Dokumen tersebut memberikan penjelasan tentang definisi, dalil, jenis-jenis, dan cara melakukan thoharoh atau mensucikan diri dari hadats dan najis sebelum melakukan ibadah seperti shalat. Termasuk di dalamnya adalah penjelasan tentang hadats kecil dan besar, najis ringan dan berat, serta adab-adab ketika buang air besar dan kecil.
2. Defisini Thoharoh
Thoharoh menurut bahasa bersih dan suci.
Thoharoh hukumnya merupakan wajib
berdasarkan Kitabullah dan as-Sunnah .
Thoharoh menurut istilah berarti mensucikan diri,
pakaian dan tempat dari hadats dan najis,
khususnya pada saat kita hendak shalat. Lebih jauh
lagi, thaharah berarti mensucikan diri dan hati.
3. Dalil Al-Qur’an dan Sunnah
َنْيِباَّوَّتال ُّب ِحُي َهللا َّنِإ
َتُمْلا ُّب ِحُيَوَنْي ِرِهَط
“Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang
yang taubat dan
menyukai orang-orang
yang menyucikan diri.”
(Al-Baqarah : 222)
َصُ هللا ُلَبْقَي َالْيَغِبً ةَالِر
اًر ْوُهَط( .المس رواهلم)
Artinya: “ Allah tidak
menerima shalat
seseorang yang
tidak dalam keadaan
suci”. (H.R. Muslim)
4. Pembagian Thoharoh
Thoharoh
Thoharoh bathiniyah Thoharoh lahiriyah
Menyucikan jiwa dari dampak-
dampak dosa dan maksiat dengan
taubat yang sungguh-sungguh dari
setiap dosa dan maksiat, juga
menyucikan hati dari noda-noda
syirik, dengki, curang, dan berbagai
penyakit hati lainnya dengan
keikhlasan, keyakinan dan
mengharapkan keridhoan Allah
Subhanahu wa Ta’ala
Bersuci dari kotoran
dan hadats
5. Sarana Thoharoh
1. Air muthlaq yaitu air yang masih murni,
yang belum tercampur dengan apapun yang
dapat merubahnya, Contohnya : air sumur,
air mata air, air lembah, air laut yang asin
2. Debu yang suci yaitu permukaan tanah yang
suci berupa tanah, pasir, batu atau debu .
6. Definisi Hadats dan Najis
Hadats adalah sesuatu yang menyebabkan
seseorang tidak sah melakukan ibadah tertentu
seperti shalat
Najis adalah sesuatu yang datang dari dalam diri
(tubuh) manusia ataupun dari luar manusia; yang
dapat menyebabkan tidak sahnya badan, pakaian,
atau tempat untuk dipakai beribadah.
7. Macam-macam hadats
Hadats Kecil (Shughra):
1. Buang Air (baik dari dubur
maupun qubul)
2. Buang Angin
3. Hilang Akal sepert Tidur,
Pingsan, ataupun Gila.
4. Menyentuh wanita yang bukan
mahram dengan sengaja dan
dengan syahwat.
5. Tersentuh kemaluan (qubul dan
dubur) dengan telapak tangan atau
jari-jarinya yang tidak memakai
tutup (baik miliknya sendiri ataupun
orang lain)
Hadats Besar (Kubra)
1. Berhubungan kelamin walau
tidak keluar mani
2. Mengeluarkan mani/sperma
baik sengaja maupun tidak
3. Wanita yang selesai haid
4. Wanita yang baru melahirkan
dan selesai masa nifasnya
5. Seseorang yang baru masuk
islam
8. Macam-macam Najis
Najis Mukhaffafah
Najis yang ringan yaitu
air seni anak lak -laki di
bawah umur dua tahun
yang belum makan
makanan kecuali air
susu ibunya saja
Cara menyucikannya
cukup dengan
dipercikkan air saja
pada bagian yang
terkena najis tersebut.
9. Najis Mughallazah
Najis yang berat
yaitu anjing, babi
dan keturinan
kedua-duanya
Cara
menyucikannya
ialah dengan dicuci
tujuh kali dengan air
mutlak dan salah
satunya hendaklah
dengan air tanah.
10. Najis Mutawassitah
Najis pertengahan yaitu
selain najis mukhaffafah
dan najis mughallazah
Cara menyucikannya jika ada ain, hendaklah dihilangkan
ainnya itu dan segala sifatnya yaitu rasanya, baunya dan
warnanya. Jika setelah dicuci didapati masih tidak hilang
rasanya seperti kesat, hendaklah dicuci lagi hingga hilang
rasa itu. Setelah itu jika tidak hilang juga, ia dimaafkan. Jika
bau atau wama najis itu masih tidak hilang setelah dicuci dan
digosok tiga kali, hukumnya adalah dimaafkan. Jika najis itu
sudah tidak ada lagi ainnya dan tidak ada lagi sifatnya seperti
air kencing yang sudah kering pada kain dan hilang sifatnya,
cukuplah dengan dicucuri air pada tempat yang terkena najis
itu (najis hukmi). Arak apabila telah menjadi cuka dengan
sendirinya maka hukumnya suci dengan syarat tidak
dimasukkan benda lain di dalam tempat pemeramannya.
11. Cara Thoharoh
• Istinja
• Mencuci atau membasuh dengan air
• Memercikkan Air
• Menyamak
Thoharoh
dari najis
• Wudhu
• Tayamum
• Mandi
Thoharoh
dari
hadats
12. Adab Buang Hajat
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
ِ هاَّلل ِلوُس َر َعَم َانْج ََرخ-وسلم عليه هللا صلى-وُس َر َانَك َو ٍرَفَس ىِفِ هاَّلل ُل
-هللا صلىعليهوسلم-َالَتَي ىهتَح َاز َرَبْال ىِتْأَيَالَف َهبيَغى َرُي
“Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika safar, beliau tidak menunaikan hajatnya di daerah
terbuka, namun beliau pergi ke tempat yang jauh sampai tidak
nampak dan tidak terlihat.” HR. Ibnu Majah no. 335. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
1. Menutup diri dan menjauh dari manusia ketika buang hajat.
13. 2. Tidak membawa sesuatu yang bertuliskan nama Allah.
Seperti memakai cincin yang bertuliskan nama Allah dan
semacamnya. Hal ini terlarang karena kita diperintahkan untuk
mengagungkan nama Allah dan ini sudah diketahui oleh setiap
orang secara pasti. Allah Ta’ala berfirman,
ا َرِئاَعَش ْمِظَعُي ْنَم َو َكِلَذَت ْنِم اَههنِإَف ِ هَّللى َوْقِبوُلُقْال
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa
mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu
timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32)
14. 3. Membaca basmalah dan meminta perlindungan pada Allah
(membawa ta’awudz) sebelum masuk tempat buang hajat.
Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
َع َو ِن ِجْال ِنُيْعَأ َْنيَب اَم ُرْتَسَخَد اَذِإ َمَدآ ىِنَب ِتاَر ْوُمُهُدَحَأ َل
ِمْسِب َلوُقَي ْنَأ َءَالَخْالِ هاَّلل
“Penghalang antara pandangan jin dan aurat manusia adalah
jika salah seorang di antara mereka memasuki tempat buang
hajat, lalu ia ucapkan “Bismillah”. HR. Tirmidzi no. 606, dari
‘Ali bin Abi Tholib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih.
15. Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,
ََانكُّىِبَّنال–وسلم عليه هللا صلى–ِإَءَالَخْلا َلَخَد اَذ
َلاَق«َنِم َكِب ُذوُعَأ ىِنِإ َّمُهَّلالِِ ُبُخْلاِِ ِئاَبَخْلاَو
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memasuki
jamban, beliau ucapkan: Allahumma inni a’udzu bika minal
khubutsi wal khobaits (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu
dari setan laki-laki dan setan perempuan) HR. Bukhari no. 142
dan Muslim no. 375.
16. 4. Masuk ke tempat buang hajat terlebih dahulu dengan kaki
kiri dan keluar dari tempat tersebut dengan kaki kanan.
ََانكُّىِبَّنال–وسلم عليه هللا صلى–ُيُّمَيَّتال ُهُب ِجْعىِف ُن
َو ِه ِورُهُطَو ِهِلُّجَرَتَو ِهِلُّعَنَتِهُِلك ِهِنََْْ ىِف
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka mendahulukan
yang kanan ketika memakai sandal, menyisir rambut, ketika
bersuci dan dalam setiap perkara (yang baik-baik).” HR.
Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268, dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha
Syaikh Ali Basam mengatakan, “Mendahulukan yang kanan
untuk perkara yang baik, ini ditunjukkan oleh dalil syar’i, dalil
logika dan didukung oleh fitrah yang baik. Sedangkan untuk
perkara yang jelek, maka digunakan yang kiri. Hal inilah yang
lebih pantas berdasarkan dalil syar’i dan logika.”
17. 5. Tidak menghadap kiblat atau pun membelakanginya.
Dari Abu Ayyub Al Anshori, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Jika kalian mendatangi jamban, maka janganlah kalian
menghadap kiblat dan membelakanginya. Akan tetapi, hadaplah
ke arah timur atau barat.” Abu Ayyub mengatakan, “Dulu kami
pernah tinggal di Syam. Kami mendapati jamban kami dibangun
menghadap ke arah kiblat. Kami pun mengubah arah tempat
tersebut dan kami memohon ampun pada Allah Ta’ala.” HR.
Bukhari no. 394 dan Muslim no. 264.
Yang dimaksud dengan “hadaplah arah barat dan timur” adalah
ketika kondisinya di Madinah. Namun kalau kita berada di
Indonesia, maka berdasarkan hadits ini kita dilarang buang hajat
dengan menghadap arah barat dan timur, dan diperintahkan
menghadap ke utara atau selatan.
18. Jawaban yang lebih tepat, hal ini berlaku di dalam dan di luar
bangunan berdasarkan keumuman hadits Abu Ayyub Al
Anshori di atas. Pendapat ini dipilih oleh Imam Abu Hanifah,
Imam Ahmad, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani dan pendapat terakhir dari
Syaikh Ali Basam.
Namun apakah larangan menghadap
kiblat dan membelakanginya ketika buang
hajat berlaku di dalam bangunan dan di
luar bangunan??
19. 6. Terlarang berbicara secara mutlak kecuali jika darurat.
Dalilnya adalah hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
beliau berkata,
ِ هاَّلل ُلوُس َر َو هرَم ًالُجَر هنَأ-صوسلم عليه هللا لى-ُلوُبَي
هدُرَي ْمَلَف َمهلَسَفِهْيَلَع
“Ada seseorang yang melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan beliau sedang kencing. Ketika itu, orang
tersebut mengucapkan salam, namun beliau tidak
membalasnya.” HR. Muslim no. 370.
20. 7. Tidak buang hajat di jalan dan tempat bernaungnya
manusia.
Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ِنْيَناَّعَّلال واُقَّتا».َّعَّلال اَمَو واُلاَقَلاَق ِ َّاَّلل َلوُسَر اَي ِانَنا«ِىذَّلا
ىِف ْوَأ ِاسَّنال ِيق ِرَط ىِف ىَّلَخَتَيِظْمِهِل
“Hati-hatilah dengan al la’anain (orang yang dilaknat oleh
manusia)!” Para sahabat bertanya, “Siapa itu al la’anain (orang
yang dilaknat oleh manusia), wahai Rasulullah?” Beliau
bersabda, “Mereka adalah orang yang buang hajat di jalan dan
tempat bernaungnya manusia. HR. Muslim no. 269.
21. 8. Tidak buang hajat di air yang tergenang
Dalilnya adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
ْلا ىِف َلاَبُي ْنَأ ىَهَن ُهَّنَأِدِكاَّرال ِاءَم.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kencing di
air tergenang.” HR. Muslim no. 281.
22. 9. Memperhatikan adab ketika istinja’ (membersihkan
sisa kotoran setelah buang hajat, alias cebok)
1. Tidak beristinja’ dan menyentuh
kemaluan dengan tangan kanan
2. Beristinja’ bisa dengan menggunakan air
atau menggunakan minimal tiga batu
(istijmar).
3. Memerciki kemaluan dan celana dengan
air setelah kencing untuk menghilangkan
was-was.
23. 10. Mengucapkan do’a “ghufronaka” setelah
keluar kamar mandi.
Dalilnya adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau
berkata,
َّىِبَّنال َّنَأ-وسلم عليه هللا صلى-ََانكَنِم َجَرَخ اَذِإ
َلاَق ِطِئاَغْلا«َكَناَرْفُغ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa setelah beliau keluar
kamar mandi beliau ucapkan “ghufronaka” (Ya Allah, aku
memohon ampun pada-Mu).” HR. Abu Daud no. 30, At Tirmidzi
no. 7, Ibnu Majah no. 300, Ad Darimi no. 680. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih.