Dokumen tersebut membahas tentang jual beli bersyarat (bay' muallaq) dan jual beli yang ditangguhkan ke masa depan (idhafah). Mayoritas ulama menganggap keduanya tidak sah karena mengandung unsur ketidakpastian (gharar). Akan tetapi, Ibnu Taymiyah dan Ibnu al-Qayyim membolehkan keduanya dengan alasan tidak terdapat gharar.
2. Yaitu
transaksi jual-beli yang
keberlangsungannya tergantung pada
transaksi yang lain atau terjadinya
transaksi jual beli tergantung pada ta’liq
(persyaratan) berupa transaksi lain yang
berbeda.
Bay’ muallaq disebut juga dengan jual beli
bersyarat.
3. Saya
membeli mobil Innova anda seharga
Rp 200 juta, jika anda membeli tanah saya
yang luas 20 Ha seharga Rp 500 juta.
4. Menurut
para ulama (khususnya mazhab
Hanafi), jual beli muallaq (bersyarat) tersebut
tidak sah. Alasan (illat) larangan tersebut
adalah adanya unsur gharar di dalamnya.
Ghararnya: penjual dan pembeli tidak
mengetahui terwujud-tidaknya qayyid (syarat)
yang menjadi gantungan terjadinya jual beli 1.
Juga tidak diketahui kapan waktu terjadinya
jual beli tersebut, karena tergantung pada jual
beli kedua.
5. Dalam
kitab Raddul Mukhtar, Ibnu Abidin
berkata : …Terjadinya kepemilikan
(dengan sebab jual beli), jangan
digantungkan pada masa yang akan
datang, sebagaimana tidak dibolehkan
ta’liq dengan syarat, karena hal tersebut
termasuk jenis qimar (spekulasi, tidak jelas
terjadi atau tidak).
6. Ibnu
Taymiyah dan Ibnu al-Qayyim
berbeda dengan mayoritas ulama.
Kedua ulama terkemuka itu membolehkan
adanya ta’liq (penggantungan/
persyaratan) dalam jual beli. Keduanya
tidak melihat adanya gharar pada bay’
mu’allaq tersebut.
7. Yaitu
kesekapatan untuk melakukan jual
beli, tetapi terwujudnya jual beli tersebut
pada masa akan datang.
8. Saya
jual rumahku kepada anda dengan
harga sekian pada awal tahun depan.
Kemudion pembeli mengatakan, “Saya
terima”.
Saya sewakan rumahku kepada anda
pada awal tahun depan. Kemudian
penyewa mengatakan, “Oke, Saya sewa”.
9. Menurut mayoritas ulama, akad jual beli itu tidak
boleh diwujudkan, karena akadnya rusak.
Mayoritas ulama menjadikan idhafah
(ketergantungan pada waktu yang akan datang),
sebagai bentuk gharar.
Menurut Guru besar Ilmu Syariah Sudan, Siddiq
Muhammad Amin Adh-Dhahir, bahwa di dalam
akad idhafah kepada waktu masa depan tidak
terdapat gharar. Menurutnya kemungkinan gharar
paling terdapat pada ketidakpastian kondisi pasar
(harga komoditi) di masa akan datang. Salah satu
pihak bisa merasa rugi, dan sifatnya juga
spekulatif.
10. Namun
menurut Ibnu Taymiyah dan Ibnu
Qayyim, jual beli mudhaf kepada masa
akan datang boleh, sebagaimana
bolehnya bay’ mu’allaq.