SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 109
Downloaden Sie, um offline zu lesen
Artikel Oleh Yusdeka
BBBB
Dikompilasi oleh FIW
1-2
Kata Pengantar
Tulisan berikut ini merupakan buah karya dari Ustadz Yusdeka, penulis
produktif dari milis “Dzikrullah” (https://groups.yahoo.com/group/dzikrullah)
dan blog “Sikap Murid Dalam Berketuhanan Sedang Belajar Mendekat Kepada
Dzat Yang Maha Dekat” (yusdeka.wordpress.com). Untuk keperluan pribadi,
kami mengkompilasi tulisan-tulisan tersebut, baik berdasarkan abjad huruf
pertama dari judul tulisan, maupun berdasarkan topik tertentu. Berikut ini
adalah kumpulan tulisan dengan huruf pertama berhuruf “B”.
Dalam pengkompilasian ini, kami berusaha untuk tidak menambah dengan
kata-kata kami sendiri. Yang kami lakukan adalah pengurangan dan
penyuntingan tampilan. Tujuan pengkompilasian ini tak lain adalah agar
memudahkan kami untuk membaca dan memahami tulisan-tulisan tersebut.
Hal ini disebabkan karena kebodohan kami untuk dapat memahami tulisan
yang Ustadz Yusdeka tulis. Untuk itu kami merasa perlu untuk menstrukturkan
dan mensistematisasikannya. Selain itu, kami menambahkan dengan uraian
kesimpulan atas apa yang menjadi materi pembahasan Ustadz Yusdeka.
Tulisan dari Ustadz Yusdeka demikian canggihnya, tidak heran jika disadari apa
yang Ustadz Yusdeka tulis pada hakekatnya adalah tulisan yang langsung
digerakkan oleh Allah SWT sendiri, sehingga kami terkadang menggap-
menggap dalam membaca. Bahkan setelah selesai membaca, kami terkadang
bertanya-tanya, apa yang telah kami baca tadi, mengingat kebodohan kami
dalam hal yang ditulis tersebut.
Setelah pengkompilasian ini tercapai kami berpendapat alangkah sayangnya
jika tulisan dari Ustadz Yusdeka yang sudah dikompilasi tersebut hanya untuk
kami konsumsi sendiri. Untuk itu, dalam format PDF, kami menaruhnya di
internet. Semoga dengan demikian semakin banyak pihak yang dapat turut
menikmati, dan harapan kami, dapat menemani Ustadz Yusdeka untuk
camping di pinggir surga.
(FIW)
1-3
Daftar Isi
Artikel 1 : Bisakah Kita Berbicara dengan Allah ...............................................1-4
A. Pembahasan................................................................................1-4
B. Kesimpulan................................................................................1-61
Artikel 2 : Bagi Orang Yang Sudah Selesai......................................................2-65
A. Pembahasan..............................................................................2-65
B. Kesimpulan................................................................................2-72
Artikel 3 : Bahasa Ruhani...............................................................................3-74
A. Pembahasan..............................................................................3-74
B. Kesimpulan................................................................................3-77
Artikel 4 : Benang Kesambungan dengan Allah .............................................4-78
A. Pembahasan..............................................................................4-78
B. Kesimpulan................................................................................4-79
Artikel 5 : Bersatu..........................................................................................5-80
A. Pembahasan..............................................................................5-80
B. Kesimpulan................................................................................5-97
Artikel 6 : Bohong Berbuah Bohong ..............................................................6-99
A. Pembahasan..............................................................................6-99
B. Kesimpulan..............................................................................6-108
1-4
Artikel 1 :
Bisakah Kita Berbicara dengan Allah1
A. Pembahasan
1. Tanya
Saya bertemu dengan orang yang mengaku bisa bercakap-cakap dengan
Allah. Apakah ini mungkin dilakukan? Mohon penjelasannya disertai
dalil Al-Qur'an & Hadits.
2. Jawaban
Memang dunia spiritual ini kadang-kadang terlihat aneh. Di satu sisi dia
seperti dimusuhi atau paling tidak dianggap nyleneh, terutama oleh
orang-orang yang tidak atau belum mereguk kenikmatan dunia spiritual
tersebut. Sementara itu di sisi lainnya dia malah mau dieksplorasi habis-
habisan oleh orang-orang yang sepertinya tengah mabok berat oleh
dahsyatnya realitas suasana dan rasa yang didapat dalam dunia spiritual
itu. Padahal bagi dua-duanya, baik bagi yang memusuhi atau tidak
menyukainya maupun bagi yang menyukainya, landasan berpijaknya
sama juga, itu-itu juga, yaitu hal-hal yang berkenaan dengan ALLAH, AL
QUR’AN, NABI MUHAMMAD SAW, dan AL HADIST.
Sebelum kita memulai membedah sedikit masalah kalimat berbicara
dengan Allah di atas, saya ingin sampaikan sebuah pokok pemikiran
tentang keterbatasan ukuran pikiran manusia.
Keterbatasan Ukuran Pikiran Manusia
Bahwa sudah menjadi sebuah kebiasaan umum bagi hampir seluruh
manusia saat dia berbicara tentang sesuatu, maka sesuatu itu selalu
dibandingkannya atau disandingkannya dengan sesuatu yang sesuai
dengan kadar pikiran atau persepesi si manusia itu sendiri.
1
http://groups.yahoo.com/group/dzikrullah/message/1629
1-5
Keterbatasan Ukuran Pikiran Manusia
Misalnya, saat kita ingin berbicara tentang sesuatu yang besar, maka
ukuran besar itu pertama kali kita bandingkan dengan ukuran besar
yang saat itu ada dikepala kita. Makanya besar menurut anak TK akan
sangat jauh berbeda dengan besar menurut seseorang yang bergelut
di dunia astronomi. Menurut anak TK, besar itu mungkin hanya seba-
tas besar dirinya sendiri. Yang lebih besar dari dirinya dia kategorikan
sebagai besar dan yang kecil dari tubuhnya disebutnya kecil. Sedang-
kan bagi seorang profesor anstronomi, ukurannya besarnya sudah
berubah menjadi besaran kosmos, besaran tahun cahaya. Dan dua-
duanya, baik anak TK itu maupun si astronomis, adalah benar. Tidak
ada yang salah.
Lalu diantara dua ekstrim tersebut, anak TK dan profesor astronomi
tersebut, ada diri kita sendiri. Di mana posisi kita ?
Tugas kita ini sebenarnya sederhana saja, yaitu untuk iqra, melihat,
membaca apakah ukuran-ukuran yang ada di dalam otak kita ini
berkembang atau tidak dari waktu ke waktu. Apakah ukuran besar
yang ada di dalam otak kita dari hanya sekedar ukuran besar menurut
anak TK telah berubah menjadi sebuah ukuran besar menurut anak
SD, atau SMP, atau SMA. Atau syukur-syukur ukuran besar kita itu
sudah bisa pula mendekati ukuran besar menurut seorang astrono-
mis. Amati sajalah pencapaian kita itu dan lalu sampaikanlah kepada
orang-orang tentang yang kita pahami. Tulislah, dan da’wahkanlah.
Tapi jangan paksa seorang anak TK untuk memahami apa-apa yang
kita capai itu. Begitu juga jangan paksakan pencapaian kita itu kepada
seorang profesor astronomi yang sudah kenyang makan asam garam
dunia dalam ukuran besaran makro kosmos. Karena kalau kita sudah
memaksa-maksa agar besar orang lain sama dengan besar menurut
kita, maka nanti kita sendiri juga yang akan sakit saat mana orang lain
itu tidak menerima apa-apa yang kita paksakan kepadanya.
Tentang masalah ukuran besar ini saja ternyata sudah sangat berbeda
1-6
Keterbatasan Ukuran Pikiran Manusia
dari orang ke orang. Belum lagi kalau mau kita ukur bagaimana suasa-
na dan rasa dari besar tersebut. Akan lebih bervariasi lagi. Misalnya
saat seseorang terbiasa memiliki uang di dalam tabungan rata-rata
selama hidupnya tidak lebih dari Rp. 50 juta, tatkala dia tiba-tiba
mendapatkan uang tak terduga-duga dari seseorang sebesar Rp 50
Milyar, maka ada suasana dan rasa wah, huh, hih, aha, yang mengalir
di dalam dadanya. Suasana dan rasa itu sangat mempengaruhinya
sehingga dia tidak kuat untuk menikmatinya sendiri. Lalu dia akan
berteriak, dia akan histeris, dia akan tertawa, dia akan gemetar, dia
akan menangis tapi sekaligus juga gembira, bahkan dia bisa lari
kesana kemari mengabarkan sebuah suasana dan rasa dari Rp 50
milyar itu.
Sehingga seringkali orang yang mendapatkan sesuatu yang jauh lebih
besar dari apa-apa yang dia punya saat ditanya dengan pertanyaan
yang aneh: Bagaimana rasanya mendapatkan uang sebesar itu ? Dan
jawabannya tentu saja tak kalah anehnya pula. Misalnya: Saya sung-
guh senang, saya tidak bisa ungkapkan dengan kata-kata rasa bahagia
saya yang muncul, dan sebagainya. Walaupun begitu, ungkapannya
itu tidak akan bisa dirasakan oleh si penanya saat itu, apalagi kalau si
penanya saat itu punya uang RP. 500 milyar di dalam tabungannya.
Dan yakinlah bahwa ungkapan rasa bahagianya tadi itu tidak akan
utuh diterima oleh si penanya itu tadi. Sebab sebuah rasa saat ditulis
dalam bentuk huruf, kata, dan kalimat-kalimat tidak akan pernah bisa
mewakili rasa itu sendiri. Rasa itu tidak bisa ditransfer kepada orang
lain hanya dengan kata-kata dan kalimat-kalimat saja (untuk
sementara terima sajalah dulu pernyataan ini).
Dari contoh di atas, kita dapat ambil kesimpulan sementara bahwa
saat orang bergerak dari sebuah ukuran besar ke ukuran besar yang
lebih besar lagi, maka di situ akan ada sebuah proses di dalam dada
kita yang ukurannya bukan lagi besaran besar tapi sudah beralih
besaran suasana dan rasa. Setiap besaran itu ternyata juga ada
1-7
Keterbatasan Ukuran Pikiran Manusia
ukuran suasana dan rasanya.
Orang yang tadinya hanya terbiasa melihat besarnya Monas di Jakarta
dan rasanya pun sudah tidak ada lagi, saat dia dibawa menaiki mena-
ra Eifel di Paris, akan menerima pula besaran rasa menara Eifel buat
seketika yang melebihi besaran rasa Monas. Begitupun selanjutnya,
seseorang yang tadinya hanya melihat besarnya gunung Tangkuban
Perahu saat dibawa mendaki Pegunungan Everest, akan mendapat-
kan rasa yang lebih lagi dari saat dia mendaki gunung Tangkuban
Perahu tadi. Ya, ternyata ada pula rasa puncak Gunung Everest.
Sampai di sini sebuah pertanyaan sederhana, pertanyaan seorang
spiritualis, sudah boleh saya sampaikan kepada kita semua :
Saat kita mengucapkan “Allahu Akbar, Allah Maha Besar”,
lalu suasana dan rasa puncak seperti apa yang muncul
di dalam dada kita masing-masing ?
Sebab besar-Nya Allah adalah besar Yang Maha, maka suasana dan
rasanya juga haruslah suasana dan rasa yang ultimate. Cobalah bedakan
sejenak beda suasana dan rasanya tatkala kita menyebut : “Laut,
gunung, piring, gelas,” dengan menyebut nama, “Allah, Allah, Allah.”
Adakah bedanya ?
Kalau menyebut nama Allah
dengan menyebut nama benda-benda itu tadi tidak ada beda
suasana dan rasanya sedikit pun, barangkali saja memang kita
belum berhasil mendapatkan
suasana dan rasa berketuhanan yang kental
seperti yang dirasakan oleh Rasulullah SAW,
. . . atau paling tidak imbasan dari suasana dan rasa berketuhanan yang
Beliau alami dulu itu saja sebenarnya sudah cukuplah rasanya buat kita
yang bodoh ini. Ya, Rasulullah itu dulu, saat Beliau menyebut nama
1-8
Allah, berhasil mendapatkan realitas suasana dan rasa dari segala apa
yang beliau baca (iqra).
Saat Beliau dituntun oleh Jibril untuk membaca (iqra), bahwa
segala sesuatu di dunia ini ternyata bersandar kepada Allah,
dan Beliau berhasil memahami itu
(atau tepatnya didudukkan oleh Allah sendiri
dalam pemahaman itu),
lalu :
Beliau menyebut nama Allah, ayat-ayat Allah,
tiba-tiba saja ada realitas suasana dan rasa berketuhanan yang amat
sangat kuat mengalir di dalam dada Beliau,
. . . sebab Beliau telah berhasil menjadi penyaksi, syahid, atas realitas
itu tadi. Suasana dan rasa yang muncul itu begitu kuatnya :
• Dada Beliau menggigil, tubuh Beliau gemetar,
• Air mata Beliau tumpah ruah tak terbendung.
Untuk membahasakan suasana dan rasa yang Beliau dapatkan itu,
Beliau lalu dituntun oleh Jibril, sehingga :
. . . bahasa yang lahir dari tuntunan Jibril itu disebut
bahasa Tuhan.
Sebuah bahasa yang hanya bisa ditangkap oleh jiwa murni seorang
manusia. Bahasa itu tidak dikotori sedikitpun oleh persepsi-persepsi
Beliau sebagai seorang manusia.
Hampir selama dua puluh tahunan Beliau memposisikan diri Beliau
sebagai seorang pengiqraa (seorang pembaca sejati dan paripurna).
Beliau selalu mendapatkan kepahaman, sekaligus suasana dan rasa dari
apa-apa yang Beliau Iqra itu.
Catatan: Janganlah kita kecilkan makna Iqraa Beliau itu hanya sebatas
membaca seperti kita membaca sebuah buku. Tidak, Beliau Iqra dengan
1-9
seluruh instrumen yang ada pada diri Beliau. Utuh bacaan Beliau itu.
Kalau makna Iqraa ini kita bonsai hanya menjadi membaca seperti kita
membaca buku, maka buku macam apakah yang dibaca oleh Rasulullah
ketika beliau diperintahkan oleh Malaikat Jibril untuk membaca
pertama kalinya ? Wong belum ada kitabnya.
Yang Beliau baca adalah
segala yang terlihat melalui mata dan
yang terdengar melalui telinga,
Beliau membaca apa saja yang bisa ditangkap :
•••• oleh lidah,
•••• oleh hidung,
•••• oleh kulit,
•••• oleh perut,
•••• oleh kelamin, dan
•••• oleh DADA Beliau.
Lalu Beliau paham, lalu Beliau mendapatkan
suasana dan rasa dari segala sesuatu yang Beliau
baca itu pada saat yang sama.
Jadi ada apa-apa yang Beliau baca itu ada RUANGANNYA yang di dalam-
nya ada kenyataan atau realitasnya, ada suasananya, dan ada pula
rasanya.
Karena Beliau adalah seorang Rasul, maka :
. . . kepahaman, suasana, dan rasa yang Beliau alami
atas segala sesuatu itu
bukanlah hanya untuk Beliau nikmati sendiri.
1-10
Beliau harus sampaikan semuanya itu kepada seluruh umat manusia.
Dan Beliau harus mengaktualisasikan semuanya itu dalam sebuah
kehidupan di dunia ini.
Untuk itu, semua kepahaman, suasana, dan rasa itu tadi haruslah
dituangkan, ditranslasikan ke dalam bentuk bahasa aksara dan suara,
bahasa manusia. Lalu, karena Beliau adalah seorang Arab, maka bahasa
yang paling pas untuk itu adalah aksara dan suara dalam bahasa Arab
pula. Bukan bahasa Indonesia, bukan bahasa Inggris, bukan bahasa
Persia ataupun Romawi. Semua itu gunanya adalah agar orang-orang
yang Beliau da’wahi itu bisa mengerti, paham, dan mendapatkan pula
suasana dan rasa yang telah Beliau dapatkan itu. Nanti kalau ada orang
yang mampu pula mendapatkan kepahaman, suasana dan rasa seperti
yang dialami oleh Rasulullah itu, walau satu ayat sekali pun, maka tiada
lain yang bisa dia katakan bahwa benar Muhammad ini adalah Rasulul-
lah. Ya, kita tinggal syahid, menyampaikan kesaksian kita atas kerasulan
Beliau, Muhammad SAW. Karena apa-apa yang Beliau sampaikan
ternyata semata-mata adalah sesuatu yang benar adanya. Benar ada
kepahaman, benar ada suasana dan rasa dari apa-apa yang Beliau
sampaikan itu.
Untuk proses translasi bahasa kepahaman, bahasa suasana dan rasa
(bahasa QALAM, bahasa KESADARAN) itu tadi menjadi bahasa Arab
tertulis, terjadi dengan dua cara, yaitu :
• Dengan bantuan murni Malaikat Jibril yang nantinya akan
menghasilkan kitab Al Qur’an, dan
• Dengan cara mentranslasikan bahasa itu melalui tindak-tanduk, kata-
kata ataupun ungkapan, akhlak dan perilaku Beliau sendiri yang
semuanya itu nantinya akan menjadi rangkaian Al Hadist.
Keduanya, Al Qur-an dan Al Hadist, inilah yang sampai kepada kita saat
ini sebagai sarana utama bagi kita untuk menilai diri kita sendiri, dan
syukur-syukur kita mau pula untuk menyampaikan seayat atau dua ayat
yang berhasil kita pahami dan kemudian kita dapatkan pula suasana
dan rasanya.
1-11
Sebenarnya banyak orang yang tidak sadar bahwa :
. . . hakikinya Al Qur’an dan Al Hadist itu juga adalah GAMBARAN
atau PROFILE tentang diri kita sendiri. Gambaran tentang
kepahaman, tentang suasana dan rasa yang ada di diri kita sendiri
dalam setiap tahapan kehidupan kita.
Cobalah amati dada dan otak kita untuk sesaat, maka saat itu pastilah
sama dengan bagian-bagian tertentu dari Al Qur’an ataupun Al Hadist :
• Misalnya, tatkala kita shalat, kita berdiri malas-malasan, kita riya, kita
tidak ingat Allah kecuali sedikit sekali, maka suasana dan rasa shalat
seperti itu ternyata ada. Al Qur’an menyatakan bahwa itulah tanda-
tanda atau profile seorang munafik (lihat An Nisaa, 4: 1422
). Tatkala
kita bingung tentang diri kita dan alam semesta ini, hati kita terkunci
untuk memahami dan sekaligus mendapatkan suasana dan realitas
tentang diri kita dan alam semesta ini, maka itulah tanda-tanda orang
yang tercover (kafir), orang yang hatinya keras membatu, orang yang
jahil. Untuk itu Al Qur’an menyebutkan contoh orang-orang tertentu
dengan berbagai variasi kesadaran tertentu pula.
• Misalnya, ada Fir’aun dengan profile sebagai penguasa yang sombong
dan bengis. Ada Abu Lahab, ada Iblis, ada Jin dan sebagainya yang
mewakili profile makhluk Allah yang dekat dengan Murka Allah. Ada
pula Nabi-nabi, Rasul-Rasul, orang-orang shaleh, ada Muhammad
SAW, ada Isa AS, ada Ibrahim AS, ada Adam, dan sebagainya untuk
mewakili profile orang-orang yang dituntun oleh Allah dengan
Rahmat-Nya.
Jadi Al Qur’an itu memuat berbagai informasi, pengetahuan, suasana
dan rasa dari segala kemungkinan yang ada. Ada informasi tentang :
• berbagai Profile Tuhan dan profile segala ciptaan-Nya;
• berbagai kemungkinan profile umat manusia;
• berbagai kepahaman, suasana dan rasa dada umat manusia;
2
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila
mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan
manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.
1-12
• berbagai pengetahuan dasar yang bisa dimiliki oleh umat manusia
untuk keperluan hidupnya;
• berbagai profile kehidupan dan peradaban sejak awal ketiadaan,
kemudian ada, dan kemudian kembali keketiadaan.
Ya, Rasulullah berhasil membaca itu semua, mendapatkan kepahaman-
nya, menerima suasana dan rasanya. Namun begitu :
. . . Beliau tidak larut, tidak terperangkap oleh ke semua rasa dan
suasana itu. Beliau berada DI ATAS semua yang Beliau baca itu.
Lalu Beliau diperintahkan Allah untuk menyampaikan semua itu kepada
seluruh umat manusia agar masing-masing manusia itu bisa memban-
dingkan dadanya, membandingkan otaknya sendiri dengan apa-apa
yang telah diperoleh oleh Rasulullah. Jadi tugas kita sebenarnya sudah
menjadi sangat sederhana sekali, yaitu untuk :
. . . membandingkan profile informasi tentang otak, tangan dan
lidah (peradaban), dan dada kita masing-masing dengan Al Qur’an
dan Al Hadist di setiap saat. Pada posisi profile makhluk yang
macam apa kita masing-masing berada pada suatu saat tertentu.
Apakah pada suatu saat kita berada :
a. Pada posisi profile pertama, yaitu profile :
1) orang yang bodoh, atau
2) orang yang buruk, atau
3) orang yang jahat, atau
4) orang yang durhaka, atau
5) orang yang munafik, atau
6) orang yang angkuh, atau
7) orang yang menjalankan maksiat, atau
8) orang lemah, atau
9) orang yang kafir, dan berbagai profile buruk lainnya,
yang kalau semuanya diringkas menjadi sebuah profile yang disebut
profile FUJUR.
1-13
b. Atau apakah pada suatu saat kita berada pada posisi profile kedua,
yaitu profile :
1) orang yang cerdas (ulul albab),
2) orang yang baik,
3) orang santun,
4) orang yang patuh,
5) orang yang dipercaya,
6) orang yang rendah hati,
7) orang yang memelihara dirinya dari maksiat,
8) orang yang kuat dan gagah,
9) orang beriman,
10) dan berbagai profile baik lainnya,
yang kalau semuanya dirangkum menjadi sebuah profile yang
disebut profile TAQWA.
Kesalahan umum kita umat Islam ini adalah :
. . . saat kita membaca barang seayat dua ayat Al Qur'an, maka
selalu saja mengarahkan ayat tersebut kepada orang lain. Ayat itu
bukannya kita bandingkan dengan profil diri kita sendiri.
Ya, Al Qur'an itu tidak kita bandingkan dengan profil dan suasana :
• dada kita,
• dengan otak kita,
• dengan tangan kita,
• dengan perkataan dan perbuatan kita sendiri.
Kita hampir selalu saja beranggapan bahwa :
. . . ajakan Al Qur'an untuk berbuat baik maupun
meninggalkan keburukan
adalah untuk orang lain.
Sebab kita sendiri merasa sudah sangat baik, sudah sesuai dengan
ayat yang kita sampaikan itu. Sedangkan orang lain belum.
1-14
Makanya orang lain yang kita tuju untuk kita ajak agar mereka mau
berbuat baik dan meninggalkan keburukan itu, bukannya diri kita
sendiri. Duh betapa sombongnya kita ini ya.
Padahal Allah sangat tidak suka, atau tepatnya sangat murka, dengan
kita yang berani-beraninya mengatakan kepada orang lain tentang
suatu kebaikan padahal kita sendiri belum berada dalam suasana dan
rasa ayat tentang ayat kebaikan itu.
Mari kita lanjut. Nah, profile Fujur ataupun Taqwa itu, di samping ada
bahasanya, ada pula suasana dan rasanya masing-masing. Dan pada
posisi profile yang manapun kita berada, maka saat itu pastilah kita
sama dengan Al Qur'an. Kita tengah menjalankan Al Qur'an juga
namanya. Tidak bisa tidak. Tapi pada FUJUR dan TAQWA itu berada
pada sisi yang saling bertolak belakang satu sama lainnya. Tegasnya,
orang kafir juga tengah sesuai atau menjalankan Al Qur'an sama baik
dan sempurnanya dengan orang yang beriman. Tapi dua-duanya sangat
berbeda dalam hal suasana dan rasanya. Sebab suasana dan rasa kafir
sangatlah berbeda dengan suasana dan rasa iman. Berbeda seperti
berbedanya siang dan malam, seperti berbedanya hidup dan mati,
seperti berbedanya air dan api, seperti berbedanya positif dan negatif.
Walaupun begitu, dua-duanya akan selalu ada sebagai pertanda bahwa
kita masih hidup di dunia ini. Dunia di mana segala sesuatunya berada
dalam suasana berpasang-pasangan. Terpolarisasi.
Cuma saja di tengah-tengah polaritas hidup yang aneh itu,
Muhammad SAW berhasil menemukan resep yang jitu agar
kita bisa ke luar saat mana kita di suatu saat terdorong
menuju polaritas FUJUR,
yang suasananya bisa dirasakan oleh dada kita berupa sempitnya
dada kita dan rasanya juga tidak enak. Beliau telah mewariskan
jalan ke luar itu bagi seluruh umat manusia. Jalan ke luar itu adalah
agar kita segera berlari ke sisi Allah,
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun”.
1-15
Namun, adakalanya pula makna Inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun ini
tidak kurang-kurangnya pula di antara kita ini ada yang mencoba me-
mahaminya dengan cara yang sulit-sulit atau lebih tepatnya dipersulit-
sulit sendiri. Sehingga ada yang mempersepsikannya seperti :
• kita ke luar masuk tubuh,
• kita tamasya rohani ke sana ke mari,
• kita berusaha meraga sukma,
• dan sebagainya.
Rame sekali. Padahal sebenarnya cukup bersikap :
• Aku tak mau merampas kehidupan-Nya
• Biarlah aku berserah untuk tiada
• Berada dalam diam dalam tiada
• Diam, diam, diam.
Ya,
selalulah berserah untuk menjadi tiada.
Dan biarkanlah Dia Sendiri yang menyatakan keberadaan-Nya,
Kehidupan-Nya, Kesibukan-Nya, Karep-Nya.
Sehingga akhirnya kita didudukan-Nya di posisi :
Al Anfal (8 : 17)
…dan bukanlah engkau yang membunuh mereka, tetapi Allahlah yang
membunuh mereka. Dan tiadalah engkau yang melempar ketika engkau
melempar, melainkan Allah-lah yang melempar.
Untuk melatih suasana dalam ayat yang sangat sederhana tapi sangat
dalam ini tiada lain adalah :
Selalulah lari ke Allah, meringkuklah segera di sisi-Nya.
Karena memang rumah kita yang hakiki adalah di sisi
Allah. Sebab kita ini memang berasal dari-Nya, dan
kepadanya jugalah memang kita ini seharusnya
kembali. Tidak kepada yang lain.
Cara
Melatih
1-16
Dan untuk mendapatkan suasana itupun sangat sederhana sekali, yaitu :
Shalatlah dengan khusyu !
Bahkan Nabi telah mengeluarkan pernyataan Beliau yang sangat
gamblang tentang shalat ini : “Ash shalatu mi’rajul mukminin”, Shalat
itu adalah mi’rajnya orang beriman.
Jadi saat shalat itu sebenarnya kita tengah merasakan suasana kede-
katan dengan Allah, berada di hadapan Wajah Allah, berbicara dengan
Allah. Dan, dengan sangat mengherankan sekali, seketika itu pula kita
akan dituntun-Nya untuk ke luar dari suasana dan rasa polaritas FUJUR
yang garing dan tidak enak.
Nah, orang yang ke luar atau tepatnya dikeluarkan oleh Allah dari
suasana dan rasa polaritas FUJUR itu akibat dari larinya dia ke Allah saat
mendapatkan suasana dan rasa Fujur itu, maka dengan seketika itu pula
dia akan merasakan suasana dan rasa polaritas TAQWA. Tidak bisa
tidak. Karena memang dalam kehidupan kita ini hanya ada dua sisi
suasana yang akan kita dapatkan, yaitu :
• Suasana dan rasa Taqwa di satu sisi, atau
• Suasana dan rasa Fujur di sisi yang lainnya.
Dalam kesempatan lain nanti, kita akan bahas pula tentang apa yang
harus kita lakukan saat kita sudah mendapatkan realitas suasana dan
rasa pulang ke rumah kita yang hakiki, yaitu di sisi Tuhan. Insyaallah.
Nah sekarang mari kita masuk dulu ke bagian lain untuk menjawab
pertanyaan di atas, yang kelihatannya cukup sederhana, tapi ternyata
membutuhkan jawaban yang alangkah sulitnya untuk dituliskan, yaitu
tentang bisakah kita berbicara dengan Allah ?
Begitu kita membaca kata berbicara, maka hampir dengan seketika itu
pula asosiasi kita akan beralih kepada cara berbicara kita diantara
sesama manusia. Di mana kalau manusia saling berbicara, maka ada
mulut, ada lidah, ada gigi geligi, ada aliran udara. Semua alat itu tadi
kita saling gerakkan dengan cara–cara tertentu sehingga menghasilkan
1-17
bunyi atau suara yang bisa kita tangkap dengan telinga kita. Setiap
suara atau bunyi akan bisa mewakili sebuah suasana atau rasa yang
sedang kita saling bicarakan dengan lawan berbicara kita.
Kalau berbicara seperti ini yang dimaksudkan dengan pertanyaan di
atas, maka saya berlindung kepada Allah dari pemahaman untuk
menyamakan cara berbicara Tuhan dengan cara berbicaranya manusia.
Saya dengan sangat rendah hati akan menyatakan bahwa :
Allah tidak mungkinlah berbicara dengan manusia
yang notabene adalah ciptaan-Nya
dengan memakai bahasa artikulasi manusia itu sendiri.
Sebab Dia adalah Sang Laisa kamistlihi syai’un. Dzat yang tidak akan
pernah sama dengan ciptaan-Nya tentang apapun juga.
Kalau rambu laisa kamistlihi syai’un ini tidak kita pakai, maka kita kem-
bali akan digiring kepada asosiasi tentang Tuhan yang sedang berbicara
kepada kita seperti yang sering kita lihat di film-film, terutama film
India, dan film-film Cina atau Indonesia yang berbicara tentang dewa-
dewi dari kahyangan. Misalnya, di saat kita butuh pertolongan, tiba-tiba
saja ada suara yang memberitahu kita jalan ke luar dari permasalahan
kita. Saat kita cari siapa yang berbicara itu, maka wujud yang berbicara
itu dibuat menjadi tidak ada. Lalu dikaranglah bahwa yang berbicara itu
tadi adalah Tuhan, atau Dewa-Dewi, atau Yesus, atau Budha, dan
sebagainya. Masak sih umat Islam akan memakai konsep seperti itu
pula ? Lalu bagaimana konsep Islam dalam memahami cara berbicara
Allah dengan manusia ? Dan bagaimana pula cara berbicara manusia
dengan Allah ?
Untuk itu kita ambil dulu beberapa ayat yang berbicara tentang itu.
Al ‘Alaq (96 : 4)
“Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan QALAM.”
1-18
Al ‘Alaq (96 : 5)
“Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Asy Syuura (42 : 51)
“Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata
dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir
atau dengan mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya
dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha
Tinggi lagi Maha Bijaksana.”
Al-Baqarah (2 : 253)
“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang
lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata dan sebagiannya
Allah meninggikannya beberapa derajat.”
An-Nisa' (4 : 164)
“Dan rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka
kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang
mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan
langsung.”
Luqman (31 : 12)
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu,
‘Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur, maka
sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang
tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji.’”
Al Baqarah (2 : 186)
“Ujiibu da’watad da’I idza da’aani, Aku menjawab panggilan orang
yang memanggil apabila ia memanggil-manggil-Ku.”
Cukup sebegini dulu ayat-ayat yang akan menjadi landasan berfikir kita.
Saya akan mulai dengan sebuah pertanyaan sederhana : Saat kita dalam
1-19
shalat mengucapkan kalimat do’a “Rabbighfirli, ya Allah ampuni saya",
kira-kira jawaban Allah seperti apa ya ? Masak sih Allah nggak men-
jawabnya. Kalau Allah tidak menjawabnya, tidak meresponnya, maka
ayat 186 surat Al Baqarah di atas boleh tidak untuk kita coret saja ?
Padahal kita menyampaikan do’a kita itu kepada Dzat Yang Hidup, Allah.
Bukan kebatu, bukan ke benda mati.
Kalau kita tidak berhasil membaca, IQRA, jawaban dari Allah tentang
apa-apa yang kita bicarakan dengan Allah, maka boleh jadi kita ini
memang tengah duduk terpuruk sebagai anggota dari golongan orang
yang buta, orang yang tuli. Maksud buta dan tuli di sini bukanlah buta
mata dan tuli telinga kita, tapi hati kitalah yang telah buta dan tuli.
Sehingga kita tidak bisa lagi melihat dan mendengarkan Tuhan berbi-
cara menyambut dan mengabulkan do’a kita tadi. Itu baru satu do’a.
Lalu bagaimana dengan do’a-do’a yang lainnya, seperti “warhamni,
wajburni, warfa’ni, warzukni, wahdini, wa’aafini, wa’fu’anni”, begitu
juga dengan do’a sapu jagad “Rabbana atina fiddunya hasanah wafil
akhirati hasanah”, kira-kira jawaban Allah bagaimana pula agaknya ?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti ini, marilah
kita bongkar dulu frame berfikir kita yang sudah karatan berada di
dalam otak kita.
Allah menyatakan bahwa Aku menurut persangkaan hamba-hamba-Ku,
ana ‘inda zhanni abdi. Oleh sebab itu, marilah kita sejenak membuat
persangkaan-persangkaan baru kepada Allah. Kita ubah persangkaan
kita kepada Allah yang selama ini sudah berkarat di otak kita. Misalnya :
a. Bahwa Allah tidak akan pernah lagi berbicara dengan kita umat
manusia biasa ini, bukan Rasul, bukan Nabi.
b. Bahwa Allah telah selesai bekerja. Setelah menciptakan blue print
kehidupan seluruh alam semesta ciptaan-Nya (sunatullah),
1) Dia sudah tinggal istirahat saja di ‘Arasy memperhatikan seluruh
ciptaan-Nya berjalan sesuai dengan sunatullah itu.
2) Dia kemudian tinggal duduk saja, bersemayam saja di ‘Arasy.
1-20
Lalu persepsi kita melayang-layang liar untuk menyamakan duduk-Nya
Allah di ‘Arasy itu seperti duduknya raja diraja yang sangat berkuasa.
Apa-apa tinggal Dia perintahkan para Malaikat-Nya untuk mengerja-
kannya :
• Untuk menurunkan hujan tingggal Dia perintahkan malaikat.
• Untuk mencabut nyawa tinggal Dia perintahkan malaikat.
• Untuk mencatat perbuatan baik dan buruk kita tinggal dia
perintahkan malaikat, dan sebagainya.
Marilah kita berprasangka baru kepada Allah, atau syukur-syukur ini
bisa menjadi sebuah keyakinan (iman) kita yang baru kepada-Nya.
Dasar-dasarnya juga Al Qur'an kok. Yaitu, bahwa sebenarnya Allah
sangatlah SIBUK:
Ar Rahmaan (55 : 29)
“Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya.
Setiap waktu Dia dalam kesibukan.”
Al Baqarah (2 : 255)
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang
Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak
mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di
bumi. Tiada yang dapat memberi syafa`at di sisi Allah tanpa izin-Nya.
Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang
mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melain-
kan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi.
Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar.”
Untuk memahami kemahasibukan Allah ini, maka prasangka kita
terhadap Wujud Allah juga haruslah kita ubah. Allah yang tadinya kita
sangka duduk manis di ‘Arasy mari kita ubah sejenak menjadi sebuah
kesadaran baru bahwa:
1-21
Al Fushilat (41 : 54), An Nissa’ (4 : 126)
“Dia Maha MELIPUTI segala sesuatu.”
Ya, Dia Maha Meliputi segala sesuatu, Dzat-Nya Maha Meliputi segala
sesuatu, Wujud-Nya Maha Meliputi segala sesuatu. Allah Maha Meliputi
segala sesuatu.
Ratusan tahun sejak wafatnya Rasulullah, ayat ini seperti terlupakan
oleh umat Islam. Setiap kita bertemu dengan ayat ini, maka :
. . . selalu saja pikiran kita dibawa kepada pemahaman bahwa
yang maha meliputi segala sesuatu itu :
• adalah sifat-Nya,
• adalah kekuasaan-Nya,
• adalah keperkasaan-Nya,
• adalah pengetahuan-Nya.
Selalu saja begitu !
Kita seperti orang yang mengalami trauma berat saat berhadapan
dengan ayat ini gara-gara ada sejarah tentang Al Halaj dan Syech Siti
Jenar. Akibatnya kita seperti umat yang jauh sekali dengan Tuhan, kita
seperti tidak punya tempat bergantung lagi sudah berbilang zaman. Kita
tidak punya alamat untuk berpegang teguh lagi di dalam keseharian
hidup kita. Kita seperti tidak punya tempat bersandar lagi dalam setiap
aktivitas kita. Padahal Allah menyatakan dengan tegas bahwa:
Al Hajj (22 : 78)
“Wa’tashimuu billah, berpegang teguhlah kepada Allah.”
Sehingga :
. . . kita sudah tidak bisa lagi memahami :
• bagaimana dekatnya Allah dengan kita,
• bagaimana Allah lebih dekat dari urat leher kita,
1-22
• bagaimana memahami wajah Allah yang tidak di barat dan tidak
di timur, ke mana saja kita menghadap maka di sana ada Wajah
Allah.
Mengurai Belenggu Fikiran
Buat sejenak jangan buat dulu pembatasan pola berfikir kita bahwa
Bercakap-cakap dengan Allah SWT itu hanya dilakukan oleh para nabi,
itupun tidak semua nabi. Hanya nabi tertentu yang disebutkan berca-
kap-cakap dengan Allah. Pembatasan seperti ini buang dululah sejenak.
Dasar ayat untuk menafikan kalimat di atas adalah ayat-ayat yang saya
kutipkan di atas. Coretlah dulu kalimat itu dengan tinta merah, sebentar
saja. Dan kalau nanti mau dipakai kembali ya silahkan saja.
Cara untuk membuang kalimat itu dari ingatan kita juga sederhana
saja :
a. Lihat dan amatilah sebatang pohon. Artinya alihkanlah kesadaran
kita kepada sebatang pohon. Amatilah batangnya, rantingnya, daun-
nya, buahnya. Kesadaran kita seperti mengalir begitu saja melalui
bagian-bagian pohon tersebut. Lakukanlah pengamatan terhadap
pohon itu secara berulang-ulang agak beberapa lama. Dan dengan
sangat mengejutkan kita sudah tidak ingat lagi dengan kalimat pem-
batasan pola berfikir seperti di atas.
b. Tahap berikutnya cobalah tubuh kita ini dirilekskan saja. Otak kita
rilek, mata kita rileks, dada kita rileks. Artinya tidak ada ketegangan
otot di tubuh, di kepala, di dada, di mata, dan di kening diantara
kedua mata kita. Contoh keadaan rileks yang sempurna adalah se-
perti sikap yang dilakukan oleh anak kecil, terutama bagi anak-anak
yang berusia antara 0 sampai dengan 2 atau 3 tahun. Tirulah rileks
mereka itu. Rileks sekali.
Begitu kita bisa bersikap rileks ini, maka hampir secara otomatis kita
akan terbebas dari kungkungan persepsi ketubuhan kita. Kita seperti
bisa melampaui tubuh kita. Kita akan merasakan bahwa kita tidak
1-23
lagi bentuk wujud yang hanya sekedar dibatasi oleh jaringan kulit
dan otot saja. Kita bisa begitu bebasnya bergerak seperti bebasnya
angin, Rih bergerak. Karena kita ini hakekatnya memang adalah Ar
Ruh, Sang Angin, Sang Sir. Saat kita mengamati dada dan otak kita,
maka keduanya akan terasa bergerak meluas tak terbatas. Lepas tak
terbatas menuju ruang tanpa batas. Seperti bergerak dan mengem-
bangnya alam semesta ini secara terus menerus dan tanpa henti.
Ya, kita akan mengamati sebatang pohon dan juga diri kita sendiri
dalam suasana hati dan pikiran yang rileks. Kita akan masuk ke suasana
ruangan otak dan dada kita yang besarannya menjadi begitu luas dan
tak terbatas.
Kemudian sadarilah, oo, ternyata aku ini adalah Sang Angin, Sang Sir.
Wujud yang sebenarnya tidak bisa dibatasi oleh apapun juga. Akulah
Sang Angin yang bebas bergerak. Sang Angin tidak terpengaruh
sedikitpun dengan apa-apa yang dia amati. Karena Sang angin selalu
bergerak bebas, maka apa-apa yang dia jumpai, apa-apa yang dia
lewati, sudah tidak jadi pusat perhatiannya lagi. Saat dia melihat benda
apapun juga, semua itu dia lewati saja sambil lalu.
Sang Angin seperti berkata pada dirinya sendiri:
• “Laa, Laa, Laa ilaha.
• Aku akan lewati semuanya,
• Aku menganggap tidak penting lagi semua yang ku lalui ini,
• Aku akan nafikan apa-apa yang datang dan pergi,
• Aku tegaskan bahwa semua warna dan rupa hakikinya adalah tiada,
• Aku sedang menuju Wujud Hakiki tempat ku bergantung dan ber-
sandar.”
Saat semua bentuk, rupa dan warna sudah tiada, Sang Angin pun
menemukan :
• Wujud Sang Ada,
• Wujud tanpa rupa, tanpa warna. Kosong !
• Wujud yang meliputi segala apapun juga,
• Wujud yang menyelimuti segala sesuatu.
1-24
Sang Angin pun merunduk, bersimpuh, merendah di dalam liputan
kekosongan itu. Liputan Sang Ada …! Sang Muhith. Lalu Sang Angin
menegaskan pada Sang Ada, “Illallah, Illallah, Illallah, yang ada hanyalah
Engkau, Tuhanku, Allah, Allah, Allah. Laa ilaha illallah !”
Lalu Sang Anginpun tenteram duduk bersimpuh di rumahnya sendiri. Di
Rumah Angin, Sang Ada, Sang Muhith,
Sang Angin pun menyampaikan sembah kepada Sang Ada : “Laa ilaha
illallah…! Tidak ada apa-apa kecuali hanya Engkau Wahai Sang Muhith,
Wahai Sang Ada.”
Sang Angin kemudian mengerti bahwa Sang Muhith adalah Dzat :
• Sang Penghidupan.
• Sang Penggerak tumbuh hidup.
Lalu Sang Anginpun bersedia untuk tiada, bersedia untuk tiada dan
diam. Tiada, diam.
Berbicara Dengan Allah tentang Alam
Kalau kita sudah paham posisi duduk kita di hadapan Allah, dan paham
pula bahwa segala sesuatunya bersandar kepada Dzat Sang Penghi-
dupan, Sang Penggerak tumbuh hidup, Dzat Yang setiap waktu selalu
dalam kesibukan mengatur semua ciptaan-Nya, maka berbicara dengan
Allah adalah sebuah kegiatan yang niscaya saja sebenarnya.
Mari kita coba sejenak :
a. Pertama, kita ingin berbicara dengan Allah tentang apa yang terjadi
dengan 4 batang pohon tomat yang kita tanam dalam 4 pot yang
berbeda. Kalau bisa keempat batang pohon itu yang hampir sama
umur dan karakteristiknya. Taruhlah keempat pot pohon tomat itu
berdampingan di hadapan kita. Siapkan pula pupuk tanaman
secukupnya. Ambillah buku catatan, ballpoint, meteran, kalau perlu
kamera. Siap-siaplah, kita akan menjadi seorang penyaksi akan
kebenaran ayat berikut ini:
1-25
Ali Imran (3 : 190-191)
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi Ulul albab
(orang yang berakal), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri, atau sambil duduk atau dalam keadaan berbaring
dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata) Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka."
b. Selanjutnya, pandanglah Sang Muhith. Kalau kita sampai tidak sadar
dan tidak mampu memadang Wujud Sang Muhith INI, maka kita
namanya adalah orang yang kafir, covered, orang tertutup akan
keberadaan Wujud-Nya, Yang Nyata, Yang Ada.
Saat kita memandang Sang Muhith, kapan perlu, dan (lets me tell
you) memang ini sangatlah perlu, pujilah Dia dengan sangat rendah
hati, “Subhanaka, Subhanaka, Subhanaka !” Tiga kali saja pujian
seperti ini kepada-Nya, akan sanggup merontokkan keangkuhan dan
kekerasan hati kita yang seberapapun kuatnya. Karena dengan
pujian itu berarti saat itu juga kita telah menyerah segala kesucian,
segala kehebatan, segala keangkuhan yang mungkin saja bersarang
di sudut-sudut dada kita kepada Sang Muhith, Sang Pemilik
kesucian, kengakuhan, kehebatan yang sebenarnya.
Karena kita memuji kepada Allah, Sang Maha Hidup, bukan kepada
batu atau benda mati, maka Jawaban Allah terhadap pujian kita ini
pastilah ada. Dia mendudukkan kita dalam posisi sikap pemujaan
kepada-Nya. Sikap pemujaan bukanlah dalam bentuk kata-kata
seperti puji-pujian, akan tetapi dalam bentuk laku dan karsa. Seperti
apa ? Ya, alami sajalah sendiri ! Derr.
c. Lalu pandanglah keempat pohon tomat di dalam pot yang ada di
depan kita. Ada tidak kesadaran kita muncul dengan pekat bahwa
ternyata pohon tomat itu hanya sekedar bersandar saja kepada
1-26
liputan Sang Muhith tanpa daya tanpa upaya. Kesadaran itu bukan
hanya dalam bentuk keilmuan lagi, tapi lebih dalam bentuk suasana
dan rasa. Ada ruangannya untuk kesadaran itu. Amatilah sampai
ketemu posisi duduk kita yang tepat dalam memandang pohon
tomat itu yang diliputi Sang Muhith.
d. Kalau sudah ketemu duduknya, maka amatilah tangan kita agak
sejenak dua jenak. Sadari pulalah bahwa ternyata tangan kita, tubuh
kita, dan penglihatan kita juga ternyata berada dalam liputan Sang
Muhith. Sebab tidak ada suatu apapun yang bisa luput dari liputan
Sang Muhith. Derr !
Sekarang nyatakanlah bahwa saya akan menjadi wakil Tuhan untuk
memanfa’atkan tangan saya ini dalam aktivitas yang akan saya
lakukan ini. “Bismillah, atas nama Sang Muhith, saya melakukan
aktivitas ini.”
Lalu mulailah berbicara dengan Sang Muhith:
• “Ya Allah, apa yang terjadi ya Allah,
• Kalau tomat di pot yang bertama ini tidak saya apa-apakan,
• Sedangkan pot yang kedua saya kasih pupuk sebanyak 2 mg,
• Tomat di pot ketiga saya kasih pupuk satu sendok teh, dan
• Pot yang keempat saya kasih pupuk 10 sendok makan ?”
Ukurlah tinggi batang tomat itu masing-masing, begitu juga lingkaran
batangnya, besar daunnya. Catatlah apa-apa yang terlihat. Lalu dengar-
kanlah dan lihatlah bagaimana jawaban Allah atas pertanyaan kita tadi
itu. Jawaban Allah begitu pasti, tidak pernah keliru, tidak pernah
meleset, begitu jelas.
Hari pertama, catatlah semua yang terjadi. Hari kedua dan hari-hari
berikutnya juga begitu. Catatlah semua perubahan yang terjadi. Misal-
nya, ukuran dan tinggi batangnya menjadi seperti apa, daun dan buah
di masing-masing pot menjadi seperti apa. Sampai kita temukan jawab-
an yang sangat jelas atas pertanyaan kita di atas atas perbedaan
1-27
perlakuan pemupukan kita terhadap ketiga batang tomat itu. Jawaban
Allah itu begitu jelas.
Nah,
. . . seperti itulah salah satu cara Tuhan berbicara dengan kita.
Bahasa Tuhan itu begitu jelas. Bahasa yang bisa dipahami oleh
seluruh umat manusia. Bahasa yang bukan berupa
rangkaian kata-kata, huruf-huruf, dan kalimat-kalimat.
Ya, bahasa yang bukan aksara dan bukan pula bunyi. Sekarang terserah
kita saja mau membahasakannya. Mau mau dibahasakan ke dalam
bahasa Indonesia hayo, ke dalam bahasa Arab juga boleh, terserah kita.
Karena di awal aktivitas kita sudah berada di dalam sebuah kesadaran
bahwa pohon tomat itu hanyalah bersandar kepada Sang Muhith, dan
setiap perubahan yang terjadi terhadap batang tomat itu juga adalah
karena adanya daya dan gerak hidup dari Sang Muhith, maka dengan
mudah sekali kita akan bisa mentranslasi (menerjermahkan) jawaban
Tuhan itu ke dalam segala bahasa. Misalnya translasi yang sangat
sederhana seperti berikut ini:
“Hai Deka, kau perhatikanlah batang yang di pot kedua itu.
Kualirkan daya hidup-Ku melalui batang itu. Lihatlah, Tinggi dan
lingkaran batangnya Kujadikan sekian centi meter, daunnya Ku-
hijaukan, buahnya Kulebihkan dari batang yang tidak diberi pupuk
di pot yang pertama. Lalu perhatikan pulalah apa yang Kulakukan
terhadap batang tomat yang ada di pot ketiga. Betapa batang daun
dan buahnya Ku buat lebih baik lagi dari batang yang ada pot yang
pertama dan pot yang kedua. Kau laihat pula itu, batang yang ada
di pot keempat, batang daun, dan buahnya tidak bisa tumbuh lagi
dengan baik, karena kau telah memberikan pupuk terlalu berlebihan
ke dalam pot yang keempat itu. Tidakkah Aku ini Maha Mengatur
semua ciptaan-Ku ? Bukankah Aku ini Maha Hebat ? Tidakkah
semua yang Kulakukan itu sangat bermanfaat bagimu, sehingga
1-28
engkau bisa mendapatkan hasil yang optimum dari sebuah aktivitas
pertanian tomat ?”
Translasi-translasi seperti ini sangatlah pribadi sekali sifatnya. Dan
jawaban-jawaban Allah atas pertanyaan kita juga akan berkembang se-
demikian rupa di setiap saat. Hari ini kita mungkin kita baru bisa
mengerti jawaban Allah tentang batang, daun dan buah. Pada masa
mendatang, kalau kita tetap telaten bereksperiment, maka jawaban
Allah juga akan semakin detail. Sampai kita bisa mengerti tentang ilmu
genetika tomat, dan sebagainya.
Jawaban Allah pastilah selalu tersedia, dan baru pula. Karena
memang ilmu Allah tidak akan pernah habis-habisnya untuk
dicurahkan-Nya kepada kita semua, terutama untuk kita yang mau
dan bersedia membaca bahasa Tuhan di setiap sudut yang terlihat.
Sehingga tiada lain yang bisa kita ucapkan kepada Sang Muhith : “Tia-
dalah semua itu Engkau ciptakan dengan sia-sia, Maha Suci Engkau,
Peliharalah kami dari siksa dan nestapa apapun juga atas apa-apa yang
kami dapatkan hari ini !”
Jadi :
. . . bagi orang yang beriman,
setiap aktivitasnya akan disandarkannya
kepada Sang Muhith.
Ada aktivitas Allahnya di awal, di tengah, dan di akhir setiap proses
yang dilakukannya.
Sebab tiada suatu peristiwapun yang luput dari aktivitas Allah. Dengan
begini, maka ayat 190-191 surat Ali Imran itu sudah menjadi keseharian
kita saja. Kita tidak perlu lagi membuat ayat-ayat baru untuk menan-
dingi ayat ini. Karena ayat ini merupakan sebuah bahasa Tuhan yang
sangat esensial (mendasar) yang berhasil ditranslasikan menjadi bahasa
manusia (bahasa Arab) oleh manusia paripurna, Muhammad SAW.
1-29
Kalau kita coba-coba untuk menyatakan bahwa Tuhan berkata kepada-
Ku : “Hai Deka", dan seterusnya, seperti di atas, menjadi sebuah ayat
baru. Khan ayatnya akan menjadi aneh bagi kebanyakan orang.
Cukuplah translasi bahasa Tuhan itu hanya buat kita sendiri saja. Itu
untuk menyadarkan kita bahwa ternyata kita memang punya Tuhan
yang sangat aktif mengajari kita
terhadap apa-apa yang belum kita ketahui.
Dan kita sangat bisa berbicara dengan Tuhan dengan cara seperti ini
untuk berbagai hal yang ada di sekeliling kita. Tanpa batas. Jawaban
Tuhanpun akan tanpa batas pula.
Jawaban Tuhan adalah segala ilmu yang telah berhasil, sedang, dan
yang akan dibaca oleh seluruh umat manusia di segala penjuru
dunia. Karena ilmu Tuhan memang tidak akan pernah obsolet. Ilmu
Allah akan selalu baru, up to date sepanjang masa.
Cuma saja, bagi bagi orang yang tercover, kafir, dia tidak mampu
menyandarkan segala aktivitasnya kepada kesibukan Sang Muhith. Ya,
dia tidak sadar sedikitpun realitas Sang Muhith, walau dia sendiri tahu
dan hafal bahwa ada Tuhan yang mengatur segala sesuatunya di dunia
ini. Dia hanya akan melihat batang-batang tomat itu tumbuh dan
bergerak dengan sendirinya. Dan setiap perbedaan pertumbuhan ba-
tang tomat itupun dia yakini hanyalah akibat dari pengaruh perbedaan
pemupukan semata-mata. Tidak lebih.
Berbicara dengan Allah tentang Diri Kita
Tentang diri kita sendiripun Allah ternyata punya bahasa yang sangat
jelas untuk bisa kita baca dan pahami. Sebelumnya, marilah kita lihat
dulu jargon-jargon umum yang sangat kental kita ucapkan dalam
kehidupan kita sehari-hari:
1-30
• Saat kita berbicara tentang sesuatu, atau melakukan perbuatan
tertentu, kita sering mengatakan: Segala yang baik adalah dari Allah,
dan yang buruk adalah dari dari kebodohan kita sendiri ?
• Saat kita ditimpa suatu musibah atau disinggahi hal-hal yang tidak
mengenakkan, kita sering berkata: Saya pasrah saja kepada Allah, ini
sudah merupakan kehendak Allah, kata kita mantap sekali (walau
sebenarnya kalimat itu lebih cocok untuk menghibur-hibur diri kita
sendiri karena saat itu kita merasa sudah tidak berdaya sama sekali).
Namun anehnya, begitu musibah itu sudah tidak kita rasakan lagi,
dan kita kemudian mendapatkan hal-hal yang mengembirakan, dapat
durian runtuh, maka kita biasanya lupa. Kita lebih banyak mengaku
bahwa: Semua itu adalah hasil usaha kita sendiri. Walaupun kita
sempat menyebutkan bahwa keberhasilan kita itu adalah atas
anugerah Tuhan juga, akan tetapi ungkapan kita itu lebih banyak
hanya karena basa-basi saja. Biar kita dianggap sebagai orang yang
beragama dan shaleh pula. Lebih mengarah ke jaim saja sebenarnya.
Dari dua hal ini sajalah dulu kita memahami tentang bagaimana cara
Allah berbicara dengan kita.
Untuk itu, marilah kita kembali menjadi Sang Angin, Sang Sir, Ar Ruh.
Dan marilah kita kembali menuju ke rumah kita, Rumah Angin, Sang
Muhith. Sebuah Ruangan yang di sana tidak boleh ada sesuatu wujud
dan rupa apapun juga selain Wujud dan Rupa Sang Muhith. Lalu
menghadaplah kepada Wujud Sang Muhith dan tegaskanlah:
• “Laa Ilaha illallah, tiada lagi wujud yang ada kecuali hanya Wujud
Engkau Wahai Allah, Sang Muhith.”
• “Laa Ilaha illallah”, dan diamlah sejenak di rumah kita yang hakiki ini.
Dari rumah kita ini, Rumah Angin, marilah kita kembali turun ke bumi.
Turun kembali ke tanah. Kita turun untuk mengamati bagaimana Sang
Muhith sangat sibuk mengatur saripati tanah yang sudah diemplek-
emplek-Nya menjadi sebuah bentuk yang sangat sempurna, diri
manusia :
1-31
• Pertama, marilah kita lihat dua bulatan kecil yang di dalamnya ada
lensa dan retina. Ya, mata…!
• Pandanglah Sang Muhith. Lihatlah bagaimana Dia meliputi mata itu
dengan pasti. Lalu cobalah tanyakan kepada Sang Muhith: apa yang
bisa kulakukan dengan dua bulatan kecil itu wahai Tuhanku ?
• Untuk mendengar jawaban Sang Muhith atas pertanyaan kita itu.
Cobalah sejenak lewati kedua bulatan kecil itu dengan penglihatan
kita. Arahkanlah penglihatan kita melewati kedua lensa mata itu
menuju alam yang ada di sekitar kita.
• Dan ternyata jawaban Sang Muhith kepada kita begitu pasti dan jelas.
Tidak perlu kata-kata dan kalimat lagi untuk menjelaskannya. Dia
menjelaskan apa yang kita tanyakan itu melalui jawaban-Nya yang
pasti, yaitu Jawaban Penglihatan. Sebuah jawaban yang bisa
ditangkap oleh seluruh umat manusia
• Sekarang terserah kita saja untuk mentranslasikan bahasa pengli-
hatan itu menjadi bahasa manusia berupa Bahasa yang ada bentuk-
nya, ada rupanya, dan ada warnanya.
• Untuk selanjutnya Sang Angin pun tinggal ikut saja mengalir bersama
aliran rasa melihat itu menuju apa saja yang bisa terlihat dengan
lensa mata ataupun dengan lensa-lensa bantuan lainnya seperti
mikroskop dan teleskop. Dan di setiap aliran rasa melihat itu, Sang
Muhith selalu berbicara dengan Sang Angin melalui bahasa-Nya yang
sangat jelas sekali. BAHASA RASA MELIHAT, dan bahasa itupun hanya
bisa ditangkap Sang Angin melalui lensa mata, bukan dengan mulut,
bukan dengan telinga, dan bukan pula dengan lidah dan kulit.
• Dari satu rasa melihat Sang Anginpun bergerak dan berenang menuju
rasa melihat lainnya yang nyaris tanpa batas. Dan semuanya itu
terjadi tepat di dalam liputan Sang Muhith.
• Di sini pulalah tempat Tuhan berkata-kata dengan kita dalam bahasa
rasa melihat untuk mengajari kita tentang apa-apa yang belum kita
ketahui. Seperti juga yang telah dialami oleh Qabil ketika dia diajari
oleh Allah tentang bagaimana caranya menguburkan mayat
saudaranya Habil melalui seekor burung gagak:
1-32
Yang Tercover dari Bahasa Tabir
Betapa kita ini sebenarnya hampir semuanya punya mata dan punya
telinga. Akan tetapi seringkali pula dengan mata dan telinga kita itu kita
tidak berhasil membaca bahasa Tuhan dengan telaten dan bersungguh-
sungguh. Sehingga apa-apa bahasa Tuhan yang mengaliri kedua mata
dan telinga kita itu tidak berhasil membuat kita tercerahkan. Tidak ada
ilmu yang kita dapatkan. Tidak ada kepahaman yang bisa kita ambil.
Misalnya, mata kita memang melihat, tapi melihat kita itu hanya saja
sama dengan melihatnya seekor sapi di tengah hamparan rumput. Kita
tidak sedikitpun tercerahkan. Sapi melihat rumput itu hanya sekedar
sebagai rumput untuk sekedar makanan pemenuhan kebutuhan
perutnya saja. Tidak lebih.
Padahal di sehelai rumput itu Tuhan sedang mengajarkan siapa saja
tentang berbagai jenis rumput dan penggunaannya,
• bagaimana agar rumput itu bisa tumbuh segar dan menghijau,
• bagaimana struktur genetikanya,
• bagaimana agar rumput itu memberikan hasil yang masksimum
terhadap pertumbuhan sapi dan susunya,
• bagaimana bio energi tersimpan di sana,
• dan, dan . . . !
Ah, itu baru satu tabir-Nya saja yang kita amati, di sehelai rumput.
Padahal tabir-Nya ada di setiap sudut yang terlihat dan nada yang
terdengar. Bagaimana kita juga sepertinya tercover dari perkataan
Tuhan yang dialirkan-Nya melalui tabir-Nya yang lain seperti
• di tabir seruling,
• di tabir gendang,
• di tabir piano,
• di tabir suara dan nada,
• di tabir bebunyian,
• di tabir tangis dan tawa manusia,
• di tabir lidah dan gendang suara orang-orang di sekitar kita,
1-33
• di tabir,
• di tabir Alam Semesta.
Kita seringkali mendengarkan aliran nada, irama, dan suara tabir-tabir
itu seperti sikap seekor kucing yang tanpa ekspresi mendengarkan
nyanyian Bimbo, atau bisa pula hanya seperti seekor ular cobra yang
meliuk liar kian kemari mendengarkan alunan terompet India. Semua
itu kita lakukan seperti tanpa pencerahan dan tanpa pemahaman baru
pula.
Beethoeven dan Kitaro adalah sedikit dari manusia-manusia yang
mampu menangkap keindahan bahasa Tuhan itu di tabir suara dan nada
ini dengan sangat baiknya, dan beliaupun mampu pula menerjemah-
kannya menjadi susunan tangga irama dan nada musik yang bisa
dinikmati oleh siapa saja.
Upss, ada yang menyela nih: musik dan nyanyian itu kan haram kata
hadist Nabi ! Untuk menjawab selaan ini sebenarnya capek juga.
Soalnya biasanya kalau sudah untuk hal-hal seperti ini pola berfikir
setiap orang akan sangat bervariasi sekali. Namun secara singkat saja,
menurut kepahaman saya sendiri,
. . . musik dan nyanyian itu netral saja sifatnya. Manfaatnya
tergantung kita saja sebenarnya.
Mau kita bawa ke mana guna musik dan nyanyian itu bagi kita. Mau kita
bawa sebagai alat yang melalaikan kita kepada Tuhan atau mau kita
jadikan sebagai alat untuk mendekatkan diri kita kepada Tuhan. Mau
kita jadikan sebagai alat kita untuk mengafirmasi diri kita menuju
kebaikan, kebahagiaan, kegembiraan, ataupun sebaliknya untuk
mengafirmasi diri kita menuju kesedihan, kegalauan, kesengsaraan, dan
kejatuhan kita, ya terserah kita saja.
Nah, haramnya musik dan nyanyian itu hakekatnya adalah ketika musik
dan nyanyian itu menyeret-nyeret kita kepada suasana lalai kepada
Tuhan dan mengafirmasi diri kita pula untuk sengsara, sulit, dan
suasana tidak baik lainnya. Ndak setuju, ya ndak apa-apa.
1-34
Yang pasti adalah bahwa Allah tanpa capek sedikitpun selalu berbicara
kepada seluruh umat manusia di setiap saat di setiap tabir yang bisa kita
lihat dan kita dengar. Mata dan telinga kitapun, sebagai alat untuk
membaca perkataan Tuhan di balik tabir, tidak pula buta dan tuli. Dan
apa yang dibicarakan Tuhan melalui tabir-Nya kepada kita dalam rangka
pengajaran-Nya kepada kita, kalau kita translasikan menjadi bahasa
manusia, juga hasilnya adalah sesuatu yang pasti-pasti saja, yaitu
penciptaan alat-alat dan benda-benda baru yang semuanya itu pasti
pula bermanfaat bagi kita sendiri. Hasil-hasil ini adalah sebagai salah
satu pertanda bahwa Dia memang adalah Al Khaalik, Sang Pencipta.
Misalnya, bahasa Allah di tabir angin, watashriifirriyaah (bahasa angin
yang dikisar-kisarkan Allah, lihat :
Al Baqarah (2 : 186)
“Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-
tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum
kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyim-
pannya.”,
Kalau kita mau mendengar dan membacanya (iqra) lalu mentransla-
sikannya ke dalam bahasa kita sendiri, akan membuahkan wujud balon
udara, pesawat terbang, helikopter, listrik tenaga angin. Sebuah pesa-
wat terbang bisa melayang diudara karena adanya perbedaan kisaran
angin yang dibelah oleh lembaran sayap pesawat terbang tersebut.
Di tabir angin, Allah juga tengah mengabarkan berita gembira kepada
kita tentang :
a. Bagaimana cara Dia mengalirkan rahmat-Nya bagi kehidupan kita
melalui hujan yang diturunkan-Nya - lihat :
Al A’raf (7 : 57)
“Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita
gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila
angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu
1-35
daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka
Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-
buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang
telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.”
b. Bagaimana cara-Nya dengan sangat mudah meluncurkan bahtera di
lautan :
Yunus (10 : 22)
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,
maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku,
maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran.”
c. Bagaimana cara-Nya mengawinkan tumbuh-tumbuhan :
Al Hijr (15 : 22) :
“Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-
tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri
minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang
menyimpannya.”
d. Dan sebagainya.
Dan melalui tabir angin ini pula Allah
Di tabir angin pula Allah tengah memperingati kita agar kita berhati-hati
dan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya menghadapi cara-Nya
menghancurkan suatu negeri dengan mudahnya melalui kisaran angin
tornado, badai taufan, puting beliung, hurricane, dan sebagainya
Bahasa Allah di tabir petir, kalau kita translasikan dengan baik ternyata
telah melahirkan listrik dan berbagai cara untuk pembangkitan dan
penggunaannya. Dunia maya e-mail dan website adalah salah satu
manfaat yang bisa kita petik dari bahasa-Nya di tabir petir ini.
1-36
Sungguh Allah tidak pernah berhenti sedetikpun berbicara dengan kita
melalui tabir-tabir-Nya yang tak terbatas. Dan sebenarnya semua pem-
bicaraan-Nya itu Dia tujukan untuk Sang Angin yang bersedia untuk
turun ke dunia untuk menjadi wakil Allah untuk membangun dunia.
Karena semua itu memang untuk Sang Angin : Li Ulil Albab, Lil Muttaqin,
Liqaumiy yattaqun, Liqaumuy yatafakkarun. Untuk Lil Mukminin ! Yaitu,
orang-orang yang mampu berdialog dengan Tuhan melalui mata dan
telingannya. Karena Allah sebenarnya tengah berbicara kepada kita,
yang kalau ditranslasikan menjadi sebuah bahasa yang sederhana bisa
saja berbunyi : “Kau sadarilah wahai hamba-Ku, Akulah yang mengalir-
kan penglihatan itu melalui kedua matamu dan melewatkan pendengar-
an itu melalui kedua telingamu, sehingga engkau bisa melihat dan men-
dengar apa-apa yang ada disekitarmu. Kau lihatlah keindahan tetum-
buhan dan bebungaan yang bermekaran disentuh lembut oleh rona
cahaya matahar yang Ku-alirkani melalui kedua lensa matamu itu. Kau
dengar pulalah suara lembut kicauan burung-burung yang ditingkahi
desahan lembut nyanyian dedaunan yang Ku-alirkan melalui kedua
lobang telingamu itu.”
Sesekali, Sang Mukminin, Sang Angin mengaturkan sembah dan puji
kepada Sang Muhith: “Subhanaka, Benarlah Engkau Maha Suci.”
Lalu Sang Anginpun memandang dengan penuh takjub bagaimana diri-
nya yang hanya berupa seonggok sari pati tanah disujudkan dan disung-
kurkan oleh Sang Muhith dalam sebuah sikap pemujaan kepada-Nya.
Begitu juga, Sang Anginpun dengan terheran-heran saja menyaksikan
betapa tetesan cairan bening mengalir deras dari sudut bola matanya.
Itu, itu, itu semuanya, adalah tanda-tanda-Ku yang perlu, kau amati, kau
baca, kau lihat, kau dengar dan kau catat (terjemahkan ke dalam
bahasamu sendiri), sehingga kau beserta keturunanmu kelak bisa pula
mendapatkan manfaat dari kesemuanya itu. Karena semuanya itu
memang Aku ciptakan hanyalah untuk kebaikanmu semata. Tidakkah
Aku ini sangat hebat menurut hematmu wahai hamba-Ku ? Kalau tidak,
1-37
“Fabiayyi aalaa irabbikumaa tukazzibaan”3
, dengan cara yang bagai-
mana lagikah kiranya Aku ini harus membacakan bahasaKu untukmu
agar engkau tidak lagi mendustakan-Ku ?
Akan tetapi jawaban kita apa ? Duh Gusti,
. . . alih-alih kami ini mau mendengarkan bicara-Mu
di tabir-tabir-Mu itu,
kami malah sibuk sendiri-sendiri membela diri dan
kelompok kami masing-masing.
Sehingga mata dan telinga kita tidak dipakai lagi oleh Allah untuk
mengalirkan segenap ilmu dan pencerahan-Nya.
• Sunni dan berbagai turunannya hanya sibuk membela kesuniannya,
• Syi’ah dan berbagai sekte-sektenya hanya sibuk membela kesyi’ah-
annya,
• Salafi dengan pecah-pecahannya hanya sibuk membela kesalafi-
annya,
• Partai-partai hanya sibuk membela kepartaiannya,
• Hizb-hizb hanya sibuk membela kehizbannya,
• Tariqah-tariqah hanya sibuk membela ketariqahannya.
Sibuk, sibuk, sibuk ¡ Semua saling sibuk untuk membela baju dan jaket-
nya masing-masing. Malah untuk mendukung kesibukan-kesibukan kita
itu, kita pakai pula ayat-ayat al Qur’an dan al hadist dengan semangat
empat puluh lima. Maju tak gentar, membela . . . baju kita masing-
masing tentunya.
Oleh sebab itu :
. . . jangan salahkan siapa-siapa, tatkala ada orang lain yang mau
dan bersedia membaca perkataan Allah di tabir-Nya dan
memperoleh hasil yang sangat mampu pula membuat umat
manusia merasakan syurga di dunia ini.
3
Ar Rahmaan, sebanyak 31 kali !
1-38
Padahal umat islam selalu berdo’a “Rabbana aatina fiddunya hasanah”,
ya Allah berikanlah kami kebahagiaan, kemudahan (syurga) di dunia ini.
Akan tetapi begitu Allah berkata : Tuh, kemudahanmu, kebahagiaanmu
ada di tabir angin, di tabir listrik. Bacalah ! Eh malah kita asik dengan diri
kita sendiri.
Walaupun begitu, karena kasih dan sayang Allah saja, do’a kita untuk
mendapatkan kebahagiaan, kemudahan di dunia ini, ternyata masih
tetap dikabulkan-Nya. Kita masih diberi nikmat oleh Allah untuk bisa
menikmati kemudahan-kemudahan yang membahagiakan dalam hal
aktivitas keseharian kita seperti kegiatan transportasi, komunikasi,
pengobatan, dan sebagainya. Namun sayangnya,
. . . hampir kesemuanya itu kita dapatkan melalui tangan orang-
orang yang bukan muslim. Kita hanya menjadi pengekor saja.
Lalu, selain tidak dipakainya mata dan telinga kita oleh Allah untuk
berbicara, sehingga mata kita ini seakan-akan buta, apa lagi kekeliruan
kita ini sebenarnya ? Sampai-sampai kita umat islam ini dicap sebagai :
• umat yang berilmu pengetahuan rendahan, dan
• wajah yang bengis menakutkan pula ?
Padahal dulunya tidak begitu. Apa kita lagi yang buta sebenarnya ?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semua manusia ini, mari kita
lihat dulu sebuah ayat yang menyatakan tentang profil seorang manusia
yang dianggap sempurna:
As Sajdah (32 : 7-9)
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan
yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia men-
jadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian
Dia menyempurnakan dan meniupkan kepadanya Ruh-Nya dan Dia
menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi)
kamu sedikit sekali bersyukur.”
1-39
Oopppss, sebagai alat kesempurnaan seorang manusia, di samping ada :
• dua bola mata tempat di mana Allah mengalirkan rasa melihat dari-
Nya, dan
• dua lobang telinga tempat di mana Allah mengalirkan rasa
mendengar dari-Nya, ternyata
• ada pula HATI (AF IDAH, FUAD), yang bisa dilewati oleh Sang Angin
(Ar Ruh).
Hati…! Di manakah letaknya, wujud macam apakah dia, dan bagaimana
pula sifatnya? Bahasa, perkataan, dan manfaat macam apakah
gerangan yang dialirkan Allah melaluinya? Dan seberapa pentingkah dia
bagi seorang manusia?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, banyak sekali buku yang
telah diterbitkan orang. Dan malah sudah sedemikian dalam dan
njlimetnya tentang hati ini dibahas, sehingga kadang-kadang itu bisa
membuat kita bingung. Namun sebagai tanda sumbangsih saya untuk
teman-teman di milis Dzikrulah ini, saya akan coba pula mengupasnya
sekalimat dua kalimat.
Membaca Hati
Saat yang paling mudah untuk menjawab pertanyaan tentang :
• di mana letak hati ini, dan
• bagaimana pula wujud, serta
• sifatnya,
adalah saat kita berada di tengah keramaian manusia.
Tempat di mana kita saling berinteraksi dengan berbagai macam karak-
ter dan profil manusia lainnya, serta masing-masingnya dengan berba-
gai kepentingan yang berbeda pula. Misalnya di jalan raya yang padat
dengan kendaraan, di tempat bekerja, di tempat ibadah, atau bahkan
saat kita hanya berduaan saja dengan pasangan kita (suami/istri).
Di tengah-tengah keramaian manusia itu, amatilah DADA kita dengan
seksama. Ya, amatilah dada kita sendiri. Karena di dada (sudur) inilah
1-40
hati ini berada. Kita tidak perlu mengurai lagi dada bagian yang mana,
hati yang mana, atau bagi yang sudah advance, pojok (lathaif, cakra)
bagian mana dari dada kita itu, atau apakah hati dalam pengertian
daging dan darah atau apa…! Tidak usahlah untuk sementara waktu kita
terlalu sibuk bertanya-tanya tentang dada kita ini. Pokoknya amati
sajalah dada kita.
Sambil mengamati dada kita itu, mulailah kita bergerak di tengah-
tengah keramaian manusia itu. Misalnya, bagi yang memiliki kendaraan,
mobil atau motor, bergeraklah di jalan raya agak ke tengah dengan
kecepatan sekitar 30-40 km/jam. Berkendaralah dengan tenang. Tidak
sampai dalam hitungan dua menitan, tiba-tiba akan terdengar klakson
kendaraan lain menyalak: “Diin-diinn.” Buat sejenak biarkan saja suara
klakson itu berlalu. Amati sajalah dada kita dengan seksama. Ada ilham
apa yang muncul di dalam dada kita itu. Dalam hitungan beberapa detik
kemudian klakson kendaraan dibelakang kita akan menyalak lebih
garang lagi: ”Diiiiinnnn, Diiiiinnnn”. Apa yang terjadi di dalam dada kita
??? Apa lagi kalau kemudian mobil yang di belakang kita itu menyalib
dari arah kiri sambil pengemudinya melotot dan membunyikan klakson-
nya lebih garang lagi, dan buntut mobilnya pun digoyangkannya hampir
menyentuh kendaraan kita. Apalagi kalau keadaan seperti di atas terjadi
berulang-ulang dengan kendaraan dan orang yang berbeda. Teruslah
amati dada kita dengan sangat seksama. Apa gerangan suasana dan
rasa yang muncul di dalamnya … ?
Mari kita berjalan mengamati dada kita itu. Suasana dan rasa yang
mulai mengalir di dalam dada kita itu hanya dua saja kemungkinannya.
a. Kemungkinan pertama, suasana ruang dada kita itu mulai terasa
sesak dan sempit. Suasana kesempitan dada itu kemudian diterus-
kan ke dalam otak kita untuk kemudian otak kita itu mengeluarkan
hormon dan enzim-enzim yang memacu nafas kita bergerak lebih
cepat dari biasanya, bahkan bisa pula tersengal-sengal seperti kita
sedang mendaki gunung yang tinggi. Darah kita mengalir dengan
1-41
tekanan yang lebih besar. Jantung kita berdegup dengan kebih ce-
pat. Muka kita mulai memerah, otot-otot kita juga mulai menegang.
Seiring dengan itu mulai pula mengalir rasa marah ke dalam dada
kita. Setiap orang akan mengerti apa itu marah. Rasa marah ter-
sebut tidak perlu didefinisikan lagi. Rasa marah itu begitu pas meng-
alir di dalam dada kita. Rasa marah itu kemudian membuat ruang
dada kita menjadi lebih sempit lagi. Kesempitan ruangan dada kita
itu diteruskan kembali ke otak untuk kemudian otak lebih mening-
katkan lagi sekresi hormon dan enzim yang mempengaruhi gerakan
nafas dan tekanan darah kita. Lalu semua itu lebih mempengaruhi
lagi gerak jantung, rona muka, dan otot-otot kita terutama otot
tangan, otot kaki, dan mulut beserta isinya. Hal tersebut akan meng-
alirkan rasa marah yang lebih besar lagi masuk ke dalam dada kita.
Kombinasi dan resonansi saling memperkuat antara suasana kesem-
pitan ruangan dada dengan rasa marah yang terus meningkat ini
dengan mudah akan menimbulkan tindakan-tindakan yang dikate-
gorikan sebagai tindakan yang buruk. Misalnya, apa saja yang ver-
ada di samping kita, bisa menerima muntahan rasa marah itu. Sum-
pah serapah dengan sangat mudahnya mengalir dari bibir dan lidah
kita. Seluruh isi kebun binatang bisa kita absen satu persatu dengan
semangat empat lima. Seorang ibu dengan anaknya yang ingin
menyeberang jalan bisa pula jadi alamat kita untuk menumpahkan
rasa marah itu, dengan kita membunyikan klakson mobil kita de-
ngan keras, sehingga sang ibu dan anaknya sampai meloncat kaget
tidak jadi menyeberang dengan jantung serasa hampir copot. Otot-
otot tangan dan kaki kita dengan mudahnya akan berkontraksi de-
ngan cepat sehingga gas kita tekan dengan lebih dalam dan stir kita
putar-putar dengan gagah berani menyalib kiri dan kanan untuk
mengejar pengendara mobil yang telah berani-beraninya menyalaki
kita tadi.
Dan kalau dua orang dengan suasana ruang dada yang sempit dan
sedang dialiri pula oleh rasa marah-marah, maka kejadian yang
1-42
muncul bisa lebih sadis dan lebih ganas dari pada bertemunya dua
ekor gorila jantan yang sedang memperebutkan seekor gorila
betina. Tangan dan kaki kedua orang itu bisa saling memukul dan
saling menendang dengan ganas, apa saja bisa menjadi senjata,
teriakan-teriakan keraspun saling membahana, mata saling melotot
tajam.
Dan anehnya, semua kejadian di atas seperti mengalir begitu saja
tanpa bisa kita cegah dan tahan sedikitpun. Kita seperti berada
disebuah perahu yang sedang di seret oleh arus yang sangat kuat.
Kita kehilangan kayuh. Kita kehilangan kemudi. Kita tidak bisa apa-
apa untuk ke luar dari seretan kuat arus rasa marah itu. Ada orang
lain yang coba-coba menasehati kitapun akan kecipratan rasa marah
kita pula. Kita seperti tidak mempan untuk ditolong oleh orang lain,
walau oleh oran yang paling dekat dengan kita selama ini. Mengaji
kita, shalat kita, puasa kita yang kita lakukan selama inipun seperti
tidak bisa membantu kita sedikitpun.
Duar, darah pun bisa tumpah ke jalanan, bahkan tidak jarang pula
bisa menimbulkan kematian. Lalu saat itulah baru muncul aliran
rasa menyesal masuk ke dalam dada kita. Begitu menyesal, maka
rasa marah di dalam dada kitapun hilang seketika. Digantikan oleh
rasa menyesal yang dalam.
Kita mulai sedikit sadar bahwa sebenarnya kita tidak ingin membu-
nuh orang tersebut, tapi semuanya tidak bisa kita tahan. Kita me-
ngatakan bahwa rasa marah kita sudah sampai kepuncaknya se-
hingga terjadilah pembunuhan itu. Tiba-tiba dada kita dialiri pula
oleh rasa takut, takut ditangkap, takut dipenjara, takut. Begitu rasa
takut itu mengalir ke dalam dada kita, maka rasa menyesal pun akan
lenyap pula dengan seketika.
Rasa takut itu mengalir ke dalam otak kita dan dari sana keluarlah
berbagai rencana untuk menutupi pembunuhan kita itu tadi. Kita
mulai beralibi, kita mulai berbohong, kita mulai merancang berbagai
rencana bohong. Kita bergerak dari satu kebohongan ke kebo-
1-43
hongan lainnya, dari satu alibi ke alibi lainnya. Semua kebohongan
itupun seperti mengalir begitu saja dengan lancar. Walaupun kita
tahu bahwa semua yang kita ucapkan itu adalah bohong, akan
tetapi kita juga seperti tidak bisa ke luar dari kebohongan itu. Kita
seperti ikut mengalir saja di atas arus kebohongan itu.
Begitu orang percaya dengan kebohongan kita, maka ada segurat
rasa senang muncul di dalam dada kita, sehingga rasa takut kita pun
hilang agak sesaat. Ini yang disebut dengan rasa senang berbohong.
Kalau sudah begini, maka kebohongan berikutnya akan muncul
dengan lebih meyakinkan dan lebih canggih lagi. Lalu hidup kita
akan bergerak dengan penuh kebohongan. Dan ternyata kebohong-
an itu pada akhirnya akan menuai rasa tersiksa pula, siksa akibat
berbohong.
Akan tetapi tatkala pembunuhan yang kita lakukan diketahui oleh
pihak yang berwajib, dan singkat kata kita divonis dengan hukuman
penjara (seumur hidup pula), maka hari-hari berikutnya dada kita
akan dialiri oleh rasa tersiksa, tersiksa, terus tersiksa. Dan tersiksa
inilah salah makna dari istilah NERAKA.
Jadi suasana ruang dada yang sempit
akan sangat mudah dialiri oleh rasa marah, rasa iri, rasa benci,
rasa takut, rasa menyesal, rasa senang dan bahagia yang semu
dan dangkal
(hanya guratan kecil saja).
Keadaan kita secara ketubuhan pun akan kelihatan dengan nyata.
Wajah kita tegang dan kaku, kening kita berkerut marut, mata kita
tidak ramah, kita mudah sekali melayangkan tangan memukul dan
menyiksa orang, tindakan kita tergesa-gesa, kita mudah berbohong.
Kebaikan kita pun lebih banyak dibuat-dibuat, JAIM.
b. Kemungkinan kedua, suasana ruang dada kita itu TETAP terasa
lapang. Suasana dada yang lapang itu akan mengalirkan impuls
listrik ke otak, sehingga otak mengeluarkan hormon dan enzim yang
1-44
sifatnya menimbulkan gelombang yang tenang di otak kita. Otak kita
menjadi rileks, yang menyebabkan nafas kita tetap mengalir dengan
tenang dan ringan, darah kita mengalir dengan tekanan yang
normal. Ruang dada yang luas, otak yang rileks, nafas yang ringan,
darah yang mengalir lancar dan tekanan yang normal, akan
menimbulkan rasa senang dan bahagia di dalam dada kita. Rasa
senang akan tambah memperluas suasana ruangan dada kita. Dan
dada yang bertambah luas akan tambah memperileks gelombang
otak kita, memperhalus gerakan nafas kita, dan membuat aliran
darah kita begitu sempurna.
Kalau sudah begini, maka saat kita disakiti, dijahili, dikerjain orang,
atau dijahati orang, kita hanya merasa terheran-heran saja. Lho, kok
tidak ada rasa marah yang masuk mengalir di dalam ada kita. Rasa
marah akibat dijahati orang lain itu sedemikian kecilnya tenggelam
di tengah-tengah keluasan ruangan dada kita.
Kita dengan mudah minggir ke tepi saat ada orang yang ingin duluan
dari kita saat kita berkendaraan. Kita dengan mudah akan berhenti
dan mempersilahkan seorang ibu dengan anaknya menyeberang
jalan dengan aman. Kita akan dengan mudah untuk tidak meng-
ganggu dan menyakiti orang lain. Kita juga akan patuh terhadap
aturan yang pada intinya adalah untuk membahagiakan kita dan
orang lain. Ya, yang ada adalah rasa kasih, sayang, dan bahagia yang
mengalir penuh di dalam dada kita. Syurga.
Dan anehnya, setiap rasa kasih dan sayang yang muncul di dalam
dada kita, akan lebih memperluas pula dada kita, akan menambah
pula rasa bahagia kita. Tidak hanya itu, setiap penglihatan dan
pendengaran kita akan dialiri pula oleh pencerahan-pencerahan
baru. Apapun yang kita lihat dengan mata dan yang kita dengar
dengan telinga akan menjadi bahan pelajaran yang sangat berharga
bagi kita, baik untuk kepentingan kita maupun untuk orang banyak.
Setiap patah kata yang ke luar dari mulut kita akan mencerahkan
orang lain, dan setiap karya yang lahir dari tangan kita akan ver-
1-45
manfaat pula bagi orang lain. Kita pun akan mudah pula memahami
bahwa setiap orang yang kita temukan di dalam perjalanan hidup
kita sebenarnya adalah utusan Tuhan untuk kita. Misalnya saat kita
sedang berjalan disebuah jalan yang belum pernah kita lewati, tiba-
tiba ada anak kecil yang berkata kepada kita: “Pak, jangan lewat ke
sana, sebab di sana ular kobra yang besar, atau ada anjing galak.
Bukankah pada hakekatnya sang anak sedang diutus oleh Tuhan
untuk kita agar kita terhindar dari bahaya ?”
Kalau sudah begini, kita akan mampu melihat bahwa sebenarnya
setiap orang di dunia ini adalah laksana titik-titik kecil berbeda yang
saling dihubungkan oleh garis-garis kehidupan. Masing-masing titik
akan bermanfaat bagi titik-titik yang lainnya dalam membentuk
harmoni kehidupan. Seperti juga matahari, bulan, dan bintang-bintang
saling dihubungkan oleh garis kehidupannya pula.
Lalu dalam setiap jalan yang kita lalui di dalam kehidupan ini, kita
ditaruh oleh Allah dikemungkinan yang mana. Sebab Allah menga-
takan bahwa:
Al An’aam (6 : 125)
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya
petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk Islam. Dan
barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah men-
jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke
langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang
tidak beriman.”
Dengan tegas di ayat ini, Allah mengatakan bahwa :
• Saat dada kita dialiri oleh suasana sempit dan sesak, maka saat itu
sebenarnya Allah sedang menghendaki kesesatan buat kita. Tegasnya,
kita sedang disesatkan Allah. Dan itu adalah penderitaan.
• Sebaliknya, saat dada kita dialiri oleh rasa lapang, maka saat itu
sebenarnya Allah sedang menghendaki kebaikan untuk kita. Kita
1-46
tengah ditunjuki oleh Allah untuk menjadi baik. Dan itu adalah kese-
nangan dan kebahagiaan.
Mengalirnya rasa sempit dan sesak didada kita itu diistilahkan oleh Al
Qur’an dengan sebutan: faal amaha fujuraha, diilhamkan dengan
kefujuran. Dan dialirinya dada kita dengan suasana kelapangan, disebut
Al Qur’an dengan faal amaha tawqaha, diilhamkan ketaqwaan.
Begitulah cara lain Allah berkata-kata dengan kita, yaitu melalui ilham,
melalui wahyu:
Asy Syuura (42 : 51)
“Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata
dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir
atau dengan mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya
dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha
Tinggi lagi Maha Bijaksana.”
Seperti juga Allah berkata-kata dengan lebah melalui wahyu:
An Nahal (16 : 68)
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "’Buatlah sarang-sarang di
bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin
manusia’".
Oleh sebab itu,
. . . selalulah kita rajin-rajin mengamati dada kita
apakah dada kita ini sempit dan sesak atau lapang.
Sebab saat dada kita sempit, sebenarnya Allah tengah berkata kepada
kita yang kalau dibahasakan bisa seperti berikut ini :
“Wahai Deka, kau lihatlah dadamu, Iqra, bacalah bahasa-Ku di
dadamu. Saat dadamu itu sempit dan sesak, kamu hati-hatilah. Ka-
rena saat itu sebenarnya Aku tengah menyesatkanmu. Aku tengah
tidak suka kepadamu. Ku-ilhamkan kefujuran kepadamu. Dengan
1-47
dadamu sempit itu, kau akan kudorong untuk bergerak dari satu
keburukan ke keburukan yang lainnya tanpa kau sanggup meno-
laknya. Kau akan menjadi alat-Ku untuk merusak di permukaan
bumi ini. Kau tidak akan kuasa menolaknya. Karena Akulah yang
memiliki segala daya dan kehebatan.
Sebaliknya, saat dadamu Ku aliri dengan suasana LUAS dan LAPANG,
bersyukurlah. Karena saat itu sebenarnya Aku tengah menunjukimu.
Aku tengah sayang dan senang kepadamu. Makanya Ku-ilhamkan
kepadamu tentang ketaqwaan, keluasan dada. Sehingga engkau
akan terhedan-heran saja saat kau Ku-dorong bergerak dari sebuah
kebaikan ke kebaikan yang lainnya. Semua itu kau lalui tanpa bisa
kau tolak. Kau akan menjadi alat-Ku untuk membangun dan ver-
kreasi di permukaan bumi ini. Kau tidak akan susah untuk itu.
Karena semua daya untuk kebaikan itu Ku-berikan penuh buatmu.
Bukankah Aku ini Maha Hebat.”
Begitulah cara Allah berkata-kata dengan kita saat Dia menjawab do’a-
do’a kita. Langsung melalui Ilham. Misalnya saat kita berdoa di dalam
shalat: Rabbigfirlii, ya Allah ampunilah saya, maka dengan seketika itu
pula dada kita dilapangkan, dada kita didinginkan oleh Allah, sehingga
rasa bersalah kita hilang lenyap seketika dari dalam dada kita… Kalau
belum juga lapang, maka kita berdo’a lagi sampai dada kita itu
dilapangkan oleh Allah.
Selanjutnya kenapa Allah tidak suka kepada kita, kenapa kita disesatkan
oleh Allah ?
Dan apa pula makna dari :
Asy Syuura (42 : 51)
“Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata
dengan dia kecuali dengan,, mengutus seorang utusan lalu diwahyukan
kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.”
1-48
Disesatkan atau Dibaikkan Allah
Kalau kita hanya sepintas lalu saja :
. . . membaca ayat Al Qur’an yang menyatakan bahwa :
•••• Allah-lah yang menyesatkan kita dengan menyempitkan dada
kita, dan
•••• Allah pula yang menunjuki kita kepada kebaikan dengan cara
melapangkan dada kita,
kelihatannya kita akan dibawa kepada kedudukan pemikiran yang
FATALIS.
Padahal di ayat lain Allah juga memfasilitasi kita untuk bisa mengatur
diri kita sendiri. Seakan-akan Allah berlepas tangan dari apa-apa yang
kita lakukan.
Kita sendirilah yang akan menentukan apa-apa yang akan kita
lakukan, nanti Allah akan memenuhi tugas-Nya untuk memenuhi
apa-apa yang telah kita tetapkan itu.
Sebuah logika berfikir yang bercorak RASIONALIS yang kelihatannya
sangat bertolak belakang dengan logika berfikir FATALIS.
Bagaimana ini ? Ya tidak bagaimana-bagaimana ! Begitulah Allah. Dia
berkehendak semau-Nya saja. Karena memang Dia adalah AL JABBAR,
Sang Maha Berkehendak. Bahkan Dia juga menyatakan bahwa walau-
pun sesuatu sudah sangat baik menurut logika berfikir kita, akan tetapi
Allah menyatakan bahwa itu belum tentu baik menurut logika berfikir
Allah. Karena Allah memang punya logika berfikir sendiri. Dan logika
berfikir Allah itulah tetap yang terbaik dan yang akan terlaksana.
Untuk menjawab ini, marilah kita sejenak menengok apa yang disebut
dengan TAQDIR, yaitu berupa ketetapan yang sudah ditentukan oleh
Allah terhadap sesuatu. Taqdir ini tidak bisa dirobah oleh siapapun
kecuali dengan melalui taqdir lain pula. Jadi taqdir hanya bisa diubah
1-49
oleh taqdir pula. Artinya Allah sendirilah yang merubah-ubah taqdir-Nya
sendiri.
Misalnya taqdir api adalah panas membakar. Dan taqdir api ini hanya
bisa diubah ketika dia bertemu dengan taqdir Allah yang lainnya yaitu
air, sehingga panasnya api akan hilang ketika taqdir api bertemu dengan
taqdir air dengan QADAR (takaran) yang tepat. Atau bisa pula taqdir api
yang bisa membakar kulit manusia akan berubah tatkala taqdir api
tersebuat bertemu dengan dengan taqdir lainnya sehingga orang bisa
berjalan di atas bara api (fire walker).
Ketika kita berhadapan dengan taqdir ini, kita hanya bisa menerimanya
saja dengan sikap seorang FATALIS. Kita tidak bisa apa-apa ketika ver-
hadapan dengan sebuah taqdir, karena memang kekuatan, jangkauan,
dan dampaknya telah ditetapkan oleh Allah. Dan ketetapan Allah adalah
yang terbaik. Walaupun begitu, ternyata Allah juga memberikan fasilitas
yang luar bisa bagi kita agar kita bisa bergerak dari sebuah taqdir Allah
ke taqdir-Nya yang lainnya.
Di sinilah sangat luar biasa-Nya Allah. Kita nyaris saja diberikan-Nya
kesempatan yang tidak terbatas untuk memasuki wilayah taqdir-taqdir-
Nya yang memang tak terbatas pula.
Untuk bergerak dari satu taqdir ke taqdir yang lainnya itulah kita
diberikan-Nya sebuah kebebasan yang sangat besar. Kita bebas
memilih taqdir kita sesuai dengan logika-logika berfikir
(RASIONALITAS) yang kita miliki.
Logika berfikir yang bagaimanapun yang kita ambil, akan selalu mene-
mukan muaranya di sebuah taqdir yang tertentu pula. Artinya sebuah
logika berfikir yang kita lakukan atau RASIONALITAS, muaranya adalah
sebuah taqdir yang tidak bisa kita ubah atau FATALITAS. RASIONALITAS
berbuah FATALITAS. Begitu pula, FATALITAS membentuk RASIONA-
LITAS. Dua-duanya adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan
sedikit pun. Kalau kita hanya memakai satu sisinya saja, RASIONALITAS
1-50
saja atau FATALITAS saja, maka kehidupan tidak akan berjalan, roda
peradaban akan berhenti berputar.
KUN, Allah telah meletakkan Sabda-Nya tentang tata cara-Nya sendiri
dalam memberikan petunjuk kepada setiap manusia tentang kebaikan
maupun tentang keburukan, faal amaha fujuraha wa taqwaha. Lalu
FAYAKUN, sebuah proses ajar mengajar Tuhan terhadap hamba-Nya
pun mengalir memenuhi cakrawala kehidupan manusia. Begitulah pro-
ses dari dulu sampai sekarang dan masa yang akan datang.
Derr, proses ajar mengajar inilah nantinya yang akan membentuk jalur
taqdir kehidupan manusia tentang perilaku ketaqwaannya (kebaikan)
dan perilaku kefujurannya (keburukan) sendiri. Semua itu mau tidak
mau harus kita terima secara fatalistik. Lalu kita sendirilah yang seha-
rusnya bersikap secara rasionalistis terhadap jalur taqdir kebaikan atau
keburukan itu. Misalnya, saat kita ditaruh oleh Allah di jalur takdir
keburukan, kita bebas saja untuk bersikap apakah kita mau tetap dijalur
taqdir keburukan yang tengah mengaliri kita itu, atau kita mau berganti
jalur menuju taqdir kebaikan.
Misalnya, suatu saat dada kita terasa dialiri oleh rasa sempit, dada kita
sesak. Saat menghadapi sebuah kejadian atau masalah, dada kita sesak,
nafas kita tersengal-sengal seperti kita tengah mendaki gunung yang
tinggi, padahal saat itu kita tidak melakukan aktivitas fisik mendaki
gunung. Sedikit pemicu saja, bisa membuat kita marah yang tidak
terperikan. Raut wajah kita berubah menakutkan, sorot mata kita
begitu memancarkan rona kebengisan. Kalau sudah begitu, tidak ada
yang bisa membantu kita untuk merubahnya atau memperbaikinya.
Karena kita saat itu tengah masuk ke dalam taqdir Tuhan bahwa saat itu
Tuhan memang tengah menyesatkan kita.
Al Qur’an menyatakan:
Az Zukhruf (43 : 36)
"Barang siapa yg berpaling dari ingat dan sadar penuh kepada Yang
Maha Rahman (Allah), maka Kami adakan baginya syaitan (yang
1-51
menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman akrab (qarin)
yang selalu menyertainya.”
Ayat ini menjelaskan bahwa :
. . . tatkala kita berpaling (ya’syuu)
dari ingat dan sadar penuh kepada Allah
(yang kemudian, entah kenapa, bagi sebagian besar tafsir atau
terjemahan kalimat ‘andzikrir Rahman ini diartikan sebagai: dari
pengajaran Tuhan Yang Maha Rahman atau Al Qur’an),
maka seketika itu juga Allah akan
menaruh syetan ke dalam dada kita.
Syetan itulah yang akan menjadi teman akrab kita. Syetan itulah yang
akan menghimpit dada kita, yang akan membuat kita was-was, yang
membawa kita ke suasana ragu-ragu, yang akan menghalangi kita untuk
berbuat baik, yang akan menghasut-hasut kita agar berbuat FUJUR,
yang menutup (mengcover) kita dari perbuatan TAQWA.
Kalau sudah begitu, syetan akan selalu berkata : “Hayo… Deka, hayo…
Deka, hayo Deka, FUJUR-lah, tidak baiklah, marahlah, tidak khusyu’lah,
bencilah, irilah, berantemlah. Hayo Deka, janganlah TAQWA, janganlah
shalat dengan khusyu’, janganlah sabar, janganlah zakat, janganlah baik,
dan sebagainya.”
Dan luar biasanya, hasutan-hasutan syetan tersebut seperti mempunyai
daya hipnotis bagi kita, sehingga kita seperti tidak kuasa untuk meno-
laknya. Karena memang syetan atau iblis tersebut sudah mendapatkan
mandatnya dari Allah untuk menggoda manusia. Iblis mendapatkan
daya dan kekuatan dari Tuhan untuk menggoda manusia. Karena
setelah iblis tersebut disesatkan pula oleh Allah karena sesombong-
annya, setelah dia berkata ana khairuminhu terhadap Adam, dia pernah
berdo’a kepada Tuhan :
• (Ya rabbi…), fabi’idzdzatika laugwiyannhum ajma’in, wahai Tuhan
demi kekuasaan Engkau, beri saya daya untuk bisa menyesatkan
manusia semuanya.
1-52
• Illa ‘ibadaka minhumul mukhlashin, kecuali hamba-hamba-Mu yang
Engkau jadikan ikhlash.
Dari penafsiran singkat ayat-ayat Al Qur’an yang sangat mendasar ini,
sebenarnya sudah menjadi jelas bagi kita bahwa Fujur dan Taqwa
adalah dua taqdir Allah yang sudah ada dan mengalir sejak permulaaan
penciptaan. Fujur dan Taqwa itu akan bisa mengalir dan menyinggahi
siapapun juga, dan keduanya mempunyai ciri-ciri dan prosesnya
masing-masing pula.
• Saat kita dialiri oleh rasa Fujur, maka dada kita dibuat oleh Allah
menjadi sesak lagi sempit, seolah-olah kita sedang mendaki ke langit.
Itulah sebagai tanda-tanda bahwa kita saat itu sedang disesatkan
oleh Allah, kita sedang tidak disukai oleh Allah, kita sedang ditendang
oleh Allah. Kalau sudah begini, maka apa saja akan menjadi masalah
bagi kita. Kebaikan orang lain sekalipun bisa menjadi masalah besar
bagi kita. Jadilah kita bergerak dari sebuah masalah ke masalah yang
lainnya. Masalah berbuah masalah…
• Sebaliknya saat kita dialiri oleh rasa Taqwa, maka dada kita akan
dibuat lapang oleh Allah. Dada kita itu akan diluaskan, dilembutkan,
dicairkan, didinginkan oleh Allah. Karena memang dada kita itu
sedang dicahayai oleh Allah. Itulah tanda-tanda bahwa kita saat itu
sedang dituntun oleh Allah, kita tengah diberi petunjuk oleh Allah,
kita lagi disayang oleh Allah. Dan sebagai hasilnya, kita akan mampu
melihat hubungan yang utuh dari setiap titik masalah yang kita
hadapi menjadi sebuah harmoni kehidupan yang sangat mence-
ngangkan dan mengagumkan. Kita akan bergerak dari sebuah masa-
lah, lalu melihat solusinya, dan kemudian kita seperti dibukakan
begitu saja tentang berbagai titik solusi atau jalan ke luar yang
sebelumnya tidak terpikirkan oleh kita.
Nah, dialirinya dada kita oleh rasa fujur itu, penyebab utamanya
adalah :
• ketidaksadaran kita kepada Allah,
• ketercoveran kita dari Allah, Sang Muhith, Sang Maha Meliputi segala
apapun juga.
1-53
Begitu kita memandang segala sesuatu, dan saat itu kita tidak mampu
menyadari ADA Dzat Yang Meliputi segala sesuatu itu, maka seketika itu
juga kita sebenarnya tengah berteman dengan iblis. Karena iblis juga
tidak pernah mampu menyadari keberadaan Wujud Dzat Yang Maha
Meliputi segala sesuatu, termasuk meliputi wujud Nabi Adam. Sehingga
iblis lalu menyombongkan diri kepada wujud Nabi Adam. Walaupun iblis
sempat pula berkata, “Ya Rabbi, wahai Tuhan”, tapi arah kesadarannya
sebenarnya saat itu tidak tepat kepada Wajah Tuhan, wajhiya.
Jadi tanda utama bahwa kita tengah disesatkan oleh Allah,
bahwa kita sedang dialiri oleh Allah dengan rasa fujur,
adalah kita dialiri oleh rasa sombong terhadap sesama manusia,
bahkan juga terhadap alam semesta.
Persis seperti iblis terhadap Adam. Kesombongan itu pastilah membawa
kita kepada pembelaan atas :
• diri kita sendiri,
• atribut kita,
• baju kita,
• golongan kita,
• ilmu pengetahuan kita, atau bahkan
hanya sekedar persepsi kita sendiri.
Kita besarkan diri kita, kita mengaku diri kita sendiri lebih dari orang
lain. Sungguh, nikmat pengakuan ini sangatlah memabokkan. Kalau
dada kita sudah disempitkan Allah, rasa sombong juga sudah mengalir
di dalamnya, maka rasa-rasa negatif lainnya akan mengalir dengan mu-
dah seperti rasa marah. Ya, marah karena ada orang yang menggoyang
rasa kesombongan kita.
Untuk ke luar dari jeratan taqdir rasa Fujur ini bagaimana ??? Banyak
teori yang sudah beredar di mayarakat. Ada yang menyebut-nya :
• dengan cara meditasi,
• ada juga yang menyarankan agar kita melakukan berbagai aktifitas
fisik,
1-54
• dan sebagainya.
Banyak sekali memang teori yang sudah dikembangkan orang untuk kita
bisa ke luar dari berbagai rasa fujur. Dan semuanya itu ada manfaatnya,
paling tidak.
Untuk ke luar dari rasa marah saja, misalnya, milis kita ini sudah
kebanjiran berbagai masukan yang sangat bisa membantu kita. Kalau
diperhatikan dengan seksama, ada sebuah benang merah yang bisa kita
tarik dari sekian banyak masukan itu, bahwa saat dada kita dialiri Allah
dengan rasa marah, maka tugas kita sebenarnya hanyalah sederhana
saja, yaitu agar kita mau mengalihkan objek fikir atau objek kesadaran
kita dari wilayah rasa marah itu (dada dan objek kemarahan) menuju
kepada suatu objek fikir lain yang kita senangi atau wilayah kesadaran
kita yang bukan dada (sudur, qalbu).
Saat kita dialiri oleh rasa marah, alihkan saja kesadaran kita ke objek
fikir lain. Kita marah karena si A, lalu alihkanlah kesadaran kita kepada si
B yang kita senangi, maka marah kita akan perlahan menghilang dari
dada kita. Bisa juga kita melakukan aktivitas lain seperti mandi,
berwudhu, shalat, atau hanya sekedar pergi ke tempat yang luas. Tepi
pantai atau naik ke area pegunungan merupakan dua tempat yang
sangat favorit bagi setiap umat manusia untuk sekedar melapangkan
dada dan fikirannya.
Untuk hal mengalihkan kesadaran kita dari rasa marah ini akan kita
bahas di lain kesempatan dengan lebih praktis. Sebab menurut penga-
laman saya, apapun metodanya, kalau kita tidak mengikutsertakan
peran Allah dalam kesadaran kita, maka semuanya itu masih meru-
pakan cara-cara yang artificial. Sebab cara menyesaikan masalah kema-
rahan yang paling puncak (ultimate solution), ternyata hanya bisa
dengan bersandar kepada peran serta Tuhan dalam mengambil aliran
marah itu dari dalam dada kita.
1-55
Jadi berubahnya suasana dada kita dari sempit dan sesak menjadi
lapang dan nyaman bisa kita dapatkan hanya dan hanya jika kita
mau menyadari adanya peran serta Tuhan untuk itu.
Saat dada kita sempit, maka kita pandang Wujud Tuhan dengan tepat
(tidak musyrik, tidak terhalang oleh wujud lain apapun juga, dan tidak
ya’syu [berpaling] dari Wajah Allah sedikitpun), lalu saat itulah kita
segera berbicara dengan-Nya merendah-rendah:
• Ya Allah, dada saya kok sempit, sesak, nggak enak ya Allah ? .
• Ya Allah mohon Engkau ambil kesempitan dan rasa sesak di dada
saya ini. Sebab saya nggak kuat untuk berada dalam kesesakan dan
kesempitan dada ini ya Allah…
• Ya Allah mohon Engkau ganti suasana sempit dan sesak itu segera
menjadi suasana yang lapang, lega dan bahagia ya Allah.
Itulah kira-kira bahasa kita dengan Allah. Lalu kita tinggal menerima saja
dan membaca bahasa Allah tentang bagaimana cara Allah merespon
dan menjawab permohonan kita itu. Bacalah bahasa Allah di dalam
dada kita seperti yang telah kita uraikan sebelumnya.
Begitu sederhananya sebenarnya. Cuma saja, karena kita ini sudah
sangat terbiasa dengan kerumitan, kita kadangkala tidak mudah per-
caya begitu saja. Sebab kita :
. . . umat Islam ini tampaknya memang sudah mengeksploitasi
ajaran agama Islam ini sedemikian dalamnya, sedemikian detailnya,
malah sudah terlalu dalam dan detail (over exploited), sehingga kita
nyaris saja kehilangan esensi kesederhananaan dari ajaran Islam itu
sendiri yang telah diajarkan oleh Rasulullah.
Kita bukannya mencoba untuk memperluas ajaran Islam itu sendiri.
Misalnya dengan memperluas wawasan kita tentang Islam, atau me-
ningkatkan kualitas beragama kita sendiri walau hanya untuk beberapa
hal saja, misalnya dalam hal shalat dan zakat kita. Atau kalau mau lebih,
kita bisa pula berperan untuk hal-hal yang lebih universal lagi,
misalnya :
1-56
• Kita bersedia untuk menerima tugas sebagai alat Allah dalam
mengalirkan kasih dan sayang-Nya kepada seluruh umat manusia;
• Kita besedia untuk menjadi alat Allah dalam mengalirkan segenap
ilmu pengetahuan-Nya dan peran-Nya untuk membangun peradaban
umat manusia.
Paling tidak, peran sebagai alat Allah itu bisa kita lakukan untuk ling-
kungan di sekitar kita saja, sebenarnya sudah sangat lebih dari cukup.
Peran sebagai alat Allah dalam mengalirkan kasih sayang kepada sesa-
ma, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan membangun peradaban
manusia inilah sebenarnya tugas hakiki dari setiap kita. Tugas-tugas
seperti inilah yang menjadikan sebab diutusnya kita di permukaan bumi
ini.
Jadi, pada hakekatnya :
. . . setiap kita ini adalah UTUSAN TUHAN untuk sesama kita.
Utusan Tuhan untuk menjalankan peran tertentu yang unik dan khas.
Cuma saja, saat kita berbicara tentang istilah Utusan Tuhan ini, maka
angan-angan atau persepsi kita selalu saja melambung tinggi, bahwa
yang bisa menjadi Utusan Tuhan itu hanyalah seorang NABI atau RASUL
Allah, tidak bisa tidak. Selalu saja kita batasi seperti itu, sehingga kita
seakan-akan membebankan tugas untuk menyampaikan ilham, wahyu,
pencerahan, yang selalu dialirkan Allah tiada henti di setiap saat itu
hanyalah kepada Rasul-Rasul Allah.
Seakan-akan kita ini tidak akan pernah lagi dialiri oleh ilham, wahyu,
pencerahan dari Allah. Kita persepsikan bahwa Allah telah berhenti
menurunkan ilham-Nya kepada umat manusia sesuai dengan
zamannya.
Maka akibatnya, akan ringan saja sikap kita saat kita tidak memberikan
manfaat sedikit pun bagi orang lain, bahkan juga bagi diri kita sendiri.
Padahal kalau kita mau mundur agak setarik dua tarikan nafas, kita akan
bisa menyadari bahwa :
1-57
. . . saat kita tidak bermanfaat lagi bagi orang lain ataupun diri kita
sendiri, maka sebenarnya saat itu
Allah sudah tidak sudi lagi memakai kita sebagai Alat-Nya untuk
mengalirkan Ar Rahman dan Ar Rahim-Nya, menebarkan segenap
Ilmu dan Peran-Nya yang positif dan membangun
kepada orang lain dan lingkungan di sekitar kita.
Sebaliknya,
. . . ketika kita tidak dipakai oleh Allah untuk mengalirkan
segenap kebaikan dan peran positif-Nya,
sebenarnya saat itu pula tengah dipakai oleh Allah
sebagai alat-Nya untuk Menyempitkan (Qaabidh),
Menghinakan (Mudzill), Merendahkan (Khaafidh),
Mematikan (Mumiitu), Memusnahkan (Mu’akhkhir),
Memberi derita (Dhaarr), dan berbagai aliran
penghancuran (negatif) lainnya
bagi orang lain di sekitar kita.
Apa saja peran yang kita lakukan, tiba-tiba saja akan menyakitkan orang
lain, atau mematikan orang lain, atau malah bisa pula melenyapkan
peradaban sebuah bangsa seperti yang telah dan sedang dilakukan oleh
tuan Bush, tuan Blair serta konco-konconya di Afganistan dan Irak.
Ya, tuan G.W Bush, Tony Blair beserta konco-konconya boleh jadi saat
ini mereka tengah menjalankan fungsinya sebagai utusan Allah untuk
menghancurkan sebuah bangsa, karena Allah mau mengganti bangsa
atau umat itu dengan umat atau bangsa lain yang lebih baik. Seperti
juga peran-peran yang dulu pernah dijalankan mulai dari zaman Jengis
Khan sampai dengan zaman orang-orang seperti Hitler, Hirohito, Muso-
lini, Churchill, Rosevelt, Stalin. Di mana di zaman mereka-mereka itulah
telah menyebabkan puluhan juta orang meregang nyawa, yang kemu-
1-58
dian ternyata diganti oleh Allah dengan umat sesudahnya yang lebih
baik lagi.
An Nisaa’ (4 : 133).
“Jika Allah menghendaki, niscaya Dia musnahkan kamu wahai manusia,
dan Dia datangkan umat yang lain (sebagai penggantimu). Dan adalah
Allah Maha Kuasa berbuat demikian.”
Dengan alternatif pemahaman seperti ini, maka kita akan mudah saja
memahami ayat Al Qur’an yang menyatakan bahwa Allah berkata-kata
dengan seorang manusia dengan cara mengutus seorang utusan-Nya.
Kepada sang utusan-Nya itu dialirkannya ilham, wahyu, pencerahan
sehingga sang utusan-Nya itu menjadi bahasa Allah untuk suatu kea-
daan atau masalah tertentu bagi kita.
Dan apa pula makna dari :
Asy Syuura (42:51)
“Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata
dengan dia kecuali dengan,, mengutus seorang utusan lalu diwahyukan
kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.”
Tugas kita sebenarnya sudah menjadi sangat sederhana sekali, yaitu
bagaimana caranya agar kita bisa memahami kata-kata Allah tersebut
agar kita bisa mendapatkan pelajaran dari itu. Sehingga akhirnya kita
hanyalah menjadi seorang penyaksi saja atas kesibukan Allah dalam
mengatur semua ciptaan-Nya.
Kita tinggal bersaksi (syahid) saja:
• Ooo, ada ya orang yang dialiri oleh Allah dengan kualitas kebaikan
yang sangat sempurna seperti Rasulullah dalam membangun per-
adaban umat manusia…
• Ooo, ada ya orang yang dialiri oleh Allah dengan daya penghancuran
umat manusia yang memiriskan hati seperti Hitler, GW Bush, dan
sebagainya…
1-59
• Ooo, ada ya si A yang begini,si B yang begitu, si C yang dipakai Allah
sebagai alatnya untuk ini, si D untuk itu…
Dan di kekinian milis Dzikrullah ini pun kita hanya tinggal bersaksi saja :
• Aha, ada ya Pak Haji Slamet Utomo yang dialiri oleh Allah kepahaman
tentang makna sebenarnya dari ayat Sesungguh Dia (ALLAH) Maha
Meliputi segala sesuatu, yang sudah sekian abad tidak lagi bisa
dipahami oleh umat Islam.
• Aha, ada ya Abu Sangkan yang dibuat Allah sibuk menyampaikan
kesaksian Beliau tentang Dzikirullah dan Shalat Khusyu,
• Aha, ada ya si Deka yang begitu sibuk pula oleh Allah untuk
menyampaikan sekalimat dua kalimat hasil pelajarannya bersama Pak
Haji Slamet Utomo dan Pak Abu Sangkan.
• Aha..., ada ya Dodi Ide yang tengah dialiri oleh berbagai ide yang
mungkin bagi orang lain terpikirkan pun tidak.
• Aha, ada ya abang John Bandempo yang dialiri oleh Allah dengan
pemahaman tentang ayat-ayat Al Qur’an seperti itu, yang cukup
inspiring buat saya.
• Aha, ada ya bang Mardibros yang dialiri oleh Allah dengan kesibukan
memoderatori milis ini.
Dan akhirnya semua ooo, ooo, dan aha, aha tadi itu akan membentuk
logika berfikir kita sendiri, rasionalitas kita. Dan kita bebas saja bergerak
dari satu logika ke logika lainnya. Dan, setiap logika atau rasionalitas
yang kita pakai itu, didepan kita sudah ada pula taqdir yang menunggu
kita dengan pasti. Tinggal kita mau memilih logika berfikir yang
bagaimana untuk mendapatkan taqdir kita sendiri, untuk mendapatkan
peran atau destiny kita sendiri diantara sekian banyak peran yang
disediakan Allah buat kita.
Tegasnya kita :
. . . mau dan bersedia untuk menjadi alat Allah, utusan Allah untuk
peran yang mana dan yang bagaimana ?
Semua tergantung kepada kita saja.
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !
Yusdeka   reformatted b - ok !

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt? (6)

Pasya rama hidayat agama islam L1B021063_uas_pai 2
Pasya rama hidayat agama islam  L1B021063_uas_pai 2Pasya rama hidayat agama islam  L1B021063_uas_pai 2
Pasya rama hidayat agama islam L1B021063_uas_pai 2
 
Silabus kurikulum 2013 smp kls 8 pai & budi pekerti
Silabus kurikulum 2013 smp kls 8 pai & budi pekertiSilabus kurikulum 2013 smp kls 8 pai & budi pekerti
Silabus kurikulum 2013 smp kls 8 pai & budi pekerti
 
Kupdf.net watana the-mindset
Kupdf.net watana the-mindsetKupdf.net watana the-mindset
Kupdf.net watana the-mindset
 
1a. silabus agama islam smp
1a. silabus agama islam smp1a. silabus agama islam smp
1a. silabus agama islam smp
 
RPP MTs Quran Hadits Kelas VII
RPP MTs Quran Hadits Kelas VIIRPP MTs Quran Hadits Kelas VII
RPP MTs Quran Hadits Kelas VII
 
RPP Pendidikan Agama Islam & Budi Pekerti (PAI) Kelas X
RPP Pendidikan Agama Islam & Budi Pekerti (PAI) Kelas XRPP Pendidikan Agama Islam & Budi Pekerti (PAI) Kelas X
RPP Pendidikan Agama Islam & Budi Pekerti (PAI) Kelas X
 

Ähnlich wie Yusdeka reformatted b - ok !

TUJUAN HIDUP MANUSIA.docx
TUJUAN HIDUP MANUSIA.docxTUJUAN HIDUP MANUSIA.docx
TUJUAN HIDUP MANUSIA.docx
anwarjuli
 
Ketidakpastian melaui kacamata spiritual
Ketidakpastian melaui kacamata spiritualKetidakpastian melaui kacamata spiritual
Ketidakpastian melaui kacamata spiritual
IPDC
 

Ähnlich wie Yusdeka reformatted b - ok ! (20)

TUJUAN HIDUP MANUSIA.docx
TUJUAN HIDUP MANUSIA.docxTUJUAN HIDUP MANUSIA.docx
TUJUAN HIDUP MANUSIA.docx
 
TUJUAN HIDUP MANUSIA.docx
TUJUAN HIDUP MANUSIA.docxTUJUAN HIDUP MANUSIA.docx
TUJUAN HIDUP MANUSIA.docx
 
Dedikasi dalam diri setiap individu
Dedikasi dalam diri setiap individuDedikasi dalam diri setiap individu
Dedikasi dalam diri setiap individu
 
Tujuan hidup manusia[1]
Tujuan hidup manusia[1]Tujuan hidup manusia[1]
Tujuan hidup manusia[1]
 
majalah-kekuatan-sugesti-mei- 2022 (1).pdf
majalah-kekuatan-sugesti-mei- 2022 (1).pdfmajalah-kekuatan-sugesti-mei- 2022 (1).pdf
majalah-kekuatan-sugesti-mei- 2022 (1).pdf
 
Saya hanya manusia biasa
Saya hanya manusia biasaSaya hanya manusia biasa
Saya hanya manusia biasa
 
Eksposisibab ii1
Eksposisibab ii1Eksposisibab ii1
Eksposisibab ii1
 
Elaborasi Pemahaman dan Rencana Aksi Nyata-KSE.pptx
Elaborasi  Pemahaman  dan Rencana Aksi Nyata-KSE.pptxElaborasi  Pemahaman  dan Rencana Aksi Nyata-KSE.pptx
Elaborasi Pemahaman dan Rencana Aksi Nyata-KSE.pptx
 
Ringkasan ilmu logika
Ringkasan ilmu logikaRingkasan ilmu logika
Ringkasan ilmu logika
 
Growing through Reading
Growing through ReadingGrowing through Reading
Growing through Reading
 
KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM DAN ALIRAN - ALIRAN TEOLOGI
KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM DAN ALIRAN - ALIRAN TEOLOGIKONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM DAN ALIRAN - ALIRAN TEOLOGI
KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM DAN ALIRAN - ALIRAN TEOLOGI
 
Majalah Kekuatan Sugesti, Maret 2014
Majalah Kekuatan Sugesti, Maret 2014Majalah Kekuatan Sugesti, Maret 2014
Majalah Kekuatan Sugesti, Maret 2014
 
Pengertian psikologi perkembangan
Pengertian psikologi perkembanganPengertian psikologi perkembangan
Pengertian psikologi perkembangan
 
Aqidah akhlak - Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah
Aqidah akhlak - Ruang Lingkup Pembahasan AqidahAqidah akhlak - Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah
Aqidah akhlak - Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah
 
Three time in successful mindset
Three time in successful mindsetThree time in successful mindset
Three time in successful mindset
 
Ketidakpastian melaui kacamata spiritual
Ketidakpastian melaui kacamata spiritualKetidakpastian melaui kacamata spiritual
Ketidakpastian melaui kacamata spiritual
 
Kenapa harus belajar (2)
Kenapa harus belajar (2)Kenapa harus belajar (2)
Kenapa harus belajar (2)
 
Murni psikologi 2
Murni psikologi 2Murni psikologi 2
Murni psikologi 2
 
Murni psikologi 2
Murni psikologi 2Murni psikologi 2
Murni psikologi 2
 
Murni psikologi 2
Murni psikologi 2Murni psikologi 2
Murni psikologi 2
 

Mehr von Fitri Indra Wardhono

Perdesaan, sebagai tempat akan dilaksanakannya pembangan pariwisata perdesaan...
Perdesaan, sebagai tempat akan dilaksanakannya pembangan pariwisata perdesaan...Perdesaan, sebagai tempat akan dilaksanakannya pembangan pariwisata perdesaan...
Perdesaan, sebagai tempat akan dilaksanakannya pembangan pariwisata perdesaan...
Fitri Indra Wardhono
 
Pedoman RIPPDA 2015
Pedoman RIPPDA 2015Pedoman RIPPDA 2015
Pedoman RIPPDA 2015
Fitri Indra Wardhono
 
Kebatinan & kejawen islam
Kebatinan & kejawen   islamKebatinan & kejawen   islam
Kebatinan & kejawen islam
Fitri Indra Wardhono
 
Daftar ayat & surat untuk ruqyah
Daftar ayat & surat untuk ruqyahDaftar ayat & surat untuk ruqyah
Daftar ayat & surat untuk ruqyah
Fitri Indra Wardhono
 
Meruqyah Rumah dan/atau Tempat Usaha
Meruqyah Rumah dan/atau Tempat UsahaMeruqyah Rumah dan/atau Tempat Usaha
Meruqyah Rumah dan/atau Tempat Usaha
Fitri Indra Wardhono
 
Tata Cara Pengembangan Kawasan - Sebuah Pedoman dari Bappenas
Tata Cara Pengembangan Kawasan - Sebuah Pedoman dari BappenasTata Cara Pengembangan Kawasan - Sebuah Pedoman dari Bappenas
Tata Cara Pengembangan Kawasan - Sebuah Pedoman dari Bappenas
Fitri Indra Wardhono
 

Mehr von Fitri Indra Wardhono (20)

Perdesaan, sebagai tempat akan dilaksanakannya pembangan pariwisata perdesaan...
Perdesaan, sebagai tempat akan dilaksanakannya pembangan pariwisata perdesaan...Perdesaan, sebagai tempat akan dilaksanakannya pembangan pariwisata perdesaan...
Perdesaan, sebagai tempat akan dilaksanakannya pembangan pariwisata perdesaan...
 
Kumpulan Ayat Pilihan Untuk Yang Sedang "Jatuh"
Kumpulan Ayat Pilihan Untuk Yang Sedang "Jatuh"Kumpulan Ayat Pilihan Untuk Yang Sedang "Jatuh"
Kumpulan Ayat Pilihan Untuk Yang Sedang "Jatuh"
 
Ad dukhon 43 – 59
Ad dukhon 43 – 59Ad dukhon 43 – 59
Ad dukhon 43 – 59
 
Pedoman RIPPDA 2015
Pedoman RIPPDA 2015Pedoman RIPPDA 2015
Pedoman RIPPDA 2015
 
Aneka diagram penataan ruang kepariwisataan
Aneka diagram penataan ruang kepariwisataanAneka diagram penataan ruang kepariwisataan
Aneka diagram penataan ruang kepariwisataan
 
Kumpulan ayat ruqyah standar
Kumpulan ayat ruqyah standarKumpulan ayat ruqyah standar
Kumpulan ayat ruqyah standar
 
Instrumen gabungan survey kepariwisataan
Instrumen gabungan survey kepariwisataanInstrumen gabungan survey kepariwisataan
Instrumen gabungan survey kepariwisataan
 
Evaluasi penguasaan ayat ayat al qur’an untuk pelaksanaan ruqyah syar’iyyah
Evaluasi penguasaan ayat ayat al qur’an untuk pelaksanaan ruqyah syar’iyyahEvaluasi penguasaan ayat ayat al qur’an untuk pelaksanaan ruqyah syar’iyyah
Evaluasi penguasaan ayat ayat al qur’an untuk pelaksanaan ruqyah syar’iyyah
 
Daftar ayat ayat ruqyah
Daftar ayat ayat ruqyahDaftar ayat ayat ruqyah
Daftar ayat ayat ruqyah
 
Kebatinan & kejawen islam
Kebatinan & kejawen   islamKebatinan & kejawen   islam
Kebatinan & kejawen islam
 
Daftar ayat & surat untuk ruqyah
Daftar ayat & surat untuk ruqyahDaftar ayat & surat untuk ruqyah
Daftar ayat & surat untuk ruqyah
 
Meruqyah Rumah dan/atau Tempat Usaha
Meruqyah Rumah dan/atau Tempat UsahaMeruqyah Rumah dan/atau Tempat Usaha
Meruqyah Rumah dan/atau Tempat Usaha
 
Sistem perencanaan kepariwisataan
Sistem perencanaan kepariwisataanSistem perencanaan kepariwisataan
Sistem perencanaan kepariwisataan
 
Penataan ruang kepariwisataan
Penataan ruang kepariwisataanPenataan ruang kepariwisataan
Penataan ruang kepariwisataan
 
Paparan dompak
Paparan dompakPaparan dompak
Paparan dompak
 
Renstra cipta karya 2006
Renstra cipta karya 2006Renstra cipta karya 2006
Renstra cipta karya 2006
 
Kek teroritis
Kek teroritisKek teroritis
Kek teroritis
 
Sosialisasi uu 27 / 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU...
Sosialisasi uu 27 / 2007 TENTANGPENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU...Sosialisasi uu 27 / 2007 TENTANGPENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU...
Sosialisasi uu 27 / 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU...
 
Panduan penataan ruang & pengembangan kawasan - Sebuah panduan dari Bappenas
Panduan penataan ruang & pengembangan kawasan - Sebuah panduan dari BappenasPanduan penataan ruang & pengembangan kawasan - Sebuah panduan dari Bappenas
Panduan penataan ruang & pengembangan kawasan - Sebuah panduan dari Bappenas
 
Tata Cara Pengembangan Kawasan - Sebuah Pedoman dari Bappenas
Tata Cara Pengembangan Kawasan - Sebuah Pedoman dari BappenasTata Cara Pengembangan Kawasan - Sebuah Pedoman dari Bappenas
Tata Cara Pengembangan Kawasan - Sebuah Pedoman dari Bappenas
 

Yusdeka reformatted b - ok !

  • 2. 1-2 Kata Pengantar Tulisan berikut ini merupakan buah karya dari Ustadz Yusdeka, penulis produktif dari milis “Dzikrullah” (https://groups.yahoo.com/group/dzikrullah) dan blog “Sikap Murid Dalam Berketuhanan Sedang Belajar Mendekat Kepada Dzat Yang Maha Dekat” (yusdeka.wordpress.com). Untuk keperluan pribadi, kami mengkompilasi tulisan-tulisan tersebut, baik berdasarkan abjad huruf pertama dari judul tulisan, maupun berdasarkan topik tertentu. Berikut ini adalah kumpulan tulisan dengan huruf pertama berhuruf “B”. Dalam pengkompilasian ini, kami berusaha untuk tidak menambah dengan kata-kata kami sendiri. Yang kami lakukan adalah pengurangan dan penyuntingan tampilan. Tujuan pengkompilasian ini tak lain adalah agar memudahkan kami untuk membaca dan memahami tulisan-tulisan tersebut. Hal ini disebabkan karena kebodohan kami untuk dapat memahami tulisan yang Ustadz Yusdeka tulis. Untuk itu kami merasa perlu untuk menstrukturkan dan mensistematisasikannya. Selain itu, kami menambahkan dengan uraian kesimpulan atas apa yang menjadi materi pembahasan Ustadz Yusdeka. Tulisan dari Ustadz Yusdeka demikian canggihnya, tidak heran jika disadari apa yang Ustadz Yusdeka tulis pada hakekatnya adalah tulisan yang langsung digerakkan oleh Allah SWT sendiri, sehingga kami terkadang menggap- menggap dalam membaca. Bahkan setelah selesai membaca, kami terkadang bertanya-tanya, apa yang telah kami baca tadi, mengingat kebodohan kami dalam hal yang ditulis tersebut. Setelah pengkompilasian ini tercapai kami berpendapat alangkah sayangnya jika tulisan dari Ustadz Yusdeka yang sudah dikompilasi tersebut hanya untuk kami konsumsi sendiri. Untuk itu, dalam format PDF, kami menaruhnya di internet. Semoga dengan demikian semakin banyak pihak yang dapat turut menikmati, dan harapan kami, dapat menemani Ustadz Yusdeka untuk camping di pinggir surga. (FIW)
  • 3. 1-3 Daftar Isi Artikel 1 : Bisakah Kita Berbicara dengan Allah ...............................................1-4 A. Pembahasan................................................................................1-4 B. Kesimpulan................................................................................1-61 Artikel 2 : Bagi Orang Yang Sudah Selesai......................................................2-65 A. Pembahasan..............................................................................2-65 B. Kesimpulan................................................................................2-72 Artikel 3 : Bahasa Ruhani...............................................................................3-74 A. Pembahasan..............................................................................3-74 B. Kesimpulan................................................................................3-77 Artikel 4 : Benang Kesambungan dengan Allah .............................................4-78 A. Pembahasan..............................................................................4-78 B. Kesimpulan................................................................................4-79 Artikel 5 : Bersatu..........................................................................................5-80 A. Pembahasan..............................................................................5-80 B. Kesimpulan................................................................................5-97 Artikel 6 : Bohong Berbuah Bohong ..............................................................6-99 A. Pembahasan..............................................................................6-99 B. Kesimpulan..............................................................................6-108
  • 4. 1-4 Artikel 1 : Bisakah Kita Berbicara dengan Allah1 A. Pembahasan 1. Tanya Saya bertemu dengan orang yang mengaku bisa bercakap-cakap dengan Allah. Apakah ini mungkin dilakukan? Mohon penjelasannya disertai dalil Al-Qur'an & Hadits. 2. Jawaban Memang dunia spiritual ini kadang-kadang terlihat aneh. Di satu sisi dia seperti dimusuhi atau paling tidak dianggap nyleneh, terutama oleh orang-orang yang tidak atau belum mereguk kenikmatan dunia spiritual tersebut. Sementara itu di sisi lainnya dia malah mau dieksplorasi habis- habisan oleh orang-orang yang sepertinya tengah mabok berat oleh dahsyatnya realitas suasana dan rasa yang didapat dalam dunia spiritual itu. Padahal bagi dua-duanya, baik bagi yang memusuhi atau tidak menyukainya maupun bagi yang menyukainya, landasan berpijaknya sama juga, itu-itu juga, yaitu hal-hal yang berkenaan dengan ALLAH, AL QUR’AN, NABI MUHAMMAD SAW, dan AL HADIST. Sebelum kita memulai membedah sedikit masalah kalimat berbicara dengan Allah di atas, saya ingin sampaikan sebuah pokok pemikiran tentang keterbatasan ukuran pikiran manusia. Keterbatasan Ukuran Pikiran Manusia Bahwa sudah menjadi sebuah kebiasaan umum bagi hampir seluruh manusia saat dia berbicara tentang sesuatu, maka sesuatu itu selalu dibandingkannya atau disandingkannya dengan sesuatu yang sesuai dengan kadar pikiran atau persepesi si manusia itu sendiri. 1 http://groups.yahoo.com/group/dzikrullah/message/1629
  • 5. 1-5 Keterbatasan Ukuran Pikiran Manusia Misalnya, saat kita ingin berbicara tentang sesuatu yang besar, maka ukuran besar itu pertama kali kita bandingkan dengan ukuran besar yang saat itu ada dikepala kita. Makanya besar menurut anak TK akan sangat jauh berbeda dengan besar menurut seseorang yang bergelut di dunia astronomi. Menurut anak TK, besar itu mungkin hanya seba- tas besar dirinya sendiri. Yang lebih besar dari dirinya dia kategorikan sebagai besar dan yang kecil dari tubuhnya disebutnya kecil. Sedang- kan bagi seorang profesor anstronomi, ukurannya besarnya sudah berubah menjadi besaran kosmos, besaran tahun cahaya. Dan dua- duanya, baik anak TK itu maupun si astronomis, adalah benar. Tidak ada yang salah. Lalu diantara dua ekstrim tersebut, anak TK dan profesor astronomi tersebut, ada diri kita sendiri. Di mana posisi kita ? Tugas kita ini sebenarnya sederhana saja, yaitu untuk iqra, melihat, membaca apakah ukuran-ukuran yang ada di dalam otak kita ini berkembang atau tidak dari waktu ke waktu. Apakah ukuran besar yang ada di dalam otak kita dari hanya sekedar ukuran besar menurut anak TK telah berubah menjadi sebuah ukuran besar menurut anak SD, atau SMP, atau SMA. Atau syukur-syukur ukuran besar kita itu sudah bisa pula mendekati ukuran besar menurut seorang astrono- mis. Amati sajalah pencapaian kita itu dan lalu sampaikanlah kepada orang-orang tentang yang kita pahami. Tulislah, dan da’wahkanlah. Tapi jangan paksa seorang anak TK untuk memahami apa-apa yang kita capai itu. Begitu juga jangan paksakan pencapaian kita itu kepada seorang profesor astronomi yang sudah kenyang makan asam garam dunia dalam ukuran besaran makro kosmos. Karena kalau kita sudah memaksa-maksa agar besar orang lain sama dengan besar menurut kita, maka nanti kita sendiri juga yang akan sakit saat mana orang lain itu tidak menerima apa-apa yang kita paksakan kepadanya. Tentang masalah ukuran besar ini saja ternyata sudah sangat berbeda
  • 6. 1-6 Keterbatasan Ukuran Pikiran Manusia dari orang ke orang. Belum lagi kalau mau kita ukur bagaimana suasa- na dan rasa dari besar tersebut. Akan lebih bervariasi lagi. Misalnya saat seseorang terbiasa memiliki uang di dalam tabungan rata-rata selama hidupnya tidak lebih dari Rp. 50 juta, tatkala dia tiba-tiba mendapatkan uang tak terduga-duga dari seseorang sebesar Rp 50 Milyar, maka ada suasana dan rasa wah, huh, hih, aha, yang mengalir di dalam dadanya. Suasana dan rasa itu sangat mempengaruhinya sehingga dia tidak kuat untuk menikmatinya sendiri. Lalu dia akan berteriak, dia akan histeris, dia akan tertawa, dia akan gemetar, dia akan menangis tapi sekaligus juga gembira, bahkan dia bisa lari kesana kemari mengabarkan sebuah suasana dan rasa dari Rp 50 milyar itu. Sehingga seringkali orang yang mendapatkan sesuatu yang jauh lebih besar dari apa-apa yang dia punya saat ditanya dengan pertanyaan yang aneh: Bagaimana rasanya mendapatkan uang sebesar itu ? Dan jawabannya tentu saja tak kalah anehnya pula. Misalnya: Saya sung- guh senang, saya tidak bisa ungkapkan dengan kata-kata rasa bahagia saya yang muncul, dan sebagainya. Walaupun begitu, ungkapannya itu tidak akan bisa dirasakan oleh si penanya saat itu, apalagi kalau si penanya saat itu punya uang RP. 500 milyar di dalam tabungannya. Dan yakinlah bahwa ungkapan rasa bahagianya tadi itu tidak akan utuh diterima oleh si penanya itu tadi. Sebab sebuah rasa saat ditulis dalam bentuk huruf, kata, dan kalimat-kalimat tidak akan pernah bisa mewakili rasa itu sendiri. Rasa itu tidak bisa ditransfer kepada orang lain hanya dengan kata-kata dan kalimat-kalimat saja (untuk sementara terima sajalah dulu pernyataan ini). Dari contoh di atas, kita dapat ambil kesimpulan sementara bahwa saat orang bergerak dari sebuah ukuran besar ke ukuran besar yang lebih besar lagi, maka di situ akan ada sebuah proses di dalam dada kita yang ukurannya bukan lagi besaran besar tapi sudah beralih besaran suasana dan rasa. Setiap besaran itu ternyata juga ada
  • 7. 1-7 Keterbatasan Ukuran Pikiran Manusia ukuran suasana dan rasanya. Orang yang tadinya hanya terbiasa melihat besarnya Monas di Jakarta dan rasanya pun sudah tidak ada lagi, saat dia dibawa menaiki mena- ra Eifel di Paris, akan menerima pula besaran rasa menara Eifel buat seketika yang melebihi besaran rasa Monas. Begitupun selanjutnya, seseorang yang tadinya hanya melihat besarnya gunung Tangkuban Perahu saat dibawa mendaki Pegunungan Everest, akan mendapat- kan rasa yang lebih lagi dari saat dia mendaki gunung Tangkuban Perahu tadi. Ya, ternyata ada pula rasa puncak Gunung Everest. Sampai di sini sebuah pertanyaan sederhana, pertanyaan seorang spiritualis, sudah boleh saya sampaikan kepada kita semua : Saat kita mengucapkan “Allahu Akbar, Allah Maha Besar”, lalu suasana dan rasa puncak seperti apa yang muncul di dalam dada kita masing-masing ? Sebab besar-Nya Allah adalah besar Yang Maha, maka suasana dan rasanya juga haruslah suasana dan rasa yang ultimate. Cobalah bedakan sejenak beda suasana dan rasanya tatkala kita menyebut : “Laut, gunung, piring, gelas,” dengan menyebut nama, “Allah, Allah, Allah.” Adakah bedanya ? Kalau menyebut nama Allah dengan menyebut nama benda-benda itu tadi tidak ada beda suasana dan rasanya sedikit pun, barangkali saja memang kita belum berhasil mendapatkan suasana dan rasa berketuhanan yang kental seperti yang dirasakan oleh Rasulullah SAW, . . . atau paling tidak imbasan dari suasana dan rasa berketuhanan yang Beliau alami dulu itu saja sebenarnya sudah cukuplah rasanya buat kita yang bodoh ini. Ya, Rasulullah itu dulu, saat Beliau menyebut nama
  • 8. 1-8 Allah, berhasil mendapatkan realitas suasana dan rasa dari segala apa yang beliau baca (iqra). Saat Beliau dituntun oleh Jibril untuk membaca (iqra), bahwa segala sesuatu di dunia ini ternyata bersandar kepada Allah, dan Beliau berhasil memahami itu (atau tepatnya didudukkan oleh Allah sendiri dalam pemahaman itu), lalu : Beliau menyebut nama Allah, ayat-ayat Allah, tiba-tiba saja ada realitas suasana dan rasa berketuhanan yang amat sangat kuat mengalir di dalam dada Beliau, . . . sebab Beliau telah berhasil menjadi penyaksi, syahid, atas realitas itu tadi. Suasana dan rasa yang muncul itu begitu kuatnya : • Dada Beliau menggigil, tubuh Beliau gemetar, • Air mata Beliau tumpah ruah tak terbendung. Untuk membahasakan suasana dan rasa yang Beliau dapatkan itu, Beliau lalu dituntun oleh Jibril, sehingga : . . . bahasa yang lahir dari tuntunan Jibril itu disebut bahasa Tuhan. Sebuah bahasa yang hanya bisa ditangkap oleh jiwa murni seorang manusia. Bahasa itu tidak dikotori sedikitpun oleh persepsi-persepsi Beliau sebagai seorang manusia. Hampir selama dua puluh tahunan Beliau memposisikan diri Beliau sebagai seorang pengiqraa (seorang pembaca sejati dan paripurna). Beliau selalu mendapatkan kepahaman, sekaligus suasana dan rasa dari apa-apa yang Beliau Iqra itu. Catatan: Janganlah kita kecilkan makna Iqraa Beliau itu hanya sebatas membaca seperti kita membaca sebuah buku. Tidak, Beliau Iqra dengan
  • 9. 1-9 seluruh instrumen yang ada pada diri Beliau. Utuh bacaan Beliau itu. Kalau makna Iqraa ini kita bonsai hanya menjadi membaca seperti kita membaca buku, maka buku macam apakah yang dibaca oleh Rasulullah ketika beliau diperintahkan oleh Malaikat Jibril untuk membaca pertama kalinya ? Wong belum ada kitabnya. Yang Beliau baca adalah segala yang terlihat melalui mata dan yang terdengar melalui telinga, Beliau membaca apa saja yang bisa ditangkap : •••• oleh lidah, •••• oleh hidung, •••• oleh kulit, •••• oleh perut, •••• oleh kelamin, dan •••• oleh DADA Beliau. Lalu Beliau paham, lalu Beliau mendapatkan suasana dan rasa dari segala sesuatu yang Beliau baca itu pada saat yang sama. Jadi ada apa-apa yang Beliau baca itu ada RUANGANNYA yang di dalam- nya ada kenyataan atau realitasnya, ada suasananya, dan ada pula rasanya. Karena Beliau adalah seorang Rasul, maka : . . . kepahaman, suasana, dan rasa yang Beliau alami atas segala sesuatu itu bukanlah hanya untuk Beliau nikmati sendiri.
  • 10. 1-10 Beliau harus sampaikan semuanya itu kepada seluruh umat manusia. Dan Beliau harus mengaktualisasikan semuanya itu dalam sebuah kehidupan di dunia ini. Untuk itu, semua kepahaman, suasana, dan rasa itu tadi haruslah dituangkan, ditranslasikan ke dalam bentuk bahasa aksara dan suara, bahasa manusia. Lalu, karena Beliau adalah seorang Arab, maka bahasa yang paling pas untuk itu adalah aksara dan suara dalam bahasa Arab pula. Bukan bahasa Indonesia, bukan bahasa Inggris, bukan bahasa Persia ataupun Romawi. Semua itu gunanya adalah agar orang-orang yang Beliau da’wahi itu bisa mengerti, paham, dan mendapatkan pula suasana dan rasa yang telah Beliau dapatkan itu. Nanti kalau ada orang yang mampu pula mendapatkan kepahaman, suasana dan rasa seperti yang dialami oleh Rasulullah itu, walau satu ayat sekali pun, maka tiada lain yang bisa dia katakan bahwa benar Muhammad ini adalah Rasulul- lah. Ya, kita tinggal syahid, menyampaikan kesaksian kita atas kerasulan Beliau, Muhammad SAW. Karena apa-apa yang Beliau sampaikan ternyata semata-mata adalah sesuatu yang benar adanya. Benar ada kepahaman, benar ada suasana dan rasa dari apa-apa yang Beliau sampaikan itu. Untuk proses translasi bahasa kepahaman, bahasa suasana dan rasa (bahasa QALAM, bahasa KESADARAN) itu tadi menjadi bahasa Arab tertulis, terjadi dengan dua cara, yaitu : • Dengan bantuan murni Malaikat Jibril yang nantinya akan menghasilkan kitab Al Qur’an, dan • Dengan cara mentranslasikan bahasa itu melalui tindak-tanduk, kata- kata ataupun ungkapan, akhlak dan perilaku Beliau sendiri yang semuanya itu nantinya akan menjadi rangkaian Al Hadist. Keduanya, Al Qur-an dan Al Hadist, inilah yang sampai kepada kita saat ini sebagai sarana utama bagi kita untuk menilai diri kita sendiri, dan syukur-syukur kita mau pula untuk menyampaikan seayat atau dua ayat yang berhasil kita pahami dan kemudian kita dapatkan pula suasana dan rasanya.
  • 11. 1-11 Sebenarnya banyak orang yang tidak sadar bahwa : . . . hakikinya Al Qur’an dan Al Hadist itu juga adalah GAMBARAN atau PROFILE tentang diri kita sendiri. Gambaran tentang kepahaman, tentang suasana dan rasa yang ada di diri kita sendiri dalam setiap tahapan kehidupan kita. Cobalah amati dada dan otak kita untuk sesaat, maka saat itu pastilah sama dengan bagian-bagian tertentu dari Al Qur’an ataupun Al Hadist : • Misalnya, tatkala kita shalat, kita berdiri malas-malasan, kita riya, kita tidak ingat Allah kecuali sedikit sekali, maka suasana dan rasa shalat seperti itu ternyata ada. Al Qur’an menyatakan bahwa itulah tanda- tanda atau profile seorang munafik (lihat An Nisaa, 4: 1422 ). Tatkala kita bingung tentang diri kita dan alam semesta ini, hati kita terkunci untuk memahami dan sekaligus mendapatkan suasana dan realitas tentang diri kita dan alam semesta ini, maka itulah tanda-tanda orang yang tercover (kafir), orang yang hatinya keras membatu, orang yang jahil. Untuk itu Al Qur’an menyebutkan contoh orang-orang tertentu dengan berbagai variasi kesadaran tertentu pula. • Misalnya, ada Fir’aun dengan profile sebagai penguasa yang sombong dan bengis. Ada Abu Lahab, ada Iblis, ada Jin dan sebagainya yang mewakili profile makhluk Allah yang dekat dengan Murka Allah. Ada pula Nabi-nabi, Rasul-Rasul, orang-orang shaleh, ada Muhammad SAW, ada Isa AS, ada Ibrahim AS, ada Adam, dan sebagainya untuk mewakili profile orang-orang yang dituntun oleh Allah dengan Rahmat-Nya. Jadi Al Qur’an itu memuat berbagai informasi, pengetahuan, suasana dan rasa dari segala kemungkinan yang ada. Ada informasi tentang : • berbagai Profile Tuhan dan profile segala ciptaan-Nya; • berbagai kemungkinan profile umat manusia; • berbagai kepahaman, suasana dan rasa dada umat manusia; 2 Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.
  • 12. 1-12 • berbagai pengetahuan dasar yang bisa dimiliki oleh umat manusia untuk keperluan hidupnya; • berbagai profile kehidupan dan peradaban sejak awal ketiadaan, kemudian ada, dan kemudian kembali keketiadaan. Ya, Rasulullah berhasil membaca itu semua, mendapatkan kepahaman- nya, menerima suasana dan rasanya. Namun begitu : . . . Beliau tidak larut, tidak terperangkap oleh ke semua rasa dan suasana itu. Beliau berada DI ATAS semua yang Beliau baca itu. Lalu Beliau diperintahkan Allah untuk menyampaikan semua itu kepada seluruh umat manusia agar masing-masing manusia itu bisa memban- dingkan dadanya, membandingkan otaknya sendiri dengan apa-apa yang telah diperoleh oleh Rasulullah. Jadi tugas kita sebenarnya sudah menjadi sangat sederhana sekali, yaitu untuk : . . . membandingkan profile informasi tentang otak, tangan dan lidah (peradaban), dan dada kita masing-masing dengan Al Qur’an dan Al Hadist di setiap saat. Pada posisi profile makhluk yang macam apa kita masing-masing berada pada suatu saat tertentu. Apakah pada suatu saat kita berada : a. Pada posisi profile pertama, yaitu profile : 1) orang yang bodoh, atau 2) orang yang buruk, atau 3) orang yang jahat, atau 4) orang yang durhaka, atau 5) orang yang munafik, atau 6) orang yang angkuh, atau 7) orang yang menjalankan maksiat, atau 8) orang lemah, atau 9) orang yang kafir, dan berbagai profile buruk lainnya, yang kalau semuanya diringkas menjadi sebuah profile yang disebut profile FUJUR.
  • 13. 1-13 b. Atau apakah pada suatu saat kita berada pada posisi profile kedua, yaitu profile : 1) orang yang cerdas (ulul albab), 2) orang yang baik, 3) orang santun, 4) orang yang patuh, 5) orang yang dipercaya, 6) orang yang rendah hati, 7) orang yang memelihara dirinya dari maksiat, 8) orang yang kuat dan gagah, 9) orang beriman, 10) dan berbagai profile baik lainnya, yang kalau semuanya dirangkum menjadi sebuah profile yang disebut profile TAQWA. Kesalahan umum kita umat Islam ini adalah : . . . saat kita membaca barang seayat dua ayat Al Qur'an, maka selalu saja mengarahkan ayat tersebut kepada orang lain. Ayat itu bukannya kita bandingkan dengan profil diri kita sendiri. Ya, Al Qur'an itu tidak kita bandingkan dengan profil dan suasana : • dada kita, • dengan otak kita, • dengan tangan kita, • dengan perkataan dan perbuatan kita sendiri. Kita hampir selalu saja beranggapan bahwa : . . . ajakan Al Qur'an untuk berbuat baik maupun meninggalkan keburukan adalah untuk orang lain. Sebab kita sendiri merasa sudah sangat baik, sudah sesuai dengan ayat yang kita sampaikan itu. Sedangkan orang lain belum.
  • 14. 1-14 Makanya orang lain yang kita tuju untuk kita ajak agar mereka mau berbuat baik dan meninggalkan keburukan itu, bukannya diri kita sendiri. Duh betapa sombongnya kita ini ya. Padahal Allah sangat tidak suka, atau tepatnya sangat murka, dengan kita yang berani-beraninya mengatakan kepada orang lain tentang suatu kebaikan padahal kita sendiri belum berada dalam suasana dan rasa ayat tentang ayat kebaikan itu. Mari kita lanjut. Nah, profile Fujur ataupun Taqwa itu, di samping ada bahasanya, ada pula suasana dan rasanya masing-masing. Dan pada posisi profile yang manapun kita berada, maka saat itu pastilah kita sama dengan Al Qur'an. Kita tengah menjalankan Al Qur'an juga namanya. Tidak bisa tidak. Tapi pada FUJUR dan TAQWA itu berada pada sisi yang saling bertolak belakang satu sama lainnya. Tegasnya, orang kafir juga tengah sesuai atau menjalankan Al Qur'an sama baik dan sempurnanya dengan orang yang beriman. Tapi dua-duanya sangat berbeda dalam hal suasana dan rasanya. Sebab suasana dan rasa kafir sangatlah berbeda dengan suasana dan rasa iman. Berbeda seperti berbedanya siang dan malam, seperti berbedanya hidup dan mati, seperti berbedanya air dan api, seperti berbedanya positif dan negatif. Walaupun begitu, dua-duanya akan selalu ada sebagai pertanda bahwa kita masih hidup di dunia ini. Dunia di mana segala sesuatunya berada dalam suasana berpasang-pasangan. Terpolarisasi. Cuma saja di tengah-tengah polaritas hidup yang aneh itu, Muhammad SAW berhasil menemukan resep yang jitu agar kita bisa ke luar saat mana kita di suatu saat terdorong menuju polaritas FUJUR, yang suasananya bisa dirasakan oleh dada kita berupa sempitnya dada kita dan rasanya juga tidak enak. Beliau telah mewariskan jalan ke luar itu bagi seluruh umat manusia. Jalan ke luar itu adalah agar kita segera berlari ke sisi Allah, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun”.
  • 15. 1-15 Namun, adakalanya pula makna Inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun ini tidak kurang-kurangnya pula di antara kita ini ada yang mencoba me- mahaminya dengan cara yang sulit-sulit atau lebih tepatnya dipersulit- sulit sendiri. Sehingga ada yang mempersepsikannya seperti : • kita ke luar masuk tubuh, • kita tamasya rohani ke sana ke mari, • kita berusaha meraga sukma, • dan sebagainya. Rame sekali. Padahal sebenarnya cukup bersikap : • Aku tak mau merampas kehidupan-Nya • Biarlah aku berserah untuk tiada • Berada dalam diam dalam tiada • Diam, diam, diam. Ya, selalulah berserah untuk menjadi tiada. Dan biarkanlah Dia Sendiri yang menyatakan keberadaan-Nya, Kehidupan-Nya, Kesibukan-Nya, Karep-Nya. Sehingga akhirnya kita didudukan-Nya di posisi : Al Anfal (8 : 17) …dan bukanlah engkau yang membunuh mereka, tetapi Allahlah yang membunuh mereka. Dan tiadalah engkau yang melempar ketika engkau melempar, melainkan Allah-lah yang melempar. Untuk melatih suasana dalam ayat yang sangat sederhana tapi sangat dalam ini tiada lain adalah : Selalulah lari ke Allah, meringkuklah segera di sisi-Nya. Karena memang rumah kita yang hakiki adalah di sisi Allah. Sebab kita ini memang berasal dari-Nya, dan kepadanya jugalah memang kita ini seharusnya kembali. Tidak kepada yang lain. Cara Melatih
  • 16. 1-16 Dan untuk mendapatkan suasana itupun sangat sederhana sekali, yaitu : Shalatlah dengan khusyu ! Bahkan Nabi telah mengeluarkan pernyataan Beliau yang sangat gamblang tentang shalat ini : “Ash shalatu mi’rajul mukminin”, Shalat itu adalah mi’rajnya orang beriman. Jadi saat shalat itu sebenarnya kita tengah merasakan suasana kede- katan dengan Allah, berada di hadapan Wajah Allah, berbicara dengan Allah. Dan, dengan sangat mengherankan sekali, seketika itu pula kita akan dituntun-Nya untuk ke luar dari suasana dan rasa polaritas FUJUR yang garing dan tidak enak. Nah, orang yang ke luar atau tepatnya dikeluarkan oleh Allah dari suasana dan rasa polaritas FUJUR itu akibat dari larinya dia ke Allah saat mendapatkan suasana dan rasa Fujur itu, maka dengan seketika itu pula dia akan merasakan suasana dan rasa polaritas TAQWA. Tidak bisa tidak. Karena memang dalam kehidupan kita ini hanya ada dua sisi suasana yang akan kita dapatkan, yaitu : • Suasana dan rasa Taqwa di satu sisi, atau • Suasana dan rasa Fujur di sisi yang lainnya. Dalam kesempatan lain nanti, kita akan bahas pula tentang apa yang harus kita lakukan saat kita sudah mendapatkan realitas suasana dan rasa pulang ke rumah kita yang hakiki, yaitu di sisi Tuhan. Insyaallah. Nah sekarang mari kita masuk dulu ke bagian lain untuk menjawab pertanyaan di atas, yang kelihatannya cukup sederhana, tapi ternyata membutuhkan jawaban yang alangkah sulitnya untuk dituliskan, yaitu tentang bisakah kita berbicara dengan Allah ? Begitu kita membaca kata berbicara, maka hampir dengan seketika itu pula asosiasi kita akan beralih kepada cara berbicara kita diantara sesama manusia. Di mana kalau manusia saling berbicara, maka ada mulut, ada lidah, ada gigi geligi, ada aliran udara. Semua alat itu tadi kita saling gerakkan dengan cara–cara tertentu sehingga menghasilkan
  • 17. 1-17 bunyi atau suara yang bisa kita tangkap dengan telinga kita. Setiap suara atau bunyi akan bisa mewakili sebuah suasana atau rasa yang sedang kita saling bicarakan dengan lawan berbicara kita. Kalau berbicara seperti ini yang dimaksudkan dengan pertanyaan di atas, maka saya berlindung kepada Allah dari pemahaman untuk menyamakan cara berbicara Tuhan dengan cara berbicaranya manusia. Saya dengan sangat rendah hati akan menyatakan bahwa : Allah tidak mungkinlah berbicara dengan manusia yang notabene adalah ciptaan-Nya dengan memakai bahasa artikulasi manusia itu sendiri. Sebab Dia adalah Sang Laisa kamistlihi syai’un. Dzat yang tidak akan pernah sama dengan ciptaan-Nya tentang apapun juga. Kalau rambu laisa kamistlihi syai’un ini tidak kita pakai, maka kita kem- bali akan digiring kepada asosiasi tentang Tuhan yang sedang berbicara kepada kita seperti yang sering kita lihat di film-film, terutama film India, dan film-film Cina atau Indonesia yang berbicara tentang dewa- dewi dari kahyangan. Misalnya, di saat kita butuh pertolongan, tiba-tiba saja ada suara yang memberitahu kita jalan ke luar dari permasalahan kita. Saat kita cari siapa yang berbicara itu, maka wujud yang berbicara itu dibuat menjadi tidak ada. Lalu dikaranglah bahwa yang berbicara itu tadi adalah Tuhan, atau Dewa-Dewi, atau Yesus, atau Budha, dan sebagainya. Masak sih umat Islam akan memakai konsep seperti itu pula ? Lalu bagaimana konsep Islam dalam memahami cara berbicara Allah dengan manusia ? Dan bagaimana pula cara berbicara manusia dengan Allah ? Untuk itu kita ambil dulu beberapa ayat yang berbicara tentang itu. Al ‘Alaq (96 : 4) “Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan QALAM.”
  • 18. 1-18 Al ‘Alaq (96 : 5) “Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” Asy Syuura (42 : 51) “Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” Al-Baqarah (2 : 253) “Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat.” An-Nisa' (4 : 164) “Dan rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” Luqman (31 : 12) “Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu, ‘Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.’” Al Baqarah (2 : 186) “Ujiibu da’watad da’I idza da’aani, Aku menjawab panggilan orang yang memanggil apabila ia memanggil-manggil-Ku.” Cukup sebegini dulu ayat-ayat yang akan menjadi landasan berfikir kita. Saya akan mulai dengan sebuah pertanyaan sederhana : Saat kita dalam
  • 19. 1-19 shalat mengucapkan kalimat do’a “Rabbighfirli, ya Allah ampuni saya", kira-kira jawaban Allah seperti apa ya ? Masak sih Allah nggak men- jawabnya. Kalau Allah tidak menjawabnya, tidak meresponnya, maka ayat 186 surat Al Baqarah di atas boleh tidak untuk kita coret saja ? Padahal kita menyampaikan do’a kita itu kepada Dzat Yang Hidup, Allah. Bukan kebatu, bukan ke benda mati. Kalau kita tidak berhasil membaca, IQRA, jawaban dari Allah tentang apa-apa yang kita bicarakan dengan Allah, maka boleh jadi kita ini memang tengah duduk terpuruk sebagai anggota dari golongan orang yang buta, orang yang tuli. Maksud buta dan tuli di sini bukanlah buta mata dan tuli telinga kita, tapi hati kitalah yang telah buta dan tuli. Sehingga kita tidak bisa lagi melihat dan mendengarkan Tuhan berbi- cara menyambut dan mengabulkan do’a kita tadi. Itu baru satu do’a. Lalu bagaimana dengan do’a-do’a yang lainnya, seperti “warhamni, wajburni, warfa’ni, warzukni, wahdini, wa’aafini, wa’fu’anni”, begitu juga dengan do’a sapu jagad “Rabbana atina fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah”, kira-kira jawaban Allah bagaimana pula agaknya ? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti ini, marilah kita bongkar dulu frame berfikir kita yang sudah karatan berada di dalam otak kita. Allah menyatakan bahwa Aku menurut persangkaan hamba-hamba-Ku, ana ‘inda zhanni abdi. Oleh sebab itu, marilah kita sejenak membuat persangkaan-persangkaan baru kepada Allah. Kita ubah persangkaan kita kepada Allah yang selama ini sudah berkarat di otak kita. Misalnya : a. Bahwa Allah tidak akan pernah lagi berbicara dengan kita umat manusia biasa ini, bukan Rasul, bukan Nabi. b. Bahwa Allah telah selesai bekerja. Setelah menciptakan blue print kehidupan seluruh alam semesta ciptaan-Nya (sunatullah), 1) Dia sudah tinggal istirahat saja di ‘Arasy memperhatikan seluruh ciptaan-Nya berjalan sesuai dengan sunatullah itu. 2) Dia kemudian tinggal duduk saja, bersemayam saja di ‘Arasy.
  • 20. 1-20 Lalu persepsi kita melayang-layang liar untuk menyamakan duduk-Nya Allah di ‘Arasy itu seperti duduknya raja diraja yang sangat berkuasa. Apa-apa tinggal Dia perintahkan para Malaikat-Nya untuk mengerja- kannya : • Untuk menurunkan hujan tingggal Dia perintahkan malaikat. • Untuk mencabut nyawa tinggal Dia perintahkan malaikat. • Untuk mencatat perbuatan baik dan buruk kita tinggal dia perintahkan malaikat, dan sebagainya. Marilah kita berprasangka baru kepada Allah, atau syukur-syukur ini bisa menjadi sebuah keyakinan (iman) kita yang baru kepada-Nya. Dasar-dasarnya juga Al Qur'an kok. Yaitu, bahwa sebenarnya Allah sangatlah SIBUK: Ar Rahmaan (55 : 29) “Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” Al Baqarah (2 : 255) “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa`at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melain- kan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” Untuk memahami kemahasibukan Allah ini, maka prasangka kita terhadap Wujud Allah juga haruslah kita ubah. Allah yang tadinya kita sangka duduk manis di ‘Arasy mari kita ubah sejenak menjadi sebuah kesadaran baru bahwa:
  • 21. 1-21 Al Fushilat (41 : 54), An Nissa’ (4 : 126) “Dia Maha MELIPUTI segala sesuatu.” Ya, Dia Maha Meliputi segala sesuatu, Dzat-Nya Maha Meliputi segala sesuatu, Wujud-Nya Maha Meliputi segala sesuatu. Allah Maha Meliputi segala sesuatu. Ratusan tahun sejak wafatnya Rasulullah, ayat ini seperti terlupakan oleh umat Islam. Setiap kita bertemu dengan ayat ini, maka : . . . selalu saja pikiran kita dibawa kepada pemahaman bahwa yang maha meliputi segala sesuatu itu : • adalah sifat-Nya, • adalah kekuasaan-Nya, • adalah keperkasaan-Nya, • adalah pengetahuan-Nya. Selalu saja begitu ! Kita seperti orang yang mengalami trauma berat saat berhadapan dengan ayat ini gara-gara ada sejarah tentang Al Halaj dan Syech Siti Jenar. Akibatnya kita seperti umat yang jauh sekali dengan Tuhan, kita seperti tidak punya tempat bergantung lagi sudah berbilang zaman. Kita tidak punya alamat untuk berpegang teguh lagi di dalam keseharian hidup kita. Kita seperti tidak punya tempat bersandar lagi dalam setiap aktivitas kita. Padahal Allah menyatakan dengan tegas bahwa: Al Hajj (22 : 78) “Wa’tashimuu billah, berpegang teguhlah kepada Allah.” Sehingga : . . . kita sudah tidak bisa lagi memahami : • bagaimana dekatnya Allah dengan kita, • bagaimana Allah lebih dekat dari urat leher kita,
  • 22. 1-22 • bagaimana memahami wajah Allah yang tidak di barat dan tidak di timur, ke mana saja kita menghadap maka di sana ada Wajah Allah. Mengurai Belenggu Fikiran Buat sejenak jangan buat dulu pembatasan pola berfikir kita bahwa Bercakap-cakap dengan Allah SWT itu hanya dilakukan oleh para nabi, itupun tidak semua nabi. Hanya nabi tertentu yang disebutkan berca- kap-cakap dengan Allah. Pembatasan seperti ini buang dululah sejenak. Dasar ayat untuk menafikan kalimat di atas adalah ayat-ayat yang saya kutipkan di atas. Coretlah dulu kalimat itu dengan tinta merah, sebentar saja. Dan kalau nanti mau dipakai kembali ya silahkan saja. Cara untuk membuang kalimat itu dari ingatan kita juga sederhana saja : a. Lihat dan amatilah sebatang pohon. Artinya alihkanlah kesadaran kita kepada sebatang pohon. Amatilah batangnya, rantingnya, daun- nya, buahnya. Kesadaran kita seperti mengalir begitu saja melalui bagian-bagian pohon tersebut. Lakukanlah pengamatan terhadap pohon itu secara berulang-ulang agak beberapa lama. Dan dengan sangat mengejutkan kita sudah tidak ingat lagi dengan kalimat pem- batasan pola berfikir seperti di atas. b. Tahap berikutnya cobalah tubuh kita ini dirilekskan saja. Otak kita rilek, mata kita rileks, dada kita rileks. Artinya tidak ada ketegangan otot di tubuh, di kepala, di dada, di mata, dan di kening diantara kedua mata kita. Contoh keadaan rileks yang sempurna adalah se- perti sikap yang dilakukan oleh anak kecil, terutama bagi anak-anak yang berusia antara 0 sampai dengan 2 atau 3 tahun. Tirulah rileks mereka itu. Rileks sekali. Begitu kita bisa bersikap rileks ini, maka hampir secara otomatis kita akan terbebas dari kungkungan persepsi ketubuhan kita. Kita seperti bisa melampaui tubuh kita. Kita akan merasakan bahwa kita tidak
  • 23. 1-23 lagi bentuk wujud yang hanya sekedar dibatasi oleh jaringan kulit dan otot saja. Kita bisa begitu bebasnya bergerak seperti bebasnya angin, Rih bergerak. Karena kita ini hakekatnya memang adalah Ar Ruh, Sang Angin, Sang Sir. Saat kita mengamati dada dan otak kita, maka keduanya akan terasa bergerak meluas tak terbatas. Lepas tak terbatas menuju ruang tanpa batas. Seperti bergerak dan mengem- bangnya alam semesta ini secara terus menerus dan tanpa henti. Ya, kita akan mengamati sebatang pohon dan juga diri kita sendiri dalam suasana hati dan pikiran yang rileks. Kita akan masuk ke suasana ruangan otak dan dada kita yang besarannya menjadi begitu luas dan tak terbatas. Kemudian sadarilah, oo, ternyata aku ini adalah Sang Angin, Sang Sir. Wujud yang sebenarnya tidak bisa dibatasi oleh apapun juga. Akulah Sang Angin yang bebas bergerak. Sang Angin tidak terpengaruh sedikitpun dengan apa-apa yang dia amati. Karena Sang angin selalu bergerak bebas, maka apa-apa yang dia jumpai, apa-apa yang dia lewati, sudah tidak jadi pusat perhatiannya lagi. Saat dia melihat benda apapun juga, semua itu dia lewati saja sambil lalu. Sang Angin seperti berkata pada dirinya sendiri: • “Laa, Laa, Laa ilaha. • Aku akan lewati semuanya, • Aku menganggap tidak penting lagi semua yang ku lalui ini, • Aku akan nafikan apa-apa yang datang dan pergi, • Aku tegaskan bahwa semua warna dan rupa hakikinya adalah tiada, • Aku sedang menuju Wujud Hakiki tempat ku bergantung dan ber- sandar.” Saat semua bentuk, rupa dan warna sudah tiada, Sang Angin pun menemukan : • Wujud Sang Ada, • Wujud tanpa rupa, tanpa warna. Kosong ! • Wujud yang meliputi segala apapun juga, • Wujud yang menyelimuti segala sesuatu.
  • 24. 1-24 Sang Angin pun merunduk, bersimpuh, merendah di dalam liputan kekosongan itu. Liputan Sang Ada …! Sang Muhith. Lalu Sang Angin menegaskan pada Sang Ada, “Illallah, Illallah, Illallah, yang ada hanyalah Engkau, Tuhanku, Allah, Allah, Allah. Laa ilaha illallah !” Lalu Sang Anginpun tenteram duduk bersimpuh di rumahnya sendiri. Di Rumah Angin, Sang Ada, Sang Muhith, Sang Angin pun menyampaikan sembah kepada Sang Ada : “Laa ilaha illallah…! Tidak ada apa-apa kecuali hanya Engkau Wahai Sang Muhith, Wahai Sang Ada.” Sang Angin kemudian mengerti bahwa Sang Muhith adalah Dzat : • Sang Penghidupan. • Sang Penggerak tumbuh hidup. Lalu Sang Anginpun bersedia untuk tiada, bersedia untuk tiada dan diam. Tiada, diam. Berbicara Dengan Allah tentang Alam Kalau kita sudah paham posisi duduk kita di hadapan Allah, dan paham pula bahwa segala sesuatunya bersandar kepada Dzat Sang Penghi- dupan, Sang Penggerak tumbuh hidup, Dzat Yang setiap waktu selalu dalam kesibukan mengatur semua ciptaan-Nya, maka berbicara dengan Allah adalah sebuah kegiatan yang niscaya saja sebenarnya. Mari kita coba sejenak : a. Pertama, kita ingin berbicara dengan Allah tentang apa yang terjadi dengan 4 batang pohon tomat yang kita tanam dalam 4 pot yang berbeda. Kalau bisa keempat batang pohon itu yang hampir sama umur dan karakteristiknya. Taruhlah keempat pot pohon tomat itu berdampingan di hadapan kita. Siapkan pula pupuk tanaman secukupnya. Ambillah buku catatan, ballpoint, meteran, kalau perlu kamera. Siap-siaplah, kita akan menjadi seorang penyaksi akan kebenaran ayat berikut ini:
  • 25. 1-25 Ali Imran (3 : 190-191) "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi Ulul albab (orang yang berakal), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, atau sambil duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." b. Selanjutnya, pandanglah Sang Muhith. Kalau kita sampai tidak sadar dan tidak mampu memadang Wujud Sang Muhith INI, maka kita namanya adalah orang yang kafir, covered, orang tertutup akan keberadaan Wujud-Nya, Yang Nyata, Yang Ada. Saat kita memandang Sang Muhith, kapan perlu, dan (lets me tell you) memang ini sangatlah perlu, pujilah Dia dengan sangat rendah hati, “Subhanaka, Subhanaka, Subhanaka !” Tiga kali saja pujian seperti ini kepada-Nya, akan sanggup merontokkan keangkuhan dan kekerasan hati kita yang seberapapun kuatnya. Karena dengan pujian itu berarti saat itu juga kita telah menyerah segala kesucian, segala kehebatan, segala keangkuhan yang mungkin saja bersarang di sudut-sudut dada kita kepada Sang Muhith, Sang Pemilik kesucian, kengakuhan, kehebatan yang sebenarnya. Karena kita memuji kepada Allah, Sang Maha Hidup, bukan kepada batu atau benda mati, maka Jawaban Allah terhadap pujian kita ini pastilah ada. Dia mendudukkan kita dalam posisi sikap pemujaan kepada-Nya. Sikap pemujaan bukanlah dalam bentuk kata-kata seperti puji-pujian, akan tetapi dalam bentuk laku dan karsa. Seperti apa ? Ya, alami sajalah sendiri ! Derr. c. Lalu pandanglah keempat pohon tomat di dalam pot yang ada di depan kita. Ada tidak kesadaran kita muncul dengan pekat bahwa ternyata pohon tomat itu hanya sekedar bersandar saja kepada
  • 26. 1-26 liputan Sang Muhith tanpa daya tanpa upaya. Kesadaran itu bukan hanya dalam bentuk keilmuan lagi, tapi lebih dalam bentuk suasana dan rasa. Ada ruangannya untuk kesadaran itu. Amatilah sampai ketemu posisi duduk kita yang tepat dalam memandang pohon tomat itu yang diliputi Sang Muhith. d. Kalau sudah ketemu duduknya, maka amatilah tangan kita agak sejenak dua jenak. Sadari pulalah bahwa ternyata tangan kita, tubuh kita, dan penglihatan kita juga ternyata berada dalam liputan Sang Muhith. Sebab tidak ada suatu apapun yang bisa luput dari liputan Sang Muhith. Derr ! Sekarang nyatakanlah bahwa saya akan menjadi wakil Tuhan untuk memanfa’atkan tangan saya ini dalam aktivitas yang akan saya lakukan ini. “Bismillah, atas nama Sang Muhith, saya melakukan aktivitas ini.” Lalu mulailah berbicara dengan Sang Muhith: • “Ya Allah, apa yang terjadi ya Allah, • Kalau tomat di pot yang bertama ini tidak saya apa-apakan, • Sedangkan pot yang kedua saya kasih pupuk sebanyak 2 mg, • Tomat di pot ketiga saya kasih pupuk satu sendok teh, dan • Pot yang keempat saya kasih pupuk 10 sendok makan ?” Ukurlah tinggi batang tomat itu masing-masing, begitu juga lingkaran batangnya, besar daunnya. Catatlah apa-apa yang terlihat. Lalu dengar- kanlah dan lihatlah bagaimana jawaban Allah atas pertanyaan kita tadi itu. Jawaban Allah begitu pasti, tidak pernah keliru, tidak pernah meleset, begitu jelas. Hari pertama, catatlah semua yang terjadi. Hari kedua dan hari-hari berikutnya juga begitu. Catatlah semua perubahan yang terjadi. Misal- nya, ukuran dan tinggi batangnya menjadi seperti apa, daun dan buah di masing-masing pot menjadi seperti apa. Sampai kita temukan jawab- an yang sangat jelas atas pertanyaan kita di atas atas perbedaan
  • 27. 1-27 perlakuan pemupukan kita terhadap ketiga batang tomat itu. Jawaban Allah itu begitu jelas. Nah, . . . seperti itulah salah satu cara Tuhan berbicara dengan kita. Bahasa Tuhan itu begitu jelas. Bahasa yang bisa dipahami oleh seluruh umat manusia. Bahasa yang bukan berupa rangkaian kata-kata, huruf-huruf, dan kalimat-kalimat. Ya, bahasa yang bukan aksara dan bukan pula bunyi. Sekarang terserah kita saja mau membahasakannya. Mau mau dibahasakan ke dalam bahasa Indonesia hayo, ke dalam bahasa Arab juga boleh, terserah kita. Karena di awal aktivitas kita sudah berada di dalam sebuah kesadaran bahwa pohon tomat itu hanyalah bersandar kepada Sang Muhith, dan setiap perubahan yang terjadi terhadap batang tomat itu juga adalah karena adanya daya dan gerak hidup dari Sang Muhith, maka dengan mudah sekali kita akan bisa mentranslasi (menerjermahkan) jawaban Tuhan itu ke dalam segala bahasa. Misalnya translasi yang sangat sederhana seperti berikut ini: “Hai Deka, kau perhatikanlah batang yang di pot kedua itu. Kualirkan daya hidup-Ku melalui batang itu. Lihatlah, Tinggi dan lingkaran batangnya Kujadikan sekian centi meter, daunnya Ku- hijaukan, buahnya Kulebihkan dari batang yang tidak diberi pupuk di pot yang pertama. Lalu perhatikan pulalah apa yang Kulakukan terhadap batang tomat yang ada di pot ketiga. Betapa batang daun dan buahnya Ku buat lebih baik lagi dari batang yang ada pot yang pertama dan pot yang kedua. Kau laihat pula itu, batang yang ada di pot keempat, batang daun, dan buahnya tidak bisa tumbuh lagi dengan baik, karena kau telah memberikan pupuk terlalu berlebihan ke dalam pot yang keempat itu. Tidakkah Aku ini Maha Mengatur semua ciptaan-Ku ? Bukankah Aku ini Maha Hebat ? Tidakkah semua yang Kulakukan itu sangat bermanfaat bagimu, sehingga
  • 28. 1-28 engkau bisa mendapatkan hasil yang optimum dari sebuah aktivitas pertanian tomat ?” Translasi-translasi seperti ini sangatlah pribadi sekali sifatnya. Dan jawaban-jawaban Allah atas pertanyaan kita juga akan berkembang se- demikian rupa di setiap saat. Hari ini kita mungkin kita baru bisa mengerti jawaban Allah tentang batang, daun dan buah. Pada masa mendatang, kalau kita tetap telaten bereksperiment, maka jawaban Allah juga akan semakin detail. Sampai kita bisa mengerti tentang ilmu genetika tomat, dan sebagainya. Jawaban Allah pastilah selalu tersedia, dan baru pula. Karena memang ilmu Allah tidak akan pernah habis-habisnya untuk dicurahkan-Nya kepada kita semua, terutama untuk kita yang mau dan bersedia membaca bahasa Tuhan di setiap sudut yang terlihat. Sehingga tiada lain yang bisa kita ucapkan kepada Sang Muhith : “Tia- dalah semua itu Engkau ciptakan dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Peliharalah kami dari siksa dan nestapa apapun juga atas apa-apa yang kami dapatkan hari ini !” Jadi : . . . bagi orang yang beriman, setiap aktivitasnya akan disandarkannya kepada Sang Muhith. Ada aktivitas Allahnya di awal, di tengah, dan di akhir setiap proses yang dilakukannya. Sebab tiada suatu peristiwapun yang luput dari aktivitas Allah. Dengan begini, maka ayat 190-191 surat Ali Imran itu sudah menjadi keseharian kita saja. Kita tidak perlu lagi membuat ayat-ayat baru untuk menan- dingi ayat ini. Karena ayat ini merupakan sebuah bahasa Tuhan yang sangat esensial (mendasar) yang berhasil ditranslasikan menjadi bahasa manusia (bahasa Arab) oleh manusia paripurna, Muhammad SAW.
  • 29. 1-29 Kalau kita coba-coba untuk menyatakan bahwa Tuhan berkata kepada- Ku : “Hai Deka", dan seterusnya, seperti di atas, menjadi sebuah ayat baru. Khan ayatnya akan menjadi aneh bagi kebanyakan orang. Cukuplah translasi bahasa Tuhan itu hanya buat kita sendiri saja. Itu untuk menyadarkan kita bahwa ternyata kita memang punya Tuhan yang sangat aktif mengajari kita terhadap apa-apa yang belum kita ketahui. Dan kita sangat bisa berbicara dengan Tuhan dengan cara seperti ini untuk berbagai hal yang ada di sekeliling kita. Tanpa batas. Jawaban Tuhanpun akan tanpa batas pula. Jawaban Tuhan adalah segala ilmu yang telah berhasil, sedang, dan yang akan dibaca oleh seluruh umat manusia di segala penjuru dunia. Karena ilmu Tuhan memang tidak akan pernah obsolet. Ilmu Allah akan selalu baru, up to date sepanjang masa. Cuma saja, bagi bagi orang yang tercover, kafir, dia tidak mampu menyandarkan segala aktivitasnya kepada kesibukan Sang Muhith. Ya, dia tidak sadar sedikitpun realitas Sang Muhith, walau dia sendiri tahu dan hafal bahwa ada Tuhan yang mengatur segala sesuatunya di dunia ini. Dia hanya akan melihat batang-batang tomat itu tumbuh dan bergerak dengan sendirinya. Dan setiap perbedaan pertumbuhan ba- tang tomat itupun dia yakini hanyalah akibat dari pengaruh perbedaan pemupukan semata-mata. Tidak lebih. Berbicara dengan Allah tentang Diri Kita Tentang diri kita sendiripun Allah ternyata punya bahasa yang sangat jelas untuk bisa kita baca dan pahami. Sebelumnya, marilah kita lihat dulu jargon-jargon umum yang sangat kental kita ucapkan dalam kehidupan kita sehari-hari:
  • 30. 1-30 • Saat kita berbicara tentang sesuatu, atau melakukan perbuatan tertentu, kita sering mengatakan: Segala yang baik adalah dari Allah, dan yang buruk adalah dari dari kebodohan kita sendiri ? • Saat kita ditimpa suatu musibah atau disinggahi hal-hal yang tidak mengenakkan, kita sering berkata: Saya pasrah saja kepada Allah, ini sudah merupakan kehendak Allah, kata kita mantap sekali (walau sebenarnya kalimat itu lebih cocok untuk menghibur-hibur diri kita sendiri karena saat itu kita merasa sudah tidak berdaya sama sekali). Namun anehnya, begitu musibah itu sudah tidak kita rasakan lagi, dan kita kemudian mendapatkan hal-hal yang mengembirakan, dapat durian runtuh, maka kita biasanya lupa. Kita lebih banyak mengaku bahwa: Semua itu adalah hasil usaha kita sendiri. Walaupun kita sempat menyebutkan bahwa keberhasilan kita itu adalah atas anugerah Tuhan juga, akan tetapi ungkapan kita itu lebih banyak hanya karena basa-basi saja. Biar kita dianggap sebagai orang yang beragama dan shaleh pula. Lebih mengarah ke jaim saja sebenarnya. Dari dua hal ini sajalah dulu kita memahami tentang bagaimana cara Allah berbicara dengan kita. Untuk itu, marilah kita kembali menjadi Sang Angin, Sang Sir, Ar Ruh. Dan marilah kita kembali menuju ke rumah kita, Rumah Angin, Sang Muhith. Sebuah Ruangan yang di sana tidak boleh ada sesuatu wujud dan rupa apapun juga selain Wujud dan Rupa Sang Muhith. Lalu menghadaplah kepada Wujud Sang Muhith dan tegaskanlah: • “Laa Ilaha illallah, tiada lagi wujud yang ada kecuali hanya Wujud Engkau Wahai Allah, Sang Muhith.” • “Laa Ilaha illallah”, dan diamlah sejenak di rumah kita yang hakiki ini. Dari rumah kita ini, Rumah Angin, marilah kita kembali turun ke bumi. Turun kembali ke tanah. Kita turun untuk mengamati bagaimana Sang Muhith sangat sibuk mengatur saripati tanah yang sudah diemplek- emplek-Nya menjadi sebuah bentuk yang sangat sempurna, diri manusia :
  • 31. 1-31 • Pertama, marilah kita lihat dua bulatan kecil yang di dalamnya ada lensa dan retina. Ya, mata…! • Pandanglah Sang Muhith. Lihatlah bagaimana Dia meliputi mata itu dengan pasti. Lalu cobalah tanyakan kepada Sang Muhith: apa yang bisa kulakukan dengan dua bulatan kecil itu wahai Tuhanku ? • Untuk mendengar jawaban Sang Muhith atas pertanyaan kita itu. Cobalah sejenak lewati kedua bulatan kecil itu dengan penglihatan kita. Arahkanlah penglihatan kita melewati kedua lensa mata itu menuju alam yang ada di sekitar kita. • Dan ternyata jawaban Sang Muhith kepada kita begitu pasti dan jelas. Tidak perlu kata-kata dan kalimat lagi untuk menjelaskannya. Dia menjelaskan apa yang kita tanyakan itu melalui jawaban-Nya yang pasti, yaitu Jawaban Penglihatan. Sebuah jawaban yang bisa ditangkap oleh seluruh umat manusia • Sekarang terserah kita saja untuk mentranslasikan bahasa pengli- hatan itu menjadi bahasa manusia berupa Bahasa yang ada bentuk- nya, ada rupanya, dan ada warnanya. • Untuk selanjutnya Sang Angin pun tinggal ikut saja mengalir bersama aliran rasa melihat itu menuju apa saja yang bisa terlihat dengan lensa mata ataupun dengan lensa-lensa bantuan lainnya seperti mikroskop dan teleskop. Dan di setiap aliran rasa melihat itu, Sang Muhith selalu berbicara dengan Sang Angin melalui bahasa-Nya yang sangat jelas sekali. BAHASA RASA MELIHAT, dan bahasa itupun hanya bisa ditangkap Sang Angin melalui lensa mata, bukan dengan mulut, bukan dengan telinga, dan bukan pula dengan lidah dan kulit. • Dari satu rasa melihat Sang Anginpun bergerak dan berenang menuju rasa melihat lainnya yang nyaris tanpa batas. Dan semuanya itu terjadi tepat di dalam liputan Sang Muhith. • Di sini pulalah tempat Tuhan berkata-kata dengan kita dalam bahasa rasa melihat untuk mengajari kita tentang apa-apa yang belum kita ketahui. Seperti juga yang telah dialami oleh Qabil ketika dia diajari oleh Allah tentang bagaimana caranya menguburkan mayat saudaranya Habil melalui seekor burung gagak:
  • 32. 1-32 Yang Tercover dari Bahasa Tabir Betapa kita ini sebenarnya hampir semuanya punya mata dan punya telinga. Akan tetapi seringkali pula dengan mata dan telinga kita itu kita tidak berhasil membaca bahasa Tuhan dengan telaten dan bersungguh- sungguh. Sehingga apa-apa bahasa Tuhan yang mengaliri kedua mata dan telinga kita itu tidak berhasil membuat kita tercerahkan. Tidak ada ilmu yang kita dapatkan. Tidak ada kepahaman yang bisa kita ambil. Misalnya, mata kita memang melihat, tapi melihat kita itu hanya saja sama dengan melihatnya seekor sapi di tengah hamparan rumput. Kita tidak sedikitpun tercerahkan. Sapi melihat rumput itu hanya sekedar sebagai rumput untuk sekedar makanan pemenuhan kebutuhan perutnya saja. Tidak lebih. Padahal di sehelai rumput itu Tuhan sedang mengajarkan siapa saja tentang berbagai jenis rumput dan penggunaannya, • bagaimana agar rumput itu bisa tumbuh segar dan menghijau, • bagaimana struktur genetikanya, • bagaimana agar rumput itu memberikan hasil yang masksimum terhadap pertumbuhan sapi dan susunya, • bagaimana bio energi tersimpan di sana, • dan, dan . . . ! Ah, itu baru satu tabir-Nya saja yang kita amati, di sehelai rumput. Padahal tabir-Nya ada di setiap sudut yang terlihat dan nada yang terdengar. Bagaimana kita juga sepertinya tercover dari perkataan Tuhan yang dialirkan-Nya melalui tabir-Nya yang lain seperti • di tabir seruling, • di tabir gendang, • di tabir piano, • di tabir suara dan nada, • di tabir bebunyian, • di tabir tangis dan tawa manusia, • di tabir lidah dan gendang suara orang-orang di sekitar kita,
  • 33. 1-33 • di tabir, • di tabir Alam Semesta. Kita seringkali mendengarkan aliran nada, irama, dan suara tabir-tabir itu seperti sikap seekor kucing yang tanpa ekspresi mendengarkan nyanyian Bimbo, atau bisa pula hanya seperti seekor ular cobra yang meliuk liar kian kemari mendengarkan alunan terompet India. Semua itu kita lakukan seperti tanpa pencerahan dan tanpa pemahaman baru pula. Beethoeven dan Kitaro adalah sedikit dari manusia-manusia yang mampu menangkap keindahan bahasa Tuhan itu di tabir suara dan nada ini dengan sangat baiknya, dan beliaupun mampu pula menerjemah- kannya menjadi susunan tangga irama dan nada musik yang bisa dinikmati oleh siapa saja. Upss, ada yang menyela nih: musik dan nyanyian itu kan haram kata hadist Nabi ! Untuk menjawab selaan ini sebenarnya capek juga. Soalnya biasanya kalau sudah untuk hal-hal seperti ini pola berfikir setiap orang akan sangat bervariasi sekali. Namun secara singkat saja, menurut kepahaman saya sendiri, . . . musik dan nyanyian itu netral saja sifatnya. Manfaatnya tergantung kita saja sebenarnya. Mau kita bawa ke mana guna musik dan nyanyian itu bagi kita. Mau kita bawa sebagai alat yang melalaikan kita kepada Tuhan atau mau kita jadikan sebagai alat untuk mendekatkan diri kita kepada Tuhan. Mau kita jadikan sebagai alat kita untuk mengafirmasi diri kita menuju kebaikan, kebahagiaan, kegembiraan, ataupun sebaliknya untuk mengafirmasi diri kita menuju kesedihan, kegalauan, kesengsaraan, dan kejatuhan kita, ya terserah kita saja. Nah, haramnya musik dan nyanyian itu hakekatnya adalah ketika musik dan nyanyian itu menyeret-nyeret kita kepada suasana lalai kepada Tuhan dan mengafirmasi diri kita pula untuk sengsara, sulit, dan suasana tidak baik lainnya. Ndak setuju, ya ndak apa-apa.
  • 34. 1-34 Yang pasti adalah bahwa Allah tanpa capek sedikitpun selalu berbicara kepada seluruh umat manusia di setiap saat di setiap tabir yang bisa kita lihat dan kita dengar. Mata dan telinga kitapun, sebagai alat untuk membaca perkataan Tuhan di balik tabir, tidak pula buta dan tuli. Dan apa yang dibicarakan Tuhan melalui tabir-Nya kepada kita dalam rangka pengajaran-Nya kepada kita, kalau kita translasikan menjadi bahasa manusia, juga hasilnya adalah sesuatu yang pasti-pasti saja, yaitu penciptaan alat-alat dan benda-benda baru yang semuanya itu pasti pula bermanfaat bagi kita sendiri. Hasil-hasil ini adalah sebagai salah satu pertanda bahwa Dia memang adalah Al Khaalik, Sang Pencipta. Misalnya, bahasa Allah di tabir angin, watashriifirriyaah (bahasa angin yang dikisar-kisarkan Allah, lihat : Al Baqarah (2 : 186) “Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh- tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyim- pannya.”, Kalau kita mau mendengar dan membacanya (iqra) lalu mentransla- sikannya ke dalam bahasa kita sendiri, akan membuahkan wujud balon udara, pesawat terbang, helikopter, listrik tenaga angin. Sebuah pesa- wat terbang bisa melayang diudara karena adanya perbedaan kisaran angin yang dibelah oleh lembaran sayap pesawat terbang tersebut. Di tabir angin, Allah juga tengah mengabarkan berita gembira kepada kita tentang : a. Bagaimana cara Dia mengalirkan rahmat-Nya bagi kehidupan kita melalui hujan yang diturunkan-Nya - lihat : Al A’raf (7 : 57) “Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu
  • 35. 1-35 daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah- buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.” b. Bagaimana cara-Nya dengan sangat mudah meluncurkan bahtera di lautan : Yunus (10 : 22) “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” c. Bagaimana cara-Nya mengawinkan tumbuh-tumbuhan : Al Hijr (15 : 22) : “Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh- tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.” d. Dan sebagainya. Dan melalui tabir angin ini pula Allah Di tabir angin pula Allah tengah memperingati kita agar kita berhati-hati dan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya menghadapi cara-Nya menghancurkan suatu negeri dengan mudahnya melalui kisaran angin tornado, badai taufan, puting beliung, hurricane, dan sebagainya Bahasa Allah di tabir petir, kalau kita translasikan dengan baik ternyata telah melahirkan listrik dan berbagai cara untuk pembangkitan dan penggunaannya. Dunia maya e-mail dan website adalah salah satu manfaat yang bisa kita petik dari bahasa-Nya di tabir petir ini.
  • 36. 1-36 Sungguh Allah tidak pernah berhenti sedetikpun berbicara dengan kita melalui tabir-tabir-Nya yang tak terbatas. Dan sebenarnya semua pem- bicaraan-Nya itu Dia tujukan untuk Sang Angin yang bersedia untuk turun ke dunia untuk menjadi wakil Allah untuk membangun dunia. Karena semua itu memang untuk Sang Angin : Li Ulil Albab, Lil Muttaqin, Liqaumiy yattaqun, Liqaumuy yatafakkarun. Untuk Lil Mukminin ! Yaitu, orang-orang yang mampu berdialog dengan Tuhan melalui mata dan telingannya. Karena Allah sebenarnya tengah berbicara kepada kita, yang kalau ditranslasikan menjadi sebuah bahasa yang sederhana bisa saja berbunyi : “Kau sadarilah wahai hamba-Ku, Akulah yang mengalir- kan penglihatan itu melalui kedua matamu dan melewatkan pendengar- an itu melalui kedua telingamu, sehingga engkau bisa melihat dan men- dengar apa-apa yang ada disekitarmu. Kau lihatlah keindahan tetum- buhan dan bebungaan yang bermekaran disentuh lembut oleh rona cahaya matahar yang Ku-alirkani melalui kedua lensa matamu itu. Kau dengar pulalah suara lembut kicauan burung-burung yang ditingkahi desahan lembut nyanyian dedaunan yang Ku-alirkan melalui kedua lobang telingamu itu.” Sesekali, Sang Mukminin, Sang Angin mengaturkan sembah dan puji kepada Sang Muhith: “Subhanaka, Benarlah Engkau Maha Suci.” Lalu Sang Anginpun memandang dengan penuh takjub bagaimana diri- nya yang hanya berupa seonggok sari pati tanah disujudkan dan disung- kurkan oleh Sang Muhith dalam sebuah sikap pemujaan kepada-Nya. Begitu juga, Sang Anginpun dengan terheran-heran saja menyaksikan betapa tetesan cairan bening mengalir deras dari sudut bola matanya. Itu, itu, itu semuanya, adalah tanda-tanda-Ku yang perlu, kau amati, kau baca, kau lihat, kau dengar dan kau catat (terjemahkan ke dalam bahasamu sendiri), sehingga kau beserta keturunanmu kelak bisa pula mendapatkan manfaat dari kesemuanya itu. Karena semuanya itu memang Aku ciptakan hanyalah untuk kebaikanmu semata. Tidakkah Aku ini sangat hebat menurut hematmu wahai hamba-Ku ? Kalau tidak,
  • 37. 1-37 “Fabiayyi aalaa irabbikumaa tukazzibaan”3 , dengan cara yang bagai- mana lagikah kiranya Aku ini harus membacakan bahasaKu untukmu agar engkau tidak lagi mendustakan-Ku ? Akan tetapi jawaban kita apa ? Duh Gusti, . . . alih-alih kami ini mau mendengarkan bicara-Mu di tabir-tabir-Mu itu, kami malah sibuk sendiri-sendiri membela diri dan kelompok kami masing-masing. Sehingga mata dan telinga kita tidak dipakai lagi oleh Allah untuk mengalirkan segenap ilmu dan pencerahan-Nya. • Sunni dan berbagai turunannya hanya sibuk membela kesuniannya, • Syi’ah dan berbagai sekte-sektenya hanya sibuk membela kesyi’ah- annya, • Salafi dengan pecah-pecahannya hanya sibuk membela kesalafi- annya, • Partai-partai hanya sibuk membela kepartaiannya, • Hizb-hizb hanya sibuk membela kehizbannya, • Tariqah-tariqah hanya sibuk membela ketariqahannya. Sibuk, sibuk, sibuk ¡ Semua saling sibuk untuk membela baju dan jaket- nya masing-masing. Malah untuk mendukung kesibukan-kesibukan kita itu, kita pakai pula ayat-ayat al Qur’an dan al hadist dengan semangat empat puluh lima. Maju tak gentar, membela . . . baju kita masing- masing tentunya. Oleh sebab itu : . . . jangan salahkan siapa-siapa, tatkala ada orang lain yang mau dan bersedia membaca perkataan Allah di tabir-Nya dan memperoleh hasil yang sangat mampu pula membuat umat manusia merasakan syurga di dunia ini. 3 Ar Rahmaan, sebanyak 31 kali !
  • 38. 1-38 Padahal umat islam selalu berdo’a “Rabbana aatina fiddunya hasanah”, ya Allah berikanlah kami kebahagiaan, kemudahan (syurga) di dunia ini. Akan tetapi begitu Allah berkata : Tuh, kemudahanmu, kebahagiaanmu ada di tabir angin, di tabir listrik. Bacalah ! Eh malah kita asik dengan diri kita sendiri. Walaupun begitu, karena kasih dan sayang Allah saja, do’a kita untuk mendapatkan kebahagiaan, kemudahan di dunia ini, ternyata masih tetap dikabulkan-Nya. Kita masih diberi nikmat oleh Allah untuk bisa menikmati kemudahan-kemudahan yang membahagiakan dalam hal aktivitas keseharian kita seperti kegiatan transportasi, komunikasi, pengobatan, dan sebagainya. Namun sayangnya, . . . hampir kesemuanya itu kita dapatkan melalui tangan orang- orang yang bukan muslim. Kita hanya menjadi pengekor saja. Lalu, selain tidak dipakainya mata dan telinga kita oleh Allah untuk berbicara, sehingga mata kita ini seakan-akan buta, apa lagi kekeliruan kita ini sebenarnya ? Sampai-sampai kita umat islam ini dicap sebagai : • umat yang berilmu pengetahuan rendahan, dan • wajah yang bengis menakutkan pula ? Padahal dulunya tidak begitu. Apa kita lagi yang buta sebenarnya ? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semua manusia ini, mari kita lihat dulu sebuah ayat yang menyatakan tentang profil seorang manusia yang dianggap sempurna: As Sajdah (32 : 7-9) “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia men- jadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan kepadanya Ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.”
  • 39. 1-39 Oopppss, sebagai alat kesempurnaan seorang manusia, di samping ada : • dua bola mata tempat di mana Allah mengalirkan rasa melihat dari- Nya, dan • dua lobang telinga tempat di mana Allah mengalirkan rasa mendengar dari-Nya, ternyata • ada pula HATI (AF IDAH, FUAD), yang bisa dilewati oleh Sang Angin (Ar Ruh). Hati…! Di manakah letaknya, wujud macam apakah dia, dan bagaimana pula sifatnya? Bahasa, perkataan, dan manfaat macam apakah gerangan yang dialirkan Allah melaluinya? Dan seberapa pentingkah dia bagi seorang manusia? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, banyak sekali buku yang telah diterbitkan orang. Dan malah sudah sedemikian dalam dan njlimetnya tentang hati ini dibahas, sehingga kadang-kadang itu bisa membuat kita bingung. Namun sebagai tanda sumbangsih saya untuk teman-teman di milis Dzikrulah ini, saya akan coba pula mengupasnya sekalimat dua kalimat. Membaca Hati Saat yang paling mudah untuk menjawab pertanyaan tentang : • di mana letak hati ini, dan • bagaimana pula wujud, serta • sifatnya, adalah saat kita berada di tengah keramaian manusia. Tempat di mana kita saling berinteraksi dengan berbagai macam karak- ter dan profil manusia lainnya, serta masing-masingnya dengan berba- gai kepentingan yang berbeda pula. Misalnya di jalan raya yang padat dengan kendaraan, di tempat bekerja, di tempat ibadah, atau bahkan saat kita hanya berduaan saja dengan pasangan kita (suami/istri). Di tengah-tengah keramaian manusia itu, amatilah DADA kita dengan seksama. Ya, amatilah dada kita sendiri. Karena di dada (sudur) inilah
  • 40. 1-40 hati ini berada. Kita tidak perlu mengurai lagi dada bagian yang mana, hati yang mana, atau bagi yang sudah advance, pojok (lathaif, cakra) bagian mana dari dada kita itu, atau apakah hati dalam pengertian daging dan darah atau apa…! Tidak usahlah untuk sementara waktu kita terlalu sibuk bertanya-tanya tentang dada kita ini. Pokoknya amati sajalah dada kita. Sambil mengamati dada kita itu, mulailah kita bergerak di tengah- tengah keramaian manusia itu. Misalnya, bagi yang memiliki kendaraan, mobil atau motor, bergeraklah di jalan raya agak ke tengah dengan kecepatan sekitar 30-40 km/jam. Berkendaralah dengan tenang. Tidak sampai dalam hitungan dua menitan, tiba-tiba akan terdengar klakson kendaraan lain menyalak: “Diin-diinn.” Buat sejenak biarkan saja suara klakson itu berlalu. Amati sajalah dada kita dengan seksama. Ada ilham apa yang muncul di dalam dada kita itu. Dalam hitungan beberapa detik kemudian klakson kendaraan dibelakang kita akan menyalak lebih garang lagi: ”Diiiiinnnn, Diiiiinnnn”. Apa yang terjadi di dalam dada kita ??? Apa lagi kalau kemudian mobil yang di belakang kita itu menyalib dari arah kiri sambil pengemudinya melotot dan membunyikan klakson- nya lebih garang lagi, dan buntut mobilnya pun digoyangkannya hampir menyentuh kendaraan kita. Apalagi kalau keadaan seperti di atas terjadi berulang-ulang dengan kendaraan dan orang yang berbeda. Teruslah amati dada kita dengan sangat seksama. Apa gerangan suasana dan rasa yang muncul di dalamnya … ? Mari kita berjalan mengamati dada kita itu. Suasana dan rasa yang mulai mengalir di dalam dada kita itu hanya dua saja kemungkinannya. a. Kemungkinan pertama, suasana ruang dada kita itu mulai terasa sesak dan sempit. Suasana kesempitan dada itu kemudian diterus- kan ke dalam otak kita untuk kemudian otak kita itu mengeluarkan hormon dan enzim-enzim yang memacu nafas kita bergerak lebih cepat dari biasanya, bahkan bisa pula tersengal-sengal seperti kita sedang mendaki gunung yang tinggi. Darah kita mengalir dengan
  • 41. 1-41 tekanan yang lebih besar. Jantung kita berdegup dengan kebih ce- pat. Muka kita mulai memerah, otot-otot kita juga mulai menegang. Seiring dengan itu mulai pula mengalir rasa marah ke dalam dada kita. Setiap orang akan mengerti apa itu marah. Rasa marah ter- sebut tidak perlu didefinisikan lagi. Rasa marah itu begitu pas meng- alir di dalam dada kita. Rasa marah itu kemudian membuat ruang dada kita menjadi lebih sempit lagi. Kesempitan ruangan dada kita itu diteruskan kembali ke otak untuk kemudian otak lebih mening- katkan lagi sekresi hormon dan enzim yang mempengaruhi gerakan nafas dan tekanan darah kita. Lalu semua itu lebih mempengaruhi lagi gerak jantung, rona muka, dan otot-otot kita terutama otot tangan, otot kaki, dan mulut beserta isinya. Hal tersebut akan meng- alirkan rasa marah yang lebih besar lagi masuk ke dalam dada kita. Kombinasi dan resonansi saling memperkuat antara suasana kesem- pitan ruangan dada dengan rasa marah yang terus meningkat ini dengan mudah akan menimbulkan tindakan-tindakan yang dikate- gorikan sebagai tindakan yang buruk. Misalnya, apa saja yang ver- ada di samping kita, bisa menerima muntahan rasa marah itu. Sum- pah serapah dengan sangat mudahnya mengalir dari bibir dan lidah kita. Seluruh isi kebun binatang bisa kita absen satu persatu dengan semangat empat lima. Seorang ibu dengan anaknya yang ingin menyeberang jalan bisa pula jadi alamat kita untuk menumpahkan rasa marah itu, dengan kita membunyikan klakson mobil kita de- ngan keras, sehingga sang ibu dan anaknya sampai meloncat kaget tidak jadi menyeberang dengan jantung serasa hampir copot. Otot- otot tangan dan kaki kita dengan mudahnya akan berkontraksi de- ngan cepat sehingga gas kita tekan dengan lebih dalam dan stir kita putar-putar dengan gagah berani menyalib kiri dan kanan untuk mengejar pengendara mobil yang telah berani-beraninya menyalaki kita tadi. Dan kalau dua orang dengan suasana ruang dada yang sempit dan sedang dialiri pula oleh rasa marah-marah, maka kejadian yang
  • 42. 1-42 muncul bisa lebih sadis dan lebih ganas dari pada bertemunya dua ekor gorila jantan yang sedang memperebutkan seekor gorila betina. Tangan dan kaki kedua orang itu bisa saling memukul dan saling menendang dengan ganas, apa saja bisa menjadi senjata, teriakan-teriakan keraspun saling membahana, mata saling melotot tajam. Dan anehnya, semua kejadian di atas seperti mengalir begitu saja tanpa bisa kita cegah dan tahan sedikitpun. Kita seperti berada disebuah perahu yang sedang di seret oleh arus yang sangat kuat. Kita kehilangan kayuh. Kita kehilangan kemudi. Kita tidak bisa apa- apa untuk ke luar dari seretan kuat arus rasa marah itu. Ada orang lain yang coba-coba menasehati kitapun akan kecipratan rasa marah kita pula. Kita seperti tidak mempan untuk ditolong oleh orang lain, walau oleh oran yang paling dekat dengan kita selama ini. Mengaji kita, shalat kita, puasa kita yang kita lakukan selama inipun seperti tidak bisa membantu kita sedikitpun. Duar, darah pun bisa tumpah ke jalanan, bahkan tidak jarang pula bisa menimbulkan kematian. Lalu saat itulah baru muncul aliran rasa menyesal masuk ke dalam dada kita. Begitu menyesal, maka rasa marah di dalam dada kitapun hilang seketika. Digantikan oleh rasa menyesal yang dalam. Kita mulai sedikit sadar bahwa sebenarnya kita tidak ingin membu- nuh orang tersebut, tapi semuanya tidak bisa kita tahan. Kita me- ngatakan bahwa rasa marah kita sudah sampai kepuncaknya se- hingga terjadilah pembunuhan itu. Tiba-tiba dada kita dialiri pula oleh rasa takut, takut ditangkap, takut dipenjara, takut. Begitu rasa takut itu mengalir ke dalam dada kita, maka rasa menyesal pun akan lenyap pula dengan seketika. Rasa takut itu mengalir ke dalam otak kita dan dari sana keluarlah berbagai rencana untuk menutupi pembunuhan kita itu tadi. Kita mulai beralibi, kita mulai berbohong, kita mulai merancang berbagai rencana bohong. Kita bergerak dari satu kebohongan ke kebo-
  • 43. 1-43 hongan lainnya, dari satu alibi ke alibi lainnya. Semua kebohongan itupun seperti mengalir begitu saja dengan lancar. Walaupun kita tahu bahwa semua yang kita ucapkan itu adalah bohong, akan tetapi kita juga seperti tidak bisa ke luar dari kebohongan itu. Kita seperti ikut mengalir saja di atas arus kebohongan itu. Begitu orang percaya dengan kebohongan kita, maka ada segurat rasa senang muncul di dalam dada kita, sehingga rasa takut kita pun hilang agak sesaat. Ini yang disebut dengan rasa senang berbohong. Kalau sudah begini, maka kebohongan berikutnya akan muncul dengan lebih meyakinkan dan lebih canggih lagi. Lalu hidup kita akan bergerak dengan penuh kebohongan. Dan ternyata kebohong- an itu pada akhirnya akan menuai rasa tersiksa pula, siksa akibat berbohong. Akan tetapi tatkala pembunuhan yang kita lakukan diketahui oleh pihak yang berwajib, dan singkat kata kita divonis dengan hukuman penjara (seumur hidup pula), maka hari-hari berikutnya dada kita akan dialiri oleh rasa tersiksa, tersiksa, terus tersiksa. Dan tersiksa inilah salah makna dari istilah NERAKA. Jadi suasana ruang dada yang sempit akan sangat mudah dialiri oleh rasa marah, rasa iri, rasa benci, rasa takut, rasa menyesal, rasa senang dan bahagia yang semu dan dangkal (hanya guratan kecil saja). Keadaan kita secara ketubuhan pun akan kelihatan dengan nyata. Wajah kita tegang dan kaku, kening kita berkerut marut, mata kita tidak ramah, kita mudah sekali melayangkan tangan memukul dan menyiksa orang, tindakan kita tergesa-gesa, kita mudah berbohong. Kebaikan kita pun lebih banyak dibuat-dibuat, JAIM. b. Kemungkinan kedua, suasana ruang dada kita itu TETAP terasa lapang. Suasana dada yang lapang itu akan mengalirkan impuls listrik ke otak, sehingga otak mengeluarkan hormon dan enzim yang
  • 44. 1-44 sifatnya menimbulkan gelombang yang tenang di otak kita. Otak kita menjadi rileks, yang menyebabkan nafas kita tetap mengalir dengan tenang dan ringan, darah kita mengalir dengan tekanan yang normal. Ruang dada yang luas, otak yang rileks, nafas yang ringan, darah yang mengalir lancar dan tekanan yang normal, akan menimbulkan rasa senang dan bahagia di dalam dada kita. Rasa senang akan tambah memperluas suasana ruangan dada kita. Dan dada yang bertambah luas akan tambah memperileks gelombang otak kita, memperhalus gerakan nafas kita, dan membuat aliran darah kita begitu sempurna. Kalau sudah begini, maka saat kita disakiti, dijahili, dikerjain orang, atau dijahati orang, kita hanya merasa terheran-heran saja. Lho, kok tidak ada rasa marah yang masuk mengalir di dalam ada kita. Rasa marah akibat dijahati orang lain itu sedemikian kecilnya tenggelam di tengah-tengah keluasan ruangan dada kita. Kita dengan mudah minggir ke tepi saat ada orang yang ingin duluan dari kita saat kita berkendaraan. Kita dengan mudah akan berhenti dan mempersilahkan seorang ibu dengan anaknya menyeberang jalan dengan aman. Kita akan dengan mudah untuk tidak meng- ganggu dan menyakiti orang lain. Kita juga akan patuh terhadap aturan yang pada intinya adalah untuk membahagiakan kita dan orang lain. Ya, yang ada adalah rasa kasih, sayang, dan bahagia yang mengalir penuh di dalam dada kita. Syurga. Dan anehnya, setiap rasa kasih dan sayang yang muncul di dalam dada kita, akan lebih memperluas pula dada kita, akan menambah pula rasa bahagia kita. Tidak hanya itu, setiap penglihatan dan pendengaran kita akan dialiri pula oleh pencerahan-pencerahan baru. Apapun yang kita lihat dengan mata dan yang kita dengar dengan telinga akan menjadi bahan pelajaran yang sangat berharga bagi kita, baik untuk kepentingan kita maupun untuk orang banyak. Setiap patah kata yang ke luar dari mulut kita akan mencerahkan orang lain, dan setiap karya yang lahir dari tangan kita akan ver-
  • 45. 1-45 manfaat pula bagi orang lain. Kita pun akan mudah pula memahami bahwa setiap orang yang kita temukan di dalam perjalanan hidup kita sebenarnya adalah utusan Tuhan untuk kita. Misalnya saat kita sedang berjalan disebuah jalan yang belum pernah kita lewati, tiba- tiba ada anak kecil yang berkata kepada kita: “Pak, jangan lewat ke sana, sebab di sana ular kobra yang besar, atau ada anjing galak. Bukankah pada hakekatnya sang anak sedang diutus oleh Tuhan untuk kita agar kita terhindar dari bahaya ?” Kalau sudah begini, kita akan mampu melihat bahwa sebenarnya setiap orang di dunia ini adalah laksana titik-titik kecil berbeda yang saling dihubungkan oleh garis-garis kehidupan. Masing-masing titik akan bermanfaat bagi titik-titik yang lainnya dalam membentuk harmoni kehidupan. Seperti juga matahari, bulan, dan bintang-bintang saling dihubungkan oleh garis kehidupannya pula. Lalu dalam setiap jalan yang kita lalui di dalam kehidupan ini, kita ditaruh oleh Allah dikemungkinan yang mana. Sebab Allah menga- takan bahwa: Al An’aam (6 : 125) “Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah men- jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” Dengan tegas di ayat ini, Allah mengatakan bahwa : • Saat dada kita dialiri oleh suasana sempit dan sesak, maka saat itu sebenarnya Allah sedang menghendaki kesesatan buat kita. Tegasnya, kita sedang disesatkan Allah. Dan itu adalah penderitaan. • Sebaliknya, saat dada kita dialiri oleh rasa lapang, maka saat itu sebenarnya Allah sedang menghendaki kebaikan untuk kita. Kita
  • 46. 1-46 tengah ditunjuki oleh Allah untuk menjadi baik. Dan itu adalah kese- nangan dan kebahagiaan. Mengalirnya rasa sempit dan sesak didada kita itu diistilahkan oleh Al Qur’an dengan sebutan: faal amaha fujuraha, diilhamkan dengan kefujuran. Dan dialirinya dada kita dengan suasana kelapangan, disebut Al Qur’an dengan faal amaha tawqaha, diilhamkan ketaqwaan. Begitulah cara lain Allah berkata-kata dengan kita, yaitu melalui ilham, melalui wahyu: Asy Syuura (42 : 51) “Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” Seperti juga Allah berkata-kata dengan lebah melalui wahyu: An Nahal (16 : 68) “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "’Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia’". Oleh sebab itu, . . . selalulah kita rajin-rajin mengamati dada kita apakah dada kita ini sempit dan sesak atau lapang. Sebab saat dada kita sempit, sebenarnya Allah tengah berkata kepada kita yang kalau dibahasakan bisa seperti berikut ini : “Wahai Deka, kau lihatlah dadamu, Iqra, bacalah bahasa-Ku di dadamu. Saat dadamu itu sempit dan sesak, kamu hati-hatilah. Ka- rena saat itu sebenarnya Aku tengah menyesatkanmu. Aku tengah tidak suka kepadamu. Ku-ilhamkan kefujuran kepadamu. Dengan
  • 47. 1-47 dadamu sempit itu, kau akan kudorong untuk bergerak dari satu keburukan ke keburukan yang lainnya tanpa kau sanggup meno- laknya. Kau akan menjadi alat-Ku untuk merusak di permukaan bumi ini. Kau tidak akan kuasa menolaknya. Karena Akulah yang memiliki segala daya dan kehebatan. Sebaliknya, saat dadamu Ku aliri dengan suasana LUAS dan LAPANG, bersyukurlah. Karena saat itu sebenarnya Aku tengah menunjukimu. Aku tengah sayang dan senang kepadamu. Makanya Ku-ilhamkan kepadamu tentang ketaqwaan, keluasan dada. Sehingga engkau akan terhedan-heran saja saat kau Ku-dorong bergerak dari sebuah kebaikan ke kebaikan yang lainnya. Semua itu kau lalui tanpa bisa kau tolak. Kau akan menjadi alat-Ku untuk membangun dan ver- kreasi di permukaan bumi ini. Kau tidak akan susah untuk itu. Karena semua daya untuk kebaikan itu Ku-berikan penuh buatmu. Bukankah Aku ini Maha Hebat.” Begitulah cara Allah berkata-kata dengan kita saat Dia menjawab do’a- do’a kita. Langsung melalui Ilham. Misalnya saat kita berdoa di dalam shalat: Rabbigfirlii, ya Allah ampunilah saya, maka dengan seketika itu pula dada kita dilapangkan, dada kita didinginkan oleh Allah, sehingga rasa bersalah kita hilang lenyap seketika dari dalam dada kita… Kalau belum juga lapang, maka kita berdo’a lagi sampai dada kita itu dilapangkan oleh Allah. Selanjutnya kenapa Allah tidak suka kepada kita, kenapa kita disesatkan oleh Allah ? Dan apa pula makna dari : Asy Syuura (42 : 51) “Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan,, mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.”
  • 48. 1-48 Disesatkan atau Dibaikkan Allah Kalau kita hanya sepintas lalu saja : . . . membaca ayat Al Qur’an yang menyatakan bahwa : •••• Allah-lah yang menyesatkan kita dengan menyempitkan dada kita, dan •••• Allah pula yang menunjuki kita kepada kebaikan dengan cara melapangkan dada kita, kelihatannya kita akan dibawa kepada kedudukan pemikiran yang FATALIS. Padahal di ayat lain Allah juga memfasilitasi kita untuk bisa mengatur diri kita sendiri. Seakan-akan Allah berlepas tangan dari apa-apa yang kita lakukan. Kita sendirilah yang akan menentukan apa-apa yang akan kita lakukan, nanti Allah akan memenuhi tugas-Nya untuk memenuhi apa-apa yang telah kita tetapkan itu. Sebuah logika berfikir yang bercorak RASIONALIS yang kelihatannya sangat bertolak belakang dengan logika berfikir FATALIS. Bagaimana ini ? Ya tidak bagaimana-bagaimana ! Begitulah Allah. Dia berkehendak semau-Nya saja. Karena memang Dia adalah AL JABBAR, Sang Maha Berkehendak. Bahkan Dia juga menyatakan bahwa walau- pun sesuatu sudah sangat baik menurut logika berfikir kita, akan tetapi Allah menyatakan bahwa itu belum tentu baik menurut logika berfikir Allah. Karena Allah memang punya logika berfikir sendiri. Dan logika berfikir Allah itulah tetap yang terbaik dan yang akan terlaksana. Untuk menjawab ini, marilah kita sejenak menengok apa yang disebut dengan TAQDIR, yaitu berupa ketetapan yang sudah ditentukan oleh Allah terhadap sesuatu. Taqdir ini tidak bisa dirobah oleh siapapun kecuali dengan melalui taqdir lain pula. Jadi taqdir hanya bisa diubah
  • 49. 1-49 oleh taqdir pula. Artinya Allah sendirilah yang merubah-ubah taqdir-Nya sendiri. Misalnya taqdir api adalah panas membakar. Dan taqdir api ini hanya bisa diubah ketika dia bertemu dengan taqdir Allah yang lainnya yaitu air, sehingga panasnya api akan hilang ketika taqdir api bertemu dengan taqdir air dengan QADAR (takaran) yang tepat. Atau bisa pula taqdir api yang bisa membakar kulit manusia akan berubah tatkala taqdir api tersebuat bertemu dengan dengan taqdir lainnya sehingga orang bisa berjalan di atas bara api (fire walker). Ketika kita berhadapan dengan taqdir ini, kita hanya bisa menerimanya saja dengan sikap seorang FATALIS. Kita tidak bisa apa-apa ketika ver- hadapan dengan sebuah taqdir, karena memang kekuatan, jangkauan, dan dampaknya telah ditetapkan oleh Allah. Dan ketetapan Allah adalah yang terbaik. Walaupun begitu, ternyata Allah juga memberikan fasilitas yang luar bisa bagi kita agar kita bisa bergerak dari sebuah taqdir Allah ke taqdir-Nya yang lainnya. Di sinilah sangat luar biasa-Nya Allah. Kita nyaris saja diberikan-Nya kesempatan yang tidak terbatas untuk memasuki wilayah taqdir-taqdir- Nya yang memang tak terbatas pula. Untuk bergerak dari satu taqdir ke taqdir yang lainnya itulah kita diberikan-Nya sebuah kebebasan yang sangat besar. Kita bebas memilih taqdir kita sesuai dengan logika-logika berfikir (RASIONALITAS) yang kita miliki. Logika berfikir yang bagaimanapun yang kita ambil, akan selalu mene- mukan muaranya di sebuah taqdir yang tertentu pula. Artinya sebuah logika berfikir yang kita lakukan atau RASIONALITAS, muaranya adalah sebuah taqdir yang tidak bisa kita ubah atau FATALITAS. RASIONALITAS berbuah FATALITAS. Begitu pula, FATALITAS membentuk RASIONA- LITAS. Dua-duanya adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan sedikit pun. Kalau kita hanya memakai satu sisinya saja, RASIONALITAS
  • 50. 1-50 saja atau FATALITAS saja, maka kehidupan tidak akan berjalan, roda peradaban akan berhenti berputar. KUN, Allah telah meletakkan Sabda-Nya tentang tata cara-Nya sendiri dalam memberikan petunjuk kepada setiap manusia tentang kebaikan maupun tentang keburukan, faal amaha fujuraha wa taqwaha. Lalu FAYAKUN, sebuah proses ajar mengajar Tuhan terhadap hamba-Nya pun mengalir memenuhi cakrawala kehidupan manusia. Begitulah pro- ses dari dulu sampai sekarang dan masa yang akan datang. Derr, proses ajar mengajar inilah nantinya yang akan membentuk jalur taqdir kehidupan manusia tentang perilaku ketaqwaannya (kebaikan) dan perilaku kefujurannya (keburukan) sendiri. Semua itu mau tidak mau harus kita terima secara fatalistik. Lalu kita sendirilah yang seha- rusnya bersikap secara rasionalistis terhadap jalur taqdir kebaikan atau keburukan itu. Misalnya, saat kita ditaruh oleh Allah di jalur takdir keburukan, kita bebas saja untuk bersikap apakah kita mau tetap dijalur taqdir keburukan yang tengah mengaliri kita itu, atau kita mau berganti jalur menuju taqdir kebaikan. Misalnya, suatu saat dada kita terasa dialiri oleh rasa sempit, dada kita sesak. Saat menghadapi sebuah kejadian atau masalah, dada kita sesak, nafas kita tersengal-sengal seperti kita tengah mendaki gunung yang tinggi, padahal saat itu kita tidak melakukan aktivitas fisik mendaki gunung. Sedikit pemicu saja, bisa membuat kita marah yang tidak terperikan. Raut wajah kita berubah menakutkan, sorot mata kita begitu memancarkan rona kebengisan. Kalau sudah begitu, tidak ada yang bisa membantu kita untuk merubahnya atau memperbaikinya. Karena kita saat itu tengah masuk ke dalam taqdir Tuhan bahwa saat itu Tuhan memang tengah menyesatkan kita. Al Qur’an menyatakan: Az Zukhruf (43 : 36) "Barang siapa yg berpaling dari ingat dan sadar penuh kepada Yang Maha Rahman (Allah), maka Kami adakan baginya syaitan (yang
  • 51. 1-51 menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman akrab (qarin) yang selalu menyertainya.” Ayat ini menjelaskan bahwa : . . . tatkala kita berpaling (ya’syuu) dari ingat dan sadar penuh kepada Allah (yang kemudian, entah kenapa, bagi sebagian besar tafsir atau terjemahan kalimat ‘andzikrir Rahman ini diartikan sebagai: dari pengajaran Tuhan Yang Maha Rahman atau Al Qur’an), maka seketika itu juga Allah akan menaruh syetan ke dalam dada kita. Syetan itulah yang akan menjadi teman akrab kita. Syetan itulah yang akan menghimpit dada kita, yang akan membuat kita was-was, yang membawa kita ke suasana ragu-ragu, yang akan menghalangi kita untuk berbuat baik, yang akan menghasut-hasut kita agar berbuat FUJUR, yang menutup (mengcover) kita dari perbuatan TAQWA. Kalau sudah begitu, syetan akan selalu berkata : “Hayo… Deka, hayo… Deka, hayo Deka, FUJUR-lah, tidak baiklah, marahlah, tidak khusyu’lah, bencilah, irilah, berantemlah. Hayo Deka, janganlah TAQWA, janganlah shalat dengan khusyu’, janganlah sabar, janganlah zakat, janganlah baik, dan sebagainya.” Dan luar biasanya, hasutan-hasutan syetan tersebut seperti mempunyai daya hipnotis bagi kita, sehingga kita seperti tidak kuasa untuk meno- laknya. Karena memang syetan atau iblis tersebut sudah mendapatkan mandatnya dari Allah untuk menggoda manusia. Iblis mendapatkan daya dan kekuatan dari Tuhan untuk menggoda manusia. Karena setelah iblis tersebut disesatkan pula oleh Allah karena sesombong- annya, setelah dia berkata ana khairuminhu terhadap Adam, dia pernah berdo’a kepada Tuhan : • (Ya rabbi…), fabi’idzdzatika laugwiyannhum ajma’in, wahai Tuhan demi kekuasaan Engkau, beri saya daya untuk bisa menyesatkan manusia semuanya.
  • 52. 1-52 • Illa ‘ibadaka minhumul mukhlashin, kecuali hamba-hamba-Mu yang Engkau jadikan ikhlash. Dari penafsiran singkat ayat-ayat Al Qur’an yang sangat mendasar ini, sebenarnya sudah menjadi jelas bagi kita bahwa Fujur dan Taqwa adalah dua taqdir Allah yang sudah ada dan mengalir sejak permulaaan penciptaan. Fujur dan Taqwa itu akan bisa mengalir dan menyinggahi siapapun juga, dan keduanya mempunyai ciri-ciri dan prosesnya masing-masing pula. • Saat kita dialiri oleh rasa Fujur, maka dada kita dibuat oleh Allah menjadi sesak lagi sempit, seolah-olah kita sedang mendaki ke langit. Itulah sebagai tanda-tanda bahwa kita saat itu sedang disesatkan oleh Allah, kita sedang tidak disukai oleh Allah, kita sedang ditendang oleh Allah. Kalau sudah begini, maka apa saja akan menjadi masalah bagi kita. Kebaikan orang lain sekalipun bisa menjadi masalah besar bagi kita. Jadilah kita bergerak dari sebuah masalah ke masalah yang lainnya. Masalah berbuah masalah… • Sebaliknya saat kita dialiri oleh rasa Taqwa, maka dada kita akan dibuat lapang oleh Allah. Dada kita itu akan diluaskan, dilembutkan, dicairkan, didinginkan oleh Allah. Karena memang dada kita itu sedang dicahayai oleh Allah. Itulah tanda-tanda bahwa kita saat itu sedang dituntun oleh Allah, kita tengah diberi petunjuk oleh Allah, kita lagi disayang oleh Allah. Dan sebagai hasilnya, kita akan mampu melihat hubungan yang utuh dari setiap titik masalah yang kita hadapi menjadi sebuah harmoni kehidupan yang sangat mence- ngangkan dan mengagumkan. Kita akan bergerak dari sebuah masa- lah, lalu melihat solusinya, dan kemudian kita seperti dibukakan begitu saja tentang berbagai titik solusi atau jalan ke luar yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh kita. Nah, dialirinya dada kita oleh rasa fujur itu, penyebab utamanya adalah : • ketidaksadaran kita kepada Allah, • ketercoveran kita dari Allah, Sang Muhith, Sang Maha Meliputi segala apapun juga.
  • 53. 1-53 Begitu kita memandang segala sesuatu, dan saat itu kita tidak mampu menyadari ADA Dzat Yang Meliputi segala sesuatu itu, maka seketika itu juga kita sebenarnya tengah berteman dengan iblis. Karena iblis juga tidak pernah mampu menyadari keberadaan Wujud Dzat Yang Maha Meliputi segala sesuatu, termasuk meliputi wujud Nabi Adam. Sehingga iblis lalu menyombongkan diri kepada wujud Nabi Adam. Walaupun iblis sempat pula berkata, “Ya Rabbi, wahai Tuhan”, tapi arah kesadarannya sebenarnya saat itu tidak tepat kepada Wajah Tuhan, wajhiya. Jadi tanda utama bahwa kita tengah disesatkan oleh Allah, bahwa kita sedang dialiri oleh Allah dengan rasa fujur, adalah kita dialiri oleh rasa sombong terhadap sesama manusia, bahkan juga terhadap alam semesta. Persis seperti iblis terhadap Adam. Kesombongan itu pastilah membawa kita kepada pembelaan atas : • diri kita sendiri, • atribut kita, • baju kita, • golongan kita, • ilmu pengetahuan kita, atau bahkan hanya sekedar persepsi kita sendiri. Kita besarkan diri kita, kita mengaku diri kita sendiri lebih dari orang lain. Sungguh, nikmat pengakuan ini sangatlah memabokkan. Kalau dada kita sudah disempitkan Allah, rasa sombong juga sudah mengalir di dalamnya, maka rasa-rasa negatif lainnya akan mengalir dengan mu- dah seperti rasa marah. Ya, marah karena ada orang yang menggoyang rasa kesombongan kita. Untuk ke luar dari jeratan taqdir rasa Fujur ini bagaimana ??? Banyak teori yang sudah beredar di mayarakat. Ada yang menyebut-nya : • dengan cara meditasi, • ada juga yang menyarankan agar kita melakukan berbagai aktifitas fisik,
  • 54. 1-54 • dan sebagainya. Banyak sekali memang teori yang sudah dikembangkan orang untuk kita bisa ke luar dari berbagai rasa fujur. Dan semuanya itu ada manfaatnya, paling tidak. Untuk ke luar dari rasa marah saja, misalnya, milis kita ini sudah kebanjiran berbagai masukan yang sangat bisa membantu kita. Kalau diperhatikan dengan seksama, ada sebuah benang merah yang bisa kita tarik dari sekian banyak masukan itu, bahwa saat dada kita dialiri Allah dengan rasa marah, maka tugas kita sebenarnya hanyalah sederhana saja, yaitu agar kita mau mengalihkan objek fikir atau objek kesadaran kita dari wilayah rasa marah itu (dada dan objek kemarahan) menuju kepada suatu objek fikir lain yang kita senangi atau wilayah kesadaran kita yang bukan dada (sudur, qalbu). Saat kita dialiri oleh rasa marah, alihkan saja kesadaran kita ke objek fikir lain. Kita marah karena si A, lalu alihkanlah kesadaran kita kepada si B yang kita senangi, maka marah kita akan perlahan menghilang dari dada kita. Bisa juga kita melakukan aktivitas lain seperti mandi, berwudhu, shalat, atau hanya sekedar pergi ke tempat yang luas. Tepi pantai atau naik ke area pegunungan merupakan dua tempat yang sangat favorit bagi setiap umat manusia untuk sekedar melapangkan dada dan fikirannya. Untuk hal mengalihkan kesadaran kita dari rasa marah ini akan kita bahas di lain kesempatan dengan lebih praktis. Sebab menurut penga- laman saya, apapun metodanya, kalau kita tidak mengikutsertakan peran Allah dalam kesadaran kita, maka semuanya itu masih meru- pakan cara-cara yang artificial. Sebab cara menyesaikan masalah kema- rahan yang paling puncak (ultimate solution), ternyata hanya bisa dengan bersandar kepada peran serta Tuhan dalam mengambil aliran marah itu dari dalam dada kita.
  • 55. 1-55 Jadi berubahnya suasana dada kita dari sempit dan sesak menjadi lapang dan nyaman bisa kita dapatkan hanya dan hanya jika kita mau menyadari adanya peran serta Tuhan untuk itu. Saat dada kita sempit, maka kita pandang Wujud Tuhan dengan tepat (tidak musyrik, tidak terhalang oleh wujud lain apapun juga, dan tidak ya’syu [berpaling] dari Wajah Allah sedikitpun), lalu saat itulah kita segera berbicara dengan-Nya merendah-rendah: • Ya Allah, dada saya kok sempit, sesak, nggak enak ya Allah ? . • Ya Allah mohon Engkau ambil kesempitan dan rasa sesak di dada saya ini. Sebab saya nggak kuat untuk berada dalam kesesakan dan kesempitan dada ini ya Allah… • Ya Allah mohon Engkau ganti suasana sempit dan sesak itu segera menjadi suasana yang lapang, lega dan bahagia ya Allah. Itulah kira-kira bahasa kita dengan Allah. Lalu kita tinggal menerima saja dan membaca bahasa Allah tentang bagaimana cara Allah merespon dan menjawab permohonan kita itu. Bacalah bahasa Allah di dalam dada kita seperti yang telah kita uraikan sebelumnya. Begitu sederhananya sebenarnya. Cuma saja, karena kita ini sudah sangat terbiasa dengan kerumitan, kita kadangkala tidak mudah per- caya begitu saja. Sebab kita : . . . umat Islam ini tampaknya memang sudah mengeksploitasi ajaran agama Islam ini sedemikian dalamnya, sedemikian detailnya, malah sudah terlalu dalam dan detail (over exploited), sehingga kita nyaris saja kehilangan esensi kesederhananaan dari ajaran Islam itu sendiri yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Kita bukannya mencoba untuk memperluas ajaran Islam itu sendiri. Misalnya dengan memperluas wawasan kita tentang Islam, atau me- ningkatkan kualitas beragama kita sendiri walau hanya untuk beberapa hal saja, misalnya dalam hal shalat dan zakat kita. Atau kalau mau lebih, kita bisa pula berperan untuk hal-hal yang lebih universal lagi, misalnya :
  • 56. 1-56 • Kita bersedia untuk menerima tugas sebagai alat Allah dalam mengalirkan kasih dan sayang-Nya kepada seluruh umat manusia; • Kita besedia untuk menjadi alat Allah dalam mengalirkan segenap ilmu pengetahuan-Nya dan peran-Nya untuk membangun peradaban umat manusia. Paling tidak, peran sebagai alat Allah itu bisa kita lakukan untuk ling- kungan di sekitar kita saja, sebenarnya sudah sangat lebih dari cukup. Peran sebagai alat Allah dalam mengalirkan kasih sayang kepada sesa- ma, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan membangun peradaban manusia inilah sebenarnya tugas hakiki dari setiap kita. Tugas-tugas seperti inilah yang menjadikan sebab diutusnya kita di permukaan bumi ini. Jadi, pada hakekatnya : . . . setiap kita ini adalah UTUSAN TUHAN untuk sesama kita. Utusan Tuhan untuk menjalankan peran tertentu yang unik dan khas. Cuma saja, saat kita berbicara tentang istilah Utusan Tuhan ini, maka angan-angan atau persepsi kita selalu saja melambung tinggi, bahwa yang bisa menjadi Utusan Tuhan itu hanyalah seorang NABI atau RASUL Allah, tidak bisa tidak. Selalu saja kita batasi seperti itu, sehingga kita seakan-akan membebankan tugas untuk menyampaikan ilham, wahyu, pencerahan, yang selalu dialirkan Allah tiada henti di setiap saat itu hanyalah kepada Rasul-Rasul Allah. Seakan-akan kita ini tidak akan pernah lagi dialiri oleh ilham, wahyu, pencerahan dari Allah. Kita persepsikan bahwa Allah telah berhenti menurunkan ilham-Nya kepada umat manusia sesuai dengan zamannya. Maka akibatnya, akan ringan saja sikap kita saat kita tidak memberikan manfaat sedikit pun bagi orang lain, bahkan juga bagi diri kita sendiri. Padahal kalau kita mau mundur agak setarik dua tarikan nafas, kita akan bisa menyadari bahwa :
  • 57. 1-57 . . . saat kita tidak bermanfaat lagi bagi orang lain ataupun diri kita sendiri, maka sebenarnya saat itu Allah sudah tidak sudi lagi memakai kita sebagai Alat-Nya untuk mengalirkan Ar Rahman dan Ar Rahim-Nya, menebarkan segenap Ilmu dan Peran-Nya yang positif dan membangun kepada orang lain dan lingkungan di sekitar kita. Sebaliknya, . . . ketika kita tidak dipakai oleh Allah untuk mengalirkan segenap kebaikan dan peran positif-Nya, sebenarnya saat itu pula tengah dipakai oleh Allah sebagai alat-Nya untuk Menyempitkan (Qaabidh), Menghinakan (Mudzill), Merendahkan (Khaafidh), Mematikan (Mumiitu), Memusnahkan (Mu’akhkhir), Memberi derita (Dhaarr), dan berbagai aliran penghancuran (negatif) lainnya bagi orang lain di sekitar kita. Apa saja peran yang kita lakukan, tiba-tiba saja akan menyakitkan orang lain, atau mematikan orang lain, atau malah bisa pula melenyapkan peradaban sebuah bangsa seperti yang telah dan sedang dilakukan oleh tuan Bush, tuan Blair serta konco-konconya di Afganistan dan Irak. Ya, tuan G.W Bush, Tony Blair beserta konco-konconya boleh jadi saat ini mereka tengah menjalankan fungsinya sebagai utusan Allah untuk menghancurkan sebuah bangsa, karena Allah mau mengganti bangsa atau umat itu dengan umat atau bangsa lain yang lebih baik. Seperti juga peran-peran yang dulu pernah dijalankan mulai dari zaman Jengis Khan sampai dengan zaman orang-orang seperti Hitler, Hirohito, Muso- lini, Churchill, Rosevelt, Stalin. Di mana di zaman mereka-mereka itulah telah menyebabkan puluhan juta orang meregang nyawa, yang kemu-
  • 58. 1-58 dian ternyata diganti oleh Allah dengan umat sesudahnya yang lebih baik lagi. An Nisaa’ (4 : 133). “Jika Allah menghendaki, niscaya Dia musnahkan kamu wahai manusia, dan Dia datangkan umat yang lain (sebagai penggantimu). Dan adalah Allah Maha Kuasa berbuat demikian.” Dengan alternatif pemahaman seperti ini, maka kita akan mudah saja memahami ayat Al Qur’an yang menyatakan bahwa Allah berkata-kata dengan seorang manusia dengan cara mengutus seorang utusan-Nya. Kepada sang utusan-Nya itu dialirkannya ilham, wahyu, pencerahan sehingga sang utusan-Nya itu menjadi bahasa Allah untuk suatu kea- daan atau masalah tertentu bagi kita. Dan apa pula makna dari : Asy Syuura (42:51) “Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan,, mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.” Tugas kita sebenarnya sudah menjadi sangat sederhana sekali, yaitu bagaimana caranya agar kita bisa memahami kata-kata Allah tersebut agar kita bisa mendapatkan pelajaran dari itu. Sehingga akhirnya kita hanyalah menjadi seorang penyaksi saja atas kesibukan Allah dalam mengatur semua ciptaan-Nya. Kita tinggal bersaksi (syahid) saja: • Ooo, ada ya orang yang dialiri oleh Allah dengan kualitas kebaikan yang sangat sempurna seperti Rasulullah dalam membangun per- adaban umat manusia… • Ooo, ada ya orang yang dialiri oleh Allah dengan daya penghancuran umat manusia yang memiriskan hati seperti Hitler, GW Bush, dan sebagainya…
  • 59. 1-59 • Ooo, ada ya si A yang begini,si B yang begitu, si C yang dipakai Allah sebagai alatnya untuk ini, si D untuk itu… Dan di kekinian milis Dzikrullah ini pun kita hanya tinggal bersaksi saja : • Aha, ada ya Pak Haji Slamet Utomo yang dialiri oleh Allah kepahaman tentang makna sebenarnya dari ayat Sesungguh Dia (ALLAH) Maha Meliputi segala sesuatu, yang sudah sekian abad tidak lagi bisa dipahami oleh umat Islam. • Aha, ada ya Abu Sangkan yang dibuat Allah sibuk menyampaikan kesaksian Beliau tentang Dzikirullah dan Shalat Khusyu, • Aha, ada ya si Deka yang begitu sibuk pula oleh Allah untuk menyampaikan sekalimat dua kalimat hasil pelajarannya bersama Pak Haji Slamet Utomo dan Pak Abu Sangkan. • Aha..., ada ya Dodi Ide yang tengah dialiri oleh berbagai ide yang mungkin bagi orang lain terpikirkan pun tidak. • Aha, ada ya abang John Bandempo yang dialiri oleh Allah dengan pemahaman tentang ayat-ayat Al Qur’an seperti itu, yang cukup inspiring buat saya. • Aha, ada ya bang Mardibros yang dialiri oleh Allah dengan kesibukan memoderatori milis ini. Dan akhirnya semua ooo, ooo, dan aha, aha tadi itu akan membentuk logika berfikir kita sendiri, rasionalitas kita. Dan kita bebas saja bergerak dari satu logika ke logika lainnya. Dan, setiap logika atau rasionalitas yang kita pakai itu, didepan kita sudah ada pula taqdir yang menunggu kita dengan pasti. Tinggal kita mau memilih logika berfikir yang bagaimana untuk mendapatkan taqdir kita sendiri, untuk mendapatkan peran atau destiny kita sendiri diantara sekian banyak peran yang disediakan Allah buat kita. Tegasnya kita : . . . mau dan bersedia untuk menjadi alat Allah, utusan Allah untuk peran yang mana dan yang bagaimana ? Semua tergantung kepada kita saja.