Ajaran dan konsep perbuatan melawan hukum di dalam hukum pidana
1. AJARAN DAN KONSEP PERBUATAN MELAWAN HUKUM DI DALAM HUKUM PIDANA
A. Eksistensi Perbuatan Melawan Hukum Di dalam Konsepsi Hukum Pidana
Hukum pidana di dalam prespektif sistem hukum di Indonesia berada pada ruang lingkup hukum publik
yang secara esensial dapat dibagi lagi menjadi hukum pidana materiil (materieel strafrecht) dan hukum
pidana formal (formeel strafrechtlstrafprocesrecht) 1 Selanjutnya, ketentuan hukum pidana sesuai konteks
di atas dapat diklasifikasikan menjadi hukum pidana umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius
singulare, ius speciale atau bijzonder strafrecht). Ketentuan hukum pidana umum dimaksudkan berlaku
secara umum sebagaimana termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan
hukum pidana khusus menurut W.P.J. Pompe, H.J.A. Nolte, Sudarto dan E.Y. Kanter diartikan ketentuan
hukum pidana yang mengatur mengenai subyeknya dan perbuatan yang khusus (bijzonder lijkfeiten). 2
Hukum pidana sebagai lingkup hukum publik merupakan salah satu sarana untuk social defence dalam arti
melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali si pembuat
tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat.
Identifikasi dari beberapas aspek atau bentuk-bentuk perlindungan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan adalah sebagai berikut: 3
1. Dilihat dari sudut perlunya perlindungan masyarakat terhadap perbuatan anti sosial yang merugikan dan
membahayakan masyarakat maka timbullan pendapat atau teori bahwa tujuan pidana dan hukum pidana
adalah penanggulangan kejahatan/penindasan kejahatan/penegakan kejahatan/pengendalian kejahatan.
2. Dilihat dari sudut perlindungan masyarakat terhadap sifat berbahaya orang (si pelaku), maka timbul
pendapat bahwa tujuan pidana adalah untuk memperbaiki si pelaku / rehabilitasi /reformasi sosial /
resosialisasi /pemasyarakatan/pembebasan. Memperbaiki si pelaku mengandung makna mengubah atau
1 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2005), hal. 171. Lihat juga, Jan Remmelink, Hukum
Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 5
2 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Normatif, Teoretis, Praktik dan Masalahnya), (Bandung: Alumni, 2007),
hal. 1
3 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 26
2. mempengaruhi tingkah laku kembali patuh pada hukum.
3. Dilihat dari sudut perlunya perlindungan masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan dalam
menggunakan sanksi pidana atau reaksi terhadap pelanggar pidana, maka dapat dikatakan tujuan pidana
adalah mengatur atau membatasi kesewenangan penguasa maupun warga masyarakat pada umumnya
dalam melakukan reaksi terhadap si pelanggar sering pula dikatakan bahwa pidana dimaksudkan untuk
menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-motif balas dendam atau untuk menghindari balas dendam.
4. Aspek lain dari perlindungan masyarakat adalah perlunya mempertahankan keseimbangan atau
keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu
oleh adanya kejahatan/dapat dikatakan bahwa tujuan pidana adalah untuk memelihara atau memulihkan
keseimbangan masyarakat.
Selanjutnya, dikaji dari perspektif teoretis dan praktik konsepsi perbuatan melawan hukum dikenal dalam
dimensi hukum perdata dan hukum pidana. Dari aspek etimologis dan terminologis maka perbuatan
melawan hukum dalam bahasa Belanda dikenal dengan terminologi "wederrechtelijk" dalam ranah hukum
pidana dan terminologi "onrechtmatige daad" dalam ranah hukum perdata. Akan tetapi, pengertian dan
terminologi "wederrechtelijk" dalam hukum pidana tersebut ada diartikan sebagai bertentangan dengan
hukum (in strijd met het recht), atau melanggar hak orang lain (met krenking van eens anders recht) dan
ada juga yang mengartikan sebagai tidak berdasarkan hukum (niet steunend op het recht) atau sebagai
tanpa hak (zonder bevoegheid). Dalam hukum pidana, khususnya terhadap perkara tindak pidana korupsi
telah terjadi pergeseran perspektif dimana perbuatan melawan hukum formal (formele wederrechtelijkheid)
menjadi perbuatan melawan hukum materil (materiele wederrechtelijkheid) dalam artian setiap perbuatan
yang melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang dianggap tercela
oleh masyarakat. Pergeseran perbuatan melawan hukum formal menjadi perbuatan melawan hukum
materil tersebut dalam hukum pidana dipengaruhi dari pengertian luas ajaran perbuatan melawan hukum
3. dalam hukum perdata melalui arrest Cohen-Lindenbaum tanggal 31 Januari 1919. 4
Dalam hukum pidana, sifat melawan hukum memiliki empat makna yakni: Pertama, perbuatan melawan
hukum diartikan syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan sebagaimana definisi perbuatan pidana
yakni kelakuan manusia termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela. Kedua,
kata melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian, sifat melawan hukum
merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Ketiga, sifat melawan hukum formal
mengandung arti semua unsur dari rumusan delik telah dipenuhi. Keempat, sifat melawan hukum materil
mengandung dua pandangan sebagai berikut: 5
2. Dari sudut perbuatannya mengandung arti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang
hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang rumusan delik.
3. Dari sudut sumber hukumnya, sifat melawan hukum mengandung pertentangan dengan asas kepatutan,
keadilan dan hukum yang hidup di masyarakat. Perkembangan berikut, sifat melawan hukum material
dibagi menjadi sifat melawan hukum material dalam negatif dan fungsi positif. Sifat melawan hukum materil
dalam fungsi negatif berarti meski perbuatan memenuhi unsur delik tetapi tidak bertentangan dengan rasa
keadilan masyarakat, maka perbuatan itu tidak dipidana. Adapun sifat melawan hukum materil dalam
fungsi positif mengandung arti, meski perbuatan tidak memenuhi unsur delik, tetapi jika perbuatan itu
dianggap tercela karena tidak sesuai rasa keadilan atau norma di masyarakat, maka perbuatan itu dapat
dipidana.
B. Unsur Perbuatan Melawan Hukum (Wederrechtelijke) Dalam Suatu Tindak Pidana
Hukum pidana dikenal sebagai ultimum remidium atau sebagai alat terakhir apabila usaha-usaha lain tidak
bisa dilakukan, ini disebabkan karena sifat pidana yang menimbulkan nestapa penderitaan, demikian
Sudarto mengemukakan pada pelaku kejahatan, sehingga sebisa mungkin dihindari penggunaan pidana
4 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003), hal. 13
5 Perbuatan melawan hukum di dalam hukum pidana, http://www.google.co.id, diakses tanggal 25 Mei 2009
4. sebagai sarana pencegahan kejahatan. 6 Tetapi tidak semua orang berpendapat bahwa pidana itu
menimbulkan penderitaan, setidak-tidaknya Roeslan Saleh mengemukakan bahwa dalam pidana itu
mengandung pikiran-pikiran melindungi dan memperbaiki pelaku kejahatan.Untuk menjatuhkan pidana
harus dipenuhi unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam suatu pasal. Salah satu unsur dalam suatu
pasal adalah sifat melawan hukum {wederrechtelijke) baik yang secara eksplisit maupun yang secara
implisit ada dalam suatu pasal.7
Adanya sifat melawan hukum yang secara implisit dan eksplisit terdapat dalam suatu pasal masih dalam
perdebatan, tetapi tidak disangsikan lagi bahwa unsur ini merupakan unsur yang harus ada atau mutlak
dalam suatu tindak pidana agar si pelaku atau terdakwa dapat dilakukan penuntutan dan pembuktian di
pengadilan. Jika
Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
6 Sudarto, dalam H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005),
hal. 102
7 Roeslan Saleh, Ibid
5. meneliti Pasal-Pasal dalam KUHP maka akan tercantum kata-kata melawan hukum (wederrechlijke) untuk
menunjukan sah suatu tindakan atau suatu maksud. Penggunaan kata wederrechlijke untuk menunjukan
sifat tidak sah suatu tindakan terdapat dalam Pasal 167 ayat (1), 168, 179, 180, 189, 190, 198, 253 - 257,
333 ayat (1), 334 ayat (1), 335 ayat (1) angka 1, 372, 429 ayat (1), 431, 433 angka 1, 448, 453 - 455, 472
dan 522 KUHP. Sedangkan penggunaan kata wederrechlijke untuk menunjukan suatu maksud dapat
dijumpai dalam Pasal 328, 339, 362, 368 ayat (1), 369 ayat (1), 378, 382, 390, 446 dan 467 KUHP. 8
Pada umumnya para sarjana hukum menyatakan bahwa melawan hukum merupakan unsur-unsur dari
tiap-tiap delik baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak, tetapi tidak semua Pasal dalam KUHP
mencantumkan unsur melawan ini secara tertulis, hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
1. Bilamana dari rumusan undang-undang, perbuatan yang tercantum sudah sedemikian wajar sifat
melawan hukumnya sehingga tidak perlu dinyatakan secara eksplisit;
2. Perbuatan melawan hukum berarti bahwa perbuatan seseorang melanggar atau bertentangan dengan
kaidah materil yang berlaku baginya, oleh karena itu dengan sendirinya berarti bahwa memidana orang
yang tidak melakukan perbuatan
pidana adalah onzining, tidak masuk akal, sifat melawan hukumnya perbuatan merupakan salah satu
syarat pemidanaan.9
Pembicaraan mengenai dasar atau alasan penghapus pidana yang meliputi alasan pembenar dan alasan
pemaaf maka sifat melawan merupakan alasan pembenar, artinya jika alasan sifat melawan hukum dari
suatu perbuatan hapus atau tidak terbukti maka terdakwa harus dibebaskan. Unsur sifat melawan hukum
ini tidak hanya sifat melawan hukum yang bersifat formil (formele wederrechtelijkheid) maupun sifat
melawan hukum yang materil (materiele wederretelijkheid).
Keberadaan formale wederrechtelijkheid tidak menjadi persoalan karena secara eksplisit menjadi unsur
8 P.A.F. Lamitang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, Bandung, 1990), hal. 332
9 Andi Zainal Abidin, Asas-Asas Hukum Pidana (Bagian Pertama), (Bandung: Alumni, 1987), hal. 269-270.
6. dari suatu pasal, sehingga untuk menentukan apakah seseorang itu wederrechtelijk atau tidak cukup
apabila orang itu melihat apakah perbuatan itu telah memenuhi semua unsur yang terdapat dalam
rumusan delik atau tidak. Hal ini tentunya berbeda dengan materiele wederrechtlikheid. Terhadap hal ini
memang menjadi persoalan karena di negeri Belanda sendiri ajaran materiele wederrechtlikheid kurang
berkembang, sedangkan persoalannya menjadi lain karena di Indonesia berkembang pula hukum tidak
tertulis yaitu hukum adat yang memungkinkan sifat melawan hukum tidak berdasarkan hukum tertulis dan
terdapat dalam KUHP tetapi unsur melawan hukum itu ada dalam kehidupan masyarakat yang tidak
tertulis. Perkembangan ajaran sifat melawan hukum yang materil di Indonesia
ternyata tidak seperti yang terjadi di Belanda. Meskipun sebelumnya Mahkamah Agung dalam kasasinya
tanggal 17 Januari 1962 No. 152 K/Kr/1961 menganut paham formale wederrechtelijkheid, tetapi
perkembangan selanjutnya menunjukan hal yang sebaliknya. Sejak Mahkamah Agung mengeluarkan
Keputusan No. 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966, badan peradilan tertinggi ini secara terang-terangan
menganut ajaran sifat melawan hukum yang materil (materiele wederrechtlikheid) sebagai alasan
pembenar. Kaidah hukum yang ditarik dari putusan tersebut adalah sebagai berikut: 10
"Suatu tindakan dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan
dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan keadilan atau hukum yang tidak tertulis dan
bersifat umum, sebagai misalnya 3 faktor :
a. negara tidak dirugikan;
b. kepentingan umum dilayani;dan
c. terdakwa tidak mendapat untung.
Keputusan ini dianggap sebagai yang pertama tentang pengakuan penggunaan ajaran materiele
wederrechtlikheid yang selanjutnya digunakan pula dalam beberapa putusan Mahkamah Agung yang lain.
10 L. Suryadarmawan, Himpunan Keputusan-Keputusan Dari Mahkamah Agung, Jakarta: 1967), hal 555.
7. 11
Kaidah hukum yang terdapat dalam Keputusan No. 42 K/Kr/1965 tidak terdapat dalam KUHP, khususnya
dalam
Bab 3 Buku 1 tentang alasan-alasan penghapus pidana. Kaidah ini tercipta sebagai
akibat dari suatu perkara korupsi yang diputuskan oleh Mahkamah Agung yang mengambil alih
pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 27 Januari 1965 No. 146/1964 yang merupakan
perkara banding dan PN Singkawang tanggal 24 September 1965 No. 6/1964. Putusan ini mengundang
berbagai pendapat, diantaranya adalah Sudarto, yang menyatakan bahwa :
Terhadap kasus tersebut ada dua hal yang perlu dikemukakan :
a. Keputusan PT Jakarta tersebut memberi presedent bahwa ajaran sifat melawan hukum yang material
dalam fungsinya yang negatif telah dianut;
b. Sangat diragukan kebenaran pendapat bahwa dalam persoalan penggelapan apabila "negara tidak
dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa tidak mendapat untung" terdakwa lalu dipandang tidak
berbuat sesuatu yang melawan hukum. Apabila jalan pikiran ini diikuti, seorang pemegang kas negara,
yang membungakan uang yang dikuasainya, baik kepada Bank maupun kepada perseorangan, tidak dapat
dituduh menggelapkan kalau memenuhi tiga faktor tersebut, misalnya bunganya disumbangkan kepada
orang-orang miskin atau badan-badan sosial. Dapat kita menarik konsekuensi sedemikian jauh. 12
Terhadap persoalan di atas, Oemar Seno Adjie berpendapat lain. Oemar Seno
Adjie mengemukakan:13
Maka, suatu konstruksi sekitar materiele wederrechtlikheid dan perumusannya yang mengakui adanya
strafuitslutings, tidak ada perbuatan melawan hukum yang materiil, jika ada afweziheid van alle materiele
11 Lihat juga putusan MARI No. 30 /K/Kr/1969 dalam kasus jual beli vespa bekas, MARI NO. 72 K/Kr/1970 dalam kasus
penarikan cek kosong Caltex, MARI No. 43 K/Kr/1973, dalam kasus Komisi Dokter Hewan, MARI No. 97 K/Kr/1973 dalam
kasus Deposito Telkom, MARI No. 81 K/Kr /1973 dalam kasus Reboisasi Hutan.
12 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hal.
56
13 Oemar Seno Adjie, Hukum Pidana Pengembangan, (Jakarta: Erlangga, 1985), hal. 44 Verdianto I. Bitticaca : Ajaran Perbuatan
Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, 2010.
8. wederrechtlikheid. Ia merupakan suatu kesimpulan dalam ilmu hukum, yang seterusnya dapat
dikembangkan pula oleh yurisprudensi dan semoga dapat disumbangkan bagi para legislator untuk
menetukan perundang-undangannya.
Dari kedua pendapat tersebut memang terlihat tidak ada ukuran yang pasti tentang kapan dan dapat
hilangnya sifat melawan hukum materiil. Tentu saja yang dimaksud dengan ukuran yang pasti di sini
bukanlah suatu ukuran yang matematis, tetapi suatu ukuran obyektif yang dilihat dari hukum yang berlaku.
Melawan undang-undang berarti secara formil melawan hukum. Mungkin perbuatan itu bertentangan
dengan norma-norma lain yang tidak diatur oleh undang-undang, di sinilah letaknya sifat melawan hukum
materil. Meskipun demikian belumlah tentu perbuatan itu sebagai pidana jika tidak terlebih dahulu
ditentukan dalam undang-undang. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya kesulitan dalam penegakan
hukum karena banyak perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma hukum yang belum diatur
dalam perundang-undangan. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Muladi yang mengatakan ".........
dengan meningkatnya kuantitas
kasus-kasus malpraktek di kalangan profesi, akan di sini penerapan ajaran sifat melawan hukum materil
dalam penegakan hukum pidana".14
Kesulitan lain juga muncul di samping karena sifat hukum pidana sebagai
ultimum remidium, yaitu karena badan legislatif tidak begitu cepat tanggap terhadap
62 Komariah Emong S, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia, Prisma, No.
7 Juli 1995, hal. 30
pembentukan undang-undang baru untuk mengantisipasi kejahatan-kejahatan bentuk baru sebagai
akibatnya hakim harus berhadapan dengan masalah penafsiran yang bagi hakim pidana terbatas jenisnya.
Schaffmeister melukiskan keadaan ini sebagai keadaan di mana hakim terpaksa menerapkan Pasal-Pasal
14 Muladi, Sinkronisasi Pelaksanaan Penegakan Hukum dalam Mewujudkan Integrated Criminal Justice System, Makalah
dalam diskusi hukum ICJS, Yogyakarta, 25 - 26 Juli 1990.
9. penipuan bagi perkara-perkara yang muncul sebagai akibat perkembangan masyarakat sedangkan
perangkat undang-undang pidana belum mengaturnya. 15 Peran legislatif menjadi sangat penting untuk
membuat suatu peraturan hukum pidana. Menurut Roeslan Saleh, "dengan jalan menyatakan sesuatu
perbuatan dapat di pidana, maka pembentuk itu sebagai bersifat melawan hukum atau untuk selanjutnya
akan dipandang demikian.16 Sebagai contoh pentingnya peran legislatif dalam membuat suatu peraturan
pidana adalah dalam perumusan tindak pidana korupsi. Dalam UU No. 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat rumusan delik yang memuat ajaran sifat melawan hukum
yang materil. Hal ini tersimpul dalam kalimat "Kerugian keuangan negara" atau "perekonomian" seperti
yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dan b. Unsur ini oleh jaksa penuntut umum ditafsirkan
sebagai unsur yang harus dibuktikan di persidangan. Oleh Romli Atmasasmita, kelemahan rumusan delik
dalam UU No. 3 Tahun 1971 ini diperlemah dengan adanya keputusan MARI No. 24 K/Kr/1965 tersebut di
atas sehingga banyak tindak pidana korupsi yang menyangkut konglomerat tidak dilanjutkan ke tingkat
pemeriksaan di pengadilan karena tidak
terbukti unsur kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dengan dikembalikannya uang hasil
korupsi oleh terdakwa kepada negara.17
Perkembangan selanjutnya, pembicaraan antara pemerintah dengan lembaga legislatif menghasilkan
rumusan yang berbeda dengan UU No. 3 Tahun 1971. UU No. 31 Tahun 1999 sebagai ganti UU No. 3
Tahun 1971 menetapkan tindak pidana korupsi dirumuskan secara formal (delik formal), bukan delik
materil, di mana pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan penuntutan pidana terhadap
terdakwa, melainkan hanya sebagai faktor yang meringankan pidana. 18 Hal ini sebagaimana dikemukakan
15 D. Schaffimeister, Fraud Bestrijding Zonder Grondslag, Leiden, 1990
16 Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, (Jakarta: Aksara Baru,
1987), hal 7.
17 Romli Atmasasmita, Proses Penanggulangan Korupsi di Indonesia Memasuki Abad XXI : Suatu Reorientasi atas Kebijakan
Hukum Pidana di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya, FH UNPAD, Bandung 25 September 1990.
18 Hasil wawancara dengan penyidik pada Satuan Tindak Pidana Korupsi Polda Sumatera Utara, tanggal 25 Mei 2009
10. oleh penyidik Satuan Tipikor Polda Sumatera Utara yang menyatakan bahwa:
"Undang-undang tindak pidana korupsi yang diatur di dalam undang-undang sebagai kerangka penyidik
untuk melakukan serangkaian penyidikan atas terjadinya suatu peristiwa pidana yang dituduhkan kepada
tersangka tindak pidana korupsi maka kerangka hukum yang digunakan penyidik adalah mengacu pada
ketentuan yang terdapat dalam undang-undang tindak pidana korupsi yang merumuskan tentang
perbuatan melawan hukum formil, sedangkan melawan hukum materiil penyidik tidak dapat menggunakan
kerangka hukum ini walaupun telah ada putusan Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Agung"
C. Perbuatan Melawan Hukum Berhubungan Dengan Adanya Kesalahan (Schuld) Sebagai Syarat
Pengenaan Pidana
Prinsip pertanggungjawaban pelaku kejahatan di dalam hukum pidana
dilandasi oleh adanya kesalahan (shuld) di dalam perbuatan melawan hukum
(wederechtelijk) sebagai syarat untuk pengenaan pidana, 19 sehingga untuk
pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana di dalam faham KUH Pidana diperlukan
beberapa syarat yakni: Pertama, adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh
kealpaan. Kedua, adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. Ketiga,
adanya pembuat yang mampu bertanggungjawab dan tidak ada alasan pemaaf.
Kesalahan (schuld) sangat erat kaitannya dengan suatu kejahatan yang dilakukan oleh
subjek hukum manusia alamiah yang mengandung arti bahwa dapat dipidananya
seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan hukum atau sifat melawan hukum. Meskipun perbuatannya
memenuhi rumusan tindak pidana dalam undang-undang dan tidak dapat dibenarkan,
19 Bandingkan, Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Badan Penyediaan Bahan-Bahan Kuliah FH Undip, 1987/1988), hal. 85,
bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau
bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undnag dan tidak dibenarkan
(an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk
pemindanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang
yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjektive guilt). Dengan perkataan lain orang tersebut harus
dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatanya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.
11. namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana karena
penjatuhan pidana memerlukan adanya syarat bahwa orang yang melakukan
perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt) 20 Hal ini
tentunya mengambarkan bahwa perbuatan melawan hukum berhubungan dengan kesalahan sebagai
syarat penjatuhan pidana dalam rangka meminta pertanggungjawaban pelaku sesuai dengan asas geen
straf zonder schuld di dalam faham hukum pidana, untuk menentukan kesalahan sebagai dasar penjatuhan
pidana tentunya didasarkan kepada perbuatan yang dilakukan bertentangan dengan hukum atau bersifat
melawan hukum.
Selanjutnya, pertanggungjawaban pidana akibat timbulnya perbuatan melawan hukum pada dasarnya
dapat dipertanggungjawabkan kepada diri seorang pelaku tindak pidana harus memenuhi 4 (empat)
persyaratan sebagai berikut:21
1. Ada suatu tindakan (commission atau ommissiori) oleh si pelaku:
2. Yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam undang-undang;
3. Dan tindakan itu bersifat "melawan hukum" atau unlawful serta'
4. Pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan.
Hubungan perbuatan melawan hukum dengan kesalahan sebagai syarat dapat dipertanggungjawabkannya
perbuatan pelaku tindak pidana bermakna bahwa schuld harus mengadung unsur pencelaan terhadap
seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Jadi orang yang bersalah melakukan perbuatan berarti
bahwa perbuatan itu dapat dicelakan kepadanya. Pencelaan dimaksud bukannya diartikan pencelaan
berdasarkan kesusilaan melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku
(bukan ethische schuld melainkan verantwoordelijk held rechtens)11 Hal ini berarti
bahwa penjatuhan pidana berdasarkan syarat pertanggungjawaban pelaku tindak pidana dilandasi oleh
20 H. Setiyono, Op.cit, hal. 101
21 Lihat, Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2000),
hal. 67.
12. kriminalisasi suatu perbuatan pidana di dalam undang-undang.12
Menurut Komariah Emong Sapardjaja bahwa suatu tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang
memenuhi perumusan delik melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu. 22
Perumusan delik ini dikarenakan asas legalitas dianut dalam konsepsi hukum pidana yang mewajibkan
kepada pembuat undang-undang untuk menentukan terlebih dahulu dalam undang-undang dan apa yang
dimaksud dengan tindak pidana harus dirumuskan dengan jelas karena perumusan mempunyai peranan
yang menentukan mengenai apa yang dilarang dan apa yang harus dilakukan orang. Hal ini sebagaimana
dirumuskan oleh Enschede bahwa "een strafbaar feit is een menselijke gedraging, die valt binnen de
grenzen van een delictsomschrijving, wederrechtelijk is en aan schuld te wijten " (tindak pidana adalah
suatu perbuatan manusia yang termasuk dalam perumusan delik, melawan hukum dan kesalahan yang
dapat dicelakan padanya).
Unsur untuk dikatakan bahwa adanya perbuatan pidana sebagai perbuatan yang bertentangtan dengan
undang-undang atau perbuatan melawan didasarkan pada
71 Ibid
12 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op.cit, hal. 240 bahwa kebijakan kriminalisasi
merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak
dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi, pada hakikatnya kebijakan
kriminalisasi merupakan bahagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana
hukum pidana (penal) dan oleh karena itu termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy).
adanya kesalahan berupa kesengajaan (dolus, opzet, intention) yang diwarnai dengan sifat melawan
hukum kemudian dimanifestasikan dalam sikap tindak. Di samping kesalahan berupa kealpaan atau culpa
22 Komariah Emong Sapardjaja, Op.cit, hal. 23
13. yang diartikan sebagai akibat kurang kehati-hatian secara tidak sengaja sesuatu terjadi. 23 Dalam bahasa
Belanda asas tindak pidana tanpa kesalahan dikenal dengan istilah "Geen Straf Zonder Schuld". Asas ini
tidak dijumpai pada KUH Pidana sebagaimana halnya asas legalitas, karena asas ini adalah asas yag ada
dalam hukum tidak tertulis.24
Asas kesalahan ini merupakan asas yang diterapkan dalam pertanggungjawaban pidana akibat terjadinya
perbuatan melawan hukum, artinya pidana hanya dijatuhkan terhadap mereka yang benar-benar telah
melakukan kesalahan dalam suatu tindak pidana. Adapun mengenai pengertian kesalahan ini, Mezger
mengatakan bahwa "kesalahan adalah keseluruhan syarat uang memberi
76
dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat pidana". Berdasarkan pendapat tersebut maka
dapat dikatakan bahwa kesalahan itu mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah
melakukan perbuatan itu, berarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakan kepadanya. Perbedaan antara
kesengajaan dan kelalaian semata-mata diperlukan dalam pembidanaan dan bukan penghapusan
kesalahan. Oleh
76 Sudarto, Op.cit, hal. 30.
sebab itu pada hakikatnya pertanggungjawaban selalu dimintakan terhadap individu yang dianggap
bersalah dalam terjadinya suatu tindak pidana.
Selanjutnya, hukum pidana mengenai 3 pengertian dasar yaitu sifat melawan hukum (unrechf), kesalahan
(schuid), dan pidana (strafe) yang secara dogmatis unsur kesalahan harus ada dalam hukum pidana.
Unsur-unsur kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya dimana antara satu dengan yang lain tidak dapat
23 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana (Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana,
(Jakarta: Centra, 1968), hal. 23 bahwa asas legalitas mengandung asas perlindungan yang secara historis merupakan reaksi
terhadap kesewenangan-wenangan penguasa di jaman Ancient Regime, serta jawaban atas kebutuhan fungsional terhadap
kepastian hukum yang menjadi keharusan dalam suatu negara liberal pada waktu itu. Roeslan Saleh, menyatakan dengan tegas
"nyata bahwa penolakan atas asas legalitas, suatu asas dan pengertian dalam lapangan hukum pidana adalah bertentangan dengan
makna hukum pidana itu sendiri"
24 Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1980), hal. 3.
14. dipisahkan, yaitu :
a. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat;
b. Hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus) atau
kealpaan (culpa);
c. Tidak ada alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf;