Teks tersebut membahas tentang hubungan antara agama dan profesi kedokteran hewan, dimana agama kontekstual mengaitkan ajaran agama dengan ilmu yang dimiliki dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Profesi kedokteran hewan tidak bertentangan dengan agama yang dianut asalkan mengikuti etika profesi dan peraturan terkait. Teks juga membahas tentang perlakuan terhadap hewan sesuai dengan ajaran agama."
1. HUBUNGAN AGAMA DENGAN PROFESI KEDOKTERAN HEWAN
Agama kontekstual yaitu mengaitkan sutau ajaran agama dengan ilmu yang dimiliki,
yang diterapkan dengan kehidupan sehari-hari. Hubungan dengan profesi veteriner ialah
tindakan medis tidak bertentangan dengan agama yang diyakini dan agama sebagai pedoman
setiap tindakan veteriner.
Tiap agama mengajarkan kepada umatnya untuk berbuat baik, baik itu kepada sesama
manusia atau kepada makhluk Tuhan lainnya (hewan) :
1. Tidak berbuat aniaya.
2. Menghindarkan dari kurang makan dan beban berlebihan.
3. Terhindar dari kelaparan.
4. Prinsip kebebasan hidup.
5. Menyelamatkan dari ancaman kematian.
6. Bebas dari penderitaan.
7. Azas bebas dari beban berat yang tidak sesuai kapasitas.
Peran dokter hewan dalam melakukan tugasnya, tentu juga tidak boleh melenceng
dari hukum agama terutama agama yang dianutnya.Hukum agama yang bersangkutan
tentunya sudah terkandung dalam etika profesi dan peraturan terkait lainnya. Dalam ajaran
agama terdapat ajaran mengenai perlakuan terhadap makhluk ciptaan Tuhan lainnya (hewan),
otomatis dokter hewan yang akan selalu berinteraksi dengan hewan harus mengamalkan
ajaran tersebut, seperti memperlakukan hewan sesuai yang terkandung dalam five freedom
animal welfare karena prinsip kesejahteraan hewan tersebut tidal lain merupakan ekstraksi
ajaran agama secara umum. Hal-hal yang harus dipertanggungjawabkan tersebut dalam
beberapa hadist.
1. Alloh menurunkan penyakit dan Dia juga menurunkan obatnya (HR Malik)
2. Barangsiapa yang mengobati namun tidak menguasai ilmu pengobatan maka ia harus
bertanggungjawab (HR: Abu Dawud)
3. Setiap penyakit ada obatnya, dan jika suatu obat mengena tepat pada penyakitnya, ia
akan sembuh dengan izin Alloh Ta‟ala (Shohih Al-Jami‟ Ash-shighir)
4. Jangan mencampur antara hewan yang sakit dengan yang sehat (HR:Bukhori dan
Muslim)
5. Jika kamu mendengar ia sedang mewabah di suatu daerah maka janganlah kamu masuk
ke sana, dan jika ia mewabah di daerah, sementara kamu ada di dalamnya maka janganlah
kamu keluar menghindarinya (HR: Bukhori dan Muslim)
1
2. 6. Lalu Kami wahyukan kepadanya: buatlah bahtera di bawah penilikan dan petunjuk
Kami, maka apabila perintah Kami telah datang dan dapur telah memancarkan air, maka
masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang dari setiap jenis, dan juga keluargamu,
kecuali orang yang telah berlaku ketetapan (akan ditimpakan adzab) di atara mereka (QS
Al-Mukminun : 27)
(Widiyono , 2012)
Konsep Dokter Muslim
Konsep tentang dokter muslim ini terkait dengan etika kedokteran, menurut Dr
Ahamd Alkandi, salah seorang pendiri Himpunan Kedokteran Islam merika Serikat dan
Kanada, bahwa etika dianggap sebagai persyaratan penting untuk menjadi dokter. Ilmu
keodkteran yang berkembang sedemikian pesat dan universal oleh kaum muslim perlu ada
seleksi dan dipilih mana yang sesuai dengan norma dan kaidah islam. Dengan semangat
gerakan islamisasi maka seluruh kehidupan muslim dijadikan sebagi pengalaman agama,
untuk itu maka dicarilah pijakan-pijakan islami, juga dalam praktek pengobatan, atau lebih
spesifik dokter (Zuhroni, 2003).
Rumusan tentang dokter muslim, menurut Ja‟far Khadim Yamani, ilmu kedokteran
dapat dikatakan islami, jika memenuhi sembilan syarat dan karakteristik,
yaitu: Pertama, dokter harus mengobati pasien dengan ihsan dan tidak melakukan hal-hal
yang bertentangan dengan al-Quran. Kedua, tidak menggunakan bahan haram atau dicampur
dengan unsur haram. Ketiga, dalam pengobatan tidak boleh berakibat mencacatkan tubuh
pasien, kecuali sudah tidak ada alternatif lain. Keempat, pengobatannya tidak
berbau takhayyul, khurafat, bid’ah. Kelima, hanaya dilakukan oleh tenaga medis yang
menguasai di bidang medis. Keenam, dokter memiliki sifat-sifat terpuji, tidak memiliki rasa
iri, riya, takabur, senang merendahkan oranglain, serta sikap hina lainnya. Ketujuh, harus
berpenampilan rapih dan bersih.Kedelapan, lembaga-lembaga pelayan kesehatan mesti
bersifat simpatik. Kesembilan, menjauhkan dan menjaga diri dari pengaruh atau lambang-
lambang non-islamis (Zuhroni, 2003).
Dalam kode etik kedokteran islam (Islamic code of Medical Ethics), yang merupakan
hasil dari First International Conference on Islamic Medicine yang diselenggarakan 6-10
Rabi‟ al-Awwal 1401 H. di Kuwait dan selanjutnya disepakati sebagai kode etik kedokteran
islam, dirumuskan bebebrapa karakteristik yang semestinya dimiliki oleh dokter muslim. Isi
kode etik kedokteran islam tersebut terdiri atas 12 pasal. Rinciannya, Pertama, definisi
profesi kedokteran. Kedua, ciri-ciri para dokter. Ketiga, hubungan dokter dengan
2
3. dokter. Keempat, hubungan dokterd dengan pasien. Kelima, rahasia profesi. Keenam, peranan
dokter dimasa perang. Ketujuh, tanggungjwab dan pertanggungjawaban. Kedelapan, kesucian
jiwa manusia. Kesembilan, dokter dan masyarakat. Kesepuluh, dokter dan kemajuan biomedis
modern. Kesebelas, pendidikan kedokteran. Keduabelas, sumpah dokter (Zuhroni, 2003).
Semua butir diatas disebutkan seorang dokter muslim disamping sebagai orang yang
bertakwa juga harus berakhlak mulia, seperti harus bijaksana, ramah, baik hati, pemaaf,
pelindung, sabar, dapat dipercaya, bersikap baik tanpa membedakan tingkat sosial pasien,
bersikap tenang, dan menghormati pasien. Secara teologis, dokter muslim harus menyadari
bahwa soal kematian berada sepenuhnya ditangan Allah swt dan fungsi dokter hanya sebagai
penyelamaat kehidupan, berfungsi mempertahankan dan memlihara sebaik dan semampu
mungkin.disamping itu, dokter muslim harus dapat menjadi suri tauladan yang baik juga
harus profesional, dengan tetap pada prinsip ilmiah dan jujur. Lebih dari itu semua, dokter
muslim juga diharuskan memilikki pengetahuan tantang undang-undang, cara-cara beribadah
dan pokok-pokok fiqih sehingga dapat memnuntun pasien untuk melaksanakan kewajiban
agamanya. Ditekankan pula seorang dokter harus berusaha menjauhkan diri dari praktek-
praktek yang bertentangan dengan ajaran islam. Hal lain yang disarankan, dokter muslim
harus rendah hati, tidak sombong serta bersikap tercela lainnya. Dalam bidang pengetahuan
dokter muslim diharuskan tetap menggali dan mencari penegtahuan agar tidak ketinggalan
dalam kemajuan ilmiah, dan upaya itu harus diaykini sebagai bentuk ibadah (Zuhroni, 2003).
Abu al-Fadl merinci karakteristik dokter islam atas tiga hal. Pertama, percaya akan
adnya kematian yang tidak terelakkan seperti banyak ditegaskan dalam nash. Ibnu Sina
mengatakan, pengetahuan tentang pemeliharaan kesehatan itu tidak bisa membantu untuk
menghindari kematian maupun membebaskan diri dari penderitaan lahir. Dengan pemahaman
demikian, tidak berarti dokter muslim menentang teknologi biomedis bila berarti upaya
mempertahankan kehidupan dengan memberikan pasien pernapasan atau alat lain sejenis.
Sebab, upaya menyelamatkan hidup adalah tugas mulia, siapa yang menyelamatkan hidup
seorang manusia seolah ia menyelamatkan seluruh manusia (QS. 5:32). Kedua, menghormati
pasien, diantaranya, berbicara dengan baik kepada pasien tidak membocorkan rahasia dan
perasaan pasien, tidak melakukan pelecehan seksual, itulah sebabnya pasien didampingi
pihak ketiga. Ketiga, pasrah kepada Allah swt sebagai Dzat Penyembuh. Berarti
membebaskan dokter dari segala upaya diagnosis dan pengobatan. Dengan demikian, akan
menghindarkan perasaan bersalah jika segala upaya yang dilakukan mendapati kegagalan
(Zuhroni, 2003).
3
4. Etika/adab yang harus dimiliki dokter muslim
Dokter muslim menurut Dr Zuhair Ahmad al-Sibai dan Dr Muhammad „Ali al-Bar
dalm karyanya al-Thabib, Adabun wa Fiqhuh, harus memiliki etika dan adab antara lain,
bahwa dokter muslim harus berkeyakinan atas kehormatan profesi, menjernihkan nafsu, lebih
mendalami ilmu yang dikuasainya, menggunakan metode ilmiah dalam berfikir, kasih
sayang, benar dan jujur, rendah hati, bersahaja dan mawas diri (Zuhroni, 2003).
Hewan dalam Islam
Binatang yang ada di muka Bumi (termasuk hewan temak) adalah makhluk ciptaan
Tuhan (Allah). Perhatian Tuhan terhadap hewan sebagai makhluknya tidak berbeda jauh
dengan perhatian terhadap manusia. Hewan merupakan umat seperti halnya manusia. Di
dalam QS A1 An'am: 38 dijelaskan seperti berikut: "Dari tiadalah binatang-binatang yang
ada di bumi dan binaatang-binatang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat
juga) seperti kamu,” Oleh karenanya manusia juga harus menghormati keberadaan hewan
dan hidup berdampingan (Winarso, 2008).
Kemudian Allah menegaskan bahwa semua makhluk Allah beribadah kepada-Nya
dan memuji-Nya meskipun dengan bahasa yang manusia tidak memahaminya: "Langit yang
tujuh, bumi dan semua yang ada didalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada
sesuatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti
tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun." (QS
Bani Israail: 43). Allah mengatur rizki dan ketentuan atas hewan seperti halnya atas manusia.
Hal ini dapat kita ketahui dalam QS Huud ayat 6 berikut: "Dan tidak ada suatu binatang
melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui
tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab
yang nyata (Lawh Mahfudz).” (Winarso, 2008).
Islam membenarkan hak penggunaan hewan oleh manusia. Hewan-hewan di dunia
telah diciptakan Allah swt. untuk dimanfaatkan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun, dalam memanfaatkan alam, manusia liarus menjaganya dari kerusakan yang
mungkin timbul, sebab Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Manusia
dapat mengambil manfaat yang banyak dari hewan ternak. Didalam ayat Al Quran, dijelaskan
bahwa hewan diciptakan dengan berjenis-jenis manfaat untuk kesejahteraaan manusia. Di
antaranya disebutkan bahwa hewan bermanfaat sebagai transportasi dan sumber pangan
(Winarso, 2008).
4
5. Tinjauan konsep five freedoom dari ajaran Islam
a. Bebas dari rasa lapar dan haus
Hewan dialam liar mendapatkan makanan sendiri. Sejak hewan didomenstikasi maka
terjadi perubahan perilaku hewan yang menjadi dibawah kendali manusia. Manusia wajib
memberikan nafkah kepada hewan berupa makan dan minum yang dapat menopang
hidupnya. Karena manusia telah memutuskan dirinya sebagai perantara rizki untuk
ternak.
Dalam sebuah riwayat, dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki yang melintasi sebuah
jalan. Tiba-tiba ia merasa sangat haus, lalu menemukan sebuah sumur. Ia menuruninya
untuk (mengambil air) minum. Selesai minum, ia keluar. Tatkala ia telah keluar, ia
menjumpai seekor anjing yang menjulurkan-julurkan lidahnya sambil mencium tanah
karena kehausan. Kemudian ia kembali menuruni sumur itu dan mengisi penuh sepatunya
dengan air. Ia gigit sepatu itu hingga sampai lagi di tempat (anjing berada). Lalu ia
meminumkamya kepada anjing itu. Allah swt. mengucapkan terimakasih kepadanya dan
mengampuni dosa-dosanya.
Kisah serupa yang membenarkan ajaran tersebut adalah dikisahkan bahwa konon ada
seekor anjing yang berputar-putar di sekeliling sebuah sumur yang hampir mati karena
kehausan, tiba-tiba seeorang wanita tuna susila dari Bani lsrail melihatnya. lalu ia
melepaskan sepatunya untuk mengambil air yang kemudian diminumkannya kepada
anjing tersebut. Karena amalnya itulah kemudian Allah swt. berkenan
mengampuninya.Sedangkan kisah yang menahan nafkah hewan piaraan, dikisahkan
seorang wanita yang disiksa karena seekor kucing yang dikuningnya sanlpai mati. Hanya
karena kucing itu ia masuk neraka. Sebab tatkala ia mengurungnya, ia tidak memberinya
makan dan minum. Ia juga tidak mau melepaskannya untuk mencari makanan dari
serangga dan tumbuh-tumbuhan.(Winarso, 2008)
b. Bebas dari ketidaknyamanan
Dalam Islam diajarkan untuk menempatkan hewan senyaman mungkin (tidak
menempatkan hewan di daerah yang panas tanpa peneduh dan dipancang sehingga tidak
memungkinkan hewan mencari ternpat yang menurutnya nyaman). Perkandangan akan
melindungi hewan dari cuaca buruk dan lingkuugan yang berubah secara cepat.
5
6. Perkandangan yang baik akan menyediakan kenyamanan bagi hewan karena menjaga
kestabilan suhu dan kelembaban pada tingkat yang sesuai (Winarso, 2008).
c. Bebas dari rasa sakit, luka/cedera dan penyakit
Islam melarang umatnya mengadu binatang, karena tindakan tersebut menyakiti hewan
dan merusak hewan. Penyakit produksi mungkin muncul pada hewan di petemakan.
Namun Islam mengajarkan supaya berhati-hati dalam memelihara hewan. Pemanfaatan
hewan untuk hekerja harus dalam keadaan sehat dan dikembalikan ke tempat
pemeliharaannya dalam keadaan yang baik juga. Oleh karenanya pemanfaatan hewan
dalam Islam tidak boleh melebihi kapasitas kerjanya. Perlakuan tersebut merusak hewan
karena sangat memungkinkan hewan menderita luka dan cedera (Winarso, 2008).
d. Bebas untuk menunjukkan perilaku normal
Umat muslim diajarkan manajemen petemakan meskipun tidak terperinci. Allah
memerintahkan manusia untuk menggembalakan ternaknya dalam Surat Taha ayat 54,
“…dan gembalakanlah binatang-binatangmu…” Penggembalaan memungkinkan hewan
mendapat ruang dan suasana yang mendukung ekspresi perilaku normal. Perilaku ini
misalnya perilaku mandi debu, perilaku agonistic, perilaku bermain, eksplorasi, dan
perilaku seksual.
Dalam kisah Nabi Nuh selain amanat melestarikan lingkungan (alam) juga
tergambarkan adanya jaminan kebebasan hewan untuk mengekspresikan perilaku
bersosial dengan hewan sejenisnya dan perilaku berkembang biak karena berkembang
biak merupakan perilaku yang sangat alamiah.
(Winarso, 2008)
e. Bebas dari rasa takut dan distress
Rasulullah melarang hewan ditambatkan pada ternpat yang terik karena hewan itu
tersiksa oleh panas, sementara ia tidak bisa berteduh atau mencari minun. Panas yang
berlebih atau suhu sekitar yang sangat rendah dapat menyebabkan salah satunya adalah
heat stress kemudian rnenyebabkan peningkatan metabolisme. Peningkatan metabolisme
yang tidak perlu ini akan mengurangi produktivitas ternak dan efektivitas pakan.
Menyalahgunakan hewan dengan menjadikannya sasaran lemparan, panah atau tembakan
untuk bersenang-senang adalah perbuatan yang dilarang Rasulullah.
Peneraan dengan teknik tato sering digunakan pada ternak sebagai penanda identitas.
Ini dianjurkan dalam Islam, Rasulullah juga melakukannya sendiri terhadap hewan (unta)
sedekah (riwayat Muslim). Namun Rasul melarang menato hewan di wajah (Winarso,
2008).
6
7. Agama mempunyai persepsi yang berbeda-beda tentang relasi manusia dengan hewan
temak. Agama Buddha dan Hindu cenderung untuk memberikan hak-hak asasi hewan
yang setara dengan hak asasi manusia sehingga tidak memperbolehkan pemanfaatan dan
penyembelihan hewan ternak dengan alasan penyakralan. Yahudi dan Nasrani
memberikan manusia kekuasaan atas hewan, yang dalam ha1 ini posisi hewan lebih
rendah daripada manusia. Sedangkan Islam memberikan penlahaman bahwa manusia
adalah k11alifaA (pemimpin) di muka bumi sehingga bumi dan isinya tennasuk hewan
dapat dimanfaatkan agar tercapai keuntungan dan kesejahteraan secara timbal balik
(Winarso, 2008).
Contoh Sudut Pandang Religiositas Profesi Veteriner:
Kloning
Kloning merupakan penggandaan suatu organisme kehidupan. Kloning dilakukan
dengan mengambil embrio dasar dari suatu makhluk hidup, kemudian memberikan instruksi
pada embrio tersebut agar bisa menjadi makhluk serupa. Sheikh Farid Washil (mantan Mufti
Mesir) menolak kloning reproduksi manusia karena dinilainya bertentangan dengan empat
dari lima Maqashid asy-Syar‟iah: pemeliharaan jiwa, akal, keturunan, dan agama. Dalam hal
ini cloning menyalahi pemeliharaan keturunan.Dari beberapa pendapat tersebut, kita bisa
menyimpulkan bahwa cloning hukumnya haram karena lebih berpotensi menghasilkan
dampak buruk daripada dampak baiknya.
Adapun kloning dalam ranah binatang dan tumbuh-tumbuhan, maka Islam secara
jelas membolehkannya, apalagi kalau tujuannya untuk meningkatkan mutu pangan dan
kualitas daging yang dimakan manusia.Selain itu, karena binatang dan tumbuh-tumbuhan
tidak perlu mengetahui tentang asal-usul garis keturunannya.
Upaya memperbaiki kualitas tanaman dan hewan serta meningkatkan
produktivitasnya tersebut menurut syariat Islam tidak apa-apa untuk dilakukan dari termasuk
aktivitas yang mubah hukumnya. Demikian pula memanfaatkan tanaman dan hewan dalam
proses kloning guna mencari obat yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit manusia –
terutama yang kronisadalah kegiatan yang dibolehkan Islam, bahkan hukumnya
sunnah(mandub). Sebab berobat hukumnya sunnah. Begitu pula memproduksi berbagai obat-
obatan untuk kepentingan pengobatan hukumnya juga sunnah. Imam Ahmad telah
meriwayatkan hadis dari Anas ra.yang telah berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda,
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia menciptakan pula
obatnya. Maka berobatlah kalian.”
7
8. Oleh karena itu, dibolehkan memanfaatkan proses kloning untuk memperbaiki
kualitas tanaman dan mempertinggi produktivitasnya atau untuk memperbaiki kualitas hewan
seperti sapi, domba, onta, kuda dan sebagainya. Juga dibolehkan memanfaatkan proses
kloning untuk mempertinggi produktivitas hewan-hewan tersebut dan
mengembangbiakannya, ataupun untuk mencari obat bagi berbagai penyakit manusia,
terutama penyakit-penyakit yang kronis (Abdul Qadim Zallum)(Lusi. 2008).
Inseminasi Buatan
Mengembangbiakkan dan pembibitan semua jenis hewan yang halal diperbolehkan
oleh Islam, baik dengan jalan inseminasi alami (natural insemination) maupun inseminasi
buatan (artificial insemination).Dasar hukum pembolehan inseminasi buatan ialah Pertama;
Qiyas (analogi) dengan kasus penyerbukan kurma.Setelah Nabi Saw hijrah ke Madinah,
beliau melihat penduduk Madinah melakukan pembuahan buatan (penyilangan/perkawinan)
pada pohon kurma.Lalu Nabi menyarankan agar tidak usah melakukan itu.kemudian ternyata
buahnya banyak yang rusak. Setelah hal itu dilaporkan pada Nabi, beliau berpesan :
“lakukanlah pembuahan buatan, kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.” Oleh karena
itu, kalau inseminasi buatan pada tumbuh-tumbuhan diperbolehkan, kiranya inseminasi
buatan pada hewan juga dibenarkan, karena keduanya sama-sama diciptakan oleh Tuhan
untuk kesejahteraan umat manusia. (QS. Qaaf:9-11 dan An-Nahl:5-8). Kedua; kaidah hukum
fiqih Islam “al-ashlu fil asya‟ al-ibahah hatta yadulla dalil „ala tahrimihi” (pada dasarnya
segala sesuatu itu boleh, sampai ada dalil yang jelas melarangnya).Karena tidak dijumpai ayat
dan hadits yang secara eksplisit melarang inseminasi buatan pada hewan, maka berarti
hukumnya mubah.Hewan juga makhluk hidup seperti manusia, mempunyai nafsu dan naluri
untuk kawin guna memenuhi insting seksualnya, mencari kepuasan dan melestarikan jenisnya
di dunia. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa mengembangbiakkan semua jenis
hewan yang halal (yang hidup di darat, air dan terbang bebas di udara) diperbolehkan Islam,
baik untuk dimakan maupun untuk kesejahteraan manusia (Annajah, 2009).
Kastrasi
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud yang isinya hampir semakna
dengan hadits diatas, dikatakan bahwa Rasul Allah Saw.melarang umat Islam berqurban
dengan hewan yang al-mushfirrat (hewan yang rusak telinganya sehingga tampak bagian
kulit dalamnya); al-musta‟ashalat (hewan yang tanduknya bergeser dari tempatnya); al-
bahqa‟ (hewan yang matanya buta sebelah); al-musyayya‟at (hewan yang tidak laku dijual
8
9. karena kurus dan lemah); dan al-kasra‟ (hewan yang sudah tua). Hadits di atas memberikan
gambaran tentang hewan yang tidak layak dijadikan hewan qurban adalah hewan yang cacat
yang rincian kecacatan tersebut adalah kakinya pincang; matanya rusak; matanya buta
sebelah atau picek; sakit; kurus yang tidak bergajih lagi; kupingnya rusak bagian depan dan
belakangnya, atau belah; kupingnya belah; sudah terlalu tua; tidak laku karena kurus dan
lemah; ompong gigi depannya; tanduk dan telinganya hilang setengahnya; dan tanduknya
bergeser dari tempatnya.
Ulama Hanabilah menjelaskan ciri-ciri hewan yang cacat yang boleh dijadikan hewan
qurban tetapi makruh adalah dikebiri, tanpa tanduk sejak lahir (al-jammâ‟), kecil telinga atau
tidak bertelinga sejak lahir, tanpa ekor sejak lahir, di matanya terdapat warna putih tapi tidak
mengganggu penglihatannya, dan sedang hamil (Ebrahim, 2004).
Pelayanan Kesehatan dan Pemanfaatan Hewan
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Bila seekor anjing minum
dari wadah milik kalian, maka cucilah 7 kali. (HR Bukhari 172, Muslim 279, 90).
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Sucinya wadah kalian yang dimasuki
mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali.” Dan menurut riwayat Ahmad dan Muslim
disebutkan salahsatunya dengan tanah.” (HR Muslim 279, 91, Ahmad 2/427)
Maka seluruh ulama sepakat bahwa air liur anjing itu najis, bahkan levelnya najis yang berat
(mughallazhah).Sebab untuk mensucikannya harus dengan air tujuh kali dan salah satunya
dengan menggunakan tanah.Dan memelihara anjing dalam Islam tidak diharamkan, terutama
bila digunakan untuk hal-hal yang berguna.Seperti untuk berburu, mencari jejak dan
sebagainya.Bahkan kita dibolehkan memakan hewan hasil buruan anjing telah diajar. Al-
Quran mengistilahkannya dengan sebutan: mukallab.Mereka menanyakan kepadamu,
“Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah, “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan
oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu; kamu
mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa
yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya (QS. Al-Maidah: 4).
Pada Hakekatnya Islam mengajarkan pada umatnya untuk menyayangi binatang dan
melestarikan kehidupannya. Di dalam Al-qur‟an, Allah SWT menekankan bahwa telah
menganugerahi manusia wilayah kekuasaan yang mencakup segala sesuatu didunia ini, hal
ini tertuang dalam surat Al-Jatsiyah,45:13 yang artinya sebagai berikut :
9
10. Dan Dia telah menundukan untukmu segala apa yang ada di langit dan segala apa
yang ada di muka bumi; semuanya itu dari Dia; sesungguhnya di dalam yang demikian itu
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir (Q.S. Al-Jatsiyah,45:13).
Menyangkut hewan atau satwa peliharaan, Al-Qur‟an dalam surat Al-Nahl
menyebutkan beberapa jalan di mana hewan-hewan tersebut memberi manfaat kepada
manusia :
Dan dia telah menciptakan binatang ternak untukmu; padanya ada (bulu) yang
menghangatkan dan berbagai manfaat lainnya dan sebagiannya kamu makan (Q.S. Al-
Nahl,16:5).
Dan mereka membawakan muatan milikmu yang berat menuju tanah yang tidak dapat
kau capai dengan selamat kecuali dengan upaya yang sangat berat; karena sesungguhnya
Tuhanmu benar-benar maha pengasih dan penyayang (Q.S. Al-Nahl, 16:7) Dan dia telah
menciptakan kuda, bagal, dan keledai untukmu baik sebagai kendaraan maupun sebagai
hiasan; dan Dia telah menciptakan makhluk-makhluk lainnya yang belum kamu ketahui (Q.S.
Al-Nahl, 16:8).
Suatu ketika Nabi melihat mayat seekor kambing, Beliau berkata: Milik siapakah
kambing ini? Para sahabat berkata: ini milik budak Maimunah Ummul Mukminin, Nabi
berkata: mengapa kalian tidak memanfaatkan kulitnya? Mereka menjawab: tapi kambing ini
sudah mati. Kata beliau: sebenarnya yang dilarang adalah makan dagingnya (HR Bukhori dan
Muslim).
Kehalalan hewan pada umumnya dan hewan ternak pada khususnya adalah
berdasarkan firman Allah dalam Surat Al-Baqarah:29, yang menyatakan bahwa semua yang
ada di planet bumi ini untuk kesejahteraan manusia. Dan juga surat Al-Maidah:2, yang
menyatakan bahwa semua hewan ternak dihalalkan kecuali yang tersebut dalam Al-
An‟am:145, An-Nahl:115, Al-Baqoroh:173 dan Al-Maidah:3. Ketiga surat dan ayat yang
pertama tersebut hanya mengharamkan 4 jenis makanan saja, yaitu bangkai, darah, babi dan
hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah. Sedangkan surat dan ayat yang disebut
terakhir mengharamkan 10 jenis makanan, yaitu 4 macam makanan yang tersebut di atas
ditambah 6, yakni: 1. Hewan yang mati tercekik, 2. Yang mati dipukul, 3. Yang mati terjatuh,
4. Yang mati ditanduk, 5. Yang mati diterkam binatang buas, kecuali yang sempat disembelih
dan 6. Yang disembelih untuk disajikan pada berhala. Mengenai hewan yang halal dan yang
haram, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, yaitu: Ulama yang hanya
mengharamkan 10 macam makanan/hewan yang tersebut dalam Al-Maidah:3, sebab ayat ini
termasuk wahyu terakhir yang turun. Mahmud Syaltut, mantan Rektor Univ. Al-Azhar
10
11. mendukung pendapat ini. Ulama hadits menambah beberapa larangan berdasarkan hadits
Nabi, yaitu antara lain: semua binatang buas yang bertaring, semua burung yang berkuku
tajam, keledai peliharaan/jinak dan peranakan kuda dengan keledai. Rasyid Ridha,
pengarang Tafsir Al-Manar berpendapat bahwa yang tidak jelas halal/haramnya berdasarkan
nash Al-Qur‟an itu ada dua macam: 1. semua jenis hewan yang baik, bersih dan enak/lezat
(thayyib) adalah halal. 2. Semua hewan yang jelek, kotor dan menjijikan adalah haram.
Namun kriteria baik, bersih, enak, menarik atau kotor, jelek dan menjijikan tidak ada
kesepakatan ulama di dalamnya.Apakah tergantung selera dan watak masing-masing orang
atau menurut ukuran yang umum (Ebrahim, 2004).
Percobaan Binatang
Syariat tidak membahas secara langsung isu tentang eksperimen pada binatang.Fikih
merupakan ilmu pengetahuan yang menuntun umat Islam dalam menentukan mana keputusan
manusia yang berhubungan dengan isu-isu kontemporer yang dapat dibenarkan dan mana
yang tidak. Dengan kata lain, tindakan-tindakan tertentu yang dimotivasi oleh keterpaksaan
(al-dharurah) dalam rangka melindungi salah satu dari kepentingan-kepentingan ini secara
kondisional dapat dibenarkan. Atau, dapat pula dikatakan bahwa jika eksperimen pada hewan
dapat dilaksanakan dengan tujuan memperoleh pengetahuan yang benar-benar bermanfaat
bagi kelestarian hidup manusia dan hewan, maka eksperimen tersebut dapat di setujui.
Namun, apa yang diistilahkan sebagai kepentingan (manusia) yang mendesak (al-mashlahah
al-dharuriyyah) ini lebih jauh dibatasi oleh prinsip-prinsip umum fikih sebagaimana berikut :
1. Sesuatu yang dapat membawa kepada hal-hal yang diharamkan, maka hukumnya haram
(Ibid, hal. 228)
2. Seseorang yang terpaksa harus memilih antara dua hal yang buruk, maka ia harus
memilih yang lebih kecil keburukannya untuk mencegah keburukan yang lebih besar.
(Ibid, hal. 301)
3. Sesuatu yang dihalalkan karena alasan tertentu akan menjadi tidak halal jika alasan
kehalalannya itu tidak ada lagi (Ibid, hal.299)
4. Menggunakan berbagai pilihan untuk hal-hal yang tidak ada ketentuannya (Fikih)
tentangnya (Mashr, Animal in Islam, Hal. 19).
Karena itu, dalam upaya menerapkan prinsip-prinsip fikih di atas pada kasus eksperimen
terhadap binatang, maka dapat dikemukakan penarikan kesimpulan sebagaimana berikut :
Peraturan ( i ) menyatakan bahwa tindakan menjadikan hewan sebagai objek eksperimen
11
12. yang bersifat menyakiti dan tindakan-tindakan lain yang mengakibatkan kebutaan atau cacat
pada hewan statusnya adalah Haram.
Peraturan ( ii) membolehkan pengujian obat-obatan yang terkait dengan penyelamatan
nyawa pada hewan sebelum dinyatakan aman untuk digunakan pada manusia. Peraturan ( iii)
menyatakan bahwa tindakan menjadikan hewan sebagai objek eksperimen yang sembarangan
(tidak jelas keperluannya) status hukumnya adalah tidak boleh. Peraturan ( iv) memiliki
relevansi dengan penyelidikan terkini tentang alternatif-alternatif bagi eksperimen pada
hewan dalam rangka meminimalisir pemanfaatan binatang dalam eksperimen (Ebrahim,
2004).
12
13. DAFTAR PUSTAKA
An-Najah, Ahmad Zein. 2009. Inseminasi Buatan. www.annajah.wordpress.com.
Ebrahim, abul F.M., 2004. Kloning, Eutanasia, Transfudi Darah, Transplantasi Organ, dan
Eksperiment pada Hewan. Jakarta: Penerbit Serambi.
Lusi. 2008. Bayi tabung Menurut Ajaran Agama Islam. www.lusicaem.blogspot.com.
Widiyono, I., 2012. Agama Kontekstual;:Islam dan Animal Welfare. Yogyakarta : Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada
Winarso, Aji. 2008. Skripsi: kajian Kesejahteraan Hewan Ternak dalam Ajaran Agama
Buddha, Hindu, Yahudi, Nasrani, dan Islam. Bogor: Istitut Pertanian Bogor.
Zuhroni, 2003. Islam untuk Disiplin Ilmu Kesehatan dan Kedokteran 2 (Fiqh
Kontemporer). Jakarta : Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama
Islam.
13