ekonomi, faktor potensi
14. daerah dan faktor kemampuan keuangan dengan kategori sangat
mampu atau mampu.
ASPEK- ASPEK PENENTU KEBERHASILAN
Perencanaan bagi program-program pelaksanaan pembangunan
memerlukan informasi yang dapat menyajikan gambaran sebenarnya
di lapangan (represent reality). Semua informasi yang ada tersebut
berguna sebagai penunjang bagi analisis, monitoring dan evaluasi
suatu kebijakan. Dari sini dapat dilihat pentingnya pemanfaatan data
yang relevan dengan kualitas yang baik dan dari sumber yang
terpercaya dikarenakan kecermatan dan konsistensi data sangat
diperlukan untuk mencegah kekeliruan kesimpulan yang dapat
terjadi di kemudian hari secara dini.
Analisa yang akan dibuat dalam makalah ini berdasarkan
referensi dari PP 78 2007 pasal 22 ayat 1 dan 2 dimana di pasal
tersebut disebutkan bahwa daerah otonom baru dapat dihapus
kembali apabila setelah melalui proses evaluasi terhadap kiner4ja
penyelenggaraan
pemerintahan
dan
evaluasi
kemampuan
penyelenggaraan otonomi daerah dinyatakan tidak mampu dan
mengalami disorientasi tujuan penyelanggaraan otonomi daerah dan
pemekaran wilayah
ASPEK KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Aspek kesejahteraan masyarakat adalah satu syarat mutlak
yang
paling
nyata
terasa
dalam
penilaian
berhasil/
tidaknya
pembangunan yang dilaksanakan dalam suatu lingkup wilayah.
Cakupan penilaian itu meliputi indeks Pembangunan Manusia
yang terkomposisi dari aspek pendidikan, kesehatan, daya beli,akses
pelayanan public, dan pemenuhanan sarana dan prasarana.
15. ASPEK PELAYANAN PUBLIK
Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan
sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang
publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung
jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah,
dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik
Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat
maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan.
Berdasarkan organisasi yang menyelenggarakannya, pelayanan publik
atau pelayanan umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1.
Pelayanan
publik
atau
pelayanan
umum
yang
diselenggarakan oleh organisasi privat, adalah semua penyediaan
barang atau jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta, seperti
misalnya rumah sakit swasta, PTS, perusahaan pengangkutan milik
swasta.
2.
Pelayanan
publik
atau
pelayanan
umum
yang
diselenggarakan oleh organisasi publik. Yang dapat dibedakan lagi
menjadi :
a.
Yang
bersifat
primer
dan,adalah
semua
penye¬diaan
barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah yang di
dalamnya pemerintah merupakan satu-satunya penyelenggara dan
pengguna/klien mau tidak mau harus memanfaatkannya. Misalnya
adalah
pelayanan
di
kantor
imigrasi,
pelayanan
penjara
dan
pelayanan perizinan.
b.
Yang bersifat sekunder, adalah segala bentuk penyediaan
barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi
yang di dalamnya pengguna/klien tidak harus mempergunakannya
karena adanya beberapa penyelenggara pelayanan.
16. Sementara itu, sebuah penelitian yang dilakukan pada akhir
2008 menyebutkan bahwa Kota Cirebon menempati peringkat ke-41
dengan skor 3,82. Peringkat IPK ini adalah peringkat ke 9 tingkat kota
dengan Indeks korupsi terparah Se-Indonesia.survei yang dilakukan
oleh
Transparency
International
Indonesia
dan
Departemen
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dilaksanakan sejak
September
hingga
Desember
2008.itu
melibatkan
responden
pengusaha (60%), pejabat publik (30%), dan tokoh masyarakat (10 %).
Dan survey pada tahun 2010 pun, Kota Cirebon kembali di daulat
menjadi kota terkorup se Indonesia dengan berada pada peringkat ke
1 dengan perolehan hasil poin 3,61 sama dengan kota Pekanbaru.
Yang menjadi pertanyaan kembali adalah, „ Bagaimana bisa
mencapai tujuan dari manfaat otonomi derah yang sudah disebutkan
dalam pendahuluan makalah ini, apabila SDM aparatur dan Institusi
public yang ada di kota Cirebon belum mampu untuk mengemban
amanah yang seharusnya. Dikarenakan budaya korupsi sudah sangat
tidak
layak
untuk
ditutup-tutupi
keberadaanya
di
lingkungan
intistusi pelayanan public yang ada di wilayah Cirebon. Ironis
memang, manakala SDM aparatur belum memilki kesiapan, mereka
sudah bernafsu untuk mengelola SDA secara lebih leluasa tanpa
adanya pengawasan yang lebih intens dan kontuinitas.
ASPEK DAYA SAING DAERAH
Menurut UNDP (1995), paradigma pembangunan terdiri dari 4
(empat) komponen utama, yaitu :
(1)
Produktifitas,
masyarakat
harus
dapat
meningkatkan
produktifitas mereka dan berpartisipasi secara penuh dalam proses
memperoleh penghasilan dan pekerjaan berupah. Oleh karena itu,
pertumbuhan
ekonomi
pembangunan manusia,
adalah
salah
satu
bagian
dari
jenis
17. (2)
Ekuitas, masyarakat harus punya akses untuk memperoleh
kesempatan yang adil. Semua hambatan terhadap peluang ekonomi
dan politik harus dihapus agar masyarakat dapat berpartisipasi di
dalam dan memperoleh manfaat dari kesempatan-kesempatan ini,
(3)
Kesinambungan, akses untuk memperoleh kesempatan harus
dipastikan tidak hanya untuk generasi sekarang tapi juga generasi
yang akan datang. Segala bentuk permodalan fisik, manusia,
lingkungan hidup, harus dilengkapi,
(4)
Pemberdayaan,
pembangunan
harus
dilakukan
oleh
masyarakat dan bukan hanya untuk mereka. Masyarakat harus
berpartisipasi penuh dalam mengambil keputusan dan proses-proses
yang mempengaruhi kehidupan mereka.
REKOMENDASI
11 penilaian kuantitatif terhadap kajian daerah pemekaran. (
Pasal 6 PP 78 2007) Sebelas penilaian kuantitatif itu yakni factor :
1.
Kependudukan,
2.
Kemampuan Keuangan,
3.
Kemampuan Ekonomi masyarakat,
4.
Sosial Budaya,
5.
Sosial Politik
6.
Potensi Daerah,
7.
Luas Daerah,
8.
Pertahanan,
9.
Keamanan,
10.
Tingkat Kesejahteraan Masyarakat
11.
Rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan.
Kesebelas penilaian kuantitatif tersebut akan kami urai berdasarkan
data yang terhimpun untuk menghasilkan sebuah rekomendasi dan
pernyataan sikap.
18. 1.
Kependudukan
Tabel 1.
Wilayah
Jumlah Penduduk
Kota Cirebon
284.226 jiwa
Kabupaten Cirebon
2. 449. 529 Jiwa
Kabupaten Kuningan
1. 703. 818 Jiwa
Kabupaten
1. 207. 556 Jiwa
Majalengka
Kabupaten
1. 102. 354 Jiwa
Indramayu
Sumber : BPS Jabar 2008
Tingkat Kepadatan Penduduk : 144,23/km2
Menurut
Kepala
Badan
Pemberdayaan
Masyarakat,
Pemberdayaan Perempuan, dan Keluarga Berencana (BPMP2KB) laju
pertumbuhan penduduk alami Kota Cirebon saat ini 1,68 persen.
Adapun laju pertumbuhan penduduk yang juga dihitung dari angka
urbanisasi bisa lebih dari 1,7 persen. Pertambahan penduduk
tersebut didominasi perpindahan warga dari kabupaten-kabupaten di
sekitarnya. Mengacu pada data BPMP2KB, jumlah penduduk alami
Kota Cirebon bulan Mei 2009 sebanyak 270.445 jiwa. Adapun
berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlahnya sudah lebih dari
290.000 jiwa. Sementara berdasar dari data BPS, jumlah penduduk
Kota Cirebon tahun 1970 sebanyak 178.529 jiwa dan mengalami
peningkatan menjadi 273.101 jiwa pada tahun 2000.
Dengan
demikian
apabila
tidak
ada
pengendalian
angka
kelahiran dan migrasi, diperkirakan jumlah penduduk yang menetap
di Kota Cirebon bisa mencapai 400.000 jiwa pada 2019. Jumlah itu
sudah melebihi daya tampung ideal Kota Cirebon yang luasnya hanya
37 kilometer persegi itu.
19. Bahkan jumlah penduduk Kota Cirebon bisa enam kali lipat
pada siang hari, mencapai 2 juta jiwa. Setelah jam lima sore,
jumlahnya hanya tinggal 270.000-an jiwa.. Hal ini terjadi karena Kota
Cirebon merupakan magnet bagi penduduk di wilayah sekitarnya,
seperti Kabupaten Cirebon, Kuningan dan Indramayu. Hampir
seluruh kegiatan ekonomi, seperti perdagangan, jasa, dan wisata,
berpusat di Kota Cirebon. (Indra Yusuf)
Jumlah total penduduk di lima wilayah yang ada adalah
sebanyak
6.437.631
jiwa.
Artinya,
berdasarkan
data
jumlah
penduduk yang ada, Rekomendasinya adalah : harus ada suatu
penhimpunan data dan Studi analisa statistic secara empiris dan
faktual yang mampu mewakili seluruh penduduk Wilayah III Cirebon
apakah menolak/menerima pembentukan provinsi baru berdasarkan
mekanisme kajian derah yang disebutkan dalam PP 78 2007
2.
Kemampuan Keuangan
- Rasio PDS terhadap PDRB Non Migas
:
- Rasio PDS terhadap PDRB Non Migas
329.805
:
- Jumlah DAU
23.948
:
- Jumlah PDS
:
2.148.741.056
195.325.844
Menurut UU No 25 Tahun 1999 , tingkat kemampuan keuangan
suatu pemerintahan daerah adalah salah satu factor penentu
kecepatan dan keberhasilan pembangunan di suatu wilayah. Sumber
penerimaan daerah terdiri atas :
1.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terdiri dari kelompok Pajak
Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Perusahaan milik Daerah dan Hasil
Pengelolaan Kekayaan
Pendapatan Asli Daerah;
Daerah yang
Dipisahkan
dan Lain-Lain
20. 2.
Dana Perimbangan yang terdiri dari Bagi Hasil Pajak dan Bagi
Hasil Bukan Pajak, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus;
3.
Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah.
Dari Wacana diatas dapat dilihat bahwa sebetulnya sumber
penerimaan
dominan
bagi
APBD
adalah
dari
Pajak
Daerah,
(Sumber.Kajian Arah Pengelolaan Pendapatan Daerah ) Sebagaimana
diketahui pajak memiliki kepastian tinggi, dipungut berdasarkan
landasan legal yang kuat dan tidak terkait dengan pemberian layanan
tertentu.Struktur penerimaan yang cukup kokoh ini walaupun
demikian tetap menyimpan peluang untuk mengalami keguncangan,
apabila PAD mengalami penurunan yang drastis, sementara Dana
Perimbangan tidak terlalu besar. Artinya perlu dilakukan upaya
untuk selalu menjaga penerimaan PAD dan tingkat pertumbuhannya,
agar kapasitas pembangunan daerah tetap terjaga. Seandainya
penerimaan pajak mengalami penurunan atau relatif konstan, maka
hal ini dapat menjadi ancaman bagi kapasitas pembangunan daerah
yang baru dimekarkan. Atas kajian yang dilakukan, maka kami
merekomendasikan :
Perlu
dilakukan
terlebih
dahulu
penguatan
kemampuan
ekonomi masyarakat yang tentunya setelah pembentukan wilayah
baru,
nantinya
masyarakatlah
yang
paling
terbebani
dengan
perimbangan keuangan wilayah baru yang merupakan konsistensi
pemekaran wilayah sebagai penyandang dana retribusi serta pajak –
pajak daerah yang akan semakin besar mengikuti besaran kebutuhan
biaya pembangunan awal dari Pemekaran dan pembentukan wilayah
baru.
3.
Kemampuan Ekonomi Masyarakat
Pembangunan
ekonomi
adalah
serangkaian
usaha
untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat, pemerataan pendapatan dan
memperluas kesempatan kerja. Untuk mengukur perkembangan
21. ekonomi di suatu daerah dapat diamati melalui pertumbuhan
ekonomi makro dan indikator ekonomi lainnya. Di samping itu, data
statistik dan indikator ekonomi dapat digunakan untuk menganalisis
dan menentukan arah kebijaksanaan serta mengevaluasi hasil
pembangunan.
Salah
satu
indikator
ekonomi
yang
diperlukan
untuk
mendapatkan gambaran mengenai perekonomian regional secara
makro adalah data PDRB.
- PDRB Non Migas/ Kapita
- Pertumbuhan Ekonomi
- Kontribusi PDRB Non Migas
: 89.723.995,64
: 8,9 %
: 19,10 %
Rekomendasi : acuan Penguatan Kemampuan Keuangan Daerah
sebagai subsistem Penopang APBD Pembangunan daerah yang salah
satunya bersumber dari sektor kemampuan ekonomi masyarakat
dalam hal Pajak dan Retribusi yang nantinya akan di bebankan ke
masyarakat.
4.
Sosial Budaya
Dalam Jawa Barat Ada 2 subsistem kebudayaan, pertama;
Kebudayaan Masyarakat Sunda, ;kedua, kebudayaan Masyarakat
Pantura/Cirebon. Apabila dua macam budaya yang ada dijadikan
sebagai agitasi pembentukan wilayah baru karena masyarakat
cenderung berpandangan bahwa masyarakat Cirebon bukan bagian
dari kebudayaan sunda, kami menyarankan baiknya banyak – banyak
membaca literature tentang sejarah kebudayaan Cirebon.
5.
Sosial Politik
22. -
Rasio Jumlah Penduduk yng Memiliki hak
Pilih
-
: 4.605.147
Rasio IPK ( Indeks Persepsi Korupsi
)
: 3,82 (Nilai 1-10)
Rekomendasi : Perbaiki dan tingkatkan terlebih dahulu indeks
Kualitas SDM dalam goodgovernance culture yang ada sebelum
mengelola SDA.
6.
a.
Potensi Daerah
Sosial
- Perbandingan PNS pada Penduduk
: 8,51 %
- Rasio prasarana jalan bagi kendaraan
: 0,002
- Rasio tenaga kesehatan
: 3,50
- Rasio Fasilitas Kesehatan
b.
: 1,56
Ekonomi
- Rasio Pertokoan
- Rasio Pasar
: 0,08
- Rasio Bank dan Lembaga Keuangan
c.
: 0.15
: 0,28
Pendidikan
- Pekerja yang Berpendidikan Terakhir SLTA : 40,50 %
- Pekerja yang Berpendidikan Sarjana
- Pekerja yang berpendidkan dibawah SMA
7.
: 20,25 %
: 39,25 %
Luas Daerah
- Luas wilayah III Cirebon
: 4.517,32 Km
- Pemanfaatan Luas Wilayah
:7%
8.
Pertahanan
23. - Rasio perbandingan aparat Pertahanan
dan Keamanan dengan luas wilayah
9.
: 1 : 66,31 Km
Keamanan
Idem
10.
Tabel
Tingkat Kesejahteraan Masyarakat
2.
Angka
IPM
dan
Komponennya
Menurut
Kabupaten/Kota
di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004 - 2006 *)
No
Kabupaten/ Kota
(1)
(2)
IPM
2004
2005
2006
(33)
(34)
(35)
1
Kab. Bogor
68,10
68,99
69,79
2
Kab. Sukabumi
67,56
68,54
69,04
3
Kab. Cianjur
66,18
66,79
67,44
4
Kab. Bandung
68,52
69,16
70,41
5
Kab. Garut
66,31
67,03
68,61
6
Kab. Tasikmalaya
68,46
69,08
69,74
7
Kab. Ciamis **
70,89
71,08
71,95
8
Kab. Kuningan
68,00
68,80
69,17
9
Kab. Cirebon
63,97
64,58
65,51
10
Kab. Majalengka
68,01
68,52
68,81
11
Kab. Sumedang
70,65
71,40
71,66
12
Kab. Indramayu
63,24
64,48
65,72
13
Kab. Subang
68,20
68,47
69,06
14
Kab. Purwakarta
68,86
69,52
69,85
15
Kab. Karawang
65,04
66,35
66,95
16
Kab. Bekasi
73,78
73,92
71,08
17
Kota Bogor
74,64
74,94
75,09
24. 18
Kota Sukabumi
73,96
74,58
75,09
19
Kota Bandung
77,17
77,42
77,48
20
Kota Cirebon
71,92
72,52
73,05
21
Kota Bekasi
74,95
75,48
75,65
22
Kota Depok
76,85
77,81
77,97
23
Kota Cimahi
73,83
75,16
75,25
24
Kota Tasikmalaya
71,05
71,62
72,33
25
Kota Banjar **
71,52
71,82
71,94
68,36
69,35
70,28
Jawa Barat
Sumber :Kompilasi Data Kab/kota Jawa barat
11.
Rentang Kendali Penyelenggaraan Pemerintahan.
- Rata – rata Jarak Kab/kota ke pemerintah Pusat
- Rata – rata waktu Tempuh Ke Pemerintah Pusat
: 120 Km
: 1, 5 Jam
KESIMPULAN
Pemekaran
daerah
otonom
baru
dalam
implementasinya
memang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
serta menciptakan daerah makin mandiri dandemokratis.Namun,
Tujuan
ini
dapat
diwujud
nyatakan
melalui
peningkatan
profesionalisme birokrat daerah untuk dapat menyelenggarakan
pemerintahan yang efisien dan efektif, dapat meningkatkan pelayanan
dasar publik, dapat menciptakan kesempatan lebih luas untuk
masyarakat, serta dapat akses langsung pada unit‐unit pelayanan
publik yang tersebar dan mudah dijangkau oleh masyarakat pedesaan
maupun kota.
Rata‐rata tingkat kesejahteraan masyarakat di Daerah Otonom
Baru
(DOB)
sebelum
pemekaran
umumnya
lebih
sejahtera
dibandingkan rata‐rata Daerah Induknya, akan tetapi perkembangan
25. peningkatan kesejahteraan ini semakin menurun. Hal ini ditunjukan
dengan
pertumbuhan
ekonominya
semakin
terkejar
oleh
pertumbuhan ekonomi di Daerah Induknya. Artinya perkembangan
kinerja di DOB relative tidak lebih baik dibandingkan perkembangan
kinerja di daerah Induknya. Pemekaran daerah juga berdampak
negatif terhadap APBN dan APBD Provinsi. Berbagai konsekuensi
biaya pemekaran, diantaranya: berkurangnya rata‐rata DAU tiap
daerah, total DAK prasarana dari APBN meningkat tapi DAK tiap
daerah menurun, pembiayaan instansi‐instansi vertikal di daerah,
pembiayaan sarana‐sarana pelayanan umum, dana pendamping DAK
dari APBD, serta dana bantuan dari APBD Provinsi induk. Selama 3
tahun terakhir, ratarata beban biaya provinsi baru, tiap tahun sekitar
Rp 56 Milliar.
Mekanisme insentif perlu diciptakan bagi daerah
otonom baru yang kinerjanya kurang baik dibandingan sebelum
pemekaran, serta bersedia untuk digabungkan kembali dengan
daerah
induk,
misalnya
gunakan
dana
penyesuaian
untuk
pembiayaan insentif fiskal mendorong penggabungan. Mekanisme
disinsentif bagi daerah yang ingin melakukan pemekaran daerah
otonom baru sebenarnya mudah diterapkan, asalkan mekanisme
pembentukan/pemekaran daerah otonom baru sesuai aturan yang
berlaku, yaitu sebagaimana dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 serta
dalam PP 78 tahun 2007, dimana pembentukan daerah harus
memenuhi persyaratan administratif, teknis dan fisik kewilayahan.
Hasil survei menunjukkan semua daerah pemekaran baru tidak
mempunyai dokumentasi mengenai berbagai indikator teknis, serta
batas fisik yang masih diperdebatkan antara Daerah Induk dan
daerah Otonom Baru.( Analisis manfaat dan biaya pemekaran derah,
Departemen Keuangan RI Ditjen Perimbangan Keuangan Tim Asistensi
Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal Tahun 2008) Begitu
juga, persyaratan administratif masih dipertanyakan.
26. Dari hasil studi kajian ini, disarankan perlu dilakukan
moratorium
pemekaran
daerah,
serta
penerapan
mekanisme
pembentukan/pemekaran daerah otonom baru sesuai aturan yang
berlaku, yaitu harus memenuhi persyaratan administratif, teknis dan
fisik kewilayahan.
DAFTAR PUSTAKA
-
Proceeding workshop nasional Penguatan Pelaksanaan Kebijakan
Desentralisasi Fiskal di Jakarta, 6‐7 Desember 2006. Departemen
Keuangan, Jakarta.
-
Tuerah, N. 2006. “Analisis Pemekaran Daerah Terhadap Pelayanan
Publik.” Jakarta
-
USAID dan DRSP. 2007. ”Proses Sosial‐Politik Pemekaran: Studi
Kasus Di sambas Dan Buton.” Democratic Reform Support Project
(DRSP)
-
World Bank dan DSF. 2007. “Cost And Benefit Of Pemekaran;
Summary of Findings.”
-
Statuta Pembentukan Provinsi Cirebon. 2009 „ hasil kajian dan tata
Ruang‟. P3C.Cirebon
-
Penelitian Departemen Keuangan RI Ditjen Perimbangan Keuangan
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal Tahun
2008 „ Analisis manfaat dan Biaya Pemekaran daerah „. Jakarta.
- Antara.2009 ( munawar Mandailing )
-
Judieth siegel.2008 „ Isu – isu Demokrasi, kontitusionalisme dan
demokrasi
yang
sedang
bangkit
„.Biro
Internasional/departemen Luar negeri AS.
Program
Informasi