SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 25
METODE STUDI AL-QUR’AN DAN
HADIST

HARRY SASKIA NYLA PUSPITA
FAK. EKONOMI
SEMESTER : 1 (SATU)
PENGERTIAN AL-QURAN DAN HADIST
1.

Pengertian Al-qur’an

Secara Etimologi :
Merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a yang bermakna
Talaa keduanya berarti: membaca, atau bermakna Jama’a mengumpulkan,
mengoleksi. maka ia adalah mashdar (kata benda) yang semakna dengan Ism
Maf’uul, artinya Matluw (yang dibaca Sedangkan berdasarkan makna kedua (Yakni:
Jama’a) maka ia adalah mashdar dari Ism Faa’il, artinya Jaami’ (Pengumpul,
Pengoleksi) kerana ia mengumpulkan/mengoleksi berita-berita dan hukum-hukum.
Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur’an
sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah :

yang artinya:

“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan)
bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah
membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.( Al-Qiyamah: 1718).
Secara Terminologi :
Adalah firman atau wahyu yang berasal dari Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW dengan perantara melalui malaikat jibril sebagai pedoman
serta petunjuk seluruh umat manusia semua masa, bangsa dan lokasi. Alquran
adalah kitab Allah SWT yang terakhir setelah kitab taurat, zabur dan injil yang
diturunkan melalui para rasul. Hal ini juga senada dengan pendapat yang
menyatakan bahwa Al-Qur'an kalam atau wahyu Allah yang diturunkan melalui
perantaraan malaikat jibril sebagai pengantar wahyu yang disampaikan kepada
Nabi Muhammad SAW di gua hiro pada tanggal 17 ramadhan ketika Nabi
Muhammad berusia 41 tahun yaitu surat al alaq ayat 1 sampai ayat 5.
Sedangkan terakhir alqu'an turun yakni pada tanggal 9 zulhijjah tahun 10 hijriah
yakni surah almaidah ayat 3.
Allah ta’ala menyebut al-Qur’an dengan sebutan yang banyak sekali,
yang menunjukkan keagungan, keberkahan, pengaruhnya dan universalitasnya
serta menunjukkan bahwa ia adalah pemutus bagi kitab-kitab terdahulu
sebelumnya.
FUNGSI AL-QUR’AN
1.

Pengganti kedudukan kitab suci sebelumnya yang pernah diturunkan Allah SWT

2.

Tuntunan serta hukum untuk menempuh kehidupan

3.

Menjelaskan masalah-masalah yang pernah diperselisihkan oleh umat terdahulu

4.

Sebagai Obat :

“Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orangorang yang beriman, dan (Alquran itu) tidaklah menambah kepada orang-orang yang
zalim selain kerugian”. (Al-Isra’ (17): 82).
5.

Petunjuk pada jalan yang lurus

“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberi petunjuk pada jalan yang amat lurus”. (Al-Isrâ
(17) ayat 9.
Hukum-Hukum yang terkandung dalam Al-quran
Sesuai dengan definisi hukum syara’ sebagaimana telah
dijelaskan, hanya sebagian kecil dari ayat-ayat Alquran yang
mengandung hukum, yaitu yang menyangkut perbuatan mukalaf
dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat, dan ketentuan yang
diterapkan. Hukum-hukum tersebut mengatur kehidupan manusia,
baik dalam hubungan dengan Allah Swt. Maupun dalam
hubungannya dengan manusia dan alam sekitarnya.
Secara garis besar hukum-hukum dalam Alquran dapat dibahi
tiga macam ;
1.

Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Swt.
Mengenai apa-apa yang harus diyakini dan yang harus dihindari sehubungan
dengan keyakinannya, seperti keharusan mengesakan Allah dan larangan
mempersekutukan-Nya. Hukum yang menyangkut keyakinan ini disebut
hukum I’tiqadiyah yang dikaji dalam “ilmu tauhid” atau “ushuluddin”.

2.

Hukum-hukum yang mengatur hubungan pergaulan manusia mengenai sifatsifat baik yang harus dimiliki dan sifat-sifat buruk yang harus dijauhi dalam
kehidupan bermasyarakat. Hukum dalam bentuk ini disebut hukum khuluqiyah
yang kemudian dikembangkan dalam “ilmu Akhlak”.

3.

Yang menyangkut tindak tanduk manusia dan tingkah laku lahirnya dalam
hubungan dengan Allah SWT., dalam hubungan dengan sesame manusia,
dan dalam bentuk apa-apa yang harus dilakukan atau harus dijauhi. Hukum ini
disebut hukum amaliyah yang pembahasannya dikembangkan “ilmu Akhlak”.
 Dalalah Alquran
Yang dimaksud dengan dalalah dalam konteks pemahaman makna atau
pengertian dari nas ialah petunjuk yang dapat dijadikan pegangan untuk
membawa kepada pengertian yang dikehendaki. Dengan kata lain, dalalah
berkaitan dengan bagaimana pengertian atau makna yang ditunjukkan oleh nas
dapat dipahami.
Dalam kajian ushul fiqh, untuk dapat memahami nas apakah pengertian
yang ditunjukkan oleh unsur-unsur lafalnya itu jelas, pasti atau tidak. Para
ulama’ ushul menggunakan pendekatan apa yang dikenal dengan istilah qath’i
dan zhanny.
a) Nas yang qath’i dalalahnya ialah nas yang menunjukkan kepada makna yang
bisa dipahami secara tertentu, tidak ada kemungkinan dita’wilkan, Seperti
firman Allah SWT:
Artinya ::
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau
(dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu
itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat
yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada
ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari´at yang benar-benar dari Allah,
dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”.
Ayat tersebut adalah qath’i dalalahnya. Artinya bahwa bagian suami dalam keadaan
seperti ini adalah seperdua, tidak yang lain.
b) .

Nas yang zhanny dalalahnya ialah nas yang menunjukkan atas makna yang
memungkinkan untuk dita’wilkan atau dipalingkan dari makna asalnya kepada makna
yang lain, Seperti firman Allah SWT:

Artinya :
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru´.
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika
mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma´ruf. Akan
tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Padahal lafadaz “quru” itu dalam bahasa Arab mempunyai dua arti yaitu suci dan
haid. Maka ada kemungkinan bahwa yang dimaksud ayat tersebut tiga kali suci atau tiga
kali haid. Jadi ini berarti dhanni (tidak pasti) dalalahnya atas satu makna dari dua makna
tersebut.
2. Pengertian Hadist
Secara etimologis hadits bisa berarti :
Baru, seperti kalimat : “ Allah Qadim mustahil Hadits “.Dekat, seperti :
”Haditsul ” ahli bil Islam “.Khabar, seperti : “Falya’tu bi haditsin mitslihi “. Dalam
tradisi hukum Islam, hadits berarti : Segala Perbuatan, Perkataan, dan Keizinan
Nabi Muhammad saw. ( Af ‘al, Aqwal dan Taqrir ). Pengertian hadits sebagaimana
tersebut diatas adalah identik dengan Sunnah, yang secara etimologis berarti jalan
atau tradisi, sebagaimana dalam Al-Qur’an : ” Sunnata man qad arsalna ” ( al-Isra
:77 ). Juga dapat berarti : Undang-undang atau peraturan yang tetap berlaku,Cara
yang diadakan,jalan yang telah dijalani.
Adapun menurut muhadditsin, hadits itu adalah “Segala apa yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW, baik itu hadits marfu’(yang disandarkan kepada
Nabi), hadits mauquf (yang disandarkan kepada sahabat) ataupun hadits maqthu’
(yang disandarkan kepada tabi’in).
Ada yang berpendapat antara Sunnah dengan Hadits tersebut adalah
berbeda-beda. Akan tetapi dalam kebiasaan hukum Islam antara Hadits dan Sunnah
tersebut hanyalah berbeda dalam segi penggunaannya saja, tidak dalam tujuannya.
Sunnah adalah sumber Hukum Islam ( Pedoman Hidup Kaum Muslimin )
yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman kepada AlQur’an sebagai sumber hukum, maka secara otomatis harus percaya bahwa
Sunnah sebagai sumber Islam juga.

Ayat-ayat Al-Qur’an cukup banyak untuk dijadikan alasan yang pasti
tentang hal ini, seperti
1. Setiap mu’min harus taat kepada Allah dan Rasul-nya (al-Anfal :20,
Muhammad :33, an-Nisa :59, Ali-Imran :32, al-Mujadalah : 13, an-Nur : 54,alMaidah : 92 ).
2. Kepatuhan kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah ( an-Nisa :80,
Ali-Imran :31 ).
3. Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa ( an-Anfal :13, AlMujadalah :5, an-Nisa :115 ). Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang
yang beriman. ( an-Nisa’:65 ).
4. Kemudian perhatikan ayat-ayat : an-Nur : 52; al-Hasyr : 4; al-Mujadalah : 20;
an-Nisa’: 64 dan 69; al-Ahzab: 36 dan 71; al-Hujurat :1; al-Hasyr : 7 dan
sebagainya.
Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum
Muslimin akan menghadapi kesulitan-kesulitan dalam hal : cara shalat,
kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayatayat Al-Qur’an dalam hal tersebut hanya berbicara secara global dan
umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasullullah.
Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal
menafsirkan ayat-ayat yang musytarak, muhtamal dan sebagainya yang
mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila
penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan
rasio sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat
subjektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Secara Terminologis adalah :
Hadis adalah segala ucapan, perbuatan, ketetapan dan karakter
Muhammad Saw setelah beliau diangkat menjadi Nabi.
Hadis adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi pasca
pengangkatan Nabi, sedangkan sunnah lebih luas yaitu sebelum dan
sesudah beliau diangkat jadi Rasul
Sebagaimana keterangan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah di dalam Shahih al-Bukhari bab Riqa' yang isinya
menyatakan bahwa apa yang diucapkan oleh Nabi dinamakan hadis.
Macam-macam dan pembagian Hadits
Hadits dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu:
a.

Hadits mutawatir
Hadits mutawatir ialah hadits yang diriwayat oleh rawi yang banyak dan tidak
mungkin mereka mufakat berbuat dusta pada hadits itu, mengingat banyaknya
jumlah mereka.

» Pembagian hadits mutawatir ;
- Mutawatir lafzi, ialah hadits yang serupa lafaz dan maknanya dari
setiap rawi.
- Mutawatir maknawi, ialah hadits yang berbagai-bagai lafaz dan makna, akan
tetapi didalamnya ada satu bagian yang sama bagian yang sama
tujuannya.
b.

Hadits ahad
Hadits ahad ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tidak
kebatasan hadits mutawatir. Hadits ini tidak sampai kederajat mutawatir yaitu
Shahih, hasan, dhaif.
» Pembagian hadits ahad ;
- Hadits shahih ialah hadits yang berhubungan sanadnya,
diriwayatkan oleh yang adil dan dhabith dari orang yang
seumpanya, terpelihara dari perjanjian bersih dari cacat
memburukkan.

yang

- Hadits hasan ialah hadits yang dihubungkan sanad
diriwayatkan oleh orang yang adil yang kurang dhabitnya,
terpelihara
dari perjanjian dan bersih dari cacat yang
memburukkan.
- Hadits dhaif ialah hadits yang kurang satu syarat atau lebih
diantara syarat-syarat hadits shahih dan hasan atau dalam
ada orang yang bercacat.

sanadnya
Kedudukan dan Kehujjahan Hadist
Tidak ada perbedaan pendapat jumhur (ahlusunah wal jama’ah), ulamak
tentang hadits Rasul sebagai sumber hukum yang kedua sesudah Al-qur’an dalam
menentukan suatu keputusan hukum, seperti menghalalkan atau mengharamkan
sesuatu. kekuatannya sama dengan Al-Qur’an. Oleh karena itu, wajib bagi umat
Islam menerima dan mengamalkan apa-apa yang tercandung di dalamnya selama
hadits itu sah dari Rasulullah SAW.
Lain halnya dengan golongan Syiah yang tidak mengakui semua hadits yang
dipandang sah oleh golongan ahlu sunnah sebab mereka hanya mengakui sahnya
suatu hadits atau khabar kalau diriwayatkan oleh imam-imam dan ahli hadits mereka
sendiri. Berbeda dengan ahli zahir mereka masih dapat menerimanya selama hadits
itu sah menurut kriteria ilmu hadits.
Kehujjahan sunnah berdasarkan beberapa ayat Al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah Saw., diantaranya:

Artinya :
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan
barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk
menjadi pemelihara bagi mereka”. (QS. An-Nisa: 80)
Hubungan Al-qur’an dan Hadist
Al-hadits didefinisikan oleh pada umumnya ulama seperti definisi Al-Sunnah
sebagai “Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan,
perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau
menjadi nabi maupun sesudahnya.” Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis
hanya pada “ucapan-ucapan Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum”;
sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan
hukum, maka ketiga hal ini mereka namai Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang
dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu
Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapanketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran.
Adapun fungsi As-Sunnah terhadap Alquran ditinjau dari segi penggunaan hujjah dan
pengambilan hukum-hukum syari’at bahwa As-Sunnah itu sebagai sumber hukum yang
sederajat lebih rendah dari Alquran.
Adapun fungsi As-Sunnah./hadis terhadap Alquran dari segi materi hukum yang
terkandung di dalamnya Ada tiga macam, yakni:
a.

Menguatkan (mu’akkid) hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya di dalam
Alquran.

b.

Memberikan keterangan (bayan) terhadap ayat-ayat Alquran.

c.

Menciptakan hukum baru yang tiada terdapat didalam Alquran.
Islam Klasik
Pemikiran islam klasik dapat dilacak dari warisan khasanah kelilmuan klasik
(turats) yang kaya dengan varian dan bidang kajian. Turats itu dapat ditemukan
dengan mudah di perpustakaan-perpustakaan Islam dan selalu dikaji (marja’) dalam
tradisi intelektualisme Islam modern sekarang ini. Tetapi sebenarnya jejak tajdid itu
dapat ditelusuri sejak awal Islam, walaupun tentu sulit untuk ditemukan warisan
khasanah keilmuannya.
Pada era Sahabat, bisa diambil contoh tajdid pemikiran Islam yang dimotori
Umar ibn Khattab saat ia dihadapkan pada kenentuan normatif nash dengan
tuntutan realitas. Contoh pemikiran inovatif Umar kala itu adalah saat ia menjabat
Khalifah kedua yang mengambil kebijakan untuk tidak membagikan tanah pertanian
di Syiria dan Irak yang baru dibebaskan kepada tentara Muslim yang turut
berperang, tetapi justru kepada petani kecil setempat, sekalipun mereka ini belum
menjadi Muslim. Pemikiran Umar yang menjadi kebijakan Khalifah ini menimbulkan
protes keras dari kalangan Sahabat yang lain. Dipelopori Bilal, sang Muadzin Nabi,
banyak Sahabat menuduh Umar telah menyimpang dari al-Qur’an, yang menurut
mereka, telah jelas menyatakan ke mana saja harta rampasan perang
didistribusikan (Q.S. al-Anfal). Lagi pula Nabi sendiri telah pernah membagi-bagi
tanah pertanian rampasan serupa itu kepada tentara, yakni tanah-tanah pertanian
Khaibar setelah dibebaskan dari kekuasaan Yahudi yang memusuhi Nabi.
Contoh klasik lain yang dapat dikemukakan di sini adalah tindakan Umar yang
melarang tokoh Sahabat Nabi menikah dengan perempuan Ahl- al-Kitab (Yahudi
dan Nasrani), padahal al-Qur’an jelas membolehkan (Q.S. al-Maidah: 5). Umar tidak
berpegang pada makna lahiriyah teks al-Qur’an itu, akan tetapi ia melihat dari
perspektif sosio-politik umat Islam yang menurutnya jika perkawinan antar agama
diijinkan, maka akan terjadi kasus-kasus penelantaran kaum Muslimah.

Melihat contoh ini, sebagian ulama memandang bahwa apa yang dilakukan
Umar adalah sejenis ijtihad politik (tasharruf siyasi), yang timbul karena
pertimbangan kemanfaatan (expediency) menurut tuntutan zaman dan tempat..
Ijtihad Umar, betapapun menimbulkan kontroversi dikalangan Sahabat dan penilaian
negatif pada era berikutnya, adalah langkah tajdid pada awal Islam sebagai upaya
Umar melakukan kontekstualisasi ajaran Islam dalam sejarah. Umar tidak
meninggalkan nash al-Qur’an maupun Sunnah, tetapi ia menggali semangat yang
ada pada nash itu untuk diaktualisasikan kembali dalam konteks problem kekinian
yang dihadapi umat Islam pada masa Umar. Dapat dikatakan Umar adalah mujaddid
pemikiran Islam pertama dalam sejarah Islam.
Jangka waktu sekitar seratus lima puluh tahun sejak Umar melakukan tajdid alafkar al-Islami, adalah masa banyak sekali diletakkan dasar-dasar perumusan baku
ajaran Islam seperti yang dikenal sekarang. Selain munculnya ilmu kalam oleh kaum
Mu’tazilah serta falsafah oleh adanya gelombang masuk Hellenisme, pada masa itu
terjadi konsolidasi teologi mayoritas umat, yaitu ahlu as-sunnah wa al-jama’ah
(aswaja). Epistemologi hukum Islam (fiqh) juga menemukan kerangka bakunya,
berkat aktivitas intelektual para ulama besar fiqh, khususnya para Imam Madzab
(Abu Hanifah, Anas ibn Malik, Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i dan Ahmad ibn
Hanbal).
Banyak yang menyebut, Abu Hanifah adalah pewaris tradisi rasionalisme Umar
ibn Khattab. Ia memang sangat sedikit meriwayatkan hadis, karena Abu Hanifah
sangat memperketat syarat-syarat penerima hadis. Kurangnya hadis pada masa
Abu Hanifah karena ia tidak merasa puas dengan menyampaikan hadis saja, ia
menguji hadis dengan pertimbangan psikologis dan konteks sosial. Madzab Hanafi
adalah madzab yang frekwensi penggunaan akalnya lebih banyak. Akal lebih
dipentingkan dalam proses pengambilan hukum daripada hadis. Contoh kasus
dalam hal ini adalah pemikiran Abu Hanifah tentang kedudukan wali dalam
perkawinan. Menurut hadis, perkawinan tidak sah kecuali dengan melibatkan wali
dan dua orang saksi. Tetapi Abu Hanifah mensyahkan perkawinan tanpa wali
dengan pertimbangan bahwa Muslimah saat itu adalah perempuan-perempuan
cerdas dan mandiri yang bisa mengurus dan menentukan nasibnya sendiri,
termasuk kemandirian dalam memutuskan dengan siapa ia menikah.
Pada era klasik, pemikir teologi terkemuka yang sukses menempatkan ilmu
kalam dalam bangunan intelektual Islam adalah Abu al-Hasan al-Asy’ari. Ia berhasil
mengkonvergensi antara paham Jabariyyah dan Qadariyyah, antara dogmatisme
kaum Sunni konservatif dengan rasionalisme sistem teologi kaum Mu’tazilah.
Asy’arisme, seperti halnya ilmu Kalam pada umumnya, adalah produk intelektual
orang Islam dalam upaya mereka memahami agama secara lebih sistematis, dalam
bentuk “suatu faham teologis yang di bangun di atas metodologi skolastik dan
Aristotelian”. Justru karena hakekatnya yang moderat, merupakan jalan tengah
antara dogmatisme dan liberalisme, maka ilmu Kalam al-Asy’ari cepat menjadi
sangat populer di kalangan umat Islam.
Tetapi, aktifitas intelektualisme dunia pemikiran Islam klasik, khususnya
falsafah, sama sekali tidak berhenti dan tuntas dengan tampilnya moderatisme
pemikiran teologi Asy’ariyah. Berbeda dengan ilmu Kalam yang merupakan
intelektualisme memasyarakat (popular intelectualism), falsafah masih tetap
merupakan aktifitas intelektual pribadi dalam suatu gaya yang elitis. Para filosof
selalu memandang dirinya sebagai al-Khawwash (orang-orang khusus/spesial) yang
berbeda dari kelompok al-Awwam (kaum kebanyakan). Dan justru saat al-Asy’ari
sibuk mengkonsolidasi metodologi Kalamnya, falsafah memperoleh momentumnya
yang baru dengan tampilnya Muhammad Abu Nashr al-Farabi.
Sebagai seorang filosof, al-Farabi adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi,
tetapi dengan kompetensi, kreatifitas, kebebasan berfikir (liberalisasi) dan tingkat
kecanggihan (sofistikasi) yang lebih tinggi. Jika al-Kindi dipandang sebagai filosof
Muslim pertama dalam arti yang sebenarnya, al-Farabi disepakati sebagai peletak
sesungguhnya dasar epistemologi filsafat Islam. Maka setelah Aristoteles sang “guru
pertama” (al-mu’allim al-awwal), al-Farabi dalam dunia intelektual Islam diposisikan
sebagai “guru kedua” (al-mu’allim al-tsani).
Setelah dunia falsafah mencapai puncak kejayaan pada masa al-Farabi dan
Ibn Sina, tampil al-Ghazali (Abu Hamid ibn Muhammad al-Ghazali), seorang pemikir
yang dengan dahsyat mengkritik filsafat, khususnya Neoplatonisme al-Farabi dan
Ibn Sina. Ia menulis karya polemisnya yang sangat besar dan abadi, Tahafut alFalasifah (Kekacauan Para Filosof) adalah, menurut ia sendiri, karena terdorong
oleh gejala berkecamuknya pikiran bebas waktu itu yang banyak membuat orang
Islam meninggalkan ibadah. Pada akhirnya, al-Ghazali berhasil memberi tempat
yang mapan kepada esoterisme Islam dalam keseluruhan paham keagamaan yang
dianggap sah dan ortodoks. Implikasinya, pasca Ghazali, umat Islam terkungkung
dalam kamar sel nyaman Ghazalisme. Walaupun nyaman, tetapi kemudian
mempunyai efek pemenjaraan kreatifitas intelektual Islam, yang sampai sekarang.
Islam Modern
Gema tertupnya pintu ijtihad tidak menghalangi gelombang kesadaran umat
untuk mendobrak pintu itu dan memunculkan pemikiran-pemikiran alternatif
berikutnya. Masih sejalur dengan tradisi pemikiran di era klasik, perkembangan
pemikiran secara dikotomis menempati aras ahlu al-hadis dan ahlu ar-ra’yi, walau
dalam konteks kekinian dua poros pemikiran itu telah menurunkan beraneka macam
varian baru. Pada dasarnya mereka ingin tampil sebagai gerakan pemikiran
alternatif dalam menghadapi perkembangan dunia yang kian modern.
Issa J. Boullata (2001) membagi pemikiran Islam modern menjadi dua
kecenderungan, yaitu konservatif-tradisionalis dan progresif-modernis. Menurutnya,
kelompok konservatif-tradisional adalah gerakan pemikiran yang memiliki pola pikir
dengan frame klasik (salaf). Mereka sangat membanggakan kemajuan dan kejayaan
Islam masa lampau, dan untuk membangun kamajuan dan kejayaan peradaban
Islam masa mendatang, pemikiran Islam harus berbasis metodologi pemikiran Islam
klasik (past oriented). Adapun kelompok progresif-modernis adalah gerakan
pemikiran yang mengidealkan tatanan masyarakat Islam yang modern, dengan kata
lain, gerakan pemikiran yang berorientasi ke masa depan (future oriented). Pola
berfikir mereka tidak keluar dari frame metodologi Barat yang mereka klaim sebagai
satu-satunya alternatif untuk membangun peradaban Islam modern. Gerakan
pemikiran ini secara mayoritas diwakili oleh kalangan yang pernah belajar dan
berinteraksi dengan pemikiran Barat.
Pemikiran Islam tradisional-konservatif lebih dikenal – dalam istilah Arab –
sebagai kelompok ‘salafiyah’. Menurut ‘Abd al-Mun’im al-Hifni (1993), bahwa
golongan salafiyah adalah mereka yang mengajak kembali kepada perilaku para
ulama salaf (al-salaf al-shalihin), yaitu mereka yang hidup dalam tiga generasi
pertama, yakni Sahabat Nabi SAW., Tabi’in dan Atba’ Thabi’in.
Karakteristik pokok kelompok ini antara lain; pertama, argumennya harus jelas
diambil dari al-Qur’an dan al-Hadis. Kedua, penggunaan rasio harus sesuai dengan
nash-nash yang shahih. Ketiga, sebagaimana dikatakan oleh Ibn Taimiyah, bahwa
dalam konteks aqidah harus bersandar kepada nash-nash saja. Mereka
mempercayai dan hanya menerima nash per se, karena itu yang bersumber dari
Allah. Adapun rasio hanya berfungsi sebagai pembenar (tashdiq) dan saksi (syahid),
bukan sebagai penentu (hakimi).
Tipologi kelompok ini diwakili oleh
mayoritas pemikir keagamaan yang sangat committed kepada Islam sebagai doktrin
seluruh aspek kehidupan. Kelompok ini percaya sepenuhnya kepada doktrin Islam
sebagai satu-satunya alternatif untuk kebangkitan kembali sejarah kegemilangan
kaum Muslim. Menurut kelompok ini, umat Islam harus kembali kepada ajaran asli
Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Usaha penyucian Islam dari ajaran-ajaran asing
baik yang berasal dari dalam (bid’ah kaum Muslim) maupun dari luar (Barat dan
modernitas) menjadi agenda utama untuk mencapai keaslian ajaran Islam (Ashlah
al-Islamiyah). Kemunduran yang dialami kaum Muslim sekarang ini disebabkan
jauhnya mereka dari ajaran Islam. Usaha Islamisasi untuk segala aspek kehidupan
Muslim menjadi agenda utama. Dari masalah etika, tingkah laku secara individu
maupun sosial, hingga ilmu dan landasan epistemologi yang akan diserap oleh
mereka, harus diislamkan, agar seluruh gerak dan tindakan yang hendak dilakukan
oleh kaum Muslim adalah Islamis. Sejarah Islam yang panjang terlalu suram untuk
dijadikan model emulasi. Pemimpin dan khalifah pada zaman yang disebut era
kegemilangan Islam tidak lebih dari kaum hedonistik yang identik dengan wanita,
minuman keras dan cerita 1001 malam. Kalaupun ada jasa mereka, tidak lebih dari
memasukkan unsur kebid’ahan Yunani lewat apa yang dinamakan falsafah. Dan
kaum Muslim semakin menjauh saja dari ajaran asli Islam.
Secara umum, tipologi reformistik adalah kecenderungan yang meyakini
bahwa antara turats dan modernitas kedua-duanya adalah baik. Masalahnya,
bagaimana menyikapi keduanya dengan adil dan bijak. Adalah salah
memprioritaskan satu hal dan merendahkan yang lain, karena, kalau mau jujur,
kedua-duanya bukan milik umat Islam sekarang; turats milik orang lampau dan
modernitas milik Barat. Mengambil satu dan membuang yang lain adalah
gegabah, dan membuang kedua-duanya adalah konyol. Yang adil dan bijak
adalah bagaimana mengharmonisasikan keduanya dengan tidak menyalahi
akal sehat dan standar rasional, inilah inti dari reformasi itu.
Gerakan reformistik dalam dunia Isam modern telah dimulai dan disemai
oleh para pemikir-pemikir Muslim rasionalis semenjak Rifa’at Tahtawi dan alTunisi. Puncaknya dalam diri Muhammad ‘Abduh. `Abduh adalah cikal-bakal
gerakan reformis yang ada sekarang ini. Hanya, kecenderungan dikotomis
untuk menjadi “kiri” atau “kanan” dalam madzhab ‘Abduh semakin intens dan
kelihatan. Kelompok kiri penerus ‘Abduh semakin lama semakin kiri dan
kelompok kanan juga terus semakin kanan, atau memutuskan diri sama sekali
dari kerangka ajaran sang imam, alias menjadi fundamentalis.

Gerakan reformistik adalah proses evolusi madrasah ‘Abduh yang beraliran kiri;
pada mulanya adalah ‘Abduh, kemudian Qasim Amin, kemudian ‘Ali ‘Abd al-Raziq,
kemudian Imarah dan terakhir Hassan Hanafi. Semakin kemari semakin kiri, dan
semakin jauh dari kerangka berpikir sang Imam. Kasusnya sama dengan kelompok
kanan, semakin kemari semakin menjadi radikal (perhatikan mata-rantainya: dari
‘Abduh, kemudian Rasyid Ridla, kemudian Hassan al-Banna, dan terakhir Sayyid
Quthb).
Kiri Islam lahir dari kesadaran penuh atas posisi tertindas
umat Islam, untuk kemudian melakukan rekonstruksi terhadap
seluruh bangunan pemikiran Islam tradisional agar dapat
berfungsi sebagai kekuatan pembebasan. Upaya rekonstruksi ini
adalah suatu keniscayaan karena bangunan pemikiran Islam
tradisional yang sesungguhnya satu bentuk tafsir justru menjadi
pembenaran atas kekuasaan yang menindas. Upaya rekonstruksi
ini diawali dengan menjaga jarak terhadap Asy’arisme, pemikiran
keagamaan resmi yang telah bercampur dengan tasawuf dan
menjadi ideologi kekuasaan, serta mempengaruhi perilaku
negatif rakyat untuk hanya menunggu perintah dan ilham dari
langit. Hassan Hanafi lebih welcome dengan Mu’tazilah versi
Muhammad Abduh yang memproklamirkan kemampuan akal
untuk mencapai pengetahuan dan kebebasan berinisiatif dalam
perilaku. Juga melanjutkan apa yang dirintis oleh Al-Kawakibi
dalam menganalisis faktor-faktor sosial politik untuk
membebaskan dan memperkuat kaum muslimin. Dan Kiri Islam
juga mewarisi kapabilitas Muhammad Iqbal dan upaya-upayanya
dalam “Pembaharuan Pemikiran Keagamaan dalam Islam”
(Reconstruction of Islamic Thoughts).

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt?

sumber hukum islam & metode ijtihad
sumber hukum islam & metode ijtihadsumber hukum islam & metode ijtihad
sumber hukum islam & metode ijtihadcmata07
 
5 sumber hukum islam-5
5 sumber hukum islam-55 sumber hukum islam-5
5 sumber hukum islam-5adulcharli
 
Sumber Hukum Islam ( Sub - AlQuran )
Sumber Hukum Islam ( Sub - AlQuran )Sumber Hukum Islam ( Sub - AlQuran )
Sumber Hukum Islam ( Sub - AlQuran )Eja Fahreza
 
Sumber hukum islam
Sumber hukum islam Sumber hukum islam
Sumber hukum islam Maulariz Kun
 
Makalah ushul fiqh (qiyas)
Makalah ushul fiqh (qiyas)Makalah ushul fiqh (qiyas)
Makalah ushul fiqh (qiyas)Mawadah Warohmah
 
Sumber hukum Islam
Sumber hukum Islam Sumber hukum Islam
Sumber hukum Islam Dianto Jmb
 
sumber-sumber hukum islam, hukum Takfili, dan Hukum Wad’i
sumber-sumber hukum islam, hukum Takfili, dan Hukum Wad’isumber-sumber hukum islam, hukum Takfili, dan Hukum Wad’i
sumber-sumber hukum islam, hukum Takfili, dan Hukum Wad’iOppi Ulandari
 
Presentasi Ushul Fiqh 4 (Hakim Mahkum)
Presentasi Ushul Fiqh 4 (Hakim Mahkum)Presentasi Ushul Fiqh 4 (Hakim Mahkum)
Presentasi Ushul Fiqh 4 (Hakim Mahkum)Marhamah Saleh
 
Qiyas sebagai sumber hukum islam
Qiyas sebagai sumber hukum islamQiyas sebagai sumber hukum islam
Qiyas sebagai sumber hukum islamAline AR
 
Presentasi Ushul Fiqh (Ta'rif, Tarikh, Mashadir)
Presentasi Ushul Fiqh (Ta'rif, Tarikh, Mashadir)Presentasi Ushul Fiqh (Ta'rif, Tarikh, Mashadir)
Presentasi Ushul Fiqh (Ta'rif, Tarikh, Mashadir)Marhamah Saleh
 

Was ist angesagt? (19)

sumber hukum islam & metode ijtihad
sumber hukum islam & metode ijtihadsumber hukum islam & metode ijtihad
sumber hukum islam & metode ijtihad
 
Makalah hukum islam
Makalah hukum islamMakalah hukum islam
Makalah hukum islam
 
5 sumber hukum islam-5
5 sumber hukum islam-55 sumber hukum islam-5
5 sumber hukum islam-5
 
Makalah sumber hukum islam
Makalah sumber hukum islamMakalah sumber hukum islam
Makalah sumber hukum islam
 
Makalah u. fiqh
Makalah u. fiqhMakalah u. fiqh
Makalah u. fiqh
 
Sumber Hukum Islam ( Sub - AlQuran )
Sumber Hukum Islam ( Sub - AlQuran )Sumber Hukum Islam ( Sub - AlQuran )
Sumber Hukum Islam ( Sub - AlQuran )
 
Bab 5
Bab 5Bab 5
Bab 5
 
Sumber hukum islam
Sumber hukum islam Sumber hukum islam
Sumber hukum islam
 
Makalah ushul fiqh (qiyas)
Makalah ushul fiqh (qiyas)Makalah ushul fiqh (qiyas)
Makalah ushul fiqh (qiyas)
 
Sumber hukum Islam
Sumber hukum Islam Sumber hukum Islam
Sumber hukum Islam
 
tugas ushul fiqh
tugas ushul fiqhtugas ushul fiqh
tugas ushul fiqh
 
Sumber hukum islam
Sumber hukum islamSumber hukum islam
Sumber hukum islam
 
sumber-sumber hukum islam, hukum Takfili, dan Hukum Wad’i
sumber-sumber hukum islam, hukum Takfili, dan Hukum Wad’isumber-sumber hukum islam, hukum Takfili, dan Hukum Wad’i
sumber-sumber hukum islam, hukum Takfili, dan Hukum Wad’i
 
Presentasi Ushul Fiqh 4 (Hakim Mahkum)
Presentasi Ushul Fiqh 4 (Hakim Mahkum)Presentasi Ushul Fiqh 4 (Hakim Mahkum)
Presentasi Ushul Fiqh 4 (Hakim Mahkum)
 
Qiyas sebagai sumber hukum islam
Qiyas sebagai sumber hukum islamQiyas sebagai sumber hukum islam
Qiyas sebagai sumber hukum islam
 
Sumber Hukum Islam
Sumber Hukum IslamSumber Hukum Islam
Sumber Hukum Islam
 
Makalah usul fiqih
Makalah usul fiqihMakalah usul fiqih
Makalah usul fiqih
 
Presentasi Ushul Fiqh (Ta'rif, Tarikh, Mashadir)
Presentasi Ushul Fiqh (Ta'rif, Tarikh, Mashadir)Presentasi Ushul Fiqh (Ta'rif, Tarikh, Mashadir)
Presentasi Ushul Fiqh (Ta'rif, Tarikh, Mashadir)
 
Sumber sumber-hukum-islam-new
Sumber sumber-hukum-islam-newSumber sumber-hukum-islam-new
Sumber sumber-hukum-islam-new
 

Andere mochten auch (20)

The Harada Method
The Harada MethodThe Harada Method
The Harada Method
 
Practica2
Practica2Practica2
Practica2
 
Kendra (1)
Kendra (1)Kendra (1)
Kendra (1)
 
Taylor swift
Taylor swiftTaylor swift
Taylor swift
 
Untitled Presentation
Untitled PresentationUntitled Presentation
Untitled Presentation
 
English II essay assignment I
English II essay assignment IEnglish II essay assignment I
English II essay assignment I
 
Pre-req I.5 Pathfinder Basic Staff Training Program
Pre-req I.5 Pathfinder Basic Staff Training ProgramPre-req I.5 Pathfinder Basic Staff Training Program
Pre-req I.5 Pathfinder Basic Staff Training Program
 
Actividad2
Actividad2Actividad2
Actividad2
 
Costos y Presupuestos
Costos y PresupuestosCostos y Presupuestos
Costos y Presupuestos
 
B - tech main certificate
B - tech main certificateB - tech main certificate
B - tech main certificate
 
Rogers 1985a
Rogers 1985aRogers 1985a
Rogers 1985a
 
Speak test reviewer
Speak test reviewerSpeak test reviewer
Speak test reviewer
 
Bab vi perencanaan organisasi bisnis
Bab vi perencanaan organisasi bisnisBab vi perencanaan organisasi bisnis
Bab vi perencanaan organisasi bisnis
 
Rogers buber 1960
Rogers buber 1960 Rogers buber 1960
Rogers buber 1960
 
Angry eyes
Angry eyesAngry eyes
Angry eyes
 
Rogers1957a
Rogers1957aRogers1957a
Rogers1957a
 
Bab vii rencana pembiayaan (financial plan)
Bab vii rencana pembiayaan (financial plan)Bab vii rencana pembiayaan (financial plan)
Bab vii rencana pembiayaan (financial plan)
 
The Brief book on Siyam
The Brief book on SiyamThe Brief book on Siyam
The Brief book on Siyam
 
система воспитательной работы
система воспитательной работысистема воспитательной работы
система воспитательной работы
 
Untitled Presentation
Untitled PresentationUntitled Presentation
Untitled Presentation
 

Ähnlich wie METODE STUDI AL-QUR'AN DAN HADIS

Ähnlich wie METODE STUDI AL-QUR'AN DAN HADIS (20)

Hukum dalam islam
Hukum dalam islamHukum dalam islam
Hukum dalam islam
 
hukum islam (kel.1)
hukum islam (kel.1)hukum islam (kel.1)
hukum islam (kel.1)
 
3sumberhukumislam.ppt
3sumberhukumislam.ppt3sumberhukumislam.ppt
3sumberhukumislam.ppt
 
Bab 4
Bab 4Bab 4
Bab 4
 
1b.sumberhukumislam.pdf
1b.sumberhukumislam.pdf1b.sumberhukumislam.pdf
1b.sumberhukumislam.pdf
 
Studi hukum islam
Studi hukum islam Studi hukum islam
Studi hukum islam
 
Studi hukum islam kel.2hhhh
Studi hukum islam kel.2hhhhStudi hukum islam kel.2hhhh
Studi hukum islam kel.2hhhh
 
Bab 5
Bab 5Bab 5
Bab 5
 
4. sumber hukum islam
4. sumber hukum islam4. sumber hukum islam
4. sumber hukum islam
 
Pertemuan 4-SHI - Alquran dan Sunnah.pptx
Pertemuan 4-SHI - Alquran dan Sunnah.pptxPertemuan 4-SHI - Alquran dan Sunnah.pptx
Pertemuan 4-SHI - Alquran dan Sunnah.pptx
 
Kelompok 2
Kelompok 2Kelompok 2
Kelompok 2
 
Shi pemahaman hukum islam
Shi pemahaman hukum islamShi pemahaman hukum islam
Shi pemahaman hukum islam
 
Kelompok 2
Kelompok 2Kelompok 2
Kelompok 2
 
Shi pemahaman hukum islam
Shi pemahaman hukum islamShi pemahaman hukum islam
Shi pemahaman hukum islam
 
Karakteristik hukum islam dalam menghadapi perkembagan zaman
Karakteristik hukum islam dalam menghadapi perkembagan zamanKarakteristik hukum islam dalam menghadapi perkembagan zaman
Karakteristik hukum islam dalam menghadapi perkembagan zaman
 
Al qur'an
Al qur'anAl qur'an
Al qur'an
 
Poto copian pemahaman studi hukum islam
Poto copian pemahaman studi hukum islamPoto copian pemahaman studi hukum islam
Poto copian pemahaman studi hukum islam
 
Hadist sebagai ajaran islam
Hadist sebagai ajaran islamHadist sebagai ajaran islam
Hadist sebagai ajaran islam
 
HI PPT-1 (12 SLIDE) 2.pdf
HI PPT-1 (12 SLIDE) 2.pdfHI PPT-1 (12 SLIDE) 2.pdf
HI PPT-1 (12 SLIDE) 2.pdf
 
Sumber agama dan ajaran islam
Sumber agama dan ajaran islamSumber agama dan ajaran islam
Sumber agama dan ajaran islam
 

METODE STUDI AL-QUR'AN DAN HADIS

  • 1. METODE STUDI AL-QUR’AN DAN HADIST HARRY SASKIA NYLA PUSPITA FAK. EKONOMI SEMESTER : 1 (SATU)
  • 2. PENGERTIAN AL-QURAN DAN HADIST 1. Pengertian Al-qur’an Secara Etimologi : Merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a yang bermakna Talaa keduanya berarti: membaca, atau bermakna Jama’a mengumpulkan, mengoleksi. maka ia adalah mashdar (kata benda) yang semakna dengan Ism Maf’uul, artinya Matluw (yang dibaca Sedangkan berdasarkan makna kedua (Yakni: Jama’a) maka ia adalah mashdar dari Ism Faa’il, artinya Jaami’ (Pengumpul, Pengoleksi) kerana ia mengumpulkan/mengoleksi berita-berita dan hukum-hukum. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur’an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah : yang artinya: “Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.( Al-Qiyamah: 1718).
  • 3. Secara Terminologi : Adalah firman atau wahyu yang berasal dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara melalui malaikat jibril sebagai pedoman serta petunjuk seluruh umat manusia semua masa, bangsa dan lokasi. Alquran adalah kitab Allah SWT yang terakhir setelah kitab taurat, zabur dan injil yang diturunkan melalui para rasul. Hal ini juga senada dengan pendapat yang menyatakan bahwa Al-Qur'an kalam atau wahyu Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat jibril sebagai pengantar wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW di gua hiro pada tanggal 17 ramadhan ketika Nabi Muhammad berusia 41 tahun yaitu surat al alaq ayat 1 sampai ayat 5. Sedangkan terakhir alqu'an turun yakni pada tanggal 9 zulhijjah tahun 10 hijriah yakni surah almaidah ayat 3. Allah ta’ala menyebut al-Qur’an dengan sebutan yang banyak sekali, yang menunjukkan keagungan, keberkahan, pengaruhnya dan universalitasnya serta menunjukkan bahwa ia adalah pemutus bagi kitab-kitab terdahulu sebelumnya.
  • 4. FUNGSI AL-QUR’AN 1. Pengganti kedudukan kitab suci sebelumnya yang pernah diturunkan Allah SWT 2. Tuntunan serta hukum untuk menempuh kehidupan 3. Menjelaskan masalah-masalah yang pernah diperselisihkan oleh umat terdahulu 4. Sebagai Obat : “Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orangorang yang beriman, dan (Alquran itu) tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian”. (Al-Isra’ (17): 82). 5. Petunjuk pada jalan yang lurus “Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberi petunjuk pada jalan yang amat lurus”. (Al-Isrâ (17) ayat 9.
  • 5. Hukum-Hukum yang terkandung dalam Al-quran Sesuai dengan definisi hukum syara’ sebagaimana telah dijelaskan, hanya sebagian kecil dari ayat-ayat Alquran yang mengandung hukum, yaitu yang menyangkut perbuatan mukalaf dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat, dan ketentuan yang diterapkan. Hukum-hukum tersebut mengatur kehidupan manusia, baik dalam hubungan dengan Allah Swt. Maupun dalam hubungannya dengan manusia dan alam sekitarnya. Secara garis besar hukum-hukum dalam Alquran dapat dibahi tiga macam ;
  • 6. 1. Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Swt. Mengenai apa-apa yang harus diyakini dan yang harus dihindari sehubungan dengan keyakinannya, seperti keharusan mengesakan Allah dan larangan mempersekutukan-Nya. Hukum yang menyangkut keyakinan ini disebut hukum I’tiqadiyah yang dikaji dalam “ilmu tauhid” atau “ushuluddin”. 2. Hukum-hukum yang mengatur hubungan pergaulan manusia mengenai sifatsifat baik yang harus dimiliki dan sifat-sifat buruk yang harus dijauhi dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum dalam bentuk ini disebut hukum khuluqiyah yang kemudian dikembangkan dalam “ilmu Akhlak”. 3. Yang menyangkut tindak tanduk manusia dan tingkah laku lahirnya dalam hubungan dengan Allah SWT., dalam hubungan dengan sesame manusia, dan dalam bentuk apa-apa yang harus dilakukan atau harus dijauhi. Hukum ini disebut hukum amaliyah yang pembahasannya dikembangkan “ilmu Akhlak”.
  • 7.  Dalalah Alquran Yang dimaksud dengan dalalah dalam konteks pemahaman makna atau pengertian dari nas ialah petunjuk yang dapat dijadikan pegangan untuk membawa kepada pengertian yang dikehendaki. Dengan kata lain, dalalah berkaitan dengan bagaimana pengertian atau makna yang ditunjukkan oleh nas dapat dipahami. Dalam kajian ushul fiqh, untuk dapat memahami nas apakah pengertian yang ditunjukkan oleh unsur-unsur lafalnya itu jelas, pasti atau tidak. Para ulama’ ushul menggunakan pendekatan apa yang dikenal dengan istilah qath’i dan zhanny. a) Nas yang qath’i dalalahnya ialah nas yang menunjukkan kepada makna yang bisa dipahami secara tertentu, tidak ada kemungkinan dita’wilkan, Seperti firman Allah SWT:
  • 8. Artinya :: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari´at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”. Ayat tersebut adalah qath’i dalalahnya. Artinya bahwa bagian suami dalam keadaan seperti ini adalah seperdua, tidak yang lain.
  • 9. b) . Nas yang zhanny dalalahnya ialah nas yang menunjukkan atas makna yang memungkinkan untuk dita’wilkan atau dipalingkan dari makna asalnya kepada makna yang lain, Seperti firman Allah SWT: Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru´. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma´ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Padahal lafadaz “quru” itu dalam bahasa Arab mempunyai dua arti yaitu suci dan haid. Maka ada kemungkinan bahwa yang dimaksud ayat tersebut tiga kali suci atau tiga kali haid. Jadi ini berarti dhanni (tidak pasti) dalalahnya atas satu makna dari dua makna tersebut.
  • 10. 2. Pengertian Hadist Secara etimologis hadits bisa berarti : Baru, seperti kalimat : “ Allah Qadim mustahil Hadits “.Dekat, seperti : ”Haditsul ” ahli bil Islam “.Khabar, seperti : “Falya’tu bi haditsin mitslihi “. Dalam tradisi hukum Islam, hadits berarti : Segala Perbuatan, Perkataan, dan Keizinan Nabi Muhammad saw. ( Af ‘al, Aqwal dan Taqrir ). Pengertian hadits sebagaimana tersebut diatas adalah identik dengan Sunnah, yang secara etimologis berarti jalan atau tradisi, sebagaimana dalam Al-Qur’an : ” Sunnata man qad arsalna ” ( al-Isra :77 ). Juga dapat berarti : Undang-undang atau peraturan yang tetap berlaku,Cara yang diadakan,jalan yang telah dijalani. Adapun menurut muhadditsin, hadits itu adalah “Segala apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik itu hadits marfu’(yang disandarkan kepada Nabi), hadits mauquf (yang disandarkan kepada sahabat) ataupun hadits maqthu’ (yang disandarkan kepada tabi’in). Ada yang berpendapat antara Sunnah dengan Hadits tersebut adalah berbeda-beda. Akan tetapi dalam kebiasaan hukum Islam antara Hadits dan Sunnah tersebut hanyalah berbeda dalam segi penggunaannya saja, tidak dalam tujuannya.
  • 11. Sunnah adalah sumber Hukum Islam ( Pedoman Hidup Kaum Muslimin ) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman kepada AlQur’an sebagai sumber hukum, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah sebagai sumber Islam juga. Ayat-ayat Al-Qur’an cukup banyak untuk dijadikan alasan yang pasti tentang hal ini, seperti 1. Setiap mu’min harus taat kepada Allah dan Rasul-nya (al-Anfal :20, Muhammad :33, an-Nisa :59, Ali-Imran :32, al-Mujadalah : 13, an-Nur : 54,alMaidah : 92 ). 2. Kepatuhan kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah ( an-Nisa :80, Ali-Imran :31 ). 3. Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa ( an-Anfal :13, AlMujadalah :5, an-Nisa :115 ). Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. ( an-Nisa’:65 ). 4. Kemudian perhatikan ayat-ayat : an-Nur : 52; al-Hasyr : 4; al-Mujadalah : 20; an-Nisa’: 64 dan 69; al-Ahzab: 36 dan 71; al-Hujurat :1; al-Hasyr : 7 dan sebagainya.
  • 12. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan menghadapi kesulitan-kesulitan dalam hal : cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayatayat Al-Qur’an dalam hal tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasullullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak, muhtamal dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subjektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
  • 13. Secara Terminologis adalah : Hadis adalah segala ucapan, perbuatan, ketetapan dan karakter Muhammad Saw setelah beliau diangkat menjadi Nabi. Hadis adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi pasca pengangkatan Nabi, sedangkan sunnah lebih luas yaitu sebelum dan sesudah beliau diangkat jadi Rasul Sebagaimana keterangan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah di dalam Shahih al-Bukhari bab Riqa' yang isinya menyatakan bahwa apa yang diucapkan oleh Nabi dinamakan hadis.
  • 14. Macam-macam dan pembagian Hadits Hadits dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu: a. Hadits mutawatir Hadits mutawatir ialah hadits yang diriwayat oleh rawi yang banyak dan tidak mungkin mereka mufakat berbuat dusta pada hadits itu, mengingat banyaknya jumlah mereka. » Pembagian hadits mutawatir ; - Mutawatir lafzi, ialah hadits yang serupa lafaz dan maknanya dari setiap rawi. - Mutawatir maknawi, ialah hadits yang berbagai-bagai lafaz dan makna, akan tetapi didalamnya ada satu bagian yang sama bagian yang sama tujuannya.
  • 15. b. Hadits ahad Hadits ahad ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tidak kebatasan hadits mutawatir. Hadits ini tidak sampai kederajat mutawatir yaitu Shahih, hasan, dhaif. » Pembagian hadits ahad ; - Hadits shahih ialah hadits yang berhubungan sanadnya, diriwayatkan oleh yang adil dan dhabith dari orang yang seumpanya, terpelihara dari perjanjian bersih dari cacat memburukkan. yang - Hadits hasan ialah hadits yang dihubungkan sanad diriwayatkan oleh orang yang adil yang kurang dhabitnya, terpelihara dari perjanjian dan bersih dari cacat yang memburukkan. - Hadits dhaif ialah hadits yang kurang satu syarat atau lebih diantara syarat-syarat hadits shahih dan hasan atau dalam ada orang yang bercacat. sanadnya
  • 16. Kedudukan dan Kehujjahan Hadist Tidak ada perbedaan pendapat jumhur (ahlusunah wal jama’ah), ulamak tentang hadits Rasul sebagai sumber hukum yang kedua sesudah Al-qur’an dalam menentukan suatu keputusan hukum, seperti menghalalkan atau mengharamkan sesuatu. kekuatannya sama dengan Al-Qur’an. Oleh karena itu, wajib bagi umat Islam menerima dan mengamalkan apa-apa yang tercandung di dalamnya selama hadits itu sah dari Rasulullah SAW. Lain halnya dengan golongan Syiah yang tidak mengakui semua hadits yang dipandang sah oleh golongan ahlu sunnah sebab mereka hanya mengakui sahnya suatu hadits atau khabar kalau diriwayatkan oleh imam-imam dan ahli hadits mereka sendiri. Berbeda dengan ahli zahir mereka masih dapat menerimanya selama hadits itu sah menurut kriteria ilmu hadits. Kehujjahan sunnah berdasarkan beberapa ayat Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw., diantaranya: Artinya : “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. (QS. An-Nisa: 80)
  • 17. Hubungan Al-qur’an dan Hadist Al-hadits didefinisikan oleh pada umumnya ulama seperti definisi Al-Sunnah sebagai “Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya.” Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada “ucapan-ucapan Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum”; sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapanketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran. Adapun fungsi As-Sunnah terhadap Alquran ditinjau dari segi penggunaan hujjah dan pengambilan hukum-hukum syari’at bahwa As-Sunnah itu sebagai sumber hukum yang sederajat lebih rendah dari Alquran. Adapun fungsi As-Sunnah./hadis terhadap Alquran dari segi materi hukum yang terkandung di dalamnya Ada tiga macam, yakni: a. Menguatkan (mu’akkid) hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya di dalam Alquran. b. Memberikan keterangan (bayan) terhadap ayat-ayat Alquran. c. Menciptakan hukum baru yang tiada terdapat didalam Alquran.
  • 18. Islam Klasik Pemikiran islam klasik dapat dilacak dari warisan khasanah kelilmuan klasik (turats) yang kaya dengan varian dan bidang kajian. Turats itu dapat ditemukan dengan mudah di perpustakaan-perpustakaan Islam dan selalu dikaji (marja’) dalam tradisi intelektualisme Islam modern sekarang ini. Tetapi sebenarnya jejak tajdid itu dapat ditelusuri sejak awal Islam, walaupun tentu sulit untuk ditemukan warisan khasanah keilmuannya. Pada era Sahabat, bisa diambil contoh tajdid pemikiran Islam yang dimotori Umar ibn Khattab saat ia dihadapkan pada kenentuan normatif nash dengan tuntutan realitas. Contoh pemikiran inovatif Umar kala itu adalah saat ia menjabat Khalifah kedua yang mengambil kebijakan untuk tidak membagikan tanah pertanian di Syiria dan Irak yang baru dibebaskan kepada tentara Muslim yang turut berperang, tetapi justru kepada petani kecil setempat, sekalipun mereka ini belum menjadi Muslim. Pemikiran Umar yang menjadi kebijakan Khalifah ini menimbulkan protes keras dari kalangan Sahabat yang lain. Dipelopori Bilal, sang Muadzin Nabi, banyak Sahabat menuduh Umar telah menyimpang dari al-Qur’an, yang menurut mereka, telah jelas menyatakan ke mana saja harta rampasan perang didistribusikan (Q.S. al-Anfal). Lagi pula Nabi sendiri telah pernah membagi-bagi tanah pertanian rampasan serupa itu kepada tentara, yakni tanah-tanah pertanian Khaibar setelah dibebaskan dari kekuasaan Yahudi yang memusuhi Nabi.
  • 19. Contoh klasik lain yang dapat dikemukakan di sini adalah tindakan Umar yang melarang tokoh Sahabat Nabi menikah dengan perempuan Ahl- al-Kitab (Yahudi dan Nasrani), padahal al-Qur’an jelas membolehkan (Q.S. al-Maidah: 5). Umar tidak berpegang pada makna lahiriyah teks al-Qur’an itu, akan tetapi ia melihat dari perspektif sosio-politik umat Islam yang menurutnya jika perkawinan antar agama diijinkan, maka akan terjadi kasus-kasus penelantaran kaum Muslimah. Melihat contoh ini, sebagian ulama memandang bahwa apa yang dilakukan Umar adalah sejenis ijtihad politik (tasharruf siyasi), yang timbul karena pertimbangan kemanfaatan (expediency) menurut tuntutan zaman dan tempat.. Ijtihad Umar, betapapun menimbulkan kontroversi dikalangan Sahabat dan penilaian negatif pada era berikutnya, adalah langkah tajdid pada awal Islam sebagai upaya Umar melakukan kontekstualisasi ajaran Islam dalam sejarah. Umar tidak meninggalkan nash al-Qur’an maupun Sunnah, tetapi ia menggali semangat yang ada pada nash itu untuk diaktualisasikan kembali dalam konteks problem kekinian yang dihadapi umat Islam pada masa Umar. Dapat dikatakan Umar adalah mujaddid pemikiran Islam pertama dalam sejarah Islam. Jangka waktu sekitar seratus lima puluh tahun sejak Umar melakukan tajdid alafkar al-Islami, adalah masa banyak sekali diletakkan dasar-dasar perumusan baku ajaran Islam seperti yang dikenal sekarang. Selain munculnya ilmu kalam oleh kaum Mu’tazilah serta falsafah oleh adanya gelombang masuk Hellenisme, pada masa itu terjadi konsolidasi teologi mayoritas umat, yaitu ahlu as-sunnah wa al-jama’ah (aswaja). Epistemologi hukum Islam (fiqh) juga menemukan kerangka bakunya, berkat aktivitas intelektual para ulama besar fiqh, khususnya para Imam Madzab (Abu Hanifah, Anas ibn Malik, Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal).
  • 20. Banyak yang menyebut, Abu Hanifah adalah pewaris tradisi rasionalisme Umar ibn Khattab. Ia memang sangat sedikit meriwayatkan hadis, karena Abu Hanifah sangat memperketat syarat-syarat penerima hadis. Kurangnya hadis pada masa Abu Hanifah karena ia tidak merasa puas dengan menyampaikan hadis saja, ia menguji hadis dengan pertimbangan psikologis dan konteks sosial. Madzab Hanafi adalah madzab yang frekwensi penggunaan akalnya lebih banyak. Akal lebih dipentingkan dalam proses pengambilan hukum daripada hadis. Contoh kasus dalam hal ini adalah pemikiran Abu Hanifah tentang kedudukan wali dalam perkawinan. Menurut hadis, perkawinan tidak sah kecuali dengan melibatkan wali dan dua orang saksi. Tetapi Abu Hanifah mensyahkan perkawinan tanpa wali dengan pertimbangan bahwa Muslimah saat itu adalah perempuan-perempuan cerdas dan mandiri yang bisa mengurus dan menentukan nasibnya sendiri, termasuk kemandirian dalam memutuskan dengan siapa ia menikah. Pada era klasik, pemikir teologi terkemuka yang sukses menempatkan ilmu kalam dalam bangunan intelektual Islam adalah Abu al-Hasan al-Asy’ari. Ia berhasil mengkonvergensi antara paham Jabariyyah dan Qadariyyah, antara dogmatisme kaum Sunni konservatif dengan rasionalisme sistem teologi kaum Mu’tazilah. Asy’arisme, seperti halnya ilmu Kalam pada umumnya, adalah produk intelektual orang Islam dalam upaya mereka memahami agama secara lebih sistematis, dalam bentuk “suatu faham teologis yang di bangun di atas metodologi skolastik dan Aristotelian”. Justru karena hakekatnya yang moderat, merupakan jalan tengah antara dogmatisme dan liberalisme, maka ilmu Kalam al-Asy’ari cepat menjadi sangat populer di kalangan umat Islam.
  • 21. Tetapi, aktifitas intelektualisme dunia pemikiran Islam klasik, khususnya falsafah, sama sekali tidak berhenti dan tuntas dengan tampilnya moderatisme pemikiran teologi Asy’ariyah. Berbeda dengan ilmu Kalam yang merupakan intelektualisme memasyarakat (popular intelectualism), falsafah masih tetap merupakan aktifitas intelektual pribadi dalam suatu gaya yang elitis. Para filosof selalu memandang dirinya sebagai al-Khawwash (orang-orang khusus/spesial) yang berbeda dari kelompok al-Awwam (kaum kebanyakan). Dan justru saat al-Asy’ari sibuk mengkonsolidasi metodologi Kalamnya, falsafah memperoleh momentumnya yang baru dengan tampilnya Muhammad Abu Nashr al-Farabi. Sebagai seorang filosof, al-Farabi adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tetapi dengan kompetensi, kreatifitas, kebebasan berfikir (liberalisasi) dan tingkat kecanggihan (sofistikasi) yang lebih tinggi. Jika al-Kindi dipandang sebagai filosof Muslim pertama dalam arti yang sebenarnya, al-Farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar epistemologi filsafat Islam. Maka setelah Aristoteles sang “guru pertama” (al-mu’allim al-awwal), al-Farabi dalam dunia intelektual Islam diposisikan sebagai “guru kedua” (al-mu’allim al-tsani). Setelah dunia falsafah mencapai puncak kejayaan pada masa al-Farabi dan Ibn Sina, tampil al-Ghazali (Abu Hamid ibn Muhammad al-Ghazali), seorang pemikir yang dengan dahsyat mengkritik filsafat, khususnya Neoplatonisme al-Farabi dan Ibn Sina. Ia menulis karya polemisnya yang sangat besar dan abadi, Tahafut alFalasifah (Kekacauan Para Filosof) adalah, menurut ia sendiri, karena terdorong oleh gejala berkecamuknya pikiran bebas waktu itu yang banyak membuat orang Islam meninggalkan ibadah. Pada akhirnya, al-Ghazali berhasil memberi tempat yang mapan kepada esoterisme Islam dalam keseluruhan paham keagamaan yang dianggap sah dan ortodoks. Implikasinya, pasca Ghazali, umat Islam terkungkung dalam kamar sel nyaman Ghazalisme. Walaupun nyaman, tetapi kemudian mempunyai efek pemenjaraan kreatifitas intelektual Islam, yang sampai sekarang.
  • 22. Islam Modern Gema tertupnya pintu ijtihad tidak menghalangi gelombang kesadaran umat untuk mendobrak pintu itu dan memunculkan pemikiran-pemikiran alternatif berikutnya. Masih sejalur dengan tradisi pemikiran di era klasik, perkembangan pemikiran secara dikotomis menempati aras ahlu al-hadis dan ahlu ar-ra’yi, walau dalam konteks kekinian dua poros pemikiran itu telah menurunkan beraneka macam varian baru. Pada dasarnya mereka ingin tampil sebagai gerakan pemikiran alternatif dalam menghadapi perkembangan dunia yang kian modern. Issa J. Boullata (2001) membagi pemikiran Islam modern menjadi dua kecenderungan, yaitu konservatif-tradisionalis dan progresif-modernis. Menurutnya, kelompok konservatif-tradisional adalah gerakan pemikiran yang memiliki pola pikir dengan frame klasik (salaf). Mereka sangat membanggakan kemajuan dan kejayaan Islam masa lampau, dan untuk membangun kamajuan dan kejayaan peradaban Islam masa mendatang, pemikiran Islam harus berbasis metodologi pemikiran Islam klasik (past oriented). Adapun kelompok progresif-modernis adalah gerakan pemikiran yang mengidealkan tatanan masyarakat Islam yang modern, dengan kata lain, gerakan pemikiran yang berorientasi ke masa depan (future oriented). Pola berfikir mereka tidak keluar dari frame metodologi Barat yang mereka klaim sebagai satu-satunya alternatif untuk membangun peradaban Islam modern. Gerakan pemikiran ini secara mayoritas diwakili oleh kalangan yang pernah belajar dan berinteraksi dengan pemikiran Barat.
  • 23. Pemikiran Islam tradisional-konservatif lebih dikenal – dalam istilah Arab – sebagai kelompok ‘salafiyah’. Menurut ‘Abd al-Mun’im al-Hifni (1993), bahwa golongan salafiyah adalah mereka yang mengajak kembali kepada perilaku para ulama salaf (al-salaf al-shalihin), yaitu mereka yang hidup dalam tiga generasi pertama, yakni Sahabat Nabi SAW., Tabi’in dan Atba’ Thabi’in. Karakteristik pokok kelompok ini antara lain; pertama, argumennya harus jelas diambil dari al-Qur’an dan al-Hadis. Kedua, penggunaan rasio harus sesuai dengan nash-nash yang shahih. Ketiga, sebagaimana dikatakan oleh Ibn Taimiyah, bahwa dalam konteks aqidah harus bersandar kepada nash-nash saja. Mereka mempercayai dan hanya menerima nash per se, karena itu yang bersumber dari Allah. Adapun rasio hanya berfungsi sebagai pembenar (tashdiq) dan saksi (syahid), bukan sebagai penentu (hakimi). Tipologi kelompok ini diwakili oleh mayoritas pemikir keagamaan yang sangat committed kepada Islam sebagai doktrin seluruh aspek kehidupan. Kelompok ini percaya sepenuhnya kepada doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif untuk kebangkitan kembali sejarah kegemilangan kaum Muslim. Menurut kelompok ini, umat Islam harus kembali kepada ajaran asli Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Usaha penyucian Islam dari ajaran-ajaran asing baik yang berasal dari dalam (bid’ah kaum Muslim) maupun dari luar (Barat dan modernitas) menjadi agenda utama untuk mencapai keaslian ajaran Islam (Ashlah al-Islamiyah). Kemunduran yang dialami kaum Muslim sekarang ini disebabkan jauhnya mereka dari ajaran Islam. Usaha Islamisasi untuk segala aspek kehidupan Muslim menjadi agenda utama. Dari masalah etika, tingkah laku secara individu maupun sosial, hingga ilmu dan landasan epistemologi yang akan diserap oleh mereka, harus diislamkan, agar seluruh gerak dan tindakan yang hendak dilakukan oleh kaum Muslim adalah Islamis. Sejarah Islam yang panjang terlalu suram untuk dijadikan model emulasi. Pemimpin dan khalifah pada zaman yang disebut era kegemilangan Islam tidak lebih dari kaum hedonistik yang identik dengan wanita, minuman keras dan cerita 1001 malam. Kalaupun ada jasa mereka, tidak lebih dari memasukkan unsur kebid’ahan Yunani lewat apa yang dinamakan falsafah. Dan kaum Muslim semakin menjauh saja dari ajaran asli Islam.
  • 24. Secara umum, tipologi reformistik adalah kecenderungan yang meyakini bahwa antara turats dan modernitas kedua-duanya adalah baik. Masalahnya, bagaimana menyikapi keduanya dengan adil dan bijak. Adalah salah memprioritaskan satu hal dan merendahkan yang lain, karena, kalau mau jujur, kedua-duanya bukan milik umat Islam sekarang; turats milik orang lampau dan modernitas milik Barat. Mengambil satu dan membuang yang lain adalah gegabah, dan membuang kedua-duanya adalah konyol. Yang adil dan bijak adalah bagaimana mengharmonisasikan keduanya dengan tidak menyalahi akal sehat dan standar rasional, inilah inti dari reformasi itu. Gerakan reformistik dalam dunia Isam modern telah dimulai dan disemai oleh para pemikir-pemikir Muslim rasionalis semenjak Rifa’at Tahtawi dan alTunisi. Puncaknya dalam diri Muhammad ‘Abduh. `Abduh adalah cikal-bakal gerakan reformis yang ada sekarang ini. Hanya, kecenderungan dikotomis untuk menjadi “kiri” atau “kanan” dalam madzhab ‘Abduh semakin intens dan kelihatan. Kelompok kiri penerus ‘Abduh semakin lama semakin kiri dan kelompok kanan juga terus semakin kanan, atau memutuskan diri sama sekali dari kerangka ajaran sang imam, alias menjadi fundamentalis. Gerakan reformistik adalah proses evolusi madrasah ‘Abduh yang beraliran kiri; pada mulanya adalah ‘Abduh, kemudian Qasim Amin, kemudian ‘Ali ‘Abd al-Raziq, kemudian Imarah dan terakhir Hassan Hanafi. Semakin kemari semakin kiri, dan semakin jauh dari kerangka berpikir sang Imam. Kasusnya sama dengan kelompok kanan, semakin kemari semakin menjadi radikal (perhatikan mata-rantainya: dari ‘Abduh, kemudian Rasyid Ridla, kemudian Hassan al-Banna, dan terakhir Sayyid Quthb).
  • 25. Kiri Islam lahir dari kesadaran penuh atas posisi tertindas umat Islam, untuk kemudian melakukan rekonstruksi terhadap seluruh bangunan pemikiran Islam tradisional agar dapat berfungsi sebagai kekuatan pembebasan. Upaya rekonstruksi ini adalah suatu keniscayaan karena bangunan pemikiran Islam tradisional yang sesungguhnya satu bentuk tafsir justru menjadi pembenaran atas kekuasaan yang menindas. Upaya rekonstruksi ini diawali dengan menjaga jarak terhadap Asy’arisme, pemikiran keagamaan resmi yang telah bercampur dengan tasawuf dan menjadi ideologi kekuasaan, serta mempengaruhi perilaku negatif rakyat untuk hanya menunggu perintah dan ilham dari langit. Hassan Hanafi lebih welcome dengan Mu’tazilah versi Muhammad Abduh yang memproklamirkan kemampuan akal untuk mencapai pengetahuan dan kebebasan berinisiatif dalam perilaku. Juga melanjutkan apa yang dirintis oleh Al-Kawakibi dalam menganalisis faktor-faktor sosial politik untuk membebaskan dan memperkuat kaum muslimin. Dan Kiri Islam juga mewarisi kapabilitas Muhammad Iqbal dan upaya-upayanya dalam “Pembaharuan Pemikiran Keagamaan dalam Islam” (Reconstruction of Islamic Thoughts).