1. Dokumen membahas tentang penderitaan rakyat Palestina akibat isolasi dan serangan Israel, serta perjuangan mereka untuk memperoleh hak kembali ke tanah air asal mereka sesuai resolusi PBB. 2. Konflik internal Palestina antara Hamas dan Fatah menjadi penghalang tercapainya kemerdekaan Palestina. 3. Dukungan internasional diperlukan untuk melawan pendudukan Israel dan mewujudkan negara Palestina berdaulat.
1. DIGITAL NE WS PA PER
JALAN PULANG
BANGSA PALESTINA
hal
Spirit Baru Jawa Timur
surabaya.tribunnews.com
surya.co.id
2
| SELASA, 10 DESEMBER 2013 | Terbit 2 halaman
edisi pagi
Paket Bali WTO
PERPANJANGAN WAKTU
SURYA Online - Hasil negosiasi
panjang dan alot Konferensi
Tingkat Menteri (KTM) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)
ke-9, 3-6 Desember 2013
di Nusa Dua, Bali, akhirnya
menghasilkan Paket Bali. Dan
tentu saja Paket Bali ini harus
disambut gembira sebagian
besar delegasi, tak terkecuali
Indonesia karena tiga poin yang
dihasilkan, yakni Trade Facilitation (Fasilitas Perdagangan),
Agriculture (Pertanian) dan
Least Developed Countries
(Peningkatan Kapasitas Negara
Miskin), memberikan perpanjangan waktu penerapan mutlak perdagangan bebas kepada
negara-negara berkembang.
“Kami berhasil,” kata Ketua
KTM ke-9, Gita Wirjawan yang
juga Menteri Perdagangan saat
menyampaikan pidato penutupan kegiatan yang dihadiri
delegasi dari 159 negara, Sabtu
(7/12/2013).
Pembahasan untuk membuahkan Paket Bali dalam konferensi yang dibuka oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono itu
sempat terkendala oleh sikap
India yang tidak setuju dan
bersikeras bahwa stok keamanan pangan harus 15 persen dari
output nasional dengan durasi
waktu subsidi tidak terbatas.
Negara maju seperti Amerika
Serikat sebelumnya menyetujui
angka 15 persen itu, tapi subsidi hanya berlaku selama empat
tahun. Akhirnya, terkait stok
publik untuk ketahanan pangan
anggota WTO menyepakati
bahwa dalam empat tahun lagi
atau di KTM ke-11 harus sudah
disepakati solusi permanen terkait stok pangan. Kesepakatan
ini merupakan sejarah baru
dalam pembahasan membentuk sistem perdagangan global
melalui WTO.
Solusi permanen akan ditetapkan untuk negara berkembang
saja. Selama belum tercapai
solusi permanen, negara
berkembang boleh melakukan
penumpukan stok pangan untuk
ketahanan pangan negaranya
lebih dari 10 persen.
Negara berkembang harus
menotifikasi besaran subsidi
mereka kepada komite pertanian dan melaporkan sejumlah
data antara lain terkait harga
penjualan dan stok akhir.
Selama masa interim
tersebut, setiap anggota
yang tergabung dalam WTO
harus menahan diri untuk
tidak membawa aduan dalam
penyelesaian sengketa WTO.
Namun setelah India melunak, empat negara sempat
menolak draf Paket Bali yang
berisi 10 proposal tersebut.
Keempat negara itu adalah
Kuba, Bolivia, Venezuela dan
join facebook.com/suryaonline
Nikaragua.
Menurut juru bicara WTO
Keith Rockwell, salah satu yang
menjadi masalah penolakan ke
empat negara atas draf Paket
Bali tersebut adalah masalah
embargo yang tidak kunjung
ditindaklanjuti WTO sejak
pertemuan Hong Kong pada
2005.
Sikap Indonesia
Indonesia sebagai tuan rumah
berusaha sekuat tenaga untuk
menghasilkan Paket Bali dan
memecahkan kebuntuan dari Putaran Doha yang mandek kurang
lebih selama 12 tahun.
Menteri Perdagangan Gita
Wirjawan menyatakan, Indonesia akan mengambil sikap yang
lebih fleksibel terkait negosiasi
Paket Bali, khususnya dalam
Paket Pertanian yang dalam
pembahasannya terasa berat
untuk diselesaikan. “Posisi
Indonesia untuk Paket Bali ini
memerlukan fleksibilitas dalam
batas kewajaran,” katanya.
Sikap Indonesia dalam WTO
adalah tetap berkomitmen
dalam WTO dan mengikuti
liberalisasi perdagangan
secara konsisten dan unilateral. Sementara kritik dari
dalam negeri juga masih terus
bermunculan atas keterlibatan
Indonesia dalam organisasi
perdagangan global itu di
tengah kesadaran kurangnya
daya saing dalam negeri
atas sejumlah masalah yang
disepakati.
Ditilik dari hasil tiga poin Paket Bali tersebut, sebenarnya
memberi harapan bagus bagi
Indonesia, alias perpanjangan
waktu untuk benar-benar
memberlakukan perdagangan
bebas. Indonesia masih punya
kesempatan untuk mengupayakan swasembada di bidang
pertanian, terutama pangan
dan perdagangan. Hanya saja,
diperlukan keberanian dari Pemerintah untuk berani sedikit
memberikan perlawanan, atau
kata Menteri Perdagangan Gita
Wiryawan adalah sikap fleksibel. Dengan waktu tersebut,
Pemerintah bisa melakukan
konsolidasi untuk benar-benar
mewujudkan swasembada
dalam bidang pertanian yang
belakangan bahkan memukul
pedagang lombok dan bawang
putih. Indonesia harus segera
melakukan percepatan swasembada di bidang pangan.
Di bidang perdagangan, juga
demikian, dengan kebebasan
yang diberikan kepada negara
berkembang, Pemerintah harus
sigap untuk mempersiapkan
kualitas produksi dalam negeri
agar bisa bersaing dengan
produk asing, terutama
China. Jika China bisa bersaing
dengan produk massalnya,
Indonesia sebenarnya tinggal
pengaturannya saja. Walaupun
dalam hal jiplak menjiplak
tentu saja gaya China tidak
dapat ditiru, namun gerakan
nasionalisme China harus dicontoh Indonesia yang memiliki
25 juta penduduk. (ant/joe)
follow @portalsurya
2. 2
SELASA, 10 DESEMBER 2013 | surya.co.id | surabaya.tribunnews.com
JALAN PULANG BANGSA PALESTINA
SURYA Online - Nestapa
rakyat Palestina nampaknya
belum akan berakhir karena
sejak awal November 2013,
warga di jalur Gaza tak bisa
mendapatkan akses listrik
karena salah satu gardu penyedia listrik kehabisan pasokan
bahan bakar, sebagai akibat
ditutupnya akses perbatasan
dengan Mesir.
Pemadaman listrik ini
menghentikan berbagai
pelayanan pokok bagi warga
Gaza, termasuk kesehatan, air
minum dan sanitasi. Apalagi
saat ini memasuki akhir tahun,
wilayah Gaza dan sekitarnya
akan memasuki musim dingin.
Seakan lengkaplah penderitaan sekitar 1,7 juta warga
Gaza, selain langkanya bahan
makanan dan obat-obatan
karena isolasi oleh Israel sejak
2006, juga serangan roket
Israel yang tanpa ampun
menghancurkan pemukiman
dan berbagai fasilitas publik
semisal sekolah-sekolah dan
rumah sakit.
Israel sepertinya tak pernah
kehabisan cara untuk mengangkangi hukum internasional yang
menjamin hak-hak kemanusiaan bangsa Palestina. Karena
memang itulah barangkali
alasan negara tersebut berdiri.
Telah 65 tahun berlalu sejak
Sidang Umum PBB menerima
Resolusi 181 yang (tanpa
persetujuan bangsa Palestina)
membagi dua tanah Palestina
menjadi sebuah negara Arab
dan negara Yahudi dengan kota
suci Yerusalem sebagai corpus
separatum di bawah pengawasan lembaga internasional.
Tak lama setelah Resolusi 181
disahkan, kelompok-kelompok
sipil militan Israel melakukan
operasi pengusiran rakyat
Palestina dari wilayah yang
diklaim milik Israel.
Dalam operasi yang dinamakan Rencana Dalet, milisi Israel
menghancurkan desa-desa
Palestina dengan membakar,
meledakkan, dan menanam
ranjau di reruntuhan desa itu.
Bila ada perlawanan, kekuatan
bersenjata harus dilenyapkan
dan warga desa diusir hingga
keluar dari perbatasan negara.
Menurut catatan Salman
Abu Sitta, seorang tokoh senior
Palestina, dalam peristiwa yang
disebut Al-Nakba (Malapetaka) ini,
Israel menduduki 774 desa dan
menghancurkan 531 di antaranya.
Akibatnya sekitar 15 ribu
orang meninggal, dan lebih
dari 800 ribu orang terusir dari
tanahnya, dan harus tinggal
di pengungsian. Abu Sitta
menyebut peristiwa ini sebagai
operasi pemusnahan etnis
terencana dan terbesar sepanjang era modern yang didukung
oleh dunia internasional.
Bahkan Israel praktis menduduki keseluruhan wilayah
Palestina setelah Perang Enam
Hari melawan negara-negara
Arab di tahun 1967, dan baru
dikembalikan setelah perjanjian Oslo tahun 1993, yaitu Jalur
Gaza dan Tepi Barat, tak lebih
dari 3 persen dari tanah yang
milik Palestina sebelum 1947.
Data yang dirilis Palestinian
Central Bureau of Statistics
(PCBS) tahun 2012, menyebutkan jumlah rakyat Palestina
sekitar 10 juta orang. Hampir 7
juta orang di antaranya adalah
pengungsi atau penduduk
yang terusir dari tanahnya,
mereka tersebar di perbatasan
join facebook.com/suryaonline
Yordania, Libanon, Suriah,
selain juga di Tepi Barat dan
Jalur Gaza.
Setiap harinya nasib mereka
tergantung kepada bantuan
dunia internasional melalui
badan resmi PBB atau lewat
tangan organisasi-organisasi
kemanusiaan lainnya.
Selain itu, juga terdapat
rakyat Palestina yang tercatat
sebagai warga Israel, dan
mengalami diskriminasi. Israel
memang membangun tempat
tinggal baru untuk rakyat Palestina ini, tapi di wilayah lain,
bukan di tanah asal mereka.
Inilah relokasi menurut Israel,
tanah dan rumah milik rakyat
Palestina dirampas, kemudian
diberi ganti pemukiman dengan
kondisi yang mengenaskan.
Israel menetapkan “law of return”, mengizinkan orang Yahudi
seluruh dunia untuk kembali ke
tanah suci mereka dan menjadi
warga Israel, tetapi pada saat
yang sama, Israel mengabaikan
right of return rakyat Palestina
ke tanah dan rumah mereka.
Hak untuk Kembali
Pekan lalu berlangsung
konferensi yang bertajuk
“Return to Palestine” yang
dilaksanakan di Beirut,
Libanon. Konferensi yang
berlangsung selama 3 hari
ini dihadiri oleh perwakilan
organisasi dari 25 negara.
Semua peserta konferensi,
termasuk yang berasal dari
negara-negara Amerika Selatan
dan Asia Timur, bersepakat
untuk membela hak Palestina
untuk melawan pendudukan
Israel, juga memberi dukungan
bagi perbaikan kondisi kemanusiaan bangsa Palestina, tanpa
memandang asal usul agama,
ras dan faksi politik apapun.
Demikian banyaknya negara
yang memberi dukungan kepada Palestina memang terbukti
ketika tahun lalu pada sidang
umum PBB, sebanyak 138 negara mendukung status Palestina
sebagai negara pengamat
non-anggota PBB, dan hanya 9
negara yang menolak, termasuk Israel dan sponsor utamanya, Amerika Serikat. Artinya,
dunia internasional sebenarnya
sudah jengah menyaksikan
kebrutalan pendudukan Israel
yang mengabaikan hak-hak
kemanusiaan di Palestina.
Hak untuk kembali (right
to return) pulang ke tanah
asal bagi pengungsi Palestina,
baik mereka yang terusir
ketika peristiwa Al-Nakba,
pengungsi setelah Perang Enam
Hari tahun 1967, maupun
keturunannya hingga saat
ini, merupakan salah satu isu
paling dasar dalam perjuangan
hak-hak kemanusiaan bangsa
Palestina, selain hak kemerdekaan dan status sebagai negara
berdaulat.
Hak untuk kembali ini dijamin
oleh Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia tahun 1948, juga
oleh berbagai hukum internasional yang diratifikasi banyak
negara, serta berpuluh-puluh
resolusi yang telah diterima oleh
sidang umum PBB, terutama
resolusi 194 (III) tahun 1948
yang tercatat: “Menyerukan
secepat mungkin agar pengungsi
Palestina kembali ke rumah-rumah mereka untuk hidup dengan
damai bersama dan mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang
mereka alami”.
Telah 65 tahun berlalu, namun
resolusi PBB ini belum juga
dapat dipenuhi. Implementasi
atas hak untuk kembali seperti
yang diminta rakyat Palestina
sebetulnya pernah dipraktekkan
di beberapa negara yang
memiliki pengalaman konflik
dan peperangan semisal Kosovo,
Timor-timur, Rwanda, Guatemala, dan Afghanistan. Namun
tidak dipraktekkan di Palestina.
Pemenuhan atas hak untuk
kembali bagi rakyat palestina
selalu menemukan jalan buntu
karena Israel tak pernah mau
memenuhinya. Dengan dalih
politik yang didasarkan pada janji
teologis, Israel bebal dari segala
resolusi PBB dan seruan dunia
internasional untuk menghentikan
pendudukannya di Palestina.
Konflik internal bangsa
Palestina sendiri yang justru
menggembirakan bagi Israel.
Perbedaan pandangan antara
Hamas yang menginginkan satu
negara Palestina berdaulat
tanpa mengakui keberadaan
Israel dan menempuh jalan
perlawanan, dengan Fatah
yang menerima kompromi
negara Palestina yang berdampingan dengan Israel melalui
jalan diplomasi, adalah satu
permasalahan yang sangat
pelik, bahkan sering menjadi
penghalang bagi tercapainya
perjuangan bangsa Palestina.
Tanpa persatuan politik yang
terlembagakan secara mapan
di Palestina, apalagi tanpa
dukungan dunia internasional,
sangat sulit bagi bangsa
Palestina untuk dapat duduk
setara dengan Israel.
Hubungan yang timpang
dalam politik, ekonomi, dan
militer akan melanggengkan
pendudukan. Maka dalam hal
ini nilai-nilai kemanusiaan yang
kita perjuangkan dan lembagakan dalam hukum-hukum
internasional itu, tak lebih dari
sekedar catatan yang sebenarnya tak pernah dilaksanakan.
(antara)
follow @portalsurya