SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 31
Judul: Pengaruh Metode Perubahan Konseptual (Conceptual Change Methods) dalam
        Setting Model 5E Terhadap Pemahaman Konsep Siswa SMA Lab Undiksha
        Singaraja


Identitas Pribadi
        Nama           : Kusdian Kurniahadi
        NIM            : 0513021047
        Jurusan        : Pendidikan Fisika
        Fakultas       : Pendidikan Matematika dan IPA


I. PENDAHULUAN

   1.1 Latar Belakang Masalah
         Secara umum, pandangan tentang belajar ada tiga, yaitu: belajar sebagai
   penguatan respon, belajar sebagai pemerolehan pengetahuan, dan belajar sebagai
   konstruksi pengetahuan (Santyasa, 2004a). Sampai saat ini, pandangan ketiga
   dipandang lebih efektif dan bermakna dalam penerapannya bila dibandingkan dengan
   dua pandangan sebelumnya. Piaget menyimpulkan dari hasil penelitiannya, bahwa
   pengetahuan dibangun dalam pikiran pelajar. Pengetahuan itu dibangun (dikonstruksi)
   sambil pebelajar mengatur pengalaman-pengalamannya yang terdiri atas struktur-
   struktur mental atau skemata-skemata yang sudah ada padanya (Suastra, 2004).
   Pandangan ini mendasarkan diri pada hasil penelitian dengan manusia sebagai objek
   dalam setting yang realistik.
         Proses belajar mengajar (PBM) merupakan salah satu faktor penting dalam
   pelaksanaan pendidikan di sekolah. Pelaksanaan PBM selalu melibatkan tiga
   komponen penting yang berperan, yaitu guru, siswa, dan metode mengajar yang
   digunakan. Guru hendaknya memahami bahwa siswa memiliki potensi untuk bisa
   tanpa harus ”dimanjakan”. Proses belajar terjadi pada siswa apabila anak didik secara
   aktif mengkonstruksi pengetahuan dalam memori kerja. Siswa adalah pencipta
   gagasan, sedangkan guru adalah fasilitator dan mediator yang menyediakan bimbingan
   dan pemodelan pada tugas-tugas akademik yang otentik. Seperti yang dikutip oleh
   Nashon (2006), menurut Von Weizsacker dan Juilfs bahwa fisika didasarkan pada
   percobaan, keaktifan, keingintahuan, dan keahlian dalam pengahayatan alam.
   Percobaan tidak akan terarah jika tanpa pemandu. Di sinilah tugas guru sebagai
   fasilitator dan mediator siap menggunakan cara yang seharusnya untuk mengajarkan
   fisika.

                                                                                      1
Kendala yang dihadapi saat ini, khususnya dalam pembelajaran fisika, adalah
cara guru mengajar jarang menggunakan cara yang seharusnya fisika diajarkan. Salah
satu alasan para guru adalah sangat sulit mengeksplorasi pengetahuan awal siswa. Para
guru cenderung merancang dan mengimplementasikan pembelajaran dengan pola
mengajar secara linear.
     Di antara faktor yang mempengaruhi pemahaman fisika siswa adalah model
matematika yang cenderung lebih diutamakan dibandingkan konsep itu sendiri.
Matematika juga merupakan faktor kunci yang menghambat siswa pada tingkat
menengah untuk memilih bidang fisika. Pendidik tentu sudah sangat paham bahwa
matematika sangat dibutuhkan dalam penguasaan suatu konsep fisika, namun kurang
berbuat banyak untuk mempertajam pemahaman konsep siswa dan lebih menekankan
pada pemahaman matematis. Banyak siswa tingkat menengah berupaya memahami
konsep fisika dengan model matematis (Nashon, 2006).
     Guru seharusnya mengetahui bahwa setiap siswa telah membawa pra-konsep
(konsepsi alternatif) yang diperolehnya baik dari pembelajaran sebelumnya, dari buku
bacaan atau buku ajar yang mereka baca, dan dari fakta yang mereka temui dalam
kehidupan sehari-hari. Namun yang menjadi permasalahan adalah apakah konsep yang
dibawa tersebut benar-benar merupakan konsep yang benar/ilmiah dan sudah
merepresentasikan pengetahuan yang dikandungnya. Siswa berpikir dan mengkonsep
fenomena alam yang baru, yang mereka temui pada pelajaran sains, semakin berbeda
dari yang diterima oleh komunitas ilmiah (Hirca, Calik, & Akdeniz, 2008). Adanya
konsepsi alternatif tersebut merupakan keadaan yang serius dan membutuhkan
penanganan dari tiap pengajar. Sebagaimana dinyatakan oleh Kurnaz & Çalik (2008),
menetapkan apa yang siswa pikirkan tentang fenomena yang diberikan adalah tidak
cukup untuk mengubah konsep-konsep siswa dengan salah satu pendekatan ilmiah.
Pada dasarnya, sebagai pendidik sains, ada sebab-sebab atau alasan-alasan yang kita
harus berusaha keras untuk menanggulanginya. Menentukan alasan terhadap konsepsi
alternatif dan mencoba menanggulanginya lebih sulit daripada mengenalinya. Karena
konsepsi alternatif diperoleh sendiri oleh siswa sebagai hasil proses asimilasi dari
pengetahuan awal dan pengalamannya, siswa enggan menampakkan konsepsi alternatif
mereka (e.g. Aydoğan, Güneş, & Gülçiçek; Coştu et al.; Ünal et al., dalam Hirca, dkk.,
2008).
     Berdasarkan rasionalisasi di atas, maka diperlukan suatu metode pembelajaran
yang dapat mewujudkan terjadinya konsepsi yang benar/ilmiah pada diri siswa. Dalam
hal ini, penulis memilih metode belajar, yaitu metode perubahan konseptual yang

                                                                                    2
dikendalikan dengan model 5E. Judul yang penulis ajukan adalah ”Pengaruh Metode
Perubahan Konseptual dalam Setting Model 5E terhadap Pemahaman Konsep Siswa
SMA Lab Undiksha Singaraja”.
1.2 Rumusan Masalah
      Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan
masalah yang diajukan dalam penelitian ini sebagai berikut.
      Apakah terdapat perbedaan pemahaman konsep antara siswa yang belajar melalui
metode perubahan konseptual dalam Setting Model 5E dengan siswa yang belajar
melalui model pembelajaran konvensional?
1.3 Tujuan Penelitian
      Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan dari penelitian
ini sebagai berikut.
      Menganalisis perbedaan pemahaman konsep antara siswa yang belajar melalui
metode perubahan konseptual dalam Setting Model 5E dengan siswa yang belajar
melaui model pembelajaran konvensional.
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
      Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini sebagai berikut.
   1) Bagi guru fisika
       Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memberikan metode lain bagi
       guru dalam pembelajaran fisika, yang kiranya sesuai untuk menanamkan
       konsep-konsep fisika pada diri siswa.
   2) Bagi peneliti
       Dari penelitian ini, peneliti sebagai seorang calon guru memperoleh
       pengalaman langsung dalam menerapkan suatu metode pembelajaran inovatif
       dan konstruktif dalam menanamkan pemahaman konsep-konsep fisika bagi
       siswa.
   3) Bagi pengembang teori pembelajaran
       Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai acuan dalam merancang
       kurikulum, pendekatan, dan model pembelajaran dalam rangka meningkatkan
       mutu pendidikan di sekolah.
1.5 Definisi Konseptual
      Definisi konseptual merujuk pada variabel perlakuan (model 5E bermuatan
perubahahan konseptual dan model pembelajaran konvensional) dan variabel
metrik/kovarian sebagai berikut.



                                                                                 3
a. Model 5E yang mengandung metode perubahan konseptual merupakan sebuah
       model pembelajaran bermuatan perubahan konseptual sebagai sebuah fase
       pengelaborasian konseptual yang bertujuan mengurangi konsepsi alternatif siswa
       (Kurnaz & Çalik, 2008).
    b. Model pembelajaran konvensional merupakan model pembelajaran yang bersifat
       linier dan dirancang dari part to whole. Pembelajaran lebih mengarah pada
       product oriented daripada process oriented.
       Pembelajaran yang bersifat regular (model pembelajaran konvensional), artinya
       pemilihan pendekatan, strategi, metode kurang bervariasi. Proses belajar-
       mengajar cenderung dimulai dengan orientasi dan penyajian informasi yang
       berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari siswa, pemberian contoh soal,
       dilanjutkan dengan memberikan tes (Wirtha & Rapi, 2008).
       Nurhadi et al. (dalam Darma, 2007) memberikan beberapa karakteristik
       pembelajaran konvensional, yaitu: (1) siswa adalah penerima informasi secara
       pasif, (2) Siswa belajar secara individual, (3) pembelajaran sangat abstrak dan
       teoretis, (4) rumus yang ada di luar diri siswa harus diterangkan, diterima,
       dihafalkan, dan dilatihkan, (5) siswa secara pasif menerima rumus atau kaidah
       (membaca, mendengarkan, mencatat, dan menghafal) tanpa memberikan
       kontribusi ide dalam proses pembelajaran, (6) keterampilan dikembangkan atas
       dasar latihan-latihan, (7) guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran, (8)
       hasil belajar diukur dengan tes, dan (9) pembelajaran tidak memperhatikan
       pengalaman siswa.
  1.6 Definisi Operasional
       Definisi operasional merujuk pada variabel terikat dalam penelitian, yaitu
  pemahaman konsep. Definisi operasional dari penelitian ini sebagai berikut.
       Secara kuantitatif, Pemahaman konsep adalah skor akhir yang dicapai siswa
  dalam menyelesaikan tes pemahaman konsep. Pemahaman konsep awal adalah skor
  yang diperoleh siswa dalam menyelesaikan tes pemahaman konsep sebelum perlakuan
  dengan model pembelajaran.


II. KAJIAN PUSTAKA

  2.1 Pandangan Konstruktivisme tentang Belajar
       Santyasa (2004a) menyatakan, secara umum pandangan tentang belajar ada tiga,
  yaitu: belajar sebagai penguatan respon, belajar sebagai pemerolehan pengetahuan, dan
  belajar sebagai konstruksi pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, gagasan atau

                                                                                     4
pemikiran guru tidak dapat dipindahkan langsung kepada siswa, melainkan siswa
sendirilah yang harus aktif membentuk pemikiran atau gagasan tersebut dalam otaknya.
     Piaget menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa pengetahuan dibangun
dalam pikiran pelajar. Pengetahuan itu dibangun (dikonstruksi) sambil pebelajar
mengatur pengalaman-pengalamannya yang terdiri atas struktur-struktur mental atau
skemata-skemata yang sudah ada padanya (Suastra, 2004).
     Santyasa (2005b) menyatakan, guru sebagai fasilitator akan memiliki
konsekuensi langsung sebagai perancang model, pelatih dan pembimbing. Di samping
sebagai fasilitator, secara spesifik peranan guru dalam pembelajaran adalah sebagai
expert learner, manager, dan mediator. Sebagai expert learners, guru diharapkan
memiliki pemahaman mendalam tentang materi pembelajaran, menyediakan waktu
yang cukup untuk siswa, menyediakan masalah dan alternatif solusi, memonitor proses
belajar dan pembelajaran, merubah strategi ketika siswa sulit mencapai tujuan,
berusaha mencapai tujuan kognitif, metakognitif, afektif, dan psikomotor siswa.
Sebagai manager, guru berkewajiban memonitor hasil belajar para siswa dan masalah-
masalah yang dihadapi mereka, memonitor disiplin kelas dan hubungan interpersonal,
dan memonitor ketepatan penggunaan waktu dalam menyelesaikan tugas. Dalam hal
ini, guru berperan sebagai expert teacher yang memberi keputusan mengenai isi,
menseleksi proses-proses kognitif untuk mengaktifkan pengetahuan awal dan
pengelompokan siswa. Sebagai mediator, guru memandu mengetengahi antar siswa,
membantu para siswa memformulasikan pertanyaan atau mengkonstruksi representasi
visual dari suatu masalah, memandu para siswa mengembangkan sikap positif terhadap
belajar, pemusatan perhatian, mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan awal,
dan menjelaskan bagaimana mengaitkan gagasan-gagasan para siswa, pemodelan
proses berpikir dengan menunjukkan kepada siswa ikut berpikir kritis.
     Teori     konstruktivisme   menyatakan     bahwa   dalam   proses    pembelajaran,
pebelajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif
mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang
harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara
aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka
untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa. Belajar lebih diarahkan pada
experimental    learning,   yaitu   merupakan    adaptasi   kemanusiaan    berdasarkan
pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian
dielaborasi dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru.



                                                                                     5
Philosofi konstruktivisme menekankan pada pembelajaran yang berpusat pada
siswa (student-centered) yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi siswa untuk
mengkonstruksi pengetahuan mereka secara mandiri sesuai dengan pengalaman,
kemampuan dan tingkat perkembangan individual siswa, baik perkembangan kognitif,
afektif maupun psikomotorik (Sudiarta, 2007).
     Konstruktivisme merupakan landasan berpikir, bahwa pengetahuan dibangun
oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang
terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap
untuk diambil dan diingat. Manusialah yang harus mengkonstruksinya dan memberi
makna melalui pengalaman nyata (Darma, 2007).
     Menurut pandangan konstrukstivis masuknya informasi baru ke dalam skemata
melalui dua mekanisme, yakni asimilasi dan akomodasi. Pada proses asimilasi
seseorang menggunakan struktur kognitif dan kemampuan yang sudah ada untuk
beradaptasi dengan masalah atau informasi baru yang datang dari lingkungannya.
Sedangkan pada proses akomodasi merupakan proses pembentukan skemata baru atau
memodifikasi struktur yang ada supaya struktur kognitif tersebut dapat menyerap
informasi baru yang sedang dihadapi. Ketidaksesuaian struktur kognitif yang dimiliki
seseorang dengan informasi baru yang dihadapi menyebabkan ketidakseimbangan
(disquibrium) dalam struktur kognitifnya. Dalam kondisi seperti ini orang menyadari
bahwa cara berpikirnya bertentangan dengan kejadian yang ada disekitarnya, ia akan
berusaha untuk mereorganisasi struktur kognitifnya agar sesuai dengan informasi baru
yang dihadapinya (Darma, 2007).
     Teori konstruktivisme dapat memberi makna yang signifikan dalam sains, seperti
Biologi, Fisika, dan Kimia karena mata pebelajaran tersebut menekankan pada cara
membuat kesimpulan terhadap fenomena alam melalui eksperimen.
2.2 Belajar dan Pembelajaran Fisika
     Guru dalam kafasitasnya sebagai fasilitator dan mediator mempunyai ciri-ciri: 1)
menyiapkan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya proses pembelajaran dengan
menyajikan problem-problem yang manantang bagi pebelajar, 2) berupaya untuk
menggali dan memahami pengetahuan awal siswa, 3) selalu menggunakan pengetahuan
awal siswa, baik dalam merancang maupun mengimplementasikan program
pembelajaran, 4) berusaha untuk merangsang dan memberi kesempatan yang luas
kepada siswa untuk mengemukakan gagasan-gagasannya, 5) lebih menekankan kepada
argumentasi atas respon siswa daripada benar salahnya respon siswa, 6) tidak
melakukan upaya transfer pengetahuan kepada pebelajar dan selalu sadar bahwa

                                                                                   6
pengetahuan dibangun di dalam pikiran pebelajar, 7) menggunakan strategi
pengubahan konseptual (conceptual change) dalam upaya mengubah miskonsepsi-
miskonsepsi yang dibawa pebelajar menuju konsepsi ilmiah, 8) menyiapkan dan
menyajikan pada saat yang tepat berbagai konflik kognitif (cognitive conflict) dan
contoh tandingan (counter examples) yang dapat mengarahkan pebelajar dalam
mengkonstruksi gagasan-gagasannya menuju pengetahuan ilmiah (Suastra, 2004).
     Paradigma pembelajaran yang merupakan hasil gagasan baru adalah (1) peran
guru lebih sebagai fasilitator, pembimbing, konsultan, dan kawan belajar, (2) jadwal
fleksibel, terbuka sesuai kebutuhan, (3) belajar diarahkan oleh siswa sendiri (Santyasa,
2006b).
     Marzano et al (dalam Santyasa, 2006b), memformulasi dimensi belajar menjadi
lima tingkatan, (1) sikap dan persepsi yang positif terhadap belajar, (2) perolehan dan
pengintegrasian pengetahuan baru, (3) perluasan dan penyempurnaan pengetahuan, (4)
penggunaan pengetahuan secara bermakna, dan (5) pembiasakan berpikir efektif dan
produktif.
     Terkait dengan desain pembelajaran, peran guru adalah mengkreasi dan
memahami model-model pembelajaran inovatif (Santyasa, 2006b).
2.3 Konsepsi Alternatif
     Sebagai manusia, siswa memiliki kecenderungan untuk memahami dunia fisika.
Siswa membangun sendiri konsep-konsep yang naif (polos) sebagai hasil dari observasi
dan investigasi tentang dunia fisika. Bila mereka dihadapkan sebuah masalah dalam
kehidupan sehari-hari, mereka mencoba memecahkannya dengan konsepsi yang naif.
Penelitian pendidikan lebih dari 30 tahun telah menunjukkan bahwa konsepsi yang naif
tersebut, dalam tulisan ini disebut konsepsi alternatif, adalah hal yang umum terjadi
pada banyak siswa terlepas dari umur dan budayanya (Driver; Osborne & Freyberg;
Yeo & Zadnik; dan Petersson, dalam Başer, 2006a).
     Ada tiga domain dinamis dalam sistem kognitif: konsepsi, kategori dan kerangka
berpikir yang memiliki hubungan erat satu sama lain. Konsep-konsep dikembangkan
dengan cara pandang individu atau hipotesis. Kemudian, berdasarkan kategori konsepsi
muncul. Akhirnya, kerangka kerja dihasilkan dengan memperhatikan kategori. Hal ini
berarti bahwa konsep yang benar dan dipahami akan melahirkan pemahaman yang
lebih baik. Karena langkah pertama tergantung pada pengalaman dan hipotesis,
kemungkinan konsep-konsep yang muncul akan berbeda dari yang diterima oleh
komunitas ilmiah. Konsepsi tersebut biasanya disebut miskonsepsi, pra-konsep,
kerangka kerja alternatif, atau konsep anak-anak (Calik & Ayas, 2005). Istilah-istilah

                                                                                      7
tersebut memiliki kemiripan makna (Hirca, Calik, & Akdeniz, 2008). Lebih lanjut,
Stavy (dalam Calik & Ayas, 2005) menunjukkan bahwa terdapat kompetisi yang
dinamis dalam sistem kognitif di mana konsep paling kuat mendominasi. Ini berarti
bahwa jika sebuah konsepsi alternatif ilmiah melampaui satu dalam proses yang
dinamis akan mempengaruhi pemahaman atau struktur berikutnya.
     Pinker (dalam Simamora & Redhana, 2007) mengemukakan bahwa siswa hadir
di kelas umumnya tidak dengan kepala kosong, melainkan mereka telah membawa
sejumlah pengalaman-pengalaman atau ide-ide yang dibentuk sebelumnya, ketika
mereka    berinteraksi   dengan   lingkungannya.    Artinya,   sebelum    pembelajaran
berlangsung sesungguhnya siswa telah membawa sejumlah ide-ide atau gagasan-
gagasan. Mereka menginterpretasikan tentang gejala-gejala yang ada di sekitarnya.
Gagasan-gagasan atau ide-ide yang telah dimiliki oleh siswa sebelumnya ini disebut
dengan prakonsepsi atau konsepsi alternatif. Konsepsi alternatif ini sering merupakan
miskonsepsi (Gardner; Redhana dan Kirna, dalam Simamora & Redhana, 2007).
Kenyatan menunjukkan bahwa konsepsi alternatif siswa sangat resisten terhadap
perubahan (Ronen and Eliahu; Savinainen et al., dalam Baser, 2006b). Dengan
demikian, diperlukan suatu kondisi pembelajaran khusus untuk dapat mengubah
konsepsi alternatif siswa tersebut. Konsepsi alternatif ini akan berubah menjadi
konsepsi ilmiah hanya jika pembelajaran guru menjadi lebih necessary (dibutuhkan),
intelligible (dipahami), plausible (dapat diterima), dan fruitful (produktif) bagi siswa
(Posner, dkk., dalam Simamora & Redhana, 2007).
     Oleh karena itu, konsepsi alternatif dipandang sebagai titik awal bagi pelajaran
selanjutnya, banyak penelitian telah dilaksanakan terhadap berbagai subjek bahasan
seperti, gaya, gerak, energi, daya, usaha, panas, temperatur, massa, berat dan
sebagainya (Kurnaz & Çalik, 2008).
     Pra-konsep yang dimiliki oleh siswa sangat penting untuk diselidiki lebih lanjut,
konsep-konsep yang tidak terstruktur dapat menghasilkan rintangan konseptual untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Konsepsi alternatif timbul disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu: siswa telah mengetahui sebelumnya dari pengalaman hidup sehari-hari,
kurangnya motivasi, guru tidak cukup kompeten, lebih mengutamakan konten daripada
konsep-konsep, buku-buku pelajaran yang mengandung kesalahan, menggunakan
bahasa sehari-hari, bahasa budaya yang sama dengan penyebutan ilmiah namun
mengandung makna yang berbeda dalam berbagai budaya. Bentuk-bentuk miskonsepsi
yang ditemukan oleh peneliti berdasarkan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan



                                                                                      8
bahwa ada ketimpangan antara pengetahuan guru secara teoretis dengan praktiknya
(Urey & Calik, 2008).
     Pengetahuan yang telah dimiliki oleh seseorang sesungguhnya berasal dari
pengetahuan yang secara spontan diperoleh dari interaksinya dengan lingkungan.
Sementara pengetahuan baru dapat bersumber dari intervensi di sekolah yang keduanya
bisa konflik, kongruen, atau masing-masing berdiri sendiri (Suastra, 2004).
2.4 Metode Perubahan Konseptual
     Penelitian yang berkaitan dengan perubahan konseptual siswa sudah dilakukan
mulai awal tahun 1980-an, yaitu ketika kelompok peneliti sains dan ahli psikologi di
universitas Cornell mengembangkan teori perubahan konseptual (Posner, dkk., dalam
Simamora & Redhana, 2007). Hasil-hasil penelitian tentang metode perubahan
konseptual sebagai upaya menanggulangi konsepsi alternatif siswa telah banyak
disarankan oleh para ahli.      Guru hendaknya menerapkan strategi pengubahan
konseptual dalam pembelajaran agar dapat mengatasi konsepsi alternatif siswa (Posnet,
dkk., dalam Simamora & Redhana, 2007). Memberikan persepsi siswa bahwa energi
dan termodinamika merupakan kesulitan memahaminya dan komunitas pendidikan
fisika tidak bersepakat tentang bagaimana mengajarkan konsep-konsep tersebut,
bagaimana seharusnya para pendidik mengajarkan energi dan termodinamika untuk
pelayanan awal guru? Teori perubahan konseptual merupakan salah satu metode untuk
menjembatani kesenjangan antara pengetahuan tentang fenomena keseharian dan
konsep-konsep yang benar secara sains (Gail, Otto & Zitzewitz, 2005).
     Pembelajaran perubahan konseptual yang mendasarkan diri pada paham
konstruktivisme, sesungguhnya adalah pembelajaran yang berbasis keterampilan
berpikir. Pembelajaran perubahan konseptual memfasilitasi siswa untuk berpartisipasi
aktif mengkonstruksi pengetahuannya. Dalam proses tersebut, siswa menguji dan
mereviu ide-idenya berdasarkan pengetahuan awal yang telah dimiliki, menerapkannya
dalam situasi yang baru, dan mengintegrasikan pengetahuan tersebut ke struktur
kognitif yang dimiliki (Santyasa, 2008).
     Pembelajaran perubahan konseptual memiliki enam langkah pembelajaran
(Santyasa, 2004b), yaitu: (1) Sajian masalah konseptual dan kontekstual, (2)
konfrontasi miskonsepsi terkait dengan masalah-masalah tersebut, (3) konfrontasi
sangkalan berikut strategi-strategi demonstrasi, analogi, atau contoh-contoh tandingan,
(4) konfrontasi pembuktian konsep dan prinsip secara ilmiah, (5) konfrontasi materi
dan contoh-contoh kontekstual, dan (6) konfrontasi pertanyaan-pertanyaan untuk
memperluas pemahaman dan penerapan pengetahuan secara bermakna. Sistem sosial

                                                                                     9
yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru sebagai teman belajar siswa,
minimnya peran guru sebagai transmiter pengetahuan, interaksi sosial yang efektif,
latihan menjalani learning to be.
      Umumnya, untuk mencapai perubahan konseptual digunakan beberapa metode
perubahan konseptual, seperti teks bermuatan perubahan konseptual teks, analogi,
lembar kerja, konflik kognitif, dan peta konsep (Urey & Calik, 2008).
      Untuk penelitian selanjutnya, sebuah contoh teks bermuatan perubahan
konseptual disarankan sebagai model untuk memperbaiki konsepsi alternatif yang
disasar (Hirca, Calik, & Akdeniz, 2008).
      Temuan-temuan penelitian terkait dengan pengaruh model pembelajaran terhadap
pemahaman konsep (berorientasi teks) memiliki implikasi sebagai berikut (Santyasa,
2008).
      Pertama, untuk mencapai pemahaman konsep secara mendalam dalam belajar
fisika, model pembelajaran perubahan konseptual dapat diacu sebagai salah satu
alternatif fasilitas belajar siswa. Model pembelajaran perubahan konseptual dapat
diimplementasikan dengan pertanyaan-pertanyaan konseptual untuk membangkitkan
aktivitas metakognisi, berpikir kreatif, kritis, dan berpikir tingkat tinggi.
      Kedua, model pembelajaran perubahan konseptual dapat diimplementasikan
dalam wujud teks perubahan konseptual. Dari segi isi, teks diorientasikan sebagai
media yang mudah dipahami, penyedia informasi baru yang bermanfaat dan berkaitan
dengan dunia nyata, penyedia penjelasan-penjelasan yang dapat membantu siswa
memecahkan masalah belajar, penyedia informasi yang bermanfaat untuk memecahkan
masalah-masalah dalam kehidupan di dunia nyata. Orientasi strategi sajian teks adalah
pada: (1) masalah-masalah yang dapat membangkitkan struktur kognitif yang telah ada
di kepala siswa, (2) alternatif miskonsepsi-miskonsepsi yang berkaitan dengan masalah
tersebut, (3) sangkalan-sangkalan, bila perlu diikuti demonstrasi, atau analogi, atau
contoh-contoh tandingan, atau konfrontasi, untuk memancing konflik, (4) pembuktian
dengan konsep dan prinsip yang ilmiah, (5) contoh-contoh konseptual dan contoh-
contoh dunia nyata, dan (6) pertanyaan-pertanyaan konseptual dan kontekstual untuk
memberi peluang kepada siswa melakukan perluasan dan penerapan pemahaman
secara bermakna dan variatif dalam proses pemecahan masalah.
      Ketiga, setidaknya ada empat kerangka pengembangan pembelajaran perubahan
konseptual untuk pemcapaian pemahaman konsep. (1) Pemilihan topik, (2) penetapan
tujuan-tujuan pemahaman, (3) prediksi unjuk kerja pemahaman, dan (4) penilaian
berkelanjutan. Keempat kerangka pengembangan tersebut dapat dikemas dalam suatu

                                                                                  10
rancangan pembelajaran. Dalam penelitian ini, kemasan pembelajaran mengambil pola
teks model perubahan konseptual.
     Analogi adalah salah satu kegiatan perubahan konseptual untuk meningkatkan
dan untuk memfasilitasi pemahaman siswa dengan menantang ide-ide siswa yang
sudah ada sebelumnya. Penalaran analogi dapat dianggap sebagai proses skema
transfer dari hal yang akrab dengan siswa ke dalam situasi yang tidak dikenal sehingga
analogi dapat memungkinkan siswa untuk menangkap wawasan peristiwa tertentu,
khususnya pada sub-tingkat mikroskopik. Dalam proses ini, semakin besar
pertandingan pengetahuan antara sasaran dan analog terjadi, semakin baik karya
analogi. Sehingga pembelajaran akan lebih bermakna karena siswa sekarang dapat
memvisualisasikan fenomena yang diberikan dengan sesuatu yang meraka sangat
kenal. Sementara melakukan ini, guru harus menekankan bahwa ini hanya penalaran
analogis. Jika tidak, analogi dapat menyebabkan siswa mengembangkan berbagai
konsepsi alternatif (Calik & Ayas, 2005).
     Model pengajaran dalam penelitian ini terdiri dari empat fase: (1) Memunculkan
ide-ide siswa yang sudah ada sebelumnya. Guru berusaha menarik keluar ide-ide siswa
yang sudah ada sebelumnya. (2) Berfokus pada konsep target. Siswa mendebatkan
analogi dalam kelompok-kelompok kecil untuk mengevaluasi ide-ide yang sudah ada
sebelumnya. (3) Menantang ide-ide siswa. Dalam fase ini, seorang guru harus
memverifikasi pengetahuan siswa yang telah dibangun. (4) Menerapkan ide-ide baru
yang dibangun untuk situasi serupa. Siswa diharapkan mampu mengaplikasikan
pengalaman belajar yang baru saja diberikan pada situasi serupa lainnya untuk
meningkatkan hal masuk akal (Calik & Ayas, 2005).
     Sebagai pengajar hendaknya guru menggunakan strategi pengubahan konseptual
(conceptual change) dalam upaya mengubah miskonsepsi-miskonsepsi yang dibawa
pebelajar menuju konsepsi ilmiah dan menyiapkan dan menyajikan pada saat yang
tepat berbagai konflik kognitif (cognitive conflict) beserta contoh tandingan (counter
examples) yang dapat mengarahkan pebelajar dalam mengkonstruksi gagasan-
gagasannya menuju pengetahuan ilmiah (Suastra, 2004). Lebih lanjut suastra
melanjutkan, dalam mengubah miskonsepsi-miskonsepsi siswa menuju konsepsi ilmiah
diperlukan strategi pengubahan konseptual yang tepat dan diberikan pada saat yang
tepat pula. Pengubahan konseptual dapat dilakukan dengan menyajikan konflik kognitif
atau contoh tandingan. Hal ini harus dilakukan dengan hati-hati, jangan sampai konflik
kognitif atau contoh tandingan yang disajikan justru memperkuat stabilitas miskonsepsi
siswa. Konflik kognitif yang diberikan harus mampu menggoyahkan stabilitas

                                                                                   11
miskonsepsi tersebut. Jika siswa sudah menjadi ragu terhadap gagasannya, maka dapat
diharapkan mereka akan mau merekonstruksi gagasannya.
     Dalam kondisi konflik kognitif, siswa dihadapkan pada tiga pilihan, yaitu: (1)
mempertahankan intuisinya semula, (2) merevisi sebagian intuisinya melalui proses
asimilasi, dan (3) merubah pandangannya yang bersifat intuisi tersebut dan
mengakomodasikan pengetahuan baru. Perubahan konseptual terjadi ketika siswa
memutuskan pada pilihan yang ketiga. Agar terjadi proses perubahan konseptual,
belajar melibatkan pembangkitan dan restrukturisasi konsepsi-konsepsi yang dibawa
oleh siswa sebelum pembelajaran (Brook & Brook, dalam Santyasa 2006b).
     Dampak pembelajaran perubahan konseptual adalah: sikap positif terhadap
belajar, pemahaman secara mendalam, keterampilan penerapan pengetahuan yang
variatif. Dampak pengiringnya adalah: pengenalan jati diri, kebiasaan belajar dengan
bekerja, perubahan paradigma, kebebasan, penumbuhan kecerdasan inter dan
intrapersonal (Santyasa, 2006b).
2.5 Model Pembelajaran Konvensional
     Model pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang bersifat regular,
artinya pemilihan pendekatan, strategi, metode kurang bervariasi. Proses belajar-
mengajar cenderung dimulai dengan orientasi dan penyajian informasi yang berkaitan
dengan konsep yang akan dipelajari siswa, pemberian contoh soal, dilanjutkan dengan
memberikan tes (Wirtha & Rapi, 2008).
     Nurhadi et al. (dalam Darma, 2007) memberikan beberapa karakteristik
pembelajaran konvensional, yaitu: (1) siswa adalah penerima informasi secara pasif,
(2) Siswa belajar secara individual, (3) pembelajaran sangat abstrak dan teoretis, (4)
rumus yang ada diluar diri siswa harus diterangkan, diterima, dihafalkan, dan
dilatihkan, (5) siswa secara pasif menerima rumus atau kaidah (membaca,
mendengarkan, mencatat, dan menghafal) tanpa memberikan kontribusi ide dalam
proses pembelajaran, (6) keterampilan dikembangkan atas dasar latihan-latihan, (7)
guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran, (8) hasil belajar diukur dengan tes,
dan (9) pembelajaran tidak memperhatikan pengalaman siswa.
2.6 Model 5E
     Model 5E merupakan versi constructivism yang populer (e.g. Hanuscin & Lee,
dalam Kurnaz & Çalik, 2008), karena setiap "E" mengandung bagian dari proses yang
membantu siswa belajar mengalami dengan urutan yang sesuai dalam menghubungkan
pengetahuan awal dengan konsep baru, model ini terdiri dari: engagement, exploration,
explanation, elaboration, dan evaluation (e.g. Abell & Volkman; Boddy, Watson &

                                                                                   12
Aubusson; Bybee, Taylor, Gardner, Scotter, Powell, Westbrook & Landes, dalam
Kurnaz & Çalik, 2008).
     Bybee et al. (dalam Kurnaz & Çalik, 2008) telah meringkas fase-fase
pembelajaran dalam model 5E, sebagai berikut.
1. Engagement/keterlibatan: untuk mengakses pengetahuan awal siswa, guru
   menyuruh siswa terlibat dalam konsep baru dengan perantaraan aktivitas pendek
   atau pertanyaan yang menampilkan keganjilan dan merangsang keluarnya
   pengetahuan awal. Aktivitas atau pertanyaan diperkirakan membuat sebuah
   hubungan antara pengetahuan awal dan pengalaman belajar saat ini, sehingga guru
   mampu mengorganisir pemikiran siswa ke arah hasil belajar dari aktivitas tersebut.
2. Exploration/penjajakan: siswa menyelesaikan aktivitas lab atau diskusi kelompok
   atau bermain peran atau analogi yang memungkinkan mereka mengekploitasi
   sendiri pengetahuan awal untuk menghasilkan ide-ide baru, pertanyaan penjajakan,
   perkiraan dan implementasi sebuah penyelidikan yang bersifat tentatif.
3. Explanation/penjelasan: fase ini dibutuhkan guru untuk penjajakan lebih lanjut,
   juga memberi kesempatan bagi guru secara langsung memperkenalkan sebuah
   konsep, proses atau keahlian. Selanjutnya, siswa menyampaikan pemahaman
   mereka tentang konsep atau jalan yang benar dan penegasan pengetahuan yang
   tidak benar. Selanjutnya, guru menuntun mereka untuk memegang pemahaman
   yang lebih mendalam, yang merupakan bagian terpenting dari fase ini.
4. Elaboration/penguraian: untuk meneliti pemahaman dan keahlian konseptual siswa,
   siswa   mencoba       memperluas   pengetahuan   terstruktur   yang      baru   untuk
   mempertahankan dan memperluas pemahaman, informasi yang lebih banyak, dan
   keahlian yang cukup. Juga, mereka dapat menerapkan pemahaman mereka tentang
   konsep untuk aktivitas tambahan.
5. Evaluation/mengevaluasi: fase ini mendidik siswa mengakses pemahaman dan
   kemampuan mereka dan memberikan kesempatan bagi guru untuk mengevaluasi
   bagaimana perkembangan siswa terhadap pencapaian tujuan pendidikan.
2.7 Metode Perubahan Konseptual dalam Setting Pembelajaran 5E
     Berdasarkan beberapa hasil penelitian sebelumnya Urey & Calik (2008)
merangkum, menekankan bahwa pengalaman dalam aktivitas nyata adalah lebih efektif
daripada teks-teks perubahan konseptual. Walaupun menggunakan penalaran analogis
atau model yang efisien dalam pengajaran sains, akan tetapi sebagian besar guru tidak
menggunakannya sesering mungkin dan cenderung mengabaikan manfaatnya. Bahkan
jika mereka mencoba untuk mengeksploitasi melalui metode analogi, sering terjadi

                                                                                     13
dalam cara yang tidak direncanakan. Selain itu, literatur terkait menyatakan bahwa
menggunakan hanya satu metode perubahan konseptual mungkin akan membosankan
bagi siswa. Dengan demikian, hal ini dapat mencegah tercapainya hasil yang efektif.
     Karena aktivitas mengajar dapat dipandang sebagai fase penguraian konseptual,
kami mengasumsikan bahwa penerapan teknik perubahan konseptual melalui model 5E
bisa sepenuhnya mengurangi konsepsi alternatif siswa. Model 5E yang mengandung
metode perubahan konseptual merupakan sebuah model pembelajaran bermuatan
perubahan konseptual sebagai sebuah fase pengelaborasian konseptual yang bertujuan
mengurangi konsepsi alternatif siswa (Kurnaz & Çalik, 2008).
2.8 Hasil Penelitian yang Relevan
     Karena faham konstruktivis tidak hanya menitik beratkan pada pengetahuan awal
siswa tetapi juga mengikutsertakan keaktifan siswa, kebanyakan penelitian yang
didanai memberikan perhatian lebih pada dua issu: 1) konsepsi alternatif siswa, dan 2)
perubahan konseptual (Kurnaz & Çalik, 2008).
     Memperbaiki konsepsi alternatif telah dikembangkan oleh penelitian saat ini,
pendekatan pembelajaran yang baru dapat diperoleh dengan penggabungan metode
pembelajaran, seperti modeling, simulasi komputer, pemetaan konsep, analogical
reasoning, dan teks bermuatan perubahan konsep (Hirca, Calik, & Akdeniz, 2008).
     Taylor and Coll (dalam Kurnaz & Çalik, 2008), mengkritik bahwa konflik
kognitif mungkin penyebab mengurangi keyakinan siswa, meskipun memiliki banyak
keuntungan untuk mencapai perubahan konseptual. Hal yang sama, jika teknik
konseptual, seperti teks bermuatan perubahan konseptual, analogi, lembar kerja (LKS),
dll. Seringkali dalam pengerjaannya dilakukan sendiri oleh siswa, siswa bisa bosan.
Oleh karena hanya menggunakan salah satu teknik, mungkin akan memiliki harapan
kecil mencapai hasil yang efektif (Çalık; Dole; Huddle, White & Rogers, dalam Kurnaz
& Çalik, 2008). Selain itu, walaupun kenyataan menyatakan bahwa teks perubahan
konseptual adalah efektif dalam perbaikan konsepsi alternatif siswa, kegiatan langsung
atau pengalaman belajar secara langsung bisa lebih efektif (Chambers & Andre, 1997
dalam Kurnaz & Çalik, 2008). Karena aktivitas mengajar dapat dipandang sebagai fase
penguraian konseptual, kami mengasumsikan bahwa penerapan teknik perubahan
konseptual melalui model 5E bisa sepenuhnya mengurangi konsepsi alternatif siswa.
Sehingga, penulis merekomendasikan sebuah cara baru untuk menghadapi konsepsi
alternatif dimana metode yang lain (conceptual change text, change theory of Posner,
Lembar kerja siswa (LKS), a design program, etc.) gagal untuk mencapai yang
seharusnya (Kurnaz & Çalik, 2008).

                                                                                      14
2.9 Kerangka Berpikir
      Berdasarkan kajian teoretis di atas, konstruktivisme adalah landasan berpikir
bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya
diperluas, sehingga pengetahuan dapat berkembang dalam konteks tertentu. Jadi,
pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep-konsep, atau teori-teori yang dapat
ditransfer begitu saja dari seseorang ke orang lain. Pengetahuan dibangun dalam
pikiran manusia menggunakan struktur kognitif dan kemampuan yang dimilikinya
sebagai upaya beradaptasi terhadap masalah dan pengalaman yang dihadapi dalam
kehidupannya, dan sebagai upaya pembentukan skemata-skemata baru atau
memodifikasi informasi baru yang ditemuinya. Ketidaksesuaian antara skemata yang
dibangun dengan informasi yang ditemui akan menimbulkan konflik kognitif dalam
diri mereka. Dengan demikian, mereka akan berusaha mengatur kembali struktur
kognitifnya agar sesuai dengan informasi baru yang dihadapi.
      Jadi, menurut paham konstruktivisme, pengetahuan dibangun dalam pikiran
pelajar/siswa dan belajar merupakan sebuah upaya mengkonstruksi pengetahuan. Oleh
karena itu, dalam proses belajar mengajar siswalah yang berperan aktif sebagai
pencipta gagasan-gagasan, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan mediator
yang seyogyanya memberikan bimbingan dan memilih serta merancang model yang
sesuai sehingga tercipta proses belajar dalam diri siswa.
      Siswa sejak awal telah membawa konsepsi alternatif khususnya mengenai
fenomena-fenomena alam yang mereka temuai dalam kehidupan sehari-hari. Konsepsi
alternatif ini biasanya jauh dari kebenaran ilmiah, yang diperoleh sendiri oleh siswa
sebagai hasil proses asimilasi dari pengetahuan awal dan pengalamannya, dari buku-
buku bacaan yang mereka baca serta gagasan budaya mereka. Kenyataan menunjukkan
konsepsi alternatif siswa sangat resisten terhadap perubahan, maka pengubahan
konsepsi alternatif siswa mungkin dilakukan.
      Namun, dalam pembelajaran fisika sampai saat ini guru masih dominan memilih
cara konvensional. Kesan model pembelajaran konvensional cenderung bersifat one
way learning yang memusatkan perhatian siswa sepenuhnya kepada guru teacher
centered sehingga yang aktif di sini hanya guru, sedangkan siswa hanya tunduk
mendengarkan penjelasan yang dipaparkan oleh guru.
      Pembelajaran konvensional bersifat regular, artinya pemilihan pendekatan,
strategi, metode kurang bervariasi. Proses belajar-mengajar cenderung dimulai dengan
orientasi dan penyajian informasi yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari
siswa, pemberian contoh soal, dilanjutkan dengan memberikan tes. Sehingga tidak

                                                                                  15
terjadi pembelajaran yang necessary (dibutuhkan), intelligible (dipahami), plausible
(dapat diterima), dan fruitful (produktif) bagi siswa.
      Para ahli banyak menyarankan untuk melakukan pengubahan konsepsi alternatif
siswa menggunakan pendekatan perubahan konseptual. Hasil penelitian telah banyak
menunjukkan hal tersebut. Ada beberapa metode perubahan yang sudah dilaksanakan
untuk tujuan pengubahan konsepsi alternatif siswa, seperti metode analogi yang telah
diteliti oleh Calik dan Ayas (2005), teks bermuatan perubahan konseptual diteliti oleh
Hirca, Calik dan Akdeniz (2008), konflik kognitif, peta konsep, dan lembar kerja.
      Hanya saja, pendidik cenderung memilih salah satu metode secara berkelanjutan.
Mereka hanya menggunakan metode analogi saja, teks bermuatan perubahan
konseptual saja, atau konflik kognitif saja. Di mana keefektifannya penggunaannya
masih belum memadai. Walaupun menggunakan penalaran analogis atau model yang
efisien dalam pengajaran sains, akan tetapi sebagian besar guru tidak menggunakannya
sesering mungkin dan cenderung mengabaikan manfaatnya, atau sering terjadi dalam
cara yang tidak direncanakan. Menggunakan hanya satu metode perubahan konseptual
mungkin akan membosankan bagi siswa. Jika pola linier atau tidak bervariasi ini
dipertahankan, maka tidak ada bedanya dengan pelaksanaan pembelajaran secara
konvensional, walaupun muatannya berbeda.
      Sebagai mana disarankan oleh Kurnaz & Calik (2008), karena aktivitas mengajar
dapat dipandang sebagai fase penguraian konseptual, mereka mengasumsikan bahwa
penerapan teknik perubahan konseptual melalui model 5E bisa sepenuhnya mengurangi
konsepsi alternatif siswa. Dinama model pembelajaran ini dilaksanakan dalam tahapan
yang membantu siswa belajar mengalami dengan urutan yang sesuai dalam
menghubungkan pengetahuan awal dengan pengalaman belajar saat ini.
2.10Hipotesis Penelitian
      Setelah melakukan kajian pustaka dari berbagai sumber yang terpercaya, maka
dapat dirumuskan hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini, sebagai berikut.
      Terdapat perbedaan pemahaman konsep antara siswa yang belajar melalui
metode perubahan konseptual dalam setting model 5E dengan siswa yang belajar
melalui model pembelajaran konvensional.




                                                                                    16
III. METODE PENELITIAN

  3.1 Jenis Penelitian
       Penelitian eksperimen (Experimental Research) merupakan kegiatan penelitian
  yang bertujuan untuk menilai pengaruh suatu perlakuan/ tindakan/treatment pendidikan
  terhadap tingkah laku siswa atau menguji hipotesis tentang ada-tidaknya pengaruh
  tindakan itu bila dibandingkan dengan tindakan lain (Supardi, 2008).
       Jenis penelitian eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
  penelitian eksperimen semu (quasi eksprimen), karena tidak semua variabel yang
  muncul dan kondisi eksprimen dapat dikontrol secara ketat (full randomize). Salah satu
  ciri dari penelitian ini adalah ketidakmampuan meletakkan subjek secara random pada
  kelompok eksperimental atau kelompok kontrol. Yang dapat dilakukan peneliti adalah
  mencari kelompok subjek yang diterpa variabel bebas (Hasan, 2002).
  3.2 Desain Penelitian
       Desain penelitian ini adalah non-equivalent pretest-posttest control group design.
  Desain penelitian ini dipilih karena penelitian eksperimen semu tidak memungkinkan
  untuk merandom subjek yang ada pada setiap kelas secara utuh. Skor pretest berfungsi
  sebagai kovariat untuk melakukan kontrol secara statistik. Desain penelitian yang
  digunakan pada penelitian ini dapat diperhatikan pada Gambar berikut.
                                  O1            X1             O2
                                   --------------------------------

                                  O3            X2             O4
            One way pretest-postttest nonequivalent control group design
                                  (Santyasa, 2006a)

  Berdasar gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa O1 dan O3 merupakan pengamatan
  awal dengan pretest sebelum diberikan perlakuan, X1 merupakan perlakuan yang
  diberikan pada kelas kontrol dengan model pembelajaran konvensional, X2 merupakan
  perlakuan yang diberikan pada kelas eksperimen dengan model pembelajaran 5E
  bermuatan metode perubahan konseptual, O2 dan O4 merupakan pengamatan akhir
  dengan posttest setelah diberikan perlakuan X1 ataupun X2.
  3.3 Populasi dan Sampel
       Populasi adalah semua anggota kelompok manusia, peristiwa atau benda yang
  tinggal bersama dalam suatu tempat dan secara terencana menjadi target kesimpulan
  dari hasil akhir suatu kesimpulan (Sukardi, 2004). Populasi dalam penelitian ini adalah
  seluruh siswa-siswi kelas X SMA Lab Undiksha Singaraja semester genap tahun ajaran
  2009/2010 yang terdistribusi dalam kelas-kelas populasi.

                                                                                      17
Sampel adalah bagian dari populasi yang mempunyai ciri-ciri atau keadaan
tertentu yang akan diteliti (Riduwan, 2005). Pengambilan sampel dalam penelitian ini
menggunakan teknik simple group random sampling. Teknik ini dipilih karena
populasi terdistribusi dalam kelas yang sudah ditentukan sebelumnya, sehingga tidak
memungkinkan untuk melakukan pengacakan terhadap individu dalam populasi.
Masing-masing kelas X SMA Lab Undiksha Singaraja memiliki peluang yang sama
untuk menjadi sampel penelitian. Pemilihan sampel dalam penelitian ini menggunakan
teknik undian, jumlah sampel yang diambil sebanyak dua kelas yang terdiri dari kelas
eksperimen dan kelas kontrol.
3.4 Variabel Penelitian
     Variabel diartikan sebagai suatu konsep yang memiliki nilai ganda atau dengan
perkataan lain variabel merupakan suatu variabel yang jika diukur akan menghasilkan
skor yang bervariasi (Riyanto, 2001). Inti dari penelitian adalah mencari hubungan
antara berbagai variabel. Hubungan yang paling dasar adalah hubungan antara dua
variabel bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent variable).
Variabel bebas juga sering disebut variabel pengaruh (Narbuko & Achmadi, 2005).
Penelitian ini menyelidiki pengaruh dua variabel independen terhadap satu variabel
dependen. Kedua variabel independen tersebut meliputi variabel non metrik sebagai
perlakuan dan variabel metrik sebagai kovariat (Sugiyono, 2008). Variabel perlakuan
meliputi model 5E bermuatan perubahan konseptual dan model pembelajaran
konvensional yang diberikan peneliti kepada sampel, baik pada kelas kontrol maupun
kelas eksperimen. Kovariat dalam penelitian ini adalah skor pretest berupa pemahaman
konsep yang diberikan kepada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sebelum
dimanipulasi dengan model pembelajaran. Variabel dependennya adalah pemahaman
konsep siswa yang dapat dilihat dari skor posttest yang diberikan kepada kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol setelah dimanipulasi dengan model pembelajaran.
3.5 Perlakuan Penelitian
     Penelitian ini menggunakan dua kelompok sampel yaitu kelas eksperimen dan
kelas kontrol. Kelompok eksperimen dikenakan rancangan model 5E bermuatan
perubahan konseptual, sedangkan kelompok kontrol dikenakan rancangan model
pembelajaran konvensional. Model konvensional disesuaikan dengan model yang
diterapkan di sekolah tempat di mana observasi dan orientasi dilaksanakan.
3.6 Prosedur Penelitian
     Adapun prosedur dalam penelitian ini dilaksanakan dalam langkah-langkah
sebagai berikut.

                                                                                  18
1) Menentukan sekolah tempat penelitian.
2) Melaksanakan     orientasi    dan    observasi   terhadap   rancangan    pelaksanaan
   pembelajaran dan kegiatan belajar mengajar di kelas serta wawancara dengan guru
   mata pelajaran fisika di sekolah tempat melakukan penelitian. Setelah komfirmasi
   dengan pihak sekolah, maka dilanjutkan dengan penentuan sampel penelitian.
3) Merancang perangkat pembelajaran dan instrumen, yang terdiri atas rencana
   pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan lembar kerja siswa (LKS) sesuai dengan
   model pempelajaran yang digunakan, serta tes pemahaman konsep.
4) Melaksanakan uji coba instrumen yang akan digunakan dalam penelitian,
   dilanjutkan dengan uji validitas isi, konsistensi internal butir, konsistensi internal
   tes, daya beda, dan tingkat kesukaran soal.
5) Melakukan revisi dan penyempurnaan instrumen yang telah diujikan, melalui
   konsultasi dengan guru pembimbing. Setelah melalui revisi dan penyempurnaan
   butir soal ini, maka akan dihasilkan beberapa butir soal yang benar-benar layak
   untuk digunakan sebagai tes pemahaman konsep.
6) Memberikan pretest kepada kelas eksperimen dan kelas kontrol secara bersamaan
   untuk mengetahui pemahaman konsep awal yang dimiliki oleh siswa.
7) Mengadakan revisi pada perangkat pembelajaran yang terdiri dari RPP dan LKS
   baik yang akan diberikan pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol
   berdasarkan informasi yang diperoleh dari pemberian pretest mengenai pemahaman
   konsep awal siswa pada masing-masing kelompok kelas.
8) Memberikan perlakuan berupa penerapan model pembelajaran bermuatan
   perubahan    konseptual      pada   kelas   eksperimen   dan   model    pembelajaran
   konvensional pada kelas kontrol.
9) Memberikan posttest kepada kelas eksperimen dan kelas kontrol secara bersamaan
   untuk mengetahui pemahaman konsep siswa setelah diberikan perlakukan.
10) Menganalisis hasil penelitian untuk menguji hipotesis yang diajukan apakah
   hipotesis yang telah diajukan diterima atau ditolak.




                                                                                      19
Secara sistematis prosedur penelitian dapat digambarkan seperti pada gambar berikut ini.
                      Penentuan sekolah tempat penelitian


                                   Observasi & Orientasi


                       Rancangan             Kegiatan        Penentuan
                       pelaksanaan            belajar         sampel
                      pembelajaran           mengajar



                      Perangkat                           Instrumen
                    pembelajaran
                                                             Tes
                      RPP          LKS                    pemahaman
                                                            konsep



                                           Uji Coba
                                          Instrumen

    Validitas      Konsistensi             Konsistensi          Indeks daya       Indeks
       isi        internal butir           internal tes            beda       kesukaran butir




                               Revisi & Penyempurnaan

                                    Tes Pemahamaan konsep



                                            Pre-test


                                       Revisi perangkat
                                        pembelajaran

                                          RPP       LKS



                                          Memberikan
                                           perlakuan

                                     Kontrol         Eksperimen



                                           Post-test

                                         Analisis data
                                                                                                20
3.7 Instrumen Penelitian
      Instrumen penelitian adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti
dalam kegiatan mengumpulkan data, agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan
dipermudah olehnya (Riduwan, 2004). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
adalah tes pemahaman konsep.
      Langkah-langkah penyusunan tes pemahaman konsep adalah sebagai berikut: (1)
mengidentifikasi standar kompetensi; (2) mengidentifikasi kompetensi dasar; (3)
mengidentifikasi indikator pembelajaran; (4) menyusun kisi-kisi tes hasil belajar; (5)
menentukan kriteria penilaian; (6) penulisan butir-butir tes; (7) uji ahli; (8) uji coba tes
di lapangan; (9) analisis hasil uji coba tes di lapangan; (10) revisi butir soal; dan (11)
finalisasi instrumen. Kriteria penilaian tes pemahaman konsep menggunakan rubrik
penilaian seperti yang dikembangkan oleh Santyasa (2006b).


                      Rubrik Penilaian Pemahaman Konsep
  Skor                                 Kriteria
   4   Menjawab benar, menunjukkan alasan yang benar disertai bukti-bukti,
       prinsip, formulasi atau perhitungan.
   3   Menjawab benar dan menunjukkan alasan yang benar.
   2   Menjawab benar, tetapi tidak menunjukkan alasan, atau menunjukkan
       alasan yang salah atau miskonsepsi
   1   Menjawab tetapi salah atau miskonsepsi
   0   Tidak menjawab

      Untuk mendapatkan data digunakan instrumen sebagai berikut.
                              Teknik
    Jenis       Sumber                                Validitas
                           Pengumpulan Instrumen                              Waktu
    Data         Data                                Instrumen
                               Data
Pemahaman       Siswa         Pretest  Tes         a) Validitas              Sebelum
konsep                                 pemahaman       isi                   dan
                                       konsep (tes b) Konsisten
                                       pilihan         si internal
                                       ganda       c) Daya
                                       diperluas)      beda
                                                   d) Tingkat
                                                       kesukaran
                                                       .
Pemahaman       Siswa        Posttest  Tes         a) Validitas              sesudah
konsep                                 pemahaman       isi                   perlakuan
                                       konsep (tes b) Konsisten
                                       pilihan         si internal
                                       ganda       c) Daya
                                       diperluas)      beda
                                                   d) Tingkat
                                                       kesukaran

                                                                                         21
.



3.8 Uji Coba Instrumen Penelitian
        Uji coba instrumen merupakan langkah yang sangat penting dalam proses
pengembangan instrumen, karena dari uji coba instrumen inilah diketahui informasi
mengenai mutu instrumen yang dikembangkan itu (Suryabrata, 2006).
3.8.1    Validitas Isi
        Validitas isi adalah validitas yang ditilik dari segi isi tes itu sendiri sebagai alat
pengukur hasil belajar yaitu: sejauh mana tes hasil belajar sebagai alat pengukur hasil
belajar peserta didik, isinya telah dapat mewakili secara representatif terhadap
keseluruhan materi atau bahan pelajaran yang seharusnya diujikan (Sudijono, 2005).
Menurut Arikunto (2005) sebuah tes dikatakan memiliki validitas isi jika mampu
mengukur tujuan khusus tertentu yang sejajar dengan materi atau isi pelajaran yang
diberikan. Validitas isi ditegakkan pada langkah telaah dan revisi butir pertanyaan/butir
pernyataan, berdasarkan pendapat profesional (professional judgment) para penelaah
(Suryabrata, 2006).
        Gay (dalam Santyasa, 2005a) menyatakan bahwa validitas isi (content validity)
adalah derajat pengukuran yang mencerminkan domain isi yang diharapkan. Validitas
isi cukup diestimasi berdasarkan pertimbangan ahli isi. Sebagai ahli isi dapat ditunjuk
seorang guru pada bidang studi yang sama yang memiliki kualifikasi dan pengalaman
kerja yang cukup. Pertimbangan ahli tersebut dianggap cukup representatif sebagai
dasar untuk memutuskan bahwa tes yang dikembangkan telah memenuhi syarat
validitas isi. Di samping pemeriksaan oleh teman sejawat yang dianggap sebagai ahli,
tes juga perlu diuji keterbacaannya ditinjau dari pemakai (siswa). Prosedur ini
dilakukan melalui uji kelompok kecil dan kelas yang sesungguhnya (Santyasa, 2005a).
3.8.2    Konsistensi Internal Butir
        Menurut Gay (dalam Santyasa, 2005a), konsistensi internal butir adalah derajat
konsistensi pengukuran yang ditampilkan oleh butir terhadap apa yang ingin diukur.
Konsistensi butir berkenaan dengan tingkatan atau derajat yang menunjukkan seberapa
jauh butir dapat mengukur secara konsisten apa yang seharusnya diukur.
        Konsistensi internal butir dapat diestimasi dari indeks korelasi antara skor butir
dan skor total (Long et al, dalam Santyasa, 2005a). Indeks korelasi butir-total dapat
dihitung dengan formula Pearson Product Momen (Arikunto, 2005) adalah sebagai
berikut.


                                                                                           22
N ∑ XY − ( ∑ X )( ∑Y )
                         rxy =
                                 [N ∑ X   2
                                              − (∑X )
                                                        2
                                                            ] [N ∑Y               2
                                                                                      − ( ∑Y )
                                                                                                 2
                                                                                                     ]

Keterangan:
   rxy : koefesien korelasi
   N      : jumlah sampel
   X      : skor butir
   Y      : skor total
Dengan kriteria standar (Mehrens, dalam Santyasa, 2005a) sebagai berikut.
   rxy > 0,30 berarti valid (dapat langsung digunakan)
   0,20 ≤ rxy ≤ 0,30 berarti valid tetapi harus direvisi kembali
   rxy ≤ 0,20 berarti tidak valid (gugur)
3.8.3    Konsistensi Internal Tes
        Dalam Suryabrata (2006) dinyatakan bahwa reliabilitas instrumen merujuk
kepada konsistensi hasil perekaman data (pengukuran) kalau instrumen itu digunakan
oleh orang atau kelompok orang yang sama dalam waktu berlainan atau kalau
instrumen itu digunakan oleh orang atau kelompok orang yang berbeda dalam waktu
yang sama atau dalam waktu yang berlainan. Karena hasilnya yang konsisten itu, maka
instrumen itu dapat dipercaya (reliable) atau dapat diandalkan (dependable).
        Wiersma (dalam Santyasa, 2005a) menyatakan konsistensi internal tes
(reliabilitas tes) berarti “konsistensi dari tes dalam mengukur apa yang seharusnya
diukur”. Pengukuran konsisten berarti akan memberikan hasil yang sama untuk subjek
yang sama pada waktu yang berbeda. Koefesien reliabilitas tes dapat bernilai antara
0,00-1,00. Gay (dalam Santyasa, 2005a) menyatakan “reliabilitas tes adalah derajat
pada mana suatu tes dapat mengukur secara konsisten apa yang seharusnya diukur”.
        Konsistensi internal tes (Reliabilitas internal tes) dapat ditentukan dengan
beberapa metode, (1) metode belah dua, (2) metode Kuder-Rechadson 20 (K-R 20), (3)
metode KR 21, dan (4) koefisien alfa Cronbach. Metode belah dua dapat ditempuh
dengan prosedur ganjil-genap. Indeks korelasi tes ganjil-genap dapat dihitung dengan
formula product moment, sedangkan indeks korelasi keseluruhan tes dapat dihitung
dengan formula Spearman- Brown (Mehrens & lehmann, dalam Santyasa, 2005a),
                                                            2r1       1
                                                rxy =                     2
                                                                  2


                                                        1 + r1            1
                                                                      2       2




                                                                                                         23
Dengan rxy = indeks korelasi keseluruhan tes, r12 1 2 = indeks korelasi setengah

dari jumlah tes keseluruhan.
        Menurut Long et al. (dalam Santyasa, 2005a), kriteria yang dapat diacu adalah
koefesien reliabilitas ≥ 0,80 menyatakan tes tersebut acceptable. Oleh karena koefesien
reliabilitas secara wajar bergerak pada interval 0,00-1,00, maka kriteria-kriteria:
0,00-0,20 adalah sangat rendah, 0,20-0,40 rendah, 0,40-0,60 sedang, 0,60-0,80 tinggi,
dan 0,80-1,00 sangat tinggi dapat pula diacu sebagai kriteria penolakan atau
penerimaan reliabilitas internal. Tes hasil belajar dengan indek reliabilitas berada pada
kategori sedang, tinggi, dan sangat tinggi ditoleransi untuk diterima sebagai perangkat
tes yang relatif baku.
3.8.4    Indeks Daya Beda
          Daya beda tes adalah kemampuan suatu tes tersebut dalam memisahkan antara
subyek yang pandai dengan subyek yang kurang pandai dalam suatu kelompok. Dalam
mencari daya beda subjek peserta tes dipisahkan menjadi dua sama besar berdasarkan
atas skor total yang mereka peroleh (Arikunto, 2005). Santyasa (2005a) menyatakan
bahwa sebelum menentukan daya beda tes terlebih dahulu ditentukan kelompok atas
dan kelompok bawah. Kelompok atas (KA) dan kelompok bawah (KB) dari skor-skor
siswa yang telah diurutkan. Jumlah KA atau KB disesuaikan dengan jumlah responden
seluruhnya.
          Untuk mengetahui daya beda item tes hasil belajar digunakan formulasi
Mehrens dan Lehman (Santyasa, 2005a) sebagai berikut.

                IDB =
                              ∑H − ∑L
                         N ( Scoremx − Scoremin )

Keterangan:

    ∑H          = jumlah skor kelompok atas,

    ∑L          = jumlah skor kelompok bawah,
   N            = jumlah responden kelompok atas atau kelompok bawah,
   Scoremx      = skor tertinggi butir, dan
   Scoremin     = skor terendah butir.
Kriteria IDB dapat diacu, dengan rentangan berikut.
   IDB = 0,00-20,00 adalah sangat rendah
   IDB = 0,20-0,40 adalah rendah
   IDB = 0,40-0,60 adalah sedang
   IDB = 0,60-0,80 adalah tinggi

                                                                                      24
IDB = 0,80-1,00 adalah sangat tinggi
3.8.5   Indeks Kesukaran Butir
         Bermutu atau tidaknya butir-butir item tes hasil belajar pertama-tama dapat
diketahui dari derajat kesukaran yang dimiliki oleh masing-masing butir item tersebut.
Butir-butir item tes hasil pelajar dapat dinyatakan sebagai butir-butir yang baik,
apabila derajat kesukaran item itu adalah sedang atau cukup (Sudijono, 2005).
Menghitung digunakan formula sebagai berikut.
                 R
         IKB =     100%
                 T
         dengan IKB = Ideks Kesukaran Item, R = jumlah responden yang menjawab
benar, dan T = jumlah responden seluruhnya. IKB dapat bernilai 0,00-1,00; IKB: 0,00
– 0,20 adalah sangat sukar, 0,20-0,40 sukar, 0,40-0,60 sedang, 0,60-0,80 mudah, dan
0,80-1,00 sangat mudah. Biasanya butir yang ditoleransi sebagai tes standar adalah
yang memiliki IKB = 0,30-0,70 (Santyasa, 2005a).
3.9 Teknik Analisis Data
        Dalam penelitian ini, digunakan dua teknik analisis yaitu analisis statistik
deskriptif dan analisis kovarian.
3.9.1    Analisis deskriptif
        Teknik ini    digunakan untuk mendeskripsikan skor rata-rata dan simpangan
baku. Skor rata-rata dan simpangan baku yang dideskripsikan adalah skor rata-rata dan
simpangan baku pemahaman konsep yang diperoleh dari hasil pretest dan posttest.
        Data tentang prior knowledge siswa dianalisis secara kulitatif yang kemudian
didekripsikan secara naratif. Persentase jumlah siswa pada setiap jawaban per soal
pemahaman konsep dengan alasan yang dikemukakan siswa, digunakan untuk
mengetahui prior knowledge          dan pemahaman konsep siswa. Sedangkan jumlah
pemahaman siswa per individu pada seluruh soal pemahaman konsep digunakan
untuk menggali hasil perubahan konseptual siswa.
        Data dideskripsikan dengan menggunakan pedoman konversi normal absolut
skala lima seperti yang disajikan dalam Tabel berikut.
                     Tabel Pedoman Konversi Nilai Absolut Skala Lima

                 Tingkat Penguasaan              Kualifikasi
                       85-100                    Sangat Baik
                        70-85                       Baik
                        55-70                      Cukup
                        40-55                      Kurang
                         0-40                  Sangat Kurang
                                                (Nurkancana & Sunartana, 1992)

                                                                                   25
3.9.2    Teknik analisis kovarian (ANAKOVA)
        Teknik ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara kovariat
dengan hasil belajar berupa pemahaman konsep siswa. Analisis ini akan digunakan
untuk menguji hipotesis. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kovarian
(ANAKOVA) satu jalur yang melibatkan dua variabel bebas dan satu variabel terikat.
Analisis kovarian dalam metode statistik yang memberikan pengendalian terhadap
variabel-variabel luar yang mempengaruhi hubungan antara variabel bebas dan
variabel terikat (Furchan, 2004). Tujuan digunakan analisis kovarian adalah untuk (1)
meningkatkan ketelitian eksperimen dan (2) untuk menghilangkan sumber-sumber
kesalahan dalam eksperimen (Winer, dalam Rusmayani, 2005). Perhitungan anakova
satu jalur menggunakan bantuan SPSS 13.0 for Windows. Semua pengujian hipotesis
dilakukan pada taraf signifikansi 5%. Sebelum melakukan analisis data, terlebih
dahulu data yang diperoleh diuji liniearitas, normalitas, homogenitasnya.
3.9.3    Uji Iiniearitas
        Uji keliniearan dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa rata-rata yang
diperoleh tiga atau lebih kelompok data sampel terletak dalam garis-garis lurus
(Candiasa, 2006). Uji liniearitas dilakukan dengan mencari persamaan garis regresi
variabel bebas x terhadap variabel terikat y (Candiasa, 2004). Uji linearitas data dapat
dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah berikut ini (Riduwan, 2006).
a) Menentukan jumlah kuadrat regresi ( JK reg ( a ) ) dengan rumus berikut ini.


             JK reg ( a )   =
                              ( ∑ Y)   2


                                n
b) Menentukan jumlah kuadrat regresi ( JK reg ( b a ) ) dengan rumus berikut ini.

                                
                                       ( ∑ X )( ∑ Y ) 
                                                       
             JK reg ( b a ) = b ∑ XY −                
                                
                                            n         
                                                       
c) Menentukan jumlah kuadrat residu ( JK res ) dengan rumus berikut.

             JK res = ∑ Y 2 − JK reg ( b a ) − JK reg ( a )

d) Menentukan rata-rata jumlah kuadrat residu ( RJK res ) dengan rumus berikut ini.
                             JK res
             RJK res =
                             n−2
e) Menentukan jumlah kuadrat error ( JK E ) dengan rumus berikut ini.




                                                                                      26

                            ( ∑ Y) 2 
                                      
             JK E = ∑ ∑ Y −
                          2
                                      
                    K          n 
                                     
f) Menentukan kuadrat tuna cocok ( JK TC ) dengan rumus berikut ini.
             JK TC = JK res − JK E

g) Menentukan rata-rata jumlah kuadrat tuna cocok ( RJK TC ) dengan menggunakan
   rumus berikut ini.
                          JK TC
             RJK TC =
                          k−2
h) Menentukan rata-rata jumlah kuadrat error ( RJK E ) dengan menggunakan rumus
   berikut ini.
                         JK E
             RJK E =
                         n−k
i) Menentukan nilai Fhitung dengan menggunakan rumus berikut ini.
                         RJK TC
             Fhitung =
                         RJK E
j) Menetapkan taraf signifikansi uji 0,05.
Kriteria pengujiannya adalah kelinieran dipenuhi oleh data jika angka signifikansi
yang diperoleh kurang dari 0,05 dan sebaliknya jika angka signifikansi yang diperoleh
lebih dari 0,05 maka kelinieran tidak dipenuhi (Candiasa, 2006).

3.9.4    Uji Normalitas
        Uji normalitas sebaran data dilakukan untuk meyakinkan bahwa data yang
dihasilkan dalam penelitian benar-benar berdistribusi normal sehingga uji hipotesis
dapat dilakukan. Uji normalitas sebaran data menggunakan statistik Kolmogorov-
Smirnov test dan Shapiro-Wilk test (Candiasa, 2004). Kriteria pengujiannya adalah
data memiliki sebaran distribusi normal jika angka signifikansi yang diperoleh lebih
besar dari 0,05 dan dalam hal lain sebaran tidak berdistribusi normal.
3.9.5    Uji Homogenitas Varian
        Uji homogenitas varian antara kelompok digunakan untuk mengukur apakah
sebuah kelompok data mempunyai varians yang sama di antara anggota kelompok
tersebut sehingga perbedaan yang terjadi dalam uji hipotesis benar-benar berasal dari
perbedaan perlakuan, bukan akibat dari perbedaan yang terjadi di dalam kelompok.
        Uji homogenitas varians antar kelompok menggunakan Levene’s Test of
Equality of Error Variance (Candiasa, 2004). Kriteria pengujian yang digunakan


                                                                                   27
adalah data memiliki varians yang sama (homogen), jika angka signifikan yang
dihasilkan lebih besar dari 0,05 dan dalam hal lain variasi sampel tidak sama
(heterogen).
        Menurut Sudjana (2005) jika data yang akan dianalisis tersebut tidak memenuhi
kriteria uji normalitas dan homogenitas maka data tersebut harus dianalisis dengan
menggunakan statistik non parametrik yaitu tes Kruskal-Wallis untuk desain satu jalur.
3.9.6    Uji Hipotesis Penelitain
        Hipotesis yang diajukan dan diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
 H 0 : [ µ m1Y ] = [ µ m 2Y ] : Tidak terdapat perbedaan pemahaman konsep antara siswa yang

                        belajar dengan menggunakan metode perubahan konseptual
                        dalam seting model pembelajaran 5E dengan siswa yang belajar
                        dengan menggunakan model pembelajaran konvensional dalam
                        pembelajaran fisika.
H 1 : [ µ m1Y ] ≠ [ µ m 2Y ] : Terdapat perbedaan pemahaman konsep antara siswa yang

                        belajar dengan menggunakan metode perubahan konseptual
                        dalam seting model pembelajaran 5E dengan siswa yang belajar
                        dengan menggunakan model pembelajaran konvensional dalam
                        pembelajaran fisika.
  Keterangan:
   µ m1Y : rata-rata pemahaman konsep siswa yang mengikuti pembelajaran dengan
            menggunakan      metode    perubahan    konseptual    dalam    seting   model
            pembelajaran 5E.
   µ m2Y : rata-rata pemahaman konsep siswa yang mengikuti pembelajaran dengan
            menggunakan model pembelajaran konvensional.
         Uji kovariat atau pengujian antar subjek yang dilakukan tehadap angka
signifikansi nilai statistik F varians (Candiasa, 2004). Angka signifikansi lebih kecil
dari 0,05 berarti H0 ditolak. Hal ini berarti terdapat perbedaan variabel dependen antar
kelompok menurut sumber.
        Menurut Arikunto (2005), teknik ANAKOVA merupakan metode statistik yang
memberikan pengendalian terhadap sebagian variabel-variabel pengiring (kovariat)
yang dapat mengacaukan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat.
Kovariat dalam penelitian ini adalah pemahaman konsep awal siswa.
        Sebagai tindak lanjut anakova, adalah uji signifikansi nilai rata-rata antar
kelompok yang menggunakan last significant deference (LSD) (Montgomery, 2001).


                                                                                         28
Oleh karena jumlah pengamatan masing-masing sel adalah sama, maka digunakan
    formula Montgomery sebagai berikut.
                                 2 MS E
       LSD =tα          . N −a      n
                    2

       Dengan,
       α = taraf signifikan (5%),
       N = jumlah sampel total,
       a = jumlah kelompok, dan
       n = jumlah sampel dalam kelompok,

          Kriteria yang digunakan adalah tolak H0 jika harga mutlak µ i − µj > LSD yang

    artinya terdapat perbedaan nilai rata-rata variabel dependen antar kedua kelompok. Uji
    ini menggunakan program SPSS-PC 13.0 for Windows.


Daftar Pustaka
Arikunto, S. 2005. Manajemen penelitian. Jakarta: Rineka Cipta

Başer, M. 2006a. Fostering conceptual change by cognitive conflict based instruction on
       students’ understanding of heat and temperature concepts. Eurasia Journal of
       Mathematics, Science and Technology Education, Volume 2, Number 2, July 2006

Baser, M. 2006b. Effects of conceptual change and traditional confirmatory simulations on
       pre-service teachers’ understanding of direct current circuits. Journal of Science
       Education and Technology, Vol. 15, No. 5, December 2006

Calik, M. & Ayas, A. 2005. An analogy activity for incorporating students' conceptions of
       types of solutions. Asia-Pacific Forum on Science Learning and Teaching, Volume
       6, Issue 2, Article 6, Dec., 2005

Candiasa, I M. 2004. Statistik multivariat disertai aplikasi dengan SPSS. Buku Ajar (tidak
      diterbitkan). IKIP Negeri Singaraja.

Candiasa, I M. 2006. Program SPSS. Buku Ajar (tidak diterbitkan). IKIP Negeri Singaraja.

Darma, K. 2007. Pengaruh model pembelajaran konstruktivisme terhadap prestasi belajar
      matematika terapan pada mahasiswa Politeknik Negeri Bali. Jurnal Pendidikan
      dan           Kebudayaan              No.70.            Tersedia            pada
      http://www.depdiknas.go.id/publikasi/balitbang/070/j70_08.pdf. Diakses tanggal 24
      Oktober 2009.

Fuchan, A. 2004. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Hasan, I. M. 2002. Pokok-pokok materi metodologi penelitian dan aplikasinya. Jakarta:
       Ghalia Indonesia.



                                                                                       29
Hirca, N., Calik, M., & Akdeniz, F. 2008. Investigating grade 8 students’ conceptions of
       ‘energy’ and related concepts. Journal of Turkish Science Education Volume 5,
       Issue 1, April 2008

Kurnaz, M.A., & Calik, M. 2008. Using different conceptual change methods embedded
      within the 5E Model: A sample teaching for heat and temperature. Journal Physics
      Teacher education Online 5(1). 3-7

Luera, G. R., Otto, C. A., & Zitzewitz, P. W. 2005. A conceptual change approach to
       teaching energy & thermodynamics to pre-service elementary teachers. Journal of
       Physics Teacher Education Online Vol. 2, No. 4, May 2005
Montgomery, D.C. 2001. Design and analysis of experiment. Fith edition. New York: John
       Wiley & Sons.

Narbuko, C., & Achmadi, A. 2005. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara

Nashon, S.M. 2006. A proposed model for planning and implementing high school
      instruction. Journal of Physics Teacher Education Online, 4(1), 6-9

Nurkancana, W., & Sunartana, P. 1992. Evaluasi hasil belajar. Surabaya: Usaha Nasional.

Riduwan. 2004. Metode dan teknik menyusun tesis. Bandung: Alfabeta

Riduwan. 2005. Belajar mudah penelitian untuk guru, karyawan dan peneliti pemula.
      Bandung: Alfabeta

Riyanto, Y. 2001. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya: SIC

Santyasa, I W. 2004a. Desain pembelajaran berbasis model SOI. Makalah Seminar.
       Disajikan dalam seminar Jurusan Teknologi Pendidikan IKIP Negeri Singaraja, 8
       April 2004

Santyasa, I W. 2004b. Pengaruh model dan seting pembelajaran terhadap remediasi
       miskonsepsi, pemahaman konsep, dan hasil belajar fisika pada siswa SMU.
       Disertasi (tidak diterbitkan). Program Doktor Teknologi Pembelajaran Program
       Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Santyasa, I W. 2005a. Analisis butir dan konsistensi internal tes. Makalah. Disajikan
       dalam work shop bagi para Pengawas dan Kepala Sekolah Dasar di Kabupaten
       Tabanan Pada Tanggal 20-25 Oktober 2005 di Kediri Tabanan Bali.

Santyasa, I W. 2005b. Model pembelajaran inovatif dalam implementasi kurikulum
       berbasis kompetensi. Makalah. Disajikan dalam penataran guru-guru SMP, SMA,
       dan SMK se Kabupaten Jembrana Juni – Juli 2005, di Jembrana

Santyasa, 2006a. Metodologi penelitian peningkatan kualitas pembelajaran (PPKP).
       Makalah. Disajikan dalam Pelatihan Para Dosen Universitas Pendidikan Ganesha
       tentang Penelitian Tindakan Kelas dan Penelitian untuk Peningkatan Kualitas
       Pembelajaran di Perguruan Tinggi Tanggal 2 Nopember 2006, di Universitas
       Pendidikan Ganesha.



                                                                                     30
Santyasa, I W. 2006b. Pembelajaran inovatif: Model kolaboratif, basis proyek, dan
       orientasi NOS. Makalah. Disajikan dalam Seminar Di Sekolah Menengah Atas
       (SMA) Negeri 2 Semarapura Tanggal 27 Desember 2006, di Semarapura.

Santyasa, 2008. Pengembangan pemahaman konsep dan kemampuan pemecahan masalah
       fisika bagi siswa SMA dengan pemberdayaan model perubahan konseptual
       berseting investigasi kelompok. Undiksha Singaraja

Simamora, M., & Redhana, I W. 2007. Identifikasi Miskonsepsi Guru Kimia pada
     Pembelajaran Konsep Struktur Atom. Singaraja: Jurnal Penelitian dan
     Pengembangan Pendidikan 1 (2), 148-160

Suastra, I W. 2004. Belajar dan pembelajaran sains. Buku Ajar. Singaraja: IKIP Negeri
       Singaraja

Sudiarta, 2007. Pengembangan pembelajaran berpendekatan tematik berorientasi
       pemecahan masalah matematika terbuka untuk mengembangkan kompetensi
       berpikir divergen, kritis dan kreatif. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No.069.
       Diakses tanggal 10 Oktober 2009.

Sudijono, A. 2005. Pengantar eveluasi pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Sugiyono. 2008. Metode penelitian pendidikan: pendekatan kuantitatif, kualitatif dan r&d.
      Bandung: Alfabeta

Sudjana. 2005. Metode statistika. Bandung: Tarsito

Sukardi. 2004. Metodologi penelitian pendidikan. Yogyakarta: PT Bumi Aksara.

Suryabrata, S. 2006. Metodologi penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Supardi. 2008. Penelitian eksperimen di bidang pendidikan. http:// www.lpmpdki.web.id/
       kti-online/penelitian-eksperimen-di-bidang-pendidikan.html diakses tanggal 27 Mei
       2009

Urey, M. & Calik, M. 2008. Combining different conceptual change methods within 5E
      model: A sample teaching design of “cell” concept and its organelles. Asia-Pacific
      Forum on Science Learning and Teaching, Volume 9, Issue 2, Article 12, Dec.,
      2008

Wirtha, I M., & Rapi, N. K. 2008. Pengaruh model pembelajaran dan penalaran formal
       terhadap penguasaan konsep fisika dan sikap ilmiah siswa SMA Negeri 4
       Singaraja. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan 1 (2). 15-29




                                                                                      31

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt?

Penggunaan problem based learning pbl berorientasi kegiatan lab untuk mencapa...
Penggunaan problem based learning pbl berorientasi kegiatan lab untuk mencapa...Penggunaan problem based learning pbl berorientasi kegiatan lab untuk mencapa...
Penggunaan problem based learning pbl berorientasi kegiatan lab untuk mencapa...
arwan97
 
Bab.2.pdf
Bab.2.pdfBab.2.pdf
Peta Konsep Media Pembelajaran
Peta Konsep Media PembelajaranPeta Konsep Media Pembelajaran
Peta Konsep Media Pembelajaran
gawukbalap
 
Jurnal pendidikan matematika
Jurnal pendidikan matematikaJurnal pendidikan matematika
Jurnal pendidikan matematika
Nurmalianis Anis
 
Kurikulum Dan Pembelajaran
Kurikulum Dan PembelajaranKurikulum Dan Pembelajaran
Kurikulum Dan Pembelajaran
guest11d30d
 
Analisis kritis artikel nasional vs internasional
Analisis kritis artikel nasional vs internasionalAnalisis kritis artikel nasional vs internasional
Analisis kritis artikel nasional vs internasional
Sugiarti ELfishy
 
Modifikasi Perwajahan Slide Kurikulum 2013-discovery learning
Modifikasi Perwajahan Slide Kurikulum 2013-discovery learningModifikasi Perwajahan Slide Kurikulum 2013-discovery learning
Modifikasi Perwajahan Slide Kurikulum 2013-discovery learning
nurafnisinaga
 
Tes Slide Share
Tes Slide ShareTes Slide Share
Tes Slide Share
putra177
 

Was ist angesagt? (20)

Ao vs di
Ao vs diAo vs di
Ao vs di
 
Penggunaan problem based learning pbl berorientasi kegiatan lab untuk mencapa...
Penggunaan problem based learning pbl berorientasi kegiatan lab untuk mencapa...Penggunaan problem based learning pbl berorientasi kegiatan lab untuk mencapa...
Penggunaan problem based learning pbl berorientasi kegiatan lab untuk mencapa...
 
Penggunaan problem based learning pbl berorientasi kegiatan lab untuk mencapa...
Penggunaan problem based learning pbl berorientasi kegiatan lab untuk mencapa...Penggunaan problem based learning pbl berorientasi kegiatan lab untuk mencapa...
Penggunaan problem based learning pbl berorientasi kegiatan lab untuk mencapa...
 
Bab.2.pdf
Bab.2.pdfBab.2.pdf
Bab.2.pdf
 
Peta Konsep Media Pembelajaran
Peta Konsep Media PembelajaranPeta Konsep Media Pembelajaran
Peta Konsep Media Pembelajaran
 
Jurnal pendidikan matematika
Jurnal pendidikan matematikaJurnal pendidikan matematika
Jurnal pendidikan matematika
 
4 modelnl
4 modelnl4 modelnl
4 modelnl
 
4947 9540-1-pb
4947 9540-1-pb4947 9540-1-pb
4947 9540-1-pb
 
Lutvia resta-setyawati 1406973
Lutvia resta-setyawati 1406973Lutvia resta-setyawati 1406973
Lutvia resta-setyawati 1406973
 
contoh Jurnal Matematika
contoh Jurnal Matematikacontoh Jurnal Matematika
contoh Jurnal Matematika
 
2.2.3 discovery learning
2.2.3 discovery learning2.2.3 discovery learning
2.2.3 discovery learning
 
Model pembelajaran generatif
Model pembelajaran generatifModel pembelajaran generatif
Model pembelajaran generatif
 
Kurikulum Dan Pembelajaran
Kurikulum Dan PembelajaranKurikulum Dan Pembelajaran
Kurikulum Dan Pembelajaran
 
Analisis kritis artikel nasional vs internasional
Analisis kritis artikel nasional vs internasionalAnalisis kritis artikel nasional vs internasional
Analisis kritis artikel nasional vs internasional
 
Tugas seminar proposal .1
Tugas seminar proposal .1Tugas seminar proposal .1
Tugas seminar proposal .1
 
Modifikasi Perwajahan Slide Kurikulum 2013-discovery learning
Modifikasi Perwajahan Slide Kurikulum 2013-discovery learningModifikasi Perwajahan Slide Kurikulum 2013-discovery learning
Modifikasi Perwajahan Slide Kurikulum 2013-discovery learning
 
Pwer point evaluasi
Pwer point evaluasiPwer point evaluasi
Pwer point evaluasi
 
Proposal penilitian
Proposal penilitianProposal penilitian
Proposal penilitian
 
Tes Slide Share
Tes Slide ShareTes Slide Share
Tes Slide Share
 
Contoh PTK Bab I - V
Contoh PTK Bab I - VContoh PTK Bab I - V
Contoh PTK Bab I - V
 

Andere mochten auch (7)

Jeje
JejeJeje
Jeje
 
Ppt statistik kelompok 3 anita
Ppt statistik kelompok 3 anitaPpt statistik kelompok 3 anita
Ppt statistik kelompok 3 anita
 
SAP Statistik Pendidikan
SAP Statistik Pendidikan SAP Statistik Pendidikan
SAP Statistik Pendidikan
 
Pengujian Hipotesis (Makalah Pengantar Statistika)
Pengujian Hipotesis (Makalah Pengantar Statistika)Pengujian Hipotesis (Makalah Pengantar Statistika)
Pengujian Hipotesis (Makalah Pengantar Statistika)
 
Uji hipotesis ppt kelompok 10
Uji hipotesis ppt kelompok 10Uji hipotesis ppt kelompok 10
Uji hipotesis ppt kelompok 10
 
Sampel, fungsi distribusi, dan penarikan kesimpulannya
Sampel, fungsi distribusi, dan penarikan kesimpulannyaSampel, fungsi distribusi, dan penarikan kesimpulannya
Sampel, fungsi distribusi, dan penarikan kesimpulannya
 
Slot 4 pdp berkesan
Slot 4   pdp berkesanSlot 4   pdp berkesan
Slot 4 pdp berkesan
 

Ähnlich wie Model 5 E

Skripsi penerapan pembelajaran think
Skripsi penerapan pembelajaran thinkSkripsi penerapan pembelajaran think
Skripsi penerapan pembelajaran think
masyasinpunya
 
Analisis kritis artikel
Analisis kritis artikel Analisis kritis artikel
Analisis kritis artikel
Nur Ismirawati
 
Model model pembelajaran
Model model pembelajaranModel model pembelajaran
Model model pembelajaran
smk n 4 padang
 
Model pembelajaran lc
Model pembelajaran lcModel pembelajaran lc
Model pembelajaran lc
Zuha Farhana
 
Tugas hesti cepriana
Tugas hesti ceprianaTugas hesti cepriana
Tugas hesti cepriana
Bunda Dewi
 
Makalah pendekatan pembelajaran
Makalah pendekatan pembelajaranMakalah pendekatan pembelajaran
Makalah pendekatan pembelajaran
Dhiah Febri
 
Model Pembelajaran Langsung
Model Pembelajaran LangsungModel Pembelajaran Langsung
Model Pembelajaran Langsung
Rose Lind
 

Ähnlich wie Model 5 E (20)

Skripsi penerapan pembelajaran think
Skripsi penerapan pembelajaran thinkSkripsi penerapan pembelajaran think
Skripsi penerapan pembelajaran think
 
Model model pembelajaran
Model model pembelajaranModel model pembelajaran
Model model pembelajaran
 
Analisis kritis artikel
Analisis kritis artikel Analisis kritis artikel
Analisis kritis artikel
 
Model model pembelajaran
Model model pembelajaranModel model pembelajaran
Model model pembelajaran
 
Model model pembelajaran
Model model pembelajaranModel model pembelajaran
Model model pembelajaran
 
Model pembelajaran lc
Model pembelajaran lcModel pembelajaran lc
Model pembelajaran lc
 
Penerapan model pembelajaran learning cycle 5
Penerapan model pembelajaran learning cycle 5Penerapan model pembelajaran learning cycle 5
Penerapan model pembelajaran learning cycle 5
 
pemgaruh DL.pdf
pemgaruh DL.pdfpemgaruh DL.pdf
pemgaruh DL.pdf
 
Belajar Sebagai Konstruksi Pengetahuan
Belajar Sebagai Konstruksi PengetahuanBelajar Sebagai Konstruksi Pengetahuan
Belajar Sebagai Konstruksi Pengetahuan
 
Ppt
PptPpt
Ppt
 
Konsep teori dan contoh PTK
Konsep teori dan contoh PTKKonsep teori dan contoh PTK
Konsep teori dan contoh PTK
 
DL X PBL.pdf
DL X PBL.pdfDL X PBL.pdf
DL X PBL.pdf
 
Ptk1
Ptk1Ptk1
Ptk1
 
Tugas hesti cepriana
Tugas hesti ceprianaTugas hesti cepriana
Tugas hesti cepriana
 
Judul
JudulJudul
Judul
 
Makalah kajian fisika sekolah
Makalah kajian fisika sekolahMakalah kajian fisika sekolah
Makalah kajian fisika sekolah
 
Makalah pendekatan pembelajaran
Makalah pendekatan pembelajaranMakalah pendekatan pembelajaran
Makalah pendekatan pembelajaran
 
Makalah microteaching (teori belajar) 4 c_kel 3
Makalah microteaching (teori belajar) 4 c_kel 3Makalah microteaching (teori belajar) 4 c_kel 3
Makalah microteaching (teori belajar) 4 c_kel 3
 
Model Pembelajaran Langsung
Model Pembelajaran LangsungModel Pembelajaran Langsung
Model Pembelajaran Langsung
 
Miskonsepsi dalam Pembelajaran Fisika dan Penyelesaian yang Tepat
Miskonsepsi dalam Pembelajaran Fisika dan Penyelesaian yang TepatMiskonsepsi dalam Pembelajaran Fisika dan Penyelesaian yang Tepat
Miskonsepsi dalam Pembelajaran Fisika dan Penyelesaian yang Tepat
 

Model 5 E

  • 1. Judul: Pengaruh Metode Perubahan Konseptual (Conceptual Change Methods) dalam Setting Model 5E Terhadap Pemahaman Konsep Siswa SMA Lab Undiksha Singaraja Identitas Pribadi Nama : Kusdian Kurniahadi NIM : 0513021047 Jurusan : Pendidikan Fisika Fakultas : Pendidikan Matematika dan IPA I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum, pandangan tentang belajar ada tiga, yaitu: belajar sebagai penguatan respon, belajar sebagai pemerolehan pengetahuan, dan belajar sebagai konstruksi pengetahuan (Santyasa, 2004a). Sampai saat ini, pandangan ketiga dipandang lebih efektif dan bermakna dalam penerapannya bila dibandingkan dengan dua pandangan sebelumnya. Piaget menyimpulkan dari hasil penelitiannya, bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran pelajar. Pengetahuan itu dibangun (dikonstruksi) sambil pebelajar mengatur pengalaman-pengalamannya yang terdiri atas struktur- struktur mental atau skemata-skemata yang sudah ada padanya (Suastra, 2004). Pandangan ini mendasarkan diri pada hasil penelitian dengan manusia sebagai objek dalam setting yang realistik. Proses belajar mengajar (PBM) merupakan salah satu faktor penting dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah. Pelaksanaan PBM selalu melibatkan tiga komponen penting yang berperan, yaitu guru, siswa, dan metode mengajar yang digunakan. Guru hendaknya memahami bahwa siswa memiliki potensi untuk bisa tanpa harus ”dimanjakan”. Proses belajar terjadi pada siswa apabila anak didik secara aktif mengkonstruksi pengetahuan dalam memori kerja. Siswa adalah pencipta gagasan, sedangkan guru adalah fasilitator dan mediator yang menyediakan bimbingan dan pemodelan pada tugas-tugas akademik yang otentik. Seperti yang dikutip oleh Nashon (2006), menurut Von Weizsacker dan Juilfs bahwa fisika didasarkan pada percobaan, keaktifan, keingintahuan, dan keahlian dalam pengahayatan alam. Percobaan tidak akan terarah jika tanpa pemandu. Di sinilah tugas guru sebagai fasilitator dan mediator siap menggunakan cara yang seharusnya untuk mengajarkan fisika. 1
  • 2. Kendala yang dihadapi saat ini, khususnya dalam pembelajaran fisika, adalah cara guru mengajar jarang menggunakan cara yang seharusnya fisika diajarkan. Salah satu alasan para guru adalah sangat sulit mengeksplorasi pengetahuan awal siswa. Para guru cenderung merancang dan mengimplementasikan pembelajaran dengan pola mengajar secara linear. Di antara faktor yang mempengaruhi pemahaman fisika siswa adalah model matematika yang cenderung lebih diutamakan dibandingkan konsep itu sendiri. Matematika juga merupakan faktor kunci yang menghambat siswa pada tingkat menengah untuk memilih bidang fisika. Pendidik tentu sudah sangat paham bahwa matematika sangat dibutuhkan dalam penguasaan suatu konsep fisika, namun kurang berbuat banyak untuk mempertajam pemahaman konsep siswa dan lebih menekankan pada pemahaman matematis. Banyak siswa tingkat menengah berupaya memahami konsep fisika dengan model matematis (Nashon, 2006). Guru seharusnya mengetahui bahwa setiap siswa telah membawa pra-konsep (konsepsi alternatif) yang diperolehnya baik dari pembelajaran sebelumnya, dari buku bacaan atau buku ajar yang mereka baca, dan dari fakta yang mereka temui dalam kehidupan sehari-hari. Namun yang menjadi permasalahan adalah apakah konsep yang dibawa tersebut benar-benar merupakan konsep yang benar/ilmiah dan sudah merepresentasikan pengetahuan yang dikandungnya. Siswa berpikir dan mengkonsep fenomena alam yang baru, yang mereka temui pada pelajaran sains, semakin berbeda dari yang diterima oleh komunitas ilmiah (Hirca, Calik, & Akdeniz, 2008). Adanya konsepsi alternatif tersebut merupakan keadaan yang serius dan membutuhkan penanganan dari tiap pengajar. Sebagaimana dinyatakan oleh Kurnaz & Çalik (2008), menetapkan apa yang siswa pikirkan tentang fenomena yang diberikan adalah tidak cukup untuk mengubah konsep-konsep siswa dengan salah satu pendekatan ilmiah. Pada dasarnya, sebagai pendidik sains, ada sebab-sebab atau alasan-alasan yang kita harus berusaha keras untuk menanggulanginya. Menentukan alasan terhadap konsepsi alternatif dan mencoba menanggulanginya lebih sulit daripada mengenalinya. Karena konsepsi alternatif diperoleh sendiri oleh siswa sebagai hasil proses asimilasi dari pengetahuan awal dan pengalamannya, siswa enggan menampakkan konsepsi alternatif mereka (e.g. Aydoğan, Güneş, & Gülçiçek; Coştu et al.; Ünal et al., dalam Hirca, dkk., 2008). Berdasarkan rasionalisasi di atas, maka diperlukan suatu metode pembelajaran yang dapat mewujudkan terjadinya konsepsi yang benar/ilmiah pada diri siswa. Dalam hal ini, penulis memilih metode belajar, yaitu metode perubahan konseptual yang 2
  • 3. dikendalikan dengan model 5E. Judul yang penulis ajukan adalah ”Pengaruh Metode Perubahan Konseptual dalam Setting Model 5E terhadap Pemahaman Konsep Siswa SMA Lab Undiksha Singaraja”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini sebagai berikut. Apakah terdapat perbedaan pemahaman konsep antara siswa yang belajar melalui metode perubahan konseptual dalam Setting Model 5E dengan siswa yang belajar melalui model pembelajaran konvensional? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan dari penelitian ini sebagai berikut. Menganalisis perbedaan pemahaman konsep antara siswa yang belajar melalui metode perubahan konseptual dalam Setting Model 5E dengan siswa yang belajar melaui model pembelajaran konvensional. 1.4 Manfaat Hasil Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini sebagai berikut. 1) Bagi guru fisika Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memberikan metode lain bagi guru dalam pembelajaran fisika, yang kiranya sesuai untuk menanamkan konsep-konsep fisika pada diri siswa. 2) Bagi peneliti Dari penelitian ini, peneliti sebagai seorang calon guru memperoleh pengalaman langsung dalam menerapkan suatu metode pembelajaran inovatif dan konstruktif dalam menanamkan pemahaman konsep-konsep fisika bagi siswa. 3) Bagi pengembang teori pembelajaran Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai acuan dalam merancang kurikulum, pendekatan, dan model pembelajaran dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. 1.5 Definisi Konseptual Definisi konseptual merujuk pada variabel perlakuan (model 5E bermuatan perubahahan konseptual dan model pembelajaran konvensional) dan variabel metrik/kovarian sebagai berikut. 3
  • 4. a. Model 5E yang mengandung metode perubahan konseptual merupakan sebuah model pembelajaran bermuatan perubahan konseptual sebagai sebuah fase pengelaborasian konseptual yang bertujuan mengurangi konsepsi alternatif siswa (Kurnaz & Çalik, 2008). b. Model pembelajaran konvensional merupakan model pembelajaran yang bersifat linier dan dirancang dari part to whole. Pembelajaran lebih mengarah pada product oriented daripada process oriented. Pembelajaran yang bersifat regular (model pembelajaran konvensional), artinya pemilihan pendekatan, strategi, metode kurang bervariasi. Proses belajar- mengajar cenderung dimulai dengan orientasi dan penyajian informasi yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari siswa, pemberian contoh soal, dilanjutkan dengan memberikan tes (Wirtha & Rapi, 2008). Nurhadi et al. (dalam Darma, 2007) memberikan beberapa karakteristik pembelajaran konvensional, yaitu: (1) siswa adalah penerima informasi secara pasif, (2) Siswa belajar secara individual, (3) pembelajaran sangat abstrak dan teoretis, (4) rumus yang ada di luar diri siswa harus diterangkan, diterima, dihafalkan, dan dilatihkan, (5) siswa secara pasif menerima rumus atau kaidah (membaca, mendengarkan, mencatat, dan menghafal) tanpa memberikan kontribusi ide dalam proses pembelajaran, (6) keterampilan dikembangkan atas dasar latihan-latihan, (7) guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran, (8) hasil belajar diukur dengan tes, dan (9) pembelajaran tidak memperhatikan pengalaman siswa. 1.6 Definisi Operasional Definisi operasional merujuk pada variabel terikat dalam penelitian, yaitu pemahaman konsep. Definisi operasional dari penelitian ini sebagai berikut. Secara kuantitatif, Pemahaman konsep adalah skor akhir yang dicapai siswa dalam menyelesaikan tes pemahaman konsep. Pemahaman konsep awal adalah skor yang diperoleh siswa dalam menyelesaikan tes pemahaman konsep sebelum perlakuan dengan model pembelajaran. II. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pandangan Konstruktivisme tentang Belajar Santyasa (2004a) menyatakan, secara umum pandangan tentang belajar ada tiga, yaitu: belajar sebagai penguatan respon, belajar sebagai pemerolehan pengetahuan, dan belajar sebagai konstruksi pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, gagasan atau 4
  • 5. pemikiran guru tidak dapat dipindahkan langsung kepada siswa, melainkan siswa sendirilah yang harus aktif membentuk pemikiran atau gagasan tersebut dalam otaknya. Piaget menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran pelajar. Pengetahuan itu dibangun (dikonstruksi) sambil pebelajar mengatur pengalaman-pengalamannya yang terdiri atas struktur-struktur mental atau skemata-skemata yang sudah ada padanya (Suastra, 2004). Santyasa (2005b) menyatakan, guru sebagai fasilitator akan memiliki konsekuensi langsung sebagai perancang model, pelatih dan pembimbing. Di samping sebagai fasilitator, secara spesifik peranan guru dalam pembelajaran adalah sebagai expert learner, manager, dan mediator. Sebagai expert learners, guru diharapkan memiliki pemahaman mendalam tentang materi pembelajaran, menyediakan waktu yang cukup untuk siswa, menyediakan masalah dan alternatif solusi, memonitor proses belajar dan pembelajaran, merubah strategi ketika siswa sulit mencapai tujuan, berusaha mencapai tujuan kognitif, metakognitif, afektif, dan psikomotor siswa. Sebagai manager, guru berkewajiban memonitor hasil belajar para siswa dan masalah- masalah yang dihadapi mereka, memonitor disiplin kelas dan hubungan interpersonal, dan memonitor ketepatan penggunaan waktu dalam menyelesaikan tugas. Dalam hal ini, guru berperan sebagai expert teacher yang memberi keputusan mengenai isi, menseleksi proses-proses kognitif untuk mengaktifkan pengetahuan awal dan pengelompokan siswa. Sebagai mediator, guru memandu mengetengahi antar siswa, membantu para siswa memformulasikan pertanyaan atau mengkonstruksi representasi visual dari suatu masalah, memandu para siswa mengembangkan sikap positif terhadap belajar, pemusatan perhatian, mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan awal, dan menjelaskan bagaimana mengaitkan gagasan-gagasan para siswa, pemodelan proses berpikir dengan menunjukkan kepada siswa ikut berpikir kritis. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran, pebelajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa. Belajar lebih diarahkan pada experimental learning, yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dielaborasi dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. 5
  • 6. Philosofi konstruktivisme menekankan pada pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered) yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka secara mandiri sesuai dengan pengalaman, kemampuan dan tingkat perkembangan individual siswa, baik perkembangan kognitif, afektif maupun psikomotorik (Sudiarta, 2007). Konstruktivisme merupakan landasan berpikir, bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusialah yang harus mengkonstruksinya dan memberi makna melalui pengalaman nyata (Darma, 2007). Menurut pandangan konstrukstivis masuknya informasi baru ke dalam skemata melalui dua mekanisme, yakni asimilasi dan akomodasi. Pada proses asimilasi seseorang menggunakan struktur kognitif dan kemampuan yang sudah ada untuk beradaptasi dengan masalah atau informasi baru yang datang dari lingkungannya. Sedangkan pada proses akomodasi merupakan proses pembentukan skemata baru atau memodifikasi struktur yang ada supaya struktur kognitif tersebut dapat menyerap informasi baru yang sedang dihadapi. Ketidaksesuaian struktur kognitif yang dimiliki seseorang dengan informasi baru yang dihadapi menyebabkan ketidakseimbangan (disquibrium) dalam struktur kognitifnya. Dalam kondisi seperti ini orang menyadari bahwa cara berpikirnya bertentangan dengan kejadian yang ada disekitarnya, ia akan berusaha untuk mereorganisasi struktur kognitifnya agar sesuai dengan informasi baru yang dihadapinya (Darma, 2007). Teori konstruktivisme dapat memberi makna yang signifikan dalam sains, seperti Biologi, Fisika, dan Kimia karena mata pebelajaran tersebut menekankan pada cara membuat kesimpulan terhadap fenomena alam melalui eksperimen. 2.2 Belajar dan Pembelajaran Fisika Guru dalam kafasitasnya sebagai fasilitator dan mediator mempunyai ciri-ciri: 1) menyiapkan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya proses pembelajaran dengan menyajikan problem-problem yang manantang bagi pebelajar, 2) berupaya untuk menggali dan memahami pengetahuan awal siswa, 3) selalu menggunakan pengetahuan awal siswa, baik dalam merancang maupun mengimplementasikan program pembelajaran, 4) berusaha untuk merangsang dan memberi kesempatan yang luas kepada siswa untuk mengemukakan gagasan-gagasannya, 5) lebih menekankan kepada argumentasi atas respon siswa daripada benar salahnya respon siswa, 6) tidak melakukan upaya transfer pengetahuan kepada pebelajar dan selalu sadar bahwa 6
  • 7. pengetahuan dibangun di dalam pikiran pebelajar, 7) menggunakan strategi pengubahan konseptual (conceptual change) dalam upaya mengubah miskonsepsi- miskonsepsi yang dibawa pebelajar menuju konsepsi ilmiah, 8) menyiapkan dan menyajikan pada saat yang tepat berbagai konflik kognitif (cognitive conflict) dan contoh tandingan (counter examples) yang dapat mengarahkan pebelajar dalam mengkonstruksi gagasan-gagasannya menuju pengetahuan ilmiah (Suastra, 2004). Paradigma pembelajaran yang merupakan hasil gagasan baru adalah (1) peran guru lebih sebagai fasilitator, pembimbing, konsultan, dan kawan belajar, (2) jadwal fleksibel, terbuka sesuai kebutuhan, (3) belajar diarahkan oleh siswa sendiri (Santyasa, 2006b). Marzano et al (dalam Santyasa, 2006b), memformulasi dimensi belajar menjadi lima tingkatan, (1) sikap dan persepsi yang positif terhadap belajar, (2) perolehan dan pengintegrasian pengetahuan baru, (3) perluasan dan penyempurnaan pengetahuan, (4) penggunaan pengetahuan secara bermakna, dan (5) pembiasakan berpikir efektif dan produktif. Terkait dengan desain pembelajaran, peran guru adalah mengkreasi dan memahami model-model pembelajaran inovatif (Santyasa, 2006b). 2.3 Konsepsi Alternatif Sebagai manusia, siswa memiliki kecenderungan untuk memahami dunia fisika. Siswa membangun sendiri konsep-konsep yang naif (polos) sebagai hasil dari observasi dan investigasi tentang dunia fisika. Bila mereka dihadapkan sebuah masalah dalam kehidupan sehari-hari, mereka mencoba memecahkannya dengan konsepsi yang naif. Penelitian pendidikan lebih dari 30 tahun telah menunjukkan bahwa konsepsi yang naif tersebut, dalam tulisan ini disebut konsepsi alternatif, adalah hal yang umum terjadi pada banyak siswa terlepas dari umur dan budayanya (Driver; Osborne & Freyberg; Yeo & Zadnik; dan Petersson, dalam Başer, 2006a). Ada tiga domain dinamis dalam sistem kognitif: konsepsi, kategori dan kerangka berpikir yang memiliki hubungan erat satu sama lain. Konsep-konsep dikembangkan dengan cara pandang individu atau hipotesis. Kemudian, berdasarkan kategori konsepsi muncul. Akhirnya, kerangka kerja dihasilkan dengan memperhatikan kategori. Hal ini berarti bahwa konsep yang benar dan dipahami akan melahirkan pemahaman yang lebih baik. Karena langkah pertama tergantung pada pengalaman dan hipotesis, kemungkinan konsep-konsep yang muncul akan berbeda dari yang diterima oleh komunitas ilmiah. Konsepsi tersebut biasanya disebut miskonsepsi, pra-konsep, kerangka kerja alternatif, atau konsep anak-anak (Calik & Ayas, 2005). Istilah-istilah 7
  • 8. tersebut memiliki kemiripan makna (Hirca, Calik, & Akdeniz, 2008). Lebih lanjut, Stavy (dalam Calik & Ayas, 2005) menunjukkan bahwa terdapat kompetisi yang dinamis dalam sistem kognitif di mana konsep paling kuat mendominasi. Ini berarti bahwa jika sebuah konsepsi alternatif ilmiah melampaui satu dalam proses yang dinamis akan mempengaruhi pemahaman atau struktur berikutnya. Pinker (dalam Simamora & Redhana, 2007) mengemukakan bahwa siswa hadir di kelas umumnya tidak dengan kepala kosong, melainkan mereka telah membawa sejumlah pengalaman-pengalaman atau ide-ide yang dibentuk sebelumnya, ketika mereka berinteraksi dengan lingkungannya. Artinya, sebelum pembelajaran berlangsung sesungguhnya siswa telah membawa sejumlah ide-ide atau gagasan- gagasan. Mereka menginterpretasikan tentang gejala-gejala yang ada di sekitarnya. Gagasan-gagasan atau ide-ide yang telah dimiliki oleh siswa sebelumnya ini disebut dengan prakonsepsi atau konsepsi alternatif. Konsepsi alternatif ini sering merupakan miskonsepsi (Gardner; Redhana dan Kirna, dalam Simamora & Redhana, 2007). Kenyatan menunjukkan bahwa konsepsi alternatif siswa sangat resisten terhadap perubahan (Ronen and Eliahu; Savinainen et al., dalam Baser, 2006b). Dengan demikian, diperlukan suatu kondisi pembelajaran khusus untuk dapat mengubah konsepsi alternatif siswa tersebut. Konsepsi alternatif ini akan berubah menjadi konsepsi ilmiah hanya jika pembelajaran guru menjadi lebih necessary (dibutuhkan), intelligible (dipahami), plausible (dapat diterima), dan fruitful (produktif) bagi siswa (Posner, dkk., dalam Simamora & Redhana, 2007). Oleh karena itu, konsepsi alternatif dipandang sebagai titik awal bagi pelajaran selanjutnya, banyak penelitian telah dilaksanakan terhadap berbagai subjek bahasan seperti, gaya, gerak, energi, daya, usaha, panas, temperatur, massa, berat dan sebagainya (Kurnaz & Çalik, 2008). Pra-konsep yang dimiliki oleh siswa sangat penting untuk diselidiki lebih lanjut, konsep-konsep yang tidak terstruktur dapat menghasilkan rintangan konseptual untuk mencapai tujuan pembelajaran. Konsepsi alternatif timbul disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: siswa telah mengetahui sebelumnya dari pengalaman hidup sehari-hari, kurangnya motivasi, guru tidak cukup kompeten, lebih mengutamakan konten daripada konsep-konsep, buku-buku pelajaran yang mengandung kesalahan, menggunakan bahasa sehari-hari, bahasa budaya yang sama dengan penyebutan ilmiah namun mengandung makna yang berbeda dalam berbagai budaya. Bentuk-bentuk miskonsepsi yang ditemukan oleh peneliti berdasarkan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan 8
  • 9. bahwa ada ketimpangan antara pengetahuan guru secara teoretis dengan praktiknya (Urey & Calik, 2008). Pengetahuan yang telah dimiliki oleh seseorang sesungguhnya berasal dari pengetahuan yang secara spontan diperoleh dari interaksinya dengan lingkungan. Sementara pengetahuan baru dapat bersumber dari intervensi di sekolah yang keduanya bisa konflik, kongruen, atau masing-masing berdiri sendiri (Suastra, 2004). 2.4 Metode Perubahan Konseptual Penelitian yang berkaitan dengan perubahan konseptual siswa sudah dilakukan mulai awal tahun 1980-an, yaitu ketika kelompok peneliti sains dan ahli psikologi di universitas Cornell mengembangkan teori perubahan konseptual (Posner, dkk., dalam Simamora & Redhana, 2007). Hasil-hasil penelitian tentang metode perubahan konseptual sebagai upaya menanggulangi konsepsi alternatif siswa telah banyak disarankan oleh para ahli. Guru hendaknya menerapkan strategi pengubahan konseptual dalam pembelajaran agar dapat mengatasi konsepsi alternatif siswa (Posnet, dkk., dalam Simamora & Redhana, 2007). Memberikan persepsi siswa bahwa energi dan termodinamika merupakan kesulitan memahaminya dan komunitas pendidikan fisika tidak bersepakat tentang bagaimana mengajarkan konsep-konsep tersebut, bagaimana seharusnya para pendidik mengajarkan energi dan termodinamika untuk pelayanan awal guru? Teori perubahan konseptual merupakan salah satu metode untuk menjembatani kesenjangan antara pengetahuan tentang fenomena keseharian dan konsep-konsep yang benar secara sains (Gail, Otto & Zitzewitz, 2005). Pembelajaran perubahan konseptual yang mendasarkan diri pada paham konstruktivisme, sesungguhnya adalah pembelajaran yang berbasis keterampilan berpikir. Pembelajaran perubahan konseptual memfasilitasi siswa untuk berpartisipasi aktif mengkonstruksi pengetahuannya. Dalam proses tersebut, siswa menguji dan mereviu ide-idenya berdasarkan pengetahuan awal yang telah dimiliki, menerapkannya dalam situasi yang baru, dan mengintegrasikan pengetahuan tersebut ke struktur kognitif yang dimiliki (Santyasa, 2008). Pembelajaran perubahan konseptual memiliki enam langkah pembelajaran (Santyasa, 2004b), yaitu: (1) Sajian masalah konseptual dan kontekstual, (2) konfrontasi miskonsepsi terkait dengan masalah-masalah tersebut, (3) konfrontasi sangkalan berikut strategi-strategi demonstrasi, analogi, atau contoh-contoh tandingan, (4) konfrontasi pembuktian konsep dan prinsip secara ilmiah, (5) konfrontasi materi dan contoh-contoh kontekstual, dan (6) konfrontasi pertanyaan-pertanyaan untuk memperluas pemahaman dan penerapan pengetahuan secara bermakna. Sistem sosial 9
  • 10. yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru sebagai teman belajar siswa, minimnya peran guru sebagai transmiter pengetahuan, interaksi sosial yang efektif, latihan menjalani learning to be. Umumnya, untuk mencapai perubahan konseptual digunakan beberapa metode perubahan konseptual, seperti teks bermuatan perubahan konseptual teks, analogi, lembar kerja, konflik kognitif, dan peta konsep (Urey & Calik, 2008). Untuk penelitian selanjutnya, sebuah contoh teks bermuatan perubahan konseptual disarankan sebagai model untuk memperbaiki konsepsi alternatif yang disasar (Hirca, Calik, & Akdeniz, 2008). Temuan-temuan penelitian terkait dengan pengaruh model pembelajaran terhadap pemahaman konsep (berorientasi teks) memiliki implikasi sebagai berikut (Santyasa, 2008). Pertama, untuk mencapai pemahaman konsep secara mendalam dalam belajar fisika, model pembelajaran perubahan konseptual dapat diacu sebagai salah satu alternatif fasilitas belajar siswa. Model pembelajaran perubahan konseptual dapat diimplementasikan dengan pertanyaan-pertanyaan konseptual untuk membangkitkan aktivitas metakognisi, berpikir kreatif, kritis, dan berpikir tingkat tinggi. Kedua, model pembelajaran perubahan konseptual dapat diimplementasikan dalam wujud teks perubahan konseptual. Dari segi isi, teks diorientasikan sebagai media yang mudah dipahami, penyedia informasi baru yang bermanfaat dan berkaitan dengan dunia nyata, penyedia penjelasan-penjelasan yang dapat membantu siswa memecahkan masalah belajar, penyedia informasi yang bermanfaat untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan di dunia nyata. Orientasi strategi sajian teks adalah pada: (1) masalah-masalah yang dapat membangkitkan struktur kognitif yang telah ada di kepala siswa, (2) alternatif miskonsepsi-miskonsepsi yang berkaitan dengan masalah tersebut, (3) sangkalan-sangkalan, bila perlu diikuti demonstrasi, atau analogi, atau contoh-contoh tandingan, atau konfrontasi, untuk memancing konflik, (4) pembuktian dengan konsep dan prinsip yang ilmiah, (5) contoh-contoh konseptual dan contoh- contoh dunia nyata, dan (6) pertanyaan-pertanyaan konseptual dan kontekstual untuk memberi peluang kepada siswa melakukan perluasan dan penerapan pemahaman secara bermakna dan variatif dalam proses pemecahan masalah. Ketiga, setidaknya ada empat kerangka pengembangan pembelajaran perubahan konseptual untuk pemcapaian pemahaman konsep. (1) Pemilihan topik, (2) penetapan tujuan-tujuan pemahaman, (3) prediksi unjuk kerja pemahaman, dan (4) penilaian berkelanjutan. Keempat kerangka pengembangan tersebut dapat dikemas dalam suatu 10
  • 11. rancangan pembelajaran. Dalam penelitian ini, kemasan pembelajaran mengambil pola teks model perubahan konseptual. Analogi adalah salah satu kegiatan perubahan konseptual untuk meningkatkan dan untuk memfasilitasi pemahaman siswa dengan menantang ide-ide siswa yang sudah ada sebelumnya. Penalaran analogi dapat dianggap sebagai proses skema transfer dari hal yang akrab dengan siswa ke dalam situasi yang tidak dikenal sehingga analogi dapat memungkinkan siswa untuk menangkap wawasan peristiwa tertentu, khususnya pada sub-tingkat mikroskopik. Dalam proses ini, semakin besar pertandingan pengetahuan antara sasaran dan analog terjadi, semakin baik karya analogi. Sehingga pembelajaran akan lebih bermakna karena siswa sekarang dapat memvisualisasikan fenomena yang diberikan dengan sesuatu yang meraka sangat kenal. Sementara melakukan ini, guru harus menekankan bahwa ini hanya penalaran analogis. Jika tidak, analogi dapat menyebabkan siswa mengembangkan berbagai konsepsi alternatif (Calik & Ayas, 2005). Model pengajaran dalam penelitian ini terdiri dari empat fase: (1) Memunculkan ide-ide siswa yang sudah ada sebelumnya. Guru berusaha menarik keluar ide-ide siswa yang sudah ada sebelumnya. (2) Berfokus pada konsep target. Siswa mendebatkan analogi dalam kelompok-kelompok kecil untuk mengevaluasi ide-ide yang sudah ada sebelumnya. (3) Menantang ide-ide siswa. Dalam fase ini, seorang guru harus memverifikasi pengetahuan siswa yang telah dibangun. (4) Menerapkan ide-ide baru yang dibangun untuk situasi serupa. Siswa diharapkan mampu mengaplikasikan pengalaman belajar yang baru saja diberikan pada situasi serupa lainnya untuk meningkatkan hal masuk akal (Calik & Ayas, 2005). Sebagai pengajar hendaknya guru menggunakan strategi pengubahan konseptual (conceptual change) dalam upaya mengubah miskonsepsi-miskonsepsi yang dibawa pebelajar menuju konsepsi ilmiah dan menyiapkan dan menyajikan pada saat yang tepat berbagai konflik kognitif (cognitive conflict) beserta contoh tandingan (counter examples) yang dapat mengarahkan pebelajar dalam mengkonstruksi gagasan- gagasannya menuju pengetahuan ilmiah (Suastra, 2004). Lebih lanjut suastra melanjutkan, dalam mengubah miskonsepsi-miskonsepsi siswa menuju konsepsi ilmiah diperlukan strategi pengubahan konseptual yang tepat dan diberikan pada saat yang tepat pula. Pengubahan konseptual dapat dilakukan dengan menyajikan konflik kognitif atau contoh tandingan. Hal ini harus dilakukan dengan hati-hati, jangan sampai konflik kognitif atau contoh tandingan yang disajikan justru memperkuat stabilitas miskonsepsi siswa. Konflik kognitif yang diberikan harus mampu menggoyahkan stabilitas 11
  • 12. miskonsepsi tersebut. Jika siswa sudah menjadi ragu terhadap gagasannya, maka dapat diharapkan mereka akan mau merekonstruksi gagasannya. Dalam kondisi konflik kognitif, siswa dihadapkan pada tiga pilihan, yaitu: (1) mempertahankan intuisinya semula, (2) merevisi sebagian intuisinya melalui proses asimilasi, dan (3) merubah pandangannya yang bersifat intuisi tersebut dan mengakomodasikan pengetahuan baru. Perubahan konseptual terjadi ketika siswa memutuskan pada pilihan yang ketiga. Agar terjadi proses perubahan konseptual, belajar melibatkan pembangkitan dan restrukturisasi konsepsi-konsepsi yang dibawa oleh siswa sebelum pembelajaran (Brook & Brook, dalam Santyasa 2006b). Dampak pembelajaran perubahan konseptual adalah: sikap positif terhadap belajar, pemahaman secara mendalam, keterampilan penerapan pengetahuan yang variatif. Dampak pengiringnya adalah: pengenalan jati diri, kebiasaan belajar dengan bekerja, perubahan paradigma, kebebasan, penumbuhan kecerdasan inter dan intrapersonal (Santyasa, 2006b). 2.5 Model Pembelajaran Konvensional Model pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang bersifat regular, artinya pemilihan pendekatan, strategi, metode kurang bervariasi. Proses belajar- mengajar cenderung dimulai dengan orientasi dan penyajian informasi yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari siswa, pemberian contoh soal, dilanjutkan dengan memberikan tes (Wirtha & Rapi, 2008). Nurhadi et al. (dalam Darma, 2007) memberikan beberapa karakteristik pembelajaran konvensional, yaitu: (1) siswa adalah penerima informasi secara pasif, (2) Siswa belajar secara individual, (3) pembelajaran sangat abstrak dan teoretis, (4) rumus yang ada diluar diri siswa harus diterangkan, diterima, dihafalkan, dan dilatihkan, (5) siswa secara pasif menerima rumus atau kaidah (membaca, mendengarkan, mencatat, dan menghafal) tanpa memberikan kontribusi ide dalam proses pembelajaran, (6) keterampilan dikembangkan atas dasar latihan-latihan, (7) guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran, (8) hasil belajar diukur dengan tes, dan (9) pembelajaran tidak memperhatikan pengalaman siswa. 2.6 Model 5E Model 5E merupakan versi constructivism yang populer (e.g. Hanuscin & Lee, dalam Kurnaz & Çalik, 2008), karena setiap "E" mengandung bagian dari proses yang membantu siswa belajar mengalami dengan urutan yang sesuai dalam menghubungkan pengetahuan awal dengan konsep baru, model ini terdiri dari: engagement, exploration, explanation, elaboration, dan evaluation (e.g. Abell & Volkman; Boddy, Watson & 12
  • 13. Aubusson; Bybee, Taylor, Gardner, Scotter, Powell, Westbrook & Landes, dalam Kurnaz & Çalik, 2008). Bybee et al. (dalam Kurnaz & Çalik, 2008) telah meringkas fase-fase pembelajaran dalam model 5E, sebagai berikut. 1. Engagement/keterlibatan: untuk mengakses pengetahuan awal siswa, guru menyuruh siswa terlibat dalam konsep baru dengan perantaraan aktivitas pendek atau pertanyaan yang menampilkan keganjilan dan merangsang keluarnya pengetahuan awal. Aktivitas atau pertanyaan diperkirakan membuat sebuah hubungan antara pengetahuan awal dan pengalaman belajar saat ini, sehingga guru mampu mengorganisir pemikiran siswa ke arah hasil belajar dari aktivitas tersebut. 2. Exploration/penjajakan: siswa menyelesaikan aktivitas lab atau diskusi kelompok atau bermain peran atau analogi yang memungkinkan mereka mengekploitasi sendiri pengetahuan awal untuk menghasilkan ide-ide baru, pertanyaan penjajakan, perkiraan dan implementasi sebuah penyelidikan yang bersifat tentatif. 3. Explanation/penjelasan: fase ini dibutuhkan guru untuk penjajakan lebih lanjut, juga memberi kesempatan bagi guru secara langsung memperkenalkan sebuah konsep, proses atau keahlian. Selanjutnya, siswa menyampaikan pemahaman mereka tentang konsep atau jalan yang benar dan penegasan pengetahuan yang tidak benar. Selanjutnya, guru menuntun mereka untuk memegang pemahaman yang lebih mendalam, yang merupakan bagian terpenting dari fase ini. 4. Elaboration/penguraian: untuk meneliti pemahaman dan keahlian konseptual siswa, siswa mencoba memperluas pengetahuan terstruktur yang baru untuk mempertahankan dan memperluas pemahaman, informasi yang lebih banyak, dan keahlian yang cukup. Juga, mereka dapat menerapkan pemahaman mereka tentang konsep untuk aktivitas tambahan. 5. Evaluation/mengevaluasi: fase ini mendidik siswa mengakses pemahaman dan kemampuan mereka dan memberikan kesempatan bagi guru untuk mengevaluasi bagaimana perkembangan siswa terhadap pencapaian tujuan pendidikan. 2.7 Metode Perubahan Konseptual dalam Setting Pembelajaran 5E Berdasarkan beberapa hasil penelitian sebelumnya Urey & Calik (2008) merangkum, menekankan bahwa pengalaman dalam aktivitas nyata adalah lebih efektif daripada teks-teks perubahan konseptual. Walaupun menggunakan penalaran analogis atau model yang efisien dalam pengajaran sains, akan tetapi sebagian besar guru tidak menggunakannya sesering mungkin dan cenderung mengabaikan manfaatnya. Bahkan jika mereka mencoba untuk mengeksploitasi melalui metode analogi, sering terjadi 13
  • 14. dalam cara yang tidak direncanakan. Selain itu, literatur terkait menyatakan bahwa menggunakan hanya satu metode perubahan konseptual mungkin akan membosankan bagi siswa. Dengan demikian, hal ini dapat mencegah tercapainya hasil yang efektif. Karena aktivitas mengajar dapat dipandang sebagai fase penguraian konseptual, kami mengasumsikan bahwa penerapan teknik perubahan konseptual melalui model 5E bisa sepenuhnya mengurangi konsepsi alternatif siswa. Model 5E yang mengandung metode perubahan konseptual merupakan sebuah model pembelajaran bermuatan perubahan konseptual sebagai sebuah fase pengelaborasian konseptual yang bertujuan mengurangi konsepsi alternatif siswa (Kurnaz & Çalik, 2008). 2.8 Hasil Penelitian yang Relevan Karena faham konstruktivis tidak hanya menitik beratkan pada pengetahuan awal siswa tetapi juga mengikutsertakan keaktifan siswa, kebanyakan penelitian yang didanai memberikan perhatian lebih pada dua issu: 1) konsepsi alternatif siswa, dan 2) perubahan konseptual (Kurnaz & Çalik, 2008). Memperbaiki konsepsi alternatif telah dikembangkan oleh penelitian saat ini, pendekatan pembelajaran yang baru dapat diperoleh dengan penggabungan metode pembelajaran, seperti modeling, simulasi komputer, pemetaan konsep, analogical reasoning, dan teks bermuatan perubahan konsep (Hirca, Calik, & Akdeniz, 2008). Taylor and Coll (dalam Kurnaz & Çalik, 2008), mengkritik bahwa konflik kognitif mungkin penyebab mengurangi keyakinan siswa, meskipun memiliki banyak keuntungan untuk mencapai perubahan konseptual. Hal yang sama, jika teknik konseptual, seperti teks bermuatan perubahan konseptual, analogi, lembar kerja (LKS), dll. Seringkali dalam pengerjaannya dilakukan sendiri oleh siswa, siswa bisa bosan. Oleh karena hanya menggunakan salah satu teknik, mungkin akan memiliki harapan kecil mencapai hasil yang efektif (Çalık; Dole; Huddle, White & Rogers, dalam Kurnaz & Çalik, 2008). Selain itu, walaupun kenyataan menyatakan bahwa teks perubahan konseptual adalah efektif dalam perbaikan konsepsi alternatif siswa, kegiatan langsung atau pengalaman belajar secara langsung bisa lebih efektif (Chambers & Andre, 1997 dalam Kurnaz & Çalik, 2008). Karena aktivitas mengajar dapat dipandang sebagai fase penguraian konseptual, kami mengasumsikan bahwa penerapan teknik perubahan konseptual melalui model 5E bisa sepenuhnya mengurangi konsepsi alternatif siswa. Sehingga, penulis merekomendasikan sebuah cara baru untuk menghadapi konsepsi alternatif dimana metode yang lain (conceptual change text, change theory of Posner, Lembar kerja siswa (LKS), a design program, etc.) gagal untuk mencapai yang seharusnya (Kurnaz & Çalik, 2008). 14
  • 15. 2.9 Kerangka Berpikir Berdasarkan kajian teoretis di atas, konstruktivisme adalah landasan berpikir bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas, sehingga pengetahuan dapat berkembang dalam konteks tertentu. Jadi, pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep-konsep, atau teori-teori yang dapat ditransfer begitu saja dari seseorang ke orang lain. Pengetahuan dibangun dalam pikiran manusia menggunakan struktur kognitif dan kemampuan yang dimilikinya sebagai upaya beradaptasi terhadap masalah dan pengalaman yang dihadapi dalam kehidupannya, dan sebagai upaya pembentukan skemata-skemata baru atau memodifikasi informasi baru yang ditemuinya. Ketidaksesuaian antara skemata yang dibangun dengan informasi yang ditemui akan menimbulkan konflik kognitif dalam diri mereka. Dengan demikian, mereka akan berusaha mengatur kembali struktur kognitifnya agar sesuai dengan informasi baru yang dihadapi. Jadi, menurut paham konstruktivisme, pengetahuan dibangun dalam pikiran pelajar/siswa dan belajar merupakan sebuah upaya mengkonstruksi pengetahuan. Oleh karena itu, dalam proses belajar mengajar siswalah yang berperan aktif sebagai pencipta gagasan-gagasan, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan mediator yang seyogyanya memberikan bimbingan dan memilih serta merancang model yang sesuai sehingga tercipta proses belajar dalam diri siswa. Siswa sejak awal telah membawa konsepsi alternatif khususnya mengenai fenomena-fenomena alam yang mereka temuai dalam kehidupan sehari-hari. Konsepsi alternatif ini biasanya jauh dari kebenaran ilmiah, yang diperoleh sendiri oleh siswa sebagai hasil proses asimilasi dari pengetahuan awal dan pengalamannya, dari buku- buku bacaan yang mereka baca serta gagasan budaya mereka. Kenyataan menunjukkan konsepsi alternatif siswa sangat resisten terhadap perubahan, maka pengubahan konsepsi alternatif siswa mungkin dilakukan. Namun, dalam pembelajaran fisika sampai saat ini guru masih dominan memilih cara konvensional. Kesan model pembelajaran konvensional cenderung bersifat one way learning yang memusatkan perhatian siswa sepenuhnya kepada guru teacher centered sehingga yang aktif di sini hanya guru, sedangkan siswa hanya tunduk mendengarkan penjelasan yang dipaparkan oleh guru. Pembelajaran konvensional bersifat regular, artinya pemilihan pendekatan, strategi, metode kurang bervariasi. Proses belajar-mengajar cenderung dimulai dengan orientasi dan penyajian informasi yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari siswa, pemberian contoh soal, dilanjutkan dengan memberikan tes. Sehingga tidak 15
  • 16. terjadi pembelajaran yang necessary (dibutuhkan), intelligible (dipahami), plausible (dapat diterima), dan fruitful (produktif) bagi siswa. Para ahli banyak menyarankan untuk melakukan pengubahan konsepsi alternatif siswa menggunakan pendekatan perubahan konseptual. Hasil penelitian telah banyak menunjukkan hal tersebut. Ada beberapa metode perubahan yang sudah dilaksanakan untuk tujuan pengubahan konsepsi alternatif siswa, seperti metode analogi yang telah diteliti oleh Calik dan Ayas (2005), teks bermuatan perubahan konseptual diteliti oleh Hirca, Calik dan Akdeniz (2008), konflik kognitif, peta konsep, dan lembar kerja. Hanya saja, pendidik cenderung memilih salah satu metode secara berkelanjutan. Mereka hanya menggunakan metode analogi saja, teks bermuatan perubahan konseptual saja, atau konflik kognitif saja. Di mana keefektifannya penggunaannya masih belum memadai. Walaupun menggunakan penalaran analogis atau model yang efisien dalam pengajaran sains, akan tetapi sebagian besar guru tidak menggunakannya sesering mungkin dan cenderung mengabaikan manfaatnya, atau sering terjadi dalam cara yang tidak direncanakan. Menggunakan hanya satu metode perubahan konseptual mungkin akan membosankan bagi siswa. Jika pola linier atau tidak bervariasi ini dipertahankan, maka tidak ada bedanya dengan pelaksanaan pembelajaran secara konvensional, walaupun muatannya berbeda. Sebagai mana disarankan oleh Kurnaz & Calik (2008), karena aktivitas mengajar dapat dipandang sebagai fase penguraian konseptual, mereka mengasumsikan bahwa penerapan teknik perubahan konseptual melalui model 5E bisa sepenuhnya mengurangi konsepsi alternatif siswa. Dinama model pembelajaran ini dilaksanakan dalam tahapan yang membantu siswa belajar mengalami dengan urutan yang sesuai dalam menghubungkan pengetahuan awal dengan pengalaman belajar saat ini. 2.10Hipotesis Penelitian Setelah melakukan kajian pustaka dari berbagai sumber yang terpercaya, maka dapat dirumuskan hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini, sebagai berikut. Terdapat perbedaan pemahaman konsep antara siswa yang belajar melalui metode perubahan konseptual dalam setting model 5E dengan siswa yang belajar melalui model pembelajaran konvensional. 16
  • 17. III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian eksperimen (Experimental Research) merupakan kegiatan penelitian yang bertujuan untuk menilai pengaruh suatu perlakuan/ tindakan/treatment pendidikan terhadap tingkah laku siswa atau menguji hipotesis tentang ada-tidaknya pengaruh tindakan itu bila dibandingkan dengan tindakan lain (Supardi, 2008). Jenis penelitian eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu (quasi eksprimen), karena tidak semua variabel yang muncul dan kondisi eksprimen dapat dikontrol secara ketat (full randomize). Salah satu ciri dari penelitian ini adalah ketidakmampuan meletakkan subjek secara random pada kelompok eksperimental atau kelompok kontrol. Yang dapat dilakukan peneliti adalah mencari kelompok subjek yang diterpa variabel bebas (Hasan, 2002). 3.2 Desain Penelitian Desain penelitian ini adalah non-equivalent pretest-posttest control group design. Desain penelitian ini dipilih karena penelitian eksperimen semu tidak memungkinkan untuk merandom subjek yang ada pada setiap kelas secara utuh. Skor pretest berfungsi sebagai kovariat untuk melakukan kontrol secara statistik. Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini dapat diperhatikan pada Gambar berikut. O1 X1 O2 -------------------------------- O3 X2 O4 One way pretest-postttest nonequivalent control group design (Santyasa, 2006a) Berdasar gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa O1 dan O3 merupakan pengamatan awal dengan pretest sebelum diberikan perlakuan, X1 merupakan perlakuan yang diberikan pada kelas kontrol dengan model pembelajaran konvensional, X2 merupakan perlakuan yang diberikan pada kelas eksperimen dengan model pembelajaran 5E bermuatan metode perubahan konseptual, O2 dan O4 merupakan pengamatan akhir dengan posttest setelah diberikan perlakuan X1 ataupun X2. 3.3 Populasi dan Sampel Populasi adalah semua anggota kelompok manusia, peristiwa atau benda yang tinggal bersama dalam suatu tempat dan secara terencana menjadi target kesimpulan dari hasil akhir suatu kesimpulan (Sukardi, 2004). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa-siswi kelas X SMA Lab Undiksha Singaraja semester genap tahun ajaran 2009/2010 yang terdistribusi dalam kelas-kelas populasi. 17
  • 18. Sampel adalah bagian dari populasi yang mempunyai ciri-ciri atau keadaan tertentu yang akan diteliti (Riduwan, 2005). Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik simple group random sampling. Teknik ini dipilih karena populasi terdistribusi dalam kelas yang sudah ditentukan sebelumnya, sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan pengacakan terhadap individu dalam populasi. Masing-masing kelas X SMA Lab Undiksha Singaraja memiliki peluang yang sama untuk menjadi sampel penelitian. Pemilihan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik undian, jumlah sampel yang diambil sebanyak dua kelas yang terdiri dari kelas eksperimen dan kelas kontrol. 3.4 Variabel Penelitian Variabel diartikan sebagai suatu konsep yang memiliki nilai ganda atau dengan perkataan lain variabel merupakan suatu variabel yang jika diukur akan menghasilkan skor yang bervariasi (Riyanto, 2001). Inti dari penelitian adalah mencari hubungan antara berbagai variabel. Hubungan yang paling dasar adalah hubungan antara dua variabel bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent variable). Variabel bebas juga sering disebut variabel pengaruh (Narbuko & Achmadi, 2005). Penelitian ini menyelidiki pengaruh dua variabel independen terhadap satu variabel dependen. Kedua variabel independen tersebut meliputi variabel non metrik sebagai perlakuan dan variabel metrik sebagai kovariat (Sugiyono, 2008). Variabel perlakuan meliputi model 5E bermuatan perubahan konseptual dan model pembelajaran konvensional yang diberikan peneliti kepada sampel, baik pada kelas kontrol maupun kelas eksperimen. Kovariat dalam penelitian ini adalah skor pretest berupa pemahaman konsep yang diberikan kepada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sebelum dimanipulasi dengan model pembelajaran. Variabel dependennya adalah pemahaman konsep siswa yang dapat dilihat dari skor posttest yang diberikan kepada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah dimanipulasi dengan model pembelajaran. 3.5 Perlakuan Penelitian Penelitian ini menggunakan dua kelompok sampel yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelompok eksperimen dikenakan rancangan model 5E bermuatan perubahan konseptual, sedangkan kelompok kontrol dikenakan rancangan model pembelajaran konvensional. Model konvensional disesuaikan dengan model yang diterapkan di sekolah tempat di mana observasi dan orientasi dilaksanakan. 3.6 Prosedur Penelitian Adapun prosedur dalam penelitian ini dilaksanakan dalam langkah-langkah sebagai berikut. 18
  • 19. 1) Menentukan sekolah tempat penelitian. 2) Melaksanakan orientasi dan observasi terhadap rancangan pelaksanaan pembelajaran dan kegiatan belajar mengajar di kelas serta wawancara dengan guru mata pelajaran fisika di sekolah tempat melakukan penelitian. Setelah komfirmasi dengan pihak sekolah, maka dilanjutkan dengan penentuan sampel penelitian. 3) Merancang perangkat pembelajaran dan instrumen, yang terdiri atas rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan lembar kerja siswa (LKS) sesuai dengan model pempelajaran yang digunakan, serta tes pemahaman konsep. 4) Melaksanakan uji coba instrumen yang akan digunakan dalam penelitian, dilanjutkan dengan uji validitas isi, konsistensi internal butir, konsistensi internal tes, daya beda, dan tingkat kesukaran soal. 5) Melakukan revisi dan penyempurnaan instrumen yang telah diujikan, melalui konsultasi dengan guru pembimbing. Setelah melalui revisi dan penyempurnaan butir soal ini, maka akan dihasilkan beberapa butir soal yang benar-benar layak untuk digunakan sebagai tes pemahaman konsep. 6) Memberikan pretest kepada kelas eksperimen dan kelas kontrol secara bersamaan untuk mengetahui pemahaman konsep awal yang dimiliki oleh siswa. 7) Mengadakan revisi pada perangkat pembelajaran yang terdiri dari RPP dan LKS baik yang akan diberikan pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol berdasarkan informasi yang diperoleh dari pemberian pretest mengenai pemahaman konsep awal siswa pada masing-masing kelompok kelas. 8) Memberikan perlakuan berupa penerapan model pembelajaran bermuatan perubahan konseptual pada kelas eksperimen dan model pembelajaran konvensional pada kelas kontrol. 9) Memberikan posttest kepada kelas eksperimen dan kelas kontrol secara bersamaan untuk mengetahui pemahaman konsep siswa setelah diberikan perlakukan. 10) Menganalisis hasil penelitian untuk menguji hipotesis yang diajukan apakah hipotesis yang telah diajukan diterima atau ditolak. 19
  • 20. Secara sistematis prosedur penelitian dapat digambarkan seperti pada gambar berikut ini. Penentuan sekolah tempat penelitian Observasi & Orientasi Rancangan Kegiatan Penentuan pelaksanaan belajar sampel pembelajaran mengajar Perangkat Instrumen pembelajaran Tes RPP LKS pemahaman konsep Uji Coba Instrumen Validitas Konsistensi Konsistensi Indeks daya Indeks isi internal butir internal tes beda kesukaran butir Revisi & Penyempurnaan Tes Pemahamaan konsep Pre-test Revisi perangkat pembelajaran RPP LKS Memberikan perlakuan Kontrol Eksperimen Post-test Analisis data 20
  • 21. 3.7 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatan mengumpulkan data, agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan dipermudah olehnya (Riduwan, 2004). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes pemahaman konsep. Langkah-langkah penyusunan tes pemahaman konsep adalah sebagai berikut: (1) mengidentifikasi standar kompetensi; (2) mengidentifikasi kompetensi dasar; (3) mengidentifikasi indikator pembelajaran; (4) menyusun kisi-kisi tes hasil belajar; (5) menentukan kriteria penilaian; (6) penulisan butir-butir tes; (7) uji ahli; (8) uji coba tes di lapangan; (9) analisis hasil uji coba tes di lapangan; (10) revisi butir soal; dan (11) finalisasi instrumen. Kriteria penilaian tes pemahaman konsep menggunakan rubrik penilaian seperti yang dikembangkan oleh Santyasa (2006b). Rubrik Penilaian Pemahaman Konsep Skor Kriteria 4 Menjawab benar, menunjukkan alasan yang benar disertai bukti-bukti, prinsip, formulasi atau perhitungan. 3 Menjawab benar dan menunjukkan alasan yang benar. 2 Menjawab benar, tetapi tidak menunjukkan alasan, atau menunjukkan alasan yang salah atau miskonsepsi 1 Menjawab tetapi salah atau miskonsepsi 0 Tidak menjawab Untuk mendapatkan data digunakan instrumen sebagai berikut. Teknik Jenis Sumber Validitas Pengumpulan Instrumen Waktu Data Data Instrumen Data Pemahaman Siswa Pretest Tes a) Validitas Sebelum konsep pemahaman isi dan konsep (tes b) Konsisten pilihan si internal ganda c) Daya diperluas) beda d) Tingkat kesukaran . Pemahaman Siswa Posttest Tes a) Validitas sesudah konsep pemahaman isi perlakuan konsep (tes b) Konsisten pilihan si internal ganda c) Daya diperluas) beda d) Tingkat kesukaran 21
  • 22. . 3.8 Uji Coba Instrumen Penelitian Uji coba instrumen merupakan langkah yang sangat penting dalam proses pengembangan instrumen, karena dari uji coba instrumen inilah diketahui informasi mengenai mutu instrumen yang dikembangkan itu (Suryabrata, 2006). 3.8.1 Validitas Isi Validitas isi adalah validitas yang ditilik dari segi isi tes itu sendiri sebagai alat pengukur hasil belajar yaitu: sejauh mana tes hasil belajar sebagai alat pengukur hasil belajar peserta didik, isinya telah dapat mewakili secara representatif terhadap keseluruhan materi atau bahan pelajaran yang seharusnya diujikan (Sudijono, 2005). Menurut Arikunto (2005) sebuah tes dikatakan memiliki validitas isi jika mampu mengukur tujuan khusus tertentu yang sejajar dengan materi atau isi pelajaran yang diberikan. Validitas isi ditegakkan pada langkah telaah dan revisi butir pertanyaan/butir pernyataan, berdasarkan pendapat profesional (professional judgment) para penelaah (Suryabrata, 2006). Gay (dalam Santyasa, 2005a) menyatakan bahwa validitas isi (content validity) adalah derajat pengukuran yang mencerminkan domain isi yang diharapkan. Validitas isi cukup diestimasi berdasarkan pertimbangan ahli isi. Sebagai ahli isi dapat ditunjuk seorang guru pada bidang studi yang sama yang memiliki kualifikasi dan pengalaman kerja yang cukup. Pertimbangan ahli tersebut dianggap cukup representatif sebagai dasar untuk memutuskan bahwa tes yang dikembangkan telah memenuhi syarat validitas isi. Di samping pemeriksaan oleh teman sejawat yang dianggap sebagai ahli, tes juga perlu diuji keterbacaannya ditinjau dari pemakai (siswa). Prosedur ini dilakukan melalui uji kelompok kecil dan kelas yang sesungguhnya (Santyasa, 2005a). 3.8.2 Konsistensi Internal Butir Menurut Gay (dalam Santyasa, 2005a), konsistensi internal butir adalah derajat konsistensi pengukuran yang ditampilkan oleh butir terhadap apa yang ingin diukur. Konsistensi butir berkenaan dengan tingkatan atau derajat yang menunjukkan seberapa jauh butir dapat mengukur secara konsisten apa yang seharusnya diukur. Konsistensi internal butir dapat diestimasi dari indeks korelasi antara skor butir dan skor total (Long et al, dalam Santyasa, 2005a). Indeks korelasi butir-total dapat dihitung dengan formula Pearson Product Momen (Arikunto, 2005) adalah sebagai berikut. 22
  • 23. N ∑ XY − ( ∑ X )( ∑Y ) rxy = [N ∑ X 2 − (∑X ) 2 ] [N ∑Y 2 − ( ∑Y ) 2 ] Keterangan: rxy : koefesien korelasi N : jumlah sampel X : skor butir Y : skor total Dengan kriteria standar (Mehrens, dalam Santyasa, 2005a) sebagai berikut. rxy > 0,30 berarti valid (dapat langsung digunakan) 0,20 ≤ rxy ≤ 0,30 berarti valid tetapi harus direvisi kembali rxy ≤ 0,20 berarti tidak valid (gugur) 3.8.3 Konsistensi Internal Tes Dalam Suryabrata (2006) dinyatakan bahwa reliabilitas instrumen merujuk kepada konsistensi hasil perekaman data (pengukuran) kalau instrumen itu digunakan oleh orang atau kelompok orang yang sama dalam waktu berlainan atau kalau instrumen itu digunakan oleh orang atau kelompok orang yang berbeda dalam waktu yang sama atau dalam waktu yang berlainan. Karena hasilnya yang konsisten itu, maka instrumen itu dapat dipercaya (reliable) atau dapat diandalkan (dependable). Wiersma (dalam Santyasa, 2005a) menyatakan konsistensi internal tes (reliabilitas tes) berarti “konsistensi dari tes dalam mengukur apa yang seharusnya diukur”. Pengukuran konsisten berarti akan memberikan hasil yang sama untuk subjek yang sama pada waktu yang berbeda. Koefesien reliabilitas tes dapat bernilai antara 0,00-1,00. Gay (dalam Santyasa, 2005a) menyatakan “reliabilitas tes adalah derajat pada mana suatu tes dapat mengukur secara konsisten apa yang seharusnya diukur”. Konsistensi internal tes (Reliabilitas internal tes) dapat ditentukan dengan beberapa metode, (1) metode belah dua, (2) metode Kuder-Rechadson 20 (K-R 20), (3) metode KR 21, dan (4) koefisien alfa Cronbach. Metode belah dua dapat ditempuh dengan prosedur ganjil-genap. Indeks korelasi tes ganjil-genap dapat dihitung dengan formula product moment, sedangkan indeks korelasi keseluruhan tes dapat dihitung dengan formula Spearman- Brown (Mehrens & lehmann, dalam Santyasa, 2005a), 2r1 1 rxy = 2 2 1 + r1 1 2 2 23
  • 24. Dengan rxy = indeks korelasi keseluruhan tes, r12 1 2 = indeks korelasi setengah dari jumlah tes keseluruhan. Menurut Long et al. (dalam Santyasa, 2005a), kriteria yang dapat diacu adalah koefesien reliabilitas ≥ 0,80 menyatakan tes tersebut acceptable. Oleh karena koefesien reliabilitas secara wajar bergerak pada interval 0,00-1,00, maka kriteria-kriteria: 0,00-0,20 adalah sangat rendah, 0,20-0,40 rendah, 0,40-0,60 sedang, 0,60-0,80 tinggi, dan 0,80-1,00 sangat tinggi dapat pula diacu sebagai kriteria penolakan atau penerimaan reliabilitas internal. Tes hasil belajar dengan indek reliabilitas berada pada kategori sedang, tinggi, dan sangat tinggi ditoleransi untuk diterima sebagai perangkat tes yang relatif baku. 3.8.4 Indeks Daya Beda Daya beda tes adalah kemampuan suatu tes tersebut dalam memisahkan antara subyek yang pandai dengan subyek yang kurang pandai dalam suatu kelompok. Dalam mencari daya beda subjek peserta tes dipisahkan menjadi dua sama besar berdasarkan atas skor total yang mereka peroleh (Arikunto, 2005). Santyasa (2005a) menyatakan bahwa sebelum menentukan daya beda tes terlebih dahulu ditentukan kelompok atas dan kelompok bawah. Kelompok atas (KA) dan kelompok bawah (KB) dari skor-skor siswa yang telah diurutkan. Jumlah KA atau KB disesuaikan dengan jumlah responden seluruhnya. Untuk mengetahui daya beda item tes hasil belajar digunakan formulasi Mehrens dan Lehman (Santyasa, 2005a) sebagai berikut. IDB = ∑H − ∑L N ( Scoremx − Scoremin ) Keterangan: ∑H = jumlah skor kelompok atas, ∑L = jumlah skor kelompok bawah, N = jumlah responden kelompok atas atau kelompok bawah, Scoremx = skor tertinggi butir, dan Scoremin = skor terendah butir. Kriteria IDB dapat diacu, dengan rentangan berikut. IDB = 0,00-20,00 adalah sangat rendah IDB = 0,20-0,40 adalah rendah IDB = 0,40-0,60 adalah sedang IDB = 0,60-0,80 adalah tinggi 24
  • 25. IDB = 0,80-1,00 adalah sangat tinggi 3.8.5 Indeks Kesukaran Butir Bermutu atau tidaknya butir-butir item tes hasil belajar pertama-tama dapat diketahui dari derajat kesukaran yang dimiliki oleh masing-masing butir item tersebut. Butir-butir item tes hasil pelajar dapat dinyatakan sebagai butir-butir yang baik, apabila derajat kesukaran item itu adalah sedang atau cukup (Sudijono, 2005). Menghitung digunakan formula sebagai berikut. R IKB = 100% T dengan IKB = Ideks Kesukaran Item, R = jumlah responden yang menjawab benar, dan T = jumlah responden seluruhnya. IKB dapat bernilai 0,00-1,00; IKB: 0,00 – 0,20 adalah sangat sukar, 0,20-0,40 sukar, 0,40-0,60 sedang, 0,60-0,80 mudah, dan 0,80-1,00 sangat mudah. Biasanya butir yang ditoleransi sebagai tes standar adalah yang memiliki IKB = 0,30-0,70 (Santyasa, 2005a). 3.9 Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini, digunakan dua teknik analisis yaitu analisis statistik deskriptif dan analisis kovarian. 3.9.1 Analisis deskriptif Teknik ini digunakan untuk mendeskripsikan skor rata-rata dan simpangan baku. Skor rata-rata dan simpangan baku yang dideskripsikan adalah skor rata-rata dan simpangan baku pemahaman konsep yang diperoleh dari hasil pretest dan posttest. Data tentang prior knowledge siswa dianalisis secara kulitatif yang kemudian didekripsikan secara naratif. Persentase jumlah siswa pada setiap jawaban per soal pemahaman konsep dengan alasan yang dikemukakan siswa, digunakan untuk mengetahui prior knowledge dan pemahaman konsep siswa. Sedangkan jumlah pemahaman siswa per individu pada seluruh soal pemahaman konsep digunakan untuk menggali hasil perubahan konseptual siswa. Data dideskripsikan dengan menggunakan pedoman konversi normal absolut skala lima seperti yang disajikan dalam Tabel berikut. Tabel Pedoman Konversi Nilai Absolut Skala Lima Tingkat Penguasaan Kualifikasi 85-100 Sangat Baik 70-85 Baik 55-70 Cukup 40-55 Kurang 0-40 Sangat Kurang (Nurkancana & Sunartana, 1992) 25
  • 26. 3.9.2 Teknik analisis kovarian (ANAKOVA) Teknik ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara kovariat dengan hasil belajar berupa pemahaman konsep siswa. Analisis ini akan digunakan untuk menguji hipotesis. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kovarian (ANAKOVA) satu jalur yang melibatkan dua variabel bebas dan satu variabel terikat. Analisis kovarian dalam metode statistik yang memberikan pengendalian terhadap variabel-variabel luar yang mempengaruhi hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat (Furchan, 2004). Tujuan digunakan analisis kovarian adalah untuk (1) meningkatkan ketelitian eksperimen dan (2) untuk menghilangkan sumber-sumber kesalahan dalam eksperimen (Winer, dalam Rusmayani, 2005). Perhitungan anakova satu jalur menggunakan bantuan SPSS 13.0 for Windows. Semua pengujian hipotesis dilakukan pada taraf signifikansi 5%. Sebelum melakukan analisis data, terlebih dahulu data yang diperoleh diuji liniearitas, normalitas, homogenitasnya. 3.9.3 Uji Iiniearitas Uji keliniearan dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa rata-rata yang diperoleh tiga atau lebih kelompok data sampel terletak dalam garis-garis lurus (Candiasa, 2006). Uji liniearitas dilakukan dengan mencari persamaan garis regresi variabel bebas x terhadap variabel terikat y (Candiasa, 2004). Uji linearitas data dapat dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah berikut ini (Riduwan, 2006). a) Menentukan jumlah kuadrat regresi ( JK reg ( a ) ) dengan rumus berikut ini. JK reg ( a ) = ( ∑ Y) 2 n b) Menentukan jumlah kuadrat regresi ( JK reg ( b a ) ) dengan rumus berikut ini.   ( ∑ X )( ∑ Y )   JK reg ( b a ) = b ∑ XY −    n   c) Menentukan jumlah kuadrat residu ( JK res ) dengan rumus berikut. JK res = ∑ Y 2 − JK reg ( b a ) − JK reg ( a ) d) Menentukan rata-rata jumlah kuadrat residu ( RJK res ) dengan rumus berikut ini. JK res RJK res = n−2 e) Menentukan jumlah kuadrat error ( JK E ) dengan rumus berikut ini. 26
  • 27.  ( ∑ Y) 2   JK E = ∑ ∑ Y − 2  K  n    f) Menentukan kuadrat tuna cocok ( JK TC ) dengan rumus berikut ini. JK TC = JK res − JK E g) Menentukan rata-rata jumlah kuadrat tuna cocok ( RJK TC ) dengan menggunakan rumus berikut ini. JK TC RJK TC = k−2 h) Menentukan rata-rata jumlah kuadrat error ( RJK E ) dengan menggunakan rumus berikut ini. JK E RJK E = n−k i) Menentukan nilai Fhitung dengan menggunakan rumus berikut ini. RJK TC Fhitung = RJK E j) Menetapkan taraf signifikansi uji 0,05. Kriteria pengujiannya adalah kelinieran dipenuhi oleh data jika angka signifikansi yang diperoleh kurang dari 0,05 dan sebaliknya jika angka signifikansi yang diperoleh lebih dari 0,05 maka kelinieran tidak dipenuhi (Candiasa, 2006). 3.9.4 Uji Normalitas Uji normalitas sebaran data dilakukan untuk meyakinkan bahwa data yang dihasilkan dalam penelitian benar-benar berdistribusi normal sehingga uji hipotesis dapat dilakukan. Uji normalitas sebaran data menggunakan statistik Kolmogorov- Smirnov test dan Shapiro-Wilk test (Candiasa, 2004). Kriteria pengujiannya adalah data memiliki sebaran distribusi normal jika angka signifikansi yang diperoleh lebih besar dari 0,05 dan dalam hal lain sebaran tidak berdistribusi normal. 3.9.5 Uji Homogenitas Varian Uji homogenitas varian antara kelompok digunakan untuk mengukur apakah sebuah kelompok data mempunyai varians yang sama di antara anggota kelompok tersebut sehingga perbedaan yang terjadi dalam uji hipotesis benar-benar berasal dari perbedaan perlakuan, bukan akibat dari perbedaan yang terjadi di dalam kelompok. Uji homogenitas varians antar kelompok menggunakan Levene’s Test of Equality of Error Variance (Candiasa, 2004). Kriteria pengujian yang digunakan 27
  • 28. adalah data memiliki varians yang sama (homogen), jika angka signifikan yang dihasilkan lebih besar dari 0,05 dan dalam hal lain variasi sampel tidak sama (heterogen). Menurut Sudjana (2005) jika data yang akan dianalisis tersebut tidak memenuhi kriteria uji normalitas dan homogenitas maka data tersebut harus dianalisis dengan menggunakan statistik non parametrik yaitu tes Kruskal-Wallis untuk desain satu jalur. 3.9.6 Uji Hipotesis Penelitain Hipotesis yang diajukan dan diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. H 0 : [ µ m1Y ] = [ µ m 2Y ] : Tidak terdapat perbedaan pemahaman konsep antara siswa yang belajar dengan menggunakan metode perubahan konseptual dalam seting model pembelajaran 5E dengan siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran konvensional dalam pembelajaran fisika. H 1 : [ µ m1Y ] ≠ [ µ m 2Y ] : Terdapat perbedaan pemahaman konsep antara siswa yang belajar dengan menggunakan metode perubahan konseptual dalam seting model pembelajaran 5E dengan siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran konvensional dalam pembelajaran fisika. Keterangan: µ m1Y : rata-rata pemahaman konsep siswa yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan metode perubahan konseptual dalam seting model pembelajaran 5E. µ m2Y : rata-rata pemahaman konsep siswa yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran konvensional. Uji kovariat atau pengujian antar subjek yang dilakukan tehadap angka signifikansi nilai statistik F varians (Candiasa, 2004). Angka signifikansi lebih kecil dari 0,05 berarti H0 ditolak. Hal ini berarti terdapat perbedaan variabel dependen antar kelompok menurut sumber. Menurut Arikunto (2005), teknik ANAKOVA merupakan metode statistik yang memberikan pengendalian terhadap sebagian variabel-variabel pengiring (kovariat) yang dapat mengacaukan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Kovariat dalam penelitian ini adalah pemahaman konsep awal siswa. Sebagai tindak lanjut anakova, adalah uji signifikansi nilai rata-rata antar kelompok yang menggunakan last significant deference (LSD) (Montgomery, 2001). 28
  • 29. Oleh karena jumlah pengamatan masing-masing sel adalah sama, maka digunakan formula Montgomery sebagai berikut. 2 MS E LSD =tα . N −a n 2 Dengan, α = taraf signifikan (5%), N = jumlah sampel total, a = jumlah kelompok, dan n = jumlah sampel dalam kelompok, Kriteria yang digunakan adalah tolak H0 jika harga mutlak µ i − µj > LSD yang artinya terdapat perbedaan nilai rata-rata variabel dependen antar kedua kelompok. Uji ini menggunakan program SPSS-PC 13.0 for Windows. Daftar Pustaka Arikunto, S. 2005. Manajemen penelitian. Jakarta: Rineka Cipta Başer, M. 2006a. Fostering conceptual change by cognitive conflict based instruction on students’ understanding of heat and temperature concepts. Eurasia Journal of Mathematics, Science and Technology Education, Volume 2, Number 2, July 2006 Baser, M. 2006b. Effects of conceptual change and traditional confirmatory simulations on pre-service teachers’ understanding of direct current circuits. Journal of Science Education and Technology, Vol. 15, No. 5, December 2006 Calik, M. & Ayas, A. 2005. An analogy activity for incorporating students' conceptions of types of solutions. Asia-Pacific Forum on Science Learning and Teaching, Volume 6, Issue 2, Article 6, Dec., 2005 Candiasa, I M. 2004. Statistik multivariat disertai aplikasi dengan SPSS. Buku Ajar (tidak diterbitkan). IKIP Negeri Singaraja. Candiasa, I M. 2006. Program SPSS. Buku Ajar (tidak diterbitkan). IKIP Negeri Singaraja. Darma, K. 2007. Pengaruh model pembelajaran konstruktivisme terhadap prestasi belajar matematika terapan pada mahasiswa Politeknik Negeri Bali. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No.70. Tersedia pada http://www.depdiknas.go.id/publikasi/balitbang/070/j70_08.pdf. Diakses tanggal 24 Oktober 2009. Fuchan, A. 2004. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Hasan, I. M. 2002. Pokok-pokok materi metodologi penelitian dan aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia. 29
  • 30. Hirca, N., Calik, M., & Akdeniz, F. 2008. Investigating grade 8 students’ conceptions of ‘energy’ and related concepts. Journal of Turkish Science Education Volume 5, Issue 1, April 2008 Kurnaz, M.A., & Calik, M. 2008. Using different conceptual change methods embedded within the 5E Model: A sample teaching for heat and temperature. Journal Physics Teacher education Online 5(1). 3-7 Luera, G. R., Otto, C. A., & Zitzewitz, P. W. 2005. A conceptual change approach to teaching energy & thermodynamics to pre-service elementary teachers. Journal of Physics Teacher Education Online Vol. 2, No. 4, May 2005 Montgomery, D.C. 2001. Design and analysis of experiment. Fith edition. New York: John Wiley & Sons. Narbuko, C., & Achmadi, A. 2005. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara Nashon, S.M. 2006. A proposed model for planning and implementing high school instruction. Journal of Physics Teacher Education Online, 4(1), 6-9 Nurkancana, W., & Sunartana, P. 1992. Evaluasi hasil belajar. Surabaya: Usaha Nasional. Riduwan. 2004. Metode dan teknik menyusun tesis. Bandung: Alfabeta Riduwan. 2005. Belajar mudah penelitian untuk guru, karyawan dan peneliti pemula. Bandung: Alfabeta Riyanto, Y. 2001. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya: SIC Santyasa, I W. 2004a. Desain pembelajaran berbasis model SOI. Makalah Seminar. Disajikan dalam seminar Jurusan Teknologi Pendidikan IKIP Negeri Singaraja, 8 April 2004 Santyasa, I W. 2004b. Pengaruh model dan seting pembelajaran terhadap remediasi miskonsepsi, pemahaman konsep, dan hasil belajar fisika pada siswa SMU. Disertasi (tidak diterbitkan). Program Doktor Teknologi Pembelajaran Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Santyasa, I W. 2005a. Analisis butir dan konsistensi internal tes. Makalah. Disajikan dalam work shop bagi para Pengawas dan Kepala Sekolah Dasar di Kabupaten Tabanan Pada Tanggal 20-25 Oktober 2005 di Kediri Tabanan Bali. Santyasa, I W. 2005b. Model pembelajaran inovatif dalam implementasi kurikulum berbasis kompetensi. Makalah. Disajikan dalam penataran guru-guru SMP, SMA, dan SMK se Kabupaten Jembrana Juni – Juli 2005, di Jembrana Santyasa, 2006a. Metodologi penelitian peningkatan kualitas pembelajaran (PPKP). Makalah. Disajikan dalam Pelatihan Para Dosen Universitas Pendidikan Ganesha tentang Penelitian Tindakan Kelas dan Penelitian untuk Peningkatan Kualitas Pembelajaran di Perguruan Tinggi Tanggal 2 Nopember 2006, di Universitas Pendidikan Ganesha. 30
  • 31. Santyasa, I W. 2006b. Pembelajaran inovatif: Model kolaboratif, basis proyek, dan orientasi NOS. Makalah. Disajikan dalam Seminar Di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Semarapura Tanggal 27 Desember 2006, di Semarapura. Santyasa, 2008. Pengembangan pemahaman konsep dan kemampuan pemecahan masalah fisika bagi siswa SMA dengan pemberdayaan model perubahan konseptual berseting investigasi kelompok. Undiksha Singaraja Simamora, M., & Redhana, I W. 2007. Identifikasi Miskonsepsi Guru Kimia pada Pembelajaran Konsep Struktur Atom. Singaraja: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan 1 (2), 148-160 Suastra, I W. 2004. Belajar dan pembelajaran sains. Buku Ajar. Singaraja: IKIP Negeri Singaraja Sudiarta, 2007. Pengembangan pembelajaran berpendekatan tematik berorientasi pemecahan masalah matematika terbuka untuk mengembangkan kompetensi berpikir divergen, kritis dan kreatif. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No.069. Diakses tanggal 10 Oktober 2009. Sudijono, A. 2005. Pengantar eveluasi pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Sugiyono. 2008. Metode penelitian pendidikan: pendekatan kuantitatif, kualitatif dan r&d. Bandung: Alfabeta Sudjana. 2005. Metode statistika. Bandung: Tarsito Sukardi. 2004. Metodologi penelitian pendidikan. Yogyakarta: PT Bumi Aksara. Suryabrata, S. 2006. Metodologi penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Supardi. 2008. Penelitian eksperimen di bidang pendidikan. http:// www.lpmpdki.web.id/ kti-online/penelitian-eksperimen-di-bidang-pendidikan.html diakses tanggal 27 Mei 2009 Urey, M. & Calik, M. 2008. Combining different conceptual change methods within 5E model: A sample teaching design of “cell” concept and its organelles. Asia-Pacific Forum on Science Learning and Teaching, Volume 9, Issue 2, Article 12, Dec., 2008 Wirtha, I M., & Rapi, N. K. 2008. Pengaruh model pembelajaran dan penalaran formal terhadap penguasaan konsep fisika dan sikap ilmiah siswa SMA Negeri 4 Singaraja. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan 1 (2). 15-29 31