SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 23
Pancasila sebagai paradigma (http://www.empatpilarkebangsaan.web.id/pancasila-sebagai-
paradigma)
Pancasila sebagai paradigma dimaksudkan bahwa Pancasila sebagai sistem nilai acuan, kerangka-
acuan berpikir, pola-acuan berpikir atau jelasnya sebagaisistem nilai yang dijadikan kerangka
landasan, kerangka cara, dan sekaligus kerangka arah/tujuan bagi ‘yang menyandangnya’.
Yang menyandangnya itu di antaranya:
1. Bidang Politik
2. Bidang Ekonomi
3. Bidang Social Budaya
4. Bidang Hukum
5. Bidang kehidupan antar umat beragama, Memahami asal mula Pancasila.
Kelimanya itu, dalam makalah ini, dijadikan pokok bahasan. Namun demikian agar sistematikanya
menjadi relatif lebih tepat, pembahasannya dimulai oleh ‘paradigma yang terakhir’ yaitu paradigma
dalam kehidupan kampus.
I. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan.
Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Thomas
Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut menyatakan bahwa ilmu pada waktu
tertentu didominasi oleh suatu paradigma.
Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok
persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak
hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan
ekonomi.
Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka bertindak,
acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma
berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari
sebuah kegiatan.
Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam melaksanakan segala hal
dalam kehidupan manusia. Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara
normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang
dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa
Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional.
Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia, sedangkan
negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia maka tidak berlebihan apabila
pancasila menjadi landasan dan tolok ukur penyelenggaraan bernegara termasuk dalam
melaksanakan pembangunan.
Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia menurut
Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis tersebut mempunyai
ciri-ciri, antara lain:
a. susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga
b. sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial
c. kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan.
Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan
martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Secara
singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan manusia secara totalitas.
Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia secara
keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup
seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi bidang politik, ekonomi, sosial budaya,
dan pertahanan keamanan.
Pancasila menjadi paradigma dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan
keamanan.
1. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik
Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan
sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan politik harus
dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari
manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan
adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila
sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter.
Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila IV
Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral
daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia
dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan
moral keadilan.
Perilaku politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas dasar
moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral.
Pancasila sebagai paradigma pengembangan sosial politik diartikan bahwa Pancasila bersifat sosial-
politik bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin diwujudkan dengan menggunakan nilai-nilai
dalam Pancasila. Pemahaman untuk implementasinya dapat dilihat secara berurutan-terbalik:
• Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya, agama, dan
ekonomi dalam kehidupan sehari-hari;
• Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan keputusan;
• Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep
mempertahankan persatuan;
• Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab;
• Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan kemanusiaan (keadilan-
keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di era globalisasi informasi seperti sekarang ini, implementasi tersebut perlu direkonstruksi
kedalam pewujudan masyarakat-warga (civil society) yang mencakup masyarakat tradisional
(berbagai asal etnik, agama, dan golongan), masyarakat industrial, dan masyarakat purna industrial.
Dengan demikian, nilai-nilai sosial politik yang dijadikan moral baru masyarakat informasi adalah:
~ nilai toleransi;
~ nilai transparansi hukum dan kelembagaan;
~ nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata);
~ bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3).
2. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi
Sesuai dengan paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan
ekonomi berpijak pada nilai moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus
mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (sila I Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II Pancasila).
Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan menghasilkan sistem
ekonomi yang berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat manusia, baik selaku
makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk tuhan.
Sistem ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya
menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian
juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan
individu.
Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh karena itu,
sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang bertujuan
pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah
sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak
dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan.
Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas,
monopoli dan bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan,
penderitaan, dan kesengsaraan warga negara.
Pancasila sebagai paradigma pengembangan ekonomi lebih mengacu pada Sila Keempat Pancasila;
sementara pengembangan ekonomi lebih mengacu pada pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia.
Dengan demikian subjudul ini menunjuk pada pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau
pembangunan Demokrasi Ekonomi atau pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia atau Sistem
Ekonomi Pancasila.
Dalam Ekonomi Kerakyatan, politik/kebijakan ekonomi harus untuk sebesarbesar
kemakmuran/kesejahteraan rakyat—yang harus mampu mewujudkan perekonomian nasional yang
lebih berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat (tidak lagi yang seperti selama Orde Baru yang
telah berpihak pada ekonomi besar/konglomerat). Politik Ekonomi Kerakyatan yang lebih
memberikan kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup koperasi,
usaha kecil, dan usaha menengah sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional.
Oleh sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Bangun perusahaan yang sesuai dengan ini ialah koperasi. Ekonomi Kerakyatan akan mampu
mengembangkan program-program kongkrit pemerintah daerah di era otonomi daerah yang lebih
mandiri dan lebih mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan daerah.
Dengan demikian, Ekonomi Kerakyatan akan mampu memberdayakan daerah/rakyat dalam
berekonomi, sehingga lebih adil, demokratis, transparan, dan partisipatif. Dalam
Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis berperanan memaksakan
pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau meningkatkan kepastian
hukum.
3. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya
Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan
kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang
adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat
dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan sosial
budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas
bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil dan beradab.
Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat
kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo
menjadi human. Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas
dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah
Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.
Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok
bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan
demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi,
dan ketidakadilan sosial. Paradigma-baru dalam pembangunan nasional berupa paradigma
pembangunan berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya perlu diselenggarakan
dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti yang terlibat, di samping hak negara untuk
mengatur kehidupan berbangsa dan hak asasi individu secara berimbang (Sila Kedua).
Hak budaya komuniti dapat sebagai perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak
asasi individu. Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang
mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Dengan
demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah pada otonomi suku bangsa tetapi justru akan
memadukan pembangunan lokal/daerah dengan pembangunan regional dan pembangunan nasional
(Sila Keempat), sehingga ia akan menjamin keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam
rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakan kedaulatan dan
keutuhan wilayah NKRI (Sila Ketiga).
Apabila dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai puncak-puncak
kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan – kebudayaan di daerah:
(1) Sila Pertama, menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun golongan sosial dan komuniti
setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
(2) Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara Indonesia
tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya;
(3) Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat majemuk di
kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang berdaulat;
(4) Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat
majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan
untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan;
(5) Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan
semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
4. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum
Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya
oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar
tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan seluruh komponen bangsa.
Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan
keamanan rakyat semesta (sishankamrata).
Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber
daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara
total terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan
keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta
didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan
sendiri.
Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat
(individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela
negara. Pancasila sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa
Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan Negara.
Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah
dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah memiliki sebuah konstitusi, yang di dalamnya terdapat
pengaturan tiga kelompok materi-muatan konstitusi, yaitu:
(1) adanya perlindungan terhadap HAM,
(2) adanya susunan ketatanegaraan
negara yang mendasar, dan
(3) adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.Sesuai
dengan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila, Pembukaan UUD 1945
merupakan bagian dari UUD 1945 atau merupakan bagian dari hukum positif. Dalam kedudukan
yang demikian, ia mengandung segi positif dan segi negatif. Segi positifnya, Pancasila dapat
dipaksakan berlakunya (oleh negara); segi negatifnya, Pembukaan dapat diubah oleh MPR—sesuai
dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945.
Hukum tertulis seperti UUD—termasuk perubahannya—, demikian juga UU dan peraturan
perundang-undangan lainnya, harus mengacu pada dasar negara (sila – sila Pancasila dasar negara).
Dalam kaitannya dengan ‘Pancasila sebagai paradigma pengembangan hukum’, hukum (baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis) yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan
dengan sila-sila:
(1) Ketuhanan Yang Maha Esa,
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab,
(3) Persatuan Indonesia,
(4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, substansi hukum yang dikembangkan harus merupakan perwujudan atau
penjabaran sila-sila yang terkandung dalam Pancasila. Artinya, substansi produk hukum merupakan
karakter produk hukum responsif (untuk kepentingan rakyat dan merupakan perwujuan aspirasi
rakyat).
5. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat Beragama Bangsa
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat Beragama Bangsa Indonesia
sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun, bahkan predikat ini menjadi cermin
kepribadian bangsa kita di mata dunia internasional. Indonesia adalah Negara yang majemuk,
bhinneka dan plural. Indonesia terdiri dari beberapa suku, etnis, bahasa dan agama namun terjalin
kerja bersama guna meraih dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia kita. Namun akhir-akhir
ini keramahan kita mulai dipertanyakan oleh banyak kalangan karena ada beberapa kasus
kekerasana yang bernuansa Agama. Ketika bicara peristiwa yang terjadi di Indonesia hampir pasti
semuanya melibatkan umat muslim, hal ini karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
Masyarakat muslim di Indonesia memang terdapat beberapa aliran yang tidak terkoordinir,
sehingga apapun yang diperbuat oleh umat Islam menurut sebagian umat non muslim mereka
seakan-seakan merefresentasikan umat muslim.
Paradigma toleransi antar umat beragama guna terciptanya kerukunan umat beragama
perspektif Piagam Madinah pada intinya adalah seperti berikut:
1. Semua umat Islam, meskipun terdiri dari banyak suku merupakan satu komunitas
(ummatan wahidah).
2. Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara komunitas Islam dan
komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsi:
a. Bertentangga yang baik
b. Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
c. Membela mereka yang teraniaya
d. Saling menasehati
e. Menghormati kebebasan beragama.
Lima prinsip tersebut mengisyaratkan:
1) Persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa diskriminasi yang didasarkan
atas suku dan agama;
2) pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam menyelesaikan masalah
bersama serta saling membantu dalam menghadapi musuh bersama. Dalam “Analisis dan
Interpretasi Sosiologis dari Agama” (Ronald Robertson, ed.) misalnya, mengatakan bahwa hubungan
agama dan politik muncul sebagai masalah, hanya pada bangsa-bangsa yang memiliki heterogenitas
di bidang agama.
Hal ini didasarkan pada postulat bahwa homogenitas agama merupakan kondisi kesetabilan politik.
Sebab bila kepercayaan yang berlawanan bicara mengenai nilai-nilai tertinggi (ultimate value) dan
masuk ke arena politik, maka pertikaian akan mulai dan semakin jauh dari kompromi.
Dalam beberapa tahap dan kesempatan masyarakat Indonesia yang sejak semula bercirikan
majemuk banyak kita temukan upaya masyarakat yang mencoba untuk membina kerunan antar
masayarakat. Lahirnya lembaga-lembaga kehidupan sosial budaya seperti “Pela” di Maluku,
“Mapalus” di Sulawesi Utara, “Rumah Bentang” di Kalimantan Tengah dan “Marga” di Tapanuli,
Sumatera Utara, merupakan bukti-bukti kerukunan umat beragama dalam masyarakat.
Ke depan, guna memperkokoh kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia yang saat ini
sedang diuji kiranya perlu membangun dialog horizontal dan dialog Vertikal. Dialog Horizontal
adalah interaksi antar manusia yang dilandasi dialog untuk mencapai saling pengertian, pengakuan
akan eksistensi manusia, dan pengakuan akan sifat dasar manusia yang indeterminis dan
interdependen.
Identitas indeterminis adalah sikap dasar manusia yang menyebutkan bahwa posisi manusia berada
pada kemanusiaannya. Artinya, posisi manusia yang bukan sebagai benda mekanik, melainkan
sebagai manusia yang berkal budi, yang kreatif, yang berbudaya.
II. Implementasi Pancasila sebagai Paradigma Kehidupam Kampus
Menurut saya, implementasi pancasila sebagai paradigma kehidupan kampus adalah seperti contoh-
contoh paradigma pancasila diatas kehidupan kampus tidak jauh berbeda dengan kehidupan
tatanan Negara. Jadi kampus juga harus memerlukan tatanan pumbangunan seperti tatanan Negara
yaitu politik, ekonomi, budaya, hukum dan antar umat beragama.
Untuk mencapai tujuan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maka sebagai
makhluk pribadi sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (IPTEK) pada hakikatnya merupakan suatu hasil kreativitas rohani manusia.
Unsur jiwa manusia meliputi aspek akal, rasa,dan kehendak. Sebagai mahasiswa yang mempunyai
rasa intelektual yang besar kita dapat memanfaatkan fasilitas kampus untuk mencapai tujuan
bersama.
Pembangunanyang merupakan realisasi praksis dalam Kampus untuk mencapai tujuan seluruh
mahsiswa harus mendasarkan pada hakikat manusia sebagai subyek pelaksana sekaligus tujuan
pembangunan. Oleh karena itu hakikat manusia merupakan sumber nilai bagi pembangunan
pengembangan kampus itu sendiri.
EMPAT PILAR KEBANGSAAN (http://empatpilarkebangsaan.blogspot.com/)
Empat pilar kebangsaan, tema yang akhir-akhir ini menjadi pembicaraan hangat dalam
diskusi. Empat pilar semakin mendominasi dengan semakin derasnya gelombang modernisasi
yang semakin mereduksi semangat nasionalisme bangsa Indonesia dalam fantasi labirin
demokrasi yang menurut saya masih banyak konflik vertikal maupun horizontal dalam
masyarakat.
Terlebih dahulu kita mulai dari mengenal kata “Pilar”, pilar adalah tiang penguat/penyangga,
selanjutnya saya menghubungkan dengan empat pilar kebangsaan, artinya ada empat tiang
penguat / penyangga yang sama sama kuat, untuk menjaga keutuhan berkehidup kebangsaan
Indonesia. Dapat saya simpulkan bahwa 4 pilar kebangsaan adalah 4 penyangga yang
menjadi panutan dalam keutuhan bangsa indonesia yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar,
Bhineka Tunggal Ika, NKRI. Empat pilar kebangsaan yang dikampanyekan untuk
menumbuhkan kembali kesadaran cinta tanah air untuk seluruh rakyat Indonesia. Dalam
perjalanannya 4 pilar kebangsaan yang merupakan mantra ajaib dalam membina persatuan
belum di jelaskan bagaimana sampai ia menjadi begitu ampuh sebagai jurus tanpa data fakta
sejarah dan perjalanannya.
Namun jika mantra ini dihadapkan kembali pada Preambule UUD’45 maka akan kita
temui suatu rangkaian peristiwa sejarah sehingga membentuk tahapan filosofis NKRI.
Memaknai 4 alinea dalam Preambule UUD’45, ini merupakan rangkuman sejarah Bangsa
Indonesia, Sumpah Pemuda 1928, hingga dibentuknya NKRI melalui pengesahan konstitusi
UUD’45 pada 18 Agustus 1945.
1. Alinea pertama mengutarakan tentang sikap Bangsa Indonesia yang tidak mau dijajah
dan tidak akan pernah menjajah dalam bentuk apapun, kemerdekaan ialah hak segala
bangsa, hal ini menjelaskan bahwa setiap Bangsa memiliki harkat dan martabat hidup
yang setara. Tersirat alinea pertama menceritakan komitmen “Bhineka Tunggal Ika”.
Komitmen untuk bersatu menjadi sebuah cita-cita untuk Mengangkat Harkat dan
martabat agar sejajar dengan bangsa lain di dunia.
2. Alinea kedua menceritakan proses perjuangan dan pergerakan telah sampai pada saat
yang berbahagia hingga mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan. secara tersirat menceritakan peristiwa 1 juni 1945 dimana Bangsa
Indonesia Menetapkan Pancasila sebagai Dasar Indonesia.
3. Alinea ketiga, atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan dengan didorong oleh
keinginan luhur, untuk mengangkat harkat dan martabat Indonesia pun menyatakan
kemerdekaan.Ini sangat jelas menceritakan peristiwa Proklamasi 17 Agustus 1945.
4. Alinea keempat menceritakan peristiwa setelah Bangsa Indonesia merdeka yaitu
didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berkedaulatan rakyat
berdasarkan pancasila dan diatur dalam suatu Undang-undang Dasar, dengan sangat
jelas menceritakan peristiwa Pengesahan UUD’45 dan Penetapan Ir. Sukarno dan Drs.
Moh. Hatta sebagai Presiden RI dan Wakil Presiden RI oleh PPKI pada 18 Agustus
1945. Rumusan tersebut membentuk kerangka filosofis NKRI yaitu ; Sumpah Pemuda
sebagai komitmen Bhineka Tunggal Ika, Pancasila Dasar Indonesia Merdeka,
Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia dan UUD’45
Ke-4 Pilar ini merupakan kandungan dari 4 peristiwa yaitu ; Peristiwa Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928, Penetapan Pancasila pada 1 Juni 1945, Proklamasi 17 Agustus 1945, dan
pengesahan UUD’45 pada 18 Agustus 1945, inilah kronologi terbentuknya NKRI.
 Cara menjaga Empat Pilar Kebangsaan
Ada empat pendekatan untuk menjaga empat pilar kebangsaan yang terdiri dari Pancasila,
UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keempat pendekatan tersebut yaitu pendekatan kultural, edukatif, hukum, dan struktural,
dibutuhkan karena saat ini pemahaman generasi muda terhadap 4 pilar kebangsaan menipis.
1. Pendekatan kultural adalah dengan memperkenalkan lebih mendalam tentang budaya
dan kearifan lokal kepada generasi muda. Hal ini dibutuhkan agar pembangunan oleh
generasi muda di masa depan tetap mengedepankan norma dan budaya bangsa.
Pembangunan yang tepat, harus memperhatikan potensi dan kekayaan budaya suatu
daerah tanpa menghilangkan adat istiadat yang berlaku. Generasi muda saat ini adalah
calon pemimpin bangsa, harus paham norma dan budaya leluhurnya. Sehingga di
masa depan tidak hanya asal membangun infrasturktur modern, tetapi juga
menyejahterakan masyarakat
2. Pendekatan edukatif perlu karena saat ini sangat marak akgenerasi muda, seperti
tawuran, pencurian, bahkan pembunuhan. Kebanyakan aksi tersebut terjadi saat
remaja berada di luar sekolah maupun di luar rumah. Oleh sebab itu perlu ada
pendidikan di antara kedua lembaga ini. Di rumah kelakuannya baik, di sekolah juga
baik. Namun ketika di antara dua tempat tersebut, kadang remaja berbuat hal negatif.
Ini yang sangat disayangkan. Orangtua harus mencarikan wadah yang tepat bagi
anaknya untuk memaknai empat pilar kebangsaan semisal lewat kegiatan di Pramuka.
3. Pendekatan hukum adalah segala tindakan kekerasan dalam bentuk apapun harus
ditindak dengan tegas, termasuk aksi tawuran remaja yang terjadi belakangan. Norma
hukum harus ditegakkan agar berfungsi secara efektif sehingga menimbulkan efek
jera bagi pelaku kriminal sekaligus menjadi pelajaran bagi orang lain.
4. Pendekatan yang terakhir adalah pendekatan struktural. Keempat pilar ini perlu terus
diingatkan oleh pejabat di seluruh tingkat. Mulai dari Ketua Rukun Tetangga, Rukun
Warga, kepala desa, camat, lurah sampai bupati/wali kota hingga gubernur.
Salah satu solusi menjawab krisis moral yang terjadi di Indonesia adalah melalui penguatan
pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan ini memperkokoh karakter bangsa dimana warga
negara dituntut lebih mandiri, tanggung jawab, dan mampu menghadapi era globalisasi
melalui transmisi empat pilar.
Fungsi Pancasila adalah sebagai petunjuk aktivitas hidup di segala bidang yang dilakukan
warga negara Indonesia. Kelakuan tersebut harus berlandaskan sila-sila yang terdapat di
Pancasila.
Sedangkan UUD 1945 merupakan konstitusi negara yang mengatur kewenangan tugas dan
hubungan antar lembaga negara. Hal ini menjiwai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
merupakan sadar segenap warga bangsa untuk mempersatukan wilayah nusantara. Semboyan
Bhinneka Tunggal Ika melengkapi ketiga hal tersebut karena mengakui realitas bangsa
Indonesia yang majemuk namun selalu mencita-citakan persatuan dan kesatuan
Urgensi Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (http://bambud_fisip-
fisip.web.unair.ac.id/)
Wacana gagasan strategis mengenai empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu : NKRI,
Pancasila, UUD’45, dan Bhineka Tunggal Ika di tengah hiruk pikuk reformasi Indonesia yang
mengapung dan kehilangan arah, merupakan sebuah penemuan kembali (reinventing) jati diri ke-
Indonesiaan kita. Karena gagasan itulah orang kemudian terkejut dan mulai menyadari bahwa
reformasi bangsa Indonesia selama ini ternyata berjalan di atas rel yang salah, atau mengapung tak
tentu arah. Reformasi yang sedang berjalan nyatanya keluar dari jalur yang pernah ditetapkan oleh
para pendiri bangsa Indonesia dan tak menentu ujung akhirnya.
Gagasan mengenai Empat Pilar bangsa ini, karenanya, menjadi semacam peringatan keras agar
bangsa Indonesia menempatkan kembali arah reformasinya ke atas jalur sejarah, sebagaimana
diletakkan oleh para pendiri bangsa, dan diteguhkan kembali oleh konsensus nasional oleh generasi-
generasi sesudahnya. Dengan kata lain, gagasan mengenai Empat Pilar Bangsa merupakan titik
strategis di mana reformasi Bangsa Indonesia harus ditempatkan kembali di dalam jalur sejarah,
sesuai dengan apa yang sudah diletakkan dasar-dasarnya oleh para pendiri bangsa Indonesia.
Masa transisi demokrasi yang dialami bangsa Indonesia begitu panjang dan melelahkan. Selama
kurang lebih 13 tahun wacana perpolitikan Indonesia diisi oleh hiruk pikuk Pemilu dan Pilkada
beserta ritual dan konflik sosial yang mengikutinya, juga diisi dengan perayaan besar pemberantasan
korupsi, kebebasan pers, hak asasi manusia, penegakkan hukum dan iklim demokrasi yang terbuka
luas. Akan tetapi semua kebisingan politik itu malah membuat tokoh-tokoh bangsa merasa prihatin,
justru karena di tengah hiruk pikuk politik reformasi itu, hampir tidak pernah terdengar suara-suara
tentang sesuatu yang lebih fundamental : Pancasila, UUD’45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika sebagai
fondasi kehidupan bangsa di atas mana reformasi berlangsung. Kalau pun perbincangan tentang
UUD’45 menyemarakkan panggung politik Indonesia, hal itu dilakukan dalam bingkai besar
liberalisasi : kata setiap warga negara diganti menjadi setiap orang, pasal 33 ditambah dengan
“efisiensi berkeadilan,” kewenangan MPR dikurangi, dan seterusnya. Atas proses liberalisasi yang
masuk melalui amandemen konstitusi ini, sebagian warga masyarakat kemudian menyebutnya
sebagai UUD 2002--yang bernuansa liberalistik, untuk membedakannya dengan substansi UUD’45
yang lebih bernuansa nasionalistik.
Membicarakan perkembangan Indonesia sekarang ini, tidak bisa tidak, kita harus mengaitkannya lagi
dengan sejarah perjalanan bangsa Indonesia, termasuk sejarah pergulatan dan perjuangan para
pendiri bangsa Indonesia. Tanpa mengenali jejak sejarah perjuangan para pendiri bangsa, mustahil
kita dapat memahami semangat, jiwa, roh, atau spirit yang terkandung di dalam kehidupan
kebangsaan kita sekarang ini.
NKRI menjadi penting, jika kita meletakkannya dalam konteks sejarah di mana para pendiri bangsa
membangkitkan imajinasi kolektif rakyat dari Sabang sampai Marauke, tentang Indonesia yang
merdeka. Kita dapat membayangkan, betapa beratnya perjuangan para pendiri bangsa untuk
menanamkan bayangan mengenai Indonesia yang satu, yang utuh, di tengah kuatnya ikatan-ikatan
etno-nasionalisme seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumateranen Bond, Jong Celebes, Jong
Islamieten Bond, dll. Pada masa perjuangan kemerdekaan, ikatan-ikatan kedaerahan itu demikian
kuatnya, hingga tidak mudah mempersatukan mereka itu di dalam wadah tunggal yang disebut
Republik Indonesia. Soempah Pemuda 1928 yang mengekspersikan tekad satu bangsa, satu tanah air
dan satu bahasa Indonesia, adalah tonggak sejarah sangat penting dalam proses integrasi kekuatan-
kekuatan etno-nasionalisme menjadi nasionalisme Indonesia. Proklamasi kemerdekaan memperkuat
dan meneguhkan keIndonesiaan yang pada mulanya hanya ada dalam bayangan, menjadi sebuah
nation state yang nyata.
Soalnya adalah, apakah bangsa Indonesia adalah sesuatu yang telah selesai, given, atau sesuatu yang
masih harus terus diperjuangkan?
Gejala-gejala disorganisasi dan disorientasi masyarakat bahkan Pemda di berbagai daerah pasca
reformasi bukan saja menyatakan bahwa ada semakin banyak elemen masyarakat yang ingin
“berpisah” dari NKRI, akan tetapi hal itu sekaligus menyatakan bahwa keIndonesiaan bukanlah
sesuatu barang warisan yang boleh digeletakkan begitu saja. NKRI harus dipelihara, dijaga, karena
keberadaannya senantiasa di dalam ketegangan antara integrasi, desintegrasi dan reintegrasi. Pasca
reformasi sekarang ini, anasir-anasir yang begerak kearah desintegrasi Indonesia semakin bercampur
aduk dengan konflik-konflik antar suku, antar kampung, antar pendukung calon pemimpin dalam
Pilkada, Pilgub maupun Pilpres. Jika tidak dikelola dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-
singkatnya, potensi desintegrasi bisa membahayakan keutuhan NKRI. Jadi NKRI adalah sesuatu yang
dinamis, yang harus terus dirawat oleh segenap rakyat Indonesia.
Pada masa awal kemerdekaan, keberadaan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni
NKRI, Pancasila, UUD’45 dan Bhineka Tunggal Ika, terancam oleh kekuatan kolonialisme dan
imperialisme kuno. Kekuatan kolonialisme dan imperialisme kuno itu ditandai oleh (1) pendudukan
langsung jabatan-jabatan politik (dominiasi politik) negara oleh kekuatan bangsa asing; (2)
eksploitasi sumber daya ekonomi (eksploitasi ekonomi) bangsa pribumi oleh kaum penjajah, dan (3)
penetrasi kebudayaan bangsa Indonesia oleh kebudayaan asing, melalui pendudukan langsung.
Pada masa kemerdekaan, terutama pada periode demokrasi terpimpin dan masa pemerintahan
Orde Baru, ancaman atas empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara itu datang dari rezim
otoritarian yang hendak menghapuskan persatuan dalam keberagaman (unity in diversity) dengan
cara melakukan penyeragaman atas kebhinekaan (unity in uniformity).
Pasca Reformasi, kita menyaksikan adanya gelombang tsunami demokratisasi yang ditandai oleh
lemahnya peran negara di satu sisi, dan menguatnya partisipasi masyarakat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Alih-alih menciptakan negara demokrasi yang mensejahterakan rakyat,
tsunami demokrasi ini melahirkan konflik horisontal, korupsi, penindasan kelompok mayoritas atas
menoritas, pemaksaan kehendak, sparatisme, anarkisme berdalih agama, hingga terorisme.
Tigabelas tahun reformasi telah merubah Demokrasi (pemerintahan oleh rakyat) menjadi Demo-
crazy (pertunjukan kegilaan). Kecenderungan ini pun menjadi ancaman serius NKRI, Pancasila,
UUD’45 dan Bhineka Tunggal Ika.
Tidak boleh dilupakan juga bahwa, di tengah hiruk pikuk pilkada, pilgub, pileg, dan pilpres beserta
konflik yang menyertainya, dominasi politik, eksploitasi ekonomi dan penetrasi kebudayaan oleh
kekuatan asing tidak pernah jeda sedikit pun. Ambil contoh, pada tahun 1911, dari 3,1 trilyun dana
perbankan, 50,6%nya dikuasai asing, Kecap, Saus, sirup ABC 65% sahamnya asing, Teh Sari Wangi
100% milik asing, Kecap Bango 100% milik asing, 80% air bersih dikuasai asing, pabrik rokok
HM.Sampurna 100% milik asing, Indosat 70.3% milik asing, XL Axiata 80% asing, beberapa jenis
ukiran Jepara, beberapa jenis bibit jagung patennya dimiliki bangsa asing.
Inilah pertunjukkan kegilaan (democrazy) yang terjadi di depan mata, tapi tak dirasakan sebagai
ancaman nyata dan serius dari keberadaan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan membandingkan ancaman-ancaman yang timbul diantara masa perjuangan kemerdekaan,
dengan situasi pasca kemerdekaan, khususnya pasca reformasi sekarang ini, menjadi jelas buat kita
semua, betapa pentingnya konsensus nasional bangsa Indonesia tentang NKRI, Pancasila, UUD’45,
dan Bhineka Tunggal Ika.
Cita-cita Luhur Bangsa Indonesia
Cita-cita luhur suatu bangsa adalah kehendak bersama, suatu konsensus nasional yang menjadi
orientasi dasar dari segala aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Cita-cita luhur itu, telah
ditetapkan menjadi konsensus nasional, dan secara jelas ditegaskan dalam pembukaan undang-
undang dasar 1945 :
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan
di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia
dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaann
negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia di dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Terkait dengan konsensus nasional Bangsa Indonesia mengenai NKRI, di dalam UUD’45 disebutkan
bahwa : Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik [Pasal 1 (1)].
Seterusnya, untuk meneguhkan konsensus nasional mengenai NKRI, UUD’45 dalam amandemennya
yang keempat menyatakan “khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak
dapat dilakukan perubahan” [Pasal 37 (5)].
Dengan demikian menjadi sangat jelas bahwa cita-cita mulia bangsa Indonesia sebagaimana
tertuang di dalam Pembukaan UUD’45, akan senantiasa diperjuangkan dan diwujudkan melalui dan
di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan negara federasi atau yang lainnya.
Terkait dengan NKRI ini, dalam pidato mengenai lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945, Bung Karno,
mengutip Ernest Renan yang menyatakan syarat sebuah bangsa adalah kehendak untuk bersatu (le
desire d’etre ensemble) dan dikutipnya juga konsep definisi dari Otto Bauer yang menyatakan
bahwa bangsa adalah suatu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib (Bung Karno,
Pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945 hal. 12). Namun tidak berhenti di sini, Bung Karno melengkapi
konsepsi Ernest Renan maupun Otto Buer dengan memasukkan kalimat “kesatuan orang dan
tempat”. Jadi menurut Bung Karno pengertian Bangsa menurut Renan dan Bauer tidaklah cukup,
tidak lengkap. Dalam kata-katanya sendiri, Bung Karno menyatakan :
“Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di
bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Buaer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya
mendirikan “gemeinshaft”-nya dan perasaan orangnya….mereka hanya mengingat karakter, tidak
mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu.
Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air adalah satu kesatuan….Seorang anak kecil
pun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan
satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan suatu kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara
dua lautan yang besar, lautan Pasifik dan lautan Hindia dan diantara dua benua yaitu benua Asia dan
benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo
(Kalimantan), Celebes (Sulawesi), Halmahera, kepulauan Sunda Kecil, Maluku dan pulau-pulau kecil
diantaranya, adalah satu kesatuan.
….Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik,
maka Indonesia tanah air kita, Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, bukan
Borneo saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjukkan oleh Allah SWT menjadi
satu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita. ….pendek kata, bangsa
Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan “le desire
d’etre ensemble” di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau
Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang telah
ditentukan oleh Allah SWT tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara
Sumatera sampai Irian! Seluruhnya!.... disinilah kita semua harus menuju, mendirikan Nasional Staat,
di atas kesatuan Bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian (Bung Karno, Pidato Pantjasila,
1 Juni 1945, hal.12 -13).
Dengan mengungkapkan kembali pidato ini, menjadi jelas bagi kita sekarang, semangat, spirit apa
yang menjiwai pasal 1 ayat 1 dan pasal 37 ayat 5 UUD’45 sebagaimana disebutkan di atas.
Atas dasar konsensus nasional tentang NKRI ini, marilah kita secara bersama-sama mencermati,
menilai dan menganalisis perjalanan bangsa Indonsia sekarang ini. Apakah pergerakan bangsa kita
sekarang, sedang memperkuat NKRI ataukah sedang menggerusnya. Anasir dan gerakan-gerakan
manakah yang arahnya memperkuat NKRI, dan manakah yang sedang menggerogotinya. Dengan
cara ini, bukan saja kita memiliki titik tolak untuk melihat perjalanan bangsa, akan tetapi memiliki
titik tolak untuk –bersama-sama dengan elemen bangsa kita yang lain—melakukan langkah-langkah
nyata, melakukan gerakan, berjuang mempertkuat serta memperteguh kembali NKRI.
Pancasila, Bhineka Tunggal Ika.
Bangsa Indonesia telah menetapkan konsensus nasionalnya, yakni Pancasila sebagai falsafah dan
dasar negara Republik Indonesia. Karena itu, Pancasila bukan saja menjadi pandangan hidup (way of
life) bangsa Indonesia, akan tetapi juga menjadi ideologi negara. Dengan demikian, seluruh orientasi
kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat haruslah bersendikan pada Pancasila, bukan
pada yang lainnya. Sementara itu, Pancasila hanya akan menjadi sendi kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat, jika Pancasila telah mewujud di dalam kehidupan keseharian bangsa
indonesia, di dalam bidang ekonomi, politik, hukum, sosial maupun budaya.
Untuk memahami Pancasila, ada baiknya kita mencoba untuk mengurai dan mencandra spirit, jiwa
setiap sila dari Pancasila.
Mari kita lihat sila I, Ketuhanan yang Maha Esa. Di tengah masyarakat yang majemuk, kepercayaan
kepada Tuhan yang Maha Esa diwujudkan melalui berbagai agama atau berbagai kepercayaan,
termasuk kepercayaan-kepercayaan lokal. Para Pendiri bangsa Indonesia memilih kalimat Ketuhanan
yang Maha Esa, dan Bung Karno memilih kalimat Ketuhanan Yang Berkebudayaan, bukan ke-Islaman
yang maha kuasa, atau ke-Kristenan yang maha kuasa, atau ke-Budha-an yang maha perkasa, juga
bukan ke-Hindu-an yang maha digdaya, dan seterusya. Oleh karena semua agama dan kepercayaan
yang ada di seluruh masyarakat Indonesia mengakui adanya Tuhan, maka pilihan Ketuhanan Yang
Maha Esa bersifat inklusif, mencakup, mewadahi. Tidak mengagungkan-agungkan, tidak membesar-
besarkan, tidak menghebat-hebatkan agama/kepercayaan yang satu, dan tidak juga mendiskriminasi
atau meremehkan agama/kepercayaan yang lain. Dan dengan demikian, Ketuhanan Yang Maha Esa,
bukan saja mencerminkan realitas dan religiusitas masyarakat Indonesia, akan tetapi juga
mengakomodir berbagai agama dan kepercayaan yang beragam dan berbeda-beda itu. Di situlah
letak kekuatan, letak daya integratif dari sila Ketuhanan yang Maha Esa. Dengan demikian, di dalam
sila pertama ini, sudah tersirat spirit pengakuan terhadap kebhinekaan berbagai aliran kepercayaan
atau agama.
Sila ke II, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Jika kita membaca kembali pidato Bung Karno tanggal
1 Juni 1945 di hadapan sidang BPUPKI, kita dapat memahami apa makna sila ini. Sila ini disebutnya
sebagai Internasionalisme. Yang hendak ditekankan oleh Bung Karno dengan sila ini adalah posisi
nasionalisme Indonesia yang terkait erat dengan pergaulan internasional, sehingga bukan
nasionalisme yang sempit, bukan nasionalisme yang chauvinistik. Dengan cara demikian, Indonesia
mengakui dan ikut memperjuangkan tujuan-tujuan kemanusiaan internasional, tetapi dengan cara-
cara yang adil dan beradab. Dengan cara-cara yang menghormati kedaulatan bangsa-bangsa. Bung
Karno, menjelaskannya dengan kalimat “internasionalisme hanya bisa tumbuh di tamansarinya
nasionalisme, dan nasionalisme yang tumbuh di tamansarinya internasionalisme.” Dengan sila ini,
hendak dinyatakan bahwa bangsa Indonesia menghormati tujuan-tujuan internasional yang
disepakati oleh bangsa-bangsa, akan tetapi juga hendaknya bangsa-bangsa lain menghormati
martabat dan kedaulatan bangsa Indonesia. Dalam sila kedua ini, kebhinekaan bangsa-bangsa diakui,
dan dihormati. Hanya bangsa yang berjiwa besar, hanya bangsa yang memiliki jiwa toleransi yang
bersedia mengakui dan menghormati keberagaman bangsa-bangsa lain. Bangsa Indonesia adalah
bangsa yang memiliki visi Bhineka Tunggal Ika, bukan saja ditujukan ke dalam dirinya sendiri, akan
tetapi juga kepada bangsa-bangsa lain di dunia. Inilah yang mencegah bangsa Indonesia terjatuh ke
dalam nasionalisme sempit, nasionalisme chauvinistik, nasionalisme yang memandang bangsa atau
ras lain lebih rendah. Sejarah pernah mencatat, bahwa bangsa-bangsa dengan nasionalisme
chavinistik, hanya akan menghasilkan holocoust kemanusiaan, seperti yang dilakukan oleh Nazi di
Jerman, Bennito Musolini di Italia, dll.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia, bukanlah sembarang frasa yang dituliskan secara serampangan. Sila
ini bersifat merangkum, mengakomodir, mewadahi berbagai ragam suku bangsa yang menyebar dari
Sabang sampai Marauke, dengan segala adat istiadatnya, dengan kebiasaan-kebiasaannya, dengan
keragaman keseniannya, dengan keragaman pola makan dan jenis makanannya, dengan keragaman
jenis dan cara berpakaiannya, dengan keragaman nilai dan norma-normanya, pranata sosialnya, dsb.
Mereka semua, yang majemuk itu, yang beragam-ragam itu, dipersatukan di dalam suatu kesatuan
kehidupan yang disebut dengan Kebangsaan Indonesia. Dengan demikian, di dalam sila ini sekaligus
terkandung pengakuan atas kebhinekaan yang dipayungi oleh suatu semangat persatuan sebagai
sebuah bangsa; pengakuan atas aturan dan norma-norma lokal, yang diikuti dengan kesediaan untuk
mengakui dan mentaati aturan dan hukum nasional; pengakuan atas keunikan, tetapi yang diikuti
dengan toleransi dan solidaritas. Di dalam sila ini terkandung nilai-nilai pluralisme dan
multikulturalisme, yakni pengakuan terhadap keberagaman, akan tetapi tetap di dalam suatu
kesatuan bangsa. Sila ini mengakui “unity in diversity” (persatuan dalam keberagaman) bukan “unity
in uniformity” (persatuan dalam keseragaman).
Ke luar, sila ini menggambarkan sekaligus mencita-citakan adanya sebuah entitas bangsa yang
memiliki kepribadian, kedaulatan dan martabat, yang harus diakui dan dihormati oleh bangsa-
bangsa di dalam pergaulan internasional. Sebagaimana sudah saya sebutkan tadi, kebangsaan
Indonesia bukanlah kebangsaan yang chauvinistik, tetapi kebangsaan yang mengakui kedaulatan,
martabat dan kebesaran bangsa-bangsa lain, sejauh bangsa-bangsa lain itu mengakui dan
menghormati kedaulatan bangsa Indonesia.
Bertitik tolak dari pemahaman seperti ini, marilah kita tengok sejenak, apakah otonomi daerah yang
sekarang ini berjalan, menumbuhsuburkan kebangsaan Indonesia, atau malah menumbuhsuburkan
etno nasionalisme, memperkuat rasa kedaerahan, atau malah memperkuat kecenderungan
desintegrasi ? Juga kebebasan dan demokrasi yang kita jalani, memperkuat kebangsaan Indonesia
atau malah meruntuhkannya ? Persoalan-persoalan ini haruslah dilihat sebagai tantangan terhadap
Pancasila. Di sinilah NKRI menjadi pilihan strategis yang tidak boleh tergoyahkan. Karena hanya
melalui NKRI (yang berdasarkan pada UUD’45 dan Bhineka Tunggal Ika) sila kebangsan ini dapat
direalisasikan.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/
Perwakilan. Sila ini pun sangat jelas, diangkat dan direfleksikan dari realitas kehidupan sosial-budaya
bangsa Indonesia. Yaitu kehidupan sosial budaya yang di dalamnya dipenuhi semangat musyawarah,
dilaksanakan di dalam suatu permusyawaratan-permusyawaratan rakyat, di dalam pertemuan adat,
di dalam pertemuan warga desa, didalam pertemuan-pertemuan di Rumah Panjang di Kalimantan,
dalam pertemuan-pertemuan Banjar di Bali, dalam pertemuan-pertemuan ninik mamak di Rumah
Gadang di Minangkabau, dsb. Karena itu, Pancasila mencita-citakan agar kerakyatan Indonesia
dipimpin oleh hikmatnya kebijaksanaan yang muncul dari permusyawaratan-permusyawaratan
langsung (di desa-desa, di antara suku-suku, diantara kerabat-kerabat, diantara warga di tingkat RT,
RW, kelurahan atau diantara kelompok-kelompok), atau pun permusyawaratan yang dilaksanakan
oleh wakil-wakil rakyat. Secara negatif bisa dibaca demikian : yang dicita-citakan oleh sila ini
bukanlah kerakyatan yang dipimpin oleh kekerasan, bukan kerakyatan yang dipimpin oleh politik
transaksional, bukan kerakyatan yang dipimpin oleh individualisme, bukan pula kerakyatan yang
dipimpin oleh “money politics’, bukan kerakyatan yang dipimpin oleh fundamentalisme dan
radikalisme agama, bukan kerakyatan yang dipimpin oleh sektarianisme, bukan kerakyatan yang
dipimpin oleh terorisme, juga bukan kerakyatan yang dipimpin oleh pragmatisme dan
fundamentalisme pasar bebas. Tetapi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan yang
disarikan dari permusyawaratan. Oleh karena itu, sila ini, bersama sila keadilan sosial, oleh Bung
Karno disebut sebagai sosio-demokrasi, bukan liberal demokrasi. Demokrasi yang bersendikan pada
musyawarah rakyat, bukan demokrasi yang bersendikan pada kepentingan pribadi-pribadi. Demokrai
yang berlaku bukan hanya di bidang politik saja, akan tetapi juga di bidang ekonomi. Dalam konteks
ini, saya berpandangan, terjadinya voting dalam berbagai pengambilan keputusan adalah wujud dari
kekalahan demokrasi kita, kegagalan demokrasi permusyawaratan.
Demokrasi liberal di bidang politik dan ekonomi hanya akan melahirkan medan kontestasi dan
pertarungan kepentingan-kepentingan invidual atau kelompok, bukan kepentingan bangsa. Ruang
politik dan ekonomi yang dibangun di atas dasar demokrasi liberal, hanya akan dimenangkan oleh
orang-orang yang memiliki kekuatan uang, kekuasaan, atau oleh orang-orang yang populer tapi
belum tentu populis. Itulah sebabnya, Pancasila menawarkan sosio-demokrasi, yaitu demokrasi yang
didasari oleh semangat musyawarah, baik antara golongan kaya maupun golongan miskin.
Demokrasi yang didasari oleh semangat musyawarah antara berbagai kelompok agama,
kepercayaan, suku, ras atau golongan.
Atas dasar pemahaman ini, dapatlah kita sekarang menilai, apakah jalan demokrasi yang kita pilih
sekarang adalah demokrasi Pancasila, sosio-demokrasi atau sebenarnya kita sudah jauh masuk ke
dalam liberal demokrasi, yang karenanya berarti menjauhi nilai-nilai Pancasila ?
Jika di masa lalu, dengan semangat heroisme kita meneriakkan “sekali merdeka, tetap merdeka”,
tetapi bukankah sekarang kita menyaksikan anak-anak bangsa yang dengan bangga meneriakkan
“sekali merdeka, merdeka sekali!” Itulah teriakkan anak-anak bangsa yang lebih mencintai
individualisme, menuruti kehendak untuk bebas sebebas-bebasnya. Dengan demikian, lihatlah
dampaknya : tawuran antar mahasiswa, antar kampung, antar desa, penganiayaan, penyerbuan
tempat-tempat hiburan, pembubaran acara orang lain yang dianggap tak sejalan, konflik antar
kelompok, golongan, antar suku, agama, dan yang sungguh mengkhawatirkan adalah maraknya
teorisme.
Sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menggambarkan cita-cita bangsa
Indonesia untuk mencapai kehidupan yang adil dan makmur. Adil dalam kemakmuran dan makmur
dalam keadilan. Itulah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan keadilan dan
kemakmuran bagi sekelompok apalagi segelintir orang. Bung Karno menyatakan bahwa tujuan
mendirikan Indonesia merdeka ini, bukan semua untuk satu (orang atau golongan) bukan juga satu
(orang atau golongan) untuk semua, akan tetapi semua untuk semua.
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia haruslah merupakan konsekuensi dari pelaksanaan sila
pertama hingga keempat, tetapi sekaligus keadilan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia itu
haruslah bersendikan pada nilai-nilai Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmatnya kebijaksanaan yang
muncul dari permusyawaratan-permusyawaratan langsung, maupun permusyawaratan para wakil
rakyat. Dengan ini menjadi jelas, bahwa keadilan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia,
bukanlah bersendikan kepada nilai-nilai atheisme, kekerasan, pragmatisme, kesukuan,
sektarianisme, liberalisme dan individualisme.
Saudara-saudara sekalian yang saya muliakan,
Nilai-nilai Pancasila yang saya uraikan itulah yang mendasari, yang menjadi ruh, yang menjadi spirit
dari batang tubuh UUD’45, sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri bangsa Indonesia. Oleh
karena itu, terhadap perjalanan dan perkembangan rumusan konstitusi yang telah diamandemen,
atau yang akan diamandemen, kita harus tetap kritis, korektif, agar arah perbaikan dari konstitusi
kita tidak melenceng dari spirit, dari jiwanya konstitusi kita. Akan tetapi kita pun harus bersedia
membuka diri bagi perubahan-perubahan, sejauh perubahan-perubahan itu sejalan dengan spirit
dan nilai-nilai Pancasila. Hanya dengan cara demikian, kita bisa menyongong jaman, menjadi
modern, menjadi maju, tanpa kehilangan karakter kita sebagai bangsa.
Mengapa demikian, saudara-saudara? Yang karena Pancasila sejatinya merupakan mejadi bintang
penjuru (leitstar), bintang pemandu di atasnya kita membangun karakter bangsa Indonesia.
India, Jepang, China, Arab Saudi adalah negara-negara yang maju, akan tetapi tetap memiliki
karakter yang jelas, tegas, kokoh, dan karena itu membedakan mereka dari bangsa-bangsa maju
lainnya. Negara-negara itu dengan jelas menggariskan strategi kebudayaannya, kebijakan politiknya,
yang menjadi orientasi dasar bagi pembangunan karakter bangsanya. Mereka bisa demikian, karena
mereka tidak meninggalkan sejarahnya, sejarah bangsa mereka sendiri. Sejarah bagi mereka adalah
suatu kontinuum bagi pembangunan bangsa mereka sekarang dan yang akan datang.
Demikian pentingnya arti sejarah bagi sebuah bangsa. Dan oleh karena itu, kita pun harus
memperlakukan NKRI, Pancasila, UUD’45 dan Bhineka Tunggal Ika, sebagai sebuah kontinuum
ditengah-tengahnya kita membangun bangsa Indonesia.
Dengan demikian, sekali lagi, ijinkan saya mensitir kembali pesan Bung Karno, bapak bangsa
Indonesia, “ jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah”.
PENTINGNYA 4 (EMPAT) PILAR KEBANGSAAN DALAM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
Oleh : Dani Sintara, SH. MH.
http://lekons-lenterakonstitusi.blogspot.com/
A. Pendahuluan.
Empat pilar kebangsaan yaitu: Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika akhir-akhir ini menjadi pembicaraan publik. Harus diakui, tidak
banyak pembicaraan di kalangan publik tentang keempat pilar itu sepanjang masa demokrasi dan
kebebasan sejak 1998. Jika ada, diskusi publik tentang keempat pilar itu, maka ia hilang-hilang
timbul untuk kemudian seolah lenyap tanpa bekas. Tidak ada upaya tindak lanjut sistematis dari
pemerintah khususnya untuk merevitalisasi, menyosialisasikan, dan menanamkan kembali keempat
pilar itu dalam kehidupan kebangsaan-kenegaraan. Akibatnya, sepanjang reformasi politik yang
bermula pada tahun 1998, negara-bangsa Indonesia hampir tidak pernah putus dipenuhi gagasan,
wacana, gerakan, dan aksi yang secara diametral bertolak belakang dengan keempat pilar tersebut.
Telah lebih dari satu dasawarsa reformasi telah dijalani rakyat Indonesia, namun semakin hari wajah
bangsa makin terlihat muram dan suram. Dibidang penegakan hukum, kita melihat kebobrokan yang
sedemikian rupa yang menyentuh rasa keadilan yang paling mendasar. Hukum yang dicitakan
berlaku sama (equal) terhadap semua warga negara dan termasuk pejabat negara sebagai esensi
paham negara hukum (rule of law) sebagaimana diamanatkan konstitusi terlihat-terbukti diterapkan
secara diskriminatif, tebang pilih. Bukannya memberi perlindungan dan pengayoman, hukum lebih
terlihat berwajah keras terhadap mereka yang rawan, dan amat ramah terhadap mereka yang
mapan. Terpidana yang menikmati fasilitas penuh kemewahan seperti dinikmati oleh Arthalita
Suryani, sementara di tempat lain di Banyumas, seorang narapidana meregang nyawa dihabisi oleh
petugas lembaga pemasyarakatan adalah contoh nyata bagaimana implementasi dan perlindungan
hukum di lapangan amatlah diskriminatif.
Berbagai fenomena diatas hanyalah sebahagian kecil dari kompleksnya permasalahan bangsa di
tengah arus globalisasi dunia. Menjadi menarik untuk direnungkan kembali adalah bagaimana
pentingnya empat pilar kebangsaan yakni: Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika dalam menopang kehidupan berbangsa dan
bernegara? Bagaimana hukum seharusnya didayagunakan dalam konteks keempat pilar tersebut.
Tulisan ini akan mencoba menjawab secara ringkas permasalahan tersebut di atas dalam perspektif
hukum agar Negara Indonesia yang dicitakan sesuai dengan amanat Proklamasi 17 Agustus 1945 dan
Pembukaan UUD 1945 tetap berdiri kokoh.
B. Pancasila Sebagai Falsafah Hidup Bangsa Indonesia.
Pancasila dalam pengertian ini sering juga disebut way of life. Dalam hal ini, Pancasila dipergunakan
sebagai petunjuk hidup sehari-hari (Pancasila diamalkan dalam hidup sehari-hari). Dengan perkataan
lain, Pancasila digunakan sebagai penunjuk arah semua kegiatan atau aktifitas hidup dan kehidupan
didalam segala bidang. Ini berarti bahwa semua tingkah laku dan tindak/perbuatan setiap manusia
Indonesia harus dijiwai dan merupakan pancaran dari semua sila Pancasila karena Pancasila sebagai
weltanschauung selalu merupakan suatu kesatuan, tidak bias dipisah-pisahkan satu dengan yang
lain. Keseluruhan sila didalam Pancasila merupakan satu kesatuan organis. Pancasila yang harus
dihayati adalah Pancasila sebagaimana tercantum didalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan demikian, jiwa keagamaan (sebagai manifestasi/perwujudan dari sila ketuhanan yang maha
esa), jiwa yang berperikemanusiaan (sebagai manifestasi/perwujudan dari sila kemanusiaan yang
adil dan beradab), jiwa kebangsaan (sebagai manifestasi/perwujudan dari sila persatuan Indonesia),
jiwa kerakyatan (sebagai manifestasi/perwujudan dari sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan), dan jiwa yang menjunjung tinggi keadilan
social (sebagai manifestasi/perwujudan dari sila keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia) selalu
terpancar dalam segala tingkah laku dan tindak/perbuatan serta sikap hidup seluruh Bangsa
Indonesia.[3]
Demikianlah pengertian Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa. Dilihat dari kedudukannya,
Pancasila mempunyai kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu, pengertian-pengertian yang
berhubungan dengan pancasila dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
1. Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia.
2. Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia.
3. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia.
4. Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia.
5. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum bagi negara
Republik Indonesia.
6. Pancasila sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia pada waktu mendirikan negara.
7. Pancasila sebagai cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia.
8. Pancasila sebagagai falsafah hidup yang mempersatukan bangsa Indonesia.
C. Undang-Undang Dasar 1945 Sebagai Kontrak Sosial dan Hukum Tertinggi.
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, segala dinamika kekuasaan, hubungan antar cabang
kekuasaan, mekanisme hubungan antara negara, civil society, diikat dan tersimpul dalam suatu
dokumen yang disepakati sebagai sumber hukum tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami beberapa kali perubahan mendasar. Sejak
kemerdekaan, bangsa kita telah menetapkan 8 kali undang-undang dasar, yaitu (1) UUD 1945, (2)
Konstitusi RIS 1949, (3) UUDS 1950, (4) UUD 1945 versi Dekrit 5 Juli 1959, (5) Perubahan Pertama
UUD 1945 tahun 1999, (6) Perubahan Kedua tahun 2000, (7) Perubahan Ketiga tahun 2001, dan (8)
Perubahan Keempat pada tahun 2002, dengan nama yang dipertegas, yaitu Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Di samping UUD 1945 sebagai konstitusi yang tertulis, dalam teori dan praktik, dikenal juga adanya
pengertian mengenai konstitusi yang tidak tertulis, misalnya kebiasaan-kebiasaan dan konvensi
ketatanegaraan, interpretasi konstitusional oleh pengadilan (dalam hal ini Mahkamah Konstitusi),
dan prinsip-prinsip kenegaraan yang hidup dan dipandang ideal dalam masyarakat. Misalnya, ada
pengertian yang hidup dalam masyarakat kita bahwa empat pilar kebangsaan Indonesia yang
mencakup (1) Pancasila, (2) UUD 1945, (3) NKRI, dan (4) Semboyan Bhinneka-Tunggal-Ika. Karena itu,
keempat pilar tersebut juga dapat dipandang berlaku sebagai isi konstitusi Indonesia dalam
pengertiannya yang tidak tertulis. Maksudnya, UUD 1945 sendiri tidak menyebut bahwa keempat
hal tersebut merupakan pilar kebangsaan, kecuali dalam Pasal 37 ayat (5) yang menyatakan bahwa
mengenai bentuk NKRI tidak dapat diadakan perubahan sama sekali.
UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi, tidak saja dalam bidang politik, tetapi juga dalam bidang
ekonomi, dan bahkan sosial. Karena itu, UUD 1945 merupakan konstitusi politik, konstitusi ekonomi,
dan sekaligus konstitusi sosial. UUD 1945 adalah konstitusi yang harus dijadikan referensi tertinggi
dalam dinamika kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan dalam dinamika ekonomi pasar (market
economy). Di samping soal-soal politik, UUD 1945 juga mengatur tentang sosial-soal ekonomi dan
sosial atau yang terkait dengan keduanya, yaitu (1) hal keuangan negara, seperti kebijakan keuangan
(moneter) dan fiskal, (2) bank sentral, (3) soal Badan Pemeriksa Keuangan Negara hal kebijakan
pengelolaan dan pemeriksaan tanggungjawab keuangan negara, (4) soal perekonomian nasional,
seperti mengenai prinsip-prinsip hak ekonomi, konsep kepemilikan pribadi dan kepemilikan kolektif,
serta penguasaan negara atas kekayaan sumberdaya alam yang penting dan menyangkut hajat hidup
orang banyak, serta (6) mengenai kesejahteraan sosial, seperti sistem jaminan sosial, pelayanan
umum dan pelayanan kesehatan, dan pemeliharaan fakir, miskin, dan anak terlantar oleh negara.
Oleh karena itu, UUD 1945 haruslah dijadikan referensi tertinggi dalam merumuskan setiap
kebijakan kenegaraan dan pemerintahan di semua bidang dan sektor. Lagi pula, sekarang kita telah
membentuk Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji konstitusionalitas setiap kebijakan yang
dituangkan dalam bentuk undang-undang. Oleh sebab itu, para anggota DPR sebagai anggota
lembaga yang bertindak sebagai policy maker, pembentuk undang-undang, perlu menghayati
tugasnya dengan berpedoman kepada UUD 1945.[4]
Dengan demikian, Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum yang tertinggi memuat gambaran dan
hasrat ketatanegaraan republik Indonesia serta gambaran kerangka ketatanegaraan itu serta
menentukan tujuan dan garis-garis pokok kebijaksanaan pemerintahan[5] sebagai kontrak sosial
antara masyarakat dengan lembaga-lembaga negara maupun antar lembaga negara yang satu
dengan lembaga negara yang lain.
D. NKRI Sebagai Negara Nasional (Negara Kebangsaan, Nation State).
Asas normatif filosofis-ideologis NKRI seutuhnya ialah filsafat negara Pancasila. Filsafat
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa (Weltanschauung), diakui juga sebagai jiwa bangsa
(Volksgeist, jatidiri nasional) Indonesia. Identitas dan integritas nilai fundamental ini secara
konstitusional dan institusional ditegakkan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai
nation state.
Secara filosofis-ideologis dan konstitusional, bahkan kultural negara kebangsaan (nation state)
adalah peningkatan secara kenegaraan dari nilai dan asas kekeluargaan. Makna kekeluargaan,
bertumpu pada karakteristika dan integritas keluarga yang manunggal; sehingga rukun, utuh-
bersatu, dengan semangat kerjasama dan kepemimpinan gotong-royong. Jadi, nation state
Indonesia adalah wujud makro (nasional, bangsa, negara) dari rakyat warga negara Indonesia se-
nusantara.
Identitas demikian ditegakkan dalam nation state NKRI yang dijiwai asas kekeluargaan, asas
kebangsaan (Wawasan Nasional: sila ketiga Pancasila) dan ditegakkan dengan semangat asas
wawasan nusantara. Karenanya, secara normatif integritas NKRI kuat, tegak tegar menghadapi
berbagai tantangan nasional dan global.
Keseluruhan identitas dan integritas kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dijiwai, dilandasi dan
dipandu oleh nilai fundamental dasar negara Pancasila. Karenanya, NKRI dapat dinamakan dengan
predikat sebagai sistem kenegaraan Pancasila. Sistem kenegaraan ini terjabar secara konstitusional
dalam UUD 1945. NKRI sebagai nation state membuktikan bagaimana potensi dan kualitas dari
integritas wawasan nasional Indonesia raya yang diwarisi, tumbuh, dan teruji dalam berbagai
tantangan nasional dan global.
E. Bhineka Tunggal Ika Sebagai Pembentuk Jati Diri Bangsa.
Sejak Negara Republik Indonesia merdeka, para pendiri bangsa mencantumkan kalimat ”Bhinneka
Tunggal Ika” sebagai semboyan pada lambang negara Garuda Pancasila. Kalimat itu sendiri diambil
dari falsafah Nusantara yang sejak jaman Kerajaan Majapahit juga sudah dipakai sebagai motto
pemersatu Nusantara, yang diikrarkan oleh Patih Gajah Mada dalam Kakawin Sutasoma, karya Mpu
Tantular:
Rwāneka dhātu winuwus wara Buddha Wiśwa,
bhinnêki rakwa ring apan kěna parwanosěn,
mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
bhinnêka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa
Terjemahan:
Konon dikatakan bahwa Wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang berbeda. Namun,
bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya dalam selintas pandang? Karena kebenaran yang
diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda, namun
hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua. (Bhineka Tunggal ika tan Hana Dharma
Mangrwa).[6]
Frasa tersebut berasal dari bahasa Jawa Kuno dan diterjemahkan dengan kalimat Berbeda-beda
tetapi tetap satu. Kemudian terbentuklah Bhineka Tunggal Ika menjadi jati diri bangsa Indonesia. Ini
artinya, bahwa sudah sejak dulu hingga saat ini kesadaran akan hidup bersama di dalam
keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa serta semangat bangsa di negeri ini.
Kemudian dilanjutkan dengan adanya Sumpah Pemuda yang tidak kalah penting dalam sejarah
perkembangan pembentukan Jati Diri Bangsa ini. Tjahjopurnomo (2004) menyatakan bahwa Sumpah
Pemuda yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928 secara historis merupakan rangkaian kesinambungan
dari Sumpah Palapa yang terkenal itu, karena pada intinya berkenaan dengan persatuan, dan hal ini
disadari oleh para pemuda yang mengucapkan ikrar tersebut, yakni terdapatnya kata sejarah dalam
isi putusan Kongres Pemuda Kedua. Sumpah Pemuda merupakan peristiwa yang maha penting bagi
bangsa Indonesia, setelah Sumpah Palapa. Para pemuda pada waktu itu dengan tidak
memperhatikan latar kesukuannya dan budaya sukunya berkemauan dan berkesungguhan hati
merasa memiliki bangsa yang satu, bangsa Indonesia. Ini menandakan bukti tentang kearifan para
pemuda pada waktu itu. Dengan dikumandangkannya Sumpah Pemuda, maka sudah tidak ada lagi
ide kesukuan atau ide kepulauan, atau ide propinsialisme atau ide federaslisme. Daerah-daerah
adalah bagian yang tidak bisa dipisah-pisahkan dari satu tubuh, yaitu tanah Air Indonesia, bangsa
Indonesia, dan bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda adalah ide kebangsaan Indonesia yang bulat dan
bersatu, serta telah mengantarkan kita ke alam kemerdekaan, yang pada intinya didorong oleh
kekuatan persatuan Indonesia yang bulat dan bersatu itu.[7]
Pada saat kemerdekaan diproklamirkan, 17 Agustus 1945 yang didengungkan oleh Soekarno-Hatta,
kebutuhan akan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia tampil mengemuka dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar Negara RI. Sejak waktu itu, Sumpah Palapa dirasakan
eksistensi dan perannya untuk menjaga kesinambungan sejarah bangsa Indonesia yang utuh dan
menyeluruh. Seandainya tidak ada Sumpah Palapa, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) akan
dikoyak-koyak sendiri oleh suku-suku bangsa Nusantara yang merasa dirinya bisa memisahkan diri
dengan pemahaman federalisme dan otonomi daerah yang berlebihan. Gagasan-gagasan
memisahkan diri sungguh merupakan gagasan dari orang-orang yang tidak tahu diri dan tidak
mengerti sejarah bangsanya, bahkan tidak tahu tentang “jantraning alam” (putaran zaman)
Indonesia.
Yang harus kita lakukan adalah, dengan kesadaran baru yang ada pada tingkat kecerdasan,
keintelektualan, serta kemajuan kita sekarang ini, bahwa bangsa ini dibangun dengan pilar bernama
Bhinneka Tunggal Ika yang telah mengantarkan kita sampai hari ini menjadi sebuah bangsa yang
terus semakin besar di antara bangsa-bangsa lain di atas bumi ini, yaitu bangsa Indonesia, meskipun
berbeda-beda (suku bangsa) tetapi satu (bangsa Indonesia). Dan dikuatkan dengan pilar Sumpah
Palapa diikuti oleh Sumpah Pemuda yang mengikrarkan persatuan dan kesatuan Nusantara/bangsa
Indonesia, serta proklamasi kemerdekaan dalam kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia yang
utuh dan menyeluruh. Hal itu tidak terlepas dari pembentukan jati diri daerah sebagai dasar
pembentuk jati dari bangsa.
F. Penutup.
Tegaknya NKRI pada akhirnya berpulang pada apakah kita masih menggunakan empat pilar
kebangsaan. Pembangunan hukum oleh karenanya haruslah dalam asas yang berkesesuaian dengan
empat pilar kebangsaan tersebut, yang bernafaskan Pancasila, yang konstitusional, dalam kerangka
NKRI, dan untuk menjamin keanekaragaman budaya, suku bangsa dan agama. Jika salah satu
foundasi itu tidak dijadikan pegangan, maka akan goyahlah negara Indonesia. Jika penopang yang
satu tak kuat, maka akan berpengaruh pada pilar yang lain. Pada akhirnya bukan tak mungkin
Indonesia akan ambruk, sesuatu yang tentu tak diinginkan.
DAFTAR BACAAN
Darji Darmodiharjo, dkk, Santiaji Pancasila, Surabaya: Penerbit Usaha Nasional, 1991.
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: Gramedia,
2007.
--------, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga-Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: MKRI,
2007.
Mpu Tantular. Kakawin Sutasoma. Penerjemah: Dwi Woro Retno Mastuti dan Hastho Bramantyo.
2009: 504-505.
M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2008.
Tjahjopurnomo S.J. ―Sumpah Palapa dan Sumpah Pemuda: Beberapa Catatan tentang Persatuan,.
Makalah disampaikan pada Seminar Buku Langka sebagai Sumber Kajian Kebudayaan Indonesia, di
Auditorium Perpustakaan Nasional RI, Jl. Salemba Raya No. 28 A, Jakarta, 28 Oktober 2004.
[1] Disampaikan Pada Seminar Nasional Yang Diadakan Oleh Kesatuan Aksi Mahasisiwa Muslim
Indonesia (KAMMI) Wilayah Sumatera Utara Pada Tanggal 10 Desember 2011.
[2] Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muslim Nusantara (FH-UMN) Al-Washliyah dan Kepala
Divisi Advokasi Lentera Konstitusi.
[3] Darji Darmodiharjo, dkk, Santiaji Pancasila, (Surabaya: Penerbit Usaha Nasional, 1991), hlm. 16.
[4] Uraian-uraian mengenai hal tersebut diatas, dapat dibaca dalam Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok
Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: Gramedia, 2007) dan Jimly Asshiddiqie,
Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga-Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: MKRI, 2007).
[5] M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2008), hlm. 33.
[6] Mpu Tantular. Kakawin Sutasoma. Penerjemah: Dwi Woro Retno Mastuti dan Hastho Bramantyo.
2009: 504-505.
[7] Tjahjopurnomo S.J. ―Sumpah Palapa dan Sumpah Pemuda: Beberapa Catatan tentang
Persatuan,. Makalah disampaikan pada Seminar Buku Langka sebagai Sumber Kajian Kebudayaan
Indonesia, di Auditorium Perpustakaan Nasional RI, Jl. Salemba Raya No. 28 A, Jakarta, 28 Oktober
2004.

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt?

Soal dan jawaban UTS MK Pancasila Sem. Ganjil Prodi Komunikasi UNSERA
Soal dan jawaban UTS MK Pancasila Sem. Ganjil Prodi Komunikasi UNSERASoal dan jawaban UTS MK Pancasila Sem. Ganjil Prodi Komunikasi UNSERA
Soal dan jawaban UTS MK Pancasila Sem. Ganjil Prodi Komunikasi UNSERAahmad sururi
 
Sejarah new public service
Sejarah new public serviceSejarah new public service
Sejarah new public servicePutra Manurung
 
kumpulan soal dan jawaban sosiologi pedesaan part 1
kumpulan soal dan jawaban sosiologi pedesaan part 1kumpulan soal dan jawaban sosiologi pedesaan part 1
kumpulan soal dan jawaban sosiologi pedesaan part 1Joel mabes
 
Pkn materi semester 1
Pkn materi semester 1Pkn materi semester 1
Pkn materi semester 1jhon korse
 
Buku ajar mata kuliah wajib umum pendidikan pancasila perguruan tinggi mahasiswa
Buku ajar mata kuliah wajib umum pendidikan pancasila perguruan tinggi mahasiswaBuku ajar mata kuliah wajib umum pendidikan pancasila perguruan tinggi mahasiswa
Buku ajar mata kuliah wajib umum pendidikan pancasila perguruan tinggi mahasiswaPajeg Lempung
 
PERSIAPAN RAPAT XI - ADM. PERKANTORAN
PERSIAPAN RAPAT XI - ADM. PERKANTORAN PERSIAPAN RAPAT XI - ADM. PERKANTORAN
PERSIAPAN RAPAT XI - ADM. PERKANTORAN raysalbakir
 
Sumber hukum
Sumber hukumSumber hukum
Sumber hukumroellys
 
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRISistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRITri Widodo W. UTOMO
 
Pengantar Kewarganegaraan PPT
Pengantar Kewarganegaraan PPT Pengantar Kewarganegaraan PPT
Pengantar Kewarganegaraan PPT Andhika Pratama
 
Ketahanan nasional di bidang politik luthfatul amaliya
Ketahanan nasional di bidang politik   luthfatul amaliyaKetahanan nasional di bidang politik   luthfatul amaliya
Ketahanan nasional di bidang politik luthfatul amaliyanatal kristiono
 
Negara Hukum dan ham
Negara Hukum dan hamNegara Hukum dan ham
Negara Hukum dan hamSayur Lodeh
 
Kemajemukan Masyarakat Indonesia
Kemajemukan Masyarakat IndonesiaKemajemukan Masyarakat Indonesia
Kemajemukan Masyarakat IndonesiaLestari Moerdijat
 
Pancasila sebagai paradigma pembangunan
Pancasila sebagai paradigma pembangunanPancasila sebagai paradigma pembangunan
Pancasila sebagai paradigma pembangunanAhmad Syafiq
 

Was ist angesagt? (20)

Soal dan jawaban UTS MK Pancasila Sem. Ganjil Prodi Komunikasi UNSERA
Soal dan jawaban UTS MK Pancasila Sem. Ganjil Prodi Komunikasi UNSERASoal dan jawaban UTS MK Pancasila Sem. Ganjil Prodi Komunikasi UNSERA
Soal dan jawaban UTS MK Pancasila Sem. Ganjil Prodi Komunikasi UNSERA
 
Sejarah new public service
Sejarah new public serviceSejarah new public service
Sejarah new public service
 
kumpulan soal dan jawaban sosiologi pedesaan part 1
kumpulan soal dan jawaban sosiologi pedesaan part 1kumpulan soal dan jawaban sosiologi pedesaan part 1
kumpulan soal dan jawaban sosiologi pedesaan part 1
 
Pkn materi semester 1
Pkn materi semester 1Pkn materi semester 1
Pkn materi semester 1
 
Materi Sistem Politik Indonesia
Materi Sistem Politik IndonesiaMateri Sistem Politik Indonesia
Materi Sistem Politik Indonesia
 
Buku ajar mata kuliah wajib umum pendidikan pancasila perguruan tinggi mahasiswa
Buku ajar mata kuliah wajib umum pendidikan pancasila perguruan tinggi mahasiswaBuku ajar mata kuliah wajib umum pendidikan pancasila perguruan tinggi mahasiswa
Buku ajar mata kuliah wajib umum pendidikan pancasila perguruan tinggi mahasiswa
 
Wirausaha Sosial
Wirausaha Sosial Wirausaha Sosial
Wirausaha Sosial
 
PPT Pendidikan Pancasila
PPT Pendidikan PancasilaPPT Pendidikan Pancasila
PPT Pendidikan Pancasila
 
Kebudayaan Dan Masyarakat (materi kuliah sosiologi)
Kebudayaan Dan Masyarakat (materi kuliah sosiologi)Kebudayaan Dan Masyarakat (materi kuliah sosiologi)
Kebudayaan Dan Masyarakat (materi kuliah sosiologi)
 
Ideologi Pancasila Terbuka
Ideologi Pancasila TerbukaIdeologi Pancasila Terbuka
Ideologi Pancasila Terbuka
 
PERSIAPAN RAPAT XI - ADM. PERKANTORAN
PERSIAPAN RAPAT XI - ADM. PERKANTORAN PERSIAPAN RAPAT XI - ADM. PERKANTORAN
PERSIAPAN RAPAT XI - ADM. PERKANTORAN
 
Sumber hukum
Sumber hukumSumber hukum
Sumber hukum
 
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRISistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI
 
Hakikat PKn
Hakikat PKnHakikat PKn
Hakikat PKn
 
Pengantar Kewarganegaraan PPT
Pengantar Kewarganegaraan PPT Pengantar Kewarganegaraan PPT
Pengantar Kewarganegaraan PPT
 
Ketahanan nasional di bidang politik luthfatul amaliya
Ketahanan nasional di bidang politik   luthfatul amaliyaKetahanan nasional di bidang politik   luthfatul amaliya
Ketahanan nasional di bidang politik luthfatul amaliya
 
Negara Hukum dan ham
Negara Hukum dan hamNegara Hukum dan ham
Negara Hukum dan ham
 
Kemajemukan Masyarakat Indonesia
Kemajemukan Masyarakat IndonesiaKemajemukan Masyarakat Indonesia
Kemajemukan Masyarakat Indonesia
 
Hukum Privat dan Hukum Publik
Hukum Privat dan Hukum PublikHukum Privat dan Hukum Publik
Hukum Privat dan Hukum Publik
 
Pancasila sebagai paradigma pembangunan
Pancasila sebagai paradigma pembangunanPancasila sebagai paradigma pembangunan
Pancasila sebagai paradigma pembangunan
 

Ähnlich wie Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan

Pancasila sebagai paradigma
Pancasila sebagai paradigmaPancasila sebagai paradigma
Pancasila sebagai paradigmapian putra
 
Pancasila sebagai paradigma pembangunan
Pancasila sebagai paradigma pembangunanPancasila sebagai paradigma pembangunan
Pancasila sebagai paradigma pembangunanFebry San
 
Pancasila ppt
Pancasila pptPancasila ppt
Pancasila pptThedirty1
 
Artikel pendidikan kewarganegaraan, PANCASILA
Artikel pendidikan kewarganegaraan, PANCASILAArtikel pendidikan kewarganegaraan, PANCASILA
Artikel pendidikan kewarganegaraan, PANCASILARaha Sia
 
Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan
Pancasila sebagai Paradigma PembangunanPancasila sebagai Paradigma Pembangunan
Pancasila sebagai Paradigma Pembangunandionteguhpratomo
 
Pancasila sebagai paradigma pembangunan
Pancasila sebagai paradigma pembangunanPancasila sebagai paradigma pembangunan
Pancasila sebagai paradigma pembangunandita wahyu
 
pancasila-sebagai-paradigma-pembangunan_1 (1).ppt
pancasila-sebagai-paradigma-pembangunan_1 (1).pptpancasila-sebagai-paradigma-pembangunan_1 (1).ppt
pancasila-sebagai-paradigma-pembangunan_1 (1).pptmuhammadaskari58
 
Pancasila dalam pembangunan polteksosbud
Pancasila dalam pembangunan polteksosbudPancasila dalam pembangunan polteksosbud
Pancasila dalam pembangunan polteksosbudFajar Jabrik
 
Pancasila sebagai-paradigma-pembangunan pp
Pancasila sebagai-paradigma-pembangunan ppPancasila sebagai-paradigma-pembangunan pp
Pancasila sebagai-paradigma-pembangunan ppIchiro Hidayate
 
Pancasila sebagai paradigma pembangunan
Pancasila sebagai paradigma pembangunanPancasila sebagai paradigma pembangunan
Pancasila sebagai paradigma pembangunanIntan Irawati
 
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan
Pancasila Sebagai Paradigma PembangunanPancasila Sebagai Paradigma Pembangunan
Pancasila Sebagai Paradigma PembangunanMiftakhul Jannah
 
Pancasila sebagai paradigma pembangunan
Pancasila sebagai paradigma pembangunanPancasila sebagai paradigma pembangunan
Pancasila sebagai paradigma pembangunanVinaAnnisa2
 
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN.ppt
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN.pptPANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN.ppt
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN.pptRifkyWigunaHArip
 
Paper Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan
Paper Pancasila Sebagai Paradigma PembangunanPaper Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan
Paper Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunanafa hyerin
 
Implementasi Nilai Nilai Pancasila Dalam Bidang Politik
Implementasi Nilai Nilai Pancasila Dalam Bidang PolitikImplementasi Nilai Nilai Pancasila Dalam Bidang Politik
Implementasi Nilai Nilai Pancasila Dalam Bidang PolitikPuspitaMelati
 

Ähnlich wie Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan (20)

Pancasila sebagai paradigma
Pancasila sebagai paradigmaPancasila sebagai paradigma
Pancasila sebagai paradigma
 
Pancasila sebagai paradigma pembangunan
Pancasila sebagai paradigma pembangunanPancasila sebagai paradigma pembangunan
Pancasila sebagai paradigma pembangunan
 
Wire ppkn 2
Wire ppkn 2Wire ppkn 2
Wire ppkn 2
 
Pancasila ppt
Pancasila pptPancasila ppt
Pancasila ppt
 
Paradigma Pancasila
Paradigma PancasilaParadigma Pancasila
Paradigma Pancasila
 
Bab vii
Bab  viiBab  vii
Bab vii
 
Artikel pendidikan kewarganegaraan, PANCASILA
Artikel pendidikan kewarganegaraan, PANCASILAArtikel pendidikan kewarganegaraan, PANCASILA
Artikel pendidikan kewarganegaraan, PANCASILA
 
Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan
Pancasila sebagai Paradigma PembangunanPancasila sebagai Paradigma Pembangunan
Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan
 
Pancasila sebagai paradigma pembangunan
Pancasila sebagai paradigma pembangunanPancasila sebagai paradigma pembangunan
Pancasila sebagai paradigma pembangunan
 
pancasila-sebagai-paradigma-pembangunan_1 (1).ppt
pancasila-sebagai-paradigma-pembangunan_1 (1).pptpancasila-sebagai-paradigma-pembangunan_1 (1).ppt
pancasila-sebagai-paradigma-pembangunan_1 (1).ppt
 
Pancasila dalam pembangunan polteksosbud
Pancasila dalam pembangunan polteksosbudPancasila dalam pembangunan polteksosbud
Pancasila dalam pembangunan polteksosbud
 
Pancasila sebagai-paradigma-pembangunan pp
Pancasila sebagai-paradigma-pembangunan ppPancasila sebagai-paradigma-pembangunan pp
Pancasila sebagai-paradigma-pembangunan pp
 
Pancasila sebagai paradigma pembangunan
Pancasila sebagai paradigma pembangunanPancasila sebagai paradigma pembangunan
Pancasila sebagai paradigma pembangunan
 
Pancasila sebagai paradigma pembangunan
Pancasila sebagai paradigma pembangunanPancasila sebagai paradigma pembangunan
Pancasila sebagai paradigma pembangunan
 
pancasila
pancasilapancasila
pancasila
 
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan
Pancasila Sebagai Paradigma PembangunanPancasila Sebagai Paradigma Pembangunan
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan
 
Pancasila sebagai paradigma pembangunan
Pancasila sebagai paradigma pembangunanPancasila sebagai paradigma pembangunan
Pancasila sebagai paradigma pembangunan
 
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN.ppt
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN.pptPANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN.ppt
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN.ppt
 
Paper Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan
Paper Pancasila Sebagai Paradigma PembangunanPaper Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan
Paper Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan
 
Implementasi Nilai Nilai Pancasila Dalam Bidang Politik
Implementasi Nilai Nilai Pancasila Dalam Bidang PolitikImplementasi Nilai Nilai Pancasila Dalam Bidang Politik
Implementasi Nilai Nilai Pancasila Dalam Bidang Politik
 

Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan

  • 1. Pancasila sebagai paradigma (http://www.empatpilarkebangsaan.web.id/pancasila-sebagai- paradigma) Pancasila sebagai paradigma dimaksudkan bahwa Pancasila sebagai sistem nilai acuan, kerangka- acuan berpikir, pola-acuan berpikir atau jelasnya sebagaisistem nilai yang dijadikan kerangka landasan, kerangka cara, dan sekaligus kerangka arah/tujuan bagi ‘yang menyandangnya’. Yang menyandangnya itu di antaranya: 1. Bidang Politik 2. Bidang Ekonomi 3. Bidang Social Budaya 4. Bidang Hukum 5. Bidang kehidupan antar umat beragama, Memahami asal mula Pancasila. Kelimanya itu, dalam makalah ini, dijadikan pokok bahasan. Namun demikian agar sistematikanya menjadi relatif lebih tepat, pembahasannya dimulai oleh ‘paradigma yang terakhir’ yaitu paradigma dalam kehidupan kampus. I. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan. Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma. Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi. Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan. Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia. Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional. Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan. Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain: a. susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga b. sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial
  • 2. c. kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan. Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan manusia secara totalitas. Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Pancasila menjadi paradigma dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. 1. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter. Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila IV Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan. Perilaku politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral. Pancasila sebagai paradigma pengembangan sosial politik diartikan bahwa Pancasila bersifat sosial- politik bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin diwujudkan dengan menggunakan nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk implementasinya dapat dilihat secara berurutan-terbalik: • Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya, agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari; • Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan keputusan; • Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan persatuan; • Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab; • Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan kemanusiaan (keadilan- keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Di era globalisasi informasi seperti sekarang ini, implementasi tersebut perlu direkonstruksi kedalam pewujudan masyarakat-warga (civil society) yang mencakup masyarakat tradisional (berbagai asal etnik, agama, dan golongan), masyarakat industrial, dan masyarakat purna industrial. Dengan demikian, nilai-nilai sosial politik yang dijadikan moral baru masyarakat informasi adalah: ~ nilai toleransi; ~ nilai transparansi hukum dan kelembagaan;
  • 3. ~ nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata); ~ bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3). 2. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi Sesuai dengan paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (sila I Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat manusia, baik selaku makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk tuhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu. Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan. Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan warga negara. Pancasila sebagai paradigma pengembangan ekonomi lebih mengacu pada Sila Keempat Pancasila; sementara pengembangan ekonomi lebih mengacu pada pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia. Dengan demikian subjudul ini menunjuk pada pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau pembangunan Demokrasi Ekonomi atau pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia atau Sistem Ekonomi Pancasila. Dalam Ekonomi Kerakyatan, politik/kebijakan ekonomi harus untuk sebesarbesar kemakmuran/kesejahteraan rakyat—yang harus mampu mewujudkan perekonomian nasional yang lebih berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat (tidak lagi yang seperti selama Orde Baru yang telah berpihak pada ekonomi besar/konglomerat). Politik Ekonomi Kerakyatan yang lebih memberikan kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup koperasi, usaha kecil, dan usaha menengah sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional. Oleh sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan ini ialah koperasi. Ekonomi Kerakyatan akan mampu mengembangkan program-program kongkrit pemerintah daerah di era otonomi daerah yang lebih mandiri dan lebih mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan daerah. Dengan demikian, Ekonomi Kerakyatan akan mampu memberdayakan daerah/rakyat dalam berekonomi, sehingga lebih adil, demokratis, transparan, dan partisipatif. Dalam Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis berperanan memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau meningkatkan kepastian hukum.
  • 4. 3. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil dan beradab. Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo menjadi human. Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa. Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial. Paradigma-baru dalam pembangunan nasional berupa paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya perlu diselenggarakan dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti yang terlibat, di samping hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak asasi individu secara berimbang (Sila Kedua). Hak budaya komuniti dapat sebagai perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak asasi individu. Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Dengan demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah pada otonomi suku bangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal/daerah dengan pembangunan regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga ia akan menjamin keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI (Sila Ketiga). Apabila dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai puncak-puncak kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan – kebudayaan di daerah: (1) Sila Pertama, menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun golongan sosial dan komuniti setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (2) Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya; (3) Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang berdaulat; (4) Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan; (5) Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
  • 5. kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. 4. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata). Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan sendiri. Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan Negara. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah memiliki sebuah konstitusi, yang di dalamnya terdapat pengaturan tiga kelompok materi-muatan konstitusi, yaitu: (1) adanya perlindungan terhadap HAM, (2) adanya susunan ketatanegaraan negara yang mendasar, dan (3) adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.Sesuai dengan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila, Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dari UUD 1945 atau merupakan bagian dari hukum positif. Dalam kedudukan yang demikian, ia mengandung segi positif dan segi negatif. Segi positifnya, Pancasila dapat dipaksakan berlakunya (oleh negara); segi negatifnya, Pembukaan dapat diubah oleh MPR—sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Hukum tertulis seperti UUD—termasuk perubahannya—, demikian juga UU dan peraturan perundang-undangan lainnya, harus mengacu pada dasar negara (sila – sila Pancasila dasar negara). Dalam kaitannya dengan ‘Pancasila sebagai paradigma pengembangan hukum’, hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia,
  • 6. (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, substansi hukum yang dikembangkan harus merupakan perwujudan atau penjabaran sila-sila yang terkandung dalam Pancasila. Artinya, substansi produk hukum merupakan karakter produk hukum responsif (untuk kepentingan rakyat dan merupakan perwujuan aspirasi rakyat). 5. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat Beragama Bangsa Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat Beragama Bangsa Indonesia sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun, bahkan predikat ini menjadi cermin kepribadian bangsa kita di mata dunia internasional. Indonesia adalah Negara yang majemuk, bhinneka dan plural. Indonesia terdiri dari beberapa suku, etnis, bahasa dan agama namun terjalin kerja bersama guna meraih dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia kita. Namun akhir-akhir ini keramahan kita mulai dipertanyakan oleh banyak kalangan karena ada beberapa kasus kekerasana yang bernuansa Agama. Ketika bicara peristiwa yang terjadi di Indonesia hampir pasti semuanya melibatkan umat muslim, hal ini karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Masyarakat muslim di Indonesia memang terdapat beberapa aliran yang tidak terkoordinir, sehingga apapun yang diperbuat oleh umat Islam menurut sebagian umat non muslim mereka seakan-seakan merefresentasikan umat muslim. Paradigma toleransi antar umat beragama guna terciptanya kerukunan umat beragama perspektif Piagam Madinah pada intinya adalah seperti berikut: 1. Semua umat Islam, meskipun terdiri dari banyak suku merupakan satu komunitas (ummatan wahidah). 2. Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara komunitas Islam dan komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsi: a. Bertentangga yang baik b. Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama c. Membela mereka yang teraniaya d. Saling menasehati e. Menghormati kebebasan beragama. Lima prinsip tersebut mengisyaratkan: 1) Persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa diskriminasi yang didasarkan atas suku dan agama; 2) pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam menyelesaikan masalah bersama serta saling membantu dalam menghadapi musuh bersama. Dalam “Analisis dan Interpretasi Sosiologis dari Agama” (Ronald Robertson, ed.) misalnya, mengatakan bahwa hubungan agama dan politik muncul sebagai masalah, hanya pada bangsa-bangsa yang memiliki heterogenitas di bidang agama.
  • 7. Hal ini didasarkan pada postulat bahwa homogenitas agama merupakan kondisi kesetabilan politik. Sebab bila kepercayaan yang berlawanan bicara mengenai nilai-nilai tertinggi (ultimate value) dan masuk ke arena politik, maka pertikaian akan mulai dan semakin jauh dari kompromi. Dalam beberapa tahap dan kesempatan masyarakat Indonesia yang sejak semula bercirikan majemuk banyak kita temukan upaya masyarakat yang mencoba untuk membina kerunan antar masayarakat. Lahirnya lembaga-lembaga kehidupan sosial budaya seperti “Pela” di Maluku, “Mapalus” di Sulawesi Utara, “Rumah Bentang” di Kalimantan Tengah dan “Marga” di Tapanuli, Sumatera Utara, merupakan bukti-bukti kerukunan umat beragama dalam masyarakat. Ke depan, guna memperkokoh kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia yang saat ini sedang diuji kiranya perlu membangun dialog horizontal dan dialog Vertikal. Dialog Horizontal adalah interaksi antar manusia yang dilandasi dialog untuk mencapai saling pengertian, pengakuan akan eksistensi manusia, dan pengakuan akan sifat dasar manusia yang indeterminis dan interdependen. Identitas indeterminis adalah sikap dasar manusia yang menyebutkan bahwa posisi manusia berada pada kemanusiaannya. Artinya, posisi manusia yang bukan sebagai benda mekanik, melainkan sebagai manusia yang berkal budi, yang kreatif, yang berbudaya. II. Implementasi Pancasila sebagai Paradigma Kehidupam Kampus Menurut saya, implementasi pancasila sebagai paradigma kehidupan kampus adalah seperti contoh- contoh paradigma pancasila diatas kehidupan kampus tidak jauh berbeda dengan kehidupan tatanan Negara. Jadi kampus juga harus memerlukan tatanan pumbangunan seperti tatanan Negara yaitu politik, ekonomi, budaya, hukum dan antar umat beragama. Untuk mencapai tujuan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maka sebagai makhluk pribadi sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) pada hakikatnya merupakan suatu hasil kreativitas rohani manusia. Unsur jiwa manusia meliputi aspek akal, rasa,dan kehendak. Sebagai mahasiswa yang mempunyai rasa intelektual yang besar kita dapat memanfaatkan fasilitas kampus untuk mencapai tujuan bersama. Pembangunanyang merupakan realisasi praksis dalam Kampus untuk mencapai tujuan seluruh mahsiswa harus mendasarkan pada hakikat manusia sebagai subyek pelaksana sekaligus tujuan pembangunan. Oleh karena itu hakikat manusia merupakan sumber nilai bagi pembangunan pengembangan kampus itu sendiri.
  • 8. EMPAT PILAR KEBANGSAAN (http://empatpilarkebangsaan.blogspot.com/) Empat pilar kebangsaan, tema yang akhir-akhir ini menjadi pembicaraan hangat dalam diskusi. Empat pilar semakin mendominasi dengan semakin derasnya gelombang modernisasi yang semakin mereduksi semangat nasionalisme bangsa Indonesia dalam fantasi labirin demokrasi yang menurut saya masih banyak konflik vertikal maupun horizontal dalam masyarakat. Terlebih dahulu kita mulai dari mengenal kata “Pilar”, pilar adalah tiang penguat/penyangga, selanjutnya saya menghubungkan dengan empat pilar kebangsaan, artinya ada empat tiang penguat / penyangga yang sama sama kuat, untuk menjaga keutuhan berkehidup kebangsaan Indonesia. Dapat saya simpulkan bahwa 4 pilar kebangsaan adalah 4 penyangga yang menjadi panutan dalam keutuhan bangsa indonesia yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar, Bhineka Tunggal Ika, NKRI. Empat pilar kebangsaan yang dikampanyekan untuk menumbuhkan kembali kesadaran cinta tanah air untuk seluruh rakyat Indonesia. Dalam perjalanannya 4 pilar kebangsaan yang merupakan mantra ajaib dalam membina persatuan belum di jelaskan bagaimana sampai ia menjadi begitu ampuh sebagai jurus tanpa data fakta sejarah dan perjalanannya. Namun jika mantra ini dihadapkan kembali pada Preambule UUD’45 maka akan kita temui suatu rangkaian peristiwa sejarah sehingga membentuk tahapan filosofis NKRI. Memaknai 4 alinea dalam Preambule UUD’45, ini merupakan rangkuman sejarah Bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda 1928, hingga dibentuknya NKRI melalui pengesahan konstitusi UUD’45 pada 18 Agustus 1945. 1. Alinea pertama mengutarakan tentang sikap Bangsa Indonesia yang tidak mau dijajah dan tidak akan pernah menjajah dalam bentuk apapun, kemerdekaan ialah hak segala bangsa, hal ini menjelaskan bahwa setiap Bangsa memiliki harkat dan martabat hidup yang setara. Tersirat alinea pertama menceritakan komitmen “Bhineka Tunggal Ika”. Komitmen untuk bersatu menjadi sebuah cita-cita untuk Mengangkat Harkat dan martabat agar sejajar dengan bangsa lain di dunia. 2. Alinea kedua menceritakan proses perjuangan dan pergerakan telah sampai pada saat yang berbahagia hingga mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan. secara tersirat menceritakan peristiwa 1 juni 1945 dimana Bangsa Indonesia Menetapkan Pancasila sebagai Dasar Indonesia. 3. Alinea ketiga, atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, untuk mengangkat harkat dan martabat Indonesia pun menyatakan kemerdekaan.Ini sangat jelas menceritakan peristiwa Proklamasi 17 Agustus 1945. 4. Alinea keempat menceritakan peristiwa setelah Bangsa Indonesia merdeka yaitu didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berkedaulatan rakyat berdasarkan pancasila dan diatur dalam suatu Undang-undang Dasar, dengan sangat jelas menceritakan peristiwa Pengesahan UUD’45 dan Penetapan Ir. Sukarno dan Drs.
  • 9. Moh. Hatta sebagai Presiden RI dan Wakil Presiden RI oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Rumusan tersebut membentuk kerangka filosofis NKRI yaitu ; Sumpah Pemuda sebagai komitmen Bhineka Tunggal Ika, Pancasila Dasar Indonesia Merdeka, Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia dan UUD’45 Ke-4 Pilar ini merupakan kandungan dari 4 peristiwa yaitu ; Peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Penetapan Pancasila pada 1 Juni 1945, Proklamasi 17 Agustus 1945, dan pengesahan UUD’45 pada 18 Agustus 1945, inilah kronologi terbentuknya NKRI.  Cara menjaga Empat Pilar Kebangsaan Ada empat pendekatan untuk menjaga empat pilar kebangsaan yang terdiri dari Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keempat pendekatan tersebut yaitu pendekatan kultural, edukatif, hukum, dan struktural, dibutuhkan karena saat ini pemahaman generasi muda terhadap 4 pilar kebangsaan menipis. 1. Pendekatan kultural adalah dengan memperkenalkan lebih mendalam tentang budaya dan kearifan lokal kepada generasi muda. Hal ini dibutuhkan agar pembangunan oleh generasi muda di masa depan tetap mengedepankan norma dan budaya bangsa. Pembangunan yang tepat, harus memperhatikan potensi dan kekayaan budaya suatu daerah tanpa menghilangkan adat istiadat yang berlaku. Generasi muda saat ini adalah calon pemimpin bangsa, harus paham norma dan budaya leluhurnya. Sehingga di masa depan tidak hanya asal membangun infrasturktur modern, tetapi juga menyejahterakan masyarakat 2. Pendekatan edukatif perlu karena saat ini sangat marak akgenerasi muda, seperti tawuran, pencurian, bahkan pembunuhan. Kebanyakan aksi tersebut terjadi saat remaja berada di luar sekolah maupun di luar rumah. Oleh sebab itu perlu ada pendidikan di antara kedua lembaga ini. Di rumah kelakuannya baik, di sekolah juga baik. Namun ketika di antara dua tempat tersebut, kadang remaja berbuat hal negatif. Ini yang sangat disayangkan. Orangtua harus mencarikan wadah yang tepat bagi anaknya untuk memaknai empat pilar kebangsaan semisal lewat kegiatan di Pramuka. 3. Pendekatan hukum adalah segala tindakan kekerasan dalam bentuk apapun harus ditindak dengan tegas, termasuk aksi tawuran remaja yang terjadi belakangan. Norma hukum harus ditegakkan agar berfungsi secara efektif sehingga menimbulkan efek jera bagi pelaku kriminal sekaligus menjadi pelajaran bagi orang lain. 4. Pendekatan yang terakhir adalah pendekatan struktural. Keempat pilar ini perlu terus diingatkan oleh pejabat di seluruh tingkat. Mulai dari Ketua Rukun Tetangga, Rukun Warga, kepala desa, camat, lurah sampai bupati/wali kota hingga gubernur. Salah satu solusi menjawab krisis moral yang terjadi di Indonesia adalah melalui penguatan pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan ini memperkokoh karakter bangsa dimana warga negara dituntut lebih mandiri, tanggung jawab, dan mampu menghadapi era globalisasi melalui transmisi empat pilar. Fungsi Pancasila adalah sebagai petunjuk aktivitas hidup di segala bidang yang dilakukan warga negara Indonesia. Kelakuan tersebut harus berlandaskan sila-sila yang terdapat di Pancasila. Sedangkan UUD 1945 merupakan konstitusi negara yang mengatur kewenangan tugas dan hubungan antar lembaga negara. Hal ini menjiwai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan sadar segenap warga bangsa untuk mempersatukan wilayah nusantara. Semboyan
  • 10. Bhinneka Tunggal Ika melengkapi ketiga hal tersebut karena mengakui realitas bangsa Indonesia yang majemuk namun selalu mencita-citakan persatuan dan kesatuan Urgensi Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (http://bambud_fisip- fisip.web.unair.ac.id/) Wacana gagasan strategis mengenai empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu : NKRI, Pancasila, UUD’45, dan Bhineka Tunggal Ika di tengah hiruk pikuk reformasi Indonesia yang mengapung dan kehilangan arah, merupakan sebuah penemuan kembali (reinventing) jati diri ke- Indonesiaan kita. Karena gagasan itulah orang kemudian terkejut dan mulai menyadari bahwa reformasi bangsa Indonesia selama ini ternyata berjalan di atas rel yang salah, atau mengapung tak tentu arah. Reformasi yang sedang berjalan nyatanya keluar dari jalur yang pernah ditetapkan oleh para pendiri bangsa Indonesia dan tak menentu ujung akhirnya. Gagasan mengenai Empat Pilar bangsa ini, karenanya, menjadi semacam peringatan keras agar bangsa Indonesia menempatkan kembali arah reformasinya ke atas jalur sejarah, sebagaimana diletakkan oleh para pendiri bangsa, dan diteguhkan kembali oleh konsensus nasional oleh generasi- generasi sesudahnya. Dengan kata lain, gagasan mengenai Empat Pilar Bangsa merupakan titik strategis di mana reformasi Bangsa Indonesia harus ditempatkan kembali di dalam jalur sejarah, sesuai dengan apa yang sudah diletakkan dasar-dasarnya oleh para pendiri bangsa Indonesia. Masa transisi demokrasi yang dialami bangsa Indonesia begitu panjang dan melelahkan. Selama kurang lebih 13 tahun wacana perpolitikan Indonesia diisi oleh hiruk pikuk Pemilu dan Pilkada beserta ritual dan konflik sosial yang mengikutinya, juga diisi dengan perayaan besar pemberantasan korupsi, kebebasan pers, hak asasi manusia, penegakkan hukum dan iklim demokrasi yang terbuka luas. Akan tetapi semua kebisingan politik itu malah membuat tokoh-tokoh bangsa merasa prihatin, justru karena di tengah hiruk pikuk politik reformasi itu, hampir tidak pernah terdengar suara-suara tentang sesuatu yang lebih fundamental : Pancasila, UUD’45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika sebagai fondasi kehidupan bangsa di atas mana reformasi berlangsung. Kalau pun perbincangan tentang UUD’45 menyemarakkan panggung politik Indonesia, hal itu dilakukan dalam bingkai besar liberalisasi : kata setiap warga negara diganti menjadi setiap orang, pasal 33 ditambah dengan “efisiensi berkeadilan,” kewenangan MPR dikurangi, dan seterusnya. Atas proses liberalisasi yang masuk melalui amandemen konstitusi ini, sebagian warga masyarakat kemudian menyebutnya sebagai UUD 2002--yang bernuansa liberalistik, untuk membedakannya dengan substansi UUD’45 yang lebih bernuansa nasionalistik. Membicarakan perkembangan Indonesia sekarang ini, tidak bisa tidak, kita harus mengaitkannya lagi dengan sejarah perjalanan bangsa Indonesia, termasuk sejarah pergulatan dan perjuangan para pendiri bangsa Indonesia. Tanpa mengenali jejak sejarah perjuangan para pendiri bangsa, mustahil kita dapat memahami semangat, jiwa, roh, atau spirit yang terkandung di dalam kehidupan kebangsaan kita sekarang ini. NKRI menjadi penting, jika kita meletakkannya dalam konteks sejarah di mana para pendiri bangsa membangkitkan imajinasi kolektif rakyat dari Sabang sampai Marauke, tentang Indonesia yang merdeka. Kita dapat membayangkan, betapa beratnya perjuangan para pendiri bangsa untuk menanamkan bayangan mengenai Indonesia yang satu, yang utuh, di tengah kuatnya ikatan-ikatan etno-nasionalisme seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumateranen Bond, Jong Celebes, Jong
  • 11. Islamieten Bond, dll. Pada masa perjuangan kemerdekaan, ikatan-ikatan kedaerahan itu demikian kuatnya, hingga tidak mudah mempersatukan mereka itu di dalam wadah tunggal yang disebut Republik Indonesia. Soempah Pemuda 1928 yang mengekspersikan tekad satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa Indonesia, adalah tonggak sejarah sangat penting dalam proses integrasi kekuatan- kekuatan etno-nasionalisme menjadi nasionalisme Indonesia. Proklamasi kemerdekaan memperkuat dan meneguhkan keIndonesiaan yang pada mulanya hanya ada dalam bayangan, menjadi sebuah nation state yang nyata. Soalnya adalah, apakah bangsa Indonesia adalah sesuatu yang telah selesai, given, atau sesuatu yang masih harus terus diperjuangkan? Gejala-gejala disorganisasi dan disorientasi masyarakat bahkan Pemda di berbagai daerah pasca reformasi bukan saja menyatakan bahwa ada semakin banyak elemen masyarakat yang ingin “berpisah” dari NKRI, akan tetapi hal itu sekaligus menyatakan bahwa keIndonesiaan bukanlah sesuatu barang warisan yang boleh digeletakkan begitu saja. NKRI harus dipelihara, dijaga, karena keberadaannya senantiasa di dalam ketegangan antara integrasi, desintegrasi dan reintegrasi. Pasca reformasi sekarang ini, anasir-anasir yang begerak kearah desintegrasi Indonesia semakin bercampur aduk dengan konflik-konflik antar suku, antar kampung, antar pendukung calon pemimpin dalam Pilkada, Pilgub maupun Pilpres. Jika tidak dikelola dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat- singkatnya, potensi desintegrasi bisa membahayakan keutuhan NKRI. Jadi NKRI adalah sesuatu yang dinamis, yang harus terus dirawat oleh segenap rakyat Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan, keberadaan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni NKRI, Pancasila, UUD’45 dan Bhineka Tunggal Ika, terancam oleh kekuatan kolonialisme dan imperialisme kuno. Kekuatan kolonialisme dan imperialisme kuno itu ditandai oleh (1) pendudukan langsung jabatan-jabatan politik (dominiasi politik) negara oleh kekuatan bangsa asing; (2) eksploitasi sumber daya ekonomi (eksploitasi ekonomi) bangsa pribumi oleh kaum penjajah, dan (3) penetrasi kebudayaan bangsa Indonesia oleh kebudayaan asing, melalui pendudukan langsung. Pada masa kemerdekaan, terutama pada periode demokrasi terpimpin dan masa pemerintahan Orde Baru, ancaman atas empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara itu datang dari rezim otoritarian yang hendak menghapuskan persatuan dalam keberagaman (unity in diversity) dengan cara melakukan penyeragaman atas kebhinekaan (unity in uniformity). Pasca Reformasi, kita menyaksikan adanya gelombang tsunami demokratisasi yang ditandai oleh lemahnya peran negara di satu sisi, dan menguatnya partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Alih-alih menciptakan negara demokrasi yang mensejahterakan rakyat, tsunami demokrasi ini melahirkan konflik horisontal, korupsi, penindasan kelompok mayoritas atas menoritas, pemaksaan kehendak, sparatisme, anarkisme berdalih agama, hingga terorisme. Tigabelas tahun reformasi telah merubah Demokrasi (pemerintahan oleh rakyat) menjadi Demo- crazy (pertunjukan kegilaan). Kecenderungan ini pun menjadi ancaman serius NKRI, Pancasila, UUD’45 dan Bhineka Tunggal Ika. Tidak boleh dilupakan juga bahwa, di tengah hiruk pikuk pilkada, pilgub, pileg, dan pilpres beserta konflik yang menyertainya, dominasi politik, eksploitasi ekonomi dan penetrasi kebudayaan oleh kekuatan asing tidak pernah jeda sedikit pun. Ambil contoh, pada tahun 1911, dari 3,1 trilyun dana perbankan, 50,6%nya dikuasai asing, Kecap, Saus, sirup ABC 65% sahamnya asing, Teh Sari Wangi 100% milik asing, Kecap Bango 100% milik asing, 80% air bersih dikuasai asing, pabrik rokok HM.Sampurna 100% milik asing, Indosat 70.3% milik asing, XL Axiata 80% asing, beberapa jenis ukiran Jepara, beberapa jenis bibit jagung patennya dimiliki bangsa asing.
  • 12. Inilah pertunjukkan kegilaan (democrazy) yang terjadi di depan mata, tapi tak dirasakan sebagai ancaman nyata dan serius dari keberadaan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan membandingkan ancaman-ancaman yang timbul diantara masa perjuangan kemerdekaan, dengan situasi pasca kemerdekaan, khususnya pasca reformasi sekarang ini, menjadi jelas buat kita semua, betapa pentingnya konsensus nasional bangsa Indonesia tentang NKRI, Pancasila, UUD’45, dan Bhineka Tunggal Ika. Cita-cita Luhur Bangsa Indonesia Cita-cita luhur suatu bangsa adalah kehendak bersama, suatu konsensus nasional yang menjadi orientasi dasar dari segala aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Cita-cita luhur itu, telah ditetapkan menjadi konsensus nasional, dan secara jelas ditegaskan dalam pembukaan undang- undang dasar 1945 : Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaann negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia di dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Terkait dengan konsensus nasional Bangsa Indonesia mengenai NKRI, di dalam UUD’45 disebutkan bahwa : Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik [Pasal 1 (1)]. Seterusnya, untuk meneguhkan konsensus nasional mengenai NKRI, UUD’45 dalam amandemennya yang keempat menyatakan “khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan” [Pasal 37 (5)]. Dengan demikian menjadi sangat jelas bahwa cita-cita mulia bangsa Indonesia sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan UUD’45, akan senantiasa diperjuangkan dan diwujudkan melalui dan di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan negara federasi atau yang lainnya. Terkait dengan NKRI ini, dalam pidato mengenai lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945, Bung Karno, mengutip Ernest Renan yang menyatakan syarat sebuah bangsa adalah kehendak untuk bersatu (le desire d’etre ensemble) dan dikutipnya juga konsep definisi dari Otto Bauer yang menyatakan bahwa bangsa adalah suatu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib (Bung Karno, Pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945 hal. 12). Namun tidak berhenti di sini, Bung Karno melengkapi konsepsi Ernest Renan maupun Otto Buer dengan memasukkan kalimat “kesatuan orang dan
  • 13. tempat”. Jadi menurut Bung Karno pengertian Bangsa menurut Renan dan Bauer tidaklah cukup, tidak lengkap. Dalam kata-katanya sendiri, Bung Karno menyatakan : “Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Buaer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya mendirikan “gemeinshaft”-nya dan perasaan orangnya….mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu. Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air adalah satu kesatuan….Seorang anak kecil pun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan suatu kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara dua lautan yang besar, lautan Pasifik dan lautan Hindia dan diantara dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo (Kalimantan), Celebes (Sulawesi), Halmahera, kepulauan Sunda Kecil, Maluku dan pulau-pulau kecil diantaranya, adalah satu kesatuan. ….Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesia tanah air kita, Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, bukan Borneo saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjukkan oleh Allah SWT menjadi satu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita. ….pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan “le desire d’etre ensemble” di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah SWT tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai Irian! Seluruhnya!.... disinilah kita semua harus menuju, mendirikan Nasional Staat, di atas kesatuan Bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian (Bung Karno, Pidato Pantjasila, 1 Juni 1945, hal.12 -13). Dengan mengungkapkan kembali pidato ini, menjadi jelas bagi kita sekarang, semangat, spirit apa yang menjiwai pasal 1 ayat 1 dan pasal 37 ayat 5 UUD’45 sebagaimana disebutkan di atas. Atas dasar konsensus nasional tentang NKRI ini, marilah kita secara bersama-sama mencermati, menilai dan menganalisis perjalanan bangsa Indonsia sekarang ini. Apakah pergerakan bangsa kita sekarang, sedang memperkuat NKRI ataukah sedang menggerusnya. Anasir dan gerakan-gerakan manakah yang arahnya memperkuat NKRI, dan manakah yang sedang menggerogotinya. Dengan cara ini, bukan saja kita memiliki titik tolak untuk melihat perjalanan bangsa, akan tetapi memiliki titik tolak untuk –bersama-sama dengan elemen bangsa kita yang lain—melakukan langkah-langkah nyata, melakukan gerakan, berjuang mempertkuat serta memperteguh kembali NKRI. Pancasila, Bhineka Tunggal Ika. Bangsa Indonesia telah menetapkan konsensus nasionalnya, yakni Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara Republik Indonesia. Karena itu, Pancasila bukan saja menjadi pandangan hidup (way of life) bangsa Indonesia, akan tetapi juga menjadi ideologi negara. Dengan demikian, seluruh orientasi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat haruslah bersendikan pada Pancasila, bukan pada yang lainnya. Sementara itu, Pancasila hanya akan menjadi sendi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, jika Pancasila telah mewujud di dalam kehidupan keseharian bangsa indonesia, di dalam bidang ekonomi, politik, hukum, sosial maupun budaya. Untuk memahami Pancasila, ada baiknya kita mencoba untuk mengurai dan mencandra spirit, jiwa setiap sila dari Pancasila.
  • 14. Mari kita lihat sila I, Ketuhanan yang Maha Esa. Di tengah masyarakat yang majemuk, kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa diwujudkan melalui berbagai agama atau berbagai kepercayaan, termasuk kepercayaan-kepercayaan lokal. Para Pendiri bangsa Indonesia memilih kalimat Ketuhanan yang Maha Esa, dan Bung Karno memilih kalimat Ketuhanan Yang Berkebudayaan, bukan ke-Islaman yang maha kuasa, atau ke-Kristenan yang maha kuasa, atau ke-Budha-an yang maha perkasa, juga bukan ke-Hindu-an yang maha digdaya, dan seterusya. Oleh karena semua agama dan kepercayaan yang ada di seluruh masyarakat Indonesia mengakui adanya Tuhan, maka pilihan Ketuhanan Yang Maha Esa bersifat inklusif, mencakup, mewadahi. Tidak mengagungkan-agungkan, tidak membesar- besarkan, tidak menghebat-hebatkan agama/kepercayaan yang satu, dan tidak juga mendiskriminasi atau meremehkan agama/kepercayaan yang lain. Dan dengan demikian, Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan saja mencerminkan realitas dan religiusitas masyarakat Indonesia, akan tetapi juga mengakomodir berbagai agama dan kepercayaan yang beragam dan berbeda-beda itu. Di situlah letak kekuatan, letak daya integratif dari sila Ketuhanan yang Maha Esa. Dengan demikian, di dalam sila pertama ini, sudah tersirat spirit pengakuan terhadap kebhinekaan berbagai aliran kepercayaan atau agama. Sila ke II, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Jika kita membaca kembali pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 di hadapan sidang BPUPKI, kita dapat memahami apa makna sila ini. Sila ini disebutnya sebagai Internasionalisme. Yang hendak ditekankan oleh Bung Karno dengan sila ini adalah posisi nasionalisme Indonesia yang terkait erat dengan pergaulan internasional, sehingga bukan nasionalisme yang sempit, bukan nasionalisme yang chauvinistik. Dengan cara demikian, Indonesia mengakui dan ikut memperjuangkan tujuan-tujuan kemanusiaan internasional, tetapi dengan cara- cara yang adil dan beradab. Dengan cara-cara yang menghormati kedaulatan bangsa-bangsa. Bung Karno, menjelaskannya dengan kalimat “internasionalisme hanya bisa tumbuh di tamansarinya nasionalisme, dan nasionalisme yang tumbuh di tamansarinya internasionalisme.” Dengan sila ini, hendak dinyatakan bahwa bangsa Indonesia menghormati tujuan-tujuan internasional yang disepakati oleh bangsa-bangsa, akan tetapi juga hendaknya bangsa-bangsa lain menghormati martabat dan kedaulatan bangsa Indonesia. Dalam sila kedua ini, kebhinekaan bangsa-bangsa diakui, dan dihormati. Hanya bangsa yang berjiwa besar, hanya bangsa yang memiliki jiwa toleransi yang bersedia mengakui dan menghormati keberagaman bangsa-bangsa lain. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki visi Bhineka Tunggal Ika, bukan saja ditujukan ke dalam dirinya sendiri, akan tetapi juga kepada bangsa-bangsa lain di dunia. Inilah yang mencegah bangsa Indonesia terjatuh ke dalam nasionalisme sempit, nasionalisme chauvinistik, nasionalisme yang memandang bangsa atau ras lain lebih rendah. Sejarah pernah mencatat, bahwa bangsa-bangsa dengan nasionalisme chavinistik, hanya akan menghasilkan holocoust kemanusiaan, seperti yang dilakukan oleh Nazi di Jerman, Bennito Musolini di Italia, dll. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, bukanlah sembarang frasa yang dituliskan secara serampangan. Sila ini bersifat merangkum, mengakomodir, mewadahi berbagai ragam suku bangsa yang menyebar dari Sabang sampai Marauke, dengan segala adat istiadatnya, dengan kebiasaan-kebiasaannya, dengan keragaman keseniannya, dengan keragaman pola makan dan jenis makanannya, dengan keragaman jenis dan cara berpakaiannya, dengan keragaman nilai dan norma-normanya, pranata sosialnya, dsb. Mereka semua, yang majemuk itu, yang beragam-ragam itu, dipersatukan di dalam suatu kesatuan kehidupan yang disebut dengan Kebangsaan Indonesia. Dengan demikian, di dalam sila ini sekaligus terkandung pengakuan atas kebhinekaan yang dipayungi oleh suatu semangat persatuan sebagai sebuah bangsa; pengakuan atas aturan dan norma-norma lokal, yang diikuti dengan kesediaan untuk mengakui dan mentaati aturan dan hukum nasional; pengakuan atas keunikan, tetapi yang diikuti
  • 15. dengan toleransi dan solidaritas. Di dalam sila ini terkandung nilai-nilai pluralisme dan multikulturalisme, yakni pengakuan terhadap keberagaman, akan tetapi tetap di dalam suatu kesatuan bangsa. Sila ini mengakui “unity in diversity” (persatuan dalam keberagaman) bukan “unity in uniformity” (persatuan dalam keseragaman). Ke luar, sila ini menggambarkan sekaligus mencita-citakan adanya sebuah entitas bangsa yang memiliki kepribadian, kedaulatan dan martabat, yang harus diakui dan dihormati oleh bangsa- bangsa di dalam pergaulan internasional. Sebagaimana sudah saya sebutkan tadi, kebangsaan Indonesia bukanlah kebangsaan yang chauvinistik, tetapi kebangsaan yang mengakui kedaulatan, martabat dan kebesaran bangsa-bangsa lain, sejauh bangsa-bangsa lain itu mengakui dan menghormati kedaulatan bangsa Indonesia. Bertitik tolak dari pemahaman seperti ini, marilah kita tengok sejenak, apakah otonomi daerah yang sekarang ini berjalan, menumbuhsuburkan kebangsaan Indonesia, atau malah menumbuhsuburkan etno nasionalisme, memperkuat rasa kedaerahan, atau malah memperkuat kecenderungan desintegrasi ? Juga kebebasan dan demokrasi yang kita jalani, memperkuat kebangsaan Indonesia atau malah meruntuhkannya ? Persoalan-persoalan ini haruslah dilihat sebagai tantangan terhadap Pancasila. Di sinilah NKRI menjadi pilihan strategis yang tidak boleh tergoyahkan. Karena hanya melalui NKRI (yang berdasarkan pada UUD’45 dan Bhineka Tunggal Ika) sila kebangsan ini dapat direalisasikan. Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/ Perwakilan. Sila ini pun sangat jelas, diangkat dan direfleksikan dari realitas kehidupan sosial-budaya bangsa Indonesia. Yaitu kehidupan sosial budaya yang di dalamnya dipenuhi semangat musyawarah, dilaksanakan di dalam suatu permusyawaratan-permusyawaratan rakyat, di dalam pertemuan adat, di dalam pertemuan warga desa, didalam pertemuan-pertemuan di Rumah Panjang di Kalimantan, dalam pertemuan-pertemuan Banjar di Bali, dalam pertemuan-pertemuan ninik mamak di Rumah Gadang di Minangkabau, dsb. Karena itu, Pancasila mencita-citakan agar kerakyatan Indonesia dipimpin oleh hikmatnya kebijaksanaan yang muncul dari permusyawaratan-permusyawaratan langsung (di desa-desa, di antara suku-suku, diantara kerabat-kerabat, diantara warga di tingkat RT, RW, kelurahan atau diantara kelompok-kelompok), atau pun permusyawaratan yang dilaksanakan oleh wakil-wakil rakyat. Secara negatif bisa dibaca demikian : yang dicita-citakan oleh sila ini bukanlah kerakyatan yang dipimpin oleh kekerasan, bukan kerakyatan yang dipimpin oleh politik transaksional, bukan kerakyatan yang dipimpin oleh individualisme, bukan pula kerakyatan yang dipimpin oleh “money politics’, bukan kerakyatan yang dipimpin oleh fundamentalisme dan radikalisme agama, bukan kerakyatan yang dipimpin oleh sektarianisme, bukan kerakyatan yang dipimpin oleh terorisme, juga bukan kerakyatan yang dipimpin oleh pragmatisme dan fundamentalisme pasar bebas. Tetapi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan yang disarikan dari permusyawaratan. Oleh karena itu, sila ini, bersama sila keadilan sosial, oleh Bung Karno disebut sebagai sosio-demokrasi, bukan liberal demokrasi. Demokrasi yang bersendikan pada musyawarah rakyat, bukan demokrasi yang bersendikan pada kepentingan pribadi-pribadi. Demokrai yang berlaku bukan hanya di bidang politik saja, akan tetapi juga di bidang ekonomi. Dalam konteks ini, saya berpandangan, terjadinya voting dalam berbagai pengambilan keputusan adalah wujud dari kekalahan demokrasi kita, kegagalan demokrasi permusyawaratan. Demokrasi liberal di bidang politik dan ekonomi hanya akan melahirkan medan kontestasi dan pertarungan kepentingan-kepentingan invidual atau kelompok, bukan kepentingan bangsa. Ruang politik dan ekonomi yang dibangun di atas dasar demokrasi liberal, hanya akan dimenangkan oleh orang-orang yang memiliki kekuatan uang, kekuasaan, atau oleh orang-orang yang populer tapi
  • 16. belum tentu populis. Itulah sebabnya, Pancasila menawarkan sosio-demokrasi, yaitu demokrasi yang didasari oleh semangat musyawarah, baik antara golongan kaya maupun golongan miskin. Demokrasi yang didasari oleh semangat musyawarah antara berbagai kelompok agama, kepercayaan, suku, ras atau golongan. Atas dasar pemahaman ini, dapatlah kita sekarang menilai, apakah jalan demokrasi yang kita pilih sekarang adalah demokrasi Pancasila, sosio-demokrasi atau sebenarnya kita sudah jauh masuk ke dalam liberal demokrasi, yang karenanya berarti menjauhi nilai-nilai Pancasila ? Jika di masa lalu, dengan semangat heroisme kita meneriakkan “sekali merdeka, tetap merdeka”, tetapi bukankah sekarang kita menyaksikan anak-anak bangsa yang dengan bangga meneriakkan “sekali merdeka, merdeka sekali!” Itulah teriakkan anak-anak bangsa yang lebih mencintai individualisme, menuruti kehendak untuk bebas sebebas-bebasnya. Dengan demikian, lihatlah dampaknya : tawuran antar mahasiswa, antar kampung, antar desa, penganiayaan, penyerbuan tempat-tempat hiburan, pembubaran acara orang lain yang dianggap tak sejalan, konflik antar kelompok, golongan, antar suku, agama, dan yang sungguh mengkhawatirkan adalah maraknya teorisme. Sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menggambarkan cita-cita bangsa Indonesia untuk mencapai kehidupan yang adil dan makmur. Adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Itulah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan keadilan dan kemakmuran bagi sekelompok apalagi segelintir orang. Bung Karno menyatakan bahwa tujuan mendirikan Indonesia merdeka ini, bukan semua untuk satu (orang atau golongan) bukan juga satu (orang atau golongan) untuk semua, akan tetapi semua untuk semua. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia haruslah merupakan konsekuensi dari pelaksanaan sila pertama hingga keempat, tetapi sekaligus keadilan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia itu haruslah bersendikan pada nilai-nilai Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmatnya kebijaksanaan yang muncul dari permusyawaratan-permusyawaratan langsung, maupun permusyawaratan para wakil rakyat. Dengan ini menjadi jelas, bahwa keadilan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia, bukanlah bersendikan kepada nilai-nilai atheisme, kekerasan, pragmatisme, kesukuan, sektarianisme, liberalisme dan individualisme. Saudara-saudara sekalian yang saya muliakan, Nilai-nilai Pancasila yang saya uraikan itulah yang mendasari, yang menjadi ruh, yang menjadi spirit dari batang tubuh UUD’45, sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri bangsa Indonesia. Oleh karena itu, terhadap perjalanan dan perkembangan rumusan konstitusi yang telah diamandemen, atau yang akan diamandemen, kita harus tetap kritis, korektif, agar arah perbaikan dari konstitusi kita tidak melenceng dari spirit, dari jiwanya konstitusi kita. Akan tetapi kita pun harus bersedia membuka diri bagi perubahan-perubahan, sejauh perubahan-perubahan itu sejalan dengan spirit dan nilai-nilai Pancasila. Hanya dengan cara demikian, kita bisa menyongong jaman, menjadi modern, menjadi maju, tanpa kehilangan karakter kita sebagai bangsa. Mengapa demikian, saudara-saudara? Yang karena Pancasila sejatinya merupakan mejadi bintang penjuru (leitstar), bintang pemandu di atasnya kita membangun karakter bangsa Indonesia. India, Jepang, China, Arab Saudi adalah negara-negara yang maju, akan tetapi tetap memiliki karakter yang jelas, tegas, kokoh, dan karena itu membedakan mereka dari bangsa-bangsa maju lainnya. Negara-negara itu dengan jelas menggariskan strategi kebudayaannya, kebijakan politiknya,
  • 17. yang menjadi orientasi dasar bagi pembangunan karakter bangsanya. Mereka bisa demikian, karena mereka tidak meninggalkan sejarahnya, sejarah bangsa mereka sendiri. Sejarah bagi mereka adalah suatu kontinuum bagi pembangunan bangsa mereka sekarang dan yang akan datang. Demikian pentingnya arti sejarah bagi sebuah bangsa. Dan oleh karena itu, kita pun harus memperlakukan NKRI, Pancasila, UUD’45 dan Bhineka Tunggal Ika, sebagai sebuah kontinuum ditengah-tengahnya kita membangun bangsa Indonesia. Dengan demikian, sekali lagi, ijinkan saya mensitir kembali pesan Bung Karno, bapak bangsa Indonesia, “ jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah”.
  • 18. PENTINGNYA 4 (EMPAT) PILAR KEBANGSAAN DALAM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA Oleh : Dani Sintara, SH. MH. http://lekons-lenterakonstitusi.blogspot.com/ A. Pendahuluan. Empat pilar kebangsaan yaitu: Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika akhir-akhir ini menjadi pembicaraan publik. Harus diakui, tidak banyak pembicaraan di kalangan publik tentang keempat pilar itu sepanjang masa demokrasi dan kebebasan sejak 1998. Jika ada, diskusi publik tentang keempat pilar itu, maka ia hilang-hilang timbul untuk kemudian seolah lenyap tanpa bekas. Tidak ada upaya tindak lanjut sistematis dari pemerintah khususnya untuk merevitalisasi, menyosialisasikan, dan menanamkan kembali keempat pilar itu dalam kehidupan kebangsaan-kenegaraan. Akibatnya, sepanjang reformasi politik yang bermula pada tahun 1998, negara-bangsa Indonesia hampir tidak pernah putus dipenuhi gagasan, wacana, gerakan, dan aksi yang secara diametral bertolak belakang dengan keempat pilar tersebut. Telah lebih dari satu dasawarsa reformasi telah dijalani rakyat Indonesia, namun semakin hari wajah bangsa makin terlihat muram dan suram. Dibidang penegakan hukum, kita melihat kebobrokan yang sedemikian rupa yang menyentuh rasa keadilan yang paling mendasar. Hukum yang dicitakan berlaku sama (equal) terhadap semua warga negara dan termasuk pejabat negara sebagai esensi paham negara hukum (rule of law) sebagaimana diamanatkan konstitusi terlihat-terbukti diterapkan secara diskriminatif, tebang pilih. Bukannya memberi perlindungan dan pengayoman, hukum lebih terlihat berwajah keras terhadap mereka yang rawan, dan amat ramah terhadap mereka yang mapan. Terpidana yang menikmati fasilitas penuh kemewahan seperti dinikmati oleh Arthalita Suryani, sementara di tempat lain di Banyumas, seorang narapidana meregang nyawa dihabisi oleh petugas lembaga pemasyarakatan adalah contoh nyata bagaimana implementasi dan perlindungan hukum di lapangan amatlah diskriminatif. Berbagai fenomena diatas hanyalah sebahagian kecil dari kompleksnya permasalahan bangsa di tengah arus globalisasi dunia. Menjadi menarik untuk direnungkan kembali adalah bagaimana pentingnya empat pilar kebangsaan yakni: Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika dalam menopang kehidupan berbangsa dan bernegara? Bagaimana hukum seharusnya didayagunakan dalam konteks keempat pilar tersebut. Tulisan ini akan mencoba menjawab secara ringkas permasalahan tersebut di atas dalam perspektif hukum agar Negara Indonesia yang dicitakan sesuai dengan amanat Proklamasi 17 Agustus 1945 dan Pembukaan UUD 1945 tetap berdiri kokoh. B. Pancasila Sebagai Falsafah Hidup Bangsa Indonesia. Pancasila dalam pengertian ini sering juga disebut way of life. Dalam hal ini, Pancasila dipergunakan sebagai petunjuk hidup sehari-hari (Pancasila diamalkan dalam hidup sehari-hari). Dengan perkataan lain, Pancasila digunakan sebagai penunjuk arah semua kegiatan atau aktifitas hidup dan kehidupan didalam segala bidang. Ini berarti bahwa semua tingkah laku dan tindak/perbuatan setiap manusia Indonesia harus dijiwai dan merupakan pancaran dari semua sila Pancasila karena Pancasila sebagai weltanschauung selalu merupakan suatu kesatuan, tidak bias dipisah-pisahkan satu dengan yang
  • 19. lain. Keseluruhan sila didalam Pancasila merupakan satu kesatuan organis. Pancasila yang harus dihayati adalah Pancasila sebagaimana tercantum didalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, jiwa keagamaan (sebagai manifestasi/perwujudan dari sila ketuhanan yang maha esa), jiwa yang berperikemanusiaan (sebagai manifestasi/perwujudan dari sila kemanusiaan yang adil dan beradab), jiwa kebangsaan (sebagai manifestasi/perwujudan dari sila persatuan Indonesia), jiwa kerakyatan (sebagai manifestasi/perwujudan dari sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan), dan jiwa yang menjunjung tinggi keadilan social (sebagai manifestasi/perwujudan dari sila keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia) selalu terpancar dalam segala tingkah laku dan tindak/perbuatan serta sikap hidup seluruh Bangsa Indonesia.[3] Demikianlah pengertian Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa. Dilihat dari kedudukannya, Pancasila mempunyai kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu, pengertian-pengertian yang berhubungan dengan pancasila dapat diikhtisarkan sebagai berikut: 1. Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia. 2. Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia. 3. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. 4. Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia. 5. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum bagi negara Republik Indonesia. 6. Pancasila sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia pada waktu mendirikan negara. 7. Pancasila sebagai cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia. 8. Pancasila sebagagai falsafah hidup yang mempersatukan bangsa Indonesia. C. Undang-Undang Dasar 1945 Sebagai Kontrak Sosial dan Hukum Tertinggi. Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, segala dinamika kekuasaan, hubungan antar cabang kekuasaan, mekanisme hubungan antara negara, civil society, diikat dan tersimpul dalam suatu dokumen yang disepakati sebagai sumber hukum tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami beberapa kali perubahan mendasar. Sejak kemerdekaan, bangsa kita telah menetapkan 8 kali undang-undang dasar, yaitu (1) UUD 1945, (2) Konstitusi RIS 1949, (3) UUDS 1950, (4) UUD 1945 versi Dekrit 5 Juli 1959, (5) Perubahan Pertama UUD 1945 tahun 1999, (6) Perubahan Kedua tahun 2000, (7) Perubahan Ketiga tahun 2001, dan (8) Perubahan Keempat pada tahun 2002, dengan nama yang dipertegas, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di samping UUD 1945 sebagai konstitusi yang tertulis, dalam teori dan praktik, dikenal juga adanya pengertian mengenai konstitusi yang tidak tertulis, misalnya kebiasaan-kebiasaan dan konvensi ketatanegaraan, interpretasi konstitusional oleh pengadilan (dalam hal ini Mahkamah Konstitusi), dan prinsip-prinsip kenegaraan yang hidup dan dipandang ideal dalam masyarakat. Misalnya, ada pengertian yang hidup dalam masyarakat kita bahwa empat pilar kebangsaan Indonesia yang mencakup (1) Pancasila, (2) UUD 1945, (3) NKRI, dan (4) Semboyan Bhinneka-Tunggal-Ika. Karena itu, keempat pilar tersebut juga dapat dipandang berlaku sebagai isi konstitusi Indonesia dalam pengertiannya yang tidak tertulis. Maksudnya, UUD 1945 sendiri tidak menyebut bahwa keempat hal tersebut merupakan pilar kebangsaan, kecuali dalam Pasal 37 ayat (5) yang menyatakan bahwa mengenai bentuk NKRI tidak dapat diadakan perubahan sama sekali.
  • 20. UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi, tidak saja dalam bidang politik, tetapi juga dalam bidang ekonomi, dan bahkan sosial. Karena itu, UUD 1945 merupakan konstitusi politik, konstitusi ekonomi, dan sekaligus konstitusi sosial. UUD 1945 adalah konstitusi yang harus dijadikan referensi tertinggi dalam dinamika kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan dalam dinamika ekonomi pasar (market economy). Di samping soal-soal politik, UUD 1945 juga mengatur tentang sosial-soal ekonomi dan sosial atau yang terkait dengan keduanya, yaitu (1) hal keuangan negara, seperti kebijakan keuangan (moneter) dan fiskal, (2) bank sentral, (3) soal Badan Pemeriksa Keuangan Negara hal kebijakan pengelolaan dan pemeriksaan tanggungjawab keuangan negara, (4) soal perekonomian nasional, seperti mengenai prinsip-prinsip hak ekonomi, konsep kepemilikan pribadi dan kepemilikan kolektif, serta penguasaan negara atas kekayaan sumberdaya alam yang penting dan menyangkut hajat hidup orang banyak, serta (6) mengenai kesejahteraan sosial, seperti sistem jaminan sosial, pelayanan umum dan pelayanan kesehatan, dan pemeliharaan fakir, miskin, dan anak terlantar oleh negara. Oleh karena itu, UUD 1945 haruslah dijadikan referensi tertinggi dalam merumuskan setiap kebijakan kenegaraan dan pemerintahan di semua bidang dan sektor. Lagi pula, sekarang kita telah membentuk Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji konstitusionalitas setiap kebijakan yang dituangkan dalam bentuk undang-undang. Oleh sebab itu, para anggota DPR sebagai anggota lembaga yang bertindak sebagai policy maker, pembentuk undang-undang, perlu menghayati tugasnya dengan berpedoman kepada UUD 1945.[4] Dengan demikian, Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum yang tertinggi memuat gambaran dan hasrat ketatanegaraan republik Indonesia serta gambaran kerangka ketatanegaraan itu serta menentukan tujuan dan garis-garis pokok kebijaksanaan pemerintahan[5] sebagai kontrak sosial antara masyarakat dengan lembaga-lembaga negara maupun antar lembaga negara yang satu dengan lembaga negara yang lain. D. NKRI Sebagai Negara Nasional (Negara Kebangsaan, Nation State). Asas normatif filosofis-ideologis NKRI seutuhnya ialah filsafat negara Pancasila. Filsafat Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa (Weltanschauung), diakui juga sebagai jiwa bangsa (Volksgeist, jatidiri nasional) Indonesia. Identitas dan integritas nilai fundamental ini secara konstitusional dan institusional ditegakkan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai nation state. Secara filosofis-ideologis dan konstitusional, bahkan kultural negara kebangsaan (nation state) adalah peningkatan secara kenegaraan dari nilai dan asas kekeluargaan. Makna kekeluargaan, bertumpu pada karakteristika dan integritas keluarga yang manunggal; sehingga rukun, utuh- bersatu, dengan semangat kerjasama dan kepemimpinan gotong-royong. Jadi, nation state Indonesia adalah wujud makro (nasional, bangsa, negara) dari rakyat warga negara Indonesia se- nusantara. Identitas demikian ditegakkan dalam nation state NKRI yang dijiwai asas kekeluargaan, asas kebangsaan (Wawasan Nasional: sila ketiga Pancasila) dan ditegakkan dengan semangat asas wawasan nusantara. Karenanya, secara normatif integritas NKRI kuat, tegak tegar menghadapi berbagai tantangan nasional dan global. Keseluruhan identitas dan integritas kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dijiwai, dilandasi dan dipandu oleh nilai fundamental dasar negara Pancasila. Karenanya, NKRI dapat dinamakan dengan predikat sebagai sistem kenegaraan Pancasila. Sistem kenegaraan ini terjabar secara konstitusional dalam UUD 1945. NKRI sebagai nation state membuktikan bagaimana potensi dan kualitas dari
  • 21. integritas wawasan nasional Indonesia raya yang diwarisi, tumbuh, dan teruji dalam berbagai tantangan nasional dan global. E. Bhineka Tunggal Ika Sebagai Pembentuk Jati Diri Bangsa. Sejak Negara Republik Indonesia merdeka, para pendiri bangsa mencantumkan kalimat ”Bhinneka Tunggal Ika” sebagai semboyan pada lambang negara Garuda Pancasila. Kalimat itu sendiri diambil dari falsafah Nusantara yang sejak jaman Kerajaan Majapahit juga sudah dipakai sebagai motto pemersatu Nusantara, yang diikrarkan oleh Patih Gajah Mada dalam Kakawin Sutasoma, karya Mpu Tantular: Rwāneka dhātu winuwus wara Buddha Wiśwa, bhinnêki rakwa ring apan kěna parwanosěn, mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, bhinnêka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa Terjemahan: Konon dikatakan bahwa Wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang berbeda. Namun, bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya dalam selintas pandang? Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda, namun hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua. (Bhineka Tunggal ika tan Hana Dharma Mangrwa).[6] Frasa tersebut berasal dari bahasa Jawa Kuno dan diterjemahkan dengan kalimat Berbeda-beda tetapi tetap satu. Kemudian terbentuklah Bhineka Tunggal Ika menjadi jati diri bangsa Indonesia. Ini artinya, bahwa sudah sejak dulu hingga saat ini kesadaran akan hidup bersama di dalam keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa serta semangat bangsa di negeri ini. Kemudian dilanjutkan dengan adanya Sumpah Pemuda yang tidak kalah penting dalam sejarah perkembangan pembentukan Jati Diri Bangsa ini. Tjahjopurnomo (2004) menyatakan bahwa Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928 secara historis merupakan rangkaian kesinambungan dari Sumpah Palapa yang terkenal itu, karena pada intinya berkenaan dengan persatuan, dan hal ini disadari oleh para pemuda yang mengucapkan ikrar tersebut, yakni terdapatnya kata sejarah dalam isi putusan Kongres Pemuda Kedua. Sumpah Pemuda merupakan peristiwa yang maha penting bagi bangsa Indonesia, setelah Sumpah Palapa. Para pemuda pada waktu itu dengan tidak memperhatikan latar kesukuannya dan budaya sukunya berkemauan dan berkesungguhan hati merasa memiliki bangsa yang satu, bangsa Indonesia. Ini menandakan bukti tentang kearifan para pemuda pada waktu itu. Dengan dikumandangkannya Sumpah Pemuda, maka sudah tidak ada lagi ide kesukuan atau ide kepulauan, atau ide propinsialisme atau ide federaslisme. Daerah-daerah adalah bagian yang tidak bisa dipisah-pisahkan dari satu tubuh, yaitu tanah Air Indonesia, bangsa Indonesia, dan bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda adalah ide kebangsaan Indonesia yang bulat dan bersatu, serta telah mengantarkan kita ke alam kemerdekaan, yang pada intinya didorong oleh kekuatan persatuan Indonesia yang bulat dan bersatu itu.[7] Pada saat kemerdekaan diproklamirkan, 17 Agustus 1945 yang didengungkan oleh Soekarno-Hatta, kebutuhan akan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia tampil mengemuka dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar Negara RI. Sejak waktu itu, Sumpah Palapa dirasakan eksistensi dan perannya untuk menjaga kesinambungan sejarah bangsa Indonesia yang utuh dan menyeluruh. Seandainya tidak ada Sumpah Palapa, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) akan dikoyak-koyak sendiri oleh suku-suku bangsa Nusantara yang merasa dirinya bisa memisahkan diri
  • 22. dengan pemahaman federalisme dan otonomi daerah yang berlebihan. Gagasan-gagasan memisahkan diri sungguh merupakan gagasan dari orang-orang yang tidak tahu diri dan tidak mengerti sejarah bangsanya, bahkan tidak tahu tentang “jantraning alam” (putaran zaman) Indonesia. Yang harus kita lakukan adalah, dengan kesadaran baru yang ada pada tingkat kecerdasan, keintelektualan, serta kemajuan kita sekarang ini, bahwa bangsa ini dibangun dengan pilar bernama Bhinneka Tunggal Ika yang telah mengantarkan kita sampai hari ini menjadi sebuah bangsa yang terus semakin besar di antara bangsa-bangsa lain di atas bumi ini, yaitu bangsa Indonesia, meskipun berbeda-beda (suku bangsa) tetapi satu (bangsa Indonesia). Dan dikuatkan dengan pilar Sumpah Palapa diikuti oleh Sumpah Pemuda yang mengikrarkan persatuan dan kesatuan Nusantara/bangsa Indonesia, serta proklamasi kemerdekaan dalam kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia yang utuh dan menyeluruh. Hal itu tidak terlepas dari pembentukan jati diri daerah sebagai dasar pembentuk jati dari bangsa. F. Penutup. Tegaknya NKRI pada akhirnya berpulang pada apakah kita masih menggunakan empat pilar kebangsaan. Pembangunan hukum oleh karenanya haruslah dalam asas yang berkesesuaian dengan empat pilar kebangsaan tersebut, yang bernafaskan Pancasila, yang konstitusional, dalam kerangka NKRI, dan untuk menjamin keanekaragaman budaya, suku bangsa dan agama. Jika salah satu foundasi itu tidak dijadikan pegangan, maka akan goyahlah negara Indonesia. Jika penopang yang satu tak kuat, maka akan berpengaruh pada pilar yang lain. Pada akhirnya bukan tak mungkin Indonesia akan ambruk, sesuatu yang tentu tak diinginkan. DAFTAR BACAAN Darji Darmodiharjo, dkk, Santiaji Pancasila, Surabaya: Penerbit Usaha Nasional, 1991. Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: Gramedia, 2007. --------, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga-Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: MKRI, 2007. Mpu Tantular. Kakawin Sutasoma. Penerjemah: Dwi Woro Retno Mastuti dan Hastho Bramantyo. 2009: 504-505. M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2008. Tjahjopurnomo S.J. ―Sumpah Palapa dan Sumpah Pemuda: Beberapa Catatan tentang Persatuan,. Makalah disampaikan pada Seminar Buku Langka sebagai Sumber Kajian Kebudayaan Indonesia, di Auditorium Perpustakaan Nasional RI, Jl. Salemba Raya No. 28 A, Jakarta, 28 Oktober 2004.
  • 23. [1] Disampaikan Pada Seminar Nasional Yang Diadakan Oleh Kesatuan Aksi Mahasisiwa Muslim Indonesia (KAMMI) Wilayah Sumatera Utara Pada Tanggal 10 Desember 2011. [2] Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muslim Nusantara (FH-UMN) Al-Washliyah dan Kepala Divisi Advokasi Lentera Konstitusi. [3] Darji Darmodiharjo, dkk, Santiaji Pancasila, (Surabaya: Penerbit Usaha Nasional, 1991), hlm. 16. [4] Uraian-uraian mengenai hal tersebut diatas, dapat dibaca dalam Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: Gramedia, 2007) dan Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga-Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: MKRI, 2007). [5] M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2008), hlm. 33. [6] Mpu Tantular. Kakawin Sutasoma. Penerjemah: Dwi Woro Retno Mastuti dan Hastho Bramantyo. 2009: 504-505. [7] Tjahjopurnomo S.J. ―Sumpah Palapa dan Sumpah Pemuda: Beberapa Catatan tentang Persatuan,. Makalah disampaikan pada Seminar Buku Langka sebagai Sumber Kajian Kebudayaan Indonesia, di Auditorium Perpustakaan Nasional RI, Jl. Salemba Raya No. 28 A, Jakarta, 28 Oktober 2004.