Suku Baduy tinggal di Desa Kanekes, Banten. Mereka masih mempertahankan tradisi leluhur dan hidup secara sederhana sesuai aturan adat yang ketat. Terdapat dua kelompok Baduy, yaitu Baduy Dalam yang lebih menjunjung tradisi, dan Baduy Luar yang sedikit lebih longgar aturannya. Kepercayaan mereka bernama Sunda Wiwitan yang menghormati roh nenek moyang dan alam sekitar.
1. a
C. KEARIFAN LOKAL SUKU BADUY
Bayangkan sebuah tempat yang damai, dikelilingi oleh suasana hijau. Suara angin yang
gemerisik menerpa dedauanan bambu, kicau burung, dan deburan aliran sungai. Dengarkan bisik
alam yang menyapa dalam kemurnian, Anda layak melihatnya dengan mata hati sehingga
dibawalah oleh-oleh pengalaman yang melekat di hati. Ada banyak kearifan lokal yang akan di
peroleh di Desa Kanekes, sebuah pelajaran yang sangat berarti mengingatkan kita pada jati diri
leluhur salah satu suku tua di Nusantara yang masih hidup dengan cara tradisional. Lupakan
ponsel atau alat elektronik lainnya saat Anda mengunjungi Desa Kanekes atau yang lebih popular
disebut Desa Baduy di Banten. Selain tidak ada listrik untuk men-charge hp Anda, bahkan sinyal
pun sulit didapat. Lebih baik Anda menatap alam sekitar dan mendengarkan suara-suara alam. Di
sinilah Anda akan dapati kehidupan masa lalu sebelum memasuki sebuah zaman dari akibat
revolusi industri yang menguasai dunia.
Desa Baduy, terletak di perbukitan Gunung Kendeng, sekitar 75 kilometer arah selatan
Rangkasbitung, Banten. Ini merupakan tempat yang tepat untuk Anda yang ingin merasakan
ketenangan yang jarang ditemukan di kota besar. Bagi mereka yang memiliki naluri berpetualang
mungkin akan merasakan trekking di desa Baduy sangat memukau. Kehidupan keseharian
masyarakat Baduy yang memegang teguh adat istiadat merupakan daya tarik tersendiri bagi Anda
yang berminat menelusuri budaya unik kearifan lokal yang luar biasa ini.
Kawasan Baduy tepatnya berada di desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, kabupaten
Lebak. Diperkirakan akhir abad ke-18 wilayah Baduy ini terbentang mulai dari kecamatan
Leuwidamar sekarang sampai ke Pantai Selatan. Sekarang luas wilayah Baduy ini sekitar 5102
hektar. Batas wilayah sekarang ini dibuat pada permulaan abad ke-20 bersamaan dengan
pembukaan perkebunan karet di desa Leuwidamar dan sekitarnya. Suku Baduy sering disebut
urang Kanekes. Baduy sebetulnya bukanlah nama dari komunitas yang ada di desa ini. Nama
tersebut menjadi melekat karena diberikan oleh peneliti Belanda yang menyamakan mereka
2. dengan Badawi atau BedoinArab yang merupakan masyarakat nomaden atau berpindah-pindah.
Dari Badawi atau Bedoin, kemudian nama itu pun bergeser menjadi Baduy. Orang Baduy, karena
bermukim di Desa Kanekes, sebenarnya lebih tepat disebut sebagai Orang Kanekes. Namun
karena istilah “Baduy” terlanjur lebih dulu dikenal, maka nama “Baduy” lebih populer ketimbang
“Orang Kanekes”.
Mereka tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Desa ini
berada sekitar 38 km dari ibu kota Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, atau sekitar 120 km dari
Jakarta. Desa Kanekes memiliki 56 kampung Baduy. Orang Baduy Dalam tinggal di Kampung
Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo. Sedangkan orang Baduy Luar tinggal di 53 kampung lainnya.
Kampung Baduy Luar sering disebut kampung panamping atau pendamping, yang berfungsi
menjaga Baduy Dalam.
Keseharian kaum lelaki Baduy menggunakan ikat kepala putih. Kecuali puun atau pemimpin adat,
para lelaki menggunakan baju hitam dan sarung selutut berwarna biru tua bercorak kotak-kotak.
Kaum perempuan menggunakan sarung batik biru, kemben biru, baju luar putih berlengan
panjang. Gadis-gadis menggunakan gelang dan kalung dari manik. Suku Baduy Dalam, mereka
setia berjalan kaki dalam melakukan perjalanan, mengedepankan kejujuran, menolak mencemari
lingkungan (tanah dan air), dan tidak merokok. Baduy Dalam menerapkan adat lebih ketat
dibandingkan dengan Baduy Luar. Salah satu perbedaannya, warga Baduy Luar diperbolehkan
berkendaraan. Baduy Dalam hidup dengan aturan adat yang ketat.
Di Baduy Dalam, pikukuh atau aturan adat adalah harga mati yang tidak bisa ditawar. Hal ini
berbeda dengan Baduy Luar. Dalam hal makanan, orang Baduy tergolong sangat fanatik. Mereka
tidak akan menyantap jenis makanan yang tidak dimakan nenek moyang mereka juga tidak akan
melakukan kebiasaan yang dulunya tidak pernah dilakukan nenek moyang mereka. Kebiasaan
mandi tidak menggunakan sabun masih berlangsung hingga saat ini. Tidak memakai sabun mandi
bukan berarti mereka tidak punya uang, tetapi benar-benar demi mengikuti kebiasaan orang tua
mereka. Kalau ada warga Baduy yang coba-coba memakai sabun saat mandi dan sampai
ketahuan, pasti mendapat teguran keras. Teguran ini bisa berujung pada pemecatan sebagai
warga Baduy Dalam.
Menurut kepercayaan orang Kanekes mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari
tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan
Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan
keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik(mandita) untuk
menjaga harmoni dunia.
3. Kepercayaan orang Baduy adalah penghormatan pada roh nenek moyang dan kepercayaan
kepada satu kuasa yang dinamakan Nu Kawasa. Keyakinan mereka sering disebut dengan Sunda
Wiwitan. Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan
kepada pikukuh (aturan adat) agar orang hidup menurut alur itu dan menyejahterakan kehidupan
Baduy dan dunia. Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar
pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya
juga dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan
dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari. Isi
terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa
pun", atau perubahan sesedikit mungkin. Di kawasan Baduy Dalam, ada tiga kampung yang
masing-masing dikepalai oleh seorang kepala suku atau yang disebutPuun dan wakilnya yang
disebut Jaro. Ketiganya adalah kampung Cibeo, Cikesik, dan Cikertawana. Masing-
masing Puunini memiliki peran yang berbeda. Puun Cibeo mengurusi pertanian, Puun Cikesik
mengurusi keagamaan, dan PuunCikertawana bertanggungjawab dalam hal kesehatan atau obat-
obatan. Tanggung jawab ini berlaku secara kolektif untuk ketiga kampung tersebut.
Pemda Lebak sejak tahun 1990 menyatakan bahwa kawasan masyarakat Baduy merupakan
cagar budaya. Mereka tetap mempertahankan warisan leluhurnya yang merupakan aset nasional
yang harus harus dijaga. Hal itu dikukuhkan dengan Peraturan Daerah nomor 13/1990. Dengan
demikian hutan dan sungai tetap terjaga kelestariannya. Menurut Kepala Desa Kanekes Jaro
Daerah, suku Baduy menempati areal tanah seluas 5.101 ha, yang terbagi dalam 53 kampung. Tiga
kampung ditempati oleh Baduy Dalam masing-masing kampung bernama Cikeusik, Cikertawana
dan Cibeo, sedangkan sisanya ditempati oleh Baduy Luar. Suku-suku Baduy tersebut bermukim
tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak,
Banten.