1. 1
INTRODUKSI POLA TANAM JURING GANDA
DAN PENDAPATAN USAHATANI TEBU
DOUBLE ROW INTRODUCTION
AND FARMER INCOME OF SUGARCANE FARMING
Rachmat Hendayana1
, Tri Sudaryono2
, dan Q. Dadang Erwanto2
1
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
Jl Tentara Pelajar, No 10 Bogor 16114, Jawa Barat, Indonesia
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Jl. Karangloso KM.4 Malang 65152, Jawa Timur, Indonesia
ABSTRACT
Double row technology is one of innovation breakthrough of IAARD to increase
sugarcane yielding, support national sugar production, at once to increase the sugarcane farmers'
income. In double row pattern, farmers can do intercropping with onion so that improvement of
sugarcane farm income. The assessment aims to analyze the value-added of sugarcane double
row farming with onion intercrop. This activities executed at Tlanakan, Pamekasan District in
Madura, East Java Province, in the last 2013. Double row technology uses DCC (distance from
center to center) 185 cm, and Rubaru onion varieties intercrop. Data collected through
participatory rural appraisal and focus group discussion involve 30 sugarcane farmers. Data
analysis uses “losses and gains” approach, reflected in the marginal benefit cost ratio (MBCR).
Assuming revenue of sugarcane ceteris paribus because was not harvest yet, so the sugarcane
value added calculated only from the results of onion intercropping. Introductions double row
with onion intercropping requires an additional cost about Rp 29.9 million per hectare, and
produce revenues of Rp 41.04 million. Value-added income earned approximately Rp 11.19
million/hectare, or resulting in a value of 1.37 MBCR. These value-added relatively small.
Researcher guarding and extension worker guidance to sugarcane double row implementation
are needed to be more intensive.
Keywords : Sugarcane, Double row, Value added
ABSTRAK
Teknologi juring ganda merupakan salah satu terobosan inovasi Balitbangtan untuk
meningkatkan produktivitas tebu rakyat dalam upaya mendukung produksi gula nasional,
sekaligus meningkatkan pendapatan petani tebu. Pada pola tanam juring ganda, petani dapat
melakukan tumpangsari dengan bawang merah, sehingga diprediksi akan meningkatkan
pendapatan usahatani tebu. Pengkajian bertujuan menganalisis nilai tambah usahatani tebu
juring ganda dengan tumpangsari bawang merah. Kegiatan berlangsung di Desa Tlanakan
Kecamatan/Kabupaten Pamekasan Madura Provinsi Jawa Timur pada akhir 2013. Teknologi
juring ganda menggunakan PKP (jarak dari pusat ke pusat) 185 cm, dengan tumpang sari
bawang merah varietas Rubaru. Pengumpulan data dilakukan melalui Pemahaman Pedesaan
secara Partisipatif dan Diskusi Kelompok Terfokus melibatkan 30 petani tebu. Analisis data
menggunakan pendekatan “losses and gains” yang direfleksikan dalam marginal benefit cost
ratio (MBCR). Dengan asumsi pendapatan dari tebu dianggap ceteris paribus karena belum
panen, nilai tambah usahatani tebu dihitung dari hasil tumpangsari bawang merah. Introduksi
juring ganda dengan tumpangsari bawang merah membutuhkan tambahan biaya sekitar Rp 29,9
juta per hektar, dan setelah panen petani menerima Rp 41,04 juta. Nilai tambah pendapatan
diperoleh sekitar Rp 11,19 juta/hektar, atau menghasilkan nilai MBCR 1,37. Nilai MBCR
seperti itu, relatif kecil. Pengawalan teknologi oleh peneliti dan pendampingan oleh penyuluh
terhadap pelaksanaan introduksi juring ganda perlu lebih diintensifkan.
Kata Kunci: Tebu, Juring Ganda, Nilai Tambah
2. 2
PENDAHULUAN
Teknologi “juring ganda” (JG) adalah salah satu terobosan inovasi Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) pada usahtani tebu. Inisiasinya
dimulai awal 2013 di Kebun Percobaan Muktiharjo, Jawa Tengah. Pengenalan inovasi
JG tersebut bertujuan selain untuk meningkatkan pendapatan petani tebu rakyat,
sekaligus memberikan dukungan terhadap kebijakan pemerintah mendorong
peningkatan produktivitas tebu guna memenuhi kebutuhan gula nasional.
Kebutuhan gula nasional pada tahun 2014 diprediksi mencapai 5,7 juta ton untuk
memenuhi konsumsi langsung (rumah tangga) dan industri, masing-masing sekitar 2,5 juta
ton dan 3,2 juta ton (Nasir, G., 2013). Sementara itu, produksi gula nasional pada tahun
2012 relatif masih rendah yakni sekitar 2,6 juta ton (BPS, 2014). Rendahnya produksi gula
nasional tersebut disebabkan banyak faktor. Perluasan areal lahan yang lambat,
optimalisasi penggunaan bibit unggul serta manajemen pergulaan, merupakan faktor-
faktor yang ditengarai Barani, (2013) menjadi penyebabnya. Disamping karena faktor-
faktor tersebut, teridentifikasi pula faktor lemahnya daya saing, bergesernya
pengembangan tebu dari lahan sawah ke lahan tegalan/marginal, lokasi yang jauh dari
pabrik gula (PG), adanya konversi lahan pertanian ke non pertanian, dan in-efisiensi
(Dirjen Perkebunan, 2013) .
Faktor yang tak kurang pentingnya dalam mendukung produksi gula adalah
produktivitas yang masih relatif rendah. Rendahnya produktivitas merupakan konsekuensi
logis merosotnya kualitas teknis budidaya yang merefleksikan merosotnya minat petani
sebagai reaksi rasional terhadap rendahnya pendapatan riel dan nilai tukar (term of trade)
secara konsisten selama satu dekade terakhir (Dirjenbun, 2010). Oleh karena itu salah satu
upaya yang ditempuh untuk memenuhi kebutuhan gula nasional dan sekaligus
meningkatkan pendapatan riel petani tebu adalah melalui peningkatan produktivitas.
Peluang untuk meningkatkan produktivitas tebu masih terbuka, karena capaian rata-rata
produktivitas tebu nasional saat ini baru 72 ton/hektar dengan rendemen 7,69 persen,
padahal potensinya 120 ton/hektar dengan rendemen gula di atas 9 persen (Balitbangtan,
2013).
Mulai 2012, Dirjen Perkebunan melaksanakan program peningkatan produksi,
produktivitas dan mutu hasil tebu melalui bongkar ratoon, penataan varietas tanaman
tebu dan pemberdayaan serta penguatan kelembagaan petani tebu. Untuk mendukung
pencapaian target tersebut, Balitbangtan menyelenggarakan Percepatan Penerapan
Teknologi Tebu Terpadu (P2T3), yang salah satu inovasinya adalah teknologi JG.
Teknologi JG ini tidak beda jauh dengan pola tanam konvensional, kecuali dalam
hal pengaturan jarak tanam. Pada teknologi JG, ada jarak tanam yang dibuat lebih lebar
di antara barisan tebu. Istilah JG pada pola tanam tebu menggunakan jarak tanam
berselang, dengan jarak pucuk ke pucuk (PKP) 185 cm. Sedangkan juring tunggal (JT)
jarak tanamnya 110 x 50 cm.
Hasil pertanaman tebu di Kebun Percobaan Muktiharjo, Pati, Jawa Tengah dengan
menggunakan teknologi JG mampu meningkatkan produktivitas tebu hingga 30-60
persen. Keunggulan teknologi sistem tanam JG yaitu mampu meningkatkan populasi
tanaman tebu dengan cara mengatur jarak tanam tebu dengan pola beberapa barisan agar
sirkulasi udara dan pemanfaatan sinar matahari oleh tanaman tebu lebih optimal
(Anonim, 2013a). Teknologi budidaya tebu yang dilakukan meliputi: (a) bongkar
ratoon, dengan komponen inovasi penggunaan varietas unggul, bongkar tanaman
keprasan (Ratoon Cane) lebih dari 6 kali dan penyediaan teknologi budidaya; (b) Rawat
3. 3
ratoon dengan komponen teknologi pedot oyot, penggunaan pupuk organik, kletek, dan
pengairan (Puslitbangbun, 2012).
Cara budidaya yang dilakukan di Kabupaten Pamekasan umumnya dengan sistem
tanam monokultur. Oleh karenanya dengan memanfaatkan budidaya juring ganda
diharapkan dapat meningkatkan produktivitas tebu di wilayah tersebut.
Disamping itu, jumlah populasi tanaman per hektar pada JG relatif lebih tinggi
2500 batang dibandingkan pola tanam juring tunggal (JT) karena jarak tanam dalam
baris lebih pendek. Populasi tanaman tebu pada JT 20.000 batang, sedangkan pada JG
22.500 batang per hektar. Kelebihan lainnya, petani dapat memanfaatkan juringan yang
lebar dengan tumpangsari yang dapat dipanen ketika tebu masih berumur 3 – 4 bulan,
yaitu antara lain: kacang tanah, kedelai, bawang merah, dan jagung. Tanaman tumpang
sari tersebut tidak mempengaruhi tanaman tebu (Ernawanto, 2014; Soejono, 2013).
Pertanyaannya, seberapa besar peningkatan pendapatan petani tebu pada pola
tanam JG?, dan berapakah nilai tambah yang diterima petani yang menerapkan pola
tanam tebu dengan JG? Berdasarkan permasalahan tersebut, pengkajian bertujuan
menganalisis struktur pembiayaan dan pendapatan usahatani tebu pola tanam JG dan
menganalisis nilai tambah usahatani tebu juring ganda dengan tumpangsari bawang
merah. Hasil pengkajian ini akan memperkuat dugaan efektifitas penerapan pola tanam
JG pada usahatani tebu sehingga dapat dipertimbangkan sebagai bahan kebijakan
pengembangan tebu ke depan.
METODE PENELITIAN
Kegiatan usahatani tebu pola tanam JG dilaksanakan pada luasan 2 hektar, di Desa
Tlanakan Kecamatan/Kabupaten Pamekasan Madura Provinsi Jawa Timur pada
November 2013. Kabupaten Pamekasan akan menjadi salah satu pusat penanaman tebu
untuk di lahan kering iklim kering, di masa depan.
Rancangan kegiatan penerapan teknologi JG dilakukan sebagai berikut:
(a) Pola tanam tebu menggunakan ukuran PKP 185 cm, dengan rancangan seperti
disajikan dalam Gambar 1.
(b) Varietas tebu yang ditanam adalah Kidang Kencono, yang dikenal toleran
terhadap kekeringan karena batangnya memiliki lapisan lilin.
(c) Penanaman tebu dilakukan dengan cara mengubur bibit tanaman dalam lubang
tanam sepanjang juring.
(d) Seminggu setelah tebu tertanam, di antara barisan tanaman tebu yang lebar (135
cm), ditanam bawang merah.
(e) Perlakuan usahatani terhadap tebu dan bawang merah dilakukan normatif mulai
pemeliharaan sampai panen sesuai persyaratan tumbuh agronomis.
Gambar 1: Pola Tanam Juring Ganda
4. 4
Pengumpulan data fokus pada aspek finansial dilakukan melalui Pemahaman
Pedesaan secara Partisipatif dan Diskusi Kelompok Terfokus melibatkan 30 petani tebu.
Analisis data untuk mengungkap struktur pembiayaan dan pendapatan usahatani tebu
serta nilai tambah dilakukan melalui analisis anggaran parsial dilanjutkan dengan
menggunakan pendekatan “losses and gains” yang direfleksikan dalam marginal
benefit cost ratio (MBCR) (FAO, 2003).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola Tanam Juring Ganda dengan Tumpangsari Bawang Merah
Introduksi pola tanam JG pada usahatani tebu merupakan rangkaian dalam
mendukung pengembangan tebu di Madura. Menurut sejarahnya pengembangan tebu di
Madura di awali Pabrik Gula (PG) Candi di bawah PTPN X pada tahun 2009/2010.
Areal tanamnya seluas 14,5 hektar di Kecamatan Jrengik, Omben dan Ketabang
Kabupaten Sampang. Tanaman tebu tersebut kemudian meluas mencapai 236 hektar
pada tahun 2011/2012 dan pada tahun 2012/2013 mencapai 986 hektar (Ernawanto,
at.al.,2013).
Hasil evaluasi lahan oleh P3GI bekerjasama dengan Dinas Perkebunan Provinsi
Jawa Timur (2011), menunjukkan bahwa Madura berpotensi untuk pengembangan tebu
dengan tingkat kesesuaian lahan S2. Potensi produktivitasnya 60 – 85 ton per hektar
seluas 68.066 ha, dengan rincian seluas 34.528 ha di Kabupaten Sampang dan 16.265
hektar di Pamekasan. Sedangkan yang termasuk kelas kesesuaian S3 sekitar 4.250
hektar di Pamekasan dan 8.081 ha di Sampang. Sejalan dengan pengembangan areal
tebu tersebut, dibangun juga jalan produksi, inventarisasi lahan kering yang adaptif
tebu, dan juga inisiatif penguatan kelembagaan berupa Koperasi Petani Tebu Rakyat
(KPTR).
Pengembangan tebu tersebut dilakukan dengan pola konvensional’ yakni
menerapkan “single row” (SR) dengan jarak tanam 115 x 50 x 50 cm, sehingga dalam
satu hektar terdapat sekitar 20 ribu batang. Pola tanam JG baru dimulai dari Desa
Tlanakan, pada akhir tahun 2013. Jika dalam pola konvensional hanya ada tanaman
tebu, dalam pola JG petani bisa menanam tumpang sari dengan tanaman palawija
seperti jagung, kacang tanah dan bawang merah. Bahasan berikut fokus pada tumpang
sari bawang merah.
Pada dasarnya teknologi usahatani tebu yang dilakukan dengan menerapkan JG
maupun SR tidak berbeda dalam kegiatan agronomisnya. Teknologi yang diterapkan
juga sama kecuali jarak tanamnya. Teknologi yang ditetapkan dalam usahatani tebu
meliputi: penanaman, penyulaman, pemupukan, pengolahan tanah, penyiangan,
pembumbunan, pengguludan, klentek, pemeliharaan saluran dan panen. Uraian berikut
menyajikan struktur pembiayaan dan pendapatan usahatani tebu.
Varietas tebu yang diusahakan petani adalah varietas Kidang Kencana, yang
dirilis tahun 2008 dengan nama asal PA 198. Sesuai namanya, varietas ini pertamakali
berkembang di Dusun Kencana Kecamatan Jatitujuh Majalengka Jawa Barat. Potensi
hasil tebu mencapai 99,2 ton per hektar, tahan penggerek batang dan blendok.
Rendemennya bisa mencapai 9,51 persen (P3GI, 2014).
Bawang merah yang ditumpangsarikan, adalah varietas Rubaru, varietas unggul
lokal Sumenep dari Desa Basokah Kecamatan Rubaru. Bawang ini memiliki umur
panen 60 – 65 hari. Produksi umbi mencapai 14 – 17 ton per hektar umbi kering dengan
susut bobot umbi 10 – 15 persen. Keunggulan varietas bawang Rubaru ini antara lain
5. 5
toleran fusarium sp, rasa bawang enak gurih, serta memiliki aroma kuat. Karena itu
sangat digemari masyarakat luas (Harisandi, 2013).
Struktur Pembiayaan dan Pendapatan Usahatani Tebu
Secara terinci struktur pembiayaan dan pendapatan usahatani tebu di Madura
dalam luasan satu hektar, disajikan dalam Tabel 1. Proporsi pembiayaan paling tinggi
dalam usahatani tebu adalah untuk pembelian bibit tanaman (bagal), kemudian diikuti
pengeluaran untuk sewa lahan dan pembayaran biaya panen serta pengangkutan.
Terhadap penerimaan usahatani, proporsi pengeluaran untuk pembiayaan
usahatani hampir mencapai 75 persen dari toral penerimaan. Artinya petani tebu hanya
menikmati pendapatan sekitar 25 persen dari total penerimaan kotor. Jika ditinjau nilai
R/C yang 1,4 artinya tingkat keuntungan usahatani tebu ini kelayakannya relatif rendah.
Di tempat lain, usahatani tebu di lahan kering seperti di Pamekasan ini bisa mencapai
nilai RC 1,99 seperti yang ditunjukkan oleh Nuryanti (2011) di Jawa Tengah.
Waktu yang diperoleh untuk memperoleh pendapatan tebu kisarannya antara 11 –
12 bulan. Oleh karena itu jika petani tebu tidak memiliki usaha tambahan, tidak
memiliki dukungan ketahanan pangan.
Tabel 1. Struktur Pembiayaan dan pendapatan usahatani tebu dalam satu hektar, di
Madura, 2013.
Uraian Volune
Harga
Satuan
(Rp)
Nilai (Rp)
Proporsi Terhadap (%)
Total
Biaya
Total
Penerimaan
Biaya saprodi :
Bibit (bagal) 22500 750 16.875.000 47,61 34,09
Penyulaman (bagal) 225 750 168.750 0,48 0,34
NPK Phonska (kg) 400 2.300 920.000 2,60 1,86
ZA (kg) 600 1.400 840.000 2,37 1,70
Urea (kg) 200 1.700 340.000 0,96 0,69
Petroganik (kg) 5000 500 2.500.000 7,05 5,05
Herbisida (lt) 0,00 0,00
Amexone 5 70.000 350.000 0,99 0,71
Starmin 5 75.000 375.000 1,06 0,76
Biaya Tenaga kerja:
Pengolahan tanah dan
pembuatan juring (HOK)
40 50.000 2.000.000 5,64 4,04
Pemupukan (HOK) 12 50.000 600.000 1,69 1,21
Penyiangan dan
Pembumbunan (HOK)
30 50.000 1.500.000 4,23 3,03
Gulud (HOK) 25 50.000 1.250.000 3,53 2,53
Pemeliharaan Saluran (HOK) 16 50.000 800.000 2,26 1,62
Klentek (HOK) 60 50.000 3.000.000 8,46 6,06
Pemanenan (ku) 900 7.000 6.300.000 17,77 12,73
Angkutan (ku) 900 5.000 4.500.000 12,70 9,09
Sewa Lahan 1 MT 10.000.000 28,21 20,20
Total Biaya 35.443.750 100 71,60
Produksi (ku) 900 0,18
Nilai Produksi 49.500.000 100
Pendapatan 14.056.250
R/C 1,40
Salah satu introduksi teknologi yang diharapkan memberikan nilai tambah pada
petani tebu dengan pola tanam JG adalah melakukan tumpang sari. Banyak jenis
6. 6
tanaman yang dapat ditumpangsarikan dengan tebu, antara lain: jagung, kacang tanah,
kedelai, dan bawang merah. Namun dari hasil wawancara dengan petani, di antara
tanaman palawija yang dapat ditumpangsarikan itu tidak semuanya cocok dalam arti
menghasilkan produksi optimal. Tanaman jagung, misalnya tidak cocok di
tumpangsarikan dengan tebu karena dalam pertumbuhannya bersaing dengan tebu.
Dalam bahasan ini yang dianalisis adalah tanaman tumpangsari bawang merah.
Sebagai gambaran struktur pembiayaan tumpang sari (bawang merah), disajikan dalam
Tabel 2. Untuk satu hektar pertanaman bawang merah pada pola tanam juring ganda,
petani perlu menyiapkan biaya tambahan sebesar Rp 34 juta.
Dari biaya sebanyak itu proporsi paling tinggi adalah untuk pembelian bibit,
kemudian biaya pengolahan tanah dan sewa lahan. Secara keseluruhan proporsi biaya
usahatani bawang merah di antara tanaman tebu ini mencapai lebih dari 80 persen dari
total penerimaan. Artinya keuntungan dari usahatani tebu di dalam juringan ini kurang
dari 20 persen.
Tabel 2. Struktur Pembiayaan dan pendapatan usahatani bawang merah dalam
juringan Tebu, di Madura, 2013.
Uraian Volune
Harga
Satuan
(Rp)
Nilai (Rp)
Proporsi Terhadap (%)
Total
Biaya
Total
Penerimaan
Biaya saprodi :
- Bibit bawang merah (kg) 330 35.000 11.550.000 34,12 28,14
Pupuk (kg):
ZA 100 1.400 140.000 0,41 0,34
Urea 25 1.600 40.000 0,12 0,10
NPK Phonska 200 2.300 460.000 1,36 1,12
Obat-Obatan : - - -
Curacron (lt) 8 185.000 1.480.000 4,37 3,61
Tracer (lt) 3 800.000 2.400.000 7,09 5,85
Vondozeb (kg) 8 75.000 600.000 1,77 1,46
Perekat (lt) 8 45.000 360.000 1,06 0,88
Beaya Tenaga kerja (HOK):
Meratakan dan
menggemburkan guludan
90 45.000 4.050.000 11,96 9,87
Tanam 30 45.000 1.350.000 3,99 3,29
Pembumbunan & Penyiangan 25 45.000 1.125.000 3,32 2,74
PHT 45 45.000 2.025.000 5,98 4,93
Pemanenan 45 45.000 2.025.000 5,98 4,93
Penalian bawang merah 30 45.000 1.350.000 3,99 3,29
Pengeringan bawang merah 20 45.000 900.000 2,66 2,19
Biaya lain-Lain - -
Sewa Lahan 1 MT 4.000.000 11,82 9,75
Total Biaya 33.855.000 100 82,49
Produksi (kg/ha) 2565 16.000 41.040.000 100
Pendapatan 7.185.000
R/C 1,21
Dari nilai R/C yang 1,21 menunjukkan bahwa usahatani bawang merah di antara
tanaman tebu ini kurang menguntungkan. Meskipun dikatakan tidak rugi karena
nilainya lebih besar dari satu, akan tetapi tingkat keuntungan yang diperoleh relatif
kecil. Keterampilan petani mengelola tanaman tebu dan sekaligus harus memelihara
7. 7
bawang merah mungkin menjadi salah satu faktor rendahnya usahatani bawang merah
tersebut.
Analisis Nilai Tambah
Untuk mengetahui nilai tambah yang diperoleh petani tebu yang menerapkan pola
tanam JG, dilakukan “analisis losses and gains”. Langkah awal sebelum analisis
tersebut dilakukan analisis perubahan atau tambahan biaya yang diperlukan untuk JG
dengan tumpang sari bawang merah. Hasilnya ditampilkan dalam Tabel 3.
Secara parsial tambahan biaya yang diperlukan untuk melakukan juring ganda
dengan tumpang sari bawang merah berkisar antara 12 persen hingga hampir 87 persen
dengan rata-rata hampir mencapai 50 persen. Dalam hal ini tambahan biaya paling
tinggi adalah untuk penanggulangan serangan hama penyakit pada bawang merah, dan
terendah untuk pupuk.
Tabel 3. Tambahan Pembiayaan Usahatani Tebu Pola Tanam Juring Ganda dengan
Tumpangsari Bawang Merah
Uraian Tunggal
Juring Ganda +
Tumpangsari
Tambahan
Biaya
Perubahan (%)
Bibit (Rp) 17.043.750 28.593.750 11.550.000 40.39
Pupuk(Rp) 4.600.000 5.240.000 640.000 12.21
Pestisida(Rp) 725.000 5.565.000 4.840.000 86.97
Biaya Tenaga kerja(Rp) 19.950.000 32.775.000 12.825.000 39.13
Sewa Lahan (Rp) 10.000.000 14.000.000 4.000.000 28.57
Total Biaya(Rp) 35.443.750 69.298.750 33.855.000 48.85
Dengan analisis “losses and gains” seperti disajikan pada Tabel 4, usahatani tebu
juring ganda dengan tumpang sari bawang merah menghasilkan MBCR 1,37. Artinya
setiap tambahan biaya RP 1000 untuk melakukan juring ganda dengan tumpangsari
bawang merah akan menghasilkan tambahan pendapatan sekitar Rp 1370.
Tabel 4. Analisis Losses and Gains Usahatani Tebu Pola Tanam Juring Ganda
dengan Tumpangsari Bawang Merah
Kerugian Rp Keuntungan Rp
Biaya tambahan
Benih/Bibit 11.550.000 Penghasilan tambahan 41.040.000
Pupuk 640.000
Pestisida 4.840.000
Tenaga kerja 12.825.000
Jumlah 29.855.000 Jumlah 41.040.000
Tambahan Keuntungan (Rp) : (41.040.000 – 29.855.000) = 11.185.000
Marginal B/C : (41.040.000 : 29.855.000) = 1,37
Dari nilai MBCR tersebut, meskipun terkesan menguntungkan tetapi nilai tambah
yang diperolehnya relatif masih kecil. Apalagi kalau mempertimbangkan faktor risiko
atau risk premium dalam usahatani yang biasanya mencapai 80 persen, maka perolehan
8. 8
nilai MBCR tersebut belum memadai sebagai suatu usaha. Nilai MBCR yang
diperlukan minimal di angka 1,8 agar hasil usahatani itu mampu menutup risiko.
KESIMPULAN
Usahatani tebu pola tanam juring ganda dengan tumpang sari bawang merah di
Kabupaten Pamekasan Madura belum menunjukkan hasil yang optimal. Meskipun
tampilan R/C > 1, tetapi masih di bawah kapasitas potensi produksinya sehingga
masih berpeluang untuk ditingkatkan.
Nilai tambah dari tumpang sari bawang merah yang ditanam diantara barisan tebu
masih relatif rendah. Nilai MBCR yang diperoleh masih dibawah kapasitas
potensinya, meskipun nilainya sudah lebih besar dari satu.
Untuk meningkatkan kinerja pola tanam tebu juring ganda dengan intervensi
tumpang sari bawang merah, diperlukan penguatan dalam pengawalan dan
pendampingan teknologi oleh peneliti dan penyuluh.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2013. Tanam Perdana Tebu Sistem Juring Ganda di Madura. http://www.
litbang.deptan.go.id/berita/one/1603/. Diunduh 19 Januari 2014
Badan Pusat Statistik. 2014. Produksi Bulanan Perkebunan Besar, Indonesia.
http://www.bps.go.id/aboutus. php? search=1 . Diunduh 18 Januari 2014.
Badan Litbang Pertanian. 2013. Pedoman Umum Percepatan Penerapan Teknologi Tebu
Terpadu.
Barani, A.M., 2013. Produksi Gula Nasional Terus Menurun. http://www.republika.
co.id/berita/ekonomi/bisnis. Diunduh 19 Januari 2014.
Dirjenbun. 2012. Harapan terwujudnya swasembada gula. Dirjenbun. Kementerian
Pertanian.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2013. Pedoman Teknis Pengembangan Tanaman
Tebu. Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Semusim.
Kementerian Pertanian.
Ernawanto, Q.D., Suyamto, Tri Sudaryono, Agus Suryadi, Syaiful Husni, Sugiono,
Noeriwan B.S, Era Parwati. 2013, Pengembangan Teknologi Usahatani Tebu
Spesifik Lokasi di Madura. Laporan Hasil Penelitian. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Jawa Timur . Balai Besar Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi
Pertanian. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian
FAO. 2003. Financial Analysis and Assessment of Technologies. Special Programme for Food
Security (SPFS). Handbook on Monitoring and Evaluation. Food and Agriculture
Organization of The United Nations (FAO). Rome.
Harisandi, H. 2013. Analisis Pasar Hasil Pertanian (APHP). Dinas Pertanian Tanaman
Pangan Kabupaten Sumenep.
Nasir, G., 2013. Kebutuhan Gula Nasional mencapai 5, 7 juta ton tahun 2014.
http://ditjenbun.deptan.go.id/berita- 2014. html. Diunduh, 19 Januari 2014.
Nuryanti, Y. 2011. Usahatani Tebu pada Lahan Sawah dan Tegalan di Yogyakarta dan
Jawa Tengah. http://referensiagribisnis.files.wordpress.com/2011/12/usahatani-
tebu-pada-lahan-sawah-dan-tegalan-di-yogyakarta-dan-jawa-tengah/pdf
9. 9
P3GI. 2014. Deskripsi Tebu Varietas Kidang Kencana. http://sugarresearch.org/wp-
content/uploads/2009/04/kidang-kencana.pdf. Pusat Penelitian Perkebunan Gula
Indonesia. Jalan Pahlawan No 25 Pasuruan 67126
Puslitbangbun. 2012. Pedoman Teknis Percepatan Penerapan Teknologi Tebu Terpadu
(P2T3). Badan Litbang Pertanian,Kementrian Pertanian
Soejono, A.T. 2004. Kajian Jarak Antar Baris Tebu dan Jenis Tanaman Palawija Dalam
Pertanaman Tumpangsari. Ilmu Pertanian Volume: 11, Issue: 1, Pages: 32-41