Praktikum Pengukuran kadar debu, amonia, timbal dan karbondioksida
1. BAB I
PENENTUAN KADAR DEBU DI UDARA
I.1 PENDAHULUAN
Debu adalah partikel padat yang dipancarkan atau dihasilkan oleh proses alami
maupun proses mekanis seperti pemecahan (breaking), penghalusan (grindling),
penggilingan (drilling), pengayakan (shaking), pukulan ataupun peledakan,
pemotongan (cutting) serta penghancuran (crushing) bahan. Udara yang kita hirup
dalam pernapasan mengandung partikel-partikel dalam bentuk debu, dan sebagian
dari debu tersebut akan ditahan/tinggal di dalam paru.
Secara umum, ukuran partikel debu termasuk dalam kisaran yang sangat luas,
yaitu mulai dari ukuran yang sangat kecil sampai yang ukurannya cukup besar (mulai
dari ukuran partikel yang tidak dapat terlihat oleh mata telanjang sampai ukuran debu
yang dapat dilihat). Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai
partikel yang melayang di udara (Suspended Particular Matter – SPM) dengan ukuran
1 mikron hingga 500 mikron. Debu yang berukuran lebih dari 50 m dapat terlihat
oleh kasat mata.
Debu dalam industri dapat terbagi dalam dua kelompok, yaitu : kelompok
bahan kimia organik yang berasal dari tumbuhan, hewan atau bahan sintetis dan
kelompok bahan kimia anorganik, yang terdiri dari golongan logam dan golongan non
logam.
Partikel debu akan berada di udara dalam waktu yang relatif lama, kemudian
masuk ke tubuh terutama melalui pernapasan. Selain dapat membahayakan kesehatan
juga dapat mengganggu daya tembus pandang mata dan dapat mengadakan berbagai
reaksi kimia sehingga komposisi debu di udara menjadi partikel campuran dari
berbagai bahan dengan ukuran dan bentuk yang berbeda-beda.
1.1.1. Penggolongan Debu
Debu dapat dikelompokkan menjadi berbagai macam berdasarkan sifat,
macam dan karakter zatnya sebagai berikut :
a. Berdasarkan sifatnya, yaitu :
Sifat permukaan basah, yaitu debu yang sifatnya selalu basah oleh karena
dilapisi oleh air yang sangat tipis.
1
2. Sifat pengendapan, yaitu debu yang cenderung selalu mengendap karena gaya
gravitasi bumi (deposit particulated matter)
Sifat penggumpalan, yaitu memiliki sifat yang selalu basah, maka debu satu
dengan yang lain cenderung menempel membentuk gumpalan.
Sifat opsis, yaitu partikel yang basah/lembab lainnya dapat memancarkan sinar
yang dapat terlihat didalam kamar gelap.
Debu listrik statik, yaitu debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat
menarik partikel lain yang berlawanan.
b. Berdasarkan macamnya, yaitu :
Debu fibrogenik : debu ini dapat menyebabkan penyakit seperti
pneumokoniosis. Contoh : batubara, asbes dan silika
Debu inert : dianggap tidak berbahaya bila jumlah partikel yang masuk
sedikit. Ada efek penimbunan tergantung jumlah partikel yang masuk
Debu alergen : biasanya berasal dari tumbuh-tumbuhan dan garam platina
Debu iritan : debu yang dapat mengakibatkan iritasi pada mata dan saluran
napas, terutama berasal dari logam berat. Contoh : Cd, Cr, Mn, Ni dan
Vanadium pentoksida
Debu toksik : Debu yang menyebabkan racun bagi tubuh, biasanya juga
berasal dari logam berat. Contoh : Pb, Cr, Hg, Cd dan Mn.
Debu Karsinogenik : Yang dapat mengakibatkan kanker pada tubuh
diantaranya adalah radiasi ion-ion, asbes, As, Cr dan Ni.
c. Dari karakter zatnya, debu terdiri dari:
1. Debu fisik, seperti debu tanah, batu mineral, dan lain-lain.
2. Debu kimia, terbagi atas debu organik dan anorganik.
3. Debu biologis, yaitu virus, bakteri, dan lain-lain.
4. Debu radioaktif.
Ditempat kerja, jenis-jenis debu ini dapat ditemui pada kegiatan pertanian,
keramik, batu kapur, batu bata, pengusaha kasur, dan lain-lain.
2
3. 1.1.2 Pemantauan Ambang Batas Debu di Lingkungan Kerja
Udara yang kita hirup dalam pernapasan mengandung partikel-partikel dalam
bentuk debu dimana sebagian dari debu, tergantung ukurannya, dapat tertahan atau
tertinggal didalam paru. Tubuh manusia sebenarnya sudah mempunyai mekanisme
pertahanan untuk menangkis sebagian besar debu.
Mekanisme penimbunan debu tergantung dari ukuran debu, kecepatan aliran
udara dan struktur anatomi saluran napas. Adapun ukuran debu dan hubungannya
dengan struktur saluran pernapasan adalah sebagai berikut :
Ukuran 5-10 mikron, akan tertahan oleh saluran pernafasan bagian atas.
Ukuran 3-5 mikron, akan tertahan oleh saluran pernafasan bagian tengah.
Ukuran 1-3 mikron, sampai dipermukaan alveoli.
Ukuran 0,5-1 mikron, hinggap di permukaan alveoli/selaput lendir sehingga
dapat menyebabkan terjadinya fibrosis paru.
Ukuran 0,1 – 0,5 mikron, melayang dipermukaan alveoli
Menurut WHO (1996), ukuran debu partikel yang membahayakan manusia
adalah debu yang memiliki ukuran 0,1-5 mikron atau 10 mikron, sedangkan
Departemen Kesehatan RI mengisyaratkan bahwa ukuran debu yang membahayakan
berkisar 0,1 sampai 10 mikron.
Inhalable – 100 μ
Thoracic – 10 μ
Respirable – 4 μ
3
4. Adapun Jumlah total debu yang berada dalam suatu tempat dapat dihitung
dengan rumus
C = (W2-W1)-(B2-B1) x Trata-rata x Pstandar
V 298 Prata-rata
Keterangan :
C : kadar debu dalam udara (mg/m3)
W1 : berat filter sebelum sampling (mg)
W2 : berat filter setelah sampling (mg)
B1 : berat filter sebagai blanko sebelum sampling (mg)
B2 : berat filter sebagai blanko setelah sampling (mg)
V : volume udara (liter atau m3)
Trata-rata : suhu udara (K)
Prata-rata : tekanan udara (mmHg)
Pstandar : tekanan udara standar (760 mmHg)
Untuk batas tertinggi pajanan debu di lingkungan pabrik/industri, batasan yang
dipakai adalah Nilai Ambang Batas, yaitu sebesar 10 mg/ m3. Namun apabila
yang diukur adalah besar pajanan debu di lingkungan umum dan perkantoran,
maka persyaratan yang digunakan adalah Baku Mutu Lingkungan, yaitu sebesar
0,26 mg/ m3.
1.1.3 Sumber Pajanan Debu di Lingkungan Kerja
Debu juga dapat masuk ke udara melalui cara pengisian bahan-bahan kimia
kering ke dalam kantung, seperti pengisian talk, semen, pupuk, mesin penghalus atau
pembersih karat (sand blasting). Akibat dari benturan antara pasir dengan baja, maka
pasir dan karat akan pecah menjadi debu dan masuk ke dalam udara.
Pekerjaan yang memiliki resiko pemajanan debu banyak di temukan, misalnya
pada pekerja di bagian pengisian talk (bedak), pengisian semen, pabrik asbes, pupuk,
4
5. pekerjaan di bagian pengeboran yang menggunakan mesin pengebor, mesin
penghalus, pembersih karat yang menggunakan proses sand blasting dan sebagainya.
1.1.4. Gangguan Kesehatan Akibat Pajanan Debu
Debu bahan kimia yang terdapat di udara ini masuk ke dalam tubuh manusia
melalui saluran pernapasan sehingga dapat menyebabkan iritasi pada hidung,
tenggorokan dan paru-paru. Debu-debu ini juga dapat tinggal di dalam paru-paru
untuk waktu yang lama dimana dapat menyebabkan reaksi dengan segera atau reaksi
dapat timbul bertahun-tahun setelah terkena pemajanan pertama, seperti pemajanan
oleh debu asbes.
Beberapa reaksi biaologis an penyakit yang dapat ditimbulkan adalah :
a. Penyakit paru yang diakibatkan oleh reaksi tubuh terhadap penimbunan
debu.
b. Reaksi sistemik oleh karena absorpsi ke dalam darah.
c. Reaksi alergi dan sensitisasi.
d. Iritasi hidung dan tenggorokan.
e. Demam.
f. Perdangan oleh bakteri dan jamur.
Adapun efek-efek klinis yang ditimbulkan oleh debu antara lain :
a. Efek pada saluran pernapasan, seperti fibrosis, bronkhitis, asma dan
kanker.
b. Efek sistemik akibat pajanan debu anorganik, seperti Pb, Mn, Cd dan
Hg.
c. Efek alergi dan reaksi sensitisasi yang disebabkan akibat menghirup
debu organik.
1.2. Tujuan Praktikum
1.2.1 Tujuan Umum
Praktikum ini dilakukan untuk mengetahui cara-cara mengukur kadar debu total
di udara
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Mengukur kadar debu total di udara gedung balai Hiperkes
5
6. b. Mengetahui prosedur pengukuran debu total di udara dengan menggunakan
metode gravimetric
1.3. Peralatan dan Bahan
1.3.1 Peralatan
Peralatan yang digunakan untuk melakukan pengukuran kadar debu total
adalah :
a) Personal atau stationer dust sampler (dengan statip, filter holder, selang
teflon, klem, dan lain-lain)
Dust sampler
b) Desikator dengan suhu (20 1)oC dan kelembaban udara (50 5) %.
Desikator
c) Pompa isap udara (vacuum pump) yang dilengkapi dengan flowmeter.
d) Oven.
e) Timbangan analitik (sensitifitas minimal 0,01 mg).
6
7. f) Pinset dan tempat filter (filter holder).
g) Termometer.
h) Barometer.
1.3.2 Bahan
Bahan yang digunakan adalah kertas saring dari fiberglass sebagai media
pengumpul sampel dengan diameter 10 cm dan ukuran pori-pori 0,8 m.
kertas saring
1.4. Metodologi dan Prinsip Kerja
Pada dasarnya untuk mengukur debu total (total partikel) digunakan metode
gravimetri. Caranya : debu yang menghambur di udara di ambil sampelnya dengan
menggunakan dust sampler (HVS), sedangkan media pengumpul debu adalah kertas
saring. Jenis kertas saring yang dapat digunakan antara lain fiberglass atau campuran
selulosa dengan ester (MCEF) atau nylon (PVC).
1.4.1. Metodologi
Metode yang di gunakan untuk pemeriksaan adalah metode gravimetri.
7
8. 1.4.2 Prinsip kerja
Udara yang mengandung debu dilewatkan melalui media kertas filter dengan
kecepatan aliran udara (flow rate) dan waktu tertentu, kemudian berat kertas filter
setelah dilewati udara yang mengandung debu ditimbang beratnya.
1.5. Prosedur Kerja
1.5.1 Persiapan alat
a. Lakukan pemotongan filter seukuran filter holder dan berikan nomor pada
filter. Pemberian nomor harus berbeda antara filter sampel dan filter
blanko.
b. Siapkan kertas fiberglass yang telah dikeringkan dalam desikator.
c. Siapkan dust sampler (HVS) yang telah dirangkai dengan flowmeter
(terlebih dahulu dilakukan kalibrasi).
d. Siapkan timbangan analitik
e. Siapkan wadah penyimpanan filter yang akan dibawa ke lokasi
pengambilan sampel.
1.5.2 Persiapan Filter
a. Simpan tiap filter paling tidak selama dua jam di dalam desikator.
b. Lakukan penimbangan filter sampling dengan timbangan analitik dan
dicatat sebagai W1 (mg), nol kan timbangan setiap menimbang dan
pegang filter dengan menggunakan pinset.
c. Lakukan penimbangan filter yang bersih sebagai blanko dan dicatat
sebagai B1.
1.5.3 Penentuan titik lokasi pengukuran
8
9. a. Unit kerja yaitu dilakukan di halaman Balai Hiperkes.
b. Lakukan analisis arah angin yang paling dominan.
c. Titik lokasi ditentukan kira-kira ditengah unit kerja, sampel diambil acak
pada satu titik ditengah-tengah unit kerja.
1.5.4 Strategi pengambilan sampel
a. Atur aliran udara sehingga bola flowmeter berada dalam keadaan stabil.
b. Pasang kertas saring yang sebelumnya telah ditimbang pada filter holder,
selanjutnya dirakit bersama-sama dengan alat utama (dust sampler).
c. Hidupkan pompa dan lakukan pengecekan kembali kecepatan aliran udara
(lakukan kalibrasi pada pompa isap/vacuum pump).
d. Pengambilan sampel dianggap dilakukan selama 480 menit
e. Lakukan pencatatan suhu dan tekanan udara saat pompa isap dinyalakan.
f. Pompa dimatikan, catat suhu dan tekanan udara.
g. Saat pompa dimatikan, lepaskan filter dari filter holder dengan
menggunakan pinset dan dipindahkan ke kaset filter dan disimpan dalam
desikator.
h. Bawa filter ke laboratorium untuk dianalisis.
1.5.5 Analisis di laboratorium
a. Filter yang digunakan untuk mengambil contoh dan filter blanko
dikeringkan dalam desikator.
b. Timbang filter pada timbangan analitik.
c. Periksa semua data yang diperlukan.
d. Hitung kadar debu.
1.5.5.1 Perhitungan
Kadar debu di udara dapat dihitung dengan rumus berikut:
C (W2-W1)-(B2-B1) x Trata-rata x Pstandar
=
V 298 Prata-rata
9
10. Dimana:
C : kadar debu dalam udara (mg/m3)
W1 : berat filter sebelum sampling (mg)
W2 : berat filter setelah sampling (mg)
B1 : berat filter sebagai blanko sebelum sampling (mg)
B2 : berat filter sebagai blanko setelah sampling (mg)
V : volume udara (liter atau m3)
Trata-rata : suhu udara (K)
Prata-rata : tekanan udara (mmHg)
Pstandar : tekanan udara standar (760 mmHg)
1.5.5.2 Hasil pengukuran dan evaluasi
Dari hasil pengukuran yang dilakukan, didapatkan hasil-hasil sebagai berikut :
Kecepatan aliran udara/ air flow rate : 2,5 m3/mt selama 90 menit
Suhu rata2 adalah : 32oC + 273 = 305 oK
Tekanan udara rata2 selama pengukuran adalah : 760 mmHg
Hasil pengukuran dan perhitungan :
Berat sampel awal (Wso) = 0,72539 gr = 725,39 mgr
Berat sampel setelah terkontaminasi (Wsl) = 0,73048 gr = 730,48 mgr
Berat blanko awal (Wbo) = 0,73390 gr = 733,90 mgr
Berat blanko setelah penelitian (Wbl) = 0,73396 gr = 733,96 mgr
C Sample = Berat sampel setelah terkontaminasi - Berat sampel awal
(Wsl – Wso) – (Wbl – Wbo) Trata2 760
Kadar debu = --------------------------------------- X 1000 X ------------ X ---------
Flow x waktu 298 Prata2
10
11. (730,48- 725,39)-(733,96-733,90)mg 305 760
= ------------------------------------------------ X 1000 X ---------- X --------
2,5 m3/menit x 90 menit 298 760
(5,09 – 0,06) mg
= ------------------------------X 1000 X 1,023 x 1
225 m3 /menit
= 22,81 mg/m3
NAB debu total= 10 mg/m3 udara.
1.5.5.3. Kesimpulan hasil pengukuran
Kadar debu sudah melampaui NAB
Harus dilakukan pengendalian.
1. 6. Kesimpulan
Debu pada tempat pengambilan sampel yaitu di halaman Balai Hiperkes melewati
ambang batas dan perlu pengendalian. Karena debu pada dasarnya dapat
menimbulkan kelainan dan mengganggu kesehatan apabila masuk kedalam saluran
pernapasan, terutama debu yang memiliki ukuran kurang dari 10 m.
1.7. Saran
Saran teknis
Karena yang diukur adalah lingkungan luar maka perlu pengendalian debu
dengan menanam pohon dan tanaman yang dapat menyerap polusi udara
sehingga diharapkan dapat mengurangi bahaya debu yang masuk ke para
pekerja.
Saran medis
11
12. a. Melakukan pemeriksaan kesehatan berkala untuk seluruh karyawan disemua
bagian.
b. Melakukan pemeriksaan spirometri dan foto rontgen secara berkala terutama
pekerja yang banyak terpajan oleh debu.
c. Melakukan pendidikan dan penyuluhan kepada seluruh karyawan tentang
bahaya-bahaya penyakit akibat kerja, khususnya debu untuk meningkatkan
derajat kesehatan pekerja.
12
13. BAB II
PENGUKURAN KADAR TIMBAL (Pb)
DI UDARA LINGKUNGAN TEMPAT KERJA
II. 1 PENDAHULUAN
Timbal merupakan suatu logam berat yang lunak dan dapat dibentuk
berwarna keabu-abuan perak dan mempunyai densitas yang tinggi serta kebal
korosi. Pb memiliki titik leleh 327 oC dan titik didih 1620 oC. Pada suhu antara 550 o
– 660oC, timbal akan menguap dan bersenyawa dengan oksigen yang ada di udara
serta membentuk senyawa timbal – oksida.
Timbal terdapat dalam jumlah kecil pada batu-batuan, tanah dan tumbuhan.
Biji timbal yang terpenting adalah Galena (PbS).
Timbal logam digunakan pada pelindung kabel listrik, pembuatan pipa-pipa
tanki dan genting atap, pembuatan batere, perusahaan pembuatan accu, industri cat
dan amunisi, industri kimia untuk melapisi kontainer asam sulfat, panci pemanas dan
sebagainya.
II. 1.1 Penggunan Timbal Dalam Industri
Dalam kehidupan sehari-hari, timbal yang digunakan dan sering ditemukan
adalah sebagai zat aditif dalam bensin. Pabrik penyulingan minyak menggunakan
timbal untuk menghasilkan oktan yang tinggi, akibatnya residu ini melekat pada gas
buang yang menyebabkan menurunnya kualitas udara di kota-kota besar, bahkan
menyebabkan gangguan kesehatan.
Biasanya Pb di lingkungan adalah berasal dari emisi mobil kendaraan
bermotor dan pembakaran batubara. Pb biasanya digunakan untuk pembuatan
batere. Di industri kimia dan bangunan, Pb biasanya dipakai bersama antimony
dan tin sebagai sarung kabel dan lapisan pada pipa untuk mencegah kelembaban
dan kebal terhadap asam. Juga dipakai sebagai kompinen di dalam cat dan plastik
sebagai pewarna dan stabilizer.
Sumber utama timbal yang diabsorpsi melalui pernapasan adalah uap
logam timah hitam atau partikel-partikel debu timah oksida yang dihasilkan dari
13
14. industri-industri seperti industri aki, industri aliage logam, percetakan (yang masih
menggunakan huruf-huruf dari timah hitam) dan pengecatan dengan semprot.
Kenyataannya dalam darah orang normal (yang tidak terpajan timah hitam di
tempat kerja) pun menunjukkan adanya kandungan timah hitam. Kadar normal
timah hitam dalam darah adalah 0,03 mg per 100 ml darah.
II. 1.2 Sumber Pajanan Timbal di Lingkungan Kerja
Jenis pekerjaan yang memiliki risiko tinggi untuk keracunan timbal adalah
pada hampir semua pekerjaan yang menggunakan timbal, pekerjaan pelapisan
suatu benda dengan timbal dan dengan proses dibakar, tenaga kerja di industri aki,
industri mainan anak-anak, sehingga menghasilkan sejumlah uap timbal dalam
kadar yang besar.
Jenis pekerjaan yang memiliki risiko menengah (moderat) untuk keracunan
timbal adalah para tenaga kerja tambang timbal, tukang solder, tukang ledeng,
tenaga kerja yang bekerja di industri kabel, mekanik, tenaga kerja yang
memperbaiki kapal dan tenaga kerja pembuat lapisan tembikar, email dan pengelas
tertentu.
Jenis pekerjaan yang memiliki risiko rendah terhadap terjadinya keracunan
timbal adalah para pengemudi bis, taksi polisi lalu lintas, tenaga kerja garasi,
tenaga kerja bengkel, reparasi, tenaga kerja pada vulkanisasi karet, tukang mas,
tukang tutup pipa dan tukang pembuat benda-benda elektronik.
II. 1.3 Penyerapan distribusi dan ekskresi timbal pada tubuh manusia
a. Absorpsi
Timbal dan senyawanya masuk kedalam tubuh secara inhalasi, absorpsi kulit
dan ingesti. Sumber utama dari makanan dan air, tetapi sebanyak 20 g
diserap dri inhalasi uap timbal dan partikel-partikel lingkungan yang polutif.
Timbal tidak mudah diserap melalui saluran pencernaan, tetapi tergantung
pada kadar kalsium dan besi dalam makanan. Penyerapan melalui paru lebih
efektif, terutama disimpan dalam tulang. Kadar normal timbal dalam darah
adalah 0,03 mg per 100 ml darah.
b. Distribusi
Setelah diserap, sekitar 95 % timbal dalam darah diikat oleh sel darah merah.
14
15. c. Ekskresi
Timbal diekskresi melalui urin (75-80%) dan tinja/feses (15%)
II. 1.4 Gangguan Kesehatan Akibat Pajanan Timbal
Timbal dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui pernafasan,
pemaparan maupun saluran pencernaan. Lebih kurang 90 % partikel timbale dalam
asap atau debu halus di udara dihisap melalui saluran pernafasan. Penyerapan di
usus mencapai 5 – 15 % pada orang dewasa. Pada anakanak lebih tinggi yaitu 40
% dan akan menjadi lebih tinggi lagi apabila si anak kekurangan kalsium, zat besi
dan zinc dalam tubuhnya. Laporan yang dikeluarkan Poison Center Amerika
Serikat menyatakan anak-anak merupakan korban utama ketoksikan timbal;
dengan 49 % dari kasus yang dilaporkan terjadi pada anak-anak berusia kurang
dari 6 tahun. Yang lebih menghawatirkan adalah efeknya terhadap kecerdasan (IQ)
anak – anak, sehingga menurunkan prestasi belajar mereka, walaupun kadar timbal
di dalam darah mereka tidak dianggap toksik.
II. 1.4 .1 Keracunan timbal akut
Keracunan timbal akut jarang terjadi. Keracunan timbal akut secara tidak
sengaja yang pernah terjadi adalah karena timbal asetat. Gejala keracunan akut
mulai timbul 30 menit setelah meminum racun. Berat ringannya gejala yang
timbul tergantung pada dosisnya. Keracunan biasanya terjadi karena masuknya
senyawa timbal yang larut dalam asam atau inhalasi uap timbal.
Efek adstringen menimbulkan rasa haus dan rasa logam disertai rasa
terbakar pada mulut. Gejala lain yang sering muncul ialah mual, muntah dengan
muntahan yang berwarna putih seperti susu karena Pb Chlorida dan rasa sakit
perut yang hebat. Lidah berlapis dan nafas mengeluarkan bau yang menyengat.
Pada gusi terdapat garis biru yang merupakan hasil dekomposisi protein karena
bereaksi dengan gas Hidrogn Sulfida. Tinja penderita berwarna hitam karena
mengandung Pb Sulfida, dapat disertai diare atau konstipasi.
Sistem syaraf pusat juga dipengaruhi, dapat ditemukan gejala ringan berupa
kebas dan vertigo. Gejala yang berat mencakup paralisis beberapa kelompok otot
sehingga menyebabkan pergelangan tangan terkulai ( wrist drop ) dan pergelangan
kaki terkulai (foot drop).
II. 1.4.2 Keracunan subakut Timbal
15
16. Keracunan sub akut terjadi bila seseorang berulang kali terpapar racun
dalam dosis kecil, misalnya timbal asetat yang menyebabkan gejala-gejala pada
sistem syaraf yang lebih menonjol, seperti rasa kebas, kaku otot, vertigo dan
paralisis flaksid pada tungkai. Keadaan ini kemudian akan diikuti dengan kejang-
kejang dan koma.
Gejala umum meliputi penampilan yaitu gelisah, lemas dan depresi.
Penderita sering mengalami gangguan system pencernaan, pengeluaran urin sangat
sedikit, berwarna merah. Dosis fatal : 20 - 30 gram. Periode fatal : 1-3 hari.
II. 1.4.3 Keracunan kronis
Keracunan timbal dalam bentuk kronis lebih sering terjadi dibandingkan
keracunan akut. Keracunan timbal kronis lebih sering dialami para pekerja yang
terpapar timbal dalam bentuk garam pada berbagai industri, karena itu keracunan
ini dianggap sebagai penyakit industri. seperti penyusun huruf pada percetakan,
pengatur komposisi media cetak, pembuat huruf mesin cetak, pabrik cat yang
menggunakan timbal, petugas pemasang pipa gas.
Bahaya dan resiko pekerjaan itu ditandai dengan TLV 0,15 mikrogram/m 3 ,
atau 0,007 mikrogram/m 3 bila sebagai aerosol. Keracunan kronis juga dapat terjadi
pada orang yang minum air yang dialirkan melalui pipa timbal, juga pada orang
yang mempunyai kebiasaan menyimpan Ghee (sejenis makanan di India) dalam
bungkusan timbal.
Keracunan kronis dapat mempengaruhi system syaraf dan ginjal, sehingga
menyebabkan anemia dan kolik, mempengaruhi fertilitas, menghambat
pertumbuhan janin atau memberikan efek kumulatif yang dapat muncul kemudian.
Adapun gejala keracunan timbal bila di lihat dari masing-masing fungsi
organ adalah sebagai berikut :
a. Sistem Pencernaan : berupa muntah – muntah, nyeri kolik abdomen, rasa
logam dan garis biru pada gusi, konstipasi kronis, kejang abdomen dan
konstipasi
b. Sistem saraf pusat : kelumpuhan(wrist drop, foot drop, biasanya terdapat
pada pria dewasa). Sistem sensoris hanya sedikit mengalami gangguan,
sedangkan ensefalopati sering ditemukan pada anak-anak.
c. Sistem hemopoeitik berupa anemia, basofilia pungtata, retikulosis,
berkurangnya trombosit dan sel polimorfonuklear, hipertensi
d. Sistem Muskulo skeletal, artralgia ( rasa nyeri pada sendi ).
16
17. e. Sistem Reproduksi berupa : gangguan menstruasi, bahkan dapat terjadi
abortus.
f. Sistem ginjal : Lead nephrophaty
g. Efek terhadap kepribadian : neuro-behavioral changes
II.1.5 Pemantauan Biologis Timbal dan Pengobatan
Pemantauan biologis terhadap adanya timbal dalam tubuh ada 2 macam
cara yaitu:
a. Pengujian untuk menentukan kadar timbal dalam urin dan darah.
b. Pengujian untuk mengetahui efek biokimia dan racun hematologi dari
timbal (sebagai contoh d-ALA dari urin, ALAD dari darah, pengukuran
hemoglobin, stipling basofilik).
Diagnosis dapat dilakukan melalui pemeriksaan urine (jumlah
koproporfirin III meningkat ). Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang
paling dianjurkan sebagai screening test pada keracunan timbal. Kadar timbal
dalam urin juga bisa membantu menegakkan diagnosis, ketika kadarnya diatas 0,2
mikrogram /liter, dianggap sudah cukup bermakna untuk diagnosis keracunan
timbal.
Pengobatan terhadap pekerja yang keracunan timbal akibat kerja adalah,
dengan cara menghentikan dari pemajanan, di samping itu di beri pengobatan
dengan Na-EDTA. Pemeriksaan kesehatan bagi tenaga kerja menyangkut
pemeriksaan awal (dengan perhatian khusus pada sistem hematologi, Hb darah
sistem syaraf dan ginjal) serta pemeriksaan kesehatan berkala yang dilakukan
setahun sekali dan macam pemeriksaannya sama dengan pengujian kesehatan
awal. Di samping pengujian dari tenaga kerja terhadap gejala-gejala klinis yang
umum dari pemajanan timbal dan juga menghentikan kerja racun timah hitam
harus dilaksanakan.
II.1.6 Standar pengendalian :
Agar dapat menentukan kadar timbal (Pb) di udara lingkungan tempat
kerja, perlu dilakukan pengukuran dengan menggunakan metoda tertentu sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan, yang selanjutnya dilakukan analisa secara
laboratories. Adapun standar pengendalian timbale adalah sebagai berikut :
17
18. a. Timbal organik (sebagai Pb), HSE MEL : 0,15 mg/m3
b.Timbal Tetra Etil (sebagai Pb), HSE MEL : 0,10 mg/m3
II. 2. Tujuan Praktikum
II. 2.1 Tujuan Umum
Praktikum ini dilakukan untuk mengetahui cara-cara mengukur kadar timbal
total di udara
II. 2.2 Tujuan Khusus
a. Mengukur kadar timbal total di udara halaman Gedung Balai Hiperkes
b. Mengetahui prosedur pengukuran timbal total di udara dengan menggunakan
alat Atomic Absorbtion Spectrophotometer (AAS)
II.3 Metodologi
Pada praktikum ini, pengumpulan sampel udara di halaman depan balai
Hiperkes, dengan cara absorpsi dengan menggunakan impinger. Pengumpulan sampel
udara ini untuk mengetahui kadar timbal (Pb) di udara lingkungan kerja. Kecepatan
aliran udara diatur pada 5 liter per menit. Metode yang digunakan untuk penentuan
kadar timbal di udara secara fame ionisasi dengan Atomic absorption
spechtrophotometer (AAS).
II. 4 Prinsip kerja
Timbal di udara berupa uap diambil contohnya lalu diekstraksi dengan HNO3
(cons), kemudian dianalisis dengan menggunakan Atomic Absorption
Spechtrophotometer (AAS).
II. 5 Alat dan bahan
a. Midget Impinger gas sampler, dengan kapasitas 50 – 100 ml dilengkapi
flowmeter.
b. Pompa isap udara (LVS), kapasitas : 5 lpm.
c. Labu volumetric, kapasitas : 50 ml, 75 ml, dan 100 ml.
d. Pipet volumetric manual atau otomatis, kapasitas : 1,2,5,15, dan 25 ml.
18
19. e. Filter paper jenis membrane atau selulosa
f. Timbangan analitik
g. AAS spechtrofotometer dengan lampu Pb (Hollow Katode).
AAS spechtrofotometer
h. Larutan pengabsorpsi yaitu HNO3 1% sebanyak 50 ml.
i. 10 g/ml larutan timbal standar.
II.6 Prosedur Kerja :
II.6 .1 Persiapan :
a. Lakukan pengecekan alat-alat pompa isap, kaki penyangga, flowmeter,
kabel, tombol pengatur aliran udara dan gelas impinger.
b. Lakukan kalibrasi pada impinger
19
20. c. Lakukan pengaturan flowmeter dengan cara menghubungkan pompa
isap udara dengan impinger. Hidupkan pompa dan atur kecepatan
aliran udara sehingga bola menunjukan angka 2 liter/menit.
II.6.2 Strategi pengambilan sampel :
a. Pasang impinger pada kaki penyangga
b. Gelas impinger diisi dengan larutan pengabsorpsi Pb, yaitu larutan
asam nitrat/HNO3 1% sebanyak 50 ml.
c. Rakitkan impinger dengan flowmeter dan pompa hisap udara, letakan
pada titik pengukuran.
d. Hidupkan pompa hisap udara (LNS) dan cek kembali agar bola
flowmeter tetap menunjukan angka 2 lpm.
e. Catat waktu, suhu dan tekanan udara saat mulai menghidupkan pompa
hisap udara, biarkan pompa beroperasi.
f. Pengambilan sampel dilakukan selama 90 menit, setelah selesai
flowmeter dimatikan dan suhu, tekanan udara dicatat kembali.
g. Impinger dilepas dari rakitannya, lalu kedua ujung pipa ditutup dan
dilindungi dengan kertas kedap sinar matahari (hitam), agar tidak
teroksidasi.
h. Larutan sampel dalam impinger dibawa ke laboratorium untuk
dianalisa.
II.6.3 Menyiapkan larutan standar dan larutan blanko :
a. Siapkan larutan standar yang mengandung 400 ppb = 0,004 g Pb.
b. Siapkan 3 buah labu volumetri, diberikan identitas standar 1,2 dan 3
c. Masukan kedalam masing-masing labu volumetri larutan standar
timbal yang mengandung 10 g Pb per ml dengan pipet volumetri
sebanyak 2,4 dan 6 ml. Dengan demikian, masing-masing labu akan
mengandung 20, 40 dan 60 g Pb.
d. Pada masin-masing labu ditambahkan larutan pengabsorpsi sampai
volumenya menjadi 25 ml.
e. Siapkan larutan blanko yang telah berisi larutan standar Pb yang
mengandung 0 Pb.
f. Siapkan 2 buah labu volumetri untuk larutan sampel dan larutan
blanko.
20
21. g. Masukan 10 ml larutan sampel dan 10 ml larutan blanko ke dalam
masing-masing labu volumetri. Tambahkan larutan pengabsorpsi
sehingga volumenya menjadi 25 ml.
h. Intensitas warna yang terjadi karena persenyawaan ion kompleks
timbal dengan ditizon ini kemudian diukur spektrofotometer serapan
atom.
II.6.4 Proses analisis
a. AAS dipersiapkan, buka/atur gas acetylene dan udara, tekan tombol
AAS untuk menyalakan api.
b. Siapkan standar Pb dan blanko untuk zero.
c. Lakukan pembacaan sampel.
II.6.5 Perhitungan
Kadar Pb di udara dapat dihitung dengan rumus berikut:
C= Cs.Vs – Cb.Vb x Trata-rata x Pstandar
V 298 Prata-rata
Dimana:
C : kadar Pb dalam udara (μg/m3 atau mg/liter)
Cs : konsentrasi Pb dalam sampel (μg)
Cb : konsentrasi Pb dalam blanko (μg)
Vs : volume sampel (ml)
Vb : volume blanko (ml)
V : volume udara (liter), dihitung dari kecepatan aliran udara
(liter/menit) x waktu (menit)
Trata-rata : suhu udara (K)
Prata-rata : tekanan udara (mmHg)
Pstandar : tekanan udara standar (760 mmHg)
II .6.7 hasil pengukuran dan perhitungan
21
22. Dari hasil pengukuran didapatkan hasil-hasil sebagai berikut :
Suhu rata-rata selama pengukuran adalah : 32oC + 273 = 305 oK
Tekanan udara rata-rata selama pengukuran adalah : 760 mmHg
Vs : volume sampel (ml) = 50ml
Vb : volume blanko (ml) = 20ml
Hasil absorbansi :
Kadar Pb di udara :
C Blanko = - 0,1001 mg/L
C Sampel = 0,0218 mg/L
Rumus yang di gunakan :
(C sampel x V sampel) – (C blanko x V blanko) Trata2 760
Kadar Pb = ------------------------------------------------------------- X ---------- X ---------
Vol udara 298 Prata2
(0,0218 x 50 ml) – (-0,1001 x 20 ml) 305 760
= ------------------------------------------------- X ------------ X --------
5 liter/menit X 90 menit 298 760
(1,09) – (-2,002)
= ------------------------ X 1,023 X 1
450
= 0,00687 X 1,023 X 1
= 0,00702 mg/m3
Kadar Pb di udara = C = 0,00702 mg/m3
NAB (TWA) Pb = 0,05 mg/m3
II .7 Kesimpulan
Kadar Pb di udara lingkungan kerja belum melewati NAB sehingga tidak
perlu pengendalian
22
23. Timbal sebagai bahan aditif dapat mengakibatkan gangguan kesehatan
baik melalui kontak langsung melalui kulit maupun melalui saluran
pencernaan (ingesti).
Timbal banyak digunakan pada pabrik accu dan pabrik daur ulang accu
bekas pada sektor industri kecil dan menengah yang sering menyebabkan
pencemaran.
II .8 Saran
Kadar timbal di halaman balai Hiperkes di halaman Gedung Balai
Hiperkes sebaiknya tetap dipertahankan agar di bawah BML dan NAB untuk menjaga
linkungan kerja sebaik-baiknya
Saran teknis
a. Penggunaan alat pelindung diri seperti sarung tangan dan menjaga
kebersihan tubuh sehingga menghindarkan diri dari kontaminan
timbal.
b. Adanya peraturan dan sanksi bagi pekerja yang tidak mematuhi
untuk menggunakan alat pelindung diri.
Saran medis
a. Melakukan pemeriksaan kesehatan berkala untuk seluruh
karyawan.
b. Melakukan pemeriksaan darah secara berkala terutama pekerja
yang terkena pajanan timbal.
c. Melakukan pendidikan dan penyuluhan kepada seluruh karyawan
tentang bahaya-bahaya penyakit akibat kerja, khususnya pajanan
timbal untuk meningkatkan derajat kesehatan pekerja.
d. Adanya tim P2K3 dan peralatan K3 yang baik dan sesuai dengan
standar perusahaan.
Peralatan untuk mengukur kadar Pb di udara
23
24. gambar alat pengukur Pb di udara AAS (Atomic Absorbtion Spectrophotometer)
BAB III
PENGUKURAN KADAR GAS AMONIAK (NH3) DI UDARA LINGKUNGAN KERJA
24
25. III. 1 Pendahuluan
Amonia merupakan persenyawaan kimia anorganik yang berbentuk gas, tidak
berwarna, berbau spesifik yang sangat menyengat. Sangat mudah larut dalam air
membentuk amonia cair. Selain larut dalam air, amonia juga larut dalam etil alkohol,
etil eter dan pelarut organik lainnya.
Sifat amoniak adalah gas yang tidak berwarna, lebih ringan dibandingkan
udara, mempunyai titik lebur -75oC dan titik didih -33,7o. Amoniak terkenal dengan
sifat kelarutannya, dengan logam alkali akan mudah membentuk larutan berwarna
dan mengalirkan elektrik dengan baik. Mudah terbakar, bila bercampur dengan
oksigen akan menyala hijau kekuningan dan dapat meledak jika tercampur udara.
Di industri, amonia banyak digunakan sebagai pendingin dan di produk-produk
seperti pupuk, peledak dan plastik.
III.1.1 Penggunaan Amonia Dalam Industri
Di industri, amonia digunakan untuk memproduksi ammonium sulfat dan nitrat
dalam pembuatan pupuk, digunakan dalam industry soda dengan proses amonia,
untuk membuat urea sintetis, pembuatan cermin pada proses refrigerator dan dapat
digunakan di industry es sintesis. Gas Amonia juga digunakan pada pengilangan
minyak dan pembuatan bahan peledak
III.1.2 Pemantauan Ambang Batas Amonia di Lingkungan Kerja
Untuk mengetahui kadar amonia udara di lingkungan kerja maka perlu
dilakukan pengukuran dengan metode tertentu sesuai dengan standar yang ditetapkan,
dan selanjutnya dilakukan analisis di laboratorium. Metode yang digunakan untuk
pengukuran kadar ammonia di udara adalah Nessler dengan menggunakan alat
spektofotometer.
Konsentrasi ammonia dalam udara yang berada di suatu tempat dapat dihitung
dengan rumus
C= v x A-B x Trata-rata x Pstandar
V fxt 298 Prata-rata
25
26. Dimana:
C : kadar NH3 dalam udara (μg/m3)
v : volume absorben sampling (ml)
V : volume absorben yang dianalisa (ml)
A : konsentrasi NH3 dalam sampel (μg)
B : konsentrasi NH3 dalam blanko (μg)
f : kecepatan aliran udara (liter/menit)
t : waktu pengukuran (menit)
Trata-rata : suhu udara rata-rata (K)
Prata-rata : tekanan udara (mmHg)
Pstandar : tekanan udara standar (760 mmHg)
Untuk batas tertinggi pajanan Amonia di lingkungan pabrik/industri, batasan
yang dipakai adalah Nilai Ambang Batas, yaitu sebesar 17 mg/ m3. Namun
apabila yang diukur adalah besar pajanan Amonia di lingkungan umum dan
perkantoran, maka persyaratan yang digunakan adalah Baku Mutu Lingkungan,
yaitu sebesar 1,36 mg/ m3.
III.1.3 Sumber Pajanan Amonia di Lingkungan Kerja
Pada keadaan normal, kadar gas amonia di udara sangat sedikit, Adanya gas
amonia dalam jumlah besar di udara biasanya berasal dari pabrik atau industri
tertentu. Sebelum ditemukan Freon, Amonia digunakan sebagai proses-proses
pendinginan, misalnya pada pabrik pembuatan es dan sebagai pendingin pada
tungku kilang minyak. Selain itu, Amonia juga banyak dipakai sebagai bahan
baku pada industri pupuk dan pembuatan bahan peledak. Pekerja yang bekerja di
tempat-tempat tersebut di atas beresiko tinggi terpajan dengan amonia di tempat
kerjanya.
III.1.4 Gangguan Kesehatan Akibat Pajanan Amonia
Gas amoniak masuk ke dalam tubuh secara inhalasi, pajanan secara inhalasi
dengan konsentrasi 2500 sampai 6500 ppm dapat menyebabkan iritasi pada kornea,
26
27. sesak napas, bronkhospasme, nyeri dada, edema paru dan cairan sputum berbusa yang
berwarna merah jambu. Iritasi ini dapat bersifat akut maupun kronis.
Agar dapat menentukan kadar amoniak di udara lingkungan kerja, maka perlu
dilakukan pengukuran dengan menggunakan metode tertentu sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan, dan selanjutnya dilakukan analisis di laboratorium.
Efek-efek klinis dari Amonia antara lain bersifat iritasi pada kulit,
konjungtiva dan membran mukosa dari saluran napas atas. Gejala klinis yang dapat
timbul adalah bronkhitis, pneumonia, iritasi mata, hidung dan tenggorokan serta nyeri
dada. Pada keadaan terpajan konsentrasi tinggi dapat menyebabkan edema paru dan
laryng yang dapat menyebabkan kematian.
III. 2. Tujuan Praktikum
III. 2.1 Tujuan Umum
Praktikum ini dilakukan untuk mengetahui cara-cara mengukur kadar Amonia
total di udara
III. 2.2 Tujuan Khusus
a. Mengukur kadar Amonia di udara halaman Gedung Balai Hiperkes
b. Mengetahui prosedur pengukuran Amonia di udara dengan metode Nessler
dan menggunakan alat spektrofotometer
III. 3. Metodologi dan Dasar Teori
III. 3. 1 Metodologi
Metode yang digunakan untuk penentuan kadar amoniak di udara adalah menurut
Nessler dengan menggunakan spektrofotometer.
III. 3. 2 Dasar Teori
Gas amoniak di udara di absorpsi dengan asam sulfat encer, membentuk garam
ammonium. Selanjutnya garam ammonium yang terbentuk direaksikan dengan
pereaksi Nessler membentuk suatu senyawa kompleks yang berwarna kuning sampai
coklat. Intensitas warna yang terjadi kemudian diukur spektrumnya pada
spektrofotometer dengan panjang gelombang 460 nm.
27
28. III. 4 Alat dan bahan
III. 4 .1 Alat
a. Impinger gas sampler tipe midget, kapasitas 50 – 100 milimeter.
b. Pompa hisap udara, dengan flowmeter 2 lpm.
c. Timbangan teknis, kapasitas 200 gram, sensitifitas 0,01 gram.
d. Timbangan analitik, sensitifitas 0,0001 gram.
e. Spektrofotometer yang mempunyai filter untuk panjang gelombang 460 nm.
f. Alat-alat gelas laboratorium
i. Labu volumetric, kapasitas 50, 75 dan 100 ml.
ii. Pipet volumetric, manual, kapasitas 1,2,3,5,10,20 ml.
iii. Rak untuk tempat tabung.
III. 4 .2 Bahan
i. Larutan pengabsorpsi (absorping reagent) : 0,005 N H2SO4 sebanyak 50 ml.
ii. Pereaksi Nessler A (campuran HgI2 dan KI) dan Nessler B (campuran NaOH
dan Aquadest)
iii. Larutan standar amoniak untuk kalibrasi.
iv. Kertas pH
v. KOH
III. 5 Prosedur kerja
III. 5.1 Persiapan
a. Cek kelengkapan alat-alat yang akan digunakan untuk sampling.
b. Isi impinger dengan larutan pengabsorpsi 0,005 N H2SO4 sebanyak 50 ml.
c. Hidupkan pompa hisap dan periksa kembali agar bola flowmeter menunjukan
angka yang dikehendaki (2 lpm), biarkan sampai stabil.
d. Setelah 45 menit, pompa hisap dimatikan, ukur suhu dan tekanan udara.
e. Bawa larutan sampel dalam impinger ke dalam laboratorium untuk di analisa.
III. 5.2 Strategi pengambilan sampel
a. Gelas impinger diisi dengan 50 ml larutan pengabsorpsi amonia (NH3) yaitu
larutan 0,005 N H2SO4.
b. Lakukan pemasangan impinger pada kaki penyangga.
c. Rakit gelas impinger dengan flowmeter yang tetap menunjukan angka 2 liter
per menit.
28
29. d. Pengambilan sampel dilakukan selama 90 menit dengan flow rate 1 L/mt
e. Lakukan pencatatan suhu dan tekanan udara.
f. Pompa isap dimatikan setelah selesai.
g. Setelah pompa isap dimatikan, impinger di lepaskan dari rakitannya, kedua
ujung pipa di tutup rapat-rapat dan dilindungai dengan kertas kedap sinar
(hitam) agar tidak teroksidasi oleh sinar matahari.
h. Larutan sampel 1 ml dalam impinger di analisa dalam laboratorium.
III. 5.3 Cara Analisa
a. Siapkan 3 tabung reaksi, masing-masing untuk larutan standar 1, standar 2 dan
standar 3.
b. Buat tiga larutan standar yang mengandung 5 m/ml NH3 pada tabung Standar
1 sebanyak 1 ml, tabung standar 2 sebanyak 2 ml dan tabung standar 3
sebanyak 3 ml.
c. Tambahkan pada setiap tabung standar dengan aquadest sampai volume 10 ml.
d. Siapkan larutan blanko yang berisi larutan absorben H2SO4 sebanyak 10 ml.
e. Periksa pH larutan sampel, usahakan agar pH = 7,4 dengan menambahkan
larutan NaOH encer.
f. Masukan 1 ml larutan sampel, lalu tambahkan aquadest sehingga volumenya
menjadi 10 ml.
g. Tambahkan pereaksi Nessler A dan B sebanyak 1 ml kepada 5 tabung reaksi
tersebut.
h. Siapkan spektrofotometer dan atur panjang gelombang yang sesuai yaitu 460 nm
i. Pembacaan pada spektrofotometer dilakukan dengan cara menuangkan
sebagian isi tabung reaksi kedalam curvet yang tersedia.
j. Buat kurva standar dengan membaca absorbansi larutan standar.
k. Baca absorbansi sampel dan bandingkan kadarnya dengan menggunakan
kurva standar.
29
30. III. 5.4 Cara Perhitungan
Kadar amonia di udara dapat dihitung dengan rumus berikut:
C= v x A-B x Trata-rata x Pstandar
V fxt 298 Prata-rata
Dimana:
C : kadar NH3 dalam udara (μg/m3)
v : volume absorben sampling (ml)
V : volume absorben yang dianalisa (ml)
A : konsentrasi NH3 dalam sampel (μg)
B : konsentrasi NH3 dalam blanko (μg)
f : kecepatan aliran udara (liter/menit)
t : waktu pengukuran (menit)
Trata-rata : suhu udara rata-rata (K)
Prata-rata : tekanan udara (mmHg)
Pstandar : tekanan udara standar (760 mmHg)
III. 5.5. Hasil Pengukuran Dan Evaluasi
Dari hasil pengukuran didapatkan hasil-hasil sebagai berikut :
Suhu rata-rata selama pengukuran adalah : 32oC + 273 = 305oK
Tekanan udara rata-rata selama pengukuran adalah : 76 mmHg
30
31. v : volume absorben sampling (ml) = 20 ml
V : volume absorben yang dianalisa (ml) = 10 ml
Hasil absorbansi :
B = Blanko = 0,108 microgram
A = Sampel = 0,346 microgram
Kadar amoniak di udara
Rumus yang di gunakan :
v A-B Trata2 P1
Kadar NH3 = ----- X ---------- X --------- X -------- mg/m3 udara
V fxt 298 P2
20 0,346 – 0,108 g 305 760
= ------ X ---------------------------------- X ---------- X -------
10 1 Lt/menit x 90 mnt298 760
= 2 x 0,0026 g/L x 1,023 x1
= 0,005 g/L
= 0,005 mg/ m3
NAB (TWA) NH3 = 17 mg/m3
III. 5.6 Kesimpulan
Kadar Amonia di lingkungan yang diukur belum melewati NAB.
III. 6 Kesimpulan Dan Saran
III. 6 .1 Kesimpulan
Kadar Amoniak di udara lingkungan yang diukur masih dibawah nilai ambang
batas. Walaupun demikian kewaspadaan terhadap bahan kimia amoniak sangat
diperlukan karena bahan tersebut tidak berwarna, mudah terbakar, dapat
menimbulkan sesak napas hingga kematian.
31
32. III. 6 .2 Saran
Saran teknis
a. Penggunaan alat pelindung diri seperti respirator saat berdekatan
dengan gas amoniak.
b. Adanya peraturan dan sanksi bagi pekerja yang tidak mematuhi
untuk menggunakan alat pelindung diri.
c. Perlunya sarana untuk tempat penyimpanan gas amoniak.
d. Adanya peralatan yang menunjang untuk keselamatan pekerja.
Saran medis
a. Melakukan pemeriksaan kesehatan berkala untuk seluruh
karyawan.
b. Menyiapkan tim gawat darurat jika terjadi keracunan dan ledakan
amoniak
c. Melakukan pendidikan dan penyuluhan kepada seluruh karyawan
tentang bahaya-bahaya penyakit akibat kerja, khususnya debu
untuk meningkatkan derajat kesehatan pekerja.
Peralatan untuk pengukuran kadar NH3
gambar alat pengukur kadar NH3
32
33. BAB IV
MENGUKUR KADAR GAS CO2 DI UDARA TEMPAT KERJA
(MENGGUNAKAN DIGITAL GAS DETECTOR)
IV.1 PENDAHULUAN
Gas C02 mencemari udara lingkungan tempat kerja akibat aktivitas
pernapasan (manusia, hewan dan tumbuhan) dan industri (khususnya pengecoran,
logam, pembangkit listrik batubara, dan penggunaan energi fosil), letusan gunung
berapi dan proses perapian. Meskipun C0 2 berfungsi untuk tumbuhan hijau dalarn
proses fotosintesis dan menjaga suhu permukaan bumi, akan tetapi bila kadar gas
CO2 melebihi Nilai Ambang Batas (NAB) akan menimbulkan peningkatan suhu
lingkungan (pada kenaikan 25% jumlah C02 menyebabkan kenaikan suhu antara
0,5o sampai 1oC).
IV.1.1 Penggunaan Karbondioksida Dalam Industri
Karbondioksida berasal dari udara dan dalam bentuk pekat dapat
menimbulkan timbunan atmosfer inert pada ruangan yang tidak berventilasi. CO2
lazim ditemukan dalam industri sebagai hasil sampingan peragian, oven kokas,
pembakaran tungku dan pembuangan sampah, juga banyak digunakan sebagai gas
industri misalnya pengkarbonan minuman, pembuatan bir dan pendinginan.
IV.1.2 Pemantauan Ambang Batas Karbondioksida di Lingkungan Kerja
Untuk menentukan kadar karbondioksida di udara lingkungan kerja, maka
perlu dilakukan pengukuran dengan menggunakan metode tertentu sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan. Metode yang digunakan untuk pengukuran kadar
33
34. karbondioksida di udara adalah dengan detektor gas CO 2. Detektor Gas CO2 ini
ada 3 macam yaitu hand pump gas detector, analog detector dan digital gas
detector.
Digital gas detector
Untuk batas tertinggi pajanan karbondioksida di lingkungan pabrik/industri,
batasan yang dipakai adalah Nilai Ambang Batas, yaitu sebesar 5000 ppm. Namun
apabila yang diukur adalah besar pajanan karbondioksida di lingkungan umum dan
perkantoran, maka persyaratan yang digunakan adalah Baku Mutu Lingkungan, yaitu
sebesar 1000 ppm.
IV.1.3 Sumber Pajanan Karbondioksida di Lingkungan Kerja
Pekerja yang memiliki risiko pajanan karbon dioksida banyak ditemukan
pada pekerja di pabrik pembuatan minuman berkarbonasi, pabrik bir, pendinginan
petugas pembuangan sampah dan sebagainya.
IV.1.4 Gangguan Kesehatan Akibat Pajanan Karbondioksida
Karbon dioksida masuk kedalam tubuh melalui proses inhalasi, dimana terjadi
penghirupan melalui saluran pernapasan. Karbondioksida mampu merangsang
pusat pernapasan di medula oblongata sehingga menimbulkan hiperpneu
(konsentrasi 3%) dan kehilangan kesadaran pada konsentrasi 10%.
IV. 2 Tujuan Praktikum
IV. 2.1 Tujuan Umum
Praktikum ini dilakukan untuk mengetahui cara-cara mengukur kadar
Karbondioksida di udara
34
35. IV. 2.2 Tujuan Khusus
a. Mengukur kadar Karbondioksida di udara halaman Gedung Balai Hiperkes
b. Mengetahui prosedur pengukuran Karbondioksida di udara dengan
menggunakan alat Digital Gas Detector
IV. 3 Peralatan
Untuk mengukur kadar gas karbondioksida digunakan CO2 digital gas
detector
IV.4 Prosedur Kerja
a. Pengukuran diletakkan pada titik pengukuran yang telah ditentukan
sebelumnya (bias ditengah-tengah ruangan atau dekat sumber pajanan
b. Nyalakan digital gas detector yang sesuai untuk mengukur gas CO2
c. Kemudian baca angka yang tertera pada layar alat
IV.5 Hasil Pengukuran
Hasil pengukuran dengan menggunakan digital gas detector kadar CO2 dalam
udara 752 ppm. Dimana NAB CO2 sebesar 5000 ppm dan BML CO2 sebesar 1000
ppm.
Kesimpulan
Kadar CO2 di udara lingkungan kerja masih berada di bawah nilai ambang batas.
IV.6 Kesimpulan Dan Saran
IV.6.1 Kesimpulan
a. NAB gas CO2 di udara lingkungan kerja ditetapkan sebesar 5000 ppm.
Karbon dioksida mampu merangsang pusat pernapasan di medula
oblongata sehingga menimbulkan hiperpneu (konsentrasi 3%) dan
kehilangan kesadaran pada konsentrasi 10%.
b. Hasil pengukuran masih di bawah nilai NAB
c. Tenaga kerja masih terlindungi
IV.6.2 Saran
a. Saran teknis
Adanya pengendalian kadar gas CO2 di lingkungan tempat kerja.
b. Saran medis
Melakukan pemeriksaan kesehatan berkala untuk seluruh karyawan.
35
36. Melakukan pendidikan dan penyuluhan kepada seluruh karyawan
tentang bahaya-bahaya penyakit akibat kerja, khususnya pajanan karbon
dioksida untuk meningkatkan derajat kesehatan pekerja.
DAFTAR PUSTAKA
1. Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja. WHO, 1993.
2. Harrington IM, et.al. Pocket Consultant Occupational Health. Oxford, 1992.
3. Material Safety Data Sheet (MSDS). Puslitbang Kimia Terapan. LIPI, 1998.
36
37. 4. Nick HP, etal. Chemical Hazards of The Workplace, JB Lippincot Comp., Toronto, 1978.
5. Soeripto, M. Higiene Industri I (Faktor Kimia). Balai Penerbit UI. Jakarta, 2002.
6. P.K., Suma’mur. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Gunung Agung. Jakarta, 1986.
37