SlideShare a Scribd company logo
1 of 88
Download to read offline
F F li m m - S e n i & & E E d u k a is i
i
l - S e n i
d u k a s
F F F i li l mmm - - S S e e n n i i & & & E E E d d u u k k a a s is i i
i
l - S e n i
d u k a s

FREE MAGAZINE - EDISI 2 - SEPTEMBER 2013 2013
FREE MAGAZINE - EDISI 2 - SEPTEMBER
FREE MAGAZINE - EDISI 2 -2 -2 - SEPTEMBER 2013
FREE MAGAZINE - EDISI SEPTEMBER 2013
FREE MAGAZINE - EDISI SEPTEMBER 2013
MUSIC REPORT
MUSIC REPORT
MUSIC REPORT
MUSIC REPORT
MUSIC REPORT

LIPUTAN
LIPUTAN
LIPUTAN
LIPUTAN
LIPUTAN

IMPAS
IMPAS
IMPAS
IMPAS
IMPAS
INDONESIAN
INDONESIAN
INDONESIAN
INDONESIAN
INDONESIAN
MOTION
MOTION
MOTION
MOTION
MOTION

PICTURE
PICTURE
PICTURE
PICTURE
PICTURE
ASSOCIATION
ASSOCIATION
ASSOCIATION
ASSOCIATION
ASSOCIATION
MANCANEGARA
MANCANEGARA
MANCANEGARA
MANCANEGARA
MANCANEGARA

VENICE FILM FESTIVAL
VENICE FILM FESTIVAL
VENICE FILM FESTIVAL
VENICE FILM FESTIVAL
VENICE FILM FESTIVAL
KOMUNITAS
KOMUNITAS
KOMUNITAS
KOMUNITAS
KOMUNITAS

Rudi Soedjarwo
Rudi Soedjarwo
Rudi Soedjarwo
Rudi Soedjarwo
Rudi Soedjarwo

INTERVIEW
INTERVIEW
interview
INTERVIEW
INTERVIEW
INTERVIEW

September 2013 l Kinescope l 1
2 l Kinescope l September 2013
September 2013 l Kinescope l 3
Daftar isi
Cover Story

70
Metallica

10 ARKIPEL

International Documentary &
Experimental Film Festival 2013

REVIEW

74

16 CINTA/MATI

Rom-Com ‘Bunuh Diri’

18 The CONJURING

Kengerian Exorcism
yang Repetitif

Kinescope Launching

40
Denok & Gareng

FESTIVAL
20 Venice Film Festival

The Venice Film Festival atau Venice
International Film Festival adalah
festival film internasional
tertua di dunia.

34

Opini Publik

23.59 Sebelum Mati

28 Film Bagus? Ini Cara

Menentukannya
“Sebuah bencana bagi struktur
kebudayaan sebuah masyarakat dan
peradaban ketika para produser dan
pembuat film hanya memikirkan dan
mementingkan orientasi profit saja dari
karya filmnya.”

30 Wahai Para Kritikus Film

“Mengapa para penikmat film tak
membaca tulisan kritikus film karena
para kritikus ini kekurangan humor,
asyik sendiri menelaah dengan katakata yang membuat pembacanya
harus selalu sedia kamus bahasa
Indonesia.”

32 Apa Itu Sebenarnya

Bintang Film?
Begitu charming dan berpengaruhnya
seorang aktor atau BINTANG FILM,
hingga bisa membatalkan sebuah
produksi film, jika dia menolak untuk
terlibat.

On Location

36 Wanita tetap wanita

Wanita Tetap Wanita merupakan
tanda cinta bagi seluruh perempuan
Indonesia. Disutradarai oleh 4 orang
sutradara muda Indonesia, Irwansyah,
Teuku Wisnu, Didi Riyadi dan Reza
Rahadian.

4 l Kinescope l September 2013

SPOTLIGHT

38 Bintang-Bintang Film Indonesia

yang berkiprah Internasional
“Dengan menggunakan Indonesia
sebagai lokasi syuting, tentu ini membuka
kesempatan bintangbintang film lokal
untuk terlibat dalam produksi film
luar”sutradara dan juga ­ enyanyi.
p

SEJARAH

44 Kisah Seniman Peranakan,

Si Item Tan Tjeng Bok
Kita mungkin sudah lupa dengan seorang
seniman besar peranakan Tionghoa yang
begitu terkenal di dunia perfilman Indonesia
selama tiga dekade, terutama di era tahun
70-an.

liputan
48 DRUPADI PANDAVA DIVA
“Ini merupakan kerumitan
tersendiri”

50 MUSLIHAT OK .VIDEO

Pameran 91 Karya Video dan Seni
Media yang Mengakali Teknologi
50 IMPAS
Para pekerja perfilman Indonesia
dari berbagai profesi

TEATER

66 Teater Miss TijTjih
Yang Megah Yang Tergerus Zaman

tokoh dunia
56 Roger Ebert

Pada tanggal 4 April 2013, perfilman dunia
kehilangan salah satu sosok kritikus
terbaiknya. Roger Joseph Ebert meninggal
dunia pada usia 70 tahun dan mengakhiri
perjuangannya selama 11 tahun enghadapi
cancer.

teknologi

58 Mengenal IMax

INTERVIEW

66 Rudi Soedjarwo

Sebuah pagelaran festival musik rock.

KOMUNITAS
70 Forum Lenteng

Saat ini Forum Lenteng adalah satu dari
sekian komunitas yang berkomitmen
dan berdedikasi tinggi mengamati,
mengembangkan dan mengkaji isu-isu
sosial dan budaya masyarakat.v
www.kinescopeindonesia.com
	
	info@kinescopeindonesia.com
	iklan@kinescopeindonesia.com
	redaksi@kinescopeindonesia.com
	langganan@kinescopeindonesia.com
	@KinescopeMagz

September 2013 l Kinescope l 5
f i l m ,

s e n i

&

Salam Redaksi

e d u k a s i

Penasehat Redaksi
Farid Gaban
Wanda Hamidah
Andibachtiar Yusuf
Biem T Benjamin
Pemimpin Umum
Hasreiza
Pemimpin redaksi
Reiza Patters
Redaktur Pelaksana
Muhammad Adrai
Redaktur	
Doni Agustan
Sekretaris
Faisal Fadhly
Kontributor
Shandy Gasella
Deddy Setyadi
Ahmad Hasan Yuniardi
Desain Grafis & Tata Letak
al Fian adha
Artistik & Editor Foto
Rizaldi Fakhruddin
Fotografer
Hery Yohans
Arista Kusumastuti
Penjualan & Pemasaran
Ollivia Selagusta
pengembangan & komunitas
Jusuf Alin Lubis
Distribusi & Sirkulasi
Faisal Fadhly
subScriptions
Gedung Graha Utama
Jl. Raya Pasar Minggu KM 17 No. 21
Jakarta Selatan

“Kendala terbesar adalah konsistensi.
Konsistensi untuk berjuang bersama dan
terus menerus melakukan evaluasi dan
introspeksi.”

P

eluncuran secara resmi edisi perdana Kinescope telah berjalan dengan cukup
sukses. Keriuhan dan kemeriahan pada saat acara mewarnai acara peluncuran
tersebut. Dengan hadirnya banyak orang dari berbagai kalangan, sahabat, handai
taulan, cukup menjadi pelecut semangat agar Kinescope bisa terus bergerak
sebagai tanda keberadaan akan visi dan tujuan yang mulia. Bergerak dan bisa ditemui
dengan mudah oleh publik agar pesan dan misi yang ada betul-betul bisa membumi.
Namun kami menyadari bahwa semangat saja tidaklah cukup. Diperlukan usaha yang
keras dan doa yang tiada berputus, agar Kinescope bisa terus menerus menyapa pembaca,
menyentuh para penikmat seni, menegur para praktisi seni dan pengambil kebijakan agar
pola peradaban bangsa bisa terus menerus diperbaiki hingga mencapai taraf relevansi
yang sesuai dengan situasi dan perkembangan zaman. Untuk itu, kendala terbesar adalah
konsistensi. Konsistensi untuk berjuang bersama dan terus menerus melakukan evaluasi
dan introspeksi.
Integritas sudah bukan persoalan bagi Kinescope, karena ini sudah menjadi komitmen
awal yang kuat. Akuntabilitas pun begitu, karena sistem kepemilikan bersama yang menjadi
tonggak kebersamaan. Konsistensilah yang masih harus teruji di dalam kebersamaan itu.
Ujian konsistensi tersebut akan	ada terus sepanjang Kinescope masih mampu bertahan.
Dan itu perjuangan.
Untuk itu, dukungan semua pihak agar gagasan dan visi besar ini bisa terus bergulir dan
terwadahi di dalam Kinescope, sangat dibutuhkan. Mulai dari dukungan semua individu
yang ada di dalam wadah ini sebagai sebuah tim yang solid, hingga dukungan dari pihakpihak di luar sana yang memiliki visi yang sama serta mengamini gagasan besar yang kami
coba bangun dan dibumikan. Doakan kami agar mampu menjaga konsistensi perjuangan,
mampu terus menerus memperbaiki diri dan usaha-usaha membumikan gagasan besar ini,
untuk dunia sinema dan seni Indonesia yang lebih baik. Salam!

Cover Story
International Documentary &
Experimental Film Festival
ARKIPEL | Pertama diluncurkan

	www.kinescopeindonesia.com
	
	info@kinescopeindonesia.com
	iklan@kinescopeindonesia.com
	redaksi@kinescopeindonesia.com
	langganan@kinescopeindonesia.com
	@KinescopeMagz

6 l Kinescope l September 2013

di Jakarta. Secara resmi, ARKIPEL
Documentary & Experimental Film Festival
dibuka pada 24 Agustus 2013 di GoetheHaus,
menteng Jakarta, dengan pemutaran empat
film yang diikutkan dalam kompetisi, yaitu
Climax (Shinkan Tamaki – Jepang), Les
fantones de l’escarlate (Julie Nguyen Van
Qui – Perancis), Momentum (Boris Seewald
– Jerman) dan Hermeneutics (Alexei
Dmitriev – Russia).
September 2013 l Kinescope l 7
ON PRODUCTIONS

Produser
Iwan Tjokro Saputro
Roy A
Steven
Sutradara
Dwi Ilalang
Penulis
Robert Ronny
Maruska Bath
Dwi Ilalang
Pemeran
RoziHerdian
Gita Sinaga
Arick Pramana
Daniel ED Rombot
Irwan Gardiawan
Baron Hermanto

Gevangenis

K

isah cinta Herlam (Rozi Herdian) dan
Anita (Gita Sinaga) yang terpisah
selama 10 tahun karena herlam harus
masuk penjara demi membela cintanya.
Tak banyak yang tahu kalau dalam
waktu dekat, sebuah film Indonesia
berjudul “Gevangenis” akan segera
tayang di layar lebar. Film yang disutradarai oleh Dwi Ilalang dan dibintangi
oleh Rozi Herdian, Gita Sinaga, Arick
Pramana, Daniel ED Rombot, Irwan
Gardiawan, serta Baron Hermanto ini
bahkan sudah merilis trailer mereka.
Ada dua trailer yang bisa Criters
tonton di bawah ini; Pre-Trailer yang
sudah ditonton oleh 55 ribu orang, dan
trailer yang baru rilis 17 Oktober lalu.
Hingga berita ini diturunkan, trailer
penuh film tersebut telah disaksikan
oleh 11,749 orang penonton.

“Gevangenis” yang berarti ‘Penjara’
dalam bahasa Belanda bercerita tentang kisah cinta Herlam (Rozi Herdian)
dan Anita (Gita Sinaga) yang terpisah
selama 10 tahun karena herlam harus
masuk penjara demi membela cintanya.
Film produksi Humalang ini menawarkan nuansa yang berbeda dari
film-film Indonesia pada umumnya.
Film yang naskahnya ditulis oleh Robert
Ronny, Maruska Bath, dan Dwi Ilalang
ini tak hanya akan menampilkan kisah
drama dan action, tapi juga cerita
kelam dibalik jeruji penjara dan serbaserbi kehidupan seorang narapidana.
Belum ada tanggal pasti mengenai
kapan film ini akan rilis. Kalau criters
penasaran, bisa langsung follow akun
twitter mereka di @GevangenisMovie
untuk informasi lebih lanjut.

Merry Go Round

D

ewo menjadi pecandu sejak kuliah. Akibat
terjerat dalam dunia hitam itu, Dewo dikeluarkan
dari kampusnya di luar negeri. Tasya, adik Dewo juga
jadi korban. Orangtua mereka hanya bisa menutupnutupi sejarah hitam anak-anaknya agar tidak dianggap gagal dalam mendidik anak.
Tasya mulai frustasi dengan sikap orangtuanya.
Apalagi ia pernah ditukar dengan sepaket narkoba
oleh Dewo. Beruntung siswi SMA ini masih bisa
diselamatkan Andika, teman SMA Tasya.
Cinta antara Tasya dan Andika tidak dapat
terlaksana karena kehancuran keluarga Tasya. Tasya
pun bolak-balik masuk rehab. Akhirnya ia menikah
dengan Rama yang ternyata juga pecandu. Dewo juga
belum pulih. Semua kejadian ini membuat mereka
bisa membaca tipuan dan gejala sakit psikis dan
psikologis para pecandu.
Produser Nanang Istiabudi
Pemeran Tya Arifin, Guiliano Mathino Lio, Dwi AP, Reza ‘The Groove’,
Poppy Sovia, Bucek Depp, Ray Sahetapy, Dewi Irawan

Ditunggu!
A
Something in the Way

Produser
Teddy Soeriaatmadja,
Indra TamoronMusu
Sutradara
Teddy Soeriaatmadja,
Penulis
Teddy Soeriaatmadja,
Pemeran
RezaRahadian
Ratu FelishaRenatya
VerdiSolaiman
Yayu AW Unru
Daniel Rudi Haryanto

8 l Kinescope l September 2013

hmad (Reza Rahadian) adalah seorang supir taksi di
Jakarta. Dia kecanduan bacaan maupun video seks,
namun tak bisa melampiaskan keinginannya karena tak
mampu. Yang bisa dilakukan adalah menikmati sendirian
di depan televisi, atau lewat masturbasi diam-diam
dalam taksinya. Setiap malam, ia sering mendengar
komentar rekan-rekannya sesama supir taksi tentang
pelacur atau istri mereka. Siangnya, ia rajin mengunjungi
masjid, di mana ia belajar tentang pentingnya kesucian,
moral, dan Al-Quran.
Sepercik harapan tumbuh ketika Ahmad jatuh cinta
dengan tetangganya, Kinar (Ratu Felisha), seorang
pekerja seks komersial dan menjadi pengantarnya ke
tempat kerja. Hubungan mereka sayangnya terhambat
oleh mucikari Kinar. Konflik antara seks sebagai produk
dan tekanan moral agama membingungkan Ahmad,
yang hanya ingin membebaskan Kinar dan dirinya dari
hidup penuh moda.

Film ini diputar perdana di Berlinale (Berlin International Film Festival)
2013 dalam program Panorama.
Film Schedule September 2013
Film Indonesia September

Rumah Angker Pondok Indah
Sejak terjadi pembunuhan sekeluarga di rumah yang kemudian
terkenal sebagai Rumah Angker Pondok Indah, setiap penghuni
baru yang menempati rumah itu selalu diteror oleh arwah/hantu
yang menempati rumah itu. Beberapa tahun kemudian, sebuah
keluarga baru menempati rumah itu. Kejadian yang sama
terulang kembali.

1.	 	 umah Angker Pondok Indah
R
	 Tayang 12 September 2013
2.	 	 anita Tetap Wanita
W
	 Tayang 12 September 2013
3.	 Kemasukan Setan
	 Tayang 19 September 2013
4.	 	 alam Seribu Bulan
M
	 Tayang 19 September 2013
5.	 	Cahaya Kecil
	 Tayang 26 September 2013
6.	 	Pantai Selatan
	 Tayang 26 September 2013
7.	 	 ir Mata Terakhir Bunda
A
	 Tayang 3 Oktober 2013

Wanita Tetap Wanita
Wanita Tetap Wanita dibagi dalam 5 plot cerita yang memiliki
1 benang merah,bahwa Perempuan adalah superwomen jika
ditelisik melalui berbagai sisi, bukan hanya lewat sisi simpati.
Terdapat 5 judul cerita, yaitu “Cupcakes”, “With or Without”, “First
Crush”, “Reach The Star”, dan “In Between.”

Malam Seribu Bulan
Ujang dan Pujono terjerumus ke dunia hitam demi meningkatkan
taraf hidup mereka. Pertemuan Ujang dan Pujono berawal ketika
sama-sama dibekuk warga atas tindakan kejahatan yang mereka
lakukan. Ujang kepergok saat menghipnotis orang, sedangkan
Pujono ditangkap saat tertangkap basah sedang menjambret.

September 2013 l Kinescope l 9
COVER STORY

ARKIPEL Award:
Old Cinema, Bologna Melodrama (2011)
Davide Rizzo (Italia)

ARKIPEL, International Documentary &
Experimental Film Festival secara resmi
dibuka pada 24 Agustus 2013 di GoetheHaus,
Menteng, Jakarta. Festival dibuka dengan
pemutaran empat film yang diikutkan dalam
kompetisi, yaitu Climax (Shinkan Tamaki
– Jepang), Les fantones de l’escarlate
(Julie Nguyen Van Qui – Perancis),
Momentum (Boris Seewald – Jerman) dan
Hermeneutics (Alexei Dmitriev – Russia).
Festival yang digelar untuk pertama
kalinya ini, diselenggarakan oleh Forum
Lenteng. Acara pembukaan diawali dengan
pemutaran film kuratorial, yaitu Authorship
in Documentary Film dan pemutaran
khusus film Forgotten Tenor di Kineforum,
Taman Ismail Marzuki pada pukul 13.00 dan
15.00.
10 l Kinescope l September 2013

ARKIPEL Award diberikan kepada filem
yang bereksperimentasi dengan kompleksitas
tematik dan bereksplorasi dengan estetika
yang menghasilkan pertanyaan mendalam,
serta berpotensi terhadap dampak sosial.
Filem Old Cinema, Bologna Melodrama
menelusuri jejak-jejak historis sinema sembari
mengungkap kehidupan sosial budaya yang
diwarnai oleh benturan politik, jender, kelas,
dan ras. Filem ini merefleksikan kenangan juga
sebagai kenyataan hari ini berkaitan dengan
sinema Italia. Filem ini juga merekam dan
merekonstruksi ingatan warga tentang kota dan
sejarah bioskop untuk melihat kembali sejarah
politik sebuah negara. Filem ini berbicara
tentang sinema populer dalam konteks
global. Kota Bologna, merepresentasikan
dominasi global filem-filem Amerika, dengan
membebaskan suara-suara lokal merespon
dan bernegosiasi dengan hegemoni budaya.
Filem ini tidak perlu mengambil footage Italia
tahun 40-an untuk menggambarkan suasana
perang, melainkan hanya dengan menampilkan
gedung bioskop yang terbengkalai. Cara ini
menghasilkan gambar yang nostalgi tentang
budaya sinema di Italia pada masa lalu dan,
sekaligus juga menawarkan pandangan kritis
terhadap masyarakat baik di masa lalu dan
sekarang, dengan menggunakan idiom-idiom
budaya populer.
http://arkipel.org/old-cinema-bolognamelodrama/
erhelatan festival ini secara keseluruhan berlangsung selama enam hari,
dari tanggal 24 Agustus sampai dengan
30 Agustus 2013, di lima tempat di
Jakarta, yaitu GoetheHaus, Kineforum, Teater
Studio (Teter Jakarta – TIM), Sinematek Indonesia dan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail.
Total, ada 75 buah film dokumenter dan
eksperimental dari 29 negara yang diputar.
Semua pemutaran film tersebut gratis dan
terbuka untuk umum.
Pihak penyelenggara festival ini, Forum
Lenteng, mengaku bahwa mereka menggagas
ARKIPEL ini sebagai refleksi atas fenomena
global dalam konteks sosial, politik, ekonomi
dan budaya melalui sinema. “Gagasan festival
ini adalah menyuarakan bagaimana pesoalanpersoalan kebudayaan dapat dibaca dalam
kurun waktu tertentu. Idealnya, festival film
dapat menjadi event yang akan menghadirkan
capaian puncak sutradara-sutradara
dari berbagai kalangan, baik secara estetika dan kontennya,”
jelas Hafiz Rancajale
selaku Direktur Artistik
festival ini.
Festival Arkipel
ini memang dirancang
agar sejalan dengan
visi-misi Forum Lenteng
sejak perintisannya
tahun 2003, yaitu menjadikan pengetahuan
media dan kebudayaan bagi masyarakat

untuk hidup yang lebih baik, terbangunnya
kesadaran bermedia, munculnya inisiatif,
produksi pengetahuan dan terdistribusikannya
pengetahuan tersebut secara luas.
Nama ARKIPEL sendiri diambil dari kata
archipelago yang merujuk pada istilah bahasa
Indonesia, ‘nusantara’ yang muncul sejak
awal abad ke-16. Nusantara yang merupakan
gugusan ribuan pulau ini menyimpan sejarah
panjang tentang globalisasi baik secara politik,
budaya dan ekonomi. Lebih dari 500 tahun
lalu, wilayah ini menjadi tujuan utama bagi
para penjelajah Barat untuk menemukan
wilayah-wilayah baru untuk dikuasai atau
sebagai rekanan dunia dagang. Selain bangsa
Eropa, bangsa Timur (Cina, Arab dan India)
telah menjadikan kawasan Nusantara ini
sebagai tujuan penjelajahan dalam misi-misi
dagang mereka seperti rempah-rempah dan
sutra.

FORUM LENTENG Award:
Les Fantômes de L’escarlate (The Ghosts and
The Escarlate) (2012)
Julie Nguyen van Qui (Prancis)
Forum Lenteng Award adalah
penghargaan untuk filem terbaik di dalam
festival filem ARKIPEL tahun ini berdasarkan
polllng pilihan kawan-kawan Forum Lenteng,
juri, dan kurator selama festival berjalan. Tidak
ada batasan tahun produksi filem.
Forum Lenteng Award is given to the
best filem screened during the ARKIPEL film
festival, based on the polling of Forum Lenteng
members, the juries, and curators. No year of
production restriction.
http://arkipel.org/the-ghosts-and-the-escarlate/

foto : Agung Natanael (Abe) - ARKIPEL ©2013 - Andrie Sasono (Andre) - ARKIPEL ©2013

P

“Gagasan festival ini adalah
menyuarakan bagaimana
pesoalan-persoalan
kebudayaan dapat dibaca
dalam kurun waktu
tertentu.”
- Hafiz Rancajale -

September 2013 l Kinescope l 11
Dalam festival ARKIPEL ini, diharapkan
terjadi proses “penjelajahan”. Penjelajahan
yang diharapkan terjadi selama ARKIPEL
adalah penjelajahan gagasan sinematik.
“Film dokumenter yang dimaksud Forum
Lenteng adalah film dokumenter yang
merujuk pada bahasa film yang berlaku
pada tradisi sinema, bukan film dokumenter televisi. Dalam tradisi sinema, film
dokumenter juga dapat menghadirkan
drama, konflik, imajinasi dan ruang kritik
bagi penonton. Hal ini tentu berkaitan
dengan bagaimana eksperimentasi bahasa
sinema yang dilakukan oleh sutradara
dalam mengemas kenyataan,” tutur Hafiz.
Hafiz menambahkan bahwa film
eksperimental yang dimaksud Forum
Lenteng adalah bagaimana eksperimentasi
medium dan konten dalam film menghadirkan kebaruan secara estetika. Hal ini
merujuk pada sejarah sinema avant-garde
dalam sejarah sinema dunia.
“Eksperimentasi di sini, bukan hanya
dalam konteks filmnya saja, namun juga

12 l Kinescope l September 2013

bagaimana film digunakan dalam tindakan
yang mengaktivasi persoalan-persoalan
sosial di ranah publik,” jelasnya.
Yuki Aditya, Direktur Festival, mengharapkan ARKIPEL bisa menjadi titik temu
antara khalayak dan film-film yang tak
biasa ditemukan khalayak.
“Niat kami membuat festival selain
untuk mencari ‘suara-suara’ baru berbakat
dalam membuat film dan bereksperimentasi dengan mediumnya, juga sebagai
ruang diskusi yang lebih luas,” jelasnya
pada Kinescope saat ditemui di Sekretariat
Forum Lenteng, Lenteng Agung, Jakarta.
Dia menjelaskan bahwa luas dalam hal
ini adalah menyebarluaskan pengetahuan
tentang film dokumenter dan eksperimental ke khalayak, dan juga eksposur
terhadap film-film yang selama ini belum
banyak diketahui banyak orang. “Dengan
kata lain, menyediakan alternatif tontonan
dan menyediakan ruang diskusi alternatif
untuk orang-orang yang suka menonton
film,”jelasnya.

Jury Award:
Suitcase of Love and Shame (2013)
Jane Gilooly (Amerika Serikat)
Jury Award adalah penghargaan kepada
filem yang mendapatkan perhatian dan
penilaian khusus dari juri.
Filem Suitcase of Love and Shame
melebarkan konsep voyeurism dengan
menempatkan kita (penonton) sebagai
penguping, serta menghadapkan penonton
kepada situasi yang tidak nyaman atas akses
kehidupan privat para tokohnya. Bertaut
pada wilayah privat, filem ini bicara tentang
politik jender 60-an (di Amerika Serikat), dan
mengungkap tegangan antara seksualitas
dan moralitas. Suitcase of Love and Shame
memunculkan teks baru dari jukstaposisi imaji
dan audio dalam struktur dramatik yang rapi.
Filem ini mengolah memori, visual dan suara,
secara lintas media. Dalam sejarah sinema,
aspek suara seringkali dianggap merusak
struktur visual. Namun filem ini berada dalam
wilayah sinema yang berkontribusi terhadap
perspektif baru tentang estitika suara dalam
filem. Visual menjadi metafor dari tabu,
represi seksualitas, dan sensor diri dalam
hubungannya dengan nilai-nilai dominan
masyarakat. Teks yang menempel pada obyekobyek menjadi unsur naratif di filem ini.
Filem ini kaya akan unsur estetik,
kesempurnaan teknisnya tak terelakkan.
Atas niat dan gagasan ini, kerangka festival
perlahan diarsir dan diwujudkan. Pendaftaran
karya dari beragam penjuru dunia, yang kemudian diseleksi kawan-kawan Forum Lenteng
untuk masuk seksi International Competition. Beriringan dengan proses seleksi film,
sejumlah program kuratorial mulai disiapkan
oleh para kurator. Total ada 22 film, baik film
nasional maupun internasional, klasik maupun
kontemporer, yang akan diputar dan didedah
dalam sepuluh program kuratorial. Masingmasing membahas film-film dalam suatu
kerangka pembacaan sosial, politik, budaya,
sejarah maupun estetika sinema. Harapannya,
pembacaan ini bisa menjadi pemantik diskusi
tersendiri baik di kalangan penonton maupun
pembuat film.
Forum Lenteng turut menyiapkan forumforum diskusi untuk membahas isu-isu terkini
dalam perfilman nasional. Setelah berdiskusi
panjang, disepakati tiga topik yang dirasa
penting dan mendesak untuk diangkat: aktivisme, pengarsipan dan kritisisme film. Diskusi
tentang aktivisme menghadirkan dua pegiat
film senior, Bowo Leksono (Festival Film Purbalingga) dan Abduh Aziz (Koalisi Seni Indonesia),
dengan Forum Lenteng sebagai moderator.
Perihal pengarsipan film, Forum Lenteng
mengajak Intan Paramaditha, penulis dan
peneliti, dan Andhy Pulung, penyunting film,
untuk berbagi pendapat dengan kawan-kawan
dari Sahabat Sinematek sebagai moderator. Kritisisme film akan dikupas oleh Hikmat
Darmawan, pemerhati film dan komik serta Riri
Riza, sutradara film.
Kerjasama dengan pihak-pihak bervisi-misi

serupa pun dijalin, seperti Bangkok
Experimental Film Festival, yang
akan mempresentasikan kompilasi
film pendek Acts of Memory dan
film dokumenter An Escalator in
World Order karya Kim KyungMan (2011). Kemudian Images
Festival dari Toronto, Kanada, yang
membawa kompilasi video Ways of
Seeing dan film dokumenter River
and My Father karya Luo Li (2010). Ada pula
DocNet Southeast Asia dab In-Docs yang akan
mengadakan diskusi meja bundar, mengundang pihak-pihak kunci dalam perkembangan
film dokumenter di Indonesia, untuk membahas pendanaan dan distribusi dokumenter
kreatif di GoetheHaus, Jakarta.
Dalam kegiatan ARKIPEL ini, mereka juga
mengadakan tiga pemutaran film khusus,
salah satunya adalah pemutaran perdana
dokumenter terbaru Forum Lenteng, Elesan
deq a Tutuq (Jejak yang Tidak Berhenti), yang
disutradarai Syaiful Anwar, Gelar Agryano
Soemantri dan Muhammad Sibawaihi. Ini
adalah film mini yang bercerita tentang
pergaulan sosial masyarakat Sasak di Desa
Pemenang, Lombok, saat menghadapi budaya
baru yang dibawa wisatawan-wisatawan asing
beberapa tahun belakangan. Ada pula Parts
of a Family karya Diego Gutiérrez (2012) yang
telah memenangkan penghargaan di Festival Film Dokumenter Thessaloniki – Yunani
tahun ini dan Forgotten Tenor karya Abraham
Ravett, dua film yang didukung langsung oleh
pembuatnya untuk diputar secara khusus di
ARKIPEL.

Peransi Award:
(Polazište za cekanje) The Waiting Point (2013)
Maša Drndic (Kroasia)
Peransi Award adalah penghargaan untuk
sebuah karya yang muncul secara menonjol
oleh sutradara yang namanya belum begitu
dikenal namun berkontribusi dalam festival
ini dengan ide yang segar dan memprovokasi
persoalan kepublikan dalam film dokumenter
dan eksperimental.
The Waiting Point adalah sebuah film
yang berbicara tentang identitas, terkait
dengan perubahan-perubahan yang terjadi di
tengah persiapan masukanya Kroasia ke dalam
Uni Eropa. Gaya bertutur film disampaikan
dengan puitis dan tidak bertele-tele. Film ini
bereksperimentasi dengan teknik voyeurism
atau mengamati (memata-matai), yang
merupakan pengembangan dari cinema
verite. Pilihan sutradara menggunakan teknik
pewarnaan hitam-putih, secara mengejutkan
mampu mendekatkan penonton pada
kenyataan sehari-hari yang berwarna.
Melalui karya-karyanya, D.A. Peransi
seperti menganjurkan bahwa sebuah karya
untuk selalu memiliki hubungan-hubungan
sosial, politik, budaya, dengan publik. Dalam
The Waiting Point, kamera hadir untuk
mendiskusikan kembali keputusan-keputusan
negara dan korporasi terhadap rakyat.
http://arkipel.org/the-waiting-point/

Pada tanggal 15 Juli 2013, proses seleksi
film mencapai kata sepakat. Forum Lenteng
mengumumkan 37 film dari 19 negara sebagai
peserta International Competition. Tiga
diantaranya film Indonesia: Perampok Ulung
(Marjito Iskandar Tri Gunawan), Canggung
(Tunggul Banjarsari) dan The Flaneurs #3 (Aryo
Danusiri).

September 2013 l Kinescope l 13
PREVIEW

CAHAYA KECIL

Kemasukan
Setan

E

ddy mempunyai hobi cukup aneh: mencari
setan dan ingin bertemu dengan setan. Eddy
selalu berfikir secara logis dan tidak percaya
sekadar omongan. Semua harus dengan bukti
nyata. Hampir dua tahun usahanya mencari
bukti tentang keberadaan setan selalu menuai
hasil nihil. Suatu hari Eddy merasa jenuh.
Akhirnya dia memilih jalan ekstrem untuk bisa
berkomunikasi dengan mahluk “gaib”.
Produser M Zainudin Sutradara
Muhammad Yusuf Penulis Muhammad Yusuf
Pemeran Aldi Taher Vivi Sofia Yofani
Farah DibaYofani

G

ilang Krishna (Petra Sihombing) tidak melanjutkan kuliah musiknya di Amerika karena ayahnya, Arya Krisna, (Andy /rif) masuk
penjara akibat narkoba. Gilang marah pada
ayahnya yang begitu ia cintai dan kagumi.
Abraham (Verdi Solaiman), mantan manajer
Arya, mengajak Gilang terjun ke dunia musik.
Ia memanfaatkan momen kesedihan itu,
mendramatisirnya dan menjualnya. Gilang
tampil tanpa nama belakang Krisna. Sukses, Ia
juga pacaran dengan Saskia (Taskya Namya),

model.
Arya keluar dari penjara. Gilang tak mau
menerima ayahnya. Hubungan ayah-anak
ini jadi sorotan media. Sikap gilang nyaris
menjatuhkan namanya. Gilang berbalik sikap.
Di depan umum ia jadi anak yang baik, tapi
di belakang ia tetap belum bisa memaafkan
ayahnya. Gilang bersikap demikian demi
popularitas, Arya demi dekat anaknya.
Sebuah lagu, Cahaya Kecil, mempertemukan cinta ayah-anak itu.

MALAM SERIBU BULAN
D

ua orang pemuda bernama Ujang dan
Pujono terjerumus ke dunia hitam demi
meningkatkan taraf hidup mereka. Pertemuan
Ujang dan Pujono berawal ketika sama-sama
dibekuk warga atas tindakan kejahatan yang
mereka lakukan. Ujang kepergok saat menghipnotis orang, sedangkan Pujono ditangkap saat
tertangkap basah sedang menjambret.
Mereka lalu sadar dan berjanji untuk
memulai hidup baru di luar Jakarta. Untuk
mengumpulkan modal usaha, Ujang dan
Pujono tetap melakukan yang tidak halal
meski berjanji akan mengembalikan hasilnya
jika sudah sukses nanti. Di luar dugaan, warga
desa yang mereka singgahi dipenuhi dengan
orang-orang baik. Mereka berfikir ulang untuk
melakukan kejahatan disana.

14 l Kinescope l September 2013

Produser
AB Iwan Azis
Sutradara
Wibi Aregawa
Pemeran
Tora Sudiro
Kawakibi Mutaqien
Oka Soemantaredja
Dhea Imut
AIR MATA TERAKHIR BUNDA

S

ebuah kisah keluarga korban lumpur Lapindo, Sidoarjo. Seluruh hidup Delta Santoso (Ilman Lazulva, Vino G Bastian) diabadikan untuk
berterimakasih pada ibundanya, Sriyani (Happy
Salma), apapun situasi dan konflik hidup yang
ia hadapi. Bencana yang menghampiri Sriyani
bukan hanya lumpur Lapindo, tapi juga suami
yang melarikan diri ke wanita lain tanpa mem-

beri kejelasan status. Akibatnya, kemiskinan
membuat Sriyani harus memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan membiayai sekolah kedua
anaknya, Delta dan Iqbal (Reza Farhan Bariqi,
Rizky Hanggono). Ia menjadi buruh cuci setrika
sambil berjualan lontong kupang, yang ia jajakan sendiri dengan sepeda tuanya

RUMAH
ANGKER
PONDOK
INDAH

Produser
Erna Pelita
Sutradara
 Endri Pelita
Penulis
Endri Pelita
Danial Rifk
Kirana Kejora
Pemeran
Happy Salma
Vino G Bastian
Rizky Hanggono
Ilman Lazulva
Reza Farhan Bariqi

S

MANUSIA SETENGAH SALMON

K

etika ibunya (Dewi Irawan) memutuskan
pindah dari rumah masa kecil, Dika (Raditya
Dika), penulis, justru berusaha pindah dari halhal yang selama ini susah dilepaskan: cintanya
dengan Jessica (Eriska Rein) hingga hubungannya dengan bapaknya (Bucek).
Dika membantu mencari rumah baru.
Rumah yang mereka kunjungi ternyata tidak
ada yang cocok. Akhirnya Dika menemukan sebuah rumah, yang menurut ibunya sempurna.
Bersamaan dengan itu, Dika bertemu dengan

Patricia (Kimberly Ryder) nan cantik. Pendekatan dimulai.
Ketika sudah pindah ternyata Dika tidak
menyukai rumah barunya. Kenangan akan
rumah lama masih membekas. Sementara itu,
hubungan Dika dengan Patricia juga terganggu,
karena Jessica masih membayang-bayangi.
Dika pada akhirnya menyadari bahwa perjalanannya untuk pindah rumah, juga merupakan
perjalanan berpindah dari hal-hal yang selama
ini menahannya menuju kedewasaan.

ejak terjadi pembunuhan sekeluarga di
rumah yang kemudian terkenal sebagai
Rumah Angker Pondok Indah, setiap
penghuni baru yang menempati rumah
itu selalu diteror oleh arwah/hantu yang
menempati rumah itu. Beberapa tahun kemudian, sebuah keluarga baru menempati
rumah itu. Kejadian yang sama terulang
kembali.

Produser
Chand Parwez Servia
Fiaz Servia
Sutradara
Herdanius Larobu
Penulis
Raditya Dika
Pemeran
Raditya Dika
Kimberly Ryder
Eriska Rein
Bucek
Dewi Irawan
Mosidik
Insan Nur Akbar

Produser Ravi Pridhnani
Sutradara Dede Ferdinand
Penulis Andhy Ramdhan, Nicho AP
Pemeran Bella Shofie, Nabila Putri, Ferly Putra

September 2013 l Kinescope l 15
REVIEW

Rom-Com ‘Bunuh Diri’

Cinta Mati

C

inta/Mati memiliki premis yang sama
dengan film Before Sunrise (1993)
karya Richard Linklater. Kisah tentang
dua sejoli yang tidak saling kenal, bertemu pada satu malam, larut dengan pikiran
dan tujuan masing-masing, hingga kemudian
saling memerlukan satu sama lain, yang selanjutnya beranjak pada rasa saling butuh, hingga
kemudian muncul benih-benih cinta. Premis
yang sangat menarik. Apalagi dalam Cinta/
Mati kedua karakternya sama-sama memiliki
keinginan untuk bunuh diri.
Cinta/Mati bercerita tentang Acid dan
Jaya yang bertemu pada satu malam. Jaya
menolong Acid yang gagal bunuh diri. Karena
menggagalnya usahanya, Acid menuntut Jaya
untuk membantunya bunuh diri. Jaya awalnya
menolak, tetapi desakan demi desakan dari
Acid akhir meluluhkan Jaya. Maka dimulailah
berbagai macam ide Jaya untuk membantu
Acid memenuhi keinginan terakhirnya tersebut. Sampai kemudian terungkap bahwa Jaya
pun memilki maksud yang sama dengan Acid,
bunuh diri.
Film dengan konsep pertemuan satu
malam sudah banyak dibuat. Selain Before
Sunrise seperti yang telah disinggung di atas,
ada beberapa judul lagi yang mau tidak mau
menjadi perbandingan terhadap Cinta/Mati

16 l Kinescope l September 2013

Doni Agustan

yang ternyata sudah diproduksi sejak dua
tahun yang lalu ini. Sebut saja misalnya Once
(2007) debutan dari sutradara John Carney,
atau yang dari era film klasik ada Roman Holiday (1953) yang mempertemukan Audrey
Hepburn dan Gregory Peck. Ketiga film ini
mengangkat tema yang sama saat takdir
mempertemukan 2 orang yang tidak saling
kenal dan membuat mereka intim, kemudian
memberikan mereka cinta. Sebuah pakem
yang sudah sangat biasa. Konsep yang banyak digunakan oleh semua filmmakers untuk
membuat komedi romantis atau yang lebih
dikenal dengan akronim rom-com
Formula film rom-com tersebut juga

digunakan oleh Cinta/Mati. Konsep yang
diberi bumbu-bumbu dengan keinginan
kedua karakter utama film ini untuk bunuh
diri mestinya justru menjadi daya tarik film
ini. Tetapi kemudian terasa ada yang kurang.
Naskahnya yang apik justru menjadi tidak
bergerak sebagai mana mestinya karena
kendala teknis, akting pemain dan beberapa
hal minor yang cukup menganggu.
Naskah menjadi komoditi kuat film ini
terutama pada 30 menit awal film. Romansa
pertemuan awal mereka hingga kemudian
berlanjut pada adu mulut karena usaha Jaya
untuk membantu Acid yang kerap kali gagal
cukup menarik untuk dinikmati. Apalagi
Alexandria (2005), Selamanya (2007), Kawin Kontrak
(2008) dan Punk In Love (2009) adalah deretan film-film
paling berkesan karya sutradara Ody C. Harahap. Walaupun film debutnya dengan produser Erwin Arnada adalah
film horor, Bangsal 13 (2003), tetapi deretan film di atas
menjadikan Ochay, panggilan akrab sutradara ini, dikenal
dengan sutradara khusus film-film drama-komedi-romantis. Cinta/Mati kemudian makin melengkapi predikatnya tersebut.
dialog–dialog yang keluar dari adu mulut
mereka sangat mengelitik dan berhasil membuat penonton tertawa. Perhatikan kata-kata
umpatan dan ledekan yang kerap kali diucapkan oleh Jaya pada Astrid karena sering kali
gagal untuk bunuh diri karena ketakutan Acid
pada hal-hal yang menurut Jaya tidak masuk
akal atau berlebihan. Misalnya Acid yang takut
ketinggian atau mudah pingsan jika melihat
darah. Kelucuan demi kelucuan atas kegagalan
Acid untuk bunuh diri ini pada awalnya cukup
beragam dan kreatif. Sayangnya menjelang ke
tengah durasi, film mulai terasa agak membosankan. Pengulangan demi pengulangan atas
kegagalan usaha mereka untuk menuntaskan
keinginan tersebut menjadi terbaca. Pada
saat Acid akhirnya tahu bahwa Jaya juga ingin
bunuh diri, yang mestinya menjadi salah satu
bagian kejutan dari film ini, justru terasa sangat
datar. Kedodoran dari naskah semakin terasa
menjelang akhir film. Interaksi antara Acid dan
Jaya yang sudah terbangun bagus di awal film,
justru malah menjadi kaku. Perhatikan adegan
saat Jaya memberikan buku dan CD-nya untuk
Acid. Adegan yang harusnya menjadi romantis
ini justru berjalan dengan ritme yang lambat,
kaku dan sangat membosankan. Mestinya
editor film memotong durasi untuk adegan
ini supaya kekakuan ini tidak berlangsung
lama dan akhirnya tidak menganggu keutuhan

keseluruhan film.
Setelah Jaya dengan sangat mudah membuat Acid mengurungkan niat untuk bunuh
diri, keadaan berbalik saat Acid yang kemudian
mati-matian membantu Jaya untuk mengurungkan niatnya. Keadaan yang diputar balik ini
sebenarnya cukup unik. Tetapi kemudian tidak
terlalu dijelaskan apa sebenarnya latar belakang Acid sehingga dia bisa dengan percaya diri
sanggup membuat permasalahan ‘kejantanan’
Jaya terselesaikan. Adegan Jaya yang harus
mengikuti keinginan Acid untuk mengetes hasil
eksperimennya tersebut dengan seorang PSK
rasanya tidak terlalu perlu, karena kita tahu
permasalahan Jaya tidak bisa terselesaikan
dengan cara instan. Apalagi Jaya sendiri juga
telah melakukan apa yang dilakukan Acid untuknya. Pengulangan demi pengulangan seperti
bagian awal film kembali terjadi. Ini memberikan kesan bahwa pengulangan sengaja dilakukan untuk memperpanjang durasi filmnya.
Adegan flashback juga sangat tidak perlu.
Ini seperti menempatkan penonton sebagai pelupa atau bahkan mungkin bodoh. Kita semua
juga tahu bahwa sejak awal film telah ada rasa
cinta di antara mereka, tidak perlu lagi untuk
diingatkan akan hal itu. Yang tadinya bermaksudnya untuk membuat penonton ingat malah
jadinya sangat membosankan. Pada bagian ini
Cinta/Mati terjebak dalam drama-drama ala

sinetron-sinetron yang segalanya harus selalu
dijelaskan secara verbal dan kemudian menjadi
cengeng. Inilah kemudian yang menjadikan
Cinta/Mati terjebak dalam pengulangan semua
cerita drama romantis baik di film dan televisi
kita selama ini. Padahal tanpa adegan yang
menye-menye tersebut film ini bisa menjadi
tontonan yang berbeda, baru dan mungkin
mestinya bisa menjadi salah satu yang terbaik.
Untungnya kemudian sebuah akhir yang tidak
diprediksi telah disiapkan untuk menutup film
ini dengan cukup baik.
Vino G. Bastian sebagai Jaya tampil maksimal. Sama seperti peran-peran sebelumnya,
karakter Jaya ini sepertinya memang ditulis
buatnya. Jaya ini mengingatkan kita pada Vino
sebagai Ipang dalam Realita Cinta dan Rock n
Roll (2007) juga Radit dalam (Radit dan Jani
(2008) dan juga perannya sebagai Mika (2013).
Pengulangan karakter yang kerap kali hampir
sama ini justru membuat akting Vino terlihat
cukup matang dalam film ini. Meskipun akhirnya kita bisa menarik kesimpulan bahwa Vino
tidak berani keluar dari zona nyamannya dalam
berakting.
Astrid Tiar sebagai Acid terlihat sangat
berusaha mengimbangi Vino. Pada bagian
awal-awal film terlihat sekali Vino sangat membantu Astrid untuk bisa natural mengimbanginya. Tanpa sadar justru Jaya yang dibawakan
Vino menjadi daya tarik film ini. Satu lagi
yang cukup menganggu dari penampilan Tiar
sebagai Acid adalah artikulasi dialog yang tidak
jelas, terutama pada bagian dia harus menampilkan akting marah-marah dan emosional,
pada beberapa bagian terasa seperti orang
yang kumur-kumur, buru-buru dan tidak terlalu
jelas apa yang diucapkannya. Perhatikan adegan ketika Acid marah-marah di stasiun kereta.
Penonton akan mengeryitkan kepala kemudian
akan bertanya pada penonton sebelah, “dia
bilang apa?’
Dengan setting film yang hampir semuanya
malam ini, kualitas gambar pada beberapa bagian terlihat tidak maksimal. Beberapa kali kita
akan menemukan gambar yang tidak jelas atau
blur. Untungnya suasana malam Jakarta dengan lokasi-lokasi yang bagus menjadi daya tarik
film ini. Semua yang berhasil direkam dengan
rasa romantis. Seperti Lovely Man karya Teddy
Soeriaatmadja yang juga merekam Jakarta
dalam satu malam, secara teknis, gambar dan
rasa film yang dihasilkan Lovely Man setingkat
di atas Cinta/Mati.
Terlepas dari segala kekurangan tersebut
Cinta/Mati mempersembahkan sebuah karya
dari sederatan pekerja film dengan semangat
independen dan kerjasama yang luar biasa.
Dua tahun dari sejak film ini mulai diproduksi,
semua yang terlihat berdedikasi dan berusaha
supaya film ini bisa dirilis ke bioskop. Semangat
membuat film dengan segala aspek yang minor
ini membuat film ini terasa diperjuangankan
dengan semangat kesederhanaan dan kebersamaan. Sesuatu yang harusnya selalu dimiliki
oleh semua pembuat dan pekerja film kita.

September 2013 l Kinescope l 17
REVIEW

Kengerian
Exorcism
yang Repetitif
Doni Agustan

The CONJURING | Diangkat dari kisah nyata ten-

tang pasangan paranormal investigator, Ed (Patrick
Wilson) dan Lorraine Harren (Vera Farmiga),
dengan berbagai macam kasus menyeramkan
yang telah mereka hadapi. Ed dan Lorraine
kemudian bertemu keluarga Perron, Roger
(Ron Livingston) dan Carolyn (Lily Taylor).
Carolyn mendatangi kuliah terbuka Ed dan
Lorraine, dia bercerita mengenai rumah
baru mereka di pedalaman Rhode Island
yang menjadi tempat munculnya sosoksosok menyeramkan dan mulai menganggu
kenyamanan semua anggota keluarga. Ed
dan Lorraine kemudian mengklaim bahwa
kasus keluarga Perron ini adalah kasus
paling mengerikan yang pernah mereka
hadapi.

T

he Conjuring karya James Wan berhasil ini
mengumpulkan 100 juta dolar AS, hanya dalam
waktu satu minggu untuk rilis Amerika Utara
saja. Film horor exorcism berbiaya hanya 20 juta
dollar AS menjadi film horor pertama yang meraih
pendapatan lebih dari 100 juta dollar AS, sejak
tahun 2011 (Paranormal Activity 3). The Conjuring
meraih rating 86 persen di Rotten Tomatoes, New
York Times melabeli The Conjuring sebagai film
horor terbaik tahun 2013, menerima A - dalam
jajak pendapat yang diadakan oleh Cinescore
dan memiliki rating 7,7 di IMDb. Kesuksesan
The Conjuring ini membuat James Wan
berencana memproduksi sekuel lanjutannya.
The Conjuring menggunakan hampir
semua treatment yang telah digunakan
oleh film-film horor sebelumnya. Sama
seperti halnya Mama (2013) atau
4 film Paranormal Activity, sosok
menyeramkan dalam film-film
horor akan datang perlahan,

18 l Kinescope l September 2013
kemudian dijaga intensitasnya dengan
kemunculan-kemunculan selanjutnya,
hingga menjadi klimaks saat sosok
menyeramkan ini terlihat utuh. Selain itu
biasanya sosok menyeramkan tidak akan
muncul paling tidak 30 menit sejak dari
film dimulai, penonton akan disuguhkan
terlebih dahulu latar belakang karakter
utama. Biasanya bagian ini akan sangat
membosankan karena penonton pastinya
sudah sangat tidak sabar untuk diteror oleh
sosok-sosok menyeramkan.
Tetapi untungnya The Conjuring tidak
menjebak penonton dengan rasa kebosanan
pada bagian awalnya. Vera Farmiga dan
Lily Taylir yang telah tampil sejak awal,
dengan penampilan terbaik mereka
mampu melenyapkan kehampaan tersebut,
dan tunggu setelah 30 menit opening
film ini, Farmiga dan Taylor semakin
memperlihatkan bahawa mereka adalah
aktris-aktris terbaik Hollywood saat ini.
The Conjuring juga tidak bisa lepas dari
semua stereotype film horor Hollywood
lainnya. Apa sajakah stereotype tersebut?
Kebodohan orang dewasa yang tidak tajam
pada tanda-tanda yang jelas-jelas telah
memperlihatkan sesuatu yang tidak beres.
Boneka yang sangat menyeramkan. Sebuah
basement yang gelap dan menakutkan serta
penuh dengan barang-barang antik. Sosok
hantu yang hanya dapat lihat oleh anakanak. Flash back mengenai motivasi dari
sosok-sosok menyeramkan yang berusaha
meraih simpati penonton. Karakter-karakter
dalam film horor seperti selalu memiliki
IQ seperti di bawah standar orang biasa,
ketegangan yang lamban, logika penonton
yang terkadang tidak dipedulikan oleh
pembuat film. Deretan hal-hal yang telah
kerap kali kita tonton dalam banyak filmfilm horor sebelumnya ini, menjadikan The
Conjuring tidak lagi terasa terlalu spesial.
Film ini hanya melakukan pengulangan dari
format yang mungkin sudah terasa basi
tetapi kemudian dikemas sedemikian rupa
sehingga terasa menjanjikan.
Bagaimana cara pembuat film
mengemasnya menjadi sedemikian rupa
tadi? Seperti yang telah disebut di atas,
dengan menggunakan dua aktris watak

Vera Farmiga dan Lily Taylor yang memang
dengan kapasitas mereka sebagai peraih
nominasi Oscar dan Emmy Awards ini
memberikan hasil yang maksimal. Pemilihan
embel-embel based on true story yang
menjadi daya tarik sangat kuat untuk
membuat orang berduyun-duyun, melihat
senyata apa kejadian tersebut hingga
perlu dijadikan sebuah karya film. Dan
tentu nama James Wan menjadi jaminan
bahwa kemasan film ini pasti menjanjikan.
Wan yang lahir di Kuching, Malaysia ini
adalah sutradara yang memperkenalkan
Saw (2004), dan Insidious (2010). Dua film
horor/thriller yang sempat menjadi bahan
perbincangan karena mampu membius
penonton pada masa rilisnya. The Conjuring
juga seperti dijadikan pemanasan untuk film
Insidious: Chapter II yang juga dibuat Wan
dan akan rilis 13 September 2013 ini.
Begitu banyak horor yang sangat
mengecewakan belakangan ini karena
tidak mampu menakut-nakuti dengan
maksimal, biasanya banyak penonton
datang ke bioskop dengan ekspektasi yang
sudah sangat rendah serta siap untuk
kecewa. Dengan segala stereotype yang
telah disebutkan di atas tadi, The Conjuring
ternyata tidaklah terlalu mengecewakan,
satu hal yang membuat film ini masih

sangat bisa untuk dinikmati adalah gerak
kamera yang hampir semua handheld.
Treatment ini berhasil membawa penonton
masuk ke dalam film dan merasakan
kengerian demi kengerian yang terjadi
dalam berhantu tersebut. Perhatikan
setiap adegan kemunculan sosok-sosok
menyeramkan dalam film ini, gerak kamera
yang provokatif dan misterius siap membuat
kita meloncat kapan saja dari tempat
duduk. Seperti misalnya adegan seprai
putih yang terbang, membentuk bayangan
menyeramkan dan memasuki dan merasuki
raga Carolyn yang diperankan Lily Taylor.
Bagaimana dengan tema besar exorcism
yang di angkat? Kita sudah melihat banyak
film-film dengan tema exorcism. The
Exorcist karya William Friedkin produksi
1973 adalah yang terbaik. Sampai saat ini
film yang meraih dua piala Oscar (menerima
total 10 nominasi termasuk film dan
sutradara terbaik), masih menjadi salah satu
film horor/thriller paling menakutkan yang
pernah dibuat. Linda Blair memerankan
sosok Regan yang kesurupan, selalu menjadi
referensi akting kesurupan terbaik, tidak
salah jika Blair menerima nominasi Oscar
untuk perannya ini.
Selain The Exorcist, satu lagi film
exorcism yang juga sangat berkesan
adalah The Exorcism of Emily Rose, karya
Scott Derrickson, produksi 2005. Jennifer
Carpenter menerima beberapa penghargaan
untuk peran debutnya sebagai Emily Rose.
Tidak berbeda dengan kedua film ini,
The Conjuring juga menampilkan proses
exorcism yang menengangkan dan mampu
membuat nafas penonton berhenti, tetapi
sayangnya kengerian exorcism ini menjadi
terasa repetitif. Jika dalam The Exorcit
dan The Exorcism of Emily Rose korban
keserupan banyak berteriak-teriak, maka
dalam The Conjuring, melalui adegan kursi
yang melayang-layang, Lily Taylor tidak
hanya berteriak tetapi juga melakukan olah
suara menyeramkan sehingga kita sebagai
penonton percaya bahwa Lily benar-benar
sedang kesurupan.

September 2013 l Kinescope l 19
FESTIVAL

Ven
ice F
ilm
Fes
tiva
l
Don
i

Agusta
n-

FOTO : A
hma
d Ha
san
Yun
iard
i

“Kami ingin mengenalkan filmfilm terbaru yang berisi budaya
tradisional maupun kontemporer.
Kami berharap festival ini akan
berjalan sukses dan terus disukai
di Indonesia” Kim Young-Sun
20 l Kinescope l September 2013
atern e
m in
n
al fil posizio tiv Es
fes
Sep
“
alah ebagai u awal t
s
al ad
pa
ta
estiv un 1932 ustus a da tem tarnya.
F
pa
Ag
eki
tah
Film
nal i pada p akhir ngsung ain di s
atio
l
p
tern ppe Vol an setia an berla empat
In
tar
nice
at-t
dak
use
u Ve ount Gi ang dia . Pemu di temp
y
l ata
C
lia
n
stiva dirikan rafica” , ice, Ita coni da
e
F
n
i
enice Film Festival merupakan bagian
Mar
Film ia. D
atog o, Ve
dari Venice Biennale selama lebih
nice di dun Cinem lau Lid gomare
e
dari satu abad (Venice Biennale
he V tertua ’ Arte di pu i Lun
T
didirikan pada tahun 1895), lembaga
d
l
ya ma d
a
le
ini menjadi salah satu kegiatan kebudayaan
sion aziona tahunn Cine
yang paling bergengsi di dunia. Selain terkenal
p
rn
el
Inte er, setia lazzo d
dengan festival filmnya, lembaga ini juga
memiliki kegiatan budaya lain seperti pameran
mb rah Pa
te
seni dan arsitektur internasional, festival musik
ja
e
kontemporer, festival teater, dan juga festival
bers

V

tari kontemporer.
Penghargaan utama pada Venice adalah
Leone d’ Oro atau yang lebih populer
dengan nama Golden Lion, diberikan kepada
film terbaik yang diputar untuk kategori
kompetisi. Leone d’ Argento atau Silver Lion
diberikan untuk kepada sutradara terbaik, dan
Coppa Volpi atau Volpi Cup, yang diberikan
kepada aktor dan aktris terbaik. Golden Lion
diperkenalkan pada tahun 1949 oleh panitia
penyelenggara dan sekarang dianggap sebagai
salah satu penghargaan yang paling terkemuka
dalam industri film. Sebelum Golden Lion
diberikan, penghargaan untuk film terbaik
disebut Venice Grand International Prize yang
diberikan pada tahun 1947 dan 1948. Sebelum
itu, dari tahun 1934 sampai tahun 1942,
penghargaan tertinggi adalah Coppa Mussolini
untuk Italia Film Terbaik dan Film Asing Terbaik.
Dan tidak ada penghargaan Golden Lion antara
tahun 1969 dan 1979.
Pada tahun 1970, Golden Lion Honorary
diperkenalkan, ini merupakan penghargaan
kehormatan bagi orang-orang yang telah
membuat kontribusi penting untuk dunia
sinema. Orang pertama yang menerima adalah
Orson Welles.
Selain itu ada juga penghargaan Horizons,

September 2013 l Kinescope l 21
yang merupakan penghargaan terbuka untuk
semua film dengan pandangan yang lebih
luas terhadap trend dan hal-hal baru dalam
mengekpresikan karya film. Horizons ini
diberikan untuk film panjang dan film pendek.
Venice juga memiliki kategori khusus untuk
film-film produksi Italia, kategori Controcampo
Italiano. Kategori ini menyajikan panorama
pada sinema Italia dengan 7 narasi film
panjang, 7 film pendek, 7 film dokumenter.
Perancis menjadi negara terbanyak yang
mengumpulkan Golden Lion, 14 kali. Lima
pembuat film Amerika telah memenangkan
Golden Lion. Mereka adalah John Cassavetes,
Robert Altman, Ang Lee (untuk film Brokeback
Mountain yang adalah produksi Amerika),
Darren Aronofsky dan Sofia Coppola.
Sebelum tahun 1980 , hanya 3 dari 21
pemenang non-Eropa. Setelah tahun 1980,
Golden Lion telah diberikan kepada sejumlah
pembuat film Asia. Golden Lion telah
diberikan kepada sepuluh orang Asia, dan
Ang Lee menjadi orang Asia pertama yang
memenangkan dua Golden Lion hanya dalam
kurun waktu tiga tahun saja, untuk Brokeback
Mountain dan Lust, Caution. Zhang Yimou juga
telah menang dua kali. Sutradara Asia lainnya
yang memenangkan Golden Lion sejak tahun
1980 adalah Jia Zhangke, Hou Hsiao-hsien, Tsai
Ming-liang, Anh Hung Tran, Takeshi Kitano, Kim
Ki Duk, ​​
Jafar Panahi, dan Mira Nair.
Namun, sampai saat ini 33 dari 54
pemenang adalah orang-orang Eropa. Sejak
1949 hanya empat perempuan yang pernah
memenangkan Golden Lion; Mira Nair, Sofia
Coppola, Margarethe von Trotta dan Agnès
Varda.
Venice Film Festival tahun ini diadakan
dari tanggal 28 Agustus hingga 7 September
2013. Festival dibuka dengan terbaru karya
Alfonso Cuaron yang berjudul Gravity. Film
ini dibintangi oleh Sandra Bullock dan George
Clooney. Gravity dengan setting antariksa
adalah sebuah science fiction tentang survival
di luar angkasa. Film Amazonia karya Thierry
Ragobert dipilih untuk menutup festival.

22 l Kinescope l September 2013
Berikut daftar film peraih Golden Lion;
Tahun		

Judul			

Sutradara		

Negara

1949	
Manon	
Henri-Georges Clouzot	
* France
1950	
Justice Is Done (Justice est faite)	
André Cayatte	
France
1951	
Rashomon	
Akira Kurosawa	
* Japan
1952	
Forbidden Games (Jeux interdits)	
René Clément	
France
1953		
No award
1954	
Romeo and Juliet	
Renato Castellani	
* Italy
1955	
The Word (Ordet)	
Carl Theodor Dreyer	
* Denmark
3
1956		
No award
1957	
The Unvanquished (Aparajito)	
Satyajit Ray	
* India
1958	
Rickshaw Man (Muhomatsu no issho)	
Hiroshi Inagaki	
Japan
1959	
General della Rovere 	
Roberto Rossellini	
Italy
	
(Il generale della Rovere) (tie) 		
Italy
	
The Great War (La grande guerra) (tie)	
Mario Monicelli	
Italy
1960	
The Crossing of the Rhine	
André Cayatte	
France
	
(Le passage du Rhin)
1961	
Last Year in Marienbad	
Alain Resnais	
France
	
(L’année dernière à Marienbad)
1962	
Family Diary (Cronaca familiare) (tie)	
Valerio Zurlini	
Italy
	
Ivan’s Childhood (Ivanovo detstvo) (tie)	
Andrei Tarkovsky	
* Soviet Union
1963	
Hands Over the City (Le mani sulla città)	
Francesco Rosi	
Italy
1964	
Red Desert (Il deserto rosso)	
Michelangelo Antonioni	
Italy
1965	
Sandra of a Thousand Delights 	
Luchino Visconti	
Italy
	
(Vaghe stelle dell’Orsa)	
1966	
The Battle of Algiers	
Gillo Pontecorvo	
Italy
	
(La battaglia di Algeri)
1967	
Beauty of the Day (Belle de jour)	
Luis Buñuel	
France
1968	
Artists under the Big Top: Perplexed	
Alexander Kluge	
* West Germany
	
(Die Artisten in der
	
Zirkuskuppel: Ratlos)
1969-79		
No award	
1980	
Atlantic City (tie)	
Louis Malle	
* Canada/ France
	
Gloria (tie) 	
John Cassavetes	
* United States
1981	
Marianne and Juliane	
Margarethe von Trotta	
West Germany
	
(Die Bleierne Zeit)
1982	
The State of Things	
Wim Wenders	
West Germany
	
(Der Stand der Dinge)
1983	
First Name: Carmen	
Jean-Luc Godard	
France
	
(Prénom Carmen)
1984	
The Year of the Quiet Sun 	
Krzysztof Zanussi	
* Poland
	
(Rok spokojnego slonca)	
1985	
Vagabond (Sans toit ni loi)	
Agnès Varda	
France
1986	
The Green Ray (Le rayon vert)	
Éric Rohmer	
France
1987	
Au revoir, les enfants	
Louis Malle	
France
1988	
The Legend of the Holy Drinker	
Ermanno Olmi	
Italy
	
(La leggenda del santo bevitore)
1989	
A City of Sadness	
Hou Hsiao-Hsien	
* Taiwan
	
(Bei qing cheng shi)
1990	
Rosencrantz & Guildenstern	
Tom Stoppard	
* United Kingdom/
			
United States
	
Are Dead
1991	
Urga	
Nikita Mikhalkov	
Soviet Union
1992	
The Story of Qiu Ju	
Zhang Yimou	
* China
	
(Qiu Ju da guan si)
1993	
Short Cuts (tie)	
Robert Altman	
United States
	
Three Colours: Blue	
Krzysztof Kie
	
(Trois couleurs: Bleu) (tie)	
Klowski	
France/ Poland
1994	
Vive L’Amour	
Tsai Ming-liang	
Taiwan
	
(Ai qing wan sui) (tie)	
	
Before the Rain (tie)	
Milco Mancevski	
* Republic of Macedonia
1995	
Cyclo (Xich lo)	
Anh Hung Tran	
France/* Vietnam
1996	
Michael Collins	
Neil Jordan	
* Ireland
1997	
Fireworks (Hana-bi)	
Takeshi Kitano	
Japan
1998	
The Way We Laughed	
Gianni Amelio	
Italy
	
(Così ridevano)
1999	
Not One Less	
Zhang Yimou	
China
	
(Yi ge dou bu neng shao)
2000	
The Circle (Dayereh)	
Jafar Panahi	
* Iran
2001	
Monsoon Wedding	
Mira Nair	
India/ United States/ 	
			Italy
			
France/* Germany
2002	
The Magdalene Sisters	
Peter Mullan	
Ireland
2003	
The Return (Vozvrashcheniye)	
Andrey Zvyagintsev	
* Russia
2004	
Vera Drake	
Mike Leigh	
United Kingdom
2005	
Brokeback Mountain	
Ang Lee	
United States
2006	
Still Life (Sanxia haoren)	
Jia Zhangke	
China
2007	
Lust, Caution (Se, jie)	
Ang Lee	
United States/ China/ 	
			Taiwan
2008	
The Wrestler	
Darren Aronofsky	
United States
2009	
Lebanon	
Samuel Maoz	
* Israel
2010	
Somewhere	
Sofia Coppola	
United States
2011	
Faust	
Alexander Sokurov	
Russia
2012	
Pietà	
Kim Ki-duk	
* South Korea
2013	
Sacro GRA	
Gianfranco Rosi	
Italy

Berikut daftar Film yang ikut
berkompetisi dan diputar
selama festival berlangsung;
Competition
•	
•	
•	
	
•	
•	
•	
•	
•	
•	
•	
•	
•	
•	
•	
•	
•	
•	
•	
	
	
•	
	
•	

Ana Arabia, Dir: Amos Gitai
Child of God, Dir: James Franco
Die Frau des Polizisten, Dir: Philip
Groning
L’intrepido, Dir: Gianni Amelio
La Jalousie, Dir: Philippe Garrel
Jiaoyou, Dir: Tsai Ming-liang
Joe, Dir: David Gordon Green
Kaze Tachinu, Dir: Hayao Miyazaki
Miss Violence, Dir: Alexandros Avranas
Night Moves, Dir: Kelly Reichardt
Parkland, Dir: Peter Landesman
Philomena, Dir: Stephen Frears
Sacro GRA, Dir: Gianfranco Rosi
Es-Stouh, Dir: Merzak Allouache
Tom at the Farm, Dir: Xavier Dolan
Tracks, Dir: John Curran
Under the Skin, Dir: Jonathan Glazer
The Unknown Known: the Life and
Times of Donald Rumsfeld,
Dir: Errol Morris
Via Castellana Bandiera,
Dir: Emma Dante
The Zero Theorem, Dir: Terry Gilliam

Out of competition
•	
•	
•	
•	
•	
	
•	
•	
•	
•	
•	
	
•	
	
•	
•	
	
•	
•	

Die Andere Heimat, Dir: Edgar Reitz
The Armstrong Lie, Dir: Alex Gibney
At Berkeley, Dir: Frederick Wiseman
The Canyons, Dir: Paul Schrader
Che strano chiamarsi Federico Scola
racconta Fellini, Dir: Ettore Scola
Feng Ai, Dir: Wang Bing
Locke, Dir: Steven Knight
Moebius, Dir: Kim Ki Duk
Pine Ridge, Dir: Anna Eborn
Space Pirate Captain Harlock,
Dir: Aramaki Shinji
Summer 82 When Zappa Came to Sicily,
Dir: Salvo Cuccia
Ukraina ne Bordel, Dir: Kitty Green
Walesa. Czlowiek z nadziei, Dir: Andrzej
Wajda, Ewa Brodzka
Wolf Creek 2, Dir: Greg McLean
Yurusarezaru mono, Dir: Lee Sang-Il

Horizons strand - new trends in film-making
•	
•	
•	
•	
•	
•	
•	
•	
•	
•	
•	
•	
	
•	
•	
•	
•	
•	

Algunas Chicas, Dir: Santiago Palavecino
Bauyr, Dir: Serik Aprymov
Eastern Boys, Dir: Robin Campillo
Jigoku de naze warui, Dir: Sono Sion
Mahi Va Gorbeh, Dir: Shahram Mokri
Je m’appelle Hmmm…, Dir: Agnes B.
Medeas, Dir: Andrea Pallaoro
Il terzo tempo, Dir: Enrico Maria Artale
Palo Alto, Dir: Gia Coppola
Piccola Patria, Dir: Alessandro Rossetto
La prima neve, Dir: Andrea Segre
Ruin, Dir: Amiel Courtin-Wilson,
Michael Cody
The Sacrament, Dir: Ti West
Still Life, Dir: Uberto Pasolini
Vi ar bast!, Dir: Lukas Moodysson
La vida despues, Dir: David Pablos
Wolfskinder, Dir: Rick Ostermann

September 2013 l Kinescope l 23
DISKUSI

Foto : Lulu Ratna / www.docnetsoutheastasia.net

Dalam rangka mendorong perkembangan film dokumenter Indonesia, DocNet Asia Tenggara, bermitra
dengan In-Docs dan Arkipel International Documentary Film Festival & Eksperimental, menjadi tuan rumah
diskusi meja bundar pada pendanaan dan distribusi
film dokumenter kreatif. Diskusi berlangsung pada
tanggal 27 Agustus di Goethe-Institut Jakarta dan
membawa pemangku kepentingan film dokumenter
Indonesia, seperti lembaga pemerintah, lembaga nonpemerintah, distributor, peserta pameran, penyelenggara festival, dan pembuat film untuk membahas
bagaimana untuk mendanai dan mendistribusikan
dokumenter Indonesia.

24 l Kinescope l September 2013
FORMULIR BERLANGGANAN
Dengan ini, mohon dicatat sebagai pelanggan majalah Kinescope dengan data sebagai berikut :
Nama	

: ……………………………………………………………………………..

No.KTP/ SIM	

: ……………………………………………………………………………..

Alamat Rumah/ Kantor	 : ……………………………………………………………………………..
			
							…………………
………………………………………………………….......................................................
			
			
							…………………
………………………………………………………….......................................................
				
Kode Pos	
:
Telepon	

: ……………………………………………………………………………..

Mobile Phone	

: ……………………………………………………………………………..

Email	

: ……………………………………………………………………………..

Berlangganan

:		

3 bulan

6 bulan

12 bulan	

……….../……………………………./20……..

__________________________
(Tanda tangan & nama lengkap)

Syarat & Ketentuan :
•	
•	
•	
•	
•	
•	
	
•	
•	
	
•	
•	
•	
•	
•	
	

Biaya Registrasi P. Jawa Rp. 20.000,Biaya Pengiriman  3 bulan Rp. 35.000,- 6 bulan Rp. 65.000,- 12 bulan Rp. 100.000,Pembayaran ditransfer ke PT. Kinescope Indonesia CIMB Niaga Cabang Bintaro 080.010.135.5009
Bukti pembayaran kirim ke email langganan@kinescopeindonesia.com
Majalah akan dikirimkan pada bulan berikut setelah bukti pembayaran diterima
Untuk informasi atau pertanyaan lebih lanjut mengenai Kinescope dapat
di email ke info@kinescopeindonesia.com atau klik www.kinescopeindonesia.com
Registrasi akan terputus secara otomatis setelah habis periode masa berlangganan
Untuk perpanjangan masa berlangganan dapat langsung melakukan pembayaran dan mengkonfirmasi 	
pembayaran  sebelum habis periode berlangganan
Selama bukti pembayaran belum kami terima maka registrasi & pengiriman tidak kami proses.
Nilai registrasi & biaya berlangganan sewaktu-waktu dapat berubah tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Harga berlaku hanya di P. Jawa.
Biaya Registrasi Sumatra, Kalimantan Rp. 25.000,-/Edisi  Sulawesi Rp.30.000,-/Edisi
Biaya Pengiriman  3 bulan Rp. 75.000,- 6 bulan Rp. 105.000,- 12 bulan Rp. 135.000,September 2013 l Kinescope l 25
STATISTIK

filmindonesia.or.id

Cinta Brontosaurus	

2

892.915

Coboy Junior The Movie	 683.144

3
Get M4rried	

Data Penonton

6

1

La Tahzan	

	

234.918

7

Sang Kiai		

219.734

8

	

306.416

4
Refrain			

9

280.707

5
308			
26 l Kinescope l September 2013
Agustus 2013

Air Terjun Pengantin Phuket 215.161

Cinta Dalam Kardus	

212.974

10

270.821

Mika	

		

169.151
September 2013 l Kinescope l 27

www.simponi10.blogspot.com
OPINI PUBLIK

Film Bagus?
Ini Cara
Menentukannya
F
Hasreiza

ilm adalah satu dari sekian hasil karya
seni yang sangat berpengaruh dalam
membuat realitas di kepala para
penikmat seni. Pesan yang terdapat
dalam film sangat kuat dan mudah untuk bertransformasi ke dalam pikiran dan imaginasi
penontonnya dan sangat mungkin membuat
realitas baru yang dianggap kebenaran yang
bisa diikuti dalam diri penonton. Film juga
menjadi salah satu hiburan terbaik yang bisa
didapatkan di waktu senggang. Masalah
umum yang selalu muncul dan dihadapi
seseorang, dengan pengetahuan tentang film
yang terbatas, dalam memilih film adalah film
terbaik apa yang harus ditonton di luar filmfilm yang mereka tahu.
Di saat seperti ini, tak jarang bagus atau
tidaknya poster film atau sampul CD atau DVD
film, menjadi cara terbaik seseorang untuk
menentukan pilihan tentang film mana yang
akan ditonton. Dan tak jarang juga, beberapa
dari penggemar film lari pada situs online
yang menyediakan informasi tentang rating
dan ulasan sebuah film.
Beberapa situs besar (berbahasa Inggris)
yang sering dijadikan acuan adalah RottenTomatoes.com, IMDB.com, Metacritic.com,
atau MovieReviews.com dan masih banyak
lagi yang lainnya. Situs rating film tersebut

28 l Kinescope l September 2013

“Sebuah bencana bagi struktur kebudayaan sebuah
masyarakat dan peradaban ketika para produser dan
pembuat film hanya memikirkan dan mementingkan
orientasi profit saja dari karya filmnya.”

bisa dikatakan sebagai “pembimbing” yang
memberikan rekomendasi film terbaik dengan
cara memasang nilai (angka) dari sebuah film
pada pengunjung.
Sebetulnya, kualitas sebuah film sangat
menentukan tingginya antusiasme masyarakat terhadap film tersebut. Kualitas film yang
semakin baik dari segi cerita, sinematografi,
juga teknis, secara idealnya seharusnya akan
menentukan tingginya antusiasme penonton
untuk berbondong-bondong menyaksikannya.
Aktor senior Didi Petet yang pernah mengatakan bahwa sebuah film harus mampu
mengedukasi masyarakat justru menjadi
dilema sendiri bagi penonton dan pembuat
film. “Ini yang selalu menjadi dilema pembuat
dan penontonnya,” katanya.
Apakah sebuah film harus mengedukasi
masyarakat, menurut Didi, jangan hanya
dibebankan kepada orang-orang film. Biarkan
masyarakat yang menilai sendiri. Karena

film adalah refleksi dari keadaan masyarakat
pada zamannya, maka biarkan masyarakat mengedukasi dirinya sendiri. “Film itu
mencerminkan masyarakat pada zamannya.
Perkembangannya bisa kita lihat lewat film.
Film bisa mengungkapkan
semua, latar belakang
budaya, pendidikan,
dan sebagainya,”
ungkap pemain film
yang juga menjadi
dosen di Institut
Kesenian Jakarta
tersebut.
Lebih lanjut ia menambahkan, penonton
harus cerdas dalam menonton sebuah
sajian film.
“Penonton
harus
seperti sudut kamera yang kreatif, pencahayaan yang baik dan menjaga detil-detil visual
yang tidak penting yang hanya menjadikan
kekonyolan, ketidaksesuaian dengan adegan
dan keseluruhan film.

cerdas, kita semua harus cerdas. Kalau tidak
perlu ditonton ya tidak usah ditonton. Kita
nonton film yang bisa membuat kita menjadi
cerdas,” katanya.
Lola Amaria juga pernah mengatakan
mengatakan bahwa dalam sebuah film, etika,
estetika, dan logika sangat penting. Ia mencontohkan hal-hal yang tidak logis yang masih
ada di film dan sinetron Indonesia, seperti
dandan berlebihan di dalam rumah dan memakai bulu mata palsu saat sedang tidur.
Lalu bagaimana menentukan kriteria
sebuah film yang dianggap baik atau tidak?
Beberapa kritikus film sering menggunakan
kriteria yang sederhana. Buat mereka, ketika
sebuah film membuat kita berpikir tentang
sebuah hal yang baru, mengubah perspektif
dan cara pandang kita tentang sesuatu hal,
mampu mempengaruhi dan menggerakkan,
mampu membawa respon emosional penontonnya, itulah sebetulnya kriteria bahwa
sebuah film dapat dikatakan bagus.
Secara sederhana, sebetulnya bisa disimpulkan bahwa sebuah film dapat dikatakan
bagus adalah jika memenuhi beberapa
kriteria seperti;

Misalnya, jika kita menonton film komedi,
seharusnya kita bisa tertawa karena kelucuankelucuan dalam adegan film pada saat kita
menontonnya. Pemeran film yang baik harus
mencurahkan perasaannya dalam tiap adegan
pada alur cerita film. Mereka mengikuti arahan dan juga menambahkan inisiatif dengan
sentuhan mereka sendiri kepada film yang
sedang dimainkan. Hal ini untuk memperkuat
pengaruh emosional pada setiap adegan
untuk mempengaruhi penonton.
3. Teknik sinematografi juga memainkan
peran yang sangat penting dalam proses
pembuatan sebuah film untuk menyempurnakan proses pembuatan film secara visual.
Sinematografi yang baik, mempersiapkan dan
menyuguhkan suasana hati dan emosional
pada keseluruhan film, mengisi transisi antara
adegan-adegan yang efektif dan kreatif,

Jadi, saat penonton film sudah mulai
memiliki pemahaman bahwa sebuah film itu
sangat bisa mempengaruhi cara pandang dan
pemikiran penontonnya, maka sudah saatnya
penonton film mampu memilih film-film yang
dianggap layak tonton dan memang memiliki
pesan dan cerita yang baik. Untuk itu memang, kecerdasan emosional dan intelektual
menjadi penting. Hanya saja, ini bukan hanya
menjadi tanggung jawab penonton film untuk
menjadi cerdas, ketika justru pembuat film
dan pengambil kebijakan tidak terlalu memperdulikan hal ini.
Sebuah bencana bagi struktur kebudayaan sebuah masyarakat dan peradaban
ketika para produser dan pembuat film hanya
memikirkan dan mementingkan orientasi
profit dari karya filmnya dan tidak lagi memikirkan pengaruh pesan di dalam film pada
pola budaya masyarakat yang menontonnya.
Sebuah bencana bagi struktur kebudayaan
sebuah masyarakat dan peradaban ketika
para distributor dan pengimpor film selalu
membandingkan film-film produksi Indonesia
dengan film-film produksi Hollywood dan tidak pernah mau memberikan tempat yang sedikit layak bagi produksi dalam negeri. Sebuah
bencana bagi struktur kebudayaan sebuah
masyarakat dan peradaban ketika pemerintah
sebagai pengambil kebijakan tidak pernah
mau membuat aturan main yang bisa dijadikan pijakan dan landasan bagi industri film
untuk bergerak secara adil agar bisa memberikan pencerahan bagi penontonnya dan pada
akhirnya membangun proses pencerdasan
pada pola budaya sebuah masyarakat.

1. Sebuah film harus memiliki alur cerita
yang kuat. Walaupun sebuah film hanya
menceritakan sebuah cerita yang sederhana
dengan cara yang tepat, film tersebut bisa jadi
lebih baik daripada sebuah film yang berisikan
cerita yang penuh intrik dengan terlalu banyak ploting cerita yang tidak berkesinambungan. Sebuah cerita yang baik adalah cerita
yang mampu menghubungkan cerita film
dan isi pesan di dalamnya dengan penonton
secara emosional. Inilah tugas utama dari
seorang penulis cerita dan skenario, di mana
mereka harus menciptakan dialog yang
baik yang alami dan dapat dipercaya untuk
karakter-karakter yang terdapat dalam sebuah
cerita.
2. Sebuah film yang baik harus mampu
membangkitkan emosi para penontonnya.

September 2013 l Kinescope l 29
OPINI PUBLIK

Wahai Para
Kritikus Film
Shandy Gasella

B

ila menilik ke belakang perihal awal mula kritik film di Indonesia
-- khususnya yang menyoal film buatan negeri sendiri, kita tak
perlu menengok jauh hingga ke tahun 1926 pada saat film cerita
pertama ‘Loetoeng Kasaroeng’ dibuat. Pada  awal sejarah perfilman Indonesia, kritik film belumlah ada. Pada masa itu film merupakan
media baru dan hanya dipandang sebagai produk hiburan semata. Ia
masih belum terjamah oleh kepentingan-kepentingan politik pemerintah kolonial atau pun kepentingan lain yang dapat saja dipakai oleh si
pembuat film untuk menyampaikan pesan tertentu pada masyarakat
(baca: khalayak penonton). Pada masa itu film masih berproses menemukan bentuknya, dan belum ada seorang pun yang menganggapnya
sebagai satu cabang seni pertunjukan yang layak diapresiasi secara
serius.
Pada akhir tahun 1950an ada Misbach Yusa Biran yang selain baru
menapaki karirnya sebagai sineas, ia pun sebagai seorang wartawan aktif menulis kritik film. Ia pernah menjadi ketua redaksi ‘Mingggu Abadi’
(1958 - 1960), ‘Majalah Purnama’
(1962 - 1963), Redaktur ‘Ahad Muslimin’ dan ‘Lembaran Kebudayaan’ dari
harian ‘Duta Masyarakat’ (1964-1965).
Pada masanya dan hingga sekarang
ia adalah salah satu tokoh perfilman
Indonesia yang paling dihormati.
Namun kini timbul pertanyaan; siapa
pula generasi sekarang yang pernah
membaca kritik film tulisannya?
JB Kristanto bisa jadi lebih populer
ketimbang Misbach Yusa Biran, ini pun tentu saja hanya di kalangan
para penikmat film Indonesia garis keras, karena bagi masyarakat umum
toh keduanya sama-sama tak populer. JB Kristanto pernah menjadi
jurnalis ‘Harian Kompas’, dan lewat perannya sebagai jurnalis ini kritik
film di media massa jadi memiliki bobot, atau setidaknya ia merangsang
para jurnalis lain memberi perhatian lebih akan penulisan berita mau-

“Mengapa para penikmat film tak membaca tulisan
kritikus film karena para kritikus ini kekurangan
humor, asyik sendiri menelaah dengan kata-kata
yang membuat pembacanya harus selalu sedia
kamus bahasa Indonesia.”

30 l Kinescope l September 2013
pun ulasan film. Selain itu ia pun layak dipuji
dan diberi penghormatan karena  menulis buku
Katalog Film Indonesia yang amat berharga
itu. Kritik-kritik film dari buah pikirannya selalu
mendalam khas tulisan akademisi, padahal ia
menulis untuk media cetak arus utama. Dari
tahun 70an hingga kini ia masih aktif menulis
kritik film, yang terbaru darinya dapat ditemui
di laman ‘filmindonesia.or.id’, di situs yang
menyajikan data dan informasi lengkap tentang
perfilman Indonesia itu ia mengulas film ‘Kisah
3 Titik’ karya Lola Amaria yang dirilis pada
awal Mei tahun ini. Sudah tak seproduktif
dulu, namun jelas terlihat bahwa semangat
dan minatnya terhadap kajian film masihlah
menggebu.
Masih ada nama lain seperti Eric Sasono
dan Lisabona Rahman misalnya yang serius
mengkaji film lewat cara yang mirip dilakukan
oleh JB Kristanto, yaitu mengulas film dengan
sudut pandang tertentu, menelaah secara
mendalam dengan teori-teori disiplin ilmu tertentu pula. Kritik yang mereka hasilkan sangat
mumpuni dan bisa jadi masukan yang amat
berarti tak hanya bagi para sineas yang filmnya
mereka kritik, namun juga dapat menjadi
catatan penting dokumentasi bagi kepentingan pendidikan, khususnya soal kajian film di
Indonesia. Sejatinya fungsi kritikus film adalah
sebagai penghubung si pembuat film dengan
penontonnya. Merekalah yang menjembatani
penyampaian gagasan-gagasan si pembuat
film agar dapat lebih dipahami oleh penonton.
Maka, peran kritikus film sebagai perantara
tersebut menarik untuk dicermati.
Kini di era media sosial yang kian ramai
dipadati warga, saat akses kepada informasi
berseliweran tak terbendung, setiap orang
bisa menjadi kritikus film, dan bahkan mereka
bisa menjadi kritikus apapun yang mereka
kehendaki. Setiap hari kita selalu menjumpai
tweet seseorang yang mengomentari sebuah
film yang baru saja ditontonnya, lengkap
disertai tautan ke alamat blog pribadinya untuk
mengetahui ulasan lengkap yang ditulisnya.
Dan ini terjadi tak hanya di Indonesia, namun
juga di seluruh dunia.
Untuk menyampaikan informasi, gagasan,
opini, dan lain sebagainya kepada khalayak
ramai, kini kita tak perlu lagi menitipkan tulisan
kepada kolom surat pembaca, atau kepada
media-media online jurnalisme warga yang
tak memberi kompensasi sepeser pun kepada
kontributornya itu, kita hanya cukup mempostingnya di blog pribadi dan setiap orang
memiliki akses untuk membacanya.
Berbicara soal blog, kenyataannya tak
sedikit blog-blog yang khusus mengulas film
ditulis oleh anak-anak berumur belasan tahun
atau awal 20an, umumnya ditulis dengan
amat serampangan seolah mereka tak pernah
mendapatkan pendidikan bahasa Indonesia di
sekolahnya, dan yang paling mengejutkan blog
mereka ternyata dikunjungi oleh banyak sekali
pembaca. Hal yang lumrah sekali dijumpai.
Movie blogger -- begitu mereka biasa disebut, alih-alih membantu penikmat film lebih
memahami film yang ditontonnya, terkadang
mereka malah menyesatkan atau setidaktidaknya tak memberi informasi berharga apa

pun. Tentu tak semua movie blogger demikian, ada beberapa yang cukup berdedikasi
dan mampu menulis ulasan filmnya secara
mendalam. Internet telah memberi rumah
baru bagi dunia kritik film, dan mereka bebas
menulis apa pun sesuka hati. Masalahnya,
memiliki kebebasan penuh untuk menulis apa
pun dengan sesuka hati dibutuhkan disiplin
ilmu yang memadai.
Mikael Johani, seorang penyair sekaligus pemerhati budaya pop lewat blognya di
‘oomslokop.tumblr.com’ sering pula mengulas film. Dalam salah satu postingannya ia
menelaah, membandingkan film ‘Negeri di
Bawah Kabut’ karya Salahuddin Siregar dengan
‘The Act of Killing’-nya Joshua Oppenheimer.
Menarik bukan? Dan kajiannya terhadap
kedua film tersebut tak hanya mendalam,
namun juga memberi perspektif unik yang tak
tercetus dari (katakanlah) pengulas film lain di
media arus utama baik cetak maupun online.
Lalu ada Mumu Aloha -- nama beken dari Is
Mujiarso, seorang managing editor salah satu
media berita online terbesar di Indonesia ini,
seperti Mikael Johani, ia pun kerap kali berbagi
opini soal film yang telah ditontonnya lewat
blognya di ‘penyinyiran.tumblr.com’. Pada salah
satu postingannya ia mengulas film ‘Finding
Srimulat’ karya Charles Gozali dengan gaya
bahasa yang santai namun juga sarat analisis
yang tajam. Membaca tulisan mereka berdua
selalu menyegarkan dan menutrisi akal pikiran,
juga tak jarang saya dibuat tertawa karena
keduanya orang yang jenaka, selalu tak pernah
kekurangan humor, dan sarkasme -- satu hal
yang jarang dimiliki oleh para penulis lain di
negeri ini.
Secara umum kritik film dibedakan menjadi
dua, kritik jurnalistik dan kritik akademis.
Kritik jurnalistik biasanya ditulis oleh jurnalis atau penikmat film, dipublikasikan lewat
media massa. Kritik ini biasanya dimuat
sebagai panduan bagi calon penonton dalam
memilih film yang baru rilis di bioskop. Pada
media cetak dan beberapa media online kritik
jurnalistik sangat dibatasi oleh ruang halaman,
dan terkadang harus berkompromi dengan
aturan-aturan redaksional tertentu. Sedangkan
kritik akademis lazimnya ditulis oleh kalangan
akademisi dari perguruan tinggi, dimuat dalam
jurnal ilmiah atau majalah berbobot yang mengulas film. Berbeda dengan kritik jurnalistik
yang mengutamakan informasi aspek-aspek
dasar sebuah film -- seperti sinopsis, bintang
film, hingga genre dan mutu film, kritik akademis bertujuan mendalami makna sebuah film
dan efeknya bagi penonton. Yang satu enteng
dibaca, satu lagi terasa berat. Eric Sasono dan
Lisabona Rahman masuk kedalam golongan
terakhir.
Amerika dengan Hollywood sebagai kiblat
perfilman dunia, selain memiliki banyak movie
blogger yang handal seperti Dennis Cozzalio
(Sergio Leone), Kim Morgan (Sunset Gun),
dan ratusan movie blogger lainnya, ya ratusan
-- bahkan situs film terkemuka TotalFilm.com
pernah memuat artikel tentang 600 blog film
yang layak dikunjungi, mereka pun memiliki
banyak sekali kritikus film handal yang bekerja
di media arus utama. Ada Vincent Canby (The

New York Times), Richard Corliss (majalah
Time), mendiang Roger Ebert (Chicago-Sun
Times), Todd McCarthy (Variety, The Hollywood
Reporter), dan masih banyak lagi yang lainnya. Media-media arus utama tersebut masih
menjadi acuan bagi para penikmat film yang
hendak mencari tontonan di akhir pekan atau
bagi yang sudah menonton dan ingin sekedar
menambah wawasan akan film yang telah
ditontonnya. Rubrik ulasan film di media-media
arus utama tadi memang diasuh oleh para
ahli, para penikmat film yang dibekali ilmu
yang memadai -- satu hal yang jarang terjadi di
negeri ini.
Hampir sebagian besar media massa di
negeri ini dalam mengulas film masih berkutat
soal menceritakan kembali sinopsis film, seputar siapa bintang film dan sutradaranya, lalu
menjustifikasi filmnya sebagai tontonan yang
baik atau buruk dengan memberi skor bak guru
di sekolah yang memberi nilai ujian terhadap
siswanya. Mereka masih belum menganggap
penting rubrik film dengan tidak mempekerjakan pengasuh rubrik dari lulusan Kajian Film
misalnya, atau setidak-tidaknya lulusan Sastra
Indonesia atau Sastra Inggris yang telah mengenyam pendidikan soal apresiasi sastra dan
turunannya beserta teori-teori pendukungnya.
Lewat cara ini setidak-tidaknya ulasan film di
media massa dapat dipertanggungjawabkan,
serta memiliki kredibilitas.
Ade Irwansyah adalah satu dari sedikit
pengulas film di media massa arus utama yang
memiliki kredibilitas itu. Tulisan-tulisannya biasanya tak begitu panjang, enak diikuti, ditulis
dengan gaya yang santai namun mendalam
dengan misalnya menelaah simbol-simbol
tersirat dari suatu film. Tak jarang ia memberi peringatan “spoiler alert” di awal artikel.
Karena konsekuensi dari menelaah film secara
mendalam, memang terkadang pengulas
harus membeberkan semua cerita dalam film,
termasuk unsur kejutan yang selalu ada di
penghujung sebuah film.
Kita sebagai penikmat film memiliki banyak
sekali alternatif bacaan pendamping selepas
menonton film, ada ulasan “berat” dari Eric
Sasono yang panjang-panjang, ulasan cerdas
namun penuh nyinyir khas Mumu Aloha, atau
ulasan dari Ade Irwansyah yang enak diikuti itu,
belum lagi ulasan dari sejumlah movie blogger berhati mulia -- bagaimana tidak, tanpa
dibayar, mereka dengan segala keikhlasan hati
selalu menulis ulasan-ulasan film terkini secara
berkala. Atau lewat majalah yang sedang anda
pegang ini, makin memperkaya khasanah dunia
kritik film di Indonesia bukan?
Satu catatan kecil tentang kritik film di
negeri ini bahwa mengapa para penikmat film
tak membaca tulisan sejumlah kritikus film tertentu adalah karena para kritikus ini kekurangan
humor, asik sendiri menelaah dengan mengolah
kata-kata yang membuat pembacanya harus
selalu sedia kamus bahasa Indonesia sebagai
pendamping. Rasanya hanya angan-angan saja
kita dapat menemukan seorang kritkus film
setajam Eric Sasono namun juga seasik Mumu
Aloha. Bila memang ada kritikus film yang
seperti ini, insyaallah, dunia kritik film Indonesia
akan semakin asyik saja untuk diikuti.

September 2013 l Kinescope l 31
OPINI

Begitu charming dan berpengaruhnya seorang
aktor atau BINTANG FILM, hingga bisa membatalkan sebuah produksi film, jika dia menolak
untuk terlibat. Produser Tinker Taylor Soldier
Spy (Tomas Alfredson, UK, 2011) dan There Will
Be Blood (Paul Thomas Anderson, USA, 2007)
berniat membatalkan produksinya, jika Gary Oldman dan Daniel Day Lewis menolak untuk main.
Oldman dan Day Lewis tentu menyesal jika menolak, Oldman akhirnya mendapat nominasi Oscar
pertamanya sebagai aktor terbaik dan Lewis
meraih Oscar keduanya.
Doni Agustan

B

eberapa aktor juga punya ‘power’ untuk
menentukan lawan mainnya. Elizabeth
Taylor menolak main dalam A Little Night
Music karya Ingmar Berman produksi 1977,
jika produser tetap menawarkan salah satu karakter utama film tersebut pada Bette Davis. Bette
Davis adalah bintang film klasik yang menjadi diva
perfilman Hollywood sejak 1930-an hingga awal
tahun 60an. Davis meraih 11 nominasi Oscar dan
memenangkan dua diantaranya, untuk Jezzebel
(1938) dan Dangerous (1936). Liz (nama panggilan Elizabeth Taylor) yang juga telah memiliki
dua piala Oscar ini (untuk Butterfield 8 dan Who’s
Afraid Virginia Woolf), tidak ingin spotlightnya
sebagai bintang senior saat itu harus dibaginya
dengan kehadiran Davis.
Lindsay Lohan terlibat langsung dalam pemilihan aktor yang akan memerankan Richard Burton
untuk film televisi yang diangkat dari kisah hidup
Elizabeth Taylor, Liz and Dick (2012). Begitu juga
dengan Jennifer Lawrence, setelah tampil bersama
dalam Silver Linings Playbook (2012) dan menang
Oscar, dia bisa dengan mudah meminta Bradley
Cooper berperan sebagai pasangannya lagi, untuk
film terbaru karya Susanne Bier yang rencana akan
rilis akhir 2013 ini.
Bagaimana dengan urusan jualan? Will Smith,
Tom Cruise, Julia Roberts, Tom Hanks, Meg Ryan
dan Leonardo DiCaprio pernah dicap sebagai
aktor-aktor yang dijamin membuat film laris. Begitu dipercayanya pesona mereka, masing-masing
nama di atas ini bahkan pernah dibayar hingga 20
juta dollar Amerika per film. Will Smith misalnya,
sejak berhasil membawa Independence Day menjadi salah satu film terlaris sepanjang masa, honornya meningkat pesat. Pesona Will juga terbukti
mampu menarik jutaan ratusan juta dollar. Selama
hampir 10 tahun, sejak 1997-2006, film-film yang
dibintanginya hampir selalu meraih pemasukan
di atas 100 juta dollar AS. Setali tiga uang dengan
Smith, Tom Cruise adalah raja film-film box office
era tahun 1990an. Hampir semua filmnya laris di
pasaran. Bahkan Cruise juga menerima penghasilan dari persentase penjualan film-filmnya.
Bagaimana dengan tahun 2013 ini untuk
urusan jualan? Majalah Forbes terbitan bulan
Juli 2013 merilis daftar aktris Hollywood dengan

32 l Kinescope l September 2013

Apa Itu a
narny
Sebe g
Bintan
Film?
bayaran termahal, nama Angelina Jolie berada di posisi
paling atas.
Penghasilan bintang yang meraih Oscar untuk aktris
pendukung terbaik dalam Girl, Interupted (1999) ini
dilansir mencapai 33 juta dollar AS untuk periode Juni
2012 sampai Juni 2013. Jumlah tersebut 13 juta dollar
AS lebih besar dari tahun sebelumnya.
Sepak terjang tunangan aktor Brad Pitt ini sebagai
penulis dan sutradara diyakini sebagai penyumbang pemasukannya selama setahun belakangan ini. Untuk menyutradarai film In the Land of Blood and Honey, Jolie
dibayar 2,5 juta dollar AS. Film tersebut merain nominasi Golden Globe untuk film berbahasa asing terbaik
2012. Spekulasinya untuk film terbarunya Unbroken,
Jolie dibayar 2 kali lipat dari honornya menyutradarai
film In the Land of Blood and Honey. Tahun ini Jolie juga
terlibat dalam film produksi Disney Maleficent, yang
dispekulasi memberinya honor puluhan juta dollar AS.
Sementara itu, bintang Twilight dan On the Road,
Kristen Stewart yang pada tahun lalu berada di urutan
teratas tahun ini berada di posisi ketiga dengan penghasilan 22 juta dollar AS. Di urutan kedua ada aktris
muda berbakat Jennifer Lawrence. Penghasilan bintang
Hunger Games ini untuk periode yang sama mencapai
26 juta dollar AS. Jennifer berhasil mengesar posisi
Stewart karena berhasil meraih piala Oscar untuk perannya sebagai Tiffany dalam Silver Linings Playbook.
Mantan istri Brad Pitt, Jennifer Aniston, berada
pada posisi keempat dengan penghasilan 20 juta dollar
AS, diikuti aktris Emma Stone dengan 16 juta dollar AS.
Robert Downey Jr. menerima 75 juta dollar AS
terhitung dari bulan Juni 2012 hingga Juli 2013. Hugh
Jackman berada pada posis kedua dengan penghasilan
55 juta dollar AS. Diikuti dengan Channing Tatum pada
posisi ketiga dan Mark Wahlberg pada posisi keempat.
Tetapi bayaran mahal untuk bintang-bintang
ini tidak selalu menjamin kesuksesan film-film yang
mereka bintangi. Banyak juga film-film yang jeblok
dipasaran walaupun sudah memanfaatkan nama-nama besar mereka. Cruise
dan Diaz sudah pernah bekerja sama
di Vanilla Sky, tetapi kehadiran
mereka di film Knight and Day yang
berbujet 117 juta dollar AS ini tidak
membantu sama sekali. Karena
Knight and Day hanya mampu
mengumpulkan 20 juta dollar AS
di minggu pertama penayangan.
Untung saja, popularitas mereka di
kancah internasional berhasil mengumpulkan 185 juta dollar AS.
Selama lebih dari dua dekade, Tom
Hanks menjadi jaminan box office. Sebut saja Forrest Gump, Sleepless in
Seattle, dan masih banyak judul
lainnya. Tapi kesuksesannya
sebagai tokoh utama tidak
diikuti oleh kiprahnya sebagai sutradara. Ia
membintangi
sekaligus menyutradai
film
Larry
Crowne dan
film ini hanya
menghasilkan 35
juta dollar AS

di pasar Amerika dan hanya meraih satu juta dollar lebih
banyak di pasar Internasional.
Julia Roberts gagal membawa Duplicity meraih
sukses. Film berkisah tentang mata-mata ini meraup 40
juta dollar AS di Amerika Utara saja, dan 38 juta dollar
AS untuk rilis internasional. Dengan total pendapatan 78
dollar AS, dibandingkan biaya produksi yang mencapai
60 juta dollar, film ini masuk kategori gagal. Film Julia
lainnya, Eat, Pray, Love juga mengalami kegagalan di box
office dan hanya meraup 80 juta dollar AS, tidak sesuai
dengan bagaimana film ini banyak ditunggu-tunggu.
Setahun sebelum Batman Begins, muncul film Catwoman dibintangi Halle Berry, yang sebelumnya sudah
sangat dikenal sebagai Storm di X-Men. Dengan biaya
produksi lebih dari 100 juta dollar AS, seharusnya ini
merupakan tugas mudah baginya. Tapi total pendapatan
film ini hanya 82 juta dollar AS.
The Adventure of Pluto Nash yang dibintangi oleh
Eddie Murphy disebut-sebut sebagai salah satu kegagalan luar biasa dalam sejarah film Hollywood. Biaya
produksi yang mencapai 100 juta dollar AS, tetapi film
fiksi ilmiah ini hanya berhasil meraup 7 juta dollar AS,
untuk pasar Amerika dan internasional.
Bagaimana dengan film lokal? Seberapa kuatkah
pengaruh aktor?
Untuk tahun 1980an kita punya The Big Five seperti
Roy Marten, Robby Sugara, Yati Octavia, Doris Callebaut dan Jenny Rachman yang dibayar paling minimal
5 juta rupiah per film dan memang berhasil membuat
film-film mereka laris pada waktu itu. Kita semua
tahu, tahun 1970-1980an adalah era paling sukses film
Indonesia.
Era sekarang? Era film setelah bangkit lagi dari
mati suri. Belum ada lagi bintang seperti Roy Marten
atau Jenny Rachman. Mari kita sebut beberapa nama
bintang film Indonesia saat ini, Dian Sastrowardoyo dan
Nicholas Saputra misalnya. Dian dan Nicholas dulu
disebut-sebut sebagai calon dua bintang besar,
keduanya memang cukup berhasil menjadi
‘besar’ tetapi film-film yang mereka
bintangi setelah Ada Apa Dengan Cinta
(AADC) belum adalagi yang mencapai
penghasilan AADC sebanyak 2 juta
penonton.
Kesimpulannya adalah bahwa
‘Industri’ film Indonesia belum punya
bintang lagi. Belum ada ‘leading lady’
seperti Yati Octavia dan Doris Callebaut pada tahun 1970-1980an.  Bisa
juga disimpulkan, kita belum punya
bintang lagi!
Pada kenyataannya, bahwa
kejadian seorang aktor lokal menggagalkan sebuah produksi film pernah
terjadi. Tinggal satu minggu menjelang syuting, semua sudah siap,
sampai kemudian produser
mengagalkan produksi film
remake dari sebuah serial televisi tersebut
, dengan rumour
‘aktor utamanya
tidak deal’.
Apakah aktor
ini bisa kita
sebut bintang?
Silahkan putuskan sendiri.

September 2013 l Kinescope l 33
BEHIND THE SCENE

23.59 Sebelum Mati

F

ilm pertama dari komunitas Underdog Kick Ass
berjudul 23:59 Sebelum Mati direncanakan
akan tayang secara resmi pada 17 Oktober
2013 mendatang. Begitu lah yang tertulis pada
akun resmi mereka, @2359SebelumMati: It’s official.
Oct 17, 2013. Akan tayang di bioskop terdekat.
Para pemain dalam film ini berasal dari berbagai
macam latar belakang dan usia yang telah dilatih selama 6 bulan oleh para pembimbing yang sudah tidak
diragukan lagi kemampuannya seperti sutradara besar Rudi Soedjarwo, pemain - penulis dan sutradara
teater Adri Prasetyo, dramawan Erry Petrucci serta
seorang sript supervisor Syahril Ismanto.
Berkisah tentang 45 orang dalam momen 23:59
sebelum menghadapi kejadian penting dalam hidup
mereka masing-masing yang dapat merubah, atau
bahkan mengakhiri. Digarap oleh 2 sutradara baru,
10 penulis skenario baru, 2 penata fotografi baru, 2
musik baru yang diambil di 25 lokasi selama 90 hari.
Teaser resminya sudah dirilis beberapa waktu
lalu di youtube dan bisa dicari dengan kata kunci
23:59 Sebelum Mati - Official Teaser Trailer. Untuk
mengetahui lebih lanjut silahkan klik http://www.
underdogkickass.com

34 l Kinescope l September 2013
Sinopsis

Foto courtesy of Underdog KickAss & 23:59

Kisah sekitar 40 karakter memasuki
phase 23 jam 59 menit sebelum menemui kejadian penting dalam hidupnya.
Kematian juga merupakan bagian dari
kejadian penting beberapa karakter
di film ini. Seorang pria yang masa
hidupnya penuh dengan perbuatan keji
dimotori oleh rasa benci, memasuki
masa 23:59 sebelum menemui ajalnya,
memasuki masa-masa hidup lalunya,
bertemu dengan sosok yang membawa
misi akhir, apa yang terjadi di periode
waktu tersebut.
Kematian bukan hanya kejadian
dalam hidup yang terlihat di film ini.
Bahkan banyak hal-hal dalam kehidupan
yang sangat berarti, tanpa kita sadari
terjadi setelah melalui ruang waktu 23
jam 59 menit. Termasuk dua manusia
yang ditemukan tanpa rencana, saling
mengisi ruang waktu di masa 23:59
sebelum menghadapi moment penting
dalam hidupnya yang terpisah.

September 2013 l Kinescope l 35
ON LOCATION

Produser
Irwansyah
Raffi Ahmad
Furqy
Tayang
12 September 2013
Produksi
R1 Pictures
Pemeran
ZaskiaSungkar
ShireenSungkar
Revalina S. Temat
Renata Kusmanto
Fahrani
Empel, Irwansyah
Teuku Wisnu
Didi Riyadi
Ganindra Bimo
Marcell Domits

Wanita tetap Wanita
Wanita Tetap Wanita merupakan tanda cinta bagi
seluruh perempuan Indonesia. Disutradarai oleh
4 orang sutradara muda Indonesia, Irwansyah,
Teuku Wisnu, Didi Riyadi dan Reza Rahadian.

F

ilm ini bertutur tentang kehidupan 5
orang perempuan berbeda latar-belakang pekerjaan, kehidupan sosial, dan
inisiasi memperjuangan hidup, namun
memiliki satu misi yaitu ‘membahagiakan
hati yang butuh bahagia dengan segala
kekisruhan prahara dunia’.
Sederhana, namun menjiwa. Wanita
Tetap Wanita bercerita tentang kekuatan
perempuan menghadapi segala konflik yang
ada di sekitar kita. Banyak orang menganggap perempuan lemah dan hanya menggantungkan hidup pada Lelaki. Tapi, tidakbanyak yang menyadari betapa hebatnya
perempuan. Di atas bahu kecilnya, bahkan
perempuan sanggup menanggung beban
dunia. Di kedua mata sendunya, perempuan

36 l Kinescope l September 2013

menyimpan jutaan cerita yang ingin dibagi
kepada dunia. Di kedua tangannya, dunia
akan direngkuh dalam damai penuh cinta
dan harapan. Tidak ada yang tidak mungkin
dilakukan perempuan, karena perempuan
memiliki otak, akal, mata, dan jiwa yang
kuat, namun dengan hati yang lembut
penuh kasih.

SINOPSIS

Wanita Tetap Wanita dibagi dalam 5 plot cerita yang memiliki 1 benang merah, bahwa
Perempuan adalah superwomenjika ditelisik
melalui berbagai sisi, bukan hanya lewat sisi
simpati. Terdapat 5 judul cerita yaitu “Reach
The Star”, “First Crush”, “In Between”, “Cupcakes” dan “WithorWithout”.
With or Without
Sutradara: RezaRahadian
Penulis: Lily NailufarMahbob

Cupcakes

Sutradara: Didi Riyadi
Penulis: IlmaFathnurfirda
Shana merasa terpuruk setelah ditinggal
oleh calon suaminya, Rangga di hari pernikahannya. Didukung sahabatnya, Jasmine,
ia berusaha bangkit dengan memanfaatkan
keahliannya, Shana membuka gerai cupcake.
Usaha cupcakeShana melejit perlahan tapi pasti, seperti hati Shana yang diam-diam berusaha
membuka diri untuk kehadiran Fauzan, abang
Jasmine yang diam-diam menaruh hati pada
Shana. DisaatShana sudah siap untuk move
on, Rangga mendadak muncul dihadapannya.
Shana berusaha kuat, ada sakit hati bernama
cinta yang kembali menyeruak, namun Shana
berusaha meyakinkan diri ada kalanya manusia
jatuh agar belajar berdiri dengan dua kaki.

Trauma pada masa lalu membuat Adith menutup diri dari kehadiran laki-laki. Adith berjuang
keras untuk membuat dirinya bangga bisa bertumpu pada kemampuan dirinya sendiri sebagai perempuan. Menulis banyak novel tentang
empower perempuan, membuat Adith seakan
berada di atas angin kalau hidup perempuan
tidak harus bersanding dengan laki-laki. Hingga
dalam satu kali perjalanan, Adith bertemu
Rangga, supir taksi yang merupakan sarjana
filsafat dengan pemikirannya yang filosofis.
Tanpa sadar, Adith jatuh cinta. Rangga menyimpan kharisma sendiri di mata Adith dan
membuat Adith kembali percaya bahwa pria
dan wanita diciptakan untuk saling mencinta.
Kebersamaan mengantarkan mereka pada satu
komitmen pernikahan.

First Crush

Sutradara: Teuku Wisnu
Penulis: Hotnida Harahap

Reach The Star

Sutradara: Irwansyah | Penulis: Wina Aswir

Cinta masa remaja berada di depan mata
saat Nurma dewasa dan sudah bertunangan
dengan Iko. Cinta itu masih melekat pada
Andy, mantan guru les Nurma saat SMP. Tidak
disangka, Nurma yang baru menyandang
gelar Sarjana Hukum, diterima bekerja di
kantor advokat milik Andy. Seiring dengan
intensitas pertemuan Nurma dan Andy dalam
menangani kasus KDRT terhadap perempuan,
hubungan mereka terus berkembang. Nurma
menemukan kebahagiaan saat bersama Andy
yang sudah berkeluarga. Nurma memutuskan pertunangannya dengan Iko, mencoba
memenangkan hatinya yang berkecamuk saat
bersama Andy. Sampai akhirnya, Nurma tersadar pada satu titik, saat menempatkan dirinya
sebagai Istri Andy, sebagai jutaan perempuan
lain diluar sana yang suaminya ‘main gila’
dengan perempuan lain.

Janji adalah hutang yang harus dilunasi
sampai mati, begitulah ucap bakti Kinan tertuju
bagi kedua orang tuanya, walaupun Ayah
Kinan sudah meninggal. Kinan berjuang sekuat
tenaga untuk bisa menyandangkan gelar Hajj
di nama Ayah dan Ibunya. Impiannya sudah di

In Between

Sutradara: Irwansyah | Penulis: Yunialarasati P
Menjadi kepala keluarga, sekaligus kakak
bagi Lola dan Teddy bukanlah pilihan Vanya.
Apalagi, Lola yang mengidap Autis membutuhkan perhatian khusus. Vanya terus berupaya
agar Lola bisa diterapi sesuai kebutuhannya.
Biaya terapi yang tidak sedikit, membuat Vanya
memaksa dirinya untuk tetap eksis di dunia
model. Namun, usaha itu dijengkal Dion yang
ingin sekali bercinta dengan Vanya. Karena
mendapat penolakan, Dion mengumbar pemberitaan miring tentang Vanya, yang membuat
karirVanya berada di ujung tanduk. Vanya
memiliki taktiknya sendiri hingga Dion
terjebak. Vanya membersihkan namanya dari
fitnah Dion dan dengan keahliannya,
menjadi model dan DJ. Vanya mampu memenuhi harapannya sendiri, memasukkan
Lola ke terapi lanjutan. Inilah yang disebut
Vanya sebuah pencapaian saat mimpi
tidak hanya dibiarkan mengendap di dasar
impian.

depan mata, saat Kinan lolos satu-per-satutest
di Maskapai Penerbangan Internasional.
Namun, berita tidak enak menyeruak ke
infotainment sejak Iko, seorang Selebritas yang
terkenal playboy berusaha mendekati Kinan.
Muncul berita pedas kalau Kinan merupakan
Pramugari simpanan Pilot. Hati Kinan terluka
saat segala daya dan upaya dikerahkan untuk
membahagiakan Ibunya, malah penolakan
yang didapat. Di tengah perasaannya yang
tercabik-cabik, Kinan menyandarkan harapannya pada kekuatan yang tersisa, menepis Iko
yang terus berusaha mendapat sedikit tempat
di hati Kinan.

September 2013 l Kinescope l 37
SPOTLIGHT

Doni Agustan

Bintang-Bintang Film
Indonesia yang berkiprah
Internasional
“Dengan menggunakan Indonesia
sebagai lokasi syuting, tentu ini
membuka kesempatan bintang-bintang
film lokal untuk terlibat dalam produksi
film luar”

38 l Kinescope l September 2013

B

elakangan kebijakan Pemerintah
Indonesia memberikan keleluasaan dan
kemudahan untuk pihak asing termasuk
industri film Hollywood untuk syuting
di Indonesia. Walaupun sejak dulu sebenarnya
sudah ada beberapa film yang menggunakan
Indonesia sebagai lokasi syuting, tetapi baru
belakangan berita seputar hal ini diekspose oleh
media. Michael Mann dan team, baru-baru ini
memilih Indonesia sebagai lokasi untuk film
terbarunya yang berjudul Cyber. Cyber yang
berisah tentang hacker ini mengambil beberapa
lokasi di Jakarta seperti Kampung Ambon dan
Lapangan Banteng. Sebelumnya, Oliver Stone
memanfaatkan pantai-pantai Bali untuk lokasi
syuting filmnya, Savages, yang dibintangi oleh
Aaron Johnson dan Blake Lively.
Dengan menggunakan Indonesia sebagai
lokasi syuting, tentu ini membuka kesempatan
bintang-bintang film lokal untuk terlibat dalam
produksi film luar tersebut. Eat Pray Love karya
Ryan Murphy yang dibintangi Julia Roberts yang
memanfaatkan Bali sebagai lokasi syutingnya,
membuka pintu karir Christine Hakim ke
Hollywood. Christine mendapatkan peran
penting dalam film ini.
Nama Christine Hakim tentu menjadi sosok
paling utama untuk kita berbicara tentang
bintang-bintang film Indonesia yang berkiprah
pada dunia film internasional. Festival Film
Cannes 2002 menjadi pembuka pamor Christine
Hakim di peta perfilman dunia. Ia menjadi orang
Indonesia pertama yang menjadi juri di salah
satu festival film tertua di dunia tersebut.
Christine Hakim menjadi juri bersama Sharon
Stone dan bintang film asal Malaysia, Michelle
Yeoh. Hubungan Christine dengan Cannes telah
dimulai sejak tahun 1998 saat film Daun di
Atas Bantal karya Garin Nugroho diputar pada
festival tersebut untuk kategori Un Certain
Regard. Film ini juga mengantarkannya meraih
popularitas di Asia karena meraih penghargaan
pemeran utama wanita terbaik pada Festival
Film Asia Pasifik 1998. Dua tahun sebelumnya,
Christine juga telah terlibat dalam sebuah film
drama produksi Jepang yang berjudul Sleeping
Man karya Kohei Oguri. Sleeping Man juga
dibintangi oleh aktor watak terkenal Jepang
saat ini, Koji Yakusho.
Selain nama Christine Hakim, jangan
lupakan Willy Dozan. Saat ini mungkin kita
hampir lupa bahwa kita punya seorang aktor
laga seperti Willy Dozan yang telah berkarir
pada salah pusat perfilman dunia yaitu Hong
Kong. Dalam kurun waktu 3 tahun, 1979-1982,
Willy yang memiliki nama lahir Chuang Cen Li,
terlibat dalam 8 film produksi Hong Kong. Filmfilm tersebut adalah Hard Way to Die (1979),
Super Power (1979), Black Belt Karate (1979),
Crystal Fist (1979), Black Jim Smashes
All (1980), A Fistful of Talons (1981), Kung Fu
from Beyond the Grave (1982) dan Kung Fu
Zombie (1982).
Yang paling baru tentu Joe Taslim dan
Iko Uwais. Dua bintang dari film The Raid
Redemption karya sutradara Garreth Evans ini,
mendapatkan kesempatan berkarir untul film
produksi Hollywood. The Raid mendapatkan
respon positif saat rilis di Amerika Serikat
membuka pintu bagi Joe dan Iko untuk
mempertinggi jam terbang mereka sebagai
aktor. Joe Taslim mendapatkan peran dalam
salah satu franchise film Hollywood, The Fast
and the Furious 6. Selama beberapa bulan,
Joe Taslim bersama bintang-bintang besar
Hollywood digembleng dalam workshop untuk
keperluan adegan action dalam film tersebut.
Film yang rilis summer 2013 lalu ini menjadi

salah satu film paling laris tahun ini. Bukan
tidak mungkin Joe Taslim akan mendapatkan
tawaran menarik selanjutnya dari Hollywood.
Man of Taichi adalah sama-sama karya
debut untuk Keanu Reeves dan Iko Uwais.
Film ini adalah debut karir Iko di Hollywood
dan debut Reeves sebagai sutradara. Selain
menyutradarai, Reeves juga tampil sebagai
pemain utama dalam film yang rilis Indonesia
pada tangga 11 Juli 2013 ini. Selain beradu
akting dengan Reeves, Iko juga dipertemukan
dengan dua mega star Hong Kong, Simon Yam
dan Karen Mok. Film yang mengambil setting
di Beijing ini mengisahkan tentang perjalanan
spiritual Tiger Chen yang adalah seorang
petarung martial arts.
Agnes Monica yang lebih dikenal sebagai
penyanyi juga telah berhasil merambah dunia
film dan televisi Asia. Agnes yang sukses
sebagai salah satu bintang televisi terpopuler
di Indonesia ini terlibat dalam beberapa
drama seri produksi televisi Taiwan yaitu The
Hospital dan Romance In the White House.
Agnes juga terlibat dalam sebuah film produksi
Singapura yang berjudul 3 Peas in a Pod yang
baru akan rilis 14 November 2013.
Bagaimana dengan bintang-bintang film
kita yang terlibat dalam Java Heat? Tentu
keberuntungan bagi Tio Pakusadewo, Atiqah
Hasiholan, Aryo Baru, Rio Dewanto, dan Mike
Muliardo bisa beradu akting dengan Kellan Lutz

dan Mickey Rourke. Tetapi sayangnya Java Heat
hanya rilis terbatas di Amerika Serikat, peluang
bintang-bintang ini untuk mendapatkan
kesempatan seperti Christine Hakim, Joe Taslim
dan Iko Uwais memang lebih kecil, tetapi
kemungkinan tersebut tentunya tetap ada.
Bagaimana kabar dengan keterlibatan
Cinta Laura dalam film The Philosopher? Kita
tunggu saja film yang rencana baru akan rilis
tahun 2014 ini.

September 2013 l Kinescope l 39
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round
Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round

More Related Content

Viewers also liked

Buletin IFL Mei-Juni'12
Buletin IFL Mei-Juni'12Buletin IFL Mei-Juni'12
Buletin IFL Mei-Juni'12ifutureleaders
 
Edisi 7 2014 Majalah Kinescope Indonesia
Edisi 7 2014 Majalah Kinescope IndonesiaEdisi 7 2014 Majalah Kinescope Indonesia
Edisi 7 2014 Majalah Kinescope IndonesiaKinescope Indonesia
 
Buletin Erzis Edisi 1
Buletin Erzis Edisi 1Buletin Erzis Edisi 1
Buletin Erzis Edisi 1rumahzis
 
Buletin Mahasiswa UMY Edisi Magang II
Buletin Mahasiswa UMY Edisi Magang IIBuletin Mahasiswa UMY Edisi Magang II
Buletin Mahasiswa UMY Edisi Magang IIYusuf Harfi
 
Majalah Info BPJS Kesehatan, Edisi 12, Tahun 2014
Majalah Info BPJS Kesehatan, Edisi 12, Tahun 2014Majalah Info BPJS Kesehatan, Edisi 12, Tahun 2014
Majalah Info BPJS Kesehatan, Edisi 12, Tahun 2014BPJS Kesehatan RI
 
BULETIN SBAL EDISI I APRIL-MEI 2011
BULETIN SBAL EDISI I APRIL-MEI 2011BULETIN SBAL EDISI I APRIL-MEI 2011
BULETIN SBAL EDISI I APRIL-MEI 2011dikulestari
 
Buletin Lingkungan Sehat Edisi III Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi III Tahun 2014 Buletin Lingkungan Sehat Edisi III Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi III Tahun 2014 Ditjen P2P
 
Buletin Lingkungan Sehat Edisi IV Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi IV Tahun 2014 Buletin Lingkungan Sehat Edisi IV Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi IV Tahun 2014 Ditjen P2P
 
Buletin Lingkungan Sehat Edisi I Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi I Tahun 2014Buletin Lingkungan Sehat Edisi I Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi I Tahun 2014Ditjen P2P
 
Buletin kampus news edisi mei 2013
Buletin kampus news edisi mei 2013Buletin kampus news edisi mei 2013
Buletin kampus news edisi mei 2013Kampusnewsdotcom
 
CONTOH BULETIN BKM LENSA SEJAHTERA
CONTOH BULETIN BKM LENSA SEJAHTERACONTOH BULETIN BKM LENSA SEJAHTERA
CONTOH BULETIN BKM LENSA SEJAHTERAanomaglo
 

Viewers also liked (14)

Buletin IFL Mei-Juni'12
Buletin IFL Mei-Juni'12Buletin IFL Mei-Juni'12
Buletin IFL Mei-Juni'12
 
Edisi 7 2014 Majalah Kinescope Indonesia
Edisi 7 2014 Majalah Kinescope IndonesiaEdisi 7 2014 Majalah Kinescope Indonesia
Edisi 7 2014 Majalah Kinescope Indonesia
 
KinescopeMagz Edisi 6
KinescopeMagz Edisi 6KinescopeMagz Edisi 6
KinescopeMagz Edisi 6
 
Buletin Erzis Edisi 1
Buletin Erzis Edisi 1Buletin Erzis Edisi 1
Buletin Erzis Edisi 1
 
Buletin seSAMa edisi 2
Buletin seSAMa edisi 2Buletin seSAMa edisi 2
Buletin seSAMa edisi 2
 
Buletin Mahasiswa UMY Edisi Magang II
Buletin Mahasiswa UMY Edisi Magang IIBuletin Mahasiswa UMY Edisi Magang II
Buletin Mahasiswa UMY Edisi Magang II
 
Majalah Info BPJS Kesehatan, Edisi 12, Tahun 2014
Majalah Info BPJS Kesehatan, Edisi 12, Tahun 2014Majalah Info BPJS Kesehatan, Edisi 12, Tahun 2014
Majalah Info BPJS Kesehatan, Edisi 12, Tahun 2014
 
BULETIN SBAL EDISI I APRIL-MEI 2011
BULETIN SBAL EDISI I APRIL-MEI 2011BULETIN SBAL EDISI I APRIL-MEI 2011
BULETIN SBAL EDISI I APRIL-MEI 2011
 
Buletin Lingkungan Sehat Edisi III Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi III Tahun 2014 Buletin Lingkungan Sehat Edisi III Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi III Tahun 2014
 
Buletin trendy
Buletin trendyBuletin trendy
Buletin trendy
 
Buletin Lingkungan Sehat Edisi IV Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi IV Tahun 2014 Buletin Lingkungan Sehat Edisi IV Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi IV Tahun 2014
 
Buletin Lingkungan Sehat Edisi I Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi I Tahun 2014Buletin Lingkungan Sehat Edisi I Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi I Tahun 2014
 
Buletin kampus news edisi mei 2013
Buletin kampus news edisi mei 2013Buletin kampus news edisi mei 2013
Buletin kampus news edisi mei 2013
 
CONTOH BULETIN BKM LENSA SEJAHTERA
CONTOH BULETIN BKM LENSA SEJAHTERACONTOH BULETIN BKM LENSA SEJAHTERA
CONTOH BULETIN BKM LENSA SEJAHTERA
 

Similar to Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round

Kinescope 1st Edition.. #Ganbatte
Kinescope 1st Edition.. #GanbatteKinescope 1st Edition.. #Ganbatte
Kinescope 1st Edition.. #GanbatteKinescope Indonesia
 
Manajemen Bisnis Media - Industri Musik dan Film Indonesia
Manajemen Bisnis Media - Industri Musik dan Film IndonesiaManajemen Bisnis Media - Industri Musik dan Film Indonesia
Manajemen Bisnis Media - Industri Musik dan Film IndonesiaRevinda Rahmania
 
Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014
Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014
Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014Kinescope Indonesia
 
makalah PEMAKNAAN NILAI religi dlm film 99 Cahaya
makalah PEMAKNAAN NILAI religi dlm film 99 Cahayamakalah PEMAKNAAN NILAI religi dlm film 99 Cahaya
makalah PEMAKNAAN NILAI religi dlm film 99 CahayaAchmad Humaidy
 
The Amazing TOS / Talents on Screen
The Amazing TOS / Talents on ScreenThe Amazing TOS / Talents on Screen
The Amazing TOS / Talents on ScreenSmtv Channel
 
Program Piala Maya 2015 (rev.25102015)
Program Piala Maya 2015 (rev.25102015)Program Piala Maya 2015 (rev.25102015)
Program Piala Maya 2015 (rev.25102015)Hafizophonic by MHF
 
Bali Emerging Writers Festival 25 - 27 May 2012
Bali Emerging Writers Festival 25 - 27 May 2012Bali Emerging Writers Festival 25 - 27 May 2012
Bali Emerging Writers Festival 25 - 27 May 2012Saylow Alrite
 
Endank soekamti movie final
Endank soekamti movie finalEndank soekamti movie final
Endank soekamti movie finalindra gunawan
 
Kofita zine obscura tasikmalaya
Kofita zine obscura tasikmalayaKofita zine obscura tasikmalaya
Kofita zine obscura tasikmalayaPanggil Saja Wandi
 
Surya epaper 11 oktober 2013
Surya epaper 11 oktober 2013Surya epaper 11 oktober 2013
Surya epaper 11 oktober 2013Portal Surya
 

Similar to Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round (20)

Kinescope 1st Edition.. #Ganbatte
Kinescope 1st Edition.. #GanbatteKinescope 1st Edition.. #Ganbatte
Kinescope 1st Edition.. #Ganbatte
 
INDIELANE MAGAZINE
INDIELANE MAGAZINEINDIELANE MAGAZINE
INDIELANE MAGAZINE
 
Manajemen Bisnis Media - Industri Musik dan Film Indonesia
Manajemen Bisnis Media - Industri Musik dan Film IndonesiaManajemen Bisnis Media - Industri Musik dan Film Indonesia
Manajemen Bisnis Media - Industri Musik dan Film Indonesia
 
Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014
Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014
Kinescope Indonesia Edisi 9, 2014
 
POTENTIA 15
POTENTIA 15POTENTIA 15
POTENTIA 15
 
Potentia edisi 15
Potentia edisi 15Potentia edisi 15
Potentia edisi 15
 
PIALA MAYA - proposal 03102015
PIALA MAYA - proposal 03102015PIALA MAYA - proposal 03102015
PIALA MAYA - proposal 03102015
 
makalah PEMAKNAAN NILAI religi dlm film 99 Cahaya
makalah PEMAKNAAN NILAI religi dlm film 99 Cahayamakalah PEMAKNAAN NILAI religi dlm film 99 Cahaya
makalah PEMAKNAAN NILAI religi dlm film 99 Cahaya
 
The Amazing TOS / Talents on Screen
The Amazing TOS / Talents on ScreenThe Amazing TOS / Talents on Screen
The Amazing TOS / Talents on Screen
 
Program Piala Maya 2015 (rev.25102015)
Program Piala Maya 2015 (rev.25102015)Program Piala Maya 2015 (rev.25102015)
Program Piala Maya 2015 (rev.25102015)
 
ProposalSponsor
ProposalSponsorProposalSponsor
ProposalSponsor
 
Profile IHIK3
Profile IHIK3Profile IHIK3
Profile IHIK3
 
Piala Maya (Program)
Piala Maya (Program)Piala Maya (Program)
Piala Maya (Program)
 
Program Piala Maya 2015
Program Piala Maya 2015Program Piala Maya 2015
Program Piala Maya 2015
 
Bali Emerging Writers Festival 25 - 27 May 2012
Bali Emerging Writers Festival 25 - 27 May 2012Bali Emerging Writers Festival 25 - 27 May 2012
Bali Emerging Writers Festival 25 - 27 May 2012
 
The Amazing TOS
The Amazing TOSThe Amazing TOS
The Amazing TOS
 
Endank soekamti movie final
Endank soekamti movie finalEndank soekamti movie final
Endank soekamti movie final
 
asasProposal word bener
asasProposal word benerasasProposal word bener
asasProposal word bener
 
Kofita zine obscura tasikmalaya
Kofita zine obscura tasikmalayaKofita zine obscura tasikmalaya
Kofita zine obscura tasikmalaya
 
Surya epaper 11 oktober 2013
Surya epaper 11 oktober 2013Surya epaper 11 oktober 2013
Surya epaper 11 oktober 2013
 

More from Kinescope Indonesia

Membangun Revolusi Mental Berbasis Inteligence, Emotional dan Spiritual Quotient
Membangun Revolusi Mental Berbasis Inteligence, Emotional dan Spiritual QuotientMembangun Revolusi Mental Berbasis Inteligence, Emotional dan Spiritual Quotient
Membangun Revolusi Mental Berbasis Inteligence, Emotional dan Spiritual QuotientKinescope Indonesia
 
Peran Budaya Kerja Syariah Dalam Membangun Kinerja
Peran Budaya Kerja Syariah Dalam Membangun KinerjaPeran Budaya Kerja Syariah Dalam Membangun Kinerja
Peran Budaya Kerja Syariah Dalam Membangun KinerjaKinescope Indonesia
 
Edisi 8 Majalah Kinescope Indonesia
Edisi 8 Majalah Kinescope IndonesiaEdisi 8 Majalah Kinescope Indonesia
Edisi 8 Majalah Kinescope IndonesiaKinescope Indonesia
 

More from Kinescope Indonesia (6)

Membangun Revolusi Mental Berbasis Inteligence, Emotional dan Spiritual Quotient
Membangun Revolusi Mental Berbasis Inteligence, Emotional dan Spiritual QuotientMembangun Revolusi Mental Berbasis Inteligence, Emotional dan Spiritual Quotient
Membangun Revolusi Mental Berbasis Inteligence, Emotional dan Spiritual Quotient
 
Hr cost reduction strategy
Hr cost reduction strategyHr cost reduction strategy
Hr cost reduction strategy
 
Peran Budaya Kerja Syariah Dalam Membangun Kinerja
Peran Budaya Kerja Syariah Dalam Membangun KinerjaPeran Budaya Kerja Syariah Dalam Membangun Kinerja
Peran Budaya Kerja Syariah Dalam Membangun Kinerja
 
Effective Interview
Effective InterviewEffective Interview
Effective Interview
 
Corporate & Anti-fraud Culture
Corporate & Anti-fraud CultureCorporate & Anti-fraud Culture
Corporate & Anti-fraud Culture
 
Edisi 8 Majalah Kinescope Indonesia
Edisi 8 Majalah Kinescope IndonesiaEdisi 8 Majalah Kinescope Indonesia
Edisi 8 Majalah Kinescope Indonesia
 

Produksi:Sutradara:Penulis Skenario:Pemeran Utama:Film ini menceritakan tentang kehidupan seorangpecandu narkoba bernama Dewo (Guiliano MathinoLio) dan adiknya Tasya (Tya Arifin) yang juga terjerumusdalam dunia narkoba. Kisah ini menggambarkanbagaimana dampak dari kecanduan narkoba terhadapsebuah keluarga.Nanang IstiabudiPT. Merry Go Round

  • 1. F F li m m - S e n i & & E E d u k a is i i l - S e n i d u k a s F F F i li l mmm - - S S e e n n i i & & & E E E d d u u k k a a s is i i i l - S e n i d u k a s FREE MAGAZINE - EDISI 2 - SEPTEMBER 2013 2013 FREE MAGAZINE - EDISI 2 - SEPTEMBER FREE MAGAZINE - EDISI 2 -2 -2 - SEPTEMBER 2013 FREE MAGAZINE - EDISI SEPTEMBER 2013 FREE MAGAZINE - EDISI SEPTEMBER 2013 MUSIC REPORT MUSIC REPORT MUSIC REPORT MUSIC REPORT MUSIC REPORT LIPUTAN LIPUTAN LIPUTAN LIPUTAN LIPUTAN IMPAS IMPAS IMPAS IMPAS IMPAS INDONESIAN INDONESIAN INDONESIAN INDONESIAN INDONESIAN MOTION MOTION MOTION MOTION MOTION PICTURE PICTURE PICTURE PICTURE PICTURE ASSOCIATION ASSOCIATION ASSOCIATION ASSOCIATION ASSOCIATION MANCANEGARA MANCANEGARA MANCANEGARA MANCANEGARA MANCANEGARA VENICE FILM FESTIVAL VENICE FILM FESTIVAL VENICE FILM FESTIVAL VENICE FILM FESTIVAL VENICE FILM FESTIVAL KOMUNITAS KOMUNITAS KOMUNITAS KOMUNITAS KOMUNITAS Rudi Soedjarwo Rudi Soedjarwo Rudi Soedjarwo Rudi Soedjarwo Rudi Soedjarwo INTERVIEW INTERVIEW interview INTERVIEW INTERVIEW INTERVIEW September 2013 l Kinescope l 1
  • 2. 2 l Kinescope l September 2013
  • 3. September 2013 l Kinescope l 3
  • 4. Daftar isi Cover Story 70 Metallica 10 ARKIPEL International Documentary & Experimental Film Festival 2013 REVIEW 74 16 CINTA/MATI Rom-Com ‘Bunuh Diri’ 18 The CONJURING Kengerian Exorcism yang Repetitif Kinescope Launching 40 Denok & Gareng FESTIVAL 20 Venice Film Festival The Venice Film Festival atau Venice International Film Festival adalah festival film internasional tertua di dunia. 34 Opini Publik 23.59 Sebelum Mati 28 Film Bagus? Ini Cara Menentukannya “Sebuah bencana bagi struktur kebudayaan sebuah masyarakat dan peradaban ketika para produser dan pembuat film hanya memikirkan dan mementingkan orientasi profit saja dari karya filmnya.” 30 Wahai Para Kritikus Film “Mengapa para penikmat film tak membaca tulisan kritikus film karena para kritikus ini kekurangan humor, asyik sendiri menelaah dengan katakata yang membuat pembacanya harus selalu sedia kamus bahasa Indonesia.” 32 Apa Itu Sebenarnya Bintang Film? Begitu charming dan berpengaruhnya seorang aktor atau BINTANG FILM, hingga bisa membatalkan sebuah produksi film, jika dia menolak untuk terlibat. On Location 36 Wanita tetap wanita Wanita Tetap Wanita merupakan tanda cinta bagi seluruh perempuan Indonesia. Disutradarai oleh 4 orang sutradara muda Indonesia, Irwansyah, Teuku Wisnu, Didi Riyadi dan Reza Rahadian. 4 l Kinescope l September 2013 SPOTLIGHT 38 Bintang-Bintang Film Indonesia yang berkiprah Internasional “Dengan menggunakan Indonesia sebagai lokasi syuting, tentu ini membuka kesempatan bintangbintang film lokal untuk terlibat dalam produksi film luar”sutradara dan juga ­ enyanyi. p SEJARAH 44 Kisah Seniman Peranakan, Si Item Tan Tjeng Bok Kita mungkin sudah lupa dengan seorang seniman besar peranakan Tionghoa yang begitu terkenal di dunia perfilman Indonesia selama tiga dekade, terutama di era tahun 70-an. liputan 48 DRUPADI PANDAVA DIVA “Ini merupakan kerumitan tersendiri” 50 MUSLIHAT OK .VIDEO Pameran 91 Karya Video dan Seni Media yang Mengakali Teknologi 50 IMPAS Para pekerja perfilman Indonesia dari berbagai profesi TEATER 66 Teater Miss TijTjih Yang Megah Yang Tergerus Zaman tokoh dunia 56 Roger Ebert Pada tanggal 4 April 2013, perfilman dunia kehilangan salah satu sosok kritikus terbaiknya. Roger Joseph Ebert meninggal dunia pada usia 70 tahun dan mengakhiri perjuangannya selama 11 tahun enghadapi cancer. teknologi 58 Mengenal IMax INTERVIEW 66 Rudi Soedjarwo Sebuah pagelaran festival musik rock. KOMUNITAS 70 Forum Lenteng Saat ini Forum Lenteng adalah satu dari sekian komunitas yang berkomitmen dan berdedikasi tinggi mengamati, mengembangkan dan mengkaji isu-isu sosial dan budaya masyarakat.v
  • 6. f i l m , s e n i & Salam Redaksi e d u k a s i Penasehat Redaksi Farid Gaban Wanda Hamidah Andibachtiar Yusuf Biem T Benjamin Pemimpin Umum Hasreiza Pemimpin redaksi Reiza Patters Redaktur Pelaksana Muhammad Adrai Redaktur Doni Agustan Sekretaris Faisal Fadhly Kontributor Shandy Gasella Deddy Setyadi Ahmad Hasan Yuniardi Desain Grafis & Tata Letak al Fian adha Artistik & Editor Foto Rizaldi Fakhruddin Fotografer Hery Yohans Arista Kusumastuti Penjualan & Pemasaran Ollivia Selagusta pengembangan & komunitas Jusuf Alin Lubis Distribusi & Sirkulasi Faisal Fadhly subScriptions Gedung Graha Utama Jl. Raya Pasar Minggu KM 17 No. 21 Jakarta Selatan “Kendala terbesar adalah konsistensi. Konsistensi untuk berjuang bersama dan terus menerus melakukan evaluasi dan introspeksi.” P eluncuran secara resmi edisi perdana Kinescope telah berjalan dengan cukup sukses. Keriuhan dan kemeriahan pada saat acara mewarnai acara peluncuran tersebut. Dengan hadirnya banyak orang dari berbagai kalangan, sahabat, handai taulan, cukup menjadi pelecut semangat agar Kinescope bisa terus bergerak sebagai tanda keberadaan akan visi dan tujuan yang mulia. Bergerak dan bisa ditemui dengan mudah oleh publik agar pesan dan misi yang ada betul-betul bisa membumi. Namun kami menyadari bahwa semangat saja tidaklah cukup. Diperlukan usaha yang keras dan doa yang tiada berputus, agar Kinescope bisa terus menerus menyapa pembaca, menyentuh para penikmat seni, menegur para praktisi seni dan pengambil kebijakan agar pola peradaban bangsa bisa terus menerus diperbaiki hingga mencapai taraf relevansi yang sesuai dengan situasi dan perkembangan zaman. Untuk itu, kendala terbesar adalah konsistensi. Konsistensi untuk berjuang bersama dan terus menerus melakukan evaluasi dan introspeksi. Integritas sudah bukan persoalan bagi Kinescope, karena ini sudah menjadi komitmen awal yang kuat. Akuntabilitas pun begitu, karena sistem kepemilikan bersama yang menjadi tonggak kebersamaan. Konsistensilah yang masih harus teruji di dalam kebersamaan itu. Ujian konsistensi tersebut akan ada terus sepanjang Kinescope masih mampu bertahan. Dan itu perjuangan. Untuk itu, dukungan semua pihak agar gagasan dan visi besar ini bisa terus bergulir dan terwadahi di dalam Kinescope, sangat dibutuhkan. Mulai dari dukungan semua individu yang ada di dalam wadah ini sebagai sebuah tim yang solid, hingga dukungan dari pihakpihak di luar sana yang memiliki visi yang sama serta mengamini gagasan besar yang kami coba bangun dan dibumikan. Doakan kami agar mampu menjaga konsistensi perjuangan, mampu terus menerus memperbaiki diri dan usaha-usaha membumikan gagasan besar ini, untuk dunia sinema dan seni Indonesia yang lebih baik. Salam! Cover Story International Documentary & Experimental Film Festival ARKIPEL | Pertama diluncurkan www.kinescopeindonesia.com info@kinescopeindonesia.com iklan@kinescopeindonesia.com redaksi@kinescopeindonesia.com langganan@kinescopeindonesia.com @KinescopeMagz 6 l Kinescope l September 2013 di Jakarta. Secara resmi, ARKIPEL Documentary & Experimental Film Festival dibuka pada 24 Agustus 2013 di GoetheHaus, menteng Jakarta, dengan pemutaran empat film yang diikutkan dalam kompetisi, yaitu Climax (Shinkan Tamaki – Jepang), Les fantones de l’escarlate (Julie Nguyen Van Qui – Perancis), Momentum (Boris Seewald – Jerman) dan Hermeneutics (Alexei Dmitriev – Russia).
  • 7. September 2013 l Kinescope l 7
  • 8. ON PRODUCTIONS Produser Iwan Tjokro Saputro Roy A Steven Sutradara Dwi Ilalang Penulis Robert Ronny Maruska Bath Dwi Ilalang Pemeran RoziHerdian Gita Sinaga Arick Pramana Daniel ED Rombot Irwan Gardiawan Baron Hermanto Gevangenis K isah cinta Herlam (Rozi Herdian) dan Anita (Gita Sinaga) yang terpisah selama 10 tahun karena herlam harus masuk penjara demi membela cintanya. Tak banyak yang tahu kalau dalam waktu dekat, sebuah film Indonesia berjudul “Gevangenis” akan segera tayang di layar lebar. Film yang disutradarai oleh Dwi Ilalang dan dibintangi oleh Rozi Herdian, Gita Sinaga, Arick Pramana, Daniel ED Rombot, Irwan Gardiawan, serta Baron Hermanto ini bahkan sudah merilis trailer mereka. Ada dua trailer yang bisa Criters tonton di bawah ini; Pre-Trailer yang sudah ditonton oleh 55 ribu orang, dan trailer yang baru rilis 17 Oktober lalu. Hingga berita ini diturunkan, trailer penuh film tersebut telah disaksikan oleh 11,749 orang penonton. “Gevangenis” yang berarti ‘Penjara’ dalam bahasa Belanda bercerita tentang kisah cinta Herlam (Rozi Herdian) dan Anita (Gita Sinaga) yang terpisah selama 10 tahun karena herlam harus masuk penjara demi membela cintanya. Film produksi Humalang ini menawarkan nuansa yang berbeda dari film-film Indonesia pada umumnya. Film yang naskahnya ditulis oleh Robert Ronny, Maruska Bath, dan Dwi Ilalang ini tak hanya akan menampilkan kisah drama dan action, tapi juga cerita kelam dibalik jeruji penjara dan serbaserbi kehidupan seorang narapidana. Belum ada tanggal pasti mengenai kapan film ini akan rilis. Kalau criters penasaran, bisa langsung follow akun twitter mereka di @GevangenisMovie untuk informasi lebih lanjut. Merry Go Round D ewo menjadi pecandu sejak kuliah. Akibat terjerat dalam dunia hitam itu, Dewo dikeluarkan dari kampusnya di luar negeri. Tasya, adik Dewo juga jadi korban. Orangtua mereka hanya bisa menutupnutupi sejarah hitam anak-anaknya agar tidak dianggap gagal dalam mendidik anak. Tasya mulai frustasi dengan sikap orangtuanya. Apalagi ia pernah ditukar dengan sepaket narkoba oleh Dewo. Beruntung siswi SMA ini masih bisa diselamatkan Andika, teman SMA Tasya. Cinta antara Tasya dan Andika tidak dapat terlaksana karena kehancuran keluarga Tasya. Tasya pun bolak-balik masuk rehab. Akhirnya ia menikah dengan Rama yang ternyata juga pecandu. Dewo juga belum pulih. Semua kejadian ini membuat mereka bisa membaca tipuan dan gejala sakit psikis dan psikologis para pecandu. Produser Nanang Istiabudi Pemeran Tya Arifin, Guiliano Mathino Lio, Dwi AP, Reza ‘The Groove’, Poppy Sovia, Bucek Depp, Ray Sahetapy, Dewi Irawan Ditunggu! A Something in the Way Produser Teddy Soeriaatmadja, Indra TamoronMusu Sutradara Teddy Soeriaatmadja, Penulis Teddy Soeriaatmadja, Pemeran RezaRahadian Ratu FelishaRenatya VerdiSolaiman Yayu AW Unru Daniel Rudi Haryanto 8 l Kinescope l September 2013 hmad (Reza Rahadian) adalah seorang supir taksi di Jakarta. Dia kecanduan bacaan maupun video seks, namun tak bisa melampiaskan keinginannya karena tak mampu. Yang bisa dilakukan adalah menikmati sendirian di depan televisi, atau lewat masturbasi diam-diam dalam taksinya. Setiap malam, ia sering mendengar komentar rekan-rekannya sesama supir taksi tentang pelacur atau istri mereka. Siangnya, ia rajin mengunjungi masjid, di mana ia belajar tentang pentingnya kesucian, moral, dan Al-Quran. Sepercik harapan tumbuh ketika Ahmad jatuh cinta dengan tetangganya, Kinar (Ratu Felisha), seorang pekerja seks komersial dan menjadi pengantarnya ke tempat kerja. Hubungan mereka sayangnya terhambat oleh mucikari Kinar. Konflik antara seks sebagai produk dan tekanan moral agama membingungkan Ahmad, yang hanya ingin membebaskan Kinar dan dirinya dari hidup penuh moda. Film ini diputar perdana di Berlinale (Berlin International Film Festival) 2013 dalam program Panorama.
  • 9. Film Schedule September 2013 Film Indonesia September Rumah Angker Pondok Indah Sejak terjadi pembunuhan sekeluarga di rumah yang kemudian terkenal sebagai Rumah Angker Pondok Indah, setiap penghuni baru yang menempati rumah itu selalu diteror oleh arwah/hantu yang menempati rumah itu. Beberapa tahun kemudian, sebuah keluarga baru menempati rumah itu. Kejadian yang sama terulang kembali. 1. umah Angker Pondok Indah R Tayang 12 September 2013 2. anita Tetap Wanita W Tayang 12 September 2013 3. Kemasukan Setan Tayang 19 September 2013 4. alam Seribu Bulan M Tayang 19 September 2013 5. Cahaya Kecil Tayang 26 September 2013 6. Pantai Selatan Tayang 26 September 2013 7. ir Mata Terakhir Bunda A Tayang 3 Oktober 2013 Wanita Tetap Wanita Wanita Tetap Wanita dibagi dalam 5 plot cerita yang memiliki 1 benang merah,bahwa Perempuan adalah superwomen jika ditelisik melalui berbagai sisi, bukan hanya lewat sisi simpati. Terdapat 5 judul cerita, yaitu “Cupcakes”, “With or Without”, “First Crush”, “Reach The Star”, dan “In Between.” Malam Seribu Bulan Ujang dan Pujono terjerumus ke dunia hitam demi meningkatkan taraf hidup mereka. Pertemuan Ujang dan Pujono berawal ketika sama-sama dibekuk warga atas tindakan kejahatan yang mereka lakukan. Ujang kepergok saat menghipnotis orang, sedangkan Pujono ditangkap saat tertangkap basah sedang menjambret. September 2013 l Kinescope l 9
  • 10. COVER STORY ARKIPEL Award: Old Cinema, Bologna Melodrama (2011) Davide Rizzo (Italia) ARKIPEL, International Documentary & Experimental Film Festival secara resmi dibuka pada 24 Agustus 2013 di GoetheHaus, Menteng, Jakarta. Festival dibuka dengan pemutaran empat film yang diikutkan dalam kompetisi, yaitu Climax (Shinkan Tamaki – Jepang), Les fantones de l’escarlate (Julie Nguyen Van Qui – Perancis), Momentum (Boris Seewald – Jerman) dan Hermeneutics (Alexei Dmitriev – Russia). Festival yang digelar untuk pertama kalinya ini, diselenggarakan oleh Forum Lenteng. Acara pembukaan diawali dengan pemutaran film kuratorial, yaitu Authorship in Documentary Film dan pemutaran khusus film Forgotten Tenor di Kineforum, Taman Ismail Marzuki pada pukul 13.00 dan 15.00. 10 l Kinescope l September 2013 ARKIPEL Award diberikan kepada filem yang bereksperimentasi dengan kompleksitas tematik dan bereksplorasi dengan estetika yang menghasilkan pertanyaan mendalam, serta berpotensi terhadap dampak sosial. Filem Old Cinema, Bologna Melodrama menelusuri jejak-jejak historis sinema sembari mengungkap kehidupan sosial budaya yang diwarnai oleh benturan politik, jender, kelas, dan ras. Filem ini merefleksikan kenangan juga sebagai kenyataan hari ini berkaitan dengan sinema Italia. Filem ini juga merekam dan merekonstruksi ingatan warga tentang kota dan sejarah bioskop untuk melihat kembali sejarah politik sebuah negara. Filem ini berbicara tentang sinema populer dalam konteks global. Kota Bologna, merepresentasikan dominasi global filem-filem Amerika, dengan membebaskan suara-suara lokal merespon dan bernegosiasi dengan hegemoni budaya. Filem ini tidak perlu mengambil footage Italia tahun 40-an untuk menggambarkan suasana perang, melainkan hanya dengan menampilkan gedung bioskop yang terbengkalai. Cara ini menghasilkan gambar yang nostalgi tentang budaya sinema di Italia pada masa lalu dan, sekaligus juga menawarkan pandangan kritis terhadap masyarakat baik di masa lalu dan sekarang, dengan menggunakan idiom-idiom budaya populer. http://arkipel.org/old-cinema-bolognamelodrama/
  • 11. erhelatan festival ini secara keseluruhan berlangsung selama enam hari, dari tanggal 24 Agustus sampai dengan 30 Agustus 2013, di lima tempat di Jakarta, yaitu GoetheHaus, Kineforum, Teater Studio (Teter Jakarta – TIM), Sinematek Indonesia dan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail. Total, ada 75 buah film dokumenter dan eksperimental dari 29 negara yang diputar. Semua pemutaran film tersebut gratis dan terbuka untuk umum. Pihak penyelenggara festival ini, Forum Lenteng, mengaku bahwa mereka menggagas ARKIPEL ini sebagai refleksi atas fenomena global dalam konteks sosial, politik, ekonomi dan budaya melalui sinema. “Gagasan festival ini adalah menyuarakan bagaimana pesoalanpersoalan kebudayaan dapat dibaca dalam kurun waktu tertentu. Idealnya, festival film dapat menjadi event yang akan menghadirkan capaian puncak sutradara-sutradara dari berbagai kalangan, baik secara estetika dan kontennya,” jelas Hafiz Rancajale selaku Direktur Artistik festival ini. Festival Arkipel ini memang dirancang agar sejalan dengan visi-misi Forum Lenteng sejak perintisannya tahun 2003, yaitu menjadikan pengetahuan media dan kebudayaan bagi masyarakat untuk hidup yang lebih baik, terbangunnya kesadaran bermedia, munculnya inisiatif, produksi pengetahuan dan terdistribusikannya pengetahuan tersebut secara luas. Nama ARKIPEL sendiri diambil dari kata archipelago yang merujuk pada istilah bahasa Indonesia, ‘nusantara’ yang muncul sejak awal abad ke-16. Nusantara yang merupakan gugusan ribuan pulau ini menyimpan sejarah panjang tentang globalisasi baik secara politik, budaya dan ekonomi. Lebih dari 500 tahun lalu, wilayah ini menjadi tujuan utama bagi para penjelajah Barat untuk menemukan wilayah-wilayah baru untuk dikuasai atau sebagai rekanan dunia dagang. Selain bangsa Eropa, bangsa Timur (Cina, Arab dan India) telah menjadikan kawasan Nusantara ini sebagai tujuan penjelajahan dalam misi-misi dagang mereka seperti rempah-rempah dan sutra. FORUM LENTENG Award: Les Fantômes de L’escarlate (The Ghosts and The Escarlate) (2012) Julie Nguyen van Qui (Prancis) Forum Lenteng Award adalah penghargaan untuk filem terbaik di dalam festival filem ARKIPEL tahun ini berdasarkan polllng pilihan kawan-kawan Forum Lenteng, juri, dan kurator selama festival berjalan. Tidak ada batasan tahun produksi filem. Forum Lenteng Award is given to the best filem screened during the ARKIPEL film festival, based on the polling of Forum Lenteng members, the juries, and curators. No year of production restriction. http://arkipel.org/the-ghosts-and-the-escarlate/ foto : Agung Natanael (Abe) - ARKIPEL ©2013 - Andrie Sasono (Andre) - ARKIPEL ©2013 P “Gagasan festival ini adalah menyuarakan bagaimana pesoalan-persoalan kebudayaan dapat dibaca dalam kurun waktu tertentu.” - Hafiz Rancajale - September 2013 l Kinescope l 11
  • 12. Dalam festival ARKIPEL ini, diharapkan terjadi proses “penjelajahan”. Penjelajahan yang diharapkan terjadi selama ARKIPEL adalah penjelajahan gagasan sinematik. “Film dokumenter yang dimaksud Forum Lenteng adalah film dokumenter yang merujuk pada bahasa film yang berlaku pada tradisi sinema, bukan film dokumenter televisi. Dalam tradisi sinema, film dokumenter juga dapat menghadirkan drama, konflik, imajinasi dan ruang kritik bagi penonton. Hal ini tentu berkaitan dengan bagaimana eksperimentasi bahasa sinema yang dilakukan oleh sutradara dalam mengemas kenyataan,” tutur Hafiz. Hafiz menambahkan bahwa film eksperimental yang dimaksud Forum Lenteng adalah bagaimana eksperimentasi medium dan konten dalam film menghadirkan kebaruan secara estetika. Hal ini merujuk pada sejarah sinema avant-garde dalam sejarah sinema dunia. “Eksperimentasi di sini, bukan hanya dalam konteks filmnya saja, namun juga 12 l Kinescope l September 2013 bagaimana film digunakan dalam tindakan yang mengaktivasi persoalan-persoalan sosial di ranah publik,” jelasnya. Yuki Aditya, Direktur Festival, mengharapkan ARKIPEL bisa menjadi titik temu antara khalayak dan film-film yang tak biasa ditemukan khalayak. “Niat kami membuat festival selain untuk mencari ‘suara-suara’ baru berbakat dalam membuat film dan bereksperimentasi dengan mediumnya, juga sebagai ruang diskusi yang lebih luas,” jelasnya pada Kinescope saat ditemui di Sekretariat Forum Lenteng, Lenteng Agung, Jakarta. Dia menjelaskan bahwa luas dalam hal ini adalah menyebarluaskan pengetahuan tentang film dokumenter dan eksperimental ke khalayak, dan juga eksposur terhadap film-film yang selama ini belum banyak diketahui banyak orang. “Dengan kata lain, menyediakan alternatif tontonan dan menyediakan ruang diskusi alternatif untuk orang-orang yang suka menonton film,”jelasnya. Jury Award: Suitcase of Love and Shame (2013) Jane Gilooly (Amerika Serikat) Jury Award adalah penghargaan kepada filem yang mendapatkan perhatian dan penilaian khusus dari juri. Filem Suitcase of Love and Shame melebarkan konsep voyeurism dengan menempatkan kita (penonton) sebagai penguping, serta menghadapkan penonton kepada situasi yang tidak nyaman atas akses kehidupan privat para tokohnya. Bertaut pada wilayah privat, filem ini bicara tentang politik jender 60-an (di Amerika Serikat), dan mengungkap tegangan antara seksualitas dan moralitas. Suitcase of Love and Shame memunculkan teks baru dari jukstaposisi imaji dan audio dalam struktur dramatik yang rapi. Filem ini mengolah memori, visual dan suara, secara lintas media. Dalam sejarah sinema, aspek suara seringkali dianggap merusak struktur visual. Namun filem ini berada dalam wilayah sinema yang berkontribusi terhadap perspektif baru tentang estitika suara dalam filem. Visual menjadi metafor dari tabu, represi seksualitas, dan sensor diri dalam hubungannya dengan nilai-nilai dominan masyarakat. Teks yang menempel pada obyekobyek menjadi unsur naratif di filem ini. Filem ini kaya akan unsur estetik, kesempurnaan teknisnya tak terelakkan.
  • 13. Atas niat dan gagasan ini, kerangka festival perlahan diarsir dan diwujudkan. Pendaftaran karya dari beragam penjuru dunia, yang kemudian diseleksi kawan-kawan Forum Lenteng untuk masuk seksi International Competition. Beriringan dengan proses seleksi film, sejumlah program kuratorial mulai disiapkan oleh para kurator. Total ada 22 film, baik film nasional maupun internasional, klasik maupun kontemporer, yang akan diputar dan didedah dalam sepuluh program kuratorial. Masingmasing membahas film-film dalam suatu kerangka pembacaan sosial, politik, budaya, sejarah maupun estetika sinema. Harapannya, pembacaan ini bisa menjadi pemantik diskusi tersendiri baik di kalangan penonton maupun pembuat film. Forum Lenteng turut menyiapkan forumforum diskusi untuk membahas isu-isu terkini dalam perfilman nasional. Setelah berdiskusi panjang, disepakati tiga topik yang dirasa penting dan mendesak untuk diangkat: aktivisme, pengarsipan dan kritisisme film. Diskusi tentang aktivisme menghadirkan dua pegiat film senior, Bowo Leksono (Festival Film Purbalingga) dan Abduh Aziz (Koalisi Seni Indonesia), dengan Forum Lenteng sebagai moderator. Perihal pengarsipan film, Forum Lenteng mengajak Intan Paramaditha, penulis dan peneliti, dan Andhy Pulung, penyunting film, untuk berbagi pendapat dengan kawan-kawan dari Sahabat Sinematek sebagai moderator. Kritisisme film akan dikupas oleh Hikmat Darmawan, pemerhati film dan komik serta Riri Riza, sutradara film. Kerjasama dengan pihak-pihak bervisi-misi serupa pun dijalin, seperti Bangkok Experimental Film Festival, yang akan mempresentasikan kompilasi film pendek Acts of Memory dan film dokumenter An Escalator in World Order karya Kim KyungMan (2011). Kemudian Images Festival dari Toronto, Kanada, yang membawa kompilasi video Ways of Seeing dan film dokumenter River and My Father karya Luo Li (2010). Ada pula DocNet Southeast Asia dab In-Docs yang akan mengadakan diskusi meja bundar, mengundang pihak-pihak kunci dalam perkembangan film dokumenter di Indonesia, untuk membahas pendanaan dan distribusi dokumenter kreatif di GoetheHaus, Jakarta. Dalam kegiatan ARKIPEL ini, mereka juga mengadakan tiga pemutaran film khusus, salah satunya adalah pemutaran perdana dokumenter terbaru Forum Lenteng, Elesan deq a Tutuq (Jejak yang Tidak Berhenti), yang disutradarai Syaiful Anwar, Gelar Agryano Soemantri dan Muhammad Sibawaihi. Ini adalah film mini yang bercerita tentang pergaulan sosial masyarakat Sasak di Desa Pemenang, Lombok, saat menghadapi budaya baru yang dibawa wisatawan-wisatawan asing beberapa tahun belakangan. Ada pula Parts of a Family karya Diego Gutiérrez (2012) yang telah memenangkan penghargaan di Festival Film Dokumenter Thessaloniki – Yunani tahun ini dan Forgotten Tenor karya Abraham Ravett, dua film yang didukung langsung oleh pembuatnya untuk diputar secara khusus di ARKIPEL. Peransi Award: (Polazište za cekanje) The Waiting Point (2013) Maša Drndic (Kroasia) Peransi Award adalah penghargaan untuk sebuah karya yang muncul secara menonjol oleh sutradara yang namanya belum begitu dikenal namun berkontribusi dalam festival ini dengan ide yang segar dan memprovokasi persoalan kepublikan dalam film dokumenter dan eksperimental. The Waiting Point adalah sebuah film yang berbicara tentang identitas, terkait dengan perubahan-perubahan yang terjadi di tengah persiapan masukanya Kroasia ke dalam Uni Eropa. Gaya bertutur film disampaikan dengan puitis dan tidak bertele-tele. Film ini bereksperimentasi dengan teknik voyeurism atau mengamati (memata-matai), yang merupakan pengembangan dari cinema verite. Pilihan sutradara menggunakan teknik pewarnaan hitam-putih, secara mengejutkan mampu mendekatkan penonton pada kenyataan sehari-hari yang berwarna. Melalui karya-karyanya, D.A. Peransi seperti menganjurkan bahwa sebuah karya untuk selalu memiliki hubungan-hubungan sosial, politik, budaya, dengan publik. Dalam The Waiting Point, kamera hadir untuk mendiskusikan kembali keputusan-keputusan negara dan korporasi terhadap rakyat. http://arkipel.org/the-waiting-point/ Pada tanggal 15 Juli 2013, proses seleksi film mencapai kata sepakat. Forum Lenteng mengumumkan 37 film dari 19 negara sebagai peserta International Competition. Tiga diantaranya film Indonesia: Perampok Ulung (Marjito Iskandar Tri Gunawan), Canggung (Tunggul Banjarsari) dan The Flaneurs #3 (Aryo Danusiri). September 2013 l Kinescope l 13
  • 14. PREVIEW CAHAYA KECIL Kemasukan Setan E ddy mempunyai hobi cukup aneh: mencari setan dan ingin bertemu dengan setan. Eddy selalu berfikir secara logis dan tidak percaya sekadar omongan. Semua harus dengan bukti nyata. Hampir dua tahun usahanya mencari bukti tentang keberadaan setan selalu menuai hasil nihil. Suatu hari Eddy merasa jenuh. Akhirnya dia memilih jalan ekstrem untuk bisa berkomunikasi dengan mahluk “gaib”. Produser M Zainudin Sutradara Muhammad Yusuf Penulis Muhammad Yusuf Pemeran Aldi Taher Vivi Sofia Yofani Farah DibaYofani G ilang Krishna (Petra Sihombing) tidak melanjutkan kuliah musiknya di Amerika karena ayahnya, Arya Krisna, (Andy /rif) masuk penjara akibat narkoba. Gilang marah pada ayahnya yang begitu ia cintai dan kagumi. Abraham (Verdi Solaiman), mantan manajer Arya, mengajak Gilang terjun ke dunia musik. Ia memanfaatkan momen kesedihan itu, mendramatisirnya dan menjualnya. Gilang tampil tanpa nama belakang Krisna. Sukses, Ia juga pacaran dengan Saskia (Taskya Namya), model. Arya keluar dari penjara. Gilang tak mau menerima ayahnya. Hubungan ayah-anak ini jadi sorotan media. Sikap gilang nyaris menjatuhkan namanya. Gilang berbalik sikap. Di depan umum ia jadi anak yang baik, tapi di belakang ia tetap belum bisa memaafkan ayahnya. Gilang bersikap demikian demi popularitas, Arya demi dekat anaknya. Sebuah lagu, Cahaya Kecil, mempertemukan cinta ayah-anak itu. MALAM SERIBU BULAN D ua orang pemuda bernama Ujang dan Pujono terjerumus ke dunia hitam demi meningkatkan taraf hidup mereka. Pertemuan Ujang dan Pujono berawal ketika sama-sama dibekuk warga atas tindakan kejahatan yang mereka lakukan. Ujang kepergok saat menghipnotis orang, sedangkan Pujono ditangkap saat tertangkap basah sedang menjambret. Mereka lalu sadar dan berjanji untuk memulai hidup baru di luar Jakarta. Untuk mengumpulkan modal usaha, Ujang dan Pujono tetap melakukan yang tidak halal meski berjanji akan mengembalikan hasilnya jika sudah sukses nanti. Di luar dugaan, warga desa yang mereka singgahi dipenuhi dengan orang-orang baik. Mereka berfikir ulang untuk melakukan kejahatan disana. 14 l Kinescope l September 2013 Produser AB Iwan Azis Sutradara Wibi Aregawa Pemeran Tora Sudiro Kawakibi Mutaqien Oka Soemantaredja Dhea Imut
  • 15. AIR MATA TERAKHIR BUNDA S ebuah kisah keluarga korban lumpur Lapindo, Sidoarjo. Seluruh hidup Delta Santoso (Ilman Lazulva, Vino G Bastian) diabadikan untuk berterimakasih pada ibundanya, Sriyani (Happy Salma), apapun situasi dan konflik hidup yang ia hadapi. Bencana yang menghampiri Sriyani bukan hanya lumpur Lapindo, tapi juga suami yang melarikan diri ke wanita lain tanpa mem- beri kejelasan status. Akibatnya, kemiskinan membuat Sriyani harus memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan membiayai sekolah kedua anaknya, Delta dan Iqbal (Reza Farhan Bariqi, Rizky Hanggono). Ia menjadi buruh cuci setrika sambil berjualan lontong kupang, yang ia jajakan sendiri dengan sepeda tuanya RUMAH ANGKER PONDOK INDAH Produser Erna Pelita Sutradara  Endri Pelita Penulis Endri Pelita Danial Rifk Kirana Kejora Pemeran Happy Salma Vino G Bastian Rizky Hanggono Ilman Lazulva Reza Farhan Bariqi S MANUSIA SETENGAH SALMON K etika ibunya (Dewi Irawan) memutuskan pindah dari rumah masa kecil, Dika (Raditya Dika), penulis, justru berusaha pindah dari halhal yang selama ini susah dilepaskan: cintanya dengan Jessica (Eriska Rein) hingga hubungannya dengan bapaknya (Bucek). Dika membantu mencari rumah baru. Rumah yang mereka kunjungi ternyata tidak ada yang cocok. Akhirnya Dika menemukan sebuah rumah, yang menurut ibunya sempurna. Bersamaan dengan itu, Dika bertemu dengan Patricia (Kimberly Ryder) nan cantik. Pendekatan dimulai. Ketika sudah pindah ternyata Dika tidak menyukai rumah barunya. Kenangan akan rumah lama masih membekas. Sementara itu, hubungan Dika dengan Patricia juga terganggu, karena Jessica masih membayang-bayangi. Dika pada akhirnya menyadari bahwa perjalanannya untuk pindah rumah, juga merupakan perjalanan berpindah dari hal-hal yang selama ini menahannya menuju kedewasaan. ejak terjadi pembunuhan sekeluarga di rumah yang kemudian terkenal sebagai Rumah Angker Pondok Indah, setiap penghuni baru yang menempati rumah itu selalu diteror oleh arwah/hantu yang menempati rumah itu. Beberapa tahun kemudian, sebuah keluarga baru menempati rumah itu. Kejadian yang sama terulang kembali. Produser Chand Parwez Servia Fiaz Servia Sutradara Herdanius Larobu Penulis Raditya Dika Pemeran Raditya Dika Kimberly Ryder Eriska Rein Bucek Dewi Irawan Mosidik Insan Nur Akbar Produser Ravi Pridhnani Sutradara Dede Ferdinand Penulis Andhy Ramdhan, Nicho AP Pemeran Bella Shofie, Nabila Putri, Ferly Putra September 2013 l Kinescope l 15
  • 16. REVIEW Rom-Com ‘Bunuh Diri’ Cinta Mati C inta/Mati memiliki premis yang sama dengan film Before Sunrise (1993) karya Richard Linklater. Kisah tentang dua sejoli yang tidak saling kenal, bertemu pada satu malam, larut dengan pikiran dan tujuan masing-masing, hingga kemudian saling memerlukan satu sama lain, yang selanjutnya beranjak pada rasa saling butuh, hingga kemudian muncul benih-benih cinta. Premis yang sangat menarik. Apalagi dalam Cinta/ Mati kedua karakternya sama-sama memiliki keinginan untuk bunuh diri. Cinta/Mati bercerita tentang Acid dan Jaya yang bertemu pada satu malam. Jaya menolong Acid yang gagal bunuh diri. Karena menggagalnya usahanya, Acid menuntut Jaya untuk membantunya bunuh diri. Jaya awalnya menolak, tetapi desakan demi desakan dari Acid akhir meluluhkan Jaya. Maka dimulailah berbagai macam ide Jaya untuk membantu Acid memenuhi keinginan terakhirnya tersebut. Sampai kemudian terungkap bahwa Jaya pun memilki maksud yang sama dengan Acid, bunuh diri. Film dengan konsep pertemuan satu malam sudah banyak dibuat. Selain Before Sunrise seperti yang telah disinggung di atas, ada beberapa judul lagi yang mau tidak mau menjadi perbandingan terhadap Cinta/Mati 16 l Kinescope l September 2013 Doni Agustan yang ternyata sudah diproduksi sejak dua tahun yang lalu ini. Sebut saja misalnya Once (2007) debutan dari sutradara John Carney, atau yang dari era film klasik ada Roman Holiday (1953) yang mempertemukan Audrey Hepburn dan Gregory Peck. Ketiga film ini mengangkat tema yang sama saat takdir mempertemukan 2 orang yang tidak saling kenal dan membuat mereka intim, kemudian memberikan mereka cinta. Sebuah pakem yang sudah sangat biasa. Konsep yang banyak digunakan oleh semua filmmakers untuk membuat komedi romantis atau yang lebih dikenal dengan akronim rom-com Formula film rom-com tersebut juga digunakan oleh Cinta/Mati. Konsep yang diberi bumbu-bumbu dengan keinginan kedua karakter utama film ini untuk bunuh diri mestinya justru menjadi daya tarik film ini. Tetapi kemudian terasa ada yang kurang. Naskahnya yang apik justru menjadi tidak bergerak sebagai mana mestinya karena kendala teknis, akting pemain dan beberapa hal minor yang cukup menganggu. Naskah menjadi komoditi kuat film ini terutama pada 30 menit awal film. Romansa pertemuan awal mereka hingga kemudian berlanjut pada adu mulut karena usaha Jaya untuk membantu Acid yang kerap kali gagal cukup menarik untuk dinikmati. Apalagi
  • 17. Alexandria (2005), Selamanya (2007), Kawin Kontrak (2008) dan Punk In Love (2009) adalah deretan film-film paling berkesan karya sutradara Ody C. Harahap. Walaupun film debutnya dengan produser Erwin Arnada adalah film horor, Bangsal 13 (2003), tetapi deretan film di atas menjadikan Ochay, panggilan akrab sutradara ini, dikenal dengan sutradara khusus film-film drama-komedi-romantis. Cinta/Mati kemudian makin melengkapi predikatnya tersebut. dialog–dialog yang keluar dari adu mulut mereka sangat mengelitik dan berhasil membuat penonton tertawa. Perhatikan kata-kata umpatan dan ledekan yang kerap kali diucapkan oleh Jaya pada Astrid karena sering kali gagal untuk bunuh diri karena ketakutan Acid pada hal-hal yang menurut Jaya tidak masuk akal atau berlebihan. Misalnya Acid yang takut ketinggian atau mudah pingsan jika melihat darah. Kelucuan demi kelucuan atas kegagalan Acid untuk bunuh diri ini pada awalnya cukup beragam dan kreatif. Sayangnya menjelang ke tengah durasi, film mulai terasa agak membosankan. Pengulangan demi pengulangan atas kegagalan usaha mereka untuk menuntaskan keinginan tersebut menjadi terbaca. Pada saat Acid akhirnya tahu bahwa Jaya juga ingin bunuh diri, yang mestinya menjadi salah satu bagian kejutan dari film ini, justru terasa sangat datar. Kedodoran dari naskah semakin terasa menjelang akhir film. Interaksi antara Acid dan Jaya yang sudah terbangun bagus di awal film, justru malah menjadi kaku. Perhatikan adegan saat Jaya memberikan buku dan CD-nya untuk Acid. Adegan yang harusnya menjadi romantis ini justru berjalan dengan ritme yang lambat, kaku dan sangat membosankan. Mestinya editor film memotong durasi untuk adegan ini supaya kekakuan ini tidak berlangsung lama dan akhirnya tidak menganggu keutuhan keseluruhan film. Setelah Jaya dengan sangat mudah membuat Acid mengurungkan niat untuk bunuh diri, keadaan berbalik saat Acid yang kemudian mati-matian membantu Jaya untuk mengurungkan niatnya. Keadaan yang diputar balik ini sebenarnya cukup unik. Tetapi kemudian tidak terlalu dijelaskan apa sebenarnya latar belakang Acid sehingga dia bisa dengan percaya diri sanggup membuat permasalahan ‘kejantanan’ Jaya terselesaikan. Adegan Jaya yang harus mengikuti keinginan Acid untuk mengetes hasil eksperimennya tersebut dengan seorang PSK rasanya tidak terlalu perlu, karena kita tahu permasalahan Jaya tidak bisa terselesaikan dengan cara instan. Apalagi Jaya sendiri juga telah melakukan apa yang dilakukan Acid untuknya. Pengulangan demi pengulangan seperti bagian awal film kembali terjadi. Ini memberikan kesan bahwa pengulangan sengaja dilakukan untuk memperpanjang durasi filmnya. Adegan flashback juga sangat tidak perlu. Ini seperti menempatkan penonton sebagai pelupa atau bahkan mungkin bodoh. Kita semua juga tahu bahwa sejak awal film telah ada rasa cinta di antara mereka, tidak perlu lagi untuk diingatkan akan hal itu. Yang tadinya bermaksudnya untuk membuat penonton ingat malah jadinya sangat membosankan. Pada bagian ini Cinta/Mati terjebak dalam drama-drama ala sinetron-sinetron yang segalanya harus selalu dijelaskan secara verbal dan kemudian menjadi cengeng. Inilah kemudian yang menjadikan Cinta/Mati terjebak dalam pengulangan semua cerita drama romantis baik di film dan televisi kita selama ini. Padahal tanpa adegan yang menye-menye tersebut film ini bisa menjadi tontonan yang berbeda, baru dan mungkin mestinya bisa menjadi salah satu yang terbaik. Untungnya kemudian sebuah akhir yang tidak diprediksi telah disiapkan untuk menutup film ini dengan cukup baik. Vino G. Bastian sebagai Jaya tampil maksimal. Sama seperti peran-peran sebelumnya, karakter Jaya ini sepertinya memang ditulis buatnya. Jaya ini mengingatkan kita pada Vino sebagai Ipang dalam Realita Cinta dan Rock n Roll (2007) juga Radit dalam (Radit dan Jani (2008) dan juga perannya sebagai Mika (2013). Pengulangan karakter yang kerap kali hampir sama ini justru membuat akting Vino terlihat cukup matang dalam film ini. Meskipun akhirnya kita bisa menarik kesimpulan bahwa Vino tidak berani keluar dari zona nyamannya dalam berakting. Astrid Tiar sebagai Acid terlihat sangat berusaha mengimbangi Vino. Pada bagian awal-awal film terlihat sekali Vino sangat membantu Astrid untuk bisa natural mengimbanginya. Tanpa sadar justru Jaya yang dibawakan Vino menjadi daya tarik film ini. Satu lagi yang cukup menganggu dari penampilan Tiar sebagai Acid adalah artikulasi dialog yang tidak jelas, terutama pada bagian dia harus menampilkan akting marah-marah dan emosional, pada beberapa bagian terasa seperti orang yang kumur-kumur, buru-buru dan tidak terlalu jelas apa yang diucapkannya. Perhatikan adegan ketika Acid marah-marah di stasiun kereta. Penonton akan mengeryitkan kepala kemudian akan bertanya pada penonton sebelah, “dia bilang apa?’ Dengan setting film yang hampir semuanya malam ini, kualitas gambar pada beberapa bagian terlihat tidak maksimal. Beberapa kali kita akan menemukan gambar yang tidak jelas atau blur. Untungnya suasana malam Jakarta dengan lokasi-lokasi yang bagus menjadi daya tarik film ini. Semua yang berhasil direkam dengan rasa romantis. Seperti Lovely Man karya Teddy Soeriaatmadja yang juga merekam Jakarta dalam satu malam, secara teknis, gambar dan rasa film yang dihasilkan Lovely Man setingkat di atas Cinta/Mati. Terlepas dari segala kekurangan tersebut Cinta/Mati mempersembahkan sebuah karya dari sederatan pekerja film dengan semangat independen dan kerjasama yang luar biasa. Dua tahun dari sejak film ini mulai diproduksi, semua yang terlihat berdedikasi dan berusaha supaya film ini bisa dirilis ke bioskop. Semangat membuat film dengan segala aspek yang minor ini membuat film ini terasa diperjuangankan dengan semangat kesederhanaan dan kebersamaan. Sesuatu yang harusnya selalu dimiliki oleh semua pembuat dan pekerja film kita. September 2013 l Kinescope l 17
  • 18. REVIEW Kengerian Exorcism yang Repetitif Doni Agustan The CONJURING | Diangkat dari kisah nyata ten- tang pasangan paranormal investigator, Ed (Patrick Wilson) dan Lorraine Harren (Vera Farmiga), dengan berbagai macam kasus menyeramkan yang telah mereka hadapi. Ed dan Lorraine kemudian bertemu keluarga Perron, Roger (Ron Livingston) dan Carolyn (Lily Taylor). Carolyn mendatangi kuliah terbuka Ed dan Lorraine, dia bercerita mengenai rumah baru mereka di pedalaman Rhode Island yang menjadi tempat munculnya sosoksosok menyeramkan dan mulai menganggu kenyamanan semua anggota keluarga. Ed dan Lorraine kemudian mengklaim bahwa kasus keluarga Perron ini adalah kasus paling mengerikan yang pernah mereka hadapi. T he Conjuring karya James Wan berhasil ini mengumpulkan 100 juta dolar AS, hanya dalam waktu satu minggu untuk rilis Amerika Utara saja. Film horor exorcism berbiaya hanya 20 juta dollar AS menjadi film horor pertama yang meraih pendapatan lebih dari 100 juta dollar AS, sejak tahun 2011 (Paranormal Activity 3). The Conjuring meraih rating 86 persen di Rotten Tomatoes, New York Times melabeli The Conjuring sebagai film horor terbaik tahun 2013, menerima A - dalam jajak pendapat yang diadakan oleh Cinescore dan memiliki rating 7,7 di IMDb. Kesuksesan The Conjuring ini membuat James Wan berencana memproduksi sekuel lanjutannya. The Conjuring menggunakan hampir semua treatment yang telah digunakan oleh film-film horor sebelumnya. Sama seperti halnya Mama (2013) atau 4 film Paranormal Activity, sosok menyeramkan dalam film-film horor akan datang perlahan, 18 l Kinescope l September 2013
  • 19. kemudian dijaga intensitasnya dengan kemunculan-kemunculan selanjutnya, hingga menjadi klimaks saat sosok menyeramkan ini terlihat utuh. Selain itu biasanya sosok menyeramkan tidak akan muncul paling tidak 30 menit sejak dari film dimulai, penonton akan disuguhkan terlebih dahulu latar belakang karakter utama. Biasanya bagian ini akan sangat membosankan karena penonton pastinya sudah sangat tidak sabar untuk diteror oleh sosok-sosok menyeramkan. Tetapi untungnya The Conjuring tidak menjebak penonton dengan rasa kebosanan pada bagian awalnya. Vera Farmiga dan Lily Taylir yang telah tampil sejak awal, dengan penampilan terbaik mereka mampu melenyapkan kehampaan tersebut, dan tunggu setelah 30 menit opening film ini, Farmiga dan Taylor semakin memperlihatkan bahawa mereka adalah aktris-aktris terbaik Hollywood saat ini. The Conjuring juga tidak bisa lepas dari semua stereotype film horor Hollywood lainnya. Apa sajakah stereotype tersebut? Kebodohan orang dewasa yang tidak tajam pada tanda-tanda yang jelas-jelas telah memperlihatkan sesuatu yang tidak beres. Boneka yang sangat menyeramkan. Sebuah basement yang gelap dan menakutkan serta penuh dengan barang-barang antik. Sosok hantu yang hanya dapat lihat oleh anakanak. Flash back mengenai motivasi dari sosok-sosok menyeramkan yang berusaha meraih simpati penonton. Karakter-karakter dalam film horor seperti selalu memiliki IQ seperti di bawah standar orang biasa, ketegangan yang lamban, logika penonton yang terkadang tidak dipedulikan oleh pembuat film. Deretan hal-hal yang telah kerap kali kita tonton dalam banyak filmfilm horor sebelumnya ini, menjadikan The Conjuring tidak lagi terasa terlalu spesial. Film ini hanya melakukan pengulangan dari format yang mungkin sudah terasa basi tetapi kemudian dikemas sedemikian rupa sehingga terasa menjanjikan. Bagaimana cara pembuat film mengemasnya menjadi sedemikian rupa tadi? Seperti yang telah disebut di atas, dengan menggunakan dua aktris watak Vera Farmiga dan Lily Taylor yang memang dengan kapasitas mereka sebagai peraih nominasi Oscar dan Emmy Awards ini memberikan hasil yang maksimal. Pemilihan embel-embel based on true story yang menjadi daya tarik sangat kuat untuk membuat orang berduyun-duyun, melihat senyata apa kejadian tersebut hingga perlu dijadikan sebuah karya film. Dan tentu nama James Wan menjadi jaminan bahwa kemasan film ini pasti menjanjikan. Wan yang lahir di Kuching, Malaysia ini adalah sutradara yang memperkenalkan Saw (2004), dan Insidious (2010). Dua film horor/thriller yang sempat menjadi bahan perbincangan karena mampu membius penonton pada masa rilisnya. The Conjuring juga seperti dijadikan pemanasan untuk film Insidious: Chapter II yang juga dibuat Wan dan akan rilis 13 September 2013 ini. Begitu banyak horor yang sangat mengecewakan belakangan ini karena tidak mampu menakut-nakuti dengan maksimal, biasanya banyak penonton datang ke bioskop dengan ekspektasi yang sudah sangat rendah serta siap untuk kecewa. Dengan segala stereotype yang telah disebutkan di atas tadi, The Conjuring ternyata tidaklah terlalu mengecewakan, satu hal yang membuat film ini masih sangat bisa untuk dinikmati adalah gerak kamera yang hampir semua handheld. Treatment ini berhasil membawa penonton masuk ke dalam film dan merasakan kengerian demi kengerian yang terjadi dalam berhantu tersebut. Perhatikan setiap adegan kemunculan sosok-sosok menyeramkan dalam film ini, gerak kamera yang provokatif dan misterius siap membuat kita meloncat kapan saja dari tempat duduk. Seperti misalnya adegan seprai putih yang terbang, membentuk bayangan menyeramkan dan memasuki dan merasuki raga Carolyn yang diperankan Lily Taylor. Bagaimana dengan tema besar exorcism yang di angkat? Kita sudah melihat banyak film-film dengan tema exorcism. The Exorcist karya William Friedkin produksi 1973 adalah yang terbaik. Sampai saat ini film yang meraih dua piala Oscar (menerima total 10 nominasi termasuk film dan sutradara terbaik), masih menjadi salah satu film horor/thriller paling menakutkan yang pernah dibuat. Linda Blair memerankan sosok Regan yang kesurupan, selalu menjadi referensi akting kesurupan terbaik, tidak salah jika Blair menerima nominasi Oscar untuk perannya ini. Selain The Exorcist, satu lagi film exorcism yang juga sangat berkesan adalah The Exorcism of Emily Rose, karya Scott Derrickson, produksi 2005. Jennifer Carpenter menerima beberapa penghargaan untuk peran debutnya sebagai Emily Rose. Tidak berbeda dengan kedua film ini, The Conjuring juga menampilkan proses exorcism yang menengangkan dan mampu membuat nafas penonton berhenti, tetapi sayangnya kengerian exorcism ini menjadi terasa repetitif. Jika dalam The Exorcit dan The Exorcism of Emily Rose korban keserupan banyak berteriak-teriak, maka dalam The Conjuring, melalui adegan kursi yang melayang-layang, Lily Taylor tidak hanya berteriak tetapi juga melakukan olah suara menyeramkan sehingga kita sebagai penonton percaya bahwa Lily benar-benar sedang kesurupan. September 2013 l Kinescope l 19
  • 20. FESTIVAL Ven ice F ilm Fes tiva l Don i Agusta n- FOTO : A hma d Ha san Yun iard i “Kami ingin mengenalkan filmfilm terbaru yang berisi budaya tradisional maupun kontemporer. Kami berharap festival ini akan berjalan sukses dan terus disukai di Indonesia” Kim Young-Sun 20 l Kinescope l September 2013
  • 21. atern e m in n al fil posizio tiv Es fes Sep “ alah ebagai u awal t s al ad pa ta estiv un 1932 ustus a da tem tarnya. F pa Ag eki tah Film nal i pada p akhir ngsung ain di s atio l p tern ppe Vol an setia an berla empat In tar nice at-t dak use u Ve ount Gi ang dia . Pemu di temp y l ata C lia n stiva dirikan rafica” , ice, Ita coni da e F n i enice Film Festival merupakan bagian Mar Film ia. D atog o, Ve dari Venice Biennale selama lebih nice di dun Cinem lau Lid gomare e dari satu abad (Venice Biennale he V tertua ’ Arte di pu i Lun T didirikan pada tahun 1895), lembaga d l ya ma d a le ini menjadi salah satu kegiatan kebudayaan sion aziona tahunn Cine yang paling bergengsi di dunia. Selain terkenal p rn el Inte er, setia lazzo d dengan festival filmnya, lembaga ini juga memiliki kegiatan budaya lain seperti pameran mb rah Pa te seni dan arsitektur internasional, festival musik ja e kontemporer, festival teater, dan juga festival bers V tari kontemporer. Penghargaan utama pada Venice adalah Leone d’ Oro atau yang lebih populer dengan nama Golden Lion, diberikan kepada film terbaik yang diputar untuk kategori kompetisi. Leone d’ Argento atau Silver Lion diberikan untuk kepada sutradara terbaik, dan Coppa Volpi atau Volpi Cup, yang diberikan kepada aktor dan aktris terbaik. Golden Lion diperkenalkan pada tahun 1949 oleh panitia penyelenggara dan sekarang dianggap sebagai salah satu penghargaan yang paling terkemuka dalam industri film. Sebelum Golden Lion diberikan, penghargaan untuk film terbaik disebut Venice Grand International Prize yang diberikan pada tahun 1947 dan 1948. Sebelum itu, dari tahun 1934 sampai tahun 1942, penghargaan tertinggi adalah Coppa Mussolini untuk Italia Film Terbaik dan Film Asing Terbaik. Dan tidak ada penghargaan Golden Lion antara tahun 1969 dan 1979. Pada tahun 1970, Golden Lion Honorary diperkenalkan, ini merupakan penghargaan kehormatan bagi orang-orang yang telah membuat kontribusi penting untuk dunia sinema. Orang pertama yang menerima adalah Orson Welles. Selain itu ada juga penghargaan Horizons, September 2013 l Kinescope l 21
  • 22. yang merupakan penghargaan terbuka untuk semua film dengan pandangan yang lebih luas terhadap trend dan hal-hal baru dalam mengekpresikan karya film. Horizons ini diberikan untuk film panjang dan film pendek. Venice juga memiliki kategori khusus untuk film-film produksi Italia, kategori Controcampo Italiano. Kategori ini menyajikan panorama pada sinema Italia dengan 7 narasi film panjang, 7 film pendek, 7 film dokumenter. Perancis menjadi negara terbanyak yang mengumpulkan Golden Lion, 14 kali. Lima pembuat film Amerika telah memenangkan Golden Lion. Mereka adalah John Cassavetes, Robert Altman, Ang Lee (untuk film Brokeback Mountain yang adalah produksi Amerika), Darren Aronofsky dan Sofia Coppola. Sebelum tahun 1980 , hanya 3 dari 21 pemenang non-Eropa. Setelah tahun 1980, Golden Lion telah diberikan kepada sejumlah pembuat film Asia. Golden Lion telah diberikan kepada sepuluh orang Asia, dan Ang Lee menjadi orang Asia pertama yang memenangkan dua Golden Lion hanya dalam kurun waktu tiga tahun saja, untuk Brokeback Mountain dan Lust, Caution. Zhang Yimou juga telah menang dua kali. Sutradara Asia lainnya yang memenangkan Golden Lion sejak tahun 1980 adalah Jia Zhangke, Hou Hsiao-hsien, Tsai Ming-liang, Anh Hung Tran, Takeshi Kitano, Kim Ki Duk, ​​ Jafar Panahi, dan Mira Nair. Namun, sampai saat ini 33 dari 54 pemenang adalah orang-orang Eropa. Sejak 1949 hanya empat perempuan yang pernah memenangkan Golden Lion; Mira Nair, Sofia Coppola, Margarethe von Trotta dan Agnès Varda. Venice Film Festival tahun ini diadakan dari tanggal 28 Agustus hingga 7 September 2013. Festival dibuka dengan terbaru karya Alfonso Cuaron yang berjudul Gravity. Film ini dibintangi oleh Sandra Bullock dan George Clooney. Gravity dengan setting antariksa adalah sebuah science fiction tentang survival di luar angkasa. Film Amazonia karya Thierry Ragobert dipilih untuk menutup festival. 22 l Kinescope l September 2013
  • 23. Berikut daftar film peraih Golden Lion; Tahun Judul Sutradara Negara 1949 Manon Henri-Georges Clouzot * France 1950 Justice Is Done (Justice est faite) André Cayatte France 1951 Rashomon Akira Kurosawa * Japan 1952 Forbidden Games (Jeux interdits) René Clément France 1953 No award 1954 Romeo and Juliet Renato Castellani * Italy 1955 The Word (Ordet) Carl Theodor Dreyer * Denmark 3 1956 No award 1957 The Unvanquished (Aparajito) Satyajit Ray * India 1958 Rickshaw Man (Muhomatsu no issho) Hiroshi Inagaki Japan 1959 General della Rovere Roberto Rossellini Italy (Il generale della Rovere) (tie) Italy The Great War (La grande guerra) (tie) Mario Monicelli Italy 1960 The Crossing of the Rhine André Cayatte France (Le passage du Rhin) 1961 Last Year in Marienbad Alain Resnais France (L’année dernière à Marienbad) 1962 Family Diary (Cronaca familiare) (tie) Valerio Zurlini Italy Ivan’s Childhood (Ivanovo detstvo) (tie) Andrei Tarkovsky * Soviet Union 1963 Hands Over the City (Le mani sulla città) Francesco Rosi Italy 1964 Red Desert (Il deserto rosso) Michelangelo Antonioni Italy 1965 Sandra of a Thousand Delights Luchino Visconti Italy (Vaghe stelle dell’Orsa) 1966 The Battle of Algiers Gillo Pontecorvo Italy (La battaglia di Algeri) 1967 Beauty of the Day (Belle de jour) Luis Buñuel France 1968 Artists under the Big Top: Perplexed Alexander Kluge * West Germany (Die Artisten in der Zirkuskuppel: Ratlos) 1969-79 No award 1980 Atlantic City (tie) Louis Malle * Canada/ France Gloria (tie) John Cassavetes * United States 1981 Marianne and Juliane Margarethe von Trotta West Germany (Die Bleierne Zeit) 1982 The State of Things Wim Wenders West Germany (Der Stand der Dinge) 1983 First Name: Carmen Jean-Luc Godard France (Prénom Carmen) 1984 The Year of the Quiet Sun Krzysztof Zanussi * Poland (Rok spokojnego slonca) 1985 Vagabond (Sans toit ni loi) Agnès Varda France 1986 The Green Ray (Le rayon vert) Éric Rohmer France 1987 Au revoir, les enfants Louis Malle France 1988 The Legend of the Holy Drinker Ermanno Olmi Italy (La leggenda del santo bevitore) 1989 A City of Sadness Hou Hsiao-Hsien * Taiwan (Bei qing cheng shi) 1990 Rosencrantz & Guildenstern Tom Stoppard * United Kingdom/ United States Are Dead 1991 Urga Nikita Mikhalkov Soviet Union 1992 The Story of Qiu Ju Zhang Yimou * China (Qiu Ju da guan si) 1993 Short Cuts (tie) Robert Altman United States Three Colours: Blue Krzysztof Kie (Trois couleurs: Bleu) (tie) Klowski France/ Poland 1994 Vive L’Amour Tsai Ming-liang Taiwan (Ai qing wan sui) (tie) Before the Rain (tie) Milco Mancevski * Republic of Macedonia 1995 Cyclo (Xich lo) Anh Hung Tran France/* Vietnam 1996 Michael Collins Neil Jordan * Ireland 1997 Fireworks (Hana-bi) Takeshi Kitano Japan 1998 The Way We Laughed Gianni Amelio Italy (Così ridevano) 1999 Not One Less Zhang Yimou China (Yi ge dou bu neng shao) 2000 The Circle (Dayereh) Jafar Panahi * Iran 2001 Monsoon Wedding Mira Nair India/ United States/ Italy France/* Germany 2002 The Magdalene Sisters Peter Mullan Ireland 2003 The Return (Vozvrashcheniye) Andrey Zvyagintsev * Russia 2004 Vera Drake Mike Leigh United Kingdom 2005 Brokeback Mountain Ang Lee United States 2006 Still Life (Sanxia haoren) Jia Zhangke China 2007 Lust, Caution (Se, jie) Ang Lee United States/ China/ Taiwan 2008 The Wrestler Darren Aronofsky United States 2009 Lebanon Samuel Maoz * Israel 2010 Somewhere Sofia Coppola United States 2011 Faust Alexander Sokurov Russia 2012 Pietà Kim Ki-duk * South Korea 2013 Sacro GRA Gianfranco Rosi Italy Berikut daftar Film yang ikut berkompetisi dan diputar selama festival berlangsung; Competition • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • Ana Arabia, Dir: Amos Gitai Child of God, Dir: James Franco Die Frau des Polizisten, Dir: Philip Groning L’intrepido, Dir: Gianni Amelio La Jalousie, Dir: Philippe Garrel Jiaoyou, Dir: Tsai Ming-liang Joe, Dir: David Gordon Green Kaze Tachinu, Dir: Hayao Miyazaki Miss Violence, Dir: Alexandros Avranas Night Moves, Dir: Kelly Reichardt Parkland, Dir: Peter Landesman Philomena, Dir: Stephen Frears Sacro GRA, Dir: Gianfranco Rosi Es-Stouh, Dir: Merzak Allouache Tom at the Farm, Dir: Xavier Dolan Tracks, Dir: John Curran Under the Skin, Dir: Jonathan Glazer The Unknown Known: the Life and Times of Donald Rumsfeld, Dir: Errol Morris Via Castellana Bandiera, Dir: Emma Dante The Zero Theorem, Dir: Terry Gilliam Out of competition • • • • • • • • • • • • • • • Die Andere Heimat, Dir: Edgar Reitz The Armstrong Lie, Dir: Alex Gibney At Berkeley, Dir: Frederick Wiseman The Canyons, Dir: Paul Schrader Che strano chiamarsi Federico Scola racconta Fellini, Dir: Ettore Scola Feng Ai, Dir: Wang Bing Locke, Dir: Steven Knight Moebius, Dir: Kim Ki Duk Pine Ridge, Dir: Anna Eborn Space Pirate Captain Harlock, Dir: Aramaki Shinji Summer 82 When Zappa Came to Sicily, Dir: Salvo Cuccia Ukraina ne Bordel, Dir: Kitty Green Walesa. Czlowiek z nadziei, Dir: Andrzej Wajda, Ewa Brodzka Wolf Creek 2, Dir: Greg McLean Yurusarezaru mono, Dir: Lee Sang-Il Horizons strand - new trends in film-making • • • • • • • • • • • • • • • • • Algunas Chicas, Dir: Santiago Palavecino Bauyr, Dir: Serik Aprymov Eastern Boys, Dir: Robin Campillo Jigoku de naze warui, Dir: Sono Sion Mahi Va Gorbeh, Dir: Shahram Mokri Je m’appelle Hmmm…, Dir: Agnes B. Medeas, Dir: Andrea Pallaoro Il terzo tempo, Dir: Enrico Maria Artale Palo Alto, Dir: Gia Coppola Piccola Patria, Dir: Alessandro Rossetto La prima neve, Dir: Andrea Segre Ruin, Dir: Amiel Courtin-Wilson, Michael Cody The Sacrament, Dir: Ti West Still Life, Dir: Uberto Pasolini Vi ar bast!, Dir: Lukas Moodysson La vida despues, Dir: David Pablos Wolfskinder, Dir: Rick Ostermann September 2013 l Kinescope l 23
  • 24. DISKUSI Foto : Lulu Ratna / www.docnetsoutheastasia.net Dalam rangka mendorong perkembangan film dokumenter Indonesia, DocNet Asia Tenggara, bermitra dengan In-Docs dan Arkipel International Documentary Film Festival & Eksperimental, menjadi tuan rumah diskusi meja bundar pada pendanaan dan distribusi film dokumenter kreatif. Diskusi berlangsung pada tanggal 27 Agustus di Goethe-Institut Jakarta dan membawa pemangku kepentingan film dokumenter Indonesia, seperti lembaga pemerintah, lembaga nonpemerintah, distributor, peserta pameran, penyelenggara festival, dan pembuat film untuk membahas bagaimana untuk mendanai dan mendistribusikan dokumenter Indonesia. 24 l Kinescope l September 2013
  • 25. FORMULIR BERLANGGANAN Dengan ini, mohon dicatat sebagai pelanggan majalah Kinescope dengan data sebagai berikut : Nama : …………………………………………………………………………….. No.KTP/ SIM : …………………………………………………………………………….. Alamat Rumah/ Kantor : …………………………………………………………………………….. ………………… …………………………………………………………....................................................... ………………… …………………………………………………………....................................................... Kode Pos : Telepon : …………………………………………………………………………….. Mobile Phone : …………………………………………………………………………….. Email : …………………………………………………………………………….. Berlangganan : 3 bulan 6 bulan 12 bulan ……….../……………………………./20…….. __________________________ (Tanda tangan & nama lengkap) Syarat & Ketentuan : • • • • • • • • • • • • • Biaya Registrasi P. Jawa Rp. 20.000,Biaya Pengiriman 3 bulan Rp. 35.000,- 6 bulan Rp. 65.000,- 12 bulan Rp. 100.000,Pembayaran ditransfer ke PT. Kinescope Indonesia CIMB Niaga Cabang Bintaro 080.010.135.5009 Bukti pembayaran kirim ke email langganan@kinescopeindonesia.com Majalah akan dikirimkan pada bulan berikut setelah bukti pembayaran diterima Untuk informasi atau pertanyaan lebih lanjut mengenai Kinescope dapat di email ke info@kinescopeindonesia.com atau klik www.kinescopeindonesia.com Registrasi akan terputus secara otomatis setelah habis periode masa berlangganan Untuk perpanjangan masa berlangganan dapat langsung melakukan pembayaran dan mengkonfirmasi pembayaran sebelum habis periode berlangganan Selama bukti pembayaran belum kami terima maka registrasi & pengiriman tidak kami proses. Nilai registrasi & biaya berlangganan sewaktu-waktu dapat berubah tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Harga berlaku hanya di P. Jawa. Biaya Registrasi Sumatra, Kalimantan Rp. 25.000,-/Edisi Sulawesi Rp.30.000,-/Edisi Biaya Pengiriman 3 bulan Rp. 75.000,- 6 bulan Rp. 105.000,- 12 bulan Rp. 135.000,September 2013 l Kinescope l 25
  • 26. STATISTIK filmindonesia.or.id Cinta Brontosaurus 2 892.915 Coboy Junior The Movie 683.144 3 Get M4rried Data Penonton 6 1 La Tahzan 234.918 7 Sang Kiai 219.734 8 306.416 4 Refrain 9 280.707 5 308 26 l Kinescope l September 2013 Agustus 2013 Air Terjun Pengantin Phuket 215.161 Cinta Dalam Kardus 212.974 10 270.821 Mika 169.151
  • 27. September 2013 l Kinescope l 27 www.simponi10.blogspot.com
  • 28. OPINI PUBLIK Film Bagus? Ini Cara Menentukannya F Hasreiza ilm adalah satu dari sekian hasil karya seni yang sangat berpengaruh dalam membuat realitas di kepala para penikmat seni. Pesan yang terdapat dalam film sangat kuat dan mudah untuk bertransformasi ke dalam pikiran dan imaginasi penontonnya dan sangat mungkin membuat realitas baru yang dianggap kebenaran yang bisa diikuti dalam diri penonton. Film juga menjadi salah satu hiburan terbaik yang bisa didapatkan di waktu senggang. Masalah umum yang selalu muncul dan dihadapi seseorang, dengan pengetahuan tentang film yang terbatas, dalam memilih film adalah film terbaik apa yang harus ditonton di luar filmfilm yang mereka tahu. Di saat seperti ini, tak jarang bagus atau tidaknya poster film atau sampul CD atau DVD film, menjadi cara terbaik seseorang untuk menentukan pilihan tentang film mana yang akan ditonton. Dan tak jarang juga, beberapa dari penggemar film lari pada situs online yang menyediakan informasi tentang rating dan ulasan sebuah film. Beberapa situs besar (berbahasa Inggris) yang sering dijadikan acuan adalah RottenTomatoes.com, IMDB.com, Metacritic.com, atau MovieReviews.com dan masih banyak lagi yang lainnya. Situs rating film tersebut 28 l Kinescope l September 2013 “Sebuah bencana bagi struktur kebudayaan sebuah masyarakat dan peradaban ketika para produser dan pembuat film hanya memikirkan dan mementingkan orientasi profit saja dari karya filmnya.” bisa dikatakan sebagai “pembimbing” yang memberikan rekomendasi film terbaik dengan cara memasang nilai (angka) dari sebuah film pada pengunjung. Sebetulnya, kualitas sebuah film sangat menentukan tingginya antusiasme masyarakat terhadap film tersebut. Kualitas film yang semakin baik dari segi cerita, sinematografi, juga teknis, secara idealnya seharusnya akan menentukan tingginya antusiasme penonton untuk berbondong-bondong menyaksikannya. Aktor senior Didi Petet yang pernah mengatakan bahwa sebuah film harus mampu mengedukasi masyarakat justru menjadi dilema sendiri bagi penonton dan pembuat film. “Ini yang selalu menjadi dilema pembuat dan penontonnya,” katanya. Apakah sebuah film harus mengedukasi masyarakat, menurut Didi, jangan hanya dibebankan kepada orang-orang film. Biarkan masyarakat yang menilai sendiri. Karena film adalah refleksi dari keadaan masyarakat pada zamannya, maka biarkan masyarakat mengedukasi dirinya sendiri. “Film itu mencerminkan masyarakat pada zamannya. Perkembangannya bisa kita lihat lewat film. Film bisa mengungkapkan semua, latar belakang budaya, pendidikan, dan sebagainya,” ungkap pemain film yang juga menjadi dosen di Institut Kesenian Jakarta tersebut. Lebih lanjut ia menambahkan, penonton harus cerdas dalam menonton sebuah sajian film. “Penonton harus
  • 29. seperti sudut kamera yang kreatif, pencahayaan yang baik dan menjaga detil-detil visual yang tidak penting yang hanya menjadikan kekonyolan, ketidaksesuaian dengan adegan dan keseluruhan film. cerdas, kita semua harus cerdas. Kalau tidak perlu ditonton ya tidak usah ditonton. Kita nonton film yang bisa membuat kita menjadi cerdas,” katanya. Lola Amaria juga pernah mengatakan mengatakan bahwa dalam sebuah film, etika, estetika, dan logika sangat penting. Ia mencontohkan hal-hal yang tidak logis yang masih ada di film dan sinetron Indonesia, seperti dandan berlebihan di dalam rumah dan memakai bulu mata palsu saat sedang tidur. Lalu bagaimana menentukan kriteria sebuah film yang dianggap baik atau tidak? Beberapa kritikus film sering menggunakan kriteria yang sederhana. Buat mereka, ketika sebuah film membuat kita berpikir tentang sebuah hal yang baru, mengubah perspektif dan cara pandang kita tentang sesuatu hal, mampu mempengaruhi dan menggerakkan, mampu membawa respon emosional penontonnya, itulah sebetulnya kriteria bahwa sebuah film dapat dikatakan bagus. Secara sederhana, sebetulnya bisa disimpulkan bahwa sebuah film dapat dikatakan bagus adalah jika memenuhi beberapa kriteria seperti; Misalnya, jika kita menonton film komedi, seharusnya kita bisa tertawa karena kelucuankelucuan dalam adegan film pada saat kita menontonnya. Pemeran film yang baik harus mencurahkan perasaannya dalam tiap adegan pada alur cerita film. Mereka mengikuti arahan dan juga menambahkan inisiatif dengan sentuhan mereka sendiri kepada film yang sedang dimainkan. Hal ini untuk memperkuat pengaruh emosional pada setiap adegan untuk mempengaruhi penonton. 3. Teknik sinematografi juga memainkan peran yang sangat penting dalam proses pembuatan sebuah film untuk menyempurnakan proses pembuatan film secara visual. Sinematografi yang baik, mempersiapkan dan menyuguhkan suasana hati dan emosional pada keseluruhan film, mengisi transisi antara adegan-adegan yang efektif dan kreatif, Jadi, saat penonton film sudah mulai memiliki pemahaman bahwa sebuah film itu sangat bisa mempengaruhi cara pandang dan pemikiran penontonnya, maka sudah saatnya penonton film mampu memilih film-film yang dianggap layak tonton dan memang memiliki pesan dan cerita yang baik. Untuk itu memang, kecerdasan emosional dan intelektual menjadi penting. Hanya saja, ini bukan hanya menjadi tanggung jawab penonton film untuk menjadi cerdas, ketika justru pembuat film dan pengambil kebijakan tidak terlalu memperdulikan hal ini. Sebuah bencana bagi struktur kebudayaan sebuah masyarakat dan peradaban ketika para produser dan pembuat film hanya memikirkan dan mementingkan orientasi profit dari karya filmnya dan tidak lagi memikirkan pengaruh pesan di dalam film pada pola budaya masyarakat yang menontonnya. Sebuah bencana bagi struktur kebudayaan sebuah masyarakat dan peradaban ketika para distributor dan pengimpor film selalu membandingkan film-film produksi Indonesia dengan film-film produksi Hollywood dan tidak pernah mau memberikan tempat yang sedikit layak bagi produksi dalam negeri. Sebuah bencana bagi struktur kebudayaan sebuah masyarakat dan peradaban ketika pemerintah sebagai pengambil kebijakan tidak pernah mau membuat aturan main yang bisa dijadikan pijakan dan landasan bagi industri film untuk bergerak secara adil agar bisa memberikan pencerahan bagi penontonnya dan pada akhirnya membangun proses pencerdasan pada pola budaya sebuah masyarakat. 1. Sebuah film harus memiliki alur cerita yang kuat. Walaupun sebuah film hanya menceritakan sebuah cerita yang sederhana dengan cara yang tepat, film tersebut bisa jadi lebih baik daripada sebuah film yang berisikan cerita yang penuh intrik dengan terlalu banyak ploting cerita yang tidak berkesinambungan. Sebuah cerita yang baik adalah cerita yang mampu menghubungkan cerita film dan isi pesan di dalamnya dengan penonton secara emosional. Inilah tugas utama dari seorang penulis cerita dan skenario, di mana mereka harus menciptakan dialog yang baik yang alami dan dapat dipercaya untuk karakter-karakter yang terdapat dalam sebuah cerita. 2. Sebuah film yang baik harus mampu membangkitkan emosi para penontonnya. September 2013 l Kinescope l 29
  • 30. OPINI PUBLIK Wahai Para Kritikus Film Shandy Gasella B ila menilik ke belakang perihal awal mula kritik film di Indonesia -- khususnya yang menyoal film buatan negeri sendiri, kita tak perlu menengok jauh hingga ke tahun 1926 pada saat film cerita pertama ‘Loetoeng Kasaroeng’ dibuat. Pada  awal sejarah perfilman Indonesia, kritik film belumlah ada. Pada masa itu film merupakan media baru dan hanya dipandang sebagai produk hiburan semata. Ia masih belum terjamah oleh kepentingan-kepentingan politik pemerintah kolonial atau pun kepentingan lain yang dapat saja dipakai oleh si pembuat film untuk menyampaikan pesan tertentu pada masyarakat (baca: khalayak penonton). Pada masa itu film masih berproses menemukan bentuknya, dan belum ada seorang pun yang menganggapnya sebagai satu cabang seni pertunjukan yang layak diapresiasi secara serius. Pada akhir tahun 1950an ada Misbach Yusa Biran yang selain baru menapaki karirnya sebagai sineas, ia pun sebagai seorang wartawan aktif menulis kritik film. Ia pernah menjadi ketua redaksi ‘Mingggu Abadi’ (1958 - 1960), ‘Majalah Purnama’ (1962 - 1963), Redaktur ‘Ahad Muslimin’ dan ‘Lembaran Kebudayaan’ dari harian ‘Duta Masyarakat’ (1964-1965). Pada masanya dan hingga sekarang ia adalah salah satu tokoh perfilman Indonesia yang paling dihormati. Namun kini timbul pertanyaan; siapa pula generasi sekarang yang pernah membaca kritik film tulisannya? JB Kristanto bisa jadi lebih populer ketimbang Misbach Yusa Biran, ini pun tentu saja hanya di kalangan para penikmat film Indonesia garis keras, karena bagi masyarakat umum toh keduanya sama-sama tak populer. JB Kristanto pernah menjadi jurnalis ‘Harian Kompas’, dan lewat perannya sebagai jurnalis ini kritik film di media massa jadi memiliki bobot, atau setidaknya ia merangsang para jurnalis lain memberi perhatian lebih akan penulisan berita mau- “Mengapa para penikmat film tak membaca tulisan kritikus film karena para kritikus ini kekurangan humor, asyik sendiri menelaah dengan kata-kata yang membuat pembacanya harus selalu sedia kamus bahasa Indonesia.” 30 l Kinescope l September 2013
  • 31. pun ulasan film. Selain itu ia pun layak dipuji dan diberi penghormatan karena  menulis buku Katalog Film Indonesia yang amat berharga itu. Kritik-kritik film dari buah pikirannya selalu mendalam khas tulisan akademisi, padahal ia menulis untuk media cetak arus utama. Dari tahun 70an hingga kini ia masih aktif menulis kritik film, yang terbaru darinya dapat ditemui di laman ‘filmindonesia.or.id’, di situs yang menyajikan data dan informasi lengkap tentang perfilman Indonesia itu ia mengulas film ‘Kisah 3 Titik’ karya Lola Amaria yang dirilis pada awal Mei tahun ini. Sudah tak seproduktif dulu, namun jelas terlihat bahwa semangat dan minatnya terhadap kajian film masihlah menggebu. Masih ada nama lain seperti Eric Sasono dan Lisabona Rahman misalnya yang serius mengkaji film lewat cara yang mirip dilakukan oleh JB Kristanto, yaitu mengulas film dengan sudut pandang tertentu, menelaah secara mendalam dengan teori-teori disiplin ilmu tertentu pula. Kritik yang mereka hasilkan sangat mumpuni dan bisa jadi masukan yang amat berarti tak hanya bagi para sineas yang filmnya mereka kritik, namun juga dapat menjadi catatan penting dokumentasi bagi kepentingan pendidikan, khususnya soal kajian film di Indonesia. Sejatinya fungsi kritikus film adalah sebagai penghubung si pembuat film dengan penontonnya. Merekalah yang menjembatani penyampaian gagasan-gagasan si pembuat film agar dapat lebih dipahami oleh penonton. Maka, peran kritikus film sebagai perantara tersebut menarik untuk dicermati. Kini di era media sosial yang kian ramai dipadati warga, saat akses kepada informasi berseliweran tak terbendung, setiap orang bisa menjadi kritikus film, dan bahkan mereka bisa menjadi kritikus apapun yang mereka kehendaki. Setiap hari kita selalu menjumpai tweet seseorang yang mengomentari sebuah film yang baru saja ditontonnya, lengkap disertai tautan ke alamat blog pribadinya untuk mengetahui ulasan lengkap yang ditulisnya. Dan ini terjadi tak hanya di Indonesia, namun juga di seluruh dunia. Untuk menyampaikan informasi, gagasan, opini, dan lain sebagainya kepada khalayak ramai, kini kita tak perlu lagi menitipkan tulisan kepada kolom surat pembaca, atau kepada media-media online jurnalisme warga yang tak memberi kompensasi sepeser pun kepada kontributornya itu, kita hanya cukup mempostingnya di blog pribadi dan setiap orang memiliki akses untuk membacanya. Berbicara soal blog, kenyataannya tak sedikit blog-blog yang khusus mengulas film ditulis oleh anak-anak berumur belasan tahun atau awal 20an, umumnya ditulis dengan amat serampangan seolah mereka tak pernah mendapatkan pendidikan bahasa Indonesia di sekolahnya, dan yang paling mengejutkan blog mereka ternyata dikunjungi oleh banyak sekali pembaca. Hal yang lumrah sekali dijumpai. Movie blogger -- begitu mereka biasa disebut, alih-alih membantu penikmat film lebih memahami film yang ditontonnya, terkadang mereka malah menyesatkan atau setidaktidaknya tak memberi informasi berharga apa pun. Tentu tak semua movie blogger demikian, ada beberapa yang cukup berdedikasi dan mampu menulis ulasan filmnya secara mendalam. Internet telah memberi rumah baru bagi dunia kritik film, dan mereka bebas menulis apa pun sesuka hati. Masalahnya, memiliki kebebasan penuh untuk menulis apa pun dengan sesuka hati dibutuhkan disiplin ilmu yang memadai. Mikael Johani, seorang penyair sekaligus pemerhati budaya pop lewat blognya di ‘oomslokop.tumblr.com’ sering pula mengulas film. Dalam salah satu postingannya ia menelaah, membandingkan film ‘Negeri di Bawah Kabut’ karya Salahuddin Siregar dengan ‘The Act of Killing’-nya Joshua Oppenheimer. Menarik bukan? Dan kajiannya terhadap kedua film tersebut tak hanya mendalam, namun juga memberi perspektif unik yang tak tercetus dari (katakanlah) pengulas film lain di media arus utama baik cetak maupun online. Lalu ada Mumu Aloha -- nama beken dari Is Mujiarso, seorang managing editor salah satu media berita online terbesar di Indonesia ini, seperti Mikael Johani, ia pun kerap kali berbagi opini soal film yang telah ditontonnya lewat blognya di ‘penyinyiran.tumblr.com’. Pada salah satu postingannya ia mengulas film ‘Finding Srimulat’ karya Charles Gozali dengan gaya bahasa yang santai namun juga sarat analisis yang tajam. Membaca tulisan mereka berdua selalu menyegarkan dan menutrisi akal pikiran, juga tak jarang saya dibuat tertawa karena keduanya orang yang jenaka, selalu tak pernah kekurangan humor, dan sarkasme -- satu hal yang jarang dimiliki oleh para penulis lain di negeri ini. Secara umum kritik film dibedakan menjadi dua, kritik jurnalistik dan kritik akademis. Kritik jurnalistik biasanya ditulis oleh jurnalis atau penikmat film, dipublikasikan lewat media massa. Kritik ini biasanya dimuat sebagai panduan bagi calon penonton dalam memilih film yang baru rilis di bioskop. Pada media cetak dan beberapa media online kritik jurnalistik sangat dibatasi oleh ruang halaman, dan terkadang harus berkompromi dengan aturan-aturan redaksional tertentu. Sedangkan kritik akademis lazimnya ditulis oleh kalangan akademisi dari perguruan tinggi, dimuat dalam jurnal ilmiah atau majalah berbobot yang mengulas film. Berbeda dengan kritik jurnalistik yang mengutamakan informasi aspek-aspek dasar sebuah film -- seperti sinopsis, bintang film, hingga genre dan mutu film, kritik akademis bertujuan mendalami makna sebuah film dan efeknya bagi penonton. Yang satu enteng dibaca, satu lagi terasa berat. Eric Sasono dan Lisabona Rahman masuk kedalam golongan terakhir. Amerika dengan Hollywood sebagai kiblat perfilman dunia, selain memiliki banyak movie blogger yang handal seperti Dennis Cozzalio (Sergio Leone), Kim Morgan (Sunset Gun), dan ratusan movie blogger lainnya, ya ratusan -- bahkan situs film terkemuka TotalFilm.com pernah memuat artikel tentang 600 blog film yang layak dikunjungi, mereka pun memiliki banyak sekali kritikus film handal yang bekerja di media arus utama. Ada Vincent Canby (The New York Times), Richard Corliss (majalah Time), mendiang Roger Ebert (Chicago-Sun Times), Todd McCarthy (Variety, The Hollywood Reporter), dan masih banyak lagi yang lainnya. Media-media arus utama tersebut masih menjadi acuan bagi para penikmat film yang hendak mencari tontonan di akhir pekan atau bagi yang sudah menonton dan ingin sekedar menambah wawasan akan film yang telah ditontonnya. Rubrik ulasan film di media-media arus utama tadi memang diasuh oleh para ahli, para penikmat film yang dibekali ilmu yang memadai -- satu hal yang jarang terjadi di negeri ini. Hampir sebagian besar media massa di negeri ini dalam mengulas film masih berkutat soal menceritakan kembali sinopsis film, seputar siapa bintang film dan sutradaranya, lalu menjustifikasi filmnya sebagai tontonan yang baik atau buruk dengan memberi skor bak guru di sekolah yang memberi nilai ujian terhadap siswanya. Mereka masih belum menganggap penting rubrik film dengan tidak mempekerjakan pengasuh rubrik dari lulusan Kajian Film misalnya, atau setidak-tidaknya lulusan Sastra Indonesia atau Sastra Inggris yang telah mengenyam pendidikan soal apresiasi sastra dan turunannya beserta teori-teori pendukungnya. Lewat cara ini setidak-tidaknya ulasan film di media massa dapat dipertanggungjawabkan, serta memiliki kredibilitas. Ade Irwansyah adalah satu dari sedikit pengulas film di media massa arus utama yang memiliki kredibilitas itu. Tulisan-tulisannya biasanya tak begitu panjang, enak diikuti, ditulis dengan gaya yang santai namun mendalam dengan misalnya menelaah simbol-simbol tersirat dari suatu film. Tak jarang ia memberi peringatan “spoiler alert” di awal artikel. Karena konsekuensi dari menelaah film secara mendalam, memang terkadang pengulas harus membeberkan semua cerita dalam film, termasuk unsur kejutan yang selalu ada di penghujung sebuah film. Kita sebagai penikmat film memiliki banyak sekali alternatif bacaan pendamping selepas menonton film, ada ulasan “berat” dari Eric Sasono yang panjang-panjang, ulasan cerdas namun penuh nyinyir khas Mumu Aloha, atau ulasan dari Ade Irwansyah yang enak diikuti itu, belum lagi ulasan dari sejumlah movie blogger berhati mulia -- bagaimana tidak, tanpa dibayar, mereka dengan segala keikhlasan hati selalu menulis ulasan-ulasan film terkini secara berkala. Atau lewat majalah yang sedang anda pegang ini, makin memperkaya khasanah dunia kritik film di Indonesia bukan? Satu catatan kecil tentang kritik film di negeri ini bahwa mengapa para penikmat film tak membaca tulisan sejumlah kritikus film tertentu adalah karena para kritikus ini kekurangan humor, asik sendiri menelaah dengan mengolah kata-kata yang membuat pembacanya harus selalu sedia kamus bahasa Indonesia sebagai pendamping. Rasanya hanya angan-angan saja kita dapat menemukan seorang kritkus film setajam Eric Sasono namun juga seasik Mumu Aloha. Bila memang ada kritikus film yang seperti ini, insyaallah, dunia kritik film Indonesia akan semakin asyik saja untuk diikuti. September 2013 l Kinescope l 31
  • 32. OPINI Begitu charming dan berpengaruhnya seorang aktor atau BINTANG FILM, hingga bisa membatalkan sebuah produksi film, jika dia menolak untuk terlibat. Produser Tinker Taylor Soldier Spy (Tomas Alfredson, UK, 2011) dan There Will Be Blood (Paul Thomas Anderson, USA, 2007) berniat membatalkan produksinya, jika Gary Oldman dan Daniel Day Lewis menolak untuk main. Oldman dan Day Lewis tentu menyesal jika menolak, Oldman akhirnya mendapat nominasi Oscar pertamanya sebagai aktor terbaik dan Lewis meraih Oscar keduanya. Doni Agustan B eberapa aktor juga punya ‘power’ untuk menentukan lawan mainnya. Elizabeth Taylor menolak main dalam A Little Night Music karya Ingmar Berman produksi 1977, jika produser tetap menawarkan salah satu karakter utama film tersebut pada Bette Davis. Bette Davis adalah bintang film klasik yang menjadi diva perfilman Hollywood sejak 1930-an hingga awal tahun 60an. Davis meraih 11 nominasi Oscar dan memenangkan dua diantaranya, untuk Jezzebel (1938) dan Dangerous (1936). Liz (nama panggilan Elizabeth Taylor) yang juga telah memiliki dua piala Oscar ini (untuk Butterfield 8 dan Who’s Afraid Virginia Woolf), tidak ingin spotlightnya sebagai bintang senior saat itu harus dibaginya dengan kehadiran Davis. Lindsay Lohan terlibat langsung dalam pemilihan aktor yang akan memerankan Richard Burton untuk film televisi yang diangkat dari kisah hidup Elizabeth Taylor, Liz and Dick (2012). Begitu juga dengan Jennifer Lawrence, setelah tampil bersama dalam Silver Linings Playbook (2012) dan menang Oscar, dia bisa dengan mudah meminta Bradley Cooper berperan sebagai pasangannya lagi, untuk film terbaru karya Susanne Bier yang rencana akan rilis akhir 2013 ini. Bagaimana dengan urusan jualan? Will Smith, Tom Cruise, Julia Roberts, Tom Hanks, Meg Ryan dan Leonardo DiCaprio pernah dicap sebagai aktor-aktor yang dijamin membuat film laris. Begitu dipercayanya pesona mereka, masing-masing nama di atas ini bahkan pernah dibayar hingga 20 juta dollar Amerika per film. Will Smith misalnya, sejak berhasil membawa Independence Day menjadi salah satu film terlaris sepanjang masa, honornya meningkat pesat. Pesona Will juga terbukti mampu menarik jutaan ratusan juta dollar. Selama hampir 10 tahun, sejak 1997-2006, film-film yang dibintanginya hampir selalu meraih pemasukan di atas 100 juta dollar AS. Setali tiga uang dengan Smith, Tom Cruise adalah raja film-film box office era tahun 1990an. Hampir semua filmnya laris di pasaran. Bahkan Cruise juga menerima penghasilan dari persentase penjualan film-filmnya. Bagaimana dengan tahun 2013 ini untuk urusan jualan? Majalah Forbes terbitan bulan Juli 2013 merilis daftar aktris Hollywood dengan 32 l Kinescope l September 2013 Apa Itu a narny Sebe g Bintan Film?
  • 33. bayaran termahal, nama Angelina Jolie berada di posisi paling atas. Penghasilan bintang yang meraih Oscar untuk aktris pendukung terbaik dalam Girl, Interupted (1999) ini dilansir mencapai 33 juta dollar AS untuk periode Juni 2012 sampai Juni 2013. Jumlah tersebut 13 juta dollar AS lebih besar dari tahun sebelumnya. Sepak terjang tunangan aktor Brad Pitt ini sebagai penulis dan sutradara diyakini sebagai penyumbang pemasukannya selama setahun belakangan ini. Untuk menyutradarai film In the Land of Blood and Honey, Jolie dibayar 2,5 juta dollar AS. Film tersebut merain nominasi Golden Globe untuk film berbahasa asing terbaik 2012. Spekulasinya untuk film terbarunya Unbroken, Jolie dibayar 2 kali lipat dari honornya menyutradarai film In the Land of Blood and Honey. Tahun ini Jolie juga terlibat dalam film produksi Disney Maleficent, yang dispekulasi memberinya honor puluhan juta dollar AS. Sementara itu, bintang Twilight dan On the Road, Kristen Stewart yang pada tahun lalu berada di urutan teratas tahun ini berada di posisi ketiga dengan penghasilan 22 juta dollar AS. Di urutan kedua ada aktris muda berbakat Jennifer Lawrence. Penghasilan bintang Hunger Games ini untuk periode yang sama mencapai 26 juta dollar AS. Jennifer berhasil mengesar posisi Stewart karena berhasil meraih piala Oscar untuk perannya sebagai Tiffany dalam Silver Linings Playbook. Mantan istri Brad Pitt, Jennifer Aniston, berada pada posisi keempat dengan penghasilan 20 juta dollar AS, diikuti aktris Emma Stone dengan 16 juta dollar AS. Robert Downey Jr. menerima 75 juta dollar AS terhitung dari bulan Juni 2012 hingga Juli 2013. Hugh Jackman berada pada posis kedua dengan penghasilan 55 juta dollar AS. Diikuti dengan Channing Tatum pada posisi ketiga dan Mark Wahlberg pada posisi keempat. Tetapi bayaran mahal untuk bintang-bintang ini tidak selalu menjamin kesuksesan film-film yang mereka bintangi. Banyak juga film-film yang jeblok dipasaran walaupun sudah memanfaatkan nama-nama besar mereka. Cruise dan Diaz sudah pernah bekerja sama di Vanilla Sky, tetapi kehadiran mereka di film Knight and Day yang berbujet 117 juta dollar AS ini tidak membantu sama sekali. Karena Knight and Day hanya mampu mengumpulkan 20 juta dollar AS di minggu pertama penayangan. Untung saja, popularitas mereka di kancah internasional berhasil mengumpulkan 185 juta dollar AS. Selama lebih dari dua dekade, Tom Hanks menjadi jaminan box office. Sebut saja Forrest Gump, Sleepless in Seattle, dan masih banyak judul lainnya. Tapi kesuksesannya sebagai tokoh utama tidak diikuti oleh kiprahnya sebagai sutradara. Ia membintangi sekaligus menyutradai film Larry Crowne dan film ini hanya menghasilkan 35 juta dollar AS di pasar Amerika dan hanya meraih satu juta dollar lebih banyak di pasar Internasional. Julia Roberts gagal membawa Duplicity meraih sukses. Film berkisah tentang mata-mata ini meraup 40 juta dollar AS di Amerika Utara saja, dan 38 juta dollar AS untuk rilis internasional. Dengan total pendapatan 78 dollar AS, dibandingkan biaya produksi yang mencapai 60 juta dollar, film ini masuk kategori gagal. Film Julia lainnya, Eat, Pray, Love juga mengalami kegagalan di box office dan hanya meraup 80 juta dollar AS, tidak sesuai dengan bagaimana film ini banyak ditunggu-tunggu. Setahun sebelum Batman Begins, muncul film Catwoman dibintangi Halle Berry, yang sebelumnya sudah sangat dikenal sebagai Storm di X-Men. Dengan biaya produksi lebih dari 100 juta dollar AS, seharusnya ini merupakan tugas mudah baginya. Tapi total pendapatan film ini hanya 82 juta dollar AS. The Adventure of Pluto Nash yang dibintangi oleh Eddie Murphy disebut-sebut sebagai salah satu kegagalan luar biasa dalam sejarah film Hollywood. Biaya produksi yang mencapai 100 juta dollar AS, tetapi film fiksi ilmiah ini hanya berhasil meraup 7 juta dollar AS, untuk pasar Amerika dan internasional. Bagaimana dengan film lokal? Seberapa kuatkah pengaruh aktor? Untuk tahun 1980an kita punya The Big Five seperti Roy Marten, Robby Sugara, Yati Octavia, Doris Callebaut dan Jenny Rachman yang dibayar paling minimal 5 juta rupiah per film dan memang berhasil membuat film-film mereka laris pada waktu itu. Kita semua tahu, tahun 1970-1980an adalah era paling sukses film Indonesia. Era sekarang? Era film setelah bangkit lagi dari mati suri. Belum ada lagi bintang seperti Roy Marten atau Jenny Rachman. Mari kita sebut beberapa nama bintang film Indonesia saat ini, Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra misalnya. Dian dan Nicholas dulu disebut-sebut sebagai calon dua bintang besar, keduanya memang cukup berhasil menjadi ‘besar’ tetapi film-film yang mereka bintangi setelah Ada Apa Dengan Cinta (AADC) belum adalagi yang mencapai penghasilan AADC sebanyak 2 juta penonton. Kesimpulannya adalah bahwa ‘Industri’ film Indonesia belum punya bintang lagi. Belum ada ‘leading lady’ seperti Yati Octavia dan Doris Callebaut pada tahun 1970-1980an.  Bisa juga disimpulkan, kita belum punya bintang lagi! Pada kenyataannya, bahwa kejadian seorang aktor lokal menggagalkan sebuah produksi film pernah terjadi. Tinggal satu minggu menjelang syuting, semua sudah siap, sampai kemudian produser mengagalkan produksi film remake dari sebuah serial televisi tersebut , dengan rumour ‘aktor utamanya tidak deal’. Apakah aktor ini bisa kita sebut bintang? Silahkan putuskan sendiri. September 2013 l Kinescope l 33
  • 34. BEHIND THE SCENE 23.59 Sebelum Mati F ilm pertama dari komunitas Underdog Kick Ass berjudul 23:59 Sebelum Mati direncanakan akan tayang secara resmi pada 17 Oktober 2013 mendatang. Begitu lah yang tertulis pada akun resmi mereka, @2359SebelumMati: It’s official. Oct 17, 2013. Akan tayang di bioskop terdekat. Para pemain dalam film ini berasal dari berbagai macam latar belakang dan usia yang telah dilatih selama 6 bulan oleh para pembimbing yang sudah tidak diragukan lagi kemampuannya seperti sutradara besar Rudi Soedjarwo, pemain - penulis dan sutradara teater Adri Prasetyo, dramawan Erry Petrucci serta seorang sript supervisor Syahril Ismanto. Berkisah tentang 45 orang dalam momen 23:59 sebelum menghadapi kejadian penting dalam hidup mereka masing-masing yang dapat merubah, atau bahkan mengakhiri. Digarap oleh 2 sutradara baru, 10 penulis skenario baru, 2 penata fotografi baru, 2 musik baru yang diambil di 25 lokasi selama 90 hari. Teaser resminya sudah dirilis beberapa waktu lalu di youtube dan bisa dicari dengan kata kunci 23:59 Sebelum Mati - Official Teaser Trailer. Untuk mengetahui lebih lanjut silahkan klik http://www. underdogkickass.com 34 l Kinescope l September 2013
  • 35. Sinopsis Foto courtesy of Underdog KickAss & 23:59 Kisah sekitar 40 karakter memasuki phase 23 jam 59 menit sebelum menemui kejadian penting dalam hidupnya. Kematian juga merupakan bagian dari kejadian penting beberapa karakter di film ini. Seorang pria yang masa hidupnya penuh dengan perbuatan keji dimotori oleh rasa benci, memasuki masa 23:59 sebelum menemui ajalnya, memasuki masa-masa hidup lalunya, bertemu dengan sosok yang membawa misi akhir, apa yang terjadi di periode waktu tersebut. Kematian bukan hanya kejadian dalam hidup yang terlihat di film ini. Bahkan banyak hal-hal dalam kehidupan yang sangat berarti, tanpa kita sadari terjadi setelah melalui ruang waktu 23 jam 59 menit. Termasuk dua manusia yang ditemukan tanpa rencana, saling mengisi ruang waktu di masa 23:59 sebelum menghadapi moment penting dalam hidupnya yang terpisah. September 2013 l Kinescope l 35
  • 36. ON LOCATION Produser Irwansyah Raffi Ahmad Furqy Tayang 12 September 2013 Produksi R1 Pictures Pemeran ZaskiaSungkar ShireenSungkar Revalina S. Temat Renata Kusmanto Fahrani Empel, Irwansyah Teuku Wisnu Didi Riyadi Ganindra Bimo Marcell Domits Wanita tetap Wanita Wanita Tetap Wanita merupakan tanda cinta bagi seluruh perempuan Indonesia. Disutradarai oleh 4 orang sutradara muda Indonesia, Irwansyah, Teuku Wisnu, Didi Riyadi dan Reza Rahadian. F ilm ini bertutur tentang kehidupan 5 orang perempuan berbeda latar-belakang pekerjaan, kehidupan sosial, dan inisiasi memperjuangan hidup, namun memiliki satu misi yaitu ‘membahagiakan hati yang butuh bahagia dengan segala kekisruhan prahara dunia’. Sederhana, namun menjiwa. Wanita Tetap Wanita bercerita tentang kekuatan perempuan menghadapi segala konflik yang ada di sekitar kita. Banyak orang menganggap perempuan lemah dan hanya menggantungkan hidup pada Lelaki. Tapi, tidakbanyak yang menyadari betapa hebatnya perempuan. Di atas bahu kecilnya, bahkan perempuan sanggup menanggung beban dunia. Di kedua mata sendunya, perempuan 36 l Kinescope l September 2013 menyimpan jutaan cerita yang ingin dibagi kepada dunia. Di kedua tangannya, dunia akan direngkuh dalam damai penuh cinta dan harapan. Tidak ada yang tidak mungkin dilakukan perempuan, karena perempuan memiliki otak, akal, mata, dan jiwa yang kuat, namun dengan hati yang lembut penuh kasih. SINOPSIS Wanita Tetap Wanita dibagi dalam 5 plot cerita yang memiliki 1 benang merah, bahwa Perempuan adalah superwomenjika ditelisik melalui berbagai sisi, bukan hanya lewat sisi simpati. Terdapat 5 judul cerita yaitu “Reach The Star”, “First Crush”, “In Between”, “Cupcakes” dan “WithorWithout”.
  • 37. With or Without Sutradara: RezaRahadian Penulis: Lily NailufarMahbob Cupcakes Sutradara: Didi Riyadi Penulis: IlmaFathnurfirda Shana merasa terpuruk setelah ditinggal oleh calon suaminya, Rangga di hari pernikahannya. Didukung sahabatnya, Jasmine, ia berusaha bangkit dengan memanfaatkan keahliannya, Shana membuka gerai cupcake. Usaha cupcakeShana melejit perlahan tapi pasti, seperti hati Shana yang diam-diam berusaha membuka diri untuk kehadiran Fauzan, abang Jasmine yang diam-diam menaruh hati pada Shana. DisaatShana sudah siap untuk move on, Rangga mendadak muncul dihadapannya. Shana berusaha kuat, ada sakit hati bernama cinta yang kembali menyeruak, namun Shana berusaha meyakinkan diri ada kalanya manusia jatuh agar belajar berdiri dengan dua kaki. Trauma pada masa lalu membuat Adith menutup diri dari kehadiran laki-laki. Adith berjuang keras untuk membuat dirinya bangga bisa bertumpu pada kemampuan dirinya sendiri sebagai perempuan. Menulis banyak novel tentang empower perempuan, membuat Adith seakan berada di atas angin kalau hidup perempuan tidak harus bersanding dengan laki-laki. Hingga dalam satu kali perjalanan, Adith bertemu Rangga, supir taksi yang merupakan sarjana filsafat dengan pemikirannya yang filosofis. Tanpa sadar, Adith jatuh cinta. Rangga menyimpan kharisma sendiri di mata Adith dan membuat Adith kembali percaya bahwa pria dan wanita diciptakan untuk saling mencinta. Kebersamaan mengantarkan mereka pada satu komitmen pernikahan. First Crush Sutradara: Teuku Wisnu Penulis: Hotnida Harahap Reach The Star Sutradara: Irwansyah | Penulis: Wina Aswir Cinta masa remaja berada di depan mata saat Nurma dewasa dan sudah bertunangan dengan Iko. Cinta itu masih melekat pada Andy, mantan guru les Nurma saat SMP. Tidak disangka, Nurma yang baru menyandang gelar Sarjana Hukum, diterima bekerja di kantor advokat milik Andy. Seiring dengan intensitas pertemuan Nurma dan Andy dalam menangani kasus KDRT terhadap perempuan, hubungan mereka terus berkembang. Nurma menemukan kebahagiaan saat bersama Andy yang sudah berkeluarga. Nurma memutuskan pertunangannya dengan Iko, mencoba memenangkan hatinya yang berkecamuk saat bersama Andy. Sampai akhirnya, Nurma tersadar pada satu titik, saat menempatkan dirinya sebagai Istri Andy, sebagai jutaan perempuan lain diluar sana yang suaminya ‘main gila’ dengan perempuan lain. Janji adalah hutang yang harus dilunasi sampai mati, begitulah ucap bakti Kinan tertuju bagi kedua orang tuanya, walaupun Ayah Kinan sudah meninggal. Kinan berjuang sekuat tenaga untuk bisa menyandangkan gelar Hajj di nama Ayah dan Ibunya. Impiannya sudah di In Between Sutradara: Irwansyah | Penulis: Yunialarasati P Menjadi kepala keluarga, sekaligus kakak bagi Lola dan Teddy bukanlah pilihan Vanya. Apalagi, Lola yang mengidap Autis membutuhkan perhatian khusus. Vanya terus berupaya agar Lola bisa diterapi sesuai kebutuhannya. Biaya terapi yang tidak sedikit, membuat Vanya memaksa dirinya untuk tetap eksis di dunia model. Namun, usaha itu dijengkal Dion yang ingin sekali bercinta dengan Vanya. Karena mendapat penolakan, Dion mengumbar pemberitaan miring tentang Vanya, yang membuat karirVanya berada di ujung tanduk. Vanya memiliki taktiknya sendiri hingga Dion terjebak. Vanya membersihkan namanya dari fitnah Dion dan dengan keahliannya, menjadi model dan DJ. Vanya mampu memenuhi harapannya sendiri, memasukkan Lola ke terapi lanjutan. Inilah yang disebut Vanya sebuah pencapaian saat mimpi tidak hanya dibiarkan mengendap di dasar impian. depan mata, saat Kinan lolos satu-per-satutest di Maskapai Penerbangan Internasional. Namun, berita tidak enak menyeruak ke infotainment sejak Iko, seorang Selebritas yang terkenal playboy berusaha mendekati Kinan. Muncul berita pedas kalau Kinan merupakan Pramugari simpanan Pilot. Hati Kinan terluka saat segala daya dan upaya dikerahkan untuk membahagiakan Ibunya, malah penolakan yang didapat. Di tengah perasaannya yang tercabik-cabik, Kinan menyandarkan harapannya pada kekuatan yang tersisa, menepis Iko yang terus berusaha mendapat sedikit tempat di hati Kinan. September 2013 l Kinescope l 37
  • 38. SPOTLIGHT Doni Agustan Bintang-Bintang Film Indonesia yang berkiprah Internasional “Dengan menggunakan Indonesia sebagai lokasi syuting, tentu ini membuka kesempatan bintang-bintang film lokal untuk terlibat dalam produksi film luar” 38 l Kinescope l September 2013 B elakangan kebijakan Pemerintah Indonesia memberikan keleluasaan dan kemudahan untuk pihak asing termasuk industri film Hollywood untuk syuting di Indonesia. Walaupun sejak dulu sebenarnya sudah ada beberapa film yang menggunakan Indonesia sebagai lokasi syuting, tetapi baru belakangan berita seputar hal ini diekspose oleh media. Michael Mann dan team, baru-baru ini memilih Indonesia sebagai lokasi untuk film terbarunya yang berjudul Cyber. Cyber yang berisah tentang hacker ini mengambil beberapa lokasi di Jakarta seperti Kampung Ambon dan Lapangan Banteng. Sebelumnya, Oliver Stone memanfaatkan pantai-pantai Bali untuk lokasi syuting filmnya, Savages, yang dibintangi oleh Aaron Johnson dan Blake Lively. Dengan menggunakan Indonesia sebagai lokasi syuting, tentu ini membuka kesempatan bintang-bintang film lokal untuk terlibat dalam produksi film luar tersebut. Eat Pray Love karya Ryan Murphy yang dibintangi Julia Roberts yang memanfaatkan Bali sebagai lokasi syutingnya, membuka pintu karir Christine Hakim ke Hollywood. Christine mendapatkan peran penting dalam film ini. Nama Christine Hakim tentu menjadi sosok paling utama untuk kita berbicara tentang bintang-bintang film Indonesia yang berkiprah pada dunia film internasional. Festival Film Cannes 2002 menjadi pembuka pamor Christine Hakim di peta perfilman dunia. Ia menjadi orang Indonesia pertama yang menjadi juri di salah
  • 39. satu festival film tertua di dunia tersebut. Christine Hakim menjadi juri bersama Sharon Stone dan bintang film asal Malaysia, Michelle Yeoh. Hubungan Christine dengan Cannes telah dimulai sejak tahun 1998 saat film Daun di Atas Bantal karya Garin Nugroho diputar pada festival tersebut untuk kategori Un Certain Regard. Film ini juga mengantarkannya meraih popularitas di Asia karena meraih penghargaan pemeran utama wanita terbaik pada Festival Film Asia Pasifik 1998. Dua tahun sebelumnya, Christine juga telah terlibat dalam sebuah film drama produksi Jepang yang berjudul Sleeping Man karya Kohei Oguri. Sleeping Man juga dibintangi oleh aktor watak terkenal Jepang saat ini, Koji Yakusho. Selain nama Christine Hakim, jangan lupakan Willy Dozan. Saat ini mungkin kita hampir lupa bahwa kita punya seorang aktor laga seperti Willy Dozan yang telah berkarir pada salah pusat perfilman dunia yaitu Hong Kong. Dalam kurun waktu 3 tahun, 1979-1982, Willy yang memiliki nama lahir Chuang Cen Li, terlibat dalam 8 film produksi Hong Kong. Filmfilm tersebut adalah Hard Way to Die (1979), Super Power (1979), Black Belt Karate (1979), Crystal Fist (1979), Black Jim Smashes All (1980), A Fistful of Talons (1981), Kung Fu from Beyond the Grave (1982) dan Kung Fu Zombie (1982). Yang paling baru tentu Joe Taslim dan Iko Uwais. Dua bintang dari film The Raid Redemption karya sutradara Garreth Evans ini, mendapatkan kesempatan berkarir untul film produksi Hollywood. The Raid mendapatkan respon positif saat rilis di Amerika Serikat membuka pintu bagi Joe dan Iko untuk mempertinggi jam terbang mereka sebagai aktor. Joe Taslim mendapatkan peran dalam salah satu franchise film Hollywood, The Fast and the Furious 6. Selama beberapa bulan, Joe Taslim bersama bintang-bintang besar Hollywood digembleng dalam workshop untuk keperluan adegan action dalam film tersebut. Film yang rilis summer 2013 lalu ini menjadi salah satu film paling laris tahun ini. Bukan tidak mungkin Joe Taslim akan mendapatkan tawaran menarik selanjutnya dari Hollywood. Man of Taichi adalah sama-sama karya debut untuk Keanu Reeves dan Iko Uwais. Film ini adalah debut karir Iko di Hollywood dan debut Reeves sebagai sutradara. Selain menyutradarai, Reeves juga tampil sebagai pemain utama dalam film yang rilis Indonesia pada tangga 11 Juli 2013 ini. Selain beradu akting dengan Reeves, Iko juga dipertemukan dengan dua mega star Hong Kong, Simon Yam dan Karen Mok. Film yang mengambil setting di Beijing ini mengisahkan tentang perjalanan spiritual Tiger Chen yang adalah seorang petarung martial arts. Agnes Monica yang lebih dikenal sebagai penyanyi juga telah berhasil merambah dunia film dan televisi Asia. Agnes yang sukses sebagai salah satu bintang televisi terpopuler di Indonesia ini terlibat dalam beberapa drama seri produksi televisi Taiwan yaitu The Hospital dan Romance In the White House. Agnes juga terlibat dalam sebuah film produksi Singapura yang berjudul 3 Peas in a Pod yang baru akan rilis 14 November 2013. Bagaimana dengan bintang-bintang film kita yang terlibat dalam Java Heat? Tentu keberuntungan bagi Tio Pakusadewo, Atiqah Hasiholan, Aryo Baru, Rio Dewanto, dan Mike Muliardo bisa beradu akting dengan Kellan Lutz dan Mickey Rourke. Tetapi sayangnya Java Heat hanya rilis terbatas di Amerika Serikat, peluang bintang-bintang ini untuk mendapatkan kesempatan seperti Christine Hakim, Joe Taslim dan Iko Uwais memang lebih kecil, tetapi kemungkinan tersebut tentunya tetap ada. Bagaimana kabar dengan keterlibatan Cinta Laura dalam film The Philosopher? Kita tunggu saja film yang rencana baru akan rilis tahun 2014 ini. September 2013 l Kinescope l 39