1. 2009
Edisi : 01 /Januari 2009
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerbitan Yogya
2/2/2009
2. Feb
2,
[EDISI : 02 /JANUARI 2009] 2009
Pengantar
e-Newsletter
Perubahan menjadi salah satu kata kunci keberhasilan Obama membetot warga Amerika untuk
memilihnya. Perubahan memang keharusan kalau dunia sekitar kita mengalami krisis, dan kita
memilih untuk eksis. Begitu juga kami memilih untuk berubah. Seperti pada Obama, perubahan
ini disulut oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang deras. Teknologi ini,
kata Thomas L. Friedman (2006) membuat dunia jadi datar. Jarak antara ruang dan waktu
menipis, siapa saja, kapan saja dan di mana saja, orang dapat berkomunikasi dan berinteraksi
dengan gampang (Anthony Giddens, 1999).
Kami memulai perubahan ini dengan membenahi situs www.lp3y.org dengan tampilan yang
lebih memikat, dan yang penting mudah diakses. Newsleter yang biasanya kami sebarkan dalam
bentuk cetakan, kami jadikan e-Newsletter (tapi bagi yang ingin mendownload dalam bentuk
pdf juga kami sediakan). Pelatihan-pelatihan juga kami persiapkan untuk menjadi e-training. Ini
semua untuk menyikapi pula trend dunia jurnalitik yang berubah: jurnalisme warga (bloger)
tumbuh pesat. Mereka adalah masyarakat biasa yang berperan sebagai pewarta. (INDONESIA di
Panyingkul! Pilihan Kabar Orang Biasa 2007-2008).
Perubahan itu juga berarti kerja keras. Selain harus menyiapkan infrastruktur, kata Ninok
Leksono (Kompas, 28/1/09) juga diperlukan orang-orang yang punya antusiasme dan komitmen
terhadap perbaikan. quot;Di AS, begitu Obama dilantik, situs web Gedung Putih segera didesain
ulang. Staf yang menangani situs ini rajin memutakhirkan isinya dengan perintah Presiden, juga
menulis blog untuk menjelaskan kebijakan pemerintah.quot; Selain itu, ini yang tak gampang,
dibutuhkan kultur. Kultur dalam menangani informasi dan kultur bekerja dengan teknologi yang
berisiko terhadap keamanan informasi.
Perubahan itu juga sebuah pembelajaran. e-Newsletter ini, misalnya, masih berbau
konvensional. Butuh waktu satu bulan untuk pergantian nomor edisi dan belum memberi
2 Edisi : 01/Januari 2009
3. Feb
2,
[EDISI : 02 /JANUARI 2009] 2009
peluang pembaca untuk berinteraksi langsung. Kami masih butuh belajar. Karena itu alumni
LP3Y yang sudah berpengalaman sebagai bloger, Antyo Rentjoko (http://blogombal.org), kami
ajak merangsang perubahan ini.
Tulisan yang ada di e-Newsletter kali ini pun masih menekankan pada analisis media. Bahan-
bahan kami ambil dari media cetak berdasarkan pada hal-hal yang aktual. Ada banjir air yang
menggenangi berbagai kota, juga banjir wajah caleg yang jaim di berbagai ruang publik.
Bagaimana seharusnya jurnalis (profesional) kita menyikapinya? Siapa tahu terhadap peristiwa
ini jurnalis warga lebih cerdas menuliskannya.
Pada dasarnya isu yang kita usung dalam e-Newsletter ini masih berkutat pada masalah Gender,
AIDS, Kesehatan Reproduksi, Media & Jurnalisme, dan Kebencanaan. Kelima isu ini sudah lama
kami geluti, karena itu perlu kami bagi (share) dengan semua teman. Oleh sebab itu segala
kritik dan saran sangat kami butuhkan. Segala masukan: pedas, cerewet, sinis, nyinyir, bahkan
gokil pun penting bagi kami agar bisa memperkuat dan memperluas jejaring komunitas yang
sudah lama kami bangun. Dunia ini datar loh!
3 Edisi : 01/Januari 2009
4. Feb
2,
[EDISI : 02 /JANUARI 2009] 2009
Sekilas Info
HADIRI SEMINAR
UU KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK
Selasa (27/1) lalu, Dedi H Purwadi, Staff Program LP3Y, menghadiri Seminar Nasional
Mendorong Kesiapan Badan-badan Publik dalam Implementasi UU No 14 /2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik atau UU KIP, di Hotel Ros In, Jalan Lingkar Selatan, Yogyakarta.
Seminar menyongsong pemberlakuan secara efektif UU KIP 30 April 2009 ini diselenggarakan
Pokja TV Komunitas. Menurut Program Manager Pokja TV Komunitas, Budi Hermanto, seminar
dilatarbelakani adanya persepsi yang kurang tepat tentang keterbukaan informasi publik. UU ini
diinterpretasi seperti UU Keterbukaan Pers. Padahal yang dimaksud adalah keterbukaan instansi-instansi
publik dalam informasi publik.
Pembicara pada seminar yaitu Agus Sudibyo dari Yayasan SET, Masduki (Ketua Program Studi
Ilmu Komunikasi UII), Nunung Prajarto (dosen Fisipol UGM) dan Budi Hermanto (Program Manager
Pokja TV Komunitas). Selain diisi diskusi dalam dua sesi, pada seminar yang berlangsung mulai pukul
10.00 hingga 16.00 ini diputar tiga film pendek berdurasi 8-10 menit tentang tidak sampainya informasi
kebijakan publik ke warga dusun.
Seminar diikuti sekitar 40 peserta. Sebagian besar adalah pengelola televisi komunitas, antara
lain dari Muntilan, Jombang, Banjarnegara, Serang. Kemudian, perwakilan instansi publik antara lain
Pemkab Sleman, Pemkab Banjarnegara, Sekretariat DPRD Yogya, dan LSM yang menaruh perhatian
terhadap kebijakan publik.
Disayangkan, seminar ini tidak dihadiri jurnalis atau perwakilan media massa padahal mereka
bisa berperan dalam sosialisasi dan implementasi undang-undang ini. Meskipun dihadiri perwakilan
lembaga publik, dari seminar ini tidak diperoleh gambaran jelas tentang kesiapan atau ketidaksiapan
lembaga-lembaga publik menjelang pemberlakuan UU KIP. (ded)
4 Edisi : 01/Januari 2009
5. Feb
2,
[EDISI : 02 /JANUARI 2009] 2009
Diskusi Publik 51 Tahun PKBI DIY
SLEMAN - Mengawali tahun 2009, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY
menggelar sebuah diskusi publik dengan tajuk Multikulturalisme dan Per-juangan Identitas, Sabtu 24
Januari 2009, di restoran Bamboo Resto, Sleman Yogyakarta.
Diskusi menyambut hari ulang tahun (HUT) ke 51 PKBI DIY, yang mengha-dirkan dua pembicara,
Mukhotib MD dan St Sunardi, itu membahas tentang keyakinan paradigma dan kerangka teori yang
menjadi landasan dalam perjuangan gerakannya, mengusung multikulturalisme untuk memperjuangkan
identitas masyarakat yang be-ragam dalam hal orientasi seksual, identitas gender, pilihan profesi dan
pilihan hidup.
Pada acara yang dihadiri sekitar 100 orang itu, Direktur Pelaksana PKBI DIY Mukhotib MD, selaku
narasumber diskusi mengatakan, multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan
pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan perbedaan kebudayaan. Multikulturalisme
menghadirkan keharusan untuk menghormati hak-hak atas keanekaragaman budaya, bahwa semua
elemen budaya yang ada memiliki hak yang sama untuk hidup dan berkembang. Di Indonesia, para ahli
dan praktisi telah menguji dan mengaplikasikan ideologi ini untuk menghentikan segala bentuk
diskriminasi yang muncul karena dominasi golongan mayoritas berdasarkan agama dan suku bangsa
yang beragam.
Sedangkan ST Sunardi, Direktur Institut Religi Budaya Sanata Dharma mengatakan, sebenarnya
pengakuan atas apa yang disebut multikulturalisme itu sudah sejak dulu ada. Ia mencontohkan tentang
sebuah lagu dalam irama dangdut yang syairnya menjelaskan berbagai etnis di Indonesia. Namun, dalam
perjalanan masa, memang ada pihak-pihak yang mempersoalkan tentang identitas. Misalnya dari
kalangan agama.
Acara berlangsung meriah di siang hari yang gerah, mulai pukul 12.00 hingga 16.00 WIB. Selain
diskusi, juga ditampilkan berbagai atraksi pertunjukan seni oleh mitra strategis PKBI DIY, serta diakhiri
dengan makan bersama.(awd)
5 Edisi : 01/Januari 2009
6. Feb
2,
[EDISI : 02 /JANUARI 2009] 2009
Media dan Jurnalisme :
Larangan Meliput pada Sidang Terbuka Kasus Garuda
BEBERAPA suratkabar pada edisi Selasa 13 Januari 2009, memuat berita tentang sidang lanjutan
perkara kecelakaan pesawat Garuda Indonesia. Berita yang dimuat adalah berita lanjutan, follow up
news, atas perkara yang memang sudah kesekian kali disidangkan. Namun, angle atau sudut pandang
berita pada edisi tersebut sama, yakni tentang pelarangan peliputan oleh pihak Lanud Adisutjipto.
Pada sidang yang digelar Pengadilan Negeri, Sleman Senin 12 Januari 2009 itu, dilaksanakan di
Landasan Bandar Udara Adisutjipto Yogyakarta, tempat kejadian perkara jatuhnya pesawat Garuda
Indonesia 7 Maret 2007. Meski sidang dinyatakan terbuka untuk umum, namun pihak TNI Angkatan
Udara sebagai pemilik lokasi tersebut, melarang pers meliput sidang. Para jurnalis tidak diperbolehkan
oleh petugas TNI AU untuk memasuki lokasi sidang, yakni di Lanud Adisutjipto Yogyakarta.
Keesokan harinya, berita tentang hal itu menjadi menarik, karena fokus pemaparan menjadi
lebih condong pada pelarangan untuk meliput, dibanding substansi hasil sidang.
Pada edisi 13 Januari 2009, suratkabar melaporkan larangan peliputan sidang di lokasi kejadian
jatuhnya pesawat Garuda itu, tercermin dari pilihan judul dan lead atau teras beritanya, seperti
beberapa contoh sebagai berikut:
No MEDIA JUDUL LEAD
1. Kompas Sidang Perkara Garuda SLEMAN KOMPAS – Sidang perkara
Indonesia Digelar di kecelakaan pesawat Garuda Indonesia 7 Maret
Landasan Bandar Udara 2007, dengan terdakwa pilot M.Marwoto Komar,
Adisutjipto dilanjutkan di tempat kejadian perkara,
landasan Bandar Udara Adisutjipto Yogyakarta,
Senin (12/1). Namun, pihak TNI Angkatan
Udara sebagai pemilik fasilitas melarang pers
meliput sidang tersebut.
6 Edisi : 01/Januari 2009
7. Feb
2,
[EDISI : 02 /JANUARI 2009] 2009
2. Koran Tempo Wartawan Dilarang Meliput YOGYAKARTA – Puluhan media cetak dan
Sidang Garuda elektronik tidak bisa meliput sidang lanjutan
kecelakaan Garuda dengan tersangka pilot
Garuda Martowo Komar di Bandara Adisutjipto,
Yogyakarta, kemarin. Pelarangan diterapkan
karena lokasi sidang ada di ring satu bandara
militer TNI AU.
3. Suara Merdeka Sidang Garuda Dilarang YOGYAKARTA – Petugas Lanud Adisutjipto
Diliput Yogyakarta melarang sejumlah wartawan yagn
akan meliput sidang terbuka di tempat kasus
kecelakaan Garuda Boeing 737-400, kemarin.
Belasan wartawan dari berbagai media, baik
cetak maupun elektronik itu tidak diizinkan
mendekat ke areal persidangan yang selama ini
dinyatakan terbuka dan dibuka untuk umum.
Karena itu , mereka menyatakan akan
memboikot kegiatan di lanud. PWI Yogyakarta
juga menyesalkan pelarangan tersebut.
Media membeberkan larangan peliputan itu dengan berbagai versi. Kompas, misalnya, pada
alinea kedua, di bawah lead itu, menulis, kutipannya : sekitar 20 wartawan dari beberapa media yang
hadir dihalang-halangi mengikuti sidang yang terbuka untuk umum itu. Tidak jelas alasannya.
Sedangkan Suara Merdeka mengetengahkan sikap keterkejutan Ketua PWI Yogyakarta atas
perlakuan petugas TNI-AU pada era reformasi dan transparansi seperti saat ini.
Adapun Koran Tempo, meski pada leadnya menulis kata tersangka padahal se-mestinya status
pilot Garuda Marwoto Komar adalah terdakwa, pada alinea kedua mela-porkan tentang seorang
anggota provos berpangkat kopral yang mendatangi wartawan yang telah menunggu sidang sejak pagi
hari. Meski ada di luar pagar bandara, wartawan tetap tidak diperbolehkan mengambil gambar apapun.
Mengapa sang kopral melarang? Petugas itu berkilah bahwa dia sebatas sebagai petugas yang
menjalankan perintah pimpinan untuk tidak membolehkan wartawan ada di sekitar persidangan.
Protes
7 Edisi : 01/Januari 2009
8. Feb
2,
[EDISI : 02 /JANUARI 2009] 2009
Peristiwa tersebut kemudian memicu protes para jurnalis, khususnya di Yogya-karta. Mereka
mengecam perlakuan pihak TNI AU. Sedangkan pihak Pengadilan Negeri Sleman sudah menyatakan
bahwa sidang bersifat terbuka untuk umum. Soal pelarangan, menurut pihak PN Sleman, bukanlah
menjadi wewenangnya.
Tentang mengapa sidang tidak dilaksanakan di dalam ruang sidang Pengadilan Negeri Sleman,
yang kemudian memicu lahirnya masalah itu, bertujuan mencocokkan fakta-fakta di lapangan, demi
meyakinkan majelis hakim terkait kronologi jatuhnya pesawat yang menewaskan 21 penumpang itu.
Menjadi pertanyaan adalah, mengapa prosedur persidangan menjadi rumit meski sudah
dinyatakan sebagai sidang terbuka? Mengapa peristiwa tersebut masih saja terjadi di tengah era
keterbukaan seperti saat ini? Mengapa masih saja ada pihak-pihak yang seolah terkesan belum
memahami fungsi dan tugas pers? Betulkah pers senantiasa memaksakan kehendak? Di manakah
kendala komunikasi antarinstansi pada kasus-kasus semacam ini? Apakah larangan itu bukti arogansi
instansi militer?
Pertanyaan demi pertanyaan itu menyeruak seiring dengan munculnya pemberi-taan atas
peristiwa tersebut. Di satu pihak pers menggunakan undang-undang tentang pers, yakni UU No 40/1999
tentang Pers yang berlaku sejak 23 September 1999, di pi-hak lain Lanud Adisutjipto berpedoman pada
UU 12/1992 Tentang Penerbangan. Seperti dituturkan oleh Komandan Lanud Adisutjipto Marsekal
Perama TNI R Hari Mulyono, pada UU itu dinyatakan bahwa tidak semua orang bisa mendekati daerah
pergerakan pe-sawat (ring 1), karena menyangkut kelancaran dan keselamatan penerbangan. Bandara
Adisutjipto berada di bawah pengendalian Lanud, sehingga berlaku aturan militer di sana. Harus ada izin
khusus bagi warga sipil yang ingin memasuki area tersebut (Kedaulatan Rakyat 15/1/09 hal 28).
Akibat larangan itu, pers hanya mendapat penjelasan dari salah satu anggota ma-jelis hakim PN
Sleman, bernama Muslim SH. Dia mengatakan, hakim memeriksa tujuh lokasi terkait kecelakaan
pesawat itu. Menyalahkan aparat di lapangan yang melarang para jurnalis, tentu bukan langkah tepat.
Mereka tidak mengerti apa-apa, sebab hanya menjalankan perintah atasan sebagaimana sistem
komando pada instansi militer.
Ketimpangan pemahaman tugas dan fungsi masing-masing pihak, sering menjadi pangkal
persoalan. Jurnalis berpegang telah bertugas sesuai undang-undang yang me-lindungi profesi mereka,
yakni UU 40/1999 yang menjamin kemerdekaan pers untuk mencari, memperoleh dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi. Namun, pihak TNI AU juga berpegang teguh sesuai undang-
undang militer yang melindungi teritori kekuasaan tugas-tugas mereka.
8 Edisi : 01/Januari 2009
9. Feb
2,
[EDISI : 02 /JANUARI 2009] 2009
Ditilik dari peristiwa yang tercermin pada pemberitaannya, sebenarnya, inti per-soalan pada
kasus ini adalah tiadanya komunikasi. Menurut Danlanud Adisutjipto, ketika ditemui puluhan wartawan
media cetak dan elektronika Rabu (14/1) di kantornya, pihak PN Sleman telah mengajukan izin sejak
Selasa (6/1) atau seminggu sebelum peristiwa pe-larangan itu terjadi, berikut nama-nama yang akan
mengikuti sidang tersebut. Namun, ada kutipan dari Danlanud yang terasa janggal, dan memicu
munculnya miskomunikasi itu, dikutip sebagai berikut: “Semua nama yang ter-cantum kami izinkan. Jika
dalam daftar tersebut disertakan nama-nama wartawan, tentu kami akan perbolehkan meliput,”
(Kedaulatan Rakyat, 15/1).
Jika menyimak pernyataan itu, menjadi jelas duduk persoalannya, mengapa kekisruhan dalam
peliputan di Lanud Adisutjipto terjadi. Pun demikian, mengapa pula aparat TNI AU kemudian tidak
kooperatif bahkan tegas melarang dan mengusir jurnalis meliput di wilayah itu. Artinya, bisa diambil
kesimpulan, dalam izin yang diajukan PN Sleman itu memang tidak tercantum nama-nama para jurnalis
yang hendak meliput sidang tersebut.
Lantas, mengapa bisa terjadi nama-nama jurnalis tidak dicantumkan? Seberapa perlu nama
jurnalis harus dicantumkan dalam izin itu? Apakah tidak ada komunikasi antara PN Sleman dengan para
jurnalis peliput sidang, bahwa jika sidang digelar di Lanud Adisutjipto maka harus disertai izin? Seberapa
sulit mendata jurnalis yang meliput sidang di PN Sleman untuk disertakan pada izin ke pihak Lanud? Ini
tentu bukan perkara besar.
Atau barangkali pihak PN Sleman sudah memahami bahwa jurnalis tentu dengan sendirinya
akan meliput ke lapangan, sebagaimana pihak pengadilan juga menggelar sidang di lapangan. Sehingga
dengan demikian, tidak perlu PN Sleman menyertakan nama jurnalis dalam izin ke pihak Lanud. Jika
masih saja terjadi kurang komunikasi dan kurang pemahaman pada tugas dan fungsi masing-masing
pihak, tentu masalah seperti ini akan kembali terjadi di kemudian hari.
Benturan tindak lanjut
Sampai sekarang, di berbagai tempat masih sering terjadi kesalahpahaman seperti itu. Ada pihak
yang melarang jurnalis meliput di wilayahnya karena berpegang teguh pada otoritas dan undang-
undang. Sementara itu, pers mengandalkan UU 40/1999 tentang Pers, terutama pada Pasal 4 ayat (3)
yang isinya, dikutip sebagai berikut: “untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak
mencari, memperoleh , dan menyampaikan gagasan dan informasi.”
9 Edisi : 01/Januari 2009
10. Feb
2,
[EDISI : 02 /JANUARI 2009] 2009
Dalam peristiwa di Lanud Adisutjipto, menjadi berbenturan kepentingan karena masing-masing
pihak merasa benar. Sementara komunikasi berbagai pihak yang berkepentingan juga tidak mulus.
Misalnya, jika sudah dinyatakan sebagai sidang yang sifatnya terbuka untuk umum, mengapa masih
harus menggunakan izin untuk meliput? Para jurnalis tentu sudah mengikuti jalannya sidang beberapa
kali. Dengan demikian mereka mempunyai kewajiban memberitahukan perkembangan persidangan itu
kepada khalayak.
Tentu saja, para jurnalis dalam bekerja selain kemampuan teknis juga berpegang pada kaidah
etik. Artinya, dalam kasus ini, tidak bisa diartikan jurnalis sudah memprak-tekkan model “selonong”
yang mengabaikan etika, tidak menggunakan tata krama kepan-tasan pergaulan sosial. Sebab, mereka
datang ke lokasi kejadian karena mengikuti proses persidangan yang sudah jelas dinyatakan oleh pihak
pengadilan sebagai sidang yang bersifat terbuka untuk umum. Jika kemudian pihak Lanud, melalui
Komandan Landasan Udara (Danlanud) menyatakan pasti membolehkan peliputan jika sebelumnya ada
izin melalui Kepala Penerangan dan Perpustakaan (Kapentak), bukankah itu sebuah langkah yang
bertele-tele. Sebab, para jurnalis saat itu sedang bertugas meliput sidang lanjutan, tidak melakukan
peliputan khusus di lokasi yang memang dilindungi dengan undang-undang militer yang tentu saja untuk
hal itu, diperlukan izin.
Pada akhirnya, memang, persoalan ini tidak melebar kemana-mana. Klarifikasi pun digelar oleh
pihak Lanud. Menurut Danlanud Adisutjipto, pihaknya mendukung pers yang mempunyai peran kontrol
sosial.
Akan tetapi, masih ada pertanyaan yang mengganjal, yakni, setelah ada pertemuan disertai
penjelasan itu tidak begitu jelas bagaimana tindak lanjut selanjutnya. Misalnya, adakah cara
menyelesaikan jika terjadi lagi persoalan serupa? Hal ini tidak muncul di media. Kalau pun sudah ada
kata sepakat, saling memahami, lantas bagaimana mencegah agar peristiwa serupa tidak terulang?
Pada kenyataannya, persidangan kasus tersebut belum lagi usai. Sementara, berbagai pihak masih akan
terus bersinggungan, menyangkut kelanjutan sidang itu. Jurnalis akan tetap meliput sidang yang terus
digelar Pengadilan Negeri Sleman. Maka, di tengah ketidakjelasan seperti apa dan bagaimana tindak
lanjut peristiwa di Lanud Adisutjipto itu, khalayak hanya bisa menunggu untuk melihat apa yang akan
terjadi. (Agoes Widhartono)
10 Edisi : 01/Januari 2009
11. Feb
2,
[EDISI : 02 /JANUARI 2009] 2009
Media dan AGKR :
Kapan Kesehatan Reproduksi
Menjadi Isu Penting Bagi Media?
Permasalahan Kesehatan reproduksi seringkali masih dianggap sebagai persoalan perempuan
semata. Tidak ada salahnya, karena mungkin orang berpikiran langsung terhadap alat atau organ
reproduksi perempuan, meskipun laki-laki juga memilikinya.
Sesungguhnya permasalahan kesehatan reproduksi juga dialami laki-laki. Namun ada anggapan
bahwa permasalahan kesehatan reproduksi perempuan lebih kompleks ketimbang laki-laki, sehingga
masalah reproduksi laki-laki seolah-olah tak terekspose. Atau ada banyak faktor menjadi penyebab tidak
terlalu terekposenya pesoalan tersebut, seperti budaya misalnya.
Adanya persoalan kompleks yang dialami perempuan ternyata tidak berlebihan dan punya
alasan. Hal ini salah satunya dapat dilihat dari aspek bentuk alat reproduksi antara laki-laki dan
perempuan. Perbedaan tersebut terlihat jelas, yang mana pada laki-laki ditandai dengan testis dan
penis sebagai alat reproduksi primer, serta kelenjar prostat dan kantung semen (Vesica seminalis)
sebagai alat reproduksi sekunder.
Sedangkan perempuan, alat reproduksi primer ditandai dengan adanya vulva dan vagina
(bagian luar), serta pada bagian dalam adanya indung telur (ovum), tuba Fallopii (saluran tuba),
uterus (rahim) dan cervix (leher rahim). Adapun alat reproduksi sekunder perempuan ditandai
dengan adanya payudara (Informasi Kesehatan Reproduksi Perempuan: 2002)
Perbedaan alat reproduksi tersebut secara langsung dan tidak langsung akan berdampak
pada beban atau masalah yang didapat. Ketika terjadi ketidakseimbangan pada alat reproduksi,
maka kesehatan reproduksinya akan terganggu. Dalam konteks inilah perempuan lebih sering
mengalaminya ketimbang laki-laki, karena terlihat alat reproduksinya lebih kompleks.
Dengan adanya kondisi itu, ketika terjadi ketidakseimbangan pada alat reproduksinya,
perempuan harus berjuang menghadapi persoalan kesehatan reproduksi. Persoalan selanjutnya, ada
banyak faktor yang menjadi latar belakang terjadinya ketidakseimbangan tersebut. Seperti kemiskinan
yang berkaitan erat dengan pendidikan, kondisi sosial, letak geografi, dan nilai-nilai budaya.
11 Edisi : 01/Januari 2009
12. Feb
2,
[EDISI : 02 /JANUARI 2009] 2009
Di sisi lain adanya faktor tersebut berdampak pada peran dan relasi perempuan dalan
kehidupannya. Masih banyak terjadi tidakadilan yang dialami perempuan disebabkan adanya nilai suatu
budaya. Begitu pula ketika perempuan berada di ruang publik. Perjuangannya masih terus dilakukan
untuk tidak mengalami diskriminasi yang disebabkan karena dia seorang perempuan.
Ketidakadilan yang didasarkan pada perbedaan fisik inilah yang kemudian berkembang dan
menjadi perjuangan kaum perempuan, karena sampai saat ini hak-hak perempuan yang termasuk
didalamnya hak kesehatan reproduksi belum banyak diketahui dan didapati perempuan. Atau dengan
kata lain, belum terpenuhinya hak kesehatan reproduksi perempuan.
Dalam konteks inilah persoalan tersebut sering didiskusikan mengingat Indonesia telah
meratifikasi kesepakatan dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) pada
tahun 1994 di Kairo. Dalam konferensi tersebut kesehatan reproduksi didefinisikan sebagai keadaan
sehat yang menyeluruh, meliputi aspek fisik, mental dan sosial yang utuh, dan bukan sekadar tidak
adanya penyakit atau gangguan di segala hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsi, maupun
proses-prosesnya.
Apalah artinya ketika suatu negara telah meratifikasi suatu perjanjian internasional jika tidak
dibarengi dengan tindakan untuk mencapai tujuan tersebut. Ditambah lagi sebagai anggota PBB,
Indonesia punya tanggungjawab moral untuk melaksanakan Deklarasi Beijing dan landasan aksi
tersebut. Serta selanjutnya mengimplementasikan Deklarasi Milenium melalui Tujuan Pembangunan
Milenium atau Millennium Development Goals (MDGs) yang dikeluarkan Sekretariat Jenderal PBB pada
tahun 2001. Ada delapan tujuan MDGs yakni :
Mewujudkan Pendidikan Dasar yang berlaku secara universal, (3) Mendorong kesetaraan gender
dan memberdayakan kaum perempuan, (4) Menurunkan angka kematian anak, (5) Meningkatkan
Kesehatan Ibu, (6) Memerangi penyebaran HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit menular lainnya, (7)
Menjamin Pelestarian Lingkungan dan (8) Membangun sebuah kemitraan global untuk
pembangunan.
Berdasarkan pemikiran di atas tersebut, lalu timbul pertanyaan kritis bagaimana peran pers atau
media dalam membantu mewujudkan tujuan tersebut? Sebelum kita melangkah lebih jauh bagaimana
peran media dalam melihat isu kesehatan reproduksi ini, ada baiknya secara singkat melihat realitas
kesehatan reproduksi terlebih dahulu.
12 Edisi : 01/Januari 2009
13. Feb
2,
[EDISI : 02 /JANUARI 2009] 2009
Memahami Realitas Kesehatan Reproduksi
Ada beberapa kondisi yang melekat pada perempuan berkaitan dengan alat reproduksinya.
Seringkali orang menyebut bahwasanya haid, hamil, melahirkan, menyusui adalah kodrat perempuan.
Ini tidak keliru, karena kondisi yang secara langsung ini tentu tidak dialami laki-laki.
Persoalan lain yang tidak berkaitan dengan kodrat perempuan, seperti merawat anak,
mengerjakan pekerjaan rumathtangga seperti mencuci,memasak dan sebagainya, masih sering dikaitkan
dengan kodrat perempuan. padahal itu hanya merupakan pembagian peran dalam rumah tangga atau
keluarga.
Berkaitan dengan pembagian peran perempuan dan ada anggapan bahwa tugas rumah tangga
adalah tugas perempuan dapat menyebabkan beban seluruhnya pada ibu atau perempuan. dengan
adanya beban tersebut akan berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan.
Ilustrasi berikut ini menunjukkan hubungan yang saling bertalian. Sehari-hari seorang ibu
merawat anaknya seorang diri seharian penuh, dan ditambah lagi dengan beban pekerjaan rumah
tangga seperti memasak, mencuci, dan mengepel tanpa dibantu orang lain. Ibu ini pasti mengalami
keletihan fisik, apalagi jika suaminya tidak mau turut membantu merawat anaknya. Dari sini dapat
muncul permasalahan dalam kesehatan reproduksinya. Keletihan dalam ruang privat ini dapat
dipandang sebagai bentuk kekerasan yang dapat mempengaruhi kesehatan reproduksi perempuan
(Siregar: 2002)
Dengan melihat ilustrasi tersebut, factor penyebab masalah kesehatan reproduksi ini saling
berkaitan satu sama lain. Ketika satu unsur terjadi ketidakseimbangan atau mengalami gangguan, maka
yang lain akan mendapatkan akibat dari adanya ketidakseimbangan tadi.
Ketidakseimbangan yang dimaksud terbagi menjadi dua yakni internal dan eksternal.
Ketidakseimbangan internal ini biasanya bermuara pada fisik dan psikis. Ketidakseimbangan ini
dapat mengakibatkan perempuan terganggu secara fisik dan mentalnya. Sehingga hal itu menyebabkan
perempuan tidak dapat bekerja atau berkegiatan secara optimal. Sebagai contoh masalah haid misalnya,
haid tidak teratur, darah haid terlalu banyak, ketidakteraturan datangnya haid, itu merupakan adanya
ketidakseimbangan pada alat reproduksinya.
13 Edisi : 01/Januari 2009
14. Feb
2,
[EDISI : 02 /JANUARI 2009] 2009
Contoh tersebut hanya satu item masalah kesehatan reproduksi. Belum lagi ketika terjadi
masalah pada kehamilan, melahirkan, menyusui dan seterusnya.
Kedua, Ketidakseimbangan eksternal. Ketidakseimbangan eksternal ini biasanya kondisi bersifat
sosial yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kondisi kesehatan reproduksi perempuan baik
jangka pendek, menengah ataupun panjang.
Sebagai contoh kasus gizi buruk yang menimpa ibu hamil dan balita di suatu daerah yang setiap
tahun tetap atau bahkan bertambah. Apa artinya; jika dijabarkan dengan kaitannya dengan masalah
kesehatan reproduksi, pada masa tertentu akan terjadi angka kematian yang tinggi bagi ibu melahirkan.
Akan ada banyak bayi lahir premature yang mengalami kecacatan.
Sedangkan pada balita yang mengalami gizi buruk, pada jangka panjang ada satu generasi yang
tidak tumbuh secara optimal. Jika dijabarkan lebih lanjut tentang dampak gizi buruk yang dialami bayi
perempuan, pada masa mendatang atau jika bayi tersebut besar akan terganggu pertumbuhan alat
reproduksinya. Sehingga jika perempuan yang mengalami ketidakoptimalan pertumbuhan tersebut akan
mengalami gangguan ketika proses reproduksi berlangsung.
Hal ini senada apa yang dikatakan oleh Prof Kishore Mahbubani (NUS) dalam pertemuan yang
diselenggarakan Dana Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk anak dikawasan Asia Timur dan Pasifik (Unicef
EAPRO) bersama National University of Singapore (NUS) dan Kementerian Luar Negeri Singapura, bahwa
Siklus kekurangan gizi dan berat badan rendah akan berlanjut karena anak perempuan kurang gizi akan
menjadi perempuan kurang gizi yang melahirkan bayi kurang gizi. Ini bukan hanya ancaman tetapi
sangat berbahaya bagi masa depan suatu bangsa. (Kompas, 27/1/09)
Oleh karena itu, dengan kompleksnya masalah kesehatan reproduksi tadi dunia
internasional berusaha menangani persoalan itu. Hal ini juga sebagian besar tertuang dalam
Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals (MDGs). Meski dalam
pertemuan itu dikatakan bahwa posisi EAPRO masih jauh dari target MDGs.
Media melihat Isu Kesehatan Reproduksi
Seperti isu-isu lain seperti AIDS, gender, dan kesehatan, media baru hanya menempatkan isu
tersebut sebagai pelengkap rubrik media saja. Isu tersebut nampaknya belum menjadi isu penting
seperti politik, ekonomi, Hukum, kriminal bahkan Olah raga yang dijadikan rubrik tetap Media.
14 Edisi : 01/Januari 2009
15. Feb
2,
[EDISI : 02 /JANUARI 2009] 2009
Isu kesehatan repoduksi saat ini biasanya menjadi bagian dari rubrik Kesehatan. Atau juga bisa
tersebar dalam rubrik lainnya atau bahkan menjadi berita utama jika ada satu kasus yang nilai beritanya
sangat tinggi.
Persoalan ini nampaknya klasik, karena dari tahun ke tahun berita tentang kesehatan reproduksi
selalu menunggu peristiwa yang terjadi. Jika pun ada media yang mempunyai rubrik tentang itu, itupun
tidak sebarapa besar.
Kegelisahan semakin tinggi ketika mencoba mengamati berita-berita di media khususnya cetak
pada awal tahun ini. Berita-berita yang masuk dalam kategori kesehatan reproduksi masih sangat
minim. Seperti pengamatan yang dilakukan pada awal hingga pertengahan Januari di suratkabar
Kompas, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka dan Media Indonesia. Pengamatan sengaja memilih dua
suratkabar harian nasional dan dua suratkabar harian lokal.
Pengamatan yang dilakukan 2-15 Januari 2009 itu didapati sejumlah berita yang dikategorikan
berita kesehatan reproduksi. Berikut Judul berita tersebut:
- PKS Buka Pos Pelayanan Kesehatan Penyuluh Gizi (Kedaulatan Rakyat, 5/1)
- Jumlah Pengidap Gizi Buruk Turun ( Kedaulatan Rakyat, 9/1)
- BBLR, Dominasi Angka Kematian Bayi (Kedaulatan Rakyat, 9/1)
- Membuat Anak Sehat, Cerdas dan Kreatif (Kedaulatan Rakyat, 14/1)
- Anak dalam Hukuman dan Disiplin (Suara Merdeka, 7/1)
- Melibatkan Pria dalam Kesehatan Reproduksi (Kompas, 14/1)
- Anak-anak, Korban Utama Krisis Ekonomi (Media Indonesia, 7/1)
- Ketika Cuti Hamil Jadi Bahan Debat Politik (Media Indonesia, 15/1)
Dari Pengamatan di 4 suratkabar harian tersebut, nampak beberapa gambaran. Pertama,
suratkabar harian nasional seperti Kompas 1 item berita langsung, dan Media Indonesia memuat 2 item
berita kisah (feature). Sedangkan suratkabar lokal, Kedaulatan Rakyat memuat 4 item berita langsung
dan Suara Merdeka memuat 1 item berita artikel opini.
Dari segi kuantitas, suratkabar Kedaulatan Rakyat setidaknya memberikan perhatiannya
terhadap persoalan tersebut. Meskipun berita atau kasus yang ditulisnya hanya merupakan wilayah
lokal saja, tetapi ada peluang masalah tersebut di bahas di media.
Berita kesehatan reproduksi yang dimuat Kedaulatan Rakyat, seringkali hanya bersifat
momentum, tidak dalam atau tanpa analisis lebih jauh terhadap kasus atau kejadian tersebut.
15 Edisi : 01/Januari 2009
16. Feb
2,
[EDISI : 02 /JANUARI 2009] 2009
Suara Merdeka yang memiliki rubrik Perempuan pada setiap Rabu memuat 1 item berita artikel
opini yang dikategorikan berita kesehatan reproduksi dan masih ada 4 item berita yang berupa artikel
opini yang membahas masalah perempuan.
Sedangkan Kompas pada awal tahun ini sepertinya belum memberikan tempat terhadap
persoalan perempuan. Hal ini karena rubrik yang diperuntukkan bagi perempuan ditiadakan seiring
mengecilnya bentuk fisik suratkabar tersebut. Dengan bentuk yang semakin kecil ini, entah akibat
pengaruh harga kertas koran atau tren, nampaknya berdampak pada kemunculan berita-berita tentang
perempuan.
Media Indonesia, sebagai koran politik dan ekonomi memang belum memberikan ruang khusus
terhadap persoalan ini. Persoalan seputar kesehatan reproduksi biasanya dikaitkan dengan persoalan
politik atau krisis ekonomi dengan format berita feature. Sebagai contoh berita dengan judul Ketika Cuti
Hamil jadi Bahan Debat Publik. Isi berita ini sesungguhnya menceritakan kasus Menteri kehakiman
Prancis, Rachida Dati setelah lima hari usai persalinan melalui operasi caeser hadir kembali di kantornya.
Ulah Dati itu yang menimbulkan kontroversi. Di satu sisi kelompok pembela hak perempuan
menganggap Dati telah memberikan contoh buruk. Di sisi lain rekan-rekan perempuannya di dunia
politik mengaku akan melakukan hal serupa.
Analisis sederhana di atas belum secara mendalam membahas kualitas isi masing-masing berita
tersebut. Adanya sejumlah berita yang dimuat di empat suratkabar tersebut, setidaknya mencerminkan
dangkalnya informasi tentang isu kesehatan reproduksi.
Kedaulatan Rakyat misalnya, jurnalis hanya melaporkan tentang turunnya angka gizi buruk di
Kabuoaten Gunung Kidul selama September –Desember 2008 yang hanya 0,81 persen yang lebih rendah
dibanding tingkat provinsi DIY yang 0,85 persen. Sudah hanya itu dan selebihnya pernyataan pejabat
Dinas Kesehatan dan KB yang mendominasi berita langsung tersebut (Kedaulatan Rakyat, 9/1).
Jika jurnalis punya kepekaan terhadap persoalan tersebut, ia dapat melontarkan pertanyaan
yang lebih mendalam. Dan tidak berhenti sampai disitu. Selanjutnya, jurnalis juga dapat melakukan cross
check ke lapangan apakah benar terjadi penurunan kasus tersebut dan ini berarti ada peningkatan
kesejahteraan bagi anak-anak dan Balita.
Media cetak memang terkendala akan ruang dan waktu, yang mengharuskan jurnalisnya
bergerak cepat memberikan informasi kepada khalayak. Namun, bukan berarti adanya kendala tersebut
mengorbankan sikap kritis jurnalis terhadap suatu fakta atau peristiwa.
16 Edisi : 01/Januari 2009
17. Feb
2,
[EDISI : 02 /JANUARI 2009] 2009
Peristiwa kebencanaan, seperti banjir dan tanah longsor menjadi prioritas dengan pertimbangan
aktual, kelayakan dan signifikasinya terhadap pembaca. Sehingga berita suratkabar dari awal hingga
pertengahan Januari ini didominasi peristiwa kebencanaan seperti banjir, tanah longsor, dan gempa di
Manoukwari Papua. Namun tidak ada yang salah dengan peristiwa tersebut, jika jurnalis punya
kepedulian terhadap persoalan kesehatan reproduksi, dalam peristiwa kebencanaan dapat ditinjau dari
sudut pandang lainnya.
Jurnalis bisa saja menggunakan perspektif tertentu dan tidak sekadar liputan konvensional yang
menggunakan 5 W+H, jurnalis juga dapat melaporkan peristiwa tersebut dan kesehatan reproduksi
menjadi bagian di dalamnya.
Atau dengan kata lain, jurnalis tidak hanya sekadar melaporkan peristiwa fisik tentang sudah
mencapai berapa meterkah kedalaman banjir, berapa jumlah warga yang mengungsi, apa saja bantuan
yang didapat dan terlambatkah bantuan pemerintah misalnya. Namun, lebih dalam lagi dapat melihat
sisi lainnya, bagaimana nasib perempuan hamil, bagaimana nasib bayi, anak-anak korban banjir, apakah
mereka mengalami gangguan selama di tempat pengungsian. Bagaimana dengan pemberian makanan
untuk mereka, apakah memadai? bagaimana penanganan pemerintah terhadap mereka terkait dengan
kesediaan makanan, pakaian, obat-obatan dan lain sebagainya yang berkait erat dengan kesehatan
reproduksi mereka?
Nampaknya media belum banyak melakukan penggalian lebih jauh ke arah sana. Padahal
sesungguhnya peran media sangat besar dalam memberikan informasi itu. Setidaknya begitulah yang
dikatakan salah seorang narasumber dalam diskusi acara MDGs Insight di Metro TV pada Senin (26/1)
bahwa peran media sangat besar untuk mensosialisasikan Tujuan MDGs 2015 kepada stake holders di
daerah. Hal ini terbukti daerah menjadikan salah satu tujuan MDGs ke dalam tujuan lokalnya. (Ismay)
17 Edisi : 01/Januari 2009
18. Feb
2,
[EDISI : 02 /JANUARI 2009] 2009
Media dan Kebencanaan :
Berita Banjir, Melulu Tentang Air
Januari, bagi sebagian warga di sejumlah daerah di Indonesia berarti musim banjir. Media
(cetak dan elektronik) pun sudah menyediakan space atau ruang untuk memuat berita bencana
rutin ini. Bagi media, banjir merupakan peristiwa yang dari sisi pemberitaan memenuhi unsur-
unsur kelayakan berita (newsworthyness).
Khususnya di Indonesia, peristiwa alam ini merupakan persoalan besar bagi kehidupan
masyarakat karena kerugian yang ditimbulkannya, terlebih lagi karena banjir merupakan bencana
alam yang paling sering terjadi di negeri ini. Data Pusat Pengembangan Krisis Departemen
Kesehatan Indonesia (www.ppk-depkes.org) menunjukkan bahwa selama 2008 dari 645 kejadian
bencana alam, hampir 50% berupa banjir (317 kejadian, jika ditambah banjir bandang menjadi 340
kejadian), di urutan kedua yaitu longsor (110 kejadian).
Kerugian yang ditimbulkan bencana banjir tak sedikit. Di sektor pertanian, misalnya,
menurut Direktorat Perlindungan Tanaman Ditjen Tanaman Pangan banjir 2008 (Oktober 2007-
Februari 2008) merendam 222.270 hektar lahan pertanian, 2006-2007 merendam 322.476 hektar
sawah (di atas rata-rata areal yang terendam 10 tahun terakhir yang mencapai 232.906 hektar).
Potensi kehilangan hasil produksi sedikitnya 533.438 ton GKG (Gabah Kering Giling) (
www.indonesia.go.id 3/3/2008).
Kerugian cukup besar secara ekonomi dan kemanusiaan terjadi ketika banjir besar
melanda kawasan Jakarta-Depok-Tangerang (Banten)-Bekasi Februari 2007.
Data dari Dinas Kesehatan Provinsi DKI, Banten dan Jawa Barat yang direkapitulasi Pusat
Pengembangan Krisis-Depkes (www.ppk-depkes.org 15/2/2007) menunjukkan akibat banjir
beberapa hari sejak 2 Februari 2007 sebanyak 69 orang meninggal (48 di antaranya di wilayah
18 Edisi : 01/Januari 2009
19. Feb
2,
[EDISI : 02 /JANUARI 2009] 2009
DKI), 300.000 orang mengungsi. Akibat kondisi pengungsian yang kurang layak (tercemar
sampah, lumpur, sanitasi buruk, dsb) 637 pengungsi mengalami ISPA dan 400 pengungsi
(terutama anak-anak) mengalami diare.
Berdasarkan perkiraan Bappenas (www.tempointeraktif.com 12/2/2007) kerugian akibat
bencana banjir tersebut mencapai Rp 8 triliun. Adapun rinciannya: kerugian rumah penduduk yang
rusak (Rp 1,7 triliun), kerugian di sektor industri, perbankan, usaha kecil dan menengah (Rp 2
triliun), kerugian fasilitas sosial seperti sekolah, rumah ibadah dan sarana kesehatan (Rp 4,8
triliun). Belum lagi kerusakan jalan yang menyebabkan transportasi lumpuh, yang meliputi jalan.
Total luas kerusakan 82.150m2. Untuk membantu pengungsi dibutuhkan sedikitnya 6.000 ton
beras (deangan asumsi korban banjir 300 ribu orang).
Dalam konteks media, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana media, khususnya
media cetak, memberitakan bencana banjir?
Apakah berita-berita banjir sebagai peristiwa yang selalu berulang yang disampaikan
media (selalu) memberikan atau mengandung informasi yang penting dan bermanfaat bagi
khalayak? Sehingga tidak sekadar menceritakan perihal air yang menggenangi, merendam bahkan
menenggelamkan permukiman atau sekadar menunjukkan fakta naik-turunnya ketinggian
permukaan genangan.
Hasil pengamatan terhadap berita-berita banjir yang dimuat dua suratkabar versi cetak
(Kompas-Jakarta, sirkulasi nasional dan Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta, lokal) periode 2 – 15
Januari 2009 menunjukkan beberapa hal yang penting dijadikan perhatian pengelola suratkabar
dan khususnya jurnalis. Tentu saja hasil pengamatan ini bersifat terbatas, karena rentang waktu
yang diamati terbatas hanya dua minggu sementara peristiwa banjir masih terus berlangsung
melampaui periode waktu pengamatan dan di luar periode 2-15 Januari media masih
memberitakan peristiwa ini.
Adapun analisis tidak ditujukan terhadap berita berdasarkan penempatan di kedua
suratkabar tersebut. Berita di halaman depan dan halaman dalam memiliki nilai setara. Selain itu,
analisis tidak pula dimaksudkan untuk melihat ada-tidaknya perbedaan perhatian masing-masing
suratkabar terhadap peristiwa ini. Dengan demikian, jika secara kuantitas suratkabar yang satu
19 Edisi : 01/Januari 2009
20. Feb
2,
[EDISI : 02 /JANUARI 2009] 2009
lebih banyak memberitakan banjir dibandingkan suratkabar lainnya tidak relevan bagi analisis
sederhana ini.Tercatat selama periode 2-15 Januari 2009, harian Kompas menurunkan 10 berita,
Kedaulatan Rakyat dua item. Semua dalam format penyajian berita langsung (straight news).
Sepanjang periode itu Kompas menyajikan satu berita di halaman depan, Kedaulatan Rakyat
keduanya dimuat di halaman depan.
Untuk pengamatan ada empat pertanyaan dasar yang diajukan, yaitu (1) Penyebab banjir
(kalau ada, bagaimana penempatannya dalam struktur berita), (2) Kecenderungan/perubahan
kejadian banjir, (3) Akibat yang ditimbulkan (korban manusia, kerusakan fisik, kerugian ekonomi,
dampak bagi kehidupan sosial-ekonomi, kesehatan anak-anak dan perempuan), dan (4) Langkah-
langkah penanganan korban (ada?seperti apa? Memadai?dst).
Pertanyaan Tak Terjawab
Sejak awal disadari seberapa lengkap, seberapa mendalam dan seberapa jelas jawaban
atas keempat pertanyaan dasar di atas tergantung kepada format penyajian berita. Format berita
langsung yang digunakan untuk menyampaikan peristiwa banjir, apalagi jika sebuah berita
merupakan rangkuman sejumlah peristiwa dari berbagai daerah, memiliki keterbatasan untuk
memberikan jawaban memadai, mendalam, apalagi komprehensif yang bisa memberikan
kejelasan kepada khalayak.
Namun, jawaban tidak memadai berbeda dengan tanpa jawaban. Kemudian, jawaban tidak
memadai akan lebih memiliki nilai penting jika ditempatkan secara tepat, daripada jawaban
memadai namun tersembunyi. Ini menjadi penting dicermati dalam konteks struktur format berita
langsung yang berprinsip menempatkan informasi-informasi terpenting di bagian atas struktur
berita.
Sulit mengatakan bahwa kedua suratkabar tersebut telah memberikan informasi yang
memadai. Alih-alih memenuhi keingintahuan pembaca, lebih banyak informasi tak lengkap yang
justru menyisakan pertanyaan bagi pembaca daripada menjawab pertanyaan-pertanyaan. Bahkan
20 Edisi : 01/Januari 2009
21. Feb
2,
[EDISI : 02 /JANUARI 2009] 2009
ada informasi atau fakta penting yang tidak diikuti kejelasan sama sekali, baik di berita yang sama
maupun pada berita-berita lanjutannya (follow up news). Sehingga, pembaca dibiarkan menjawab
sendiri pertanyaan-pertanyaannya.
Salah satu berita yang dimuat Kompas bisa menjadi contoh tentang hal tersebut.
Dalam tubuh berita berjudul Banjir di Beberapa Daerah (Kompas, 12/1/09 h.22, alinea 4)
dikutip pernyataan atau kesaksian warga Denpasar, Bali, tentang banjir yang melanda kotanya.
“Kami tidak mengira akan kebanjiran karena seumur-umur belum pernah terjadi,” ujar
Made Sukata (32), warga Kerta Dalam, Denpasar, Bali.
Pernyataan Made Sukarta sesungguhnya teramat penting untuk tidak dikembangkan.
Denpasar yang tiba-tiba banjir, sementara “seumur-umur belum pernah terjadi”, sehingga “kami
tidak mengira akan kebanjiran”, menyiratkan adanya “sesuatu”. Jelas, ini bukan hal biasa.
Sebaliknya, luar biasa, unusual. Sesuatu yang luar biasa, tentu bisa memenuhi unsur kelayakan
berita (newsworthyness).
Pernyataan itu memancing pertanyaan mendasar: mengapa tempat yang tidak pernah
terkena banjir, tiba-tiba kebanjiran? Hujan tidak bisa dijadikan jawaban, sebab musim hujan terjadi
berulang-ulang dan dari tahun ke tahun (setidak-tidaknya sepanjang usia Made Sukarta)..
Atas pertanyaan penting dan mendasar tersebut tidak ditemukan satu alinea, kalimat, atau
bahkan satu katapun jawaban dalam berita itu, yang selain mengabarkan banjir di Denpasar
mengabarkan banjir yang melanda Kalimantan Barat (Entikong) dan Sulawesi Barat (Majene dan
Polewali). Pembaca berita ini dibiarkan menduga-duga jawabannya dan dianggap cukup jika
pembaca sudah tahu bahwa Denpasar kebanjiran dan banjir ini merupakan peristiwa kali pertama.
Bagi pembaca yang kebetulan peneliti soal lingkungan atau kebencanaan informasi ini sangat
dibutuhkan
Tak hanya jawaban tentang mengapa tiba-tiba Denpasar kebanjiran yang tak ditemukan
pembaca, sebab pembaca pun tak menemukan informasi tentang seberapa luas wilayah yang
tergenang, seberapa parah banjirnya, bagaimana kondisi warga: terganggukah kegiatan
mereka?mengungsikah? dst. Padahal, ini sebetulnya informasi standar yang ingin diketahui
21 Edisi : 01/Januari 2009
22. Feb
2,
[EDISI : 02 /JANUARI 2009] 2009
pembaca baik di sekitar Denpasar, maupun di daerah lain. Kalau ini sebagai berita lanjutan,
ternyata tak ada berita tentang banjir di Denpasar pada hari-hari sebelumnya (setidak-tidaknya
sejak 2 Januari). Pada tiga hari sesudahnya pun tidak ditemukan kelanjutannya.
Adalah tak masuk akal jika kemudian keterbatasan space menjadi alasan tidak
menambahkan informasi yang menjelaskan kesaksian Made Sukarta. Sebab, seandainya ada
tambahan satu alinea saja yang memuat informasi tentang penyebab banjir (meskipun baru
berupa dugaan) di Denpasar yang baru pertama kali berita tersebut akan lebih bermanfaat.
Pada berita yang sama, terdapat informasi lain yang juga menyisakan pertanyaan. Ini
terdapat pada alinea yang melaporkan banjir di Entikong, Kalimantan Barat. Di wilayah ini
sejumlah ruas jalan putus karena banjir yang berketinggian 1-3 meter. Menurut Kepala Desa
Entikong, banjir kali ini terbesar dalam 10 tahun terakhir. Mengapa bisa demikian?Apa kira-kira
penyebabnya? Tak ada satu kata pun yang membantu pembaca mendapat informasi tentang itu.
Hampir mirip dengan berita banjir di Denpasar, informasi yang menyisakan pertanyaan
bagi pembaca muncul pada berita tentang banjir yang melanda tiga kabupaten di Jawa Tengah
yang digabung dengan berita longsor yang menewaskan lima orang di Jawa Barat (Kompas,
2/1/09 h.22).
Informasi pada berita berjudul Padi Terendam Banjir itu, memang sedikit lebih lengkap
daripada informasi tentang banjir di Denpasar. Namun, ada fakta penting yang tidak mendapat
tambahan keterangan. Akibatnya, lagi-lagi pembaca harus menelan pertanyaannya sendiri.
Pada berita dipaparkan, hujan yang turun dalam beberapa hari terakhir menyebabkan
sejumlah anak sungai meluap. Luapan ini menggenangi ratusan hektar tanaman padi dan tebu di
Kabupaten Kudus, Demak, Pati dan Jepara. Ketinggian genangan 15-30 cm.
Menurut warga Pati, tiga-empat tahun terakhir setiap awal musim hujan seluruh areal
pertanian hingga pekarangan warga tergenang air selama 3-4 bulan. Kali ini, menurut perkiraan
mereka, akan lebih parah karena ada peningkatan jalan, gorong-gorong di bawah jembatan
tersumbat batu kerikil dan tanah.
22 Edisi : 01/Januari 2009
23. Feb
2,
[EDISI : 02 /JANUARI 2009] 2009
Keterangan ini penting dicermati karena memberikan sebuah petunjuk tentang adanya
perubahan dalam fenomena banjir di kawasan tersebut. Bahwa telah terjadi perubahan intensitas
banjir sejak tiga-empat tahun terakhir yang menyebabkan lama genangan mencapai 3-4 bulan.
Artinya, beberapa tahun sebelum itu banjir memang terjadi namun tidak selama itu. Tapi
bagaimana sesungguhnya yang terjadi, pembaca hanya bisa bermain dengan logikanya sendiri
berdasarkan dugaan karena tidak mempunyai fakta sebagai dasar penalaran. Mengapa demikian,
sebab berita tersebut tidak menunjukkan apa yang terjadi. Kemudian, pembaca pun tak mendapat
informasi mengapa terjadi perubahan intensitas banjir di Pati.
Sebetulnya, warga bisa memberikan gambaran tentang penyebab perubahan itu
berdasarkan pengalaman dan pengamatan mereka atas fenomena alam, walaupun kemudian
keterangan ini perlu dikonfirmasi dengan data-data lain yang bisa didapatkan dari ahli lingkungan
dan ahli meteorologi.
Mengapa dikatakan warga bisa dimintai keterangannya untuk memberikan gambaran
tentang perubahan pola banjir, sebab berdasarkan berita tersebut mereka bisa memprediksi
kondisi banjir seperti apa yang akan mereka hadapi berdasarkan kondisi lingkungan saat ini
(...”akan lebih parah karena ada peningkatan jalan, gorong-gorong di bawah jembatan
tersumbat...”).
Ada dua kemungkinan tentang tak adanya elaborasi atas keterangan penting tersebut.
Pertama, wartawan tidak menulisnya karena sebab tertentu. Kedua, wartawan menulisnya namun
editor memenggalnya karena pertimbangan tertentu, misalnya keterbatasan space. Tapi yang jelas
pembaca tidak mendapat jawaban atas keterangan warga yang dikutip dalam berita tersebut.
Dari 12 berita (10 di Kompas, 2 di Kedaulatan Rakyat), hanya satu yang bisa membantu
pembaca mendapatkan informasi tentang penyebab banjir (yang bukan penyebab klise, yaitu
hujan deras), yaitu berita berjudul Banjir Rendam Kutai: Rob Ancam Permukiman Warga Kota
Tegal (Kompas, 5/1/09 h.23).
23 Edisi : 01/Januari 2009
24. Feb
2,
[EDISI : 02 /JANUARI 2009] 2009
Pada berita yang mengabarkan meluapnya Sungai Mahakam sehingga menyebabkan
2.000 keluarga di empat kecamatan di Kabupaten Kutai kebanjiran, dikutip keterangan Pejabat
Bupati Kutai tentang banjir di wilayahnya. Tertulis,”Pejabat Bupati Kutai mengakui banjir bukan
hanya karena hujan, melainkan terkait aktivitas22424 tambangan batu bara dan kerusakan hutan
akibat pembalakan liar. Karena itu pemkab akan mengevaluasi kebijakan pertambangan”.
Keterangan ini dilengkapi informasi dari Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Kaltim, yang
menyebutkan bahwa 315 (separoh) dari 705 kuasa pertambangan batu bara di Kaltim berada di
Kutai.
Meskipun keterangan Pejabat Bupati Kutai itu masih perlu dikembangkan, sebagai
informasi awal tentang penyebab banjir sudah memadai. Pembaca tidak lagi menduga-duga dan
hanya memiliki satu persepsi bahwa hujanlah penyebab banjir. Bisa dimaklumi jika keterangan
tersebut tidak dielaborasi pada berita itu. Disayangkan, tidak ada pengembangan pada hari-hari
berikutnya atas keterangan tersebut baik dalam bentuk berita langsung, news features maupun
indepth reporting.
Selain pertanyaan tentang sebab banjir yang tak terjawab oleh hampir semua berita yang
diamati, pertanyaan yang tak terjawab secara memadai (bukan tak ada jawaban) yaitu tentang
dampak bagi kehidupan sosial-ekonomi dan upaya penanganan terhadap korban.
Hampir seluruh berita memang menyajikan dampak statistikal tentang korban seperti
jumlah keluarga dan jiwa yang jadi korban, jumlah warga yang mengungsi, luasan areal
permukiman dan pertanian yang tergenang, jumlah rumah yang terendam. Namun, semua
informasi itu berhenti pada angka. Pembaca tidak mendapat gambaran seperti apa dan bagaimana
dampak banjir bagi ribuan korban tersebut, apa dampaknya bagi anak-anak, apa yang bakal terjadi
ketika lahan-lahan pertanian rusak terendam (mungkinkah ada ancaman bencana kelaparan,
misalnya).
Pembaca juga tidak mendapat informasi tentang dampak banjir terhadap sarana-sarana
publik seperti rumah sakit, puskesmas, pasar dan sekolah, kecuali informasi jalan dan rel kereta
api putus (Jalur KA Terputus, Kompas 14/1/09 h.22), gangguan arus lalu lintas di Semarang
(Kedaulatan Rakyat 14/1/09 h.1; Sejumlah Wilayah Jateng Banjir, Ribuan Rumah Tergenang)
24 Edisi : 01/Januari 2009
25. Feb
2,
[EDISI : 02 /JANUARI 2009] 2009
Apakah fasilitas-fasilitas itu masih bisa berfungsi? Kalau tidak, apa akibatnya bagi para korban?
Informasi seperti ini, dalam ketergesaan waktu, masih dimaklumi jika tidak rinci. Namun, jika tidak
ada sama sekali, maka berita tentang banjir betul-betul hanya menjadi berita tentang air.
Ketidakmemadaian informasi tentang dampak juga terlihat ketika Kompas (6/1/09 h 23)
menurunkan berita Banjir Meluas, Warga ke Bukit. Ini follow up news banjir di Kutai, Kalimantan
Timur. Ada satu alinea menyebutkan kondisi korban banjir: “warga mulai mengalami persoalan
kesehatan.” Hanya itu. Pembaca tak tahu, pertama gangguan kesehatan apa saja, seberapa
banyak yang mengalami, siapa saja yang mengalami (anak-anak, perempuan?), bagaimana upaya
penangannya?
Ada harapan tatkala pembaca tidak menemukan informasi tersebut pada berita hari itu
akan mendapatkannya di esok atau kemudian hari. Namun, harapan itu tak terpenuhi.
Cukup di Televisi
Ketika televisi menjadi sumber informasi utama masyarakat karena kecepatannya
menyampaikan informasi, bahkan hampir tak berbilang jam (bandingkan dengan suratkabar yang
lebih dari 12 jam), maka penyajian informasi yang tak memberikan jawaban memadai bagi
pembaca akan menyebabkan pembaca lebih mengandalkan televisi. Mengapa demikian, berita-
berita sebagaimana diamati hampir tak berbeda jauh dengan isi berita yang ditayangkan televisi
dengan frekuensi cukup tinggi (hampir seluruh stasiun televisi menangkan berita tiap jam).
Sebagian penonton televisi (yang sekaligus pembaca suratkabar cetak maupun e-paper)
yang hanya mendapatkan informasi atau fakta sekilas di televisi tentu berharap akan mendapatkan
informasi lebih di suratkabar. Ini seharusnya menjadi pertimbangan dalam pemberitaan suratkabar
saat ini, khususnya dalam pemberitaan kebencanaan. Jika hanya memberitakan genangan air,
televisi juga. Bahkan televisi mampu menghadirkan impressi jauh lebih kuat karena kekuatan
visualnya dan tentu saja...jauh lebih cepat.
25 Edisi : 01/Januari 2009
26. Feb
2,
[EDISI : 02 /JANUARI 2009] 2009
Bagaimana agar berita-berita banjir di suratkabar bisa “mengungguli” tayangan berita
televisi? Minimal, empat pertanyaan dasar pada bagian awal tulisan ini bisa terjawab. Kemudian,
hindari menyajikan fakta yang justru membuat pembaca bertanya-tanya.(Dedi H. Purwadi)
Penanggung Jawab :
Ashadi Siregar
Pemimpin Redaksi :
Slamet Riyadi Sabrawi
Redaksi :
Ismay Prihastuti, Dedi H. Purwadi, Agoes Widhartono, Rondang Pasaribu.
Sekretaris Redaksi :
W. Nurcahyo
26 Edisi : 01/Januari 2009