Abortion pills in Muscat ( Oman) +966572737505! Get CYTOTEC, unwanted kit mis...
5. Pemimpin Dan Kepelbagaian
1. Empat hari lontang-lantung di sebuah pulau:
Pemimpin dan Kepelbagaian
Strategi buang hajat sampai mengejar kepiting
Dengan gamang, aku membuang hajat di pantai. Ternyata hal ini
membutuhkan kebijaksanaan dan strategi yang canggih. Terlalu
dekat dengan semak-semak, biawak dapat menyeruduk dengan
bergairah. Bila terlalu dalam di air, badan basah…dan ranjau
mengapung sekitar pusar. Melakukannya di pasir, koq mirip kura-
kura di pantai selatan. Selanjutnya, membersihkan diri dengan air
asin juga bukan suatu hal yang nikmat. Setelah usai dan
menyadari kelegaan adalah anugrahNya, aku berjalan
mengelilingi pantai dengan celana pendek saja sambil
merenungkan bahwa ada banyak kenyaman hidup di Jakarta yang
tidak kita sadari. Misalnya, closet duduk. We take it for granted
(kita menganggapnya sebagai hal yang sudah seharusnya ada).
Selama empat hari kami luntang-lantung di pulau Damar. Dari
kejauhan gelombang menampar tepian pulau dengan suara
gemuruh. Perahu-perahu nelayan berbaris di tepian yang agak
tenang menghindari gelombang 3 meteran. Sementara angin
bertiup tanpa ampun. Mulanya kami ragu kalau-kalau kepergian
kami tidak akan berhasil, Agus, Giarso, Topo, Vivi, Akel, Ihud,
Tommy, Tova, Matias, Heidi, Marsiana, Andreas dan badan tuaku.
Aku hadir terutama karena butuh mensurvey pulau ini sebagai
2. lokasi pelatihan kepemimpinan bagi para calon rohaniwan di
bulan April yang menjadi pekerjaanku secara berkala.
Pertanyaan besar yang kucari jawabnya adalah “Mungkinkah
sekelompok orang yang biasa hidup nyaman dan aman jadi
terlatih mengembangkan sikap kepemimpinan yang pantang
menyerah, saling menghargai kepelbagaian dan saling membantu
di dalam konteks pulau yang terpencil? Ataukah justru sifat
terburuk mereka akan mencuat ke permukaan ketika badan lelah,
bau, dan terpencil sehingga mereka menjadi egois?
Selama melakukan survey, kudapatkan bahwa biota laut memang
memukau. Tepian pulau ini dihuni kerang-kerang kecil, anemone,
dan berbagai mahluk yang dapat dimakan. Sementara itu Akel
muncul di kemahku dengan menenteng kunyit, kencur, pisang, dan
berbagai temuannya. Vivi, sebagai mahasiswa kedokteran
ternyata lebih senang menelusuri pedalaman pulau sendirian. Ia
menemukan sebuah benteng kuno yang memang pernah kudengar
namun gagal menemukannya karena sangat tersembunyi. Aku
lebih terkejut ketika Giarso membawakan sebungkus kerang yang
sudah dimasak dengan bumbu kuning. Ternyata, ia bercakap-
cakap dengan nelayan yang sedang berlabuh dan hasilnya adalah
makanan yang bergizi.
Di hari ketiga, Andreas, Tommy dan Matias meluncur turun dari
puncak mercu suar dengan tali. Entah bagaimana cara mereka
memasang alat itu di tengah angin kencang. Sementara itu
Marsiana mengelilingi pulau dan mengejar kepiting-kepiting kecil.
Satu sama lain saling membantu walaupun terkadang saling
mencuri alat-alat masak.
3. Apa yang kudapatkan dari pulau itu? Pertama, wajahku menghitam dan
completely tanned (matang lengkap) seperti surfer. Maklumlah, Coconut
Brand Sun Protector terlalu mahal. Kedua, ternyata manusia cukup
adaptif dan dapat hidup dalam kondisi yang jauh lebih sederhana
daripada yang ia perkirakan. Setelah hari ke tiga, buang hajat di laut tidak
jadi keanehan seakan aku sudah terbiasa melakukan hal itu sejak kecil,
dan tidak berganti pakaian bukan masalah karena angin keras menyapu
bau badan. Ketiga, hal yang terpenting adalah kini kusadari bahwa
kelompok yang luntang-lantung di pulau itu terdiri dari orang-orang yang
sangat berbeda. Ada yang berbadan tegap dan kekar, namun sangat
takut hantu. Ada yang sesekali menghilang membaca buku di tepi pantai
sendirian, mengabaikan teman-teman yang membelah kayu bagi makan
malamnya. Adapula yang tidur pada jam 8 malam dan bangun jam 4 pagi,
sedangkan yang lain tidur pada jam 12 malam dan bangun pada jam 7
pagi. Ada pula yang takut air dan ada yang takut menggunakan wc alam.
Perbedaan ini tidak menjadi masalah. Justru, semua teman-teman
memberikan kontribusi yang berguna. Tanpa Akel, makanan akan terus-
menerus terasa hambar. Tanpa Topo kami tidak akan mendapatkan
lokasi perkemahan yang cocok dan seterusnya. Kalau kupikir-pikir,
perananku sendiri tidak sebesar mereka. Aku masak seadanya. Cuci
4. piring sesekali. Merapihkan tenda juga bukan minatku. Tapi mereka
memperlakukanku sebagai pimpinan. Mengapa? Pertama, ide gila untuk
keluyuran dan mengasingkan diri di pulau ini memang dating dari diriku.
Butuh waktu juga untuk meyakinkan mereka tentang kegunaannya.
Kedua, terus menerus aku berupaya menyentuh hati mereka. “Kamu
memang kreatif.” Atau, “Kalau kita mengalami perang dunia ketiga, kamu
orang yang pasti bertahan hidup…” Ketiga, aku juga mengingatkan
mereka dengan cerita-cerita yang pada dasarnya menyampaikan satu hal
“Manusia yang tidak terikat pada kenyamanan, berarti sudah mulai
membebaskan batinnya dari keterikatan apapun.” Tidak jarang juga
kukatakan “Lihat, orang kaya membayar 300 dolllar per hari untuk tinggal
di pulau seperti ini, jadi kita tidak perlu menjadi kaya terlebih dulu untuk
dapat menikmati hidup.” Mereka menyimak dan membahas hal-hal itu.
Menjadi pemimpin di tengah pulau
Jadi, aku belajar bahwa untuk menjadi pemimpin tidaklah berarti kita
harus mengumpulkan orang-orang yang sejenis dengan diri kita, atau
orang yang seragam. Justru kepelbagaian membawa hal yang tidak
terduga dan kontribusi yang unik. Pemimpin pun dapat belajar dari
mereka.
Selanjutnya, aku jadi menyadari bahwa kekuatan seorang pemimpin
justru terletak pada kemampuannya menyatukan visi dari mereka yang
5. berbeda-beda tadi serta merumuskan nilai bersama. Kekuatan pemimpin
tidak terletak pada berapa banyak yang ia miliki sendiri, namun berapa
kuatnya ia mengenali kekuatan orang-orang yang berbeda-beda
disekitarnya serta kemampuan menyatukannya. Hal ini tidak selalu
mudah, karena dalam kesengsaraan di pulau inipun, beberapa orang
mulai menilai orang lain secara negatip. Entah itu suatu kebiasaan
menahun dari mereka sebagai akibat pola asuh yang salah, atau karena
tidak tahan kesusahan.
Aku jadi teringat kata-kata Jesse Jackson, pemimpin dari Rainbow
Coalition mengatakan dengan tegas bahwa “Leadership has a harder jobLeadership has a harder job
to do than just choose sides. It must bring sides together.”to do than just choose sides. It must bring sides together.”
Cara praktis membangun
Banyak orang mengatakan kepelbagaian sulit dijadikan model untuk
melakukan tindakan nyata. Tidakkah semakin berbagai orang yang
terlibat, semakin sulit bekerja dalam satu hati dan satu roh? Tidakkah
akan banyak waktu terbuang sekedar untuk membuat landasan kerja
sama?
6. Memang ada pemimpin-pemimpin yang tidak memiliki kepekaan akan
kepelbagaian. Ketika melatih sekumpulan siswa-siswi Tionghoa dari
Jakarta, salah seorang pelatih kepemimpinan kami disapa dengan nama
Koh Arif. Pelatih yang berasal dari persilangan bapak Sunda dan ibu
Padang ini tentu tersipu-sipu. Aneh juga, padahal kulitnya hitam,
rambutnya keriting dan tidak ada ciri yang mirip dengan orang Tionghoa.
Haiya… Calon-calon pemimpin yang tidak peka ini perbedaan yang ada,
dan tentu kikuk atau bahkan mudah berbuat salah dalam kondisi
lingkungan multi etnis.
Selanjutnya, ada pemimpin-pemimpin yang mengenali perlunya
kepelbagaian, namun di lubuk hati mereka terdalam, apa yang berbeda
dengan latar belakang dirinya dianggap lebih berkualitas rendah. Itulah
sebabnya timbul prasangka rasial seperti, bahwa “Hoa Nah (sebutan bagi
pribumi) pasti malas dan culas, Teng Lang (Tiong Hoa) pasti cerdas,
pekerja keras dan lihai,” Orang India dianggap pasti rewel dan kemlinthi.
Orang-orang serupa ini tidak menyadari bahwa di tengah mereka yang
disebutnya Hoa Nah terlahir ki Hadjar Dewantara, Sukarno, atau Raden
Saleh. Mereka juga mendiskon fakta bahwa di tengah Teng Lang terdapat
Yap Tiam Hin dan Arif Budiman. Juga tentunya mereka lupa bahwa
Gandhi adalah bukan orang Kamboja.
7. Hal itu juga yang membuat timbulnya prasangka agama yang konon kini
menjadi dagangan beberapa politisi. Contohnya, kecurigaan bahwa orang
Kristen pasti ingin mendominasi, atau orang Islam dianggap selalu dekat
pada kekerasan sering dijadikan dagangan para pengkotbah atau politisi
tertentu. Dunia memang penuh dengan hal itu, misalnya, karena Amerika
memiliki Holywood dan umumnya orang Amerika beragama Kristen, maka
dianggaplah bahwa orang Kristen pasti menghalalkan sex bebas.
Jenis pemimpin ketiga adalah mereka yang sudah mampu hidup dalam
kepelbagaian, namun masih lebih menyukai berada di kalangan yang
homogen. Orang-orang serupa ini berbisnis atau berkarir bersama orang
yang berbeda-beda, namun mereka lebih suka berkecimpung dan menjadi
excellent di dalam kalangannya sendiri.
Jenis pemimpin terakhir adalah mereka yang dapat memimpin dan
menikmati manusia yang berbagai-bagai karena mereka melihatnya
sebagai suatu pelangi, atau sekumpulan biota laut, atau pohon yang
berbeda-beda dari hutan yang sama. Mereka yakin, bahwa memang Yang
Maha Kuasa mendesain hidup penuh dengan kepelbagaian dan seorang
pemimpin harus belajar dan mencari makna kepelbagaian itu.
Yang mana Anda?
8. Pelbagai dalam gaya, nilai atau visi?
Kepelbagaian tidak berarti setiap orang dapat berbuat semau-maunya
atas nama keunikan masing-masing. Di pulau Edam, tidak berarti dengan
adanya kepelbagaian, maka ada orang yang boleh makan 3 porsi
sekaligus sedangkan temannya belum makan sejak pagi. Tidak boleh
juga seseorang memasuki kamar mandi yang sedang dihuni lawan jenis.
Atau, seseorang keluyuran di pantai tanpa busana demi kebebasan hati
dan kedekatan dengan alam yang diidamkannya
Di pihak lain tidak berarti kepelbagaian harus dilebur menjadi suatu
keseragaman, baik pakaian, jam buang hajat, jenis makanan yang
disantap, atau cara bicara. Bayangkan kalau di pulau itu diharuskan
bahwa setiap peserta harus mengenakan cadar, sepatu bot, dan berdoa
12 kali sehari…. Dalam waktu pendek, terjadi keributan.
Seharusnya dalam kepelbagaian, harus ada hal-hal yang dijadikan
kesepakatan bersama, ada yang dianggap bebas untuk dicobakan, dan
ada juga hal-hal yang masih terus diteliti kegunaannya. Di pulau terjadi
kesepakatan bahwa persediaan makanan harus digunakan secara hemat.
Kemudian, disepakati pula bahwa keselamatan dalam berlatih menjadi
9. nilai utama. Sisa aturan dapat diterapkan masing-masing kelompok
selama dikomunikasikan terlebih dulu.
Disinilah kelebihan lingkungan kepelbagaian. Orang harus terus berbicara
satu sama lain untuk mendapatkan kesepakatan. Keharusan ini
membuat orang terus menerus belajar.. suatu tantangan yang secara
sistemik membuat tiap orang terus meneliti dirinya dan mengamati orang
lain secara akurat. Hasilnya adalah kesepakatan untuk visi bersama dan
apa yang dianggap bernilai bersama. Kesempatan dan dorongan seperti
ini tidak akan muncul secara sistemik dalam lingkungan yang homogen
atau lingkungan yang menekankan keseragamann. Dalam lingkungan itu,
orang cenderung membentuk ruang nyaman yang diasumsikan terbaik
untuk mereka, padahal menjadi tembok yang mengasingkan mereka dari
dunia yang nyatanya Tuhan buat dengan penuh kepelbagaian.
Jadi?
Aku yakin bahwa menjadi orang yang menyukai kepelbagaian adalah
perjalanan spiritual bagi seorang pemimpin. Ia harus mulai belajar peka,
belajar berkecimpung di dalam kepelbagaian, dan akhirnya belajar
merenungkan makna apa yang Tuhan letakkan dalam konteks yang
penuh kepelbagaian itu.
10. Nyatanya, kita suka atau tidak, kepelbagaian akan terus bertambah. Hal
ini menjadi bagian dari desain hidup yang Sang Pencipta sediakan.
Kristus juga memilih murid-murid dari kalangan yang beragam dalam
orientasi politis, status social atau kepribadian mereka. Sangat berbagai-
bagai. Lebih memusingkan kepala tentunya karena Ia harus berurusan
dengan manusia yang temperamental seperti Petrus, yang kritis seperti
Tomas, atau Yudas yang penuh kalkulasi.
Sayang sekali di jaman kini, kepelbagaian di antara orang yang beriman
sama saja sudah menimbulkan prasangka, penghakiman, dan kebencian
yang dalam. Apalagi kepelbagaian di antara orang yang imannya serupa
(misalnya, Protestan dan Katholik) dan orang yang imannya sama sekali
berbeda kalau tidak bertentangan.
Apakah pemimpin yang menghargai dan menyukai kepelbagaian
menjadikan hal-hal yang paling mendasar suatu hal yang direlatifkan
saja? Tidak. Justru kepelbagaian membuat orang memeriksa dan
menyadari hal-hal nti dari jati diri dan imannya yang tidak dapat
dinegosiasikan. Kemudian mereka akan tiba kesadaran bahwa ada hal-
hal yang sekunder dan dapat dinegosiasikan atau direlatifkan.
Sulit bukan… tidakkah lebih mudah semua hal diseragamkan? Sayang
sekali, bukan itu dunia yang Tuhan buat. Taman Edenpun dimulai
dengan pohon yang beragam dan binatang yang saling berbeda.
11. Bahkan manusia yang dijadikannya sangat berbeda. Jadi, mereka yang
mengidamkan keseragaman, diam-diam sebenarnya sudah membuat
taman Edennya sendiri dengan satu jenis pohon (misalnya, pisang),
satu jenis binatang (misalnya, domba) serta Adam dan Habil sebagai
manusia pertama… duh, ampuun, jadi apa kita?