Dokumen tersebut membahas tentang metode studi Al-Quran dan Hadis. Secara singkat, dibahas pengertian Al-Quran dan Hadis secara etimologi dan terminologi, fungsi Al-Quran, hukum-hukum dalam Al-Quran, dalalah Al-Quran, serta jenis-jenis Hadis.
1. METODE STUDI AL-QUR’AN DAN
HADIST
HARRY SASKIA NYLA PUSPITA
FAK. EKONOMI
SEMESTER : 1 (SATU)
2. PENGERTIAN AL-QURAN DAN HADIST
1.
Pengertian Al-qur’an
Secara Etimologi :
Merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a yang bermakna
Talaa keduanya berarti: membaca, atau bermakna Jama’a mengumpulkan,
mengoleksi. maka ia adalah mashdar (kata benda) yang semakna dengan Ism
Maf’uul, artinya Matluw (yang dibaca Sedangkan berdasarkan makna kedua (Yakni:
Jama’a) maka ia adalah mashdar dari Ism Faa’il, artinya Jaami’ (Pengumpul,
Pengoleksi) kerana ia mengumpulkan/mengoleksi berita-berita dan hukum-hukum.
Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur’an
sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah :
yang artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan)
bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah
membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.( Al-Qiyamah: 1718).
3. Secara Terminologi :
Adalah firman atau wahyu yang berasal dari Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW dengan perantara melalui malaikat jibril sebagai pedoman
serta petunjuk seluruh umat manusia semua masa, bangsa dan lokasi. Alquran
adalah kitab Allah SWT yang terakhir setelah kitab taurat, zabur dan injil yang
diturunkan melalui para rasul. Hal ini juga senada dengan pendapat yang
menyatakan bahwa Al-Qur'an kalam atau wahyu Allah yang diturunkan melalui
perantaraan malaikat jibril sebagai pengantar wahyu yang disampaikan kepada
Nabi Muhammad SAW di gua hiro pada tanggal 17 ramadhan ketika Nabi
Muhammad berusia 41 tahun yaitu surat al alaq ayat 1 sampai ayat 5.
Sedangkan terakhir alqu'an turun yakni pada tanggal 9 zulhijjah tahun 10 hijriah
yakni surah almaidah ayat 3.
Allah ta’ala menyebut al-Qur’an dengan sebutan yang banyak sekali,
yang menunjukkan keagungan, keberkahan, pengaruhnya dan universalitasnya
serta menunjukkan bahwa ia adalah pemutus bagi kitab-kitab terdahulu
sebelumnya.
4. FUNGSI AL-QUR’AN
1.
Pengganti kedudukan kitab suci sebelumnya yang pernah diturunkan Allah SWT
2.
Tuntunan serta hukum untuk menempuh kehidupan
3.
Menjelaskan masalah-masalah yang pernah diperselisihkan oleh umat terdahulu
4.
Sebagai Obat :
“Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orangorang yang beriman, dan (Alquran itu) tidaklah menambah kepada orang-orang yang
zalim selain kerugian”. (Al-Isra’ (17): 82).
5.
Petunjuk pada jalan yang lurus
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberi petunjuk pada jalan yang amat lurus”. (Al-Isrâ
(17) ayat 9.
5. Hukum-Hukum yang terkandung dalam Al-quran
Sesuai dengan definisi hukum syara’ sebagaimana telah
dijelaskan, hanya sebagian kecil dari ayat-ayat Alquran yang
mengandung hukum, yaitu yang menyangkut perbuatan mukalaf
dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat, dan ketentuan yang
diterapkan. Hukum-hukum tersebut mengatur kehidupan manusia,
baik dalam hubungan dengan Allah Swt. Maupun dalam
hubungannya dengan manusia dan alam sekitarnya.
Secara garis besar hukum-hukum dalam Alquran dapat dibahi
tiga macam ;
6. 1.
Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Swt.
Mengenai apa-apa yang harus diyakini dan yang harus dihindari sehubungan
dengan keyakinannya, seperti keharusan mengesakan Allah dan larangan
mempersekutukan-Nya. Hukum yang menyangkut keyakinan ini disebut
hukum I’tiqadiyah yang dikaji dalam “ilmu tauhid” atau “ushuluddin”.
2.
Hukum-hukum yang mengatur hubungan pergaulan manusia mengenai sifatsifat baik yang harus dimiliki dan sifat-sifat buruk yang harus dijauhi dalam
kehidupan bermasyarakat. Hukum dalam bentuk ini disebut hukum khuluqiyah
yang kemudian dikembangkan dalam “ilmu Akhlak”.
3.
Yang menyangkut tindak tanduk manusia dan tingkah laku lahirnya dalam
hubungan dengan Allah SWT., dalam hubungan dengan sesame manusia,
dan dalam bentuk apa-apa yang harus dilakukan atau harus dijauhi. Hukum ini
disebut hukum amaliyah yang pembahasannya dikembangkan “ilmu Akhlak”.
7. Dalalah Alquran
Yang dimaksud dengan dalalah dalam konteks pemahaman makna atau
pengertian dari nas ialah petunjuk yang dapat dijadikan pegangan untuk
membawa kepada pengertian yang dikehendaki. Dengan kata lain, dalalah
berkaitan dengan bagaimana pengertian atau makna yang ditunjukkan oleh nas
dapat dipahami.
Dalam kajian ushul fiqh, untuk dapat memahami nas apakah pengertian
yang ditunjukkan oleh unsur-unsur lafalnya itu jelas, pasti atau tidak. Para
ulama’ ushul menggunakan pendekatan apa yang dikenal dengan istilah qath’i
dan zhanny.
a) Nas yang qath’i dalalahnya ialah nas yang menunjukkan kepada makna yang
bisa dipahami secara tertentu, tidak ada kemungkinan dita’wilkan, Seperti
firman Allah SWT:
8. Artinya ::
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau
(dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu
itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat
yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada
ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari´at yang benar-benar dari Allah,
dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”.
Ayat tersebut adalah qath’i dalalahnya. Artinya bahwa bagian suami dalam keadaan
seperti ini adalah seperdua, tidak yang lain.
9. b) .
Nas yang zhanny dalalahnya ialah nas yang menunjukkan atas makna yang
memungkinkan untuk dita’wilkan atau dipalingkan dari makna asalnya kepada makna
yang lain, Seperti firman Allah SWT:
Artinya :
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru´.
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika
mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma´ruf. Akan
tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Padahal lafadaz “quru” itu dalam bahasa Arab mempunyai dua arti yaitu suci dan
haid. Maka ada kemungkinan bahwa yang dimaksud ayat tersebut tiga kali suci atau tiga
kali haid. Jadi ini berarti dhanni (tidak pasti) dalalahnya atas satu makna dari dua makna
tersebut.
10. 2. Pengertian Hadist
Secara etimologis hadits bisa berarti :
Baru, seperti kalimat : “ Allah Qadim mustahil Hadits “.Dekat, seperti :
”Haditsul ” ahli bil Islam “.Khabar, seperti : “Falya’tu bi haditsin mitslihi “. Dalam
tradisi hukum Islam, hadits berarti : Segala Perbuatan, Perkataan, dan Keizinan
Nabi Muhammad saw. ( Af ‘al, Aqwal dan Taqrir ). Pengertian hadits sebagaimana
tersebut diatas adalah identik dengan Sunnah, yang secara etimologis berarti jalan
atau tradisi, sebagaimana dalam Al-Qur’an : ” Sunnata man qad arsalna ” ( al-Isra
:77 ). Juga dapat berarti : Undang-undang atau peraturan yang tetap berlaku,Cara
yang diadakan,jalan yang telah dijalani.
Adapun menurut muhadditsin, hadits itu adalah “Segala apa yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW, baik itu hadits marfu’(yang disandarkan kepada
Nabi), hadits mauquf (yang disandarkan kepada sahabat) ataupun hadits maqthu’
(yang disandarkan kepada tabi’in).
Ada yang berpendapat antara Sunnah dengan Hadits tersebut adalah
berbeda-beda. Akan tetapi dalam kebiasaan hukum Islam antara Hadits dan Sunnah
tersebut hanyalah berbeda dalam segi penggunaannya saja, tidak dalam tujuannya.
11. Sunnah adalah sumber Hukum Islam ( Pedoman Hidup Kaum Muslimin )
yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman kepada AlQur’an sebagai sumber hukum, maka secara otomatis harus percaya bahwa
Sunnah sebagai sumber Islam juga.
Ayat-ayat Al-Qur’an cukup banyak untuk dijadikan alasan yang pasti
tentang hal ini, seperti
1. Setiap mu’min harus taat kepada Allah dan Rasul-nya (al-Anfal :20,
Muhammad :33, an-Nisa :59, Ali-Imran :32, al-Mujadalah : 13, an-Nur : 54,alMaidah : 92 ).
2. Kepatuhan kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah ( an-Nisa :80,
Ali-Imran :31 ).
3. Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa ( an-Anfal :13, AlMujadalah :5, an-Nisa :115 ). Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang
yang beriman. ( an-Nisa’:65 ).
4. Kemudian perhatikan ayat-ayat : an-Nur : 52; al-Hasyr : 4; al-Mujadalah : 20;
an-Nisa’: 64 dan 69; al-Ahzab: 36 dan 71; al-Hujurat :1; al-Hasyr : 7 dan
sebagainya.
12. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum
Muslimin akan menghadapi kesulitan-kesulitan dalam hal : cara shalat,
kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayatayat Al-Qur’an dalam hal tersebut hanya berbicara secara global dan
umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasullullah.
Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal
menafsirkan ayat-ayat yang musytarak, muhtamal dan sebagainya yang
mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila
penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan
rasio sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat
subjektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
13. Secara Terminologis adalah :
Hadis adalah segala ucapan, perbuatan, ketetapan dan karakter
Muhammad Saw setelah beliau diangkat menjadi Nabi.
Hadis adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi pasca
pengangkatan Nabi, sedangkan sunnah lebih luas yaitu sebelum dan
sesudah beliau diangkat jadi Rasul
Sebagaimana keterangan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah di dalam Shahih al-Bukhari bab Riqa' yang isinya
menyatakan bahwa apa yang diucapkan oleh Nabi dinamakan hadis.
14. Macam-macam dan pembagian Hadits
Hadits dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu:
a.
Hadits mutawatir
Hadits mutawatir ialah hadits yang diriwayat oleh rawi yang banyak dan tidak
mungkin mereka mufakat berbuat dusta pada hadits itu, mengingat banyaknya
jumlah mereka.
» Pembagian hadits mutawatir ;
- Mutawatir lafzi, ialah hadits yang serupa lafaz dan maknanya dari
setiap rawi.
- Mutawatir maknawi, ialah hadits yang berbagai-bagai lafaz dan makna, akan
tetapi didalamnya ada satu bagian yang sama bagian yang sama
tujuannya.
15. b.
Hadits ahad
Hadits ahad ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tidak
kebatasan hadits mutawatir. Hadits ini tidak sampai kederajat mutawatir yaitu
Shahih, hasan, dhaif.
» Pembagian hadits ahad ;
- Hadits shahih ialah hadits yang berhubungan sanadnya,
diriwayatkan oleh yang adil dan dhabith dari orang yang
seumpanya, terpelihara dari perjanjian bersih dari cacat
memburukkan.
yang
- Hadits hasan ialah hadits yang dihubungkan sanad
diriwayatkan oleh orang yang adil yang kurang dhabitnya,
terpelihara
dari perjanjian dan bersih dari cacat yang
memburukkan.
- Hadits dhaif ialah hadits yang kurang satu syarat atau lebih
diantara syarat-syarat hadits shahih dan hasan atau dalam
ada orang yang bercacat.
sanadnya
16. Kedudukan dan Kehujjahan Hadist
Tidak ada perbedaan pendapat jumhur (ahlusunah wal jama’ah), ulamak
tentang hadits Rasul sebagai sumber hukum yang kedua sesudah Al-qur’an dalam
menentukan suatu keputusan hukum, seperti menghalalkan atau mengharamkan
sesuatu. kekuatannya sama dengan Al-Qur’an. Oleh karena itu, wajib bagi umat
Islam menerima dan mengamalkan apa-apa yang tercandung di dalamnya selama
hadits itu sah dari Rasulullah SAW.
Lain halnya dengan golongan Syiah yang tidak mengakui semua hadits yang
dipandang sah oleh golongan ahlu sunnah sebab mereka hanya mengakui sahnya
suatu hadits atau khabar kalau diriwayatkan oleh imam-imam dan ahli hadits mereka
sendiri. Berbeda dengan ahli zahir mereka masih dapat menerimanya selama hadits
itu sah menurut kriteria ilmu hadits.
Kehujjahan sunnah berdasarkan beberapa ayat Al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah Saw., diantaranya:
Artinya :
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan
barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk
menjadi pemelihara bagi mereka”. (QS. An-Nisa: 80)
17. Hubungan Al-qur’an dan Hadist
Al-hadits didefinisikan oleh pada umumnya ulama seperti definisi Al-Sunnah
sebagai “Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan,
perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau
menjadi nabi maupun sesudahnya.” Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis
hanya pada “ucapan-ucapan Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum”;
sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan
hukum, maka ketiga hal ini mereka namai Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang
dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu
Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapanketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran.
Adapun fungsi As-Sunnah terhadap Alquran ditinjau dari segi penggunaan hujjah dan
pengambilan hukum-hukum syari’at bahwa As-Sunnah itu sebagai sumber hukum yang
sederajat lebih rendah dari Alquran.
Adapun fungsi As-Sunnah./hadis terhadap Alquran dari segi materi hukum yang
terkandung di dalamnya Ada tiga macam, yakni:
a.
Menguatkan (mu’akkid) hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya di dalam
Alquran.
b.
Memberikan keterangan (bayan) terhadap ayat-ayat Alquran.
c.
Menciptakan hukum baru yang tiada terdapat didalam Alquran.
18. Islam Klasik
Pemikiran islam klasik dapat dilacak dari warisan khasanah kelilmuan klasik
(turats) yang kaya dengan varian dan bidang kajian. Turats itu dapat ditemukan
dengan mudah di perpustakaan-perpustakaan Islam dan selalu dikaji (marja’) dalam
tradisi intelektualisme Islam modern sekarang ini. Tetapi sebenarnya jejak tajdid itu
dapat ditelusuri sejak awal Islam, walaupun tentu sulit untuk ditemukan warisan
khasanah keilmuannya.
Pada era Sahabat, bisa diambil contoh tajdid pemikiran Islam yang dimotori
Umar ibn Khattab saat ia dihadapkan pada kenentuan normatif nash dengan
tuntutan realitas. Contoh pemikiran inovatif Umar kala itu adalah saat ia menjabat
Khalifah kedua yang mengambil kebijakan untuk tidak membagikan tanah pertanian
di Syiria dan Irak yang baru dibebaskan kepada tentara Muslim yang turut
berperang, tetapi justru kepada petani kecil setempat, sekalipun mereka ini belum
menjadi Muslim. Pemikiran Umar yang menjadi kebijakan Khalifah ini menimbulkan
protes keras dari kalangan Sahabat yang lain. Dipelopori Bilal, sang Muadzin Nabi,
banyak Sahabat menuduh Umar telah menyimpang dari al-Qur’an, yang menurut
mereka, telah jelas menyatakan ke mana saja harta rampasan perang
didistribusikan (Q.S. al-Anfal). Lagi pula Nabi sendiri telah pernah membagi-bagi
tanah pertanian rampasan serupa itu kepada tentara, yakni tanah-tanah pertanian
Khaibar setelah dibebaskan dari kekuasaan Yahudi yang memusuhi Nabi.
19. Contoh klasik lain yang dapat dikemukakan di sini adalah tindakan Umar yang
melarang tokoh Sahabat Nabi menikah dengan perempuan Ahl- al-Kitab (Yahudi
dan Nasrani), padahal al-Qur’an jelas membolehkan (Q.S. al-Maidah: 5). Umar tidak
berpegang pada makna lahiriyah teks al-Qur’an itu, akan tetapi ia melihat dari
perspektif sosio-politik umat Islam yang menurutnya jika perkawinan antar agama
diijinkan, maka akan terjadi kasus-kasus penelantaran kaum Muslimah.
Melihat contoh ini, sebagian ulama memandang bahwa apa yang dilakukan
Umar adalah sejenis ijtihad politik (tasharruf siyasi), yang timbul karena
pertimbangan kemanfaatan (expediency) menurut tuntutan zaman dan tempat..
Ijtihad Umar, betapapun menimbulkan kontroversi dikalangan Sahabat dan penilaian
negatif pada era berikutnya, adalah langkah tajdid pada awal Islam sebagai upaya
Umar melakukan kontekstualisasi ajaran Islam dalam sejarah. Umar tidak
meninggalkan nash al-Qur’an maupun Sunnah, tetapi ia menggali semangat yang
ada pada nash itu untuk diaktualisasikan kembali dalam konteks problem kekinian
yang dihadapi umat Islam pada masa Umar. Dapat dikatakan Umar adalah mujaddid
pemikiran Islam pertama dalam sejarah Islam.
Jangka waktu sekitar seratus lima puluh tahun sejak Umar melakukan tajdid alafkar al-Islami, adalah masa banyak sekali diletakkan dasar-dasar perumusan baku
ajaran Islam seperti yang dikenal sekarang. Selain munculnya ilmu kalam oleh kaum
Mu’tazilah serta falsafah oleh adanya gelombang masuk Hellenisme, pada masa itu
terjadi konsolidasi teologi mayoritas umat, yaitu ahlu as-sunnah wa al-jama’ah
(aswaja). Epistemologi hukum Islam (fiqh) juga menemukan kerangka bakunya,
berkat aktivitas intelektual para ulama besar fiqh, khususnya para Imam Madzab
(Abu Hanifah, Anas ibn Malik, Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i dan Ahmad ibn
Hanbal).
20. Banyak yang menyebut, Abu Hanifah adalah pewaris tradisi rasionalisme Umar
ibn Khattab. Ia memang sangat sedikit meriwayatkan hadis, karena Abu Hanifah
sangat memperketat syarat-syarat penerima hadis. Kurangnya hadis pada masa
Abu Hanifah karena ia tidak merasa puas dengan menyampaikan hadis saja, ia
menguji hadis dengan pertimbangan psikologis dan konteks sosial. Madzab Hanafi
adalah madzab yang frekwensi penggunaan akalnya lebih banyak. Akal lebih
dipentingkan dalam proses pengambilan hukum daripada hadis. Contoh kasus
dalam hal ini adalah pemikiran Abu Hanifah tentang kedudukan wali dalam
perkawinan. Menurut hadis, perkawinan tidak sah kecuali dengan melibatkan wali
dan dua orang saksi. Tetapi Abu Hanifah mensyahkan perkawinan tanpa wali
dengan pertimbangan bahwa Muslimah saat itu adalah perempuan-perempuan
cerdas dan mandiri yang bisa mengurus dan menentukan nasibnya sendiri,
termasuk kemandirian dalam memutuskan dengan siapa ia menikah.
Pada era klasik, pemikir teologi terkemuka yang sukses menempatkan ilmu
kalam dalam bangunan intelektual Islam adalah Abu al-Hasan al-Asy’ari. Ia berhasil
mengkonvergensi antara paham Jabariyyah dan Qadariyyah, antara dogmatisme
kaum Sunni konservatif dengan rasionalisme sistem teologi kaum Mu’tazilah.
Asy’arisme, seperti halnya ilmu Kalam pada umumnya, adalah produk intelektual
orang Islam dalam upaya mereka memahami agama secara lebih sistematis, dalam
bentuk “suatu faham teologis yang di bangun di atas metodologi skolastik dan
Aristotelian”. Justru karena hakekatnya yang moderat, merupakan jalan tengah
antara dogmatisme dan liberalisme, maka ilmu Kalam al-Asy’ari cepat menjadi
sangat populer di kalangan umat Islam.
21. Tetapi, aktifitas intelektualisme dunia pemikiran Islam klasik, khususnya
falsafah, sama sekali tidak berhenti dan tuntas dengan tampilnya moderatisme
pemikiran teologi Asy’ariyah. Berbeda dengan ilmu Kalam yang merupakan
intelektualisme memasyarakat (popular intelectualism), falsafah masih tetap
merupakan aktifitas intelektual pribadi dalam suatu gaya yang elitis. Para filosof
selalu memandang dirinya sebagai al-Khawwash (orang-orang khusus/spesial) yang
berbeda dari kelompok al-Awwam (kaum kebanyakan). Dan justru saat al-Asy’ari
sibuk mengkonsolidasi metodologi Kalamnya, falsafah memperoleh momentumnya
yang baru dengan tampilnya Muhammad Abu Nashr al-Farabi.
Sebagai seorang filosof, al-Farabi adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi,
tetapi dengan kompetensi, kreatifitas, kebebasan berfikir (liberalisasi) dan tingkat
kecanggihan (sofistikasi) yang lebih tinggi. Jika al-Kindi dipandang sebagai filosof
Muslim pertama dalam arti yang sebenarnya, al-Farabi disepakati sebagai peletak
sesungguhnya dasar epistemologi filsafat Islam. Maka setelah Aristoteles sang “guru
pertama” (al-mu’allim al-awwal), al-Farabi dalam dunia intelektual Islam diposisikan
sebagai “guru kedua” (al-mu’allim al-tsani).
Setelah dunia falsafah mencapai puncak kejayaan pada masa al-Farabi dan
Ibn Sina, tampil al-Ghazali (Abu Hamid ibn Muhammad al-Ghazali), seorang pemikir
yang dengan dahsyat mengkritik filsafat, khususnya Neoplatonisme al-Farabi dan
Ibn Sina. Ia menulis karya polemisnya yang sangat besar dan abadi, Tahafut alFalasifah (Kekacauan Para Filosof) adalah, menurut ia sendiri, karena terdorong
oleh gejala berkecamuknya pikiran bebas waktu itu yang banyak membuat orang
Islam meninggalkan ibadah. Pada akhirnya, al-Ghazali berhasil memberi tempat
yang mapan kepada esoterisme Islam dalam keseluruhan paham keagamaan yang
dianggap sah dan ortodoks. Implikasinya, pasca Ghazali, umat Islam terkungkung
dalam kamar sel nyaman Ghazalisme. Walaupun nyaman, tetapi kemudian
mempunyai efek pemenjaraan kreatifitas intelektual Islam, yang sampai sekarang.
22. Islam Modern
Gema tertupnya pintu ijtihad tidak menghalangi gelombang kesadaran umat
untuk mendobrak pintu itu dan memunculkan pemikiran-pemikiran alternatif
berikutnya. Masih sejalur dengan tradisi pemikiran di era klasik, perkembangan
pemikiran secara dikotomis menempati aras ahlu al-hadis dan ahlu ar-ra’yi, walau
dalam konteks kekinian dua poros pemikiran itu telah menurunkan beraneka macam
varian baru. Pada dasarnya mereka ingin tampil sebagai gerakan pemikiran
alternatif dalam menghadapi perkembangan dunia yang kian modern.
Issa J. Boullata (2001) membagi pemikiran Islam modern menjadi dua
kecenderungan, yaitu konservatif-tradisionalis dan progresif-modernis. Menurutnya,
kelompok konservatif-tradisional adalah gerakan pemikiran yang memiliki pola pikir
dengan frame klasik (salaf). Mereka sangat membanggakan kemajuan dan kejayaan
Islam masa lampau, dan untuk membangun kamajuan dan kejayaan peradaban
Islam masa mendatang, pemikiran Islam harus berbasis metodologi pemikiran Islam
klasik (past oriented). Adapun kelompok progresif-modernis adalah gerakan
pemikiran yang mengidealkan tatanan masyarakat Islam yang modern, dengan kata
lain, gerakan pemikiran yang berorientasi ke masa depan (future oriented). Pola
berfikir mereka tidak keluar dari frame metodologi Barat yang mereka klaim sebagai
satu-satunya alternatif untuk membangun peradaban Islam modern. Gerakan
pemikiran ini secara mayoritas diwakili oleh kalangan yang pernah belajar dan
berinteraksi dengan pemikiran Barat.
23. Pemikiran Islam tradisional-konservatif lebih dikenal – dalam istilah Arab –
sebagai kelompok ‘salafiyah’. Menurut ‘Abd al-Mun’im al-Hifni (1993), bahwa
golongan salafiyah adalah mereka yang mengajak kembali kepada perilaku para
ulama salaf (al-salaf al-shalihin), yaitu mereka yang hidup dalam tiga generasi
pertama, yakni Sahabat Nabi SAW., Tabi’in dan Atba’ Thabi’in.
Karakteristik pokok kelompok ini antara lain; pertama, argumennya harus jelas
diambil dari al-Qur’an dan al-Hadis. Kedua, penggunaan rasio harus sesuai dengan
nash-nash yang shahih. Ketiga, sebagaimana dikatakan oleh Ibn Taimiyah, bahwa
dalam konteks aqidah harus bersandar kepada nash-nash saja. Mereka
mempercayai dan hanya menerima nash per se, karena itu yang bersumber dari
Allah. Adapun rasio hanya berfungsi sebagai pembenar (tashdiq) dan saksi (syahid),
bukan sebagai penentu (hakimi).
Tipologi kelompok ini diwakili oleh
mayoritas pemikir keagamaan yang sangat committed kepada Islam sebagai doktrin
seluruh aspek kehidupan. Kelompok ini percaya sepenuhnya kepada doktrin Islam
sebagai satu-satunya alternatif untuk kebangkitan kembali sejarah kegemilangan
kaum Muslim. Menurut kelompok ini, umat Islam harus kembali kepada ajaran asli
Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Usaha penyucian Islam dari ajaran-ajaran asing
baik yang berasal dari dalam (bid’ah kaum Muslim) maupun dari luar (Barat dan
modernitas) menjadi agenda utama untuk mencapai keaslian ajaran Islam (Ashlah
al-Islamiyah). Kemunduran yang dialami kaum Muslim sekarang ini disebabkan
jauhnya mereka dari ajaran Islam. Usaha Islamisasi untuk segala aspek kehidupan
Muslim menjadi agenda utama. Dari masalah etika, tingkah laku secara individu
maupun sosial, hingga ilmu dan landasan epistemologi yang akan diserap oleh
mereka, harus diislamkan, agar seluruh gerak dan tindakan yang hendak dilakukan
oleh kaum Muslim adalah Islamis. Sejarah Islam yang panjang terlalu suram untuk
dijadikan model emulasi. Pemimpin dan khalifah pada zaman yang disebut era
kegemilangan Islam tidak lebih dari kaum hedonistik yang identik dengan wanita,
minuman keras dan cerita 1001 malam. Kalaupun ada jasa mereka, tidak lebih dari
memasukkan unsur kebid’ahan Yunani lewat apa yang dinamakan falsafah. Dan
kaum Muslim semakin menjauh saja dari ajaran asli Islam.
24. Secara umum, tipologi reformistik adalah kecenderungan yang meyakini
bahwa antara turats dan modernitas kedua-duanya adalah baik. Masalahnya,
bagaimana menyikapi keduanya dengan adil dan bijak. Adalah salah
memprioritaskan satu hal dan merendahkan yang lain, karena, kalau mau jujur,
kedua-duanya bukan milik umat Islam sekarang; turats milik orang lampau dan
modernitas milik Barat. Mengambil satu dan membuang yang lain adalah
gegabah, dan membuang kedua-duanya adalah konyol. Yang adil dan bijak
adalah bagaimana mengharmonisasikan keduanya dengan tidak menyalahi
akal sehat dan standar rasional, inilah inti dari reformasi itu.
Gerakan reformistik dalam dunia Isam modern telah dimulai dan disemai
oleh para pemikir-pemikir Muslim rasionalis semenjak Rifa’at Tahtawi dan alTunisi. Puncaknya dalam diri Muhammad ‘Abduh. `Abduh adalah cikal-bakal
gerakan reformis yang ada sekarang ini. Hanya, kecenderungan dikotomis
untuk menjadi “kiri” atau “kanan” dalam madzhab ‘Abduh semakin intens dan
kelihatan. Kelompok kiri penerus ‘Abduh semakin lama semakin kiri dan
kelompok kanan juga terus semakin kanan, atau memutuskan diri sama sekali
dari kerangka ajaran sang imam, alias menjadi fundamentalis.
Gerakan reformistik adalah proses evolusi madrasah ‘Abduh yang beraliran kiri;
pada mulanya adalah ‘Abduh, kemudian Qasim Amin, kemudian ‘Ali ‘Abd al-Raziq,
kemudian Imarah dan terakhir Hassan Hanafi. Semakin kemari semakin kiri, dan
semakin jauh dari kerangka berpikir sang Imam. Kasusnya sama dengan kelompok
kanan, semakin kemari semakin menjadi radikal (perhatikan mata-rantainya: dari
‘Abduh, kemudian Rasyid Ridla, kemudian Hassan al-Banna, dan terakhir Sayyid
Quthb).
25. Kiri Islam lahir dari kesadaran penuh atas posisi tertindas
umat Islam, untuk kemudian melakukan rekonstruksi terhadap
seluruh bangunan pemikiran Islam tradisional agar dapat
berfungsi sebagai kekuatan pembebasan. Upaya rekonstruksi ini
adalah suatu keniscayaan karena bangunan pemikiran Islam
tradisional yang sesungguhnya satu bentuk tafsir justru menjadi
pembenaran atas kekuasaan yang menindas. Upaya rekonstruksi
ini diawali dengan menjaga jarak terhadap Asy’arisme, pemikiran
keagamaan resmi yang telah bercampur dengan tasawuf dan
menjadi ideologi kekuasaan, serta mempengaruhi perilaku
negatif rakyat untuk hanya menunggu perintah dan ilham dari
langit. Hassan Hanafi lebih welcome dengan Mu’tazilah versi
Muhammad Abduh yang memproklamirkan kemampuan akal
untuk mencapai pengetahuan dan kebebasan berinisiatif dalam
perilaku. Juga melanjutkan apa yang dirintis oleh Al-Kawakibi
dalam menganalisis faktor-faktor sosial politik untuk
membebaskan dan memperkuat kaum muslimin. Dan Kiri Islam
juga mewarisi kapabilitas Muhammad Iqbal dan upaya-upayanya
dalam “Pembaharuan Pemikiran Keagamaan dalam Islam”
(Reconstruction of Islamic Thoughts).