1. HAND OUT KULIAH
PENGANTAR ILMU PETERNAKAN
KODE : PTP 453 (2.1)
Oleh :
Prof. Dr. Mas Yedi Sumaryadi, MS
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PETERNAKAN
PURWOKERTO
2002
2. HAND OUT KULIAH
ILMU REPRODUKSI TERNAK DAN IB
KODE : PTP 453 (2.1)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan sub-sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan sektor pertanian,
dimana sektor memiliki nilai strategis dalam memenuhi kebutuhan pakan yang terus meningkat
atas bertambahnya jumlah penduduk Indonensia, dan peningkatan rata-rata pendapatan
penduduk Indonesia dan taraf hidup pertani dan nelayan. Keberhasilan pembangunan tersebut
ternyata berdampak pada perubahan konsumsi masyarakat yang semula lebih banyak
mengkonsumsi karbohidrat ke arah konsumsi seperti daging, telur, susu (Putu, et al., 1997).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa permintaan akan telur dan daging ayam dalam negeri saat ini
telah dapat dipenuhi oleh produksi lokal, akan tetapi susu dan daging sapi masih memerlukan
pasokan dari luar negeri. Berbagai usaha pembangunan peternakan telah diupayakan oleh
pemerintah sampai ke pelosok daerah namun masih terdapat kekurangan produksi yang akan
mensuplay kebutuhan penduduk Indonesia akan protein hewani.
Cukup banyak berita yang menakutkan dalam beberapa minggu terakhir ini menyangkut
Ketahanan Pangan Bangsa Indonesia. Pengalaman manis sebagai negara swasembada beras pada
1984 dan swasembada kedelai tahun 1992 kini tinggal kenangan. Gara-gara kelengahan kita
semua maka kita lupa untuk mempertahankan ketahanan pangan itu
Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Peternakan selalu mendorong partisipasi
dan komitmen seluruh masyarakat dalam upaya memperbaiki dan pemenuhan kecukupan
pangan dari aspek protein hewani. Hal ini juga sejalan dengan pendapat para ahli gizi, bahwa
protein hewani merupakan dasar bagi pembentukan dan pengembangan otak untuk
meningkatkan kecerdasan generasi mendatang. Kekurangan gizi lebih banyak mengganggu anak-
anak, bahkan kadang-kadang dengan serius mengancam perkembangan psikis dan organis masa
depan mereka, juga seringkali mengakibatkan kerusakan yang tak dapat diperbaiki. Pada orang
dewasa efeknya tak terlalu jelas, namun bagaimana pun juga, kekurangan gizi mengakibatkan
rendahnya daya tahan tubuh terhadap infeksi dan penyakit parasitik yang menyebabkan orang
menjadi apatis yang pada akhirnya mengakibatkan ketegangan, agresivitas, kemarahan yang
mendadak, dan menurunkan produktivitas.
Kondisi objektif saat ini, Indonesia dengan jumlah penduduk (2007) sekitar 224 juta
jiwa, dengan laju pertumbuhan rata-rata 1.15% per tahun, merupakan permasalahan yang perlu
diupayakan jalan keluarnya. Sampai saat ini kebutuhan pangan hewani asal ternak cukup besar,
yang selama ini masih dipenuhi melalui impor, terutama daging dan susu. Demikian halnya
Produksi susu di Indonesia hampir 75.08 % impor atau kebutuhan susu 1.3 juta ton/tahun,
produksi susu nasional baru mencapai 324.000 ton/tahun. Kondisi ini tentunya perlu upaya
alternatif terobosan teknologi untuk percepatan pemenuhan kecukupan pangan hewani.
Thema pada peringatan hari HAM se-dunia pada 10 Desember 2006 hingga 10 Desember 2007
yang akan datang adalah ”Perangi Kemiskinan”. Jauh sebelum itu di internasional telah dibahas
dalam berbagai konferensi tingkat tinggi dunia mengenai pengurangan kemiskinan. Hingga pada
KTT Pangan Dunia PBB (World Food Summit) tahun 2002 di Roma, meyakini bahwa pencapaian
tujuan pembangunan milenium (Millennium Development Goals), untuk mengurangi separuh
dari penduduk miskin dunia pada tahun 2015 tidak akan tercapai. Indikasi utama kemiskinan
dapat terkurangi adalah terbebasnya penduduk bumi dari kelaparan atau ketersediaan pangan
sehat dan bergizi yang memadai.
Masalah kecukupan pangan yang sehat sesungguhnya telah dijamin melalui berbagai
peraturan internasional maupun perundang-undangan nasional, namun masalah kelaparan masih
tetap membayangi bangsa Indonesia. Pangan menurut Undang-undang Republik Indonesia No.7 tahun 1996 adalah
kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak azasi setiap rakyat Indonesia. Berdasarkan sumbernya dikenal
bahan pangan nabati dan hewani. Hasil evaluasi Susenas tahun 2003 tingkat konsumsi pangan
hewani masyarakat Indonesia baru sekitar 58.5% dari kebutuhan (Sudardjat dan Pambudy,
3. 2003). Rendahnya konsumsi pangan hewani ini telah memberi kontribusi terhadap munculnya
kasus gizi buruk di Indonesia beberapa tahun terakhir ini. Pengalaman manis sebagai negara
swasembada beras pada tahun 1984 dan swasembada kedelai tahun 1992 kini tinggal kenangan.
Bahkan pada KTT Pangan Dunia PBB (World Food Summit) tahun 2002 di Roma, diyakini bahwa
pencapaian tujuan pembangunan milenium (Millennium Development Goals), untuk mengurangi
separuh dari penduduk miskin dunia pada tahun 2015 tidak akan tercapai. Indikasi utama tidak
terkuranginya kemiskinan adalah belum terbebasnya penduduk bumi dari kelaparan atau belum
tersedianya pangan sehat dan bergizi yang memadai.
Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 224 juta jiwa pada tahun 2007, dengan laju
pertumbuhan rata-rata 1.15% per tahun (Dirjen Peternakan 2007), maka jika perhatian
difokuskan pada peran ternak sebagai penyedia pangan untuk penduduk yang berjumlah besar,
secara realistik tidak semua produk pangan asal ternak dapat diharapkan memberikan
sumbangan yang nyata. Selama ini kebutuhan pangan hewani asal ternak, terutama daging
dan susu masih dipenuhi melalui impor. Kondisi ini tentunya perlu upaya alternatif melalui
terobosan teknologi untuk mempercepat pemenuhan kecukupan pangan hewani, baik melalui
pendekatan kuantitatif (peningkatan populasi) maupun pendekatan kualitatif (produktivitas per
unit ternak).
Masalah kecukupan pangan yang sehat sesungguhnya telah dijamin melalui berbagai
peraturan internasional maupun perundang-undangan nasional. Merujuk Undang-undang
Republik Indonesia No.7 tahun 1996 bahwa pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang
pemenuhannya menjadi hak azasi setiap rakyat Indonesia. Dalam mimbar ini, ijinkan saya
mengutarakan sedikit ide, untuk mengubah paradigma berpikir tentang pemenuhan kebutuhan
pangan hewani maupun nabati. Seyogyanya, kebutuhan pangan bukanlah menjadi hak azasi
tetapi lebih pada kewajiban azasi, dengan harapan menjadi etos kemandirian di setiap jiwa
rakyat Indonesia.
Beberapa bulan terakhir berita mass media sering melaporkan, bahwa rendahnya
konsumsi pangan disinyalir telah memberi kontribusi terhadap munculnya kasus gizi buruk di
Indonesia (Murti, 2007). Pengalaman manis negeri ini berswasembada beras (1984) dan kedelai
(1992) kini tinggal kenangan. Kelengahan kita semua membuat kita lupa untuk
mempertahankan prestasi besar itu.
Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar, idealnya peran ternak dapat
dioptimalkan sebagai penyedia pangan hewani bagi seluruh penduduk negeri ini. Sayangnya,
secara realistik belum semua produk pangan asal ternak dapat memberikan sumbangan yang
nyata, sehingga perlu upaya alternatif, berupa terobosan teknologi untuk mempercepat
pemenuhan kecukupan pangan hewani, baik melalui pendekatan kuantitatif (peningkatan
populasi) maupun pendekatan kualitatif (produktivitas per unit ternak).
Selama ini kebutuhan pangan hewani asal ternak, terutama daging dan
susu masih dipenuhi melalui impor. Produksi susu nasional hanya mampu
menyediakan sekitar 35% dari total kebutuhan. Demikian pula, laju pemotongan
ternak potong jauh melebihi laju pertumbuhan populasi, sehingga masih
diperlukan impor daging maupun ternak bakalan (Suhaji, 1995).
Terlepas dari laju pemotongan yang meningkat, penurunan populasi lebih
disebabkan oleh rendahnya reproduktivitas induk akibat tingginya kematian
anak. Hasil penelitian melaporkan bahwa angka kematian embrio dan fetus
mencapai 20 -50 persen, dan kematian tertinggi terjadi karena kegagalan
4. implantasi (Tanaka et al., 2001), atau sekitar 10 – 20 % kematian terjadi pada
hari ke-13 sampai 16 setelah perkawinan (Tomaszeweska et al., 1991).
Kondisi tersebut memperkuat dugaan bahwa tingkat kematian anak di dalam kandungan tidak
terlepas dari pengaruh lingkungan mikro uterus (rahim induk) sebagai penghasil susu uterus
(milk uterine), serta ketersediaan zat-zat makanan dalam sistem sirkulasi darah induk. Setelah
lahir daya hidup anak semakin menurun melewati masa prasapih yang kritis, jika terjadi bobot
lahir yang rendah dan kapasitas induk untuk menyediakan air susu tidak mencukupi
(Subandriyo, 1990; Tiesnamurti, 1992; Sumaryadi dan Manalu, 1995). Kenyataannya,
produktivitas induk sebagai penghasil susu di Indonesia, baik untuk konsumsi manusia maupun
untuk anaknya masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan di negara subtropis, walaupun
dengan potensi genetik yang tidak jauh berbeda. Diasumsikan adanya faktor di luar genetik
dan manajemen (lingkungan dan iklim?) yang menyebabkan kelenjar susu tidak berkembang
maksimal
Jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2008, menurut Deputi Bidang Statistik
Sosial BPS Arizal Ahmaf, mencapai 34,96 juta orang, atau turun 16,58 persen
dibandingkan jumlah penduduk miskin per Maret 2007. Penurunan harga beras menjadi
salah satu faktor penyebab turunnya jumlah penduduk miskin itu.
Penduduk miskin di pedesaan dan perkotaan tidak mengalami perubahan mendasar
dengan data tahun sebelumnya. Hampir 63,47 persen penduduk miskin berada di
pedesaan, dan 70 persen penduduk miskin bekerja di sektor pertanian.
Petani di Indonesia memang sering mengalami ironi, yakni mereka tetap miskin atau tidak
sejahtera meski harga pangan dunia naik dan kontribusi mereka terhadap pembangunan
perekonomian nasional sangat besar.
Apakah kemerdekaan yang diperoleh selama 57 tahun lalu telah memerdekakan kita dari
kemiskinan, kelaparan, rawan pangan dan rawan gizi? Adalah ironis, 57 tahun pasca-Proklamasi,
ternyata rakyat kita belum merdeka dari belenggu kelaparan dan kemiskinan. Kelaparan, rawan
pangan dan rawan gizi setiap saat akan selalu mengancam, manakala kemiskinan belum mampu
dihapus dari kehidupan seluruh rakyat. Entah perlu berapa tahun lagi kita harus memperingati
Proklamasi agar kemiskinan terkikis dari Bumi Pertiwi.
Menurut Bank Dunia, 30-60% (66-120 juta orang) dari 210 juta orang tergolong miskin dan hanya
sedikit berada di atas ambang batas kemiskinan. Tapi kita patut bersyukur, Kentucky, California,
dan Texas, nama-nama restoran ayam goreng dari Amerika Serikat (AS) yang sering disebut-
sebut sebagai simbol pangan wong modern, sekarang sudah bertebaran di kota-kota besar
Indonesia. Ayam restoran-restoran tadi dipelihara di Indonesia, tapi induknya (grand
grandparent) harus didatangkan dari AS. Demikian pula bungkil, jagung tepung dan ikannya untuk
pakan. Jadi pengembangan industri unggas di Indonesia sebenarnya secara nasional tidak sehat.
Memang, rakyat yang dulu susah makan ayam dan telur sekarang bisa membelinya dengan
mudah dan murah. Tapi, sepersekian persen uang yang keluar dari kantung rakyat yang makan
telur dan daging ayam itu harus dikirim ke AS untuk impor induk dan bahan pakan. Jadi,
ibaratnya secara ekonomis kita ini dijajah ayam AS.
Kalangan menengah dan kalangan atas di Indonesia tidak hanya cukup memenuhi kebutuhan
protein hewaninya dengan telur dan daging ayam ras. Mereka perlu pula daging kambing (dan
domba) serta sapi. Laju pertumbuhan konsumsi daging kambing dan sapi di Indonesia tak pernah
terimbangi oleh laju pertumbuhan produksi di dalam negeri. Akibatnya kita masih perlu impor
ternak bakalan untuk digemukkan, ternak potong, dan daging beku. Tak ada upaya serius untuk
menanggulanginya, Misalnya, mengimpor bibit calon induk serta menahan induk betina produktif
yang masuk ke rumah pemotongan hewan (RPH). Akibatnya, kini kita juga dijajah sapi dan
domba Australia.
Dengan jumlah penduduk yang mencapai 210 juta jiwa, dan dengan tingkat pertumbuhan 1.35%
per tahun, Indonesia juga membutuhkan ketersediaan pangan sumber karbohidrat dan protein
yang cukup besar. Di sisi lain, selama 10 tahun terakhir perkembangan produksi pangan strategis
(padi, jagung, kedele, ubi kayu, susu sapi, telur, daging ayam/sapi, kacang tanah, minyak goreng
dan gula pasir) menunjukkan gejala yang cenderung mendatar dan bahkan menurun (levelling
5. off). Akibatnya, untuk mencukupi pangan dalam negeri Indonesia harus mengimpor demikian
besarnya.
Saat ini, setiap tahunnya Indonesia harus mengim sapi sekitar 400.000 ekor per tahun. Di tahun
1970-an, kita juga pernah menjadi eksportir sapi. Simpang-siurnya kebijakan impor unggas,
membuat 2,5 juta keluarga (KK) peternak ayam domestik menjerit karena diserbu paha ayam AS
yang dijual di pasar dengan harga Rp 4.500/kg. Ini memukul peternak kita, karena biaya untuk
pengadaan satu kilogram daging ayam Rp 6.500.
AKSESIBILITAS terhadap pangan tak kurang pentingnya dalam ketahanan pangan suatu negara.
WNPG menemukan terjadi dua keadaan sekaligus, yaitu keadaan gizi kurang pada sebagian
anggota masyarakat sementara pada masyarakat yang lain terjadi gizi lebih.
Data yang disampaikan Sekretaris Dewan Ketahanan Pangan Nasional menunjukkan, meski
secara nasional ketersediaan energi tahun 2003 besarnya 3.076 kilokalori (Kkal) atau 120,6
persen dan kecukupan energi, tetapi konsumsinya hanya 1.989 Kkal atau 90,4 persen dari
kecukupan.
Sementara untuk protein terjadi keadaan kelebihan dalam ketersediaan, yaitu 76,4 gram (138,9
persen) dengan konsumsi 55,37 gram (110,7 persen). Menurut rekomendasi WNPG VII tahun
1998, kecukupan gizi adalah energi 2200 Kkal/kapita/hari dan protein 50 gram/kapita/hari.
Meskipun demikian, bila dlilihat dan komposisi jenis sumber protein, terlihat bahwa konsumsi
terbesar masih berasal dan protein nabati (41,3 gram atau hampir 75 persen), sedangkan
hewani sebesar 14,7 gram. Sedangkan yang ideal sumber protein nabati menyediakan 64 persen
dan total konsumsi. Yang juga harus diberi perhatian adalah masih tingginya jumiah anggota
masyarakat yang berstatus rawan pangan. Data Dewan Ketahanan Pangan Nasional
menunjukkan, sebagian besar anggota masyarakat mengalami defisit energi protein karena
mengonsumsi di bawah jumlah yang dianjurkan.
Tanpa pangan bisa dipastikan sejarah kita sebagai bangsa, bahkan sejarah umat manusia akan
berakhir. Oleh sebab itu, masalah ketahan pangan, meskipun tampak mikro jika dilihat dalam
konfigurasi permasalahan bangsa, harus mendapatkan perhatian utama. Tanpa itu, bukan saja
keresahan sosial sulit untuk dihindari tetapi kualitas SDM Indonesia pun secara otomatis akan
rendah. Secara sekilas, itulah barangkali yang menjadi intisari pemikiran penulis ini. Harus
diakui bahwa selain beras, konsumsi pangan kita juga masih rendah, utamanya konsumsi protein
hewani. Konsumsi susu per kapita per tahun, Indonesia kalah jauh dibandingkan dengan India,
misalnya. Per kapita rakyat Indonesia hanya minum susu 6,5 liter per tahun, sedangkan India
mencapai 40 liter. Lebih ironis lagi jika di bandingkan Bangladesh dan Myanmar pun, kita juga
kalah jauh. Bangladesh mencapai 31 liter dan Myanmar 12,9 liter. Ini belum konsumsi daging,
telur, kedelai dan lain-lain. Pendek kata, secara umum, konsumsi pangan kita relatif rendah.
Sementara itu, ketergantungan kita pada produk pangan dunia, khususnya "serealia" masih
relatif tinggi. Padahal China dan India merupakan konsumen terbesar kebutuhan pangan dunia,
termasuk serealia. Situasi demikian secara implisit memberi gambaran, bahwa sesungguhnya
kedaulatan pangan kita sangat rentan. Ini disebabkan oleh ketidakmandirian negara dalam
memenuhi kebutuhan pangan rakyat.
Dengan kata lain, kedaulatan kita dapat terancam sewaktu-waktu, karena ketergantungan
pangan pada negara lain cukup besar. Muaranya adalah bahwa kebijakan pangan kita harus
diubah dengan paradigma baru yang menjamin ketersediaan dan ketahanan pangan. Jika
menggunakan sumber kearifan jawa, kebijakan itu hendaknya berakar pada filosofi Hamemayu
hayuning Bawono, sebuah konsep pembangunan berkelanjutan yang lahir jauh sebelum
Deklarasi Rio tahun 1992, guna menjamin ketahanan pangan yang sustainanble. Tanpa
kesadaran seperti itu, kita tidak akan bisa meningkatkan kualitas hidup rakyat, karena
kelangsungan hidup bangsa selalu terancam kapan pun.
Meskipun dalam berbagai peraturan internasional maupun perundang-undangan nasional
masalah kecukupan pangan yang sehat telah dijamin, namun masalah kelaparan masih tetap
membayangi bangsa Indonesia.
Kesepakatan internasional yang menjamin tentang hak untuk memperoleh pangan tersebut
adalah DUHAM/UDHR, Pembukaan Konstitusi FAO, Konvenan ECOSOC Right/ICESCR dan RDWFS.
Undang-undang dan peraturan di Indonesia yang menjamin terpenuhinya hak atas pangan
tersebut adalah; UU No. 7/1996, Kepres No. 132/2001 tentang pembentukan Dewan Ketahanan
Pangan Nasional, PP No. 68/2002.
Konsep kedaulatan pangan lebih mengutamakan bagaimana pangan ditentukan oleh komunitas
secara mandiri, berdaulat dan berkelanjutan. Kedaulatan pangan adalah hak setiap orang,
6. kelompok-kelompok masyarakat dan setiap negara untuk menentukan sendiri kebijakan
pertanian, ketenaga-kerjaan, perikanan, pangan dan tanah, yang berwawasan ekologis, sosial,
ekonomi dan budaya yang sesuai dengan kondisi khas dan kedaerahan mereka. Ini menyangkut
hak yang sebenar-benarnya terhadap pangan dan produksi pangan, sehingga orang mempunya
hak atas pangan yang aman, cukup gizi dan cocok dengan kondisi budaya setempat dan hak atas
sumber-sumber daya untuk memproduksi pangan serta kemampuan untuk menjaga
keberlanjutan hidup mereka dan masyarakatnya.
I. PENDAHULUAN
Dalam era industrialisasi salah satu upaya terobosan dalam meningkatkan produksi dan efisiensi
usaha termasuk usaha pertanian. Saat ini telah berkembang rekayasa genetika yang akan
memberikan harapan bagi industri pertemakan, baik yang berkaitan dengan masalah produksi,
pakan maupun medis veteriner. Potensi pengembangan dan penerapan bioteknologi peternakan
tersebut sangat besar termasuk Indonesia.
Dalam dasawarsa terakhir ini peranan bioteknologi semakin hari semakin bertambah besar yaitu
dalam menunjang kegiatan pengembangan. Cakupan bioteknologi cukup luas, baik yang baru
dalam tahap penelitian maupun yang sudah dapat diaplikasikan. Pada umumnya diasosiasikan
sebagai rekayasa genetika (genetic enginnering) dan biologi molekuler.
Penelitian dan pengembangan hormon dan produksi biologi lainnya diarahkan untuk diagnosa
dini baik untuk penyakit maupun untuk kebuntingan.
Aplikasi lain adalah untuk memacu pertumbuhan yang lebih cepat. Selain hormon ada 3 bagian
biologi yang akan diteliti dan dikembangkan, yaitu metabolik sekunder, biokonversi dan analisis
genetika.
Aplikasi bioteknologi dibidang peternakan yang sedang digarap meliputi 3
bagian utama yaitu bioteknologi produksi, bioteknologi pakan dan bioteknologi molekuler,
meliputi :
1. Bioteknologi reproduksi, seperti: inseminasi buatan, transfer embrio dan
rekayasa genetika meliputi 19 jenis ternak/hewan yang perlu dikembangkan.
2. Bioteknologi pakan ternak yang terdiri dari bioteknologi pakan hijau dan
konsentrat.
3. Bioteknologi molekuler dibidang kesehatan hewan dan produksi bahan vaksin dan bahan obat
(anti biotik, probiotik, immunoregulator hormon).
Reproduksi dan pertumbuhan ternak dipengaruhi oleh hormon seperti steroid maupun peptida.
Dalam kemajuan, bidang rekayasa genetika sangat dimungkinkan untuk mengisolasi gen target.
Kloning gen target sangat dibantu dengan adanya tehnik hibridisasi maupun amplikasi gen
secara in vitro dengan proses reaksi polimerase berantai (PCR). Untuk keperluan hibridisasi
diperlukan DNA pelacak (probe). Probe ini dapat berupa potongan gen yang mempunyai
aktivitas serupa atau dapat berupa oligunukleotida yang disintesa berdasarkan informasi asam
amino penyusun protein. Untuk teknik PCR diperlukan informasi urutan asam nukleat yang
mengapit gen target yang digunakan sebagai dasar penyusun primer oligonukieotida dengan
menggunakan DNA synthesizer.
Protein berperan dalam semua aktivitas kehidupan sebab protein terlibat dalam setiap aspek
kehidupan seperti katalis struktur, regulasi dan sebagainya (Wiryosuhanto, dkk. 1993). Hormon
yang juga mengandung protein, dan juga akan berpengaruh pada pengaturan terhadap ekspresi
gen, hal ini dapat dipelajari pada beberapa jenis hewan, termasuk ayam hutan hijau (Gallus
varius).
Dinas Peternakan Pemerintahan Propinsi Sumatera Utara (2000).
Ada dua pendapat perihal kebiasaan minum susu orang Indonesia. Pendapat pertama
mengatakan bahwa orang Indonesia termasuk bukan milk drinker. The Javanese (Indonesians)
are traditionally rice eater, the are eager to consume milk,if they can afford to buy it. Jadi
pendapat kedua tersebut mendasar suatu pandangan bahwa masalah kebiasaan tersebut adalah
soal pendidikan, ekonomi dan persediaan.
Suatu cara penyuluhan yang baik adalah penggunaan istilah “empat sehat lima sempurna”,
dimana unsur kelimanya adalah air susu. Penggunaan slogan tersebut adalah untuk membuat
masyarakat “sadar-gizi”’ tetapi lebih jauh dari itu adalah bagaimana membuat masyarakat agar
“mampu-gizi”, sehingga gizinya dapat terpenuhi secara teratur sesuai dengan daya belinya.
Pemanfaatan kambing di Indonesia baru terbatas sebagai penghasil daging,
sedangkan sebagai penghasil susu masih sedikit. Di lain pihak impor susu masih lebih tinggi dari
produksi susu dalam negeri, sedangkan gizi susu kambing tidak banyak berbeda dari susu sapi,
karena perlu suatu tindakan untuk memanfaatkan susu kambing guna memenuhi kebutuhan
7. susu. Selain itu perlu diterapkan teknologi yang dapat merubah susu kambing menjadi hasil
olahan yang mungkin lebih disukai masyarakat dari pada susu segar.
Susu kambing terkenal karena kandungan atau nilai nutrisi dan nilai medisnya sejak zaman
dahulu. Dibandingkan dengan susu sapi, susu kambing mempunyai karakteristik sebagai berikut:
. Daya cerna air susu :
Air susu mengandung bahan/zat makanan yang secara totalitas dapat dicerna, diserap dan
dimanfaatkan tubuh dengan sempurna atau 100%.