1. NOTA KEBERATAN
Kepada Yang Terhormat
MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
Jl. Medan Merdeka Barat No. 9, Jakarta Pusat, 10110
Dengan hormat,
Bertanda tangan di bawah ini:
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), sebuah asosiasi yang
didirikan di Jakarta berdasarkan hukum negara Republik Indonesia, berkedudukan
hukum di Gedung Cyber Lantai ll, Jalan Kuningan Barat No. 8, Jakarta Selatan 12710
yang dalam hal ini diwakili secara sah oleh:
1. Nama : SEMUEL ABRIJANI PANGERAPAN
Tempat Tgl. Lahir/Umur : Makasar, 27-12-1964/
Agama : Kristen
Jabatan : Ketua Asosasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia (APJII)
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : JL. Cirendeu Raya - Taman Bali Persona Bali
7 No.
RT 003/RW 015 Pisangan Ciputat Timur,
Tanggerang Selatan
Nomor Telepon : +62 817 122764
Email : spangerapan@apjii.or.id
2. Nama : ATMAJI SAPTO ANGGORO
Tempat Tgl. Lahir/Umur : Jombang, 04-10-1966/
Agama : Islam
2. Jabatan : Sekretaris Umum Asosiasi Penyelenggara
Jasa Internet Indonesia (APJII)
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Pondok Bambu Kuning F 1 /8 RT 009/RW
014 Bojong Gede, Bogor
Nomor Telepon : +62 818 807419
Email : sapto@apjii.or.id
Pada kesempatan ini, sebelumnya Kami mengucapkan terima kasih kepada Kementrian
Telekomunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang selama ini telah menjadi mitra
Kami dalam menjalani kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan jasa
Internet di Indonesia.
Bahwa Menteri Telekomunikasi dan Informatika (Menkominfo) pada tanggal 7 Juli
2014 telah menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2014 Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan
Negatif (selanjutnya disebut Permenkominfo 19/2014). Ditetapkannya Permenkominfo
19/2014 tersebut adalah sebagai bagian dari kewenangan negara untuk mengatur tata
kelola Internet di Indonesia agar lebih baik. Akan tetapi, menurut hemat Kami ada
beberapa materi dalam Permenkominfo 19/2014 tersebut yang tidak bijak dalam
pengaturannya, sehingga dapat menyebabkan terjadinya kerugian bagi pemangku
kepentingan teknologi informasi dan media Internet di Indonesia.
Bahwa berkaitan dengan hal tersebut, izinkan Kami selaku Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet (APJII), menyampaikan Nota Keberatan terhadap Peraturan Menteri
Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2014 Tentang
Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif.
Adapun KEBERATAN-KEBERATAN Kami terkait terbitnya Peraturan Menteri
Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2014 Tentang
3. Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif adalah sebagai berikut:
A. Pendahuluan
Perkembangan teknologi informasi dan makin terbukanya akses terhadap
sumber-sumber informasi telah membentuk warga Negara yang melek terhadap
informasi (well-informed society), sekaligus mendorong berkembangnya budaya
informasi di masyarakat. Salah satu media baru yang mendorong hal tersebut
adalah lahirnya Internet. Internet sebagai media baru dari suatu produk
teknologi komunikasi, menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII)
telah membuat banyak pihak beranggapan bahwa publik telah mengambil alih
media secara global, bahkan telah memunculkan terminology baru yaitu
“demokrasi digital”, dan sepertinya juga telah menciptakan suatu dunia
tersendiri yang siapapun, dimanapun, dapat mengeluarkan dan
mengekspresikan pendapat serta keyakinannya, walaupun pendapatnya itu
bersifat sangat pribadi.
Kelahiran Internet telah diakui oleh seluruh kalangan di muka bumi ini
bahwa Internet telah membuka keterbukaan media yang sangat luas. Akan
tetapi, keterbukaan media dan berbagai kemungkinan-kemungkinan baru yang
hadir bersamaan dengan lahirnya pula Internet, merupakan dua sisi dari mata
uang yang sama, yang menyimpan pula banyak sekali permasalahan, terutama
menyebabkan banyak nilai-nilai yang dilanggar oleh terjadinya keterbuakaan.
Permasalahan-permasalahan yang timbul sebagai akibat dari keterbukaan
media yang sangat luas karena lahirnya Internet, jelas membutuhkan tata kelola
Internet yang bijak, yang dapat bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat yang
ada di muka bumi ini, khususnya di Indonesia.
Tata Kelola Internet itu sendiri sejatinya diciptakan oleh Pemerintah,
swasta dan masyarakat luas melalui peran mereka masing-masing untuk
4. menghadapi permasalahan-permasalahan yang timbul terkait dengan
keterbukaan media Internet. Salah satu permasalahan yang dihadapi adalah
perbedaan presepsi antara Pemerintahan negara yang menganggap bahwa
Internet tak ubahnya suatu alat komunikasi seperti yang lain yang sudah ada
sebelumnya, sehingga tidak diperlukan perlakuan tersendiri. Namun, di sisi lain
sebagian kalangan menganggap bahwa Internet merupakan suatu produk
teknologi komunikasi yang sama sekali berbeda dengan komunikasi
pendahulunya, sehingga karena itu Internet memerlukan sistem tata kelola yang
berbeda pula. Di tengah perkembangan teknologi informasi dan media Internet
dewasa ini, pemahaman yang kurang mendalam serta kegagapan dalam
menyikapai perkembangan Internet, dapat berujung pada berbagai problematika
di ranah informasi dunia maya, baik antara Pemerintah dengan masyarakat,
maupun antar anggota masyarakat itu sendiri, yang kesemuanya justru
merupakan pemangku kepentingan ranah jagat maya. Faktanya yang
berkembang dewasa ini di Indonesia, telah menunjukkan indikasi timbulnya
gesekan-gesakan diantara para pemangku kepentingan ranah jagat maya itu
sendiri.
Dengan demikian, maka tata kelola Internet menjadi suatu yang krusial
dalam era di mana Internet telah menjadi bagian integral dari kehidupan
masyarakat dewasa ini, baik secara global termasuk di Indonesia. Meskipun
sangat terkait dengan inti dari dunia digital, tata kelola Internet tidak bisa
dikelola dengan logika biner-digital, benar-salah dan baik-buruk. Sebaliknya,
tata kelola Internet terkait dengan waliyah abu-abu yang maha luas, yang terdiri
dari lapisan-lapisan makna dan presepsi. Dengan demikian, dibutuhkan
pendekatan analog yang merangkum berbagai pilihan dan kompromi, di mana
kesemuanya harus dilakukan dengan secara bijaksana.
Sejalan dengan tata kelola Internet yang dilakukan oleh Pemerintah,
tahun 2014 ini Menteri Telekomunikasi dan Informatika (selanjutnya disebut
5. Menkominfo) telah menerbitkan Peraturan Menteri Komunikasi Dan
Informatika Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2014 Tentang Penanganan
Situs Internet Bermuatan Negatif (selanjutnya disebut Permenkominfo 19/2014).
Keberadaan Permenkominfo 19/2014 adalah untuk mengatur (memblokir)
terhadap situs-situs Internet yang mengandung konten/bermuatan pornografi
dan kegiatan ilegal berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terbitnya Permenkominfo 19/2014 adalah sejalan dengan tujuan dari tata
kelola Internet yang harus dilakukan secara bijak. Dalam konsideran
‘menimbang’ Permenkominfo 19/2014 tersebut telah tegas disebutkan bahwa:
a. bahwa internet merupakan salah satu media perwujudan hak asasi
manusia untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang
dilaksanakan secara tertib dan bertanggungjawab dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan teknologi informasi
dan transaksi elektronik serta melindungi kepentingan umum dari
segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan informasi
elektronik yang mengganggu ketertiban umum sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. bahwa untuk memberikan akses internet yang bersih dan nyaman
dengan memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Berdasarkan konsideran ‘menimbang’ Permenkominfo 19/2014 tersebut,
maka jelas tata kelola Internet adalah juga merupakan perwujudan hak asasi
manusia untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang dilaksanakan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Akan tetapi, dengan tidak menegasikan apa yang menjadi tujuan
dari Permenkominfo 19/2014 tersebut, Kami berpendapat bahwa sebagian
materi yang diatur dalam Permenkominfo 19/2014 tersebut justru dapat
berimplikasi terhadap terjadinya pembatasan hak kebebasan masyarakat/warga
negara untuk berpendapat dan berkepresi, yang sejatinya hak tersebut
merupakan perwujudan dari hak asasi manusia itu sendiri yang telah dilindungin
6. dan dijamin oleh Konstitusi.
Sebagaimana telah Kami uraiakan di atas, bahwa salah satu persoalan
yang muncul akibat dari perkembangan teknologi informasi dan media Internet
dewasa ini adalah terjadinya pergesekan diantara para pemangku kepentingan
teknologi informasi dan media Internet. Terbitnya Permenkominfo 19/2014
tersebut, telah memunculkan benih terjadinya pergesakan diantara para
pemangku kepentingan teknologi informasi dan media Internet, baik itu antara
Pemerintah dengan masyarakat, swasta dengan masyarakat, Pemerintah dengan
swasta maupuan antar masyarakat itu sendiri. Hal tersebut ditandai dengan
munculya berbagai penolakan terhadap Permenkominfo 19/2014 sejak
ditetapkannya pada Juli 2014 hingga saat ini.
Koordinator Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN),
menjelaskan bahwa Permenkominfo 19/2014 telah tidak sesuai dengan
ketentuan Pasal 28 J UUD 1945 dan juga pembatasan yang sah yang dikenal
dalam hukum internasional khususnya Pasal 19 Kovenan Hak Sipil dan Politik
yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No 12 Tahun 2005. Supriyadi
mengingatkan untuk melakukan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi
Negara wajib lulus dalam uji tiga rangkai (three part test) yaitu: (1). Pembatasan
harus dilakukan hanya melalui undang-undang; (2). Pembatasan hanya
diperkenankan terhadap tujuan yang sah yang telah disebutkan dalam Pasal 19
ayat (3) Kovenan Sipol; dan (3). Pembatasan tersebut benar-benar diperlukan
untuk menjamin dan melindungi tujuan yang sah tersebut. Di lain pihak,
Anggara, Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
menegaskan bahwa ICJR menolak keras peran Menteri Komunikasi dan
Informatika dalam menentukan apakah suatu situs internet mengandung
muatan yang diduga melanggar hukum nasional. Anggara mengingatkan bahwa
penegak hukum tertinggi yang dapat melakukan penilaian apakah suatu situs
internet diduga memiliki kaitan dengan pelanggaran hukum hanyalah Jaksa
7. Agung Republik Indonesia.
Penolakan terhadap Permenkominfo 19/2014 oleh lembaga-lembaga
tersebut, ditolak oleh Pemerintah dalam hal ini Kemenkominfo. Menurut juru
bicara Kemenkominfo, Permenkominfo 19/2014 tersebut sudah baik untuk
melindungi masyarakat dari bahaya situs-situs negatif, sehingga Permenkominfo
19/2014 tentang situs negatif ini tak perlu direvisi.
Adanya pro-kontra berkaitan dengan Permenkominfo 19/2014 tersebut,
juga membuat Kami selaku salah satu pemangku kepentingan teknologi
informasi dan media Internet merasa berkepentingan untuk ikut serta
memberikan pendapat/usul/aspirasi berkaitan dengan terbitnya Permenkominfo
19/2014. Oleh karenanya, setelah Kami membaca dan mengkaji seluruh materi
yang ada dalam Permenkominfo 19/2014, Kami berpendapat bahwa ada
beberapa hal yang menurut hemat Kami adalah keliru dalam hal mengatur tata
kelola Internet khususnya berkaitan dengan blokir situs negatif sebagaimana
diatur dalam Permenkominfo 19/2014. Dengan demikian, Nota Keberatan ini
Kami maksudkan sebagai upaya untuk memberikan pendapat/usul/aspirasi
terhadap berlakunya Permenkominfo 19/2014.
B. Tidak Ada Wewenang Dari UU ITE Dan UU Pornografi Untuk
Mengatur Blokir Situs Negatif
Dalam penyelenggaraan negara, sebagian besar aturan dituangkan dalam
bentuk hukum tertulis, mulai dari Undang-undang Dasar, Undang-undang,
Peraturan Daerah, sampai pada peraturan yang paling rendah kedudukannya.
Sebagai negara hukum, hal yang harus selalu dijadikan landasan adalah bahwa
dalam penyelenggaraan negara harus berdasarkan hukum.
Negara Indonesia adalah negara hukum. Demikian konstitusi kita secara
8. tegas dan lugas memberikan sebutan bagi negara kita, sebagaimana dirumuskan
dalam bunyi Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar tahun 1945 setelah
perubahan. Artinya, bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan
bernegara terdapat aturan-aturan hukum yang mengaturnya. Undang-undang
Dasar itu sendiri merupakan sebagian dari hukum dasar yang tertulis. Selain
Undang-undang Dasar, terdapat aturan-aturan dasar yang timbul dan
terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.
Berkaitan dengan Permenkominfo 19/2014, untuk mengetahui apakah
bertentangan dengan hukum atau tidak, maka harus dikaji baik secara formil
maupun secara materiil. Formil adalah berkaitan dengan wewenang
pembentukan Perkominfo tersebut dan prosesdur pembuatannya, sedangkan
materiil berkaitan dengan isi (materi) dari Permenkominfo 19/2014 tersebut.
Dari sisi formal, Permenkominfo 19/2014 yang dikeluarkan oleh
Menkominfo, harus dilihat dari adanya wewenang yang dimiliki oleh
Menkominfo dalam mengeluarkan Perkominfo tersebut. Artinya, apakah ada
perintah dari Undang-undang kepada Menkominfo untuk mengatur situs
internet bermuatan negatif atau adakah kewenangan yang dimiliki oleh
Menkominfo untuk mengatur situs internet bermuatan negatif.
Dalam UU Pronografi tidak ditemukan adanya perintah kepada
Mekominfo untuk mengatur Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif. UU
Pornografi yang merupakan lex specialis dalam mengatur pornografi hanya
mengatur berkaitan dengan pemblokiran pornografi melalui internet. Pasal 18
UU Pronografi menyebutkan: “Untuk melakukan pencegahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan
produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran
pornografi melalui internet;
9. b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan,
dan penggunaan pornografi; dan
c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak,
baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Lebih lanjut, hal yang sama dalam UU ITE juga tidak ditemukan secara
tegas adanya perintah kepada Menkominfo untuk mengatur penanganan situs
internet bermuatan negatif. UU ITE mengatur hal-hal yang dialarang
sebagaimana dapat dilihat dalam Pasal 27-pasal 33. Terhadap palnggaran
ketentuan-ketentuan Paal 27-Pasal 33 UU ITE adalah merupakan tindak pidana
yang mendapatkan sanksi pidana. Hal tersebut tegas diatur dalam Pasal 42
sampai dengan Pasal 52 UU ITE. Akan tetapi, pengenaan sanksi pidana yang
diatur dalam UU ITE tidak dibarengi dengan pengenaan sanksi pemblokiran,
karena UU ITE tidak mengatur berkaitan dengan pemblokiran terhadap
pelanggaran ketentuan Pasal 27-33 UU ITE.
UU ITE memang tidak mengatur pemblokiran berkaitan dengan hal yang
dilarang dalam UU ITE. Akan tetapi, UU ITE mengatur peran Pemerintah
penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang
mengganggu ketertiban umum. Pasal 40 UU ITE menyebutkan:
(1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.
(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan
sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi
Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
(3) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memiliki data
elektronik strategis yang wajib dilindungi.
(4) Instansi atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya serta
menghubungkannya ke pusat data tertentu untuk kepentingan
10. pengamanan data.
(5) Instansi atau institusi lain selain diatur pada ayat (3) membuat Dokumen
Elektronik dan rekam cadang elektroniknya sesuai dengan keperluan
perlindungan data yang dimilikinya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Ketentuan Pasal 40 UU ITE tersebut jelas mengatur adanya peran
pemerintah dalam melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan
sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik
yang mengganggu ketertiban umum. Hal mana ketentuan tersebut diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Bila ketentuan Pasal 40 dihubungkan
dengan Pasal 27-33, maka pemblokiran terhadap situs-situs yang melanggar hal
yang dilarang dalam Pasal 27-33 dapat diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Lebih lanjut, berkaitan dengan kedua UU tersebut yakni UU Pornografi
dan UU ITE, yang dapat dikenakan sanksi pidana dan sekaligus pemblokiran
terhadap situs internet adalah hanya dapat dilakukan pada pornografi saja, yang
dalam UU ITE adalah disebut sebagai melanggar kesusilaan. Selebihnya,
pelanggaran terhadap UU ITE yang bukan berkaitan dengan pronografi dan
kesusilaan, tidak dapat dilakukan pemblokiran.
Jika dikaji dari sudut pandang formil, wewenang pemblokiran terhadap
situs pornografi ada pada Pemerintah dan Pemerintah daerah. Pasal 18 UU
Pornografi tegas menyebut “Pemerintah” bukan “Menteri” atau “Kementrian
Terkait”. Dalam Pasal 1 angka 5 UU Pornogarfi, tegas menyebut bahwa yang
dimaksud dengan Pemerintah adalah “Pemerintah Pusat yang dipimpin
oleh Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”.
11. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 dan Pasal 18 UU
Pornografi, dalam rangka menjalankan wewenang sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 18 UU Pornografi, maka seharusnya Presiden RI menerbitkan
Pertuaran Pemerintah untuk menjalankan amanat Pasal 18 UU Pornografi. Hal
ini jelas selain karena adanya amanat dari Pasal 18, UU Pornografi secara umum
tidak mengatuar tata cara berkaitan dengan pemblokiran tersebut, sehingga
untuk melaksanakan pemblokiran tersebut dibutuhkan peraturan lebih lanjut.
Oleh karena wewenang pemblokiran tersebut ada pada
Pemerintah, maka untuk mengatuar tata cara pemblokiran haruslah
diatur dalam Peraturan Pemerintah, bukan Peraturan Menteri.
Artinya, Menkominfo tidak mempunyai wewenang untuk mengatur
pemblokiran dengan menggunakan Permenkominfo.
Akan tetapi, oleh karena hingga saat ini Peraturan Pemerintah sebagai
amanat dari Pasal 18 UU Pornogarfi tidak pernah dikeluarkan oleh Presiden,
maka Menkominfo sebagai menteri yang bertanggungjawab dalam bidang
telekomunikasi dan informatika, dengan kewenangan diskresi yang dimilikinya
berdasarkan Pertauran perundang-undangan yang berlaku, dapat mengatur
pemblokiran terhadap situs yang bermuatan pornografi dengan menggunakan
Peraturan Menteri.
Hanya saja kewenangan diskresi yang dimiliki oleh Menkominfo haruslah
terbatas. Dalam hal ini kewenangan diksresi tersebut terbatas pada kewenangan
untuk mengatur pemblokiran situs yang mengandung pornografi saja, tidak
boleh lebih dari pada itu.
Berkaitan dengan pemblokiran terhadap kegiatan ilegal yang telah diatur
dalam pertauran perundang-undangan, UU Telekomunikasi dalam Pasal 21
adalah merupakan larangan bagi Penyelenggara telekomunikasi melakukan
12. kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan
kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum. Pelanggaran
terhadap ketentuan tersebut berupa pemberian sanksi administrasi. Hal tersebut
secara tegas diatur dalam Pasal 45 dan Pasal 46 UU Telekomunikasi, yang
berbunyi:
Pasal 45
Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19,
Pasal 21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2),
Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 34 ayat (2)
dikenai sanksi administrasi.
Pasal 46
(1) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa
pencabutan izin.
(2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah
diberi peringatan tertulis.
Persoalannya, UU Telekomunikasi tidak mengatur bagaimana tata cara
pemberian sanksi administrasi tersebut. Tidak ada kejelasan bagaimana
pencabutan izin itu dapat dilakukan, bahkan siapa lembaga yang secara spesifik
berwenang untuk melakukan pencabutan izin tersebut. Penjelasan Pasal 21
hanya menjelaskan bahwa “Penghentian kegiatan usaha penyelenggaraan
telekomunikasi dapat dilakukan oleh pemerintah setelah diperoleh informasi
yang patut diduga dengan kuat dan diyakini bahwa penyelenggaraan
telekomunikasi tersebut melanggar kepentingan umum, kesusilaan, keamanan,
atau ketertiban umum”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 21 berserta Penjelasannya Jo. Pasal 45 Jo.
46 UU Telekomunikasi, maka jelas wewenang untuk melakukan penghentian
kegiatan usaha ada pada Pemerintah. Ironisnya, dalam Ketentuan Umum Pasal 1
UU Telekomunikasi, tidak ditemukan siapa yang dimaksud dengan
“Pemerintah”. Hal ini merupakan suatu persolan yang jelas harus mendapat
solusinya, agar Pemerintah dalam hal ini Kemenkominfo mempunyai legetimasi
yang jelas berkaitan dengan Pasal 21 berserta Penjelasannya dan Pasal 45 dan 46
UU Telekomunikasi.
13. Jika dikaji lebih lanjut dengan UU laiannya yang mengatur mengenai
telekomunikasi dan informatika, hal tersebut dapat dilihat dalam hubungan
antara Pasal 40 UU ITE dengan Pasal 21 UU Telekomunikasi. Ketentuan Pasal
40 ayat (6) UU ITE jelas mengamanatkan untuk mengatur perlindungan
terhadap kepentingan umum dari gangguan ketertiban umum sebagai akibat
penyalahgunaan informasi elektronik dengan peraturan pemerintah. Sedangkan
Pasal 21 UU Telekomunikasi, yang dalam penejelasannya menyebutkan
“Penghentian kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi dapat
dilakukan oleh pemerintah setelah diperoleh informasi yang patut diduga
dengan kuat dan diyakini bahwa penyelenggaraan telekomunikasi tersebut
melanggar kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum”,
maka pengehentian penyelnggaraan telekomunikasi yang melanggar kepentingan
umum, kesusilaan, keamanan atau ketertiban umum adalah menjadi wewenang
Pemerintah.
Apabila Pasal 21 UU Telekomunikasi dihubungkan dengan Pasal 40 ayat
(3) UU ITE, maka dapat dilihat keterkaitannya sebagai berikut:
1. Subyek perlindungan dalam Pasal 21 UU Telekomunikasi dan Pasal
40 ayat (3) UU ITE adalah sama yaitu Kepentingan Umum.
2. Subyek yang dilarang dalam Pasal 21 UU Telekomunikasi adalah
Penyelenggara Telekomunikasi. Sedangkan Pasal 40 ayat (3) UU ITE
tidak menyebut tegas siapa yang dilarang. Akan tetapi, jika dilihat dari
rumusan norma Pasal 40 ayat (3) UU ITE, maka yang dilarang adalah
setiap orang yang meliputi orang (person) dan badan hukum (recht
person). Penyelenggara Telekomunikasi dalam hal ini bisa masuk
person atau recht person.
3. Subyek yang memberikan perlindungan kepentingan umum dalam
kedua Undang-undang tersebut adalah sama yaitu Pemerintah.
Penjelasan Pasal 21 UU Telekomunikasi memberikan amanat kepada
14. Pemerintah untk mencabut izin penyelenggara telekomunikasi yang
melanggar Pasal 21. Pasal 40 ayat (6) UU ITE memberikan amanat
kepada Pemerintah untuk bereperan dalam memberikan perlindungan
kepentingan umum sebagai akibat dari penyelahgunaan Informasi
Elektronik dan Transaksi Elektronik.
4. Obyek Pasal 21 UU Telekomunikasi adalah perlindungan terhadap
ketertiban umum, kepentingan umum, kesusilaan dan keamanan.
Sedangkan obyek dari Pasal 40 ayat (3) UU ITE adalah perlindungan
kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat
penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang
mengganggu ketertiban umum. Dengan demikina, kedua ketentuan
tersebut mengatur mengenai ketertiban umum dan kepentingan umum
yang harus dilindungi.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat dilihat bahwa hubungan
antara Pasal 21 UU Telekomunikasi dengan Pasal 40 ayat (3) UU ITE saling
berkaitan. Oleh karena, ketentuan Pasal 21, Pasal 45 dan Pasal 46 UU
Telekomunikasi tidak lengkap dan jelas dalam mengatur bagaimana tata cara
pencabutan izin penyelenggara telekomunikasi oleh Pemerintah, maka apabila
kedua Undang-undang tersebut dikonstruksikan untuk mengatur lebih lanjut
berkaitan dengan peran Pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap
kepentingan umum, serta wewenang Pemerintah dalam melakukan pencabutan
izin terhadap penyelenggara telekomunikasi yang melakukan kegiatan usaha
penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum,
kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum, dapat merujuk pada ketentuan
Pasal 40 ayat (6) UU ITE.
Pasal 40 ayat (6) UU ITE yang merupakan pemberian wewenang kepada
Pemerintah untuk mengatur peran Pemerintah dalam memberikan perlindungan
terhadap kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat
15. penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang
mengganggu ketertiban umum dalam Peraturan Pemerintah, adalah memiliki
makna bahwa Pemerintah dapat juga mengatur ketetntuan lebih lanjut mengenai
tata cara pencabutan izin Penyelenggara Telekomunikasi yang melanggar Pasal
21 UU Telekomunikasi dalam Pertauran Pemerintah. Artinya, Pasal 21, Pasal 45
dan Pasal 46 UU Telekomunikasi yang tidak rinci mengatur pencabutan izin,
harus mengaturnya dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana diamantkan
dalam Pasal 40 ayat (6) UU ITE. Hal ini jelas, karena kedua ketentuan undang-
undang tersebut saling memiliki keterkaitan yang erat.
C. Permen Konten Negatif Berpotensi Menyebabkan Penyalahgunaan
Kekuasaam (Abuse Of Power)
Tugas negara pada prinsipnya berusaha dan bertujuan untuk menciptakan
kesejahteraan bagi rakyatnya. Sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD
1945 alenia ke-4 yang menyatakan dengan tegas tujuan Negara Indonesia, yakni
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Oleh karenanya, untuk mencapai tujuan
tersebut, itulah sebabnya negara harus tampil ke depan dan turut campur
tangan, bergerak aktif dalam bidang kehidupan masyarakat, terutama dibidang
perekonomian guna tercapainya kesejahteraan umat manusia yang berkeadilan
sosial. Namun demikian, untuk mencapai tujuan negara itu ternyata tidak hanya
cukup dengan kekuasaan negara saja tetapi membutuhkan peran hukum untuk
mengendalikan kekuasaan. Lord Acton menyatakan kekuasaan itu mempunyai
kecenderungan untuk disalahgunakan (power tends to corrupt), maka untuk
mencegah adanya kemungkinan, penyalahgunaan kekuasaan itulah hukum
dibutuhkan.
16. Hukum yang dimaksudkan diwujudkan dalam bentuk konstitusi. Di
dalam konstitusi diatur berbagai macam persoalan pokok kehidupan berbangsa
dan bernegara, dari mulai masalah hak asasi manusia hingga masalah pembagian
kekuasaan negara. Dalam hal kekuasaan negara keberadaan konstitusi adalah
untuk membatasi kekuasaan negara itu sendiri. Munculnya ide membatasi
kekuasaan berdasarkan kepada konstitusi tidak terlepas dari perkembangan
konsep negara.
Negara Indonesia adalah negara hukum. Demikian konstitusi kita secara
tegas dan lugas memberikan sebutan bagi negara kita, sebagaimana dirumuskan
dalam bunyi Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar tahun 1945 setelah
perubahan. Artinya, bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan
bernegara terdapat aturan-aturan hukum yang mengaturnya. Undang-undang
Dasar itu sendiri merupakan sebagian dari hukum dasar yang tertulis. Selain
Undang-undang Dasar, terdapat aturan-aturan dasar yang timbul dan
terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.
Dengan demikian, teori negara berdasarkan hukum secara esensi
barmakna bahwa hukum adalah ‘Supreme’ dan kewajiban bagi setiap
penyelenggara negara atau pemerintahan untuk tunduk pada hukum (subject to
the law). Tidak ada kekuasaan di atas hukum (above the law) semuanya ada di
bawah hukum (under the rule of law). Dengan kedudukan ini tidak boleh ada
kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary power) atau penyalahgunaan
kekuasaan (misuse of power).
Bahwa berkiatan dengan terbitnya Permenkominfo 19/2014, akan
berdampak pada perbuatan pemerintah yang dapat berbuat sewenang-wenang
(abuse of power). Hal tersebut dilihat dari adanya materi dalam Permenkominfo
19/2014 yang mengandung multitafsir, yang dapat menyebabkan Kementerian
atau Lembaga Pemerintah dapat berbuat sesukanya kepada masyarakat dalam
17. hal blokir situs negatif. Pasal 4 Permenkominfo 19/2014 menyebutkan:
Pasal 4
(1) Jenis situs internet bermuatan negatif yang ditangani sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, yaitu:
a. pornografi; dan
b. kegiatan ilegal lainnya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Kegiatan ilegal lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
merupakan kegiatan ilegal yang pelaporannya berasal dari Kementerian atau
Lembaga Pemerintah yang berwenang sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Ketentuan tersebut tegas mengatur bahwa ada 2 (dua) situs yang
dikategorikan sebagai situs negatif, yaitu situs pronografi dan situs yang berisi
tentang kegiatan ilegal berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persoalannya terletak pada Pasal 4 ayat (1) huruf (b), yang menentukan adanya
kegiatan ilegeal berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Di
mana kegiatan ilegal tersebut merupakan kegiatan ilegal yang harus ada laporan
terlebih dahulu dari kementrian atau lembaga pemerintah yang berwenang
berdasarkan perturan perundang-undangan.
Rumusan norma Pasal 4 ayat (1) huruf (b) tersebut mengundang
pertanyaan yang sangat mendasar, yaitu apakah yang dimaksud kegiatan ilegal
laiannya? Permenkominfo 19/2014 tersebut tidak mengatur secara tegas bentuk
kegiatan ilegal apa saja yang dimaksud, mengingat dalam pertauran perundang-
undangan di Indonesia ada banyak bentuk kegiatan ilegal.
Bahwa lebih lanjut, berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) maka yang
menentukan kegiatan ilegal adalah lembaga pemerintah yang berwenang serta
kementrian yang berwenang. Ketentuan tersebut telah memberikan wewenang
kepada kementrian dan lembaga pemerintah yang berwenang untuk menentukan
apakah suatu kegiatan di dalam suatu situs internet termasuk ke dalam kegiatan
ilegal atau tidak.
Dengan tidak adanya ukuran yang jelas berkaitan dengan kegiatan ilegal
berdasarkan pertauran perundang-undangan, membuka celah bagi lembaga
18. pemerintah atau kementrian utnuk dapat berbuat ‘like or dislike’ terhadap suatu
situs internet. Dengan demikian, dampak yang terjadi kemungkinan akibat
berlakunya permenkominfo tersebut adalah pemblokiran secara sporadis yang
dilakukan oleh Pemerintah yang tentunya akan merugikan masyarkat itu sendiri.
D. Kesimpulan
1. Carut marutnya undang-undang yang mengatur mengenai telekomunikasi
dan informatika telah nyata berdampak terhadap kewenangan lembaga
pemerintah dalam hal ini Kementrian Komunikasi dan Informatika untuk
mengatur secara teknis berkaitan dengan telekomunikasi dan informtaika.
Hal mana pengaturan secara teknis dibutuhkan sebagai tindak lanjut dari
undang-undang yang telah mengaturnya secara umum. Akan tetapi, tumpang
tindihnya kewenangan yang diatur dalam UU Telekomunikasi, UU Pornografi
dan UU ITE, berdampak terhadap legitimasi Menteri Komunikasi dan
Informatika untuk mengatur hal-hal tersebut secara teknis.
Blokir situs negtaif yang diatur dalam Permenkominfo 19/2014, secara formal
tidak ditemukan rujukan kewenangannya. Dalam UU Pornografi
pemblokiran terhadap situs yang bermuatan pornografi harus diatur dalam
Pertauran Pemerintah. Hal senada juga ditemukan dalam UU ITE dan UU
Telekomunikasi, di mana pemblokiran terhadap situs-situs yang mengganggu
kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum adalah
dengan menggunakan Peraturan Pemerintah. Lebih lanjut, apa yang
dimaksud kepentingan umum, kesusilaan, keamanan atau ketertiban umum
baik UU Telekomunikasi dan UU ITE tidak mengatur secara tegas dan jelas
apa yang dimaksud dengan hal tersebut. Situs-situs internet seperti apa yang
dapat dikategorikan melanggar kepentingan umum, kesusilaan, keamanan
atau ketertiban umum, sehingga dapat dikatergorikan sebagai situs yang
mengandung konten negatif, yang oleh karenanya situs tersebut haruslah
diblokir.
Dengan demikian, agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan serta materi
dalam mengatur blokir situs negatif, maka seharusnya apa yang dikategorikan
19. sebagai melanggar kepentingan umum, kesusilaan, keamanan atau ketertiban
umum haruslah diatur terlebih dahulu dalam Peraturan Pemerintah.
2. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf (b) Permenkominfo 19/2014 menentukan
bahwa situs internet yang bermuatan negatif adalah situs internet yang
mengandung kegiatan ilegal berdasrkan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal menentukan suatu kegiatan dalam situs internet adalah kegiatan
ilegal sebagaimana diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan, hal
tersebut adalah kewenangan dari lembaga atau kementrian yang berwenang.
Persoalannya, dengan multitafsirnya rumusan norma tersebut jelas akan
berdampak pada perbuatan pemerintah yang abuse of power. Lembaga atau
kementrian yang berwenang dapat berbuat ‘like or dislike’ terhadap
masyarakat pengguna internet. Hal ini jelas karena tidak adanya ukuran yang
jelas dari norma Pasal 4 ayat (1) huruf (b) Permenkominfo 19/2014. Dengan
demikian, sebaikanya ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf (b) Permenkominfo
19/2014 dicabut atau setidak-tidaknya dilakukan perubahan.
E. Permohonan
Bahwa berdasarkan uraian yang telah Kamis sampaikan tersebut, maka Kami
memohon kepada Bapak MENTERI TELEKOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
untuk menerima Nota Koberatan Kami. Ada pun permohonan Kami adalah
sebagai berikut:
1. Mencabut Perturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik
Indonesia Nomor. 19 Tahun 2014 Tentang Penanganan Situs Internet
Bermuatan Negatif; atau
2. Mengamandemen (merubah) semua materi yang berkaitan dengan Pasal 4
ayat (1) huruf (b) Peraturan Menteri No. 19 Tahun 2014 tentang Penanganan
Situs Internet Bermuatan Negatif.
20. Bahwa keberatan terhadap Permenkominfo 19/2014 sebagaimana Nota Keberatan yang
Kami sampaikan ini, bukanlah mengartikan Kami pro terhadap pornografi. Senada
dengan Bapak Menteri Komunikasi dan Informtaika yang menyatakan bahwa “terhadap
pornografi, over my dead body! (langkahi dulu mayat saya)”, Kami pun demikian
adanya. Kami sebagai bagian dari warga negara yang menjalani bidang telekomunikasi
dan informatika, khususnya penyelenggaraan jasa Internet di Indonesia juga
mempunuyai harapan dan tujuan yang sama, yaitu “menciptakan internet Indonesia
yang sehat, bebas dari pornografi”. Hanya saja berkaitan Permenkominfo 19/2014
khususnya mengenai materi diluar blokir situs Internet yang mengandung pornografi,
menurut hemat Kami akan menimbulkan dampak yang justru merugikan para
pemangku kepentingan teknologi informasi dan media Internet di Indonesia,
sebagaimana telah terurai dalam Nota Keberatan ini. Demikian Nota Keberatan ini
Kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya Kami ucapkan terima kasih.
Jakarta, 28 November 2014
Hormat kami,
KETUA UMUM APJII SEKJEN APJII
SEMUEL A. PANGERAPAN A. SAPTO ANGGORO