SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 64
Downloaden Sie, um offline zu lesen
PERENCANAAN PENGOLAHAN SISTEM SETEMPAT
              (ON-SITE SYSTEM)

1. UMUM
Pada saat ini mayoritas penduduk Indonesia, baik di perkotaan maupun di pedesaaan, masih
menggunakan sistem pengolahan air limbah sistem setempat (on-site) yang berupa tangki septik
atau cubluk. Pengolahan ini dipilih karena pengolahan air limbah secara terpusat masih belum
banyak tersedia di Indonesia. Selain itu, sistem setempat juga tidak memerlukan biaya yang
besar jika dibandingkan dengan sistem terpusat. Baik biaya pembangunan maupun operasional
masih dapat ditanggung oleh para pemakainya. Pelaksanaan dan pengoperasian sistem setempat
juga lebih sederhana sehingga dapat diterima dan dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara
individual, keluarga ataupun sekelompok masyarakat (komunal).

2. TEKNOLOGI DALAM PENGOLAHAN AIR LIMBAH DENGAN SISTEM
   SETEMPAT (ON-SITE SYSTEM)
Teknologi dalam pengolahan air limbah dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis berdasarkan
pengguna fasilitas tersebut yaitu pengolahan air limbah domestik individual dan pengolahan air
limbah domestik komunal. Teknologi yang digunakan dalam sistem pengolahan setempat akan
diuraikan berikut ini.

2.1 Teknologi Pengolahan Air Limbah Domestik Individual
Teknologi pengolahan air limbah domestic individual yang biasa digunakan adalah tangki
septik (septic tank). Tangki septik adalah suatu ruangan kedap air yang terdiri dari
kompartemen ruang yang berfungsi menampung/mengolah air limbah rumah tangga dengan
kecepatan alir yang sangat lambat sehingga member kesempatan untuk terjadinya pengendapan
terhadap suspense benda-benda padat dan kesempatan dekomposisi bahan-bahan organik oleh
mikroba anaerobik. Proses ini berjalan secara alamiah yang sehingga memisahkan antara
padatan berupa lumpur yang lebih stabil serta cairan (supernatant). Proses anaerobik yang
terjadi juga menghasilkan biogas yang dapat dimanfaatkan.

Cairan yang terolah akan keluar dari tangki septik sebagai efluen dan gas yang terbentuk akan
dilepas melalui pipa ventilasi. Sementara lumpur yang telah matang (stabil) akan mengendap
didasar tangki dan harus dikuras secara berkala setiap 2-5 tahun bergantung pada kondisi.
Efluen dari tangki septik masih memerlukan pengolahan lebih lanjut karena masih tingginya
kadar organik didalamnya. Pengolahan lanjutan yang dapat digunakan berupa sumur resapan



                                              1
(bidang resapan) dan small bore sewerage. Berdasarkan jenis pengolahan lanjutannya, maka
tangki septik dapat dibedakan menjadi tangki septik dengan sumur resapan,
penguapan/evaporasi yang dikenal dengan filter dan tangki septik dengan small bore sewerage.
Perencanaan untuk tangki septik akan diuraikan pada bagian.

Dalam pemanfaatannya tangki septik memerlukan air penggelontor, jenis tanah yang permeable
(tidak kedap air) dan air tanah yang cukup dalam agar sistem peresapan berlangsung dengan
baik. Oleh karena itu, tangki septik cocok digunakan pada daerah yang memiliki pengadaan air
bersih baik dengan sistem perpipaan maupun sumur dangkal setempat, kondisi tanah yang dapat
meloloskan air, letak permukaan air tanah yang cukup dalam, dan tingkat kepadatan penduduk
masih rendah tidak melebihi 200 jiwa/ha (Bintek, 2011).


    Tangki septik adalah salah satu cara pengolahan air limbah domestik yang
    menggunakan proses pengolahan secara anaerobik. Proses ini dapat memisahkan
    padatan dan cairan di dalam air limbah. Padatan dan cairan memerlukan dan harus
    diolah lebih lanjut karena banyak mengandung bibit penyakit atau bakteri patogen yang
    berasal dari kotoran (feces) manusia. Jika tidak diolah, maka dikhawatirkan air limbah
    dapat menularkan penyakit kepada manusia terutama melalui air (waterborne disease).



2.1.1 Perencanaan Tangki Septik
Bentuk tangki septik tidak berpengaruh banyak terhadap efisiensi degradasi material organik
yang berlangsung didalamnya. Oleh karena itu, dapat digunakan tangki septik yang berbentuk
silinder ataupun persegi panjang. Bentuk silinder biasanya digunakan untuk pengolahan lumpur
tinja dengan kapasitas kecil dengan minimum diameter 1,20 m dan tinggi 1,00 m yang
diperuntukkan untuk 1 (satu) keluarga atau rumah tangga.

Tangki septik terbagi menjadi 2 (dua) berdasarkan jenis air limbah yang masuk kedalamnya
yaitu tangki septik dengan sistem tercampur dan sistem terpisah. Tangki septik dengan sistem
tercampur adalah tangki septik yang menerima air limbah tidak hanya lumpur tinja dari kakus
saja tetapi juga air limbah dari sisa mandi, mencuci ataupun kegiatan rumah tangga lainnya.
Sementara itu, tangki septik dengan sistem terpisah adalah tangki septik yang hanya menerima
lumpur tinja dari kakus saja. Jenis air limbah yang masuk akan menentukan dimensi tangki
septik yang akan digunakan terkait dengan waktu detensi dan dimensi ruang-ruang (zona) yang
berada di dalam tangki septik.




                                             2
Secara umum, tangki septik dengan bentuk persegi panjang mengikuti kriteria disain yang
mengacu pada SNI 03-2398-2002 yaitu sebagai berikut:
• Perbandingan antara panjang dan lebar adalah (2-3): 1
• Lebar minimum tangki adalah 0,75m
• Panjang minimum tangki adalah 1,5m
• Kedalaman air efektif di dalam tangki antara (1-2,1)m
• Tinggi tangki septik adalah ketinggian air dalam tangki ditambah dengan tinggi ruang bebas
   (free board) yang berkisar antara (0,2-0,4)m
• Penutup tangki septik yang terbenam ke dalam tanah maksimum sedalam 0,4m

Bila panjang tangki lebih besar dari 2,4 m atau volume tangki lebih besar dari 5,6 m3, maka
interior tangki dibagi menjadi 2 (dua) kompartemen yaitu kompartemen inlet dan kompartemen
outlet. Proporsi besaran kompartemen inlet berkisar 75% dari besaran total tangki septik.
Penentuan dimensi tangki septik dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu dengan melakukan
perhitungan ataupun dengan menggunakan tabel yang terdapat di dalam SNI 03-2398-2002.
Kedua jenis cara tersebut akan diuraikan pada bagian selanjutnya.

Penentuan Dimensi Tangki Septik Dengan Perhitungan

Untuk menentukan dimensi tangki septik, yang pertama harus diketahui adalah kapasitas atau
debit air limbah domestik yang akan diolah. Debit air limbah rata-rata yang akan diolah ini
dapat diperkirakan dari banyaknya konsumsi air bersih yang digunakan oleh rumah tangga,
jumlah orang yang dilayani dan jenis air limbah yang akan diolah. Debit air limbah rata-rata
dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

Qrata-rata = (q x p) / 1.000 ……………………………………………………………..(1)

Dimana:
Qrata-rata     : debit/kapasitas rata-rata air limbah yang akan diolah tangki septik (m3/hari)
q              : laju timbulan air limbah (liter/orang/hari)
p              : jumlah pemakai (orang)


Besarnya laju timbulan air limbah bergantung pada jenis air limbah yang akan diolah. Oleh
karena itu, besarnya laju timbulan air limbah (q) adalah sebagai berikut (Bintek, 2011):
• Bila tangki septik hanya menerima dari kakus saja (sistem terpisah) maka q merupakan
    gabungan dari limbah tinja dan air penggelontoran yang besarnya antara (5-40)
    liter/orang/hari




                                               3
•   Bila tangki septik menerima air limbah tercampur (sistem tercampur), maka q merupakan
    gabungan limbah tinja dan air limbah lainnya dari kegiatan rumah tangga seperti mandi,
    cuci, masak dan lainnya yang besarnya adalah 80% dari konsumsi air bersih pemakai yang
    besarnya antara (45-150) liter/orang/hari


Waktu detensi (Td) dibutuhkan agara padatan yang terkandung di dalam air limbah dapat
terpisah dan mengendap pada dasar tangki septik. Minimum waktu detensi yang dibutuhkan
untuk proses tersebut dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

Waktu detensi untuk tangki septik dengan sistem terpisah:
Td = 2,5 – 0,3 log (p-q) ≥ 5 hari ……………………………………………………(2)

Waktu detensi untuk tangki septik dengan sistem tercampur:
Td = 1,5 – 0,3 log (p-q) ≥ 2 hari ……………………………………………………..(3)

Dimana:
Td    : waktu detensi minimum (hari)
q     : laju timbulan air limbah (liter/orang/hari)
p     : jumlah pemakai (orang)

Bila rencana lokasi pembangunan tangki septik berada relatif dekat dengan sumur atau sumber
air dan tidak memungkinkan untuk menempatkan tangki septik lebih jauh lagi, maka waktu
detensi yang digunakan sebaiknya 3 (tiga) hari. Waktu detensi ini digunakan dengan asumsi
bahwa mikroba patogen akan mati bila berada di luar usus manusia selama 3 (tiga) hari.

Di dalam tangki septik akan terbagi beberapa zona mengikuti proses degradasi yang terjadi.
Zona tersebut adalah zona buih dan gas, zona pengendapan, zona stabilisasi, dan zona lumpur.
Fungsi dan besarnya zona tersebut adalah sebagai berikut (Bintek, 2011):

•   Zona buih (scum) dan gas untuk membantu mempertahankan kondisi anaerobik di bawah
    permukaan air limbah yang akan diolah. Zona ini disediakan setinggi (25-30) cm atau 20%
    dari kedalaman tangki

•   Zona pengendapan sebagai tempat proses pengendapan padatan mudah mengendap
    (settleable). Volume zona pengendapan (Vpengendapan) ditentukan dengan persamaan:

    Vpengendapan = Qrata-rata x Td ≥ 37,5 cm3 …………………………………………..(4)




                                               4
Dimana:
    Qrata-rata     : Debit air limbah rata-rata yang akan diolah (m3/hari)
    Td             : waktu detensi (hari)

                                         Lubang inspeksi



          Inlet            Inlet
                                        Muka Air
                            Tee

                                         Scum
                                                                             Outlet


                                     Zona Pengendapan



                                   Endapan lumpur



                               Gambar 1. Zona-Zona Dalam Tangki Septik
                                    (Sumber: Tilley, et. al., 2008)

•   Zona stabilisasi adalah zona yang disediakan untuk proses stabilisasi lumpur yang baru
    mengendap melalui proses pencernaan secara anaerobik (anaerobic digestion). Volume
    zona ini ditentukan berdasarkan kecepatan stabilisasi lumpur dan jumlah pemakai tangki
    septik. Volume zona stabilisasi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (5) yaitu:

    Vstabilisasi   : Rs x p ………………………………………………………………(5)

    Dimana:
    Rs             : kecepatan stabilisasi = 0,0425 m3/orang
    p              : jumlah pemakai (orang)

•   Zona lumpur merupakan zona tempat terakumulasinya lumpur yang lebih stabil dan harus
    dikuras secara berkala. Volume zona lumpur bergantung pada kecepatan akumulasi lumpur,
    periode pengurasan dan jumlah pemakai tangki septik. Volume zona (V lumpur) ini dapat
    diketahui dengan persamaa sebagai berikut:

    Vlumpur = Rlumpur x N x P ……….………………………………………………..(6)



                                                    5
Dimana:
      Rlumpur   : kecepatan akumulasi lumpur matang = (0,03-0,04) m3/orang/tahun
      N         : frekuensi pengurasan (2-3) tahun
      p         : jumlah pemakai (orang)

Penentuan Dimensi Tangki Septik Dengan Menggunakan SNI 03-2398-2002

Dimensi tangki septik dapat dilihat pada tabel-tabel yang telah ditentukan pada SNI 03-2398-
2002 berdasarkan jumlah pemakai. Oleh karena itu, penentuan dimensi tangki tidak
memerlukan perhitungan lagi tetapi hanya mencocokkan jumlah pemakai dengan tabel-tabel
yang tersedia. Namun, perlu diperhatikan jenis air limbah yang akan diolah apakah air limbah
dari kakus saja atau air limbah campuran. Selanjutnya, penentuan dimensi tangki septik ini
berdasarkan pada frekuensi pengurasan 3 tahun. Tabel dimensi tangki septik dapat dilihat pada
Tabel 1 dan Tabel 2 berikut di bawah ini. Bentuk dan dimensi tangki septik dapat dilihat pada
Gambar 1 di bawah ini. Namun saat ini, telah banyak tersedia tangki septik yang siap digunakan
dengan dimensi atau kapasitas tangkinya menyesuaikan jumlah penggunanya.

                           Tabel 1. Dimensi Tangki Septik Tercampur
 No.     Jumlah     Zona        Zona      Zona       Panjang    Lebar     Tinggi    Volume
         Pemakai    Basah      Lumpur    Ambang      Tangki     Tangki    Tangki     Total
          (KK)       (m3)       (m3)      Bebas        (m)       (m)       (m)       (m3)
                                           (m3)
  1         1       1,2         0,45        0,4        1,6        0,8       1,6       2,1
  2         2        2,4        0,9         0,6        2,1        1,0       1,8       3,9
  3         3       3,6         1,35        0,9        2,5        1,3       1,8       5,8
  4         4        4,8        1,8         1,2        2,8        1,4       2,0       7,8
  5         5       6,0         2,25        1,4        3,2        1,5       2,0       9,6
  6        10       12,0        4,5         2,9        4,4        2,2       2,0       19,4
Sumber: SNI 03-2398-2002

Endapan lumpur pada tangki septik harus dikuras dan selanjutnya dibawa ke Instalasi
Pengolahan Limbah Tinja (IPLT) untuk diolah lebih lanjut sebelum dibuang ataupun
dimanfaatkan kembali sebagai pupuk.


   Perlu diingat bahwa tangki septik harus dibuat kedap agar cairan yang berasal dari
   lumpur tinja tidak merembes keluar dari tangki sehingga berpotensi mencemari tanah
   dan air tanah di sekitarnya.


                                              6
Tabel 2. Dimensi Tangki Septik Terpisah
 No.     Jumlah      Zona        Zona        Zona        Panjang     Lebar     Tinggi     Volume
         Pemakai     Basah      Lumpur      Ambang       Tangki      Tangki    Tangki      Total
          (KK)        (m3)       (m3)        Bebas         (m)        (m)       (m)        (m3)
                                              (m3)
  1         2          0,4        0,9          0,3         1,0         0,8        1,3       1,6
  2          3         0,6        1,35         0,5         1,8         1,0        1,4       2,45
  3         4          0,8        1,8          0,6         2,1         1,0        1,5       3,2
  4          5         1,0        2,6          0,9         2,4         1,2        1,6       4,5
  5         10         2,0        5,25         1,5         3,2         1,6        1,7       8,7
Sumber: SNI 03-2398-2002

2.1.2 Perencanaan Pengolahan Lanjutan Tangki Septik Dengan Bidang Resapan
Bidang resapan merupakan unit yang disediakan untuk meresapkan air limbah yang telah
terolah dari tangki septik ke dalam tanah. Air yang diresapkan ini merupakan air limbah yang
telah dipisahkan padatannya (effluent dari tangki septik) namun masih mengandung bahan
organik dan mikroba patogen. Dengan adanya bidang resapan ini, diharapkan air olahan dapat
meresap ke dalam tanah sebagai proses filtrasi dengan media tanah ataupun jenis media lainnya.
Terdapat 2 (dua) jenis bidang resapan yang dapat diaplikasikan bersama dengan tangki septik
yaitu saluran peresapan ataupun sumur resapan.

Saluran Peresapan
Saluran peresapan dapat disebut sebagai dispersion trench, soakage trench, leaching trench,
drain field, atau absorption field. Effluent dari tangki septik dialirkan secara gravitasi ke saluran
peresapan. Saluran peresapan cocok digunakan pada lahan yang memiliki karakteristik sebagai
berikut (Bintek, 2011):


 •     Kapasitas perkolasi tanah berkisar antara (0,5-24) menit/cm dan optimum 8 menit/cm
 •     Ketinggian muka air tanah minimum 0,60 m di bawah dasar rencana saluran peresap
       atau (1-1,5) m di bawah muka tanah
 •     Jarak horizontal dari sumber air (seperti sumur) tidak boleh kurang dari 10m
 •     Ukuran efektif butiran tanah maksimum 0,13 mm




                                                 7
Tangki septik konvensional                             2


               1




              3



                                             5
T                     4

                                                                 Tinggi
                                                 6
                                                                 ruang
                                                                 lumpur




            Lubang pemeriksaan                       Tangki septik modifikasi




              Ruang bebas air



               Ruang basah yang                                           T
                diperhitungkan

                                           Ruang lumpur


                     2/3 P                            1/3 P
                                  P


      Keterangan: 1) Lubang pemeriksaan; 2) Pipa udara; 3) Ruang bebas air;
                   4) Ruang Jernih; 5) Kerak buih; 6) Lumpur


                   Gambar 1. Pendimensian Tangki Septik
                       Sumber: SNI 03-2398-2002


                                       8
Kriteria perencanaan untuk saluran peresapan adalah sebagai berikut (Bintek, 2011):
    a) Lebar dasar galian bergantung pada angka perkolasi tanah yaitu:
              Lebar 45 cm bila angka perkolasi (0,5-1) menit/cm
              Lebar 60 cm bila angka perkolasi (1,5-3,5) menit/cm
              Lebar 90 cm bila angka perkolasi (4-24) menit/cm
    b) Kedalaman dasar galian (45-90) cm
    c) Pipa distribusi yang akan menyebarkan effluent dengan aliran yang dibuat relatif sama
         ke seluruh bidang peresapan melalui bukaan (perforasi) pada seluruh badan pipa.
         Spesifikasi pemasangan pipa distribusi adalah:
              Kedalaman invert pipa (30-50) cm
              Diameter pipa minimum 100 mm dengan jenis pipa PVC atau 100 mm dengan jenis
              pipa (saluran) beton
              Jarak bukaan (perforasi) (3-6) mm
              Bagian ujung pipa ditutup dengan kertas semen dengan overlap 10 cm
    d) Batu pecah sebagai media pengisi galian harus bersih dan berkualitas baik. Kedalaman
         minimum lapisan batu pecah (30-60) cm di bawah muka tanah dan (15-40) cm di bawah
         pipa. Ukuran gradasi batu (15-60) mm.
    e) Lapisan ijuk dipasang setebal 5 cm di atas lapisan batu pecah agar tanah urug tidak
         turun dan masuk ke dalam lapisan batu pecah. Tanah yang masuk dapat mengakibatkan
         penyumbatan pada sela-sela batu. Kertas semen sebaiknya tidak digunakan untuk
         menggantikan ijuk karena dapat menghambat proses evaporasi.
    f) Tanah urug diisikan pada bagian atas lapisan ijuk sebagai penutup akhir dengan
         ketebalan (15-30) cm dan ditambah lagi setebal (10-15) cm sebagai antisipasi bila
         terjadinya penurunan (settlement) tanah urugan. Bahan tanah urug sebaiknya jenis tanah
         kepasiran atau sejenisnya untuk memudahkan proses evaporasi pada rumput diatasnya
         sehingga dapat meningkatkan kinerja saluran peresapan.
    g) Bidang kontak efektif pada saluran peresap hanya diperhitungkan pada bagian
         dindingnya sedangkan pada bagian dasar tidak dapat meresapkan air limbah dengan
         baik karena cenderung dalam keadaan tertutup dan tersumbat. Perhitungan bidang
         kontak efektif dapat menggunakan persamaan (7) di bawah ini.

        Ae = Q/I ……………………………………………………………………………(7)

        Dimana:
        Ae    : luas bidang kontak efektif (m2)
        Q     : debit effluent dari tangki septik (liter/hari)
        I     : kapasitas absorpsi/infiltrasi tanah (liter/hari/m2)

        Panjang saluran peresapan (L) = Ae / 2 H ……………………………………….(8)


                                                9
Dimana:
        H     : kedalaman efektif bahan pengisi/pecahan batu (m)
        2     : faktor pembagi jalur bidang peresapan pada 2 (dua) sisi dinding tegak


Sumur Peresap
Sumur peresapan dipakai untuk menerima efluen dari tangki septik. Sumur resapan memiliki
fungsi yang sama dengan saluran peresap dan terkadang dipasang secara seri pada ujung saluran
peresap. Konstruksi sumur peresap cocok diterapkan untuk daerah dengan karaketristik sebagai
berikut (Bintek, 2011):


      Kondisi tanah yang pada bagian permukaannya kedap air sedangkan pada bagian
      tengahnya tidak kedap air (porous)
      Kapasitas perkolasi tanah sebesar (0,5-12) menit/cm. Sumur peresap juga tepat
      untuk lokasi dengan lahan yang terbatas
      Jarak muka air tanah minimum 0,6 m namun disarankan 1,2 m di bawah dasar
      konstruksi sumur peresap



Sumur peresapan harus diisi penuh dengan pecahan batu berdiameter > 5 cm dan biasanya
diterapkan pada kondisi tanah yang cukup stabil, tidak mudah runtuh atau jenis tanah lempung
bila konstruksi sumur peresap tanpa menggunakan pasangan bata.

Namun bila konstruksi menggunakan pasangan bata dengan spesi, maka sumur peresan tidak
perlu diisi denga pecahan batu, dinding dibuat dengan pasangan bata setebal ½ bata atu lebih
bergantung pada kedalaman dan pada bagian dasar diberi kerikil berukuran (12,5-25) mm
setebal minimum 30 cm. Selanjutnya antara dinding bata bagian luar dan dinding galian sumur
perlu dilapisi dengan kerikil setebal 15 cm agar tidak mudah tersumbat. Konstruksi detail sumur
peresapan dapat dilihat pada SNI 03-2398-2002.

2.1.3 Perencanaan Pengolahan Lanjutan Tangki Septik Dengan Evapotranspirasi
Evapotranspirasi merupakan salah satu pilihan untuk pengolahan lanjutan effluent air limbah
yang keluar dari tangki septik. Pengolahan dilakukan dengan cara mengalirkan effluent air
limbah dari tangki septik pada tanaman yang akan menyerap sebagian aliran air limbah melalui
akar-akarnya. Selanjutnya, hasil penyerapan tersebut akan dilepas melalui proses penguapan
alami tanaman tersebut dari daun-daunnya (evapotranspirasi). Sebagian aliran air limbah akan



                                              10
menguap langsung akibat panas dari matahari (evaporasi). Efektivitas evaporasi akan semakin
meningkat bila temperatur udara semakin tinggi, adanya turbulensi angin di udara sekitar dan
kelembaban udara berkurang. Pilihan ini cocok dilakukan bila:

    • Tanah sangan kedap air (impermeable) dengan angka perkolasi lebih dari 24
      menit/cm
    • Daerah yang memiliki temperatur panas (tinggi)
    • Semakin efektif bila kelembaban udara rendah


Efluent air limbah dari tangki septik dialirkan melalui pipa distribusi dengan sambungan terbuka
yang diberi lapisan kerikil. Pada bagian atas kerikil diberi lapisan pasir dengan ukuran yang
mampu mengalirkan cairan ke atas secara kapiler agar dapat diserap oleh akar tanaman.
Selanjutnya, pada bagian paling atas, ditutup dengan tanah (top soil) sebagai tempat tumbuh
tanaman perdu.

Kriteria disain yang dapat digunakan untuk sistem evapotrasnpirasi ini adalah sebagai berikut
(Bintek, 2011):
    a. Pipa distribusi dengan diameter 100 mm dan jarak antar cabang distribusi (1-3) m
    b. Kerikil yang digunakan haruslah dalam keadaan cukup bersih dan dipasang pada bagian
        dasar (sebagai bed) dengan ketebalan (5-10) cm termasuk pada bagian di sekeliling pipa
        distribusi
    c. Pasir dipilih yang mampu mengalirkan air secara kapiler ke atas permukaan pasir
        dengan ukuran 0,1 mm dipasang dengan kedalaman (0,30-0,75) m. Daya kapiler tidak
        lebih dari 0,9 m sehingga ketebalan pasir sebaiknya tidak melebihi 0,9 m tersebut.
    d. Perhitungan volume pasir berdasarkan waktu detensi effluent tangki septik antara (10-
        20) hari.
    e. Jenis tanah yang diaplikasikan sebaiknya jenis tanah yang baik dan subur sehingga
        membantu pertumbuhan tanaman perdu yang tumbuh diatasnya. Ketebalan tanah dibuat
        antara (10-15) cm.

2.1.4 Perencanaan Pengolahan Lanjutan Tangki Septik Dengan Filter
Pengolahan lanjutan untuk effluent dari tangki septik dapat juga dilakukan dengan cara filtrasi
(penyaringan). Proses pengolahan dengan filtrasi ini dapat dibedakan berdasarkan jenis filter
yang digunakan dan akan diuraikan lebih lanjut.




                                              11
Filter Bawah Permukaan Tanah
Proses pengolahan lanjutan untuk effluent tangki septik pada umumnya mampu menurunkan
konsentrasi BOD5 dan padatan terlarut (SS) namun konsentrasi mikroba tidak mampu
diturunkan. Oleh karena itu, penambahan ketebalan pasir sebagai media filter dapat membantu
menurunkan konsentrasi mikroba tersebut. Saringan (filter) pasir yang ditempatkan di bawah
permukaan tanah ini cocok bila diaplikasikan pada kondisi sebagai berikut:

  • Tanah yang tersedia kedap air (impermeable) dengan angka perkolasi tanah sebesar
    (12-24) menit/cm yang tidak memungkinkan untuk dibangun dengan sistem resapan
  • Di sekitar lokasi terdapat badan air penerima dengan debit pengenceran yang cukup
    atau saluran drainase tertutup yang akan dipakai sebagai tempat pembuangan akhir
  • Head (tekanan) yang tersedia cukup memadai untuk mengalirkan effluent yang telah
    disaring keluar dari underdrain collector ke badan aie secara gravitasi


Kriteria disain yang dapat digunakan untuk filter di bawah permukaan tanah adalah sebagai
berikut:
    a. Kerikil sebagai perata genangan agar seluruh lapisan effluent tersaring dapat dengan
         mudah dikumpulkan dan disalurkan ke badan air atau saluran drainase terdekat melalui
         pipa kolektor
    b. Ijuk berfungsi untuk menahan pasir diatasnya agar tidak turun ke dalam media pasir di
         bagian bawahnya
    c. Pasir sebagai filter agar kotoran-kotoran yang ada pada effluent tangki septik masih
         dapat direduksi
    d. Tanah urugan sebagai penutup terakhir

Filter Anaerobik
Filter anaerobik merupakan metoda pengolahan sekunder (lanjutan) terhadap effluent tangki
septik di daerah yang memiliki tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi. Pengolahan dengan
menggunakan filter anaerobik ini cocok bila digunakan pada kondisi:

   • Kapasitas absorpsi tanah sangat rendah
   • Muka air tanah tinggi sehingga sulit meletakkan saluran peresap
   • Keterbatasan lahan

Unit filter anaerobik bentuknya hampir sama dengan unit tangki septik namun pada filter
anaerobik bagian dalam tangki diisi dengan batu pecah sebagai media filter. Pada bagian pelat
penutup bagian atas, disediakan tempat masuk air limbah yang akan diolah. Pipa influent ke


                                             12
dalam filter diletakkan di bagian bawah tangki sehingga aliran yang terjadi berupa aliran ke atas
(upflow filter).

Kriteria perencanaan filter anaerobik adalah sebagai berikut (Bintek, 2011):
    a. Media yang digunakan berukuran (2-6) cm dan bersifat porous dengan gravitasi
         spesifik (specific gravity) mendekati 1 (satu)
    b. Kedalaman filter (100-120) cm
    c. Waktu detensi ≥ 1 (satu) hari
    d. Angka pori berkisar antara (40-60)%

2.1.5 Small Bore Sewerage
Small bore sewerage (SBR) adalah salah satu alternatif pengolahan lanjutan untuk effluent dari
tangki septik yang didisain untuk menerima hanya limbah rumah tangga dalam wujud cair
(liquid) yang selanjutnya dialirkan melalui jaringan pengumpur air limbah dengan sistem
terpusat (Otis & Mara, 1985). Effluent dari tangki septik tersebut selanjutnya akan diolah di
instalasi pengolahan limbah terpusat (IPAL) sebelumnya akhirnya dibuang bila telah memenuhi
baku mutu. Air limbah yang akan dialirkan masuk ke tangki penerima (interceptor) haruslah
dihilangkan terlebih dahulu dari grit, lemak dan bentuk-bentuk padatan lainnya yang dapat
mengganggu atau berpotensi menyumbat saluran/jaringan perpipaan. Padatan yang telah
terakumulasi pada tangki interseptor harus dibersihkan secara berkala.

Kelebihan yang didapat dengan menggunakan SBR adalah (Otis & Mara, 1985):
• Mengurangi penggunaan air
• Mengurangi biaya pengurasan tangki
• Mengurangi biaya pembelian material yang dibutuhkan’
• Mengurangi pemakaian unit proses/operasi pada IPAL
• Biaya untuk peningkatkan kemampuan fasilitas sanitasi yang ada lebih murah
• Dapat diaplikasikan pada wilayah dengan kondisi sanitasi yang belum berjalan dengan baik

Sementara itu kelemahan yang dirasakan dengan sistem ini diantaranya adalah:
• Memerlukan pengurasan lumpur pada tangki interseptor secara periodik
• Memerlukan pemeliharaan yang baik
• Memerlukan perencanaan yang baik terkait dengan penyambungan jaringan koneksi pipa
   dan tangki interseptor

Bentuk SBR dapat dilihat pada Gambar di bawah ini.




                                               13
Sambungan rumah


                                                                                  Tangki
                                                                              interseptor



                                                                 Small bore sewer




a) Gambaran Aplikasi Sistem Small Bore Sewer
                                                                    b) Sambungan Rumah Tangga, Tangki
                                                                    Interseptor dan Pipa Sewerage


                            Gambar 2. Gambaran Sistem Small Bore Sewer
                                   (Sumber: Otis & Mara, 1985)




                                               14
c) Pipa Pembersihan (Clean out)
       a) Tangki Interseptor
                                                   Removeable
           Concrete cover slab                   inspection cover



                                                                                       50 mm φ outlet

     75 mm φ outlet
                                                                                       Brick or                    Threaded
                                                                                       blockwork                     cap
                                                                                       walls




                                                                                                                                    Equal y-branch
                                               Reinforced concrete base slab
                                                                                                          d) Sambungan & Pompa Submersible
b) Sambungan Pipa & Pompa
                                               Pump control
                                                                                                                    Control box with alarm at house
         Pengangkat                               & alarm




                                                                      Airtight joint
              House
           connector                   Gate
                                                                                                              Nonreturn valve
            with cap                   valve

                                         Nonreturn
                                         valve
                                                                                                                                              Alarm
                                                                    Alarm

                                                                                                                                              Pump on
                                                                    Pump on


                                                                                                                                              Pump off
                                                                    Pump off



                          Electric submersible pump                                                     Electric submersible pump


                Gambar 3. Gambaran Tangki Interseptor dan Sambungan ada Jaringan Pengumpul Air Limbah Perkotaan
                                                   (Sumber: Otis & Mara, 1985)
                                                             15
2.2 Teknologi Pengolahan Air Limbah Domestik Komunal
Pengolahan air limbah domestik komunal digunakan berdasarkan beberapa pertimbangan
diantaranya adalah hasil dari pemetaan masyarakat yang dapat menggambarkan bagaimana
kondisi sumber air dan akses terhadap sarana sanitasi yang tersedia. Pemetaan masyarakat ini
juga dapat memberikan gambaran bagaimana klasifikasi kesejahteraan masyarakat terkait
dengan calon pengguna sarana sanitasi yang akan direncanakan. Pertimbangan lainnya dalam
pemilihan teknologi sanitasi yang akan digunakan seperti kondisi/karakter permukiman,
kebiasaan/perilaku, kelayakan teknis di lapangan, prediksi perkembangan lingkungan
permukiman dan prediksi peningkatan sosial ekonomi masyarakat untuk 5 (lima) tahun ke
depan serta jumlah calon penerima manfaat (Borda, 2011).

Teknologi pengolahan air limbah domestik komunal merupakan sistem pengolahan air limbah
yang digunakan tidak hanya untuk 1 (satu) rumah tangga tetapi digunakan secara bersama.
Gambaran sistem komunal dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini.




           Gambar 4. Gambaran Pengolahan Air Limbah Domestik Sistem Komunal
                                 (Sumber: Borda, 2011)

Pada sistem komunal (seperti pada Gambar 4 di atas), air limbah yang diolah adalah air limbah
domestik yang tercampur antara air limbah dari kegiatan dapur, cuci dan masak dengan lumpur
tinja dari kakus. Sementara itu, sistem komunal untuk pengolahan air limbah terpisah hanya dari



                                              16
lumpur tinja dapat menggunakan sistem pengolahan yang dikenal dengan MCK++. Gambaran
sistem MCK++ ini dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini.




      Gambar 5. Gambaran Pengolahan Air Limbah Domestik Sistem Komunal MCK++
                                (Sumber: Borda, 2011)

Pilihan teknologi yang dapat digunakan untuk sistem komunal diantaranya adalah tangki septik
bersama, bio-digester, baffle reactor/tangki septik bersusun, tangki septik bersusun dengan
filter, kolam dengan filter dan tanaman, kolam aerobik. Teknologi pengolahan air limbah
tersebut akan diuraikan lebih lanjut pada bagian berikut ini.

2.2.1 Tangki Septik Bersama
Pada sistem ini, WC/kakus dibangun pada masing-masing rumah dan selanjutnya air limbah
dialirkan melalui pipa ke tangki septik yang dibangun di bawah tanah. Tangki septik ini
digunakan bersama untuk beberapa rumah. Proses pengolahan yang terjadi dan disain
selanjutnya sama seperti proses dan disain pada tangki septik seperti yang telah diuraikan
sebelumnya. Gambaran penggunaan tangki septik bersama dapat dilihat pada Gambar 6 di
bawah ini. Perencanaan tangki septik yang lebih detil dapat mengacu pada bagian 2.1.1 dan SNI
03-2398-2002 Tata Cara Perencanaan Tangki Septik Dengan Sistem Resapan.



                                             17
Gambar 6. Aplikasi Tangki Septik Bersama
                        (Sumber: Borda, 2006 dalam Dit PLP, 2008)
                                                    Dit.

2.2.2 Tangki Septik Bersekat (Baffled Reactor)
Tangki septik bersekat (Baffled reactor) adalah pengolahan air limbah dengan menggunakan
                         Baffled reactor)
beberapa bak/kompartemen yang fungsinya berbeda beda. Air limbah yang masuk pada tangki
                                            berbeda-beda.
akan diolah secara bertahan. Bak pertama akan menguraikan materi organik yang mudah terurai
dan demikian seterusnya bak berikutnya akan menguraikan material yang lebih sulit terurai.
                             k
Gambaran tangki septik bersekat ini dapat dilihat pada Gambar 7. Lahan yang dibutuhkan untuk
50 kepala keluarga (KK) adalah seluas 60 m2.




                Gambar 7. Aplikasi Tangki Septik Bersusun (
                                                          (Baffled Reactor
                                                               led Reactor)
                       (Sumber: Borda, 2006 dalam Di PLP, 2008)
                                                   Dit.

2.2.3 Bio-digester
Bio-digester adalah pengolahan air limbah dengan melalui proses biologis secara anaerobik
    digester
atau tanpa kehadiran oksigen. Proses penguraian materi organik dari air limbah yang diolah
akan menghasilkan biogas yang dapat digunakan sebagai energi alternatif. A limbah yang
                                                                           Air


                                            18
diolah akan terpisah menjadi padatan (lumpur) dan cairan (supernatan) yang masih harus diolah
lebih lanjut karena masih mengeluarkan bau walaupun konsentrasi material organik sudah jauh
berkurang. Bio-digester cocok digunakan untuk limbah dengan konsentrasi material organik
yang tinggi seperti limbah dari wc/kakus, limbah industri tahu dan tempe, limbah dari rumah
potong hewan dan peternakan. Gambaran Tangki bio-digester dapat dilihat pada Gambar 8 di
bawah ini.




                          Gambar 8. Aplikasi Tangki Bio-Digester
                        (Sumber: Borda, 2006 dalam Dit. PLP, 2008)

2.2.4 Tangki Septik Bersusun Dengan Filter
Tangki septik bersusun dengan filter merupakan modifikasi dari tangki septik yang
menambahkan filter di dalam tangkinya. Air limbah yang telah melalui proses anaerobik akan
masuk pada tahap filtrasi. Gambaran tangki septik bersusun dengan filter dapat dilihat pada
Gambar 9 di bawah ini. Kebutuhan lahan untuk 50 KK berkisar 60 m2.




                  Gambar 9. Aplikasi Tangki Septik Bersusun Dengan Filter
                      (Sumber: Borda, 2006 dalam Dit. PLP, 2008)




                                             19
Gambar 10. Disain Tangki Septik Komunal
 (Sumber: Dit. Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman, 2011)

20
Gambar 11. Disain Tangki Septik Bersusun (Baffled Reactor)
                                                    Baffled Reactor
     (Sumber: Dit. Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman, 2011)

21
Gambar 12. Disain Tangki Septik Bersusun dengan Filter
(Sumber: Dit. Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman, 2011)

                                  22
2.2.5 Tangki Septik Bersekat Dengan Filter Dan Tanaman
Tangki septik bersekat dengan filter dan tanaman merupakan kombinasi tangki septik dengan
bak yang diberi tanaman. Tanaman akan menyerap air limbah melalui akar tanaman yang
ditanam pada bak yang telah disiapkan. Media penanaman terdiri dari tanah dan kerikil sebagai
filter yang diberi kemiringan antara (0-0,5)%. Air limbah berasal dari tangki septik yang berada
di bagian ujung bak dialirkan pada media filter. Permukaan air berada 5 (lima) cm di bawah
permukaan filter. Kebutuhan lahan untuk 50 KK dengan menggunakan sistem ini adalah seluas
120 m2.




          Gambar 13. Aplikasi Tangki Septik Bersusun Dengan Filter Dan Tanaman
                      (Sumber: Borda, 2006 dalam Dit. PLP, 2008)

2.2.6 Kolam Aerobik
Kolam aerobik ini pada prinsipnya sama dengan kolam aerobik pada Instalasi Pengolahan Air
Lumpur Tinja (IPLT) namun dalam skala yang lebih kecil mengacu pada jumlah pengguna dari
kolam ini. Biasanya diperlukan 2 (dua) atau 3 (tiga) kolam untuk menurunkan konsentrasi
BOD. Proses pengolahan menggunakan proses aerobik sehingga membutuhkan tambahan
oksigen ke dalam kolam. Penambahan oksigen ke dalam kolam dapat dilakukan dengan cara
membuat undakan pada kolam atau meninggikan pipa inlet dari muka air dalam kolam. Pada
saat air jatuh ke kolam berikutnya yang lebih rendah, maka terjunan dan golakan air yang terjadi
dapat membantu menambah oksigen pada air di dalam kolam. Kebutuhan lahan untuk 50 KK
dengan kolam aerobik diperkirakan seluas 15 m2.




             Gambar 14. Aplikasi Tangki Septik Bersusun Dengan Kolam Aerasi
                       (Sumber: Borda, 2006 dalam Dit. PLP, 2008)



                                              23
3. SANITASI BERBASIS MASYARAKAT (SANIMAS)
Program Sanimas merupakan suatu program yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas
lingkungan dengan peningkatan akses terhadap sarana sanitasi berbasis masyarakat. Kegiatan
utama dari program Sanimas ini adalah pembangunan sarana dan prasarana air limbah
permukiman secara komunal (berkelompok). Oleh karena penggunaannya berkelompok, maka
perlu suatu kelembagaan yang baik untuk pengelolaannya sehingga sarana santasi ini dapat
berjalan tepat guna dan berkelanjutan.

Sasaran dari program ini adalah kesehatan lingkungan yang dapat memberikan dampak
langsung kepada masyarakat. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa LSM,
penduduk yang mengalami sakit akibat pencemaran air limbah lebih banyak jumlahnya
daripada penduduk yang tidak sakit. Dengan adanya sarana sanitasi yang terkelola dengan baik,
maka hal-hal positif yang terjadi antara lain adalah:
    a) Penurunan angka kematian bayi
    b) Umur harapan hidup meningkat dari 45,7% sampai 67,97%
    c) Angka diare dari urutan ke-5 penyebab kematian menjadi urutan ke-9
    d) Untuk skala nasional peningkatan kapasitas SDM untuk pelayanan kesehatan (dokter,
        perawat, puskemas) dan peningkatan jumlah sarana kesehatan

Perencanaan SANIMAS memiliki beberapa tahapan yang meliputi peyusunan rencana kegiatan
dalam rangka pengendalian dan pembinaan di tingkat pusat dan daerah, serta penyusunan
rencana lokasi dan alokasi dana yang akan diterbitkan melalui Dokumen Anggaran. Tahapan
awal yaitu penetapan lokasi sasaran berdasarkan pertimbangan jumlah permukiman padat yang
memenuhi kriteria dengan cara melakukan survei langsung (pengamatan langsung) di lapangan
ke tempat-tempat yang sekiranya rnembutuhkan bantuan dalam penyediaan sarana dan
prasarana sanitasi. Sarana dan prasarana sanitasi yang dapat digunakan di dalam Sanimas pada
dasarnya adalah sama dengan teknologi yang digunakan pada sistem komunal yang telah
diuraikan sebelumnya. Sanimas adalah salah satu program yang dikembangkan oleh Direktorat
PLP Sub Bidang Air Limbah dan pelaksanaan Sanimas dapat mengacu pada “Buku Pedoman
Sanimas” yang telah diterbitkan pada tahun 2008.

4. INSTALASI PENGOLAHAN LUMPUR TINJA (IPLT)
Pengolahan air limbah dengan menggunakan sistem setempat memerlukan pengurasan yang
dilakukan secara berkala, umumnya 1-3 tahun sekali, untuk menghindari kejenuhan atau
penuhnya tangki septik. Pengurasan lumpur di dalam tangki dilakukan dengan menggunakan
truk tinja dan selanjutnya dibawa ke instalasi pengolahan lumpur tinja (IPLT).




                                             24
IPLT adalah instalasi pengolahan air limbah yang dirancang hanya menerima dan mengolah
lumpur tinja yang diangkut melalui mobil (truk tinja) atau gerobak tinja. Lumpur tinja diambil
dari unit pengolah limbah tinja seperti tangki septik dan cubluk tunggal ataupun endapan
lumpur dari underflow unit pengolah air limbah lainnya. IPLT dirancang untuk mengolah
lumpur tinja sehingga tidak membahayakan bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan
sekitarnya. Lumpur akan diolah sehingga menjadi lumpur kering yang disebut dengan cake dan
air olahan (effluent) yang sudah aman untuk dibuang ataupun dimanfaatkan kembali. Lumpur
kering (cake) dapat dimanfaatkan menjadi pupuk dan air effluent dapat digunakan untuk
keperluan irigasi.

 IPLT hanya menerima dan mengolah lumpur tinja yang diangkut melalui truk tinja. Proses
 penguraian lumpur tinja menggunakan proses biologis yang berlangsung dalam kondisi
 anaerobik (tanpa udara)


4.1 Karakteristik Dan Jenis Lumpur Tinja
Lumpur tinja berasal dari kotaran manusia (human feces) yang biasa disebut dengan ”black
water”. Lumpur tinja terdiri dari padatan yang terlarut di dalam air yang sebagian besar berupa
bahan organik. Selain itu, lumpur tinja juga mengandung berbagai macam mikroorganisme
seperti bakteri, virus dan lain sebagainya. Kandungan mikroorganisme yang tinggi inilah yang
menjadikan lumpur tinja harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang atau dimanfaatkan untuk
menghindari penyebaran penyakit melalui air (foodborne disease). Karakteristik lumpur tinja
dapat dibedakan berdasarkan karakteristik fisik, kimia dan biologis. Karakteristik lumpur tinja
dapat dilihat pada Tabel 3 berikut di bawah ini.

Lumpur tinja dapat dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan tingkat dekomposisinya
(Balai Pelatihan Air Bersih & Penyehatan Lingkungan Permukiman, 2000), yaitu:
    a. Lumpur tinja segar yaitu lumpur tinja berumur kurang dari 8 (delapan) jam
    b. Night soil yaitu lumpur tinja yang telah mengalami proses dekomposisi antara 8
        (delapan) sampai 7 (tujuh) hari
    c. Lumpur tinja (septage) yaitu tinja yang telah mengalami dekompisisi dalam jangka
        waktu 1-3 tahun
    d. Sludge yaitu lumpur tinja yang telah mengalami dekomposisi pada IPLT yang khusus
        dibangun

4.2 Tujuan Dan Tahapan Pengolahan Lumpur Tinja
Pengolahan lumpur tinja dilakukan dengan tujuan utama yaitu:
   a. Menurunkan kandungan zat organik dari dalam lumpur tinja


                                              25
b. Menghilangkan atau menurunkan kandungan mikroorganisme patogen (bakteri, virus,
      jamur dan lain sebagainya)

                           Tabel 3. Karakteristik Lumpur Tinja
                   Karakteristik                         Satuan           Besaran
    Timbulan limbah tinja (dalam keadaan basah)+       gr/orang/hari       135-270
    Timbulan limbah tinja (dalam keadaan kering)+      gr/orang/hari        20-35
    Kandungan air+                                           %              66-80
    Bahan organik+                                           %              88-97
    Nitrogen+                                                %                5-7
    Phosfor (sebagai P2O5)+                                  %               3-5,4
    Potassium (sebagai K2O)+                                 %               1-2,5
    Karbon+                                                  %              44-55
    Kalsium (sebagai CaO)+                                   %               4,5-5
    Total padatan (TS)+                                    mg/l            400.000
    Total padatan volatil (TVS)*                           mg/l             25.000
    Total padatan tersuspensi (TSS)*                       mg/l             15.000
    BOD5*                                                  mg/l             10.000
    COD*                                                   mg/l              7.000
    Total Nitrogen Kjedahl*                                mg/l             15.000
    NH3-N*                                                 mg/l               700
    Total P*                                               mg/l               150
    Lemak*                                                 mg/l              8.000
    pH*                                                                       6,0
       Sumber: + Duncanmara dalam Sugiharto, 1987
                * EPA Handbook – Septage teratment & disposal

Untuk mencapai tujuan tersebut, secara garis besar tahapan pengolahan lumpur tinja yang akan
dilakukan adalah sebagai berikut:
    a. Pengangkutan lumpur tinja dari tangki septik, cubluk atau underflow unit pengolah air
        limbah lainnya dengan menggunakan truk penyedot tinja (vaccum truck)
    b. Pengolahan lumpur tinja di IPLT yang dilakukan beberapa tahap yaitu:
        • Penyaringan untuk memisahkan partikel-partikel atau padatan yang berukuran besar
           seperti plastik, pembalut wanita, kertas dan lain sebagainya
        • Pemisahan lemak dengan menggunakan prinsip pengapungan (floatation)
        • Pemisahan pasir yang dilakukan dengan memperlambat aliran lumpur tinja sehingga
           pasir dapat mengendap pada tangki yang disebut dengan grit chamber
        • Pengolahan lumpur tinja sesuai dengan metode yang dipilih



                                             26
• Pengeringan lumpur
        • Pembuangan lumpur (final disposal)

4.3 Kebutuhan Dan Pengumpulan Data Dalam Perencanaan IPLT
Perencanaan IPLT yang baik memerlukan data yang baik pula. Jenis data yang dibutuhkan tidak
hanya data sekunder tetapi juga data primer. Proses pengumpulan data pada dasarnya tidak
mudah terutama pada daerah-daerah yang sistem pencatatan dan pelaporannya belum berjalan
dengan baik. Secara umum, data yang diperlukan untuk perencanaan IPLT diantaranya adalah
sebagai berikut:
    a. Peta wilayah yang dilengkapi dengan data topografi
    b. Data sosial dan ekonomi
    c. Data geologi, hidrologi dan hidrogeologi seperti:
        • Jenis tanah (pasir, lempung, lanau) dan angka permeabilitas di lokasi IPLT
        • Sungai atau badan air yang dipakai sebagai pembuangan akhir air efluen IPLT yang
           dapat menunjukkan letak, debit dan kualitas air
        • Jarak antara kegiatan lain dengan IPLT dan pemanfaatannya terkait dengan
           penyelenggaraan penyediaan air bersih/minum
        • Elevasi muka air tanah dan arah alirannya
        • Penggunaan air tanah bagi penduduk di sekitar lokasi IPLT
    d. Data lainnya yang relevan dengan perencanaan IPLT

Proses pengumpulan data perlu direncanakan secara detil dan sistematis untuk menghemat
waktu dan biaya serta dapat berjalan secara efisien dan efektif. Oleh karena itu, diperlukan suatu
pedoman survey yang sistematis dan praktis sehingga mudah dipahami dan dilaksanakan.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan selama melakukan survey akan diuraikan berikut ini.

4.3.1 Persiapan Pelaksanaan Survey
Kegiatan yang dilakukan dalam tahap persiapan ini diantaranya adalah penyiapan petugas
survey dan petunjuk pelaksanaan survey. Petugas survey adalah petugas bagian perencanaan
pada Dinas Pekerjaan Umum pada masing-masing Pemerintah Daerah Tingkat II (Kotamadya
atau Kabupaten). Bila diperlukan, pelaksana survey dapat dibantu oleh konsultan perencana
yang memiliki tenaga-tenaga ahli yang memiliki latar belakang pengalaman dalam bidang
pengelolaan air limbah.

Sementara itu, petunjuk pelaksanaan survey berisikan tuntunan bagi petugas survey agar dapat
melaksanakan survey dan pengumpulan data secara akurat. Petunjuk pelaksanaan survey ini
berisikan jenis data yang dibutuhkan, sumber data, serta cara memperoleh data yang baik dan



                                               27
lengkap. Data yang dikumpulkan ini meliputi data sekunder dan data primer. Data sekunder
berupa studi literatur, laporan-laporan dari instansi terkait, ataupun jurnal dan laporan lainnya
yang relevan dengan perencanaan. Sementara itu, data primer meliputi hasil pengukuran,
percobaan lapangan, pengamatan langsung (observasi), wawancara ataupun pemeriksaan
laboratorium.

Sebelum survey berjalan, para petugas pelaksana survey perlu diberikan pembekalan mengenai
survey. Pembekalan tersebut meliputi pemahaman mengenai tujuan survey dan petunjuk
pelaksanaan survey yang telah disiapkan sebelumnya. Dengan demikian, para petugas
diharapkan dapat bekerja lebih efisien dan terarah karena telah memahami tugasnya sebelum
terjun ke lapangan.

4.3.2 Pelaksanaan Survey
Survey dilaksanakan terkait dengan pengumpulan data yang diperlukan sesuai denga arahan
yang telah diberikan sebelumnya. Pengumpulan data tersebut meliputi:
(i) Pengumpulan data primer
    Data primer adalah data yang dikumpulkan langsung di lapangan. Data ini menjadi data
    dasar utma dalam tahap perencanaan dan pemilihan lokasi IPLT yang akan dibangun. Data
    primer yang dikumpulkan meliputi:
    • Jumlah rumah dan klasifikasinya
    • Jumlah sarana tangki septik yang ada
    • Lokasi (lahan) yang dapat digunakan untuk pembangunan IPLT
    • Kondisi lingkungan di sekitar lokasi (lahan) pembangunan IPLT
    • Sarana jalan lingkungan dan jalan menuju calon lokasi IPLT

(ii) Pengumpulan data sekunder
     Data sekunder merupakan kumpulan data yang berasal dari kegiatan-kegiatan sebelumnya
     yang dapat diperoleh melalui instansi-instansi pemerintah. Data sekunder yang dibutuhkan
     diantaranya adalah:

    •   Kondisi iklim daerah perencanaan (mencakup variasi temperatur, kelembaban, dan
        curah hujan). Data ini akan digunakan untuk mengevaluasi besaran kuantitas timbulan
        air limbah yang berasal dari masyarakat di wilayah perencanaan dan sistem
        pengolahan, terutama pengolahan biologis, yang akan diterapkan pada IPLT.

    •   Kondisi fisik wilayah pelayanan yang diperlukan untuk menunjang proses perencanaan
        atau disain IPLT. Data tersebut meliputi kondisi topografi (kemiringan) wilayah,
        kondisi geologi (kestabilan dan sifat kedap air tanah), kondisi geohidrologi (fluktuasi


                                               28
tinggi muka air tanah), dan kondisi hidrologi (badan air sekitarnya, daerah genangan).
    Data kondisi fisik ini sangat berguna pada proses pemilihan lokasi dan perencanaan
    pembangunan (disain) sarana IPLT.

•   Data kependudukan yang meliputi jumlah penduduk (saat ini dan proyeksi di masa
    yang akan datang), kepadatan penduduk (termasuk pola pertumbuhannya), tipr rumah
    dan jumlah penghuninya, dan kondisi kesehatan masyarakat secara umum. Data
    kependudukan ini akan digunakan untuk menentukan besaran kapasitas dan metode
    pengolahan IPLT yang akan dipilih dan direncanakan serta evaluasi terhadap rencana
    wilayah pelayanan sarana IPLT.

•   Kondisi sanitasi lingkungan yang meliputi data sumber air bersih, tingkat pelayanan air
    bersih (termasuk harga air), cara pembuangan dan pengelolaan limbah tinja saat ini
    (existing), dan fasilitas pembuangan air limbah dan hujan. Data kondisi sanitasi
    lingkungan ini diperlukan dalam penilaian dan evaluasi kondisi sistem sanitasi
    lingkungan di wilayah rencana terkait dengan pembangunan sarana IPLT.

•   Rencana induk sistem pembuangan air limbah (master plan) yang dapat memberikan
    informasi sistem pembuangan dan pengolahan air limbah yang ada serta rencana
    pengembangan dimasa yang akan datang. Rencana induk tersebut mencakup data
    mengenai sistem pengolahan air limbah rumah tangga setempat (on-site sanitation
    system) dan pengolahan air limbah secara terpusat (off-site sanitation system). Bila
    daerah yang bersangkutan belum memiliki rencana induk ini, maka perencana harus
    dapat memperkirakan dan menentukan secara global mengenai rencana daerah
    pelayanan IPLT yang akan dipilih.

•   Kondisi sosial-ekonomi dan budaya yang meliputi persepsi masyarakat terhadap
    kondisi sanitasi saat ini, tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang higiene, faktor
    agama dan budaya yang mempengaruhi, dan kondisi ekonomi masyarakat (mata
    pencaharian, penghasilan). Kondisi sosial, ekonomi dan budaya ini penting sebagai
    dasar dalam melakukan evaluasi tingkat kemampuan, kesanggupan dan kemauan
    masyarakat setempat untuk membayar biaya retribusi penyedotan dan pengolahan
    lumpur tinjanya.

•   Kelembagaan dan peraturan yang mencakup tugas & fungsi instansi pemerintah
    daerah, pemerintah pusat di daerah, LKMD, PKK, koperasi, pemuka agama/adat,
    program perbaikan kampung yang ada, peran lembaga pendidikan dan kesehatan
    (Puskesmas). Data ini merupakan faktor non-teknis yang menjadi salah satu



                                         29
pertimbangan dalam perencanaan pembangunan IPLT terkait dengan tingkat partisipasi
        masyarakat serta peranan instansi/lembaga yang dapat memberikan penyuluhan dan
        pembinaan terhadap masyarakat. Untuk menunjang keberhasilan operasional IPLT,
        perlu dilakukan inventarisasi perangkat peraturan perundang-undangan baik dari
        pemerintah pusat dan daerah terutama yang menyangkut aspek perencanaan tangki
        septik, penyedoan (pengurasan) dan pembuangan lumpur tinja, besaran struktur tarif
        pelayanan pengurasan, peran dan keterlibatan pihak swasta dan lain sebagainya.

(iii) Pengumpulan data pendukung lainnya
     Data pendukung lainnya yang diperlukan seperti metode dan teknologi pengolahan lumpur
     tinja (air limbah) yang terbaru, tepat guna dan efisien sehingga mampu mengolah limbah
     dengan sebaik mungkin namun dengan biaya investasi, operasi dan perawatan yang
     minimal.

4.4   Langkah-Langkah Perencanaan IPLT
4.4.1 Penentuan Daerah Pelayanan IPLT
Perencanaan IPLT sangat bergantung pada penentuan rencana daerah pelayanan IPLT. Untuk
itu perlu dilakukan pengumpulan data dan kajian terhadap rencana induk sistem penanganan air
limbah yang ada di daerah yang bersangkutan serta data lainnya seperti yang telah diuraikan
pada bagian sebelumnya. IPLT pada dasarnya hanya akan menerima lumpur tinja yang berasal
dari tangki septik saja bukan campuran lumpur tinja dengan air limbah industri, rumah sakit
ataupun limbah laboratorium.
Dalam menentukan wilayah/daerah layanan, perencana perlu menetapkan target pelayanan
IPLT. Umumnya target tersebut berupa persentasi dari jumlah penduduk kota yang akan
dilayani oleh sarana IPLT misalnya target pelayanan ditetapkan 60% dari jumlah penduduk
daerah tersebut.

Rencana induk (master plan) air limbah dan target pelayanan IPLT digunakan sebagai data bagi
perencana dalam membuat peta rencana daerah pelayanan sarana IPLT yang akan dibangun.
Peta daerah pelayanan merupakan gambaran kuantitatif dari daerah pelayanan IPLT yang
direncanakan. Dari data tersebut, dapat diperkirakan dan ditentukan besaran rencana sistem
pelayanan yang harus disediakan untuk dapat menangani volume lumpur tinja yang berasal dari
setiap sarana tangki septik yang ada di daerah perencanaan. Secara garis besar, proses
perencanaan IPLT dapat dilihat pada Gambar 15 di bawah ini.




                                            30
4.4.2     Penentuan Lokasi IPLT
Setelah daerah pelayanan ditentukan, langkah selanjutnya adalah menentukan lokasi IPLT yang
akan dibangun. Beberapa aspek penting dalam menentukan lokasi IPLT diantaranya:
    a. Efisiensi dan efektifitas sistem IPLT (investasi, operasi dan pemeliharaan)
    b. Kemudahan transportasi lumpur tinja dari daerah layanan ke lokasi IPLT
    c. Aman terhadap lingkungan disekitarnya (banjir, gempa bumi, resiko polusi, gunung
        merapi)
    d. Dapat dikembangkan pada waktu yang akan datang seiring dengan berkembangnya kota
        atau daerah layanan


             Perencanaan
          Pembangunan IPLT



           Penentuan wilayah
          pelayanan dan calon                                     Disain teknis IPLT
              lokasi IPLT



            Penentuan calon           Penentuan kapasitas        Penentuan teknologi
              pelanggan                      IPLT                & penyiapan disain



          Data jumlah tangki septik                            Biaya investasi
             Wilayah komersial                              Kemampuan membayar
                   Sekolah                                    Cakupan layanan
                 Perkantoran                                  Pilihan Teknologi


                Gambar 15. Gambaran Langkah-Langkah Dalam Perencanaan IPLT
        (Sumber: Balai Pelatihan Air Bersih Dan Penyehatan Lingkungan Permukiman, 2000)


Dalam proses penentuan lokasi lahan untuk sarana IPLT, sebaiknya diajukan atau dipilih
beberapa alternatif lokasi yang layak. Beberapa aspek yang harus dipertimbangkan dalam
penentuan alternatif lokasi diantaranya:
    a. Ketersediaan lahan dan aspek teknis yang meliputi beberapa persyaratan seperti:
       • Daerah bebas banjir dan gempa
       • Daerah bebas longsor



                                               31
• Rencana lokasi harus terletak relatif jauh dari kawasan permukiman minimal pada
     radius 2 km
   • Rencana lokasi memiliki jalan akses (penghubung) dari wilayah pelayanan ke IPLT
     dan sebaliknya, terletak pada jalur transportasi yang lancar dan terhindar dari
     kemacetan
   • Rencana lokasi harus berada dekat dengan badan air penerima
   • Rencana lokasi haruslah merupakan daerah yang terletak pada lahan terbuka dengan
     intensitas penyinaran matahari yang baik agar dapat membantu mempercepat proses
     pengeringan endapan lumpur
   • Rencana lokasi harus berada pada lahan terbuka yang tidak produktif dengan nilai
     ekonomi tanah yang serendah mungkin

b. Karakteristik lahan
   Pertimbahan karakteristik lahan berkaitan dengan jenis fasilitas IPLT yang akan
   dibangun. Beberapa karakteristik lahan yang harus dipenuhi adalah:
   • Merupakan daerah yang memiliki struktur geologi yang baik sehingga mampu
       memikul beban konstruksi atas unit pengolah beserta bangunan pelengkapnya
   • Lahan memiliki karakteristik relatif kedap air (permeabilitas rendah) sehingga dapat
       menghemat biaya investasi namun tetap aman dari resiko pencemaran

c. Biaya investasi, operasi & pemeliharaan
   Rencana lokasi IPLT diupayakan berada dalam jangkauan yang relatif tidak jauh dari
   rencana daerah layanan IPLT untuk mempersingkat waktu tempuh mobil pengangkut
   (truk) tinja juga dapat menghemat biaya transportasi. Lokasi yang mudah dijangkau dan
   tidak macet juga akan membantu dalam mengurangi biaya transportasi, operasional dan
   pemeliharaan IPLT tersebut. Biaya-biaya tersebut, transportasi, operasi dan
   pemeliharaan, nantinya akan mempengaruhi besarnya tarif retribusi yang dibebankan
   kepada pemilik tangki septik.

d. Lingkungan
   • Keamanan lingkungan haruslah menjadi perhatian terkait dengan resiko
      pencemaran lingkungan sekitar seperti pencemaran air, tanah dan udara
   • Pertimbangan estetika terhadap keberadaan IPLT haruslah dipertimbangkan
      terutama resiko bau yang berasal dari unit pengolahan di dalam IPLT
   • Sanitasi dan kesehatan lingkungan bagi masyarakat yang bermukim atau
      beraktifitas di sekitar IPLT perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya
      peningkatan gangguan kesehatan




                                         32
e. Faktor resiko eksternal seperti gempa bumi, longsor, banjir dan bencana lainnya yang
       dapat mengancam keberadaan sarana IPLT serta potensi pencemaran lingkungan
       sekitarnya akibat bencana tersebut

Pertimbangan-pertimbangan tersebut haruslah diperhatikan di dalam menentukan alternatif
rencana lokasi IPLT. Selanjutnya, dari beberapa alternatif tersebut akan dipilih salah satu lokasi
yang terbaik dan paling tepat untuk pembangunan IPLT terutama terkait dengan biaya investasi.
Tata cara pemilihan lokasi IPLT dapat dilihat pada Materi Teknis Cara Pemilihan Lokasi IPAL
dan IPLT, Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman Sub Bidang Air
Limbah.

4.4.3   Penentuan Kapasitas (Debit) IPLT
Kapasitas IPLT ditentukan dengan menghitung jumlah sarana tangki septik yang berada di
daerah pelayanan. Data ini dapat diperoleh dari puskesmas-puskesmas ataupun dinas kesehatan
yang berada di dalam wilayah terkait. Bila data jumlah tangki septik sulit didapat atau
diinventarisasi, maka dapat digunakan pendekatan (50-60)% dari jumlah penduduk yang ada di
dalam daerah layanan memiliki tangki septik. Selanjutnya, perhitungan kapasitas IPLT juga
memerlukan informasi perkiraan jumlah penghuni atau pengguna tangki septik dan periode
pengurasan lumpur dari tangki septik. Kapasitas (debit) IPLT selanjutnya dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut:

Debit lumpur tinja = Persentasi pelayanan x jumlah penduduk daerah layanan x laju
                    timbulan lumpur tinja ………………….…….………………….(1)

Keterangan:
- Debit lumpur tinja dalam liter/hari atau dibagi dengan 1.000 untuk konversi menjadi m3/hari
  adalah jumlah lumpur yang akan masuk dan diolah di IPLT setiap harinya
- Persentasi pelayanan dapat menggunakan pendekatan (50-60)%
- Laju timbulan lumpur tinja dapat menggunakan pendekatan 0,5 liter/orang/hari

4.4.4   Penentuan Sistem Pengolahan
Sistem pengolahan yang akan dipilih dalam perencanaan IPLT ini haruslah sistem yang sesuai
dengan karakteristik dan kondisi daerah layanan. Pemilihan sistem ini sebaiknya menyesuaikan
dengan hasil analisis data yang berhasil dikumpulkan. Pengolahan lumpur tinja perlu
mempertimbangkan beberapa hal yaitu:
    • Efektif, murah dan sederhana dalam hal konstruksi maupun operasi dan
       pemeliharaannya
    • Kapasitas dan efisiensi pengolahan yang sebaik mungkin


                                               33
•      Lokasi pembangunan IPLT
   •      Jumlah penduduk yang akan dilayani

Pengolahan lumpur tinja dapat dilakukan dengan berbagai macam metode. Beberapa alternatif
metode pengolahan yang direkomendasikan oleh Departemen Pekerjaan Umum-Direktorat
Jenderal Cipta Karya berdasarkan pada jumlah penduduk yang dilayani. Allternatif pengolahan
tersebut dapat dilihat pada gambar-gambar berikut di bawah ini.



Alternatif 1: Jumlah penduduk dilayani ≤ 50.000 jiwa
       Truk tinja



           BOD= 5.000
           mg/l

                    BOD= 2.000                   BOD= 800                        BOD= 120
                    mg/l                         mg/l                            mg/l
       Kolam                         Kolam                           Kolam                      Kolam
     Stabilisasi                   Stabilisasi                     Stabilisasi                 Maturasi
    Anaerobik I                   Anaerobik II                     Fakultatif               (reduksi BOD
  (reduksi BOD >                 (reduksi BOD                    (reduksi BOD                  > 70%)
       60%)                         > 60%)                          > 70%)



                                                    400 mg/l
                                                 (pengenceran)


                                                                                                  BOD ≥ 50
                                                                                                  mg/l
                                   Kolam
                                  Pengering                                                  Badan air
                                   Lumpur




Keterangan:
Alternatif I ini baik digunakan dengan pertimbangan:
- Melayani maksimum 50.000 jiwa penduduk
- Kondisi tanah cukup kedap
- Jarak IPLT ke permukiman terdekat minimal 500 m



                                                   34
Alternatif 2: Jumlah penduduk dilayani antara 50.000-100.000 jiwa


 Tangki Imhoff        BOD= 5.000
(reduksi BOD >        mg/l
                                           Truk tinja
     30%)



        BOD= 3.500 mg/l


                 BOD= 1.400 mg/l               BOD= 560 mg/l                    BOD= 120 mg/l


     Kolam                         Kolam                            Kolam                           Kolam
   Stabilisasi                   Stabilisasi                      Stabilisasi                      Maturasi
  Anaerobik I                   Anaerobik II                      Fakultatif                    (reduksi BOD
(reduksi BOD >                 (reduksi BOD                     (reduksi BOD                       > 70%)
     60%)                         > 60%)                           > 70%)

                                                   400 mg/l
                                                (pengenceran)


                                                                                                     BOD ≥ 50 mg/l
                                    Kolam
                                   Pengering                                                    Badan air
                                    Lumpur




Keterangan:
Alternatif II ini baik digunakan dengan pertimbangan:
- Melayani maksimum 100.000 jiwa penduduk
- Kondisi tanah cukup kedap
- Jarak IPLT ke permukiman terdekat minimal 500 m




                                                    35
Alternatif 3: Jumlah penduduk dilayani > 100.000 jiwa


 Tangki Imhoff         BOD= 5.000 mg/l
 (reduksi BOD                               Truk tinja
    > 30%)

         BOD= 3.500 mg/l

                  BOD= 1.000 mg/l               BOD= 300 mg/l                   BOD= 90 mg/l

      Kolam                        Kolam                            Kolam                          Kolam
    Stabilisasi                  Stabilisasi                      Stabilisasi                     Maturasi
   Anaerobik I                  Anaerobik II                      Fakultatif                   (reduksi BOD
  (reduksi BOD                    (reduksi                      (reduksi BOD                      > 70%)
     > 70%)                     BOD > 70%)                         > 70%)


                                                                                                     BOD ≥ 50 mg/l
                                     Kolam
                                    Pengering                                                   Badan air
                                     Lumpur



Keterangan:
Alternatif III ini baik digunakan dengan pertimbangan:
- Melayani maksimum 100.000 jiwa penduduk
- Kondisi tanah cukup kedap
- Jarak IPLT ke permukiman terdekat minimal 250 m


Pilihan metode atau teknologi pengolahan lumpur tinja lainnya dapat dilihat pada Gambar 16 di
bawah ini.




                                                    36
Gambar 16. Pilihan Teknologi Pengolahan Lumpur Tinja
                  (Sumber: Strauss et. al., 2002 dalam Eawag/Sandec, 2008)

4.4.5 Penyiapan Disain, Anggaran dan Pentahapan Pelaksanaan Pembangunan IPLT
Penyiapan disain dan detail engineering merupakan langkah terakhir yang dilakukan dalam
perencanaan IPLT. Disain yang dimaksud tidak hanya unit unit pengolahan yang akan
                                                              unit-unit
digunakan pada IPLT tetapi juga menyangkut dengan perlengkapan penunjang operasional
         n
IPLT lainnya seperti kantor, jalan operasi, gudang, laboratorium, sumur pemantauan
(monitoring) kualitas air tanah, pompa dan perlengkapan lainnya. Selain itu di dalam
penyusunan disain IPLT, luas lahan yang dibutuhkan haruslah ditambahkan untuk keperluan
zona penyangga (buffer zone). Selanjutnya perhitungan anggaran biaya pembangunan
(investasi), operasi dan pemeliharaan dapat dilakukan bila disain IPLT telah selesai dilakukan.

Bila disain dan perhitungan rencana anggaran biaya telah selesai dilakukan, kegiatan
pembangunan IPLT dapat dilaksanakan. Pelaksanaan pembangunan dapat dilakukan secara
keseluruhan unit-unit IPLT namun umumnya dilakukan secara bertahap bergantung pada
                  unit
ketersediaan dana investasi dan cakupan daerah layanan yang ditetapkan. Selain itu, pentahapan
   ersediaan


                                              37
pembangunan ini juga membantu mengurangi biaya operasional dan pemeliharaan IPLT pada
saat awal operasi biasanya cakupan pelayanan IPLT masih terbatas. Pembangunan tahap
berikutnya dapat dilanjutkan seiring dengan pengembangan cakupan pelayanan IPLT pada masa
selanjutnya.

4.5 Teknologi Pengolahan Lumpur Tinja
Teknologi yang umum digunakan untuk mengolah lumpur tinja di Indonesia adalah kombinasi
tangki imhoff dan kolam stabilisasi atau hanya menggunakan kolam stabilisasi saja. Rangkaian
unit pengolahan yang umum digunakan dalam IPLT dapat dilihat pada bagian 5.4 di atas. Jenis
dan fungsi unit-unit pengolahan yang digunakan pada IPLT akan diuraikan berikut ini.

4.5.1   Unit Pengumpul (Equalizing Unit)
Unit pengumpul atau sering disebut juga dengan tangki ekualisasi tidak selalu digunakan pada
IPLT. Umumnya tangki ekualisasi digunakan pada pengolahan air limbah domestik terpusat
(off-site system) yang mengolah air limbah campuran black water dan grey water. Tangki
ekualisasi ini berfungsi untuk menghomogenkan lumpur tinja yang masuk ke IPLT mengingat
karakteristik lumpur tinja yang tidak selalu seragam antar tangki septik. Selain itu, pada
dasarnya fungsi utama tangki ekualisasi adalah untuk mengatur agar debit aliran lumpur yang
masuk ke unit berikutnya menjadi konstan dan tidak berfluktuasi. Hal ini penting mengingat
unit pengolahan yang digunakan pada IPLT adalah pengolahan secara biologis yang rentan
terhadap fluktuasi baik aliran (debit/kapasitas) maupun kualitas lumpur tinja yang masuk.

Dengan adanya tangki ekualisasi ini, maka operasional IPLT dapat lebih optimal dan dapat
memperkecil ukuran/dimensi instalasi karena debit/kapasitas pengolahan ke unit berikutnya
dapat diatur menjadi konstan. Untuk menghindari bau, maka pada tangki ekualisasi ini
ditambahkan pengaduk sehingga lumpur yang masuk tidak hanya diaduk sehingga
konsentrasinya menjadi homogen tetapi juga membantu proses aerasi (penambahan oksigen).


4.5.2   Tangki Imhoff
Deskripsi dan Proses
Tangki imhoff pada dasarnya adalah tangki septik yang disempurnakan. Tangki imhoff ini
berfungsi untuk memisahkan zat padat yang dapat mengendap dengan cairan yang terdapat
dalam lumpur tinja. Tangki dibagi menjadi dua kompartemen (ruangan) yang diberi sekat.
Kompartemen bagian (tengah) atas berfungsi sebagai ruang pengendap/sedimentasi (settling
compartment) dan kompartemen bagian bawah berfungsi sebagai ruang pencerna (digestion
compartment). Bentuk tangki imhoff dapat dilihat pada Gambar 17 di bawah ini.



                                            38
Dosing
                                                    chamber    Partially
                                                                treated




Raw sludges
                                                                                     Upper
       intlet
                                                                                     chamber



  Sludges outlet                                                                                Gas
  pipe to sludge                                                                               bubbles
     disposal



                                                                                          Sludges
                                                                  o
                                                                45 slope   Section
                                   Gambar 17. Tangki Imhoff
                                   (Sumber: www.tpub.com)

 Proses pengolahan yang terjadi pada tangki imhoff dimulai dari ruang sedimentasi dimana
 lumpur tinja segar dialirkan sebagai influen pada unit ini. Selanjutnya, padatan yang terpisah
 akan mengendap pada bagian dasar ruang sedimentasi yang diberi bukaan (opening) sehingga
 padatan tersebut dapat langsung bergerak menuju ke ruang pencernaan. Adanya sekat mencegah
 padatan tersebut masuk kembali ke ruang sedimentasi. Pada ruang pencerna, padatan akan
 terdekomposisi secara anaerobik (tanpa kehadiran oksigen) sehingga menjadi lebih stabil dalam
 waktu 2-4 jam. Mekanisme aliran proses yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 18.

 Proses yang terjadi pada tangki imhoff akan menghasilkan scum pada bagian permukaan tangki
 dan biogas dari proses pencernaan (digestion). Biogas yang terbentuk akan terkumpul pada pipa
 vent yang disediakan sehingga tidak mengganggu proses pengendapan pada ruang sedimentasi.
 Frasa cairan (liquid fraction) yang telah terpisah hanya tinggal selama beberapa jam saja di
 dalam tangki imhoff yang selanjutnya dialirkan menuju unit pengolahan berikutnya. Sementara
 itu, padatan yang terbentuk dan telah stabil akan tetap tinggal di dalam tangki selama beberapa




                                               39
tahun namun tetap memerlukan pengurasan secara berkala yang selanjutnya dapat dikeringkan
pada unit pengering lumpur.

  Gas
                    Manhole
        Potongan              Inflow                        Outflow
                                       Potongan memanjang
        melintang




      Ruang
   pengendapan          Ruang
                      pencernaan

                      Gambar 18. Mekanisme Aliran Proses Pengolahan
             (Sumber: Department of Environment & Natural Resources, Phillipine)

Kelebihan
• Menyisihkan padatan dari lumpur tinja sebelum melewati jaringan perpipaan selanjutnya
  sehingga tidak hanya mengurangi potensi penyumbatan juga dapat membantu mengurangi
  dimensi pipa
• Operasi dan pemeliharaan mudah sehingga dapat menggunakan sumber daya manusia
  dengan pengetahuan minimal
• Tidak memerlukan pengolahan primer (primary treatment) pada pengolahan selanjunya
  (secondary treatment)
• Mampu bertahan terhadap aliran debit masuk yang sangat berfluktuasi (resistant against
  shock loads.

Kelemahan
• Pemeliharaan merupakan suatu keharusan
• Jika tidak dioperasikan dan dirawat dengan baik, maka resiko penyumbatan pada pipa
  pengaliran
• Membutuhkan pengolahan lebih lanjut untuk efluen baik pada frasa cair maupun padatan
  yang telah dipisahkan
• Efisiensi penyisihan rendah



                                                40
Kriteria Disain
Tangki imhoff dirancang dengan waktu detensi 2-4 jam, perbandingan lebar dan panjang tangki
1:(2-4) dan dengan kedalaman (7,2-9) m. Kapasitas ruang pencerna yang disediakan sebesar
2,5 m3/kapita. Tangki dapat dibuat tertutup ataupun terbuka namun bila tertutup perlu
disediakan ventilasi untuk biogas lebih kurang 20% dari luas permukaan. Efisiensi penyisihan
BOD berkisar antara (30-50)% yang bergantung pada jenis outlet yang digunakan.

Komponen yang perlu disiapkan untuk tangki imhoff adalah ruang sedimentasi, ruang pencerna,
pipa dan ruang penampung gas, pipa atau saluran inlet dan outlet, pipa penguras lumpur,
struktur tangki dengan atau tanpa manhole (lubang kontrol). Dimensi masing-masing komponen
dapat dilihat pada Gambar 19 dan Gambar 20 berikut ini.

Kriteria disain lainnya yang dapat digunakan untuk mendisain tangki imhoff adalah:
• Jumlah unit yang dapat diaplikasikan dalam satu tangki imhoff maksimum 2 (dua) unit
• Kecepatan aliran horizontal ruang sedimentasi adalah < 1 cm/detik
• Beban permukaan (surface loading) ruang sedimentasi sebesar ≤ 30 m3/(m2.hari)
• Efisiensi pemisahan padatan tersuspensi (TSS) pada ruang sedimentasi (40-60)%
• Waktu detensi ruang sedimentasi (2-4) jam
• Waktu detensi ruang pencerna (1-2) bulan
• Laju endapan lumpur tinja pada ruang sedimentasi 0,5 liter/orang/hari
• Laju endapan lumpur pada ruang pencerna 0,06 liter/orang/hari
• Diameter pipa lumpur 15 cm (10 inchi)
• Ventilasi gas dibuat minimal 20% dari luas permukaan tangki imhoff atau lebar bukaan
    masing-masing (45-60) cm pada kedua sisi tangki




                Tipe I                                            Tipe II

           Gambar 19. Pilihan Bentuk Penampang Tangki Imhoffn2 Kompartemen
                    (Sumber: Petunjuk Teknis CT/AL/Re-TC/001/98)


                                            41
Ventilasi gas
                                                                      Lebar : (45-60) cm




            Gambar 20. Disain Dimensi Tangki Imhoff
(Sumber: Department of Environment & Natural Resources, Phillipine)




                                42
Tabel 4. Dimensi Tangki Imhoff




 Sumber: Petunjuk Teknis CT/AL/Re-TC/001/98


4.5.3   Kolam Anaerobik (Anaerobic pond)
Deskripsi dan Proses
Kolam anaerobik berfungsi untuk menguraikan kandungan zat organik (BOD) dan padatan
tersuspensi (SS) dengan cara anaerobik atau tanpa oksigen. Kolam dapat dikondisikan menjadi
anaerobik dengan cara menambahkan beban BOD yang melebihi kemampuan fotosintesis
secara alami dalam memproduksi oksigen (Benefield & Randall, 1980). Proses fotosintesis yang
terjadi di dalam kolam dapat diperlambat dengan mengurangi luas permukaan dan menambah
kedalaman kolam. Kolam anaerobik biasanya digunakan sebagai pengolahan pendahuluan
(pretreatment) dan cocok untuk air limbah dengan konsentrasi BOD yang tinggi (high strength
wastewater). Oleh karena itu, kolam anaerobik diletakkan sebelum kolam fakultatif dan
berfungsi sebagai pengolahan awal/pendahuluan. Selain itu, reaksi penguraian (degradasi) yang
terjadi di dalam kolam anaerobik lebih cepat terjadi pada wilayah dengan temperatur yang
panas/hangat. Oleh karena itu, kolam anaerobik cocok bila diaplikasikan di Indonesia
mengingat temperatur yang pnas dan relatif konstan sepanjang tahun.

Lumpur tinja tergolong high-strenght wastewater dengan konsentrasi BOD minimal 1.500 mg/l
cocok diolah dengan menggunakan kolam anaerobik. Penurunan konsentrasi material organik
terjadi seiring dengan meningkatnya aktivitas mikroba memproduksi gas (biogas) dan lumpur.
Produksi biogas dapat terlihat dengan adanya gelembung-gelembung udara pada bagian
permukaan kolam. Kondisi kolam yang hangat, pH normal tanpa oksigen, maka jenis mikroba
yang dominan adalah mikroba pembentuk methane. Gambaran kolam anaerobik dapat dilihat
pada Gambar 21 di bawah ini.




                                             43
Lumpur yang terbentuk merupakan hasil dari pemisahan padatan yang terlarut di dalam influen
yang kemudian akan mengendap pada bagian dasar kolam. Selanjutnya, material organik yang
masih tersisa akan diuraikankan/didegradasi lebih lanjut.




                         Gambar 21. Gambaran Kolam Anaerobik
                          (sumber: www.thewatertreatment.com)

Kelebihan
• Dapat membantu memperkecil dimensi/ukuran kolam fakultatif dan maturasi
• Dapat mengurangi penumpukan lumpur pada unit pengolahan berikutnya
• Biaya operasional murah
• Mampu menerima limbah dengan konsentrasi yang tinggi

Kelemahan
• Menimbulkan bau yang dapat mengganggu
• Proses degradasi berjalan lambat
• Memerlukan lahan yang luas

Kriteria Disain
Kolam anaerobik dirancang dengan kedalaman (2-4) m. Pada kedalaman ini akan terbentuk
kondisi anaerob dan mampu menyimpan lumpur hingga akumulasi (30-40) liter/orang/tahun.
Waktu detensi menyesuaikan dengan temperatur di lokasi pembangunan IPLT. Standar
pemilihan waktu detensi dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini. Waktu detensi tidak
disarankan terlalu lama karena akan merubah kolam anaerobik menjadi kolam fakultatif.




                                            44
Tabel 5. Variasi Temperatur dan Waktu Detensi
                 Temperatur             Waktu         Efisiensi Penyisihan
                 Dalam Kolam            Detensi               BOD
                      ( oC)              (hari)                (%)
                      < 10                 >5                  0-10
                     10-15                4-5                 30-40
                     15-20                2-3                 40-50
                     20-25                1-2                 40-60
                     25-30                1-2                 60-80
              Sumber: Balai Pelatihan Air Bersih & Penyehatan Lingkungan Permukiman, 2000

Kolam berbentuk persegi panjang dengan rasio panjang banding lebar sebesar (2-4):1. Kolam
anaerobik umumnya diaplikasikan 2 (dua) unit kolam yang dibuat paralel atau seri sehingga
dapat mengantisipasi jika salah satu kolam berhenti beroperasi untuk perawatan. Kolam diberi
talud sebesar 1:3 untuk memudahkan perawatan kolam.

Untuk mendisain kolam anaerobik, laju beban BOD yang akan digunakan dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan (2) ataupun ditentukan dengan menggunakan Tabel 6 di
bawah ini.

Laju beban BOD = [Konsentrasi BOD masuk (influen) x Debit lumpur tinja] …….(2)
                            Volume kolam

Keterangan:
Laju beban BOD ( gr/m3/hari) dapat juga digunakan 500-800 gr BOD/m3.hari
Konsentrasi BOD masuk (influen (mg/l)
Debit lumpur tinja yang akan diolah (m3/hari)
Volume kolam (m3)


   Kolam anaerobik dirancang dengan kedalaman (2-4) m, lebih dalam daripada kolam
   fakultatif dan maturasi dengan tujuan untuk membentuk dan mempertahankan kondisi
   anaerobik bagi proses degradasi oleh mikroba yang terjadi didalamnya.




                                              45
Tabel 6. Acuan Laju Beban BOD Kolam Anaerobik

   Acuan         Waktu       Laju Beban      Konversi Laju      Kedalaman        Aplikasi
                 Detensi        BOD           Beban BOD           Kolam
                 (Hari)    (Loading Rate)    (kg/m3-day)           (m)
                            (gr/m2.hari)

Barnes, Bliss,    8 - 40   25 to 40           0.007 - 0.011      2.5 - 5.0   Terutama untuk
et al (1981)               (kedalaman                                        limbah dengan
                           kolam 3.75m)                                      konsentrasi sedang
                                                                             (medium-strength
                                                                             waste)
Metcalf and       5 - 50   200 to 500         0.005 - 0.015      2.5 - 5.0   Terutama untuk
Eddy (1979)                kg/ha-hari                                        limbah dengan
                           (kedalaman                                        konsentrasi sedang
                           kolam 3.75m)                                      (medium-strength
                                                                             waste)
Eckenfelder       5 - 50   250 to 4000 lbs    0.008 - 0.130      2.4 - 4.6   Untuk semua jenis
(1980)                     BOD/acre-hari                                     limbah
                           (11.5 ft)
Corbitt           1 - 50   0.05 to 0.25           0.05 - 0.25    2.4 - 6.1   Untuk limbah
(1989)                     kg/m3-hari                                        dengan beban yang
                                                                             bervariasi sesuai
                                                                             dengan
                                                                             karakteristik
                                                                             limbah

Sumber:
• Barnes, D, PJ Bliss, BW Gould and HR Valentine (1981) Water and Wastewater
  Engineering Systems, Longman Scientific and Technical, Essex
• Corbitt, Richard A. (1989) Standard Handbook of Environmental Engineering, McGraw-
  Hill, New York
• Eckenfelder, Jr., W. Wesley, (1980) Principles of Water Quality Management, CBI
  Publishing Company, Boston
• Metcalf and Eddy (1979) Wastewater Engineering: Treatment, Disposal, Reuse, McGraw-
  Hill, New York, page 553

Cotoh perhitungan
Bila kolam anaerobik didisain dengan waktu detensi 3 hari dan beban BOD sebesar 500
gr/m3.hari. Debit lumpur tinja yang akan diolah sebesar 25 m3/hari. Konsentrasi BOD lumpur
tinja yang akan diolah adalah sebesar 2.000 mg/liter.




                                             46
Volume kolam                 = Debit x waktu detensi ...........................................................(3)
Volume kolam (1)             = 25 m3/hari x 3 hari = 75 m3

Volume kolam = Beban BOD masuk / Laju beban BOD ...............................................(4)

Beban BOD Masuk = Debit lumpur tinja x konsentrasi BOD yang masuk ....................(5)
                 = 25 m3/hari x 2.000 mg/l = 50 kg

Volume kolam (2) = 50 kg / 500 gr/m3.hari) = 100 m3
Hasil perhitungan kedua volume dibandingkan untuk mendapatkan volume kolam maksimum
dan minimum. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, maka volume kolam berada di antara
(75-100) m3 yang selanjutnya ditetapkan saja menjadi 80 m3 (sebagai contoh). Untuk
perhitungan dimensi kolam yang baik maka ditetapkan rasio panjang dan lebar kolam sebesar
3:1 dan kedalaman kolam 3 m. Maka, luas permukaan kolam adalah:

Luas permukaan kolam = Volume / kedalaman kolam ..................................................(6)
                       = 80 m3 / 3 m = 26,67 m2

Luas permukaan kolam = (panjang x lebar) kolam .........................................................(7)
                 26,67 = 3 lebar x lebar
              Lebar = (26,67/3)0,5 = 2,98 m ≈ 3m
              Panjang = 3 m x 3 = 9 m

Sebagai cadangan maka digunakan 2 (dua) unit kolam dengan dimensi panjang 9m, lebar 3m
dan kedalaman 3m. Hasil perhitungan dapat digambarkan sebagai berikut:


 3m              KOLAM                             KOLAM
                                                                                                                  3m
               ANAEROBIK 1                       ANAEROBIK 2


                     9m                                  9m                                6m

                                  Gambar 22. Dimensi Kolam Anaerobik

Kolam dibuat secara seri untuk mendapat hasil pengolahan yang lebih baik karena waktu
detensi yang akan bertambah.




                                                           47
4.5.4   Kolam Fakultatif (Facultative pond)
Deskripsi dan Proses
Kolam fakultatif berfungsi untuk menguraikan dan menurunkan konsentrasi bahan organik yang
ada di dalam limbah yang telah diolah pada kolam anaerobik. Proses yang terjadi pada kolam
ini adalah campuran antara proses anaerob dan aerob. Secara umum kolam fakultatif
terstratifikasi menjadi tiga zona atau lapisan yang memiliki kondisi dan proses degradasi yang
berbeda. Lapisan paling atas disebut dengan zona aerobik karena pada bagian atas kolam kaya
akan oksigen. Kedalaman zona aerobik ini sangat bergantung pada beban yang diberikan pada
kolam, iklim, banyaknya sinar matahari, angin dan jumlah algae yang berkembang didalamnya.
Oksigen yang berlimpah berasal dari udara pada permukaan kolam, proses fotosintesis algae
dan adanya agitasi atau pengadukan akibat tiupan angin. Zona aerobik juga berfungsi sebagai
penghalang bau hasil produksi gas dari aktivitas mikroba pada zona dibawahnya.

Zona tengah kolam disebut dengan zona fakultatif atau zona aerobik-anaerobik. Pada zona ini,
kondisi aerob dan anaerob ditemukan bergenatung pada jenis mikroba yang tumbuh. Dan zona
paling bawah disebut dengan zona aerobik dimana oksigen sudah tidak ditemukan lagi. Pada
zona ini ditemukan lapisan lumpur yang terbentuk dari padatan yang terpisahkan dan
mengendap pada dasar kolam. Proses degradasi material organik dilakukan oleh bakteri dan
organisme mikroskopis (protozoa, cacing dan lain sebagainya).

Pada kondisi aerob, material organik akan diubah oleh mikroba (bakteri) menjadi karbon
dioksida, amonia, dan phosphat. Selanjutnya, phospat akan digunakan oleh algae sebagai
sumber nutrien sehingga terjadi simbiosis yang saling menguntungkan. Sementara itu, pada
kondisi anaerob, materi organik akan diubah menjadi gas seperti methane, hidrogen sulfida, dan
amonia serta lumpur sebagai produk sisa. Gas yang dihasilkan oleh mikroba anaerob
selanjutnya digunakan oleh mikroba aerob dan algae yang berada pada zona diatasnya.
Gambaran proses yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 23 di bawah ini.

Lumpur yang terbentuk sangat kaya akan mikroba anaerob yang akan terus mencerna (digest)
dan memperlambat proses pengendapan lumpur ke dasar kolam. Lumpur yang mengendap
harus dikuras secara periodik bergantung pada iklim, disain kolam dan program pemeliharaan
yang dijalankan. Namun sebagai patokan umum, periode pengurasan dilakukan antara 5-10
tahun.




                                              48
Gambar 23. Proses Pada Kolam Fakultatif
                          (Sumber: www.thewatertreatments.com)


Kelebihan
• Sangat efektif menurunkan jumlah atau konsentrasi bakteri patogen hingga (60-99)%
• Mampu menghadapi beban yang berfluktuasi
• Operasi dan perawatan mudah sehingga tidak memerlukan keahlian tinggi
• Biaya operasi dan perawatan murah

Kelemahan
• Kolam fakultatif ini memerlukan luas lahan yang besar
• Waktu tinggal yang lama, bahkan beberapa literatur menyarankan waktu tinggal antara (20-
  150) hari
• Jika tidak dirawat dengan baik, maka kolam dapat menjadi sarang bagi serangga seperti
  nyamuk
• Berpotensi mengeluarkan bau
• Memerlukan pengolahan lanjutan terutama akibat pertumbuhan algae pada kolam


Kriteria Disain
Kolam fakultatif mampu mengolah limbah dengan beban BOD berkisar antara (40-60) gr/m3.
Efektifitas kolam bergantung pada lamanya limbah tinggal di dalam kolam (waktu detensi) yang
biasanya berkisar antara (20-40) hari. Dengan waktu detensi tersebut, maka efisiensi penyisihan


                                              49
BOD dapat mencapai (70-90)% dan dapat pula menurunkan konsentrasi coliform sebesar (60-
99)%.

Kolam fakultatif dirancang berdasarkan beban BOD maksimum per-unit luas sehingga kolam
memiliki zona aerobik dan anaerobik. Besarnya beban BOD pada kolam fakultatif dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan (8) berikut ini:

Beban BOD = 20 T – 120 kg/ha/hari ………………………………………………(8)

Keterangan:
T = temperatur rata-rata dalam bulan yang paling dingin

Persamaan ini didapat dari pengalaman sukses perancangan dan operasional kolam fakultatif
yang ada di dunia dilihat berdasarkan beban BOD dan temperatur. Penentuan beban BOD ini
menjadi sangat penting karena akan menentukan kecepatan pembentukan lumpur di dalam
kolam yang selanjutnya akan mempengaruhi stratifikasi kolam menjadi zona aerobik dan
anaerobik.

Kedalaman kolam fakultatif berkisar antara (0,9-2,4) m. Kedalaman ini masih dapat mendukung
pertumbuhan algae dan juga cukup dalam untuk mendapatkan kondisi anaerobik pada bagian
dasar kolam. Kedalaman kolam arus tetap dipertahankan untuk menghindari terjadinya
penguapan yang akan mengganggu stratifikasi zona yang ada juga mencegah bau. Rasio
panjang dan lebar adalah (2-4):1.




                                Gambar 24. Kolam Fakultatif
                                (Sumber: Tilley, et. al., 2008)
Contoh Perhitungan
Kolam fakultatif akan dibangun untuk sebuah IPLT yang melayani 10.000 jiwa dimana hanya
70% populasi yang memiliki tangki septik. Cakupan layanan IPLT hanya sebesar 60%. Hasil


                                              50
pengamatan temperatur rata-rata pada bulan terdingin sebesar 25oC. Volume timbulan lumpur
tinja menurut UNDP adalah sebesar 25 liter/orang/tahun. Beban BOD yang akan masuk ke
kolam 2.000 mg/l.

Jumlah pemakai tangki septik = 70% x 10.000 = 7.000 jiwa
Cakupan layanan IPLT = 60% x 7.000 jiwa = 4.200 jiwa
Volume timbulan lumpur = 25 l/o/thn x 4.200 jiwa = 105.000 l/tahun = 288 l/hari
Beban BOD total = 288 l/hari x 2.000 mg/l = 576 gr/hari = 0,576 kg/hari

Rencana disain:
Beban BOD = 20 x 25oC – 120 = 380 kg/ha/hari
Luas lahan yang dibutuhkan   = Beban BOD Total / Beban BOD ………………….(9)
                             = 0,576 kg/hari / 380 kg/ha/hari = 0.0015 ha = 15,16 m2

Kedalaman air dalam kolam antara (0,9-2,4) m dan ditetapkan 2m
Tinggi jagaan antara (0,3-0,5) m dan ditetapkan 0,5m
Maka kedalaman total kolam adalah 2,5m

Volume kolam fakultatif = luas x kedalaman = 15,5m2 x 2,5m = 38,75m3

Waktu detensi = Volume kolam / Debit lumpur yang diolah tiap hari .……….……..(10)
               = 38,75 m3/288 liter/hari = 134,6 hari
Untuk mempersingkat waktu, maka kolam fakultatif dibuat seri sehingga waktu operasi menjadi
lebih singkat.

Luas permukaan kolam = (panjang x lebar) kolam ..........................................................(7)
           15,16m2 = 3 lebar x lebar
               Lebar = (15,16/3)0,5 = 2,25 m ≈ 2,3m
               Panjang = 2,3 m x 3 = 6,9 m
Sebagai cadangan maka digunakan 2 (dua) unit kolam dengan dimensi panjang 6,9m, lebar
2,3m dan kedalaman 2,5m. Hasil perhitungan dapat digambarkan sebagai berikut:


 2,3m           KOLAM                        KOLAM
                                                                                                   2,5m
              FAKULTATIF 1                 FAKULTATIF 2


                 6,9m                           6,9m

                                Gambar 25. Dimensi Kolam Fakultatif



                                                    51
4.5.5   Kolam Maturasi (Maturation pond)
Deskripsi dan Proses
Kolam maturasi digunakan untuk mengolah air limbah yang berasal dari kolam fakultatif dan
biasanya disebut sebagai kolam pematangan. Kolam ini merupakan rangkaian akhir dari proses
pengolahan aerobik air limbah sehingga dapat menurunkan konsentrasi padatan tersuspensi (SS)
dan BOD yang masih tersisa didalamnya. Fungsi utama kolam maturasi adalah untuk
menghilangkan mikroba patogen yang berada di dalam limbah melalui perubahan kondisi yang
berlangsung dengan cepat serta pH yang tinggi. Proses degradasi terjadi secara aerobik melalui
kerjasama antara mikroba aerobik dan algae. Alga melakukan fotosintesis membantu
meningkatkan konsentrasi oksigen di dalam air olahan yang digunakan oleh mikroba aerob.

Kolam maturasi dirancang untuk mengolah limbah (septage) dengan konsentrasi organik yang
sudah jauh lebih rendah dibandingkan konsentrasi limbah awal saat masuk IPLT. Pada
umumnya kolam maturasi terdiri dari dua kolam yang disusun seri. Jumlah dan ukuran kolam
bergantung pada kualitas effluent yang diinginkan. Dinding kolam diberi perkerasan selain
untuk memperkuat juga untuk mencegah/menghindari terjadinya rembesan ke samping atau
arah horisontal dinding kolam.

Kelebihan
• Biaya operasi rendah karena tidak menggunakan aerator
• Mampu menyisihkan nitrogen hingga 80% dan amonia hingga 95%
• Mampu menyisihkan mikroba patogen

Kelemahan
• Hanya mampu menyisihkan BOD dalam konsentrasi yang kecil

Kriteria Disain
Kolam maturasi berbentuk kolam penampung dengan perbandingan panjang dan lebar (2-4):1.
Kedalaman kolam dibuat antara (1-2) m sehingga dapat mempertahankan kondisi
aerobik.Waktu detensi pada kolam maturasi antara (5-15) hari. Dasar kolam harus dibuat kedap
air untuk menghindari terjadinya rembesan atau infiltrasi ke dalam tanah.

Kolam maturasi didesain berdasarkan pada prinsip pemisahan kandungan fecal coliform. Selain
itu, jumlah kolam yang dibutuhkan bergantung pada jumlah bakteri fecal. Biasanya untuk dua
kolam dengan waktu detensi (5-10) hari akan memiliki air olahan dengan konsentrasi BOD di
bawah 30 mg/l. Jumlah bakteri coliform dalam lumpur tinja dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan di bawah ini:



                                             52
Ne = Ni / [ 1 + (Kb x t) ] ……………………………………………..……………..(11)

Keterangan:
Ne     : jumlah bakteri coliform per-100 ml effluent
Ni     : jumlah bakteri coliform per-100 ml influent (jumlah yang diinginkan pada
         effluent berkisar antara 107-108 bakteri coliform per-100 ml
Kb     : 2,6 x (1,9T-20) / hari ......……………………………………………………..(12)
T      : temperatur paling dingin (oC)
t      : waktu operasi

Persamaan (11) di atas digunakan untuk menghitung effluent pada satu kolam saja. Bila
terdapat beberapa kolam yang disusun secara seri, maka perhitungan menggunakan persamaan
(13) di bawah ini.

Ne = Ni / [ (1 + Kb.t1) (1 + Kb.t2)….(1 + Kb.tn) ] ……………………………….(13)

Keterangan:
t1, t2, …..tn = waktu operasi kolam ke-1, kolam ke-2, kolam ke-n




                                 Gambar 26. Kolam Maturasi
                                (Sumber: Tilley, et. al., 2008)

Kriteria disain lainnya yang dapat digunakan untuk merancang kolam maturasi adalah sebagai
berikut:
Tinggi jagaan (free board)      : (0,3-0,5) m
Beban BOD volumetrik : (40-60) gr BOD/m3.hari
Efisiensi pemisahan BOD         : ≥ 60%
BOD influent                    : ≤ 400 mg/l


                                              53
Perencanaan sanitasi sistem setempat
Perencanaan sanitasi sistem setempat
Perencanaan sanitasi sistem setempat
Perencanaan sanitasi sistem setempat
Perencanaan sanitasi sistem setempat
Perencanaan sanitasi sistem setempat
Perencanaan sanitasi sistem setempat
Perencanaan sanitasi sistem setempat
Perencanaan sanitasi sistem setempat
Perencanaan sanitasi sistem setempat
Perencanaan sanitasi sistem setempat

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt?

Persyaratan Teknis Pengumpulan, Pemindahan dan Pengangkutan Sampah
Persyaratan Teknis Pengumpulan, Pemindahan dan Pengangkutan SampahPersyaratan Teknis Pengumpulan, Pemindahan dan Pengangkutan Sampah
Persyaratan Teknis Pengumpulan, Pemindahan dan Pengangkutan SampahJoy Irman
 
Permen PU Nomor 18 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pengembangan Sistem Pen...
Permen PU Nomor 18 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pengembangan Sistem Pen...Permen PU Nomor 18 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pengembangan Sistem Pen...
Permen PU Nomor 18 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pengembangan Sistem Pen...Penataan Ruang
 
Perencanaan Teknis Bangunan Pengolahan Air Limbah secara Gabungan
Perencanaan Teknis Bangunan Pengolahan Air Limbah secara GabunganPerencanaan Teknis Bangunan Pengolahan Air Limbah secara Gabungan
Perencanaan Teknis Bangunan Pengolahan Air Limbah secara GabunganJoy Irman
 
Pemilihan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
Pemilihan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)Pemilihan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
Pemilihan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)Joy Irman
 
Perencanaan pengelolaan air limbah dengan sistem terpusat
Perencanaan pengelolaan air limbah dengan sistem terpusatPerencanaan pengelolaan air limbah dengan sistem terpusat
Perencanaan pengelolaan air limbah dengan sistem terpusatinfosanitasi
 
Perencanaan Teknis Sistem Pengolahan Air Limbah (IPAL) Secara Fisik
Perencanaan Teknis Sistem Pengolahan Air Limbah (IPAL) Secara FisikPerencanaan Teknis Sistem Pengolahan Air Limbah (IPAL) Secara Fisik
Perencanaan Teknis Sistem Pengolahan Air Limbah (IPAL) Secara FisikJoy Irman
 
Perencanaan Teknis dan Teknologi Pengolahan Lumpur
Perencanaan Teknis dan Teknologi Pengolahan LumpurPerencanaan Teknis dan Teknologi Pengolahan Lumpur
Perencanaan Teknis dan Teknologi Pengolahan LumpurJoy Irman
 
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - Upflow Anaerobic Filter - Per...
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - Upflow Anaerobic Filter - Per...Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - Upflow Anaerobic Filter - Per...
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - Upflow Anaerobic Filter - Per...Joy Irman
 
Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah
Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah
Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah Joy Irman
 
5. unit koagulasi flokulasi
5. unit koagulasi flokulasi5. unit koagulasi flokulasi
5. unit koagulasi flokulasiKurnia Zuliana
 
Landasan Hukum Pengelolaan Air Limbah
Landasan Hukum Pengelolaan Air LimbahLandasan Hukum Pengelolaan Air Limbah
Landasan Hukum Pengelolaan Air LimbahJoy Irman
 
Kebutuhan air baku
Kebutuhan air bakuKebutuhan air baku
Kebutuhan air bakuudhiye
 
Aspek Teknis Operasional Pengelolaan Sampah (3/4)
Aspek Teknis Operasional Pengelolaan Sampah (3/4)Aspek Teknis Operasional Pengelolaan Sampah (3/4)
Aspek Teknis Operasional Pengelolaan Sampah (3/4)Joy Irman
 
Kriteria Pengelolaan Air Limbah
Kriteria Pengelolaan Air LimbahKriteria Pengelolaan Air Limbah
Kriteria Pengelolaan Air LimbahJoy Irman
 
perencanaan intake
perencanaan intakeperencanaan intake
perencanaan intakeReza Nuari
 
Perhitungan jumlah trip kendaraan pengangkut sampah
Perhitungan jumlah trip kendaraan pengangkut sampahPerhitungan jumlah trip kendaraan pengangkut sampah
Perhitungan jumlah trip kendaraan pengangkut sampahNurul Angreliany
 
Teknologi dan Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat (SPAL-T)
Teknologi dan Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat (SPAL-T)Teknologi dan Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat (SPAL-T)
Teknologi dan Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat (SPAL-T)Joy Irman
 
Bangunan Pengolah Air Limbah secara Anaerobik
Bangunan Pengolah Air Limbah secara AnaerobikBangunan Pengolah Air Limbah secara Anaerobik
Bangunan Pengolah Air Limbah secara AnaerobikJoy Irman
 
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat (SPAL) – Sistem Pengelolaan Ter...
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat (SPAL) – Sistem Pengelolaan Ter...Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat (SPAL) – Sistem Pengelolaan Ter...
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat (SPAL) – Sistem Pengelolaan Ter...Joy Irman
 
Onsite c1 tangki septik - perencanaan
Onsite   c1 tangki septik - perencanaanOnsite   c1 tangki septik - perencanaan
Onsite c1 tangki septik - perencanaanJoy Irman
 

Was ist angesagt? (20)

Persyaratan Teknis Pengumpulan, Pemindahan dan Pengangkutan Sampah
Persyaratan Teknis Pengumpulan, Pemindahan dan Pengangkutan SampahPersyaratan Teknis Pengumpulan, Pemindahan dan Pengangkutan Sampah
Persyaratan Teknis Pengumpulan, Pemindahan dan Pengangkutan Sampah
 
Permen PU Nomor 18 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pengembangan Sistem Pen...
Permen PU Nomor 18 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pengembangan Sistem Pen...Permen PU Nomor 18 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pengembangan Sistem Pen...
Permen PU Nomor 18 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pengembangan Sistem Pen...
 
Perencanaan Teknis Bangunan Pengolahan Air Limbah secara Gabungan
Perencanaan Teknis Bangunan Pengolahan Air Limbah secara GabunganPerencanaan Teknis Bangunan Pengolahan Air Limbah secara Gabungan
Perencanaan Teknis Bangunan Pengolahan Air Limbah secara Gabungan
 
Pemilihan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
Pemilihan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)Pemilihan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
Pemilihan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
 
Perencanaan pengelolaan air limbah dengan sistem terpusat
Perencanaan pengelolaan air limbah dengan sistem terpusatPerencanaan pengelolaan air limbah dengan sistem terpusat
Perencanaan pengelolaan air limbah dengan sistem terpusat
 
Perencanaan Teknis Sistem Pengolahan Air Limbah (IPAL) Secara Fisik
Perencanaan Teknis Sistem Pengolahan Air Limbah (IPAL) Secara FisikPerencanaan Teknis Sistem Pengolahan Air Limbah (IPAL) Secara Fisik
Perencanaan Teknis Sistem Pengolahan Air Limbah (IPAL) Secara Fisik
 
Perencanaan Teknis dan Teknologi Pengolahan Lumpur
Perencanaan Teknis dan Teknologi Pengolahan LumpurPerencanaan Teknis dan Teknologi Pengolahan Lumpur
Perencanaan Teknis dan Teknologi Pengolahan Lumpur
 
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - Upflow Anaerobic Filter - Per...
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - Upflow Anaerobic Filter - Per...Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - Upflow Anaerobic Filter - Per...
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - Upflow Anaerobic Filter - Per...
 
Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah
Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah
Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah
 
5. unit koagulasi flokulasi
5. unit koagulasi flokulasi5. unit koagulasi flokulasi
5. unit koagulasi flokulasi
 
Landasan Hukum Pengelolaan Air Limbah
Landasan Hukum Pengelolaan Air LimbahLandasan Hukum Pengelolaan Air Limbah
Landasan Hukum Pengelolaan Air Limbah
 
Kebutuhan air baku
Kebutuhan air bakuKebutuhan air baku
Kebutuhan air baku
 
Aspek Teknis Operasional Pengelolaan Sampah (3/4)
Aspek Teknis Operasional Pengelolaan Sampah (3/4)Aspek Teknis Operasional Pengelolaan Sampah (3/4)
Aspek Teknis Operasional Pengelolaan Sampah (3/4)
 
Kriteria Pengelolaan Air Limbah
Kriteria Pengelolaan Air LimbahKriteria Pengelolaan Air Limbah
Kriteria Pengelolaan Air Limbah
 
perencanaan intake
perencanaan intakeperencanaan intake
perencanaan intake
 
Perhitungan jumlah trip kendaraan pengangkut sampah
Perhitungan jumlah trip kendaraan pengangkut sampahPerhitungan jumlah trip kendaraan pengangkut sampah
Perhitungan jumlah trip kendaraan pengangkut sampah
 
Teknologi dan Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat (SPAL-T)
Teknologi dan Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat (SPAL-T)Teknologi dan Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat (SPAL-T)
Teknologi dan Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat (SPAL-T)
 
Bangunan Pengolah Air Limbah secara Anaerobik
Bangunan Pengolah Air Limbah secara AnaerobikBangunan Pengolah Air Limbah secara Anaerobik
Bangunan Pengolah Air Limbah secara Anaerobik
 
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat (SPAL) – Sistem Pengelolaan Ter...
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat (SPAL) – Sistem Pengelolaan Ter...Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat (SPAL) – Sistem Pengelolaan Ter...
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat (SPAL) – Sistem Pengelolaan Ter...
 
Onsite c1 tangki septik - perencanaan
Onsite   c1 tangki septik - perencanaanOnsite   c1 tangki septik - perencanaan
Onsite c1 tangki septik - perencanaan
 

Andere mochten auch

Peraturan Menteri PU No. 16 Tahun 2008 tentang Sistem Pengelolaan Air Limbah ...
Peraturan Menteri PU No. 16 Tahun 2008 tentang Sistem Pengelolaan Air Limbah ...Peraturan Menteri PU No. 16 Tahun 2008 tentang Sistem Pengelolaan Air Limbah ...
Peraturan Menteri PU No. 16 Tahun 2008 tentang Sistem Pengelolaan Air Limbah ...Joy Irman
 
Pengendalian dan pengawasan pembangunan iplt dan ipal
Pengendalian dan pengawasan pembangunan iplt dan ipalPengendalian dan pengawasan pembangunan iplt dan ipal
Pengendalian dan pengawasan pembangunan iplt dan ipalinfosanitasi
 
Operasi dan pemeliharaan unit Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT)
Operasi dan pemeliharaan unit Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT)Operasi dan pemeliharaan unit Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT)
Operasi dan pemeliharaan unit Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT)infosanitasi
 
Prosedur standar sistem operasi dan pembiayaan op iplt
Prosedur standar sistem operasi dan pembiayaan op ipltProsedur standar sistem operasi dan pembiayaan op iplt
Prosedur standar sistem operasi dan pembiayaan op ipltinfosanitasi
 
Teknik Maintenance WWTP & WTP, Manajemen Peralatan WWTP & WWTP, Cara Merawat ...
Teknik Maintenance WWTP & WTP, Manajemen Peralatan WWTP & WWTP, Cara Merawat ...Teknik Maintenance WWTP & WTP, Manajemen Peralatan WWTP & WWTP, Cara Merawat ...
Teknik Maintenance WWTP & WTP, Manajemen Peralatan WWTP & WWTP, Cara Merawat ...Anggi Nurbana Wahyudi
 
Dasar dasar teknik dan pengelolaan air limbah
Dasar dasar teknik dan pengelolaan air limbahDasar dasar teknik dan pengelolaan air limbah
Dasar dasar teknik dan pengelolaan air limbahinfosanitasi
 
Perencanaan Sarana dan Prasarana Air Limbah Sistem Setempat (On-site)
Perencanaan Sarana dan Prasarana Air Limbah Sistem Setempat (On-site)Perencanaan Sarana dan Prasarana Air Limbah Sistem Setempat (On-site)
Perencanaan Sarana dan Prasarana Air Limbah Sistem Setempat (On-site)Joy Irman
 
Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Air Limbah Permukiman
Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Air Limbah PermukimanKebijakan dan Strategi Pengelolaan Air Limbah Permukiman
Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Air Limbah PermukimanM Handoko
 
Kebijakan dan strategi pengembangan sistem pengelolaan air limbah permukiman
Kebijakan dan strategi pengembangan sistem pengelolaan air limbah permukimanKebijakan dan strategi pengembangan sistem pengelolaan air limbah permukiman
Kebijakan dan strategi pengembangan sistem pengelolaan air limbah permukimanJoy Irman
 
Manual D Penyusunan Rencana Tindak Sanitasi
Manual D Penyusunan Rencana Tindak SanitasiManual D Penyusunan Rencana Tindak Sanitasi
Manual D Penyusunan Rencana Tindak SanitasiJoy Irman
 
Manual B Penyusunan Buku Putih Sanitasi Kota
Manual B Penyusunan Buku Putih Sanitasi KotaManual B Penyusunan Buku Putih Sanitasi Kota
Manual B Penyusunan Buku Putih Sanitasi KotaJoy Irman
 
Aliansi Fasilitator Sanitasi Indonesia (AFSI)
Aliansi Fasilitator Sanitasi Indonesia (AFSI)Aliansi Fasilitator Sanitasi Indonesia (AFSI)
Aliansi Fasilitator Sanitasi Indonesia (AFSI)infosanitasi
 
Roadmap program percepatan pembangunan sanitasi permukiman ppsp
Roadmap program percepatan pembangunan sanitasi permukiman ppspRoadmap program percepatan pembangunan sanitasi permukiman ppsp
Roadmap program percepatan pembangunan sanitasi permukiman ppspJoy Irman
 
Manual A Advokasi dan Kelembagaan Sanitasi
Manual A Advokasi dan Kelembagaan SanitasiManual A Advokasi dan Kelembagaan Sanitasi
Manual A Advokasi dan Kelembagaan SanitasiJoy Irman
 
Rencana Strategis Direktorat Jenderal Cipta Karya 2010-2014
Rencana Strategis Direktorat Jenderal Cipta Karya 2010-2014Rencana Strategis Direktorat Jenderal Cipta Karya 2010-2014
Rencana Strategis Direktorat Jenderal Cipta Karya 2010-2014Joy Irman
 
Perencanaan Teknis IPLT - Unit Pengolahan Pemekatan
Perencanaan Teknis IPLT - Unit Pengolahan PemekatanPerencanaan Teknis IPLT - Unit Pengolahan Pemekatan
Perencanaan Teknis IPLT - Unit Pengolahan PemekatanJoy Irman
 
Pemberdayaan Masyarakat dengan Pelibatan Jender dan Kemiskinan dalam Pembangu...
Pemberdayaan Masyarakat dengan Pelibatan Jender dan Kemiskinan dalam Pembangu...Pemberdayaan Masyarakat dengan Pelibatan Jender dan Kemiskinan dalam Pembangu...
Pemberdayaan Masyarakat dengan Pelibatan Jender dan Kemiskinan dalam Pembangu...Joy Irman
 
Manual C Penyusunan Strategi Sanitasi Kota
Manual C Penyusunan Strategi Sanitasi KotaManual C Penyusunan Strategi Sanitasi Kota
Manual C Penyusunan Strategi Sanitasi KotaJoy Irman
 
Peraturan Menteri PU No. 21 Tahun 2006 tentang Sistem Pengelolaan Persampahan
Peraturan Menteri PU No. 21 Tahun 2006 tentang Sistem Pengelolaan PersampahanPeraturan Menteri PU No. 21 Tahun 2006 tentang Sistem Pengelolaan Persampahan
Peraturan Menteri PU No. 21 Tahun 2006 tentang Sistem Pengelolaan PersampahanJoy Irman
 
Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)
Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)
Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)Joy Irman
 

Andere mochten auch (20)

Peraturan Menteri PU No. 16 Tahun 2008 tentang Sistem Pengelolaan Air Limbah ...
Peraturan Menteri PU No. 16 Tahun 2008 tentang Sistem Pengelolaan Air Limbah ...Peraturan Menteri PU No. 16 Tahun 2008 tentang Sistem Pengelolaan Air Limbah ...
Peraturan Menteri PU No. 16 Tahun 2008 tentang Sistem Pengelolaan Air Limbah ...
 
Pengendalian dan pengawasan pembangunan iplt dan ipal
Pengendalian dan pengawasan pembangunan iplt dan ipalPengendalian dan pengawasan pembangunan iplt dan ipal
Pengendalian dan pengawasan pembangunan iplt dan ipal
 
Operasi dan pemeliharaan unit Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT)
Operasi dan pemeliharaan unit Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT)Operasi dan pemeliharaan unit Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT)
Operasi dan pemeliharaan unit Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT)
 
Prosedur standar sistem operasi dan pembiayaan op iplt
Prosedur standar sistem operasi dan pembiayaan op ipltProsedur standar sistem operasi dan pembiayaan op iplt
Prosedur standar sistem operasi dan pembiayaan op iplt
 
Teknik Maintenance WWTP & WTP, Manajemen Peralatan WWTP & WWTP, Cara Merawat ...
Teknik Maintenance WWTP & WTP, Manajemen Peralatan WWTP & WWTP, Cara Merawat ...Teknik Maintenance WWTP & WTP, Manajemen Peralatan WWTP & WWTP, Cara Merawat ...
Teknik Maintenance WWTP & WTP, Manajemen Peralatan WWTP & WWTP, Cara Merawat ...
 
Dasar dasar teknik dan pengelolaan air limbah
Dasar dasar teknik dan pengelolaan air limbahDasar dasar teknik dan pengelolaan air limbah
Dasar dasar teknik dan pengelolaan air limbah
 
Perencanaan Sarana dan Prasarana Air Limbah Sistem Setempat (On-site)
Perencanaan Sarana dan Prasarana Air Limbah Sistem Setempat (On-site)Perencanaan Sarana dan Prasarana Air Limbah Sistem Setempat (On-site)
Perencanaan Sarana dan Prasarana Air Limbah Sistem Setempat (On-site)
 
Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Air Limbah Permukiman
Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Air Limbah PermukimanKebijakan dan Strategi Pengelolaan Air Limbah Permukiman
Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Air Limbah Permukiman
 
Kebijakan dan strategi pengembangan sistem pengelolaan air limbah permukiman
Kebijakan dan strategi pengembangan sistem pengelolaan air limbah permukimanKebijakan dan strategi pengembangan sistem pengelolaan air limbah permukiman
Kebijakan dan strategi pengembangan sistem pengelolaan air limbah permukiman
 
Manual D Penyusunan Rencana Tindak Sanitasi
Manual D Penyusunan Rencana Tindak SanitasiManual D Penyusunan Rencana Tindak Sanitasi
Manual D Penyusunan Rencana Tindak Sanitasi
 
Manual B Penyusunan Buku Putih Sanitasi Kota
Manual B Penyusunan Buku Putih Sanitasi KotaManual B Penyusunan Buku Putih Sanitasi Kota
Manual B Penyusunan Buku Putih Sanitasi Kota
 
Aliansi Fasilitator Sanitasi Indonesia (AFSI)
Aliansi Fasilitator Sanitasi Indonesia (AFSI)Aliansi Fasilitator Sanitasi Indonesia (AFSI)
Aliansi Fasilitator Sanitasi Indonesia (AFSI)
 
Roadmap program percepatan pembangunan sanitasi permukiman ppsp
Roadmap program percepatan pembangunan sanitasi permukiman ppspRoadmap program percepatan pembangunan sanitasi permukiman ppsp
Roadmap program percepatan pembangunan sanitasi permukiman ppsp
 
Manual A Advokasi dan Kelembagaan Sanitasi
Manual A Advokasi dan Kelembagaan SanitasiManual A Advokasi dan Kelembagaan Sanitasi
Manual A Advokasi dan Kelembagaan Sanitasi
 
Rencana Strategis Direktorat Jenderal Cipta Karya 2010-2014
Rencana Strategis Direktorat Jenderal Cipta Karya 2010-2014Rencana Strategis Direktorat Jenderal Cipta Karya 2010-2014
Rencana Strategis Direktorat Jenderal Cipta Karya 2010-2014
 
Perencanaan Teknis IPLT - Unit Pengolahan Pemekatan
Perencanaan Teknis IPLT - Unit Pengolahan PemekatanPerencanaan Teknis IPLT - Unit Pengolahan Pemekatan
Perencanaan Teknis IPLT - Unit Pengolahan Pemekatan
 
Pemberdayaan Masyarakat dengan Pelibatan Jender dan Kemiskinan dalam Pembangu...
Pemberdayaan Masyarakat dengan Pelibatan Jender dan Kemiskinan dalam Pembangu...Pemberdayaan Masyarakat dengan Pelibatan Jender dan Kemiskinan dalam Pembangu...
Pemberdayaan Masyarakat dengan Pelibatan Jender dan Kemiskinan dalam Pembangu...
 
Manual C Penyusunan Strategi Sanitasi Kota
Manual C Penyusunan Strategi Sanitasi KotaManual C Penyusunan Strategi Sanitasi Kota
Manual C Penyusunan Strategi Sanitasi Kota
 
Peraturan Menteri PU No. 21 Tahun 2006 tentang Sistem Pengelolaan Persampahan
Peraturan Menteri PU No. 21 Tahun 2006 tentang Sistem Pengelolaan PersampahanPeraturan Menteri PU No. 21 Tahun 2006 tentang Sistem Pengelolaan Persampahan
Peraturan Menteri PU No. 21 Tahun 2006 tentang Sistem Pengelolaan Persampahan
 
Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)
Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)
Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)
 

Ähnlich wie Perencanaan sanitasi sistem setempat

Tangki septik sistem terpisah dengan bidang peresapan
Tangki septik sistem terpisah dengan bidang peresapanTangki septik sistem terpisah dengan bidang peresapan
Tangki septik sistem terpisah dengan bidang peresapanBambang Supriatna
 
Opsi Teknologi Air Limbah Domestik Sistem Setempat (On-Site)
Opsi Teknologi Air Limbah Domestik Sistem Setempat (On-Site)Opsi Teknologi Air Limbah Domestik Sistem Setempat (On-Site)
Opsi Teknologi Air Limbah Domestik Sistem Setempat (On-Site)Joy Irman
 
Septictank maret 2016
Septictank maret 2016Septictank maret 2016
Septictank maret 2016tunggalbagas
 
63207008 430633541-dasar-pengelolaan-air-limbah
63207008 430633541-dasar-pengelolaan-air-limbah63207008 430633541-dasar-pengelolaan-air-limbah
63207008 430633541-dasar-pengelolaan-air-limbahEdison Mega Dima
 
Teknologi dan Sistem Pengelolaan Air Limbah Setempat (SPAL-S)
Teknologi dan Sistem Pengelolaan Air Limbah Setempat (SPAL-S)Teknologi dan Sistem Pengelolaan Air Limbah Setempat (SPAL-S)
Teknologi dan Sistem Pengelolaan Air Limbah Setempat (SPAL-S)Joy Irman
 
teknologi pemcemaran air
teknologi pemcemaran airteknologi pemcemaran air
teknologi pemcemaran airMy own home
 
Tugas hidro presipitasi
Tugas hidro presipitasiTugas hidro presipitasi
Tugas hidro presipitasinur azizah
 
Spesifikasi teknis Tempat Pembuangan Akhir Sampah
Spesifikasi teknis Tempat Pembuangan Akhir  SampahSpesifikasi teknis Tempat Pembuangan Akhir  Sampah
Spesifikasi teknis Tempat Pembuangan Akhir SampahOswar Mungkasa
 
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - MCK Umum - Perencanaan Teknis
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - MCK Umum - Perencanaan TeknisSistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - MCK Umum - Perencanaan Teknis
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - MCK Umum - Perencanaan TeknisJoy Irman
 
Pertemuan 1 - Pendahuluan & Pengantar Drainase Kota - OK.pptx
Pertemuan 1 - Pendahuluan & Pengantar Drainase Kota - OK.pptxPertemuan 1 - Pendahuluan & Pengantar Drainase Kota - OK.pptx
Pertemuan 1 - Pendahuluan & Pengantar Drainase Kota - OK.pptxPIPITSPP1
 
On site sanitation kawasan bencana
On site sanitation kawasan bencanaOn site sanitation kawasan bencana
On site sanitation kawasan bencanaNadya NP
 
PPT Of Sewerage System
PPT Of Sewerage SystemPPT Of Sewerage System
PPT Of Sewerage Systemhesli oktavia
 
INSTALASI PERPIPAAN AIR KOTOR.pptx
INSTALASI PERPIPAAN AIR KOTOR.pptxINSTALASI PERPIPAAN AIR KOTOR.pptx
INSTALASI PERPIPAAN AIR KOTOR.pptxkristina renata
 
KONSTRUKSI DAN UTILITAS GEDUNG BAB 1.pptx
KONSTRUKSI DAN UTILITAS GEDUNG BAB 1.pptxKONSTRUKSI DAN UTILITAS GEDUNG BAB 1.pptx
KONSTRUKSI DAN UTILITAS GEDUNG BAB 1.pptxmariapaskalista
 
Penyaliran tambang
Penyaliran tambangPenyaliran tambang
Penyaliran tambangselegani
 
Operasi dan pemeliharaan sistem drainase perkotaan
Operasi dan pemeliharaan sistem drainase perkotaanOperasi dan pemeliharaan sistem drainase perkotaan
Operasi dan pemeliharaan sistem drainase perkotaaninfosanitasi
 
05 Bab_2_252015022.pdf
05 Bab_2_252015022.pdf05 Bab_2_252015022.pdf
05 Bab_2_252015022.pdfKevinKharisma
 
Opsi Teknologi Pengelolaan Air Limbah Sistem Terpusat - Pengelolaan Akhir (IPAL)
Opsi Teknologi Pengelolaan Air Limbah Sistem Terpusat - Pengelolaan Akhir (IPAL)Opsi Teknologi Pengelolaan Air Limbah Sistem Terpusat - Pengelolaan Akhir (IPAL)
Opsi Teknologi Pengelolaan Air Limbah Sistem Terpusat - Pengelolaan Akhir (IPAL)Joy Irman
 

Ähnlich wie Perencanaan sanitasi sistem setempat (20)

Tangki septik sistem terpisah dengan bidang peresapan
Tangki septik sistem terpisah dengan bidang peresapanTangki septik sistem terpisah dengan bidang peresapan
Tangki septik sistem terpisah dengan bidang peresapan
 
Opsi Teknologi Air Limbah Domestik Sistem Setempat (On-Site)
Opsi Teknologi Air Limbah Domestik Sistem Setempat (On-Site)Opsi Teknologi Air Limbah Domestik Sistem Setempat (On-Site)
Opsi Teknologi Air Limbah Domestik Sistem Setempat (On-Site)
 
Septictank maret 2016
Septictank maret 2016Septictank maret 2016
Septictank maret 2016
 
63207008 430633541-dasar-pengelolaan-air-limbah
63207008 430633541-dasar-pengelolaan-air-limbah63207008 430633541-dasar-pengelolaan-air-limbah
63207008 430633541-dasar-pengelolaan-air-limbah
 
Teknologi dan Sistem Pengelolaan Air Limbah Setempat (SPAL-S)
Teknologi dan Sistem Pengelolaan Air Limbah Setempat (SPAL-S)Teknologi dan Sistem Pengelolaan Air Limbah Setempat (SPAL-S)
Teknologi dan Sistem Pengelolaan Air Limbah Setempat (SPAL-S)
 
teknologi pemcemaran air
teknologi pemcemaran airteknologi pemcemaran air
teknologi pemcemaran air
 
Tugas hidro presipitasi
Tugas hidro presipitasiTugas hidro presipitasi
Tugas hidro presipitasi
 
Spesifikasi teknis Tempat Pembuangan Akhir Sampah
Spesifikasi teknis Tempat Pembuangan Akhir  SampahSpesifikasi teknis Tempat Pembuangan Akhir  Sampah
Spesifikasi teknis Tempat Pembuangan Akhir Sampah
 
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - MCK Umum - Perencanaan Teknis
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - MCK Umum - Perencanaan TeknisSistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - MCK Umum - Perencanaan Teknis
Sistem Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat - MCK Umum - Perencanaan Teknis
 
Pertemuan 1 - Pendahuluan & Pengantar Drainase Kota - OK.pptx
Pertemuan 1 - Pendahuluan & Pengantar Drainase Kota - OK.pptxPertemuan 1 - Pendahuluan & Pengantar Drainase Kota - OK.pptx
Pertemuan 1 - Pendahuluan & Pengantar Drainase Kota - OK.pptx
 
On site sanitation kawasan bencana
On site sanitation kawasan bencanaOn site sanitation kawasan bencana
On site sanitation kawasan bencana
 
PPT Of Sewerage System
PPT Of Sewerage SystemPPT Of Sewerage System
PPT Of Sewerage System
 
INSTALASI PERPIPAAN AIR KOTOR.pptx
INSTALASI PERPIPAAN AIR KOTOR.pptxINSTALASI PERPIPAAN AIR KOTOR.pptx
INSTALASI PERPIPAAN AIR KOTOR.pptx
 
Bak air baku
Bak air bakuBak air baku
Bak air baku
 
KONSTRUKSI DAN UTILITAS GEDUNG BAB 1.pptx
KONSTRUKSI DAN UTILITAS GEDUNG BAB 1.pptxKONSTRUKSI DAN UTILITAS GEDUNG BAB 1.pptx
KONSTRUKSI DAN UTILITAS GEDUNG BAB 1.pptx
 
Penyaliran tambang
Penyaliran tambangPenyaliran tambang
Penyaliran tambang
 
Operasi dan pemeliharaan sistem drainase perkotaan
Operasi dan pemeliharaan sistem drainase perkotaanOperasi dan pemeliharaan sistem drainase perkotaan
Operasi dan pemeliharaan sistem drainase perkotaan
 
05 Bab_2_252015022.pdf
05 Bab_2_252015022.pdf05 Bab_2_252015022.pdf
05 Bab_2_252015022.pdf
 
Opsi Teknologi Pengelolaan Air Limbah Sistem Terpusat - Pengelolaan Akhir (IPAL)
Opsi Teknologi Pengelolaan Air Limbah Sistem Terpusat - Pengelolaan Akhir (IPAL)Opsi Teknologi Pengelolaan Air Limbah Sistem Terpusat - Pengelolaan Akhir (IPAL)
Opsi Teknologi Pengelolaan Air Limbah Sistem Terpusat - Pengelolaan Akhir (IPAL)
 
Ecodrain
EcodrainEcodrain
Ecodrain
 

Mehr von infosanitasi

Permen pupr24 2014
Permen pupr24 2014Permen pupr24 2014
Permen pupr24 2014infosanitasi
 
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...infosanitasi
 
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...infosanitasi
 
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...infosanitasi
 
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...infosanitasi
 
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...infosanitasi
 
Permen PUPR pupr26 2014
Permen PUPR pupr26 2014Permen PUPR pupr26 2014
Permen PUPR pupr26 2014infosanitasi
 
Aspek Kelembagaan dan Pendanaan Sanitasi dalam Program PPSP 2015-2019
Aspek Kelembagaan dan Pendanaan Sanitasi dalam Program PPSP 2015-2019Aspek Kelembagaan dan Pendanaan Sanitasi dalam Program PPSP 2015-2019
Aspek Kelembagaan dan Pendanaan Sanitasi dalam Program PPSP 2015-2019infosanitasi
 
Usulan Program dan Kegiatan dalam Memorandum Program Sanitasi
Usulan Program dan Kegiatan dalam Memorandum Program SanitasiUsulan Program dan Kegiatan dalam Memorandum Program Sanitasi
Usulan Program dan Kegiatan dalam Memorandum Program Sanitasiinfosanitasi
 
Target Pembangunan Sanitasi Nasional 2015-2019
Target Pembangunan Sanitasi Nasional 2015-2019Target Pembangunan Sanitasi Nasional 2015-2019
Target Pembangunan Sanitasi Nasional 2015-2019infosanitasi
 
Pengalokasian Pendanaan Sanitasi bidang Kesehatan
Pengalokasian Pendanaan Sanitasi bidang KesehatanPengalokasian Pendanaan Sanitasi bidang Kesehatan
Pengalokasian Pendanaan Sanitasi bidang Kesehataninfosanitasi
 
Pendampingan Pokja dalam Pengelolaan Program PPSP 2015
Pendampingan Pokja dalam Pengelolaan Program PPSP 2015Pendampingan Pokja dalam Pengelolaan Program PPSP 2015
Pendampingan Pokja dalam Pengelolaan Program PPSP 2015infosanitasi
 
Pelaksanaan Program PPSP tahun 2015
Pelaksanaan Program PPSP tahun 2015Pelaksanaan Program PPSP tahun 2015
Pelaksanaan Program PPSP tahun 2015infosanitasi
 
Kesiapan Pelaksanaan Studi Primer dan IPP STBM
Kesiapan Pelaksanaan Studi Primer dan IPP STBMKesiapan Pelaksanaan Studi Primer dan IPP STBM
Kesiapan Pelaksanaan Studi Primer dan IPP STBMinfosanitasi
 
Arah Kebijakan Program PPSP 2015 2019
Arah Kebijakan Program PPSP 2015 2019Arah Kebijakan Program PPSP 2015 2019
Arah Kebijakan Program PPSP 2015 2019infosanitasi
 
Peraturan Presiden tentang Percepatan Pembangunan Air Minum dan Sanitasi
Peraturan Presiden tentang Percepatan Pembangunan Air Minum dan SanitasiPeraturan Presiden tentang Percepatan Pembangunan Air Minum dan Sanitasi
Peraturan Presiden tentang Percepatan Pembangunan Air Minum dan Sanitasiinfosanitasi
 
Strategi, Kebijakan, Target dan Sasaran Pembangunan Sanitasi (Air Limbah dan ...
Strategi, Kebijakan, Target dan Sasaran Pembangunan Sanitasi (Air Limbah dan ...Strategi, Kebijakan, Target dan Sasaran Pembangunan Sanitasi (Air Limbah dan ...
Strategi, Kebijakan, Target dan Sasaran Pembangunan Sanitasi (Air Limbah dan ...infosanitasi
 
Tahap Implementasi Pembangunan Sanitasi Permukiman
Tahap Implementasi Pembangunan Sanitasi PermukimanTahap Implementasi Pembangunan Sanitasi Permukiman
Tahap Implementasi Pembangunan Sanitasi Permukimaninfosanitasi
 
Daftar Kabupaten/Kota Peserta Program PPSP 2015
Daftar Kabupaten/Kota Peserta Program PPSP 2015Daftar Kabupaten/Kota Peserta Program PPSP 2015
Daftar Kabupaten/Kota Peserta Program PPSP 2015infosanitasi
 
Permen PU 01 2014 Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataa...
Permen PU 01 2014 Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataa...Permen PU 01 2014 Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataa...
Permen PU 01 2014 Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataa...infosanitasi
 

Mehr von infosanitasi (20)

Permen pupr24 2014
Permen pupr24 2014Permen pupr24 2014
Permen pupr24 2014
 
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
 
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
 
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
 
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
 
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
 
Permen PUPR pupr26 2014
Permen PUPR pupr26 2014Permen PUPR pupr26 2014
Permen PUPR pupr26 2014
 
Aspek Kelembagaan dan Pendanaan Sanitasi dalam Program PPSP 2015-2019
Aspek Kelembagaan dan Pendanaan Sanitasi dalam Program PPSP 2015-2019Aspek Kelembagaan dan Pendanaan Sanitasi dalam Program PPSP 2015-2019
Aspek Kelembagaan dan Pendanaan Sanitasi dalam Program PPSP 2015-2019
 
Usulan Program dan Kegiatan dalam Memorandum Program Sanitasi
Usulan Program dan Kegiatan dalam Memorandum Program SanitasiUsulan Program dan Kegiatan dalam Memorandum Program Sanitasi
Usulan Program dan Kegiatan dalam Memorandum Program Sanitasi
 
Target Pembangunan Sanitasi Nasional 2015-2019
Target Pembangunan Sanitasi Nasional 2015-2019Target Pembangunan Sanitasi Nasional 2015-2019
Target Pembangunan Sanitasi Nasional 2015-2019
 
Pengalokasian Pendanaan Sanitasi bidang Kesehatan
Pengalokasian Pendanaan Sanitasi bidang KesehatanPengalokasian Pendanaan Sanitasi bidang Kesehatan
Pengalokasian Pendanaan Sanitasi bidang Kesehatan
 
Pendampingan Pokja dalam Pengelolaan Program PPSP 2015
Pendampingan Pokja dalam Pengelolaan Program PPSP 2015Pendampingan Pokja dalam Pengelolaan Program PPSP 2015
Pendampingan Pokja dalam Pengelolaan Program PPSP 2015
 
Pelaksanaan Program PPSP tahun 2015
Pelaksanaan Program PPSP tahun 2015Pelaksanaan Program PPSP tahun 2015
Pelaksanaan Program PPSP tahun 2015
 
Kesiapan Pelaksanaan Studi Primer dan IPP STBM
Kesiapan Pelaksanaan Studi Primer dan IPP STBMKesiapan Pelaksanaan Studi Primer dan IPP STBM
Kesiapan Pelaksanaan Studi Primer dan IPP STBM
 
Arah Kebijakan Program PPSP 2015 2019
Arah Kebijakan Program PPSP 2015 2019Arah Kebijakan Program PPSP 2015 2019
Arah Kebijakan Program PPSP 2015 2019
 
Peraturan Presiden tentang Percepatan Pembangunan Air Minum dan Sanitasi
Peraturan Presiden tentang Percepatan Pembangunan Air Minum dan SanitasiPeraturan Presiden tentang Percepatan Pembangunan Air Minum dan Sanitasi
Peraturan Presiden tentang Percepatan Pembangunan Air Minum dan Sanitasi
 
Strategi, Kebijakan, Target dan Sasaran Pembangunan Sanitasi (Air Limbah dan ...
Strategi, Kebijakan, Target dan Sasaran Pembangunan Sanitasi (Air Limbah dan ...Strategi, Kebijakan, Target dan Sasaran Pembangunan Sanitasi (Air Limbah dan ...
Strategi, Kebijakan, Target dan Sasaran Pembangunan Sanitasi (Air Limbah dan ...
 
Tahap Implementasi Pembangunan Sanitasi Permukiman
Tahap Implementasi Pembangunan Sanitasi PermukimanTahap Implementasi Pembangunan Sanitasi Permukiman
Tahap Implementasi Pembangunan Sanitasi Permukiman
 
Daftar Kabupaten/Kota Peserta Program PPSP 2015
Daftar Kabupaten/Kota Peserta Program PPSP 2015Daftar Kabupaten/Kota Peserta Program PPSP 2015
Daftar Kabupaten/Kota Peserta Program PPSP 2015
 
Permen PU 01 2014 Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataa...
Permen PU 01 2014 Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataa...Permen PU 01 2014 Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataa...
Permen PU 01 2014 Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataa...
 

Perencanaan sanitasi sistem setempat

  • 1. PERENCANAAN PENGOLAHAN SISTEM SETEMPAT (ON-SITE SYSTEM) 1. UMUM Pada saat ini mayoritas penduduk Indonesia, baik di perkotaan maupun di pedesaaan, masih menggunakan sistem pengolahan air limbah sistem setempat (on-site) yang berupa tangki septik atau cubluk. Pengolahan ini dipilih karena pengolahan air limbah secara terpusat masih belum banyak tersedia di Indonesia. Selain itu, sistem setempat juga tidak memerlukan biaya yang besar jika dibandingkan dengan sistem terpusat. Baik biaya pembangunan maupun operasional masih dapat ditanggung oleh para pemakainya. Pelaksanaan dan pengoperasian sistem setempat juga lebih sederhana sehingga dapat diterima dan dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara individual, keluarga ataupun sekelompok masyarakat (komunal). 2. TEKNOLOGI DALAM PENGOLAHAN AIR LIMBAH DENGAN SISTEM SETEMPAT (ON-SITE SYSTEM) Teknologi dalam pengolahan air limbah dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis berdasarkan pengguna fasilitas tersebut yaitu pengolahan air limbah domestik individual dan pengolahan air limbah domestik komunal. Teknologi yang digunakan dalam sistem pengolahan setempat akan diuraikan berikut ini. 2.1 Teknologi Pengolahan Air Limbah Domestik Individual Teknologi pengolahan air limbah domestic individual yang biasa digunakan adalah tangki septik (septic tank). Tangki septik adalah suatu ruangan kedap air yang terdiri dari kompartemen ruang yang berfungsi menampung/mengolah air limbah rumah tangga dengan kecepatan alir yang sangat lambat sehingga member kesempatan untuk terjadinya pengendapan terhadap suspense benda-benda padat dan kesempatan dekomposisi bahan-bahan organik oleh mikroba anaerobik. Proses ini berjalan secara alamiah yang sehingga memisahkan antara padatan berupa lumpur yang lebih stabil serta cairan (supernatant). Proses anaerobik yang terjadi juga menghasilkan biogas yang dapat dimanfaatkan. Cairan yang terolah akan keluar dari tangki septik sebagai efluen dan gas yang terbentuk akan dilepas melalui pipa ventilasi. Sementara lumpur yang telah matang (stabil) akan mengendap didasar tangki dan harus dikuras secara berkala setiap 2-5 tahun bergantung pada kondisi. Efluen dari tangki septik masih memerlukan pengolahan lebih lanjut karena masih tingginya kadar organik didalamnya. Pengolahan lanjutan yang dapat digunakan berupa sumur resapan 1
  • 2. (bidang resapan) dan small bore sewerage. Berdasarkan jenis pengolahan lanjutannya, maka tangki septik dapat dibedakan menjadi tangki septik dengan sumur resapan, penguapan/evaporasi yang dikenal dengan filter dan tangki septik dengan small bore sewerage. Perencanaan untuk tangki septik akan diuraikan pada bagian. Dalam pemanfaatannya tangki septik memerlukan air penggelontor, jenis tanah yang permeable (tidak kedap air) dan air tanah yang cukup dalam agar sistem peresapan berlangsung dengan baik. Oleh karena itu, tangki septik cocok digunakan pada daerah yang memiliki pengadaan air bersih baik dengan sistem perpipaan maupun sumur dangkal setempat, kondisi tanah yang dapat meloloskan air, letak permukaan air tanah yang cukup dalam, dan tingkat kepadatan penduduk masih rendah tidak melebihi 200 jiwa/ha (Bintek, 2011). Tangki septik adalah salah satu cara pengolahan air limbah domestik yang menggunakan proses pengolahan secara anaerobik. Proses ini dapat memisahkan padatan dan cairan di dalam air limbah. Padatan dan cairan memerlukan dan harus diolah lebih lanjut karena banyak mengandung bibit penyakit atau bakteri patogen yang berasal dari kotoran (feces) manusia. Jika tidak diolah, maka dikhawatirkan air limbah dapat menularkan penyakit kepada manusia terutama melalui air (waterborne disease). 2.1.1 Perencanaan Tangki Septik Bentuk tangki septik tidak berpengaruh banyak terhadap efisiensi degradasi material organik yang berlangsung didalamnya. Oleh karena itu, dapat digunakan tangki septik yang berbentuk silinder ataupun persegi panjang. Bentuk silinder biasanya digunakan untuk pengolahan lumpur tinja dengan kapasitas kecil dengan minimum diameter 1,20 m dan tinggi 1,00 m yang diperuntukkan untuk 1 (satu) keluarga atau rumah tangga. Tangki septik terbagi menjadi 2 (dua) berdasarkan jenis air limbah yang masuk kedalamnya yaitu tangki septik dengan sistem tercampur dan sistem terpisah. Tangki septik dengan sistem tercampur adalah tangki septik yang menerima air limbah tidak hanya lumpur tinja dari kakus saja tetapi juga air limbah dari sisa mandi, mencuci ataupun kegiatan rumah tangga lainnya. Sementara itu, tangki septik dengan sistem terpisah adalah tangki septik yang hanya menerima lumpur tinja dari kakus saja. Jenis air limbah yang masuk akan menentukan dimensi tangki septik yang akan digunakan terkait dengan waktu detensi dan dimensi ruang-ruang (zona) yang berada di dalam tangki septik. 2
  • 3. Secara umum, tangki septik dengan bentuk persegi panjang mengikuti kriteria disain yang mengacu pada SNI 03-2398-2002 yaitu sebagai berikut: • Perbandingan antara panjang dan lebar adalah (2-3): 1 • Lebar minimum tangki adalah 0,75m • Panjang minimum tangki adalah 1,5m • Kedalaman air efektif di dalam tangki antara (1-2,1)m • Tinggi tangki septik adalah ketinggian air dalam tangki ditambah dengan tinggi ruang bebas (free board) yang berkisar antara (0,2-0,4)m • Penutup tangki septik yang terbenam ke dalam tanah maksimum sedalam 0,4m Bila panjang tangki lebih besar dari 2,4 m atau volume tangki lebih besar dari 5,6 m3, maka interior tangki dibagi menjadi 2 (dua) kompartemen yaitu kompartemen inlet dan kompartemen outlet. Proporsi besaran kompartemen inlet berkisar 75% dari besaran total tangki septik. Penentuan dimensi tangki septik dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu dengan melakukan perhitungan ataupun dengan menggunakan tabel yang terdapat di dalam SNI 03-2398-2002. Kedua jenis cara tersebut akan diuraikan pada bagian selanjutnya. Penentuan Dimensi Tangki Septik Dengan Perhitungan Untuk menentukan dimensi tangki septik, yang pertama harus diketahui adalah kapasitas atau debit air limbah domestik yang akan diolah. Debit air limbah rata-rata yang akan diolah ini dapat diperkirakan dari banyaknya konsumsi air bersih yang digunakan oleh rumah tangga, jumlah orang yang dilayani dan jenis air limbah yang akan diolah. Debit air limbah rata-rata dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: Qrata-rata = (q x p) / 1.000 ……………………………………………………………..(1) Dimana: Qrata-rata : debit/kapasitas rata-rata air limbah yang akan diolah tangki septik (m3/hari) q : laju timbulan air limbah (liter/orang/hari) p : jumlah pemakai (orang) Besarnya laju timbulan air limbah bergantung pada jenis air limbah yang akan diolah. Oleh karena itu, besarnya laju timbulan air limbah (q) adalah sebagai berikut (Bintek, 2011): • Bila tangki septik hanya menerima dari kakus saja (sistem terpisah) maka q merupakan gabungan dari limbah tinja dan air penggelontoran yang besarnya antara (5-40) liter/orang/hari 3
  • 4. Bila tangki septik menerima air limbah tercampur (sistem tercampur), maka q merupakan gabungan limbah tinja dan air limbah lainnya dari kegiatan rumah tangga seperti mandi, cuci, masak dan lainnya yang besarnya adalah 80% dari konsumsi air bersih pemakai yang besarnya antara (45-150) liter/orang/hari Waktu detensi (Td) dibutuhkan agara padatan yang terkandung di dalam air limbah dapat terpisah dan mengendap pada dasar tangki septik. Minimum waktu detensi yang dibutuhkan untuk proses tersebut dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: Waktu detensi untuk tangki septik dengan sistem terpisah: Td = 2,5 – 0,3 log (p-q) ≥ 5 hari ……………………………………………………(2) Waktu detensi untuk tangki septik dengan sistem tercampur: Td = 1,5 – 0,3 log (p-q) ≥ 2 hari ……………………………………………………..(3) Dimana: Td : waktu detensi minimum (hari) q : laju timbulan air limbah (liter/orang/hari) p : jumlah pemakai (orang) Bila rencana lokasi pembangunan tangki septik berada relatif dekat dengan sumur atau sumber air dan tidak memungkinkan untuk menempatkan tangki septik lebih jauh lagi, maka waktu detensi yang digunakan sebaiknya 3 (tiga) hari. Waktu detensi ini digunakan dengan asumsi bahwa mikroba patogen akan mati bila berada di luar usus manusia selama 3 (tiga) hari. Di dalam tangki septik akan terbagi beberapa zona mengikuti proses degradasi yang terjadi. Zona tersebut adalah zona buih dan gas, zona pengendapan, zona stabilisasi, dan zona lumpur. Fungsi dan besarnya zona tersebut adalah sebagai berikut (Bintek, 2011): • Zona buih (scum) dan gas untuk membantu mempertahankan kondisi anaerobik di bawah permukaan air limbah yang akan diolah. Zona ini disediakan setinggi (25-30) cm atau 20% dari kedalaman tangki • Zona pengendapan sebagai tempat proses pengendapan padatan mudah mengendap (settleable). Volume zona pengendapan (Vpengendapan) ditentukan dengan persamaan: Vpengendapan = Qrata-rata x Td ≥ 37,5 cm3 …………………………………………..(4) 4
  • 5. Dimana: Qrata-rata : Debit air limbah rata-rata yang akan diolah (m3/hari) Td : waktu detensi (hari) Lubang inspeksi Inlet Inlet Muka Air Tee Scum Outlet Zona Pengendapan Endapan lumpur Gambar 1. Zona-Zona Dalam Tangki Septik (Sumber: Tilley, et. al., 2008) • Zona stabilisasi adalah zona yang disediakan untuk proses stabilisasi lumpur yang baru mengendap melalui proses pencernaan secara anaerobik (anaerobic digestion). Volume zona ini ditentukan berdasarkan kecepatan stabilisasi lumpur dan jumlah pemakai tangki septik. Volume zona stabilisasi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (5) yaitu: Vstabilisasi : Rs x p ………………………………………………………………(5) Dimana: Rs : kecepatan stabilisasi = 0,0425 m3/orang p : jumlah pemakai (orang) • Zona lumpur merupakan zona tempat terakumulasinya lumpur yang lebih stabil dan harus dikuras secara berkala. Volume zona lumpur bergantung pada kecepatan akumulasi lumpur, periode pengurasan dan jumlah pemakai tangki septik. Volume zona (V lumpur) ini dapat diketahui dengan persamaa sebagai berikut: Vlumpur = Rlumpur x N x P ……….………………………………………………..(6) 5
  • 6. Dimana: Rlumpur : kecepatan akumulasi lumpur matang = (0,03-0,04) m3/orang/tahun N : frekuensi pengurasan (2-3) tahun p : jumlah pemakai (orang) Penentuan Dimensi Tangki Septik Dengan Menggunakan SNI 03-2398-2002 Dimensi tangki septik dapat dilihat pada tabel-tabel yang telah ditentukan pada SNI 03-2398- 2002 berdasarkan jumlah pemakai. Oleh karena itu, penentuan dimensi tangki tidak memerlukan perhitungan lagi tetapi hanya mencocokkan jumlah pemakai dengan tabel-tabel yang tersedia. Namun, perlu diperhatikan jenis air limbah yang akan diolah apakah air limbah dari kakus saja atau air limbah campuran. Selanjutnya, penentuan dimensi tangki septik ini berdasarkan pada frekuensi pengurasan 3 tahun. Tabel dimensi tangki septik dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut di bawah ini. Bentuk dan dimensi tangki septik dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini. Namun saat ini, telah banyak tersedia tangki septik yang siap digunakan dengan dimensi atau kapasitas tangkinya menyesuaikan jumlah penggunanya. Tabel 1. Dimensi Tangki Septik Tercampur No. Jumlah Zona Zona Zona Panjang Lebar Tinggi Volume Pemakai Basah Lumpur Ambang Tangki Tangki Tangki Total (KK) (m3) (m3) Bebas (m) (m) (m) (m3) (m3) 1 1 1,2 0,45 0,4 1,6 0,8 1,6 2,1 2 2 2,4 0,9 0,6 2,1 1,0 1,8 3,9 3 3 3,6 1,35 0,9 2,5 1,3 1,8 5,8 4 4 4,8 1,8 1,2 2,8 1,4 2,0 7,8 5 5 6,0 2,25 1,4 3,2 1,5 2,0 9,6 6 10 12,0 4,5 2,9 4,4 2,2 2,0 19,4 Sumber: SNI 03-2398-2002 Endapan lumpur pada tangki septik harus dikuras dan selanjutnya dibawa ke Instalasi Pengolahan Limbah Tinja (IPLT) untuk diolah lebih lanjut sebelum dibuang ataupun dimanfaatkan kembali sebagai pupuk. Perlu diingat bahwa tangki septik harus dibuat kedap agar cairan yang berasal dari lumpur tinja tidak merembes keluar dari tangki sehingga berpotensi mencemari tanah dan air tanah di sekitarnya. 6
  • 7. Tabel 2. Dimensi Tangki Septik Terpisah No. Jumlah Zona Zona Zona Panjang Lebar Tinggi Volume Pemakai Basah Lumpur Ambang Tangki Tangki Tangki Total (KK) (m3) (m3) Bebas (m) (m) (m) (m3) (m3) 1 2 0,4 0,9 0,3 1,0 0,8 1,3 1,6 2 3 0,6 1,35 0,5 1,8 1,0 1,4 2,45 3 4 0,8 1,8 0,6 2,1 1,0 1,5 3,2 4 5 1,0 2,6 0,9 2,4 1,2 1,6 4,5 5 10 2,0 5,25 1,5 3,2 1,6 1,7 8,7 Sumber: SNI 03-2398-2002 2.1.2 Perencanaan Pengolahan Lanjutan Tangki Septik Dengan Bidang Resapan Bidang resapan merupakan unit yang disediakan untuk meresapkan air limbah yang telah terolah dari tangki septik ke dalam tanah. Air yang diresapkan ini merupakan air limbah yang telah dipisahkan padatannya (effluent dari tangki septik) namun masih mengandung bahan organik dan mikroba patogen. Dengan adanya bidang resapan ini, diharapkan air olahan dapat meresap ke dalam tanah sebagai proses filtrasi dengan media tanah ataupun jenis media lainnya. Terdapat 2 (dua) jenis bidang resapan yang dapat diaplikasikan bersama dengan tangki septik yaitu saluran peresapan ataupun sumur resapan. Saluran Peresapan Saluran peresapan dapat disebut sebagai dispersion trench, soakage trench, leaching trench, drain field, atau absorption field. Effluent dari tangki septik dialirkan secara gravitasi ke saluran peresapan. Saluran peresapan cocok digunakan pada lahan yang memiliki karakteristik sebagai berikut (Bintek, 2011): • Kapasitas perkolasi tanah berkisar antara (0,5-24) menit/cm dan optimum 8 menit/cm • Ketinggian muka air tanah minimum 0,60 m di bawah dasar rencana saluran peresap atau (1-1,5) m di bawah muka tanah • Jarak horizontal dari sumber air (seperti sumur) tidak boleh kurang dari 10m • Ukuran efektif butiran tanah maksimum 0,13 mm 7
  • 8. Tangki septik konvensional 2 1 3 5 T 4 Tinggi 6 ruang lumpur Lubang pemeriksaan Tangki septik modifikasi Ruang bebas air Ruang basah yang T diperhitungkan Ruang lumpur 2/3 P 1/3 P P Keterangan: 1) Lubang pemeriksaan; 2) Pipa udara; 3) Ruang bebas air; 4) Ruang Jernih; 5) Kerak buih; 6) Lumpur Gambar 1. Pendimensian Tangki Septik Sumber: SNI 03-2398-2002 8
  • 9. Kriteria perencanaan untuk saluran peresapan adalah sebagai berikut (Bintek, 2011): a) Lebar dasar galian bergantung pada angka perkolasi tanah yaitu: Lebar 45 cm bila angka perkolasi (0,5-1) menit/cm Lebar 60 cm bila angka perkolasi (1,5-3,5) menit/cm Lebar 90 cm bila angka perkolasi (4-24) menit/cm b) Kedalaman dasar galian (45-90) cm c) Pipa distribusi yang akan menyebarkan effluent dengan aliran yang dibuat relatif sama ke seluruh bidang peresapan melalui bukaan (perforasi) pada seluruh badan pipa. Spesifikasi pemasangan pipa distribusi adalah: Kedalaman invert pipa (30-50) cm Diameter pipa minimum 100 mm dengan jenis pipa PVC atau 100 mm dengan jenis pipa (saluran) beton Jarak bukaan (perforasi) (3-6) mm Bagian ujung pipa ditutup dengan kertas semen dengan overlap 10 cm d) Batu pecah sebagai media pengisi galian harus bersih dan berkualitas baik. Kedalaman minimum lapisan batu pecah (30-60) cm di bawah muka tanah dan (15-40) cm di bawah pipa. Ukuran gradasi batu (15-60) mm. e) Lapisan ijuk dipasang setebal 5 cm di atas lapisan batu pecah agar tanah urug tidak turun dan masuk ke dalam lapisan batu pecah. Tanah yang masuk dapat mengakibatkan penyumbatan pada sela-sela batu. Kertas semen sebaiknya tidak digunakan untuk menggantikan ijuk karena dapat menghambat proses evaporasi. f) Tanah urug diisikan pada bagian atas lapisan ijuk sebagai penutup akhir dengan ketebalan (15-30) cm dan ditambah lagi setebal (10-15) cm sebagai antisipasi bila terjadinya penurunan (settlement) tanah urugan. Bahan tanah urug sebaiknya jenis tanah kepasiran atau sejenisnya untuk memudahkan proses evaporasi pada rumput diatasnya sehingga dapat meningkatkan kinerja saluran peresapan. g) Bidang kontak efektif pada saluran peresap hanya diperhitungkan pada bagian dindingnya sedangkan pada bagian dasar tidak dapat meresapkan air limbah dengan baik karena cenderung dalam keadaan tertutup dan tersumbat. Perhitungan bidang kontak efektif dapat menggunakan persamaan (7) di bawah ini. Ae = Q/I ……………………………………………………………………………(7) Dimana: Ae : luas bidang kontak efektif (m2) Q : debit effluent dari tangki septik (liter/hari) I : kapasitas absorpsi/infiltrasi tanah (liter/hari/m2) Panjang saluran peresapan (L) = Ae / 2 H ……………………………………….(8) 9
  • 10. Dimana: H : kedalaman efektif bahan pengisi/pecahan batu (m) 2 : faktor pembagi jalur bidang peresapan pada 2 (dua) sisi dinding tegak Sumur Peresap Sumur peresapan dipakai untuk menerima efluen dari tangki septik. Sumur resapan memiliki fungsi yang sama dengan saluran peresap dan terkadang dipasang secara seri pada ujung saluran peresap. Konstruksi sumur peresap cocok diterapkan untuk daerah dengan karaketristik sebagai berikut (Bintek, 2011): Kondisi tanah yang pada bagian permukaannya kedap air sedangkan pada bagian tengahnya tidak kedap air (porous) Kapasitas perkolasi tanah sebesar (0,5-12) menit/cm. Sumur peresap juga tepat untuk lokasi dengan lahan yang terbatas Jarak muka air tanah minimum 0,6 m namun disarankan 1,2 m di bawah dasar konstruksi sumur peresap Sumur peresapan harus diisi penuh dengan pecahan batu berdiameter > 5 cm dan biasanya diterapkan pada kondisi tanah yang cukup stabil, tidak mudah runtuh atau jenis tanah lempung bila konstruksi sumur peresap tanpa menggunakan pasangan bata. Namun bila konstruksi menggunakan pasangan bata dengan spesi, maka sumur peresan tidak perlu diisi denga pecahan batu, dinding dibuat dengan pasangan bata setebal ½ bata atu lebih bergantung pada kedalaman dan pada bagian dasar diberi kerikil berukuran (12,5-25) mm setebal minimum 30 cm. Selanjutnya antara dinding bata bagian luar dan dinding galian sumur perlu dilapisi dengan kerikil setebal 15 cm agar tidak mudah tersumbat. Konstruksi detail sumur peresapan dapat dilihat pada SNI 03-2398-2002. 2.1.3 Perencanaan Pengolahan Lanjutan Tangki Septik Dengan Evapotranspirasi Evapotranspirasi merupakan salah satu pilihan untuk pengolahan lanjutan effluent air limbah yang keluar dari tangki septik. Pengolahan dilakukan dengan cara mengalirkan effluent air limbah dari tangki septik pada tanaman yang akan menyerap sebagian aliran air limbah melalui akar-akarnya. Selanjutnya, hasil penyerapan tersebut akan dilepas melalui proses penguapan alami tanaman tersebut dari daun-daunnya (evapotranspirasi). Sebagian aliran air limbah akan 10
  • 11. menguap langsung akibat panas dari matahari (evaporasi). Efektivitas evaporasi akan semakin meningkat bila temperatur udara semakin tinggi, adanya turbulensi angin di udara sekitar dan kelembaban udara berkurang. Pilihan ini cocok dilakukan bila: • Tanah sangan kedap air (impermeable) dengan angka perkolasi lebih dari 24 menit/cm • Daerah yang memiliki temperatur panas (tinggi) • Semakin efektif bila kelembaban udara rendah Efluent air limbah dari tangki septik dialirkan melalui pipa distribusi dengan sambungan terbuka yang diberi lapisan kerikil. Pada bagian atas kerikil diberi lapisan pasir dengan ukuran yang mampu mengalirkan cairan ke atas secara kapiler agar dapat diserap oleh akar tanaman. Selanjutnya, pada bagian paling atas, ditutup dengan tanah (top soil) sebagai tempat tumbuh tanaman perdu. Kriteria disain yang dapat digunakan untuk sistem evapotrasnpirasi ini adalah sebagai berikut (Bintek, 2011): a. Pipa distribusi dengan diameter 100 mm dan jarak antar cabang distribusi (1-3) m b. Kerikil yang digunakan haruslah dalam keadaan cukup bersih dan dipasang pada bagian dasar (sebagai bed) dengan ketebalan (5-10) cm termasuk pada bagian di sekeliling pipa distribusi c. Pasir dipilih yang mampu mengalirkan air secara kapiler ke atas permukaan pasir dengan ukuran 0,1 mm dipasang dengan kedalaman (0,30-0,75) m. Daya kapiler tidak lebih dari 0,9 m sehingga ketebalan pasir sebaiknya tidak melebihi 0,9 m tersebut. d. Perhitungan volume pasir berdasarkan waktu detensi effluent tangki septik antara (10- 20) hari. e. Jenis tanah yang diaplikasikan sebaiknya jenis tanah yang baik dan subur sehingga membantu pertumbuhan tanaman perdu yang tumbuh diatasnya. Ketebalan tanah dibuat antara (10-15) cm. 2.1.4 Perencanaan Pengolahan Lanjutan Tangki Septik Dengan Filter Pengolahan lanjutan untuk effluent dari tangki septik dapat juga dilakukan dengan cara filtrasi (penyaringan). Proses pengolahan dengan filtrasi ini dapat dibedakan berdasarkan jenis filter yang digunakan dan akan diuraikan lebih lanjut. 11
  • 12. Filter Bawah Permukaan Tanah Proses pengolahan lanjutan untuk effluent tangki septik pada umumnya mampu menurunkan konsentrasi BOD5 dan padatan terlarut (SS) namun konsentrasi mikroba tidak mampu diturunkan. Oleh karena itu, penambahan ketebalan pasir sebagai media filter dapat membantu menurunkan konsentrasi mikroba tersebut. Saringan (filter) pasir yang ditempatkan di bawah permukaan tanah ini cocok bila diaplikasikan pada kondisi sebagai berikut: • Tanah yang tersedia kedap air (impermeable) dengan angka perkolasi tanah sebesar (12-24) menit/cm yang tidak memungkinkan untuk dibangun dengan sistem resapan • Di sekitar lokasi terdapat badan air penerima dengan debit pengenceran yang cukup atau saluran drainase tertutup yang akan dipakai sebagai tempat pembuangan akhir • Head (tekanan) yang tersedia cukup memadai untuk mengalirkan effluent yang telah disaring keluar dari underdrain collector ke badan aie secara gravitasi Kriteria disain yang dapat digunakan untuk filter di bawah permukaan tanah adalah sebagai berikut: a. Kerikil sebagai perata genangan agar seluruh lapisan effluent tersaring dapat dengan mudah dikumpulkan dan disalurkan ke badan air atau saluran drainase terdekat melalui pipa kolektor b. Ijuk berfungsi untuk menahan pasir diatasnya agar tidak turun ke dalam media pasir di bagian bawahnya c. Pasir sebagai filter agar kotoran-kotoran yang ada pada effluent tangki septik masih dapat direduksi d. Tanah urugan sebagai penutup terakhir Filter Anaerobik Filter anaerobik merupakan metoda pengolahan sekunder (lanjutan) terhadap effluent tangki septik di daerah yang memiliki tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi. Pengolahan dengan menggunakan filter anaerobik ini cocok bila digunakan pada kondisi: • Kapasitas absorpsi tanah sangat rendah • Muka air tanah tinggi sehingga sulit meletakkan saluran peresap • Keterbatasan lahan Unit filter anaerobik bentuknya hampir sama dengan unit tangki septik namun pada filter anaerobik bagian dalam tangki diisi dengan batu pecah sebagai media filter. Pada bagian pelat penutup bagian atas, disediakan tempat masuk air limbah yang akan diolah. Pipa influent ke 12
  • 13. dalam filter diletakkan di bagian bawah tangki sehingga aliran yang terjadi berupa aliran ke atas (upflow filter). Kriteria perencanaan filter anaerobik adalah sebagai berikut (Bintek, 2011): a. Media yang digunakan berukuran (2-6) cm dan bersifat porous dengan gravitasi spesifik (specific gravity) mendekati 1 (satu) b. Kedalaman filter (100-120) cm c. Waktu detensi ≥ 1 (satu) hari d. Angka pori berkisar antara (40-60)% 2.1.5 Small Bore Sewerage Small bore sewerage (SBR) adalah salah satu alternatif pengolahan lanjutan untuk effluent dari tangki septik yang didisain untuk menerima hanya limbah rumah tangga dalam wujud cair (liquid) yang selanjutnya dialirkan melalui jaringan pengumpur air limbah dengan sistem terpusat (Otis & Mara, 1985). Effluent dari tangki septik tersebut selanjutnya akan diolah di instalasi pengolahan limbah terpusat (IPAL) sebelumnya akhirnya dibuang bila telah memenuhi baku mutu. Air limbah yang akan dialirkan masuk ke tangki penerima (interceptor) haruslah dihilangkan terlebih dahulu dari grit, lemak dan bentuk-bentuk padatan lainnya yang dapat mengganggu atau berpotensi menyumbat saluran/jaringan perpipaan. Padatan yang telah terakumulasi pada tangki interseptor harus dibersihkan secara berkala. Kelebihan yang didapat dengan menggunakan SBR adalah (Otis & Mara, 1985): • Mengurangi penggunaan air • Mengurangi biaya pengurasan tangki • Mengurangi biaya pembelian material yang dibutuhkan’ • Mengurangi pemakaian unit proses/operasi pada IPAL • Biaya untuk peningkatkan kemampuan fasilitas sanitasi yang ada lebih murah • Dapat diaplikasikan pada wilayah dengan kondisi sanitasi yang belum berjalan dengan baik Sementara itu kelemahan yang dirasakan dengan sistem ini diantaranya adalah: • Memerlukan pengurasan lumpur pada tangki interseptor secara periodik • Memerlukan pemeliharaan yang baik • Memerlukan perencanaan yang baik terkait dengan penyambungan jaringan koneksi pipa dan tangki interseptor Bentuk SBR dapat dilihat pada Gambar di bawah ini. 13
  • 14. Sambungan rumah Tangki interseptor Small bore sewer a) Gambaran Aplikasi Sistem Small Bore Sewer b) Sambungan Rumah Tangga, Tangki Interseptor dan Pipa Sewerage Gambar 2. Gambaran Sistem Small Bore Sewer (Sumber: Otis & Mara, 1985) 14
  • 15. c) Pipa Pembersihan (Clean out) a) Tangki Interseptor Removeable Concrete cover slab inspection cover 50 mm φ outlet 75 mm φ outlet Brick or Threaded blockwork cap walls Equal y-branch Reinforced concrete base slab d) Sambungan & Pompa Submersible b) Sambungan Pipa & Pompa Pump control Control box with alarm at house Pengangkat & alarm Airtight joint House connector Gate Nonreturn valve with cap valve Nonreturn valve Alarm Alarm Pump on Pump on Pump off Pump off Electric submersible pump Electric submersible pump Gambar 3. Gambaran Tangki Interseptor dan Sambungan ada Jaringan Pengumpul Air Limbah Perkotaan (Sumber: Otis & Mara, 1985) 15
  • 16. 2.2 Teknologi Pengolahan Air Limbah Domestik Komunal Pengolahan air limbah domestik komunal digunakan berdasarkan beberapa pertimbangan diantaranya adalah hasil dari pemetaan masyarakat yang dapat menggambarkan bagaimana kondisi sumber air dan akses terhadap sarana sanitasi yang tersedia. Pemetaan masyarakat ini juga dapat memberikan gambaran bagaimana klasifikasi kesejahteraan masyarakat terkait dengan calon pengguna sarana sanitasi yang akan direncanakan. Pertimbangan lainnya dalam pemilihan teknologi sanitasi yang akan digunakan seperti kondisi/karakter permukiman, kebiasaan/perilaku, kelayakan teknis di lapangan, prediksi perkembangan lingkungan permukiman dan prediksi peningkatan sosial ekonomi masyarakat untuk 5 (lima) tahun ke depan serta jumlah calon penerima manfaat (Borda, 2011). Teknologi pengolahan air limbah domestik komunal merupakan sistem pengolahan air limbah yang digunakan tidak hanya untuk 1 (satu) rumah tangga tetapi digunakan secara bersama. Gambaran sistem komunal dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini. Gambar 4. Gambaran Pengolahan Air Limbah Domestik Sistem Komunal (Sumber: Borda, 2011) Pada sistem komunal (seperti pada Gambar 4 di atas), air limbah yang diolah adalah air limbah domestik yang tercampur antara air limbah dari kegiatan dapur, cuci dan masak dengan lumpur tinja dari kakus. Sementara itu, sistem komunal untuk pengolahan air limbah terpisah hanya dari 16
  • 17. lumpur tinja dapat menggunakan sistem pengolahan yang dikenal dengan MCK++. Gambaran sistem MCK++ ini dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini. Gambar 5. Gambaran Pengolahan Air Limbah Domestik Sistem Komunal MCK++ (Sumber: Borda, 2011) Pilihan teknologi yang dapat digunakan untuk sistem komunal diantaranya adalah tangki septik bersama, bio-digester, baffle reactor/tangki septik bersusun, tangki septik bersusun dengan filter, kolam dengan filter dan tanaman, kolam aerobik. Teknologi pengolahan air limbah tersebut akan diuraikan lebih lanjut pada bagian berikut ini. 2.2.1 Tangki Septik Bersama Pada sistem ini, WC/kakus dibangun pada masing-masing rumah dan selanjutnya air limbah dialirkan melalui pipa ke tangki septik yang dibangun di bawah tanah. Tangki septik ini digunakan bersama untuk beberapa rumah. Proses pengolahan yang terjadi dan disain selanjutnya sama seperti proses dan disain pada tangki septik seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Gambaran penggunaan tangki septik bersama dapat dilihat pada Gambar 6 di bawah ini. Perencanaan tangki septik yang lebih detil dapat mengacu pada bagian 2.1.1 dan SNI 03-2398-2002 Tata Cara Perencanaan Tangki Septik Dengan Sistem Resapan. 17
  • 18. Gambar 6. Aplikasi Tangki Septik Bersama (Sumber: Borda, 2006 dalam Dit PLP, 2008) Dit. 2.2.2 Tangki Septik Bersekat (Baffled Reactor) Tangki septik bersekat (Baffled reactor) adalah pengolahan air limbah dengan menggunakan Baffled reactor) beberapa bak/kompartemen yang fungsinya berbeda beda. Air limbah yang masuk pada tangki berbeda-beda. akan diolah secara bertahan. Bak pertama akan menguraikan materi organik yang mudah terurai dan demikian seterusnya bak berikutnya akan menguraikan material yang lebih sulit terurai. k Gambaran tangki septik bersekat ini dapat dilihat pada Gambar 7. Lahan yang dibutuhkan untuk 50 kepala keluarga (KK) adalah seluas 60 m2. Gambar 7. Aplikasi Tangki Septik Bersusun ( (Baffled Reactor led Reactor) (Sumber: Borda, 2006 dalam Di PLP, 2008) Dit. 2.2.3 Bio-digester Bio-digester adalah pengolahan air limbah dengan melalui proses biologis secara anaerobik digester atau tanpa kehadiran oksigen. Proses penguraian materi organik dari air limbah yang diolah akan menghasilkan biogas yang dapat digunakan sebagai energi alternatif. A limbah yang Air 18
  • 19. diolah akan terpisah menjadi padatan (lumpur) dan cairan (supernatan) yang masih harus diolah lebih lanjut karena masih mengeluarkan bau walaupun konsentrasi material organik sudah jauh berkurang. Bio-digester cocok digunakan untuk limbah dengan konsentrasi material organik yang tinggi seperti limbah dari wc/kakus, limbah industri tahu dan tempe, limbah dari rumah potong hewan dan peternakan. Gambaran Tangki bio-digester dapat dilihat pada Gambar 8 di bawah ini. Gambar 8. Aplikasi Tangki Bio-Digester (Sumber: Borda, 2006 dalam Dit. PLP, 2008) 2.2.4 Tangki Septik Bersusun Dengan Filter Tangki septik bersusun dengan filter merupakan modifikasi dari tangki septik yang menambahkan filter di dalam tangkinya. Air limbah yang telah melalui proses anaerobik akan masuk pada tahap filtrasi. Gambaran tangki septik bersusun dengan filter dapat dilihat pada Gambar 9 di bawah ini. Kebutuhan lahan untuk 50 KK berkisar 60 m2. Gambar 9. Aplikasi Tangki Septik Bersusun Dengan Filter (Sumber: Borda, 2006 dalam Dit. PLP, 2008) 19
  • 20. Gambar 10. Disain Tangki Septik Komunal (Sumber: Dit. Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman, 2011) 20
  • 21. Gambar 11. Disain Tangki Septik Bersusun (Baffled Reactor) Baffled Reactor (Sumber: Dit. Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman, 2011) 21
  • 22. Gambar 12. Disain Tangki Septik Bersusun dengan Filter (Sumber: Dit. Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman, 2011) 22
  • 23. 2.2.5 Tangki Septik Bersekat Dengan Filter Dan Tanaman Tangki septik bersekat dengan filter dan tanaman merupakan kombinasi tangki septik dengan bak yang diberi tanaman. Tanaman akan menyerap air limbah melalui akar tanaman yang ditanam pada bak yang telah disiapkan. Media penanaman terdiri dari tanah dan kerikil sebagai filter yang diberi kemiringan antara (0-0,5)%. Air limbah berasal dari tangki septik yang berada di bagian ujung bak dialirkan pada media filter. Permukaan air berada 5 (lima) cm di bawah permukaan filter. Kebutuhan lahan untuk 50 KK dengan menggunakan sistem ini adalah seluas 120 m2. Gambar 13. Aplikasi Tangki Septik Bersusun Dengan Filter Dan Tanaman (Sumber: Borda, 2006 dalam Dit. PLP, 2008) 2.2.6 Kolam Aerobik Kolam aerobik ini pada prinsipnya sama dengan kolam aerobik pada Instalasi Pengolahan Air Lumpur Tinja (IPLT) namun dalam skala yang lebih kecil mengacu pada jumlah pengguna dari kolam ini. Biasanya diperlukan 2 (dua) atau 3 (tiga) kolam untuk menurunkan konsentrasi BOD. Proses pengolahan menggunakan proses aerobik sehingga membutuhkan tambahan oksigen ke dalam kolam. Penambahan oksigen ke dalam kolam dapat dilakukan dengan cara membuat undakan pada kolam atau meninggikan pipa inlet dari muka air dalam kolam. Pada saat air jatuh ke kolam berikutnya yang lebih rendah, maka terjunan dan golakan air yang terjadi dapat membantu menambah oksigen pada air di dalam kolam. Kebutuhan lahan untuk 50 KK dengan kolam aerobik diperkirakan seluas 15 m2. Gambar 14. Aplikasi Tangki Septik Bersusun Dengan Kolam Aerasi (Sumber: Borda, 2006 dalam Dit. PLP, 2008) 23
  • 24. 3. SANITASI BERBASIS MASYARAKAT (SANIMAS) Program Sanimas merupakan suatu program yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan dengan peningkatan akses terhadap sarana sanitasi berbasis masyarakat. Kegiatan utama dari program Sanimas ini adalah pembangunan sarana dan prasarana air limbah permukiman secara komunal (berkelompok). Oleh karena penggunaannya berkelompok, maka perlu suatu kelembagaan yang baik untuk pengelolaannya sehingga sarana santasi ini dapat berjalan tepat guna dan berkelanjutan. Sasaran dari program ini adalah kesehatan lingkungan yang dapat memberikan dampak langsung kepada masyarakat. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa LSM, penduduk yang mengalami sakit akibat pencemaran air limbah lebih banyak jumlahnya daripada penduduk yang tidak sakit. Dengan adanya sarana sanitasi yang terkelola dengan baik, maka hal-hal positif yang terjadi antara lain adalah: a) Penurunan angka kematian bayi b) Umur harapan hidup meningkat dari 45,7% sampai 67,97% c) Angka diare dari urutan ke-5 penyebab kematian menjadi urutan ke-9 d) Untuk skala nasional peningkatan kapasitas SDM untuk pelayanan kesehatan (dokter, perawat, puskemas) dan peningkatan jumlah sarana kesehatan Perencanaan SANIMAS memiliki beberapa tahapan yang meliputi peyusunan rencana kegiatan dalam rangka pengendalian dan pembinaan di tingkat pusat dan daerah, serta penyusunan rencana lokasi dan alokasi dana yang akan diterbitkan melalui Dokumen Anggaran. Tahapan awal yaitu penetapan lokasi sasaran berdasarkan pertimbangan jumlah permukiman padat yang memenuhi kriteria dengan cara melakukan survei langsung (pengamatan langsung) di lapangan ke tempat-tempat yang sekiranya rnembutuhkan bantuan dalam penyediaan sarana dan prasarana sanitasi. Sarana dan prasarana sanitasi yang dapat digunakan di dalam Sanimas pada dasarnya adalah sama dengan teknologi yang digunakan pada sistem komunal yang telah diuraikan sebelumnya. Sanimas adalah salah satu program yang dikembangkan oleh Direktorat PLP Sub Bidang Air Limbah dan pelaksanaan Sanimas dapat mengacu pada “Buku Pedoman Sanimas” yang telah diterbitkan pada tahun 2008. 4. INSTALASI PENGOLAHAN LUMPUR TINJA (IPLT) Pengolahan air limbah dengan menggunakan sistem setempat memerlukan pengurasan yang dilakukan secara berkala, umumnya 1-3 tahun sekali, untuk menghindari kejenuhan atau penuhnya tangki septik. Pengurasan lumpur di dalam tangki dilakukan dengan menggunakan truk tinja dan selanjutnya dibawa ke instalasi pengolahan lumpur tinja (IPLT). 24
  • 25. IPLT adalah instalasi pengolahan air limbah yang dirancang hanya menerima dan mengolah lumpur tinja yang diangkut melalui mobil (truk tinja) atau gerobak tinja. Lumpur tinja diambil dari unit pengolah limbah tinja seperti tangki septik dan cubluk tunggal ataupun endapan lumpur dari underflow unit pengolah air limbah lainnya. IPLT dirancang untuk mengolah lumpur tinja sehingga tidak membahayakan bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Lumpur akan diolah sehingga menjadi lumpur kering yang disebut dengan cake dan air olahan (effluent) yang sudah aman untuk dibuang ataupun dimanfaatkan kembali. Lumpur kering (cake) dapat dimanfaatkan menjadi pupuk dan air effluent dapat digunakan untuk keperluan irigasi. IPLT hanya menerima dan mengolah lumpur tinja yang diangkut melalui truk tinja. Proses penguraian lumpur tinja menggunakan proses biologis yang berlangsung dalam kondisi anaerobik (tanpa udara) 4.1 Karakteristik Dan Jenis Lumpur Tinja Lumpur tinja berasal dari kotaran manusia (human feces) yang biasa disebut dengan ”black water”. Lumpur tinja terdiri dari padatan yang terlarut di dalam air yang sebagian besar berupa bahan organik. Selain itu, lumpur tinja juga mengandung berbagai macam mikroorganisme seperti bakteri, virus dan lain sebagainya. Kandungan mikroorganisme yang tinggi inilah yang menjadikan lumpur tinja harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang atau dimanfaatkan untuk menghindari penyebaran penyakit melalui air (foodborne disease). Karakteristik lumpur tinja dapat dibedakan berdasarkan karakteristik fisik, kimia dan biologis. Karakteristik lumpur tinja dapat dilihat pada Tabel 3 berikut di bawah ini. Lumpur tinja dapat dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan tingkat dekomposisinya (Balai Pelatihan Air Bersih & Penyehatan Lingkungan Permukiman, 2000), yaitu: a. Lumpur tinja segar yaitu lumpur tinja berumur kurang dari 8 (delapan) jam b. Night soil yaitu lumpur tinja yang telah mengalami proses dekomposisi antara 8 (delapan) sampai 7 (tujuh) hari c. Lumpur tinja (septage) yaitu tinja yang telah mengalami dekompisisi dalam jangka waktu 1-3 tahun d. Sludge yaitu lumpur tinja yang telah mengalami dekomposisi pada IPLT yang khusus dibangun 4.2 Tujuan Dan Tahapan Pengolahan Lumpur Tinja Pengolahan lumpur tinja dilakukan dengan tujuan utama yaitu: a. Menurunkan kandungan zat organik dari dalam lumpur tinja 25
  • 26. b. Menghilangkan atau menurunkan kandungan mikroorganisme patogen (bakteri, virus, jamur dan lain sebagainya) Tabel 3. Karakteristik Lumpur Tinja Karakteristik Satuan Besaran Timbulan limbah tinja (dalam keadaan basah)+ gr/orang/hari 135-270 Timbulan limbah tinja (dalam keadaan kering)+ gr/orang/hari 20-35 Kandungan air+ % 66-80 Bahan organik+ % 88-97 Nitrogen+ % 5-7 Phosfor (sebagai P2O5)+ % 3-5,4 Potassium (sebagai K2O)+ % 1-2,5 Karbon+ % 44-55 Kalsium (sebagai CaO)+ % 4,5-5 Total padatan (TS)+ mg/l 400.000 Total padatan volatil (TVS)* mg/l 25.000 Total padatan tersuspensi (TSS)* mg/l 15.000 BOD5* mg/l 10.000 COD* mg/l 7.000 Total Nitrogen Kjedahl* mg/l 15.000 NH3-N* mg/l 700 Total P* mg/l 150 Lemak* mg/l 8.000 pH* 6,0 Sumber: + Duncanmara dalam Sugiharto, 1987 * EPA Handbook – Septage teratment & disposal Untuk mencapai tujuan tersebut, secara garis besar tahapan pengolahan lumpur tinja yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: a. Pengangkutan lumpur tinja dari tangki septik, cubluk atau underflow unit pengolah air limbah lainnya dengan menggunakan truk penyedot tinja (vaccum truck) b. Pengolahan lumpur tinja di IPLT yang dilakukan beberapa tahap yaitu: • Penyaringan untuk memisahkan partikel-partikel atau padatan yang berukuran besar seperti plastik, pembalut wanita, kertas dan lain sebagainya • Pemisahan lemak dengan menggunakan prinsip pengapungan (floatation) • Pemisahan pasir yang dilakukan dengan memperlambat aliran lumpur tinja sehingga pasir dapat mengendap pada tangki yang disebut dengan grit chamber • Pengolahan lumpur tinja sesuai dengan metode yang dipilih 26
  • 27. • Pengeringan lumpur • Pembuangan lumpur (final disposal) 4.3 Kebutuhan Dan Pengumpulan Data Dalam Perencanaan IPLT Perencanaan IPLT yang baik memerlukan data yang baik pula. Jenis data yang dibutuhkan tidak hanya data sekunder tetapi juga data primer. Proses pengumpulan data pada dasarnya tidak mudah terutama pada daerah-daerah yang sistem pencatatan dan pelaporannya belum berjalan dengan baik. Secara umum, data yang diperlukan untuk perencanaan IPLT diantaranya adalah sebagai berikut: a. Peta wilayah yang dilengkapi dengan data topografi b. Data sosial dan ekonomi c. Data geologi, hidrologi dan hidrogeologi seperti: • Jenis tanah (pasir, lempung, lanau) dan angka permeabilitas di lokasi IPLT • Sungai atau badan air yang dipakai sebagai pembuangan akhir air efluen IPLT yang dapat menunjukkan letak, debit dan kualitas air • Jarak antara kegiatan lain dengan IPLT dan pemanfaatannya terkait dengan penyelenggaraan penyediaan air bersih/minum • Elevasi muka air tanah dan arah alirannya • Penggunaan air tanah bagi penduduk di sekitar lokasi IPLT d. Data lainnya yang relevan dengan perencanaan IPLT Proses pengumpulan data perlu direncanakan secara detil dan sistematis untuk menghemat waktu dan biaya serta dapat berjalan secara efisien dan efektif. Oleh karena itu, diperlukan suatu pedoman survey yang sistematis dan praktis sehingga mudah dipahami dan dilaksanakan. Langkah-langkah yang dapat dilakukan selama melakukan survey akan diuraikan berikut ini. 4.3.1 Persiapan Pelaksanaan Survey Kegiatan yang dilakukan dalam tahap persiapan ini diantaranya adalah penyiapan petugas survey dan petunjuk pelaksanaan survey. Petugas survey adalah petugas bagian perencanaan pada Dinas Pekerjaan Umum pada masing-masing Pemerintah Daerah Tingkat II (Kotamadya atau Kabupaten). Bila diperlukan, pelaksana survey dapat dibantu oleh konsultan perencana yang memiliki tenaga-tenaga ahli yang memiliki latar belakang pengalaman dalam bidang pengelolaan air limbah. Sementara itu, petunjuk pelaksanaan survey berisikan tuntunan bagi petugas survey agar dapat melaksanakan survey dan pengumpulan data secara akurat. Petunjuk pelaksanaan survey ini berisikan jenis data yang dibutuhkan, sumber data, serta cara memperoleh data yang baik dan 27
  • 28. lengkap. Data yang dikumpulkan ini meliputi data sekunder dan data primer. Data sekunder berupa studi literatur, laporan-laporan dari instansi terkait, ataupun jurnal dan laporan lainnya yang relevan dengan perencanaan. Sementara itu, data primer meliputi hasil pengukuran, percobaan lapangan, pengamatan langsung (observasi), wawancara ataupun pemeriksaan laboratorium. Sebelum survey berjalan, para petugas pelaksana survey perlu diberikan pembekalan mengenai survey. Pembekalan tersebut meliputi pemahaman mengenai tujuan survey dan petunjuk pelaksanaan survey yang telah disiapkan sebelumnya. Dengan demikian, para petugas diharapkan dapat bekerja lebih efisien dan terarah karena telah memahami tugasnya sebelum terjun ke lapangan. 4.3.2 Pelaksanaan Survey Survey dilaksanakan terkait dengan pengumpulan data yang diperlukan sesuai denga arahan yang telah diberikan sebelumnya. Pengumpulan data tersebut meliputi: (i) Pengumpulan data primer Data primer adalah data yang dikumpulkan langsung di lapangan. Data ini menjadi data dasar utma dalam tahap perencanaan dan pemilihan lokasi IPLT yang akan dibangun. Data primer yang dikumpulkan meliputi: • Jumlah rumah dan klasifikasinya • Jumlah sarana tangki septik yang ada • Lokasi (lahan) yang dapat digunakan untuk pembangunan IPLT • Kondisi lingkungan di sekitar lokasi (lahan) pembangunan IPLT • Sarana jalan lingkungan dan jalan menuju calon lokasi IPLT (ii) Pengumpulan data sekunder Data sekunder merupakan kumpulan data yang berasal dari kegiatan-kegiatan sebelumnya yang dapat diperoleh melalui instansi-instansi pemerintah. Data sekunder yang dibutuhkan diantaranya adalah: • Kondisi iklim daerah perencanaan (mencakup variasi temperatur, kelembaban, dan curah hujan). Data ini akan digunakan untuk mengevaluasi besaran kuantitas timbulan air limbah yang berasal dari masyarakat di wilayah perencanaan dan sistem pengolahan, terutama pengolahan biologis, yang akan diterapkan pada IPLT. • Kondisi fisik wilayah pelayanan yang diperlukan untuk menunjang proses perencanaan atau disain IPLT. Data tersebut meliputi kondisi topografi (kemiringan) wilayah, kondisi geologi (kestabilan dan sifat kedap air tanah), kondisi geohidrologi (fluktuasi 28
  • 29. tinggi muka air tanah), dan kondisi hidrologi (badan air sekitarnya, daerah genangan). Data kondisi fisik ini sangat berguna pada proses pemilihan lokasi dan perencanaan pembangunan (disain) sarana IPLT. • Data kependudukan yang meliputi jumlah penduduk (saat ini dan proyeksi di masa yang akan datang), kepadatan penduduk (termasuk pola pertumbuhannya), tipr rumah dan jumlah penghuninya, dan kondisi kesehatan masyarakat secara umum. Data kependudukan ini akan digunakan untuk menentukan besaran kapasitas dan metode pengolahan IPLT yang akan dipilih dan direncanakan serta evaluasi terhadap rencana wilayah pelayanan sarana IPLT. • Kondisi sanitasi lingkungan yang meliputi data sumber air bersih, tingkat pelayanan air bersih (termasuk harga air), cara pembuangan dan pengelolaan limbah tinja saat ini (existing), dan fasilitas pembuangan air limbah dan hujan. Data kondisi sanitasi lingkungan ini diperlukan dalam penilaian dan evaluasi kondisi sistem sanitasi lingkungan di wilayah rencana terkait dengan pembangunan sarana IPLT. • Rencana induk sistem pembuangan air limbah (master plan) yang dapat memberikan informasi sistem pembuangan dan pengolahan air limbah yang ada serta rencana pengembangan dimasa yang akan datang. Rencana induk tersebut mencakup data mengenai sistem pengolahan air limbah rumah tangga setempat (on-site sanitation system) dan pengolahan air limbah secara terpusat (off-site sanitation system). Bila daerah yang bersangkutan belum memiliki rencana induk ini, maka perencana harus dapat memperkirakan dan menentukan secara global mengenai rencana daerah pelayanan IPLT yang akan dipilih. • Kondisi sosial-ekonomi dan budaya yang meliputi persepsi masyarakat terhadap kondisi sanitasi saat ini, tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang higiene, faktor agama dan budaya yang mempengaruhi, dan kondisi ekonomi masyarakat (mata pencaharian, penghasilan). Kondisi sosial, ekonomi dan budaya ini penting sebagai dasar dalam melakukan evaluasi tingkat kemampuan, kesanggupan dan kemauan masyarakat setempat untuk membayar biaya retribusi penyedotan dan pengolahan lumpur tinjanya. • Kelembagaan dan peraturan yang mencakup tugas & fungsi instansi pemerintah daerah, pemerintah pusat di daerah, LKMD, PKK, koperasi, pemuka agama/adat, program perbaikan kampung yang ada, peran lembaga pendidikan dan kesehatan (Puskesmas). Data ini merupakan faktor non-teknis yang menjadi salah satu 29
  • 30. pertimbangan dalam perencanaan pembangunan IPLT terkait dengan tingkat partisipasi masyarakat serta peranan instansi/lembaga yang dapat memberikan penyuluhan dan pembinaan terhadap masyarakat. Untuk menunjang keberhasilan operasional IPLT, perlu dilakukan inventarisasi perangkat peraturan perundang-undangan baik dari pemerintah pusat dan daerah terutama yang menyangkut aspek perencanaan tangki septik, penyedoan (pengurasan) dan pembuangan lumpur tinja, besaran struktur tarif pelayanan pengurasan, peran dan keterlibatan pihak swasta dan lain sebagainya. (iii) Pengumpulan data pendukung lainnya Data pendukung lainnya yang diperlukan seperti metode dan teknologi pengolahan lumpur tinja (air limbah) yang terbaru, tepat guna dan efisien sehingga mampu mengolah limbah dengan sebaik mungkin namun dengan biaya investasi, operasi dan perawatan yang minimal. 4.4 Langkah-Langkah Perencanaan IPLT 4.4.1 Penentuan Daerah Pelayanan IPLT Perencanaan IPLT sangat bergantung pada penentuan rencana daerah pelayanan IPLT. Untuk itu perlu dilakukan pengumpulan data dan kajian terhadap rencana induk sistem penanganan air limbah yang ada di daerah yang bersangkutan serta data lainnya seperti yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya. IPLT pada dasarnya hanya akan menerima lumpur tinja yang berasal dari tangki septik saja bukan campuran lumpur tinja dengan air limbah industri, rumah sakit ataupun limbah laboratorium. Dalam menentukan wilayah/daerah layanan, perencana perlu menetapkan target pelayanan IPLT. Umumnya target tersebut berupa persentasi dari jumlah penduduk kota yang akan dilayani oleh sarana IPLT misalnya target pelayanan ditetapkan 60% dari jumlah penduduk daerah tersebut. Rencana induk (master plan) air limbah dan target pelayanan IPLT digunakan sebagai data bagi perencana dalam membuat peta rencana daerah pelayanan sarana IPLT yang akan dibangun. Peta daerah pelayanan merupakan gambaran kuantitatif dari daerah pelayanan IPLT yang direncanakan. Dari data tersebut, dapat diperkirakan dan ditentukan besaran rencana sistem pelayanan yang harus disediakan untuk dapat menangani volume lumpur tinja yang berasal dari setiap sarana tangki septik yang ada di daerah perencanaan. Secara garis besar, proses perencanaan IPLT dapat dilihat pada Gambar 15 di bawah ini. 30
  • 31. 4.4.2 Penentuan Lokasi IPLT Setelah daerah pelayanan ditentukan, langkah selanjutnya adalah menentukan lokasi IPLT yang akan dibangun. Beberapa aspek penting dalam menentukan lokasi IPLT diantaranya: a. Efisiensi dan efektifitas sistem IPLT (investasi, operasi dan pemeliharaan) b. Kemudahan transportasi lumpur tinja dari daerah layanan ke lokasi IPLT c. Aman terhadap lingkungan disekitarnya (banjir, gempa bumi, resiko polusi, gunung merapi) d. Dapat dikembangkan pada waktu yang akan datang seiring dengan berkembangnya kota atau daerah layanan Perencanaan Pembangunan IPLT Penentuan wilayah pelayanan dan calon Disain teknis IPLT lokasi IPLT Penentuan calon Penentuan kapasitas Penentuan teknologi pelanggan IPLT & penyiapan disain Data jumlah tangki septik Biaya investasi Wilayah komersial Kemampuan membayar Sekolah Cakupan layanan Perkantoran Pilihan Teknologi Gambar 15. Gambaran Langkah-Langkah Dalam Perencanaan IPLT (Sumber: Balai Pelatihan Air Bersih Dan Penyehatan Lingkungan Permukiman, 2000) Dalam proses penentuan lokasi lahan untuk sarana IPLT, sebaiknya diajukan atau dipilih beberapa alternatif lokasi yang layak. Beberapa aspek yang harus dipertimbangkan dalam penentuan alternatif lokasi diantaranya: a. Ketersediaan lahan dan aspek teknis yang meliputi beberapa persyaratan seperti: • Daerah bebas banjir dan gempa • Daerah bebas longsor 31
  • 32. • Rencana lokasi harus terletak relatif jauh dari kawasan permukiman minimal pada radius 2 km • Rencana lokasi memiliki jalan akses (penghubung) dari wilayah pelayanan ke IPLT dan sebaliknya, terletak pada jalur transportasi yang lancar dan terhindar dari kemacetan • Rencana lokasi harus berada dekat dengan badan air penerima • Rencana lokasi haruslah merupakan daerah yang terletak pada lahan terbuka dengan intensitas penyinaran matahari yang baik agar dapat membantu mempercepat proses pengeringan endapan lumpur • Rencana lokasi harus berada pada lahan terbuka yang tidak produktif dengan nilai ekonomi tanah yang serendah mungkin b. Karakteristik lahan Pertimbahan karakteristik lahan berkaitan dengan jenis fasilitas IPLT yang akan dibangun. Beberapa karakteristik lahan yang harus dipenuhi adalah: • Merupakan daerah yang memiliki struktur geologi yang baik sehingga mampu memikul beban konstruksi atas unit pengolah beserta bangunan pelengkapnya • Lahan memiliki karakteristik relatif kedap air (permeabilitas rendah) sehingga dapat menghemat biaya investasi namun tetap aman dari resiko pencemaran c. Biaya investasi, operasi & pemeliharaan Rencana lokasi IPLT diupayakan berada dalam jangkauan yang relatif tidak jauh dari rencana daerah layanan IPLT untuk mempersingkat waktu tempuh mobil pengangkut (truk) tinja juga dapat menghemat biaya transportasi. Lokasi yang mudah dijangkau dan tidak macet juga akan membantu dalam mengurangi biaya transportasi, operasional dan pemeliharaan IPLT tersebut. Biaya-biaya tersebut, transportasi, operasi dan pemeliharaan, nantinya akan mempengaruhi besarnya tarif retribusi yang dibebankan kepada pemilik tangki septik. d. Lingkungan • Keamanan lingkungan haruslah menjadi perhatian terkait dengan resiko pencemaran lingkungan sekitar seperti pencemaran air, tanah dan udara • Pertimbangan estetika terhadap keberadaan IPLT haruslah dipertimbangkan terutama resiko bau yang berasal dari unit pengolahan di dalam IPLT • Sanitasi dan kesehatan lingkungan bagi masyarakat yang bermukim atau beraktifitas di sekitar IPLT perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya peningkatan gangguan kesehatan 32
  • 33. e. Faktor resiko eksternal seperti gempa bumi, longsor, banjir dan bencana lainnya yang dapat mengancam keberadaan sarana IPLT serta potensi pencemaran lingkungan sekitarnya akibat bencana tersebut Pertimbangan-pertimbangan tersebut haruslah diperhatikan di dalam menentukan alternatif rencana lokasi IPLT. Selanjutnya, dari beberapa alternatif tersebut akan dipilih salah satu lokasi yang terbaik dan paling tepat untuk pembangunan IPLT terutama terkait dengan biaya investasi. Tata cara pemilihan lokasi IPLT dapat dilihat pada Materi Teknis Cara Pemilihan Lokasi IPAL dan IPLT, Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman Sub Bidang Air Limbah. 4.4.3 Penentuan Kapasitas (Debit) IPLT Kapasitas IPLT ditentukan dengan menghitung jumlah sarana tangki septik yang berada di daerah pelayanan. Data ini dapat diperoleh dari puskesmas-puskesmas ataupun dinas kesehatan yang berada di dalam wilayah terkait. Bila data jumlah tangki septik sulit didapat atau diinventarisasi, maka dapat digunakan pendekatan (50-60)% dari jumlah penduduk yang ada di dalam daerah layanan memiliki tangki septik. Selanjutnya, perhitungan kapasitas IPLT juga memerlukan informasi perkiraan jumlah penghuni atau pengguna tangki septik dan periode pengurasan lumpur dari tangki septik. Kapasitas (debit) IPLT selanjutnya dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: Debit lumpur tinja = Persentasi pelayanan x jumlah penduduk daerah layanan x laju timbulan lumpur tinja ………………….…….………………….(1) Keterangan: - Debit lumpur tinja dalam liter/hari atau dibagi dengan 1.000 untuk konversi menjadi m3/hari adalah jumlah lumpur yang akan masuk dan diolah di IPLT setiap harinya - Persentasi pelayanan dapat menggunakan pendekatan (50-60)% - Laju timbulan lumpur tinja dapat menggunakan pendekatan 0,5 liter/orang/hari 4.4.4 Penentuan Sistem Pengolahan Sistem pengolahan yang akan dipilih dalam perencanaan IPLT ini haruslah sistem yang sesuai dengan karakteristik dan kondisi daerah layanan. Pemilihan sistem ini sebaiknya menyesuaikan dengan hasil analisis data yang berhasil dikumpulkan. Pengolahan lumpur tinja perlu mempertimbangkan beberapa hal yaitu: • Efektif, murah dan sederhana dalam hal konstruksi maupun operasi dan pemeliharaannya • Kapasitas dan efisiensi pengolahan yang sebaik mungkin 33
  • 34. Lokasi pembangunan IPLT • Jumlah penduduk yang akan dilayani Pengolahan lumpur tinja dapat dilakukan dengan berbagai macam metode. Beberapa alternatif metode pengolahan yang direkomendasikan oleh Departemen Pekerjaan Umum-Direktorat Jenderal Cipta Karya berdasarkan pada jumlah penduduk yang dilayani. Allternatif pengolahan tersebut dapat dilihat pada gambar-gambar berikut di bawah ini. Alternatif 1: Jumlah penduduk dilayani ≤ 50.000 jiwa Truk tinja BOD= 5.000 mg/l BOD= 2.000 BOD= 800 BOD= 120 mg/l mg/l mg/l Kolam Kolam Kolam Kolam Stabilisasi Stabilisasi Stabilisasi Maturasi Anaerobik I Anaerobik II Fakultatif (reduksi BOD (reduksi BOD > (reduksi BOD (reduksi BOD > 70%) 60%) > 60%) > 70%) 400 mg/l (pengenceran) BOD ≥ 50 mg/l Kolam Pengering Badan air Lumpur Keterangan: Alternatif I ini baik digunakan dengan pertimbangan: - Melayani maksimum 50.000 jiwa penduduk - Kondisi tanah cukup kedap - Jarak IPLT ke permukiman terdekat minimal 500 m 34
  • 35. Alternatif 2: Jumlah penduduk dilayani antara 50.000-100.000 jiwa Tangki Imhoff BOD= 5.000 (reduksi BOD > mg/l Truk tinja 30%) BOD= 3.500 mg/l BOD= 1.400 mg/l BOD= 560 mg/l BOD= 120 mg/l Kolam Kolam Kolam Kolam Stabilisasi Stabilisasi Stabilisasi Maturasi Anaerobik I Anaerobik II Fakultatif (reduksi BOD (reduksi BOD > (reduksi BOD (reduksi BOD > 70%) 60%) > 60%) > 70%) 400 mg/l (pengenceran) BOD ≥ 50 mg/l Kolam Pengering Badan air Lumpur Keterangan: Alternatif II ini baik digunakan dengan pertimbangan: - Melayani maksimum 100.000 jiwa penduduk - Kondisi tanah cukup kedap - Jarak IPLT ke permukiman terdekat minimal 500 m 35
  • 36. Alternatif 3: Jumlah penduduk dilayani > 100.000 jiwa Tangki Imhoff BOD= 5.000 mg/l (reduksi BOD Truk tinja > 30%) BOD= 3.500 mg/l BOD= 1.000 mg/l BOD= 300 mg/l BOD= 90 mg/l Kolam Kolam Kolam Kolam Stabilisasi Stabilisasi Stabilisasi Maturasi Anaerobik I Anaerobik II Fakultatif (reduksi BOD (reduksi BOD (reduksi (reduksi BOD > 70%) > 70%) BOD > 70%) > 70%) BOD ≥ 50 mg/l Kolam Pengering Badan air Lumpur Keterangan: Alternatif III ini baik digunakan dengan pertimbangan: - Melayani maksimum 100.000 jiwa penduduk - Kondisi tanah cukup kedap - Jarak IPLT ke permukiman terdekat minimal 250 m Pilihan metode atau teknologi pengolahan lumpur tinja lainnya dapat dilihat pada Gambar 16 di bawah ini. 36
  • 37. Gambar 16. Pilihan Teknologi Pengolahan Lumpur Tinja (Sumber: Strauss et. al., 2002 dalam Eawag/Sandec, 2008) 4.4.5 Penyiapan Disain, Anggaran dan Pentahapan Pelaksanaan Pembangunan IPLT Penyiapan disain dan detail engineering merupakan langkah terakhir yang dilakukan dalam perencanaan IPLT. Disain yang dimaksud tidak hanya unit unit pengolahan yang akan unit-unit digunakan pada IPLT tetapi juga menyangkut dengan perlengkapan penunjang operasional n IPLT lainnya seperti kantor, jalan operasi, gudang, laboratorium, sumur pemantauan (monitoring) kualitas air tanah, pompa dan perlengkapan lainnya. Selain itu di dalam penyusunan disain IPLT, luas lahan yang dibutuhkan haruslah ditambahkan untuk keperluan zona penyangga (buffer zone). Selanjutnya perhitungan anggaran biaya pembangunan (investasi), operasi dan pemeliharaan dapat dilakukan bila disain IPLT telah selesai dilakukan. Bila disain dan perhitungan rencana anggaran biaya telah selesai dilakukan, kegiatan pembangunan IPLT dapat dilaksanakan. Pelaksanaan pembangunan dapat dilakukan secara keseluruhan unit-unit IPLT namun umumnya dilakukan secara bertahap bergantung pada unit ketersediaan dana investasi dan cakupan daerah layanan yang ditetapkan. Selain itu, pentahapan ersediaan 37
  • 38. pembangunan ini juga membantu mengurangi biaya operasional dan pemeliharaan IPLT pada saat awal operasi biasanya cakupan pelayanan IPLT masih terbatas. Pembangunan tahap berikutnya dapat dilanjutkan seiring dengan pengembangan cakupan pelayanan IPLT pada masa selanjutnya. 4.5 Teknologi Pengolahan Lumpur Tinja Teknologi yang umum digunakan untuk mengolah lumpur tinja di Indonesia adalah kombinasi tangki imhoff dan kolam stabilisasi atau hanya menggunakan kolam stabilisasi saja. Rangkaian unit pengolahan yang umum digunakan dalam IPLT dapat dilihat pada bagian 5.4 di atas. Jenis dan fungsi unit-unit pengolahan yang digunakan pada IPLT akan diuraikan berikut ini. 4.5.1 Unit Pengumpul (Equalizing Unit) Unit pengumpul atau sering disebut juga dengan tangki ekualisasi tidak selalu digunakan pada IPLT. Umumnya tangki ekualisasi digunakan pada pengolahan air limbah domestik terpusat (off-site system) yang mengolah air limbah campuran black water dan grey water. Tangki ekualisasi ini berfungsi untuk menghomogenkan lumpur tinja yang masuk ke IPLT mengingat karakteristik lumpur tinja yang tidak selalu seragam antar tangki septik. Selain itu, pada dasarnya fungsi utama tangki ekualisasi adalah untuk mengatur agar debit aliran lumpur yang masuk ke unit berikutnya menjadi konstan dan tidak berfluktuasi. Hal ini penting mengingat unit pengolahan yang digunakan pada IPLT adalah pengolahan secara biologis yang rentan terhadap fluktuasi baik aliran (debit/kapasitas) maupun kualitas lumpur tinja yang masuk. Dengan adanya tangki ekualisasi ini, maka operasional IPLT dapat lebih optimal dan dapat memperkecil ukuran/dimensi instalasi karena debit/kapasitas pengolahan ke unit berikutnya dapat diatur menjadi konstan. Untuk menghindari bau, maka pada tangki ekualisasi ini ditambahkan pengaduk sehingga lumpur yang masuk tidak hanya diaduk sehingga konsentrasinya menjadi homogen tetapi juga membantu proses aerasi (penambahan oksigen). 4.5.2 Tangki Imhoff Deskripsi dan Proses Tangki imhoff pada dasarnya adalah tangki septik yang disempurnakan. Tangki imhoff ini berfungsi untuk memisahkan zat padat yang dapat mengendap dengan cairan yang terdapat dalam lumpur tinja. Tangki dibagi menjadi dua kompartemen (ruangan) yang diberi sekat. Kompartemen bagian (tengah) atas berfungsi sebagai ruang pengendap/sedimentasi (settling compartment) dan kompartemen bagian bawah berfungsi sebagai ruang pencerna (digestion compartment). Bentuk tangki imhoff dapat dilihat pada Gambar 17 di bawah ini. 38
  • 39. Dosing chamber Partially treated Raw sludges Upper intlet chamber Sludges outlet Gas pipe to sludge bubbles disposal Sludges o 45 slope Section Gambar 17. Tangki Imhoff (Sumber: www.tpub.com) Proses pengolahan yang terjadi pada tangki imhoff dimulai dari ruang sedimentasi dimana lumpur tinja segar dialirkan sebagai influen pada unit ini. Selanjutnya, padatan yang terpisah akan mengendap pada bagian dasar ruang sedimentasi yang diberi bukaan (opening) sehingga padatan tersebut dapat langsung bergerak menuju ke ruang pencernaan. Adanya sekat mencegah padatan tersebut masuk kembali ke ruang sedimentasi. Pada ruang pencerna, padatan akan terdekomposisi secara anaerobik (tanpa kehadiran oksigen) sehingga menjadi lebih stabil dalam waktu 2-4 jam. Mekanisme aliran proses yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 18. Proses yang terjadi pada tangki imhoff akan menghasilkan scum pada bagian permukaan tangki dan biogas dari proses pencernaan (digestion). Biogas yang terbentuk akan terkumpul pada pipa vent yang disediakan sehingga tidak mengganggu proses pengendapan pada ruang sedimentasi. Frasa cairan (liquid fraction) yang telah terpisah hanya tinggal selama beberapa jam saja di dalam tangki imhoff yang selanjutnya dialirkan menuju unit pengolahan berikutnya. Sementara itu, padatan yang terbentuk dan telah stabil akan tetap tinggal di dalam tangki selama beberapa 39
  • 40. tahun namun tetap memerlukan pengurasan secara berkala yang selanjutnya dapat dikeringkan pada unit pengering lumpur. Gas Manhole Potongan Inflow Outflow Potongan memanjang melintang Ruang pengendapan Ruang pencernaan Gambar 18. Mekanisme Aliran Proses Pengolahan (Sumber: Department of Environment & Natural Resources, Phillipine) Kelebihan • Menyisihkan padatan dari lumpur tinja sebelum melewati jaringan perpipaan selanjutnya sehingga tidak hanya mengurangi potensi penyumbatan juga dapat membantu mengurangi dimensi pipa • Operasi dan pemeliharaan mudah sehingga dapat menggunakan sumber daya manusia dengan pengetahuan minimal • Tidak memerlukan pengolahan primer (primary treatment) pada pengolahan selanjunya (secondary treatment) • Mampu bertahan terhadap aliran debit masuk yang sangat berfluktuasi (resistant against shock loads. Kelemahan • Pemeliharaan merupakan suatu keharusan • Jika tidak dioperasikan dan dirawat dengan baik, maka resiko penyumbatan pada pipa pengaliran • Membutuhkan pengolahan lebih lanjut untuk efluen baik pada frasa cair maupun padatan yang telah dipisahkan • Efisiensi penyisihan rendah 40
  • 41. Kriteria Disain Tangki imhoff dirancang dengan waktu detensi 2-4 jam, perbandingan lebar dan panjang tangki 1:(2-4) dan dengan kedalaman (7,2-9) m. Kapasitas ruang pencerna yang disediakan sebesar 2,5 m3/kapita. Tangki dapat dibuat tertutup ataupun terbuka namun bila tertutup perlu disediakan ventilasi untuk biogas lebih kurang 20% dari luas permukaan. Efisiensi penyisihan BOD berkisar antara (30-50)% yang bergantung pada jenis outlet yang digunakan. Komponen yang perlu disiapkan untuk tangki imhoff adalah ruang sedimentasi, ruang pencerna, pipa dan ruang penampung gas, pipa atau saluran inlet dan outlet, pipa penguras lumpur, struktur tangki dengan atau tanpa manhole (lubang kontrol). Dimensi masing-masing komponen dapat dilihat pada Gambar 19 dan Gambar 20 berikut ini. Kriteria disain lainnya yang dapat digunakan untuk mendisain tangki imhoff adalah: • Jumlah unit yang dapat diaplikasikan dalam satu tangki imhoff maksimum 2 (dua) unit • Kecepatan aliran horizontal ruang sedimentasi adalah < 1 cm/detik • Beban permukaan (surface loading) ruang sedimentasi sebesar ≤ 30 m3/(m2.hari) • Efisiensi pemisahan padatan tersuspensi (TSS) pada ruang sedimentasi (40-60)% • Waktu detensi ruang sedimentasi (2-4) jam • Waktu detensi ruang pencerna (1-2) bulan • Laju endapan lumpur tinja pada ruang sedimentasi 0,5 liter/orang/hari • Laju endapan lumpur pada ruang pencerna 0,06 liter/orang/hari • Diameter pipa lumpur 15 cm (10 inchi) • Ventilasi gas dibuat minimal 20% dari luas permukaan tangki imhoff atau lebar bukaan masing-masing (45-60) cm pada kedua sisi tangki Tipe I Tipe II Gambar 19. Pilihan Bentuk Penampang Tangki Imhoffn2 Kompartemen (Sumber: Petunjuk Teknis CT/AL/Re-TC/001/98) 41
  • 42. Ventilasi gas Lebar : (45-60) cm Gambar 20. Disain Dimensi Tangki Imhoff (Sumber: Department of Environment & Natural Resources, Phillipine) 42
  • 43. Tabel 4. Dimensi Tangki Imhoff Sumber: Petunjuk Teknis CT/AL/Re-TC/001/98 4.5.3 Kolam Anaerobik (Anaerobic pond) Deskripsi dan Proses Kolam anaerobik berfungsi untuk menguraikan kandungan zat organik (BOD) dan padatan tersuspensi (SS) dengan cara anaerobik atau tanpa oksigen. Kolam dapat dikondisikan menjadi anaerobik dengan cara menambahkan beban BOD yang melebihi kemampuan fotosintesis secara alami dalam memproduksi oksigen (Benefield & Randall, 1980). Proses fotosintesis yang terjadi di dalam kolam dapat diperlambat dengan mengurangi luas permukaan dan menambah kedalaman kolam. Kolam anaerobik biasanya digunakan sebagai pengolahan pendahuluan (pretreatment) dan cocok untuk air limbah dengan konsentrasi BOD yang tinggi (high strength wastewater). Oleh karena itu, kolam anaerobik diletakkan sebelum kolam fakultatif dan berfungsi sebagai pengolahan awal/pendahuluan. Selain itu, reaksi penguraian (degradasi) yang terjadi di dalam kolam anaerobik lebih cepat terjadi pada wilayah dengan temperatur yang panas/hangat. Oleh karena itu, kolam anaerobik cocok bila diaplikasikan di Indonesia mengingat temperatur yang pnas dan relatif konstan sepanjang tahun. Lumpur tinja tergolong high-strenght wastewater dengan konsentrasi BOD minimal 1.500 mg/l cocok diolah dengan menggunakan kolam anaerobik. Penurunan konsentrasi material organik terjadi seiring dengan meningkatnya aktivitas mikroba memproduksi gas (biogas) dan lumpur. Produksi biogas dapat terlihat dengan adanya gelembung-gelembung udara pada bagian permukaan kolam. Kondisi kolam yang hangat, pH normal tanpa oksigen, maka jenis mikroba yang dominan adalah mikroba pembentuk methane. Gambaran kolam anaerobik dapat dilihat pada Gambar 21 di bawah ini. 43
  • 44. Lumpur yang terbentuk merupakan hasil dari pemisahan padatan yang terlarut di dalam influen yang kemudian akan mengendap pada bagian dasar kolam. Selanjutnya, material organik yang masih tersisa akan diuraikankan/didegradasi lebih lanjut. Gambar 21. Gambaran Kolam Anaerobik (sumber: www.thewatertreatment.com) Kelebihan • Dapat membantu memperkecil dimensi/ukuran kolam fakultatif dan maturasi • Dapat mengurangi penumpukan lumpur pada unit pengolahan berikutnya • Biaya operasional murah • Mampu menerima limbah dengan konsentrasi yang tinggi Kelemahan • Menimbulkan bau yang dapat mengganggu • Proses degradasi berjalan lambat • Memerlukan lahan yang luas Kriteria Disain Kolam anaerobik dirancang dengan kedalaman (2-4) m. Pada kedalaman ini akan terbentuk kondisi anaerob dan mampu menyimpan lumpur hingga akumulasi (30-40) liter/orang/tahun. Waktu detensi menyesuaikan dengan temperatur di lokasi pembangunan IPLT. Standar pemilihan waktu detensi dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini. Waktu detensi tidak disarankan terlalu lama karena akan merubah kolam anaerobik menjadi kolam fakultatif. 44
  • 45. Tabel 5. Variasi Temperatur dan Waktu Detensi Temperatur Waktu Efisiensi Penyisihan Dalam Kolam Detensi BOD ( oC) (hari) (%) < 10 >5 0-10 10-15 4-5 30-40 15-20 2-3 40-50 20-25 1-2 40-60 25-30 1-2 60-80 Sumber: Balai Pelatihan Air Bersih & Penyehatan Lingkungan Permukiman, 2000 Kolam berbentuk persegi panjang dengan rasio panjang banding lebar sebesar (2-4):1. Kolam anaerobik umumnya diaplikasikan 2 (dua) unit kolam yang dibuat paralel atau seri sehingga dapat mengantisipasi jika salah satu kolam berhenti beroperasi untuk perawatan. Kolam diberi talud sebesar 1:3 untuk memudahkan perawatan kolam. Untuk mendisain kolam anaerobik, laju beban BOD yang akan digunakan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (2) ataupun ditentukan dengan menggunakan Tabel 6 di bawah ini. Laju beban BOD = [Konsentrasi BOD masuk (influen) x Debit lumpur tinja] …….(2) Volume kolam Keterangan: Laju beban BOD ( gr/m3/hari) dapat juga digunakan 500-800 gr BOD/m3.hari Konsentrasi BOD masuk (influen (mg/l) Debit lumpur tinja yang akan diolah (m3/hari) Volume kolam (m3) Kolam anaerobik dirancang dengan kedalaman (2-4) m, lebih dalam daripada kolam fakultatif dan maturasi dengan tujuan untuk membentuk dan mempertahankan kondisi anaerobik bagi proses degradasi oleh mikroba yang terjadi didalamnya. 45
  • 46. Tabel 6. Acuan Laju Beban BOD Kolam Anaerobik Acuan Waktu Laju Beban Konversi Laju Kedalaman Aplikasi Detensi BOD Beban BOD Kolam (Hari) (Loading Rate) (kg/m3-day) (m) (gr/m2.hari) Barnes, Bliss, 8 - 40 25 to 40 0.007 - 0.011 2.5 - 5.0 Terutama untuk et al (1981) (kedalaman limbah dengan kolam 3.75m) konsentrasi sedang (medium-strength waste) Metcalf and 5 - 50 200 to 500 0.005 - 0.015 2.5 - 5.0 Terutama untuk Eddy (1979) kg/ha-hari limbah dengan (kedalaman konsentrasi sedang kolam 3.75m) (medium-strength waste) Eckenfelder 5 - 50 250 to 4000 lbs 0.008 - 0.130 2.4 - 4.6 Untuk semua jenis (1980) BOD/acre-hari limbah (11.5 ft) Corbitt 1 - 50 0.05 to 0.25 0.05 - 0.25 2.4 - 6.1 Untuk limbah (1989) kg/m3-hari dengan beban yang bervariasi sesuai dengan karakteristik limbah Sumber: • Barnes, D, PJ Bliss, BW Gould and HR Valentine (1981) Water and Wastewater Engineering Systems, Longman Scientific and Technical, Essex • Corbitt, Richard A. (1989) Standard Handbook of Environmental Engineering, McGraw- Hill, New York • Eckenfelder, Jr., W. Wesley, (1980) Principles of Water Quality Management, CBI Publishing Company, Boston • Metcalf and Eddy (1979) Wastewater Engineering: Treatment, Disposal, Reuse, McGraw- Hill, New York, page 553 Cotoh perhitungan Bila kolam anaerobik didisain dengan waktu detensi 3 hari dan beban BOD sebesar 500 gr/m3.hari. Debit lumpur tinja yang akan diolah sebesar 25 m3/hari. Konsentrasi BOD lumpur tinja yang akan diolah adalah sebesar 2.000 mg/liter. 46
  • 47. Volume kolam = Debit x waktu detensi ...........................................................(3) Volume kolam (1) = 25 m3/hari x 3 hari = 75 m3 Volume kolam = Beban BOD masuk / Laju beban BOD ...............................................(4) Beban BOD Masuk = Debit lumpur tinja x konsentrasi BOD yang masuk ....................(5) = 25 m3/hari x 2.000 mg/l = 50 kg Volume kolam (2) = 50 kg / 500 gr/m3.hari) = 100 m3 Hasil perhitungan kedua volume dibandingkan untuk mendapatkan volume kolam maksimum dan minimum. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, maka volume kolam berada di antara (75-100) m3 yang selanjutnya ditetapkan saja menjadi 80 m3 (sebagai contoh). Untuk perhitungan dimensi kolam yang baik maka ditetapkan rasio panjang dan lebar kolam sebesar 3:1 dan kedalaman kolam 3 m. Maka, luas permukaan kolam adalah: Luas permukaan kolam = Volume / kedalaman kolam ..................................................(6) = 80 m3 / 3 m = 26,67 m2 Luas permukaan kolam = (panjang x lebar) kolam .........................................................(7) 26,67 = 3 lebar x lebar Lebar = (26,67/3)0,5 = 2,98 m ≈ 3m Panjang = 3 m x 3 = 9 m Sebagai cadangan maka digunakan 2 (dua) unit kolam dengan dimensi panjang 9m, lebar 3m dan kedalaman 3m. Hasil perhitungan dapat digambarkan sebagai berikut: 3m KOLAM KOLAM 3m ANAEROBIK 1 ANAEROBIK 2 9m 9m 6m Gambar 22. Dimensi Kolam Anaerobik Kolam dibuat secara seri untuk mendapat hasil pengolahan yang lebih baik karena waktu detensi yang akan bertambah. 47
  • 48. 4.5.4 Kolam Fakultatif (Facultative pond) Deskripsi dan Proses Kolam fakultatif berfungsi untuk menguraikan dan menurunkan konsentrasi bahan organik yang ada di dalam limbah yang telah diolah pada kolam anaerobik. Proses yang terjadi pada kolam ini adalah campuran antara proses anaerob dan aerob. Secara umum kolam fakultatif terstratifikasi menjadi tiga zona atau lapisan yang memiliki kondisi dan proses degradasi yang berbeda. Lapisan paling atas disebut dengan zona aerobik karena pada bagian atas kolam kaya akan oksigen. Kedalaman zona aerobik ini sangat bergantung pada beban yang diberikan pada kolam, iklim, banyaknya sinar matahari, angin dan jumlah algae yang berkembang didalamnya. Oksigen yang berlimpah berasal dari udara pada permukaan kolam, proses fotosintesis algae dan adanya agitasi atau pengadukan akibat tiupan angin. Zona aerobik juga berfungsi sebagai penghalang bau hasil produksi gas dari aktivitas mikroba pada zona dibawahnya. Zona tengah kolam disebut dengan zona fakultatif atau zona aerobik-anaerobik. Pada zona ini, kondisi aerob dan anaerob ditemukan bergenatung pada jenis mikroba yang tumbuh. Dan zona paling bawah disebut dengan zona aerobik dimana oksigen sudah tidak ditemukan lagi. Pada zona ini ditemukan lapisan lumpur yang terbentuk dari padatan yang terpisahkan dan mengendap pada dasar kolam. Proses degradasi material organik dilakukan oleh bakteri dan organisme mikroskopis (protozoa, cacing dan lain sebagainya). Pada kondisi aerob, material organik akan diubah oleh mikroba (bakteri) menjadi karbon dioksida, amonia, dan phosphat. Selanjutnya, phospat akan digunakan oleh algae sebagai sumber nutrien sehingga terjadi simbiosis yang saling menguntungkan. Sementara itu, pada kondisi anaerob, materi organik akan diubah menjadi gas seperti methane, hidrogen sulfida, dan amonia serta lumpur sebagai produk sisa. Gas yang dihasilkan oleh mikroba anaerob selanjutnya digunakan oleh mikroba aerob dan algae yang berada pada zona diatasnya. Gambaran proses yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 23 di bawah ini. Lumpur yang terbentuk sangat kaya akan mikroba anaerob yang akan terus mencerna (digest) dan memperlambat proses pengendapan lumpur ke dasar kolam. Lumpur yang mengendap harus dikuras secara periodik bergantung pada iklim, disain kolam dan program pemeliharaan yang dijalankan. Namun sebagai patokan umum, periode pengurasan dilakukan antara 5-10 tahun. 48
  • 49. Gambar 23. Proses Pada Kolam Fakultatif (Sumber: www.thewatertreatments.com) Kelebihan • Sangat efektif menurunkan jumlah atau konsentrasi bakteri patogen hingga (60-99)% • Mampu menghadapi beban yang berfluktuasi • Operasi dan perawatan mudah sehingga tidak memerlukan keahlian tinggi • Biaya operasi dan perawatan murah Kelemahan • Kolam fakultatif ini memerlukan luas lahan yang besar • Waktu tinggal yang lama, bahkan beberapa literatur menyarankan waktu tinggal antara (20- 150) hari • Jika tidak dirawat dengan baik, maka kolam dapat menjadi sarang bagi serangga seperti nyamuk • Berpotensi mengeluarkan bau • Memerlukan pengolahan lanjutan terutama akibat pertumbuhan algae pada kolam Kriteria Disain Kolam fakultatif mampu mengolah limbah dengan beban BOD berkisar antara (40-60) gr/m3. Efektifitas kolam bergantung pada lamanya limbah tinggal di dalam kolam (waktu detensi) yang biasanya berkisar antara (20-40) hari. Dengan waktu detensi tersebut, maka efisiensi penyisihan 49
  • 50. BOD dapat mencapai (70-90)% dan dapat pula menurunkan konsentrasi coliform sebesar (60- 99)%. Kolam fakultatif dirancang berdasarkan beban BOD maksimum per-unit luas sehingga kolam memiliki zona aerobik dan anaerobik. Besarnya beban BOD pada kolam fakultatif dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (8) berikut ini: Beban BOD = 20 T – 120 kg/ha/hari ………………………………………………(8) Keterangan: T = temperatur rata-rata dalam bulan yang paling dingin Persamaan ini didapat dari pengalaman sukses perancangan dan operasional kolam fakultatif yang ada di dunia dilihat berdasarkan beban BOD dan temperatur. Penentuan beban BOD ini menjadi sangat penting karena akan menentukan kecepatan pembentukan lumpur di dalam kolam yang selanjutnya akan mempengaruhi stratifikasi kolam menjadi zona aerobik dan anaerobik. Kedalaman kolam fakultatif berkisar antara (0,9-2,4) m. Kedalaman ini masih dapat mendukung pertumbuhan algae dan juga cukup dalam untuk mendapatkan kondisi anaerobik pada bagian dasar kolam. Kedalaman kolam arus tetap dipertahankan untuk menghindari terjadinya penguapan yang akan mengganggu stratifikasi zona yang ada juga mencegah bau. Rasio panjang dan lebar adalah (2-4):1. Gambar 24. Kolam Fakultatif (Sumber: Tilley, et. al., 2008) Contoh Perhitungan Kolam fakultatif akan dibangun untuk sebuah IPLT yang melayani 10.000 jiwa dimana hanya 70% populasi yang memiliki tangki septik. Cakupan layanan IPLT hanya sebesar 60%. Hasil 50
  • 51. pengamatan temperatur rata-rata pada bulan terdingin sebesar 25oC. Volume timbulan lumpur tinja menurut UNDP adalah sebesar 25 liter/orang/tahun. Beban BOD yang akan masuk ke kolam 2.000 mg/l. Jumlah pemakai tangki septik = 70% x 10.000 = 7.000 jiwa Cakupan layanan IPLT = 60% x 7.000 jiwa = 4.200 jiwa Volume timbulan lumpur = 25 l/o/thn x 4.200 jiwa = 105.000 l/tahun = 288 l/hari Beban BOD total = 288 l/hari x 2.000 mg/l = 576 gr/hari = 0,576 kg/hari Rencana disain: Beban BOD = 20 x 25oC – 120 = 380 kg/ha/hari Luas lahan yang dibutuhkan = Beban BOD Total / Beban BOD ………………….(9) = 0,576 kg/hari / 380 kg/ha/hari = 0.0015 ha = 15,16 m2 Kedalaman air dalam kolam antara (0,9-2,4) m dan ditetapkan 2m Tinggi jagaan antara (0,3-0,5) m dan ditetapkan 0,5m Maka kedalaman total kolam adalah 2,5m Volume kolam fakultatif = luas x kedalaman = 15,5m2 x 2,5m = 38,75m3 Waktu detensi = Volume kolam / Debit lumpur yang diolah tiap hari .……….……..(10) = 38,75 m3/288 liter/hari = 134,6 hari Untuk mempersingkat waktu, maka kolam fakultatif dibuat seri sehingga waktu operasi menjadi lebih singkat. Luas permukaan kolam = (panjang x lebar) kolam ..........................................................(7) 15,16m2 = 3 lebar x lebar Lebar = (15,16/3)0,5 = 2,25 m ≈ 2,3m Panjang = 2,3 m x 3 = 6,9 m Sebagai cadangan maka digunakan 2 (dua) unit kolam dengan dimensi panjang 6,9m, lebar 2,3m dan kedalaman 2,5m. Hasil perhitungan dapat digambarkan sebagai berikut: 2,3m KOLAM KOLAM 2,5m FAKULTATIF 1 FAKULTATIF 2 6,9m 6,9m Gambar 25. Dimensi Kolam Fakultatif 51
  • 52. 4.5.5 Kolam Maturasi (Maturation pond) Deskripsi dan Proses Kolam maturasi digunakan untuk mengolah air limbah yang berasal dari kolam fakultatif dan biasanya disebut sebagai kolam pematangan. Kolam ini merupakan rangkaian akhir dari proses pengolahan aerobik air limbah sehingga dapat menurunkan konsentrasi padatan tersuspensi (SS) dan BOD yang masih tersisa didalamnya. Fungsi utama kolam maturasi adalah untuk menghilangkan mikroba patogen yang berada di dalam limbah melalui perubahan kondisi yang berlangsung dengan cepat serta pH yang tinggi. Proses degradasi terjadi secara aerobik melalui kerjasama antara mikroba aerobik dan algae. Alga melakukan fotosintesis membantu meningkatkan konsentrasi oksigen di dalam air olahan yang digunakan oleh mikroba aerob. Kolam maturasi dirancang untuk mengolah limbah (septage) dengan konsentrasi organik yang sudah jauh lebih rendah dibandingkan konsentrasi limbah awal saat masuk IPLT. Pada umumnya kolam maturasi terdiri dari dua kolam yang disusun seri. Jumlah dan ukuran kolam bergantung pada kualitas effluent yang diinginkan. Dinding kolam diberi perkerasan selain untuk memperkuat juga untuk mencegah/menghindari terjadinya rembesan ke samping atau arah horisontal dinding kolam. Kelebihan • Biaya operasi rendah karena tidak menggunakan aerator • Mampu menyisihkan nitrogen hingga 80% dan amonia hingga 95% • Mampu menyisihkan mikroba patogen Kelemahan • Hanya mampu menyisihkan BOD dalam konsentrasi yang kecil Kriteria Disain Kolam maturasi berbentuk kolam penampung dengan perbandingan panjang dan lebar (2-4):1. Kedalaman kolam dibuat antara (1-2) m sehingga dapat mempertahankan kondisi aerobik.Waktu detensi pada kolam maturasi antara (5-15) hari. Dasar kolam harus dibuat kedap air untuk menghindari terjadinya rembesan atau infiltrasi ke dalam tanah. Kolam maturasi didesain berdasarkan pada prinsip pemisahan kandungan fecal coliform. Selain itu, jumlah kolam yang dibutuhkan bergantung pada jumlah bakteri fecal. Biasanya untuk dua kolam dengan waktu detensi (5-10) hari akan memiliki air olahan dengan konsentrasi BOD di bawah 30 mg/l. Jumlah bakteri coliform dalam lumpur tinja dapat dihitung dengan menggunakan persamaan di bawah ini: 52
  • 53. Ne = Ni / [ 1 + (Kb x t) ] ……………………………………………..……………..(11) Keterangan: Ne : jumlah bakteri coliform per-100 ml effluent Ni : jumlah bakteri coliform per-100 ml influent (jumlah yang diinginkan pada effluent berkisar antara 107-108 bakteri coliform per-100 ml Kb : 2,6 x (1,9T-20) / hari ......……………………………………………………..(12) T : temperatur paling dingin (oC) t : waktu operasi Persamaan (11) di atas digunakan untuk menghitung effluent pada satu kolam saja. Bila terdapat beberapa kolam yang disusun secara seri, maka perhitungan menggunakan persamaan (13) di bawah ini. Ne = Ni / [ (1 + Kb.t1) (1 + Kb.t2)….(1 + Kb.tn) ] ……………………………….(13) Keterangan: t1, t2, …..tn = waktu operasi kolam ke-1, kolam ke-2, kolam ke-n Gambar 26. Kolam Maturasi (Sumber: Tilley, et. al., 2008) Kriteria disain lainnya yang dapat digunakan untuk merancang kolam maturasi adalah sebagai berikut: Tinggi jagaan (free board) : (0,3-0,5) m Beban BOD volumetrik : (40-60) gr BOD/m3.hari Efisiensi pemisahan BOD : ≥ 60% BOD influent : ≤ 400 mg/l 53