Teks tersebut membahas tentang perolehan hak atas tanah oleh negara melalui lembaga pencabutan hak atas tanah secara yuridis. Negara dapat memperoleh hak atas tanah untuk kepentingan umum melalui pencabutan hak, pembebasan hak, pengadaan tanah, tukar menukar tanah, atau pelepasan hak. Bab ini membahas pengaturan lembaga pencabutan hak atas tanah, di mana pemerintah d
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
Kajian yuridis tentang perolehan hak atas tanah oleh negara melalui lembaga pencabutan hak atas tanah
1. 1
KAJIAN YURIDIS TENTANG PEROLEHAN HAK ATAS TANAH OLEH
NEGARA MELALUI LEMBAGA PENCABUTAN HAK ATAS TANAH
( Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Tata Usaha Negara)
Oleh :
FREINGKY A. NDAUMANU, S.H.
NIM : 11/322217/PHK/06731
PROGRAM PASCASARJARNA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
MAGISTER HUKUM
2012
2. 2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tanah memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena
mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai
social asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan
masyarakat Indonesia untuk hidup dan kehidupan, sedangkan sebagai capital
asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan. Di satu sisi tanah harus
dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat,
secara lahir, batin, adil, dan merata, sedangkan di sisi yang lain juga harus dijaga
kelestariannya. Sebagai karunia Tuhan sekaligus sumber daya alam yang strategis
bagi bangsa, Negara, dan rakyat, tanah dapat dijadikan sarana untuk mencapai
kesejahteraan hidup bangsa Indonesia, sehingga perlu campur tangan Negara turut
mengaturnya.1 Hal ini sesuai dengan amanat konstitusional sebagaimana
tercantum pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang berbunyi :
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”.
Selanjutnya, Pasal 2 UUPA menyatakan bahwa :
1
Rubaie H. Achmad., Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Cetakan I,
Bayumedia Publishing, 2007, hlm.1-2
3. 3
“Bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya pada tingkatan tinggi dikuasai oleh
Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.
Sedangkan, Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa yang dimaksud hak
menguasai oleh Negara adalah kewenangan untuk :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
3. Menentukan dan mengatur hubungan- hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa.2
Wewenang yang bersumber pada hak menguasai Negara tersebut
digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti
kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara
hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur (Pasal 2 ayat 3).3
Sebagai konsekuensi dari hak menguasai oleh Negara (HMN) agar
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, UUPA memberikan
kekuasaan yang besaar dan kewenangan yang sangat luas kepada Negara untuk
mengatur alokasi atas sumber-sumber agararia menjadi sangat tergantung kepada
politik hukum dan kepentingan Negara.
Bertolak dari hak menguasai oleh Negara, Negara mempunyai
kewenangan untuk menentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang
diberikan kepada dan dapat dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
2
MD Moh.Mahfud & Marbun SF., Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty,
Yogyakarta, Cetakan Keempat 2006, hlm.147
3
Hadjon Philipus. M et.al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan Kedua, Gadjah
Mada University Press Yogyakarta, 1993, hlm.183
4. 4
bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum. Disamping itu,
Negara mempunyai hak untuk mencabut hak-hak atas tanah yang dimiliki atau
dikuasai oleh warga Negara dengan memberikan ganti rugi yang layak dan
menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang.4
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan
dibahas adalah sebagai berikut : “Bagaimanakah Perolehan Hak Atas Tanah Oleh
Negara Melalui Lembaga Pencabutan Hak Atas Tanah Secara Yuridis”
4
Rubaie H. Achmad., Hukum Pengadaan Tanah..,Op.cit. hlm.5
5. 5
BAB II
PEMBAHASAN
A. PEROLEHAN HAK ATAS TANAH OLEH NEGARA
Immanuel Kant sebagaimana dikutip oleh Prof.Muchsan,SH.,5 mengatakan
Negara adalah organisasi kekuasaan sehingga Negara bebas untuk melaksanakan
fungsinya, artinya Negara bebas berbuat dalam hukum publik atau hukum privat.
Selanjutnya Prof.Muchsan mengatakan bahwa untuk Indonesia terhadap teori
Immanuel Kant tidak dapat digunakan karena Negara tertutup kemungkinan
memperoleh hak menguasai melalui hukum perdata, alasannya jika menggunakan
hukum perdata maka akan ada pergeseran hak menjadi hak milik oleh Negara dan
bukan hak menguasai oleh Negara.
Berkaitan dengan kewenangan Negara untuk mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan (hak menguasai oleh Negara); adapun cara
perolehan hak atas tanah demi kepentingan umum oleh Negara, yaitu berupa :
1) Pencabutan hak atas tanah;
2) Pembebasan hak atas tanah;
3) Pengadaan tanah;
4) Tukar-menukar tanah;
5) Pelepasan hak atas tanah.
5
Muchsan., Catatan Materi Perkuliahan Hukum Tata Usaha Negata, Program Pasca Sarjana
Magister Hukum Kenegaraan-UGM, Yogyakarta, 2012
6. 6
Dari kelima cara perolehan hak atas tanah oleh Negara tersebut diatas,
kesemuanya diatur dalam hukum publik. Namun demikian, diantara kelima cara
perolehan hak oleh Negara tersebut diatas, disini penulis hanya akan membahas
khusus tentang perolehan hak atas tanah oleh Negara melalui lembaga
pencabutan hak atas tanah.
Selanjutnya, hak penguasaan atas tanah adalah suatu hubungan hukum
konkret (biasanya disebut “hak“, jika telah dihubungkan dengan tanah tertentu
sebagai obyeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subyek atau
pemegang haknya.6
Sehubungan dengan istilah ‘dikuasai” dan “dipergunakan” dalam UUPA,
dengan mengutip Notonagoro, Parlindungan (1990:31)7 menguraikan bahwa harus
diperbedakan antara istilah “dikuasai” dan “diperguanakan”. Artinya, istilah
dipergunakan itu sebagai tujuan dari pada dikuasai, meskipun kata
penghubungnya “dan” hingga nampaknya itu sebagai 2 hal yang tidak ada sangkut
pautnya dalam hubungan sebab akibat. Dan pengertian dikuasai bukanlah berarti
dimiliki tetapi kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan diberikan beberapa
kewenangan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA.
Selanjutnya, Riawan Tjandra W.8 menjelaskan mengenai bagaimana cara
pemerintah memperoleh benda-benda publiek domein dapat dilakukan melalui :
1. Cara hukum keperdataan
6
Harsono Boedi., Hukum Agraria Indoensia: Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Cet. 9, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm.25
7
Tjandra W. Riawan., Hukum Administrasi Negara, Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
Yogyakarta, 2008, hlm.109
8
Ibid, hlm. 92-93
7. 7
Yaitu pemerintah melakukan perubahan status hukum dari
benda-benda yang semula dikuasai oleh orang atau badan hukum
perdata menjadi publiek domein berdasarkan cara-cara peralihan yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan dibidang hukum
keperdataan, misalnya jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, atau
menggunakan lembaga daluwarsa. Manakala pemerintah bertindak
menggunakan cara ini, pemerintah yang memiliki dual function
bertindak dalam kapasitas sebagai pelaku hukum perdata (civil actor).
Meskipun demikian, seringkali peratura-peraturan dibidang hukum
publik dalam batas tertentu dapat mempengaruhi tindakan hukum
pemerintah tersebut. Misalnya, menyangkut pembatasan penggunaan
anggaran, tata cara pengadaan (antara lain dengan menggunakan
mekanisme tender), dan lain-lain. Masyarakat seringkali lebih merasa
diuntungkan apabila pemerintah melakukan tindakan hukum untuk
memperoleh benda-benda publiek domein melalui cara-cara hukum
perdata. Hal itu disebabkan antara lain instrumen hukum perdata lebih
memberikan jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat karena
melalui prosedur kesepakatan instrumen hukum perdata lebih lebih
biasa dipergunakan dalam hubungan hukum antar warga masyarakat,
dan sebagainya.
2. Melalui cara hukum publik
Yaitu pemerintah melakukan perubahan status hukum dari
benda-benda yang semula dikuasai oleh orang atau badan hukum
8. 8
perdata menjadi publiek domein berdasarkan cara-cara peralihan yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan dibidang hukum publik.
Cara tersebut dilakukan misalnya melalui pencabutan hak atas tanah
(onteigening), pembebasan hak (prijsgeving), dan pelepasan hak.
Melalui cara ini, pemerintah bertindak dalam kapasitas sebagai
penguasa (overhead) yang memiliki wewenang menguasai yang
bersumber dari hak menguasai Negara. Apabila pemerintah
menggunakan cara-cara hukum publik, harus diimbangi dengan sistem
perlindungan hukum yang memadai bagi rakyat baik secara preventif
(melalui hak inspraak) mapun melalui secara represif melalui perintah
pencabutan beschikking oleh pejabat atasan atau oleh pengadilan
administrasi. Pengambilan hak-hak individual untuk diubah menjadi
publiek domein harus dilakukan dengan kewajiban bagi pemerintah
untuk memberikan kompensasi bagi rakyat tidak mengalami
kerugian/penurunan kualitas kesejahteraan hidup sebagai akibat
perubahan status hak-hak individual menjadi publiek domein.
B. PENGATURAN TENTANG LEMBAGA PENCABUTAN HAK ATAS
TANAH OLEH NEGARA
Dalam melaksanakan fungsinya, aparat pemerintah mengadakan
hubungan-hubungan baik yang bersifat hubungan hukum maupun hubungan nyata
dengan sesama aparat Negara maupun pihak perseorangan baik yang berbentuk
9. 9
Badan Hukum maupun manusia pribadi (individu). Dalam menjalin hubungan
hukum inilah terbentuk kegiatan-kegiatan atau aktifitas pemerintah yang
berunsurkan perbuatan-perbuatan aparat pemerintah (Bestuurshandeling).
Ada tiga (3) pendapat yang satu sama lain saling melengkapi tentang
perbuatan pemerintahan ini, yakni :
(1) Pendapat Van Vollenhoven (“Staatsrecht Overzee” halaman 25
dan seterusnya) yang menyatakan bahwa “bestuuren” adalah “het
spontaan en zelfstandig behartigen van het belang van land en volk
door hogere en legere overheden” (=pemeliharaan kepentingan
Negara dan rakyat secara spontan dan tersendiri oleh penguasa
tinggi atau rendah). “Spontaan” ialah suatu perbuatan yang
dilaksanakan segera atas prakarsa sendiri dalam menghadapi
keadaan dan keperluan yang timbul satu demi satu (individuele
gevallen) yang termasuk dalam bidangnya demi kepentingan
umum. Sedangkan, perkataan “zelstandig” dimaksudkan tidak
perlu menunggu perintah atasan, dan semuanya itu atas
tanggungjawab sendiri.
(2) Roneyn berpendapat bahwa “bestuurshandeling” adalah tiap-tiap
tindakan/perbuatan dari pada satu alat perlengkapan pemerintahan
(bestuurorgaan) baik dalam lapangan Hukum Tata Pemerintahan
mapun diluar Hukum Tata Pemerintahan, misalnya keamanan,
peradilan dan lain-lain yang bermaksud untuk menimbulkan akibat
hukum di bidang hukum administrasi.
10. 10
(3) Komisi Van Poelje (laporan pada tahun 1972) menyatakan
“Publiekrechtelijke handeling” (tindakan dalam hukum publik)
adalah rechtshandeling door de overhead in haar bestuursfuntie
verricht” (tindakan hukum yang dilakukan oleh penguasa dalam
menjalankan fungsi pemerintahan. Selanjutnya, Van Poelje
berpendapat bahwa perbuatan pemerintahan itu merupakan
manifestasi atau perwujudan “bestuur”.
Dari pengertian-pengertian tersebut, dapatlah di analisa bahwa unsur-unsur
yang harus dipenuhi untuk suatu perbuatan pemerintahan adalah :
a. Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah baik dalam
kedudukannya sebagai penguasa maupun sebagai alat
perlengkapan pemerintahan (bestuursorgaanen) dengan prakarsa
dan tanggung jawab sendiri;
b. Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi
pemerintahan;
c. Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk
menimbulkan akibat hukum di bidang hukum administrasi;
d. Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka
pemeliharaan kepentingan Negara dan rakyat.9
Di dalam teori Hukum Administrasi Negara atau Hukum Tata Usaha
Negara, perbuatan/tindakan pemerintah dalam lapangan hukum publik, dibagi atas
2 (dua) macam perbuatan, yaitu : 10
9
Muchsan., Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi
Negara Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm.17-19
11. 11
a) Perbuatan hukum publik bersegi satu (eenzijdge publiek rechtelijke
handeling);
Perbuatan ini dikatakan sepihak yaitu karena adanya kehendak satu
pihak yang dipaksakan, dan biasanya adalah kehendak pemerintah.
Sering juga disebut perbuatan unilateral atau vertikal, seperti
pencabutan hak atas tanah.
b) Perbuatan hukum bersegi dua (tweezijdge publiek rechtelijke
handeling).
Perbuatan ini dikatakan dua pihak karena adanya pertemuan dua
pihak, biasa dalam perbuatan bilateral atau horizontal. Misalnya
jual beli.
Menurut Prof.Muchsan,11 semua perbuatan pemerintahan yang
berdasarkan hukum publik sejauh perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah
selaku penguasa, merupakan perbuatan bersegi satu, sebab kedudukan antara
penguasa dengan yang dikuasai tidak sejajar, akan tetapi lebih merupakan
hubungan hierarkhis. Sedangkan, perbuatan hukum yang berdasarkan hukum
publik yang dilakukan oleh aparat pemerintah selaku organ dari pemerintah
sebagai badan hukum (bestuursorganen) mungkin sekali bersifat segi dua
maupun segi satu, sebenarnya disini perbuatan tersebut merupakan pengkhususan
dari hukum perdata (privat).
Terkait dengan perolehan hak atas tanah oleh Negara melalui lembaga
pencabutan hak atas tanah merupakan perbuatan bersegi satu, maka perbuatan
10
lihat : Zamzuri., Tindak Pemerintahan (Bestuurhandeling), Al-Hikmah, Yogyakarta, 1985,
hlm.15
11
Muchsan., Beberapa Catatan Tentang.., Op.cit, hlm.20-21
12. 12
pencabutan hak milik itu sendiri yang dilakukan oleh presiden sebagai
administrasi Negara tertinggi, merupakan perbuatan pemerintah yang bersegi
satu, dan dikeluarkan dalam bentuk “tertulis” berupa Surat Keputusan Presiden,
berdasar atas wewenang khusus (istimewa).12 Lembaga pencabutan hak atas tanah
yang dimaksudkan adalah Undang-Undang No.20 Tahun 1961 Tentang
Pencabutan Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Di Atasnya. Selanjutnya,
Adapun dasar hukum pengaturan pencabutan hak atas tanah, diatur dalam
Pasal 18 UUPA No.5 Tahun 1960, yang menyatakan bahwa:
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan
Negara serta kepentingan bersama dari seluruh rakyat, hak-hak
atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang
layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”.
Sehingga, undang-undang yang dimaksud dalam Pasal 18 tersebut adalah
UU No. 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda
Yang Ada Di Atasnya. Selanjutnya, menurut ketentuan Pasal 1 Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1973 Tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan
Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya berkaitan
dengan kegiatan pembangunan demi kepentingan umum, menentukan bahwa :
“Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan mempunyai sifat
kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut :
(1) Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan Pembangunan mempunyai sifat
kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut :
a. Kepentingan Bangsa dan Negara, dan/atau
b. Kepentingan masyarakat luas, dan/atau
c. Kepentingan rakyat banyak/bersama, dan/atau
d. Kepentingan Pembangunan
(2) Bentuk-bentuk kegiatan Pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan
umum sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini meliputi bidang bidang :
12
Roosadijo Marimin M., Tinjauan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang
Ada Di Atasnya, Cetakan I, Ghalia Indonesia, Jakarta,1979, hlm.24
13. 13
e. Pertahanan;
f. Pekerjaan Umum;
g. Perlengkapan Umum;
h. Jasa Umum;
i. Keagamaan;
j. Ilmu Pengetahuan dan Seni Budaya;
k. Kesehatan;
l. Olahraga;
m. Keselamatan Umum terhadap bencana alam;
n. Kesejahteraan Sosial;
o. Makam/Kuburan;
p. Pariwisata dan Rekreasi
q. Usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan
umum.
(3) Presiden dapat menentukan bentuk-bentuk kegiatan pembangunan lainnya
kecuali sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang menurut
pertimbangannya perlu bagi kepentingan umum”. 13
Kalau kita lihat rumusan tersebut diatas maka pengertian kepentingan
umum sudah cukup terperinci, sekalipun belum begitu tegas akan tetapi dengan
adanya ketentuan ayat (3) yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk
menentukan bentuk kegiatan pembangunan sebagain suatu bentuk kepentingan
umum, maka pengertian kepentingan umum menjadi kabur kembali.
Menurut Abdurrahman,SH., diperlukan adanya suatu ketegasan tentang
apa yang dimaksud dengan kepentingan umum dalam undang-undang.14 Senada
dengan hal tersebut, Prof.Muchsan,15 berpendapat bahwa perlu adanya undang-
undang tentang kepentingan umum sehingga terhadap pemenuhannya dapat
terlaksana dengan baik, jika tidak maka akibatnya pengertian kepentingan umum
mempunyai makna luas menurut pemerintah.
13
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1973 Tentang Pedoman-Pedoman
Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya
14
Abdurrahman., Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Pembebasan Tanah Di
Indonesia-Seri Hukum Agraria I, Cetakan Kedua, Alumni, Bandung, 1983, hlm.41
15
Muchsan., Catatan Materi Perkuliahan..,Op.cit.
14. 14
Huybers16 dalam bukunya Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah
mendefinisikan kepentingan umum sebagai “kepentingan masyarakat sebagai
kesuluruhan yang memiliki ciri-ciri tertentu, antara lain memiliki perlindungan
hak-hak individu sebagai warga Negara dan menyangkut pengadaan serta
pemeliharaan sarana publik dan pelayanan publik”.
Kepentingan umum dapat dijabarkan melalui dua cara. Pertama, berupa
pedoman umum yang menyebutkan bahwa pengadaan tanah dilakukan
berdasarkan alasan kepentingan umum melalui berbagai istilah. Karena berupa
pedoman, hal ini dapat mendorong eksekutif secara bebas menyatakan suatu
proyek memenuhi syarat kepentingan umum. Kedua, penjabaran kepentingan
umum dalam daftar kegiatan. Dalam praktek kedua cara itu sering ditempuh
secara bersamaan.
Adapun Jenis-Jenis Kepentingan Umum menurut ketentuan Pasal 5
Perpres 36/Tahun 2005 jo Perpres 65/Tahun 2006 antara lain :17
a. Jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang
atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air
minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;
b. Waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan
lainnya;
c. Pelabuhan, Bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;
d. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan
bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;
e. Tempat pembuangan sampah;
f. Cagar alam, cagar budaya;
g. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik”.
16
Sumardjono Maria S.W., Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi, Cetakan
Ketiga, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005, hlm.107
17
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah
menggantikan Keppres No.55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
15. 15
Abdurrahman, SH.,18 kemudian memberikan pengertian tentang apa yang
dimaksud dengan pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum adalah
merupakan “cara yang terakhir” untuk memperoleh tanah-tanah yang sangat
diperlukan guna keperluan tertentu untuk kepentingan umum, setelah berbagai
cara lain dengan jalan musyawarah dengan yang empunya tanah menemui jalan
buntu dan tidak membawa hasil sebagaimana yang diharapkan sedangkan
keperluan untuk penggunaan tanah dimaksud sangat mendesak sekali. Menurut
Prof. Muchsan,19 pencabutan hak atas tanah adalah putusnya hubungan hukum
antara tanah dengan pemengang haknya yang dilakukan secara sepihak dengan
pemberian ganti kerugian yang layak. demi pemenuhan kepentingan umum.
Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat dijabarkan 4 (empat) unsur, yaitu:
a. Putusnya hubungan hukum antara tanah dengan pemengang haknya.
Maksudnya disini adalah hilangnya hak dan kewajiban atas tanah
dari pemilik tanah.
b. Adanya perbuatan hukum sepihak. Artinya bahwa adanya perbuatan
hukum yang dipaksakan secara sepihak dari pemerintah tanpa perlu
harus menunggu kesepakatan dari pihak pemilik tanah/pihak lawan
berbuat tidak diperhatikan.
18
Abdurrahman., Masalah Pencabutan Hak-Hak..,Op.cit, hlm.37
19
Muchsan., Catatan Materi Perkuliahan..,Op.cit.
16. 16
c. Adanya pemberian ganti kerugian yang layak. Terhadap adanya
ganti kerugian, UU No.20 Tahun 1961 memberikan tiga (3) macam
ganti kerugian yang sifatnya komulatif, antara lain :
a) Ganti kerugian terhadap harga tanah yang tercabut;
b) Harga benda yang ada diatasnya (benda diatas tanah);
c) PEMUKTI (pemukiman pengganti).
d) Adanya kepentingan umum yang dipenuhi. Maksudnya
kepentingan umum menurut UU No.20 Tahun 1961, yaitu
kepentingan bangsa dan Negara, kepentingan pembangunan
dan kepentingan masyarakat banyak.
Untuk dapat melaksanakan pencabutan hak atas tanah, Undang-undang
No. 20 Tahun 1961 secara garis besarnya memuat dua (2) macam acara
pencabutan hak atas tanah dan/atau benda-benda yang ada di atasnya demi
kepentingan umum, yaitu acara yang biasa dan acara yang mendesak, antara
lain:20
1. Pencabutan Hak Menurut Acara Biasa
1) Menurut prosedur ini pihak yang meminta agar diadakan pencabutan hak
mengajukan pemohonan kepada Presiden Republik Indonesia dengan
perantaraan Menteri Dalam Negeri/Dir. Jenderal Agraria melalui Gubernur
KDH/Kepala Direktorat Agraria/Kepala Inspeksi Agraria setempat dengan
disertai :
20
Abdurrahman., Masalah Pencabutan Hak-Hak..,Op.cit, hlm.46-50
17. 17
1. Rencana peruntukannya dan alasan-asalannya bahwa untuk
kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak itu.
2. Keterangan tentang nama yang berhak (jika mungkin) serta
letak, luas dan macam hak dari tanah yang akan dicabut haknya
serta benda-benda yang bersangkutan.
3. Rencana penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut,
itu kalau ada, juga orang-orang yang menggarap tanah atau
menempati rumah bersangkutan. (Pasal 2 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 1961)
2) Setelah menerima permhonan untuk pencabutan hak dimaksud maka
kepala Direktorat Agraria segera meminta kepada Bupati KDH yang
bersangkutan untuk memberikan pertimbangan mengenai permintaan
pencabutan hak tersebut.
3) Meminta kepada Panitia Penaksir Ganti Rugi yang khusus diadakan
untuk itu untuk memberikan taksiran berapa ganti rugi yang harus
dibayar terhadap tanah yang akan dicabut haknya itu.
4) Dalam waktu tiga (3) bulan sejak diterimanya permintaan dari Kepala
Direktorat Agraria tersebut diatas para Bupati/Walikotamadya KDH
itu sudah harus menyampaikan pertimbangan-pertimbangan yang
diperlukan, begitu pula dengan Panitia Penaksir harus sudah
menyampaikan taksiran berapa ganti rugi yang harus dibayar kepada
pemilik tanah yang akan dicabut haknya itu.
18. 18
5) Kepala Direktorat Agraria/Kepala Inspeksi Agraria setelah menerima
pertimbangan dari Bupati/Walikotamadya KDH dan taksiran harga
ganti kerugian yang harus dibayarkan atas nama Gubernur KDH,
setelah itu disampaikan permohan tersebut kepada Menteri Dalam
Negeri cq. Direktorat Jenderal Agraria dengan disertai pertimbangan-
pertimbangannya sendiri, yang untuk selajutnya oleh Menteri Dalam
Negeri permohonan ini disampaikan kepada Presiden21 dengan disertai
pertimbangan-pertimbangan serta pertimbangan dari Menteri
Kehakiman dan Menteri yang bidang tugasnya meliputi usaha si
pemohon pencabutan hak.
6) Bilamana semua persyaratan tersebut semuanya sudah terpenuhi dan
presiden mengabulkan permohonannya barulah pencabutan hak atas
tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan sebuah surat
Keputusan Presiden. Dalam surat keputusan tersebut dicantumkan pula
mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi yang harus dibayar kepada si
pemilik tanah. SK.Presiden ini kemudian diumumkan didalam Berita
Negara Republik Indonesia dan turunannya disamapikan kepada
pemilik tanah yang dicabut haknya.
21
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, yang berbunyi:
“Pemintaan untuk melakukan pencabutan hak atas tanah dan/atau benda tersebut pada
Pasal 1 diajukan oleh yang berkepentingan kepada Presiden dengan perantaraan
Menteri Agraria, melalui Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan.”
19. 19
2. Pencabutan Hak Dalam Keadaan Yang Mendesak
Dalam keadaan yang sangat mendesak yang memerlukan penguasaan
tanah dan/atau benda-benda yang bersangkutan dengan segera, maka
pencabutan Hak khususnya penguasaan tanah dan/atau benda-benda itu
dapat diselenggarakan melalui prosedur atau tatacara khusus yang lebih
cepat.(Pasal 6 UU No.20 Tahun 1961), Keadaaan mendesak itu
misalnya jika terjadi wabah atau bencana alam yang memerlukan
penampungan dengan segera, maka prosedurnya adalah :
1. Dalam hal ini permintaan untuk melakukan pencabutan hak
diajukan oleh Kepala Direktorat Agraria/Kepala Inspeksi
Agraria atas nama Gubernur KDH atas permohonan yang
berkepentingan kepada Menteri Dalam Negeri, tanpa disertai
taksiran ganti rugi dari para panitian penaksir dan kalau perlu
juga dengan tidak menunggu diterimanya pertimbangan dari
Bupati/Walikotamadya KDH yang bersangkutan.
2. Menteri Dalam Negeri dapat memberikan perkenan kepada yang
bersangkutan untuk menguasai tanah dan/atau benda-benda
yang bersangkutan. Keputusan penguasaaan tersebut akan
diikuti dengan Keputusan Presiden mengenai dikabulkannya
atau ditolaknya permintaan untuk melakukan pencabutan hak
ini. Keputusan Presiden tersebut harus dimuat dalam Berita
Negara R.I.
20. 20
Sehubungan dengan pencabutan hak atas tanah, dikatakan oleh Perangin
(1991:46),22 sesuai dengan ketentuan, bahwa pencabutan hak hanya dilakukan
demi kepentingan umum dan hanya dalam keadaan memaksa sebagai jalan yang
terakhir. Maka walaupun acara pencabutan hak sudah dimulai, bahkan sudah ada
surat keputusan pencabutan haknya sekalipun jika kemudian dapat dicapai
persetujuan dengan yang empunya untuk menyelesaikan soalnya dengan cara jual
beli, tukar menukar, atau pembebasan hak, cara itulah yak akhirnya harus
ditempuh. Sehubungan dengan itu ditentukan pula, bahwa jika telah dilakukan
pencabutan hak tetapi kemudian ternyata bahwa tanah dan/atau benda-benda yang
bersangkutan tidak dipergunakan sesuai dengan rencana semula yang
mengharuskan dilakukannya pencabutan hak itu, maka para bekas pemiliknya
diberi prioritas utama untuk mendapatkannya kembali.
Pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum merupakan suatu cara
terakhir untuk memperoleh tanah yang sangat diperlukan guna keperluan-
keperluan tertentu untuk kepentingan umum, yaitu setelah dilakukan berbagai
cara, tidak membawa hasil sebagaimana diharapkan, sedangkan keperluan untuk
pembangunan tanah yang dimaksud sangat mendesak sekali.23 Sehubungan
dengan hal tersebut, maka inilah prinsip dasar yang menyebabkan lahirnya
undang-undang pencabutan hak atas tanah selama ini jika pemerintah memerlukan
tanah untuk kepentingan umum, terlebih dahulu diusahakan agar tanah itu dapat
diperoleh dengan persetujuan pemiliknya dengan cara jual beli, tukar-menukar.
Akan tetapi, cara demikian tidak selalu dapat memberikan hasil yang diharapkan,
22
Tjandra W. Riawan., Hukum Administrasi..,Op.cit, hlm.117
23
Sutedi Adrian., Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan, Cetakan Kedua, Sinar Gragika, Jakarta, 2008, hlm.87
21. 21
karena pemilik tanah meminta harga yang terlampau tinggi ataupun tidak bersedia
sama sekali melepaskan tanahnya yang diperlukan pemerintah. Oleh karena
kepentingan umum harus didahulukan dari pada kepentingan perorangan, maka
jika tindakan yang dimaksudkan benar-benar untuk kepentingan umum, dalam
keadaan memaksa, jika musyawarah tidak memberikan hasil yang diharapkan,
harus ada wewenang pemerintah untuk mengambil dan menguasai tanah yang
bersangkutan.24
Pada umumnya pencabutan hak ini diadakan guna keperluan usaha-usaha
Negara naik dalam pemerintah pusat maupun untuk pemerintah daerah, tetapi
menurut Penjelasan UU No.20 Tahun 1961 sebagai pengecualian pencabutan hak
juga dapat dilakukan untuk pelaksanaan usaha swasta asalkan usaha tersebut
benar-benar untuk kepentingan umum25 dan tidak mungkin diperoleh tanah yang
diperlukan melalui persetujuan dengan yang empunya tanah. Sudah barang tentu
usaha swasta tersebut harus disetujui oleh pemerintah dan sesuai pula dengan pola
Rencana Pembangunan Nasional. Akan tetapi hak yang demikian kadang-kadang
banyak mengalami kesulitan, umpanya apakah pihak swasta yang ingin
membangun suatu proyek parawisata dapat dianggap sebagai untuk kepentingan
umum karena dengan adanya proyek itu akan banyak menarik para wisatawan
24
Ibid, hlm.88
25
Aparat Pemerintah dalam menjalankan fungsinya, dalam Teori Hukum Tata Usaha Negara
dibagi atas dua fungsi, yaitu pertama, fungsi memerintah (bestuuren funtie); kedua, fungsi
pelayanan (verzogen funtie). Berkaitan dengan fungsi pelayanan oleh Aparat Pemerintah,
maka ada tiga alternatif yang tersedia :
1. Aparat Pemerintah tampil sendiri;
2. Aparat Pemerintah dan swasta yang tampil; dan
3. Pihak swasta yang tampil sendiri.
22. 22
sehingga dapat meningkatkan income (pendapatan) pemerintah baik pusat maupun
daerah, sehingga guna keperluan tersebut dapat diadakan pencabutan hak.26
Namun, menurut Prof.Muchsan,27 jika di analisis maka terhadap UU
No.20 Tahun 1961 memiliki beberapa keunggulan dan kelemahan, antara lain :
o Keunggulan UU No.20 Tahun 1961, yaitu :
(1) Pencabutan hak atas tanah merupakan kewenangan presiden;
(2) Ditetapkannya Panitia Pencabutan Hak Atas Tanah;
(3) Adanya PEMUKTI (pemukiman pengganti); serta
o Kelemahan UU No.20 Tahun 1961, yaitu :
(1) Merupakan perbuatan sepihak, dimana hanya kehendak
pemerintah yang dipaksakan;
(2) Pengertian kepentingan umum yang tidak menjamin kepastian
hukum;
(3) Tidak dapat menyediakan upaya hukum yang dapat digunakan
oleh pemegang hak atas tanah, dalam arti pemegang hak atas
tanah tidak dapat mengajukan upaya hukum untuk menolak
pencabutan hak atas tanah oleh pemerintah. Mengenai keberatan28
atas pencabutan hak atas tanah dapat mengajukan Gugatan ke
26
Abdurrahman., Masalah Pencabutan Hak-Hak..,Op.cit, hlm.42-43
27
Muchsan., Catatan Materi Perkuliahan..,Op.cit
28
Keberatan yang dimasud adalah terhadap keputusan mengenai jumlah ganti kerugian yang
tidak dapat diterima karena dianggap kurang layak, sehubungan dengan pencabutan hak-
hak atas tanah dan bendabenda yang ada diatasnya (Lihat, Pasal 1 PP No.39 Tahun 1973).
Hal tersebut dikarenakan, menurut Prof.Muchsan, perumusan kata “layak” dalam UU
No.20 Tahun 1960 diartikan sebagai “perbuatan sepihak dari pemerintah”, yang berarti
pemerintah sendiri yang berhak menentukan jumlah nilai perhitungan kerugian yang harus
diberikan kepada pihak yang dikenai pencabutan hak atas tanah.
23. 23
Pengadilan Tinggi untuk pertama dan terakhir kali. Gugatan
tersebut bersifat Perdata karena perbuatannya merupakan
Perbuatan Melawan Hukum sesuai dengan Pasal 1365 Burgelijk
Wetboek (BW). Lebih jauh mengenai gugatan terhadap keberatan
yang timbul dari pencabutan hak atas tanah diatur dalam
Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1973
Tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi
Sehubungan Dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan
Benda-Benda Yang Ada Diatasnya. Dalam PP No.39 Tahun 1973,
disebutkan gugatan ganti kerugian hanya diajukan langsung ke
Pengadilan Tinggi, dan putusan Pengadilan Tinggi merupakan
putusan final. Timbul permasalahan, dimana PP No.39 Tahun
1973 ini jika di uji maka akan bertentangan dengan Undang-
Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan pokok
kekuasaan kehakiman, alasannya :
a. Karena jenjang upaya hukum dalam PP No.39 Tahun 1973
cuma sekali, yaitu langsung mengajukan upaya hukum
banding ke Pengadilan Tinggi tentang ganti kerugian.
b. Terhadap Keputusan TUN yang dikeluarkan dapat diajukan
keberatan administrasi, namun PP No.39 Tahun 1973
menutup kemungkinan terhadap hal tersebut.
c. PP No.39 Tahun 1973 seperti tidak ada kekuatan
berlakunya.
24. 24
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan antara lain :
Bahwa secara yuridis terhadap perolehan hak atas tanah oleh negara
melalui lembaga pencabutan hak atas tanah diatur dalam Undang-undang Nomor
20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda
Yang Ada Di Atasnya merupakan suatu cara terakhir untuk memperoleh tanah
yang sangat diperlukan guna keperluan-keperluan tertentu untuk kepentingan
umum, yaitu setelah dilakukan berbagai cara, tidak membawa hasil sebagaimana
diharapkan, sedangkan keperluan untuk pembangunan tanah yang dimaksud
sangat mendesak sekali.
Bahwa Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah harus diutamakan demi
kepentingan umum dari pada kepentingan orang perorang, maka jika tindakan
pencabutan hak atas tanah yang dimaksudkan itu memang benar-benar untuk
kepentingan umum, dalam keadaan memaksa yaitu jika jalan musyawarah tidak
dapat membawa hasil yang diharapkan, haruslah ada wewenang pada pemerintah
untuk bisa mengambil dan menguasai tanah yang bersangkutan.
25. 25
Seperti yang telah disampaikan Prof.Muchsan, bahwa terhadap UU No.20
Tahun 1961 masih memiliki beberapa kelemahan, antara lain :
1.Merupakan perbuatan sepihak, dimana hanya kehendak pemerintah
yang dipaksakan;
2.Pengertian kepentingan umum yang tidak menjamin kepastian
hukum
3.Tidak dapat menyediakan upaya hukum yang dapat digunakan oleh
pemegang hak atas tanah
Bahwa masih terdapat beberapa peraturan pelaksana yang memiliki
kelemahan sehingga memungkinkan sulitnya pelaksanaan terhadap peraturan
tersebut, misalnya seperti gugatan terhadap keberatan yang timbul dari
pencabutan hak atas tanah yang telah diatur dalam Peraturan pemerintah Republik
Indonesia Nomor 39 Tahun 1973
B. SARAN
Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, maka dapat dikemukakan beberapa
saran yang dapat penulis rekomendasikan sebagai berikut :
Bahwa pemerintah perlu mengatur sebuah lembaga musyawarah yang
berperan untuk mengadakan pendekatan kepada pihak pemilik tanah yang akan
dicabut haknya atas tanah, dimana tidak hanya untuk menetapkan besarnya ganti
rugi, akan tetapi bagaimana ganti rugi itu sesuai dengan rasa keadilan dalam
26. 26
masyarakat, serta menjamin adanya perlindungan hukum yang baik terhadap hak-
hak warga.
Bahwa pemerintah perlu membuat suatu undang-undang tentang
kepentingan umum, untuk mencegah kesewenang-wenangan akibat meluasnya
penafsiran kepentingan umum sebagai alasan perolehan hak atas tanah oleh
Negara.
27. 27
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku :
Abdurrahman., Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Pembebasan
Tanah Di Indonesia-Seri Hukum Agraria I, Cetakan Kedua, Alumni,
Bandung, 1983
Hadjon Philipus. M et.al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan
Kedua, Gadjah Mada University Press Yogyakarta, 1993
Harsono Boedi., Hukum Agraria Indoensia: Sejarah Pembentukan Undang-
undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Cet. 9,
Djambatan, Jakarta, 2003
MD Moh.Mahfud & Marbun SF., Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,
Liberty, Yogyakarta, Cetakan Keempat 2006
Muchsan., Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara Dan
Peradilan Administrasi Negara Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
1981
________., Catatan Materi Perkuliahan Hukum Tata Usaha Negata, Program
Pasca Sarjana Magister Hukum Kenegaraan-UGM, Yogyakarta,
2012
28. 28
Roosadijo Marimin M., Tinjauan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan
Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya, Cetakan I, Ghalia Indonesia,
Jakarta,1979
Rubaie H. Achmad., Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum,
Cetakan I, Bayumedia Publishing, 2007
Sumardjono Maria S.W., Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan
Implementasi, Cetakan Ketiga, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005
Sutedi Adrian., Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan
Tanah Untuk Pembangunan, Cetakan Kedua, Sinar Gragika, Jakarta,
2008
Tjandra W. Riawan., Hukum Administrasi Negara, Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, Yogyakarta, 2008
Zamzuri., Tindak Pemerintahan (Bestuurhandeling), Al-Hikmah, Yogyakarta,
1985
B. Peraturan Perundang-Undangan :
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1961 Tentang
Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Di
Atasnya
29. 29
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1973 Tentang
Acara Penetapan Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi
Sehubungan Dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-
Benda Yang Ada Diatasnya
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum
C. Instruksi Presiden :
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1973 Tentang
Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah
Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya