1. REFORMASI KEBIJAKAN SUBSIDI BBM
Oleh Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI*
Jika tak ada aral melintang, pemerintah akan segera mengeluarkan kebijakan subsidi tetap BBM
bersamaan dengan pengumuman penyesuaian harga. Premium yang saat ini dijual Rp8.500/liter dan solar
seharga Rp7.500/liter, diprediksi akan disesuaikan hingga mencapai harga keekonomiannya. Dengan
asumsi penggunaan 50 juta kiloliter (kl) dan anggaran subsidi Rp50 triliun di tahun 2015, maka diyakini
harga premium dapat berkisar hingga Rp6.085/liter. Itu artinya pemerintah kembali mengulangi kebijakan
yang pernah diambil di tahun 2008, ketika dalam periode tahun yang sama memberlakukan kebijakan
menaikkan sekaligus menurunkan harga BBM bersubsidi. Keleluasaan pemerintah dalam mengatur harga
BBM bersubsidi di tahun 2014 ini tak lepas dari stabilitas harga minyak internasional serta ketepatan
pemerintah dalam mengambil kebijakan di bulan November yang lalu. Meskipun awalnya diprediksi
tidak memberikan dampak yang signifikan dalam menahan laju konsumsi BBM masyarakat, namun
faktanya kenaikan harga sebesar 30% tersebut justru mampu memberikan kondisi surplus kuota subsidi
BBM hingga akhir tahun 2014 ini, sesuatu yang baru terjadi dalam kurun waktu 8 tahun terakhir.
Dilihat dari sejarah, dari tahun 2007 hingga 2013, pemerintah selalu mengalami over kuota BBM
bersubsidi. Di tahun 2007, besaran kuota premium ditetapkan sebesar 16,58 juta kl sementara solar 9,87
juta kl dengan realisasi mencapai 17,92 juta kl dan 10,88 juta kl. Sementara di tahun 2010, besaran kuota
premium naik menjadi 21,45 juta kl sementara solar 11,20 juta kl dengan realisasi sebesar 22,93 juta kl
dan 12,94 juta kl. Tahun 2013 yang lalu, over kuota kembali terjadi untuk premium dengan realisasi 24,92
juta kl dari kuota 29,29 juta kl serta solar dengan realisasi 15,88 juta kl dari kuota 14,28 juta kl. Khusus
untuk tahun ini, menurut data PT. Pertamina, realisasi BBM bersubsidi hingga 18 Desember 2014
mencapai 45,2 juta kl atau lebih kecil dari besaran kuota dalam APBN-P 2014 sebesar 46 juta kl. Itu
artinya masih ada surplus 1,7% atau sekitar 800 ribu kl. Yang masih menjadi persoalan adalah realisasi
solar yang tetap mengalami over kuota, sehingga alternatif kebijakan yang akan diambil hingga akhir
tahun adalah sistem subsidi silang dari dana surplus premium.
2. KOMENTAR
Kenaikan dan penurunan harga bbm tentunya akan dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan
tertentu sehingga rakyat tidak merasa terbebani dengan kebijakan yang di lakukan oleh pemerintah,
karena pada dasarnya kebijakan untuk menaikan harga bbm tentu akan sangat berpengaruh terhadapa
kegiattan perekonomian rakyat karena rakyat sangat bergantung terhadap bbm. Jika harga bbm naik tetntu
akan di barengi dengan naiknya bahan kebutuhan pokok sehingga membuat rakyat menjadi kesulitan
didalam menjalankan perekonomian.
Jika harga bbm mengalami penurunan namun sebelum nya harga mengalami kenaikan lebih dulu
tentunya harga kebutuhan bahan pokok tidak serta merta langsung mengikuti penurunan harga, nah disini
peran pemerintah sangat diperlukan untuk menstabilkan harga kebutuhan pokok agar masyarakat tidak
tercekik dengan harga kebutuhan yang terlalu tinggi.
Sebenarnya dengan adanya kenaikan dan penurunan harga bbm ini memiliki dampak baik dan
dampak buruknya, dampak baiknya yaitu untuk berikutnya jika harga minyak dunia kembali mengalami
kenaikan yang otomatis pemerintah juga akan menaikan harga bbm didalam negeri masyarakat tidak
terlalu kaget lagi karena pernah mengalami kenaikan harga sebelumnya. Adapun dampak buruk yang
terjadi dengan kenaikan harga bbm akan menyebabkan melambungnya harga bahan-bahan pokok yang
merupakan kebutuhan yang biasa digunakan oleh masyarakat sehingga tentunya akan menambah beban
mereka karena masyarakat akan melakukan pengeluaran yang besar. Dan penurunan harga bbm juga
harus dibarengi dengan penurunan harga pokok kebutuhan sehingga akan meringan kan beban dari
masyarakat.