1. Konglomerasi Media di Indonesia
Eko Maryadi, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
RESUME
Kebebasan pers ditandai dengan keluarnya Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang
Pers dan Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Dua UU ini berhasil
mendorong demokratisasi informasi sekaligus membuka pasar media yang luas.
Pers bebas ditandai dengan lepasnya kontrol pemerintah terhadap kehidupan pers (self
regulatory system) dan menguatnya organisasi jurnalis dan perusahaan media independen.
Kebebasan pers dan media mendorong pers sebagai pilar ke-4 demokrasi sekaligus menjadi
lembaga penyebar informasi dan penyalur aspirasi publik yang efektif.
Namun kebebasan media juga memunculkan masalah pemusatan kepemilikan perusahaan
media (konglomerasi), yang mengubah wajah kebebasan media dan kebutuhan informasi
publik menjadi kebebasan menguasai pasar media. Publik hanya dilihat sebagai market (pasar)
sehingga perusahaan pers/media tak ubahnya pabrik tahu atau pabrik kerupuk.
Peta Kepemilikan media (data terlampir) : Hasil riset terbaru CIPG-Hivos 2011 tentang Media
Group dan Media Policies yang melibatkan komunitas pers. Bahan lengkap bisa diunduh dari :
http://mediarights.or.id/recent-works/reports/
GRUP media tambahan :
Bisnis Indonesia Group (Harian Bisnis Indonesia, Majalah Business Weekly, Solopos/Radio ;
Bali TV (Bali TV dan 10 TV lokal) ; Pos Kota Grup (Jakarta dan koran rakyat) ; Pikiran Rakyat
Group (penguasa Jawa Barat), termasuk group online baru : Kapanlagi.com dan merdeka.com.
BAHAYA Konglomerasi Media
1. Terjadinya pemusatan bisnis media yang mengarah pada persaingan yang tidak sehat
menyangkut konten siaran/pemberitaan pers, sekaligus mendorong pelanggaran kode
etik jurnalistik dan kode perilaku wartawan
2. Slogan “dari publik, olehpublik, untuk publik” berubah menjadi : “dari pebisnis, oleh
buruh media, untuk kepentingan ekonomi”
3. Tiadanya keberagaman kepemilikan (diversity of ownership) dan keberagaman isi
siaran (diversity of content) yang membuat penyeragaman opini public
4. Bahaya Pemusatan Kepemilikan Media tidak bisa dicegah melalui UU Anti Monopoli
Nomor 5 tahun 1999 dan UU Perseroan Terbatas Nomor 40 tahun 2007 --- melainkan
harus dikendalikan oleh UU itu sendiri (UU Pers dan UU Penyiaran)
5. Penyeragaman opini dan kekuatan bisnis-politik oleh kekuatan media yang terlalu
dominan yang mengancam kebebasna pers dan demokratisasi media.
2. Advokasi Konglomerasi Media :
1. Uji Materi Pasal 18 ayat (1) dan pasal 34 (4) uu Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran
di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran
(KIDP) – koalisi 12 organisasi sipil peduli demokrasi penyiaran.
2. Revisi UU Penyiaran, dan upaya revisi Undang Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers –dinilai terlalu berpihak kepada media, kurang berpihak kepada publik.
3. Melaporkan Perbuatan Melawan ukum (PMH) Kemnterian Kominfo dan industri
penyiaran ke Pengadilan (PN) atas pelanggaran pidana UU Nomor 32 tahun 2002
tentang Penyiaran.
Problem DIGITALISASI
1. Peraturan Menkominfo No 22 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi
Digital Teresterial Penerimaan Tidak Berbayar (Free to Air) yang berpotensi
memperkuat praktek kartel dan oligarki penyiaran.
2. Perlunya mengatur Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing yang
demokratis, kuat, dan independen, sehingga agenda digitalisasi memiliki payung
hukum setingkat UU
3. Adanya alokasi kanal yang memberikan ruang lebih luas bagi penyiaran komunitas
(LPK) dan penyiaran publik (LPP), tidak hanya kanal bagi lembaga penyiaran yang
sudah ada(existing).