Dokumen tersebut membahas tentang pengertian kosakata, jenis-jenis kosakata dalam bahasa Jepang, dan penggolongan kelas kata dalam bahasa Jepang. Dibahas pula prinsip-prinsip dasar metode pengajaran, efektivitas metode pengajaran, dan pengertian serta kegunaan media pembelajaran.
1. 15
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Kata dan Kosakata
2.1.1 Pengertian Kosakata
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:597) menyatakan bahwa kosakata adalah
perbendaharaan kata. Shinmura dalam Dahidi dan Sudjianto (2004:97) kosakata juga dapat
dikatakan sebagai keseluruhan kata (tango) berkenaan dengan suatu bahasa atau bidang tertentu
yang ada di dalamnya.
Kosakata merupakan bagian dari suatu bahasa yang mendasari pemahaman dari bahasa
tersebut. Kualitas kosakata yang dimiliki siswa mempengaruhi empat keterampilan berbahasa,
yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Soedjito dalam Karyani (2009:19) mengungkapkan bahwa kosakata dapat diartikan semua
kata yang terdapat dalam suatu bahasa, kekayaan kata yang dimiliki oleh seorang
pembicara/penulis, kata yang dipakai dalam suatu bidang ilmu pengetahuan dan daftar kata yang
disusun seperti kamus yang disertai penjelasan secara singkat dan praktis.
Menurut Keraf (1985:68) perbendaharaan kata atau kosakata adalah daftar kata-kata yang
segera kita ketahui artinya bila mendengar kembali walaupun jarang atau tidak pernah digunakan
lagi dalam percakapan atau tulisan sendiri, perbendaharaan kata atau kosakata adalah
keseluruhan kata yang dimiliki oleh suatu bahasa.
Tarigan dalam Rosmalela (2008:54) penguasaan kosakata dikelompokkan sebagai berikut:
2. 16
1. Penguasaan kosakata represif atau proses decoding, artinya proses memahami apa-
apa yang dituturkan oleh orang lain. Represif diartikan sebagai penguasaan yang
bersifat pasif, pemahaman hanya dalam proses pemikiran.
2. Penguasaan produktif atau proses encoding yaitu proses mengkomunikasikan ide,
pikiran, perasaan melalui bentuk kebahasaan atau dengan kata lain pemahaman
kosakata dengan cara mampu menerapkan kosakata yang bersangkutan dalam suatu
konteks kalimat. Dengan demikian akan jelas makna yang dikandung oleh kosakata
tersebut.
3. Penguasaan penulisan yang juga tidak kalah pentingnya dengan penguasaan kosakata
secara produktif dan resertif. Oleh sebab itu, walaupun seseorang mampu memahami
makna suatu kata dan mampu pula menerapkannya dalam rangkaian kalimat, tetapi
bila ia tidak menguasai penulisannya yang benar dan sesuai aturan, maka hal itu
berarti bahwa ia belum menguasai kata atau kosakata yang bersangkutan secara
sempurna.
2.1.2 Kosakata Dalam Bahasa Jepang
Asano Yuriko dalam Sudjianto dan Dahidi (2007:97) menyebutkan bahwa tujuan akhir
pengajaran Bahasa Jepang adalah agar para pembelajar dapat mengkomunikasikan ide atau
gagasannya dengan menggunakan Bahasa Jepang baik dengan cara lisan maupun tulisan, salah
satu faktor penunjangnya adalah penguasaan goi yang memadai.
Dalam Bahasa Jepang, kata adalah tango. Sedangkan kosakata dikenal dengan istilah goi.
Shinmura dalam Sudjianto dan Dahidi (2007:97) tango adalah satuan terkecil dari bahasa yang
3. 17
memiliki arti dan fungsi secara gramatikal, sedangkan goi adalah keseluruhan kata berkenaan
dengan suatu bahasa atau bidang tertentu yang ada di dalamnya.
Berdasarkan karakteristik gramatikalnya, kosakata Bahasa Jepang terbagi menjadi dooshi
(verba), i-keiyooshi (ajiktiva -i), na-keiyooshi (ajektiva -na), meishi (nomina), rentaishi
(prenomina), fukushi (adverbia), kandooshi (interjeksi), setsuzokushi (konjungsi), jodooshi
(verba bantu), dan jooshi (partikel). Sudjianto dan Dahidi (2007:98).
Departemen Pendidikan Bahasa Jepang. Klasifikasi kelas kata itu sebagai berikut :
1. Dooshi (Verba)
Dooshi merupakan kelas kata yang menyatakan perbuatan, aktivitas, keberadaan, atau
adanya keadaan seseorang/sesuatu.
Contoh : Yomu, Iku, dsb.
2. Keiyooshi (Adjectiva i)
Keiyooshi merupakan kelas kata yang menyatakan sifat atau keadaan seseorang/sesuatu
dengan ciri suku kata akhirnya i. Dengan sendirinya dapat menjadi predikat dan dapat
mengalami perubahan bentuk
Contoh : Utsukushii, Omoi, dsb.
3. Keiyoodooshi (Adjectiva na)
Keiyoodooshi memiliki fungsi yang sama dengan keiyooshi yaitu menyatakan sifat atau
keadaan seseorang, dengan sendirinya dapat membentuk bunsetsu, dapat berubah
bentuknya (termasuk yoogen), dan bentuk shuushikei-nya. Suku akhir keiyoodooshi
bukan i melainkan “da” atau “na”. Contoh : Kireina, Fushigida, dsb.
4. 18
4. Meishi (Nomina)
Meishi merupakan kelas kata yang tidak mengalami konjugasi atau deklinasi yang dapat
digabungkan dengan fuzokugo (Partikel/Verba Bantu) sehingga membentuk sebuah
bunsetsu, dan dapat dilanjutkan dengan kakujoshi. Meishi menyatakan nama suatu
perkara, benda/barang, kejadian/peristiwa, dan keadaan.
Contoh : Mizu, Hon, dsb.
5. Fukushi (Adverbia)
Fukushi merupakan kelas kata yang tidak mengalami perubahan bentuk dan dengan
sendirinya dapat menjadi keterangan bagi yoogen (Dooshi, Keiyoushi, Keiyoudooshi)
walaupun tanpa mendapat bantuan dari kata-kata lain. Contoh : Mattaku, Tottemo, dsb.
6. Rentaishi (Prenomina)
Rentaishi merupakan kelas kata yang termasuk kelompok jiritsugo yang tidak mengenal
konjugasi yang digunakan hanya untuk menerangkan taigen (Meishi). Contoh : Kono,
Konna, dsb.
7. Setsuzokushi (Konjungsi)
Setsuzokushi merupakan kelas kata yang termasuk kelompok jiritsugo yang tidak dapat
mengalami perubahan, tidak dapat menjadi subjek, objek, predikat, ataupun kata yang
menerangkan kata lain (shuushokugo). Berfungsi untuk menggabungkan kalimat dengan
kalimat atau bagian-bagian kalimat. Contoh : Sorede, Demo, dsb.
8. Kandooshi (Interjeksi)
Kandooshi merupakan kelas kata yang termasuk kelompok jiritsugo yang tidak dapat
berubah bentuknya, tidak dapat menjadi subjek, tidak dapat menjadi keterangan, dan
5. 19
tidak dapat menjadi konjungsi. Kandooshi dipergunakan untuk mengungkapkan perasaan,
panggilan, jawaban atau persalaman. Contoh : Maa, Aa, dsb.
9. Jodooshi (Verba Bantu)
Jodooshi merupakan kelas kata yang tidak dapat berdiri sendiri dan tidak memiliki arti
bila tidak mengikuti kata lain yang termasuk Jiritsugo (Dooshi, Keiyoushi, Keiyoudooshi,
Meishi, Fukushi, Rentaishi, Setsuzokushi, Kandooshi) namun dapat mengalami
konjugasi/deklinasi. Contoh : Desu, Masu.
10. Joshi (Partikel)
Joshi merupakan kelas kata yang termasuk fozokugo yang dipakai setelah suatu kata
untuk menunjukkan hubungan antara kata tersebut dengan kata lain serta untuk
menambah arti kata tersebut lebih jelas lagi. Joshi tidak dapat berdiri sendiri dan tidak
memiliki arti bila tidak mengikuti kata lain yang termasuk Jiritsugo namun tidak dapat
mengalami konjugasi/deklinasi.
Contoh : Wa, Ga, dsb. (Sudjianto dalam Agnesh, 2009 : 37-38)
2.2 Metode Pengajaran
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:580) metode adalah cara yang teratur dan
terpikir baik-baik untuk mencapai maksud; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
Pada proses pembelajaran, seorang pengajar perlu memperhatikan metode pengajarannya,
karena metode yang baik akan membantu pengajar maupun pembelajar dalam mencapai tujuan
pembelajaran. Metode pengajaran dapat dikatakan baik apabila metode tersebut sesuai dengan
6. 20
tujuan dan materi pengajaran. Seperti yang diungkapkan oleh Sudjana (2005:1) “Metodologi
pengajaran adalah metode dan teknik yang digunakan guru dalam melakukan interaksinya
dengan siswa agar bahan pengajaran sampai kepada siswa, sehingga siswa menguasai tujuan
pengajaran.”
Edward Anthony dalam Tarigan (1989:11) mengungkapkan “Metode pengajaran bahasa
adalah rencana keseluruhan bagi penyajian bahan bahasa secara rapi dan tertib yang tidak ada
bagian-bagiannya yang kontradiksi dan semuanya itu didasarkan pada pendekatan terpilih.” Hal
tersebut menunjukkan bahwa metode pembelajaran memiliki peran penting dalam menyusun
serta merencakan pengajaran.
Rivai dalam Engkoswara (1988) mengemukakan lima prinsip dalam metode
pembelajaran, yaitu :
1. Azas maju berkelanjutan, yang artinya memberi kemungkinan kepada murid untuk
mempelajari sesuatu sesuai dengan kemampuannya,
2. Penekanan pada belajar sendiri, artinya pembelajar diberi kesempatan untuk mempelajari
dan mencari sendiri bahan pelajaran lebih banyak dari pada yang diberikan oleh pengajar,
3. Bekerja secara team, dimana pembelajar dapat mengerjakan suatu pekerjaan yang
memungkinkan bermacam-macam kerja sama,
4. Multidisipliner, artinya memungkinkan pembelajar untuk mempelajari sesuatu, mininjau
dari berbagai sudut, serta
5. Fleksibel, dalam arti dapat dilakukan menurut keperluan dan keadaan.
7. 21
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode pengajaran adalah strategi atau
teknik penyampaian bahan ajar yang harus disiapkan oleh pengajar agar terciptanya kegiatan
belajar mengajar yang efektif sesuai dengan tujuan pengajaran.
2.3 Efektivitas
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:219) efektivitas adalah sesuatu yang
memiliki pengaruh atau akibat yang ditimbulkan, manjur, membawa hasil dan merupakan
keberhasilan dari suatu usaha atau tindakan, dalam hal ini efektivitas dapat dilihat dari tercapai
tidaknya tujuan instruksional khusus yang telah dicanangkan. Metode pengajaran dikatakan
efektif jika tujuan instruksional khusus yang dicanangkan lebih banyak tercapai.
Menurut Said dalam Karyani (2009:8) efektivitas berarti berusaha untuk dapat mencapai
sasaran yang telah ditetapkan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan, sesuai pula dengan
rencana, baik dalam penggunaan data, sarana, maupun waktunya atau berusaha melalui aktivitas
tertentu baik secara fisik maupun nonfisik untuk memperoleh hasil yang maksimal baik secara
kuantitatif maupun kualitatif.
Menurut Harry Firman dalam Devi (2009:13) keefektivan program pendidikan ditandai
dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Berhasil menghantarkan siswa mencapai tujuan-tujuan instruksional yang telah
ditetapkan.
b. Memberikan pengalaman belajar yang atraktif, melibatkan siswa secara aktif sehingga
menunjang pencapaian tujuan instruksional.
c. Memiliki sarana-sarana yang menunjang proses belajar mengajar.
8. 22
Berdasarkan ciri program pembelajaran efektif seperti yang digambarkan diatas,
keefektifan program pembelajaran tidak hanya ditinjau dari segi tingkat prestasi belajar saja,
melainkan harus pula ditinjau dari segi proses dan sarana penunjang.
2.4 Media Pembelajaran
2.4.1 Pengertian Media Pembelajaran
Kata media berasal dari bahasa latin yang secara harfiah berarti pengantar atau perantara.
Menurut Gagne dalam Arief S. Sadiman, dkk (2008:6) “media adalah berbagai jenis komponen
dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar”. Arief S. Sadiman (2008:7)
mengemukakan bahwa “media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan
pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan
minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi”.
Menurut Wawan Danasasmita (2009:119) “Media pembelajaran merupakan salah satu
aspek yang memegang peranan penting dalam usaha untuk memperlancar tercapainya tujuan
pengajaran.”
Nihongo Kyouikujiten dalam Karyani (2009:27) Media pembelajaran adalah alat yang
digunakan sebagai alat bantu yang berfungsi untuk menyampaikan pesan pembelajaran dalam
pendidikan.
Media pembelajaran diartikan sebagai segala semata yang dapat digunakan untuk
menyalurkan pesan (message), merangsang pikiran, perasaan, dan kemauan siswa sehingga dapat
mendorong proses belajar. Ali (1984:69)
9. 23
Dalam usaha memanfaatkan media sebagai alat bantu, Edgar Dale (Sadiman Arif S. dkk,
2008:8) mengadakan klasifikasi pengalaman menurut tingkat dari yang paling konkrit ke yang
paling abstrak.
Kerucut Pengalaman Dale.
Kegunaan Media Pendidikan Dalam Belajar Mengajar
Arif S. Sadiman dkk (2008:17) mengungkapkan bahwa secara umum media pendidikan
mempunyai kegunaan-kegunaan sebagai berikut.
1. Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis.
2. Mengatasi keterbatasan ruang dan waktu dan daya indera, seperti:
a. Objek yang terlalu besar bisa digantikan dengan gambar, film, atau model;
b. Objek yang kecil dibantu dengan proyektor mikro, film atau gambar;
10. 24
c. Gerak yang terlalu lambat atau terlalu cepat dapat dibantu dengan timelapse atau
high-speed photography;
d. Kejadian atau peristiwa yang terjadi di masa lalu bisa ditampilkan lagi lewat rekaman
film, video;
e. Objek yang terlalu kompleks dapat disajikan dengan model, diagram;
f. Konsep yang terlalu luas dapat divisualisasikan dalam bentuk film, gambar dan lain-
lain.
3. Penggunaan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi sikap pasif
anak didik. Dalam hal ini media pendidikan berguna untuk:
a. Menimbulkan kegairahan belajar;
b. Memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara anak didik dengan lingkungan
dan kenyataan;
c. Memungkinkan anak didik belajar sendiri-sendiri menurut kemampuan dan minatnya.
4. Dengan sifat yang unik pada setiap siswa ditambah lagi dengan lingkungan dan
pengalaman yang berbeda, sedangkan kurikulum dan materi pendidikan ditentukan sama
untuk setiap siswa, maka guru banyak mengalami kesulitan bilamana semuanya itu harus
diatasi sendiri. Hal ini akan lebih sulit bila latar belakang lingkungan guru dengan siswa
juga berbeda. Masalah ini dapat diatasi dengan media pendidikan, yaitu dengan
kemampuannya dalam:
a. Memberikan perangsangan yang sama;
b. Mempersamakan pengalaman;
c. Menimbulkan persepsi yang sama.
11. 25
Secara umum media pengajaran dapat dikatakan sebagai alat atau perantara yang
membantu pengajar dalam menyampaikan bahan ajar yang kurang efektif apabila hanya
dilakukan secara verbal, serta membantu siswa memahami pelajaran dengan lebih baik.
2.5 Permainan
Banyak hal yang bisa digunakan sebagai media pengajaran. Selain menggunakan media-
media yang memang memiliki fungsi pedagogik, permainan pun dapat menjadi media
pengajaran yang efektif.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:614) permainan adalah kegiatan atau
kesibukan yang memiliki faedah besar bagi pembentukan diri; melakukan sesuatu untuk
menyenangkan hati (dengan menggunakan alat-alat tertentu atau tidak); melakukan perbuatan
untuk bersenang-senang.
Sifat permainan yang menimbulkan kesenangan membuat permainan dekat kaitannya
dengan anak-anak. Hal ini membuat para pengajar berfikir untuk membuat sebuah inovasi dalam
pengajaran agar kegiatan belajar mengajar lebih menyenangkan khususnya bagi kalangan
pembelajar usia muda. Sehingga banyak pengajar yang bereksperimen dengan permainan yang
dapat membantu penyampaian bahan ajar kepada siswa.
Davies (1981:37) mengungkapkan bahwa permainan dapat digunakan sebagai media
yang efektif untuk melibatkan siswa dalam proses instruksional karena permainan mampu
memotivasi siswa dalam belajar aktif.
12. 26
Menurut Sadiman (2008:75) Permainan adalah setiap kontes antara para pemain satu
sama lain yang berinteraksi satu sama lain dengan mengikuti aturan-aturan tertentu untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu pula.
Setiap permainan harus mempunyai empat komponen utama, yaitu:
1) Adanya pemain (pemain-pemain);
2) Adanya lingkungan dimana para pemain berinteraksi;
3) Adanya aturan-aturan main;
4) Adanya tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapai.
Atas dasar sifatnya permainan dibedakan atas permainan yang kompetitif dan yang non
kompetitif. Permainan yang kompetitif mempunyai tujuan yang jelas dan pemenang diketahui
secara tepat. Sebaliknya permainan yang non kompetitif tidak mempunyai pemenang sama sekali
karena pada hakikatnya pemain berkompetisi dengan sistem permainan itu sendiri.
Sebagai media pendidikan, permainan mempunyai beberapa kelebihan-kelebihan berikut ini.
1) Permainan adalah sesuatu yang menyenangkan untuk dilakukan dan sesuatu yang
menghibur. Permainan menjadi menarik sebab didalamnya ada unsur kompetisi, ada
keragu-raguan karena kita tak tahu sebelumnya siapa yang akan menang dan kalah.
2) Permainan memungkinkan adanya partisipasi aktif dari siswa untuk belajar. Seperti kita
ketahui, belajar yang baik adalah belajar yang aktif. Permainan mempunyai kemampuan
untuk melibatkan siswa dalam belajar secara aktif. Dalam kegiatan belajar yang
menggunakan permainan, peranan guru atau tutor tidak kelihatan tetapi interaksi antar
siswa atau warga belajar menjadi lebih menonjol. Disini setiap siswa/warga belajar
menjadi sumber belajar bagi sesamanya. Seringkali masalah-masalah yang mereka
13. 27
hadapi mereka pecahakan sendiri terlebih dahulu. Bila mereka tidak bisa baru
menanyakannya pada guru/tutor. Karena interaksi seperti ini mereka jadi mengetahui
kekuatan masing-masing dan dapat memanfaatkannya. Guru dan tutor dapat benar-benar
berperan sebagai fasilitator proses belajar di kelompok belajar.
3) Permainan dapat memberikan umpan balik langsung. Umpan balik secepatnya atas apa
yang kita lakukan akan memungkinkan proses belajar jadi lebih efektif. Umpan balik
tersebut akan memberitahukan apakah yang kita lakukan tersebut benar, salah,
menguntungkan ataukah merugikan. Bila memberikan hasil positif tindakan hasil
tersebut/serupa bisa dilakukan namun bila hasilnya negatif tentu saja patut dihindari.
Setiap siswa atau warga belajar tidak hanya belajar dari penglamannya sendiri tetapi juga
dari pengalaman orang lain.
4) Permainan memungkinkan penerapan konsep-konsep ataupun peran-peran ke dalam
situasi dan peranan yang sebenarnya di masyarakat. Keterampilan yang dipelajari lewat
permainan jauh lebih mudah untuk diterapkan ke kehidupan nyata sehari-hari daripada
keterampilan-keterampilan yang diperoleh lewat penyampaian pelajaran secara biasa.
Hal ini disebabkan oleh uraian di bawah ini.
a. Permainan memberi kesempatan kepada siswa dan warga belajar untuk
mempraktikkan tingkah laku yang nyata, tidak hanya mendiskusikannya.
b. Tidak sulitnya mengaitkan permainan ke situasi setempat membuat penglihatan
dari apa yang telah dipraktikkan di situ kehidupan nyata lebih gampang.
5) Permainan bersifat luwes. Salah satu sifat permainan yang menonjol adalah
keluwesannya. Permainan dapat dipakai untuk berbagai tujuan pendidikan dengan
14. 28
mengubah sedikit-sedikit alat, aturan maupun persoalannya. Permainan dapat dipakai
untuk:
a. Mempraktikkan keterampilan membaca dan berhitung sederhana. Tujuan tujuan
pemberantasan buta aksara dan buta angka untuk orang dewasa atau pelajaran
membaca menulis permulaan serta matematika adalah yang paling lazim
dikaitkan dengan permainan;
b. Mengajarkan sistem sosial dan sistem ekonomi. Dengan permainan, siswa atau
warga belajar dapat dilatih berbagai kemampuan membuat keputusan seperti
misalnya merencanakan, mengorganisasikan informasi, dan sebagainya.
c. Membantu siswa atau warga belajar menignkatkan kemampuan komunikatifnya:
memahami pendapat orang lain, memimpin diskusi kelompok yag efektif dan
sebagainya.
d. Membantu siswa atau warga belajar yang sulit belajar dengan metode tradisional.
Keluwesan tersebut berarti dapat mengdaptasikan permainan ke kondisi-kondisi
khusus yang ada.
6) Permainan dapat dengan mudah dibuat dan diperbanyak. Membuat permainan yang baik
tidak memerlukan seorang yang ahli. Guru/ tutor ataupun siswa/warga belajar sendiri
dapat membuatnya. Bahan-bahannya pun tidak perlu mahal-mahal, bahan-bahan bekas
pun dapat dipakai. Malahan banyak permainan yang tidak memerlukan bahan sama
sekali. Mahalnya bahan atau biaya membuat permainan bukanlah ukuran baik jeleknya
suatu permainan.
Dobson dalam Karyani (2009:34) menjabarkan permainan bahasa yang bagus adalah:
a. Sedikit perlengkapan atau tidak adanya persiapan yang berlebihan.
15. 29
b. Mudah memainkannya.
c. Tidak memerlukan ruangan yang besar selama pelaksanaan permainan.
d. Menghibur siswanya tetapi tidak menyebabkan kelas diluar pengawasan.
e. Tidak membutuhkan banyak waktu.
Berdasarkan penjelasan mengenai permainan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa
permainan dapat menjadi alternatif metode pembelajaran yang efektif dan menyenangkan karena
selain memiliki tujuan dan terstruktur, permainan juga tidak membuat siswa mudah bosan.
2.6 Permainan Octagon Board
Permainan Octagon Board adalah permainan yang menggunakan papan segi delapan
dilengkapi dengan delapan buah gambar dan empat buah pertanyaan di tengah-tangah. Gambar-
gambar tersebut disesuaikan dengan kompetensi dasar siswa.
Permainan ini membantu siswa meningkatkan kemampuan mengingat kosakata dengan
cara mendeskripsikan kata-kata tertentu. Seperti yang dikemukakan oleh Sartinah dalam Devi
(2009:26)“biasanya benda-benda atau gambar-gambar diperlihatkan dengan tujuan menerangkan
arti kata-kata baru berupa terjemahan agar siswa lebih lama mengingat artinya, karena apa yang
ditangkap dengan indera visual disertai dengan indera aural menyebabkan retensi yang lebih kuat
daripada hanya diterangkan dengan terjemahannya saja”. Selain itu permainan ini dapat melatih
keterampilan berbicara siswa, membaca huruf hiragana dan mengingat struktur kalimat tertentu.
Namun penelitian ini lebih menekankan peningkatan mengingat kosakata tertentu, sehingga
aspek-aspek kemampuan berbahasa lainnya tidak terlalu diperhatikan.
Berdasarkan penjelasan tersebut mengenai pengertian permainan Octagon Board, dapat
penulis simpulkan bahwa permainan Octagon Board merupakan salah satu alternatif media
pendidikan yang dapat digunakan dalam pengajaran kosakata.
16. 30
2.6.1 Teknik Permainan Octagon Board
Dalam permainan ini guru harus menyiapkan beberapa papan oktagon yang berisi gambar
dan pertanyaan dengan tema-tema tertentu. Pemberian tema yang berbeda-beda ini dimaksudkan
agar siswa bisa mengingat kosakata lebih banyak dan dapat mengklasifikasikan beberapa buah
gambar dalam tema tenrtentu.
Dalam penelitian ini tema yang digunakan adalah kendaraan, aktivitas, tempat umum,
dan arah. Tema-tema tersebut dipilih berdasarkan materi yang sedang dipelajari oleh siswa atau
sampel penelitian.
Papan oktagon memiliki ruas-ruas yang berisi gambar-gambar yang dapat memudahkan
siswa memvisualisasikan kosakata tertentu. Papan ini dapat diputar sehingga membantu siswa
dalam menentukan gambar yang akan digunakan untuk percakapan. Ketika permainan
berlangsung, guru tidak banyak berperan dalam proses pembelajaran, karena siswa hanya
dituntut untuk berinteraksi langsung dengan pemain lain.
2.6.2 Langkah-Langkah Permainan Octagon Board
a. Persiapan
1. Menentukan materi yang akan dijadikan bahan pembelajaran dalam kegiatan belajar
mengajar.
2. Menyiapkan gambar dan pertanyaan sesuai kosakata yang dijadikan bahan pembelajaran
dan memasangnya pada papan oktagon.
b. Pelaksanaan Permainan
1. Guru membagi para siswa menjadi beberapa kelompok. Satu kelompok terdiri dari empat
siswa. Siswa boleh menentukan sendiri teman-teman dalam kelompoknya.
17. 31
2. Siswa menentukan urutan pemain pertama, kedua, dan selanjutnya.
3. Pemain pertama memutar papan untuk menentukan gambar yang dia inginkan untuk
melakukan dialog sederhana dengan pemain kedua. Dialog yang digunakan berdasarkan
pada kotak pertanyaan pertama.
4. Setelah dialog antara pemain pertama dan kedua selesai, kemudian pemain kedua
mendapatkan kesempatan untuk memilih gambar dan melakukan dialog dengan pemain
ketiga seperti yang telah dilakukan oleh kedua pemain sebelumnya. Begitupun pemain
selanjutnya hingga pemain keempat berdialog dengan pemain pertama.
5. Setelah semua kosakata dalam satu papan disebutkan oleh semua pemain, kelompok
tersebut boleh bertukar papan oktagon dengan kelompok lain yang berisi tema yang
berbeda.
c. Evaluasi
Setiap akhir pembelajaran, guru memberikan tes lisan mengenai kemampuan kosakata yang
telah dipelajari.
2.7 Hasil penelitian terdahulu
Metode permainan Octagon Board merupakan hasil karya seorang guru Bahasa Inggris
SMPN 2 Bumiayu yang bernama Lis Gunarto Pujihartono. Penelitian dilakukan di SMP Negeri 2
Bumiayu Brebes, pada semester 2 tahun pelajaran 2003/2004 di kelas 2, jumlah siswa 46 ( 22
laki-laki dan 24 perempuan) dengan latar belakang kompetensi komunikatif yang rendah. Hal ini
dibuktikan dengan nilai rata-rata Ulangan Harian I sebesar 5,80 belum mencapai 6,00.
Setelah siswa diberikan treatmen berupa pembelajaran dengan media Octagon Board, dapat
disimpulkan bahwa:
18. 32
1. Strategi pembelajaran melalui permainan Octagon Board dapat berjalan lancar sesuai
rencana, dan terbukti meningkatkan kompetensi Bahasa Inggris siswa, ditunjukkan
dengan hasil pengamatan dan penilaian yang mengalami peningkatan.
2. Permainan Octagon Board dapat meningkatkan rasa senang, motivasi belajar dan prestasi
belajar siswa, ditunjukkan dengan nilai rata-rata Ulangan Harian 2 sebesar 6,27 dan nilai
rata-rata Ulangan Harian 3 sebesar 6,75.
3. Proses tanya jawab dan komunikasi berjalan lancar, ditunjukkan dengan prosentase
komunikasi pada tahap 2 dan partisipasi aktif siswa yang menunjukkan angka 100 %.
Siswa dapat mengekspresikan gagasan, pendapat dan pikirannya secara tertulis dengan
baik, ditunjukkan dengan nilai hasil karya siswa rata-rata 74, dengan kategori baik
‘Good’. Lis Gunarto P. (2004:32)