Dokumen tersebut membahas tentang catatan akhir tahun Publish What You Pay Indonesia mengenai tata kelola sumberdaya ekstraktif migas dan pertambangan di Indonesia pada tahun 2013. Pertama, Indonesia telah melaksanakan inisiatif EITI untuk transparansi penerimaan negara, namun masih terdapat ketidaksesuaian data antara laporan pemerintah dan perusahaan. Kedua, masih lemahnya partisipasi perusahaan pertambangan dalam pelaporan dan pengelola
Keterbukaan Kontrak dan Pengungkapan Beneficial Ownership
Catatan Akhir Tahun 2013 : Tata Kelola Migas & Tambang di Indonesia
1. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transparansi
dan Akuntabilitas Tata Kelola Sumberdaya Ekstraktif
SIARAN
PERS
Catatan
Akhir
Tahun
Publish
What
You
Pay
Indonesia
Tata
Kelola
Sumberdaya
Ekstraktif
Migas
&
Pertambangan
Tidak
dipungkiri
bahwa
sumberdaya
ekstraktif
Migas
dan
Pertambangan
di
Indonesia
saat
ini
masih
menjadi
sektor
strategis
yang
diandalkan
bagi
penerimaan
negara
dan
penggerak
perekonomian
nasional.
Di
Tahun
2013,
kontribusi
sektor
migas
dan
pertambangan
dalam
APBN
mencapai
23%,
yakni
senilai
398,4
Triliun
Rupiah
dari
total
1726
Triliun
Rupiah
dalam
Total
APBN-‐P
2013
(Kementerian
ESDM,
27
Desember
2013).
Sedangkan
kontribusi
sektor
ini
(Pertambangan
dan
Penggalian)
terhadap
Produk
Domestik
Bruto
tercatat
sebesar
10,43%
dari
Total
PDB
Nasional
dengan
Migas
di
Tahun
2013
(BPS,
persentase
PDB
atas
dasar
harga
berlaku
menurut
lapangan
usaha,
Q-‐2,
2013).
Di
Tahun
2013
ini,
sebagian
besar
perbincangan
sektor
migas
dan
pertambangan
banyak
diwarnai
oleh
topik-‐topik
seputar
pencapaian
lifting
migas,
penggantian
BPMigas
dan
revisi
UU
Migas,
hilirisasi
pertambangan
mineral
dan
batubara
(minerba),
renegosiasi
kontrak
pertambangan,
hingga
kasus
seputar
korupsi,
sebut
saja
salah
satu
contoh
yang
terakhir
adalah
kasus
suap
Rudi
Rubiandini,
Kepala
SKK
Migas
yang
kemudian
diberhentikan
setelah
tertangkap
tangan
oleh
Komisi
Pemberantasan
Korupsi.
Berikut
catatan
Publish
What
You
Pay
Indonesia
atas
kondisi
di
Tahun
2013
pada
sektor
sumberdaya
Ekstraktif
Migas
dan
Pertambangan
mineral
dan
batubara
di
tanah
air
:
1. Transparansi
Penerimaan
Sektor
Migas
dan
Tambang
melalui
EITI
Indonesia
telah
menjadi
negara
pelaksana
EITI
(Extractive
Industries
Transparency
Initiative)
sejak
3
tahun
lalu
melalui
Peraturan
Presiden
Nomor
26
Tahun
2010
tentang
Transparansi
Pendapatan
Negara
dan
Pendapatan
Daerah
yang
Diperoleh
dari
Industri
Ekstraktif.
EITI
Indonesia
yang
dikoordinatori
oleh
Kemenko
Perekonomian
RI
ini
telah
mempublikasi
laporan
rekonsiliasi
pertama
di
quartal-‐1
2013
yang
meliputi
laporan
rekonsiliasi
antara
Pemerintah
dan
129
perusahaan
migas
dan
minerba
atas
pembayaran-‐pembayaran
pajak
dan
non
pajak
untuk
tahun
kalender
2009.
Laporan
ini
telah
menghadirkan
rincian
laporan
pembayaran
pajak
dan
nonpajak
pada
tiap
unit
produksi
pemegang
kontrak/perijinan
hingga
laporan
besaran
Dana
Bagi
Hasil
(DBH)
dari
unit
produksi
tersebut
ke
masing-‐masing
daerah
(Provinsi/Kabupaten/Kota).
Yayasan
Transparansi
Sumberdaya
Ekstraktif
Sekretariat
Nasional
:
Jl.
Intan
No.81,
Cilandak
Barat,
Jakarta
Selatan
12430,
INDONESIA|T/F
:+62-‐21-‐7512503|E:sekretariat@pwyp-‐indonesia.org|www.pwyp-‐indonesia.org
2. Namun
demikian,
masih
terdapat
ketidaksesuaian
(unreconciled)
data
antara
laporan
perusahaan
dengan
laporan
yang
disampaikan
oleh
Pemerintah.
Secara
umum,
perbedaan
tersebut
disebabkan
oleh
perbedaan
satuan
dan
basis
pelaporan,
adanya
kendala
dalam
pembukaan
beberapa
data
perpajakan,
hingga
persoalan
database
informasi
penerimaan
pertambangan
di
instansi
Ditjen
Minerba-‐Kementerian
ESDM.
Laporan
rekonsiliasi
EITI
Indonesia
ini
juga
mencatat
masih
lemahnya
partisipasi
pelaku
industri
pertambangan
dalam
mentransparansikan
pembayaran
setoran
penerimaannya
kepada
negara.
Dimana
salah
satu
hasil
laporan
ini
menyatakan
bahwa
Pemerintah
mencatat
penerimaan
pajak
penghasilan
Rp2,93
trilyun
lebih
dari
apa
yang
dilaporkan
dibayar
oleh
perusahaan
pertambangan.
Penyebab
perbedaan
ini
yang
terbesar
adalah
berasal
dari
dua
perusahaan
batubara
besar
di
Indonesia
yang
merupakan
anak
usaha
Bumi
Resources.
Di
mana,
perusahaan
ini
tidak
menindaklanjuti
permintaan
Rekonsiliator
atas
pembayaran
pajak
tahun
2007
dan
2008
yang
dilakukan
pada
tahun
2009.
Sedangkan
persoalan
lemahnya
pengelolaan
informasi
pertambangan
di
Instansi
Dirjen
Minerba-‐Kementerian
ESDM
ini
indikasinya
ditunjukkan
dari
angka
perbedaan
royalti
batubara
antara
yang
dibayarkan
oleh
perusahaan
dan
yang
diterima
di
kas
Negara
di
mana
pada
awalnya
tercatat
sebesar
US$727juta
dan
setelah
Rekonsiliator
memeriksa
catatan
fisik
di
Ditjen
Minerba,
maka
angka
perbedaan
menjadi
jauh
lebih
kecil
yaitu
sebesar
US$54juta.
Khusus
untuk
penerimaan
bukan-‐pajak
pertambangan,
terdapat
493
kali
peninjauan
atas
catatan
dokumen
fisik,
atau
lebih
dari
75
persen
jumlah
seluruh
peninjauan
dalam
laporan
ini.
Kinerja
pelaksanaan
EITI
Indonesia
di
Tahun
2013
ini
juga
mendapat
banyak
sorotan,
pasalnya
validasi
EITI
Indonesia
menyatakan
Indonesia
belum
berhasil
lolos
sebagai
negara
patuh,
yaitu
masih
belum
memenuhi
persyaratan
5
terkait
batas
waktu
laporan,
persyaratan
9
tentang
materialitas,
dan
persyaratan
14
serta
15
tentang
kelengkapan
data
dari
perusahaan
dan
instansi
Pemerintah.
Selain
kesulitan
pengumpulan
laporan
dari
perusahaan
dan
instansi
pemerintah
(terutama
Ditjen
Pajak
dan
Ditjen
Minerba),
proses
administrasi
dan
birokrasi
pengadaan
di
Pemerintah
juga
menjadi
salah
satu
faktor
dari
keterlambatan
pelaporan
EITI
Indonesia.
Meskipun
demikian
perkembangan
EITI
Indonesia
masih
dianggap
mengalami
perkembangan
yang
berarti
oleh
validator
mengingat
proses-‐proses
multipihak
yang
terbentuk
dan
perdebatan
substansi
yang
terjadi.
Saat
ini,
EITI
Indonesia
sedang
dalam
proses
untuk
mengumpulkan
dan
melakukan
rekonsiliasi
laporan
EITI
Putaran
ke-‐2
yang
meliputi
data
Tahun
Anggaran
2010
dan
2011.
Sejumlah
70
unit
produksi
migas
dan
81
perusahaan
pertambangan
(yang
membayar
royalti
di
atas
25
milyar)
diwajibkan
untuk
menyampaikan
laporannya
kepada
Tim
Pelaksana.
Hingga
Rapat
Tim
Pelaksana
terakhir
3
Desember
2013,
tercatat
15
perusahaan
pertambangan
besar
masih
belum
menyampaikan
laporan.
Tantangan
utama
pelaksanaan
EITI
di
Indonesia
untuk
tahun-‐tahun
mendatang
adalah
pada
pembukaan
data
cost
recovery
untuk
industri
Migas
serta
pelaksanaan
standar
EITI
yang
baru
untuk
membuka
informasi-‐
informasi
kontrak/perijinan,
data
kepemilikan
saham
dan
penerima
manfaat
(beneficial
ownership),
data
pembayaran
sosial
dan
lingkungan
hidup
serta
cakupan
EITI
Indonesia
di
tingkat
daerah
dengan
jumlah
ijin
yang
mencapai
puluhan
ribu.
3. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transparansi
dan Akuntabilitas Tata Kelola Sumberdaya Ekstraktif
2. Agenda
Revisi
Undang-‐Undang
Migas
Agenda
Revisi
Undang-‐Undang
Minyak
dan
Gas
Bumi
sejak
tahun
2010
telah
masuk
dalam
agenda
Prioritas
Prolegnas
(Program
Legislatif
Nasional)
sebagai
inisiatif
DPR.
Namun
hingga
kini
pembahasan
Undang-‐Undang
tersebut
tidak
kunjung
selesai.
Agenda
revisi
UU
Migas
bahkan
semakin
memuncak
sejak
adanya
putusan
MK
yang
membatalkan
beberapa
pasal
dalam
UU
Migas,
hingga
melahirkan
amar
putusan
untuk
membubarkan
BPMigas.
Berkali-‐kali
masuk
dalam
prolegnas,
berkali-‐kali
pula
Agenda
Revisi
UU
Migas
ini
tidak
terselesaikan.
Bahkan
pasal-‐pasal
dalam
UU
ini
telah
dijuditial
review
berkali-‐kali
dan
banyak
pasal
yang
inkonstitusional.
Hal
tersebut
menandakan
bahwa
Undang-‐Undang
ini
perlu
direvisi
secara
menyeluruh.
Pembahasan
yang
berlarut-‐larut
di
DPR
justru
akan
membuat
tata
kelola
sektor
Migas
ini
semakin
terpuruk
dan
tidak
memiliki
kepastian
hukum.
Terlebih
jika
pembahasan
yang
telah
berlangsung
selama
bertahun-‐tahun
tersebut
telah
menggunakan
anggaran
rakyat
yang
tidak
sedikit.
Kembali,
revisi
UU
Migas
masuk
dalam
Prolegnas
Tahun
2014,
tahun
politik
yang
tentunya
rawan
akan
intervensi
politik
dalam
penyelesaiannya.
Publik
berharap
agar
UU
ini
segera
terselesaikan,
tanpa
adanya
campur
tangan
dan
bias
politik
2014.
Beberapa
isu
yang
mengemuka
untuk
segera
diselesaikan
menyangkut
tata
kelola
Migas
dalam
revisi
UU
ini
antara
lain
mengenai
isu
kelembagaan,
transparansi-‐keterbukaan
informasi-‐dan
partisipasi
publik,
petroleum
funds/sovereight
wealth
funds,
aspek
sosial
dan
lingkungan
yang
memperhatikan
kepentingan
masyarakat
sekitar
tambang,
serta
isu
ketahanan
energi
dan
singkronisasi
antara
sektor
hulu
dengan
sektor
hilir
Migas.
Penemuan
cadangan
baru
dan
alih
teknologi
juga
sudah
seharusnya
menjadi
agenda
pembahasan
dalam
revisi
UU
ini,
agar
sektor
Migas
dapat
dikelola
secara
mandiri
sesuai
dengan
kebutuhan
nasional.
3. Pemberantasan
Korupsi
Sektor
Migas
dan
Pertambangan
Tahun
2013
ini
publik
dikejutkan
oleh
operasi
tangkap
tangan
Komisi
Pemberantasan
Korupsi
di
kediaman
Rudi
Rubiandini
(RR),
kepala
SKK
Migas
yang
kemudian
mundur
dari
jabatannya
tersebut.
RR
kemudian
ditetapkan
sebagai
tersangka
atas
dugaan
menerima
suap
dari
Kernel
Oil
pada
proses
tender
penjual
minyak
mentah
dan
kondensat
bagian
negara.
SKK
Migas
(yang
dulunya
bernama
BPMigas)
menjadi
bulan-‐bulanan
publik
atas
kasus
yang
menjerat
RR.
Fakta
integritas
yang
dicanangkan
di
Tahun
2007
dan
whistleblower
system
yang
dirancang
pada
tahun
2009,
ternyata
belum
mampu
memfilter
praktek2
korupsi
di
sektor
Yayasan
Transparansi
Sumberdaya
Ekstraktif
Sekretariat
Nasional
:
Jl.
Intan
No.81,
Cilandak
Barat,
Jakarta
Selatan
12430,
INDONESIA|T/F
:+62-‐21-‐7512503|E:sekretariat@pwyp-‐indonesia.org|www.pwyp-‐indonesia.org
4. Migas
ini,
terutama
bagi
elit
pejabat
di
sektor
yang
menggawangi
ratusan
triliun
sumber
penerimaan
negara
di
tanah
air
ini.
Terhadap
kasus
Rudi
Rubiandini,
PWYP
Indonesia
menyerukan
kepada
KPK
agar
mengusut
tuntas
kasus
ini
dan
tidak
segan-‐segan
untuk
memeriksa
pejabat
terkait
yang
diduga
terlibat
dalam
kasus
ini.
Kondisi
tersebut
menunjukkan
bahwa
sektor
ekstraktif
migas
dan
pertambangan
tidak
sepi
dari
praktek-‐praktek
korupsi.
Bahkan
terdapat
banyak
celah
yang
bisa
menjadi
pintu
diantaranya
pada
rantai
bisnis
pemberian
ijin/kontrak,
penjualan
hasil
produksi
migas
dan
pertambangan,
penghitungan
cost
recovery,
penyetoran
pajak
dan
pencatatan
penerimaan
negara
maupun
pada
rantai
penggunaan
penerimaan
sektor
ekstraktif
untuk
alokasi
belanja
pembangunan.
4. Hilirisasi
Sektor
Pertambangan
Mineral
dan
Batubara
Di
penghujung
tahun
2013,
pelaku
industri
pertambangan
mineral
dan
batubara
dicemaskan
oleh
pelaksanaan
UU
Minerba,
khususnya
mengenai
kewajiban
untuk
melakukan
pengolahan
dan
pemurnian
hasil
produksi
penambangan
mereka
di
dalam
negeri,
selambat-‐lambatnya
5
tahun
sejak
UU
Minerba
Nomor
4
Tahun
2009
diundangkan
(Pasal
103,
104,
dan
170
UU
Nomor
4
Tahun
2009).
Artinya,
sejak
12
Januari
2014
mendatang,
semua
perusahaan
yang
melakukan
penambangan
mineral
dan
batubara
di
Indonesia
wajib
melakukan
pengolahan
dan
pemurnian
di
dalam
negeri,
dengan
kata
lain
Pemerintah
akan
memberlakukan
larangan
ekspor
bahan
mentah
hasil
penambangan(ore).
Kebijakan
ini
banyak
ditentang
oleh
pelaku
industri
pertambangan
mineral
dan
batubara,
meskipun
Pemerintah
terlihat
pada
awalnya
tetap
kekeuh
untuk
melaksanakan
ketentuan
tersebut,
tanpa
terkecuali.
Penolakan
kalangan
industri
tersebut
karena
dianggap
dapat
menyebabkan
produksi
terhenti
yang
berkonsekwensi
pada
terjadinya
pemutusan
hubungan
kerja
(PHK)
terhadap
pekerja
di
sektor
pertambangan
Minerba.
Dan
baru
beberapa
hari
ini,
Pemerintah
sepertinya
mulai
berkompromi
dengan
adanya
kemungkinan
untuk
melakukan
relaksasi
(penundaan)
ataupun
penerapan
secara
bertahap
dengan
memberikan
ijin
ekspor
pada
perusahaan
yang
telah
menyerahkan
FS
(Feasibility
Study)
pembangunan
pabrik
pengolahan
dan
pemurnian
kepada
Pemerintah.
Kemungkinan
lainnya
adalah
dengan
memberikan
kelonggaran
dengan
batas
kadar
tertentu
dari
konsentrat
hasil
tambang
yang
boleh
diekspor
ke
luar
negeri.
Ibarat
buah
simalakama,
kebijakan
ini
relatif
sulit
untuk
dilaksanakan
secara
menyeluruh
dan
merata,
mengingat
besaran
skala
industri
yang
berbeda-‐beda
antara
satu
perusahaan
dengan
perusahaaan
lainnya,
sehingga
muncul
isu
kesenjangan
kemampuan
antara
perusahaan
besar
dan
kecil-‐terutama
terkait
kemampuan
untuk
membangun
pabrik
pengolahan
dan
pemurnian.
Meski
pabrik
pengolahan
dan
pemurnian
hasil
tambang
ini
dapat
saja
dilaksanakan
secara
bersama-‐sama
antara
satu
perusahaan
dengan
perusahaan
lainnya.
Di
sisi
lain,
lemahnya
sisi
perencanaan
dan
antisipasi
kebijakan
dari
penerapan
peraturan
ini
menjadi
salah
satu
faktor
penting.
Penyiapan
dan
antisipasi
ekses
dari
pelaksanaan
kebijakan
tersebut
seharusnya
dapat
dipersiapkan
jauh-‐jauh
hari
oleh
segenap
pihak
baik
perusahaan
5. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transparansi
dan Akuntabilitas Tata Kelola Sumberdaya Ekstraktif
maupun
Pemerintah,
sehingga
resiko
dan
dampaknya
dapat
diminimalisir
sedini
mungkin.
Kebijakan
hilirisasi
secara
jangka
pendek
mungkin
terlihat
membawa
gejolak
seperti
gelombang
pemutusan
hubung
kerja
maupun
penghentian
sementara
produksi,
kondisi
ini
terutama
semakin
terasa
di
tengah
neraca
pembayaran
dalam
negeri
yang
sedang
goyah.
Namun
secara
jangka
menengah
dan
panjang,
kebijakan
ini
akan
menguntungkan
perekonomian
nasional
yang
memicu
tumbuhnya
industri
hilir
serta
multiflier
effect
yang
terjadi
dari
kegiatan
pertambangan
mineral
dan
batubara
ini
di
dalam
negeri.
Untuk
itu,
meski
opsi
penerapan
kebijakan
secara
bertahap
namun
terukur
dapat
saja
diambil
untuk
mengurangi
resiko
yang
besar,
namun
Pemerintah
harus
dapat
bersikap
tegas
dan
tidak
diskriminatif
dalam
penerapan
kebijakan
ini,
serta
menyiapkan
antisipasi
dari
berbagai
gejolak
dan
ekses
yang
mungkin
terjadi
dengan
melakukan
koordinasi
secara
terpadu
dengan
segenap
pihak
dan
instansi
terkait,
termasuk
dengan
Pemerintah
Daerah.
5. Renegosiasi
Kontrak-‐Kontrak
Pertambangan
Minerba
(PKP2B)
Renegosiasi
kontrak-‐kontrak
pertambangan
jenis
Kontrak
Karya
(KK)
dan
Perjanjian
Karya
Pengusahaan
Pertambangan
Batubara
(PKP2B)
merupakan
salah
satu
pelaksanaan
dari
ketentuan
Pasal
169
juncto
Pasal
171
UU
Nomor
4
Tahun
2009
tentang
Minerba.
UU
ini
mengamanatkan
bahwa
KK
dan
PKP2B
yang
ada
sebelum
berlakunya
UU
Nomor
4
Tahun
2009
tetap
berlaku
sampai
jangka
waktu
kontrak
atau
perjanjian
berakhir
namun
perlu
dilakukan
penyesuaian.
Renegosiasi
dilakukan
terhadap
110
perusahaan
pemegang
kontrak
yang
terdiri
atas
36
perusahaan
pemegang
KK
dan
74
perusahaan
pemegang
PKP2B.
Renegosiasi
dilakukan
terhadap
6
isu
strategis,
meliputi:
(1)
Luas
Wilayah;
(2)
Perpanjangan
Kontrak;
(3)
penerimaan
negara/royalti;
(4)
kewajiban
pengolahan
dan
pemurnian;
(5)
kewajiban
divestasi;
serta
(6)
kewajiban
penggunaan
barang
dan
jasa
pertambangan
dalam
negeri.
Hasil
renegosiasi
yang
telah
dilakukan
oleh
Tim
Evaluasi
terhadap
perusahaan
pemegang
KK
dan
PKP2B
dapat
dilihat
pada
tabel
berikut
:
No
Rincian
1
2
KK
PKP2B
Setuju
Seluruhnya
3
5
8
Setuju Sebagian
33
67
100
Belum
Setuju
1
1
Tidak
Renegosiasi
1
1
Total
36
74
110
Sumber
:
Kemenko
Perekonomian
RI.
Beberapa
isu
strategis
yang
belum
disetujui
oleh
perusahaan
pemegang
KK
dan
PKP2B
diantaranya
:
Yayasan
Transparansi
Sumberdaya
Ekstraktif
Sekretariat
Nasional
:
Jl.
Intan
No.81,
Cilandak
Barat,
Jakarta
Selatan
12430,
INDONESIA|T/F
:+62-‐21-‐7512503|E:sekretariat@pwyp-‐indonesia.org|www.pwyp-‐indonesia.org
6.
(1) Luas
wilayah,
dimana
perusahaan
pemegang
KK
yang
memiliki
luas
wilayah
kerja
di
atas
15.000
Ha
dan
perusahaan
pemegang
PKP2B
dengan
luas
wilayah
di
atas
15.000
Ha,
belum
setuju
untuk
dilakukan
perubahan
luas
wilayah
kerja.
(2) Penerimaan
negara,
dimana
perusahaan
meminta
agar
pengenaan
Pajak
Penghasilan
Badan
(PPh
Badan)
dan
pajak
lainnya
tetap
berdasarkan
KK
dan
PKP2B
(Nailed
Down),
sedangkan
Pemerintah
meminta
hanya
PPh
Badan
saja
yang
bersifat
nailed
down,
sedangkan
untuk
jenis
pajak
lainnya
serta
prosedur
perpajakannya
menganut
azas
Prevailing
Law.
Sedangkan
menyangkut
royalti,
tarifnya
akan
disesuaikan
dengan
Peraturan
Pemerintah
Nomor
9
Tahun
2012
,
tentang
jenis
dan
tarif
PNBP
yang
berlaku
pada
Kementerian
ESDM.
(3) Kewajiban
pengolahan
dan
pemurnian
(hilirisasi).
Sebagian
besar
perusahaan
masih
enggan
dalam
pelaksanaan
hilirisasi,
karena
mengaku
masih
mendapat
hambatan
yang
menyangkut
kebutuhan
investasi
yang
besar,
jaminan
pasokan
bahan
baku,
serta
ketersediaan
pasokan
energi.
(4) Kewajiban
Divestasi.
Sebagian
perusahaan
keberatan
terhadap
pelaksanaan
divestasi
khususnya
menyangkut
jumlah
sahan
yang
harus
didivestasi
sebesar
51%
sebagaimana
diatur
dalam
PP
Nomor
23
Tahun
2010
tentang
Pelaksanaan
Kegiatan
Usaha
Pertambangan
Minerba.
Disamping
itu,
perlu
adanya
ketegasan
kewajiban
divestasi
bagi
perusahaan
yang
terintegrasi
antara
tambang
dengan
pengolahan
dan
pemurnian.
Proses
renegosiasi
KK
dan
PKP2B
tersebut
harus
terus
didorong
dan
dilakukan
oleh
Pemerintah
terhadap
pihak
pemegang
Kontrak
agar
tercapai
keseimbangan
dan
aspek
keadilan
terpenuhi
bagi
seluruh
pelaku
industri
pertambangan
mineral
dan
batubara
di
tanah
air.
Terlebih
beberapa
pasal
menyangkut
penerimaan
negara
(seperti
royalti
dan
pajak)
yang
selama
ini
tertera
di
KK
dan
PKP2B
relatif
masih
kecil
dibanding
dengan
efek
eksternalitas
dari
kegiatan
pertambangan
tersebut
bagi
masyarakat.
Aspek
kepemilikan
oleh
pelaku
usaha
dalam
negeri
pada
isu
divestasi
serta
hilirisasi
juga
merupakan
isu
krusial,
mengingat
kepentingan
nasional
untuk
memastikan
manfaat
sebesar-‐besarnya
pengelolaan
sumberdaya
ekstraktif
mineral
dan
batubara
untuk
sebesar-‐besarnya
kemakmuran
rakyat.
Jakarta,
31
Desember
2013
Publish
What
You
Pay
Indonesia
Maryati Abdullah
Koordinator Nasional
CP : +6292125238247 | Twitter : MaryatiAbdullah