SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 16
Tentang Sumber-Sumber Pengetahuan: Antara Barat
dan Islam
Di 1 dalam November 17, 2008 pada 6:46 am

Perjumpaan antar peradaban merupakan sesuatu yang niscaya dalam era globalisasi. Setiap
peradaban membawa cara pandangnya masing-masing. Cara pandang yang kemudian
dipengaruhi—dan berpengaruh kepada—banyak hal, diantaranya sikap ilmiah. Peradaban Islam
misalnya, yang cara pandang dan pola hidupnya dipengaruhi oleh wahyu.
Dalam konteks ilmiah, Islam yang disokong oleh wahyu tentu akan memiliki sikap yang berbeda
dengan peradaban Barat yang memandang wahyu sebagai sesuatu yang tidak saintifik. Dalam
tataran epistemologis, perbedaan cara pandang ini jelas terlihat ketika dihadapkan pada persoalan
sumber-sumber pengetahuan. Makalah sederhana ini mencoba membandingkan pandangan Barat
dan Islami menyangkut sumber-sumber pengetahuan manusia.


Pandangan-Pandangan Barat Tentang Sumber Ilmiah

Dalam sejarah filsafat Barat, sekurang-kurangnya terdapat empat kecenderungan besar dalam
menyikapi proses ilmiah; yakni tentang sumber ilmu pengetahuan. Keempat aliran itu adalah:
rasionalisme, empirisisme, kritisisme, dan intuisionisme. Kemunculan aliran rasionalisme
biasanya dikaitkan filosof abad ke-17 dan 18, seperti Rene Descartes, Baruch Spinoza, dan
Gottfried Leibniz, walaupun sebenarnya akar dari pemikiran ini dapat dilacak sampai filsafat
Yunani. Paham ini berpendapat bahwa pada hakikatnya ilmu itu bersumber dari akal budi
manusia. Dalam penjelasannya, Descartes mengatakan bahwa dalam jiwa manusia terdapat ide
bawaan (innate ideas) yang dinamakan substansi yang sudah tertanam. Lebih lanjut Descartes
menyebut tiga hal yang disebut sebagai ide bawaan; pemikiran, Tuhan, dan keluasan (ekstensi).
Adapun ilmu-ilmu lain yang dicapai manusia pada hakikatnya adalah derivasi dari ketiga prinsip
dasar tersebut. Menurut aliran ini sumber ilmu adalah akal melalui deduksi ketat seraya
mengabaikan pengalaman. Hal ini, menurut mereka, karena ilmu adalah sesuatu yang sudah
„built in‟ dalam jiwa manusia dan tugas kita adalah mencapainya melalui deduksi. Karenanya,
ilmu yang dihasilkan oleh aliran ini—biasanya dianggap—bersifat universal.
Mazhab kedua adalah empirisisme yang menekankan pentingnya pengalaman sebagai sarana
pencapaian pengetahuan. Aliran ini dipelopori oleh Francis Bacon, sekalipun dalam pengertian
tertentu pemikiran yang mengutamakan pendekatan empirik dapat terlacak pula dalam filsafat
Yunani. Puncak pemikiran aliran ini terdapat pada pemikiran David Hume yang dalam karyanya
A Treatise of Human Nature mengupas persoalan-persoalan epistemologis penting. Berbanding
terbalik dengan rasionalisme, mazhab ini, seperti yang dijelaskan oleh Hume, mengatakan bahwa
seluruh isi pemikiran manusia berasal dari pengalaman, yang kemudian diistilahkan dengan
persepsi. Persepsi, kemudian, dibagi menjadi dua macam, yaitu kesan-kesan (impressions) dan
gagasan (ideas). Yang pertama adalah persepsi yang masuk melalui akal budi, secara langsung,
sifatnya kuat dan hidup. Yang kemudian adalah persepsi yang berisi gambaran kabur tentang
kesan-kesan. Derivasi ilmiah yang diakui oleh aliran ini adalah induksi terhadap fakta-fakta
empiris. Tapi hal ini tidak berarti mereka mengklaim univesalitas induksi. Alih-alih, mereka
justru menekankan keterbatasan induksi yang hal ini berarti mereka menolak generalisasi.
Aliran ketiga adalah kritisisme yang merupakan usaha untuk menyintesiskan dua kutub ekstrim
sebelumnya; rasionalisme dan empirisisme. Tokoh utama aliran ini adalah Immanuel Kant.
Pemikiran yang disampaikan oleh Kant berusaha untuk mengakhiri perdebatan yang terjadi
tentang objektivitas pengetahuan antara rasionalisme Jerman, yang diwakili Leibniz dan Wolff,
dan Empirisisme Inggris. Dalam usahanya, Kant berusaha menunjukkan unsur mana saja dalam
pikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur mana yang berasal dari akal. Berbeda
dengan aliran filsafat sebelumnya yang memusatkan perhatian pada objek penelitian, Kant
mengawali filsafatnya dengan memikirkan manusia sebagai subjek yang berpikir. Dengan
demikian fokus perhatian Kant adalah pada penyelidikan rasio manusia dan batas-batasnya.
Kecenderungan berbeda pada mazhab keempat, yakni intuisionisme. Aliran ini dimulai oleh
Henry Bergson. Jika ketiga aliran sebelumnya menekankan pentingnya akal dalam mencapai
pengetahuan, aliran ini justru mementingkan intuisi. Penekanan terhadap intuisi ini tidak berarti
bahwa mereka menafikan sama sekali peran akal dan indera. Mazhab ini menyatakan bahwa
pengetahuan yang diperoleh melalui penghayatan langsung lebih superior dan sempurna. Secara
epistemologis, pengetahuan melalui intuisi ini diperoleh melaui pe‟rasa‟an langsung (dzawq)
mengenai hakikat sebuah objek, bukan aspek lahiriah dari objek itu. Henry Bergson membagi
pengetahuan menjadi dua macam; „pengetahuan mengenai (knowledge about)‟ dan pengetahuan
tentang (knowledge of). Yang pertama bersifat diskursif-simbolis, sementara yang kedua bersifat
langsung.

Perspektif Islam

Bahwa ada persamaan penting antara Barat dan Islam tidaklah dapat disangkal. Hal ini misalnya
dalam hal sumber dan metode pengetahuan; yang meliputi cara mengetahui rasional-empiris;
gabungan antara realisme, idealism, dan pragmatisme sebagai dasar kognitif filsafat ilmu; dan
filsafat dan sains tentang proses. Tapi persamaan ini hanya terkait dengan aspek-aspek eksternal
dan tidak menafikan, sama sekali, perbedaan-perbedaan mendasar yang timbul dari perbedaan
cara-pandang dan pemahaman tentang Realitas. Keimanan muslim terhadap Wahyu sebagai
sumber pengetahuan tentang realitas akhir dan kebenaran tentang makhluk dan Sang Pencipta
memungkinkan pembentukan kerangka metafisik untuk pengelaborasian filsafat ilmu integral
yang menjelaskan realitas dan kebenaran yang tidak memungkinkan keterlibatan metode-metode
rasionalisme filosofis dan empirisisme filosofis dari filsafat dan sains modern.
Berlawanan dengan pandangan filsafat dan sains modern, dalam Islam, ilmu berasal dari Tuhan
dan diperoleh melalui indera yang sehat, berita yang benar (khabar shadiq) berdasar otoritas, akal
sehat, dan intuisi. Indera yang sehat merujuk pada persepsi dan observasi, yang, hal ini,
mencakup panca indera luar dan panca indera dalam. Akal sehat yang dimaksud disini tidaklah
terbatas pada elemen-elemen sensibel saja; atau fakultas mental yang mensistematisasi dan
menafsirkan fakta dari pengalaman inderawi menurut susunan logis; atau fakultas yang
memahami data dari pengalaman inderawi; atau yang mengabstraksi fakta dan data inderawi
serta hubungannya; dan yang mengatur itu semua menjadi sesuatu yang bisa dipahami. Akal
sehat adalah semua hal diatas yang berfungsi secara harmonis dan tidak bertentangan. Akal
(intellect) adalah substansi spiritual yang inheren dengan organ spiritual yang kita sebut hati,
yang berfungsi menerima pengetahuan intuitif. Dengan demikian akal dan intuisi saling
berhubungan.
Karena itu, berbeda dengan yang dipahami dalam peradaban Barat, intuisi bukan sekedar
pemahaman langsung, oleh subjek, tentang dirinya; kesadarannya; „diri‟ lain selain dirinya;
„dunia luar‟ (external world), yang universal, nilai-nilai, dan kebenaran rasional. Disamping
semua itu, intuisi, juga, adalah pemahaman langsung tentang kebenaran-kebenaran agama,
realitas dan eksistensi Tuhan, realitas eksistensi-eksistensi sebagai kebalikan dari esensi; dan
karenanya, pada tingkatan yang lebih tinggi intuisi adalah intuisi tentang eksistensi itu sendiri.
Sedangkan berita yang benar (khabar shadiq) terbagi menjadi dua jenis. Berita yang dibawa oleh
orang banyak yang memustahilkan terjadinya kebohongan (khabar mutawatir) dan berita yang
disampaikan oleh RasuluLlah saw. Otoritas pada jenis yang pertama—yang memasukkan
kesepakatan ulama, ilmuwan, dan orang-orang terpelajar—dapat dipertanyakan dengan metode-
metode rasional dan eksperimen. Namun, otoritas jenis kedua adalah mutlak. Hal ini karena,
sebagaimana terdapat tingkatan pada rasio dan pengalaman, dalam otoritas pun terdapat
tingkatan. Dalam keyakinan muslim, otoritas tertinggi adalah Al-Quran dan Sunnah Nabi saw,
yang mencakup pribadinya. Dalam pengertian bahwa kedua bukan hanya menjelaskan
kebenaran, tapi keduanya adalah kebenaran itu sendiri yang merupakan representasi otoritas
berdasar tingkatan tertinggi intelektualitas, pencerapan spiritual dan pengalaman transendental,
sehingga keduanya tidak bisa direduksi pada tingkatan rasio dan pengalaman normal manusia.

Simpulan

Beberapa simpulan yang dapat dihasilkan dari uraian ringkas diatas diantaranya bahwa
penjelasan mengenai sumber pengetahuan dalam Islam lebih komprehensif dan menyeluruh;
bahwa sekalipun secara sepintas tampak ada persamaan-persamaan antara uraian filsafat Barat
dan Islam, namun hal itu tidak menegasikan perbedaan-perbedaan fundamental antar keduanya.
WaLlahu a‟lam

Bacaan

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Prolegomena to the Metaphysics of Islam. 2001. Kuala
Lumpur: ISTAC.
Muslih, Muhammad. Filsafat Ilmu. 2005. Jogjakarta: Belukar.

▶ Belum Ada Tanggapan


Filsafat ilmu merupakan suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah.

Filsafat ilmu adalah pembandingan atau pengembangan pendapat-pendapat masa lampau terhadap
pendapat-pendapat masa sekarang yang didukung dengan bukti-bukti ilmiah.

Filsafat ilmu merupakan paparan dugaan dan kecenderungan yang tidak terlepas dari pemikiran para
ilmuwan yang menelitinya.

Filsafat ilmu dapat dimaknai sebagai suatu disiplin, konsep, dan teori tentang ilmu yang sudah dianalisis
serta diklasifikasikan.

Filsafat ilmu adalah perumusan pandangan tentang ilmu berdasarkan penelitian secara ilmiah.
Inti sari filsafat ilmu




I. PEMBAGIAN PENGETAHUAN

Saat ini pembagian pengetahuan yang dianggap baku boleh dikatakan tidak ada yang memuaskan dan
diterima semua pihak. Pembagian yang lazim dipakai dalam dunia keilmuan di Barat terbagi menjadi dua
saja, sains (pengetahuan ilmiah) dan humaniora. Termasuk ke dalam sains adalah ilmu-ilmu alam
(natural sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences), dengan cabang-cabangnya masing-masing.
Termasuk ke dalam humaniora adalah segala pengetahuan selain itu, misalnya filsafat, agama, seni,
bahasa, dan sejarah.

Penempatan beberapa jenis pengetahuan ke dalam kelompok besar humaniora sebenarnya menyisakan
banyak kerancuan karena besarnya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu, baik dari segi
ontologi, epistemologi, maupun aksiologi. Kesamaannya barangkali terletak pada perbedaannya, atau
barangkali sekadar pada fakta bahwa pengetahuan-pengetahuan humaniora itu tidak dapat digolongkan
sebagai sains. Humaniora itu sendiri, pengindonesiaan yang tidak persis dari kata Inggris humanities,
berarti (segala pengetahuan yang) berkaitan dengan atau perihal kemanusiaan. Tetapi kalau demikian,
maka ilmu-ilmu sosial pun layak dimasukkan ke dalam humaniora karena sama-sama berkaitan dengan
kemanusiaan.

Perlu diketahui bahwa akhir-akhir ini kajian epistemologi di Barat cenderung menolak kategorisasi
pengetahuan (terutama dalam humaniora dan ilmu sosial) yang ketat. Pemahaman kita akan suatu
permasalahan tidak cukup mengandalkan analisis satu ilmu saja. Oleh karena itu muncullah gagasan
pendekatan interdisiplin atau multidisplin dalam memahami suatu permasalahan. Bidang-bidang kajian
yang ada di perguruan tinggi-perguruan tinggi Barat tidak lagi hanya berdasarkan jenis-jenis keilmuan
tradisional, tetapi pada satu tema yang didekati dari gabungan berbagai disiplin. Misalnya program studi
Timur Tengah, studi Asia Tenggara, studi-studi keislaman (Islamic studies), studi budaya (cultural
studies), dll.

Tema-tema yang dahulu menjadi monopoli satu ilmu pun kini harus didekati dari berbagai macam
disiplin agar diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif. Wilayah-wilayah geografis tertentu,
misalnya Jawa, suku Papua, pedalaman Kalimantan, atau Maroko dan Indian, yang dahulu dimonopoli
ilmu antropologi, kini harus dipahami dengan menggunakan berbagai macam disiplin (sosiologi,
psikologi, semiotik, bahkan filsafat).

Pendekatan interdisiplin ini pun kini menguat dalam kajian-kajian keislaman, termasuk dalam fikih.
Untuk menentukan status hukum terutama dalam permasalahan kontemporer, pemakaian ilmu fikih
murni tidak lagi memadai. Apalagi jika fikih dimengerti sebagai fikih warisan zaman mazhab-mazhab.
Ilmu-ilmu modern saat ini menuntut untuk lebih banyak dilibatkan dalam penentuan hukum suatu
masalah. Sekadar contoh, untuk menentukan hukum pembuatan bayi tabung, diperlukan pemahaman
akan biologi dan kedokteran. Untuk menghukumi soal berbisnis di bursa saham, ilmu ekonomi harus
dipahami. Dll.



II. TIGA ASPEK PENGETAHUAN

Ada tiga aspek yang membedakan satu pengetahuan dengan pengetahuan lainnya, yakni ontologi,
epistemologi, dan aksiologi.

1) Ontologi

Ontologi adalah pembahasan tentang hakekat pengetahuan. Ontologi membahas pertanyaan-
pertanyaan semacam ini: Objek apa yang ditelaah pengetahuan? Adakah objek tersebut? Bagaimana
wujud hakikinya? Dapatkah objek tersebut diketahui oleh manusia, dan bagaimana caranya?

2) Epistemologi

Epistemologi adalah pembahasan mengenai metode yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan.
Epistemologi membahas pertanyaan-pertanyaan seperti: bagaimana proses yang memungkinkan
diperolehnya suatu pengetahuan? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar
kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Lalu benar itu sendiri apa? Kriterianya apa saja?

3) Aksiologi

Aksiologi adalah pembahasan mengenai nilai moral pengetahuan. Aksiologi menjawab pertanyaan-
pertanyaan model begini: untuk apa pengetahuan itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara
penggunaan pengetahuan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara metode pengetahuan dengan
norma-norma moral/profesional?

Perbedaan suatu pengetahuan dengan pengetahuan lain tidak mesti dicirikan oleh perbedaan dalam
ketiga aspek itu sekaligus. Bisa jadi objek dari dua pengetahuan sama, tetapi metode dan
penggunaannya berbeda. Filsafat dan agama kerap bersinggungan dalam hal objek (sama-sama
membahas hakekat alam, baik-buruk, benar-salah, dsb), tetapi metode keduanya jelas beda. Sementara
perbedaan antar sains terutama terletak pada objeknya, sedangkan metodenya sama.
III. SUMBER PENGETAHUAN

1) Indera

Indera digunakan untuk berhubungan dengan dunia fisik atau lingkungan di sekitar kita. Indera ada
bermacam-macam; yang paling pokok ada lima (panca indera), yakni indera penglihatan (mata) yang
memungkinkan kita mengetahui warna, bentuk, dan ukuran suatu benda; indera pendengaran (telinga)
yang membuat kita membedakan macam-macam suara; indera penciuman (hidung) untuk membedakan
bermacam bau-bauan; indera perasa (lidah) yang membuat kita bisa membedakan makanan enak dan
tidak enak; dan indera peraba (kulit) yang memungkinkan kita mengetahui suhu lingkungan dan kontur
suatu benda.

Pengetahuan lewat indera disebut juga pengalaman, sifatnya empiris dan terukur. Kecenderungan yang
berlebih kepada alat indera sebagai sumber pengetahuan yang utama, atau bahkan satu-satunya
sumber pengetahuan, menghasilkan aliran yang disebut empirisisme, dengan pelopornya John Locke
(1632-1714) dan David Hume dari Inggris. Mengenai kesahihan pengetahuan jenis ini, seorang empirisis
sejati akan mengatakan indera adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya, dan
pengetahuan inderawi adalah satu-satunya pengetahuan yang benar.

Tetapi mengandalkan pengetahuan semata-mata kepada indera jelas tidak mencukupi. Dalam banyak
kasus, penangkapan indera seringkali tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Misalnya pensil yang
dimasukkan ke dalam air terlihat bengkok, padahal sebelumnya lurus. Benda yang jauh terlihat lebih
kecil, padahal ukuran sebenarnya lebih besar. Bunyi yang terlalu lemah atau terlalu keras tidak bisa kita
dengar. Belum lagi kalau alat indera kita bermasalah, sedang sakit atau sudah rusak, maka kian sulitlah
kita mengandalkan indera untuk mendapatkan pengetahuan yang benar.

2) Akal

Akal atau rasio merupakan fungsi dari organ yang secara fisik bertempat di dalam kepala, yakni otak.
Akal mampu menambal kekurangan yang ada pada indera. Akallah yang bisa memastikan bahwa pensil
dalam air itu tetap lurus, dan bentuk bulan tetap bulat walaupun tampaknya sabit. Keunggulan akal yang
paling utama adalah kemampuannya menangkap esensi atau hakikat dari sesuatu, tanpa terikat pada
fakta-fakta khusus. Akal bisa mengetahui hakekat umum dari kucing, tanpa harus mengaitkannya
dengan kucing tertentu yang ada di rumah tetangganya, kucing hitam, kucing garong, atau kucing-
kucingan.

Akal mengetahui sesuatu tidak secara langsung, melainkan lewat kategori-kategori atau ide yang
inheren dalam akal dan diyakini bersifat bawaan. Ketika kita memikirkan sesuatu, penangkapan akal atas
sesuatu itu selalu sudah dibingkai oleh kategori. Kategori-kategori itu antara lain substansi, kuantitas,
kualitas, relasi, waktu, tempat, dan keadaan.
Pengetahuan yang diperoleh dengan akal bersifat rasional, logis, atau masuk akal. Pengutamaan akal di
atas sumber-sumber pengetahuan lainnya, atau keyakinan bahwa akal adalah satu-satunya sumber
pengetahuan yang benar, disebut aliran rasionalisme, dengan pelopornya Rene Descartes (1596-1650)
dari Prancis. Seorang rasionalis umumnya mencela pengetahuan yang diperoleh lewat indera sebagai
semu, palsu, dan menipu.

3) Hati atau Intuisi

Organ fisik yang berkaitan dengan fungsi hati atau intuisi tidak diketahui dengan pasti; ada yang
menyebut jantung, ada juga yang menyebut otak bagian kanan. Pada praktiknya, intuisi muncul berupa
pengetahuan yang tiba-tiba saja hadir dalam kesadaran, tanpa melalui proses penalaran yang jelas, non-
analitis, dan tidak selalu logis. Intuisi bisa muncul kapan saja tanpa kita rencanakan, baik saat santai
maupun tegang, ketika diam maupun bergerak. Kadang ia datang saat kita tengah jalan-jalan di trotoar,
saat kita sedang mandi, bangun tidur, saat main catur, atau saat kita menikmati pemandangan alam.

Intuisi disebut juga ilham atau inspirasi. Meskipun pengetahuan intuisi hadir begitu saja secara tiba-tiba,
namun tampaknya ia tidak jatuh ke sembarang orang, melainkan hanya kepada orang yang sebelumnya
sudah berpikir keras mengenai suatu masalah. Ketika seseorang sudah memaksimalkan daya pikirnya
dan mengalami kemacetan, lalu ia mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau bersantai, pada saat
itulah intuisi berkemungkinan muncul. Oleh karena itu intuisi sering disebut supra-rasional atau suatu
kemampuan yang berada di atas rasio, dan hanya berfungsi jika rasio sudah digunakan secara maksimal
namun menemui jalan buntu.

Hati bekerja pada wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh akal, yakni pengalaman emosional dan
spiritual. Kelemahan akal ialah terpagari oleh kategori-kategori sehingga hal ini, menurut Immanuel Kant
(1724-1804), membuat akal tidak pernah bisa sampai pada pengetahuan langsung tentang sesuatu
sebagaimana adanya (das ding an sich) atau noumena. Akal hanya bisa menangkap yang tampak dari
benda itu (fenoumena), sementara hati bisa mengalami sesuatu secara langsung tanpa terhalang oleh
apapun, tanpa ada jarak antara subjek dan objek.

Kecenderungan akal untuk selalu melakukan generalisasi (meng-umumkan) dan spatialisasi (meruang-
ruangkan) membuatnya tidak akan mengerti keunikan-keunikan dari kejadian sehari-hari. Hati dapat
memahami pengalaman-pengalaman khusus, misalnya pengalaman eksistensial, yakni pengalaman riil
manusia seperti yang dirasakan langsung, bukan lewat konsepsi akal. Akal tidak bisa mengetahui rasa
cinta, hatilah yang merasakannya. Bagi akal, satu jam di rutan salemba dan satu jam di pantai carita
adalah sama, tapi bagi orang yang mengalaminya bisa sangat berbeda. Hati juga bisa merasakan
pengalaman religius, berhubungan dengan Tuhan atau makhluk-makhluk gaib lainnya, dan juga
pengalaman menyatu dengan alam.

Pengutamaan hati sebagai sumber pengetahuan yang paling bisa dipercaya dibanding sumber lainnya
disebut intuisionisme. Mayoritas filosof Muslim memercayai kelebihan hati atas akal. Puncaknya adalah
Suhrawardi al-Maqtul (1153-1192) yang mengembangkan mazhab isyraqi (iluminasionisme), dan
diteruskan oleh Mulla Shadra (w.1631). Di Barat, intuisionisme dikembangkan oleh Henry Bergson.

Selain itu, ada sumber pengetahuan lain yang disebut wahyu. Wahyu adalah pemberitahuan langsung
dari Tuhan kepada manusia dan mewujudkan dirinya dalam kitab suci agama. Namun sebagian pemikir
Muslim ada yang menyamakan wahyu dengan intuisi, dalam pengertian wahyu sebagai jenis intuisi pada
tingkat yang paling tinggi, dan hanya nabi yang bisa memerolehnya.

Dalam tradisi filsafat Barat, pertentangan keras terjadi antara aliran empirisisme dan rasionalisme.
Hingga awal abad ke-20, empirisisme masih memegang kendali dengan kuatnya kecenderungan
positivisme di kalangan ilmuwan Barat. Sedangkan dalam tradisi filsafat Islam, pertentangan kuat terjadi
antara aliran rasionalisme dan intuisionisme (iluminasionisme, ‘irfani), dengan kemenangan pada aliran
yang kedua. Dalam kisah perjalanan Nabi Khidir a.s. dan Musa a.s., penerimaan Musa atas tindakan-
tindakan Khidir yang mulanya ia pertanyakan dianggap sebagai kemenangan intuisionisme. Penilaian
positif umumnya para filosof Muslim atas intuisi ini kemungkinan besar dimaksudkan untuk memberikan
status ontologis yang kuat pada wahyu, sebagai sumber pengetahuan yang lebih sahih daripada rasio.



IV. LOGIKA

Logika adalah cara berpikir atau penalaran menuju kesimpulan yang benar. Aristoteles (384-322 SM)
adalah pembangun logika yang pertama. Logika Aristoteles ini, menurut Immanuel Kant, 21 abad
kemudian, tidak mengalami perubahan sedikit pun, baik penambahan maupun pengurangan.
Aristoteles memerkenalkan dua bentuk logika yang sekarang kita kenal dengan istilah deduksi dan
induksi. Logika deduksi, dikenal juga dengan nama silogisme, adalah menarik kesimpulan dari
pernyataan umum atas hal yang khusus. Contoh terkenal dari silogisme adalah:

- Semua manusia akan mati (pernyataan umum, premis mayor)
- Isnur manusia (pernyataan antara, premis minor)
- Isnur akan mati (kesimpulan, konklusi)

Logika induksi adalah kebalikan dari deduksi, yaitu menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan
yang bersifat khusus menuju pernyataan umum. Contoh:

- Isnur adalah manusia, dan ia mati (pernyataan khusus)
- Muhammad, Asep, dll adalah manusia, dan semuanya mati (pernyataan antara)
- Semua manusia akan mati (kesimpulan)



V. TEORI-TEORI KEBENARAN

1) Korespondensi
Sebuah pernyataan dikatakan benar bila sesuai dengan fakta atau kenyataan. Contoh pernyataan
“bentuk air selalu sesuai dengan ruang yang ditempatinya”, adalah benar karena kenyataannya
demikian. “Kota Jakarta ada di pulau Jawa” adalah benar karena sesuai dengan fakta (bisa dilihat di
peta). Korespondensi memakai logika induksi.

2) Koherensi

Sebuah pernyataan dikatakan benar bila konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap
benar. Contoh pernyataan “Asep akan mati” sesuai (koheren) dengan pernyataan sebelumnya bahwa
“semua manusia akan mati” dan “Asep adalah manusia”. Terlihat di sini, logika yang dipakai dalam
koherensi adalah logika deduksi.

3) Pragmatik

Sebuah pernyataan dikatakan benar jika berguna (fungsional) dalam situasi praktis. Kebenaran
pragmatik dapat menjadi titik pertemuan antara koherensi dan korespondensi. Jika ada dua teori
keilmuan yang sudah memenuhi kriteria dua teori kebenaran di atas, maka yang diambil adalah teori
yang lebih mudah dipraktikkan. Agama dan seni bisa cocok jika diukur dengan teori kebenaran ini.
Agama, dengan satu pernyataannya misalnya “Tuhan ada”, adalah benar secara pragmatik (adanya
Tuhan berguna untuk menopang nilai-nilai hidup manusia dan menjadikannya teratur), lepas dari
apakah Tuhan ada itu sesuai dengan fakta atau tidak, konsisten dengan pernyataan sebelumnya atau
tidak.

***

Setelah mengemukakan hal-hal penting yang menjadi dasar pengetahuan, berikutnya kita akan
meninjau aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari tiga macam pengetahuan yang paling
berpengaruh dalam kehidupan manusia, yakni filsafat, agama, dan sains.



VI. FILSAFAT

Sering dikatakan bahwa filsafat adalah induk segala ilmu. Pernyataan ini tidak salah karena ilmu-ilmu
yang ada sekarang, baik ilmu alam maupun ilmu sosial, mulanya berada dalam kajian filsafat. Pada
zaman dulu tidak dibedakan antara ilmuwan dengan filosof. Isaac Newton (1642-1627) menulis hukum-
hukum fisikanya dalam buku yang berjudul Philosophie Naturalis Principia Mathematica (terbit 1686).
Adam Smith (1723-1790) bapak ilmu ekonomi menulis buku The Wealth of Nations (1776) dalam
kapasitasnya sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas Glasgow. Kita juga mengenal Ibnu
Sina (w.1037) sebagai bapak kedokteran yang menyusun ensiklopedi besar al-Qanun fi al-Thibb sekaligus
sebagai filosof yang mengarang Kitab al-Syifa’.
Definisi filsafat tidak akan diberikan karena para ahli sendiri berbeda-beda dalam merumuskannya.
Cukup di sini disinggung mengenai ciri-ciri dari filsafat, sebagaimana diuraikan Suriasumantri (1998),
yaitu menyeluruh (membahas segala hal atau satu hal dalam kaitannya dengan hal-hal lain), radikal
(meneliti sesuatu secara mendalam, mendasar hingga ke akar-akarnya), dan spekulatif (memulai
penyelidikannya dari titik yang ditentukan begitu saja secara apriori). Spekulatif juga bermakna rasional.

Objek kajian filsafat sangat luas, bahkan boleh dikatakan tak terbatas. Filsafat memelajari segala realitas
yang ada dan mungkin ada; lebih luas lagi, segala hal yang mungkin dipikirkan oleh akal. Sejauh ini,
terdapat tiga realitas besar yang dikaji filsafat, yakni Tuhan (metakosmos), manusia (mikrokosmos), dan
alam (makrokosmos). Sebagian objek filsafat telah diambil-alih oleh sains, yakni objek-objek yang
bersifat empiris.

Objek-objek kajian filsafat yang luas itu coba dikelompokkan oleh para ahli ke dalam beberapa bidang.
Berbeda-beda hasil pembagian mereka. Jujun Suriasumantri (1998) membagi bidang kajian filsafat itu ke
dalam empat bagian besar, yakni logika (membahas apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah),
etika (membahas perihal baik dan buruk), estetika (membahas perihal indah dan jelek), dan metafisika
(membahas perihal hakikat keberadaan zat atau sesuatu di balik yang fisik). Empat bagian ini bercabang-
cabang lagi menjadi banyak sekali. Hampir tiap ilmu yang dikenal sekarang ada filsafatnya, misalnya
filsafat ilmu, filsafat ekonomi, filsafat hukum, filsafat pendidikan, dan filsafat sejarah.

Epistemologi filsafat adalah rasional murni (bedakan dengan rasionalisme). Artinya pengetahuan yang
disebut filsafat diperoleh semata-mata lewat kerja akal. Sumber pengetahuan filsafat adalah rasio atau
akal. Sumber pengetahuan lain yang mungkin memengaruhi pikiran seorang filosof ditekan seminimal
mungkin, dan kalau bisa hingga ke titik nol. Atau pengetahuan-pengetahuan itu diverifikasi oleh akalnya,
apakah rasional atau tidak. Misalnya seorang filosof yang beragama Islam tentu telah memeroleh
pengetahuan dari ajaran agamanya. Dalam hal ini ada dua hal yang bisa ia lakukan: menolak ajaran
agama yang menurutnya tidak rasional, atau mencari pembenaran rasional bagi ajaran agama yang
tampaknya tidak rasional.

Filsafat bertujuan untuk mencari Kebenaran (dengan K besar), artinya kebenaran yang sungguh-sungguh
benar, kebenaran akhir. Sifat aksiologis filsafat ini tampak dari asal katanya philos (cinta) dan sophia
(pengetahuan, kebijaksanaan, kebenaran). Seorang filosof tidak akan berhenti pada pengetahuan yang
tampak benar, melainkan menyelidiki hingga ke baliknya. Ia tidak akan puas jika dalam pemikirannya
masih terdapat kontradiksi-kontradiksi, kesalahan-kesalahan berpikir, meskipun dalam kenyataannya
tidak ada seorang filosof pun yang filsafatnya bebas dari kontradiksi. Dengan kata lain, tidak ada filosof
yang berhasil sampai pada Kebenaran atau kebenaran akhir itu. Semuanya hanya bisa disebut
mendekati Kebenaran.

Kebenaran yang diperoleh dari filsafat itu sebagian ada yang berkembang menjadi ajaran hidup, isme.
Filsafat yang sudah menjadi isme ini difungsikan oleh penganutnya sebagai sumber nilai yang menopang
kehidupannya. Misalnya ajaran Aristotelianisme banyak dipakai oleh kaum agamawan gereja; ajaran
neoplatonisme banyak dipakai oleh kaum mistik; materialisme, komunisme, dan eksistensialisme
bahkan sempat menjadi semacam padanan agama (the religion equivalen), yang berfungsi layaknya
agama formal.



VII. AGAMA

Agama kerap “berebutan” lahan dengan filsafat. Objek agama dalam banyak hal hampir sama dengan
filsafat, hanya lebih sempit dan lebih praktis. Seperti filsafat, agama juga membahas Tuhan, manusia,
dan alam. Seperti filsafat, agama juga menyoal metafisika, namun jawabannya sudah jelas: hakikat
segala sesuatu adalah Tuhan. Selain Tuhan, objek pokok dari agama adalah etika khususnya yang
bersifat praktis sehari-hari.

Yang membedakan agama dari filsafat terutama adalah epistemologi atau metodenya. Pengetahuan
agama berasal dari wahyu Tuhan yang diberikan kepada Nabi, dan kita memerolehnya dengan jalan
percaya bahwa Nabi benar. Pada agama, yang harus kita lakukan adalah beriman, baru berpikir. Kita
boleh memertanyakan kebenaran agama, setelah menerima dan memercayainya, dengan cara lain
(rasional atau empiris). Tapi ujung-ujungnya kita tetap harus percaya meskipun apa yang disampaikan
agama itu tidak masuk akal atau tidak terbukti dalam kenyataan.

Jawaban yang diberikan agama atas satu masalah bisa sama, berbeda, atau bertentangan dengan
jawaban filsafat. Dalam hal ini, latar belakang keberagamaan seorang filosof sangat memengaruhi. Jika
ia beragama, biasanya ia cenderung mendamaikan agama dengan filsafat, seperti tampak pada filsafat
skolastik, baik filsafat Yahudi, Kristen, maupun Islam. Jika ia tidak beragama, biasanya filsafatnya
berbeda atau bertentangan dengan agama.

Secara praktis, agama sangat fungsional dalam kehidupan manusia. Fungsi utama agama adalah sebagai
sumber nilai (moral) untuk dijadikan pegangan dalam hidup budaya manusia. Agama juga memberikan
orientasi atau arah dari tindakan manusia. Orientasi itu memberikan makna dan menjauhkan manusia
dari kehidupan yang sia-sia. Nilai, orientasi, dan makna itu terutama bersumber dari kepercayaan akan
adanya Tuhan dan kehidupan setelah mati. (Coba perhatikan, dalam Alquran, objek iman yang paling
banyak disebut bahkan selalu disebut beriringan adalah iman kepada Allah dan hari kemudian).



VIII. SAINS

1) Ontologi

Sains (dalam bahasa Indonesia disebut juga ilmu, ilmu pengetahuan, atau pengetahuan ilmiah) adalah
pengetahuan yang tertata (any organized knowledge) secara sistematis dan diperoleh melalui metode
ilmiah (scientific method). Sains memelajari segala sesuatu sepanjang masih berada dalam lingkup
pengalaman empiris manusia.
Objek sains terbagi dua, objek material dan objek formal. Objek material terbatas jumlahnya dan satu
atau lebih sains bisa memiliki objek material yang sama. Sains dibedakan satu sama lain berdasarkan
objek formalnya. Sosiologi dan antropologi memiliki objek material yang sama, yakni masyarakat.
Namun objek formalnya beda. Sosiologi memelajari struktur dan dinamika masyarakat, antropologi
memelajari masyarakat dalam budaya tertentu.

Sains atau ilmu dibedakan secara garis besar menjadi dua kelompok, yaitu ilmu-ilmu alam (natural
sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences). Ilmu-ilmu alam memelajari benda-benda fisik, dan secara
garis besar dibedakan lagi menjadi dua, yaitu ilmu alam (fisika, kimia, astronomi, geologi, dll) dan ilmu
hayat (biologi, anatomi, botani, zoologi, dll). Tiap-tiap cabang ilmu itu bercabang-cabang lagi menjadi
banyak sekali. Ilmu kimia saja, menurut Jujun Suriasumantri, memiliki 150 disiplin.

Ilmu-ilmu sosial memelajari manusia dan masyarakat. Perkembangan ilmu sosial tidak sepesat ilmu
alam, dikarenakan manusia tidak seempiris benda-benda alam, juga karena benturan antara metodologi
dengan norma-norma moral. Namun saat ini pun ilmu-ilmu sosial sudah sangat beragam dan canggih.
Yang paling utama adalah sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, dan politik.

2) Epistemologi

Sains diperoleh melalui metode sains (scientific method) atau biasa diterjemahkan menjadi metode
ilmiah. Metode ini menggabungkan keunggulan rasionalisme dan empirisisme, kekuatan logika deduksi
dan induksi, serta mencakup teori kebenaran korespondensi, koherensi, dan pragmatik. Karena
penggabungan ini, sains memenuhi sifat rasional sekaligus empiris. Sains juga bersifat sistematis karena
disusun dan diperoleh lewat suatu metode yang jelas. Bagi kaum positivis, sains juga bersifat objektif,
artinya berlaku di semua tempat dan bagi setiap pengamat. Namun sejak munculnya teori relativitas
Einstein, apalagi pada masa postmodern ini, klaim objektivitas sains tidak bisa lagi dipertahankan.

Secara ringkas, metode ilmiah disusun menurut urutan sebagai berikut:

• Menemukan dan merumuskan masalah
• Menyusun kerangka teoritis
• Membuat hipotesis
• Menguji hipotesis dengan percobaan (observasi, eksperimen, dll).
• Menarik kesimpulan.

Kesimpulan yang diperoleh itu disebut teori. Untuk benar-benar dianggap sahih dan bisa bertahan,
sebuah teori harus diuji lagi berkali-kali dalam serangkaian percobaan, baik oleh penemunya maupun
oleh ilmuwan lain. Pengujian ini disebut verifikasi (pembuktian benar). Sebuah teori bisa juga diuji
dengan cara sebaliknya, yaitu sebagaimana diusulkan Karl Popper, falsifikasi (pembuktian salah). Dengan
falsifikasi, jika untuk sebuah teori dilakukan 1000 percobaan, 1 saja dari 1000 percobaan itu
menunjukkan adanya kesalahan, maka teori itu tidak perlu dipertahankan lagi. Contoh, jika dinyatakan
kepada kita bahwa semua burung gagak hitam, dan di suatu tempat kita menemukan satu burung gagak
yang tidak hitam, berarti pernyataan itu salah.

Namun dalam sebuah teori, sebetulnya yang lebih penting bukanlah ketiadaan salah sama sekali, karena
itu sangat berat bahkan tidak mungkin untuk teori ilmu sosial, namun seberapa besar kemungkinan teori
itu benar (probabilitas). Probabilitas benar 95 persen dianggap sudah cukup untuk men-sahihkan sebuah
teori dan memakainya untuk memecahkan masalah.

3) Aksiologi

Pengetahuan yang diperoleh lewat metode sains bukanlah terutama untuk pengetahuan itu sendiri,
melainkan sebagai alat untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah sehari-hari. Kegunaan
ini diperoleh dengan tiga cara, description (menjelaskan), prediction (meramal, memerkirakan), dan
controling (mengontrol). Penjelasan diperoleh dari teori. Dihadapkan pada masalah praktis, teori akan
memerkirakan apa yang akan terjadi. Dari perkiraan itu, kita memersiapkan langkah-langkah yang perlu
dilakukan untuk mengontrol segala hal yang mungkin timbul, entah itu merugikan atau menguntungkan.

Satu sisi yang sering diperdebatkan adalah menyangkut netralitas sains, kaitannya dengan agama atau
ideologi tertentu. Pada dasarnya sains itu netral, atau setidaknya bermaksud untuk netral, dalam arti ia
hanya bermaksud menjelaskan sesuatu secara apa adanya. Tetapi sains dapat mengilhami suatu
pandangan dunia tertentu, dan ini tidak netral. Misalnya teori evolusi Darwin dapat menjadi pandangan
dunia yang mekanistik dan ateistik. Dan hal ini sangat mencemaskan bagi kaum agamawan.

Lahirnya suatu teori juga ternyata tidak bisa dilepaskan dari konteks tempat teori itu dilahirkan. Konteks
meliputi pandangan dunia yang dianut ilmuwan, latar belakang budaya, bahasa, dll. Pengaruh konteks
ini terutama sangat terasa pada sains sosial sehingga suatu sains bisa menghasilkan beragam aliran dan
perspektif. []



Referensi pokok:

Kartanegara, Mulyadhi, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, Bandung: Mizan, 2003.

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Suatu Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 1998.
Dimensi Filsafat dalam Wahyu


Dalam tradisi filsafat Islam, wahyu bahkan bertindak sebagai sumber pengetahuan (Bakar,
1997). Pengetahuan manusia yang diperoleh melalui wahyu memiliki status yang spesifik,
karena seorang penerima pengetahuan melalui wahyu adalah orang yang memiliki otoritas
keagamaan tinggi yang sering diistilahkan dengan Nabi. Sementara manusia biasa menerima
keberadaan wahyu sebagai rukun iman yang harus dipercayai secara taken for granted, para
filosof berusaha untuk mendudukkan wahyu sebagai realitas keilmuan yang bisa dikaji secara
teoretis.

POSISI wahyu dalam Islam sangatlah sentral. Berdasarkan kondisi historis maupun normatif,
posisi wahyu itu demikian penting dalam mengarahkan, membimbing, dan meletakkan dasar
relasi antara manusia dengan realitas transenden yang diyakininya. Wahyu pulalah yang mampu
menjadi mediasi strategis bagi proses komunikasi ilahiyah antara manusia dengan Tuhannya.

Dalam tradisi filsafat Islam, wahyu bahkan bertindak sebagai sumber pengetahuan (Bakar,
1997). Pengetahuan manusia yang diperoleh melalui wahyu memiliki status yang spesifik,
karena seorang penerima pengetahuan melalui wahyu adalah orang yang memiliki otoritas
keagamaan tinggi yang sering diistilahkan dengan Nabi. Sementara manusia biasa menerima
keberadaan wahyu sebagai rukun iman yang harus dipercayai secara taken for granted, para
filosof berusaha untuk mendudukkan wahyu sebagai realitas keilmuan yang bisa dikaji secara
teoretis. Atas dasar asumsi inilah, tulisan ini bermaksud mengkaji dimensi-dimensi filsafat dalam
wahyu.

Dalam filsafat ilmu terdapat dua aliran yang sering dianggap sebagai cara yang dikotomik dalam
memperoleh pengetahuan: rasionalisme di satu sisi, dan empirisisme di sisi yang lain. Aliran
pertama lebih menekankan pada dominasi akal dalam memperoleh pengetahuan, sementara yang
kedua lebih mengakui pengalaman sebagai sumber otentik pengetahuan (Bahm, 1990). Kedua
aliran ini, dengan sendirinya, secara ekstrim tidak mengakui realitas lain di luar akal dan
pengalaman atau fakta. Wahyu sebagai sebuah realitas di luar realitas itu, dengan demikian, tidak
diakui sebagai sumber pengetahuan.

Islam sebagai sebuah agama yang menekankan keseimbangan, tidak memihak atau menolak
salah satu aliran itu secara ekstrim. Bahkan, Islam menawarkan satu konsep epistemologi
moderat yang sering disebut oleh Kuntowijoyo (1997) sebagai epistemologi relasional. Konsep
ini, jelas Kunto, bermaksud menggabungkan akal, pengalaman dan wahyu dalam satu hubungan
dialektik yang tidak pernah putus. Wahyu sebagai respon ilahiyah terhadap persoalan
kemanusiaan, lahir dalam satu kondisi historitas tertentu (Zaid, 2001). Tesis ini juga dengan
sangat optimis dipegang oleh Thaha Hussein yang membagi wahyu kepada dua dimensi: the first
massage di satu sisi, dan the second massage, di sisi lain.

Semua penjelasan ini mengemukakan bahwa wahyu tidak berdiri sendiri dalam mengatasi
persoalan kemanusiaan. Intervensi akal menjadi hal yang tidak bisa dihindari dalam
menerjemahkan “kemauan” wahyu yang seringkali -atau bahkan selalu- turun dengan rumusan-
rumusan bahasa langit. Intervensi akal kemanusiaan inilah yang menghubungkan wahyu dengan
fakta dan realitas historis yang dihadapi. Peristiwa Tahkim yang mengakhiri peperangan
kelompok Ali dan Mu‟awiyah, yang kemudian diselewengkan oleh Muawiyah sebagai bentuk
penyerahan kekuasaan oleh Ali kepadanya, menjadi satu bukti historis bahwa wahyu sangat
terbuka terhadap interpretasi kemanusiaan, bahkan ketika interpretasi itu menyesatkan. Itulah al-
Qur‟an, kata Ali, yang hanya bisa bicara ketika manusia menafsirkannya.

Al-Farabi ketika menjelaskan tentang wahyu menuliskan bahwa ketika seorang Nabi menerima
wahyu, setidaknya ada tiga jenis intelek yang dilibatkan: Pertama, intelek aktif, yakni satu entitas
kosmik yang bertindak sebagai perantara transenden antara Tuhan dan manusia. Kedua, adalah
intelek perolehan (al-‟aql al-mustafad) yang diperoleh Nabi hanya jika jiwanya bersatu dengan
intelek aktif. Dalam persenyawaan ini, tulis Osman Bakar, intelek perolehan menerima
pengetahuan transenden dari intelek aktif. Ketiga, adalah intelek pasif (al-aql al-munfail) yang
merupakan kondisi intelek penerimaan wahyu secara umum.

Wahyu yang diterima oleh para Nabi, menurut Abdul Kalam Azad, bukanlah sesuatu yang baru,
melainkan pesan-pesan yang pernah diberikan kepada para Nabi pendahulunya. Muhammad,
tulis Azad, tidak datang dengan pesan-pesan baru, melainkan dengan pesan-pesan yang sama
seperti yang pernah diterima oleh Nabi Adam, Nuh, Ya‟kub, Ismail, Yusuf, Sulaiman, Daud,
Musa, Isa dan Nabi-nabi lain yang diutus di seantero dunia ini. Meskipun ada di antara Nabi-nabi
itu yang disebutkan dalam al-Qur‟an dan tidak, tetapi pesan yang mereka bawa adalah sama,
yakni kepercayaan kepada Tuhan dan melakukan kebaikan (ma‟ruf) serta menghindari
kemungkaran (munkar) dan agama adalah jalan yang tepat untuk menuju semuanya.

Tesis Azad ini, mengingatkan kepada konsep kekekalan ide dalam filsafat. Bahwa konsep-
konsep filosofis yang pernah digagas oleh Aristoteles misalnya, memberikan pengaruh yang
cukup kuat dalam tradisi pemikiran umat Islam. Para filosof Muslim yang menganggap
Aristoteles sebagai “guru pertama” (al-mu‟allim al-awwal) menunjukkan pengaruhnya yang
besar kepada jalan pikiran para filosof Muslim (Nurcholish, 2000: 226). Kuatnya pengaruh
Aristoteles dalam tradisi pemikiran filosof muslim itu makin tegas ketika, Al-Farabi dikukuhkan
sebagai “guru kedua” (al-mu‟allim al-tsani) setelah Aristoteles.

Dengan demikian, wahyu sebagai guidance bagi umat beragama dalam kehidupannya harus
selalu terbuka terhadap intervensi kemanusiaan dan penjelasan akal. Tradisi hermeneutika
sebenarnya lahir untuk menjembatani manusia membongkar dimensi-dimensi filosofis yang
terkandung dalam wahyu. Wahyu tidak tertutup bagi penjelasan-penjelasan filosofis yang
memihak manusia, justru akan menjadi persoalan ketika penjelasan filosofis wahyu
memenangkan kehendak Tuhan dengan mengabaikan kepentingan kemanusiaan.

Walaupun wahyu sering disepadankan dengan agama, dan akal disepandankan dengan filsafat,
bukan berarti tidak ada kemungkinan untuk mempertemukannya. Dalam hal ini, al-Farabi
bahkan meyakini bahwa agama adalah tiruan dari filsafat. Ketika seseorang memperoleh
pengetahuan tentang wujud atau memetik pelajaran darinya, jika dia memahami sendiri gagasan-
gagasan tentang wujud itu dengan inteleknya, dan pembenaran atas gagasan tersebut dilakukan
dengan bantuan demonstrasi tertentu, maka ilmu yang tersusun dari pengetahuan-pengetahuan
ini disebut dengan filsafat. Tetapi jika gagasan-gagasan itu diketahui dengan membayangkannya
lewat kemiripan-kemiripan yang merupakan tiruan dari mereka, dan pembenaran atas apa yang
dibayangkan atas mereka disebabkan oleh metode-metode persuasif, maka pengetahuan yang
dihasilkannya
disebut dengan agama.

Tantangan menyelaraskan penafsiran wahyu dengan dinamika zaman yang makin mekanistis ini,
jelas menuntut satu penelusuran serius terhadap dimensi-dimensi filosofis dalam wahyu.
Penelusuran inilah yang akan mengantarkan umat Islam memandang adil terhadap wahyu:
menjadikan wahyu sebagai pedoman kehidupan beragama, sekaligus sebagai sumber inspirasi
pembangunan keilmuan dan peradaban Islam yang saat ini tengah dirindukan kembali
kejayaannya. Wallahu a‟lam bi al-Shawwab.[]

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt?

Aliran filsafat Islam
Aliran filsafat IslamAliran filsafat Islam
Aliran filsafat IslamLuqman Dinan
 
makalah teologi modern oleh wahyudin dompu UIN
makalah teologi modern oleh wahyudin dompu  UINmakalah teologi modern oleh wahyudin dompu  UIN
makalah teologi modern oleh wahyudin dompu UINabdul gonde
 
Filsafat, Ilmu dan Agama
Filsafat, Ilmu dan AgamaFilsafat, Ilmu dan Agama
Filsafat, Ilmu dan AgamaNovi Suryani
 
UICI 2022 -Bab 01 manusia dan ilmu (nota)
UICI 2022 -Bab 01 manusia dan ilmu (nota)UICI 2022 -Bab 01 manusia dan ilmu (nota)
UICI 2022 -Bab 01 manusia dan ilmu (nota)Abdul Khaliq
 
Sejarah dan perkembangan filsafat islam
Sejarah dan perkembangan filsafat islamSejarah dan perkembangan filsafat islam
Sejarah dan perkembangan filsafat islammoh najmi albegama
 
Hubungan filsafat dan agama
Hubungan filsafat dan agamaHubungan filsafat dan agama
Hubungan filsafat dan agamaBuyung Iskandar
 
Ontologi Ilmu FALSAFAH ILMU HNF 3012 UPSI
Ontologi Ilmu FALSAFAH ILMU HNF 3012 UPSIOntologi Ilmu FALSAFAH ILMU HNF 3012 UPSI
Ontologi Ilmu FALSAFAH ILMU HNF 3012 UPSISUFINA SHUKRI
 
Makalah filsafat
Makalah  filsafatMakalah  filsafat
Makalah filsafatHaubibBro
 
UICI 2022 - Manusia dan ilmu
UICI 2022 - Manusia dan ilmuUICI 2022 - Manusia dan ilmu
UICI 2022 - Manusia dan ilmuAbdul Khaliq
 
Ppt filsafat islam
Ppt filsafat islamPpt filsafat islam
Ppt filsafat islamDewi_Sejarah
 
Makalah sejarah dan perkembangan Filsafat Pendidikan
Makalah sejarah dan perkembangan Filsafat PendidikanMakalah sejarah dan perkembangan Filsafat Pendidikan
Makalah sejarah dan perkembangan Filsafat Pendidikanrumah
 
Islam ditinjau dari aspek teologi
Islam ditinjau dari aspek teologiIslam ditinjau dari aspek teologi
Islam ditinjau dari aspek teologiFarid Okley
 

Was ist angesagt? (20)

Aliran filsafat Islam
Aliran filsafat IslamAliran filsafat Islam
Aliran filsafat Islam
 
makalah teologi modern oleh wahyudin dompu UIN
makalah teologi modern oleh wahyudin dompu  UINmakalah teologi modern oleh wahyudin dompu  UIN
makalah teologi modern oleh wahyudin dompu UIN
 
Memahami islam sbg worldview
Memahami islam sbg worldviewMemahami islam sbg worldview
Memahami islam sbg worldview
 
Filsafat, Ilmu dan Agama
Filsafat, Ilmu dan AgamaFilsafat, Ilmu dan Agama
Filsafat, Ilmu dan Agama
 
UICI 2022 -Bab 01 manusia dan ilmu (nota)
UICI 2022 -Bab 01 manusia dan ilmu (nota)UICI 2022 -Bab 01 manusia dan ilmu (nota)
UICI 2022 -Bab 01 manusia dan ilmu (nota)
 
Sejarah dan perkembangan filsafat islam
Sejarah dan perkembangan filsafat islamSejarah dan perkembangan filsafat islam
Sejarah dan perkembangan filsafat islam
 
Hubungan filsafat dan agama
Hubungan filsafat dan agamaHubungan filsafat dan agama
Hubungan filsafat dan agama
 
Filsafat Islam
Filsafat IslamFilsafat Islam
Filsafat Islam
 
Ontologi Ilmu FALSAFAH ILMU HNF 3012 UPSI
Ontologi Ilmu FALSAFAH ILMU HNF 3012 UPSIOntologi Ilmu FALSAFAH ILMU HNF 3012 UPSI
Ontologi Ilmu FALSAFAH ILMU HNF 3012 UPSI
 
Konsep ilmu
Konsep ilmuKonsep ilmu
Konsep ilmu
 
Note 1
Note 1Note 1
Note 1
 
Makalah filsafat
Makalah  filsafatMakalah  filsafat
Makalah filsafat
 
UICI 2022 - Manusia dan ilmu
UICI 2022 - Manusia dan ilmuUICI 2022 - Manusia dan ilmu
UICI 2022 - Manusia dan ilmu
 
Filsafat islam
Filsafat islamFilsafat islam
Filsafat islam
 
Ppt filsafat islam
Ppt filsafat islamPpt filsafat islam
Ppt filsafat islam
 
Filsafat islam
Filsafat islamFilsafat islam
Filsafat islam
 
Makalah sejarah dan perkembangan Filsafat Pendidikan
Makalah sejarah dan perkembangan Filsafat PendidikanMakalah sejarah dan perkembangan Filsafat Pendidikan
Makalah sejarah dan perkembangan Filsafat Pendidikan
 
Agama & filsafat
Agama & filsafatAgama & filsafat
Agama & filsafat
 
Islam ditinjau dari aspek teologi
Islam ditinjau dari aspek teologiIslam ditinjau dari aspek teologi
Islam ditinjau dari aspek teologi
 
Tajuk 4 Konsep Insan
Tajuk 4 Konsep InsanTajuk 4 Konsep Insan
Tajuk 4 Konsep Insan
 

Ähnlich wie Tentang sumber filsafat

Artikel FKI SUSI LUSIYANI MANJ B.docx
Artikel FKI SUSI LUSIYANI MANJ B.docxArtikel FKI SUSI LUSIYANI MANJ B.docx
Artikel FKI SUSI LUSIYANI MANJ B.docxMetaFitriani1
 
PPT RASIONALITAS ILMU FILSAFAT.pptx
PPT RASIONALITAS ILMU FILSAFAT.pptxPPT RASIONALITAS ILMU FILSAFAT.pptx
PPT RASIONALITAS ILMU FILSAFAT.pptxLinnoNarendraSeptyaw
 
Islam dalam pandangan epistimologi
Islam dalam pandangan epistimologiIslam dalam pandangan epistimologi
Islam dalam pandangan epistimologiM fazrul
 
Aliran rasionalisme revi
Aliran rasionalisme reviAliran rasionalisme revi
Aliran rasionalisme reviPahlepy2013
 
Aliran rasionalisme revi
Aliran rasionalisme reviAliran rasionalisme revi
Aliran rasionalisme reviPahlepy2013
 
Aliran rasionalisme revi
Aliran rasionalisme reviAliran rasionalisme revi
Aliran rasionalisme reviPahlepy2013
 
Aliran rasionalisme revi
Aliran rasionalisme reviAliran rasionalisme revi
Aliran rasionalisme reviPahlepy2013
 
Aliran rasionalisme revi
Aliran rasionalisme reviAliran rasionalisme revi
Aliran rasionalisme reviPahlepy2013
 
Sumber pengetahuan
Sumber pengetahuanSumber pengetahuan
Sumber pengetahuanandi roy
 
Filsafat ilmu-mohammad-muslih
Filsafat ilmu-mohammad-muslihFilsafat ilmu-mohammad-muslih
Filsafat ilmu-mohammad-muslihWiwin Prehati
 
0 kajian kritis terhadap epistemologi sains modern (makalah)
0 kajian kritis terhadap epistemologi sains modern (makalah)0 kajian kritis terhadap epistemologi sains modern (makalah)
0 kajian kritis terhadap epistemologi sains modern (makalah)Erta Erta
 
E p i s t e m o l o g i
E p i s t e m o l o g i E p i s t e m o l o g i
E p i s t e m o l o g i Erta Erta
 
Filsafat pendidikan
Filsafat pendidikanFilsafat pendidikan
Filsafat pendidikannoviyanty
 
Tugas mandiri fki juliana rafiati
Tugas mandiri fki juliana rafiatiTugas mandiri fki juliana rafiati
Tugas mandiri fki juliana rafiatiJulianaRafiati
 
PPT RASIONALITAS ILMU FILSAFAT.pptx
PPT RASIONALITAS ILMU FILSAFAT.pptxPPT RASIONALITAS ILMU FILSAFAT.pptx
PPT RASIONALITAS ILMU FILSAFAT.pptx22D082MuhammadIlham
 
Epistemologi makna & kebenaran ok
Epistemologi makna & kebenaran okEpistemologi makna & kebenaran ok
Epistemologi makna & kebenaran okRizal Fahmi
 
01 Teologia 1
01 Teologia 101 Teologia 1
01 Teologia 1danur
 
Tantangan dan masa depan ilmu
Tantangan dan masa depan ilmuTantangan dan masa depan ilmu
Tantangan dan masa depan ilmuayu Naoman
 
HUBUNGAN_FILSAFAT_SAINS_DAN_AGAMA.pdf
HUBUNGAN_FILSAFAT_SAINS_DAN_AGAMA.pdfHUBUNGAN_FILSAFAT_SAINS_DAN_AGAMA.pdf
HUBUNGAN_FILSAFAT_SAINS_DAN_AGAMA.pdfRoida1
 

Ähnlich wie Tentang sumber filsafat (20)

Artikel FKI SUSI LUSIYANI MANJ B.docx
Artikel FKI SUSI LUSIYANI MANJ B.docxArtikel FKI SUSI LUSIYANI MANJ B.docx
Artikel FKI SUSI LUSIYANI MANJ B.docx
 
PPT RASIONALITAS ILMU FILSAFAT.pptx
PPT RASIONALITAS ILMU FILSAFAT.pptxPPT RASIONALITAS ILMU FILSAFAT.pptx
PPT RASIONALITAS ILMU FILSAFAT.pptx
 
Islam dalam pandangan epistimologi
Islam dalam pandangan epistimologiIslam dalam pandangan epistimologi
Islam dalam pandangan epistimologi
 
Aliran rasionalisme revi
Aliran rasionalisme reviAliran rasionalisme revi
Aliran rasionalisme revi
 
Aliran rasionalisme revi
Aliran rasionalisme reviAliran rasionalisme revi
Aliran rasionalisme revi
 
Aliran rasionalisme revi
Aliran rasionalisme reviAliran rasionalisme revi
Aliran rasionalisme revi
 
Aliran rasionalisme revi
Aliran rasionalisme reviAliran rasionalisme revi
Aliran rasionalisme revi
 
Aliran rasionalisme revi
Aliran rasionalisme reviAliran rasionalisme revi
Aliran rasionalisme revi
 
Sumber pengetahuan
Sumber pengetahuanSumber pengetahuan
Sumber pengetahuan
 
Filsafat ilmu-mohammad-muslih
Filsafat ilmu-mohammad-muslihFilsafat ilmu-mohammad-muslih
Filsafat ilmu-mohammad-muslih
 
0 kajian kritis terhadap epistemologi sains modern (makalah)
0 kajian kritis terhadap epistemologi sains modern (makalah)0 kajian kritis terhadap epistemologi sains modern (makalah)
0 kajian kritis terhadap epistemologi sains modern (makalah)
 
E p i s t e m o l o g i
E p i s t e m o l o g i E p i s t e m o l o g i
E p i s t e m o l o g i
 
Filsafat pendidikan
Filsafat pendidikanFilsafat pendidikan
Filsafat pendidikan
 
Tugas mandiri fki juliana rafiati
Tugas mandiri fki juliana rafiatiTugas mandiri fki juliana rafiati
Tugas mandiri fki juliana rafiati
 
PPT RASIONALITAS ILMU FILSAFAT.pptx
PPT RASIONALITAS ILMU FILSAFAT.pptxPPT RASIONALITAS ILMU FILSAFAT.pptx
PPT RASIONALITAS ILMU FILSAFAT.pptx
 
Epistemoogi Keilmuan Islam
Epistemoogi Keilmuan IslamEpistemoogi Keilmuan Islam
Epistemoogi Keilmuan Islam
 
Epistemologi makna & kebenaran ok
Epistemologi makna & kebenaran okEpistemologi makna & kebenaran ok
Epistemologi makna & kebenaran ok
 
01 Teologia 1
01 Teologia 101 Teologia 1
01 Teologia 1
 
Tantangan dan masa depan ilmu
Tantangan dan masa depan ilmuTantangan dan masa depan ilmu
Tantangan dan masa depan ilmu
 
HUBUNGAN_FILSAFAT_SAINS_DAN_AGAMA.pdf
HUBUNGAN_FILSAFAT_SAINS_DAN_AGAMA.pdfHUBUNGAN_FILSAFAT_SAINS_DAN_AGAMA.pdf
HUBUNGAN_FILSAFAT_SAINS_DAN_AGAMA.pdf
 

Tentang sumber filsafat

  • 1. Tentang Sumber-Sumber Pengetahuan: Antara Barat dan Islam Di 1 dalam November 17, 2008 pada 6:46 am Perjumpaan antar peradaban merupakan sesuatu yang niscaya dalam era globalisasi. Setiap peradaban membawa cara pandangnya masing-masing. Cara pandang yang kemudian dipengaruhi—dan berpengaruh kepada—banyak hal, diantaranya sikap ilmiah. Peradaban Islam misalnya, yang cara pandang dan pola hidupnya dipengaruhi oleh wahyu. Dalam konteks ilmiah, Islam yang disokong oleh wahyu tentu akan memiliki sikap yang berbeda dengan peradaban Barat yang memandang wahyu sebagai sesuatu yang tidak saintifik. Dalam tataran epistemologis, perbedaan cara pandang ini jelas terlihat ketika dihadapkan pada persoalan sumber-sumber pengetahuan. Makalah sederhana ini mencoba membandingkan pandangan Barat dan Islami menyangkut sumber-sumber pengetahuan manusia. Pandangan-Pandangan Barat Tentang Sumber Ilmiah Dalam sejarah filsafat Barat, sekurang-kurangnya terdapat empat kecenderungan besar dalam menyikapi proses ilmiah; yakni tentang sumber ilmu pengetahuan. Keempat aliran itu adalah: rasionalisme, empirisisme, kritisisme, dan intuisionisme. Kemunculan aliran rasionalisme biasanya dikaitkan filosof abad ke-17 dan 18, seperti Rene Descartes, Baruch Spinoza, dan Gottfried Leibniz, walaupun sebenarnya akar dari pemikiran ini dapat dilacak sampai filsafat Yunani. Paham ini berpendapat bahwa pada hakikatnya ilmu itu bersumber dari akal budi manusia. Dalam penjelasannya, Descartes mengatakan bahwa dalam jiwa manusia terdapat ide bawaan (innate ideas) yang dinamakan substansi yang sudah tertanam. Lebih lanjut Descartes menyebut tiga hal yang disebut sebagai ide bawaan; pemikiran, Tuhan, dan keluasan (ekstensi). Adapun ilmu-ilmu lain yang dicapai manusia pada hakikatnya adalah derivasi dari ketiga prinsip dasar tersebut. Menurut aliran ini sumber ilmu adalah akal melalui deduksi ketat seraya mengabaikan pengalaman. Hal ini, menurut mereka, karena ilmu adalah sesuatu yang sudah „built in‟ dalam jiwa manusia dan tugas kita adalah mencapainya melalui deduksi. Karenanya, ilmu yang dihasilkan oleh aliran ini—biasanya dianggap—bersifat universal. Mazhab kedua adalah empirisisme yang menekankan pentingnya pengalaman sebagai sarana pencapaian pengetahuan. Aliran ini dipelopori oleh Francis Bacon, sekalipun dalam pengertian tertentu pemikiran yang mengutamakan pendekatan empirik dapat terlacak pula dalam filsafat Yunani. Puncak pemikiran aliran ini terdapat pada pemikiran David Hume yang dalam karyanya A Treatise of Human Nature mengupas persoalan-persoalan epistemologis penting. Berbanding terbalik dengan rasionalisme, mazhab ini, seperti yang dijelaskan oleh Hume, mengatakan bahwa seluruh isi pemikiran manusia berasal dari pengalaman, yang kemudian diistilahkan dengan persepsi. Persepsi, kemudian, dibagi menjadi dua macam, yaitu kesan-kesan (impressions) dan gagasan (ideas). Yang pertama adalah persepsi yang masuk melalui akal budi, secara langsung, sifatnya kuat dan hidup. Yang kemudian adalah persepsi yang berisi gambaran kabur tentang kesan-kesan. Derivasi ilmiah yang diakui oleh aliran ini adalah induksi terhadap fakta-fakta empiris. Tapi hal ini tidak berarti mereka mengklaim univesalitas induksi. Alih-alih, mereka justru menekankan keterbatasan induksi yang hal ini berarti mereka menolak generalisasi. Aliran ketiga adalah kritisisme yang merupakan usaha untuk menyintesiskan dua kutub ekstrim
  • 2. sebelumnya; rasionalisme dan empirisisme. Tokoh utama aliran ini adalah Immanuel Kant. Pemikiran yang disampaikan oleh Kant berusaha untuk mengakhiri perdebatan yang terjadi tentang objektivitas pengetahuan antara rasionalisme Jerman, yang diwakili Leibniz dan Wolff, dan Empirisisme Inggris. Dalam usahanya, Kant berusaha menunjukkan unsur mana saja dalam pikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur mana yang berasal dari akal. Berbeda dengan aliran filsafat sebelumnya yang memusatkan perhatian pada objek penelitian, Kant mengawali filsafatnya dengan memikirkan manusia sebagai subjek yang berpikir. Dengan demikian fokus perhatian Kant adalah pada penyelidikan rasio manusia dan batas-batasnya. Kecenderungan berbeda pada mazhab keempat, yakni intuisionisme. Aliran ini dimulai oleh Henry Bergson. Jika ketiga aliran sebelumnya menekankan pentingnya akal dalam mencapai pengetahuan, aliran ini justru mementingkan intuisi. Penekanan terhadap intuisi ini tidak berarti bahwa mereka menafikan sama sekali peran akal dan indera. Mazhab ini menyatakan bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui penghayatan langsung lebih superior dan sempurna. Secara epistemologis, pengetahuan melalui intuisi ini diperoleh melaui pe‟rasa‟an langsung (dzawq) mengenai hakikat sebuah objek, bukan aspek lahiriah dari objek itu. Henry Bergson membagi pengetahuan menjadi dua macam; „pengetahuan mengenai (knowledge about)‟ dan pengetahuan tentang (knowledge of). Yang pertama bersifat diskursif-simbolis, sementara yang kedua bersifat langsung. Perspektif Islam Bahwa ada persamaan penting antara Barat dan Islam tidaklah dapat disangkal. Hal ini misalnya dalam hal sumber dan metode pengetahuan; yang meliputi cara mengetahui rasional-empiris; gabungan antara realisme, idealism, dan pragmatisme sebagai dasar kognitif filsafat ilmu; dan filsafat dan sains tentang proses. Tapi persamaan ini hanya terkait dengan aspek-aspek eksternal dan tidak menafikan, sama sekali, perbedaan-perbedaan mendasar yang timbul dari perbedaan cara-pandang dan pemahaman tentang Realitas. Keimanan muslim terhadap Wahyu sebagai sumber pengetahuan tentang realitas akhir dan kebenaran tentang makhluk dan Sang Pencipta memungkinkan pembentukan kerangka metafisik untuk pengelaborasian filsafat ilmu integral yang menjelaskan realitas dan kebenaran yang tidak memungkinkan keterlibatan metode-metode rasionalisme filosofis dan empirisisme filosofis dari filsafat dan sains modern. Berlawanan dengan pandangan filsafat dan sains modern, dalam Islam, ilmu berasal dari Tuhan dan diperoleh melalui indera yang sehat, berita yang benar (khabar shadiq) berdasar otoritas, akal sehat, dan intuisi. Indera yang sehat merujuk pada persepsi dan observasi, yang, hal ini, mencakup panca indera luar dan panca indera dalam. Akal sehat yang dimaksud disini tidaklah terbatas pada elemen-elemen sensibel saja; atau fakultas mental yang mensistematisasi dan menafsirkan fakta dari pengalaman inderawi menurut susunan logis; atau fakultas yang memahami data dari pengalaman inderawi; atau yang mengabstraksi fakta dan data inderawi serta hubungannya; dan yang mengatur itu semua menjadi sesuatu yang bisa dipahami. Akal sehat adalah semua hal diatas yang berfungsi secara harmonis dan tidak bertentangan. Akal (intellect) adalah substansi spiritual yang inheren dengan organ spiritual yang kita sebut hati, yang berfungsi menerima pengetahuan intuitif. Dengan demikian akal dan intuisi saling berhubungan. Karena itu, berbeda dengan yang dipahami dalam peradaban Barat, intuisi bukan sekedar pemahaman langsung, oleh subjek, tentang dirinya; kesadarannya; „diri‟ lain selain dirinya; „dunia luar‟ (external world), yang universal, nilai-nilai, dan kebenaran rasional. Disamping
  • 3. semua itu, intuisi, juga, adalah pemahaman langsung tentang kebenaran-kebenaran agama, realitas dan eksistensi Tuhan, realitas eksistensi-eksistensi sebagai kebalikan dari esensi; dan karenanya, pada tingkatan yang lebih tinggi intuisi adalah intuisi tentang eksistensi itu sendiri. Sedangkan berita yang benar (khabar shadiq) terbagi menjadi dua jenis. Berita yang dibawa oleh orang banyak yang memustahilkan terjadinya kebohongan (khabar mutawatir) dan berita yang disampaikan oleh RasuluLlah saw. Otoritas pada jenis yang pertama—yang memasukkan kesepakatan ulama, ilmuwan, dan orang-orang terpelajar—dapat dipertanyakan dengan metode- metode rasional dan eksperimen. Namun, otoritas jenis kedua adalah mutlak. Hal ini karena, sebagaimana terdapat tingkatan pada rasio dan pengalaman, dalam otoritas pun terdapat tingkatan. Dalam keyakinan muslim, otoritas tertinggi adalah Al-Quran dan Sunnah Nabi saw, yang mencakup pribadinya. Dalam pengertian bahwa kedua bukan hanya menjelaskan kebenaran, tapi keduanya adalah kebenaran itu sendiri yang merupakan representasi otoritas berdasar tingkatan tertinggi intelektualitas, pencerapan spiritual dan pengalaman transendental, sehingga keduanya tidak bisa direduksi pada tingkatan rasio dan pengalaman normal manusia. Simpulan Beberapa simpulan yang dapat dihasilkan dari uraian ringkas diatas diantaranya bahwa penjelasan mengenai sumber pengetahuan dalam Islam lebih komprehensif dan menyeluruh; bahwa sekalipun secara sepintas tampak ada persamaan-persamaan antara uraian filsafat Barat dan Islam, namun hal itu tidak menegasikan perbedaan-perbedaan fundamental antar keduanya. WaLlahu a‟lam Bacaan Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Prolegomena to the Metaphysics of Islam. 2001. Kuala Lumpur: ISTAC. Muslih, Muhammad. Filsafat Ilmu. 2005. Jogjakarta: Belukar. ▶ Belum Ada Tanggapan Filsafat ilmu merupakan suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah. Filsafat ilmu adalah pembandingan atau pengembangan pendapat-pendapat masa lampau terhadap pendapat-pendapat masa sekarang yang didukung dengan bukti-bukti ilmiah. Filsafat ilmu merupakan paparan dugaan dan kecenderungan yang tidak terlepas dari pemikiran para ilmuwan yang menelitinya. Filsafat ilmu dapat dimaknai sebagai suatu disiplin, konsep, dan teori tentang ilmu yang sudah dianalisis serta diklasifikasikan. Filsafat ilmu adalah perumusan pandangan tentang ilmu berdasarkan penelitian secara ilmiah.
  • 4. Inti sari filsafat ilmu I. PEMBAGIAN PENGETAHUAN Saat ini pembagian pengetahuan yang dianggap baku boleh dikatakan tidak ada yang memuaskan dan diterima semua pihak. Pembagian yang lazim dipakai dalam dunia keilmuan di Barat terbagi menjadi dua saja, sains (pengetahuan ilmiah) dan humaniora. Termasuk ke dalam sains adalah ilmu-ilmu alam (natural sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences), dengan cabang-cabangnya masing-masing. Termasuk ke dalam humaniora adalah segala pengetahuan selain itu, misalnya filsafat, agama, seni, bahasa, dan sejarah. Penempatan beberapa jenis pengetahuan ke dalam kelompok besar humaniora sebenarnya menyisakan banyak kerancuan karena besarnya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu, baik dari segi ontologi, epistemologi, maupun aksiologi. Kesamaannya barangkali terletak pada perbedaannya, atau barangkali sekadar pada fakta bahwa pengetahuan-pengetahuan humaniora itu tidak dapat digolongkan sebagai sains. Humaniora itu sendiri, pengindonesiaan yang tidak persis dari kata Inggris humanities, berarti (segala pengetahuan yang) berkaitan dengan atau perihal kemanusiaan. Tetapi kalau demikian, maka ilmu-ilmu sosial pun layak dimasukkan ke dalam humaniora karena sama-sama berkaitan dengan kemanusiaan. Perlu diketahui bahwa akhir-akhir ini kajian epistemologi di Barat cenderung menolak kategorisasi pengetahuan (terutama dalam humaniora dan ilmu sosial) yang ketat. Pemahaman kita akan suatu permasalahan tidak cukup mengandalkan analisis satu ilmu saja. Oleh karena itu muncullah gagasan pendekatan interdisiplin atau multidisplin dalam memahami suatu permasalahan. Bidang-bidang kajian yang ada di perguruan tinggi-perguruan tinggi Barat tidak lagi hanya berdasarkan jenis-jenis keilmuan tradisional, tetapi pada satu tema yang didekati dari gabungan berbagai disiplin. Misalnya program studi Timur Tengah, studi Asia Tenggara, studi-studi keislaman (Islamic studies), studi budaya (cultural studies), dll. Tema-tema yang dahulu menjadi monopoli satu ilmu pun kini harus didekati dari berbagai macam disiplin agar diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif. Wilayah-wilayah geografis tertentu, misalnya Jawa, suku Papua, pedalaman Kalimantan, atau Maroko dan Indian, yang dahulu dimonopoli ilmu antropologi, kini harus dipahami dengan menggunakan berbagai macam disiplin (sosiologi,
  • 5. psikologi, semiotik, bahkan filsafat). Pendekatan interdisiplin ini pun kini menguat dalam kajian-kajian keislaman, termasuk dalam fikih. Untuk menentukan status hukum terutama dalam permasalahan kontemporer, pemakaian ilmu fikih murni tidak lagi memadai. Apalagi jika fikih dimengerti sebagai fikih warisan zaman mazhab-mazhab. Ilmu-ilmu modern saat ini menuntut untuk lebih banyak dilibatkan dalam penentuan hukum suatu masalah. Sekadar contoh, untuk menentukan hukum pembuatan bayi tabung, diperlukan pemahaman akan biologi dan kedokteran. Untuk menghukumi soal berbisnis di bursa saham, ilmu ekonomi harus dipahami. Dll. II. TIGA ASPEK PENGETAHUAN Ada tiga aspek yang membedakan satu pengetahuan dengan pengetahuan lainnya, yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. 1) Ontologi Ontologi adalah pembahasan tentang hakekat pengetahuan. Ontologi membahas pertanyaan- pertanyaan semacam ini: Objek apa yang ditelaah pengetahuan? Adakah objek tersebut? Bagaimana wujud hakikinya? Dapatkah objek tersebut diketahui oleh manusia, dan bagaimana caranya? 2) Epistemologi Epistemologi adalah pembahasan mengenai metode yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan. Epistemologi membahas pertanyaan-pertanyaan seperti: bagaimana proses yang memungkinkan diperolehnya suatu pengetahuan? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Lalu benar itu sendiri apa? Kriterianya apa saja? 3) Aksiologi Aksiologi adalah pembahasan mengenai nilai moral pengetahuan. Aksiologi menjawab pertanyaan- pertanyaan model begini: untuk apa pengetahuan itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan pengetahuan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara metode pengetahuan dengan norma-norma moral/profesional? Perbedaan suatu pengetahuan dengan pengetahuan lain tidak mesti dicirikan oleh perbedaan dalam ketiga aspek itu sekaligus. Bisa jadi objek dari dua pengetahuan sama, tetapi metode dan penggunaannya berbeda. Filsafat dan agama kerap bersinggungan dalam hal objek (sama-sama membahas hakekat alam, baik-buruk, benar-salah, dsb), tetapi metode keduanya jelas beda. Sementara perbedaan antar sains terutama terletak pada objeknya, sedangkan metodenya sama.
  • 6. III. SUMBER PENGETAHUAN 1) Indera Indera digunakan untuk berhubungan dengan dunia fisik atau lingkungan di sekitar kita. Indera ada bermacam-macam; yang paling pokok ada lima (panca indera), yakni indera penglihatan (mata) yang memungkinkan kita mengetahui warna, bentuk, dan ukuran suatu benda; indera pendengaran (telinga) yang membuat kita membedakan macam-macam suara; indera penciuman (hidung) untuk membedakan bermacam bau-bauan; indera perasa (lidah) yang membuat kita bisa membedakan makanan enak dan tidak enak; dan indera peraba (kulit) yang memungkinkan kita mengetahui suhu lingkungan dan kontur suatu benda. Pengetahuan lewat indera disebut juga pengalaman, sifatnya empiris dan terukur. Kecenderungan yang berlebih kepada alat indera sebagai sumber pengetahuan yang utama, atau bahkan satu-satunya sumber pengetahuan, menghasilkan aliran yang disebut empirisisme, dengan pelopornya John Locke (1632-1714) dan David Hume dari Inggris. Mengenai kesahihan pengetahuan jenis ini, seorang empirisis sejati akan mengatakan indera adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya, dan pengetahuan inderawi adalah satu-satunya pengetahuan yang benar. Tetapi mengandalkan pengetahuan semata-mata kepada indera jelas tidak mencukupi. Dalam banyak kasus, penangkapan indera seringkali tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Misalnya pensil yang dimasukkan ke dalam air terlihat bengkok, padahal sebelumnya lurus. Benda yang jauh terlihat lebih kecil, padahal ukuran sebenarnya lebih besar. Bunyi yang terlalu lemah atau terlalu keras tidak bisa kita dengar. Belum lagi kalau alat indera kita bermasalah, sedang sakit atau sudah rusak, maka kian sulitlah kita mengandalkan indera untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. 2) Akal Akal atau rasio merupakan fungsi dari organ yang secara fisik bertempat di dalam kepala, yakni otak. Akal mampu menambal kekurangan yang ada pada indera. Akallah yang bisa memastikan bahwa pensil dalam air itu tetap lurus, dan bentuk bulan tetap bulat walaupun tampaknya sabit. Keunggulan akal yang paling utama adalah kemampuannya menangkap esensi atau hakikat dari sesuatu, tanpa terikat pada fakta-fakta khusus. Akal bisa mengetahui hakekat umum dari kucing, tanpa harus mengaitkannya dengan kucing tertentu yang ada di rumah tetangganya, kucing hitam, kucing garong, atau kucing- kucingan. Akal mengetahui sesuatu tidak secara langsung, melainkan lewat kategori-kategori atau ide yang inheren dalam akal dan diyakini bersifat bawaan. Ketika kita memikirkan sesuatu, penangkapan akal atas sesuatu itu selalu sudah dibingkai oleh kategori. Kategori-kategori itu antara lain substansi, kuantitas, kualitas, relasi, waktu, tempat, dan keadaan.
  • 7. Pengetahuan yang diperoleh dengan akal bersifat rasional, logis, atau masuk akal. Pengutamaan akal di atas sumber-sumber pengetahuan lainnya, atau keyakinan bahwa akal adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang benar, disebut aliran rasionalisme, dengan pelopornya Rene Descartes (1596-1650) dari Prancis. Seorang rasionalis umumnya mencela pengetahuan yang diperoleh lewat indera sebagai semu, palsu, dan menipu. 3) Hati atau Intuisi Organ fisik yang berkaitan dengan fungsi hati atau intuisi tidak diketahui dengan pasti; ada yang menyebut jantung, ada juga yang menyebut otak bagian kanan. Pada praktiknya, intuisi muncul berupa pengetahuan yang tiba-tiba saja hadir dalam kesadaran, tanpa melalui proses penalaran yang jelas, non- analitis, dan tidak selalu logis. Intuisi bisa muncul kapan saja tanpa kita rencanakan, baik saat santai maupun tegang, ketika diam maupun bergerak. Kadang ia datang saat kita tengah jalan-jalan di trotoar, saat kita sedang mandi, bangun tidur, saat main catur, atau saat kita menikmati pemandangan alam. Intuisi disebut juga ilham atau inspirasi. Meskipun pengetahuan intuisi hadir begitu saja secara tiba-tiba, namun tampaknya ia tidak jatuh ke sembarang orang, melainkan hanya kepada orang yang sebelumnya sudah berpikir keras mengenai suatu masalah. Ketika seseorang sudah memaksimalkan daya pikirnya dan mengalami kemacetan, lalu ia mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau bersantai, pada saat itulah intuisi berkemungkinan muncul. Oleh karena itu intuisi sering disebut supra-rasional atau suatu kemampuan yang berada di atas rasio, dan hanya berfungsi jika rasio sudah digunakan secara maksimal namun menemui jalan buntu. Hati bekerja pada wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh akal, yakni pengalaman emosional dan spiritual. Kelemahan akal ialah terpagari oleh kategori-kategori sehingga hal ini, menurut Immanuel Kant (1724-1804), membuat akal tidak pernah bisa sampai pada pengetahuan langsung tentang sesuatu sebagaimana adanya (das ding an sich) atau noumena. Akal hanya bisa menangkap yang tampak dari benda itu (fenoumena), sementara hati bisa mengalami sesuatu secara langsung tanpa terhalang oleh apapun, tanpa ada jarak antara subjek dan objek. Kecenderungan akal untuk selalu melakukan generalisasi (meng-umumkan) dan spatialisasi (meruang- ruangkan) membuatnya tidak akan mengerti keunikan-keunikan dari kejadian sehari-hari. Hati dapat memahami pengalaman-pengalaman khusus, misalnya pengalaman eksistensial, yakni pengalaman riil manusia seperti yang dirasakan langsung, bukan lewat konsepsi akal. Akal tidak bisa mengetahui rasa cinta, hatilah yang merasakannya. Bagi akal, satu jam di rutan salemba dan satu jam di pantai carita adalah sama, tapi bagi orang yang mengalaminya bisa sangat berbeda. Hati juga bisa merasakan pengalaman religius, berhubungan dengan Tuhan atau makhluk-makhluk gaib lainnya, dan juga pengalaman menyatu dengan alam. Pengutamaan hati sebagai sumber pengetahuan yang paling bisa dipercaya dibanding sumber lainnya disebut intuisionisme. Mayoritas filosof Muslim memercayai kelebihan hati atas akal. Puncaknya adalah
  • 8. Suhrawardi al-Maqtul (1153-1192) yang mengembangkan mazhab isyraqi (iluminasionisme), dan diteruskan oleh Mulla Shadra (w.1631). Di Barat, intuisionisme dikembangkan oleh Henry Bergson. Selain itu, ada sumber pengetahuan lain yang disebut wahyu. Wahyu adalah pemberitahuan langsung dari Tuhan kepada manusia dan mewujudkan dirinya dalam kitab suci agama. Namun sebagian pemikir Muslim ada yang menyamakan wahyu dengan intuisi, dalam pengertian wahyu sebagai jenis intuisi pada tingkat yang paling tinggi, dan hanya nabi yang bisa memerolehnya. Dalam tradisi filsafat Barat, pertentangan keras terjadi antara aliran empirisisme dan rasionalisme. Hingga awal abad ke-20, empirisisme masih memegang kendali dengan kuatnya kecenderungan positivisme di kalangan ilmuwan Barat. Sedangkan dalam tradisi filsafat Islam, pertentangan kuat terjadi antara aliran rasionalisme dan intuisionisme (iluminasionisme, ‘irfani), dengan kemenangan pada aliran yang kedua. Dalam kisah perjalanan Nabi Khidir a.s. dan Musa a.s., penerimaan Musa atas tindakan- tindakan Khidir yang mulanya ia pertanyakan dianggap sebagai kemenangan intuisionisme. Penilaian positif umumnya para filosof Muslim atas intuisi ini kemungkinan besar dimaksudkan untuk memberikan status ontologis yang kuat pada wahyu, sebagai sumber pengetahuan yang lebih sahih daripada rasio. IV. LOGIKA Logika adalah cara berpikir atau penalaran menuju kesimpulan yang benar. Aristoteles (384-322 SM) adalah pembangun logika yang pertama. Logika Aristoteles ini, menurut Immanuel Kant, 21 abad kemudian, tidak mengalami perubahan sedikit pun, baik penambahan maupun pengurangan. Aristoteles memerkenalkan dua bentuk logika yang sekarang kita kenal dengan istilah deduksi dan induksi. Logika deduksi, dikenal juga dengan nama silogisme, adalah menarik kesimpulan dari pernyataan umum atas hal yang khusus. Contoh terkenal dari silogisme adalah: - Semua manusia akan mati (pernyataan umum, premis mayor) - Isnur manusia (pernyataan antara, premis minor) - Isnur akan mati (kesimpulan, konklusi) Logika induksi adalah kebalikan dari deduksi, yaitu menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan yang bersifat khusus menuju pernyataan umum. Contoh: - Isnur adalah manusia, dan ia mati (pernyataan khusus) - Muhammad, Asep, dll adalah manusia, dan semuanya mati (pernyataan antara) - Semua manusia akan mati (kesimpulan) V. TEORI-TEORI KEBENARAN 1) Korespondensi
  • 9. Sebuah pernyataan dikatakan benar bila sesuai dengan fakta atau kenyataan. Contoh pernyataan “bentuk air selalu sesuai dengan ruang yang ditempatinya”, adalah benar karena kenyataannya demikian. “Kota Jakarta ada di pulau Jawa” adalah benar karena sesuai dengan fakta (bisa dilihat di peta). Korespondensi memakai logika induksi. 2) Koherensi Sebuah pernyataan dikatakan benar bila konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Contoh pernyataan “Asep akan mati” sesuai (koheren) dengan pernyataan sebelumnya bahwa “semua manusia akan mati” dan “Asep adalah manusia”. Terlihat di sini, logika yang dipakai dalam koherensi adalah logika deduksi. 3) Pragmatik Sebuah pernyataan dikatakan benar jika berguna (fungsional) dalam situasi praktis. Kebenaran pragmatik dapat menjadi titik pertemuan antara koherensi dan korespondensi. Jika ada dua teori keilmuan yang sudah memenuhi kriteria dua teori kebenaran di atas, maka yang diambil adalah teori yang lebih mudah dipraktikkan. Agama dan seni bisa cocok jika diukur dengan teori kebenaran ini. Agama, dengan satu pernyataannya misalnya “Tuhan ada”, adalah benar secara pragmatik (adanya Tuhan berguna untuk menopang nilai-nilai hidup manusia dan menjadikannya teratur), lepas dari apakah Tuhan ada itu sesuai dengan fakta atau tidak, konsisten dengan pernyataan sebelumnya atau tidak. *** Setelah mengemukakan hal-hal penting yang menjadi dasar pengetahuan, berikutnya kita akan meninjau aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari tiga macam pengetahuan yang paling berpengaruh dalam kehidupan manusia, yakni filsafat, agama, dan sains. VI. FILSAFAT Sering dikatakan bahwa filsafat adalah induk segala ilmu. Pernyataan ini tidak salah karena ilmu-ilmu yang ada sekarang, baik ilmu alam maupun ilmu sosial, mulanya berada dalam kajian filsafat. Pada zaman dulu tidak dibedakan antara ilmuwan dengan filosof. Isaac Newton (1642-1627) menulis hukum- hukum fisikanya dalam buku yang berjudul Philosophie Naturalis Principia Mathematica (terbit 1686). Adam Smith (1723-1790) bapak ilmu ekonomi menulis buku The Wealth of Nations (1776) dalam kapasitasnya sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas Glasgow. Kita juga mengenal Ibnu Sina (w.1037) sebagai bapak kedokteran yang menyusun ensiklopedi besar al-Qanun fi al-Thibb sekaligus sebagai filosof yang mengarang Kitab al-Syifa’.
  • 10. Definisi filsafat tidak akan diberikan karena para ahli sendiri berbeda-beda dalam merumuskannya. Cukup di sini disinggung mengenai ciri-ciri dari filsafat, sebagaimana diuraikan Suriasumantri (1998), yaitu menyeluruh (membahas segala hal atau satu hal dalam kaitannya dengan hal-hal lain), radikal (meneliti sesuatu secara mendalam, mendasar hingga ke akar-akarnya), dan spekulatif (memulai penyelidikannya dari titik yang ditentukan begitu saja secara apriori). Spekulatif juga bermakna rasional. Objek kajian filsafat sangat luas, bahkan boleh dikatakan tak terbatas. Filsafat memelajari segala realitas yang ada dan mungkin ada; lebih luas lagi, segala hal yang mungkin dipikirkan oleh akal. Sejauh ini, terdapat tiga realitas besar yang dikaji filsafat, yakni Tuhan (metakosmos), manusia (mikrokosmos), dan alam (makrokosmos). Sebagian objek filsafat telah diambil-alih oleh sains, yakni objek-objek yang bersifat empiris. Objek-objek kajian filsafat yang luas itu coba dikelompokkan oleh para ahli ke dalam beberapa bidang. Berbeda-beda hasil pembagian mereka. Jujun Suriasumantri (1998) membagi bidang kajian filsafat itu ke dalam empat bagian besar, yakni logika (membahas apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah), etika (membahas perihal baik dan buruk), estetika (membahas perihal indah dan jelek), dan metafisika (membahas perihal hakikat keberadaan zat atau sesuatu di balik yang fisik). Empat bagian ini bercabang- cabang lagi menjadi banyak sekali. Hampir tiap ilmu yang dikenal sekarang ada filsafatnya, misalnya filsafat ilmu, filsafat ekonomi, filsafat hukum, filsafat pendidikan, dan filsafat sejarah. Epistemologi filsafat adalah rasional murni (bedakan dengan rasionalisme). Artinya pengetahuan yang disebut filsafat diperoleh semata-mata lewat kerja akal. Sumber pengetahuan filsafat adalah rasio atau akal. Sumber pengetahuan lain yang mungkin memengaruhi pikiran seorang filosof ditekan seminimal mungkin, dan kalau bisa hingga ke titik nol. Atau pengetahuan-pengetahuan itu diverifikasi oleh akalnya, apakah rasional atau tidak. Misalnya seorang filosof yang beragama Islam tentu telah memeroleh pengetahuan dari ajaran agamanya. Dalam hal ini ada dua hal yang bisa ia lakukan: menolak ajaran agama yang menurutnya tidak rasional, atau mencari pembenaran rasional bagi ajaran agama yang tampaknya tidak rasional. Filsafat bertujuan untuk mencari Kebenaran (dengan K besar), artinya kebenaran yang sungguh-sungguh benar, kebenaran akhir. Sifat aksiologis filsafat ini tampak dari asal katanya philos (cinta) dan sophia (pengetahuan, kebijaksanaan, kebenaran). Seorang filosof tidak akan berhenti pada pengetahuan yang tampak benar, melainkan menyelidiki hingga ke baliknya. Ia tidak akan puas jika dalam pemikirannya masih terdapat kontradiksi-kontradiksi, kesalahan-kesalahan berpikir, meskipun dalam kenyataannya tidak ada seorang filosof pun yang filsafatnya bebas dari kontradiksi. Dengan kata lain, tidak ada filosof yang berhasil sampai pada Kebenaran atau kebenaran akhir itu. Semuanya hanya bisa disebut mendekati Kebenaran. Kebenaran yang diperoleh dari filsafat itu sebagian ada yang berkembang menjadi ajaran hidup, isme. Filsafat yang sudah menjadi isme ini difungsikan oleh penganutnya sebagai sumber nilai yang menopang kehidupannya. Misalnya ajaran Aristotelianisme banyak dipakai oleh kaum agamawan gereja; ajaran neoplatonisme banyak dipakai oleh kaum mistik; materialisme, komunisme, dan eksistensialisme
  • 11. bahkan sempat menjadi semacam padanan agama (the religion equivalen), yang berfungsi layaknya agama formal. VII. AGAMA Agama kerap “berebutan” lahan dengan filsafat. Objek agama dalam banyak hal hampir sama dengan filsafat, hanya lebih sempit dan lebih praktis. Seperti filsafat, agama juga membahas Tuhan, manusia, dan alam. Seperti filsafat, agama juga menyoal metafisika, namun jawabannya sudah jelas: hakikat segala sesuatu adalah Tuhan. Selain Tuhan, objek pokok dari agama adalah etika khususnya yang bersifat praktis sehari-hari. Yang membedakan agama dari filsafat terutama adalah epistemologi atau metodenya. Pengetahuan agama berasal dari wahyu Tuhan yang diberikan kepada Nabi, dan kita memerolehnya dengan jalan percaya bahwa Nabi benar. Pada agama, yang harus kita lakukan adalah beriman, baru berpikir. Kita boleh memertanyakan kebenaran agama, setelah menerima dan memercayainya, dengan cara lain (rasional atau empiris). Tapi ujung-ujungnya kita tetap harus percaya meskipun apa yang disampaikan agama itu tidak masuk akal atau tidak terbukti dalam kenyataan. Jawaban yang diberikan agama atas satu masalah bisa sama, berbeda, atau bertentangan dengan jawaban filsafat. Dalam hal ini, latar belakang keberagamaan seorang filosof sangat memengaruhi. Jika ia beragama, biasanya ia cenderung mendamaikan agama dengan filsafat, seperti tampak pada filsafat skolastik, baik filsafat Yahudi, Kristen, maupun Islam. Jika ia tidak beragama, biasanya filsafatnya berbeda atau bertentangan dengan agama. Secara praktis, agama sangat fungsional dalam kehidupan manusia. Fungsi utama agama adalah sebagai sumber nilai (moral) untuk dijadikan pegangan dalam hidup budaya manusia. Agama juga memberikan orientasi atau arah dari tindakan manusia. Orientasi itu memberikan makna dan menjauhkan manusia dari kehidupan yang sia-sia. Nilai, orientasi, dan makna itu terutama bersumber dari kepercayaan akan adanya Tuhan dan kehidupan setelah mati. (Coba perhatikan, dalam Alquran, objek iman yang paling banyak disebut bahkan selalu disebut beriringan adalah iman kepada Allah dan hari kemudian). VIII. SAINS 1) Ontologi Sains (dalam bahasa Indonesia disebut juga ilmu, ilmu pengetahuan, atau pengetahuan ilmiah) adalah pengetahuan yang tertata (any organized knowledge) secara sistematis dan diperoleh melalui metode ilmiah (scientific method). Sains memelajari segala sesuatu sepanjang masih berada dalam lingkup pengalaman empiris manusia.
  • 12. Objek sains terbagi dua, objek material dan objek formal. Objek material terbatas jumlahnya dan satu atau lebih sains bisa memiliki objek material yang sama. Sains dibedakan satu sama lain berdasarkan objek formalnya. Sosiologi dan antropologi memiliki objek material yang sama, yakni masyarakat. Namun objek formalnya beda. Sosiologi memelajari struktur dan dinamika masyarakat, antropologi memelajari masyarakat dalam budaya tertentu. Sains atau ilmu dibedakan secara garis besar menjadi dua kelompok, yaitu ilmu-ilmu alam (natural sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences). Ilmu-ilmu alam memelajari benda-benda fisik, dan secara garis besar dibedakan lagi menjadi dua, yaitu ilmu alam (fisika, kimia, astronomi, geologi, dll) dan ilmu hayat (biologi, anatomi, botani, zoologi, dll). Tiap-tiap cabang ilmu itu bercabang-cabang lagi menjadi banyak sekali. Ilmu kimia saja, menurut Jujun Suriasumantri, memiliki 150 disiplin. Ilmu-ilmu sosial memelajari manusia dan masyarakat. Perkembangan ilmu sosial tidak sepesat ilmu alam, dikarenakan manusia tidak seempiris benda-benda alam, juga karena benturan antara metodologi dengan norma-norma moral. Namun saat ini pun ilmu-ilmu sosial sudah sangat beragam dan canggih. Yang paling utama adalah sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, dan politik. 2) Epistemologi Sains diperoleh melalui metode sains (scientific method) atau biasa diterjemahkan menjadi metode ilmiah. Metode ini menggabungkan keunggulan rasionalisme dan empirisisme, kekuatan logika deduksi dan induksi, serta mencakup teori kebenaran korespondensi, koherensi, dan pragmatik. Karena penggabungan ini, sains memenuhi sifat rasional sekaligus empiris. Sains juga bersifat sistematis karena disusun dan diperoleh lewat suatu metode yang jelas. Bagi kaum positivis, sains juga bersifat objektif, artinya berlaku di semua tempat dan bagi setiap pengamat. Namun sejak munculnya teori relativitas Einstein, apalagi pada masa postmodern ini, klaim objektivitas sains tidak bisa lagi dipertahankan. Secara ringkas, metode ilmiah disusun menurut urutan sebagai berikut: • Menemukan dan merumuskan masalah • Menyusun kerangka teoritis • Membuat hipotesis • Menguji hipotesis dengan percobaan (observasi, eksperimen, dll). • Menarik kesimpulan. Kesimpulan yang diperoleh itu disebut teori. Untuk benar-benar dianggap sahih dan bisa bertahan, sebuah teori harus diuji lagi berkali-kali dalam serangkaian percobaan, baik oleh penemunya maupun oleh ilmuwan lain. Pengujian ini disebut verifikasi (pembuktian benar). Sebuah teori bisa juga diuji dengan cara sebaliknya, yaitu sebagaimana diusulkan Karl Popper, falsifikasi (pembuktian salah). Dengan falsifikasi, jika untuk sebuah teori dilakukan 1000 percobaan, 1 saja dari 1000 percobaan itu menunjukkan adanya kesalahan, maka teori itu tidak perlu dipertahankan lagi. Contoh, jika dinyatakan kepada kita bahwa semua burung gagak hitam, dan di suatu tempat kita menemukan satu burung gagak
  • 13. yang tidak hitam, berarti pernyataan itu salah. Namun dalam sebuah teori, sebetulnya yang lebih penting bukanlah ketiadaan salah sama sekali, karena itu sangat berat bahkan tidak mungkin untuk teori ilmu sosial, namun seberapa besar kemungkinan teori itu benar (probabilitas). Probabilitas benar 95 persen dianggap sudah cukup untuk men-sahihkan sebuah teori dan memakainya untuk memecahkan masalah. 3) Aksiologi Pengetahuan yang diperoleh lewat metode sains bukanlah terutama untuk pengetahuan itu sendiri, melainkan sebagai alat untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah sehari-hari. Kegunaan ini diperoleh dengan tiga cara, description (menjelaskan), prediction (meramal, memerkirakan), dan controling (mengontrol). Penjelasan diperoleh dari teori. Dihadapkan pada masalah praktis, teori akan memerkirakan apa yang akan terjadi. Dari perkiraan itu, kita memersiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mengontrol segala hal yang mungkin timbul, entah itu merugikan atau menguntungkan. Satu sisi yang sering diperdebatkan adalah menyangkut netralitas sains, kaitannya dengan agama atau ideologi tertentu. Pada dasarnya sains itu netral, atau setidaknya bermaksud untuk netral, dalam arti ia hanya bermaksud menjelaskan sesuatu secara apa adanya. Tetapi sains dapat mengilhami suatu pandangan dunia tertentu, dan ini tidak netral. Misalnya teori evolusi Darwin dapat menjadi pandangan dunia yang mekanistik dan ateistik. Dan hal ini sangat mencemaskan bagi kaum agamawan. Lahirnya suatu teori juga ternyata tidak bisa dilepaskan dari konteks tempat teori itu dilahirkan. Konteks meliputi pandangan dunia yang dianut ilmuwan, latar belakang budaya, bahasa, dll. Pengaruh konteks ini terutama sangat terasa pada sains sosial sehingga suatu sains bisa menghasilkan beragam aliran dan perspektif. [] Referensi pokok: Kartanegara, Mulyadhi, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, Bandung: Mizan, 2003. Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Suatu Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 1998.
  • 14. Dimensi Filsafat dalam Wahyu Dalam tradisi filsafat Islam, wahyu bahkan bertindak sebagai sumber pengetahuan (Bakar, 1997). Pengetahuan manusia yang diperoleh melalui wahyu memiliki status yang spesifik, karena seorang penerima pengetahuan melalui wahyu adalah orang yang memiliki otoritas keagamaan tinggi yang sering diistilahkan dengan Nabi. Sementara manusia biasa menerima keberadaan wahyu sebagai rukun iman yang harus dipercayai secara taken for granted, para filosof berusaha untuk mendudukkan wahyu sebagai realitas keilmuan yang bisa dikaji secara teoretis. POSISI wahyu dalam Islam sangatlah sentral. Berdasarkan kondisi historis maupun normatif, posisi wahyu itu demikian penting dalam mengarahkan, membimbing, dan meletakkan dasar relasi antara manusia dengan realitas transenden yang diyakininya. Wahyu pulalah yang mampu menjadi mediasi strategis bagi proses komunikasi ilahiyah antara manusia dengan Tuhannya. Dalam tradisi filsafat Islam, wahyu bahkan bertindak sebagai sumber pengetahuan (Bakar, 1997). Pengetahuan manusia yang diperoleh melalui wahyu memiliki status yang spesifik, karena seorang penerima pengetahuan melalui wahyu adalah orang yang memiliki otoritas keagamaan tinggi yang sering diistilahkan dengan Nabi. Sementara manusia biasa menerima keberadaan wahyu sebagai rukun iman yang harus dipercayai secara taken for granted, para filosof berusaha untuk mendudukkan wahyu sebagai realitas keilmuan yang bisa dikaji secara teoretis. Atas dasar asumsi inilah, tulisan ini bermaksud mengkaji dimensi-dimensi filsafat dalam wahyu. Dalam filsafat ilmu terdapat dua aliran yang sering dianggap sebagai cara yang dikotomik dalam memperoleh pengetahuan: rasionalisme di satu sisi, dan empirisisme di sisi yang lain. Aliran pertama lebih menekankan pada dominasi akal dalam memperoleh pengetahuan, sementara yang kedua lebih mengakui pengalaman sebagai sumber otentik pengetahuan (Bahm, 1990). Kedua aliran ini, dengan sendirinya, secara ekstrim tidak mengakui realitas lain di luar akal dan pengalaman atau fakta. Wahyu sebagai sebuah realitas di luar realitas itu, dengan demikian, tidak diakui sebagai sumber pengetahuan. Islam sebagai sebuah agama yang menekankan keseimbangan, tidak memihak atau menolak salah satu aliran itu secara ekstrim. Bahkan, Islam menawarkan satu konsep epistemologi moderat yang sering disebut oleh Kuntowijoyo (1997) sebagai epistemologi relasional. Konsep ini, jelas Kunto, bermaksud menggabungkan akal, pengalaman dan wahyu dalam satu hubungan dialektik yang tidak pernah putus. Wahyu sebagai respon ilahiyah terhadap persoalan kemanusiaan, lahir dalam satu kondisi historitas tertentu (Zaid, 2001). Tesis ini juga dengan sangat optimis dipegang oleh Thaha Hussein yang membagi wahyu kepada dua dimensi: the first massage di satu sisi, dan the second massage, di sisi lain. Semua penjelasan ini mengemukakan bahwa wahyu tidak berdiri sendiri dalam mengatasi persoalan kemanusiaan. Intervensi akal menjadi hal yang tidak bisa dihindari dalam menerjemahkan “kemauan” wahyu yang seringkali -atau bahkan selalu- turun dengan rumusan- rumusan bahasa langit. Intervensi akal kemanusiaan inilah yang menghubungkan wahyu dengan
  • 15. fakta dan realitas historis yang dihadapi. Peristiwa Tahkim yang mengakhiri peperangan kelompok Ali dan Mu‟awiyah, yang kemudian diselewengkan oleh Muawiyah sebagai bentuk penyerahan kekuasaan oleh Ali kepadanya, menjadi satu bukti historis bahwa wahyu sangat terbuka terhadap interpretasi kemanusiaan, bahkan ketika interpretasi itu menyesatkan. Itulah al- Qur‟an, kata Ali, yang hanya bisa bicara ketika manusia menafsirkannya. Al-Farabi ketika menjelaskan tentang wahyu menuliskan bahwa ketika seorang Nabi menerima wahyu, setidaknya ada tiga jenis intelek yang dilibatkan: Pertama, intelek aktif, yakni satu entitas kosmik yang bertindak sebagai perantara transenden antara Tuhan dan manusia. Kedua, adalah intelek perolehan (al-‟aql al-mustafad) yang diperoleh Nabi hanya jika jiwanya bersatu dengan intelek aktif. Dalam persenyawaan ini, tulis Osman Bakar, intelek perolehan menerima pengetahuan transenden dari intelek aktif. Ketiga, adalah intelek pasif (al-aql al-munfail) yang merupakan kondisi intelek penerimaan wahyu secara umum. Wahyu yang diterima oleh para Nabi, menurut Abdul Kalam Azad, bukanlah sesuatu yang baru, melainkan pesan-pesan yang pernah diberikan kepada para Nabi pendahulunya. Muhammad, tulis Azad, tidak datang dengan pesan-pesan baru, melainkan dengan pesan-pesan yang sama seperti yang pernah diterima oleh Nabi Adam, Nuh, Ya‟kub, Ismail, Yusuf, Sulaiman, Daud, Musa, Isa dan Nabi-nabi lain yang diutus di seantero dunia ini. Meskipun ada di antara Nabi-nabi itu yang disebutkan dalam al-Qur‟an dan tidak, tetapi pesan yang mereka bawa adalah sama, yakni kepercayaan kepada Tuhan dan melakukan kebaikan (ma‟ruf) serta menghindari kemungkaran (munkar) dan agama adalah jalan yang tepat untuk menuju semuanya. Tesis Azad ini, mengingatkan kepada konsep kekekalan ide dalam filsafat. Bahwa konsep- konsep filosofis yang pernah digagas oleh Aristoteles misalnya, memberikan pengaruh yang cukup kuat dalam tradisi pemikiran umat Islam. Para filosof Muslim yang menganggap Aristoteles sebagai “guru pertama” (al-mu‟allim al-awwal) menunjukkan pengaruhnya yang besar kepada jalan pikiran para filosof Muslim (Nurcholish, 2000: 226). Kuatnya pengaruh Aristoteles dalam tradisi pemikiran filosof muslim itu makin tegas ketika, Al-Farabi dikukuhkan sebagai “guru kedua” (al-mu‟allim al-tsani) setelah Aristoteles. Dengan demikian, wahyu sebagai guidance bagi umat beragama dalam kehidupannya harus selalu terbuka terhadap intervensi kemanusiaan dan penjelasan akal. Tradisi hermeneutika sebenarnya lahir untuk menjembatani manusia membongkar dimensi-dimensi filosofis yang terkandung dalam wahyu. Wahyu tidak tertutup bagi penjelasan-penjelasan filosofis yang memihak manusia, justru akan menjadi persoalan ketika penjelasan filosofis wahyu memenangkan kehendak Tuhan dengan mengabaikan kepentingan kemanusiaan. Walaupun wahyu sering disepadankan dengan agama, dan akal disepandankan dengan filsafat, bukan berarti tidak ada kemungkinan untuk mempertemukannya. Dalam hal ini, al-Farabi bahkan meyakini bahwa agama adalah tiruan dari filsafat. Ketika seseorang memperoleh pengetahuan tentang wujud atau memetik pelajaran darinya, jika dia memahami sendiri gagasan- gagasan tentang wujud itu dengan inteleknya, dan pembenaran atas gagasan tersebut dilakukan dengan bantuan demonstrasi tertentu, maka ilmu yang tersusun dari pengetahuan-pengetahuan ini disebut dengan filsafat. Tetapi jika gagasan-gagasan itu diketahui dengan membayangkannya lewat kemiripan-kemiripan yang merupakan tiruan dari mereka, dan pembenaran atas apa yang
  • 16. dibayangkan atas mereka disebabkan oleh metode-metode persuasif, maka pengetahuan yang dihasilkannya disebut dengan agama. Tantangan menyelaraskan penafsiran wahyu dengan dinamika zaman yang makin mekanistis ini, jelas menuntut satu penelusuran serius terhadap dimensi-dimensi filosofis dalam wahyu. Penelusuran inilah yang akan mengantarkan umat Islam memandang adil terhadap wahyu: menjadikan wahyu sebagai pedoman kehidupan beragama, sekaligus sebagai sumber inspirasi pembangunan keilmuan dan peradaban Islam yang saat ini tengah dirindukan kembali kejayaannya. Wallahu a‟lam bi al-Shawwab.[]