Analisis siklus hidup destinasi pariwisata bali kajian ekonomi pariwisata terhadap destinasi
1. Page | 0
ANALISIS SIKLUS HIDUP DESTINASI PARIWISATA BALI: KAJIAN
EKONOMI PARIWISATA TERHADAP DESTINASI
Oleh
I Gusti Bagus Rai Utama
Program S3 (Doktor) Pariwisata Universitas Udayana
Abstract
Tourist Area lifecyle analysis, and Indext of Irritation, used to know each destination on
the destination life cycle phase, where the results of this analysis will be used to
formulate strategy management, marketing of destination based on five aspects namely:
fairness, effectiveness, efficiency, credibility and integration. Irritation Index analysis
actually is periodic review of involving stakeholders in the formulation of sustainable
tourism development strategy. Policies will be very important thing to adapt from time-to
time as destinations are like at a different phase and the previous policy may no longer
relevant to the current situation. On the other hand, a obligation to accommodate the
entire input or opinions from various stakeholder groups in terms of problem
identification, legitimacy, participation and conflict resolution. Stakeholder framework
has been applied in combination with the tourist destination life cycle in order to analyze
the stakeholders' attitudes toward tourism and sustainable development. Tanah Lot
Tourism Object is a fact that a tourist attraction or a tourist destination will always
change and require different management strategies in harmony with the conditions of an
object on the phase whether it actually was. While the attractions of Bali Botanical
Garden is a good example to explain the transfer function of an area into a tourist
attraction which is felt to support the main functions of a particular area related to aspects
of economic values from tourism activities.
Keyword: Tourist Area lifecyle, Indext of Irritation, economic values, tourism activities
1. Pendahuluan
Saat ini pariwisata seringkali dipersepsikan sebagai mesin penggerak ekonomi
atau penghasil devisa bagi pembangunan ekonomi di suatu negara, tanpa terkecuali di
Afrika. Namun pada kenyataannya, pariwisata memiliki spektrum fundamental
pembangunan yang lebih luas bagi suatu negara. 1
Pariwisata internasional pada tahun
2004 mencapai kondisi tertinggi sepanjang sejarah dengan mencapai 763 juta orang dan
menghasilkan pengeluaran sebesar US$ 623 miliar. Kondisi tersebut meningkat 11% dari
jumlah perjalanan tahun 2003 yang mencapai 690 juta orang dengan jumlah pengeluaran
1
Tourism Highlight 2005, UN-WTO, Madrid
2. Page | 1
US$ 524 miliar. Seiring dengan hal tersebut, diperkirakan jumlah perjalanan wisata dunia
di tahun 2020 akan menembus angka 1,6 miliar orang per tahun (UN-WTO, 2005) seperti
nampak pada grafik.1 di bawah ini:
Grafik 1, 2
Tourism Vision 2020 – UNWTO.
Melihat trend positif dari pertumbuhan pariwisata global, optimisasi pembangunan
pariwisata sebagai sebuah alternatif pembangunan untuk pengganti sektor agraris dan
industri yang cenderung merusak sumber daya alamiah semakin mendapat sambutan yang
lebih meyakinkan.
Munculnya isu pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan adalah sebagai hal
yang dinamis dalam skala industri secara makro melalui pendekatan strategis dalam
perencanaan dan pembangunan sebuah destinasi pariwisata. 3
Meskipun banyak anggapan
bahwa pariwisata adalah sebuah sektor pembangunan yang kurang merusak lingkungan
dibandingkan dengan industri lainnya, namun jika kehadirannya dalam skala luas akan
menimbulkan kerusakan lingkungan fisik maupun sosial (Murphy dan Price dalam
Theobald, 2004).
Melanjutkan konsep pembangunan berkelanjutan, Murphy dan Price (dalam
Theobald, 2004) berpendapat bahwa ada hubungan antara ekonomi dan lingkungan serta
memiliki hubungan yang sangat erat. Kepentingan pariwisata dalam pembangunan
berkelanjutan adalah logis mengingat bahwa pariwisata adalah salah satu industri yang
2
Tourism Vision 2020 – UNWTO.
3
Although tourism is generally regarded as less destructive to the environment than most other industries,
nevertheless, its sheer size and widespread presence has already created negative physical and social
environmental damage. Furthering the concept of sustainable development, Murphy dan Price (dalam
Theobald, 2004)
3. Page | 2
produknya menjual lingkungan, baik fisik dan manusia sebagai sebuah totalitas produk.
Penulis lainnya juga berpendapat bahwa integritas dan kelangsungan produk pariwisata
telah membutuhkan perhatian utama sebagai sebuah industri. Mereka berpendapat bahwa
apa yang sekarang dilakukan dalam penelitian pariwisata dan kebijakan adalah upaya
yang lebih besar untuk menghubungkan kepentingan akademik dan pemerintah dalam
mengejar kepentingan pengembangan pariwisata yang lebih berkelanjutan dengan para
pelakunya pada garis depan yakni praktisi industri dan wisatawan.
Sebenarnya pembangunan pariwisata merupakan konsep yang sedang
berkembang, konsep siklus hidup pariwisata dan konsep daya dukung saling terkait
adalah cara yang baik dan dinamis untuk melihat kondisi dan perkembangan pariwisata.
Konsep siklus hidup menunjukkan bahwa daerah tujuan wisata senantiasa mengalami
perubahan dari waktu ke waktu, dan kemajuannya dapat dilihat melalui tahapan-tahapan
dari pengenalan hingga penurunan. Dengan pengelolaan yang baik, pariwisata
berperanan untuk memberdayakan sumber daya yang langka serta menjadikan industri
pariwisata dapat diperpanjang siklus hidupnya dan berkelanjutan (Theobald, 2004)
Masalah standar dalam industri pariwisata juga menjadi isu yang sangat menarik
untuk diutarakan sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan pariwisata yang
bertanggungjawab dan berkelanjutan. Standar adalah dokumen yang menetapkan dasar,
contoh atau prinsip untuk menyesuaikan hal-hal yang terkait dengan unit pengukuran
yang seragam. Standar dapat berupa kewajiban (misalnya, ditetapkan dalam undang-
undang) yang membahas pengembangan standar keberlanjutan dari usaha-usaha lokal
untuk menciptakan perbaikan bisnis sebagai bagian dari upaya persiapan bersaing pada
industri pariwisata global. Proposisi yang ditetapkan pada pembahasan tentang standar
adalah bahwa penetapan standar dan sertifikasi adalah alat berharga untuk membantu
membawa para pemangku kepentingan bersama-sama menemukan sebuah kesepakatan
bentuk penilaian yang bertanggungjawab. Sertifikasi adalah proses yang bertujuan untuk
membantu meningkatkan standar industri dan merupakan alat kebijakan untuk melakukan
perbaikan secara sukarela di bawah lima aspek: keadilan, efektivitas, efisiensi,
kredibilitas dan integrasi (Theobald, 2004).
Dalam pengembangan strategi pariwisata dan kebijakan, otoritas yang
bertanggung jawab, harus mempertimbangkan pandangan dari sejumlah pemangku
4. Page | 3
kepentingan termasuk industri, penduduk, kelompok khusus yang mewakili kepentingan
lingkungan dan masyarakat, serta wisatawan sendiri.
Pelibatan stakeholder dalam perumusan strategi pengembangan pariwisata yang
berkelanjutan dan kebijakan mungkin menjadi hal yag sangat penting untuk diperhatikan.
Sebuah keharusan mengakomodasi seluruh masukan atau pendapat dari berbagai
kelompok pemangku kepentingan dalam hal identifikasi masalah, legitimasi, keterlibatan
dan resolusi konflik. Kerangka stakeholder telah diterapkan dalam hubungannya dengan
siklus hidup daerah tujuan wisata dalam rangka menganalisis sikap terhadap pemangku
kepentingan pariwisata dan pembangunan berkelanjutan.
Di banyak negara-negara dunia maju, pertentangan tajam terjadi antara kelompok
konservasionis dan industri pariwisata. Konservasionis berpendapat bahwa lingkungan
harus mendapatkan perlindungan dan pembatasan pada pertumbuhan pariwisata yang
dramatis. Industri Pariwisata di sisi lain berusaha untuk meningkatkan dan
mengembangkan fasilitas baru untuk mewujudkan kepuasan wisatawan.
Lebih Lanjut, Hudson dan Miller (Theobald, 2004) mengeksplorasi hubungan
antara pentingnya etika dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan dan
mempertimbangkan bagaimana pemahaman tentang pendekatan etis dari para pejabat
pariwisata di masa depan bisa menguntungkan mereka secara efektif dalam mengelola
industri di masa depan. Hudson dan Miller (Theobald, 2004) menyimpulkan bahwa
negara-negara maju mungkin akan mengalami tekanan besar untuk menetapkan hak atas
alam agar penduduk lebih makmur dan oleh karena itu menjadi lebih peduli dengan
masalah estetika, namun, gerakan untuk perlindungan lingkungan tidak mungkin untuk
dilanjutkan pada negara-negara yang kurang berkembang di mana isu-isu kelangsungan
hidup lebih mendesak untuk dibicarakan dibandingkan isu-isu konservasi.
2. Kajian Teoritis
Dalam pembangunan dan pengembangan pariwisata khususnya pengembangan kawasan
wisata atau obyek wisata pada umumnya mengikuti alur atau siklus kehidupan pariwisata yang
lebih dikenal dengan Tourist Area Life Cycle (TLC) sehingga posisi pariwisata yang akan
dikembangkan dapat diketahui dengan baik dan selanjutnya dapat ditentukan program
pembangunan, pemasaran, dan sasaran dari pembangunan pariwisata tersebut dapat ditentukan
5. Page | 4
dengan tepat.
2.1. Tourist Area Lifecycle
Siklus hidup pariwisata pada umumnya mengacu pada konsep 4
TLC (Butler’s 80,
Tourist Area Lifecycle) yang dapat dijabarkan pada Grafik 2. (Hypothetical Evolution
of a Tourist Area) sebagai berikut :
5
Grafik 2. Hypothetical Evolution of a Tourist Area.
Source: Butler, R. W. 1980. "The Concept of a Tourism Area Life Cycle
of Evolution: Implications for Management of Resources." The Canadian
Geographer 24(1), p. 8.
Tahap 1. Penemuan (Exploration)
Potensi pariwisata berada pada tahapan identifikasi dan menunjukkan destinasi memiliki
potensi untuk dikembangkan menjadi daya tarik atau destinasi wisata karena didukung oleh
keindahan alam yang masih alami, daya tarik wisata alamiah masih sangat asli, pada sisi lainnya
telah ada kunjungan wisatawan dalam jumlah kecil dan mereka masih leluasa dapat bertemu dan
berkomunikasi serta berinteraksi dengan penduduk local. Karakteristik ini cukup untuk dijadikan
alasan pengembangan sebuah kawasan menjadi sebuah destinasi atau daya tarik wisata.
4
TouristAreaLifeCycle(TLC)
5
Butler,R.W.1980."TheConceptofaTourismAreaLife Cycleof Evolution: ImplicationsforManagementof
Resources."TheCanadianGeographer24(1),p.8.
6. Page | 5
Tahap 2. Pelibatan (Involvement)
Pada tahap pelibatan, masyarakat lokal mengambil inisiatif dengan menyediakan
berbagai pelayanan jasa untuk para wisatawan yang mulai menunjukkan tanda-tanda peningkatan
dalam beberapa periode,. Masyarakat dan pemerintah local sudah mulai melakukan sosialiasi
atau periklanan dalam skala terbatas, pada musim atau bulan atau hari-hari tertentu misalnya pada
liburan sekolah terjadi kunjungan wisatawan dalam jumlah besar, dalam kondisi ini pemerintah
local mengambil inisiatif untuk membangun infrastruktur pariwisata namun masih dalam skala
dan jumlah yang terbatas.
Tahap 3. Pengembangan (Development)
Pada tahapan ini, telah terjadi kunjungan wisatawan dalam jumlah besar dan pemerintah
sudah berani mengundang investor nasional atau internatsional untuk menanamkan modal di
kawasan wisataw yang akan dikembangkan. Perusahaan asing (MNC) Multinational company6
)
telah beroperasi dan cenderung mengantikan perusahan local yang telah ada, artinya usaha kecil
yang dikelola oleh penduduk local mulai tersisih hal ini terjadi karena adanya tuntutan wisatawan
global yang mengharapkan standar mutu yang lebih baik. Organisasi pariwisata mulai terbentuk
dan menjalankan fungsinya khususnya fungsi promotif yang dilakukan bersama-sama dengan
pemerintah sehingga investor asing mulai tertarik dan memilih destinasi yang ada sebagai tujuan
investasinya.
Tahap. 4 Konsolidasi (consolidation)
Pada tahap ini, sektor pariwisata menunjukkan dominasi dalam struktur ekonomi pada
suatu kawasan dan ada kecenderungan dominasi jaringan international semakin kuat memegang
peranannya pada kawasan wisataw atau destinasi tersebut. Kunjungan wisatawan masih
menunjukkan peningkatan yang cukup positif namun telah terjadi persaingan harga diantara
perusahaan sejenis pada industri pariwisata pada kawasan tersebut. Peranan pemerintah local
mulai semakin berkurang sehingga diperlukan konsolidasi untuk melakukan re-organisasional,
dan balancing peran dan tugas antara sector pemerintah dan swasta.
6
Multinationalcompany:HotelChain,Franchising,Tour agency,etc
7. Page | 6
Tahap. 5 Stagnasi (Stagnation)
Pada tahapan ini, angka kunjungan tertinggi telah tercapai dan beberapa periode
menunjukkan angka yang cenderung stagnan. Walaupun angka kunjungan masih relative
tinggi namun destinasi sebenarnya tidak menarik lagi bagi wisatawan. Wisatawan yang
masih datang adalah mereka yang termasuk 7
repeater guest atau mereka yang tergolong
wisatawan yang loyal dengan berbagai alasan. Program-program promosi dilakukan
dengan sangat intensif namun usaha untuk mendatangkan wisatawan atau pelanggan baru
sangat sulit terjadi. Pengelolaan destinasi melampui daya dukung sehingga terjadi hal-hal
negative tentang destinasi seperti kerusakan lingkungan, maraknya tindakan kriminal,
persaingan harga yang tidak sehat pada industry pariwisata, dan telah terjadi degradasi
budaya masyarakat lokal.
Tahapan. 6 Penurunan atau Peremajaan (Decline/Rejuvenation)
Setelah terjadi Stagnasi, ada dua kemungkinan bisa terjadi pada kelangsungan
sebuah destinasi. Jika tidak dilakukan usaha-usaha keluar dari tahap stagnasi, besar
kemungkinan destinasi ditinggalkan oleh wisatawan dan mereka akan memilih destinasi
lainnya yang dianggap lebih menarik. Destinasi hanya dikunjungi oleh wisatawan
domestik saja itupun hanya ramai pada akhir pekan dan hari liburan saja. Banyak fasilitas
wisata berubah fungsi menjadi fasilitas selain pariwisata. Jika Ingin Melanjutkan
pariwisata?, perlu dilakukan pertimbangan dengan mengubah pemanfaatan destinasi,
mencoba menyasar pasar baru, mereposisi attraksi wisata ke bentuk lainnya yang lebih
menarik. Jika Manajemen Destinasi memiliki modal yang cukup?, atau ada pihak swasta
yang tertarik untuk melakukan penyehatan seperti membangun atraksi man-made, usaha
seperti itu dapat dilakukan, namun semua usaha belum menjamin terjadinya peremajaan.
2.2. Index of Irritation
Untuk menentukan perkembangan sebuah destinasi dapat digunakan analisis
8
Index of Irritation yang terdiri dari empat tahapan atau fase yakni: Euphoria, Apathy,
7
repeater guest adalah mereka yang tergolong wisatawan yang loyal dengan berbagai alasan
8
Index of Irritation: Euphoria, Apathy, annoyance, dan antagonism
8. Page | 7
annoyance, dan antagonism. Metode ini lebih mengarah pada analisis sosial yang
mengukur dampak pariwisata dari sisi sosial. Hasil dari analisis ini dapat mengukur
perubahan perilaku masyarakat lokal terhadap kehadiran pariwisata di daerahnya.
(1) Phase Euphoria ditandai dengan temukannya potensi pariwisata kemudian
pembangunan dilakukan, para investor datang menanamkan modal dengan
membangun berbagai fasilitas bisnis pendukung pariwisata, sementara wisatawan
mulai berdatangan ke sebuah destinasi yang sedang dibangun, namun perencanaan
dan kontrol belum sepenuhnya berjalan dengan baik.
(2) Phase Apathy ditandai dengan adanya perencanaan terhadap destinasi khususnya
berhubungan dengan aspek pemasaran termasuk promosi pariwisata. Terjadinya
hubungan antara penduduk local dengan penduduk luar dengan tujuan bisnis,
sementara wisatawan yang datang berusaha menemukan keistimewaan yang dimiki
oleh destinasi namun tidak menemukannya.
(3) Phase berikutnya adalah Phase Annoyance dengan ditandai terjadinya kelesuan pada
pengelolaan destinasi mulai terasa atau dapat dikatakan mendekati titik jenuh. Para
pemegang kebijakan mencari solusi dengan meningkatkan pembangunan infrastruktur
tanpa berusaha mengurangi jumlah wisatawan yang datang ke destinasi sehingga
kedatangan wisatawan dianggap sudah mengganggu masyarakat local.
(4) Phase yang terakhir dalam analisis Index of Irriatation adalah Antagonism dimana
masyarakat local merasa telah terjadi gesekan social secara terbuka akibat kehadiran
para wisatawan dan wisatawan dianggap sebagai penyebab dari segala permasalahan
yang terjadi pada sebuah destinasi. Perencanaan pada destinasi dilakukan dengan
melakukan promosi untuk mengimbangi menurunnya citra destinasi.
3. Metode Analisis
Data sekunder yang tersedia di sejumlah publikasi dan laporan penelitian, menjadi
sumber data utama yang akan dianalisis. Sedangkan data dan informasi yang telah
dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis dengan 2 (dua) alat analisis yakni TLC (Tourist
Area Life Cycle), dan Irritation Index. Hasil analisis selanjutnya dibandingkan dengan
teori pendukung dan hasil penelitian sebelumnya yang memiliki kesamaan dan kemiripan.
9. Page | 8
4. Hasil Analisis dan Pembahasan
Pembahasan pada analisis ini menggunakan tiga sample obyek wisata dimana
ketiga obyek wisata tersebut sedang diuji keberlanjutannya. Dengan menggunakan dua
pendekatan analisis yakni Tourist Area Lifecycle dan Irritation Index, berusaha membuat
kajian dampak ekonomi obyek terhadap pembangunan masyarakat local setempat. Obyek
wisata yang dimaksud adalah: Obyek wisata Tanah Lot di Tabanan, dan Obyek Wisata
Kebun Raya Bedugul Bali di kawasan Bali tengah.
4.1. Obyek Wisata Tanah Lot Tabanan
Pura Tanah Lot terletak di Pantai Selatan Pulau Bali tepatnya di wilayah Desa
Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Keberadaan Pura Tanah Lot pada
mulanya berhubungan erat dengan perjalanan Danghyang Nirartha atau Danghyang
Dwijendra di Pulau Bali. Pura Tanah Lot didirikan pada abad ke XV masehi oleh
Danghyang Nirartha atau yang dikenal sebagai Empu Bawu Rawuh yang berasal dari
Kerajaan Majapahit di pulau Jawa. Saat ini, Pura Tanah Lot merupakan daya tarik utama
bagi obyek wisata Tanah Lot, selain itu pula Tanah Lot memiliki daya tarik matahari
tenggelam (SunSet), dan Aktivitas upacara keagamaan pada hari-hari tertentu.
Gambar 2. Aktivitas Upacara pada Pura Tanah Lot
Sumber: www.balineseindonesia.blogspot.com
10. Page | 9
Sejak tanggal 1 Juli 2000 pengelolaan obyek wisata Tanah Lot ditangani oleh
Desa Adat Beraban dengan membentuk Badan Pengelola Obyek Wisata Tanah Lot
(BPOWTL). Distribusi hasil pengelolaan Obyek Wisata Tanah Lot, berdasarkan surat
perjanjian No. 01/HK/2000 tentang kerjasama pengelolaan obyek wisata Tanah Lot yang
ditandatangani oleh Nyoman Adiwiryatama selaku Bupati Tabanan, I Made Deka selaku
Bendesa Adat Beraban, I Gusti Gede Aryadi selaku pihak CV. Ary Jasa Wisata.
Persentase yang disepakati bersama adalah sebesar (55%) diserahkan kepada Pemda, CV.
Ari Jasa Wisata memperoleh sebesar (15%), Desa Adat Beraban sebesar (20%), Pura
Tanah Lot dan Pura sekitarnya memperoleh sebesar (5%) dan sisanya (5%) dibagikan
kepada Desa-Desa Adat se-Kecamatan Kediri. Persentase ini disepakati (diberlakukan)
sampai tahun 2011 (Desa Adat Beraban, 2010)
Retribusi dikenakan untuk setiap pengunjung adalah sebesar Rp. 5000 untuk
anak-anak Lokal, dan sebesar Rp.7500 untuk Dewasa Lokal. Sedangkan untuk wisatawan
mancanegara dikenakan satu tariff yaitu Rp. 10.000 baik untuk wisatawan anak-anak
ataupun dewasa yang sudah termasuk asuransi. Retribusi parkir untuk kendaraan roda dua
dikenakan biaya retribusi sebesar Rp. 2000 sedangkan kendaraan roda empat dikenakan
biaya sebesar Rp.5000, serta kendaraan roda enam sebesar Rp.10.000. Setiap pedagang
yang memiliki kios dikenakan biaya sebesar Rp. 1.200/hari dan untuk pedagang yang
hanya menggunakan lapak, dikenakan biaya Rp. 750/hari (Observasi, 2010)
4.1.1. Kontribusi Objek Wisata Tanah Lot Terhadap Desa Adat Beraban
1) Kontribusi terhadap Pendapatan Desa
Saat ini Obyek Wisata Tanah Lot memiliki peranan yang sangat penting dalam
kontribusinya terhadap pendapatan Desa Adat Beraban. Kontribusi Obyek Wisata Tanah
Lot untuk Desa Adat Beraban digunakan untuk pembangunan dan perawatan pura yang
ada di Desa Beraban, sehingga dapat meringankan beban masyarakat dalam dalam
melaksanakan upacara agama. Perincian sumber-sumber pendapatan Desa Adat Beraban
dari sejak tahun 2005 sampai dengan 2009 dapat dilihat dalam table 1 berikut:
11. Page | 10
Tabel 1. Data Pendapatan Desa Adat Beraban Tahun 2005 – 2009
Sumber : Kantor Bendesa Beraban
Dari table 1 di atas, memperlihatkan pendapatan dari hasil pengelolaan Obyek
Wisata Tanah Lot sebesar 20% merupakan Pendapatan Asli desa Pekraman Beraban dan
merupakan komposisi terbesar pada beberapa sumber pendapatan desa adat Beraban.
Adapun Jumlah retribusi yang diperoleh obyek wisata Tanah Lot dari tahun 2005
sampai dengan tahun 2009 disajikan dalam table 2. berikut:
Tabel 2. Hasil Pungutan Retribusi Obyek Wisata Tanah Lot Tahun 2005 - 2009
Sumber : Badan Operasional Obyek Wisata Tanah Lot
No
Sumber
Tahun
2005 2006 2007 2008 2009
1
Pendapatan Asli
Desa Pakraman
577.181.249 1.145.427.071 1.473.695.623 1.903.580.558 2.475.818.395
2
Pendapatan Punia +
Lainnya
106.599.400 84.909.491 152.550.000 225.347.110 70.250.000
3
Bantuan Pemerintah
Atasan
28.000.000
45.000.000 45.000.000 73.400.000 55.000.000
Jumlah 711.780.649 1.275.336.562 1.671.245.623 2.202.327.668 2.601.068.395
Keterangan
TAHUN
2005 2006 2007 2008 2009
Penghasilan Kotor 4.387.139.700 9.547.884.950 12.143.674.400 14.676.335.150 17.333.327.100
Premi Asuransi 442.554.300 397.712.500 495.389.700 600.050.300 714.068.600
Penghasilan Bersih 3.944.585.400 9.150.172.450 11.648.284.700 14.076.284.850 16.619.258.500
Biaya Operasional 1.479.920.000 2.665.000.000 3.939.075.153 3.939.075.153 4.082.528.507
Pendapatan Bersih 2.464.665.400 6.485.172.450 7.709.209.547 10.137.209.697 12.536.729.993
Biaya Promosi/ Pengembangan
(15%) - 972.775.868 1.156.381.432 1.520.581.455 1.880.509.499
Pendapatan Bersih - 5.512.396.583 6.552.828.115 8.616.628.242 10.656.220.494
Distibusi: - -
Pemda Kabupaten Tabanan
(55%) 1.355.565.970 3.031.818.120 3.604.055.463 4.739.145.533 5.860.921.272
CV. Arya Jasa (15%) 369.699.810 826.859.487 982.924.217 1.292.494.236 1.598.433.074
Desa Adat Beraban (20%) 492.933.080 1.102.479.317 1.310.565.623 1.723.325.648 2.131.244.099
Desa-Desa Adat Se Kec. Kediri
(5%) 123.233.270 275.619.829 327.641.406 430.831.412 532.811.025
Pura Luhur Tanah Lot dan
Sekitarnya (5%) 123.233.270 275.619.829 327.641.406 430.831.412 532.811.025
12. Page | 11
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa setiap tahun pendapatan retribusi yang
didapat oleh Obyek Wisata Tanah Lot dan yang akhirnya diterima oleh Desa Adat
Beraban semakin meningkat dan retribusi dari Obyek Wisata Tanah Lot merupakan
kontribusi sumber pendapatan terbesar Desa Adat Beraban.
Analisisnya, jika dilihat dari konsepsi carrying capacity dengan asumsi tidak ada
kenaikan harga tiket masuk dan retribusi lainnya, maka jika dibandingkan dengan
terjadinya peningkatan pendapatan asli Desa Beraban, maka dapat diperkirakan bahwa
pengelolaan Obyek Wisata Tanah Lot belum memperlihatkan adanya pengaturan jumlah
pengunjung dan sangat dimungkinkkan pengelolaannya tanpa konsep carrying capacity.
2) Kontribusi terhadap Penyerapan Tenaga Kerja
Tabel 3 dibawah, menunjukkan Jumlah penduduk Desa Beraban (Desa Dinas)
sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 memperlihatkan adanya peningkatan yang
sangat berarti pada tahun 2009, hal ini sangat dimungkinkan adanya kaum pendatang dari
sekitas Pulau Bali atau kaum pendatang dari luar Bali untuk berusaha dan bekerja di
sekitar Wilayah Desa Beraban.
Tabel 3. Jumlah Penduduk Desa Beraban Tahun 2005 – 2009
Sumber : BPS Kabupaten Tabanan
Pekerja badan operasional yang langsung diserap oleh obyek wisata Tanah Lot
adalah sebanyak 167 orang. Jadi secara sederhana dapat disimpulkan bahwa obyek wisata
Tanah Lot telah memberikan kontribusi terhadap penciptaan lapangan pekerjaan bagi
Desa Beraban. Dan jumlah tenaga kerja yang diserap dari keseluruhan pedagang tetap
dan pedagang tidak tetap adalah 645 orang. Dapat diketahui bahwa obyek wisata Tanah
Lot secara langsung telah menyerap 812 orang tenaga kerja (Kantor Bendesa Beraban,
No Tahun
Jumlah
Keluarga
Laki Perempuan Jumlah
Perubahan (%)
1
2
3
4
5
2005
2006
2007
2008
2009
1.449
1.456
1.460
1.465
1.625
2.726
2.763
2.823
2.845
2.938
2.735
2.771
2.781
2.805
3.034
5.461
5.534
5.604
5.650
5.972
---
1,34
1,26
0.82
5.70
13. Page | 12
2010). Sementara pedagang yang ada di Obyek Wisata Tanah Lot sebanyak 528
pedagang (pedagang tetap dan pedagang tidak tetap). Persentase jumlah penduduk yang
bekerja di sektor wiraswasta/pedagang adalah 24% dengan jumlah tenaga kerja sebanyak
607 orang.
Analisisnya, keberadaan Obyek Wisata Tanah Lot telah mampu melibatkan
sebagian besar penduduk Desa Beraban dalam pengelolaan Obyek Wisata baik secara
langsung maupun tidak langsung.
3) Kontribusi terhadap pembangunan fasilitas
Pengembangan objek Wisata Tanah Lot juga berdampak terhadap kondisi
kepariwisataan di sekitar Obyek Wisata Tanah Lot itu sendiri. Oleh karena fenomena itu,
munculah beberapa hotel berbintang, villa, art shop, dan restoran di sekitar objek Wisata
Tanah Lot yang tentunya berada pada wilayah Desa Adat Beraban. Berikut disajikan
pertambahan hotel, villa, pondok wisata, dan restoran yang ada di kawasan Desa
Beraban dari tahun 2005 sampai dengan 2009.
Tabel 4. Data Jumlah Hotel, Villa, Pondok Wisata, Restoran dan Artshop di Desa
Braban Tahun 2005-2009
N
o
Tahun
Jumlah
Hote
l
Vill
a
Pondok Wisata Restoran Art Shop
1 2005 1 - 2 3 341
2 2006 1 - 4 3 341
3 2007 2 4 4 3 341
4 2008 3 4 4 4 341
5 2009 3 4 4 4 341
Sumber : Kantor Desa Beraban
Jumlah art shop sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 menunjukkan
jumlah yang tetap karena letak art shop telah diatur dengan baik pada komplek tertentu
dan diatur dalam bentuk lapak (stand). Sementara pembangunan restoran juga terkesan
telah diatur dan dibatasi pembangunanannya. Begitu juga dengan pembangunan hotel dan
14. Page | 13
villa juga telah diatur dengan baik oleh pemda dan penguasa desa di wilayah Desa Adat
Beraban.
Analisisnya, berdasarkan data di atas, dapat diperkirakan bahwa pembangunan di
Desa Beraban telah menerapkan tata wilayah dengan baik minimal dengan pembatasan
jumlah fasilitas pendukung yang sangat mungkin berdampak pada lingkungan fisik dan
social.
4.1.2. Posisi Obyek Wisata Tanah Lot berdasarkan Analisis Tourist Area Lifecycle
Obyek Wisata Tanah Lot berdasarkan Analisis Tourist Area Lifecycle
berada pada phase Konsolidasi (consolidation)
Pada tahap ini, sektor pariwisata menunjukkan dominasi dalam struktur ekonomi pada
suatu kawasan dan ada kecenderungan dominasi jaringan international semakin kuat memegang
peranannya pada kawasan wisataw atau destinasi tersebut. Kunjungan wisatawan masih
menunjukkan peningkatan yang cukup positif namun telah terjadi persaingan harga diantara
perusahaan sejenis pada industri pariwisata pada kawasan tersebut. Peranan pemerintah local
Konsolidasi
(consolidation)
15. Page | 14
mulai semakin berkurang sehingga diperlukan konsolidasi untuk melakukan re-organisasional,
dan balancing peran dan tugas antara sector pemerintah dan swasta.
Obyek Wisata Tanah Lot Perlu Melakukan Konsolidasi:
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa: Pengelolan obyek Wisata Tanah Lot belum
menerapkan manajemen Carrying Capacity sehingga gesekan sangat mungkin terjadi
pada wisatawan terhadap wisatawan yang lainnya untuk memperebutkan tempat-tempat
tertentu agar dapat menikmati atraksi utama dari Obyek Wisata Tanah Lot seperti
pemandangan matahari tenggelam “sunset” (Observasi, 2011). Peningkatan jumlah
pengunjung tanpa memperhitungkan daya dukung akan cenderung memicu terjadinya
kerusakan bagi lingkungan di sekitar obyek dan mungkin juga bagi kerusakan aspek fisik
dan non fisik Heritage Tanah Lot.
Paradoksi antara kepentingan ekonomi dan pelestarian heritage khususnya
terhadap asset warisan budaya Pura Tanah Lot, benar-benat telah terjadi pada beberapa
bulan terakhir dan menunjukkan intensitas ketegangan yang semakin meningkat.
Ketegangan berawal dari berakhirnya masa kontrak kerjasama pengelolaan Tanah Lot
antara Pemerintah Kabupaten Tabanan, CV Ari Jasa Wisata, dan Desa Adat Beraban
yang masa kontraknya berakhir pada 1 April 2011 (Bali Post, Juni 2011)
Sebagian besar warga Desa Adat beraban menginginkan pengelolaan Obyek
Wisata Tanah Lot ditangani oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan dan Warga
Desa Adat Beraban saja, sementara Pemerintah Kabupaten Tabanan tetap menginginkan
komposisi pengelolaan yang telah berjalan pada kontrak yang telah berakhir tetap
berjalan untuk pengelolaan saat ini artinya tidak perlu ada perubahan, hanya dibuatkan
kontrak baru saja.
Usulan Warga Desa Adat Beraban yang berada pada tim perjuangan warga
Beraban adalah, pengelolaan Tanah Lot hanya dikelola oleh Pemda dan warga Desa
Adat Beraban. Dengan komposisi pembagian hasil masing-masing Pemkab 50 persen,
sisanya 50 persen bagi Desa Pekraman Beraban. Khusus jatah Desa Beraban akan dibagi
lagi dengan rincian, 70 persen Desa Pekraman Beraban dan pura Tanah Lot 30 persen.
Jatah 70 persen bagi Desa Pakraman Beraban akan dibagi lagi ke sejumlah pura dan desa
adat dengan komposisi, Desa Pekraman Beraban 80 persen, Pura Dangin Bingin 2,50
16. Page | 15
persen, Pura Bomo 1 persen dan Desa Adat se Kecamatan Kediri 16,5 persen. Sementara,
jatah bagi Pura Tanah Lot 30 persen akan dibagi lagi ke 8 lokasi pura, seperti Pura Tanah
Lot, Pura Pakendungan, Pura Batu Bolong, Pura Jro Kandang, Pura Penataran, Pura
Enjung Galuh, Pura Batu Mejan dan Pura Hyang Api (Bali Post, Juni 2011).
Sementara, dari pihak Pemilik CV Ari Jasa Wisata, justru berpendapat lain,
karena telah berjasa, harusnya tetap mendapat jatah dari Tanah Lot karena. CV Ari Jasa
Wisata merasa telah berjasa dengan dipercayainya, pihaknya mendapat bantuan dari Duta
Besar Jerman dan Pemprov Bali senilai Rp 81 juta untuk membangun wisata Tanah Lot.
Setelah berjuang sendirian bertahun-tahun, Tanah Lot bisa dikenal dan mendulang
pendapatan bersih hingga Rp 12 miliar per tahun (Bali Post, Juni 2011).
Analisisnya, pengelolaan Obyek Wisata Tanah Lot telah membangkitkan hasrat
bisnis warga Desa Beraban dan telah menimbulkan rasa percaya diri bahwa mereka telah
mampu untuk mengelola heritage tersebut secara mandiri tanpa campur tangan pihak
swasta, sementara pihak swasta (CV Ary Jasa Wisata) yang memang sejak berdirinya
sudah bermotifkan bisnis, cenderung ingin melanjutkan klaim keberhasilannya walaupun
kontrak kerjasamanya telah berakhir. Implikasinya adalah, timbulnya gesekan dalam
masyarakat yang mengarah pada munculnya egoism kelompok, termasuk juga egoism
kelompok masyarakat Desa Adat Beraban.
Pragmatisme Warga Desa Beraban cenderung mengarah pada hal-hal yang berbau
material semata, sementara pertimbangan atas kepentingan pelestarian Heritage serta
Value atau nilai yang tersimpan Pura Tanah Lot tersebut masih sangat diragukan karena
secara historis Pura Tanah Lot adalah milik Masyarakat Bali bukan milik masyarakat
Desa Adat Beraban Saja.
4.1.3. Posisi Obyek Wisata Tanah Lot berdasarkan Analisis Irritation Index
Obyek Wusata Tanah Lot telah berada pada phase Annoyance dengan ditandai
terjadinya kelesuan pada pengelolaan destinasi mulai terasa atau dapat dikatakan
mendekati titik jenuh. Para pemegang kebijakan mencari solusi dengan meningkatkan
17. Page | 16
pembangunan infrastruktur tanpa berusaha mengurangi jumlah wisatawan yang datang ke
destinasi sehingga kedatangan wisatawan dianggap sudah mengganggu masyarakat local.
Pengelolaan Obyek Wisata Tanah Lot telah berada pada phase Annoyance
dengan ditandai terjadinya kelesuan pada pengelolaan destinasi, mulai terasa atau dapat
dikatakan mendekati titik jenuh, bahkan dapat dikatakan telah mendekati batas atas
carrying capacity. Pengelolaan Pura Tanah Lot sebagai Heritage telah mengalami
perubahan atau komodifikasi fungsi yang berarti. Secara fisik keberadaan Pura Tanah Lot
sebagai daya tarik wisata telah mampu menggerakkan pembangunan fisik Desa Beraban
secara keseluruhan namun perubahan perilaku masyarakat yang diharapkan sebagai
conserver (Pelestari) telah berubah menjadi Consumer (pengkonsumsi) dalam hal ini,
mereka mengkemas Pura Tanah Lot sebagai “komoditas” Obyek Wisata untuk
mendapatkan keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya. Aspek Pelestarian fisik telah
berjalan dengan baik namun aspek pelestarian budaya beserta nilai yang terkandung pada
Pura Tanah Lot sebagai heritage yang merupakan milik warga Bali telah disabotase oleh
Masyarakat Desa Adat Beraban hanya dengan alasan ekonomi semata.
4.2. Kebun Raya Bedugul Bali
4.2.1. Sejarah Kebun Raya
Sejarah berdirinya Kebun Raya Eka Karya Bali tidak dapat dipisahkan dari
sejarah berdirinya Kebun Raya Bogor (KRB) yang bermula dari Prof. Dr. C.G.C.
Reinwardt, botanis asal Jerman yang berada di Indonesia pada awal abad ke-19. Ia
menganggap eksplorasi tumbuhan dan masalah pertanian juga merupakan tugasnya di
Hindia Belanda. Kemudian ia menulis surat yang disampaikan kepada G.A.G.P. Baron
van der Capellen, Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia, memohon sebidang tanah
untuk penelitian manfaat berbagai tumbuhan serta koleksi tanaman yang bernilai
ekonomi, berasal dari kawasan Indonesia dan mancanegara. Persisnya tanggal 18 Mei
1817 dilakukan pemancangan patok pertama, kemudian tanggal tersebut menandai
berdirinya Kebun Raya yang diberi nama Islands Plantentuin atau Hortus Botanicus
18. Page | 17
Bogoriensis seluas 47 hektar. Lokasinya berdampingan dengan Istana Gubernur Jenderal
Hindia Belanda di Bogor atau yang terkenal sekarang dengan nama Istana Presiden
Bogor. Melalui perjalanan yang panjang, sekarang luas Kebun Raya Bogor 87 hektar.
Kebun Raya Bogor atau nama lengkapnya Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya
Bogor, LIPI berada di bawah Kedeputian Ilmu Pengetahuan Ilmu Hayati-Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kebun Raya Bogor merupakan pusat Kebun Raya yang
membawahi 3 cabang Kebun Raya, yaitu Kebun Raya Cibodas, Kebun Raya Purwodadi
dan Kebun Raya Eka Karya Bali (LIPI, 2005)
Berdirinya Kebun Raya Eka Karya Bali berawal dari keinginan Prof. Ir. Kusnoto
Setodiwiryo (Direktur Kebun Raya Indonesia “Bogor”) dan I Made Taman (Kepala
Lembaga Pelestarian dan Pengawetan Alam) untuk mengoleksi jenis-jenis tumbuhan dari
seluruh dunia, mengoleksi jenis-jenis tumbuhan Bali dan Nusa Tenggara, menyediakan
fasilitas bagi kepentingan ilmu pengetahuan dan budaya, serta menyediakan wahana
rekreasi dan menjadikan salah satu objek wisata di Bali. Keinginan dan gagasan ini
dimulai sejak tahun 1955 dengan mengadakan pendekatan kepada Pemerintah Daerah
Bali. Setelah melalui proses waktu yang cukup panjang, akhirnya mendapat tanggapan
yang positip dari pejabat-pejabat daerah seperti, Gubernur Sunda Kecil (Nusa Tenggara);
Tengku Daud Syah, Residen Bali-Lombok; I Gusti Bagus Oka, Dewan Pemerintah
Daerah Bali; I Gusti Ngurah Sutedja, Kepala Bidang Pembangunan dan Ekonomi Dewan
Pemerintah Bali; I Wayan Dangin, Dinas Pekerjaan Umum Daerah Bali; I Ketut Mandra,
Kepala Dinas Kehutanan; I Komang Tjoe dan Kepala Dinas Kehutanan Bali Selatan; I
Nyoman Sulandra (Sujana, 2002)
Pada tahun 1958 pejabat yang berwenang di Bali secara resmi menawarkan
kepada Lembaga Pusat Penyelidikan Alam untuk mendirikan kebun raya di Bali yang
berfungsi sebagai lembaga ilmiah dan tempat rekreasi. Untuk mewujudkan tawaran
tersebut, Direktur Lembaga Pusat Penyelidikan Alam, Kepala Kebun Raya Bogor,
Kepala Lembaga Pelestarian dan Pengawetan Alam, Kepala Pusat Penelitian Laut dan
Direktur Akademi Pertanian Bogor beserta beberapa mahasiswanya mengadakan
peninjauan ke Bali (Sujana, 2002)
19. Page | 18
Keinginan pemerintah pusat untuk mendirikan kebun raya dengan areal meliputi
danau Beratan tidak diijinkan oleh Pemerintah Daerah Bali karena di areal tersebut telah
terdapat pemukiman penduduk Candikuning yang sudah lama ada. Sebagai kesepakatan,
lokasi kebun raya ditetapkan pada hutan reboisasi Candikuning yang pada waktu itu
sudah ditanami Altingia Exelsa, Manglitea Glauca, Syzigium Polanthum, Toona Sureni
dan Bischofia Javanica dengan luas 50 hektar. Lokasinya terletak di lereng sebelah timur
Bukit Tapak, yang terletak pada ketinggian 1.250 meter sampai dengan 1.450 meter dari
permukaan laut, yang berbatasan langsung dengan cagar alam Batukaru (Sujana, 2002)
Kebun Raya Bali diresmikan oleh Prof. Ir. Kusnoto pada tanggal 15 Juli 1959,
sebagai realisasi Surat Keputusan Kepala Daerah Tingkat I Bali pada 19 Januari 1959.
Nama “Eka Karya” diusulkan oleh I Made Taman, Kepala Lembaga Pelestarian dan
Pengawetan Alam, sebagai salah satu perintis Kebun Raya Bali (Sujana, 2002)
Untuk pertama kalinya ditanam beberapa jenis tanaman koleksi di sekitar
wantilan seperti cemara pandak, cemara geseng, dan beberapa jenis tanaman yang
sengaja didatangkan dari Kebun Raya Cibodas dan Kebun Raya Bogor. Semua tanaman
tersebut dapat tumbuh dengan baik kecuali penanaman kayu merah (red wood) yang
sangat terkenal di pantai barat Amerika mengalami kegagalan (mati pada tahun 1966).
Pemeliharaan kebun raya pada waktu itu dilakukan oleh 2 orang tenaga lapangan bantuan
dari Pemerintah Daerah Bali yakni, I Gusti Made Puja (pegawai Kehutanan) dan Nyoman
Rampiag (Pegawai Pemda) dengan penanggungjawab Kepala Dinas Kehutanan Bali; I
Komang Tjoe (Sujana, 2002)
Pada tanggal 30 April 1976, Ketua LIPI meresmikan perluasan Kebun Raya Eka
Karya Bali menjadi 129,20 hektar (Hasil pengukuran ulang pada tahun 1993 luasnya
diketahui 154,50 hektar) berupa kawasan hutan reboisasi Bukit Tapak, dengan status
pengelolaan “pinjam pakai” dari departemen kehutanan. Kebun Raya Eka Karya Bali
merupakan salah satu unit pelaksana teknis balai pengembangan kebun raya dalam
jajaran Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Sujana, 2002)
20. Page | 19
4.2.2. Tugas Pokok Kebun Raya Eka Karya
Kebun Raya Eka Karya Bali merupakan salah satu dari empat kebun raya yang
berada di bawah naungan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Adapun rencana
induk pengembangan Kebun Raya Eka Karya yang disusun berdasarkan analisis
kebutuhan dalam jangka panjang tahunan adalah sebagai berikut, (1) Pengumpulan jenis-
jenis Gymnospermae, yakni jenis-jenis tumbuhan berdaun jarum dari seluruh dunia. (2)
Pengumpulan jenis-jenis tumbuhan dari seluruh Bali dan Nusa Tengga yang habitat
aslinya berasal dari daerah dataran tinggi basah. (3) Rekreasi dan objek pariwisata di
daerah Bali, disamping penyediaan fasilitas bagi kepentingan ilmu pengetahuan “ilmiah”.
(4) Melakukan kegiatan usaha tambahan untuk menunjang pembiayaan kebun raya
(Sujana, 2002)
Kekayaan koleksi jenis tanaman pada empat kebun raya di Indonesia dapat dilihat
pada Gambar 4.1, dimana tercatat Kebun Raya Eka Karya Bali menyimpan 20 koleksi
Jenis tanaman, Kebun Raya Purwodadi menyimpan 48 koleksi jenis tanaman, Kebun
Raya Cibodas menyimpan 55 kolekasi jenis tanaman dan yang terbanyak adalah Kebun
Raya Bogor dengan jumlah koleksi sebanyak 177 jenis koleksi.
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
KR Bogor KR Cibodas KR
Purwodadi
KR Eka
Karya
177
55 48
20
Gambar 4.1
Koleksi Tanaman Langka di Empat Kebun Raya di Indonesia
Sumber: IUCN Redlist Book 2001
21. Page | 20
Sedangkan tugas pokok yang diemban oleh Kebun Raya Eka Karya Bali adalah
melakukan tugas inventarisasi, eksplorasi, dan konservasi tumbuhan tropika yang
mempunyai nilai ilmu pengetahuan dari kawasan dataran tinggi lembab. Untuk
menyelenggarakan tugas tersebut, Kebun Raya Eka Karya Bali mempunyai fungsi
sebagai berikut, (1) melaksanakan inventarisasi berbagai jenis tumbuhan tropika yang
habitatnya dari dataran tinggi lembab, (2) melaksanakan ekplorasi jenis-jenis tumbuhan
tropika yang habitatnya dari dataran tinggi lembab, (3) melakukan konservasi terhadap
tumbuhan tropika yang habitatnya dari dataran tinggi lembab yang mempunyai nilai ilmu
pengetahuan dan potensi ekonomi dalam rangka melestarikan sumber daya hayati
(plasma nuftah) di bumi Indonesia, (4) melakukan pelayanan jasa ilmiah dibidang
arsitektur (lanscape) pertamanan serba ragam tanaman hias (floracultural), introduksi
dayaguna tumbuhan apresiasi masyarakan terhadap alam lingkungan, dan (5) melakukan
kegiatan tata usaha (Sujana, 2002)
Foto 4.1
Maskot Kebun Raya Eka Karya Kondisi Maret 2005
Sumber: Dokumentasi Penelitian, 2005
Foto 4.1 menampilkan Kebun Raya saat ini masih nampak asri, menawan, dan
masih menyimpan keindahan alam sebagai atraksi wisata yang menarik. Pohon-pohon
22. Page | 21
langka, variasi tanaman masih terpelihara dengan baik, berarti pengelola Kebun Raya
Eka Karya masih konsisten dengan tugas-tugas yang diembannya.
4.2.3. Pengelolaan Kebun Raya sebagai Obyek Wisata
Kebun Raya Eka Karya Bali semula hanyalah lembaga konservasi tumbuhan
namun telah berkembang menjadi objek wisata (taman rekreasi) yang menawan dan
menarik, karena memadukan unsur keindahan alam, kelangkaan, dan keragaman jenis
tanaman. Dengan melakukan penelitian tentang wisatawan yang mengunjungi Kebun
Raya Eka Karya Bali, diharapkan informasi tersebut akan berguna untuk pengembangan
taman atau kebun raya lainnya di Bali.
Untuk mengetahui lebih jelas (pemahaman empiris) mengenai kunjungan
wisatawan yang berkunjung ke Kebun Raya Eka Karya Bali dapat dilihat pada Tabel 1.2
Tabel 1.2
Kunjungan Wisatawan ke Kebun Raya Eka Karya Bali
Tahun 1998-2002.
Tahun Jumlah (orang) Perkembangan
1998 217.636 -
1999 211.172 -2.97%
2000 205.354 -2.76%
2001 270.117 31.54%
2002 17.894 -93.38%
Rata-rata 184.435
Sumber: Disparda Provinsi Bali (2003a), data diolah.
Tingkat kunjungan wisatawan ke Kebun Raya Eka Karya Bali (Tabel 1.2) dari
tahun 1998 sampai dengan tahun 2002 mengalami penurunan. Namun demikian, jumlah
kunjungan periode tersebut masih cukup tinggi dengan rata-rata 184.435 orang per tahun.
Sujana (2002) dalam penelitiannya tentang perumusan strategi pengelolaan objek
wisata Kebun Raya Eka Karya Bali, menyarankan agar pihak pengelola kebun raya Eka
Karya melakukan strategi diversifikasi yang diarahkan untuk (1) Menata kembali
kawasan ini, berupa: Penataan lokasi kemah wisata, pembuatan jalan turun tebing,
pendirian tempat berkemah, pengembangan daya guna flora dan fauna, pembudidayaan
23. Page | 22
tanaman air, arena bermain anak-anak, memperkaya koleksi tanamanan, membuat
katalog tanaman, dukungan masyarakat sekitar berupa penjualan souvenir. (2) Melakukan
budidaya flora dan fauna berupa pengembangan produk yang dilakukan oleh seksi
koleksi berupa: budidaya flora tanaman air sehingga diharapkan dapat memberikan daya
tarik lebih agar wisatawan tidak beralih ke objek lainnya. Budidaya fauna khususnya
binatang atau burung-burung yang telah ada, jenis serangga tertentu, dan juga binatang
kera. (3) Menambah koleksi tanaman khas Bali agar keunikannya semakin nampak
berupa penambahan tanaman umbi-umbian (bumbu), tanaman obat, tanaman panca
yadnya pada areal khusus. (4) Menciptakan bentuk katalog baru, pembuatan taman
supaya memberikan daya tarik unsur ilmiah, dengan nama latin serta bingkai ukiran Bali.
(5) Mempererat hubungan dan kerjasama dengan kelompok seni gong sebagai bentuk
tanggungjawab sosial dengan masyarakat lokal di daerah tujuan wisata yakni masyarakat
Candikuning. (6) Melakukan kegiatan usaha tambahan seperti: membuat cinderamata
khas Kebun Raya Eka Karya, baju kaos bergambar wisatawan dengan latar Kebun Raya
Eka Karya, mendirikan kios makanan dan minuman, lapangan tenis dirawat lebih baik,
penataan kembali gedung pertemuan, memperbanyak brosur sebagai media promosi.
4.2.4. Posisi Obyek Kebun Raya Bali berdasarkan Analisis Tourist Area
Lifecycle
Pengembangan
(Development)
24. Page | 23
Obyek Kebun Raya Bali berdasarkan Analisis Tourist Area Lifecycle berada pada
Pengembangan (Development).
Pada tahapan ini, telah terjadi kunjungan wisatawan dalam jumlah besar dan pemerintah
sudah berani mengundang investor nasional atau internatsional untuk menanamkan modal di
kawasan wisataw yang akan dikembangkan. Perusahaan asing (MNC) Multinational company9
)
telah beroperasi dan cenderung mengantikan perusahan local yang telah ada, artinya usaha kecil
yang dikelola oleh penduduk local mulai tersisih hal ini terjadi karena adanya tuntutan wisatawan
global yang mengharapkan standar mutu yang lebih baik. Organisasi pariwisata mulai terbentuk
dan menjalankan fungsinya khususnya fungsi promotif yang dilakukan bersama-sama dengan
pemerintah sehingga investor asing mulai tertarik dan memilih destinasi yang ada sebagai tujuan
investasinya.
Phase Development ini merupakan diferensiasi fungsi kebun raya menjadi obyek wisata yang
dirasakan mendatangkan manfaat ekonomi baik bagi pengelola kebun raya, masyarakat sekitar
obyek dan pendapatn pajak bagi pemerintah local. Hal senada juga dapat dilihat pada rencana
induk pengembangan Kebun Raya Eka Karya yang disusun berdasarkan analisis
kebutuhan dalam jangka panjang tahunan adalah sebagai berikut, (1) Pengumpulan jenis-
jenis Gymnospermae, yakni jenis-jenis tumbuhan berdaun jarum dari seluruh dunia. (2)
Pengumpulan jenis-jenis tumbuhan dari seluruh Bali dan Nusa Tengga yang habitat
aslinya berasal dari daerah dataran tinggi basah. (3) Rekreasi dan objek pariwisata di
daerah Bali, disamping penyediaan fasilitas bagi kepentingan ilmu pengetahuan “ilmiah”.
(4) Melakukan kegiatan usaha tambahan untuk menunjang pembiayaan kebun raya
(Sujana, 2002). Artinya pengembangan Kebun Raya Bali sebagai obyek wisata
sebenarnya untuk menangkap peluang pasar yang semakin meningkat ditengah phase
pembangunan Kebun Raya untuk mengemban fungsi utamanya karena antara fungsi
pengelolaan sebagai obyek wisata dirasakan dapat menopang pendanaan konservasi dan
preservasi Kebun Raya Bali dalam jangka pendek dan bahkan dalam jangka panjang.
Usaha-usaha pelibatan masyarakat lokal khususnya yang berhubungan penyediaan
cinderamata, fasilitas makan dan minum terus dilakukan. Pemberdayaan masyarakat
9
Multinationalcompany:HotelChain,Franchising,Tour agency,etc
25. Page | 24
lokal berupa pemberdayaan group tabuh kerawitan dan tari-tarian juga juga terus
digalakkan.
4.2.5. Posisi Obyek Kebun Raya Bali berdasarkan Analisis Irritation Index
Phase Euphoria ditandai dengan temukannya potensi pariwisata kemudian
pembangunan dilakukan, para investor datang menanamkan modal dengan membangun
berbagai fasilitas bisnis pendukung pariwisata, sementara wisatawan mulai berdatangan
ke sebuah destinasi yang sedang dibangun, namun perencanaan dan kontrol belum
sepenuhnya berjalan dengan baik. Euphoria Kebun Raya Bali sebagai obyek wisata akan
terlihat khususnya pada hari-hari libur. Setiap hari libur, kebun raya bali rata-rata
meningkat 4000% dari hari-hari biasanya artinya Kebun Raya masih berada pada phase
euphoria.
5. Simpulan
Analisis Tourist Area lifecyle, dan Indext of Irritation, digunakan untuk
menempatkan posisi masing-masing destinasi pada phase daur hidup destinasi, dimana
hasil analisis tersebut boleh digunakan untuk merumuskan strategi pengelolaan,
pemasaran sebuah destinasi berdasarkan lima aspek yakni: keadilan, efektivitas, efisiensi,
kredibilitas dan integrasi (Theobald, 2004). Analisis tersebut sebenarnya meninjau
kembali kelayakan sebuah destinasi atau obyek wisata yang layak untuk membuat
kebijakan melakukan perbaikan secara sukarela, di bawah lima aspek: keadilan,
efektivitas, efisiensi, kredibilitas, dan integrasi (Toth, 2002).
Khususnya analisis Irritation Index sebenarnya meninjau secara periodic tentang
pelibatan stakeholder dalam perumusan strategi pengembangan pariwisata secara
berkelanjutan. Kebijakan mungkin menjadi hal yag sangat penting untuk diperhatikan
dari waktu-kewaktu karena sangat mungkin destinasi telah berada pada phase yang
berbeda dan kebijakan sebelumnya mungkin tidak relevan lagi dengan situasi saat ini.
Pada sisi lainnya, sebuah keharusan untuk mengakomodasi seluruh masukan atau
pendapat dari berbagai kelompok pemangku kepentingan dalam hal identifikasi masalah,
26. Page | 25
legitimasi, keterlibatan dan resolusi konflik. Kerangka stakeholder telah diterapkan dalam
hubungannya dengan siklus hidup daerah tujuan wisata dalam rangka menganalisis sikap
terhadap pemangku kepentingan pariwisata dan pembangunan berkelanjutan.
Obyek Wisata Tanah Lot adalah contoh nyata bahwa sebuah obyek wisata atau
destinasi wisata senantiasa akan mengalami perubahan dan memerlukan strategi
pengelolaan yang berbeda sesuai dengan kondisi sebuah obyek pada phase apakah
sebenarnya dia berada. Sementara obyek wisata Kebun Raya Bali adalah sebuah contoh
yang baik untuk menjelaskan adanya alih fungsi sebuah kawasan menjadi sebuah obyek
wisata yang dirasakan dapat menunjang fungsi utama dari sebuah kawasan khususnya
yang berhubungan dengan aspek ekonomi yang didapatkan dari aktivitas wisata.
Daftar Pusaka
A Door is Reopened to the Ivory Trade. (2011) U.S. News and World Report. 122: June
30, 1997 p4.
Alder, Joseph. (2011) "Should Heads Keep Rolling in Africa?." Science 255/6 March,
p1206-1207.
Badan Pusat Statistik. 2005. ”Data Kunjungan Wisatawan Mancanegara dan Nusantara
yang langsung datang ke Bali. (Laporan) BPS Prov Bali.
Butler, R. W. 1980. "The Concept of a Tourism Area Life Cycle of Evolution: Implications for
Management of Resources." The Canadian Geographer 24(1), p. 8.
Disparda. 2003a. Data Objek dan Daya Tarik Wisata tahun 2003. Denpasar: Disparda
Provinsi Bali.
Disparda. 2003b. BALI, Objek dan Daya Tarik Wisata tahun 2003. (Buku panduan
pramuwisata). Denpasar: Disparda Provinsi Bali.
Gregorius. 2005. “Perkaya Khazanah Wisata” pada
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/5/19/pa2.htm
LIPI. 2005. “Kebun Raya Bogor : Cikal Bakal Perpustakaan Indonesia” pada
http://www.lipi.go.id/www/www.cgi?cetak&1111211845
MSSRF 1998. Gulf of Mannar Marine Biosphere Reserve Programme. In: "Biodiversity of
Gulf of Mannar Marine Biosphere Reserve." pp. 1- 22. MSSRF Proceeding no. 24.
MSSRF 1999. Gulf of Mannar: Project for promotion of alternative livelihood options for
27. Page | 26
the poor in `the vicinity of the biosphere reserve. Project document submitted to
Ministry of Rural Development, Govt. of India and UNDP.
Panoramic photo of elephants is courtesy of Paul MacKenzie's webcite: Elephant
Information Repository
Photo of ivory tusks is copyright of World Wide Fund for Nature published in
"Conserving Africa's Elephants: Current Issues and Priorities for Action"
Pura Tanah Lot is considered as Dang Kahyangan -"One of the six main Bali temple,
http://balineseindonesia.blogspot.com/2009/08/bali-travel-to-puratanah-lot-
temple.html
Sapta Nirwandar (2011) Pembangunan Sektor Pariwisata: Di Era Otonomi Daerah, di
unduh pada 21 Maret 2011 pada http://www.scribd.com/doc/35092726/440-1257-
PEMBANGUNANSEKTORPARIWISATA1
Still in Business: The Ivory Trade in Asia, Seven Years After the CITES Ban (2011)
http://www.trafic.org/publications/summaries/summary_ivorytrade.htm
Sujana, I Wayan. 2002. “Perumusan Strategi Pengelolaan Objek Wisata Kebun Raya Eka
Karya Bali di Candikuning Baturiti Tabanan” (Tesis) Denpasar:Universitas
Udayana.
Sugal, Cheri, "Elephants of southern Africa must now pay their way." (2011)
WorldWatch. Vol. 10, (September 1997) pp. 9.
Theobald, William F. (2010) Global Tourism Third edition: Amsterdam, Boston,
Heidelberg, London, New York , Oxford, Paris , San Diego, San Francisco,
Singapore, Sydney. Butterworth–Heinemann is an imprint of Elsevier
Toth, R. 2000. Implementing a Worldwide Sustainable Tourism Certification System.
Alexandria, Va.: R.B. Toth Associates.
Tourism Vision 2020 – UNWTO: pada http://pandeputusetiawan.wordpress.com
World Tourism Organization. 1999. <http://www.world-tourism.org/>. Accessed
September 16, 2003.
World Travel and Tourism. Council. 1996. Travel and Tourism. Press Release. Brussels,
Belgium: WTTC.
United Nation-World Tourism Organization (2005), Tourism Highlight 2005, UN-WTO,
Madrid.