SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 2
Downloaden Sie, um offline zu lesen
DIGITAL NE WS PA PER

JALAN PULANG
BANGSA PALESTINA
hal

Spirit Baru Jawa Timur
surabaya.tribunnews.com

surya.co.id

2

| SELASA, 10 DESEMBER 2013 | Terbit 2 halaman

edisi pagi

Paket Bali WTO

PERPANJANGAN WAKTU
SURYA Online - Hasil negosiasi
panjang dan alot Konferensi
Tingkat Menteri (KTM) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)
ke-9, 3-6 Desember 2013
di Nusa Dua, Bali, akhirnya
menghasilkan Paket Bali. Dan
tentu saja Paket Bali ini harus
disambut gembira sebagian
besar delegasi, tak terkecuali
Indonesia karena tiga poin yang
dihasilkan, yakni Trade Facilitation (Fasilitas Perdagangan),
Agriculture (Pertanian) dan
Least Developed Countries
(Peningkatan Kapasitas Negara
Miskin), memberikan perpanjangan waktu penerapan mutlak perdagangan bebas kepada
negara-negara berkembang.
“Kami berhasil,” kata Ketua
KTM ke-9, Gita Wirjawan yang
juga Menteri Perdagangan saat
menyampaikan pidato penutupan kegiatan yang dihadiri
delegasi dari 159 negara, Sabtu
(7/12/2013).
Pembahasan untuk membuahkan Paket Bali dalam konferensi yang dibuka oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono itu
sempat terkendala oleh sikap
India yang tidak setuju dan
bersikeras bahwa stok keamanan pangan harus 15 persen dari
output nasional dengan durasi
waktu subsidi tidak terbatas.
Negara maju seperti Amerika
Serikat sebelumnya menyetujui

angka 15 persen itu, tapi subsidi hanya berlaku selama empat
tahun. Akhirnya, terkait stok
publik untuk ketahanan pangan
anggota WTO menyepakati
bahwa dalam empat tahun lagi
atau di KTM ke-11 harus sudah
disepakati solusi permanen terkait stok pangan. Kesepakatan
ini merupakan sejarah baru
dalam pembahasan membentuk sistem perdagangan global
melalui WTO.
Solusi permanen akan ditetapkan untuk negara berkembang
saja. Selama belum tercapai
solusi permanen, negara
berkembang boleh melakukan
penumpukan stok pangan untuk
ketahanan pangan negaranya
lebih dari 10 persen.
Negara berkembang harus
menotifikasi besaran subsidi
mereka kepada komite pertanian dan melaporkan sejumlah
data antara lain terkait harga
penjualan dan stok akhir.
Selama masa interim
tersebut, setiap anggota
yang tergabung dalam WTO
harus menahan diri untuk
tidak membawa aduan dalam
penyelesaian sengketa WTO.
Namun setelah India melunak, empat negara sempat
menolak draf Paket Bali yang
berisi 10 proposal tersebut.
Keempat negara itu adalah
Kuba, Bolivia, Venezuela dan

join facebook.com/suryaonline

Nikaragua.
Menurut juru bicara WTO
Keith Rockwell, salah satu yang
menjadi masalah penolakan ke
empat negara atas draf Paket
Bali tersebut adalah masalah
embargo yang tidak kunjung
ditindaklanjuti WTO sejak
pertemuan Hong Kong pada
2005.

Sikap Indonesia

Indonesia sebagai tuan rumah
berusaha sekuat tenaga untuk
menghasilkan Paket Bali dan
memecahkan kebuntuan dari Putaran Doha yang mandek kurang
lebih selama 12 tahun.
Menteri Perdagangan Gita
Wirjawan menyatakan, Indonesia akan mengambil sikap yang
lebih fleksibel terkait negosiasi
Paket Bali, khususnya dalam
Paket Pertanian yang dalam

pembahasannya terasa berat
untuk diselesaikan. “Posisi
Indonesia untuk Paket Bali ini
memerlukan fleksibilitas dalam
batas kewajaran,” katanya.
Sikap Indonesia dalam WTO
adalah tetap berkomitmen
dalam WTO dan mengikuti
liberalisasi perdagangan
secara konsisten dan unilateral. Sementara kritik dari
dalam negeri juga masih terus
bermunculan atas keterlibatan
Indonesia dalam organisasi
perdagangan global itu di
tengah kesadaran kurangnya
daya saing dalam negeri
atas sejumlah masalah yang
disepakati.
Ditilik dari hasil tiga poin Paket Bali tersebut, sebenarnya
memberi harapan bagus bagi
Indonesia, alias perpanjangan
waktu untuk benar-benar

memberlakukan perdagangan
bebas. Indonesia masih punya
kesempatan untuk mengupayakan swasembada di bidang
pertanian, terutama pangan
dan perdagangan. Hanya saja,
diperlukan keberanian dari Pemerintah untuk berani sedikit
memberikan perlawanan, atau
kata Menteri Perdagangan Gita
Wiryawan adalah sikap fleksibel. Dengan waktu tersebut,
Pemerintah bisa melakukan
konsolidasi untuk benar-benar
mewujudkan swasembada
dalam bidang pertanian yang
belakangan bahkan memukul
pedagang lombok dan bawang
putih. Indonesia harus segera
melakukan percepatan swasembada di bidang pangan.
Di bidang perdagangan, juga
demikian, dengan kebebasan
yang diberikan kepada negara
berkembang, Pemerintah harus
sigap untuk mempersiapkan
kualitas produksi dalam negeri
agar bisa bersaing dengan
produk asing, terutama
China. Jika China bisa bersaing
dengan produk massalnya,
Indonesia sebenarnya tinggal
pengaturannya saja. Walaupun
dalam hal jiplak menjiplak
tentu saja gaya China tidak
dapat ditiru, namun gerakan
nasionalisme China harus dicontoh Indonesia yang memiliki
25 juta penduduk. (ant/joe)
follow @portalsurya
2

SELASA, 10 DESEMBER 2013 | surya.co.id | surabaya.tribunnews.com

JALAN PULANG BANGSA PALESTINA

SURYA Online - Nestapa
rakyat Palestina nampaknya
belum akan berakhir karena
sejak awal November 2013,
warga di jalur Gaza tak bisa
mendapatkan akses listrik
karena salah satu gardu penyedia listrik kehabisan pasokan
bahan bakar, sebagai akibat
ditutupnya akses perbatasan
dengan Mesir.
Pemadaman listrik ini
menghentikan berbagai
pelayanan pokok bagi warga
Gaza, termasuk kesehatan, air
minum dan sanitasi. Apalagi
saat ini memasuki akhir tahun,
wilayah Gaza dan sekitarnya
akan memasuki musim dingin.
Seakan lengkaplah penderitaan sekitar 1,7 juta warga
Gaza, selain langkanya bahan
makanan dan obat-obatan
karena isolasi oleh Israel sejak
2006, juga serangan roket
Israel yang tanpa ampun
menghancurkan pemukiman
dan berbagai fasilitas publik
semisal sekolah-sekolah dan
rumah sakit.
Israel sepertinya tak pernah
kehabisan cara untuk mengangkangi hukum internasional yang
menjamin hak-hak kemanusiaan bangsa Palestina. Karena
memang itulah barangkali
alasan negara tersebut berdiri.
Telah 65 tahun berlalu sejak
Sidang Umum PBB menerima
Resolusi 181 yang (tanpa
persetujuan bangsa Palestina)
membagi dua tanah Palestina
menjadi sebuah negara Arab
dan negara Yahudi dengan kota
suci Yerusalem sebagai corpus
separatum di bawah pengawasan lembaga internasional.
Tak lama setelah Resolusi 181
disahkan, kelompok-kelompok
sipil militan Israel melakukan
operasi pengusiran rakyat
Palestina dari wilayah yang
diklaim milik Israel.
Dalam operasi yang dinamakan Rencana Dalet, milisi Israel
menghancurkan desa-desa
Palestina dengan membakar,
meledakkan, dan menanam

ranjau di reruntuhan desa itu.
Bila ada perlawanan, kekuatan
bersenjata harus dilenyapkan
dan warga desa diusir hingga
keluar dari perbatasan negara.
Menurut catatan Salman
Abu Sitta, seorang tokoh senior
Palestina, dalam peristiwa yang
disebut Al-Nakba (Malapetaka) ini,
Israel menduduki 774 desa dan
menghancurkan 531 di antaranya.
Akibatnya sekitar 15 ribu
orang meninggal, dan lebih
dari 800 ribu orang terusir dari
tanahnya, dan harus tinggal
di pengungsian. Abu Sitta
menyebut peristiwa ini sebagai
operasi pemusnahan etnis
terencana dan terbesar sepanjang era modern yang didukung
oleh dunia internasional.
Bahkan Israel praktis menduduki keseluruhan wilayah
Palestina setelah Perang Enam
Hari melawan negara-negara
Arab di tahun 1967, dan baru
dikembalikan setelah perjanjian Oslo tahun 1993, yaitu Jalur
Gaza dan Tepi Barat, tak lebih
dari 3 persen dari tanah yang
milik Palestina sebelum 1947.
Data yang dirilis Palestinian
Central Bureau of Statistics
(PCBS) tahun 2012, menyebutkan jumlah rakyat Palestina
sekitar 10 juta orang. Hampir 7
juta orang di antaranya adalah
pengungsi atau penduduk
yang terusir dari tanahnya,
mereka tersebar di perbatasan

join facebook.com/suryaonline

Yordania, Libanon, Suriah,
selain juga di Tepi Barat dan
Jalur Gaza.
Setiap harinya nasib mereka
tergantung kepada bantuan
dunia internasional melalui
badan resmi PBB atau lewat
tangan organisasi-organisasi
kemanusiaan lainnya.
Selain itu, juga terdapat
rakyat Palestina yang tercatat
sebagai warga Israel, dan
mengalami diskriminasi. Israel
memang membangun tempat
tinggal baru untuk rakyat Palestina ini, tapi di wilayah lain,
bukan di tanah asal mereka.
Inilah relokasi menurut Israel,
tanah dan rumah milik rakyat
Palestina dirampas, kemudian
diberi ganti pemukiman dengan
kondisi yang mengenaskan.
Israel menetapkan “law of return”, mengizinkan orang Yahudi
seluruh dunia untuk kembali ke
tanah suci mereka dan menjadi
warga Israel, tetapi pada saat
yang sama, Israel mengabaikan
right of return rakyat Palestina
ke tanah dan rumah mereka.

Hak untuk Kembali

Pekan lalu berlangsung
konferensi yang bertajuk
“Return to Palestine” yang
dilaksanakan di Beirut,
Libanon. Konferensi yang
berlangsung selama 3 hari
ini dihadiri oleh perwakilan
organisasi dari 25 negara.

Semua peserta konferensi,
termasuk yang berasal dari
negara-negara Amerika Selatan
dan Asia Timur, bersepakat
untuk membela hak Palestina
untuk melawan pendudukan
Israel, juga memberi dukungan
bagi perbaikan kondisi kemanusiaan bangsa Palestina, tanpa
memandang asal usul agama,
ras dan faksi politik apapun.
Demikian banyaknya negara
yang memberi dukungan kepada Palestina memang terbukti
ketika tahun lalu pada sidang
umum PBB, sebanyak 138 negara mendukung status Palestina
sebagai negara pengamat
non-anggota PBB, dan hanya 9
negara yang menolak, termasuk Israel dan sponsor utamanya, Amerika Serikat. Artinya,
dunia internasional sebenarnya
sudah jengah menyaksikan
kebrutalan pendudukan Israel
yang mengabaikan hak-hak
kemanusiaan di Palestina.
Hak untuk kembali (right
to return) pulang ke tanah
asal bagi pengungsi Palestina,
baik mereka yang terusir
ketika peristiwa Al-Nakba,
pengungsi setelah Perang Enam
Hari tahun 1967, maupun
keturunannya hingga saat
ini, merupakan salah satu isu
paling dasar dalam perjuangan
hak-hak kemanusiaan bangsa
Palestina, selain hak kemerdekaan dan status sebagai negara
berdaulat.
Hak untuk kembali ini dijamin
oleh Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia tahun 1948, juga
oleh berbagai hukum internasional yang diratifikasi banyak
negara, serta berpuluh-puluh
resolusi yang telah diterima oleh
sidang umum PBB, terutama
resolusi 194 (III) tahun 1948
yang tercatat: “Menyerukan
secepat mungkin agar pengungsi
Palestina kembali ke rumah-rumah mereka untuk hidup dengan
damai bersama dan mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang
mereka alami”.

Telah 65 tahun berlalu, namun
resolusi PBB ini belum juga
dapat dipenuhi. Implementasi
atas hak untuk kembali seperti
yang diminta rakyat Palestina
sebetulnya pernah dipraktekkan
di beberapa negara yang
memiliki pengalaman konflik
dan peperangan semisal Kosovo,
Timor-timur, Rwanda, Guatemala, dan Afghanistan. Namun
tidak dipraktekkan di Palestina.
Pemenuhan atas hak untuk
kembali bagi rakyat palestina
selalu menemukan jalan buntu
karena Israel tak pernah mau
memenuhinya. Dengan dalih
politik yang didasarkan pada janji
teologis, Israel bebal dari segala
resolusi PBB dan seruan dunia
internasional untuk menghentikan
pendudukannya di Palestina.
Konflik internal bangsa
Palestina sendiri yang justru
menggembirakan bagi Israel.
Perbedaan pandangan antara
Hamas yang menginginkan satu
negara Palestina berdaulat
tanpa mengakui keberadaan
Israel dan menempuh jalan
perlawanan, dengan Fatah
yang menerima kompromi
negara Palestina yang berdampingan dengan Israel melalui
jalan diplomasi, adalah satu
permasalahan yang sangat
pelik, bahkan sering menjadi
penghalang bagi tercapainya
perjuangan bangsa Palestina.
Tanpa persatuan politik yang
terlembagakan secara mapan
di Palestina, apalagi tanpa
dukungan dunia internasional,
sangat sulit bagi bangsa
Palestina untuk dapat duduk
setara dengan Israel.
Hubungan yang timpang
dalam politik, ekonomi, dan
militer akan melanggengkan
pendudukan. Maka dalam hal
ini nilai-nilai kemanusiaan yang
kita perjuangkan dan lembagakan dalam hukum-hukum
internasional itu, tak lebih dari
sekedar catatan yang sebenarnya tak pernah dilaksanakan.
(antara)
follow @portalsurya

Weitere ähnliche Inhalte

Mehr von Portal Surya

Digital surya 27 desember 2013
Digital surya 27 desember 2013Digital surya 27 desember 2013
Digital surya 27 desember 2013Portal Surya
 
Surya epaper 26 desember 2013
Surya epaper 26 desember 2013Surya epaper 26 desember 2013
Surya epaper 26 desember 2013Portal Surya
 
Digital surya 26 desember 2013
Digital surya 26 desember 2013Digital surya 26 desember 2013
Digital surya 26 desember 2013Portal Surya
 
Surya epaper 24 desember 2013
Surya epaper 24 desember 2013Surya epaper 24 desember 2013
Surya epaper 24 desember 2013Portal Surya
 
Surya epaper 23 desember 2013
Surya epaper 23 desember 2013Surya epaper 23 desember 2013
Surya epaper 23 desember 2013Portal Surya
 
Digital surya 23 desember 2013
Digital surya 23 desember 2013Digital surya 23 desember 2013
Digital surya 23 desember 2013Portal Surya
 
Surya epaper 22 desember 2013
Surya epaper 22 desember 2013Surya epaper 22 desember 2013
Surya epaper 22 desember 2013Portal Surya
 
Epaper surya 21 desember 2013
Epaper surya 21 desember 2013Epaper surya 21 desember 2013
Epaper surya 21 desember 2013Portal Surya
 
Surya epaper 20 desember 2013
Surya epaper 20 desember 2013Surya epaper 20 desember 2013
Surya epaper 20 desember 2013Portal Surya
 
Digital surya 20 desember 2013
Digital surya 20 desember 2013Digital surya 20 desember 2013
Digital surya 20 desember 2013Portal Surya
 
Surya epaper 19 desember 2013
Surya epaper 19 desember 2013Surya epaper 19 desember 2013
Surya epaper 19 desember 2013Portal Surya
 
Digital surya 19 desember 2013
Digital surya 19 desember 2013Digital surya 19 desember 2013
Digital surya 19 desember 2013Portal Surya
 
Epaper surya 18 desember 2013
Epaper surya 18 desember 2013Epaper surya 18 desember 2013
Epaper surya 18 desember 2013Portal Surya
 
Surya Epaper 17 Desember 2013
Surya Epaper 17 Desember 2013Surya Epaper 17 Desember 2013
Surya Epaper 17 Desember 2013Portal Surya
 
Digital surya 17 desember 2013
Digital surya 17 desember 2013Digital surya 17 desember 2013
Digital surya 17 desember 2013Portal Surya
 
Epaper surya 16 desember 2013
Epaper surya 16 desember 2013Epaper surya 16 desember 2013
Epaper surya 16 desember 2013Portal Surya
 
Digital surya 16 desember 2013
Digital surya 16 desember 2013Digital surya 16 desember 2013
Digital surya 16 desember 2013Portal Surya
 
Epaper surya 15 desember 2013
Epaper surya 15 desember 2013Epaper surya 15 desember 2013
Epaper surya 15 desember 2013Portal Surya
 
Digital surya 14 desember 2013
Digital surya 14 desember 2013Digital surya 14 desember 2013
Digital surya 14 desember 2013Portal Surya
 
Surya epaper 13 desember 2013
Surya epaper 13 desember 2013Surya epaper 13 desember 2013
Surya epaper 13 desember 2013Portal Surya
 

Mehr von Portal Surya (20)

Digital surya 27 desember 2013
Digital surya 27 desember 2013Digital surya 27 desember 2013
Digital surya 27 desember 2013
 
Surya epaper 26 desember 2013
Surya epaper 26 desember 2013Surya epaper 26 desember 2013
Surya epaper 26 desember 2013
 
Digital surya 26 desember 2013
Digital surya 26 desember 2013Digital surya 26 desember 2013
Digital surya 26 desember 2013
 
Surya epaper 24 desember 2013
Surya epaper 24 desember 2013Surya epaper 24 desember 2013
Surya epaper 24 desember 2013
 
Surya epaper 23 desember 2013
Surya epaper 23 desember 2013Surya epaper 23 desember 2013
Surya epaper 23 desember 2013
 
Digital surya 23 desember 2013
Digital surya 23 desember 2013Digital surya 23 desember 2013
Digital surya 23 desember 2013
 
Surya epaper 22 desember 2013
Surya epaper 22 desember 2013Surya epaper 22 desember 2013
Surya epaper 22 desember 2013
 
Epaper surya 21 desember 2013
Epaper surya 21 desember 2013Epaper surya 21 desember 2013
Epaper surya 21 desember 2013
 
Surya epaper 20 desember 2013
Surya epaper 20 desember 2013Surya epaper 20 desember 2013
Surya epaper 20 desember 2013
 
Digital surya 20 desember 2013
Digital surya 20 desember 2013Digital surya 20 desember 2013
Digital surya 20 desember 2013
 
Surya epaper 19 desember 2013
Surya epaper 19 desember 2013Surya epaper 19 desember 2013
Surya epaper 19 desember 2013
 
Digital surya 19 desember 2013
Digital surya 19 desember 2013Digital surya 19 desember 2013
Digital surya 19 desember 2013
 
Epaper surya 18 desember 2013
Epaper surya 18 desember 2013Epaper surya 18 desember 2013
Epaper surya 18 desember 2013
 
Surya Epaper 17 Desember 2013
Surya Epaper 17 Desember 2013Surya Epaper 17 Desember 2013
Surya Epaper 17 Desember 2013
 
Digital surya 17 desember 2013
Digital surya 17 desember 2013Digital surya 17 desember 2013
Digital surya 17 desember 2013
 
Epaper surya 16 desember 2013
Epaper surya 16 desember 2013Epaper surya 16 desember 2013
Epaper surya 16 desember 2013
 
Digital surya 16 desember 2013
Digital surya 16 desember 2013Digital surya 16 desember 2013
Digital surya 16 desember 2013
 
Epaper surya 15 desember 2013
Epaper surya 15 desember 2013Epaper surya 15 desember 2013
Epaper surya 15 desember 2013
 
Digital surya 14 desember 2013
Digital surya 14 desember 2013Digital surya 14 desember 2013
Digital surya 14 desember 2013
 
Surya epaper 13 desember 2013
Surya epaper 13 desember 2013Surya epaper 13 desember 2013
Surya epaper 13 desember 2013
 

WTO BALI

  • 1. DIGITAL NE WS PA PER JALAN PULANG BANGSA PALESTINA hal Spirit Baru Jawa Timur surabaya.tribunnews.com surya.co.id 2 | SELASA, 10 DESEMBER 2013 | Terbit 2 halaman edisi pagi Paket Bali WTO PERPANJANGAN WAKTU SURYA Online - Hasil negosiasi panjang dan alot Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ke-9, 3-6 Desember 2013 di Nusa Dua, Bali, akhirnya menghasilkan Paket Bali. Dan tentu saja Paket Bali ini harus disambut gembira sebagian besar delegasi, tak terkecuali Indonesia karena tiga poin yang dihasilkan, yakni Trade Facilitation (Fasilitas Perdagangan), Agriculture (Pertanian) dan Least Developed Countries (Peningkatan Kapasitas Negara Miskin), memberikan perpanjangan waktu penerapan mutlak perdagangan bebas kepada negara-negara berkembang. “Kami berhasil,” kata Ketua KTM ke-9, Gita Wirjawan yang juga Menteri Perdagangan saat menyampaikan pidato penutupan kegiatan yang dihadiri delegasi dari 159 negara, Sabtu (7/12/2013). Pembahasan untuk membuahkan Paket Bali dalam konferensi yang dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu sempat terkendala oleh sikap India yang tidak setuju dan bersikeras bahwa stok keamanan pangan harus 15 persen dari output nasional dengan durasi waktu subsidi tidak terbatas. Negara maju seperti Amerika Serikat sebelumnya menyetujui angka 15 persen itu, tapi subsidi hanya berlaku selama empat tahun. Akhirnya, terkait stok publik untuk ketahanan pangan anggota WTO menyepakati bahwa dalam empat tahun lagi atau di KTM ke-11 harus sudah disepakati solusi permanen terkait stok pangan. Kesepakatan ini merupakan sejarah baru dalam pembahasan membentuk sistem perdagangan global melalui WTO. Solusi permanen akan ditetapkan untuk negara berkembang saja. Selama belum tercapai solusi permanen, negara berkembang boleh melakukan penumpukan stok pangan untuk ketahanan pangan negaranya lebih dari 10 persen. Negara berkembang harus menotifikasi besaran subsidi mereka kepada komite pertanian dan melaporkan sejumlah data antara lain terkait harga penjualan dan stok akhir. Selama masa interim tersebut, setiap anggota yang tergabung dalam WTO harus menahan diri untuk tidak membawa aduan dalam penyelesaian sengketa WTO. Namun setelah India melunak, empat negara sempat menolak draf Paket Bali yang berisi 10 proposal tersebut. Keempat negara itu adalah Kuba, Bolivia, Venezuela dan join facebook.com/suryaonline Nikaragua. Menurut juru bicara WTO Keith Rockwell, salah satu yang menjadi masalah penolakan ke empat negara atas draf Paket Bali tersebut adalah masalah embargo yang tidak kunjung ditindaklanjuti WTO sejak pertemuan Hong Kong pada 2005. Sikap Indonesia Indonesia sebagai tuan rumah berusaha sekuat tenaga untuk menghasilkan Paket Bali dan memecahkan kebuntuan dari Putaran Doha yang mandek kurang lebih selama 12 tahun. Menteri Perdagangan Gita Wirjawan menyatakan, Indonesia akan mengambil sikap yang lebih fleksibel terkait negosiasi Paket Bali, khususnya dalam Paket Pertanian yang dalam pembahasannya terasa berat untuk diselesaikan. “Posisi Indonesia untuk Paket Bali ini memerlukan fleksibilitas dalam batas kewajaran,” katanya. Sikap Indonesia dalam WTO adalah tetap berkomitmen dalam WTO dan mengikuti liberalisasi perdagangan secara konsisten dan unilateral. Sementara kritik dari dalam negeri juga masih terus bermunculan atas keterlibatan Indonesia dalam organisasi perdagangan global itu di tengah kesadaran kurangnya daya saing dalam negeri atas sejumlah masalah yang disepakati. Ditilik dari hasil tiga poin Paket Bali tersebut, sebenarnya memberi harapan bagus bagi Indonesia, alias perpanjangan waktu untuk benar-benar memberlakukan perdagangan bebas. Indonesia masih punya kesempatan untuk mengupayakan swasembada di bidang pertanian, terutama pangan dan perdagangan. Hanya saja, diperlukan keberanian dari Pemerintah untuk berani sedikit memberikan perlawanan, atau kata Menteri Perdagangan Gita Wiryawan adalah sikap fleksibel. Dengan waktu tersebut, Pemerintah bisa melakukan konsolidasi untuk benar-benar mewujudkan swasembada dalam bidang pertanian yang belakangan bahkan memukul pedagang lombok dan bawang putih. Indonesia harus segera melakukan percepatan swasembada di bidang pangan. Di bidang perdagangan, juga demikian, dengan kebebasan yang diberikan kepada negara berkembang, Pemerintah harus sigap untuk mempersiapkan kualitas produksi dalam negeri agar bisa bersaing dengan produk asing, terutama China. Jika China bisa bersaing dengan produk massalnya, Indonesia sebenarnya tinggal pengaturannya saja. Walaupun dalam hal jiplak menjiplak tentu saja gaya China tidak dapat ditiru, namun gerakan nasionalisme China harus dicontoh Indonesia yang memiliki 25 juta penduduk. (ant/joe) follow @portalsurya
  • 2. 2 SELASA, 10 DESEMBER 2013 | surya.co.id | surabaya.tribunnews.com JALAN PULANG BANGSA PALESTINA SURYA Online - Nestapa rakyat Palestina nampaknya belum akan berakhir karena sejak awal November 2013, warga di jalur Gaza tak bisa mendapatkan akses listrik karena salah satu gardu penyedia listrik kehabisan pasokan bahan bakar, sebagai akibat ditutupnya akses perbatasan dengan Mesir. Pemadaman listrik ini menghentikan berbagai pelayanan pokok bagi warga Gaza, termasuk kesehatan, air minum dan sanitasi. Apalagi saat ini memasuki akhir tahun, wilayah Gaza dan sekitarnya akan memasuki musim dingin. Seakan lengkaplah penderitaan sekitar 1,7 juta warga Gaza, selain langkanya bahan makanan dan obat-obatan karena isolasi oleh Israel sejak 2006, juga serangan roket Israel yang tanpa ampun menghancurkan pemukiman dan berbagai fasilitas publik semisal sekolah-sekolah dan rumah sakit. Israel sepertinya tak pernah kehabisan cara untuk mengangkangi hukum internasional yang menjamin hak-hak kemanusiaan bangsa Palestina. Karena memang itulah barangkali alasan negara tersebut berdiri. Telah 65 tahun berlalu sejak Sidang Umum PBB menerima Resolusi 181 yang (tanpa persetujuan bangsa Palestina) membagi dua tanah Palestina menjadi sebuah negara Arab dan negara Yahudi dengan kota suci Yerusalem sebagai corpus separatum di bawah pengawasan lembaga internasional. Tak lama setelah Resolusi 181 disahkan, kelompok-kelompok sipil militan Israel melakukan operasi pengusiran rakyat Palestina dari wilayah yang diklaim milik Israel. Dalam operasi yang dinamakan Rencana Dalet, milisi Israel menghancurkan desa-desa Palestina dengan membakar, meledakkan, dan menanam ranjau di reruntuhan desa itu. Bila ada perlawanan, kekuatan bersenjata harus dilenyapkan dan warga desa diusir hingga keluar dari perbatasan negara. Menurut catatan Salman Abu Sitta, seorang tokoh senior Palestina, dalam peristiwa yang disebut Al-Nakba (Malapetaka) ini, Israel menduduki 774 desa dan menghancurkan 531 di antaranya. Akibatnya sekitar 15 ribu orang meninggal, dan lebih dari 800 ribu orang terusir dari tanahnya, dan harus tinggal di pengungsian. Abu Sitta menyebut peristiwa ini sebagai operasi pemusnahan etnis terencana dan terbesar sepanjang era modern yang didukung oleh dunia internasional. Bahkan Israel praktis menduduki keseluruhan wilayah Palestina setelah Perang Enam Hari melawan negara-negara Arab di tahun 1967, dan baru dikembalikan setelah perjanjian Oslo tahun 1993, yaitu Jalur Gaza dan Tepi Barat, tak lebih dari 3 persen dari tanah yang milik Palestina sebelum 1947. Data yang dirilis Palestinian Central Bureau of Statistics (PCBS) tahun 2012, menyebutkan jumlah rakyat Palestina sekitar 10 juta orang. Hampir 7 juta orang di antaranya adalah pengungsi atau penduduk yang terusir dari tanahnya, mereka tersebar di perbatasan join facebook.com/suryaonline Yordania, Libanon, Suriah, selain juga di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Setiap harinya nasib mereka tergantung kepada bantuan dunia internasional melalui badan resmi PBB atau lewat tangan organisasi-organisasi kemanusiaan lainnya. Selain itu, juga terdapat rakyat Palestina yang tercatat sebagai warga Israel, dan mengalami diskriminasi. Israel memang membangun tempat tinggal baru untuk rakyat Palestina ini, tapi di wilayah lain, bukan di tanah asal mereka. Inilah relokasi menurut Israel, tanah dan rumah milik rakyat Palestina dirampas, kemudian diberi ganti pemukiman dengan kondisi yang mengenaskan. Israel menetapkan “law of return”, mengizinkan orang Yahudi seluruh dunia untuk kembali ke tanah suci mereka dan menjadi warga Israel, tetapi pada saat yang sama, Israel mengabaikan right of return rakyat Palestina ke tanah dan rumah mereka. Hak untuk Kembali Pekan lalu berlangsung konferensi yang bertajuk “Return to Palestine” yang dilaksanakan di Beirut, Libanon. Konferensi yang berlangsung selama 3 hari ini dihadiri oleh perwakilan organisasi dari 25 negara. Semua peserta konferensi, termasuk yang berasal dari negara-negara Amerika Selatan dan Asia Timur, bersepakat untuk membela hak Palestina untuk melawan pendudukan Israel, juga memberi dukungan bagi perbaikan kondisi kemanusiaan bangsa Palestina, tanpa memandang asal usul agama, ras dan faksi politik apapun. Demikian banyaknya negara yang memberi dukungan kepada Palestina memang terbukti ketika tahun lalu pada sidang umum PBB, sebanyak 138 negara mendukung status Palestina sebagai negara pengamat non-anggota PBB, dan hanya 9 negara yang menolak, termasuk Israel dan sponsor utamanya, Amerika Serikat. Artinya, dunia internasional sebenarnya sudah jengah menyaksikan kebrutalan pendudukan Israel yang mengabaikan hak-hak kemanusiaan di Palestina. Hak untuk kembali (right to return) pulang ke tanah asal bagi pengungsi Palestina, baik mereka yang terusir ketika peristiwa Al-Nakba, pengungsi setelah Perang Enam Hari tahun 1967, maupun keturunannya hingga saat ini, merupakan salah satu isu paling dasar dalam perjuangan hak-hak kemanusiaan bangsa Palestina, selain hak kemerdekaan dan status sebagai negara berdaulat. Hak untuk kembali ini dijamin oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948, juga oleh berbagai hukum internasional yang diratifikasi banyak negara, serta berpuluh-puluh resolusi yang telah diterima oleh sidang umum PBB, terutama resolusi 194 (III) tahun 1948 yang tercatat: “Menyerukan secepat mungkin agar pengungsi Palestina kembali ke rumah-rumah mereka untuk hidup dengan damai bersama dan mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang mereka alami”. Telah 65 tahun berlalu, namun resolusi PBB ini belum juga dapat dipenuhi. Implementasi atas hak untuk kembali seperti yang diminta rakyat Palestina sebetulnya pernah dipraktekkan di beberapa negara yang memiliki pengalaman konflik dan peperangan semisal Kosovo, Timor-timur, Rwanda, Guatemala, dan Afghanistan. Namun tidak dipraktekkan di Palestina. Pemenuhan atas hak untuk kembali bagi rakyat palestina selalu menemukan jalan buntu karena Israel tak pernah mau memenuhinya. Dengan dalih politik yang didasarkan pada janji teologis, Israel bebal dari segala resolusi PBB dan seruan dunia internasional untuk menghentikan pendudukannya di Palestina. Konflik internal bangsa Palestina sendiri yang justru menggembirakan bagi Israel. Perbedaan pandangan antara Hamas yang menginginkan satu negara Palestina berdaulat tanpa mengakui keberadaan Israel dan menempuh jalan perlawanan, dengan Fatah yang menerima kompromi negara Palestina yang berdampingan dengan Israel melalui jalan diplomasi, adalah satu permasalahan yang sangat pelik, bahkan sering menjadi penghalang bagi tercapainya perjuangan bangsa Palestina. Tanpa persatuan politik yang terlembagakan secara mapan di Palestina, apalagi tanpa dukungan dunia internasional, sangat sulit bagi bangsa Palestina untuk dapat duduk setara dengan Israel. Hubungan yang timpang dalam politik, ekonomi, dan militer akan melanggengkan pendudukan. Maka dalam hal ini nilai-nilai kemanusiaan yang kita perjuangkan dan lembagakan dalam hukum-hukum internasional itu, tak lebih dari sekedar catatan yang sebenarnya tak pernah dilaksanakan. (antara) follow @portalsurya