Dokumen tersebut memberikan definisi, etiologi, patofisiologi, faktor pencetus dan klasifikasi epilepsi. Secara ringkas, epilepsi adalah gangguan otak yang ditandai dengan serangan berulang yang disebabkan oleh aktivitas listrik berlebihan pada otak. Penyebabnya beragam mulai dari genetik, cedera otak hingga infeksi.
1. Penilaian Konsumsi Pangan dan Masalah Gizi.pptx
Epilepsi Definisi dan Penyebab
1. Definisi
Epilepsi ialah istilah yang digunakan untuk menggambarkan berbagai keadaan yang mempunyai
satu sifat khas sama, yakni adanya kecenderungan timbulnya gejala-gejala klinis secara
berjangkitan yang dikenal sebagai seranganserangan epileptis (4).
Menurut Mahar Marjono (2003). Epilepsi ialah manifestasi gangguan fungsi otak dengan
berbagai etiologi, namun dengan gejala tunggal khas, yakni serangan berkala yang disebabkan
oleh lepasnya muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dan paroksismal (4).
cenderung mengalami kejang epilepsi berulang lebih dari dua kali, semantara kejang epilepsi
didefinisikan sebagai manifestasi klinik yang berlebihan dari satu kumpulan neuron otak (4).
Pendapat lain menyatakan, epilepsi merupakan gangguan susunan syaraf pusat (SSP) yang
dicirikan oleh terjadinya serangan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked)
dan berkala. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak
dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sikron dan berirama (5).
Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali saja atau
serangan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung (5).
Etiologi
Penyebab epilepsi umumnya dibagi menjadi :
1. Idiopatik ( primer, essensial ).Pada jenis ini, tidak dapat diketemukan adanya suatu lesi
organik di otak. Tidak dimulai dengan serangan fokal. Gangguan bersifat fungsional di
daerah dasar otak yang mempunyai kemampuan mengontrol aktifitas korteks.
2. 2. Infeksi
Adanya infeksi virus pada wanita hamil, seperti sifilis, toksoplasma virus rubella, virus
sitomegalo atau herpes simplek, dapat menimbulkan epilepsi. Disamping itu adanya
infeksi pada susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis(1).
3. Alkohol, obat -obatan dan toksin
Konsumsi alkohol atau narkoba oleh wanita hamil dapat merusak otak janin sehingga
dapat menyebabkan epilepsi. Penghentian konsumsi alkohol secara tiba-tiba pada seorang
alkoholik; penghentian secara tiba-tiba obat tertentu seperti obat anti epilepsi; keracunan
Karbon Monoksida (CO), timah atau air raksa; injeksi heroin atau kokain, dapat pula
menimbulkan epilepsi (1).
4. Penyinaran (radiasi)
Terpaparnya seorang wanita hamil dengan sinar X atau sinar radioaktif lainnya, terutama
pada tiga bulan pertama kehamilan, dapat menyebabkan kerusakan otak (1).
5. Trauma (ruda paksa / benturan ) pada kepala
Trauma yang menyebabkan cedera otak pada bayi selam proses persalinan maupun
trauma kepala yang dialami seseorang pada semua usia dapat menimbulkan epilepsi (1).
6. Tumor otak (1).
7. Gangguan pembuluh darah otak (1).
8. Penyakit degeneratif yang mengenai otak (1).
Patofisiologi
Patofisiologi Anatomi Seluler
3. Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala, stroke, tumor otak,
infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang tidak normal
(neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik
maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke ataupun tumor akan
mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang mengarah
pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa
menimbulkan bangkitan listrik di otak. Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan
kerusakan anatomi (focus) di otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan kelainan
jaringan otak sehingga bisa menyebabkan disfungsi fisik dan retardasi mental (1. Shorvon S.
Status epilepticus. Program
and abstracts of the 17th World Congress
of Neurology; June 17-22, 2001; London, UK. J
Neurol Sci. 2001;187(suppl 1):S213). Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi
disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan
inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak
terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-
sinaptik.6 Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebutsebut
sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsi.6-8 Secara farmakologik, inhibisi terhadap
NMDAR ini merupan prinsip kerja dari obat antiepilepsi.(7. Chapman AG. Glutamate receptors
in epilepsy. Prog Brain Res 1998;116: 371-
83).
Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab
atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari reseptor nikotinik)
4. begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini terbukti pada epilepsi
lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan terjadinya mutasi dari resepot nikotinik
subunit alfa 4. Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan kalsium
merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan
keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesama
neuron.(9. Avanzini G. The cellular biology
of epileptogenesis. J Neurol Sci. 2001;
187(suppl 1):S212)
Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan listrik akan juga
terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor
neurotransmiter tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti gamma
aminobutyric acid (GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin
(yang sampai sekarang masih tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di
hipokampus dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar.
Timbulnya serangan kejang adalah kemugkinan adanya ketidakseimbangan antara asetilkolin
dan GABA (asam gama amino butirat), merupakan neurotransmitter sel-selotak. Asetilkolin
menyebabkan depolarisasi, yang dalam jumlah berlebihan menimbulkan kejang. Sedang GABA
menimbulkan hiperpolarissasi, yang sebaliknya akan merendahkan eksitabilitas dan menekan
timbulnya kejang. Berbagai kondisi yang mengganggu metabolisme otak seperti penyakit
metabolik, racun, beberapa obat dan putus obat, dapat menimbulkan pengaruh yang sama.
(6. Bradford HF. Glutamate, GABA, and
epilepsy. Prog Neurobiol 1995; 47:477-511)
5. Faktor Pencetus
Beberapa pencetus terjadinya epilepsi adalah sebagai berikut (4):
1. Cahaya
Cahaya tertentu dapat merangsang terjadinya serangan; epilepsi ini disebut sebagai epilepsi
fotosensitif atau fotogenik. Epilepsi jenis ini berkaitan dengan epilepsi umum idiopatik. Pada
remaja, 18% di antaranya bersifat fotosensitif. Cahaya yang mampu merangsang terjadinya
serangan adalah cahaya yang berkedip-kedip dan/atau yang menyilaukan. Keadaan demikian
ini sering terjadi pada anak berumur 6 – 12 tahun. Prinsip fotosensitif dipakai untuk pemeriksaan
elektro-ensefalografi ialah dengan memberi rangsangan cahaya berkedip-kedip (photic
stimulation)
2. Kurang tidur
Kurang tidur maupun pola tidur yang tidak teratur dapat merangsang terjadinya serangan.
Diduga bahwa kurang tidur dapat menurunkan ambang serangan yang kemudian memudahkan
terjadinya serangan. Dengan demikian kepada penderita perlu ditekankan untuk tidur secara
teratur dan terjaga jumlah jam tidurnya. kurang tidur dapat memperberat dan memperlama
serangan. Fenomena ini dapat digunakan untuk stimulasi penderita sebelum dilakukan
pemeriksaan EEG.
3. Faktor makan dan minum
Faktor makan dan minum sehari-hari dapat menjadi maalah pada penderita epilepsi : Makan dan
minum harus teratur, jangan terlalu lapar, terlalu haus, dan sebaliknya : jangan terlalu kenyang,
terutama terlalu banyak minum. Hipoglikemia dapat memicu terjadinya serangan. Hipoglikemia
maupun hiperglikemia dapat memunculkan serangan pada orang yang tidak mengalami epilepsi.
Sementara itu ada penderita yang sensitif terhadap mentega, coklat, atau keju
6. 4. Suara tertentu
Suara tertentu dapat merangsang terjadinya serangan. Epilepsi jenis ini disebut epilepsi
audiogenik atau epilepsi musikogenik. Suara dengan nada tinggi atau berkualitas keras dapat
menimbulkan serangan. Begitu mendengar suara yang mengejutkan maka penderita langsung
mengalami serangan yang sangat mendadak sehingga mengejutkan orang lain
5. Reading dan eating epilepsy
Reading epilepsy berarti serangan dirangsang oleh kegiatan membaca. Bahan yang dibaca dapat
berupa bacaan biasa (berita, cerita) maupun bacaan yang memberi persoalan sehingga penderita
harus berpikir. Eating epilepsy menunjukkan bahwa serangan terjadi pada saat penderita
mengunyah makanan. Ada yang berpendapat bahwa faktor pencetusnya bukan kegiatan
mengunyah tetapi bahan makanan yang dikunyah.
6. Lupa dan/atau enggan minum obat
Penderita epilepsi harus diberitahu secara jelas bahwa lupa dan/atau enggan minum OAE dapat
menimbulkan serangan dan bahkan serangan yang muncul dapat lebih lama atau lebih berat.
Lupa minum obat paling sering terjadi pada penderita yang minum obat dengan dosis tunggal.
Sebaliknya, minum obat 2 atau 3 kali sehari dapat menimbulkan rasa bosan sehingga penderita
enggan minum obat.
7. Drug abuse
Kokain, dengan berbagai bentuk konsumsi. dapat menimbulkan serangan dalam waktu beberapa
detik, menit, atau jam sesudah mengkonsumsinya. Serangan sebagai akibat kokain ini dapat
disertai dengan serangan jantung. Amfetamin dan metilfenidat sering diberikan pada penderita
attention deficit disorder and hyperactivity (ADHD) dan narkolepsi. Apabila kedua jenis obat ini
diminum tanpa pengawasan dokter maka dapat menimbulkan gangguan tidur, bingung, dan
7. gangguan psikiatrik. Hal ini apabila terjadi pada penderita epilepsi akan mudah terjadi serangan
karena penderita lupa minum obat. Disamping itu secara primer epilepsi merupakan salah satu
kontra-indikasi untuk pemberian metilfenidat. Narkotika tidak berkaitan secara langsung dengan
munculnya serangan pada epilepsi. Narkotika menyebabkan penderita epilepsi lupa untuk minum
obat. Bila narkotika dikonsumsi dalam dosis besar dapat mengurangi penyediaan oksigen ke
otak; ini dapat menimbulkan serangan. Sementara itu, hipoksia dapat menimbulkan status
epileptikus.
8. Menstruasi
Hampir setengah dari wanita yang menderita epilepsi melaporkan adanya peningkatan serangan
pada saat menjelang, selama, dan/atau sesudah menstruasi. Sebagian besar mengalami
peningkatan (kuantitas dan kualitas) serangan pada periode perimenstrual dan fase folikular. Hal
ini berkaitan dengan kadar estrogen yang tinggi dan rendahnya kadar progesteron. Gambaran
seperti ini merupakan refleksi excitatory effects dari estrogen dan inhibitory effects dari
progesteron terhadap ambang serangan. Hormon steroid dapat menembus blood-brain barrier
dengan mudah. Sel-sel otak dapat dipengaruhi estrogen dan progesteron secara langsung.
Estrogen memudahkan terjadinya serangan dengan cara menu runkan ambang serangan;
progesteron bertindak seperti OAE dengan cara menaikkan ambang serangan. Estrogen mampu
mempengaruhi aksis stres juga berpengaruh secara langsung terhadap hipokampus dan amigdala.
Estrogen memiliki dua jalur yang berbeda untuk memudahkan terjadinya serangan.
Klasifikasi Epilepsi
Klasifikasi epilepsi berdasarkan International League Against Epilepsi (ILAE 1981) (1).
1. Epilepsi Parsial
A. Epilepsi parsial sederhana (tanpa hilangnya kesadaran)
8. Epilepsi dengan gejala motorik atau sensorik atau dengan panca indera (seperti
halusinasi, perasaan seperti dijalari listrik atau melihat cahaya berkedip)
Epilepsi dengan gejala gangguan fungsi otonomik tubuh seperti wajah kemerahan, pucat,
rasa tidak enak ulu hati, berkeringat.
Epilepsi dengan gejala psikis seperti ilusi, halusinasi, keadaan seperti bermimpi (dreamy
state)
B. Epilepsi Parsial Kompleks (dengan hilangnya kesadaran)
Pada awalnya berupa epilepsi parsial sederhana tetapi diikuti dengan hilangnya
kesadaran.
Sejak awal serangan epilepsi telah disertai hilangnya kesadaran.
C. Epilepsi Umum Sekunder.
Epilepsi parsial sederhana atau kompleks yang berkembang menjadi epilepsi umum.
2. Epilepsi Umum
A. Absensus (petit mal)
B. Epilepsi miklonik
C. Epiklepsi konik
D. Epilepsi tonik
E. Epilepsi atonik
F. Epilepsi tonik-klonik
3. Epilepsi yang tidak diklasifikasikan
Gejala
1. Gejala Preictal
9. Peristiwa Preictal (aura) pada epilepsi parsial kompleks termasuk sensasi otonom (misalnya,
kepenuhan di perut, memerah, dan perubahan dalam respirasi), sensasi kognitif (misalnya,
dejavu, jamais vu, berpikir paksa), menyatakan afektif (misalnya, takut, panik, depresi,
kegembiraan), dan, klasik, Otomatisasi (misalnya, memukul bibir, mengusap, mengunyah).
2. Gejala iktal
Perilaku singkat, tidak teratur, dan tanpa hambatan mencirikan acara iktal. Meskipun beberapa
pengacara pembela dapat mengklaim sebaliknya, tidak jarang sebuah pameran orang terorganisir,
diarahkan perilaku kekerasan selama episode epilepsi. Gejala kognitif meliputi amnesia untuk
waktu selama kejang dan periode penyelesaian delirium setelah kejang. Fokus kejang dapat
ditemukan di EEG dalam 25 sampai 50 persen dari semua pasien dengan epilepsi parsial
kompleks (Gambar 10,5-3). Penggunaan elektroda sementara sphenoidal atau anterior dan
kurang tidur EEG dapat meningkatkan kemungkinan menemukan suatu kelainan EEG. EEG
yang normal Multiple sering diperoleh untuk pasien dengan epilepsi parsial kompleks, sehingga
pada EEG normal tidak dapat digunakan untuk mengecualikan diagnosis epilepsi parsial
kompleks. Penggunaan jangka panjang rekaman EEG (biasanya 24 sampai 72 jam) dapat
membantu dokter mendeteksi fokus kejang pada beberapa pasien. Kebanyakan penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan lead nasofaring tidak menambahkan banyak untuk sensitivitas
EEG, tetapi mereka menambah ketidaknyamanan dari prosedur untuk pasien.
3. Gejala Interiktal
Gangguan Kepribadian
10. Kelainan psikiatri yang paling sering dilaporkan pada pasien dengan epilepsi adalah gangguan
kepribadian, dan ini sangat mungkin terjadi pada pasien dengan epilepsi lobus temporal.
Gambaran yang paling umum adalah perubahan perilaku seksual. Sindrom dalam bentuk lengkap
relatif jarang terjadi, bahkan pada mereka dengan kejang parsial kompleks asal lobus temporal.
Banyak pasien tidak terpengaruh oleh gangguan kepribadian, yang lainnya menderita berbagai
gangguan yang berbeda mencolok dari sindrom klasik.
Sebuah religiusitas mencolok dapat diwujudkan tidak hanya oleh peningkatan partisipasi dalam
kegiatan keagamaan secara terbuka tetapi juga oleh perhatian yang tidak biasa untuk masalah
moral dan etika, keasyikan dengan benar dan salah, dan bunga tinggi dalam keprihatinan dunia
dan filosofis. Fitur hyperreligious kadang-kadang bisa tampak seperti gejala prodromal
skizofrenia dan dapat mengakibatkan masalah diagnostik pada seorang remaja atau dewasa
muda.
Gejala viskositas kepribadian biasanya paling nyata dalam percakapan pasien, yang
kemungkinan akan menjadi lambat, serius, membosankan, bertele-tele, terlalu penuh dengan
rincian yang tidak penting, dan sering mendalam. Pendengar dapat tumbuh bosan tapi tidak dapat
menemukan cara sopan dan sukses untuk melepaskan diri dari percakapan. Kecenderungan
berbicara, sering tercermin dalam tulisan pasien, menghasilkan gejala yang dikenal sebagai
hypergraphia, yang beberapa dokter mempertimbangkan hampir patognomonik untuk epilepsi
parsial kompleks.
Perubahan perilaku seksual dapat dimanifestasikan oleh hypersexuality; penyimpangan dalam
minat seksual, seperti fetisisme dan transvestisme, dan, paling sering, hyposexuality.
Hyposexuality ini ditandai baik
P.362
11. oleh kurangnya minat dalam hal-hal seksual dan dengan gairah seksual berkurang. Beberapa
pasien dengan onset epilepsi parsial kompleks sebelum pubertas mungkin gagal untuk mencapai
tingkat normal minat seksual setelah pubertas, meskipun karakteristik ini mungkin tidak
mengganggu pasien. Untuk pasien dengan onset epilepsi parsial kompleks setelah pubertas,
perubahan minat seksual mungkin mengganggu dan mengkhawatirkan.
Gejala psikotik
Negara psikotik interiktal lebih umum daripada psikosis iktal. Skizofrenia-seperti episode
interiktal dapat terjadi pada pasien dengan epilepsi, terutama mereka yang berasal lobus
temporal. Diperkirakan 10 persen dari semua pasien dengan epilepsi parsial kompleks memiliki
gejala psikotik. Faktor risiko termasuk gejala jenis kelamin wanita, kidal, timbulnya kejang
selama masa pubertas, dan lesi sisi kiri.
Timbulnya gejala psikotik pada epilepsi adalah variabel. Secara klasik, gejala psikotik muncul
pada pasien yang memiliki epilepsi untuk waktu yang lama, dan timbulnya gejala psikotik
didahului oleh perkembangan perubahan kepribadian terkait dengan aktivitas otak epilepsi.
Gejala yang paling karakteristik dari psikosis adalah halusinasi dan delusi paranoid. Pasien
biasanya tetap hangat dan tepat dalam mempengaruhi, berbeda dengan kelainan mempengaruhi
sering terlihat pada pasien dengan skizofrenia. Gejala-gejala gangguan berpikir pada pasien
dengan epilepsi psikotik paling sering yang melibatkan konseptualisasi dan sifat terperinci,
bukan gejala skizofrenia klasik memblokir dan kelonggaran.
Kekerasan
Kekerasan episodik telah menjadi masalah pada beberapa pasien dengan epilepsi, terutama
epilepsi asal lobus temporal dan frontalis. Apakah kekerasan merupakan manifestasi dari
12. perebutan itu sendiri atau berasal dari psikopatologis interiktal tidak pasti. Sebagian besar bukti
menunjukkan kelangkaan ekstrim kekerasan sebagai fenomena iktal. Hanya dalam kasus yang
jarang harus kekerasan pada pasien dengan epilepsi dihubungkan dengan kejang itu sendiri.
Gejala Gangguan suasana hati
Gejala gangguan mood, seperti depresi dan mania, dipandang kurang sering pada epilepsi
daripada seperti skizofrenia gejala. Gejala-gejala gangguan mood yang memang terjadi
cenderung episodik dan muncul paling sering ketika fokus epilepsi mempengaruhi lobus
temporal dari belahan otak dominan. Pentingnya gejala gangguan mood dapat dibuktikan oleh
peningkatan kejadian percobaan bunuh diri pada orang dengan epilepsi.
Terapi Epilepsi adalah sebagai berikut (6,7):
1. Terapi Medikamentosa
· Phenytoin dosis awal 5-7 mg/KgBB/hari PO, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan 5-7
mg/KgBB/hari PO, atau
· Carbamazepine dosis awal 5 mg/KgBB/hari PO, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan
15-20 mg/KgBB/hari PO
Phenytoin merupakan senyawa hidantoin yang strukturnya mirip dengan fenobarbital. Phenytoin
berupa bubuk kristal dan larut dalam lemak. Phenytoin merupakan asam lemah dan tidak begitu
larut dalam air dengan derajat keasaman tinggi tetapi larut dalam larutan alkali. Phenytoin
merupakan pilihan utama untuk serangan parsial maupun serangan umum, kecuali mioklonus
dan absence. Efektif untuk status epileptikus, sindrom Lennox-Gestaut, dan sindrom epilepsi
pada anak. Di Indonesia tersedia dalam bentuk pulvis (harganya sangat muah), kapsul (dengan
berbagai merek), dan ampul juga dalam bentuk tablet yang dikombinasikan dengan fenobarbital.
13. Phenytoin memblokade gerakan ion di dalam sodium channels selama proses depolarisasi.
Phenytoin menekan aktivitas listrik paroksismal, blokasi terhadap potensiasi pasca-tetanik, dan
mencegah penyebaran serangan epilepsi. Phenytoin menghambat kalsium dan sekuestrasi
kalsium di dalam terminal saraf; dengan demikian menghambat pelepasan neurotransmiter
voltage-dependent di sinapsis.
Phenytoin juga menghambat aksi kalmodulin dan second messenger system. Carbamazepine
merupakan senyawa trisiklik dan pada awalnya untuk mengobati neuralgia trigeminal, neuralgia
glosofaringeal, dan digunkan pula sebagai antidepresan. Sejak tahun 1959 digunakan sebagai
OAE dan Carbamazepine obat pilihan pertama yang utama untuk jenis serangan parsial dan
jenis tertentu serangan umum. Carbamazepine tidak efektif untuk jenis serangan absence,
mioklonus, dan akinetik.
Sudah diketahui bahwa Carbamazepine melakukan stabilisasi membrane neuron baik yang pre
maupun pascasinaptik dengan cara blokade terhadap saluran natrium. Mekanisme ini mungkin
merupakan hal utama di samping mekanisme yang lain dalam bentuk blokade terhadap NMDA
(N-methyl-D-aspartate) receptor activated sodium dan blokade terhadap aliran masuknya
kalsium ke dalam sel. Aksi terhadap saluran natrium mengurangi cetusan berulang yang terus-
menerus dari aksi potensial yang merupakan aktivitas epileptik. Ada dugaan Carbamazepine
beraksi terhadap reseptor yang lain, termasuk reseptor-reseptor purin, monoamin, dan asetilkolin.
2. Terapi Bedah
Akhir-akhir ini terapi bedah menjadi populer, tetapi kita harus tahu manfaat dan keterbatasannya.
Pada permulaan, terapi bedah terutama untuk kasus dimana pengobatan medikamentosa tidak
berhasil dengan baik, apa yang disebut intractable epilepsi. Terapi bedah dengan hasil terbaik
adalah pada sklerosis hipokampus sepihak. Pada lesiotomi, misalnya serebral disgenesis hasilnya
14. kurang memuaskan. Demikian juga korpus kalosotomi. Di dalam prognosis epilepsi terdapat dua
hal penting, ialah kesempatan untuk mencapai remisi serangan serta kemungkinan terjadinya
kematian secara prematur.
Data yang lengkap dan teliti tentang kedua hal tadi sangat penting untuk menentukan terapi
secara rasional maupun pemberian penyuluhan ataupun nasihat secara tepat. Penelitian tentang
prognosis epilepsi belum memberi hasil yang pasti karena masalah metodologi dan adanya fakta
bahwa epilepsi merupakan ekspansi dari sekian banyak sindrom dengan faktor penyebab yang
berbeda (5).
Dalam menentukan tingkat keberhasilan terapi epilepsi maka terdapat beberapa kendala yang
menyebabkan hasil penilaian tidak konsisten. Kendala-kendala tersebut meliputi realibilitas,
validitas, komparabilitas, obyektivitas, dan penentuan titik akhir penilaian (6).
Risiko kematian pada epilepsi masih menjadi bahan perdebatan. Hal ini disebabkan oleh
metodologi yang berbeda serta sebab-sebab kematian pada epilepsy yang bervariasi sehingga
menimbulkan pertanyaan apakah kematian tadi secara langsung disebabkan oleh epilepsi. Dari
suatu penelitian epidemiologik, frekuensi status epileptikus tiap tahuin di Amerika Serikat
berkisar antara 102.000-152.000, dengan 55.000 kematian sebagai akibat dari status epileptikus
(8).
Daftar Pustaka
1. Cockrell OC., Shorvon SD. : Epilepsi, currents concepts Current medical literature,
1996,p.20-21
15. 2. Shorvon S. Status epilepticus. Program and abstracts of the 17th World Congress of
Neurology; June 17-22, 2001; London, UK. J Neurol Sci. 2001;187(suppl 1):S213
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka mendasar pada beberapa
faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium, penggunaan potensi efek inhibisi seperti GABA
dan menginhibisi transmisi eksitatorik glutamat.6,7 Sekarang ini dikenal dengan
pemberian kelompok inhibitorik GABAergik. Beberapa obat antiepilepsi yang dikenal sampai
sekarang ini antara lain karbamazepin (Tegretol), klobazam (Frisium), klonazepam (Klonopin),
felbamate (Felbatol), gabapentin (Neurontin), lamotrigin (Lamiktal), levetirasetam (Keppra),
oksarbazepin (Trileptal), fenobarbital (Luminal), fenitoin (Dilantin), pregabalin (Lyrica),
tiagabine (Gabitril), topiramat (Topamax), asam valproat (Depakene, Convulex) (Brodie and
Dichter, 1996).10 Protokol penanggulangan terhadap status epilepsy dimulai dari terapi
benzodiazepine yang kemudian menyusul fenobarbital atau fenitoin. Fenitoin bekerja
menginhibisi hipereksitabilitas kanal natrium berperan dalam memblok loncatan listrik.11
Beberapa studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain mempunyai efek samping, juga bisa
berinteraksi dengan obat-obat lain yang berefek terhadap gangguan kognitif ringan dan
sedang.12-14 Melihat banyaknya efek samping dari obat antiepilepsi maka memilih obat secara
tepat yang efektif sangat perlu mengingat bahwa epilepsi itu sendiri berefek pada kerusakan atau
cedera terhadap jaringan otak. Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan
neuron sebagai activator terhadap reseptor NMDA dan reseptor alpha-amino-3-hydroxy-5-
methyl-4- isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor NMDA dan
AMPA akan memperboleh-kan ion kalsium masuk kedalam sel yang bisa menstimulasi kematian
16. dari sel.6 Levetiracetam, termasuk kelompok antikonvulsan terbaru merupakan antiepilepsi yang
banyak digunakan walaupun cara kerjanya masih tetap dalam penelitian lanjut.15,16
Levetirasetam adalah derivat dari pirrolidona sebagai obat antiepilepsi berikatan dengan protein
SVA2 di vesikel sinaptik yang mempunyai mekanisme berbeda dengan obat antiepilepsi lainnya
(ikatan dengan receptor NMDA dan AMPA yakni glutamat dan GABA).17
Pada hewan percobaan ditemukan bahwa potensi levetirasetam berkorelasi dengan perpaduan
ikatan obat tersebut dengan SVA2 yang menimbulkan efek sebagai antiepilepsi.18 Dari data
penelitian ditemukan bahwa levetiracetam dapat digunakan pada penderita epilepsi dengan
berbagai penyakit saraf sentral lainnya seperti pasien epilepsi dengan gangguan kognitif, karena
ternyata levetirasetam tidak berinteraksi dengan obat CNS lainnya.19-21
Salah satu andalan dari levetirasetam yang berfungsi sebagai antikonvulsan adalah dengan
ditemukannya ikatan levetirasetam dengan protein SVA2. Dari beberapa penelitian membuktikan
bahwa vesikel protein SVA2 di sinaptik adalah satu-satunya protein yang mempunyai ikatan
dengan levetirasetam mendasar pada karakter serta pendistribusian molekul protein sebagai
antikonvulsan. Keadaan ini terbukti pada hewan percobaan bahwa pemberian levetirasetam yang
analog dengan protein SVA2 di vesikel berpotensi sebagai antikonvulsan.22
Table 10.5-16 Obat-Obat Anti Konvulsan
Maintenance Dosage
Drug Use (mg/day)
Carbamazepine (Tegretol, Generalized tonic-clonic, partial 600–1,200
Carbatrol)
Clonazepam (Klonopin) Absence, atypical myoclonic 2–12
Ethosuximide (Zarontin) Absence 1,000–2,000