SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 144
Downloaden Sie, um offline zu lesen
UJI KOMPETENSI JURNALIS
  ALIANSI JURNALIS INDPENDEN



Materi Kompetensi Kunci
        UKJ AJI
       Disiapkan Oleh Divisi Etik
                  &
     Biro Pendidikan AJI Indonesia

        Editor: Willy Pramudya


            Jakarta, 2012
Penjelasan AJI
          &
Peraturan Dewan Pers




         -1-
Uji Kompetensi Jurnalis AJI
                            Oleh Willy Pramudya

Uji Kompetensi Jurnalis (selanjutnya disingkat UKJ) yang diselenggarakan oleh Aliansi
Jurnalis Independen (AJI) merupakan salah satu agenda yang sejak lama didesakkan anggota
AJI untuk menjawab problem profesionalisme dan independensi jurnalis serta penegakan
etika jurnalistik di Indonesia. Oleh karena itu dalam perjalanan waktu, Kongres AJI Tahun
2011 di Makassar memasukkan UKJ sebagai salah satu program nasional yang harus
dijalankan oleh pengurus AJI. Selain itu UKJ juga dipandang sebagai salah satu cara AJI untuk
meningkatkan profesionalisme, terutama ketaatan jurnalis kepada kode etik jurnalistik (KEJ),
dan independensi jurnalis anggota AJI. Kemudian pada Rapat Kerja Nasional AJI 2012
(Februari, 2012) lahir kesepakatan bahwa dalam kurun waktu tiga tahun kepengurusan AJI
Indonesia (periode 2011-2014) setidaknya separuh dari jumlah anggota AJI telah memiliki
sertifikat kompeten.

AJI memahami bahwa UKJ bukanlah program eksklusif milik AJI. Dewan Pers sudah
menjadikan UKJ dengan nama Uji Kompetensi Wartawan (UKW) sebagai program yang telah
mulai dilaksanakan sejak tahun 2011. Demikian juga organisasi jurnalis di luar AJI. Sejak
Dewan Pers menaja UKW, memang ada beberapa anggota AJI yang mengikuti uji
kompetensi tersebut sehingga mereka telag memliki serttifikat kompetensi. Namun masih
banyak anggota AJI yang belum memiliki sertifikat sehingga AJI merasa perlu membuat
program UKJ versi AJI yang diharapkan lebih mencerminkan atau sesuai dengan visi dan
nilai-nilai perjuangan AJI.

Pada April 2012 untuk kali pertama AJI menyelanggarakan UKJ versi AJI yang
pelaksanaannya tetap sesuai dengan standar Dewan Pers. Namun UKJ perdana AJI yang
berlangsung di Wisma Hijau Cimanggis, Depok, Jawa Barat itu juga menjadi rintisan UKJ
versi AJI yang menggunakan standarnya sendiri setelah AJI berhasil merumuskan standar
kompetensi jurnalis (SKJ) yang lebih sesuai dengan ideologi, filosofi dan nilai -nilai
perjuangan AJI. Secara ringkas dapat dikatakan ada dua tujuan utama penyelenggaraan UKJ
di linmgkungan AJI. Pertama, untuk menyiapkan dan mengantarkan anggota agar memiliki
SKJ. Kedua, UKJ dan SKJ AJI menjadi acuan standar jurnalistik yang tinggi sekaligus gayut
dengan perkembangan pers.

Dari segi materi, UKJ AJI tentu berbeda dengan sistem pendidikan dan jurnalisme di
perguruan tinggi maupun sistem pengujiannya. Pada umumnya pendidikan dan oengujian
jurnalisme di perguruan tinggi diorganisasikan pada seputar tiga poros atau jalur
perkembangan. Pertama, poros yang mengajarkan norma-norma, nilai -nilai, perangkat,


                                            -2-
standar, dan praktek jurnalisme; kedua, poros yang menekan pada aspek-aspek sosial,
budaya, politik, ekonomi, hukum dan etika dari praktek jurnalisme, baik di dalam negeri
maupun di luar negeri; dan ketiga, poros yang terdiri dari pengetahuan umum mengenai
dunia dan tantangan -tantangan intelektual dalam dunia jurnalisme. [Lihat Buku Panduan
Penyusunan Kurikulum Pendidikan Jurnalisme (Versi Asli: Model Curricula for Journalisme
Education oleh Uniesco, 2007)]. Sementara UKJ AJI, sesuai dengan tujuannya lebih
diorganisasikan pada empat poros utama, yakni pertama, Pengetahuan Umum; kedua,
Jurnalisme; ketiga, Praktik Jurnalistik; dan keemoat, Pendalaman Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Pertama, Pengetahuan Umum, adalah materi yang berkaitan dengan materi tentang
Profesionalisme, Komunikasi Massa, Pers Nasional dan Media Global, Hukum Pers. Kedua,
Jurnalisme atau Teori Jurnalistik adalah materi uji yang berkaitan dengan Prinsip -prinsip
Jurnalistik,; Unsur Berita, Nilai Berita, dan Jenis Berita; Bahasa Jurnalistik; Fakta dan Opini;
Narasumber; dan Kode Etik Jurnalistik. Ketiga, Praktik Jurnalistik ialah materi uji yang
berkiatan dengan Tekbnik Melakukan Wawancara, Menjalankan Peliputan, Menyusun
Berita, Menyunting Berita, Merancang Materi dan Desain, Mengelola Manajemen Redaksi,
Menetapkan Kebijakan Redaksi, dan Menggunakan Peralatan Teknologi Informasi.
Keempat, Pendalaman KEJ, adalah materi uji yang menyangkut Pe metaan dan Penyikapan
Problem Etik serta Perincian Kode Etik ke Kode Perilaku.

Sementara itu dari segi metodologi, UKJ AJI menggunakan metode eklektik atau metode
penggabungan. Metode ini dipilih atas dasar asumsi bahwa tidak ada metode yang ideal
karena tiap -tiap metode memiliki segi -segi kekuatan dan kelemahan. Secara ringkas metode
eklektik yang dimaksudkan di sini ialah metode yang menggabungkan metode penugasan
antara lain menulis artikel atau esai di rumah sebelum mengikuti ujian tertutup, (me njawab
pertanyaan secara) tertulis, (tanya jawab secara) lisan, praktik dan simulasi, dan diskusi.
Adapun penyangkut pelaksanaanannya, UKJ AJI akan berlangsung selama dua hari hingga
dua setengah hari. Setiap pelaksanaan UKJ akan selalu diawali dengan sosialisasi konsep,
metodologi dan pelaksanaan ujian. Selain itu peserta juga akan diajak masuk ke pendalaman
materi yang berkaitan dengan KEJ, baik yang berkaitan dengan fenomena yang terjadi di
lapangan dan reflaksi atas penegakan KEJ. Oleh sebab itu sebelum memasuki sesi ujian
pokok, peserta UKJ AJI diwajibkan mengikuti sesi pendalaman masalah etika jurnalistik dan
refleksinya bersama narasumber/pakar/ profesional.

Sebagaimana dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa UKJ AJI diselenggarakan untuk
menyiapkan dan mengantarkan anggota AJI agar memiliki SKJ serta menjadikan UKJ sebagai
acuan standar jurnalistik yang tinggi dan gayut dengan perkembangan pers. Namun karena
para anggota AJI tidak berada dalam jenjang/tingkatan yang sama, , maka UKJ AJI diberikan
berdasarkan jenjang, yakni mulai dari jenjang senior hingga jenjang yunior. Namun
pelaksanaanya dilakukan secara serentak dalam satu satuan penyelenggaraan.




                                             -3-
Dari sisi penguji, setiap penyelenggaraan UKJ akan melibatkan satu tim penguji yang
dinamain Tim Penguji AJI Indonesia. Pada umumnya , selama UKJ berlangsung seorang
penguji hanya memiliki kemampuan menguji lima peserta UKJ. Oleh sebab itu, jumlah
anggota tim penguji UKJ akan terganting pada jumlah peserta.
Untuk saat ini, penyelenggaraan UKJ AJI diprioritaskan bagi jurnalis anggota AJI. Namun
untuk selanjutnya AJI tidak menutup peluang bagi jurnalis non-AJI yang ingin mengikuti UKJ
AJI dengan syarat bersedia memenuhi seluruh persyaratan yang berlaku maupun kultur
yang hidup di lingkungan AJI.



Willy Pramudya
Koordinator Divisi Etik dan Pengambangan Profesi AJI Indonesia




                                           -4-
PERATURAN DEWAN PERS
              Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010
                        Tentang
            STANDAR KOMPETENSI WARTAWAN
                     DEWAN PERS,

Menimbang :
  a. Bahwa diperlukan standar untuk dapat menilai profesionalitas wartawan;
  b. Bahwa belum terdapat standar kompetensi wartawan yang dapat digunakan oleh
      masyarakat pers;
  c. Bahwa hasil rumusan Hari Pers Nasional tahun 2007 antara lain mendesak agar Dewan Pers
      segera memfasilitas perumusan standar kompetensi wartawan;
  d. Bahwa demi kelancaran tugas dan fungsi Dewan Pers dan untuk memenuhi permintaan
      perusahaan pers, organisasi wartawan dan masyarakat pers maka Dewan Pers
      mengeluarkan Peraturan tentang Standar Kompetensi Wartawan.

Mengingat :
  1. Pasal 15 ayat (2) huruf F Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers;
  2. Keputusan Presiden Nomor 7/M Tahun 2007 tanggal 9 Februari 2007, tentang Keanggotaan
      Dewan Pers periode tahun 2006 – 2009;
  3. Peraturan Dewan Pers Nomor 3/Peraturan       -DP/III/2008 tentang Standar Organisasi
      Perusahaan Pers;
  4. Peraturan Dewan Pers Nomor 7/Peraturan-DP/III/2008 tentang Pengesahan Surat
      Keputusan Dewan Pers Nomor 04/SK-DP/III/2006 tentang Standar Organisasi Wartawan;
  5. Pertemuan pengesahan Standar Kompetensi Wartawan yang dihadiri oleh organisasi pers,
      perusahaan pers organisasi wartawan, dan masyarakat pers serta Dewan Pers pada hari
      Selasa, 26 Januari 2010, di Jakarta;
   6.   Keputusan Sidang Pleno Dewan Pers pada hari Selasa tanggal 2 Februari 2010 di Jakarta.

MEMUTUSKAN
Menetapkan : Peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi Wartawan.
Pertama : Mengesahkan Standar Kompetensi Wartawan sebagaimana terlampir.
Kedua : Peraturan Dewan Pers ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

                                                               Ditetapkan di Jakarta
                                                           Pada tanggal 2 Februari 2010
                                                                Ketua Dewan Pers,
                                                                         ttd
                                                            Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA

                                               -5-
BAGIAN I
                             PENDAHULUAN



A.     UMUM

     Menjadi wartawan merupakan hak asasi seluruh warga negara. Tidak ada ketentuan
     yang membatasi hak seseorang untuk menjadi wartawan. Pekerjaan wartawan sendiri
     sangat berhubungan dengan kepentingan publik karena wartawan adalah bidan
     sejarah, pengawal kebenaran dan keadilan, pemuka pendapat, pelindung hak-hak
     pribadi masyarakat, musuh penjahat kemanusiaan seperti koruptor dan politisi busuk.

     Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugasnya wartawan harus memiliki standar
     kompentensi yang memadai dan disepakati oleh masyarakat pers. Standar kompetensi
     ini menjadi alat ukur profesionalitas wartawan.

     Standar kompetensi wartawan (SKW) diperlukan untuk melindungi kepentingan publik
     dan hak pribadi masyarakat. Standar ini juga untuk menjaga kehormatan pekerjaan
     wartawan dan bukan untuk membatasi hak asasi warga negara menjadi wartawan.

     Kompetensi wartawan pertama-pertama berkaitan dengan kemampuan intelektual dan
     pengetahuan umum. Di dalam kompetensi wartawan melekat pemahaman tentang
     pentingnya kemerdekaan berkomunikasi, berbangsa, dan bernegara yang demokratis.

     Kompetensi wartawan meliputi kemampuan memahami etika dan hukum pers,
     konsepsi berita, penyusunan dan penyuntingan berita, serta bahasa. Dalam hal yang
     terakhir ini juga menyangkut kemahiran melakukannya, seperti juga kemampuan yang
     bersifat teknis sebagai wartawan profesional, yaitu mencari, memperoleh, menyimpan,
     memiliki, mengolah, serta membuat dan menyiarkan berita.

     Untuk mencapai standar kompetensi, seorang wartawan harus mengikuti uji
     kompetensi yang dilakukan oleh lembaga yang telah diverifikasi Dewan Pers, yaitu
     perusahaan pers, organisasi wartawan, perguruan tinggi atau lembaga pendidikan
     jurnalistik. Wartawan yang belum mengikuti uji kompetensi dinilai belum memiliki
     kompetensi sesuai standar kompetensi ini



                                          -6-
B.        PENGERTIAN

     Standar adalah patokan baku yang menjadi pegangan ukuran dan dasar. Standar juga
     berarti model bagi karakter unggulan.

     Kompetensi adalah kemampuan tertentu yang menggambarkan tingkatan khusus
     menyangkut kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan.

     Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik berupa
     mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi
     baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik,
     maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik,
     dan segala jenis saluran lainnya.

     Kompetensi wartawan adalah kemampuan wartawan untuk memahami, menguasai,
     dan menegakkan profesi jurnalistik atau kewartawanan serta kewenangan untuk
     menentukan (memutuskan) sesuatu di bidang kewartawanan. Hal itu menyangkut
     kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan.

     Standar kompetensi wartawan adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup
     aspek pengetahuan, keterampilan/keahlian, dan sikap kerja yang relevan dengan
     pelaksanaan tugas kewartawanan.


C.        TUJUAN STANDAR KOMPETENSI WARTAWAN

     1. Meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan.
     2. Menjadi acuan sistem evaluasi kinerja wartawan oleh perusahaan pers.
     3. Menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik.
     4. Menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi khusus penghasil
        karya intelektual.
     5. Menghindarkan penyalahgunaan profesi wartawan.
     6. Menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam industri pers.


D.        MODEL DAN KATEGORI KOMPETENSI

Dalam rumusan kompetensi wartawan ini digunakan model dan kategori kompetensi, yaitu:

Kesadaran (awareness): mencakup kesadaran tentang etika dan hukum, kepekaan
jurnalistik, serta pentingnya jejaring dan lobi.


                                          -7-
Pengetahuan (knowledge) : mencakup teori dan prinsip jurnalistik, pengetahuan umum,
dan pengetahuan khusus.

Keterampilan (skills): mencakup kegiatan 6M (mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi), serta melakukan riset/investigasi,
analisis/prediksi, serta menggunakan alat dan teknologi informasi.

Kompetensi wartawan yang dirumuskan ini merupakan hal-hal mendasar yang       harus
dipahami, dimiliki, dan dikuasai oleh seorang wartawan.

Kompetensi wartawan Indonesia yang dibutuhkan saat ini adal ah sebagai berikut:

 1. Kesadaran (awareness)
Dalam melaksanakan pekerjaannya wartawan dituntut menyadari norma-norma etika dan
ketentuan hukum. Garis besar kompetensi kesadaran wartawan yang diperlukan bagi
peningkatan kinerja dan profesionalisme wartawan adalah:

   1.1. Kesadaran Etika dan Hukum
   Kesadaran akan etika sangat penting dalam profesi kewartawanan, sehingga setiap
   langkah wartawan, termasuk dalam me ngambil keputusan untuk menulis atau
   menyiarkan masalah atau peristiwa, akan selalu dilandasi pertimbangan yang matang.
   Kesadaran etika juga akan memudahkan wartawan dalam mengetahui dan menghindari
   terjadinya kesalahan-kesalahan seperti melakukan plagiat atau menerima imbalan.
   Dengan kesadaran ini wartawan pun akan tepat dalam menentukan kelayakan berita
   atau menjaga kerahasiaan sumber.

   Kurangnya kesadaran pada etika dapat berakibat serius berupa ketiadaan petunjuk
   moral, sesuatu yang dengan tegas mengarahkan dan memandu pada nilai -nilai dan
   prinsip yang harus dipegang. Kekurangan kesadaran juga dapat menyebabkan wartawan
   gagal dalam melaksanakan fungsinya.

   Wartawan yang menyiarkan informasi tanpa arah berarti gagal menjalankan perannya
   untuk menyebarkan kebenaran suatu masalah dan peristiwa. Tanpa kemampuan
   menerapkan etika, wartawan rentan terhadap kesalahan dan dapat memunculkan
   persoalan yang berakibat tersiarnya informasi yang tidak akurat dan bias, menyentuh
   privasi, atau tidak menghargai sumber berita. Pada akhirnya hal itu menyebabkan kerja
   jurnalistik yang buruk.




                                          -8-
Untuk menghindari hal - hal di atas wartawan wajib:
    a. Memiliki integritas, tegas dalam prinsip, dan kuat dalam nilai. Dalam
       melaksanakan misinya wartawan harus beretika, memiliki tekad untuk
       berpegang pada standar jurnalistik yang tinggi, dan memiliki tanggung jawab.
    b. Melayani kepentingan publik, mengingatkan yang berkuasa agar bertanggung
       jawab, dan menyuarakan yang tak bersuara agar didengar pendapatnya.
    c. Berani dalam keyakinan, independen, mempertanyakan otoritas, dan
       menghargai perbedaan.

Wartawan harus terus meningkatkan kompetensi etikanya, karena wartawan yang terus
melakukan hal itu akan lebih siap dalam menghadapi situasi yang pelik. Untuk
meningkatkan kompetensi etika, wartawan perlu mendalami Kode Etik Jurnalistik dan
kode etik organisasi wartawan masing-masing.

Sebagai pelengkap pemahaman etika, wartawan dituntut untuk memahami dan sadar
ketentuan hukum yang terkait dengan kerja jurnalistik. Pemahaman tentang hal ini
pun perlu terus ditingkatkan. Wartawan wajib menyerap dan memahami Undang-
Undang Pers, menjaga kehormatan, dan melindungi hak-haknya.

Wartawan juga perlu tahu hal-hal mengenai penghinaan, pelanggaran terhadap privasi,
dan berbagai ke tentuan dengan narasumber (seperti off the record, sumber-sumber
yang tak mau disebut namanya/ confidential sources).

Kompetensi hukum menuntut penghargaan pada hukum, batas-batas hukum, dan
memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat dan berani untuk
memenuhi kepentingan publik dan menjaga demokrasi.

1.2. Kepekaan Jurnalistik
Kepekaan jurnalistik adalah naluri dan sikap diri wartawan dalam memahami,
menangkap, dan mengungkap informasi tertentu yang bisa dikembangkan menjadi
suatu karya jurnalistik.

1.3. Jejaring dan Lobi
Wartawan yang dalam tugasnya mengemban kebebasan pers sebesar-besarnya untuk
kepentingan rakyat harus sadar, kenal, dan memerlukan jejaring dan lobi yang seluas-
luasnya dan sebanyak-banyaknya, sebagai sumber informasi yang dapat dipercaya,
akurat, terkini, dan komprehensif serta mendukung pelaksanaan profesi wartawan. Hal -
hal di atas dapat dilakukan dengan:
 a. Membangun jejaring dengan narasumber;
 b. Membina relasi;
 c. Memanfaatkan akses;

                                      -9-
d. Menambah dan memperbarui basis data relasi;
    e. Menjaga sikap profesional dan integritas sebagai wartawan.

2. Pengetahuan (knowledge)
Wartawan dituntut untuk memiliki teori dan prinsip jurnalistik, pengetahuan umum, serta
pengetahuan khusus. Wartawan juga perlu mengetahui berbagai perkembangan informasi
mutakhir bidangnya.

    2.1. Pengetahuan umum
Pengetahuan umum mencakup pengetahuan umum dasar tentang berbagai masalah
seperti sosial, budaya, politik, hukum, sejarah, dan ekonomi. Wartawan dituntut untuk terus
menambah pengetahuan agar mampu mengikuti dinamika sosial dan kemudian menyajikan
informasi yang bermanfaat bagi khalayak.

    2.2. Pengetahuan khusus
Pengetahuan khusus mencakup pengetahuan yang berkaitan dengan bidang liputan.
Pengetahuan ini diperlukan agar liputan dan karya jurnalistik spesifik seorang wartawan
lebih bermutu.

    2.3. Pengetahuan teori dan prinsip jurnalistik
Pengetahuan teori dan prinsip jurnalistik mencakup pengetahuan tentang teori dan prinsip
jurnalistik dan komunikasi. Memahami teori jurnalistik dan komunikasi penting bagi
wartawan dalam menjalankan profesinya.

3. Keterampilan (skills)
Wartawan mutlak menguasai keterampilan jurnalistik seperti teknik menulis, teknik
mewawancara, dan teknik menyunting. Selain itu, wartawan juga harus mampu melakukan
riset, investigasi, analisis, dan penentuan arah pemberitaan serta terampil menggunakan
alat kerjanya termasuk teknologi informasi.

   3.1. Keterampilan peliputan (enam M)
Keterampilan peliputan mencakup keterampilan mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi. Format dan gaya peliputan terkait
dengan medium dan khalayaknya.

   3.2. Keterampilan menggunakan alat dan tekn ologi informasi
Keterampilan menggunakan alat mencakup keterampilan menggunakan semua peralatan
termasuk teknologi informasi yang dibutuhkan untuk menunjang profesinya.




                                           - 10 -
3.3. Keterampilan riset dan investigasi
Keterampilan riset dan investigasi mencakup kemampuan menggunakan sumber-sumber
referensi dan data yang tersedia; serta keterampilan melacak dan memverifikasi informasi
dari berbagai sumber.

   3.4. Keterampilan analisis dan arah pemberitaan
Keterampilan analisis dan penentuan arah pemberitaan mencakup kemampuan
mengumpulkan, membaca, dan menyaring fakta dan data kemudian mencari hubungan
berbagai fakta dan data tersebut. Pada akhirnya wartawan dapat memberikan penilaian
atau arah perkembangan dari suatu berita.


E.     KOMPETENSI KUNCI
Kompetensi kunci merupakan kemampuan yang harus dimiliki wartawan untuk mencapai
kinerja yang dipersyaratkan dalam pelaksanaan tugas pada unit kompetensi tertentu.
Kompetensi kunci terdiri dari 11 (sebelas) kategori kemampuan, yaitu:
       1. Memahami dan menaati etika jurnalistik;
       2. Mengidentifikasi masalah terkait yang memiliki nilai berita;
       3. Membangun dan memelihara jejaring dan lobi;
       4. Menguasai bahasa;
       5. Mengumpulkan dan menganalisis informasi (fakta dan data) dan informasi bahan
           berita;
       6. Menyajikan berita;
       7. Menyunting berita;
       8. Merancang rubrik atau kanal halaman pemberitaan dan atau slot program
           pemberitaan;
       9. Manajemen redaksi;
       10. Menentukan kebijakan dan arah pemberitaan;
       11. Menggunakan peralatan teknologi pemberitaan;


F.     LEMBAGA PENGUJI KOMPETENSI
Lembaga yang dapat melaksanakan uji kompetensi wartawan adalah:
   1. Perguruan tinggi yang memiliki program studi komunikasi/jurnalistik,
   2. Lembaga pendidikan kewartawanan,
   3. Perusahaan pers, dan
   4. Organisasi wartawan.
Lembaga tersebut harus memenuhi kriteria Dewan Pers.


G.     UJIAN KOMPETENSI
1. Peserta yang dapat menjalani uji kompetensi adalah wartawan.

                                          - 11 -
2. Wartawan yang belum berhasil dalam uji kompetensi dapat mengulang pada
     kesempatan ujian berikutnya di lembaga-lembaga penguji kompetensi.
 3. Sengketa antarlembaga penguji atas hasil uji kompetensi wartawan, diselesaikan dan
     diputuskan oleh Dewan Pers.
 4. Setelah menjalani jenjang kompetensi wartawan muda sekurang-kurangnya tiga tahun,
     yang bersangkutan berhak mengikuti uji kompetensi wartawan madya.
 5. Setelah menjalani jenjang kompetensi wartawan madya sekurang-kurangnya dua
     tahun, yang bersangkutan berhak mengikuti uji kompetensi wartawan utama.
 6. Sertifikat kompetensi berlaku sepanjang pemegang sertifikat tetap menjalankan tugas
     jurnalistik.
 7. Wartawan pemegang sertifikat kompetensi yang tidak menjalankan tugas jurnalistik
     minimal selama dua tahun berturut-turut, jika akan kembali menjalankan tugas
     jurnalistik, diakui berada di jenjang kompetensi terakhir.
 8. Hasil uji kompetensi ialah kompeten atau belum kompeten.
 9. Perangkat uji kompetensi terdapat di Bagian III Standar Kompetensi Wartawan ini dan
     wajib digunakan oleh lembaga penguji saat melakukan uji kompetensi terhadap
     wartawan.
 10. Soal ujian kompetensi disiapkan oleh lembaga penguji dengan mengacu ke perangkat
     uji kompetensi.
 11. Wartawan dinilai kompeten jika memperoleh hasil minimal 70 dari skala penilaian 10 –
     100.


H.     LEMBAGA SERTIFIKASI PROFESI
Lembaga penguji menentukan kelulusan wartawan dalam uji kompetensi dan Dewan Pers
mengesahkan kelulusan uji kompetensi tersebut.


I.     PEMIMPIN REDAKSI
Pemimpin redaksi menempati posisi strategis dalam perusahaan pers dan dapat
memberikan pengaruh yang besar terhadap tingkat profesionalitas pers. Oleh karena itu,
pemimpin redaksi haruslah yang telah berada dalam jenjang kompetensi wartawan utama
dan memiliki pengalaman yang memadai. Kendati demikian, tidak boleh ada ketentuan yang
bersifat diskriminatif dan melawan pertumbuhan alamiah yang menghalangi seseorang
menjadi pemimpin redaksi.

Wartawan yang dapat menjadi pemimpin redaksi ialah mereka yang telah memiliki
kompetensi wartawan utama dan pengalaman kerja sebagai wartawan minimal 5 (lima)
tahun.




                                          - 12 -
J.     PENANGGUNG JAWAB
Sesuai dengan UU Pers, yang dimaksud dengan penanggung jawab adalah penanggung
jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Dalam posisi itu
penanggung jawab dianggap bertanggung jawab terhadap keseluruhan proses dan hasil
produksi serta konsekuensi hukum perusahaannya. Oleh karena itu, penanggung jawab
harus memiliki pengalaman dan kompetensi wartawan setara pemimpin redaksi.


K.     TOKOH PERS
Tokoh-tokoh pers nasional yang reputasi dan karyanya sudah diakui oleh masyarakat pers
dan telah berusia 50 tahun saat standar kompetensi wartawan ini diberlakukan dapat
ditetapkan telah memiliki kompetensi wartawan. Penetapan ini dilakukan oleh Dewan Pers.


L.     LAIN-LAIN
Selambat-lambatnya dua tahun sejak diberlakukannya Standar Kompetensi Wartawan ini,
perusahaan pers dan organisasi wartawan yang telah dinyatakan lulus verifikasi oleh Dewan
Pers sebagai lembaga penguji Standar Kompetensi Wartawan harus menentukan jenjang
kompetensi para wartawan di perusahaan atau organisasinya.

Perubahan Standar Kompetensi Wartawan dilakukan oleh masyarakat pers dan difasilitasi
oleh Dewan Pers.




                                          - 13 -
Bagian II
                       KOMPETENSI WARTAWAN


A. ELEMEN KOMPETENSI
Elemen Kompetensi adalah bagian kecil unit kompetensi yang mengidentifikasikan aktivitas
yang harus dikerjakan untuk mencapai unit kompetensi tersebut. Kandungan elemen
kompetensi pada setiap unit kompetensi mencerminkan unsur pencarian, perolehan,
pemilikan, penyimpanan, pengolahan, dan penyampaian.

Elemen kompetensi wartawan terdiri dari:
    1. Kompetensi umum, yakni kompetensi dasar yang dibutuhkan oleh semua orang
       yang bekerja sebagai wartawan.
    2. Kompetensi inti, yakni kompetensi yang dibutuhkan wartawan dalam melaksanakan
       tugas-tugas umum jurnalistik.
    3. Kompetensi khusus, yakni kompetensi yang dibutuhkan wartawan dalam
       melaksanakan tugas-tugas khusus jurnalistik.


B. KUALIFIKASI KOMPETENSI WARTAWAN
Kualifikasi kompetensi kerja wartawan dalam kerangka kualifikasi nasional Indonesia
dikategorikan dalam kualifikasi I, II, III. Dengan demikian, jenjang kualifikasi kompetensi
kerja wartawan dari yang terendah sampai dengan tertinggi ditetapkan sebagai berikut:
     1. Kualifikasi I untuk Sertifikat Wartawan Muda.
     2. Kualifikasi II untuk Sertifikat Wartawan Madya.
     3. Kualifikasi III untuk Sertifikat Wartawan Utama.


C. JENJANG KOMPETENSI WARTAWAN
        1. Jenjang Kompetensi Wartawan Muda
        2. Jenjang Kompetensi Wartawan Madya
        3. Jenjang Kompetensi Wartawan Utama

Masing-masing jenjang dituntut memiliki kompetensi kunci terdiri atas:
       1. Kompetensi Wartawan Muda: melakukan kegiatan.
       2. Kompetensi Wartawan Madya: mengelola kegiatan.
       3. Kompetensi Wartawan Utama: mengevaluasi dan memodifikasi proses kegiatan.




                                           - 14 -
D. ELEMEN UNJUK KERJA
Elemen unjuk kerja merupakan bentuk pernyataan yang menggambarkan proses kerja pada
setiap elemen kompetensi. Elemen kompetensi disertai dengan kriteria unjuk kerja harus
mencerminkan aktivitas aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja.

1.1.   Elemen Kompetensi Wartawan Muda
       a. Mengusulkan dan merencanakan liputan.
       b. Menerima dan melaksanakan penugasan.
       c. Mencari bahan liputan, termasuk informasi dan referensi
       d. Melaksanakan wawancara.
       e. Mengolah hasil liputan dan menghasilkan karya jurnalistik.
       f. Mendokumentasikan hasil liputan dan membangun basis data pribadi.
       g. Membangun dan memelihara jejaring dan lobi.

1.2.   Elemen Kompetensi Wartawan Madya
       a. Menyunting karya jurnalistik wartawan.
       b. Mengompilasi bahan liputan menjadi karya jurnalistik.
       c. Memublikasikan berita layak siar.
       d. Memanfaatkan sarana kerja berteknologi informasi.
       e. Merencanakan, mengoordinasikan dan melakukan liputan berkedalaman
          (indepth reporting).
       f. Merencanakan, mengoordinasikan dan melakukan liputan investigasi
          (investigative reporting).
       g. Menyusun peta berita untuk mengarahkan kebijakan redaksi di bidangnya.
       h. Melakukan evaluasi pemberitaan di bidangnya.
       i. Membangun dan memelihara jejaring dan lobi.
       j. Memiliki jiwa kepemimpinan.

1.3.     Elemen Kompetensi Wartawan Utama
       a. Menyunting karya jurnalistik wartawan.
       b. Mengompilasi bahan liputan menjadi karya jurnalistik.
       c. Memublikasikan berita layak siar.
       d. Memanfaatkan sarana kerja berteknologi informasi.
       e. Merencanakan, mengoordinasikan dan melakukan liputan berkedalaman (indepth
            reporting).
       f. Merencanakan, mengoordinasikan dan melakukan liputan investigasi
            (investigative reporting).
       g. Menyusun peta berita untuk mengarahkan kebijakan redaksi.
       h. Melakukan evaluasi pemberitaan.
       i. Memiliki kemahiran manajerial redaksi.
       j. Mengevaluasi seluruh kegiatan pemberitaan.

                                        - 15 -
k. Membangun dan memelihara jejaring dan lobi.
     l. Berpandangan jauh ke depan/visioner.
     m. Memiliki jiwa kepemimpinan.




E. TINGKATAN KOMPETENSI KUNCI

Rincian tingkatan kemampuan pada setiap kategori kemampuan digunakan sebagai basis
perhitungan nilai untuk se tiap kategori kompetensi kunci. Hal itu digunakan dalam
menetapkan tingkat/derajat kesulitan untuk mencapai unit kompetensi tertentu.




                                      - 16 -
Materi I

 PENGETAHUAN UMUM
          • Jurnalis sebagai Profesi
• Pers dan Perjanalan Nasionalisme Indonesia
             • Hukum Jurnalistik




                   - 17 -
Jurnalis sebagai Profesi
                              Oleh P. Hasudungan Sirait

Jurnalis/wartawan/pewarta adalah sebuah profesi seperti halnya dokter, pilot, akuntan,
apoteker, dosen, hakim, jaksa, pengacara, atau notaris. Tapi apa sebenarnya yang dimaksud
dengan profesi? Apa bedanya dengan pekerja lain, katakanlah pengamen, tukang tambal
ban, atau kondektur bus kota? Bukankah semua itu sama-sama pekerjaan?

Orang awam sering menyamakan begitu saja pengertian pekerjaan dengan profesi. Jurnalis
pun masih banyak yang seperti itu. Mereka keliru, tentu. Bahwa profesi adalah pekerjaan,
itu jelas. Tapi ada bedanya? Ada kualifikasi yang harus dipenuhi agar suatu bidang pekerjaan
bisa dikategorikan sebagai profesi dan pelakunya disebut profesional.
Lihatlah tabel di bawah. Apa yang membedakan antara lajur kiri dan kanan?

Pekerjaan                                    Profesi
Sopir                                        Arsitek
Tukang pijat                                 Pilot
Tukang ojek                                  Akuntan
Bakul jamu                                   Guru-dosen
Pemulung                                     Pengacara
Pengamen                                     Geolog
Tukang tambal ban                            Dokter
Pekerja seks komersil (PSK)                  Disainer grafis
Pembantu rumah tangga                        Arkeolog
Calo                                         Planolog
Pengemis                                     Tentara
Montir                                       Astronom

Ada yang mengatakan yang di lajur kanan berketrampilan. Memang benar. Tapi apakah yang
di lajur kiri tidak demikian? Tukang pijat atau pembantu rumah tangga, contohnya; tak usah
menyebut PSK. Bukankah banyak dari mereka yang terampil betul menjalankan
pekerjaannya? Sebaliknya, bukankah dokter atau pengacara ada juga yang tak becus
melakoni bidangnya? Terang, ketrampilan tak bisa kita jadikan pembeda. Kalau begitu, apa?

‘Profesi’ dan ‘profesional’ merupakan dua kata yang sangat bertaut. Yang satu kata benda,
yang satu lagi kata sifat. Mereka yang berada di jalur sebuah profesi dan memenuhi
kualifikasi bidangnya itulah yang disebut profesional. Memang sering juga kata ‘profesional’
dimaknai lebih luas. Yaitu mereka yang menghidupi atau menafkahi diri dengan menggeluti
dunia tersebut sepenuhnya. Penyanyi, pemusik, aktor, pemain sepakbola, petinju, atau
pegolf profesional, misalnya. Atribut ini dipakai untuk membedakan me reka dari

                                           - 18 -
sejawatnya yang amatir; maksudnya: melakoni pekerjaan itu bukan sebagai jalan hidup.
Kata lainnya, sambilan belaka. Supaya bisa disebut profesional seseorang harus memenuhi
standar kompetensi bidangnya selain berfokus di sana. Mari kita telaah apa sesungguhnya
yang dimaksud dengan profesi dan profesional itu.

Kualifikasi
Ada sejumlah syarat agar sebuah pekerjaan merupakan profesi dan pelakonnya dikatakan
profesional. Ini berlaku universal. Berikut paparannya.

Pendidikan khusus
Mereka yang bergelut di bidang tersebut telah menjalani pendidikan khusus. Sekolah
akuntansi, perawat,      kebidanan, geologi, pertambangan, kepolisian, penerbangan,
pelayaran, kepengacaraan, kehakiman, atau grafis, misalnya. Jenjang pendidikan ini macam-
macam. Tapi kalau menggunakan ukuran yang berlaku di negeri kita sekarang minimal D-3.
Strata Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)—sekolah ini naik daun setelah sebuah SMK di
Solo berhasil membuat mobil—belum cukup. Bisa juga merupakan kursus singkat tapi
pesertan ya paling tidak telah berijazah D-3. Peserta kursus calon pengacara, umpanya,
harus lulusan program S-1.

Tukang pijat atau montir, misalnya, sebagian pernah mengikuti pendidikan juga. Kursus,
tepatnya. Bagaimana predikat mereka ini—tidakkah sama? Tetap saja tidak, sebab syarat
berikut tidak semuanya mereka penuhi.

Ketrampilan khusus
Setelah mengikuti pendidikan khusus dengan sendirinya peserta memperoleh ketrampilan
khusus. Yang dimaksud dengan ketrampilan adalah kecakapan yang merupakan perpaduan
antara wawasan dengan kemampuan praktik. Seorang lulusan kursus pengacara misalnya
akan memiliki ketrampilan seorang pengacara. Antara lain kepiawaian beracara di
pengadilan, mendampingi klien, menyusun pembelaan (pledoi), atau menyiapkan jawaban
(replik). Atau, seorang yang telah lulus dari fakultas kedokteran dan telah bergelar dokter
akan mempunyai ketrampilan menangani pasien yang penyakitnya yang tidak spesifik.
Selesma, sakit perut, muntaber, demam berdarah, radang tenggorokan, luka bakar, atau
kadas-panu, umpamanya

Standar kompetensi
Ketrampilan tadi terukur. Artinya tingkat penguasaan ketrampilan itu definitif, tidak
tergantung situasai [baca: tempat dan waktu]. Ketrampilan biasanya dibagi menjadi
kecakapan standar (baku) dan tambahan. Yang harus dikuasai paling tidak yang baku. Di
mana pun seorang pilot akan bisa menerbangkan pesawat yang telah dikenalnya dengan
baik. Akuntan pun demikian: ia akan bisa memeriksa keuangan sebuah perusahaan atau
lembaga apa pun dan di mana pun asal pembukuan tersebut standar. Seyogyanya seorang

                                           - 19 -
jurnalis pun demikian. Ia akan bisa menjalankan news gathering, news writing, dan news
reporting kapan saja dan di mana saja.

Organisasi
Memiliki pendidikan khusus, ketrampilan khusus, serta standar kompetensi saja belum
cukup. Seseorang harus menjadi bagian dari sebuah organisasi profesi supaya disebut
profesional. Pasalnya, organisasilah yang akan menguji secara berkala kemampuan
profesional tersebut menentukan jenjang, serta yang menjadi regulator mereka. Bila ada
persoalan terkait dengan profesi—misalnya dugaan malpraktik—organisasilah yang menjadi
otoritas yang memeriksa serta memutus perkaranya—dalam hal ini majelis kode etik. Di
Indonesia, organisasi profesi ada yang tunggal dan ada yang jamak. Dokter, misalnya, hanya
berwadah satu yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI); akuntan pun demikian, hanya Ikatan
Akuntan Indonesia (IAI). Sedangkan pengacara organisasinya beberapa termasuk Ikatan
Advokat Indonesia (Ikadin), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), dan Serikat Pengcara
Indonesia (SPI). Organisasi wartawan juga majemuk. Ada AJI, PWI, Ikatan Jurnalis Televisi
Indonesia (IJTI), Pewarta Foto, dan banyak lagi.

Kode etik
Setiap anggota organisasi profesi harus menjujung tinggi kode etiknya. Isi kode etik sebuah
profesi pada dasarnya sama, kendati lembaganya macam-macam. Kode etik berfungsi
sebagai rambu pengaman bagi anggota profesi baik ketika berhubungan dengan sejawat
maupun dengan pihak luar. Ibarat rel, di sepanjang lintasan itulah kereta api wartawan lalu-
lalang. Selama taat kode etik, mereka tak perlu khawatir bertabrakan dengan kendaraan
baik yang sejenis maupun yang berbeda. Artinya, tak usah mencemaskan munculnya
gugatan dari pihak mana pun terkait dengan pemberitaan. Kalaupun diperkarakan, mereka
bisa membela diri dengan menggunakan bukti-bukti karya profesionalnya.



Kualifikasi tinggi
Supaya gambaran tentang syarat profesi ini jelas mari kita lihat potret tiga profesi di negeri
kita ini yaitu dokter, pilot, dan pengacara. Kita mulai dari dokter.

Bagaimana prosesnya untuk menjadi seorang dokter di Indonesia? Panjang tahapannya;
barangkali malah yang terpanjang. Awalnya seseorang masuk fakultas kedokteran (FK)
lewat seleksi yang ketat. Standar lulusnya (passing grade) merupakan yang tertinggi, sama
dengan jurusan favorit di bidang teknik. Sejak zaman baheula, hanya orang-orang pintarlah
yang diterima di FK UI, UGM, Airlangga, Trisakti, Udayana, USU, dan perguruan tinggi top
lainnya. Sampai sekarang pun—termasuk setelah perguruan tinggi menjadi badan usaha
yang serba komersil—masih demikian adanya.
Sesudah mengikuti kuliah strata-1 sekitar 3,5 tahun sang mahasiswa pun pun menjadi
sarjana kedokteran (S. Ked). Untuk menjadi dokter, ia wajib mengikuti pendidikan profesi

                                            - 20 -
sekitar 1,5 tahun. Dengan sebutan dokter muda, ia harus magang sebagai co -assistant
(koass) di rumah sakit. Setelah dilantik menjadi dokter, dia disyaratkan mengikuti ujian
kompetensi kedokteran (ketentuan ini berlaku sejak 2007). Satu lagi, ia dianjurkan ikut
program pengabdian di daerah dengan menjadi pegawai tidak tetap (PTT). Dulu sebutannya
‘dokter Inpres’. Dalam beberapa tahun belakangan ini saja PTT tidak wajib lagi.
Kalau semua persyaratan sudah dipenuhi baru izin praktik sebagai dokter bisa keluar untuk
dia. Izinnya adalah dokter umum. Artinya penyakit umum saja yang boleh ia tangani. Ia tak
boleh mengoperasi pasien. Bahkan bila merekomendasi pasien untuk dioperasi pun tak
boleh sembarang. Ingat kasus dr. Boyke (Boyke Dian Nugraha, kolumnis ihwal seksologi). Izin
praktik dia dicabut 6 bulan oleh Majelis Kehormatan IDI pada November 1991 karena
dianggap malpraktik. Ceritanya, ia telah merujuk seorang pasien ke sebuah rumah sakit
untuk dioperasi (kista). Operasi ternyata bermasalah dan pasien menyoal.
Setelah bersekolah lagi mengambil program spesialis barulah seorang dokter bisa
menangani penyakit khusus seperti kanker, lever, stroke, atau gagal ginjal.
Teranglah bahwa tak mudah untuk menjadi dokter. Kuliahnya berat dan praktikumnya
melelahkan. Untuk merampungkan studi, lebih lama dibanding jurusan lain umumnya. Saat
ini rata-rata perlu sekitar 6,5 tahun. Kalau di fakultas lain itu sudah setara master.
Untuk menjadi pilot tahapannya juga jelas. Sama dengan orang yang ingin menjadi dokter,
harus lulus seleksi sekolah dulu. Dalam hal ini sekolah penerbangan macam yang ada di
Curug dan di Akademi Angkatan Udara, Yogyakarta. Kesehatan menjadi salah satu y          ang
paling menentukan dalam seleksi. Mata, telinga, jantung, paru-paru dan organ lain harus
prima. Setelah lolos seleksi yang ketat—kecerdasan antara lain materi ujinya—baru peserta
menjalani pendidikan. Simulasi dan latihan terbang di bawah bimbingan instruktor itulah
antara lain materi pendidikan (saat ini programnya sudah ada yang enam bulan saja). Kalau
peserta sudah lulus, bekerja sebagai co -pilot dulu dan itu pun untuk pesawat kecil. Jika
sudah terampil dan jam terbang cukup baru bisa menjadi pilot. Untuk menjadi pilot pesawat
berbadan besar perlu kualifikasi tambahan.
Agar bisa berpraktik sebagai pengacara pun jelas prosedurnya. Saat ini ketentuannya
adalah ikut kursus calon pengacara dulu setelah menjadi sarjana hukum. Syarat selanjutnya
adalah magang di kantor pengacara. Tanpa ikut prosedur ini izin praktik tak akan keluar.
Dari contoh dokter, pilot, dan pengacara ini kita bisa mengatakan bahwa ciri utama dari
setiap profesi adalah adanya, antara lain, kompetensi terukur hasil pendidikan. Bagaimana
dengan wartawan—apakah sama?

Profesi terbuka
Wartawan sejak lama dikenal sebagai profesi terbuka. Tidak seperti profesi lain umumnya,
pendidikan khusus tak disyaratkan di dunia ini. Artinya tidak harus lulusan sekolah jurnalistik
baru bisa menjadi pewarta; dari sekolah mana pun bisa. Ini tak hanya terjadi di Indonesia
tapi juga di seluruh dunia. Itulah kekhasan profesi ini. Memang di negara tertentu seperti
Swedia ada juga ketentuan bahwa sarjana dari jurusan jurnalistik saja yang boleh menjadi
jurnalis. Tapi hal seperti itu kasuistik saja.

                                             - 21 -
Di Indonesia sendiri baru dalam beberapa tahun terakhir saja kebersekolahan dikaitkan
dengan kewartawanan. Sekarang umumnya harus berijazah strata-1, dulu yang tak
bersekolah tinggi pun tak apa. Sejumlah tokoh pers negeri ini, termasuk Mas Marco, dan
pendiri kantor berita Antara , Adam Malik, bukanlah orang bersekolah tinggi. Kendati hanya
bersekolah di tingkat dasar, Adam Malik kemudian menjadi menteri luar negeri sebelum
menjadi wakil presiden. Sebagai jurnalis ia sangat lincah dan tangkas.
Dulu, di negeri kita banyak orang yang menjadi wartawan karena pertemanan. Artinya
mereka bergabung dengan redaksi sebuah media karena diajak temannya yang bekerja di
sana. Kalau tidak karena keluarganya ada di media massa itu. Sampai sekarang pun praktik
seperti ini masih ada saja. Belakangan rekrutmen terbuka menjadi kelaziman. Media yang
bersangkutan mengiklankan lowongan kerja yang mereka buka. Pengiklanan bisa dilakukan
di media sendiri, media lain, atau keduanya. Syarat disebutkan. Sekarang, antara lain
minimal S-1. Sebagai catatan, koran Bisnis Indonesia-lah yang pertama kali memberlakukan
syarat ini di lingkungan media massa kita. Kala itu, pada awal 1990-an, syarat ini ini
dianggap aneh dan mengada-ada oleh banyak wartawan kita.

Selanjutnya pelamar yang dianggap memenuhi syarat diseleksi. Ujiannya bertahap.
Materinya, lazimnya: psikotest, menulis, wawancara, dan kesehatan. Kalau lulus ya
selekasnya diterjunkan ke lapangan. Tanpa pembekalan? Ya; begitu ad anya dan ini bukan
sesuatu yang aneh di dunia pers Indonesia.

Memang, ada media yang melatih dulu calon wartawannya sebelum melepaskan mereka ke
lapangan. Kompas misalnya, sekian lama mewajibkan calon reporternya mengikuti in-house
training sekitar setahun sebelum mereka terjun ke lapangan.        Majalah Tempo pun
melakukan hal yang sama tapi dengan waktu yang lebih singkat. Pun, modelnya tidak
seintens Kompas; kelas-kelas berkala saja. Bisnis Indonesia dan media massa yang sudah
mapan secara finansial lebib banyak mengikuti langkah Tempo.

Masalahnya adalah media established seperti itu tak banyak. Praktik yang jamak terjadi
adalah calon reporter diterjunkan begitu saja ke lapangan tanpa pembekalan pengetahuan
jurnalistik lebih dulu. Terjun bebas, sebutannya. Manajemen media berharap para new
comer itu akan belajar dari pengalaman (learning by doing). Kalau manajemen berbaik hati
paling orang-orang baru itu ditandemkan beberapa waktu ke wartawan yang sudah
berpengalaman. Kalau saja kelak ada pelatihan internal susulan atau penyekolahan ke
lembaga pendidikan jurnalistik macam LP3Y (Yogyakarta), Lembaga Pers Dokter Soetomo
(LPDS), ISAI-SBM, atau UI (Jakarta) masih lumayan.
Sebagaimana profesi lain, idealnya seorang calon wartawan sudah memiliki kualifikasi
tertentu sebelum diterjunkan ke lapangan. Setidaknya, ia mengetahui hakekat profesinya,
aturan main yang baku (standar jurnalistik), rambu-rambu (kode etik dan regulasi pers), dan
memiliki kecakapan dalam wawancara dan menulis. Hal ini perlu agar nantinya tak

                                           - 22 -
merugikan baik medianya sendiri, narasumber, maupun publik. Sebab bagaimanapun karya
jurnalistik yang mereka hasilkan akan dibaca atau didengar atau ditonton publik. Begitu
diwartakan, berita mereka kontan masuk ranah publik. Jadi tidak boleh spekulatif atau
main-main. Faktanya tidak demikian: masih jauh panggang dari api. Jangankan reporter
baru, wartawan yang jam terbangnya tinggi pun terlalu banyak yang belum menguasai
pengetahuan elementer tadi. Maka profesionalisme pun masih jauh. Akibatnya? Pers kita
sering bermasalah. Tak hanya pers yang modalnya kembang kempis, melainkan pers yang
sejahtera juga. Malapraktik tuduhannya. Sebagai gambaran, majalah Tempo yang termasuk
paling mapan di Republik ini jika dilihat dari segi apa pun, pernah tersandung perkara sejenis
dan akibatnya sempat kelimpungan.

Profesionalisme jurnalis, karena itu, tidak bisa ditawar-tawar lagi . Jika tidak, taruhannya
terlalu besar. Media bisa digugat pailit oleh mereka yang me rasa dirugikan. Tak hanya
Tempo, banyak sudah media massa yang mengalaminya. Sebab itu UKJ yang kini
diprogramkan oleh AJI diperlukan betul adanya. Paling tidak dia akan mebebrikan
perlindungan ke dalam dan keluar. Kalau mesin saja harus ditun-up, scanner dikalibrasi,
atau alat musik ditala secara berkala, jurnalis pun mesti demikian. Secara periodik
kemampuan profesionalnya perlu diuji; tidak sekali saja seumur hidup. Kalau tidak, akan
seperti prosesor Pentium 3 di zamancore duo: serba lelet, kagok dan gagap.




                                            - 23 -
Pers dan Perjanalan Nasionalisme Indonesia
                             Oleh Didik Supriyanto

Dalam perjalanan Republik ini selalu muncul kelompok-kelompok yang menjadi aktor
penting dalam berbagai momentum sejarah. Mahasiswa kerap menjadi pendobrak
kebekuan zaman, mulai masa kebangkitan nasional sampai masa reformasi. Tentara menjadi
pelaku penting pada masa perang kemerdekaan dan penguasa panggung Orde Baru. Politisi
mendominasi kehidupan politik pada pascakemerdekaan hingga saat Soekarno menjadi
kekuatan yang monolitik. Kini, sesudah Soeharto tumbang, dominasi politisi nyaris tak
tertandingi oleh kelompok apa pun , sehingga kehidupan sosial politik di Republik ini nayris
identik dengan tarik-menarik antarpolitisi dengan berbagai kepentingannya.
Lantas, di mana posisi pers pada berbagai momentum sejarah penting yang terjadi di
Republik ini? Apakah mereka punya peran yang signifikan dalam berbagai perubahan sosial
politik sehingga patut dicatat dalam sejarah? Apakah pernyataan “lebih baik tidak ada
pemerintah an daripada tidak ada pers bebas” relevan diperbincangkan dalam konteks
Indonesia? Atau, pers hanyalah penikmat kebebasan yang telah diperjuangkan oleh
kelompok-kelompok lain, sementara kontribusinya bagi proses pemajuan kehidupan
masyarakat, bangsa dan negara patut dipertanyakan?
Sebelum menjawab pertanyaan -pertanyaan tersebut, kiranya perlu dijelaskan terlebih
dahulu, bahwa pers memang bukan aktor murni sebagaimana mahasiswa, tentara atau
politisi. Pers adalah institusi sosial yang produknya hadir secara periodik ke hadapan publik
dalam betuk koran, tabloid, majalah dan buletin yang berisi tulisan (berita, ulasan, artikel)
dan ilustrasi (gambar dan foto). Oleh sebab itu, dalam berbagai momen penting sejarah,
pers tidak hadir sebagai pelaku, melainkan lebih sebagai katalistor. Artinya, pers bisa aktif
mendukung gagasan yang tengah berkembang atau aktor yang tengah bergerak; sebaliknya
pers juga mengkritisi setuasi buruk yang tengah terjadi atau mencerca aktor yang buruk
perangainya.

Prinsip-prinsip Jurnalisme

Sebagai institusi sosial pers berkembang berdasarkan prinsip-prinsip jurnalisme yang
diemban oleh para pengelolanya. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001) menyebutkan
sembilan prinsip dasar jurnalisme, yaitu (1) kewajiban jurnalisme adalah pada kebenaran;
(2) loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga masyarakat; (3) intisari jurnalisme
adalah disiplin dan verifikasi; (4) para praktisinya harus menjaga independensi dari sumber
berita; (5) jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan; (6) jurnalisme harus
menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan terhadap warga; (7) jurnalisme
harus berupaya membuat hal yang penting, menarik dan relevan; (8) jurnalisme harus


                                            - 24 -
menjaga agar berita komprehensif dan proporsional; (9) para praktisinya harus
diperbolehkan mengikuti nurani mereka.
Kesembilan prinsip dasar jurnalisme rumusan Kovach dan Rosenstiel tersebut memang
dibuat berdasarkan sejarah pers Eropa dan AS serta wawancara sejumlah editor di sana.
Tetapi tak perlu disangsikan lagi bahwa prinsip-prinsip itu juga dipegang teguh oleh para
pengelola pers di daratan lain bumi ini, termasuk Indonesia. Bahkan, seperti ditulis oleh
Abdurrachman Surjomihardjo dkk (1980), ketika Medan Prijaji, yakni koran pertama yang
diterbitkan pribumi pada 1907 di Betawi, prinsip-prinsip jurnalisme itu langsung
dioperasionalisakan oleh RM Tirto Adhi Soerjo, sehingga ‘sang pemula’ ini sempat dibuang
penguasa Belanda ke Lampung. Demikian juga koran sezamannya di Semarang yang
dipimpin oleh JPH Pangemanan, Warna Warta, redakturnya berkali-kali diadili karena
tulisan -tulisannya menyerang pemerintah kolonial. Ini agak berbeda dengan koran -koran
yang diterbitkan orang Tionghoa dan keturunan Belanda. Dua kelompok terkahir ini lebih
mengedepankan berita perdagangan dan kriminalitas.


Pelatak Dasar Bahasa Indonesia
Koran Medan Prijaji kali pertama di Betawi pada 1907 dalam bentuk mingguan. Koran yang
kemudian menjadi harian pada 1910 ini sebetulnya bukan koran pertama yang
menggunakan bahasa Melayu. Media yang tercatat sebagai media berbahasa Melayu yang
pertama ialah majalah Bintang Oetara yang diterbitkan di Roterdam pada 1856 oleh pecinta
bahasa Melayu Dr. PP Roorda van Eysinga. Lalu di Surabaya pada 1861, terbit majalah
Bintang Soerabaja yang dimotori oleh peranakan Belanda dan Tionghoa. Di Batavia pada
1883 seorang pengusaha Indo menerbitkan Tjahaja India, sedang pengusaha keturunan
Belanda lainnya menerbitkan Bintang Barat.
Majalah-majalah berbahasa Melayu generasi pertama tersebut merupakan kelanjutan binis
media berbahasa Belanda dan Cina yang mulai berkembang di Hindia Belanda pada abad ke-
18. Karena pangsa pasar media cetak berbahasa Belanda dan Tionghoa sangat terbatas,
orang-orang Belanda dan Tionghoa menambah pangsa pasar media lewat penerbitan koran
atau majalah berbahasa Melayu. Pada titik inilah dimulai peletakkan dasar bahasa Melayu
sebagai bahasa nasional. Pertama, bahasa Melayu yang merupakan lingua franca, mulai
diformulasikan sebagai bahasa tulis; kedua, dengan tersebarluasnya koran dan majal ah,
maka bahasa Melayu (yang telah diformulasikan dalam bentuk tulis itu) juga menjadi bahasa
pergaulan antarkomunitas yang lebih luas di tanah Hindia Belanda.
Sebagai ilustrasi, Taufik Abdullah (1999) mengutip kritik yang ‘sehat, tapi aneh’ dari seorang
penulis di Tjahaja India terhadap bahasa yang digunakan Bintang Barat. Penulis tersebut
mengecam kecenderungan Bintang Barat yang suka memakai bahasa Melayu -Tinggi yang
disebutnya sebagai bahasa ‘Minangkerbau’. Menurut penulis itu, jika Bintang Barat terus
memakai bahasa elit itu, koran tersebut tidak akan laku karena tidak banyak orang yang
memahami bahasa tersebut. Oleh karena itu, ia menyarakan agar Bintang Barat tetap
memakai bahasa ‘Melajoe Betawi’, sebab bahasa ini mengandung unsur-unsur yang dipakai
di seluruh tanah Hindia.

                                            - 25 -
Bahasa ‘Melajoe Betawi’ atau Melayu-Pasar adalah bahasa yang paling komunikatif di
tengah -tengah tumbuhnya masyarakat perkotaan akibat pertumbuhan ekonomi kolonial.
Para pendatang yang berasal dari berbagai polosok memiliki tradisi dan bahasa yang
berbeda-beda, seakan membentuk komunitas orang-orang asing di perkotaan. Mungkin
hanya pasarlah sebagai tempat di mana mereka bisa bertemu dan mengadakan transaksi
untuk keperluan masing-masing. Transaksi ini dimungkinkan karena telah tumbuh simbol-
simbol komunikatif yang dibawakan oleh bahasa Melayu. Sekali lagi, pada titik inilah pers
pada awal pertumbuhannya telah memperkuat kedudukan bahasa Melayu sebagai sistem
simbol dan mentransformasi komunitas orang-orang asing menjadi sebuah masyarakat.



Pembuka Tabir Perasaan Senasib
Seperti disebutkan sebelumnya, koran -koran berbahasa Melayu yang diterbitkan oleh
kalangan nonpribumi, dalam hal ini keturunan Belanda dan Tionghoa, lebih banyak
mewartakan perkara perdagangan dan kriminalitas serta menuliskan cerita-cerita
bersambung, baik dari hikayat lama, rekaman dari cerita lisan ataupun hasil rekaan baru.
Namun di sela-sela berita dagang dan kriminal serta hikayat, sering muncul berita-berita luar
negeri dan kadang-kadang laporan tentang kesewenang-wenangan pejabat Belanda atau
pribumi terhadap orang-orang kecil.
Menurut Taufik Abdullah (1999), betapapun masih sangat sederhana, saat itu koran dan
majalah berbahasa Melayu telah memperkenalkan corak teks yang baru, yakni teks yang
memberitakan peristiwa yang terus berlalu dan berubah. Lebih dari itu, berita-berita yang
disajikan koran dan majalah berbahasa Melayu bisa dilihat dan dirasakan secara langsung
oleh pembacanya. Teks yang diberikan oleh pers adalah teks yang kehadirannya seakan-
akan mengajarkan bahwa peristiwa-peristiwa terjadi dalam konteks waktu yang terus
berjalan. Tentu saja ini berebeda dengan teks lama yang sering dilisankan kepada penduduk
berupa pesa-pesan yang sifatnya abadi seperti ajaran agama, adat sopan santun, kearifan
hidup dan sebagainya.
Dengan demikian, koran-koran dan majalah-majalah yang menyebar luas melampaui kota-
kota tempat terbitnya, memungkinkan pembaca di berbagai daerah mengetahui peristiwa
yang terjadi dan berlalu di tempat lain. Tak kurang pentingnya, kejadian-kejadian itu bisa
dibandingkan dengan pengalaman yang telah pernah dilalui, atau yang pernah didengar
atau dibaca tentang daerahnya sendiri. Dengan demikian pers telah memberikan suasana
kesezamanan dengan daerah lain atau bangsa lain. Teks yang disampaikan pers tidak
berkisah tentang negeri antah berantah di suatu zaman, melainkan tentang negeri tertentu
yang riil, di zaman sekerang.
Dampak dari perasaan kesezamanan ini tak hanya pada perluasan cakrawala intelektual,
melainkan juga memungkinkan bangkitnya ingatan kolektif tentang jaringan kultural atau
politik lama antara berbagai daerah dan suku bangsa. Ini bisa terjadi, karena pers telah
memungkinkan masyarakat membanding-bandingkan keadaan daerahnya dan suku
bangsanya di hadapan sistem kolonial yang bercorak subordinasi –tuan kolonial di atas

                                            - 26 -
sebagai yang memerintah, dan pribumi di bawah sebagai yang diperintah. Akhirnya,
perasaan kesezamanan membangkitkan ingatan kolektif akan adanya perasaan senasib dan
sepenangungan dalam sistem kolonial. Kemudian hari, erasaan seperti ini menjadi pengikat
utama bagi lahirnya kesadaran kesatubangsaan. Sebab syarat munculnya nasionalisme
adalah adanya perasaan senasib dan sepenanggunagan sesama warga bangsa. Dan pers
berbahasa Melayu telah membuka tabir tersebut.


Melawan dengan Mengorganisasi Diri
Pers berbahasa Melayu yang dikembangkan oleh pengusaha keturunan Belanda dan
Tionghoa pada abad ke-18 boleh disebut sebagai periode ‘prasejarah’ pers nasional.
Dibutuhkan waktu 50 tahun sejak muncu lnya koran berbahasa Melayu Bintang Oetara yang
terbit di Roterdam pada 1856, hingga akhirnya lahir Medan Prijaji, koran pertama yang
diterbitkan tokoh pribumi bernama RM Tirto Adhi Soerjo. Seperti ditulis oleh Pramoedya
Ananta Toer (2003), Tirto Adhi Soerjo (TAS) tergerak untuk menerbitkan mingguan yang
kemudian menjadi harian Medan Prijaji, setelah melakukan perjalanan ke Maluku. Di sana
TAS merekam kebiadaban kolonial Belanda sehingga penduduk Maluku mengalami
penderitaan dan pemiskinan yang sangat nyata. Ini merupakan pengalaman batin yang
membekas sekaligus meningkatkan kesadaran intelektual TAS bahwa bangsa-bangsa di
bawah kekuasaan kolonial mengalami penderitaan yang sama.
TAS sendiri pada edisi pertama Medan Prijaji menyebutkan bahwa misi yang diemb an
korannya ialah: (1) memberikan informasi; (2) menjadi penyuluh keadilan; (3) memberikan
bantuan hukum; (4) memberikan tempat orang tersia-sia mengadukan nasibnya; (5) mencari
pekerjaan bagi mereka yang membutuhkan pekerjaan di Betawi; (6) menggerakkan
bangsanya untuk berorganisasi atau mengorginasisikan diri; (7) membangun dan
memajukan bangsanya; dan (8) memperkuat bangsanya dengan usaha perdagangan. Seperti
dicatat Surjomihardjo (1980), Tirto tak hanya pribumi pertama yang bergerak di bidang
penerbitan dan percetakan dan mendirikan badan usaha (NV), melainkan juga orang
pertama yang menggunakan koran sebagai alat pembentuk pendapat umum. Dialah ‘sang
pemula’ yang konsisten dalam mengemban misi yang telah dicanangkan dan memfungsikan
pers sebagai institu si pemajuan nasib bangsanya.
Bagi TAS, kemajuan bangsanya tidak hanya didapatkan dari pendidikan (yang dikembangkan
oleh politik etik penguasa kolonial), melainkan juga terbebasnya bangsa dari segala macam
kesewenang-wenangan kekuasaan. Oleh karena itu, lewat Medan Prijaji, TAS tanpa ragu
menyatakan secara terbuka segala corak manifestasi kekuasaan yang dianggapnya tidak
pantas. Ia menulis berita berdasarkan investigasi dan informasi-informasi yang berasal dari
lapangan yang dikemas tanpa sindiran dan prete nsi. Berbagai kasus kesewenang-wenangan
penguasan kolonial maupun pribumi diungkap secara gamblang oleh Medan Prijaji. Tidak
heran, bila persdelick beberapa kali diterima oleh TAS, dan akhirnya dipenjara lalu dibuang
ke Lampung olehrejim kolonial.
Selain melawan kesewenang-wenangan penguasa, dalam usaha memajukan bangsanya,
Medan Prijaji selalu menyerukan perlunya bangsa pribumi mengorganisasi diri dalam

                                           - 27 -
menghadapi pihak-pihak asing. Tak heran bahwa kemudian TAS terlibat dalam pendirian
Serikat Dagang Islam (SDI) di Bogor yang kemudian berubah menjadi Sarekat Islam (SI) yang
berkembang di Solo dan beberapa kota di Jawa. Situasi vis a vis antara pribumi dengan
kaum Belanda dan Tionghoa di dunia perdagangan, menyebabkan TAS dkk mencampurkan
identitas agama Islam dengan kepribumian, sehingga organisasi yang dimaksudkan untuk
memajukan bangsa pribumi adalah SDI dan SI. Oleh karena itu, SI yang berkembang pesat
saat itu akhirnya menjadi naungan bagi berbagai macam aliran dan ideologi yang dianut
kaum pribumi, termasuk komunisme.
Tentu Medan Prijaji bukan satu-satunya penerbitan yang membongkar kesewenangan
penguasa dan menyerukan bangsa pribumi untuk mengorganisasikan diri dalam rangka
memajukan bangsa. Selain Median Prijaji, tercatat Bintang Hindia, Insoelinde, Warna Warta
dan beberapa koran milik SI seperti Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Sinar Djawa dan
Pantjaran Warta. Organisasi-organisasi pergerakan yang dibentuk kaum pribumi, seperti
Boedi Utomo dan Indische Patij memiliki Dharmo Kondo dan De Express. Namun dalam
catatan sejarah, kepeloporan dan konsistensi Medan Prijaji dalam mengungkap
kesewenangan penguasa kolonial dan menyerukan pembentukan organisasi pribumi tampak
lebih menonjol dari penerbitan -penerbitan yang lain. Di sinilah peran penting Medan Prijaji
dalam menabur benih-benih nasionalisme yang dalam beberapa tahun kemudian berubah
dalam bentuk gerakan menuntut kemerdekaan.


Hindia Poetra Menjadi Indonesia Merdeka
Seruan Medan Prijaji dan koran -koran lain sezaman untuk mengorganisasikan pribumi
sebetulnya merupakan upaya mencari identitas yang tepat buat kalangan pribumi di tanah
Hindia. SDI dan SI telah mencampuradukkan identitas agama dengan kepribumian sebagai
antitesa terhadap orang-orang keturununan Belanda dan Tionghoa. Dengan latar belakang
yang sama Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker yang tergabung
dalam Indische Partij, pada 1912 lewat De Express memperkenalkan konsep ‘nasionalisme
Hindia’.
Bagi Tiga Serangkai tersebut, ‘nasionalisme Hindia’ membedakan kaum penetap (blijvers)
dan mereka yang mondar-mandir (trekkers), dan hanya yang menetap yang dianggap
sebagai bangsa Hindia, sedang yang lain adalah orang asing. Dalam konsep ini, Tiga
Serangkai tersebut telah meleburkan anak negeri yang pribumi dengan Cina peranakan dan
orang-orang Indo, serta orang Belanda yang tidak akan kembali ke negerinya dalam sebuah
kesatuan yang bernama bangsa Hindia. Dengan sendiri dalam konsep ini, para penguasa
Belanda dianggap sebagai orang luar aliastrek kers.
Dalam upaya mencari identitas diri sebagai bangsa, Medan Prijaji, De Express dan koran-
koran lain terlibat dalam perdebatan yang hangat di kalangan pengelola pers dan kaum
cerdik pandai pribumi saat itu. Konsep ‘nasionalisme Hindia’ yang muncul tidak saja
peleburan identitas agama-pribumi dan kaum penetap di tanah Hindia, tetapi juga
nasionalisme Jawa, nasionalisme Sumatera, dan nasionalisme lokal lainnya. Bahkan menurut
Abdullah (1999), pada awal pertumbuhannya pers bukan saja pembawa berita, tetapi juga

                                           - 28 -
menjadi pelopor diskursus kecendikiaan. Dalam pemberitaan dan perdebatan tersebut,
simbol-simbol yang komunkatif dan integratif semakin memperkuat kesadaran akan harkat
diri sebagai bangsa dalam menghadapi kekuatan kolonialisme Belanda.
Namun perdebatan soal ‘nasionalisme Hindia’ di kalangan kaum pergerakan itu seakan
diselesaikan oleh generasi baru kaum cendikia pribumi yang bersekolah di negeri Belanda.
Pada 1923 mahasiswa pribumi mengubah nama organisasinya, dari Indische Vereeniging
menjadi Indonesische Vereeniging dan kemudian diganti lagi menjadi Perhimpoenan
Indonesia. Mereka pun menukar nama majalah organisasi dari Hindia Poetra menjadi
Indonesia Merdeka . Berbeda dengan generasi sebelumnya, di mana usaha mencari identitas
nasional yang lebih banyak karena refleksi atas kenyataan sosial politik di tanah Hindia,
maka generasi baru pergerakan nasional, melihat langsung tentang tumbuh dan
berkembangnya nasionalisme bangsa-bangsa di Eropa, sehingga mereka seakan lebih tahu
dengan apa yang dibutuhkan oleh bangsanya. Sebagai kelompok kecil pribumi yang
teralienasi di tengah -tengah kehidupan orang-orang Eropa, mereka menjadi lebih lugas
dalam membicarakan nasionalisme Hindia dan menetapkan ‘Indonesia Merdeka’ sebagai
semboyan perjuangan.
Gagasan-gagasan nasionalisme Indonesia yang diadopsi dari sejarah pergerakan bangsa-
bangsa Eropa, oleh para palajar pribumi di negeri Belanda disebarluaskan ke tanah Hindia
lewat majalah Indonesia Merdeka dengan cara diam-diam. Kelugasan rumusan -rumusan
tentang nasionalisme Indonesia dan ketegasan sikap dalam menuntut kemerdekaan
Indonesia, menjadikan tulisan-tulisan di dalam Indonesia Merdeka seakan menjadi penuntas
pedebatan tentang nasionalisme Hindia yang selama sepuluh tahun terakhir menghiasi
koran-koran dan majalah -majalah berbahasa Melayu di tanah Hindia. Itulah sebabnya,
meskipun peredaran Indonesia Merdeka di tanah Hindia dilarang oleh penguasa Belanda,
setidaknya lima nomor majalah tersebut berhasil diselendupkan ke tanah Hindia dan
mencapai 236 orang yang memesannya.
Sebagaimana dicatat John Ingleson (1988), para pelajar yang tergabung dalam
Perhimpoenan Indonesia, seperti Moh Hatta, Subardjo, Sunarjo, Sartono, Iskaq dll, tidak
hanya menyebarkan propaganda nasionalisme Indonesia dan tuntutan Indonesia merdeka
lewat majalah yang dipimpinnya, tetapi sekembalinya ke tanah air, mereka pun terjun
langsung ke kancah pergerakan politik menentang penguasa kolonial. Mereka sempat
mempersiapkan suatu kongres nasional untuk membentuk partai kerkayatan yang
berasaskan nasionalisme murni, namun meletusnya pemberontakan PKI 1926-1927,
membuat rencana pembentukan partai kerakyatan itu batal. Tetapi rapat-rapat persiapan
terus dilakukan di kalangan aktivis radikal sehingga akhirnya pada 4 Juli 1927 lahirlah Partai
Nasionalis Indonesia (PNI).


Mengobarkan Api Kemerdekaan
Ketika Jepang menguasai beberapa negara Asia, termasuk tanah jajahan Hindia Belanda,
semua media pers langsung berada di bawah pengawasan pemerintahan militer Jepang dan
dipergunakan sebagai alat propaganda perang Jepang melawan Sekutu. Seiring dengan

                                            - 29 -
pelarangan penggunaan bahasa Belanda, saat itu pemerintah Jepang setidaknya menyokong
lima surat kabar berbahasa Jepang, yaitu Jawa Shimbun, Borneo Shimbun, Celebes Shimbun,
Sumatera Shimbun dan Ceram Shimbun. Sementara terdapat sekitar delapan surat kebar
yang berbahasa Indonesaia, yaitu di Jakarta Asia Raya dan Pembangoenan, di Bandung
Tjahaja, di Yogyakarta Sinar Matahari, di Semarang Sinar Baroe, dan di Surabaya Pewarta
Perniagaan .
Pengaturan kehidupan pers oleh pemerintah Jepang tentu saja mempersempit kedudukan
pers sebagai sarana informasi kepada umum. Namun keadaan ini, menurut Surjomihardjo
(1980) memberi sumbangan berharga bagi perjuangan kemerdekaan dan pertumbuhan pers
Indonesia setelah kemerdekaan. Perlu dicatat, larangan penggunaan bahasa Belanda telah
berhasil meratakan penggunaan bahasa Indonesia ke seluruh pelosok tanah air. Orang-
orang Indonesia juga mendapatkan latihan mengenai berbagai aspek mengelola media pers
dan menduduki posisi penting, suatu pengalaman yang berharga bagi penanganan pers
pada masa pasca kemerdekaan nanti.
Meskipun pada zaman Jepang tokoh-tokoh pergerakan nasional senior, seperti Soekarno dll
bersedia bekerja sama dengan pemerintahan Jepang, tidak sedikit tokoh-tokoh yang lebih
muda memilih berjuang di bawah tanah guna mengapai kemerdekaan. Pada barisan anti -
Jepang inilah berkumpul pemuda mahasiswa yang terus mengobarkan api kemerdekaan,
tanpa harus menunggu janji-janji Jepang. Dari merekalah beredar brosur stensilan -stensilan
propaganda menuntut kemerdekaan Indonesia. Menurut Benedick Anderson (1989), brosur-
brosur stensilan anti-Jepang tersebut dikeluarkan oleh mahasiswa yang pada masa itu
banyak berkumpul di asrama-asrama di Jakarta, seperti asrama Menteng dan Cikini.
Asrama-asrama tersebut merupakan pusat kehidupan sosial dan intelektual mahasiswa dan
merupakan tempat bagi diskusi-diskusi yang intens dan tertutup, serta menjadi sebuah
pusat solidaritas pergerakan meraih kemerdekaan.
Seperti disebutkan di depan, penunjukan beberapa orang pers untuk menduduki posisi
penting di media yang dikendalikan oleh pemerintah Jepang, ternyata berdampak positif
bagi tumbuh dan berkembangnya pers pada masa perang kemerdekaan. Begitu Republik
Indonesia diproklamarikan oleh Sokearno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, sejumlah tokoh
pers, seperti Adam Malik, BM Diah, Suardi Tasrif, Arnold Monotutu, Mochtar Lubis, Rosihan
Anwas dll, langsung bergerak menghidupkan medianya masing-masing. Sesuai dengan
semangant zaman, tanpa dikomando, lewat media yang dipimpinya mereka terus
mengorbankan api kemerdekaan. Bahkan ketika Inggris dan Belanda mencoba kembali
menguasai Indonesia, semangat perlawanan dihembuskan secara kencang oleh media-
media tersebut, sehinga berita-berita perlawanan rakyat Indonesia dalam menantang
penjajahan akhirnya mendapat simpati masyarakat internasional.


Geliat pada Masa Pascakemerdekaan
Setelah revolusi selesai dan Republik Indonesia diakui secara internasional pada 1948, apa
yang dilakukan oleh pers bagi bangsa dan negara baru yang penuh dengan persoalan sosial,
politik, ekonomi dan budaya? Masalah yang dihadapai oleh bangsa yang baru merdeka

                                           - 30 -
sangat kompleks, sementara rakyat menaruh harapan bahwa kemerdekaan segera
mengangkat kesejahteraannya. Di sinilah pers dituntut mampu menguraikan satu per satu
masalah yang dihadapi oleh bangsa dan mencari solusinya agar negara yang baru lahir tetap
tegak beridiri. Pers juga harus mempu menjelaskan kesulitan -kesulitan yang tengah dihadapi
negara, sehingga rakyat bisa bersikap realisitik terhadap apa-apa yang bisa dikerjakan
negara. Pada tahap ini pers terlibat dalam apa yang disebut dengan proses national
character building, yakni suatu proses lanjutan dari nasionalisme Indonesia yang sifatnya
lebih implementatif setelah kemerdekaan tercapai.
Secara sosial budaya, para pengelola pers menghadapi kenyataan bahwa akibat revolusi
telah teradi ketegangan sosial yang tinggi, khususnya antara para elit pribumi yang dulu pro
penjajah dengan sebagian rakyat yang ingin melampiaskan dendam. Sebagai lanjutan dari
perang kemerdekaan, maka kerusuhan menentang lapisan elit pribumi ini terjadi di berbagai
daerah, dan pemerintah yang baru saja berdiri tidak banyak memiliki tenaga untuk
menyelesaikannya. Selain itu, beberapa penguasa daerah juga berkeras untuk melepaskan
diri dari republik, seiring dengan po litik divide et impera yang dijalankan oleh Belanda. Pada
tataran inilah pers dituntut untuk memberi penjelasan yang gamblang sehingga rakyat tidak
perlu ragu-ragu dalam membangun Indonesia yang dicita-citakan.
Secara politik, masalah jauh lebih rumit karena pada saat institusionalisasi politik belum
berjalan, persaingan antarkekuatan politik sudah menonjol. Tokoh-tokoh partai sama-sama
menjanjikan sistem politik yang pas buat Indonesia, pada saat yang sama mereka sama-
sama ingin mengisi jabatan-jabatan politik yang tersedia. Persaingan politik dalam
menciptakan model politik yang pas dengan kondisi Indonesia tetap tidak segera selesai,
meskipun Pemilu 1955 menghasilkan wakil-wakil rakyat dan dewan konstituante. Dalam
periode ini kelihatan pers mulai tidak sabar dengan perilaku elit politik sipil; sebagian kecil
bersikap skeptis terhadap sepak terjang politisi sipil dan menjadi pengritik yang loyal, tapi
sebagaian besar tidak sabar dan terbawa dalam arus persaingan politik. Pada titik inilah pers
melupakan tu gasnya dalam proses national character building, dan terjebak pada sikap-
sikap partisan sehingga ini pers kemudian terpolarisasi pada garis-garis politik partai. Tugas
national character building hanya diteruskan oleh pers mahasiswa yang wilayah edarnya
sangat terbatas.
Polarisasi pers ke dalam garis-garis partai tetap berlanjut pada zaman Demokrasi Terpimpin.
Pada massa ini, di level bawah Soekarno memang membebaskan partai politik untuk
bersaing menawarkan ideologi dan memperebutkan massa, namun di level atas Soekarno
memegang kendali politik sepenuhnya. Sesuai dengan politik ini, pers pada zaman Soekarno
memang penuh warna, sehingga persaingan antarmedia juga berjalan layaknya di negara-
negara terbuka. Namun pembebasan pers itu hanya dibatasi pada upaya menjaga dan
mengedepankan ideologi atau partai masing-masing. Pers sebagai kekuatan independen,
yang mengedepankan kepentingan umum dan bersikap oyektif terhadap semua
kepentingan, nyaris tidak bisa hidup. Sebab sesuai dengan karakter politik yang
dikembangkan Soekarno, maka pers yang berada di luar jalur garis politik partai, akan
dipersulit bahkan dibredel. Jadi, hingar bingar kebebasan pers pada zaman Soekarno, praktis

                                             - 31 -
tidak bermanfaat bagi kepentingan publik dan kepentingan nasional, karena pers hanya
disibukkan oleh urusan-urusan yang terkait dengan kepentingan partai.
Tumbangnya Soekarno oleh gerakan mahasiswa yang bekerja sama dengan Angkatan Darat
pimpinan Soeharto, ternyata tidak segera bisa memisahkan pers dari garis partai. Namun
dengan penyederhan aan partai politik, maka tidak semua pers yang telah berkembang
bersedia meneruskan hubungannya dengan partai-partai politik baru. Bahkan masing-
masing partai, yakni Golkar, PPP dan PDI berusaha membangun penerbitan baru yang
benar-benar bisa mereka kendal ikan. Pilihan politik sejumlah media untuk memisahkan diri
dari garis-garis aliran politik maupun partai politik ini juga dilandasi oleh kesadaran para
pengelolanya, bahwa pers tidak mungkin bisa menerapkan prinsip-prinsip jurnalisme bila
mereka tidak berada dalam posisi yang independen. Pada zaman Orde Baru, pers memang
tidak sepenuhnya bebas. Tapi dibandingkan dengan institusi-insitusi sosial yang lain, pers
jauh lebih efektif dalam mengkritik kekuasaan dan memajukan bangsanya.
Bagaimana pers pada zaman pasca-Soeharto? Banyak pihak yang menyerang pers telah
kebablasan dalam menerapkan kebebasan pers yang diperjuangkan oleh gerakan reformasi.
Kritik itu ada benarnya, mengingat banyak media (baru) yang mengejar motif ekonomi
semata sehingga melupakan prinsip-prinsip jurnalisme. Namun pers yang demikian tidak
akan bertahan lama, karena masyarakat pembaca tidak mendapatkan apa yang dibutuhkan,
kecuali sekadar kesenangan sesaat. Oleh karena itu pikiran untuk mengendalikan pers
kembali, perlu dibuang jauh-jauh, karena baik pers maupun masyarakat sama-sama sedang
memasuki proses pendewasaan politik, khususnya bagaimana memanfaatakan ruang
kebebasan yang ada. Biarlah pers menikmati ruang kebebasan pers yang dijamin oleh
konstitusi, karena hanya dengan membebaskan pers, maka mayarakat, bangsa dan negara
ini akan mendapatkan manfaat yang maksimal. ***


Sumber Kepustakaan:
1. Abdurrachman Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di
   Indonesia, Kompas, Cetakan ke-2, Jakarta, 2002.
2. Benedict Anderson, Revoloesi Pemoeda, Sinar Harapan, Jakarta, 1986.
3. Bill Kovach & Tom Rosntatiel, Sembilan Elemen Jurnalsime, Pantau, Jakarta, 2003.
4. Didik Supriyanto, Perlawanan Pers Mahasiswa: Protes Mahasiswa Sepanjang NKK/BKK
   1978-1991, Sinar Harapan, Jakarta, 1989.
5. John Ingleson, Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia 1927-1934,
   LP3ES, Jakarta, 1983.
6. Parmoedya Ananta Toer, Sang Pemula , Cetakan ke-2, Edisi Revisi, Lentera Dipantara,
   Jakarta, 2003.
7. Taufik Abdullah, Pers dan Tumbuhnya Nasionalisme Indonesia, dalam Majalah Sejarah
   Edisi 7, Jakarta, 1999




                                           - 32 -
Hukum Jurnalistik
                                Oleh Arfi Bambani


Pengantar
Pers bebas merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM). Deklarasi Universal HAM (The
Universal Declaration of Human Rights 1948) pada Pasal 19 mengatur, “Setiap orang berhak
atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk
kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan
menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak
memandang batas-batas (wilayah). “

Kebebasan pers jelas merupakan standar sebuah negara demokratis. Ada pemeo, pers
merupakan pilar keempat demokrasi setelah trias politika: eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, dalam tulisannya berjudul “Prospek Demokrasi pada Era
Reformasi dan Kemerdekaan Pers” menyatakan “Tidak ada perdebatan mengenai keharusan
bagi kemerdekaan atau kebebasan pers. Kemerdekaan atau kebebasan pers bukan hanya
penyalur hak-hak demokrasi, tetapi sebagai bagian dari demokrasi itu sendiri. Karena itu,
kemerdekaan pers tidak dapat diganti atau disubstitusikan dengan instrumen atau
mekanisme lain.” Mahkamah Agung (MA) melalui putusan No 1608 K/PID/2005 dalam kasus
Bambang Harymurti menyatakan kebebasan pers conditio sine qua non bagi demokrasi dan
negara berdasar atas hukum. Tindakan hukum atas pers tidak boleh membahayakan sendi-
sendi demokrasi dan negara berdasarkan hukum.

Kebebasan pers sendiri telah diakomodasi dalam konstitusi, Undang-undang Dasar (UUD)
1945 yang telah diamandemen yaitu dalam Pasal 28, Pasal 28E ayat (2) dan (3) serta Pasal
28F. Keberadaan pasal-pasal ini merupakan jaminan bagi kebebasan mengemukakan
pendapat dan kebebasan berpikir.

Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 28E
 (2)    Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan
sikap, sesuai dengan hati n uraninya.
(3)     Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat.


                                            - 33 -
Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Lebih jauh, aturan konstitusi ini dijabarkan oleh Undang-undang Hak Asasi Manusia (UU
HAM). Pasal 23 (2) ini menyatakan, “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan
dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui
media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan,
ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.” MA melalui putusan No 1608
K/PID/2005 dalam kasus Bambang Harymurti menyatakan kebebasan pers conditio sine qua
non bagi demokrasi dan negara berdasar atas hukum. Tindakan hukum atas pers tidak boleh
membahayakan sendi-sendi demokrasi dan negara berdasarkan hukum.

Namun kebebasan pers ini dibatasi oleh asas persamaan kedudukan di mata hukum, yang
berlaku bagi seluruh warga negara termasuk jurnalis. Aturan pidana tetap berlaku bagi
seorang jurnalis, bukan terhadap persnya. Jurnalis jelas tidak kebal hukum.



Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Di Indonesia, sudah banyak jurnalis dituntut ke pengadilan dengan menggunakan instrumen
hukum pidana. Meski AJI menolak penggunaan KUHP, jurnalis harus mewaspadai sejumlah
aturan pidana yang biasa dipakai untuk menjerat jurnalis atau penanggung jawab
perusahaan pers.


I. Pembocoran Rahasia Negara
Pasal 112
Barang siapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau keterangan-
keterangan yang diketahuinya bahwa harus dirahasiakan untuk kepentingan negara, atau
dengan sengaja memberitahukan atau memberikannya kepada negara asing, diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.


II. Pembocoran Rahasia Pertahanan Keamanan Negara
Pasal 113
Barang siapa dengan sengaja, untuk seluruhnya atau sebagian mengumumkan, atau
memberitahukan maupun menyerahkan kepada orang yang tidak berwenang mengetahui,
surat-surat, peta-peta, rencana-rencana, gambar-gambar, atau benda-benda yang bersifat
rahasia dan bersangkutan dengan pertahanan atau keamanan Indonesia terhadap serangan

                                          - 34 -
dari luar, yang ada padanya atau yang isinya, bentuknya atau susunannya benda-benda itu
diketahui olehnya diancam pidana penjara paling lama empat tahun.
Jika surat-surat atau benda-benda ada pada yang bersalah atau pengetahuannya tentang
itu karena pencariannya, pidananya dapat ditambah sepertiga.


III. Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden
Pasal 134
Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden diancam dengan pidana
paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 136 bis
Pengertian penghinaan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 134 mencakup juga
perumusan perbuatan dalam pasal 135, jika hal itu dilakukan diluar kehadiran yang dihina,
baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak di muka umum dengan lisan atau
tulisan, namun dihadapan lebih dari empat orang atau dihadapan orang ketiga,
bertentangan dengan kehendaknya dan oleh karena itu merasa tersinggung.
Pasal 137
(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum tulisan
yang berisi penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi
penghinaan diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara
paling lama satu tahun empat bulan denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencariannya, dan
pada saat itu belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena
kejahatan semacam itu juga, maka terhadapnya dapat dilarang menjalankan pencarian
tersebut.


IV. Penghinaan terhadap Raja atau Kepala Negara Sahabat
Pasal 142
Penghinaan dengan sengaja terhadap raja yang memerintahkan atau kepala negara
sahabat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.


V. Penghinaan terhadap Wakil Negara Asing
Pasal 143
Penghinaan dengan sengaja terhadap wakil negara asing di Indonesia, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.
Pasal 144
(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan
atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap raja yang memerintah, atau kepala negara
sahabat, atau wakil negara asing di Indonesia dalam pangkatnya, dengan maksud supaya


                                          - 35 -
penghinaan itu diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu pada waktu menjalankan pencariannya, dan
pada saat itu belum lewat dua tahun sejak ada pemidanaan yang tetap karena kejahatan
semacam itu juga, ia dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.


VI. Permusuhan, Kebencian atau Penghinaan terhadap Pemerintah
Pasal 154
Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau
penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 155
(1) Barang siapa di muka umum mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan
di muka umum yang mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau
penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau
lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan
pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi
tetap karena melakukan kejahatan semacam itu juga, yang bersangkutan dapat dilarang
menjalankan pencarian tersebut.


VII. Pernyataan Perasaan Permusuhan, Kebencian atau Penghinaan terhadap
Golongan
Pasal 156
Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau
penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah.
Pasal 157
(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di
muka umum, yang isinya mengandung pernyataan permusuhan, kebencian atau
penghinaan diantara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud
supaya isinya diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan
pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi
tetap karena kejahatan yang semacam itu juga, yang bersangkutan dapat dilarang
menjalankan pencarian tersebut.



                                         - 36 -
VIII. Perasaan Permusuhan, Penyalahgunaan atau Penodaan Agama
Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja
di muka umum mengeluarkan perasaan atau perbuatan :
(a) Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap
suatu agama yang dianut di Indonesia.
(b) Dengan maksud agar orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan
Ketuhanan Yang Maha Esa.


IX. Penghasutan
a. Barang siapa di muka umum lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan
pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan
undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasarkan ketentuan undang-
undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah. (pasal 160)
b. (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum
tulisan yang menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, menentang penguasa umum
dengan kekerasan, atau menentang sesuatu hal lain seperti tersebut dalam pasal diatas,
dengan maksud supaya isi yang menghasut diketahui atau lebih diketahui oleh umum,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika yang bersal ah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencariannya
dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaanya menjadi tetap karena
melakukan kejahatan semacam itu juga, yang bersangkutan dilarang menjalankan pencarian
tersebut. (Pasal 161)

X. Penawaran Tindak Pidana
a. Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menawarkan untuk memberi
keterangan, kesempatan atau sarana guna melakukan tindak pidana, diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah. (pasal 162)
b. (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum
tulisan yang berisi penawaran untuk memberi keterangan, kesempatan atau sarana guna
melakukan tindak pidana dengan maksud supaya penawaran itu diketahui atau lebih
diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika merasa bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan
pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap
karena kejahatan semacam itu juga yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan
pencarian tersebut. (pasal 163)


                                         - 37 -
XI. Penghinaan terhadap Penguasa atau Badan Umum
Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu
penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling
lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.(pasal 207)
(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum suatu
tulisan atau lukisan yang memuat penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang
ada di Indonesia dengan maksud supaya isi yang menghina itu diketahui atau lebih diketahui
umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam pencariannya ketika itu belum
lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam
itu juga maka yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut. (Pasal
208)


XII. Pelanggaran Kesusilaan
(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan,
gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, barang siapa
dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum,
membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri,
meneruskannya mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barang
siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan
atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama
satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan,
gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, ataupun barang siapa dengan maksud
untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin, memasukkan
ke dalam negeri, meneruskan mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, atau
barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta,
menawarkan atau menunjuk sebagai bisa diperoleh, diancam jika ada alasan kuat baginya
untuk menduga bahwa tulisan, gambaran, atau benda itu melanggar kesusilaan, dengan
pidana paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.
(3) Kalau yang bersal ah melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertama sebagai
pencarian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atas pidana denda paling banyak tujuh puluh lima ribu rupiah.. (Pasal 282)



XIII. Penyerangan/Pencemaran Kehormatan atau Nama Baik
a. (1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan nama baik seseorang dengan
menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam

                                          - 38 -
karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau
ditempel di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara
paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling lama empat ribu lima ratus
rupiah.
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan
demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. (Pasal 310)
b. (1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan
untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan
dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1-3 dapat dijatuhkan. (Pasal 311)
c. Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran
tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan,
maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang
dikirim atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana
penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah. (Pasal 315)
d. Pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal sebelumnya dalam bab ini, ditambah dengan
sepertiga jika yang dihina adalah seorang pejabat pada waktu atau karena menjalankan
tugasnya yang sah. (Pasal 316)


XIV. Pemberitaan Palsu
(1). Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada
penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga
kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah,
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1-3 dapat dijatuhkan. (Pasal 317)


XV. Penghinaan atau Pencemaran Orang Mati
(1) Barang siapa terhadap seseorang yang sudah mati melakukan perbuatan yang kalau
orang itu masih hidup akan merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Kejahatan ini tidak ditu ntut kalau tidak ada pengaduan dari salah seorang keluarga
sedarah maupun semenda dalam garis lurus atau menyimpang sampai derajat kedua orang
yang mati itu, atau atas pengaduan suami (istrinya).
(3) Jika karena lembaga matriarkal kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain dari pada
bapak, maka kejahatan juga dapat dituntut atas pengaduan orang itu. (Pasal 320)


                                           - 39 -
(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan
atau gambaran yang isinya menghina bagi orang yang sudah mati mencemarkan namanya,
dengan maksud supaya isi surat atau gambar itu diketahui atau lebih diketahui oleh umum,
diancam dengan pidana penjara paling lama satu bulan dua minggu atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencariannya,
sedangkan ketika itu belum lampau dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap
karena kejahatan semacam itu juga, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan
pencarian tersebut.
(3) Kejah atan ini tidak dituntut kalau tidak ada pengaduan dari orang yang ditunjuk dalam
pasal 319 dan pasal 320, ayat kedua dan ketiga. (Pasal 321)


XVI. Pelanggaran Hak Ingkar
(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan
atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seseorang tertentu, maka perbuatan itu hanya
dituntut atas pengaduan orang itu. (Pasal 322)


XVII. Penadahan Penerbitan dan Percetakan
a. Barang siapa menerbitkan sesuatu tulisan atau sesuatu gambar yang karena sifatnya
dapat diancam dengan pidana, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun
empat bulan atau pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah, jika :
1. Si pelaku tidak diketahui namanya dan juga tidak diberitahukan namanya oleh penerbit
pada peringatan pertama sesudah penuntutanberjalan terhadapnya.
2. Penerbit sudah mengetahui atau patut menduga bahwa pada waktu tulisan atau gambar
itu diterbitkan, Si pelaku itu tak dapat dituntut atau akan menetap di luar Indonesia. (Pasal
483)
b. Barang siapa mencetak tulisan atau gambar yang merupakan perbuatan pidana, diancam
dengan pidana paling lama satu tahun empat bulan atau pidana kurungan paling lama satu
tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, jika :
1. Orang yang menyuruh mencetak barang tidak diketahui, dan setelah ditentukan
penuntutan,       pada      teguran     pertama      tidak   diberitahukan      olehnya     ;
2. Pencetak mengetahui atau seharusnya menduga bahwa orang yang menyuruh mencetak
pada saat penerbitan, tidak dapat dituntut atau menetap di luar Indonesia. (Pasal 484)


XVIII. Penanggulangan Kejahatan
Pidana yang ditentukan dalam pasal 134-138, 142-144, 207, 208, 310-321, 483 dan 484
dapat ditambah sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan belum lewat lima
tahun sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan

                                            - 40 -
kepadanya karena salah satu kejahatan yang diterangkan pada pasal itu, atau sejak pidana
tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika pada waktu melakukan kejahatan
kewenangan menjalankan pidana tersebut daluwarsa. (Pasal 488)


XIX. Pelanggaran Ketertiban Umum
a. Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan, dan atau pidana paling banyak
lima belas ribu rupiah.
1. Barang siapa mengumumkan isi apa yang ditangkap lewat pesawat radio yang dipakai
olehnya atau yang ada dibawah pengurusnya, yang sepatutnya harus diduganya bahwa itu
tidak untuk dia atau untuk diumumkan, maupun diberitahukannya kepada orang lain jika
sepatutnya harus diduganya bahwa itu akan diumumkan dan memang lalu disusul dengan
pengumuman.
2. Barang siapa mengumumkan berita yang ditangkap lewat pesawat penerima radio, jika ia
sendiri, maupun orang dari mana berita itu diterimanya, tidak berwenang untuk itu. (Pasal
519 bis)
b. Diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda paling
banyak tiga ribu rupiah.
1. Barang siapa ditempat untuk lalu lintas umum dengan terang-terangan mempertunjukkan
atau menempelkan tulisan dengan judul kulit, atau isi yang dibikin terbaca maupun gambar
atau benda yang mampu membangkitkan nafsu birahi remaja.
2. Barang siapa ditempat untuk lalu lintas umum dengan terang-terangan
memperdengarkan isi tulisan yang mampu membangkitkan nafsu birahi para remaja.
3. Barang siapa secara terang-terangan atau diminta menawarkan suatu tulisan, gambar
atau barang yang dapat merangsang nafsu birahi para remaja maupun secara terang-terang
atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, tulisan atau
gambar yang dapat membangkitkan nafsu birahi para remaja.
4. Barang siapa menawarkan, memberikan untuk terus atau sementara waktu,
menyerahkan atau memperlihatkan gambar atau benda yang demikian, pada seorang yang
belum dewasa dan dibawah umur tujuh belas tahun. Barang siapa memperdengarkan isi
tulisan yang demikian dimuka seseorang yang belum dewasa dan dibawah umur tujuh belas
tahun. (Pasal 533)
c. Barang siapa terang-terangan mempertunjukkan sesuatu sarana untuk menggugurkan
kandungan maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, ataupun
secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai
bisa didapat, sarana atau perantaraan yang demikian itu, diancam dengan pidana kurungan
paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.




                                          - 41 -
UU Pers
Yurisprudensi MA dalam kasus Anif melawan Harian Garuda pada tahun 1993 menyebutkan,
“Sehubungan dengan kebenaran suatu peristiwa yang hendak diberitakan pers, pada
hakikatnya merupakan suatu kebenaran yang elusif, artinya bahwa apa yang hendak diulas
dan diberitakan pers tidak mesti kebenaran yang bersifat absolut. Jika kebenaran absolut
yang boleh diberitakan, berarti sejak semula kehidupan pers yang bebas dan bertanggung
jawab sudah mati sebelum lahir.” Karena itu, perkara pers haruslah soal apakah pers
melanggar peraturan perundang-undangan yang mengatur kerja pers dan kode etik pers,
terlepas dari benar atau tidaknya isi berita yang dimasalahkan.

Saat ini UU yang mengatur pers adalah UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. UU Pers
secara spesifik mengatur aspek kebebasan pers. Tercakup di dalamnya pengaturan tentang
fungsi pers untuk mencari, mengolah, dan menyebarluaskan informasi. UU Pers tegas
menyatakan hak wartawan atas informasi adalah bagian integral dari hak publik.

UU ini mengatur segala perkara yang berkaitan dengan pers, seperti:
   (i) Asas, fungsi, hak, kewajiban dan peranan pers;
   (ii) kehidupan wartawan, seperti memilih organisasi wartawan, menaati kode etik
         jurnalistik dan perlindungan terhadap wartawan;
   (iii) perusahaan pers, mulai dari badan hukumnya, kesejahteraan yang harus diberikan
         kepada wartawan dan karyawannya hingga larangan memuat iklan yang merugikan
         masyarakat;
   (iv) Dewan Pers untuk melindungi kemerdekaan pers, mengawasi pelaksanaan kode etik
         jurnalistik, mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus
         yang berkaitan dengan pemberitaan pers dan hal lain yang berkaitan dengan pers;
   (v) keberadaan pers asing di Indonesia;
   (vi) peran serta masyarakat dalam mengembangkan kemerdekaan pers; dan sanksi pers
         berupa ketentuan pidana bagi mereka yang melanggar ketentuan -ketentuan yang
         diatur dalam UU Pers.
Ada beberapa hal yang diatur dalam UU Pers. Pertama, dalam mempertanggung jawabkan
pemberitaan di depan hukum wartawan mempunyai hak tolak (Pasal 4 (4)). Tujuan Hak
Tolak untuk melindungi kepentingan sumber informasi. Hak dapat digunakan jika wartawan
dimintai keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan.
Hak tolak tidak absolut, dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau
ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan. Hak dapat digunakan jika wartawan
dimintai keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan.
Hal berikutnya yang diatur yakni hak jawab yakni hak seseorang memberikan sanggahan
atau tanggapan berupa fakta yang merugikan nama baiknya (Pasal 5 ayat 2). Pers juga wajib
melayani hak koreksi yaitu hak seseorang untuk mengoreksi/membetulkan kekeliruan
informasi yang diberitakan oleh pers baik mengenai dirinya ataupun mengenai orang lain
(Pasal 5 ayat 3).

                                          - 42 -
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013
Modul lengkap UKJ AJI 2012   2013

Weitere ähnliche Inhalte

Andere mochten auch

Kode etik jurnalistik (kelompok g)
Kode etik jurnalistik (kelompok g)Kode etik jurnalistik (kelompok g)
Kode etik jurnalistik (kelompok g)bristleone
 
Pers Yang Bebas Dan Bertanggung Jawab - Kelompok 1 12 IPA 1
Pers Yang Bebas Dan Bertanggung Jawab - Kelompok 1 12  IPA 1Pers Yang Bebas Dan Bertanggung Jawab - Kelompok 1 12  IPA 1
Pers Yang Bebas Dan Bertanggung Jawab - Kelompok 1 12 IPA 1bristleone
 
Pers yang bebas dan bertanggung jawab
Pers yang bebas dan bertanggung jawabPers yang bebas dan bertanggung jawab
Pers yang bebas dan bertanggung jawabMeita Purnamasari
 
Dasar Jurnalistik, Peliputan, dan Menulis Berita
Dasar Jurnalistik, Peliputan, dan Menulis BeritaDasar Jurnalistik, Peliputan, dan Menulis Berita
Dasar Jurnalistik, Peliputan, dan Menulis BeritaBahana Mahasiswa
 

Andere mochten auch (6)

Kode etik jurnalistik (kelompok g)
Kode etik jurnalistik (kelompok g)Kode etik jurnalistik (kelompok g)
Kode etik jurnalistik (kelompok g)
 
Pers Yang Bebas Dan Bertanggung Jawab - Kelompok 1 12 IPA 1
Pers Yang Bebas Dan Bertanggung Jawab - Kelompok 1 12  IPA 1Pers Yang Bebas Dan Bertanggung Jawab - Kelompok 1 12  IPA 1
Pers Yang Bebas Dan Bertanggung Jawab - Kelompok 1 12 IPA 1
 
Dasar jurnalistik
Dasar jurnalistikDasar jurnalistik
Dasar jurnalistik
 
Pers yang bebas dan bertanggung jawab
Pers yang bebas dan bertanggung jawabPers yang bebas dan bertanggung jawab
Pers yang bebas dan bertanggung jawab
 
Teknik menulis berita
Teknik menulis beritaTeknik menulis berita
Teknik menulis berita
 
Dasar Jurnalistik, Peliputan, dan Menulis Berita
Dasar Jurnalistik, Peliputan, dan Menulis BeritaDasar Jurnalistik, Peliputan, dan Menulis Berita
Dasar Jurnalistik, Peliputan, dan Menulis Berita
 

Ähnlich wie Modul lengkap UKJ AJI 2012 2013

Insani vol 3_no_1_jun_2016_marleen_m_ukim-f8cc3-2142_531
Insani vol 3_no_1_jun_2016_marleen_m_ukim-f8cc3-2142_531Insani vol 3_no_1_jun_2016_marleen_m_ukim-f8cc3-2142_531
Insani vol 3_no_1_jun_2016_marleen_m_ukim-f8cc3-2142_531STISIPWIDURI
 
Artikel b.indo revisi 2 (1)
Artikel b.indo revisi 2  (1)Artikel b.indo revisi 2  (1)
Artikel b.indo revisi 2 (1)AgungSFajar
 
Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik p...
Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik p...Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik p...
Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik p...Kal Bu Lorca
 
Situs Slot Dana Online Terpercaya
Situs Slot Dana Online TerpercayaSitus Slot Dana Online Terpercaya
Situs Slot Dana Online TerpercayaSlot Deposit Dana
 
PPT IMPLEMENTASI KODE ETIK JURNALISTIK PASAL 6 DI MEDIA SIBER PIJARNEWS.COM.pptx
PPT IMPLEMENTASI KODE ETIK JURNALISTIK PASAL 6 DI MEDIA SIBER PIJARNEWS.COM.pptxPPT IMPLEMENTASI KODE ETIK JURNALISTIK PASAL 6 DI MEDIA SIBER PIJARNEWS.COM.pptx
PPT IMPLEMENTASI KODE ETIK JURNALISTIK PASAL 6 DI MEDIA SIBER PIJARNEWS.COM.pptxTaufiqSyam2
 
Sejarah, Visi, Misi IJTI
Sejarah, Visi, Misi IJTISejarah, Visi, Misi IJTI
Sejarah, Visi, Misi IJTIijtikalsel
 
Rambu jurnalistik indonesia ppt
Rambu jurnalistik indonesia pptRambu jurnalistik indonesia ppt
Rambu jurnalistik indonesia pptJaya Purnama
 
Problematika Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik
Problematika Pelaksanaan Kode Etik JurnalistikProblematika Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik
Problematika Pelaksanaan Kode Etik JurnalistikYohanes Widodo S.Sos, M.Sc
 
Makalah kode etik psikologi
Makalah kode etik psikologiMakalah kode etik psikologi
Makalah kode etik psikologiIrvan Khoerul
 
Kode Etik Jurnalistik (2008)
Kode Etik Jurnalistik (2008)Kode Etik Jurnalistik (2008)
Kode Etik Jurnalistik (2008)Eka Kristina Dewi
 
Kode Etik Jurnalistik Wartawan.pdf
Kode Etik Jurnalistik Wartawan.pdfKode Etik Jurnalistik Wartawan.pdf
Kode Etik Jurnalistik Wartawan.pdfmeira8
 
Buku ungu-koreksi-akhir ok (1)
Buku ungu-koreksi-akhir ok (1)Buku ungu-koreksi-akhir ok (1)
Buku ungu-koreksi-akhir ok (1)budhi mp
 
Kode Etik Psikologi Indonesia, Amerika, Eropa
Kode Etik Psikologi Indonesia, Amerika, EropaKode Etik Psikologi Indonesia, Amerika, Eropa
Kode Etik Psikologi Indonesia, Amerika, EropaErnita Mijil
 
Hukum dan kode etik pers
Hukum dan kode etik persHukum dan kode etik pers
Hukum dan kode etik persDanu Putra
 
Hukum dan kode etik pers
Hukum dan kode etik persHukum dan kode etik pers
Hukum dan kode etik persDanu Putra
 

Ähnlich wie Modul lengkap UKJ AJI 2012 2013 (20)

Insani vol 3_no_1_jun_2016_marleen_m_ukim-f8cc3-2142_531
Insani vol 3_no_1_jun_2016_marleen_m_ukim-f8cc3-2142_531Insani vol 3_no_1_jun_2016_marleen_m_ukim-f8cc3-2142_531
Insani vol 3_no_1_jun_2016_marleen_m_ukim-f8cc3-2142_531
 
LPJ.pptx
LPJ.pptxLPJ.pptx
LPJ.pptx
 
Artikel b.indo revisi 2 (1)
Artikel b.indo revisi 2  (1)Artikel b.indo revisi 2  (1)
Artikel b.indo revisi 2 (1)
 
Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik p...
Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik p...Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik p...
Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik p...
 
Situs Slot Dana Online Terpercaya
Situs Slot Dana Online TerpercayaSitus Slot Dana Online Terpercaya
Situs Slot Dana Online Terpercaya
 
PPT IMPLEMENTASI KODE ETIK JURNALISTIK PASAL 6 DI MEDIA SIBER PIJARNEWS.COM.pptx
PPT IMPLEMENTASI KODE ETIK JURNALISTIK PASAL 6 DI MEDIA SIBER PIJARNEWS.COM.pptxPPT IMPLEMENTASI KODE ETIK JURNALISTIK PASAL 6 DI MEDIA SIBER PIJARNEWS.COM.pptx
PPT IMPLEMENTASI KODE ETIK JURNALISTIK PASAL 6 DI MEDIA SIBER PIJARNEWS.COM.pptx
 
Sejarah, Visi, Misi IJTI
Sejarah, Visi, Misi IJTISejarah, Visi, Misi IJTI
Sejarah, Visi, Misi IJTI
 
Rambu jurnalistik indonesia ppt
Rambu jurnalistik indonesia pptRambu jurnalistik indonesia ppt
Rambu jurnalistik indonesia ppt
 
Pendidikan jurnalisme aswaja
Pendidikan jurnalisme aswajaPendidikan jurnalisme aswaja
Pendidikan jurnalisme aswaja
 
Elemen dasar jurnalistik
Elemen dasar jurnalistikElemen dasar jurnalistik
Elemen dasar jurnalistik
 
Problematika Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik
Problematika Pelaksanaan Kode Etik JurnalistikProblematika Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik
Problematika Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik
 
Makalah kode etik psikologi
Makalah kode etik psikologiMakalah kode etik psikologi
Makalah kode etik psikologi
 
Silabus-2014
Silabus-2014Silabus-2014
Silabus-2014
 
Jurnalistik.pptx
Jurnalistik.pptxJurnalistik.pptx
Jurnalistik.pptx
 
Kode Etik Jurnalistik (2008)
Kode Etik Jurnalistik (2008)Kode Etik Jurnalistik (2008)
Kode Etik Jurnalistik (2008)
 
Kode Etik Jurnalistik Wartawan.pdf
Kode Etik Jurnalistik Wartawan.pdfKode Etik Jurnalistik Wartawan.pdf
Kode Etik Jurnalistik Wartawan.pdf
 
Buku ungu-koreksi-akhir ok (1)
Buku ungu-koreksi-akhir ok (1)Buku ungu-koreksi-akhir ok (1)
Buku ungu-koreksi-akhir ok (1)
 
Kode Etik Psikologi Indonesia, Amerika, Eropa
Kode Etik Psikologi Indonesia, Amerika, EropaKode Etik Psikologi Indonesia, Amerika, Eropa
Kode Etik Psikologi Indonesia, Amerika, Eropa
 
Hukum dan kode etik pers
Hukum dan kode etik persHukum dan kode etik pers
Hukum dan kode etik pers
 
Hukum dan kode etik pers
Hukum dan kode etik persHukum dan kode etik pers
Hukum dan kode etik pers
 

Mehr von Indrayadi Hatta

Surat Penawaran Komputer
Surat Penawaran KomputerSurat Penawaran Komputer
Surat Penawaran KomputerIndrayadi Hatta
 
Belajar cepat angka romawi kuno
Belajar cepat angka romawi kunoBelajar cepat angka romawi kuno
Belajar cepat angka romawi kunoIndrayadi Hatta
 
UU No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran
UU No.32 Tahun 2002 Tentang PenyiaranUU No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran
UU No.32 Tahun 2002 Tentang PenyiaranIndrayadi Hatta
 
UU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers
UU No.40 Tahun 1999 Tentang PersUU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers
UU No.40 Tahun 1999 Tentang PersIndrayadi Hatta
 
UU Keterbukaan Informasi Publik
UU Keterbukaan Informasi PublikUU Keterbukaan Informasi Publik
UU Keterbukaan Informasi PublikIndrayadi Hatta
 
Tanda Bintang Jasa TNI - POLRI
Tanda Bintang Jasa TNI - POLRITanda Bintang Jasa TNI - POLRI
Tanda Bintang Jasa TNI - POLRIIndrayadi Hatta
 
Sejarah aliansi jurnalis independen
Sejarah aliansi jurnalis independenSejarah aliansi jurnalis independen
Sejarah aliansi jurnalis independenIndrayadi Hatta
 

Mehr von Indrayadi Hatta (7)

Surat Penawaran Komputer
Surat Penawaran KomputerSurat Penawaran Komputer
Surat Penawaran Komputer
 
Belajar cepat angka romawi kuno
Belajar cepat angka romawi kunoBelajar cepat angka romawi kuno
Belajar cepat angka romawi kuno
 
UU No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran
UU No.32 Tahun 2002 Tentang PenyiaranUU No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran
UU No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran
 
UU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers
UU No.40 Tahun 1999 Tentang PersUU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers
UU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers
 
UU Keterbukaan Informasi Publik
UU Keterbukaan Informasi PublikUU Keterbukaan Informasi Publik
UU Keterbukaan Informasi Publik
 
Tanda Bintang Jasa TNI - POLRI
Tanda Bintang Jasa TNI - POLRITanda Bintang Jasa TNI - POLRI
Tanda Bintang Jasa TNI - POLRI
 
Sejarah aliansi jurnalis independen
Sejarah aliansi jurnalis independenSejarah aliansi jurnalis independen
Sejarah aliansi jurnalis independen
 

Kürzlich hochgeladen

Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
Demonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdfDemonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdf
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdfvebronialite32
 
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisKelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisNazla aulia
 
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques Rousseau.pdf
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques  Rousseau.pdfPEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques  Rousseau.pdf
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques Rousseau.pdfMMeizaFachri
 
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnasPembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnasAZakariaAmien1
 
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 TesalonikaMateri Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 TesalonikaSABDA
 
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...MarwanAnugrah
 
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdfsandi625870
 
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptxMODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptxarnisariningsih98
 
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum MerdekaModul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum MerdekaAbdiera
 
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSKisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSyudi_alfian
 
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxJurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxBambang440423
 
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdf
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdfBuku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdf
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdfWahyudinST
 
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdfrpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdfGugunGunawan93
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxFuzaAnggriana
 
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiEdukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiIntanHanifah4
 
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup BangsaDinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup BangsaEzraCalva
 
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuCatatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuHANHAN164733
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfCloverash1
 
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmmaksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmmeunikekambe10
 
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...Kanaidi ken
 

Kürzlich hochgeladen (20)

Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
Demonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdfDemonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdf
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
 
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisKelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
 
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques Rousseau.pdf
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques  Rousseau.pdfPEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques  Rousseau.pdf
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques Rousseau.pdf
 
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnasPembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
 
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 TesalonikaMateri Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
 
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
 
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf
 
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptxMODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
 
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum MerdekaModul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
 
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSKisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
 
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxJurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
 
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdf
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdfBuku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdf
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdf
 
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdfrpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
 
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiEdukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
 
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup BangsaDinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
 
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuCatatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
 
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmmaksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
 
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
 

Modul lengkap UKJ AJI 2012 2013

  • 1. UJI KOMPETENSI JURNALIS ALIANSI JURNALIS INDPENDEN Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI Disiapkan Oleh Divisi Etik & Biro Pendidikan AJI Indonesia Editor: Willy Pramudya Jakarta, 2012
  • 2. Penjelasan AJI & Peraturan Dewan Pers -1-
  • 3. Uji Kompetensi Jurnalis AJI Oleh Willy Pramudya Uji Kompetensi Jurnalis (selanjutnya disingkat UKJ) yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) merupakan salah satu agenda yang sejak lama didesakkan anggota AJI untuk menjawab problem profesionalisme dan independensi jurnalis serta penegakan etika jurnalistik di Indonesia. Oleh karena itu dalam perjalanan waktu, Kongres AJI Tahun 2011 di Makassar memasukkan UKJ sebagai salah satu program nasional yang harus dijalankan oleh pengurus AJI. Selain itu UKJ juga dipandang sebagai salah satu cara AJI untuk meningkatkan profesionalisme, terutama ketaatan jurnalis kepada kode etik jurnalistik (KEJ), dan independensi jurnalis anggota AJI. Kemudian pada Rapat Kerja Nasional AJI 2012 (Februari, 2012) lahir kesepakatan bahwa dalam kurun waktu tiga tahun kepengurusan AJI Indonesia (periode 2011-2014) setidaknya separuh dari jumlah anggota AJI telah memiliki sertifikat kompeten. AJI memahami bahwa UKJ bukanlah program eksklusif milik AJI. Dewan Pers sudah menjadikan UKJ dengan nama Uji Kompetensi Wartawan (UKW) sebagai program yang telah mulai dilaksanakan sejak tahun 2011. Demikian juga organisasi jurnalis di luar AJI. Sejak Dewan Pers menaja UKW, memang ada beberapa anggota AJI yang mengikuti uji kompetensi tersebut sehingga mereka telag memliki serttifikat kompetensi. Namun masih banyak anggota AJI yang belum memiliki sertifikat sehingga AJI merasa perlu membuat program UKJ versi AJI yang diharapkan lebih mencerminkan atau sesuai dengan visi dan nilai-nilai perjuangan AJI. Pada April 2012 untuk kali pertama AJI menyelanggarakan UKJ versi AJI yang pelaksanaannya tetap sesuai dengan standar Dewan Pers. Namun UKJ perdana AJI yang berlangsung di Wisma Hijau Cimanggis, Depok, Jawa Barat itu juga menjadi rintisan UKJ versi AJI yang menggunakan standarnya sendiri setelah AJI berhasil merumuskan standar kompetensi jurnalis (SKJ) yang lebih sesuai dengan ideologi, filosofi dan nilai -nilai perjuangan AJI. Secara ringkas dapat dikatakan ada dua tujuan utama penyelenggaraan UKJ di linmgkungan AJI. Pertama, untuk menyiapkan dan mengantarkan anggota agar memiliki SKJ. Kedua, UKJ dan SKJ AJI menjadi acuan standar jurnalistik yang tinggi sekaligus gayut dengan perkembangan pers. Dari segi materi, UKJ AJI tentu berbeda dengan sistem pendidikan dan jurnalisme di perguruan tinggi maupun sistem pengujiannya. Pada umumnya pendidikan dan oengujian jurnalisme di perguruan tinggi diorganisasikan pada seputar tiga poros atau jalur perkembangan. Pertama, poros yang mengajarkan norma-norma, nilai -nilai, perangkat, -2-
  • 4. standar, dan praktek jurnalisme; kedua, poros yang menekan pada aspek-aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum dan etika dari praktek jurnalisme, baik di dalam negeri maupun di luar negeri; dan ketiga, poros yang terdiri dari pengetahuan umum mengenai dunia dan tantangan -tantangan intelektual dalam dunia jurnalisme. [Lihat Buku Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Jurnalisme (Versi Asli: Model Curricula for Journalisme Education oleh Uniesco, 2007)]. Sementara UKJ AJI, sesuai dengan tujuannya lebih diorganisasikan pada empat poros utama, yakni pertama, Pengetahuan Umum; kedua, Jurnalisme; ketiga, Praktik Jurnalistik; dan keemoat, Pendalaman Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Pertama, Pengetahuan Umum, adalah materi yang berkaitan dengan materi tentang Profesionalisme, Komunikasi Massa, Pers Nasional dan Media Global, Hukum Pers. Kedua, Jurnalisme atau Teori Jurnalistik adalah materi uji yang berkaitan dengan Prinsip -prinsip Jurnalistik,; Unsur Berita, Nilai Berita, dan Jenis Berita; Bahasa Jurnalistik; Fakta dan Opini; Narasumber; dan Kode Etik Jurnalistik. Ketiga, Praktik Jurnalistik ialah materi uji yang berkiatan dengan Tekbnik Melakukan Wawancara, Menjalankan Peliputan, Menyusun Berita, Menyunting Berita, Merancang Materi dan Desain, Mengelola Manajemen Redaksi, Menetapkan Kebijakan Redaksi, dan Menggunakan Peralatan Teknologi Informasi. Keempat, Pendalaman KEJ, adalah materi uji yang menyangkut Pe metaan dan Penyikapan Problem Etik serta Perincian Kode Etik ke Kode Perilaku. Sementara itu dari segi metodologi, UKJ AJI menggunakan metode eklektik atau metode penggabungan. Metode ini dipilih atas dasar asumsi bahwa tidak ada metode yang ideal karena tiap -tiap metode memiliki segi -segi kekuatan dan kelemahan. Secara ringkas metode eklektik yang dimaksudkan di sini ialah metode yang menggabungkan metode penugasan antara lain menulis artikel atau esai di rumah sebelum mengikuti ujian tertutup, (me njawab pertanyaan secara) tertulis, (tanya jawab secara) lisan, praktik dan simulasi, dan diskusi. Adapun penyangkut pelaksanaanannya, UKJ AJI akan berlangsung selama dua hari hingga dua setengah hari. Setiap pelaksanaan UKJ akan selalu diawali dengan sosialisasi konsep, metodologi dan pelaksanaan ujian. Selain itu peserta juga akan diajak masuk ke pendalaman materi yang berkaitan dengan KEJ, baik yang berkaitan dengan fenomena yang terjadi di lapangan dan reflaksi atas penegakan KEJ. Oleh sebab itu sebelum memasuki sesi ujian pokok, peserta UKJ AJI diwajibkan mengikuti sesi pendalaman masalah etika jurnalistik dan refleksinya bersama narasumber/pakar/ profesional. Sebagaimana dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa UKJ AJI diselenggarakan untuk menyiapkan dan mengantarkan anggota AJI agar memiliki SKJ serta menjadikan UKJ sebagai acuan standar jurnalistik yang tinggi dan gayut dengan perkembangan pers. Namun karena para anggota AJI tidak berada dalam jenjang/tingkatan yang sama, , maka UKJ AJI diberikan berdasarkan jenjang, yakni mulai dari jenjang senior hingga jenjang yunior. Namun pelaksanaanya dilakukan secara serentak dalam satu satuan penyelenggaraan. -3-
  • 5. Dari sisi penguji, setiap penyelenggaraan UKJ akan melibatkan satu tim penguji yang dinamain Tim Penguji AJI Indonesia. Pada umumnya , selama UKJ berlangsung seorang penguji hanya memiliki kemampuan menguji lima peserta UKJ. Oleh sebab itu, jumlah anggota tim penguji UKJ akan terganting pada jumlah peserta. Untuk saat ini, penyelenggaraan UKJ AJI diprioritaskan bagi jurnalis anggota AJI. Namun untuk selanjutnya AJI tidak menutup peluang bagi jurnalis non-AJI yang ingin mengikuti UKJ AJI dengan syarat bersedia memenuhi seluruh persyaratan yang berlaku maupun kultur yang hidup di lingkungan AJI. Willy Pramudya Koordinator Divisi Etik dan Pengambangan Profesi AJI Indonesia -4-
  • 6. PERATURAN DEWAN PERS Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 Tentang STANDAR KOMPETENSI WARTAWAN DEWAN PERS, Menimbang : a. Bahwa diperlukan standar untuk dapat menilai profesionalitas wartawan; b. Bahwa belum terdapat standar kompetensi wartawan yang dapat digunakan oleh masyarakat pers; c. Bahwa hasil rumusan Hari Pers Nasional tahun 2007 antara lain mendesak agar Dewan Pers segera memfasilitas perumusan standar kompetensi wartawan; d. Bahwa demi kelancaran tugas dan fungsi Dewan Pers dan untuk memenuhi permintaan perusahaan pers, organisasi wartawan dan masyarakat pers maka Dewan Pers mengeluarkan Peraturan tentang Standar Kompetensi Wartawan. Mengingat : 1. Pasal 15 ayat (2) huruf F Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers; 2. Keputusan Presiden Nomor 7/M Tahun 2007 tanggal 9 Februari 2007, tentang Keanggotaan Dewan Pers periode tahun 2006 – 2009; 3. Peraturan Dewan Pers Nomor 3/Peraturan -DP/III/2008 tentang Standar Organisasi Perusahaan Pers; 4. Peraturan Dewan Pers Nomor 7/Peraturan-DP/III/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 04/SK-DP/III/2006 tentang Standar Organisasi Wartawan; 5. Pertemuan pengesahan Standar Kompetensi Wartawan yang dihadiri oleh organisasi pers, perusahaan pers organisasi wartawan, dan masyarakat pers serta Dewan Pers pada hari Selasa, 26 Januari 2010, di Jakarta; 6. Keputusan Sidang Pleno Dewan Pers pada hari Selasa tanggal 2 Februari 2010 di Jakarta. MEMUTUSKAN Menetapkan : Peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi Wartawan. Pertama : Mengesahkan Standar Kompetensi Wartawan sebagaimana terlampir. Kedua : Peraturan Dewan Pers ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 2 Februari 2010 Ketua Dewan Pers, ttd Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA -5-
  • 7. BAGIAN I PENDAHULUAN A. UMUM Menjadi wartawan merupakan hak asasi seluruh warga negara. Tidak ada ketentuan yang membatasi hak seseorang untuk menjadi wartawan. Pekerjaan wartawan sendiri sangat berhubungan dengan kepentingan publik karena wartawan adalah bidan sejarah, pengawal kebenaran dan keadilan, pemuka pendapat, pelindung hak-hak pribadi masyarakat, musuh penjahat kemanusiaan seperti koruptor dan politisi busuk. Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugasnya wartawan harus memiliki standar kompentensi yang memadai dan disepakati oleh masyarakat pers. Standar kompetensi ini menjadi alat ukur profesionalitas wartawan. Standar kompetensi wartawan (SKW) diperlukan untuk melindungi kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat. Standar ini juga untuk menjaga kehormatan pekerjaan wartawan dan bukan untuk membatasi hak asasi warga negara menjadi wartawan. Kompetensi wartawan pertama-pertama berkaitan dengan kemampuan intelektual dan pengetahuan umum. Di dalam kompetensi wartawan melekat pemahaman tentang pentingnya kemerdekaan berkomunikasi, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Kompetensi wartawan meliputi kemampuan memahami etika dan hukum pers, konsepsi berita, penyusunan dan penyuntingan berita, serta bahasa. Dalam hal yang terakhir ini juga menyangkut kemahiran melakukannya, seperti juga kemampuan yang bersifat teknis sebagai wartawan profesional, yaitu mencari, memperoleh, menyimpan, memiliki, mengolah, serta membuat dan menyiarkan berita. Untuk mencapai standar kompetensi, seorang wartawan harus mengikuti uji kompetensi yang dilakukan oleh lembaga yang telah diverifikasi Dewan Pers, yaitu perusahaan pers, organisasi wartawan, perguruan tinggi atau lembaga pendidikan jurnalistik. Wartawan yang belum mengikuti uji kompetensi dinilai belum memiliki kompetensi sesuai standar kompetensi ini -6-
  • 8. B. PENGERTIAN Standar adalah patokan baku yang menjadi pegangan ukuran dan dasar. Standar juga berarti model bagi karakter unggulan. Kompetensi adalah kemampuan tertentu yang menggambarkan tingkatan khusus menyangkut kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan. Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik berupa mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik, maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran lainnya. Kompetensi wartawan adalah kemampuan wartawan untuk memahami, menguasai, dan menegakkan profesi jurnalistik atau kewartawanan serta kewenangan untuk menentukan (memutuskan) sesuatu di bidang kewartawanan. Hal itu menyangkut kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan. Standar kompetensi wartawan adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan/keahlian, dan sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas kewartawanan. C. TUJUAN STANDAR KOMPETENSI WARTAWAN 1. Meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan. 2. Menjadi acuan sistem evaluasi kinerja wartawan oleh perusahaan pers. 3. Menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik. 4. Menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi khusus penghasil karya intelektual. 5. Menghindarkan penyalahgunaan profesi wartawan. 6. Menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam industri pers. D. MODEL DAN KATEGORI KOMPETENSI Dalam rumusan kompetensi wartawan ini digunakan model dan kategori kompetensi, yaitu: Kesadaran (awareness): mencakup kesadaran tentang etika dan hukum, kepekaan jurnalistik, serta pentingnya jejaring dan lobi. -7-
  • 9. Pengetahuan (knowledge) : mencakup teori dan prinsip jurnalistik, pengetahuan umum, dan pengetahuan khusus. Keterampilan (skills): mencakup kegiatan 6M (mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi), serta melakukan riset/investigasi, analisis/prediksi, serta menggunakan alat dan teknologi informasi. Kompetensi wartawan yang dirumuskan ini merupakan hal-hal mendasar yang harus dipahami, dimiliki, dan dikuasai oleh seorang wartawan. Kompetensi wartawan Indonesia yang dibutuhkan saat ini adal ah sebagai berikut: 1. Kesadaran (awareness) Dalam melaksanakan pekerjaannya wartawan dituntut menyadari norma-norma etika dan ketentuan hukum. Garis besar kompetensi kesadaran wartawan yang diperlukan bagi peningkatan kinerja dan profesionalisme wartawan adalah: 1.1. Kesadaran Etika dan Hukum Kesadaran akan etika sangat penting dalam profesi kewartawanan, sehingga setiap langkah wartawan, termasuk dalam me ngambil keputusan untuk menulis atau menyiarkan masalah atau peristiwa, akan selalu dilandasi pertimbangan yang matang. Kesadaran etika juga akan memudahkan wartawan dalam mengetahui dan menghindari terjadinya kesalahan-kesalahan seperti melakukan plagiat atau menerima imbalan. Dengan kesadaran ini wartawan pun akan tepat dalam menentukan kelayakan berita atau menjaga kerahasiaan sumber. Kurangnya kesadaran pada etika dapat berakibat serius berupa ketiadaan petunjuk moral, sesuatu yang dengan tegas mengarahkan dan memandu pada nilai -nilai dan prinsip yang harus dipegang. Kekurangan kesadaran juga dapat menyebabkan wartawan gagal dalam melaksanakan fungsinya. Wartawan yang menyiarkan informasi tanpa arah berarti gagal menjalankan perannya untuk menyebarkan kebenaran suatu masalah dan peristiwa. Tanpa kemampuan menerapkan etika, wartawan rentan terhadap kesalahan dan dapat memunculkan persoalan yang berakibat tersiarnya informasi yang tidak akurat dan bias, menyentuh privasi, atau tidak menghargai sumber berita. Pada akhirnya hal itu menyebabkan kerja jurnalistik yang buruk. -8-
  • 10. Untuk menghindari hal - hal di atas wartawan wajib: a. Memiliki integritas, tegas dalam prinsip, dan kuat dalam nilai. Dalam melaksanakan misinya wartawan harus beretika, memiliki tekad untuk berpegang pada standar jurnalistik yang tinggi, dan memiliki tanggung jawab. b. Melayani kepentingan publik, mengingatkan yang berkuasa agar bertanggung jawab, dan menyuarakan yang tak bersuara agar didengar pendapatnya. c. Berani dalam keyakinan, independen, mempertanyakan otoritas, dan menghargai perbedaan. Wartawan harus terus meningkatkan kompetensi etikanya, karena wartawan yang terus melakukan hal itu akan lebih siap dalam menghadapi situasi yang pelik. Untuk meningkatkan kompetensi etika, wartawan perlu mendalami Kode Etik Jurnalistik dan kode etik organisasi wartawan masing-masing. Sebagai pelengkap pemahaman etika, wartawan dituntut untuk memahami dan sadar ketentuan hukum yang terkait dengan kerja jurnalistik. Pemahaman tentang hal ini pun perlu terus ditingkatkan. Wartawan wajib menyerap dan memahami Undang- Undang Pers, menjaga kehormatan, dan melindungi hak-haknya. Wartawan juga perlu tahu hal-hal mengenai penghinaan, pelanggaran terhadap privasi, dan berbagai ke tentuan dengan narasumber (seperti off the record, sumber-sumber yang tak mau disebut namanya/ confidential sources). Kompetensi hukum menuntut penghargaan pada hukum, batas-batas hukum, dan memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat dan berani untuk memenuhi kepentingan publik dan menjaga demokrasi. 1.2. Kepekaan Jurnalistik Kepekaan jurnalistik adalah naluri dan sikap diri wartawan dalam memahami, menangkap, dan mengungkap informasi tertentu yang bisa dikembangkan menjadi suatu karya jurnalistik. 1.3. Jejaring dan Lobi Wartawan yang dalam tugasnya mengemban kebebasan pers sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat harus sadar, kenal, dan memerlukan jejaring dan lobi yang seluas- luasnya dan sebanyak-banyaknya, sebagai sumber informasi yang dapat dipercaya, akurat, terkini, dan komprehensif serta mendukung pelaksanaan profesi wartawan. Hal - hal di atas dapat dilakukan dengan: a. Membangun jejaring dengan narasumber; b. Membina relasi; c. Memanfaatkan akses; -9-
  • 11. d. Menambah dan memperbarui basis data relasi; e. Menjaga sikap profesional dan integritas sebagai wartawan. 2. Pengetahuan (knowledge) Wartawan dituntut untuk memiliki teori dan prinsip jurnalistik, pengetahuan umum, serta pengetahuan khusus. Wartawan juga perlu mengetahui berbagai perkembangan informasi mutakhir bidangnya. 2.1. Pengetahuan umum Pengetahuan umum mencakup pengetahuan umum dasar tentang berbagai masalah seperti sosial, budaya, politik, hukum, sejarah, dan ekonomi. Wartawan dituntut untuk terus menambah pengetahuan agar mampu mengikuti dinamika sosial dan kemudian menyajikan informasi yang bermanfaat bagi khalayak. 2.2. Pengetahuan khusus Pengetahuan khusus mencakup pengetahuan yang berkaitan dengan bidang liputan. Pengetahuan ini diperlukan agar liputan dan karya jurnalistik spesifik seorang wartawan lebih bermutu. 2.3. Pengetahuan teori dan prinsip jurnalistik Pengetahuan teori dan prinsip jurnalistik mencakup pengetahuan tentang teori dan prinsip jurnalistik dan komunikasi. Memahami teori jurnalistik dan komunikasi penting bagi wartawan dalam menjalankan profesinya. 3. Keterampilan (skills) Wartawan mutlak menguasai keterampilan jurnalistik seperti teknik menulis, teknik mewawancara, dan teknik menyunting. Selain itu, wartawan juga harus mampu melakukan riset, investigasi, analisis, dan penentuan arah pemberitaan serta terampil menggunakan alat kerjanya termasuk teknologi informasi. 3.1. Keterampilan peliputan (enam M) Keterampilan peliputan mencakup keterampilan mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi. Format dan gaya peliputan terkait dengan medium dan khalayaknya. 3.2. Keterampilan menggunakan alat dan tekn ologi informasi Keterampilan menggunakan alat mencakup keterampilan menggunakan semua peralatan termasuk teknologi informasi yang dibutuhkan untuk menunjang profesinya. - 10 -
  • 12. 3.3. Keterampilan riset dan investigasi Keterampilan riset dan investigasi mencakup kemampuan menggunakan sumber-sumber referensi dan data yang tersedia; serta keterampilan melacak dan memverifikasi informasi dari berbagai sumber. 3.4. Keterampilan analisis dan arah pemberitaan Keterampilan analisis dan penentuan arah pemberitaan mencakup kemampuan mengumpulkan, membaca, dan menyaring fakta dan data kemudian mencari hubungan berbagai fakta dan data tersebut. Pada akhirnya wartawan dapat memberikan penilaian atau arah perkembangan dari suatu berita. E. KOMPETENSI KUNCI Kompetensi kunci merupakan kemampuan yang harus dimiliki wartawan untuk mencapai kinerja yang dipersyaratkan dalam pelaksanaan tugas pada unit kompetensi tertentu. Kompetensi kunci terdiri dari 11 (sebelas) kategori kemampuan, yaitu: 1. Memahami dan menaati etika jurnalistik; 2. Mengidentifikasi masalah terkait yang memiliki nilai berita; 3. Membangun dan memelihara jejaring dan lobi; 4. Menguasai bahasa; 5. Mengumpulkan dan menganalisis informasi (fakta dan data) dan informasi bahan berita; 6. Menyajikan berita; 7. Menyunting berita; 8. Merancang rubrik atau kanal halaman pemberitaan dan atau slot program pemberitaan; 9. Manajemen redaksi; 10. Menentukan kebijakan dan arah pemberitaan; 11. Menggunakan peralatan teknologi pemberitaan; F. LEMBAGA PENGUJI KOMPETENSI Lembaga yang dapat melaksanakan uji kompetensi wartawan adalah: 1. Perguruan tinggi yang memiliki program studi komunikasi/jurnalistik, 2. Lembaga pendidikan kewartawanan, 3. Perusahaan pers, dan 4. Organisasi wartawan. Lembaga tersebut harus memenuhi kriteria Dewan Pers. G. UJIAN KOMPETENSI 1. Peserta yang dapat menjalani uji kompetensi adalah wartawan. - 11 -
  • 13. 2. Wartawan yang belum berhasil dalam uji kompetensi dapat mengulang pada kesempatan ujian berikutnya di lembaga-lembaga penguji kompetensi. 3. Sengketa antarlembaga penguji atas hasil uji kompetensi wartawan, diselesaikan dan diputuskan oleh Dewan Pers. 4. Setelah menjalani jenjang kompetensi wartawan muda sekurang-kurangnya tiga tahun, yang bersangkutan berhak mengikuti uji kompetensi wartawan madya. 5. Setelah menjalani jenjang kompetensi wartawan madya sekurang-kurangnya dua tahun, yang bersangkutan berhak mengikuti uji kompetensi wartawan utama. 6. Sertifikat kompetensi berlaku sepanjang pemegang sertifikat tetap menjalankan tugas jurnalistik. 7. Wartawan pemegang sertifikat kompetensi yang tidak menjalankan tugas jurnalistik minimal selama dua tahun berturut-turut, jika akan kembali menjalankan tugas jurnalistik, diakui berada di jenjang kompetensi terakhir. 8. Hasil uji kompetensi ialah kompeten atau belum kompeten. 9. Perangkat uji kompetensi terdapat di Bagian III Standar Kompetensi Wartawan ini dan wajib digunakan oleh lembaga penguji saat melakukan uji kompetensi terhadap wartawan. 10. Soal ujian kompetensi disiapkan oleh lembaga penguji dengan mengacu ke perangkat uji kompetensi. 11. Wartawan dinilai kompeten jika memperoleh hasil minimal 70 dari skala penilaian 10 – 100. H. LEMBAGA SERTIFIKASI PROFESI Lembaga penguji menentukan kelulusan wartawan dalam uji kompetensi dan Dewan Pers mengesahkan kelulusan uji kompetensi tersebut. I. PEMIMPIN REDAKSI Pemimpin redaksi menempati posisi strategis dalam perusahaan pers dan dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap tingkat profesionalitas pers. Oleh karena itu, pemimpin redaksi haruslah yang telah berada dalam jenjang kompetensi wartawan utama dan memiliki pengalaman yang memadai. Kendati demikian, tidak boleh ada ketentuan yang bersifat diskriminatif dan melawan pertumbuhan alamiah yang menghalangi seseorang menjadi pemimpin redaksi. Wartawan yang dapat menjadi pemimpin redaksi ialah mereka yang telah memiliki kompetensi wartawan utama dan pengalaman kerja sebagai wartawan minimal 5 (lima) tahun. - 12 -
  • 14. J. PENANGGUNG JAWAB Sesuai dengan UU Pers, yang dimaksud dengan penanggung jawab adalah penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Dalam posisi itu penanggung jawab dianggap bertanggung jawab terhadap keseluruhan proses dan hasil produksi serta konsekuensi hukum perusahaannya. Oleh karena itu, penanggung jawab harus memiliki pengalaman dan kompetensi wartawan setara pemimpin redaksi. K. TOKOH PERS Tokoh-tokoh pers nasional yang reputasi dan karyanya sudah diakui oleh masyarakat pers dan telah berusia 50 tahun saat standar kompetensi wartawan ini diberlakukan dapat ditetapkan telah memiliki kompetensi wartawan. Penetapan ini dilakukan oleh Dewan Pers. L. LAIN-LAIN Selambat-lambatnya dua tahun sejak diberlakukannya Standar Kompetensi Wartawan ini, perusahaan pers dan organisasi wartawan yang telah dinyatakan lulus verifikasi oleh Dewan Pers sebagai lembaga penguji Standar Kompetensi Wartawan harus menentukan jenjang kompetensi para wartawan di perusahaan atau organisasinya. Perubahan Standar Kompetensi Wartawan dilakukan oleh masyarakat pers dan difasilitasi oleh Dewan Pers. - 13 -
  • 15. Bagian II KOMPETENSI WARTAWAN A. ELEMEN KOMPETENSI Elemen Kompetensi adalah bagian kecil unit kompetensi yang mengidentifikasikan aktivitas yang harus dikerjakan untuk mencapai unit kompetensi tersebut. Kandungan elemen kompetensi pada setiap unit kompetensi mencerminkan unsur pencarian, perolehan, pemilikan, penyimpanan, pengolahan, dan penyampaian. Elemen kompetensi wartawan terdiri dari: 1. Kompetensi umum, yakni kompetensi dasar yang dibutuhkan oleh semua orang yang bekerja sebagai wartawan. 2. Kompetensi inti, yakni kompetensi yang dibutuhkan wartawan dalam melaksanakan tugas-tugas umum jurnalistik. 3. Kompetensi khusus, yakni kompetensi yang dibutuhkan wartawan dalam melaksanakan tugas-tugas khusus jurnalistik. B. KUALIFIKASI KOMPETENSI WARTAWAN Kualifikasi kompetensi kerja wartawan dalam kerangka kualifikasi nasional Indonesia dikategorikan dalam kualifikasi I, II, III. Dengan demikian, jenjang kualifikasi kompetensi kerja wartawan dari yang terendah sampai dengan tertinggi ditetapkan sebagai berikut: 1. Kualifikasi I untuk Sertifikat Wartawan Muda. 2. Kualifikasi II untuk Sertifikat Wartawan Madya. 3. Kualifikasi III untuk Sertifikat Wartawan Utama. C. JENJANG KOMPETENSI WARTAWAN 1. Jenjang Kompetensi Wartawan Muda 2. Jenjang Kompetensi Wartawan Madya 3. Jenjang Kompetensi Wartawan Utama Masing-masing jenjang dituntut memiliki kompetensi kunci terdiri atas: 1. Kompetensi Wartawan Muda: melakukan kegiatan. 2. Kompetensi Wartawan Madya: mengelola kegiatan. 3. Kompetensi Wartawan Utama: mengevaluasi dan memodifikasi proses kegiatan. - 14 -
  • 16. D. ELEMEN UNJUK KERJA Elemen unjuk kerja merupakan bentuk pernyataan yang menggambarkan proses kerja pada setiap elemen kompetensi. Elemen kompetensi disertai dengan kriteria unjuk kerja harus mencerminkan aktivitas aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja. 1.1. Elemen Kompetensi Wartawan Muda a. Mengusulkan dan merencanakan liputan. b. Menerima dan melaksanakan penugasan. c. Mencari bahan liputan, termasuk informasi dan referensi d. Melaksanakan wawancara. e. Mengolah hasil liputan dan menghasilkan karya jurnalistik. f. Mendokumentasikan hasil liputan dan membangun basis data pribadi. g. Membangun dan memelihara jejaring dan lobi. 1.2. Elemen Kompetensi Wartawan Madya a. Menyunting karya jurnalistik wartawan. b. Mengompilasi bahan liputan menjadi karya jurnalistik. c. Memublikasikan berita layak siar. d. Memanfaatkan sarana kerja berteknologi informasi. e. Merencanakan, mengoordinasikan dan melakukan liputan berkedalaman (indepth reporting). f. Merencanakan, mengoordinasikan dan melakukan liputan investigasi (investigative reporting). g. Menyusun peta berita untuk mengarahkan kebijakan redaksi di bidangnya. h. Melakukan evaluasi pemberitaan di bidangnya. i. Membangun dan memelihara jejaring dan lobi. j. Memiliki jiwa kepemimpinan. 1.3. Elemen Kompetensi Wartawan Utama a. Menyunting karya jurnalistik wartawan. b. Mengompilasi bahan liputan menjadi karya jurnalistik. c. Memublikasikan berita layak siar. d. Memanfaatkan sarana kerja berteknologi informasi. e. Merencanakan, mengoordinasikan dan melakukan liputan berkedalaman (indepth reporting). f. Merencanakan, mengoordinasikan dan melakukan liputan investigasi (investigative reporting). g. Menyusun peta berita untuk mengarahkan kebijakan redaksi. h. Melakukan evaluasi pemberitaan. i. Memiliki kemahiran manajerial redaksi. j. Mengevaluasi seluruh kegiatan pemberitaan. - 15 -
  • 17. k. Membangun dan memelihara jejaring dan lobi. l. Berpandangan jauh ke depan/visioner. m. Memiliki jiwa kepemimpinan. E. TINGKATAN KOMPETENSI KUNCI Rincian tingkatan kemampuan pada setiap kategori kemampuan digunakan sebagai basis perhitungan nilai untuk se tiap kategori kompetensi kunci. Hal itu digunakan dalam menetapkan tingkat/derajat kesulitan untuk mencapai unit kompetensi tertentu. - 16 -
  • 18. Materi I PENGETAHUAN UMUM • Jurnalis sebagai Profesi • Pers dan Perjanalan Nasionalisme Indonesia • Hukum Jurnalistik - 17 -
  • 19. Jurnalis sebagai Profesi Oleh P. Hasudungan Sirait Jurnalis/wartawan/pewarta adalah sebuah profesi seperti halnya dokter, pilot, akuntan, apoteker, dosen, hakim, jaksa, pengacara, atau notaris. Tapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan profesi? Apa bedanya dengan pekerja lain, katakanlah pengamen, tukang tambal ban, atau kondektur bus kota? Bukankah semua itu sama-sama pekerjaan? Orang awam sering menyamakan begitu saja pengertian pekerjaan dengan profesi. Jurnalis pun masih banyak yang seperti itu. Mereka keliru, tentu. Bahwa profesi adalah pekerjaan, itu jelas. Tapi ada bedanya? Ada kualifikasi yang harus dipenuhi agar suatu bidang pekerjaan bisa dikategorikan sebagai profesi dan pelakunya disebut profesional. Lihatlah tabel di bawah. Apa yang membedakan antara lajur kiri dan kanan? Pekerjaan Profesi Sopir Arsitek Tukang pijat Pilot Tukang ojek Akuntan Bakul jamu Guru-dosen Pemulung Pengacara Pengamen Geolog Tukang tambal ban Dokter Pekerja seks komersil (PSK) Disainer grafis Pembantu rumah tangga Arkeolog Calo Planolog Pengemis Tentara Montir Astronom Ada yang mengatakan yang di lajur kanan berketrampilan. Memang benar. Tapi apakah yang di lajur kiri tidak demikian? Tukang pijat atau pembantu rumah tangga, contohnya; tak usah menyebut PSK. Bukankah banyak dari mereka yang terampil betul menjalankan pekerjaannya? Sebaliknya, bukankah dokter atau pengacara ada juga yang tak becus melakoni bidangnya? Terang, ketrampilan tak bisa kita jadikan pembeda. Kalau begitu, apa? ‘Profesi’ dan ‘profesional’ merupakan dua kata yang sangat bertaut. Yang satu kata benda, yang satu lagi kata sifat. Mereka yang berada di jalur sebuah profesi dan memenuhi kualifikasi bidangnya itulah yang disebut profesional. Memang sering juga kata ‘profesional’ dimaknai lebih luas. Yaitu mereka yang menghidupi atau menafkahi diri dengan menggeluti dunia tersebut sepenuhnya. Penyanyi, pemusik, aktor, pemain sepakbola, petinju, atau pegolf profesional, misalnya. Atribut ini dipakai untuk membedakan me reka dari - 18 -
  • 20. sejawatnya yang amatir; maksudnya: melakoni pekerjaan itu bukan sebagai jalan hidup. Kata lainnya, sambilan belaka. Supaya bisa disebut profesional seseorang harus memenuhi standar kompetensi bidangnya selain berfokus di sana. Mari kita telaah apa sesungguhnya yang dimaksud dengan profesi dan profesional itu. Kualifikasi Ada sejumlah syarat agar sebuah pekerjaan merupakan profesi dan pelakonnya dikatakan profesional. Ini berlaku universal. Berikut paparannya. Pendidikan khusus Mereka yang bergelut di bidang tersebut telah menjalani pendidikan khusus. Sekolah akuntansi, perawat, kebidanan, geologi, pertambangan, kepolisian, penerbangan, pelayaran, kepengacaraan, kehakiman, atau grafis, misalnya. Jenjang pendidikan ini macam- macam. Tapi kalau menggunakan ukuran yang berlaku di negeri kita sekarang minimal D-3. Strata Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)—sekolah ini naik daun setelah sebuah SMK di Solo berhasil membuat mobil—belum cukup. Bisa juga merupakan kursus singkat tapi pesertan ya paling tidak telah berijazah D-3. Peserta kursus calon pengacara, umpanya, harus lulusan program S-1. Tukang pijat atau montir, misalnya, sebagian pernah mengikuti pendidikan juga. Kursus, tepatnya. Bagaimana predikat mereka ini—tidakkah sama? Tetap saja tidak, sebab syarat berikut tidak semuanya mereka penuhi. Ketrampilan khusus Setelah mengikuti pendidikan khusus dengan sendirinya peserta memperoleh ketrampilan khusus. Yang dimaksud dengan ketrampilan adalah kecakapan yang merupakan perpaduan antara wawasan dengan kemampuan praktik. Seorang lulusan kursus pengacara misalnya akan memiliki ketrampilan seorang pengacara. Antara lain kepiawaian beracara di pengadilan, mendampingi klien, menyusun pembelaan (pledoi), atau menyiapkan jawaban (replik). Atau, seorang yang telah lulus dari fakultas kedokteran dan telah bergelar dokter akan mempunyai ketrampilan menangani pasien yang penyakitnya yang tidak spesifik. Selesma, sakit perut, muntaber, demam berdarah, radang tenggorokan, luka bakar, atau kadas-panu, umpamanya Standar kompetensi Ketrampilan tadi terukur. Artinya tingkat penguasaan ketrampilan itu definitif, tidak tergantung situasai [baca: tempat dan waktu]. Ketrampilan biasanya dibagi menjadi kecakapan standar (baku) dan tambahan. Yang harus dikuasai paling tidak yang baku. Di mana pun seorang pilot akan bisa menerbangkan pesawat yang telah dikenalnya dengan baik. Akuntan pun demikian: ia akan bisa memeriksa keuangan sebuah perusahaan atau lembaga apa pun dan di mana pun asal pembukuan tersebut standar. Seyogyanya seorang - 19 -
  • 21. jurnalis pun demikian. Ia akan bisa menjalankan news gathering, news writing, dan news reporting kapan saja dan di mana saja. Organisasi Memiliki pendidikan khusus, ketrampilan khusus, serta standar kompetensi saja belum cukup. Seseorang harus menjadi bagian dari sebuah organisasi profesi supaya disebut profesional. Pasalnya, organisasilah yang akan menguji secara berkala kemampuan profesional tersebut menentukan jenjang, serta yang menjadi regulator mereka. Bila ada persoalan terkait dengan profesi—misalnya dugaan malpraktik—organisasilah yang menjadi otoritas yang memeriksa serta memutus perkaranya—dalam hal ini majelis kode etik. Di Indonesia, organisasi profesi ada yang tunggal dan ada yang jamak. Dokter, misalnya, hanya berwadah satu yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI); akuntan pun demikian, hanya Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Sedangkan pengacara organisasinya beberapa termasuk Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), dan Serikat Pengcara Indonesia (SPI). Organisasi wartawan juga majemuk. Ada AJI, PWI, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Pewarta Foto, dan banyak lagi. Kode etik Setiap anggota organisasi profesi harus menjujung tinggi kode etiknya. Isi kode etik sebuah profesi pada dasarnya sama, kendati lembaganya macam-macam. Kode etik berfungsi sebagai rambu pengaman bagi anggota profesi baik ketika berhubungan dengan sejawat maupun dengan pihak luar. Ibarat rel, di sepanjang lintasan itulah kereta api wartawan lalu- lalang. Selama taat kode etik, mereka tak perlu khawatir bertabrakan dengan kendaraan baik yang sejenis maupun yang berbeda. Artinya, tak usah mencemaskan munculnya gugatan dari pihak mana pun terkait dengan pemberitaan. Kalaupun diperkarakan, mereka bisa membela diri dengan menggunakan bukti-bukti karya profesionalnya. Kualifikasi tinggi Supaya gambaran tentang syarat profesi ini jelas mari kita lihat potret tiga profesi di negeri kita ini yaitu dokter, pilot, dan pengacara. Kita mulai dari dokter. Bagaimana prosesnya untuk menjadi seorang dokter di Indonesia? Panjang tahapannya; barangkali malah yang terpanjang. Awalnya seseorang masuk fakultas kedokteran (FK) lewat seleksi yang ketat. Standar lulusnya (passing grade) merupakan yang tertinggi, sama dengan jurusan favorit di bidang teknik. Sejak zaman baheula, hanya orang-orang pintarlah yang diterima di FK UI, UGM, Airlangga, Trisakti, Udayana, USU, dan perguruan tinggi top lainnya. Sampai sekarang pun—termasuk setelah perguruan tinggi menjadi badan usaha yang serba komersil—masih demikian adanya. Sesudah mengikuti kuliah strata-1 sekitar 3,5 tahun sang mahasiswa pun pun menjadi sarjana kedokteran (S. Ked). Untuk menjadi dokter, ia wajib mengikuti pendidikan profesi - 20 -
  • 22. sekitar 1,5 tahun. Dengan sebutan dokter muda, ia harus magang sebagai co -assistant (koass) di rumah sakit. Setelah dilantik menjadi dokter, dia disyaratkan mengikuti ujian kompetensi kedokteran (ketentuan ini berlaku sejak 2007). Satu lagi, ia dianjurkan ikut program pengabdian di daerah dengan menjadi pegawai tidak tetap (PTT). Dulu sebutannya ‘dokter Inpres’. Dalam beberapa tahun belakangan ini saja PTT tidak wajib lagi. Kalau semua persyaratan sudah dipenuhi baru izin praktik sebagai dokter bisa keluar untuk dia. Izinnya adalah dokter umum. Artinya penyakit umum saja yang boleh ia tangani. Ia tak boleh mengoperasi pasien. Bahkan bila merekomendasi pasien untuk dioperasi pun tak boleh sembarang. Ingat kasus dr. Boyke (Boyke Dian Nugraha, kolumnis ihwal seksologi). Izin praktik dia dicabut 6 bulan oleh Majelis Kehormatan IDI pada November 1991 karena dianggap malpraktik. Ceritanya, ia telah merujuk seorang pasien ke sebuah rumah sakit untuk dioperasi (kista). Operasi ternyata bermasalah dan pasien menyoal. Setelah bersekolah lagi mengambil program spesialis barulah seorang dokter bisa menangani penyakit khusus seperti kanker, lever, stroke, atau gagal ginjal. Teranglah bahwa tak mudah untuk menjadi dokter. Kuliahnya berat dan praktikumnya melelahkan. Untuk merampungkan studi, lebih lama dibanding jurusan lain umumnya. Saat ini rata-rata perlu sekitar 6,5 tahun. Kalau di fakultas lain itu sudah setara master. Untuk menjadi pilot tahapannya juga jelas. Sama dengan orang yang ingin menjadi dokter, harus lulus seleksi sekolah dulu. Dalam hal ini sekolah penerbangan macam yang ada di Curug dan di Akademi Angkatan Udara, Yogyakarta. Kesehatan menjadi salah satu y ang paling menentukan dalam seleksi. Mata, telinga, jantung, paru-paru dan organ lain harus prima. Setelah lolos seleksi yang ketat—kecerdasan antara lain materi ujinya—baru peserta menjalani pendidikan. Simulasi dan latihan terbang di bawah bimbingan instruktor itulah antara lain materi pendidikan (saat ini programnya sudah ada yang enam bulan saja). Kalau peserta sudah lulus, bekerja sebagai co -pilot dulu dan itu pun untuk pesawat kecil. Jika sudah terampil dan jam terbang cukup baru bisa menjadi pilot. Untuk menjadi pilot pesawat berbadan besar perlu kualifikasi tambahan. Agar bisa berpraktik sebagai pengacara pun jelas prosedurnya. Saat ini ketentuannya adalah ikut kursus calon pengacara dulu setelah menjadi sarjana hukum. Syarat selanjutnya adalah magang di kantor pengacara. Tanpa ikut prosedur ini izin praktik tak akan keluar. Dari contoh dokter, pilot, dan pengacara ini kita bisa mengatakan bahwa ciri utama dari setiap profesi adalah adanya, antara lain, kompetensi terukur hasil pendidikan. Bagaimana dengan wartawan—apakah sama? Profesi terbuka Wartawan sejak lama dikenal sebagai profesi terbuka. Tidak seperti profesi lain umumnya, pendidikan khusus tak disyaratkan di dunia ini. Artinya tidak harus lulusan sekolah jurnalistik baru bisa menjadi pewarta; dari sekolah mana pun bisa. Ini tak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Itulah kekhasan profesi ini. Memang di negara tertentu seperti Swedia ada juga ketentuan bahwa sarjana dari jurusan jurnalistik saja yang boleh menjadi jurnalis. Tapi hal seperti itu kasuistik saja. - 21 -
  • 23. Di Indonesia sendiri baru dalam beberapa tahun terakhir saja kebersekolahan dikaitkan dengan kewartawanan. Sekarang umumnya harus berijazah strata-1, dulu yang tak bersekolah tinggi pun tak apa. Sejumlah tokoh pers negeri ini, termasuk Mas Marco, dan pendiri kantor berita Antara , Adam Malik, bukanlah orang bersekolah tinggi. Kendati hanya bersekolah di tingkat dasar, Adam Malik kemudian menjadi menteri luar negeri sebelum menjadi wakil presiden. Sebagai jurnalis ia sangat lincah dan tangkas. Dulu, di negeri kita banyak orang yang menjadi wartawan karena pertemanan. Artinya mereka bergabung dengan redaksi sebuah media karena diajak temannya yang bekerja di sana. Kalau tidak karena keluarganya ada di media massa itu. Sampai sekarang pun praktik seperti ini masih ada saja. Belakangan rekrutmen terbuka menjadi kelaziman. Media yang bersangkutan mengiklankan lowongan kerja yang mereka buka. Pengiklanan bisa dilakukan di media sendiri, media lain, atau keduanya. Syarat disebutkan. Sekarang, antara lain minimal S-1. Sebagai catatan, koran Bisnis Indonesia-lah yang pertama kali memberlakukan syarat ini di lingkungan media massa kita. Kala itu, pada awal 1990-an, syarat ini ini dianggap aneh dan mengada-ada oleh banyak wartawan kita. Selanjutnya pelamar yang dianggap memenuhi syarat diseleksi. Ujiannya bertahap. Materinya, lazimnya: psikotest, menulis, wawancara, dan kesehatan. Kalau lulus ya selekasnya diterjunkan ke lapangan. Tanpa pembekalan? Ya; begitu ad anya dan ini bukan sesuatu yang aneh di dunia pers Indonesia. Memang, ada media yang melatih dulu calon wartawannya sebelum melepaskan mereka ke lapangan. Kompas misalnya, sekian lama mewajibkan calon reporternya mengikuti in-house training sekitar setahun sebelum mereka terjun ke lapangan. Majalah Tempo pun melakukan hal yang sama tapi dengan waktu yang lebih singkat. Pun, modelnya tidak seintens Kompas; kelas-kelas berkala saja. Bisnis Indonesia dan media massa yang sudah mapan secara finansial lebib banyak mengikuti langkah Tempo. Masalahnya adalah media established seperti itu tak banyak. Praktik yang jamak terjadi adalah calon reporter diterjunkan begitu saja ke lapangan tanpa pembekalan pengetahuan jurnalistik lebih dulu. Terjun bebas, sebutannya. Manajemen media berharap para new comer itu akan belajar dari pengalaman (learning by doing). Kalau manajemen berbaik hati paling orang-orang baru itu ditandemkan beberapa waktu ke wartawan yang sudah berpengalaman. Kalau saja kelak ada pelatihan internal susulan atau penyekolahan ke lembaga pendidikan jurnalistik macam LP3Y (Yogyakarta), Lembaga Pers Dokter Soetomo (LPDS), ISAI-SBM, atau UI (Jakarta) masih lumayan. Sebagaimana profesi lain, idealnya seorang calon wartawan sudah memiliki kualifikasi tertentu sebelum diterjunkan ke lapangan. Setidaknya, ia mengetahui hakekat profesinya, aturan main yang baku (standar jurnalistik), rambu-rambu (kode etik dan regulasi pers), dan memiliki kecakapan dalam wawancara dan menulis. Hal ini perlu agar nantinya tak - 22 -
  • 24. merugikan baik medianya sendiri, narasumber, maupun publik. Sebab bagaimanapun karya jurnalistik yang mereka hasilkan akan dibaca atau didengar atau ditonton publik. Begitu diwartakan, berita mereka kontan masuk ranah publik. Jadi tidak boleh spekulatif atau main-main. Faktanya tidak demikian: masih jauh panggang dari api. Jangankan reporter baru, wartawan yang jam terbangnya tinggi pun terlalu banyak yang belum menguasai pengetahuan elementer tadi. Maka profesionalisme pun masih jauh. Akibatnya? Pers kita sering bermasalah. Tak hanya pers yang modalnya kembang kempis, melainkan pers yang sejahtera juga. Malapraktik tuduhannya. Sebagai gambaran, majalah Tempo yang termasuk paling mapan di Republik ini jika dilihat dari segi apa pun, pernah tersandung perkara sejenis dan akibatnya sempat kelimpungan. Profesionalisme jurnalis, karena itu, tidak bisa ditawar-tawar lagi . Jika tidak, taruhannya terlalu besar. Media bisa digugat pailit oleh mereka yang me rasa dirugikan. Tak hanya Tempo, banyak sudah media massa yang mengalaminya. Sebab itu UKJ yang kini diprogramkan oleh AJI diperlukan betul adanya. Paling tidak dia akan mebebrikan perlindungan ke dalam dan keluar. Kalau mesin saja harus ditun-up, scanner dikalibrasi, atau alat musik ditala secara berkala, jurnalis pun mesti demikian. Secara periodik kemampuan profesionalnya perlu diuji; tidak sekali saja seumur hidup. Kalau tidak, akan seperti prosesor Pentium 3 di zamancore duo: serba lelet, kagok dan gagap. - 23 -
  • 25. Pers dan Perjanalan Nasionalisme Indonesia Oleh Didik Supriyanto Dalam perjalanan Republik ini selalu muncul kelompok-kelompok yang menjadi aktor penting dalam berbagai momentum sejarah. Mahasiswa kerap menjadi pendobrak kebekuan zaman, mulai masa kebangkitan nasional sampai masa reformasi. Tentara menjadi pelaku penting pada masa perang kemerdekaan dan penguasa panggung Orde Baru. Politisi mendominasi kehidupan politik pada pascakemerdekaan hingga saat Soekarno menjadi kekuatan yang monolitik. Kini, sesudah Soeharto tumbang, dominasi politisi nyaris tak tertandingi oleh kelompok apa pun , sehingga kehidupan sosial politik di Republik ini nayris identik dengan tarik-menarik antarpolitisi dengan berbagai kepentingannya. Lantas, di mana posisi pers pada berbagai momentum sejarah penting yang terjadi di Republik ini? Apakah mereka punya peran yang signifikan dalam berbagai perubahan sosial politik sehingga patut dicatat dalam sejarah? Apakah pernyataan “lebih baik tidak ada pemerintah an daripada tidak ada pers bebas” relevan diperbincangkan dalam konteks Indonesia? Atau, pers hanyalah penikmat kebebasan yang telah diperjuangkan oleh kelompok-kelompok lain, sementara kontribusinya bagi proses pemajuan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara patut dipertanyakan? Sebelum menjawab pertanyaan -pertanyaan tersebut, kiranya perlu dijelaskan terlebih dahulu, bahwa pers memang bukan aktor murni sebagaimana mahasiswa, tentara atau politisi. Pers adalah institusi sosial yang produknya hadir secara periodik ke hadapan publik dalam betuk koran, tabloid, majalah dan buletin yang berisi tulisan (berita, ulasan, artikel) dan ilustrasi (gambar dan foto). Oleh sebab itu, dalam berbagai momen penting sejarah, pers tidak hadir sebagai pelaku, melainkan lebih sebagai katalistor. Artinya, pers bisa aktif mendukung gagasan yang tengah berkembang atau aktor yang tengah bergerak; sebaliknya pers juga mengkritisi setuasi buruk yang tengah terjadi atau mencerca aktor yang buruk perangainya. Prinsip-prinsip Jurnalisme Sebagai institusi sosial pers berkembang berdasarkan prinsip-prinsip jurnalisme yang diemban oleh para pengelolanya. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001) menyebutkan sembilan prinsip dasar jurnalisme, yaitu (1) kewajiban jurnalisme adalah pada kebenaran; (2) loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga masyarakat; (3) intisari jurnalisme adalah disiplin dan verifikasi; (4) para praktisinya harus menjaga independensi dari sumber berita; (5) jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan; (6) jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan terhadap warga; (7) jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting, menarik dan relevan; (8) jurnalisme harus - 24 -
  • 26. menjaga agar berita komprehensif dan proporsional; (9) para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka. Kesembilan prinsip dasar jurnalisme rumusan Kovach dan Rosenstiel tersebut memang dibuat berdasarkan sejarah pers Eropa dan AS serta wawancara sejumlah editor di sana. Tetapi tak perlu disangsikan lagi bahwa prinsip-prinsip itu juga dipegang teguh oleh para pengelola pers di daratan lain bumi ini, termasuk Indonesia. Bahkan, seperti ditulis oleh Abdurrachman Surjomihardjo dkk (1980), ketika Medan Prijaji, yakni koran pertama yang diterbitkan pribumi pada 1907 di Betawi, prinsip-prinsip jurnalisme itu langsung dioperasionalisakan oleh RM Tirto Adhi Soerjo, sehingga ‘sang pemula’ ini sempat dibuang penguasa Belanda ke Lampung. Demikian juga koran sezamannya di Semarang yang dipimpin oleh JPH Pangemanan, Warna Warta, redakturnya berkali-kali diadili karena tulisan -tulisannya menyerang pemerintah kolonial. Ini agak berbeda dengan koran -koran yang diterbitkan orang Tionghoa dan keturunan Belanda. Dua kelompok terkahir ini lebih mengedepankan berita perdagangan dan kriminalitas. Pelatak Dasar Bahasa Indonesia Koran Medan Prijaji kali pertama di Betawi pada 1907 dalam bentuk mingguan. Koran yang kemudian menjadi harian pada 1910 ini sebetulnya bukan koran pertama yang menggunakan bahasa Melayu. Media yang tercatat sebagai media berbahasa Melayu yang pertama ialah majalah Bintang Oetara yang diterbitkan di Roterdam pada 1856 oleh pecinta bahasa Melayu Dr. PP Roorda van Eysinga. Lalu di Surabaya pada 1861, terbit majalah Bintang Soerabaja yang dimotori oleh peranakan Belanda dan Tionghoa. Di Batavia pada 1883 seorang pengusaha Indo menerbitkan Tjahaja India, sedang pengusaha keturunan Belanda lainnya menerbitkan Bintang Barat. Majalah-majalah berbahasa Melayu generasi pertama tersebut merupakan kelanjutan binis media berbahasa Belanda dan Cina yang mulai berkembang di Hindia Belanda pada abad ke- 18. Karena pangsa pasar media cetak berbahasa Belanda dan Tionghoa sangat terbatas, orang-orang Belanda dan Tionghoa menambah pangsa pasar media lewat penerbitan koran atau majalah berbahasa Melayu. Pada titik inilah dimulai peletakkan dasar bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Pertama, bahasa Melayu yang merupakan lingua franca, mulai diformulasikan sebagai bahasa tulis; kedua, dengan tersebarluasnya koran dan majal ah, maka bahasa Melayu (yang telah diformulasikan dalam bentuk tulis itu) juga menjadi bahasa pergaulan antarkomunitas yang lebih luas di tanah Hindia Belanda. Sebagai ilustrasi, Taufik Abdullah (1999) mengutip kritik yang ‘sehat, tapi aneh’ dari seorang penulis di Tjahaja India terhadap bahasa yang digunakan Bintang Barat. Penulis tersebut mengecam kecenderungan Bintang Barat yang suka memakai bahasa Melayu -Tinggi yang disebutnya sebagai bahasa ‘Minangkerbau’. Menurut penulis itu, jika Bintang Barat terus memakai bahasa elit itu, koran tersebut tidak akan laku karena tidak banyak orang yang memahami bahasa tersebut. Oleh karena itu, ia menyarakan agar Bintang Barat tetap memakai bahasa ‘Melajoe Betawi’, sebab bahasa ini mengandung unsur-unsur yang dipakai di seluruh tanah Hindia. - 25 -
  • 27. Bahasa ‘Melajoe Betawi’ atau Melayu-Pasar adalah bahasa yang paling komunikatif di tengah -tengah tumbuhnya masyarakat perkotaan akibat pertumbuhan ekonomi kolonial. Para pendatang yang berasal dari berbagai polosok memiliki tradisi dan bahasa yang berbeda-beda, seakan membentuk komunitas orang-orang asing di perkotaan. Mungkin hanya pasarlah sebagai tempat di mana mereka bisa bertemu dan mengadakan transaksi untuk keperluan masing-masing. Transaksi ini dimungkinkan karena telah tumbuh simbol- simbol komunikatif yang dibawakan oleh bahasa Melayu. Sekali lagi, pada titik inilah pers pada awal pertumbuhannya telah memperkuat kedudukan bahasa Melayu sebagai sistem simbol dan mentransformasi komunitas orang-orang asing menjadi sebuah masyarakat. Pembuka Tabir Perasaan Senasib Seperti disebutkan sebelumnya, koran -koran berbahasa Melayu yang diterbitkan oleh kalangan nonpribumi, dalam hal ini keturunan Belanda dan Tionghoa, lebih banyak mewartakan perkara perdagangan dan kriminalitas serta menuliskan cerita-cerita bersambung, baik dari hikayat lama, rekaman dari cerita lisan ataupun hasil rekaan baru. Namun di sela-sela berita dagang dan kriminal serta hikayat, sering muncul berita-berita luar negeri dan kadang-kadang laporan tentang kesewenang-wenangan pejabat Belanda atau pribumi terhadap orang-orang kecil. Menurut Taufik Abdullah (1999), betapapun masih sangat sederhana, saat itu koran dan majalah berbahasa Melayu telah memperkenalkan corak teks yang baru, yakni teks yang memberitakan peristiwa yang terus berlalu dan berubah. Lebih dari itu, berita-berita yang disajikan koran dan majalah berbahasa Melayu bisa dilihat dan dirasakan secara langsung oleh pembacanya. Teks yang diberikan oleh pers adalah teks yang kehadirannya seakan- akan mengajarkan bahwa peristiwa-peristiwa terjadi dalam konteks waktu yang terus berjalan. Tentu saja ini berebeda dengan teks lama yang sering dilisankan kepada penduduk berupa pesa-pesan yang sifatnya abadi seperti ajaran agama, adat sopan santun, kearifan hidup dan sebagainya. Dengan demikian, koran-koran dan majalah-majalah yang menyebar luas melampaui kota- kota tempat terbitnya, memungkinkan pembaca di berbagai daerah mengetahui peristiwa yang terjadi dan berlalu di tempat lain. Tak kurang pentingnya, kejadian-kejadian itu bisa dibandingkan dengan pengalaman yang telah pernah dilalui, atau yang pernah didengar atau dibaca tentang daerahnya sendiri. Dengan demikian pers telah memberikan suasana kesezamanan dengan daerah lain atau bangsa lain. Teks yang disampaikan pers tidak berkisah tentang negeri antah berantah di suatu zaman, melainkan tentang negeri tertentu yang riil, di zaman sekerang. Dampak dari perasaan kesezamanan ini tak hanya pada perluasan cakrawala intelektual, melainkan juga memungkinkan bangkitnya ingatan kolektif tentang jaringan kultural atau politik lama antara berbagai daerah dan suku bangsa. Ini bisa terjadi, karena pers telah memungkinkan masyarakat membanding-bandingkan keadaan daerahnya dan suku bangsanya di hadapan sistem kolonial yang bercorak subordinasi –tuan kolonial di atas - 26 -
  • 28. sebagai yang memerintah, dan pribumi di bawah sebagai yang diperintah. Akhirnya, perasaan kesezamanan membangkitkan ingatan kolektif akan adanya perasaan senasib dan sepenangungan dalam sistem kolonial. Kemudian hari, erasaan seperti ini menjadi pengikat utama bagi lahirnya kesadaran kesatubangsaan. Sebab syarat munculnya nasionalisme adalah adanya perasaan senasib dan sepenanggunagan sesama warga bangsa. Dan pers berbahasa Melayu telah membuka tabir tersebut. Melawan dengan Mengorganisasi Diri Pers berbahasa Melayu yang dikembangkan oleh pengusaha keturunan Belanda dan Tionghoa pada abad ke-18 boleh disebut sebagai periode ‘prasejarah’ pers nasional. Dibutuhkan waktu 50 tahun sejak muncu lnya koran berbahasa Melayu Bintang Oetara yang terbit di Roterdam pada 1856, hingga akhirnya lahir Medan Prijaji, koran pertama yang diterbitkan tokoh pribumi bernama RM Tirto Adhi Soerjo. Seperti ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer (2003), Tirto Adhi Soerjo (TAS) tergerak untuk menerbitkan mingguan yang kemudian menjadi harian Medan Prijaji, setelah melakukan perjalanan ke Maluku. Di sana TAS merekam kebiadaban kolonial Belanda sehingga penduduk Maluku mengalami penderitaan dan pemiskinan yang sangat nyata. Ini merupakan pengalaman batin yang membekas sekaligus meningkatkan kesadaran intelektual TAS bahwa bangsa-bangsa di bawah kekuasaan kolonial mengalami penderitaan yang sama. TAS sendiri pada edisi pertama Medan Prijaji menyebutkan bahwa misi yang diemb an korannya ialah: (1) memberikan informasi; (2) menjadi penyuluh keadilan; (3) memberikan bantuan hukum; (4) memberikan tempat orang tersia-sia mengadukan nasibnya; (5) mencari pekerjaan bagi mereka yang membutuhkan pekerjaan di Betawi; (6) menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi atau mengorginasisikan diri; (7) membangun dan memajukan bangsanya; dan (8) memperkuat bangsanya dengan usaha perdagangan. Seperti dicatat Surjomihardjo (1980), Tirto tak hanya pribumi pertama yang bergerak di bidang penerbitan dan percetakan dan mendirikan badan usaha (NV), melainkan juga orang pertama yang menggunakan koran sebagai alat pembentuk pendapat umum. Dialah ‘sang pemula’ yang konsisten dalam mengemban misi yang telah dicanangkan dan memfungsikan pers sebagai institu si pemajuan nasib bangsanya. Bagi TAS, kemajuan bangsanya tidak hanya didapatkan dari pendidikan (yang dikembangkan oleh politik etik penguasa kolonial), melainkan juga terbebasnya bangsa dari segala macam kesewenang-wenangan kekuasaan. Oleh karena itu, lewat Medan Prijaji, TAS tanpa ragu menyatakan secara terbuka segala corak manifestasi kekuasaan yang dianggapnya tidak pantas. Ia menulis berita berdasarkan investigasi dan informasi-informasi yang berasal dari lapangan yang dikemas tanpa sindiran dan prete nsi. Berbagai kasus kesewenang-wenangan penguasan kolonial maupun pribumi diungkap secara gamblang oleh Medan Prijaji. Tidak heran, bila persdelick beberapa kali diterima oleh TAS, dan akhirnya dipenjara lalu dibuang ke Lampung olehrejim kolonial. Selain melawan kesewenang-wenangan penguasa, dalam usaha memajukan bangsanya, Medan Prijaji selalu menyerukan perlunya bangsa pribumi mengorganisasi diri dalam - 27 -
  • 29. menghadapi pihak-pihak asing. Tak heran bahwa kemudian TAS terlibat dalam pendirian Serikat Dagang Islam (SDI) di Bogor yang kemudian berubah menjadi Sarekat Islam (SI) yang berkembang di Solo dan beberapa kota di Jawa. Situasi vis a vis antara pribumi dengan kaum Belanda dan Tionghoa di dunia perdagangan, menyebabkan TAS dkk mencampurkan identitas agama Islam dengan kepribumian, sehingga organisasi yang dimaksudkan untuk memajukan bangsa pribumi adalah SDI dan SI. Oleh karena itu, SI yang berkembang pesat saat itu akhirnya menjadi naungan bagi berbagai macam aliran dan ideologi yang dianut kaum pribumi, termasuk komunisme. Tentu Medan Prijaji bukan satu-satunya penerbitan yang membongkar kesewenangan penguasa dan menyerukan bangsa pribumi untuk mengorganisasikan diri dalam rangka memajukan bangsa. Selain Median Prijaji, tercatat Bintang Hindia, Insoelinde, Warna Warta dan beberapa koran milik SI seperti Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Sinar Djawa dan Pantjaran Warta. Organisasi-organisasi pergerakan yang dibentuk kaum pribumi, seperti Boedi Utomo dan Indische Patij memiliki Dharmo Kondo dan De Express. Namun dalam catatan sejarah, kepeloporan dan konsistensi Medan Prijaji dalam mengungkap kesewenangan penguasa kolonial dan menyerukan pembentukan organisasi pribumi tampak lebih menonjol dari penerbitan -penerbitan yang lain. Di sinilah peran penting Medan Prijaji dalam menabur benih-benih nasionalisme yang dalam beberapa tahun kemudian berubah dalam bentuk gerakan menuntut kemerdekaan. Hindia Poetra Menjadi Indonesia Merdeka Seruan Medan Prijaji dan koran -koran lain sezaman untuk mengorganisasikan pribumi sebetulnya merupakan upaya mencari identitas yang tepat buat kalangan pribumi di tanah Hindia. SDI dan SI telah mencampuradukkan identitas agama dengan kepribumian sebagai antitesa terhadap orang-orang keturununan Belanda dan Tionghoa. Dengan latar belakang yang sama Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker yang tergabung dalam Indische Partij, pada 1912 lewat De Express memperkenalkan konsep ‘nasionalisme Hindia’. Bagi Tiga Serangkai tersebut, ‘nasionalisme Hindia’ membedakan kaum penetap (blijvers) dan mereka yang mondar-mandir (trekkers), dan hanya yang menetap yang dianggap sebagai bangsa Hindia, sedang yang lain adalah orang asing. Dalam konsep ini, Tiga Serangkai tersebut telah meleburkan anak negeri yang pribumi dengan Cina peranakan dan orang-orang Indo, serta orang Belanda yang tidak akan kembali ke negerinya dalam sebuah kesatuan yang bernama bangsa Hindia. Dengan sendiri dalam konsep ini, para penguasa Belanda dianggap sebagai orang luar aliastrek kers. Dalam upaya mencari identitas diri sebagai bangsa, Medan Prijaji, De Express dan koran- koran lain terlibat dalam perdebatan yang hangat di kalangan pengelola pers dan kaum cerdik pandai pribumi saat itu. Konsep ‘nasionalisme Hindia’ yang muncul tidak saja peleburan identitas agama-pribumi dan kaum penetap di tanah Hindia, tetapi juga nasionalisme Jawa, nasionalisme Sumatera, dan nasionalisme lokal lainnya. Bahkan menurut Abdullah (1999), pada awal pertumbuhannya pers bukan saja pembawa berita, tetapi juga - 28 -
  • 30. menjadi pelopor diskursus kecendikiaan. Dalam pemberitaan dan perdebatan tersebut, simbol-simbol yang komunkatif dan integratif semakin memperkuat kesadaran akan harkat diri sebagai bangsa dalam menghadapi kekuatan kolonialisme Belanda. Namun perdebatan soal ‘nasionalisme Hindia’ di kalangan kaum pergerakan itu seakan diselesaikan oleh generasi baru kaum cendikia pribumi yang bersekolah di negeri Belanda. Pada 1923 mahasiswa pribumi mengubah nama organisasinya, dari Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging dan kemudian diganti lagi menjadi Perhimpoenan Indonesia. Mereka pun menukar nama majalah organisasi dari Hindia Poetra menjadi Indonesia Merdeka . Berbeda dengan generasi sebelumnya, di mana usaha mencari identitas nasional yang lebih banyak karena refleksi atas kenyataan sosial politik di tanah Hindia, maka generasi baru pergerakan nasional, melihat langsung tentang tumbuh dan berkembangnya nasionalisme bangsa-bangsa di Eropa, sehingga mereka seakan lebih tahu dengan apa yang dibutuhkan oleh bangsanya. Sebagai kelompok kecil pribumi yang teralienasi di tengah -tengah kehidupan orang-orang Eropa, mereka menjadi lebih lugas dalam membicarakan nasionalisme Hindia dan menetapkan ‘Indonesia Merdeka’ sebagai semboyan perjuangan. Gagasan-gagasan nasionalisme Indonesia yang diadopsi dari sejarah pergerakan bangsa- bangsa Eropa, oleh para palajar pribumi di negeri Belanda disebarluaskan ke tanah Hindia lewat majalah Indonesia Merdeka dengan cara diam-diam. Kelugasan rumusan -rumusan tentang nasionalisme Indonesia dan ketegasan sikap dalam menuntut kemerdekaan Indonesia, menjadikan tulisan-tulisan di dalam Indonesia Merdeka seakan menjadi penuntas pedebatan tentang nasionalisme Hindia yang selama sepuluh tahun terakhir menghiasi koran-koran dan majalah -majalah berbahasa Melayu di tanah Hindia. Itulah sebabnya, meskipun peredaran Indonesia Merdeka di tanah Hindia dilarang oleh penguasa Belanda, setidaknya lima nomor majalah tersebut berhasil diselendupkan ke tanah Hindia dan mencapai 236 orang yang memesannya. Sebagaimana dicatat John Ingleson (1988), para pelajar yang tergabung dalam Perhimpoenan Indonesia, seperti Moh Hatta, Subardjo, Sunarjo, Sartono, Iskaq dll, tidak hanya menyebarkan propaganda nasionalisme Indonesia dan tuntutan Indonesia merdeka lewat majalah yang dipimpinnya, tetapi sekembalinya ke tanah air, mereka pun terjun langsung ke kancah pergerakan politik menentang penguasa kolonial. Mereka sempat mempersiapkan suatu kongres nasional untuk membentuk partai kerkayatan yang berasaskan nasionalisme murni, namun meletusnya pemberontakan PKI 1926-1927, membuat rencana pembentukan partai kerakyatan itu batal. Tetapi rapat-rapat persiapan terus dilakukan di kalangan aktivis radikal sehingga akhirnya pada 4 Juli 1927 lahirlah Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Mengobarkan Api Kemerdekaan Ketika Jepang menguasai beberapa negara Asia, termasuk tanah jajahan Hindia Belanda, semua media pers langsung berada di bawah pengawasan pemerintahan militer Jepang dan dipergunakan sebagai alat propaganda perang Jepang melawan Sekutu. Seiring dengan - 29 -
  • 31. pelarangan penggunaan bahasa Belanda, saat itu pemerintah Jepang setidaknya menyokong lima surat kabar berbahasa Jepang, yaitu Jawa Shimbun, Borneo Shimbun, Celebes Shimbun, Sumatera Shimbun dan Ceram Shimbun. Sementara terdapat sekitar delapan surat kebar yang berbahasa Indonesaia, yaitu di Jakarta Asia Raya dan Pembangoenan, di Bandung Tjahaja, di Yogyakarta Sinar Matahari, di Semarang Sinar Baroe, dan di Surabaya Pewarta Perniagaan . Pengaturan kehidupan pers oleh pemerintah Jepang tentu saja mempersempit kedudukan pers sebagai sarana informasi kepada umum. Namun keadaan ini, menurut Surjomihardjo (1980) memberi sumbangan berharga bagi perjuangan kemerdekaan dan pertumbuhan pers Indonesia setelah kemerdekaan. Perlu dicatat, larangan penggunaan bahasa Belanda telah berhasil meratakan penggunaan bahasa Indonesia ke seluruh pelosok tanah air. Orang- orang Indonesia juga mendapatkan latihan mengenai berbagai aspek mengelola media pers dan menduduki posisi penting, suatu pengalaman yang berharga bagi penanganan pers pada masa pasca kemerdekaan nanti. Meskipun pada zaman Jepang tokoh-tokoh pergerakan nasional senior, seperti Soekarno dll bersedia bekerja sama dengan pemerintahan Jepang, tidak sedikit tokoh-tokoh yang lebih muda memilih berjuang di bawah tanah guna mengapai kemerdekaan. Pada barisan anti - Jepang inilah berkumpul pemuda mahasiswa yang terus mengobarkan api kemerdekaan, tanpa harus menunggu janji-janji Jepang. Dari merekalah beredar brosur stensilan -stensilan propaganda menuntut kemerdekaan Indonesia. Menurut Benedick Anderson (1989), brosur- brosur stensilan anti-Jepang tersebut dikeluarkan oleh mahasiswa yang pada masa itu banyak berkumpul di asrama-asrama di Jakarta, seperti asrama Menteng dan Cikini. Asrama-asrama tersebut merupakan pusat kehidupan sosial dan intelektual mahasiswa dan merupakan tempat bagi diskusi-diskusi yang intens dan tertutup, serta menjadi sebuah pusat solidaritas pergerakan meraih kemerdekaan. Seperti disebutkan di depan, penunjukan beberapa orang pers untuk menduduki posisi penting di media yang dikendalikan oleh pemerintah Jepang, ternyata berdampak positif bagi tumbuh dan berkembangnya pers pada masa perang kemerdekaan. Begitu Republik Indonesia diproklamarikan oleh Sokearno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, sejumlah tokoh pers, seperti Adam Malik, BM Diah, Suardi Tasrif, Arnold Monotutu, Mochtar Lubis, Rosihan Anwas dll, langsung bergerak menghidupkan medianya masing-masing. Sesuai dengan semangant zaman, tanpa dikomando, lewat media yang dipimpinya mereka terus mengorbankan api kemerdekaan. Bahkan ketika Inggris dan Belanda mencoba kembali menguasai Indonesia, semangat perlawanan dihembuskan secara kencang oleh media- media tersebut, sehinga berita-berita perlawanan rakyat Indonesia dalam menantang penjajahan akhirnya mendapat simpati masyarakat internasional. Geliat pada Masa Pascakemerdekaan Setelah revolusi selesai dan Republik Indonesia diakui secara internasional pada 1948, apa yang dilakukan oleh pers bagi bangsa dan negara baru yang penuh dengan persoalan sosial, politik, ekonomi dan budaya? Masalah yang dihadapai oleh bangsa yang baru merdeka - 30 -
  • 32. sangat kompleks, sementara rakyat menaruh harapan bahwa kemerdekaan segera mengangkat kesejahteraannya. Di sinilah pers dituntut mampu menguraikan satu per satu masalah yang dihadapi oleh bangsa dan mencari solusinya agar negara yang baru lahir tetap tegak beridiri. Pers juga harus mempu menjelaskan kesulitan -kesulitan yang tengah dihadapi negara, sehingga rakyat bisa bersikap realisitik terhadap apa-apa yang bisa dikerjakan negara. Pada tahap ini pers terlibat dalam apa yang disebut dengan proses national character building, yakni suatu proses lanjutan dari nasionalisme Indonesia yang sifatnya lebih implementatif setelah kemerdekaan tercapai. Secara sosial budaya, para pengelola pers menghadapi kenyataan bahwa akibat revolusi telah teradi ketegangan sosial yang tinggi, khususnya antara para elit pribumi yang dulu pro penjajah dengan sebagian rakyat yang ingin melampiaskan dendam. Sebagai lanjutan dari perang kemerdekaan, maka kerusuhan menentang lapisan elit pribumi ini terjadi di berbagai daerah, dan pemerintah yang baru saja berdiri tidak banyak memiliki tenaga untuk menyelesaikannya. Selain itu, beberapa penguasa daerah juga berkeras untuk melepaskan diri dari republik, seiring dengan po litik divide et impera yang dijalankan oleh Belanda. Pada tataran inilah pers dituntut untuk memberi penjelasan yang gamblang sehingga rakyat tidak perlu ragu-ragu dalam membangun Indonesia yang dicita-citakan. Secara politik, masalah jauh lebih rumit karena pada saat institusionalisasi politik belum berjalan, persaingan antarkekuatan politik sudah menonjol. Tokoh-tokoh partai sama-sama menjanjikan sistem politik yang pas buat Indonesia, pada saat yang sama mereka sama- sama ingin mengisi jabatan-jabatan politik yang tersedia. Persaingan politik dalam menciptakan model politik yang pas dengan kondisi Indonesia tetap tidak segera selesai, meskipun Pemilu 1955 menghasilkan wakil-wakil rakyat dan dewan konstituante. Dalam periode ini kelihatan pers mulai tidak sabar dengan perilaku elit politik sipil; sebagian kecil bersikap skeptis terhadap sepak terjang politisi sipil dan menjadi pengritik yang loyal, tapi sebagaian besar tidak sabar dan terbawa dalam arus persaingan politik. Pada titik inilah pers melupakan tu gasnya dalam proses national character building, dan terjebak pada sikap- sikap partisan sehingga ini pers kemudian terpolarisasi pada garis-garis politik partai. Tugas national character building hanya diteruskan oleh pers mahasiswa yang wilayah edarnya sangat terbatas. Polarisasi pers ke dalam garis-garis partai tetap berlanjut pada zaman Demokrasi Terpimpin. Pada massa ini, di level bawah Soekarno memang membebaskan partai politik untuk bersaing menawarkan ideologi dan memperebutkan massa, namun di level atas Soekarno memegang kendali politik sepenuhnya. Sesuai dengan politik ini, pers pada zaman Soekarno memang penuh warna, sehingga persaingan antarmedia juga berjalan layaknya di negara- negara terbuka. Namun pembebasan pers itu hanya dibatasi pada upaya menjaga dan mengedepankan ideologi atau partai masing-masing. Pers sebagai kekuatan independen, yang mengedepankan kepentingan umum dan bersikap oyektif terhadap semua kepentingan, nyaris tidak bisa hidup. Sebab sesuai dengan karakter politik yang dikembangkan Soekarno, maka pers yang berada di luar jalur garis politik partai, akan dipersulit bahkan dibredel. Jadi, hingar bingar kebebasan pers pada zaman Soekarno, praktis - 31 -
  • 33. tidak bermanfaat bagi kepentingan publik dan kepentingan nasional, karena pers hanya disibukkan oleh urusan-urusan yang terkait dengan kepentingan partai. Tumbangnya Soekarno oleh gerakan mahasiswa yang bekerja sama dengan Angkatan Darat pimpinan Soeharto, ternyata tidak segera bisa memisahkan pers dari garis partai. Namun dengan penyederhan aan partai politik, maka tidak semua pers yang telah berkembang bersedia meneruskan hubungannya dengan partai-partai politik baru. Bahkan masing- masing partai, yakni Golkar, PPP dan PDI berusaha membangun penerbitan baru yang benar-benar bisa mereka kendal ikan. Pilihan politik sejumlah media untuk memisahkan diri dari garis-garis aliran politik maupun partai politik ini juga dilandasi oleh kesadaran para pengelolanya, bahwa pers tidak mungkin bisa menerapkan prinsip-prinsip jurnalisme bila mereka tidak berada dalam posisi yang independen. Pada zaman Orde Baru, pers memang tidak sepenuhnya bebas. Tapi dibandingkan dengan institusi-insitusi sosial yang lain, pers jauh lebih efektif dalam mengkritik kekuasaan dan memajukan bangsanya. Bagaimana pers pada zaman pasca-Soeharto? Banyak pihak yang menyerang pers telah kebablasan dalam menerapkan kebebasan pers yang diperjuangkan oleh gerakan reformasi. Kritik itu ada benarnya, mengingat banyak media (baru) yang mengejar motif ekonomi semata sehingga melupakan prinsip-prinsip jurnalisme. Namun pers yang demikian tidak akan bertahan lama, karena masyarakat pembaca tidak mendapatkan apa yang dibutuhkan, kecuali sekadar kesenangan sesaat. Oleh karena itu pikiran untuk mengendalikan pers kembali, perlu dibuang jauh-jauh, karena baik pers maupun masyarakat sama-sama sedang memasuki proses pendewasaan politik, khususnya bagaimana memanfaatakan ruang kebebasan yang ada. Biarlah pers menikmati ruang kebebasan pers yang dijamin oleh konstitusi, karena hanya dengan membebaskan pers, maka mayarakat, bangsa dan negara ini akan mendapatkan manfaat yang maksimal. *** Sumber Kepustakaan: 1. Abdurrachman Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Kompas, Cetakan ke-2, Jakarta, 2002. 2. Benedict Anderson, Revoloesi Pemoeda, Sinar Harapan, Jakarta, 1986. 3. Bill Kovach & Tom Rosntatiel, Sembilan Elemen Jurnalsime, Pantau, Jakarta, 2003. 4. Didik Supriyanto, Perlawanan Pers Mahasiswa: Protes Mahasiswa Sepanjang NKK/BKK 1978-1991, Sinar Harapan, Jakarta, 1989. 5. John Ingleson, Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia 1927-1934, LP3ES, Jakarta, 1983. 6. Parmoedya Ananta Toer, Sang Pemula , Cetakan ke-2, Edisi Revisi, Lentera Dipantara, Jakarta, 2003. 7. Taufik Abdullah, Pers dan Tumbuhnya Nasionalisme Indonesia, dalam Majalah Sejarah Edisi 7, Jakarta, 1999 - 32 -
  • 34. Hukum Jurnalistik Oleh Arfi Bambani Pengantar Pers bebas merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM). Deklarasi Universal HAM (The Universal Declaration of Human Rights 1948) pada Pasal 19 mengatur, “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah). “ Kebebasan pers jelas merupakan standar sebuah negara demokratis. Ada pemeo, pers merupakan pilar keempat demokrasi setelah trias politika: eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, dalam tulisannya berjudul “Prospek Demokrasi pada Era Reformasi dan Kemerdekaan Pers” menyatakan “Tidak ada perdebatan mengenai keharusan bagi kemerdekaan atau kebebasan pers. Kemerdekaan atau kebebasan pers bukan hanya penyalur hak-hak demokrasi, tetapi sebagai bagian dari demokrasi itu sendiri. Karena itu, kemerdekaan pers tidak dapat diganti atau disubstitusikan dengan instrumen atau mekanisme lain.” Mahkamah Agung (MA) melalui putusan No 1608 K/PID/2005 dalam kasus Bambang Harymurti menyatakan kebebasan pers conditio sine qua non bagi demokrasi dan negara berdasar atas hukum. Tindakan hukum atas pers tidak boleh membahayakan sendi- sendi demokrasi dan negara berdasarkan hukum. Kebebasan pers sendiri telah diakomodasi dalam konstitusi, Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang telah diamandemen yaitu dalam Pasal 28, Pasal 28E ayat (2) dan (3) serta Pasal 28F. Keberadaan pasal-pasal ini merupakan jaminan bagi kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir. Pasal 28 Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 28E (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati n uraninya. (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. - 33 -
  • 35. Pasal 28F Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Lebih jauh, aturan konstitusi ini dijabarkan oleh Undang-undang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Pasal 23 (2) ini menyatakan, “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.” MA melalui putusan No 1608 K/PID/2005 dalam kasus Bambang Harymurti menyatakan kebebasan pers conditio sine qua non bagi demokrasi dan negara berdasar atas hukum. Tindakan hukum atas pers tidak boleh membahayakan sendi-sendi demokrasi dan negara berdasarkan hukum. Namun kebebasan pers ini dibatasi oleh asas persamaan kedudukan di mata hukum, yang berlaku bagi seluruh warga negara termasuk jurnalis. Aturan pidana tetap berlaku bagi seorang jurnalis, bukan terhadap persnya. Jurnalis jelas tidak kebal hukum. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Di Indonesia, sudah banyak jurnalis dituntut ke pengadilan dengan menggunakan instrumen hukum pidana. Meski AJI menolak penggunaan KUHP, jurnalis harus mewaspadai sejumlah aturan pidana yang biasa dipakai untuk menjerat jurnalis atau penanggung jawab perusahaan pers. I. Pembocoran Rahasia Negara Pasal 112 Barang siapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau keterangan- keterangan yang diketahuinya bahwa harus dirahasiakan untuk kepentingan negara, atau dengan sengaja memberitahukan atau memberikannya kepada negara asing, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. II. Pembocoran Rahasia Pertahanan Keamanan Negara Pasal 113 Barang siapa dengan sengaja, untuk seluruhnya atau sebagian mengumumkan, atau memberitahukan maupun menyerahkan kepada orang yang tidak berwenang mengetahui, surat-surat, peta-peta, rencana-rencana, gambar-gambar, atau benda-benda yang bersifat rahasia dan bersangkutan dengan pertahanan atau keamanan Indonesia terhadap serangan - 34 -
  • 36. dari luar, yang ada padanya atau yang isinya, bentuknya atau susunannya benda-benda itu diketahui olehnya diancam pidana penjara paling lama empat tahun. Jika surat-surat atau benda-benda ada pada yang bersalah atau pengetahuannya tentang itu karena pencariannya, pidananya dapat ditambah sepertiga. III. Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden Pasal 134 Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden diancam dengan pidana paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pasal 136 bis Pengertian penghinaan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 134 mencakup juga perumusan perbuatan dalam pasal 135, jika hal itu dilakukan diluar kehadiran yang dihina, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak di muka umum dengan lisan atau tulisan, namun dihadapan lebih dari empat orang atau dihadapan orang ketiga, bertentangan dengan kehendaknya dan oleh karena itu merasa tersinggung. Pasal 137 (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum tulisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka terhadapnya dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut. IV. Penghinaan terhadap Raja atau Kepala Negara Sahabat Pasal 142 Penghinaan dengan sengaja terhadap raja yang memerintahkan atau kepala negara sahabat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. V. Penghinaan terhadap Wakil Negara Asing Pasal 143 Penghinaan dengan sengaja terhadap wakil negara asing di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pasal 144 (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap raja yang memerintah, atau kepala negara sahabat, atau wakil negara asing di Indonesia dalam pangkatnya, dengan maksud supaya - 35 -
  • 37. penghinaan itu diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak ada pemidanaan yang tetap karena kejahatan semacam itu juga, ia dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut. VI. Permusuhan, Kebencian atau Penghinaan terhadap Pemerintah Pasal 154 Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pasal 155 (1) Barang siapa di muka umum mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena melakukan kejahatan semacam itu juga, yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut. VII. Pernyataan Perasaan Permusuhan, Kebencian atau Penghinaan terhadap Golongan Pasal 156 Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pasal 157 (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan diantara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena kejahatan yang semacam itu juga, yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut. - 36 -
  • 38. VIII. Perasaan Permusuhan, Penyalahgunaan atau Penodaan Agama Pasal 156a Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau perbuatan : (a) Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. (b) Dengan maksud agar orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. IX. Penghasutan a. Barang siapa di muka umum lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasarkan ketentuan undang- undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (pasal 160) b. (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan yang menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, menentang penguasa umum dengan kekerasan, atau menentang sesuatu hal lain seperti tersebut dalam pasal diatas, dengan maksud supaya isi yang menghasut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersal ah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaanya menjadi tetap karena melakukan kejahatan semacam itu juga, yang bersangkutan dilarang menjalankan pencarian tersebut. (Pasal 161) X. Penawaran Tindak Pidana a. Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menawarkan untuk memberi keterangan, kesempatan atau sarana guna melakukan tindak pidana, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (pasal 162) b. (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan yang berisi penawaran untuk memberi keterangan, kesempatan atau sarana guna melakukan tindak pidana dengan maksud supaya penawaran itu diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika merasa bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut. (pasal 163) - 37 -
  • 39. XI. Penghinaan terhadap Penguasa atau Badan Umum Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.(pasal 207) (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum suatu tulisan atau lukisan yang memuat penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia dengan maksud supaya isi yang menghina itu diketahui atau lebih diketahui umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam pencariannya ketika itu belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga maka yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut. (Pasal 208) XII. Pelanggaran Kesusilaan (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, ataupun barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin, memasukkan ke dalam negeri, meneruskan mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, atau barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan atau menunjuk sebagai bisa diperoleh, diancam jika ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambaran, atau benda itu melanggar kesusilaan, dengan pidana paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (3) Kalau yang bersal ah melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertama sebagai pencarian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atas pidana denda paling banyak tujuh puluh lima ribu rupiah.. (Pasal 282) XIII. Penyerangan/Pencemaran Kehormatan atau Nama Baik a. (1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam - 38 -
  • 40. karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempel di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling lama empat ribu lima ratus rupiah. (3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. (Pasal 310) b. (1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1-3 dapat dijatuhkan. (Pasal 311) c. Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirim atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (Pasal 315) d. Pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal sebelumnya dalam bab ini, ditambah dengan sepertiga jika yang dihina adalah seorang pejabat pada waktu atau karena menjalankan tugasnya yang sah. (Pasal 316) XIV. Pemberitaan Palsu (1). Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1-3 dapat dijatuhkan. (Pasal 317) XV. Penghinaan atau Pencemaran Orang Mati (1) Barang siapa terhadap seseorang yang sudah mati melakukan perbuatan yang kalau orang itu masih hidup akan merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Kejahatan ini tidak ditu ntut kalau tidak ada pengaduan dari salah seorang keluarga sedarah maupun semenda dalam garis lurus atau menyimpang sampai derajat kedua orang yang mati itu, atau atas pengaduan suami (istrinya). (3) Jika karena lembaga matriarkal kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain dari pada bapak, maka kejahatan juga dapat dituntut atas pengaduan orang itu. (Pasal 320) - 39 -
  • 41. (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan atau gambaran yang isinya menghina bagi orang yang sudah mati mencemarkan namanya, dengan maksud supaya isi surat atau gambar itu diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencariannya, sedangkan ketika itu belum lampau dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian tersebut. (3) Kejah atan ini tidak dituntut kalau tidak ada pengaduan dari orang yang ditunjuk dalam pasal 319 dan pasal 320, ayat kedua dan ketiga. (Pasal 321) XVI. Pelanggaran Hak Ingkar (1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah. (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seseorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dituntut atas pengaduan orang itu. (Pasal 322) XVII. Penadahan Penerbitan dan Percetakan a. Barang siapa menerbitkan sesuatu tulisan atau sesuatu gambar yang karena sifatnya dapat diancam dengan pidana, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, jika : 1. Si pelaku tidak diketahui namanya dan juga tidak diberitahukan namanya oleh penerbit pada peringatan pertama sesudah penuntutanberjalan terhadapnya. 2. Penerbit sudah mengetahui atau patut menduga bahwa pada waktu tulisan atau gambar itu diterbitkan, Si pelaku itu tak dapat dituntut atau akan menetap di luar Indonesia. (Pasal 483) b. Barang siapa mencetak tulisan atau gambar yang merupakan perbuatan pidana, diancam dengan pidana paling lama satu tahun empat bulan atau pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, jika : 1. Orang yang menyuruh mencetak barang tidak diketahui, dan setelah ditentukan penuntutan, pada teguran pertama tidak diberitahukan olehnya ; 2. Pencetak mengetahui atau seharusnya menduga bahwa orang yang menyuruh mencetak pada saat penerbitan, tidak dapat dituntut atau menetap di luar Indonesia. (Pasal 484) XVIII. Penanggulangan Kejahatan Pidana yang ditentukan dalam pasal 134-138, 142-144, 207, 208, 310-321, 483 dan 484 dapat ditambah sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan belum lewat lima tahun sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan - 40 -
  • 42. kepadanya karena salah satu kejahatan yang diterangkan pada pasal itu, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika pada waktu melakukan kejahatan kewenangan menjalankan pidana tersebut daluwarsa. (Pasal 488) XIX. Pelanggaran Ketertiban Umum a. Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan, dan atau pidana paling banyak lima belas ribu rupiah. 1. Barang siapa mengumumkan isi apa yang ditangkap lewat pesawat radio yang dipakai olehnya atau yang ada dibawah pengurusnya, yang sepatutnya harus diduganya bahwa itu tidak untuk dia atau untuk diumumkan, maupun diberitahukannya kepada orang lain jika sepatutnya harus diduganya bahwa itu akan diumumkan dan memang lalu disusul dengan pengumuman. 2. Barang siapa mengumumkan berita yang ditangkap lewat pesawat penerima radio, jika ia sendiri, maupun orang dari mana berita itu diterimanya, tidak berwenang untuk itu. (Pasal 519 bis) b. Diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda paling banyak tiga ribu rupiah. 1. Barang siapa ditempat untuk lalu lintas umum dengan terang-terangan mempertunjukkan atau menempelkan tulisan dengan judul kulit, atau isi yang dibikin terbaca maupun gambar atau benda yang mampu membangkitkan nafsu birahi remaja. 2. Barang siapa ditempat untuk lalu lintas umum dengan terang-terangan memperdengarkan isi tulisan yang mampu membangkitkan nafsu birahi para remaja. 3. Barang siapa secara terang-terangan atau diminta menawarkan suatu tulisan, gambar atau barang yang dapat merangsang nafsu birahi para remaja maupun secara terang-terang atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, tulisan atau gambar yang dapat membangkitkan nafsu birahi para remaja. 4. Barang siapa menawarkan, memberikan untuk terus atau sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan gambar atau benda yang demikian, pada seorang yang belum dewasa dan dibawah umur tujuh belas tahun. Barang siapa memperdengarkan isi tulisan yang demikian dimuka seseorang yang belum dewasa dan dibawah umur tujuh belas tahun. (Pasal 533) c. Barang siapa terang-terangan mempertunjukkan sesuatu sarana untuk menggugurkan kandungan maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, ataupun secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, sarana atau perantaraan yang demikian itu, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. - 41 -
  • 43. UU Pers Yurisprudensi MA dalam kasus Anif melawan Harian Garuda pada tahun 1993 menyebutkan, “Sehubungan dengan kebenaran suatu peristiwa yang hendak diberitakan pers, pada hakikatnya merupakan suatu kebenaran yang elusif, artinya bahwa apa yang hendak diulas dan diberitakan pers tidak mesti kebenaran yang bersifat absolut. Jika kebenaran absolut yang boleh diberitakan, berarti sejak semula kehidupan pers yang bebas dan bertanggung jawab sudah mati sebelum lahir.” Karena itu, perkara pers haruslah soal apakah pers melanggar peraturan perundang-undangan yang mengatur kerja pers dan kode etik pers, terlepas dari benar atau tidaknya isi berita yang dimasalahkan. Saat ini UU yang mengatur pers adalah UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. UU Pers secara spesifik mengatur aspek kebebasan pers. Tercakup di dalamnya pengaturan tentang fungsi pers untuk mencari, mengolah, dan menyebarluaskan informasi. UU Pers tegas menyatakan hak wartawan atas informasi adalah bagian integral dari hak publik. UU ini mengatur segala perkara yang berkaitan dengan pers, seperti: (i) Asas, fungsi, hak, kewajiban dan peranan pers; (ii) kehidupan wartawan, seperti memilih organisasi wartawan, menaati kode etik jurnalistik dan perlindungan terhadap wartawan; (iii) perusahaan pers, mulai dari badan hukumnya, kesejahteraan yang harus diberikan kepada wartawan dan karyawannya hingga larangan memuat iklan yang merugikan masyarakat; (iv) Dewan Pers untuk melindungi kemerdekaan pers, mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik, mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berkaitan dengan pemberitaan pers dan hal lain yang berkaitan dengan pers; (v) keberadaan pers asing di Indonesia; (vi) peran serta masyarakat dalam mengembangkan kemerdekaan pers; dan sanksi pers berupa ketentuan pidana bagi mereka yang melanggar ketentuan -ketentuan yang diatur dalam UU Pers. Ada beberapa hal yang diatur dalam UU Pers. Pertama, dalam mempertanggung jawabkan pemberitaan di depan hukum wartawan mempunyai hak tolak (Pasal 4 (4)). Tujuan Hak Tolak untuk melindungi kepentingan sumber informasi. Hak dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan. Hak tolak tidak absolut, dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan. Hak dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan. Hal berikutnya yang diatur yakni hak jawab yakni hak seseorang memberikan sanggahan atau tanggapan berupa fakta yang merugikan nama baiknya (Pasal 5 ayat 2). Pers juga wajib melayani hak koreksi yaitu hak seseorang untuk mengoreksi/membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers baik mengenai dirinya ataupun mengenai orang lain (Pasal 5 ayat 3). - 42 -