SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 100
Penilaian Performa
Pengelolaan Perikanan
Menggunakan Indikator EAFM
(Ecosystem Approach to Fisheries Management)
Kajian pada perikanan di Wilayah Kabupaten Alor

Disusun Oleh :
• Donny M Bessie - FPIK Universitas Kristen Arta Wacana Kupang
• Dwi Ariyogagautama - WWF-Indonesia

Juni 2012
1
DAFTAR ISI
Daftar Isi............................................................................................................................2
Daftar Tabel.....................................................................................................................................3
Daftar Gambar.................................................................................................................................4
Kata Pengantar.................................................................................................................................5
BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................................................6

1.1 Latar Belakang......................................................................................................6
1.2 Tujuan dan Manfaat Studi....................................................................................9
BAB II. SEKILAS KONDISI PERIKANAN.........................................................................................10

2.1. Perikanan Berbasis Wilayah Kabupaten Alor...................................................10
2.1.1 Aspek Geografi dan Demografi Kabupaten Alor...........................................10
2.1.2. Statistik Perikanan Kabupaten Alor..........................................................................11

3.1. Pengumpulan Data.............................................................................................13
2.2. Analisa Komposit..............................................................................................14
Lampiran 1. Kuesioner Perikanan Karang dan Pelagis...............................................................80

Interviewer : ……………………. Tanggal

:

……………………. ............92

2
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Estimasi potensi sumberdaya ikan pada WPP 573, WPP 713 & WPP 714... 7
Tabel 2. Status tingkat pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Perairan ......................

8

Tabel 3. Komposisi Alat Tangkap di Kabupaten Alor............................................

12

Tabel 4. Lokasi Pengambilan Data Survey EAFM.................................................

14

Tabel 5. Penggolongan Nilai Indeks Komposit dan Visualisasi Model Bendera....

15

Tabel 6. Analisis Komposit Domain Sumberdaya Ikan..........................................

16

Tabel 7. Analisis Komposit Domain Habitat dan Ekosistem..................................

25

Tabel 8. Analisis Komposit Domain Teknis Penangkapan Ikan ............................

37

Tabel 9. Analisis Komposit Domain Sosial............................................................ .

45

Tabel 10. Analisis Komposit Domain Ekonomi........................................................

50

Tabel 11. Analisis Komposit Domain Kelembagaan.................................................

57

Tabel 12. Status dan Performa Sumberdaya Perikanan di Kabupaten Alor………..

65

Tabel 13. Elemen Dasar Rencana Pengelolaan Perikanan.........................................

67

3
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.

Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan.................................................

6

Gambar 2.

Peta Kabupaten Alor...........................................................................

11

Gambar 3.

Grafik CPUE Kabupaten Alor peridoe 2006 – 2010..........................

19

Gambar 4.

Agregat Domain Sumberdaya Ikan....................................................

24

Gambar 5.

Agregat Domain Habitat dan Ekosistem............................................

35

Gambar 6.

Agregat Domain Teknis Penangkapan Ikan.......................................

44

Gambar 7.

Agregat Domain Sosial.......................................................................

48

Gambar 8.

Pendapatan Nelayan Perikanan Pelagis per Jenis Alat Tangkap........

52

Gambar 9.

Pendapatan Nelayan Perikanan Demersal per Jenis Alat Tangkap....

53

Gambar 10.

Saving Ratio Perikanan Pelagis per Jenis Alat Tangkap....................

54

Gambar 11.

Saving Ratio Perikanan Demersal per Jenis Alat Tangkap................

55

Gambar 12.

Agregat Domain Ekonomi..................................................................

55

Gambar 13.

Agregat Domain Kelembagaan..........................................................

64

4
KATA PENGANTAR
Pengelolaan perikanan merupakan sebuah kewajiban seperti yang telah
diamanatkan oleh Undang-Undang No. 31 tahun 2004 yang ditegaskan kembali pada
perbaikan undang-undang tersebut yaitu pada Undang-Undang No 45 tahun 2009.
Secara alamiah, pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi
yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu (1) dimensi sumberdaya perikanan dan
ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan
sosial ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri.
Dalam konteks ini lah, pendekatan terintegrasi melalui pendekatan ekosistem terhadap
pengelolaan perikanan (ecosystem approach to fisheries management, selanjutnya
disingkat EAFM) menjadi sangat penting.
Kabupaten Alor sebagai salah satu kabupaten perikanan terbesar di Nusa
Tenggara Timur memiliki potensi sumberdaya perikanan ekonomis yang menjanjikan
disepanjang perairan Alor seluas 10.773,62 km² telah menopang perekonomian daerah.
Kebijakan yang berdampak berkelanjutannya sektor kelautan dan perikanan sudah
menjadi urgensi dalam setiap sendi kebijakan daerah. Melalui kajian EAFM yang
bersifat komprehensif, meliputi domain Sumberdaya ikan, Teknologi Penangkapan,
Habitat dan ekosistem, Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan diharapkan dapat
menggambarkan performa pengelolaan perikanan berbasis ekosistem yang diterapkan
di kabupaten Alor.
Laporan Kajian EAFM ini dapat dijadikan salah satu acuan sebagai dasar
pembuatan perencanaan pengelolaan perikanan berbasis ekosistem di kabupaten Alor
agar lebih efisien dan terfokus. Demikian laporan ini dibuat, semoga dapat bermanfaat
bagi sebesar-besarnya bagi pengembangan sector kelautan dan perikanan di Kabupaten
Alor secara berkelanjutan dan bertanggungjawab.

Kalabahi, Juli 2012

Tim Penyusun

5
BAB I. PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang beragam dan

melimpah pada lautnya yang mencapai luas sekitar 5,8 juta km2. Estimasi potensi
sumberdaya perikanan laut di Indonesia diperkirakan oleh kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) tahun 2011 sebesar 6.520.300 ton/tahun. Potensi tersebut terdiri atas
55,9% dari perikanan pelagis kecil,22,3% berasal dari perikanan demersal, 17,6%
perikanan pelagis besar, 2,2% perikanan ikan karang konsumsi, 1,5% bersumber dari
udang Penaeid, 0,4% berasal dari cumi-cumi dan 0,1% berasal dari lobster.
Besarnya potensi perikanan yang tersebar di perairan Indonesia, membuat KKP
membagi perairan di Indonesia menjadi 11 bagian yang sering disebut dengan Wilayah
Pengelolaan Perikanan (WPP), hal ini dilakukan untuk mengefesiensikan pengelolaan
perikanan yang ada. Perhitungan estimasi potensi perikanan, pengkajian stock
assesment hingga kebijakan perikanan selalu berdasarkan 11 WPP tersebut. Berikut
pembagian WPP di Indonesia :

Gambar 1. Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan (KepMen No, 45 tahun 2011)

6
Berdasarkan Kepmen KP 45 Tahun 2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya
Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, Provinsi Nusa Tenggara
Timur (NTT) bersinggungan dengan 3 WPP yang ada, dengan potensi sumberdaya ikan
sebesar 26,1% dari total 1.699,4 Ton pertahunnnya, yang daerah itu berada di WPP 573
mulai dari Perairan Samudera Hindia bagian selatan Jawa hingga Nusa Tenggara, Laut
Sawu dan Laut Timor bagian barat, WPP 713 yaitu dari Perairan Selat Makasar, Teluk
Bone, Laut Flores dan Laut Bali dan WPP 714 yaitu Perairan Teluk Tolo dan Laut
Banda. Sedangkan Kabupaten Flores Timur, Lembata dan Alor termasuk dalam 2 WPP
yaitu WPP 573 dan WPP 714.
Tabel 1. Estimasi potensi sumberdaya ikan pada WPP 573, WPP 713 dan WPP 714
(KepMen 45 tahun 2011)
Kelompok Sumberdaya Ikan

Ikan Pelagis Besar
Ikan Pelagis Kecil
Ikan Demersal
Udang Penaeid
Ikan Karang konsumsi
Lobster
Cumi-Cumi
Total
Potensi
(1.000
ton/tahun)

Samudera
Hindia
(WPP 573)
201,4
210,6
66,2
5,9
4,5
1,0
2,1
491,7

Selat
MakasarLaut Flores
(WPP 713)
193,6
605,4
87,2
4,8
34,1
0,7
3,9
929,7

Laut
Banda
(WPP 714)
104,1
132,0
9,3
32,1
0,4
0,1
278,0

Total

499,1
948
162,7
10,7
70,7
2,1
6,1
1.699,4

Melalui Kepmen ini, KKP juga sudah mengestimasi besaran pemanfaatan
perikanan berdasarkan WPP yang ada. Pendugaan status pemanfaatan perikanan
tersebut digolongkan menjadi 4 bagian yaitu Over exploited (O), Fully exploited (F),
Moderate (M), dan Moderate to Exploited (M-F).

7
Tabel 2. Status tingkat pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Perairan Indonesia (KepMen
45 tahun 2011)

Namun dalam assessment potensial (KepMen 45 tahun 2011 ) oleh KKP ini,
yang dilakukan hanya mempertimbangkan kondisi pemanfaatan perikanannya saja,
sedangkan aspek ekosistem, aspek sosek dan kelembagaan masih belum terkaji dalam
format yang baku. Untuk itu sejak tahun 2010 hingga saat ini WWF Indonesia dalam hal
ini berinisiasi dalam memfasilitasi pembuatan Indikator pengelolaan perikanan yang
berbasis ekosistem bersama Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan
Tangkap, Kementrian Kelautan dan Perikanan dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan, Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) dengan konsep tersebut dinamakan
Ecosystem Approach for Fisheries Management (EAFM).EAFM merupakan indikator
asessment perikanan yang akan dilakukan bertahap di masing-masing WPP yang ada di
Indonesia.
Kabupaten Flores Timur, Lembata dan Alor yang merupakan kabupaten
kepulauan yang memiliki 2 WPP yaitu WPP 573 dan 714. Pendataan di kedua kabupaten
ini penting dilakukan mengingat semakin meningkatnya permintaan pasar akan produk
perikanan diwilayah timur Indonesia termasuk ketiga kabupaten ini. Tanpa diimbangi
oleh pendataan dari sisi ekosistem, sosek, teknik penangkapan yang ada dan
8
kelembagaan yang tergabung dalam EAFM sebagai dasar pengelolaan perikanan
tentunya hal ini akan berdampak semakin tidak terarahnya kebijakan perikanan dalam
mendukung perikanan yang berkelanjutan dalam meningkatkan perekonomian
kabupaten.
Melalui pendataan perikanan berdasarkan indikator EAFM ini, diharapkan dapat
menjadi baseline data bagi pemerintah baik itu di KKP pusat dan Pemerintah masingmasing kabupaten dan akan menjadi data pendukung untuk dalam pembentukan
kawasan konservasi dan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD)
masing-masing kabupaten, untuk mendukung kesejahteraan masyarakat pesisir dan
sekitarnya.
1.2

Tujuan dan Manfaat Studi
Kegiatan ini memiliki tujuan,antara lain :
1. Mengumpulkan data indikator EAFM di kabupaten Alor
2. Pembaharuan pemetaan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut
3. Mengumpulkan data dasar perikanan didesa yang memiliki aktivitas perikanan
yang tinggi. (Perikanan pelagis besar, pelagis kecil dan demersal).

9
BAB II. SEKILAS KONDISI PERIKANAN
2.1.

Perikanan Berbasis Wilayah Kabupaten Alor
2.1.1

Aspek Geografi dan Demografi Kabupaten Alor

Kabupaten Alor merupakan kabupaten kepulauan yang terdiri atas 15 pulau 10
pulau berpenghuni dan 5 pulau tidak dihuni.Secara geografis daerah ini terletak di
bagian utara dan paling timur dari wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur pada: Lintang
Selatan8º6’ LS - 8º36’ LS dan Bujur Timur 123º48’ BT - 25º48’ BT dengan batas-batas
sebagai berikut: Utara berbatasan dengan Laut Flores, Selatan berbatasan dengan Selat
Ombay dan Timor Leste, Timur berbatasan dengan pulau-pulau Maluku, dan bagian
barat berbatasan dengan Selat Lomlen (Lembata).
Kabupaten Alor memiliki luas wilayah sebesar. 13.638,26 Km2 yang terdiri dari
luas wilayah daratan 2.864,64 km2 (21%) dan luas wilayah perairan 10.773,62 km2 (79
%) dengan panjang garis pantai sepanjang 287,10 km. Semenjak tahun 2009, melalui
Peraturan Bupati Nomor 6 Tahun 2009 kabupaten Alor telah menetapkan pencadangan
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKPD). sebesar 400.083 ha atau sebesar 37,14%
dari luas wilayah perairan kabupaten Alor yang merupakan perluasan dari kawasan
konservasi laut daerah Selat Pantar.
Secara administratif pemerintahan Kabupaten Alor terdiri dari 17 (Tujuh Belas)
kecamatan yang terdiri atas 175 desa. Dari 175 desa/kelurahan jumlah desa pesisir
sebanyak 104 desa/kelurahan (59,43%) dan jumlah desa yang bukan tipologi desa
pesisir sebanyak 71 desa (40,57%).
Secara potensi biodiversitas di Kabupaten Alor memiliki 16 jenis bakau dari 11
famili dengan luasan 678,65 ha disepanjang pesisir, sedangkan jenis lamun yang
ditemukan sebanyak 7 jenis dengan luasan padang lamun sebesar649.37 Ha. Tutupan
karang hidup di kabupaten Alor secara umum 34,95% yang artinya termasuk dalam
kondisi Sedang, jenis karang batu yang tercatat sebanyak 345 jenis dari 19 suku/famili
dengan luasan sebesar 3,011.31 ha dan sedangkan ikan karang yang tercatat sebanyak
275 jenis yang termasuk dalam 19 suku (WWF, 2009).
10
Gambar 2. Peta Kabupaten Alor (Bappeda Kabupaten Alor, 2011)
2.1.2. Statistik Perikanan Kabupaten Alor
Penduduk Kabupaten Alor sampai pada tahun 2010 berjumlah 181.913 jiwa dan
jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 41.052, dengan tingkat kepadatan rumah
tangga sebesar 64 dan penduduk sebesar 64 jiwa/km 2. Dari jumlah tersebut penduduk
berjenis kelamin laki-laki sebanyak 90.889 jiwa (49,96%) dan perempuan sebanyak
91.024 jiwa (50,04 %). Kecamatan Teluk Mutiara memiliki jumlah penduduk paling
banyak yakni 45.413 (24,96%) dengan tingkat kepadatan 690 jiwa/km 2, menyusul
Kecamatan Alor Barat Daya sebanyak 20.590 jiwa (11,32%) dengan tingkat kepadatan
penduduk tertinggi sebesar 47 jiwa/km2.(Alor dalam Angka, 2010)
Dalam penangkapan ikan terdapat 646 nelayan yang tidak memiliki armada,
sedangkan nelayan dengan armada tercatat sebanyak 3.768 armada, 65,4% (2.465
armada)

menggunakansampan, 23% (866 armada)adalah perahu papan, 7,2%(271

armada) menggunakan motor tempel, dan 4,4%(166 armada merupakan kapal motor.
(Alor dalam Angka, 2010)
Terdapat 8 golongan Alat tangkap yang digunakan di Kabupaten Alor dengan
jumlah sebanyak6.44 6buah/set. Berikut tabel jumlah alat tangkap yang ditemukan di
Kabupaten Alor:
11
Tabel 5. Alat Tangkap di Kabupaten Alor ( Data Statistik Perikanan Tangkap
Provonsi NTT, 2008)
No
1
2
3
4
5
6
7
8

Alat Tangkap

Jumlah

Pesentase (%)

Payang/Lampara
Pukat Pantai
Jaring Insang
Bubu
Bagan
Pancing Tonda
Pancing Lainnya
Alat Lainnya

38
3
1.205
692
13
174
2.493
1.828

0,59
0,05
18,69
10,74
0,20
2,70
38,68
28,36

12
BAB III
METODE PENILAIAN PERFORMA INDIKATOR EAFM

3.1. Pengumpulan Data
Data yang dibutuhkan untuk Survey EAFM mencakup 6 Indikator, antara lain:
Sumberdaya Ikan, Teknik Penangkapan, Habitat, Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan.
Dalam pengumpulan data dibagi menjadi 2 proses yaitu melalui data primer dan data
sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan denganpengambilan data yang dilakukan
dengan metode interview dan observasi terarah secara kualitatif melalui kuesioner
perikanan pelagis besar, pelagis kecil dan ikan karang (demersal) kepada responden
rumah tangga perikanan. Interview akan dilakukan secara perorangan
Penentuan responden berdasarkan pada hal-hal berikut ini :
a.

Nelayan yang telah memiliki pengalaman dalam bidang tersebut minimal 5 tahun
(tentatif), diutamakan lebih dari 10 tahun.

b.

Bersedia diwawancarai.

c.

Dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu membuat cluster dari populasi
berdasarkan kriteria Klasifikasi alat tangkap dan jenis armada

d.

Jumlah sampel tidak terikat, wawancara hanya menargetkan terpenuhinya semua
informasi yang dibutuhkan.

e.

Perwakilan terhadap pemilik kapal yang mengoperasikan armada penangkapan,
pemilik kapal yang tidak mengoperasikan kapal dan ABK
Pengambilan data Sekunder dalam survey ini yaitu dengan observasi kajian

ilmiah, dokumen laporan pemerintah dan Kebijakan nasional dan daerah yang
mencakup pengelolaan wilayah pesisir dan laut di kabupaten Alor
Dalam Metode penentuan lokasi, berdasarkan pada hal-hal berikut ini :
a.

Dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu membuat cluster dari populasi
berdasarkan kriteria Jumlah RTP, Klasifikasi alat tangkap dan jenis armada

b.

Merupakan daerah yang dikelola dalam perrencanaan tata ruang wilayah atau
zonasi

13
Pemilihan lokasi pendataan perikanan dilakukan pada 3 jenis perikanan tangkap
yang terdapat di kabupaten Alor, yaitu: perikanan Pelagis Besar (Tuna), Pelagis kecil
dan Demersal (Ikan Karang). Desa yang teridentifikasi sebanyak 14 desa yang terbagi
atas 7 Kecamatan di kabupaten Alor. Berikut lokasi survei yang teridentifikasi:
Tabel 4. Lokasi Pengambilan Data Survey EAFM
Kecamatan
Desa
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Pantar
Pantar
Pantar Barat Laut
Pantar Barat Laut
Pantar Barat Laut
Pantar Timur
Pantar Barat
Alor Barat Daya
Alor Barat Daya
Alor Barat Laut
Alor Barat Laut
Alor Barat Laut
Kabola
Kabola

Kabir
Bana
Beangonong
Khayang
Marissa
Treweng
Blangmerang
Pulau Pura
Tribur
Adang
Alor Kecil
Pulau Buaya
Alila Timur
Kabola

2.2. Analisa Komposit
Domain Sumberdaya Ikan, Teknik Penangkapan Ikan, Sosial, Ekonomi dan
Kelembagaan yang terdapat pada kuesinoer (Terlampir) akan diberikan nilai
berdasarkan status atau kondisi terkini pada saat kajian EAFM dilakukan. Penentuan
nilai status untuk setiap indikator dalam domain habitat dilakukan dengan menggunakan
pendekatan skoring yang sederhana, yakni memakai skor Likert berbasis ordinal 1,2,3.
Semakin baik status indikator, maka semakin besar nilainya, sehingga berkontribusi
besar terhadap capaian EAFM.
Perkalian bobot dan nilai akan menghasilkan nilai indeks untuk indikator yang
bersangkutan atau dengan rumusan: Nilai Indeks = Nilai Skor * 100 * Nilai Bobot. Nilai
indeks dari indikator ini, nantinya akan dijumlahkan dengan nilai indeks dari indikator
lainnya dalam setiap domain menjadi suatu nilai indeks komposit. Kemudian, nilai
indeks komposit ini akan dikategorikan menjadi 5 penggolongan kriteria dan
14
ditampilkan dengan menggunakan bentuk model bendera (flag model) seperti terlihat
pada Tabel berikut ini:
Tabel 5. Penggolongan Nilai Indeks Komposit dan Visualisasi Model Bendera
Nilai Agregat
Komposit
100-125
126-150
151-200
201-250
251-300

Model Bendera

Deskripsi/Keterangan
Buruk
Kurang
Sedang
Baik
Baik Sekali

15
BAB IV
ANALISIS TEMATIK WILAYAH PENGELOLAAN
PERIKANAN
4.1. Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan di Kabupaten Alor
4.1.1. Hasil Penilaian Per Indikator Pada Domain Sumberdaya Ikan
Domain Sumberdaya ikan terdapat 6 indikator yang dikaji dalam
penentuan status pada kondisi sumberdaya ikan, gambaran mengenai indikatorindikator yang termasuk dalam domain sumberdaya ikan berdasarkan hasil
analisis EAFM ditampilkan dalam Tabel di bawah ini :
Tabel 6. Analisis Komposit Domain Sumberdaya Ikan
INDIKATOR

DEFINISI/
PENJELASAN

MONITORING/
PENGUMPULA
N
Logbook,
Enumerator,
Observer

SKOR

BOBOT
(%)

NILAI

1 = menurun
tajam
2 = menurun
sedikit
3 = stabil atau
meningkat

2

40

80

KRITERIA

1. CPUE Baku

CPUE adalah hasil
tangkapan per
satuan upaya
penangkapan.
Upaya
penangkapan
harus
distandarisasi
sehingga bisa
menangkap tren
perubahan upaya
penangkapan.

2. Ukuran
ikan

- Panjang total
- Panjang standar
- Panjang karapas
/ sirip (minimum
dan maximum
size, modus)

Interview,
Sampling
program secara
reguler untuk
LFA (Length
Frequency
Analysis)

1 = trend
ukuran ratarata ikan yang
ditangkap
semakin kecil;
2 = trend
ukuran relatif
tetap;
3 = trend
ukuran
semakin besar

2

20

40

3. Proporsi
ikan yuwana
(juvenile)
yang
ditangkap

Persentase ikan
yang ditangkap
sebelum
mencapai umur
dewasa
(maturity).

Interview,
Sampling
program secara
reguler

1 = banyak
sekali (> 60%)
2 = banyak
(30 - 60%)
3 = sedikit
(<30%)

1

15

15

16
INDIKATOR

DEFINISI/
PENJELASAN

MONITORING/
PENGUMPULA
N
Logbook,
observasi,
interview

4. Komposisi
spesies

Jenis target dan
non-target
(discard dan by
catch)

5. Spesies ETP

Populasi spesies
ETP (Endangered
species,
Threatened
species, and
Protected
species) sesuai
dengan kriteria
CITES

Survey dan
monitoring,
logbook,
observasi,
interview

6. "Range
Collapse"
sumberdaya
ikan

SDI yang
mengalami
tekanan
penangkapan
akan "menyusut"
biomassa-nya
secara spasial
sehingga semakin
sulit / jauh untuk
ditemukan/dicari.

Survey dan
monitoring,
logbook,
observasi,
interview

SKOR

BOBOT
(%)

NILAI

1 = proporsi
target lebih
sedikit
2 = proporsi
target sama
dgn nontarget
3 = proporsi
target lebih
banyak
1= banyak
tangkapan
spesies ETP;
2= sedikit
tangkapan
spesies ETP;
3 = tidak ada
spesies ETP
yang
tertangkap
1 = semakin
sulit;
2 = relatif
tetap;
3 = semakin
mudah

3

10

30

1

5

5

3

10

30

1 = fishing
ground
menjadi
sangat jauh
2= fishing
ground jauh
3= fishing
ground relatif
tetap jaraknya

3

KRITERIA

Agregat

200

4.1.1.1 Indikator CPUE
Sesuai pada tabel indikator Catch Per Unit Effort (CPUE) Baku dalam
domain Sumberdaya Ikan memiliki bobot terbesar dibandingkan indikator
lainnya, yaitu disebut dengan killer indikator sebesar 40 point. Hal ini
dikarenakan kuatnya hubungan antara CPUE dengan status biomass stock ikan,
sehingga indicator ini banyak digunakan sebagai pengganti pada parameter
biomasa, manakala data biomassa tidak tersedia (Modul EAFM, 2012).
CPUE didefinisikan sebagai laju tangkap perikanan per tahun yang
diperoleh dengan menggunakan data time series, minimal selama 5 tahun.
17
Sedangkap effort atau upaya penangkapan ikan itu sendiri diartikan jumlah waktu
yang dihabiskan untuk menangkap ikan di wilayah perairan tertentu. Tujuan
perlunya menganalisa indikator ini adalah untuk mengetahui trend perubahan
stock perikanan dari waktu ke waktu. Trend CPUE yang cenderung menurun,
dapat dijadikan sebagai indikasi dampak negatif terhadap stok ikan atau bahkan
kecenderungan overfishing. Oleh karena itu nilai CPUE tertinggi adalah ketika
penangkapan ikan yang banyak namun tetap memberikan ruang ikan untuk
bereproduksi dan berkembang untuk terus mendukung penangkapanyang lestari.

Gambar 3. Grafik CPUE Kabupaten Alor peridoe 2006 – 2010
Berdasarkan analisa data statistik perikanan provinsi NTT selama 5 tahun
(tahun 2006-2010) di kabupaten Alor bentuk grafik CPUE pada gambar no.3
menunjukkan tren kenaikan pada tahun 2006 sampai 2009, dan menurun nilainya
pada tahun 2010. Dalam hasil wawancara dengan responden dalam kaitan dengan
hasil tangkapan per unit usaha (CPUE), menunjukkan bahwa nelayan menyatakan
telah terjadi penurunan hasil tangkap dalam 5 tahun terakhir, dimana 77,44%
setuju jika hasil tangkapan berkurang, 18,80% tidak ada kendala dengan hasil
tangkapannya, dan 3,76% responden menyatakan bahwa dalam 5 tahun terakhir
terjadi kenaikan hasil tangkapan.
Berdasarkan data CPUE dan persepsi responden terdapat perbedaan dalam
kondisi produksi hasil tangkapan nelayan, hal ini disebabkan penurunan hasil
tangkapan yang terjadi didominasi pada nelayan dengan alat tangkap pancing dan
18
jaring insang pada perikanan demersal dan pelagis. Komoditi yang dianggap
berkurang dalam kurun waktu 5 tahun (2007-2011) adalah kerapu, kakap pada
perikanan demersal, dan pada perikanan pelagis adalah tuna, tongkol dan belobelo. Sedangkan berdasarkan data produksi kabupaten Alor cenderung meningkat
dikarenakan oleh beberapa komoditi saja seperti Ikan Selar, Layang, dan tongkol
dengan alat tangkap seperti Lampara dan Jala lompo.
Peningkatan produksi tangkapan tiap tahun berdasarkan CPUE tidak
menunjukan adanya peningkatan perekonomian nelayan secara umum, karena
hanya terbatas pada pemilik modal atau nelayan dengan armada dan alat tangkap
yang lebih baik. Oleh karena itu menurunnya hasil tangkapan bagi nelayan
pancing dan jaring insang, perlu disikapi dengan baik dalam pemerataan
penghasilan nelayan dalam mendukung perekonomian dan kesejahteraan
masyarakat pada jenis alat dan komoditi tangkapan tertentu. Memberikan
kesempatan pada nelayan pemodal kecil dalam mengakses sumberdaya ikan
dengan mengatur effort terhadap penggunaan jaring besar merupakan salah satu
solusi pemerataaan hasil tangkapan tersebut dan juga perlu mengakomodir
kepentingan nelayan tradisional dalam pengaturan daerah pemanfaatan pada
proses pembentukan zonasi Kawasan Konservasi Perairan Daerah yang sedang
berjalan di kabupaten Alor.
4.1.1.2 Indikator Ukuran Ikan
Pengambilan data indikator ukuran ikan hal ini dilakukan bertujuan
mengetahui ukuran panjang ikan sebagai data untuk analisis frekuensi panjang
(length frequency analysis) yang selanjutnya akan dapat diduga laju eksploitasi
dari suatu unit stok ikan. Jika terjadi penurunan nilai ukuran ikan secara temporal
maka mengindaksikan terjadinya kecenderungan tangkap lebih (overfishing) pada
perairan tersebut. (Jackson et al., 2001; Orensanz et al., 1998, dalam Modul
EAFM, 2012). Kedewasaan ikan yang siap bertelur dapat ditentukan melalui
ukuran ikan, oleh karena itu tren mengecilnya ukuran jenis ikan tertentu yang
tertangkap menunjukan terganggunya pola reproduksi ikan tersebut sehingga akan
berdampak pada produktivitas hasil tangkapan diperairan tersebut kedepannya.

19
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa 61,72% responden (baik
untuk nelayan ikan pelagis kecil, pelagis besar dan demersal) lebih setuju ukuran
ikan dalam lima tahun terakhir relatif berukuran sama, 36,72% responden
menyatakan ukuran ikan yang ditangkap lebih kecil, dan 1,56% responden
menyatakan tidak tahu. Secara umum hasil analisa menunjukan pada status
sedang atau kriteria 2 yang menyatakan ukuran ikan yang didapatkan dalam 5
tahun terakhir relatif tetap, indikator ini menunjukan bahwa menurut mayoritas
persepsi responden perikanan di Kabupaten Alor cenderung belum terjadi
penangkapan berlebih. Jumlah responden yang menyatakan ukuran ikan lebih
kecil tidak terpaut signifikan dengan yang menyatakan berukuran tetap, umumnya
responden dengan hasil tangkapan kerapu dan kakap yang dominan menyatakan
terjadinya penurunan ukuran ikan yang tertangkap, hal ini perlu disikapi dengan
adanya pengembangan teknik penangkapan yang selektif pada ukuran ikan
dewasa dan juga perlu menerapkan kebijakan yang menganut kehati-hatian dalam
melakukan penambahan effort untuk penangkapan ikan demersal.
4.1.1.3 Indikator Proporsi Ikan Yuana (Juvenile)
Indikator selanjutnya adalah mengetahui proporsi ikan yuana (juvenile)
dalam penangkapan nelayan berdasarkan alat tangkapnya.Secara definisi Ikan
yuana (juvenile) merupakan ukuran suatu tahap dalam pertumbuhan ikan yang
belum masuk kategori ukuran dewasa (mature). Unit satuan yang digunakan
untuk indikator proporsi ikan yuana yang ditangkap ialah (ton, kg, % proporsi)
yang dibandingkan dengan biomasa ikan secara keseluruhan dari hasil tangkapan
untuk setiap alat tangkap pada perairan tertentu yang diamati. Indikator ini dapat
menggambarkan ukuran mata jarring suatu alat tangkap yang digunakan. dengan
demikian jika ikan ukuran yuana pada setiap penangkapan memiliki proporsi yang
lebih besar, mengindikasikan bahwa ukuran mata jaring yang digunakan terlalu
kecil dan perlu disesuaikan kembali dengan ukuran ikan yang sudah dewasa
(Modul EAFM, 2012).
Indikator proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap diberikan status
sedang (nilai 30) dengan kriteria 2 yaitu terjadi penangkapan ikan belum dewasa
(juvenile) sebanyak 30-60% dari setiap hasil tangkapan. Indikator ini
20
menyediakan pilihan yang bersifat luas untuk penggolongan keberlanjutan yang
buruk dan baik. Untuk ikan-ikan yang belum dewasa tertangkap lebih dari 60%
dari total tangkapan, maka penggolongan keberlanjutan termasuk buruk karena
penangkapan juvenile berlebih akan berdampak pada reproduksi ikan yang rendah
atau terjadi perubahan pola repoduksi dengan berkurangnya ukuran jenis ikan
yang tertangkap (mengecil), Sebaliknya keberlanjutan termasuk baik, bila yang
belum dewasa tertangkap kurang dari 30% dari total tangkapan. Di Kabupaten
Alor pada musim puncak dan musim sedang rata-rata ikan yuwana (juvenile) yang
tertangkap 30% sementara musim paceklik rata-rata 60%. Berdasarkan data
interview didapatkan 20,31% responden mendapatkan jenis ikan juvenile berkisar
30-60% dan 79,69% responden tidak menjawab. Spesies ikan juvenile yang sering
ditangkap nelayan pada perikanan demersal yaitu: Kerapu, Kakap (Kaburak,
Kamera), dan Biji Nangka (Gerot-gerot), sedangkan pada perikanan pelagis
seperti ikan Belo-belo (layang), Tongkol, Tuna dan Mane (Sembe).
Pemahaman nelayan terhadap identifikasi dan pentingnya penangkapan
ikan dewasa masih masih tergolong rendah, berdasarkan wawancara hanya 18,8%
responden yang memahami, 78,2% tidak memahami dan 3% tidak menjawab. Hal
ini menjadi kendala ketika pengambilan data dengan mayoritas responden tidak
menjawab pertanyaan yang diajukan. Perlu adanya upaya sosialisasi terhadap
ukuran tangkap yang layak tiap jenis perikanan ekonomis baik perikanan demersal
dan pelagis dan juga perlu adanya menegaskan kembali aturan alat tangkap yang
selektif terutama pada ukuran mess size jarring. Upaya selanjutnya adalah perlu
adanya pendataan secara berkala terhadap ukuran ikan ekonomis disetiap lokasi
pendaratan ikan hasil tangkapan, sehingga akan terlihat tren ukuran penangkapan
permusim per alat tangkap.
4.1.1.4 Indikator Komposisi spesies
Indikator komposisi spesies merupakan ukuran biomassa spesies tertentu
yang menjadi target penangkapan dan spesies yang bukan target penangkapan
terhadap jumlah seluruh hasil tangkapan dari suatu alat tangkap. Tujuan dari
penentuan indeks komposisi spesies ialah untuk mengetahui komposisi spesies
ikan dan non-ikan yang menjadi target penangkapan dan yang bukan target
21
penangkapan atau dengan kata lain non target (bycatch). Penentuan proporsi
ikan tersebut dilakukan terhadap hasil tangkapan suatu alat tangkap di daerah
yang diamati. Interpretasi indikator untuk nilai komposisi spesies yaitu dengan
melihat tingkat selektifitas alat tangkap yang digunakan untuk menangkap stock
ikan. Jika hasil tangkapan dari suatu alat tangkap didapati spesies non target
(bycatch) proporsinya lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang menjadi target
penangkapan, menunjukan bahwa alat tangkap tersebut tidak selektif (Modul
EAFM, 2012).
Dalam analisa indikator komposisi spesies melalui interview terhadap
responden menyatakan hasil tangkapan ikan non target lebih kecil dibandingkan
hasil tangkapan target. Persentase rata-rata penangkapan ikan non target yaitu
sebesar 6,31% dari hasil tangkapan target berdasarkan 4 alat tangkap yaitu Bubu,
Jaring Insang, Jala Lompo dan Pancing. Pada alat tangkap lainnya yaitu Pukat
pantai hasil tangkapan tidak dihitung sebagai hasil sampingan, karena tidak ada
target ikan secara khusus, sedangkan alat tangkap lampara tidak ada informasi.
Persentase tangkapan sampingan berdasarkan alat tangkap yaitu : bubu sebesar
6,89%, Jaring Insang sebesar 3,58%, Jala lompo sebesar 10,88%, pancing sebesar
22,83%. tangkap pancing justru paling banyak menangkap hasil ikan non target
terjadi pada nelayan pancing pelagis besar, contohnya seperti Ikan Layar,
Lemadang, dan Baby tuna (satuan dalam kg).
Diidentifikasi juga adanya tangkapan non target yang tergolong jenis biota
yang dilindungi seperti Lumba-lumba dan penyu, umumnya tangkapan tersebut
masih dalam kondisi hidup dan dilepas, namun masih ada responden yang
memanfaatkan penyu hasil tangkapan non target untuk dimakan dan dijual.
Penangkapan sampingan perlu disikapi terutama pada jenis-jenis biota yang
dilindungi secara undang-undang atau jenis yang terancam punah dan stocknya di
alam kurang. Sosialisasi jenis-jenis bioat yang dilindungi berdasarkan Undangundang yang berlaku, pengembangan teknologi yang selektif dan cara
penangkapan yang efisien untuk ikan target perlu dikembangkan. Pembuatan
modul cara tangkap yang ramah lingkungan untuk perikanan demersal dan pelagis
merupakan salah satu media dalam peningkatan kapasitas nelayan di kabupaten
Alor.
22
4.1.1.5 Indikator Spesies ETP
Indikator spesies Endangered species, Threatened species, and Protected
species (ETP) atau Jenis biota yang terancam punah, rentan dan yang sudah
dilindungi. Menurut kategori IUCN Red List Endangered (EN) atau Genting
species diartikan sebagai jenis biota yang tidak termasuk dalam terancam kritis
(Critically endangered) namun mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi
di alam dan dimasukkan ke dalam kategori Extinct in the Wild jika dalam waktu
dekat tindakan perlindungan yang cukup berarti tidak dilakukan. Sedangkan
peraturan jenis biota yang dilindung dalam perundangan di Indonesia tercakup
dalam lampiran Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa di nelayan di desa target
penelitian tidak seluruhnya memahami jenis-jenis biota yang dilindungi tersebut.
97,74% responden menyatakan jenis biota yang dilindungi antara lain : paus,
lumba-lumba, penyu, hiu, duyung, akar bahar dan batu laga. 1,5% responden tidak
memahami jenis biota yang dilindungi dan 0,75 tidak menjawab.
Dalam sepanjang tahun 2011, data hasil penelitian yang menunjukkan
bahwa masih tertangkapnya spesies-spesies yang dilindungi yaitu: Penyu 64 ekor,
Lumba-lumba 18 ekor, Batu laga 14 ekor, Duyung 3 ekor, dan Paus 1 ekor.
Prinsip kehati-hatian berlaku pada indikator ini setidaknya penangkapan ETP
lebih dari 3 ekor sudah tergolong buruk. Hal ini dikarenakan jenis-jenis ETP
sebagai bagian ekosistem dan rantai makanan jika mengalami ketidakstabilan
akan berpengaruh terhadap ekosistem yang ada. Dikarenakan tidak semua jenis
biota ETP dipahami oleh masyarakat, oleh karena itu perlu adanya sosialisasi
mengenai jenis-jenis biota ETP disetiap kegiatan kemasyarakat dan juga adanya
penerapan aturan yang tegas dalam perdagangannya merupakan salah satu solusi
dalam mengurangi pemanfaatan biota yang terancam punah, rentan punah dan
diindungi.
4.1.1.6 Indikator Range Collapse

23
Indikator "Range Collapse" dalam indikator sumberdaya ikan dapat
diartikan suatu fenomena yang umum terjadi pada stok ikan jika stok ikan
yang bersangkutan mengalami kondisi overfishing. Secara teknis, didefinisikan
sebagai yakni pengurangan drastis wilayah/ruang spasial ekosistem laut yang
biasanya dihuni oleh stok ikan tertentu. Untuk menentukan ada tidak range
collapse ini, maka indikator yang paling mudah adalah melihat apakah
terjadi indikasi terhadap semakin sulitnya mencari lokasi penangkapan ikan
(fishing ground), karena secara spasial, wilayah penangkapan ikan menjadi
semakin jauh dari lokasi fishing ground sebelumnya. Unit yang digunakan untuk
indikator range collapse sumberdaya ikan ialah dilihat berdasarkan hasil
tangkapan per upaya (CPUE) secara temporal dari tahun ke tahun serta seberapa
jauh jarak tempuh (mil atau km) untuk setiap kali trip penangkapan ikan
dibandingkan jarak pada tahun-tahun sebelumnya (Modul EAFM).
Berdasarkan hasil analisa interview, responden menyatakan 54,14%
nelayan demersal dan pelagis setuju bahwa lokasi penangkapan responden
semakin jauh, 43,61% menyatakan sama saja dan 2,26% menyatakan lokasi
penangkapan (fishing ground) semakin dekat. Penangkapan semakin jauh
umumnya masih dilakukan dalam perairan Alor, kecuali pada nelayan tuna yang
menangkap hingga perairan Batu Tara, kabupaten Lembata dan dan nelayan
teripang dengan lokasi penangkapan yang sering dikunjungi di Atapupu,
kabupaten Belu. Upaya pengaturan pemanfaatan perikanan pada lokasi tangkapan
tertentu di sepanjang perairan kabupaten Alor perlu diperhatikan dalam
mengurangi tekanan perikanan dalam beberapa titik fishing ground saja, terutama
pada perikanan pelagis pengaturan alat tangkap, alat bantu penangkapan seperti
rumpon dan musim penangkapan merupakan solusi yang baik dalam menjaga
hasil penangkapan nelayan yang berkelanjutan.

24
Gambar 4. Agregat Domain Sumberdaya Ikan
Berdasarkan nilai komposit di tiap indikator seperti ditunjukan pada
gambar no. 4. Secara keseluruhan domain sumberdaya ikan di Alor diberikan
status baik atau dalam bendera berwarna hijau dengan nilai komposit 205 dari
pengukuran maksimal 300.
Pengelolaan perikanan yang baik dalam domain ini perlu memperhatikan
dari setiap indikator yang masih perlu ditingkatkan. 4 indikator dalam domain ini
berstatus sedang yaitu CPUE, Ukuran ikan, Proporsi yuwana yang ditangkap, dan
Range collapse sumberdaya ikan. Indikator tersebut secara umum dapat
ditingkatkan melalui adanya pengaturan wilayah tangkap yang dapat tertuang
dalam rencana zonasi Kawasan Konservasi Perairan Daerah, yang didalamnya
mengatur alat tangkap, alat bantu tangkap dan musim penangkapan yang
disesuaikan dengan tipe nelayan didaerah masing-masing.
Indikator yang perlu mendapat perhatian selanjutnya adalah penangkapan
sampingan berupa jenis-jenis biota yang rentan terhadap kepunahan dan
dilindungi secara hukum. Memberikan pemahaman lebih dalam terhadap jenisjenis biota yang dilindungi di masyarakat Alor untuk tidak menangkap,
melepaskan jika tidak sengaja tertangkap dan tidak membeli hasil tangkapan
tersebut kemudian diimbangi dengan adanya pembinaan oleh petugas pemantauan
merupakan solusi yang efektif dalam meminimalisir pemanfaatan biota ETP
tersebut.
Upaya dalam meningkatkan sumberdaya ikan demersal dan pelagis di
perairan kabupaten Alor untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sudah
25
seharusnya menjadi prioritas kebijakan di kabupaten ini. Kebijakan dalam
pengumpulan data primer yang konsisten baik dalam perikanan dalam mendukung
hasil analisa yang lebih akurat juga perlu diterapkan. Hal ini bisa didukung
dengan pengumpulan data logbook perikanan tangkap dari private sector atau
pengusaha perikanan, pengumpulan data profil perikanan didesa pesisir dan juga
bekerjasama dengan akademisi yang melakukan riset di kabupaten Alor.

26
4.1.2. Hasil Penilaian Per Indikator Pada Domain Habitat dan Ekosistem
Gambaran mengenai indikator-indikator yang termasuk dalam domain
habitat dan ekosistem berdasarkan hasil analisis EAFM ditampilkan dalam Tabel
di bawah ini.
Tabel 7. Analisis Komposit Domain Habitat dan Ekosistem
INDIKATOR
1.

Kualitas
perairan

DEFINISI/
PENJELASAN

MONITORING/
PENGUMPULAN

Limbah yang
teridentifikasi
secara klinis, audio
dan atau visual
(Contoh :B3-bahan
berbahaya &
beracun)
Tingkat kekeruhan
(NTU) untuk
mengetahui laju
sedimentasi
perairan

Data sekunder, sampling,
monitoring,
>> Sampling dan monitoring : 4
kali dalam satu tahun
(mewakili musim dan
peralihan)
Survey, monitoring dan data
sekunder, CITRA SATELIT
>> monitoring : dengan coastal
bouy/ water quality checker
(continous), Citra satelite (data
deret waktu) dan sedimen trap
(setahun sekali) => pengukuran
turbidity di Lab
>> Survey : 4 kali dalam satu
tahun (mewakili musim dan
peralihan)
>> monitoring : dengan coastal
bouy/ water quality checker
(continous), Citra satelite (data
deret waktu)

Eutrofikasi

2. Status
lamun

Luasan tutupan,
densitas dan jenis
Lamun.

Survey dan data sekunder,
monitoring, CITRA SATELIT.
>> Sampling dan monitoring :
Seagrass watch
(www.seagrasswatch.org) dan
seagrass net
(www.seagrassnet.org)

SKOR

BOBOT
(%)

NILAI

1= tercemar;
2=tercemar sedang;
3= tidak tercemar

0

20

0

1= > 20 mg/m^3
konsentrasi tinggi ;
2= 10-20 mg/m^3
konsentrasi sedang;
3= <10 mg/m^3
konsentrasi rendah
Satuan NTU

0

1= konsentrasi klorofil
a > 10 mg/m^3 terjadi
eutrofikasi;
2= konsentrasi klorofil
a 1-10 mg/m^3
potensi terjadi
eutrofikasi; dan
3= konsentrasi klorofil
a <1 mg/m^3 tidak
terjadi eutrofikasi
1=tutupan rendah,
≤29,9%;
2=tutupan sedang, 3049,9%;
3=tutupan tinggi,
≥50%

0

15

30

1=keanekaragaman
rendah (H' < 3,2 atau
H' < 1);
2 = kanekaragaman
sedang (3,20<H’<9,97
atau 1<H’<3);
3 = keanekaragaman
tinggi (H’>9,97 atau
H’>3)

2

KRITERIA

2

27
3.

Status
mangrove

> Persentase
tutupan karang
keras hidup (live
hard coral cover).

Survey dan data sekunder,
CITRA SATELIT, foto udara
>> Citra satelite dengan
resolusi tinggi (minimum 8 m) minimal satu tahun sekali
dengan diikuti oleh survey
lapangan
>> Survey : Plot sampling

Survey dan data sekunder,
CITRA SATELIT, foto udara
>> Survey : Transek (2 kali
dalam setahun)
>> Citra satelite dengan hiper
spektral - minimal tiga tahun
sekali dengan diikuti oleh
survey lapangan

5.
Habitat
unik/khusus
(spawning
ground,
nursery
ground,
feeding
ground,
upwelling).

Luasan, waktu,
siklus, distribusi,
larva drift, spill
over, dan
kesuburan perairan

Fish Eggs and Larva survey, GIS
dgn informasi Citra Satelit,
Informasi Nelayan, SPAGs
(Kerapu dan kakap), ekspedisi
oseanografi

6.
dan

Tingkat
produktivitas

Survey dan data sekunder,
CITRA SATELIT, foto udara

Status

1=kerapatan rendah,
<1000 pohon/ha,
tutupan <50%;
2=kerapatan sedang
1000-1500 pohon/ha,
tutupan 50-75%;
3=kerapatan tinggi,
>1500 pohon/ha,
tutupan >75%
1=keanekaragaman
rendah (H' < 3,2 atau
H' < 1);
2 = kanekaragaman
sedang (3,20<H’<9,97
atau 1<H’<3);
3 = keanekaragaman
tinggi (H’>9,97 atau
H’>3)
1= luasan mangrove
berkurang dari data
awal;
2= luasan mangrove
tetap dari data awal;
3= luasan mangrove
bertambah dari data
awal

3

1 = INP rendah;
2 = INP sedang;
3 = INP tinggi
4. Status
terumbu
karang

Kerapatan, nilai
penting, perubahan
luasan dan jenis
mangrove

15

37,5

2

1=tutupan rendah,
<25%;
2=tutupan sedang, 2549,9%;
3=tutupan tinggi,
>50%

2

15

37,5

1=keanekaragaman
rendah (H' < 3,2 atau
H' < 1);
2 = kanekaragaman
sedang (3,20<H’<9,97
atau 1<H’<3);
3 = keanekaragaman
tinggi (H’>9,97 atau
H’>3)
1=tidak diketahui
adanya habitat
unik/khusus;
2=diketahui adanya
habitat unik/khusus
tapi tidak dikelola
dengan baik;
3 = diketahui adanya
habitat unik/khusus
dan dikelola dengan
baik
1=produktivitas
rendah;

3

2

15

30

0

10

0

3

2

28
produktivitas
Estuari dan
perairan
sekitarnya

perairan estuari

7.
Perubahan
iklim
terhadap
kondisi
perairan dan
habitat

Untuk mengetahui
dampak perubahan
iklim terhadap
kondisi perairan dan
habitat

>> Survey : 2 kali dalam
setahun
>> Citra satelite dengan
resolusi tinggi - minimal
dilakukan 2 kali setahun
dengan diikuti oleh survey
lapangan
Survey dan data sekunder,
CITRA SATELIT, data deret
waktu, monitoring

2=produktivitas
sedang;
3=produktivitas tinggi

> State of knowledge
level :
1= belum adanya
kajian tentang dampak
perubahan iklim;
2= diketahui adanya
dampak perubahan
iklim tapi tidak diikuti
dengan strategi
adaptasi dan mitigasi;
3 = diketahui adanya
dampak perubahan
iklim dan diikuti
dengan strategi
adaptasi dan mitigasi
> state of impact (key
indikator
menggunakan
terumbu karang):
1= habitat terkena
dampak perubahan
iklim (e.g coral
bleaching >25%);
2= habitat terkena
dampak perubahan
iklim (e.g coral
bleaching 5-25%);
3= habitat terkena
dampak perubahan
iklim (e.g coral
bleaching <5%)

1

10

3

Agregat

151,25

4.1.2.1 Indikator Kualitas Perairan
Indikator kualitas perairan merupakan indikator dengan bobot terbesar
pada domain habitat ini. Hal dikarenakan indicator ini dievaluasi dalam rangka
mengetahui kualitas dan kesehatan lingkungan perairan, serta mengetahui tingkat
percemaran perairan yang baik secara langsung maupun tidak langsung akan
berdampak terhadap keseluruhan ekosistem atau habitat laut.

20

Lebih

lanjut,

pencemaran perairan ini didefinisikan sebagai dampak negatif (pengaruh yang
membayakan) bagi kehidupan biota, sumberdaya, kenyamanan ekosistem
perairan, serta kesehatan manusia, dan nilai guna lainnya dari ekosistem perairan
tersebut. Suatu perairan dikatakan tercemar jika salah satu dari parameter baku
29
mutu air melebihi ambang batas atau standar pencemaran yang telah ditetapkan.
Standar pencemaran atau baku mutu air di Indonesia ditetapkan berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air
Kualitas perairan mencakup karakteristik fisika, kimia, dan biologi
perairan, yaitu suatu ukuran tentang kondisi relatif suatu perairan terhadap
standar yang ditentukan untuk kesehatan ekosistem di dalamnya. Kualitas perairan
dapat ditentukan oleh keberadaan dan kuantitas kontaminan serta oleh faktor fisik
dan kimia seperti pH, konduktifitas, oksigen terlarut, salinitas dll.
Dalam melakukan kajian EAFM terdapat tiga sub-indikator

kualitas

perairan yang penting untuk diukur yaitu keberadaan limbah yang dapat dideteksi
secara klinis dan visual, tingkat kekeruhan perairan, dan eutrofikasi (Modul
EAFM, 2012).
Berdasarkan pengumpulan data sekunder, indikator kualitas perairan
merupakan salah satu dari indikator yang tidak dapat dianalisa dan dibahas dalam
domain ini karena tidak tersedia data atau kajian ilmiah yang mencakup limbah
(B3), tingkat kekeruhan, dan eutrofikasi di perairan Kabupaten Alor. Oleh karena
itu penilaian indikator ini menjadi 0. Pentingnya mengetahui kondisi perairan laut
sebagai barometer kualitas habitat sudah sebaiknya didukung dengan program
pengambilan data secara periodik oleh Dinas yang terkait.
4.1.2.2 Indikator Status Lamun
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya
menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Lamun tumbuh subur terutama
di daerah terbuka pasang surut dan perairan pantai atau goba yang dasarnya
berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan karang mati, dengan

kedalaman

sampai dengan 4 meter. Dalam perairan yang sangat jernih, beberapa jenis
lamun bahkan ditemukan tumbuh sampai kedalaman 8–15 meter dan 40 meter.
Kajian

pada indikator ini bertujuan untuk mengetahui

tutupan

densitas (kerapatan) lamun, serta keberadaan jenis lamun di suatu

dan

wilayah.

Ekosistem padang lamun sangat penting artinya bagi kehidupan penyu hijau dan
dugong, karena tumbuhan ini merupakan sumber makanan bagi kedua jenis
30
hewan yang dilindungi tersebut. Selain itu, ekosistem padang lamun juga dikenal
sebagai daerah asuhan berbagai juvenil ikan dan sebagai daerah perlindungan dari
predator bagi ikan-ikan kecil. Beberapa studi menyatakan bahwa telah ditemukan
360 spesies ikan yang berasosiasi dengan padang lamun. Spesies yang bernilai
ekonomi dan dominan adalah siganid (Baronang). Berbagai fungsi penting
ekosistem lamun tersebut mendasari bahwa status padang lamun merupakan salah
satu indikator yang penting untuk diketahui dengan tujuan untuk mengetahui
kualitas dan produktivitas ekosistem perairan; untuk mengetahui keberhasilan
rekruitmen suatu biota; dan untuk mengetahui daerah pemijahan dan asuhan
berbagai biota perairan yang dapat mendukung ketersediaan sumberdaya ikan
(Modul EAFM, 2012).
Berdasarkan hasil kajian Survey Ekologi di kabupaten Alor tahun 2009
oleh WWF menunjukan luasan lamun di kabupaten Alor tergolong sedang yaitu
berada pada kisaran angka 30%-49,9% dan berdasarkan analisa Citra Aster pada
tahun 2009 teridentifikasi luasan lamun di Kabupaten Alor adalah 649,37 ha. Dari
13 jenis lamun yang ditemukan di sepanjang perairan Indonesia (Den Hartog 1970
dalam Modul EAFM, 2012), di perairan kabupaten Alor teridentifikasi sebanyak 7
(tujuh) spesies lamun yang dijumpai. Ketujuh spesies tersebut antara lain:
Enhalus

acoroides,

Thalassia

hemprichii,

Syringodium

isoetifolium,

Cymomodocea rotundata, Halophila ovalis, Halodule uninervis, dan Halodule sp.
Persen tutupan lamun tertinggi yaitu di Pulau Lapang sebesar 58,8% dan
tutupan terendah di lokasi Mali sebesar 15%.. Keberadaan lamun di perairan
kabupaten Alor perlu dijaga dikarenakan secara alami fungsi fisika-kimia lamun
dapat memperlambat laju abrasi pantai, karena lamun merupakan perangkap
sedimen (sedimen trap) dan fungsi penting lainnya adalah lamun dapat
mengendapkan zat pencemar untuk diolah kembali oleh biota pengurai (detritus),
sehingga mendukung perbaikan kualitas perairan secara alami.
4.1.2.3 Indikator Status Mangrove
Hutan mangrove seringkali disebut dengan hutan pasang surut, hutan
payau, atau hutan bakau. Bila dibandingkan dengan hutan daratan, hutan
mangrove memiliki produktifitas primer yang paling tinggi. Hutan mangrove
31
dapat memberikan kontribusi besar terhadap detritus organik yang sangat
penting sebagai sumber energi bagi biota yang hidup di perairan sekitarnya.
Secara singkat, mangrove merupakan ekosistem pesisir yang penting bagi
manusia dengan banyak manfaat dan fungsi diantaranya: Sebagai peredam
gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap
sedimen; Penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon mangrove;
daerah asuhan (nursery ground); daerah mencari makan (feeding ground), dan
daerah pemijahan (spawning ground) berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut
lainnya; pemasok larva ikan, udang, dan biota laut lainnya dan juga dapat menjadi
tempat wisata.
Berdasarkan pada berbagai fungsi penting mangrove, maka indikator
mangrove merupakan salah satu indikator yang penting dalam kajian EAFM.
Tingkat kerapatan, nilai penting, keanekaragaman, dan perubahan luasan
mangrove merupakan informasi yang dibutuhkan untuk melihat kualitas dan
kuantitas ekosistem mangrove di suatu wilayah pesisir. Evaluasi atau kajian
kondisi mangrove dilakukan dalam rangka mengetahui kualitas dan produktivitas
ekosistem; untuk mengetahui keberhasilan rekruitmen terutama bagi spesiesspesies penting yang siklus hidupnya berada pada ekosistem mangrove; dan untuk
mengetahui kondisi daerah pemijahan dan asuhan berbagai jenis ikan yang
berasosiasi dengan ekosistem mangrove (Modul EAFM, 2012).
Penilaian pada indikator status mangrove dapat dianalisa berdasarkan 4
kriteria yaitu : Kerapatan pohon bakau, Keanekaragaman jenis, perbandingan
Luasan bakau, dan Indeks Nilai Penting (INP) direrata berdasarkan analisa di ke 4
kriteria tersebut diberikan status sedang. Berikut analisa per kriteria yang dapat
dianalisa, berdasarkan hasil penelitian WWF (2009), di 20 stasiun yang diteliti di
Kabupaten Alor menunjukkan bahwa kerapatan tingkat pohon berkategori tinggi
yaitu dengan rata-rata 7.235 pohon/hektar, kerapatan ini menunjukan kondisi yang
baik dalam mendukung pertumbuhan mangrove didaerah tersebut baik mencakup
faktor suhu, salinitas dan substrat (Romadhon, A, 2008),

Sedangkan

keanekaragaman bakau cukup tinggi dengan hasil sampling ditemukan 16 jenis
bakau dari 11 famili, Jenis bakau yang ditemukan antara lain : Avicennia marina,
Bruguiera

gymnorrhiza,

Rhizophora

apiculata,

Rhizophora

mucronata,
32
Sonneratia alba, Aegiceras corniculatum, Avicennia alba, Avicennia marina,
Bruguiera gymnorrhiza, Aegialitis annulata, Heritiera globosa, Aegialitis
annulata, Acanthus ilicifolius, Nypa fruticans, Excoecaria agallocha, dan
Lumnitzera racemosa.
Tercatat juga luasan bakau yang dapat diidentifikasi berdasarkan citra
Aster tahun 2009 seluas 678.65 ha, berdasarkan hasil wawancara dengan
masyarakat menyatakan bahwa luasan hutan bakau cenderung tetap. Sementara
Nilai penting suatu jenis berkisar antara 0 – 300 %, dari 20 lokasi yang
dilakukan sampling di kabupaten Alor didapatkan nilai rata-rata 180,42% yang
termasuk dalam kondisi sedang. Adapun jenis-jenis mangrove yang memiliki INP
dominan, disetiap stasiunnya antara lain : Sonneratia alba di daerah Kabola, desa
Pantai Deere, dan Desa Alaang, Rhizopora apiculata didaerah Kabola, Pantai
Deere, Alila, Alaang, Welai Barat, Bagang, dan Baranusa, Bruguiera gymnorhiza
di daerah Mali, Alila, Ilu, Blangmerang, Baraler, dan Alaang; Avicenia alba di
daerah Moru; Rhizopora mucronata di daerah Kelurahan Mutirara; Rhizopora
stylosa di desa Piring Sina; Aegalitis annulata di kelurahan Kokar, dan Desa
Baolang; Avicenia marina di desa Bana; Lumnitzera racemosa didaerah Makuru
dan Alemba (WWF, 2009).
9 Jenis yang memiliki nilai penting dalam ekosistem mangrove tersebut
ditiap stasiun sampling seharusnya lebih diprioritaskan untuk dijaga dan
dilestarikan disamping juga jenis lainnya, karena nilai
memberikan suatu gambaran

mengenai pengaruh

penting

atau peranan

jenis

ini

suatu jenis

tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove dan nilai penting dari tiap jenis
mangrove sangat tergantung pertumbuhan mangrove yang didukung oleh
ketersediaan nutrient dan bahan oganik (Supriharyono dalam Romadhon , 2008)
4.1.2.4 Indikator Status Terumbu Karang
Seperti halnya ekosistem Mangrove dan Padang Lamun, Terumbu karang
juga dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari ancaman erosi dan ombak
besar, serta sebagai aset pariwisata bahari yang banyak menghasilkan devisa bagi
negara. Ditinjau dari aspek ekonomi, terumbu karang memberikan sumbangan
yang cukup besar untuk sektor perikanan. CAESAR (1996) menyatakan bahwa
33
terumbu karang

yang

termasuk

dalam

kategori

sangat

baik

dapat

menyumbangkan 18 ton ikan per km 2/tahun, sedangkan yang termasuk dalam
kategori baik dan cukup adalah sebesar 13 ton/km 2 /tahun dan 8 ton/km 2
/tahun. Apabila dikalkulasikan secara ekonomi, nilai terumbu karang yang ada di
perairan Indonesia adalah sebesar 4,2 milyar $US dari aspek perikanan, wisata
dan perlindungan laut. Nilai ini belum termasuk nilai manfaat terumbu karang
sebagai pelindung pantai, bahan bangunan, sumber pangan serta obat-obatan.
Namun demikian, terumbu karang juga merupakan ekosistem yang sangat rentan
terhadap gangguan akibat kegiatan manusia yang tidak terkendali, dan
pemulihannya memerlukan waktu yang lama.
Kajian kondisi terumbu karang bertujuan untuk mengetahui persentase
tutupan karang hidup dan keanekaragaman jenis karang di dalam suatu wilayah.
Persentase tutupan karang hidup ini merupakan indikator kondisi terumbu
karang dimana semakin tinggi tutupan karang hidup maka semakin baik
kondisi dan produktifitas perikanan, terutama ikan-ikan yang secara langsung
berasosiasi dengan terumbu karang. Sedangkan keanekaragaman jenis terumbu
karang merupakan indikator kesehatan lingkungan perairan. Kondisi terumbu
karang

dievaluasi

dalam

rangka

mengetahui

kualitas dan

produktivitas

ekosistem. Selain itu, tutupan karang hidup dan keanekaragaman jenis
terkait

langsung

dengan

keberhasilan

juga

rekruitmen; dan untuk mengetahui

daerah pemijahan dan asuhan di suatu perairan (Modul EAFM, 2012)
Status terumbu karang di Kabupaten Alor secara umum termasuk dalam
kategori sedang. Hal ini ditunjukan berdasarkan data WWF tahun 2012 dengan
metode Reef Health didapatkan kondisi terumbu karang di Kabupaten Alor berada
pada kondisi buruk-sedang (< 50%), dan dengan tutupan rata-rata karang keras
hidup 35,41% yang termasuk kategori sedang. Pada data dasar ditahun 2009
melalui Survey ekologi, mencatat jumlah genus karang keras tertinggi ditemukan
di Pulau Buaya sebanyak 31 genus yang tergolong dalam 13 famili dan di pulau
Ternate sebanyak 27 genus dan 14 family karang. Identifikasi spesies karang
penyusun ekosistem terumbu karang yang ditemukan sebanyak 75 spesies karang
keras. Famili karang keras yang paling banyak dijumpai adalah Acroporidae,
Poritidae, Faviidae dan Fungiidae. Sedangkan genus karang paling umum
34
dijumpai

yaitu

Acropora, Montipora, Porites, Favites,

Favia, Montastrea,

Diploastrea Oxypora, Goniopora,Echinopora, Pocillopora, Stylopora dan
Seriatopora. Untuk Karang lunak genus yang dijumpai pada stasiun pengamatan
adalah Sarcophyton, Sinularia, Lobophyton, Nepthea, Lemnalia dan Alertigorgia.
Berdasarkan analisa peta Aster tahun 2009 teridentifikasi luasan terumbu karang
di Kabupaten Alor adalah 3,011.31 ha.
Ancaman utama terhadap ekosistem terumbu karang di perairan KKPD
Kabupaten Alor, adalah faktor alamiah dan faktor akibat kegiatan pemanfaatan
laut yang tidak ramah lingkungan (destructive fishing). Di beberapa lokasi
pengamatan seperti pada stasiun Pulau Batang dan Bana ditemukan koloni
karang yang mengalami pemutihan secara alami, juga dijumpai adanya bintang
laut berduri (Acanthaster planci) dan kerang Drupela yang merupakan predator
karang. Di Pulau Batang kerusakan fisik ekosistem terumbu karang lebih banyak
disebabkan oleh aktivitas penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak
dan pembiusan menggunakan potasium. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya
persentase penutupan patahan karang dengan ukuran yang seragam dan dalam
area yang luas terutama pada kedalaman 5 - 8 meter. Kerusakan ini telah terjadi
pada waktu

lampau

dan sekarang terlihat mulai adanya pemulihan. Selain

aktivitas pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan, kerusakan terumbu karang
pada semua lokasi pengamatan juga ditandai dengan dijumpainya patahan karang
dengan ukuran yang bervariasi dan tidak seragam, hal ini dapat menjadi
indikasi bahwa kerusakan karang (terutama karang bercabang) terjadi karena
jangkar perahu atau adanya kegiatan manusia untuk menangkap/mengambil
biota laut (WWF, 2009).
Rusaknya terumbu karang secara langsung akan berdampak pada
produktivitas perikanan terutama perikanan demersal yang selanjutnya juga akan
berpengaruh terhadap perikanan pelagis sebagai satu siklus rantai makanan (food
chain) di laut. Perlunya upaya dalam menjaga dan merehabilitasi ekosistem
terumbu karang mutlak dilakukan di Kabupaten Alor bukan saja dalam
mendukung perikanan yang berkelanjutan, namun juga mendukung pendapatan
disektor pariwisata bahari.

35
4.1.2.5 Indikator Habitat Unik atau Khusus
Habitat unik atau khusus didefinisikan sebagai habitat atau spesies
khusus yang mempunyai nilai ekologi dan ekonomi yang sangat tinggi,
sehingga perlu mendapat perhatian khusus dalam pemantauannya. Informasi
tentang lokasi-lokasi spawning ground, nursery ground, feeding ground, dan
upwelling sangat penting untuk menentukan bahwa suatu perairan memiliki
habitat unik/khusus yang berperan dalam mendukung keberlanjutan pemanfaatan
sumberdaya perikanan. Selain itu, spesies endemik, langka, dan terancam punah
adalah

beberapa

kriteria

lain

yang

dapat

dipakai

dalam

menentukan

habitat/spesies unik/langka. Hal ini penting dikaji karena lokasi-lokasi tersebut
merupakan tempat bagi berbagai jenis ikan tumbuh dan berkembangbiak, yang
pada akhirnya dapat mendukung kegiatan perikanan di sekitarnya.
Indikator habitat/spesies unik/khusus dievaluasi dalam rangka untuk
memberikan dasar yang kuat bagi pengelolaan perikanan yang harus
dilakukan baik melalui Pengaturan dengan system buka tutup berdasarkan musim
(open close area season), pengaturan alat tangkap, penentuan lokasi tangkap
(fishing ground), atau pun dengan pengembangan kawasan konservasi perairan.
Dengan mengetahui habitat-habitat unik/khusus tersebut, maka pengelola
perikanan dapat dengan mudah memetakan dan mengatur bagaimana pengelolaan
perikanan berkelanjutan dapat dijelaskan kepada stakeholders terkait dan
diimplementasikan secara optimal (Modul EAFM, 2012).
Habitat penting yang teridentifikasi di kabupaten Alor adalah terdapatnya
lokasi upwelling di perairan Selat Pantar, feeding ground Duyung (Dugong
dugon) di perairan Mali, wilayah migrasi mamalia laut, lokasi peneluran penyu
dan beberapa lokasi yang diduga merupakan tempat peneluran ikan kerapu.
Habitat penting tersebut merupakan salah satu indikator dalam penetapan zonasi
dalam pembentukan Kawasan Konservasi Perairan Daerah di Kabupaten Alor.
Saat ini proses zonasi masih dalam tahap konsultasi publik untuk disepakati,
rencana pengelolaan tersebut belum berlangsung ketika survey ini sedang
berlangsung.
Mengelola habitat penting dengan memprioritaskannya dalam zona
perlindungan atau zona inti sangat direkomendasikan. Hal ini dikarenakan habitat
36
tersebut memiliki dampak ekologis yang berpengaruh terhadap ekosistem lainnya,
sehingga perlu diprioritaskan untuk dikelola.
4.1.2.6 Indikator Produktivitas Estuary
Indikator selanjutnya adalah menganalisa produktivitas estuary dan
perairan sekitarnya. Perlu diketahui bahwa defiisi Estuari adalah suatu perairan
semi tertutup yang berada di bagian hilir sungai dan masih berhubungan dengan
laut, sehingga memungkinkan terjadinya percampuran antara air tawar dan air
laut. Kebanyakan estuari didominasi oleh substrat lumpur yang berasal dari
endapan yang dibawa oleh air tawar maupun air laut. Karena partikel yang
mengendap kebanyakan bersifat organik, substrat dasar estuari biasanya kaya
akan bahan organik, yang menjadi cadangan makanan utama bagi organisme
estuaria.
Tujuan dari kajian produktifias estuary dan perairan sekitarnya ini adalah
untuk mengetahui kualitas dan produktivitas perairan yang dihitung dari
konsentrasi klorofil a; Selain itu, indikator ini dapat menjelaskan tentang
pentingnya suatu estuari sebagai daerah asuhan bagi beberapa spesies perikanan
yang bernilai ekonomis (Modul EAFM, 2012).
Indikator status dan produktivitas estuari dan perairan sekitarnya tidak
dapat dianalisis tidak tersedianya data primer dan sekunder menyangkut
produktivitas estuari di Kabupaten Alor. Oleh karena itu penilaian pada indikator
ini adalah kosong (0). Pentingnya mengetahui informasi indikator ini bagi
kabupaten Alor yaitu produktivitas estuarine menyediakan unsur hara bagi
ekosistem laut. Semakin tinggi produktivitas perairan estuari, maka akan
semakin besar peran estuari dalam mendukung produksi sumberdaya ikan di
perairan sekitarnya.
4.1.2.7 Indikator Perubahan Iklim Terhada Kondisi Perairan dan Habitat
Indikator terakhir pada domain ini adalah pengaruh perubahan iklim
terhadap kondisi perairan dan habitat. Indikator ini perlu diketahui untuk
menunjukan semakin besar dampak perubahan iklim terhadap kondisi perairan
dan habitat, maka keberlanjutan sumberdaya perikanan semakin terancam,
37
sehingga diperlukan strategi adaptasi dan mitigasi untuk menekan pengaruh
perubahan iklim tersebut. Perubahan iklim dapat menyebabkan kenaikan suhu
udara,

kenaikan

suhu permukaan

laut,

dan peningkatan

konsentrasi

karbondioksida di udara. Pengaruh perubahan iklim ini sangat mempengaruhi
kondisi perairan, perubahan musim perikanan, kejadian kekeringan dan
kebanjiran, serta degradasi terumbu karang akibat tingginya suhu permukaan laut
yang menyebabkan pemutihan/bleaching.
Pada indikator ini tidak teridentifikasi adanya penelitian yang secara
spesifik terkait dampak perubahan iklim yang terjadi. Namun berdasarkan survey
Reef Health yang dilakukan oleh WWF tahun 2012, turut mengambil data
pemutihan karang sebagai salah satu indikator dampak perubahan suhu laut. Hasil
pengamatan menunjukan pemutihan karang di 33 titik penyelaman pemutihan
karang tidak teridentifikasi adanya pemutihan karang. (Laporan Reef Health
kabupaten Alor, 2012)
Data kajian ini diperlukan diketahui untuk kepentingan pengelolaan
perikanan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Beberapa kasus
yang terjadi di bidang perikanan adalah bergesernya musim perikanan pelagis,
kondisi cuaca yang sulit diprediksi hingga menurunnya produktivitas perikanan
demersal dikarenakan adanya pemutihan karang. Informasi dampak perubahan
iklim mendukung dalam pembuatan strategi adapatasi dan mitigasi perubahan
iklim dalam sendi-sendi kebijakan pengelolaan perikanan untuk mengurangi
kerentanan masyarakat pesisir yang terkendala dampak langsung fenomena
perubahan iklim.

38
Gambar 5. Agregat Domain Habitat dan Ekosistem
Berdasarkan nilai komposit di tiap indikator seperti ditunjukan pada
gambar no.5 Secara keseluruhan domain habitat dan ekosistem di Kabupaten Alor
diberikan status sedang atau kuning dengan nilai komposit 155 dari nilai total
komposit 300. Kurangnya performa domain habitat ini dikarenakan adanya
indikator yang tidak bisa dianalisa dikarenakan belum adanya data yang tersedia
di wilayah survey yaitu pada indikator kualitas perairan dan produktivitas estuari.
Domain habitat akan sangat menentukan kelimpahan dan keanekaragaman
sumberdaya ikan yang terdapat di dalamnya. Secara umum, semakin baik kondisi
habitat maka kelimpahan dan keanekaragaman sumberdaya semakin baik.
Perlunya upaya Pemerintah Daerah dalam mendorong pengumpulan data terkait
pengecheckan kualitas air dan status produktivitas estuaris perlu diketahui dan
diidentifikasi kondisinya sebagai satu bagian habitat yang tidak bisa dipisahkan.
Baik buruknya kualitas air dan produktivitas estuarine akan mempengaruhi
kesehatan ekosistem didalamnya yang termasuk terumbu karang, lamun dan
bakau yang berpengaruh terhadap produktivitas perikanan disuatu perairan.

39
4.1.3. Hasil Penilaian Per Indikator Pada Domain Teknis Penangkapan Ikan
Gambaran mengenai indikator-indikator yang termasuk dalam domain
teknis penangkapan ikan berdasarkan hasil analisis EAFM ditampilkan dalam
Tabel di bawah ini.
Tabel 8. Analisis Komposit Domain Teknis Penangkapan Ikan
INDIKATOR
1. Metode
penangkapan
ikan yang bersifat
destruktif dan
atau ilegal

2. Modifikasi alat
penangkapan
ikan dan alat
bantu
penangkapan.

DEFINISI/
PENJELASAN
Penggunaan alat dan
metode
penangkapan yang
merusak dan atau
tidak sesuai
peraturan yang
berlaku.
Penggunaan alat
tangkap dan alat
bantu yang
menimbulkan
dampak negatif
terhadap SDI

MONITORING/
PENGUMPULA
N
Laporan hasil
pengawas
perikanan,
survey

SKOR

BOBOT
(%)

NILAI

1=frekuensi pelanggaran > 10
kasus per tahun ;
2 = frekuensi pelanggaran 5-10
kasus per tahun ;
3 = frekuensi pelanggaran <5
kasus per tahun

1

30

30

Sampling
ukuruan ikan
target/ikan
dominan.

1 = lebih dari 50% ukuran target
spesies < Lm ;
2 = 25-50% ukuran target spesies
< Lm
3 = <25% ukuran target spesies <
Lm

3

25

75

KRITERIA

3. Fishing
capacity dan
Effort

Besarnya kapasitas
dan aktivitas
penangkapan

Interview,
survey,
logbook

1 = R kecil dari 1;
2 = R sama dengan 1;
3 = R besar dari 1

2

15

30

4. Selektivitas
penangkapan

Aktivitas
penangkapan yang
dikaitkan dengan
luasan, waktu dan
keragaman hasil
tangkapan
Sesuai atau tidaknya
fungsi dan ukuran
kapal dengan
dokumen legal

Statistik
Perikanan
Tangkap,
logbook,
survey

1 = rendah (> 75%) ;
2 = sedang (50-75%) ;
3 = tinggi (kurang dari 50%)
penggunaan alat tangkap yang
tidak selektif)

3

15

45

Survey/monito
ring fungsi,
ukuran dan
jumlah kapal.

1 = kesesuaiannya rendah (lebih
dari 50% sampel tidak sesuai
dengan dokumen legal);
2 = kesesuaiannya sedang (3050% sampel tidak sesuai dengan
dokumen legal);
3 = kesesuaiannya tinggi (kurang
dari 30%) sampel tidak sesuai
dengan dokumen legal

1

10

10

Kualifikasi kecakapan
awak kapal
perikanan.

Sampling
kepemilikan
sertifikat

1 = Kepemilikan sertifikat <50%;
2 = Kepemilikan sertifikat 50-75%;
3 = Kepemilikan sertifikat >75%

1

5

5

5. Kesesuaian
fungsi dan ukuran
kapal
penangkapan
ikan dengan
dokumen legal

6. Sertifikasi awak
kapal perikanan
sesuai dengan
peraturan.

Agregat

195

40
4.1.3.1 Indikator Metode Penangkapan Ikan yang bersifat destruktif
dan/atau ilegal
Indikator ini merupakan indikator dengan bobot terbesar dalam domain
teknik penangkapan. Hal ini dikarenakan penangkapan ikan yang merusak dan
atau ilegal merupakan ancaman yang paling besar bagi kelestarian ekosistem
pesisir dan laut di Indonesia, terutama ekosistem terumbu karang. Dampak dari
praktek-praktek penangkapan ikan yang destruktif dan atau ilegal tersebut, kini
mulai dirasakan oleh masyarakat nelayan, khususnya untuk nelayan perikanan
karang, yang semakin sulit untuk mendapatkan hasil tangkapan ikan.
Secara definisi metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif atau
merusak adalah cara menangkap ikan yang dapat menimbulkan kerusakan
secara langsung, baik terhadap habitat (tempat hidup dan berkembang biak)
ikan maupun terhadap sumber daya ikan itu sendiri.

Sementara, yang

dimaksud dengan metode penangkapan ikan yang ilegal adalah cara
menangkap

ikan yang

melanggar atau bertentangan

dengan ketentuan

peraturan yang berlaku, baik ditingkat lokal, nasional, regional maupun
internasional (Modul EAFM, 2012).
Kriteria penilaian baik atau buruknya indikator metode penangkapan ikan
yang bersifat destruktif dan atau ilegal dalam pengelolaan perikanan dengan
pendekatan ekosistem di suatu perairan, adalah dengan melihat jumlah kasus
pelanggaran yang terjadi dalam penggunaan metode penangkapan ikan yang
bersifat destruktif dan atau ilegal tersebut. Dengan demikian, unit yang digunakan
untuk indikator ini adalah jumlah kasus pelanggaran.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 133 responden yang tersebar di 14
desa pesisir menginformasikan bahwa terdapat aktivitas perikanan yang merusak
dengan jumlah rata-rata frekuensi aktivitas sebanyak 16 kasus per tahun sejak
2011-2012, dari jumlah tersebut 97,1% responden menyebut bom ikan sebagai
penyebab terbesar, dan 2,9% akibat penggunaan potasium. Lokasi yang menjadi
wilayah aktivitas merusak tersebut antara lain : Tanjung Kumbang, Tanjung
Margeta, Buraga, Marataing, Manatang, Lamalu, Pulau Kangge, Pulau Rusa,
Pulau Lapang, Pulau Batang, Perairan Blangmerang, Tanjung Ara, Ilawei,
Tanjung Sibela, dan Tanjung Umafutung.
41
Pengawasan dan jalur informasi yang efektif perlu dilakukan oleh berbagai
pihak mulai dari masyarakat, pengusaha, pemerintah hingga aparat penegak
hukum mengingat hampir setiap bulan ditemukan aktivitas tersebut di perairan
Kabupaten Alor. Pencabutan izin usaha bagi pengusaha yang membeli produk
tidak ramah lingkungan, pembinaan terhadap papaplele atau pembeli ditingkat
pasar dapat dilakukan sebagai salah satu solusi megurangi permintaan pasar
terhadap produk yang tidak ramah lingkungan.
4.1.3.2 Indikator Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu
penangkapan
Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan
didefinisikan sebagai penggunaan alat tangkap dan dan alat bantu yang tidak
sesuai dengan peraturan yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap
sumber daya ikan. Penentuan indikator ini dilakukan

karena modifikasi alat

tangkap dan alat bantu yang tidak sesuai dengan peraturan akan memberikan
dampak langsung terhadap kelestarian sumber daya ikan. Umumnya alat tangkap
yang dimodifikasi tanpa memperhatikan peraturan atau panduan yang telah
ditetapkan pemerintah akan berpotensi mengancam kelestarian sumber daya ikan.
Sebagai contoh: penggunaan rumpon yang berlebihan dengan jarak yang sangat
berdekatan. Hal tersebut, tentu akan mengganggu pola ruaya atau migrasi ikan,
sehingga siklus hidup sumber daya ikan akan terhalangi atau terpotong, yang
pada akhirnya menyebabkan sumber daya ikan akan menipis (depletion) dan
bahkan bisa habis atau punah
Berdasarkan pengumpulan data dikabupaten Alor modifikasi alat tangkap
teridentifikasi pada alat tangkap jaring, dan Bubu. 6,02% responden memodifikasi
ukurang mata jaring dari gillnet/pukat, 3,01% memodifikasi bagian sayap,
kantong, dan ukuran mata jaring jala lompo, 0,75% menggunakan pemberat dari
batu karang untuk bubu (merusak habitat karang). Pada alat tangkap jaring insang
dan jala lompo target tangkapannya adalah ikan belo-belo (layang) dan Tongkol
Ukuran ikan target yang dominan tertangkap rata-rata berukuran layak tangkap
yaitu berkisar 15-20 cm.

42
Adapun berdasarkan alat tangkap yang digunakan responden yang
mencakup perikanan demersal dan pelagis di kabupaten Alor, secara keseluruhan
terdapat 40 spesies ikan yang biasa ditangkap nelayan di Kabupaten Alor (Ikan
Bayar/Kembung, Bawo/Lamoru, Belo-belo (Layang), Biji Nangka, Cakalang,
Gergahing, Golok-golok, Kaburak, Kakaktua, Kakap Merah, Kakap Putih,
Kamera, Kerapu Bakau, Kerapu Bebek, Kerapu Capan, Kerapu Karet Hitam,
Kerapu Kwaci Abu-abu, Kerapu Kwaci Putih, Kerapu Lumpur, Kerapu Macan,
Kerapu Malabar, Kerapu Merah, Kerapu Sosis, Kerapu Sue-sue, Kerapu Sunu,
Kulit

Pasir,

Lamada,

Layang/Terbang,

Lember,

Mane,

Motonggolong,

Phada/Baronang, Sembe/Lember, Simba, Sura/Motong, Tembang, Tenggiri, Tuna
Mata Besar, Tuna Sirip Kuning, dan Tunung Lolong/Sweet Lips).
4.1.3.3 Indikator Fishing capacity
Fishing capacity didefinisikan sebagai jumlah hasil tangkapan ikan
maksimum yang dapat dihasilkan pada periode waktu tertentu (tahun) oleh satu
kapal atau armada bila dioperasikan secara

penuh,

dimana

upaya

dan

tangkapan tersebut tidak dihalangi oleh berbagai tindakan pengelolaan
perikanan

yang menghambatnya. Satuan unit yang digunakan untuk fishing

capacity adalah ton/tahun.
Fishing capacity menjadi input control dalam manajemen perikanan
tangkap. Input perikanan yang berlebih berpotensi menimbulkan kapasitas yang
berlebih (over capacity). Overcapacity yang berlangsung terus menerus akan
menyebabkan overfishing, sehingga hal ini tentu saja akan dapat menghambat
terwujudnya perikanan yang berkelanjutan dan lestari (Modul EAFM, 2012).
Tujuan penggunaan indikator ini adalah untuk mengetahui tingkat
intensitas

penangkapan ikan dan perkiraan dampaknya terhadap kelestarian

sumber daya ikan di suatu wilayah perairan tertentu. Berdasarkan hasil analisa
survey, indikator fishing capacity dan effort diberikan status buruk. Hasil analisa
menunjukkan bahwa hasil tangkapan per unit usaha (CPUE) menunjukan tren
kenaikan pada tahun 2006 sampai 2009 dan mulai menurun nilainya pada tahun
2010, sedangkan berdasarkan interview didapatkan 73,91% responden yang
menyatakan telah terjadi penurunan hasil tangkapan dalam kurun waktu 5 tahun
43
terakhir (2008 - 2012). Namun pada ukuran ikan dalam 5 tahun terakhir 66,17%
responden (baik untuk nelayan ikan pelagis kecil/besar dan demersal) yang
menyatakan berukuran relatif sama, sementara trip penangkapan per alat tangkap
menurut responden yaitu: jaring insang hanyut/dasar 3-6 jam, pancing 3-4 jam
(pada perikanan tuna 7-15 jam), bubu 2-3 hari, jala lompo 4-5 jam, senapan 3-4
jam, lampara malam 7 jam.
Hal ini menunjukan bahwa aktifitas penangkapan yang dilakukan oleh
nelayan pelagis cenderung meningkat dengan menambahkan effort dalam
penangkapannya, melalui lamanya waktu melaut dan frekuensi trip terutama pada
musim puncak. Penilaian keberhasilan implementasi pendekatan ekosistem dalam
pengelolaan perikanan dapat diindikasikan dengan meningkat atau menurunnya
kecenderungan fishing capacity dan effort. Bila kecenderungannya relatif tetap,
apalagi menurun, maka pengelolaan perikanannya dapat dianggap berhasil dalam
mengendalikan input perikanan, namun sebaliknya, pengelolaan perikanan
dianggap belum berhasil, bila kecenderungannya selalu terus meningkat. Oleh
karena itu Pemerintah Daerah Kabupaten Alor perlu menegaskan kembali
penggunaan alat tangkap yang selektif dengan mengatur ukuran mata jarring yang
sesuai dengan peraturan yang berlaku pada perikanan pelagis untuk memberikan
kesempatan ikan target berkembangbiak.
4.1.3.4 Indikator Selektivitas Penangkapan Ikan
Selektivitas penangkapan didefinisikan sebagai aktivitas penangkapan ikan
yang dikaitkan dengan luasan, waktu dan keragaman hasil tangkapan.Pemilihan
indikator ini dilakukan karena selektivitas penangkapan yang rendah akan
memberikan dampak langsung terhadap kelestarian sumber daya ikan. Kriteria
penilaian baik atau buruknya indikator selektivitas penangkapan dalam
pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem di suatu perairan, adalah
dengan menghitung prosentase penggunaan alat tangkap yang tergolong tidak atau
kurang selektif terhadap jumlah total alat tangkap yang ada di suatu perairan
tertentu.
Alat tangkap yang tergolong memiliki selektivitas tinggi antara lain :
Pancing; jaring insang; alat pengumpul kerang; jaring angkat (bagan perahu,
44
bagan tancap), pukat cincin (purse seine), perangkap (Sero, Bubu). Sedangkan
yang tergolong selektivitas rendah antara lain : Pukat hela (pukat udang, pukat
ikan); pukat kantong (lampara, pukat pantai);dan muroami (Modul EAFM, 2012).
Indikator selektivitas penangkapan diberikan status baik yaitu alat tangkap
yang kurang selektif berada < 50% berdasarkan proporsi alat tangkap yang
digunakan oleh responden yang diwawancarai. Analisa prosentase penggunaan
alat penangkapan ikan yang tergolong tidak atau kurang selektif (PS') sebesar
5,3%, karena dari total 12 jenis alat tangkap yang digunakan (bagan apung, bubu,
jaring insang dasar, jaring insang hanyut, lampara, panah, pancing dasar, pancing
hanyut, pancing tonda,) terdapat 3 alat tangkap yang berselektivitas rendah yaitu:
lampara, pukat hela atau jala lompo dan pukat pantai. Hasil serupa juga ditemukan
jika menggunakan data statistik perikanan tangkap provinsi NTT tahun 2010. Alat
tangkap yang kurang selektif di kabupaten Alor sebanyak 41 unit sebesar 0,69%
dari jumlah total alat tangkap sebanyak 6.449 unit.
Prosentase alat tangkap yang tergolong kurang selektif sangat rendah
ditemukan di kabupaten Alor merupakan hal yang baik, namun perlu dicermati
dalam intensitas penggunaanya yang dikombinasikan dengan alat bantu berupa
rumpon. Semakin efektifnya penangkapan ikan target memicu berkembangnya
jumlah rumpon yang tidak terkontrol disepanjang perairan utara kabupaten Alor.
Tercatat rumpon yang terdapat disepanjang perairan utara Kelurahan Adang
mencapai 44 unit di bulan Desember 2011, jumlah tersebut belum termasuk
diperairan utara pulau Pantar.Tanpa adanya pengaturan jumlah pemasangan sesuai
KepMen KKP No.30 tahun 2004 akan berdampak tidak saja jumlah stok ikan
pelagis yang berkurang, menggangu migrasi perikanan tuna, jalur pelayaran
namun akan terjadi konflik horizontal diantara nelayan yang berakibat terjadinya
pemutusan rumpon diantara nelayan. Perlunya kebijakan Pemerintah Daerah
dalam pengaturan jumlah rumpon yang terpasang perairan kabupaten Alor perlu
segera dibuat yang akan melengkapi kebijakana pembentukan Kawasan
Konservasi Perairan Daerah kabupaten Alor.

45
4.1.3.5 Indikator Kesesuaian Fungsi dan Ukuran Kapal Penangkapan Ikan
dengan Dokumen Legal
Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen
legal didefinisikan sebagai perbandingan antara dokumen surat legal yang dimiliki
dengan aktivitas nyata dari fungsi dan dimensi ukuran kapal dalam melakukan
operasi penangkapan ikan. Pemilihan indikator ini dilakukan, karena bila antara
surat ijin yang dikeluarkan berbeda dengan aktivitas kenyataan yang ada, maka
hal ini dapat dikategorikan sebagai tindakan melanggar aturan atau illegal fishing,
dan secara tidak langsung tentunya akan berpotensi mengancam kelestarian
sumber daya ikan. Akibat selanjutnya tentu akan sulit atau bahkan tidak akan
mungkin mewujudkan perikanan tangkap yang bertanggungjawab (responsible
fisheries) (Modul EAFM, 2012).
Indikator kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan
dokumen legal diberikan status buruk (nilai 10) dengan kriteria >50% responden
tidak memiliki kesesuaian fungsi dan ukuran kapal. Berdasarkan hasil interview
91,9% responden tidak memliki izin, hanya 8,1% saja armada yang memiliki izin.
Armada yang memiliki dokumen kesesuai ukuran kapal adalah armada diatas
5GT, sedangkan mayoritas responden merupakan armada dibawah 5 GT, sehingga
penilaian indikator ini menjadi rendah. Pemerintah Daerah sebaiknya melakukan
pendataan dan pendaftaran setiap armada kecil (<5GT) yang ada dikabupaten
Alor, sehingga selain mempermudah analisa kesesuain fungsi dan ukuran kapal,
informasi ini dapat digunakan dalam analisa indikator fishing capacity.
4.1.3.6 Indikator Sertifikasi Awak Kapal Perikanan Sesuai dengan Peraturan
Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan dapat
didefinisikan sebagai awak kapal perikanan yang telah memenuhi

syarat

kecakapan tertentu untuk bekerja diatas kapal. Sertifikasi awak kapal dilakukan
dengan manfaat untuk penerapan kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung
jawab oleh awak kapal perikanan. Tujuan penggunaan indikator ini adalah untuk
mengestimasi tingkat prosentase sampel kapal penangkapan ikan yang
dioperasikan oleh awak kapal yang bersertifikat sesuai dengan peraturan dan

46
perkiraan penerapan kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab di suatu
wilayah perairan tertentu (Modul EAFM, 2012).
Tantangan analisa indikator sertifikasi awak kapal perikanan di kabupaten
Alor adalah responden didominasi oleh kapal perikanan dibawah 5 GT dan
terdidentifikasi bahwa tidak memiliki sertifikasi awak kapal. karena tidak bisa
terukur secara formal, hanya berdasarkan pengalaman saja. Oleh karena itu
indikator ini diberikan status buruk. Sebaiknya indikator ini perlu disesuaikan
kembali dengan mempertimbangkan armada kecil yang berada diperairan
kabupaten Alor. Faktor keselamatan pada aktivitas penangkapan (Sea Safety) di
daerah dengan dominasi armada kecil menjadi salah satu indikator yang perlu
dipertimbangkan dalam domain ini.

Gambar 6. Agregat Domain Teknis Penangkapan Ikan
Secara keseluruhan domain teknis penangkapan ikan di Alor diberikan
status sedang atau kuning dengan nilai komposit 195 dari nilai total nilai komposit
300. 6 indikator yang diuji/dianalisis terdapat 2 indikator yang berstatus baik yaitu
modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan dan selektivitas
penangkapan), 1 indikator berstatus sedang dan 3 indikator lainnya berstatus
buruk.
Masih teridentifikasinya aktivitas destructive fishing yang cukup tinggi
merupakan salah satu faktor yang berpengaruh besar terhadap rendahnya status
47
domain Teknik penangkapan ikan dan juga berpengaruh negatif terhadap domain
lainnya terutama pada domain habitat dan ekosistem. Begitu pula dengan
indikator Fishing capacity terutama pada perikanan pelagis, berlebihnya kapasitas
input perikanan, yakni frekuensi penangkapan dan tingginya jumlah rumpon yang
terdapat disepanjang perairan utara kabupaten Alor menghasilkan hasil tangkapan
ikan yang baik namun tidak diiringi dengan peningkatan hasil tangkapan yang
signifikan dalam jangka waktu yang panjang (5 tahun). Oleh karena itu perlunya
kebijakan yang mengatur penggunaan alat bantu penangkapan rumpon yang
dikombinasikan dengan alat tangkap yang kurang selektif seperti lampara dan jala
lompo.
Inventarisasi armada yang digunakan nelayan perlu juga dilakukan proses
registrasi di Dinas terkait dalam upaya meningkatkan performa dalam indikator
kesesuaian fungsi dan ukuran kapal, terutama pada armada penangkapan tuna
yang didominasi oleh armada < 5 GT. Hal ini juga dapat mendukung ketelusuran
(tracebility) produk unggulan tuna di kabupaten Alor sehingga produk tuna
kabupaten Alor dapat terhindar dari issue Illegal, Unreported and Unregulated
(IUU).

48
4.1.4. Hasil Penilaian Per Indikator Pada Domain Sosial
Gambaran mengenai indikator-indikator yang termasuk dalam domain
sosial berdasarkan hasil analisis EAFM ditampilkan dalam Tabel di bawah ini.
Tabel 9. Analisis Komposit Domain Sosial
DEFINISI/
PENJELASAN
Keterlibatan
pemangku
kepentingan//

MONITORING/
PENGUMPULAN
Recording partisipasi
dilaksanakan secara
kontinyu sesuai dengan
pentahapan pengelolaan
perikanan. Evaluasi dari
record ini dilakukan
setiap tahap dan siklus
pengelolaan.

2. Konflik
perikanan

Resources conflict,
policy conflict,
fishing gear conflict,
konflik antar sector.

3. Pemanfaatan
pengetahuan
lokal dalam
pengelolaan
sumberdaya ikan
(termasuk di
dalamnya TEK,
traditional
ecological
knowledge)

Pemanfaatan
pengetahuan lokal
yang terkait dengan
pengelolaan
perikanan

Arahan pengumpulan
data konflik adalah
setiap semester (2 kali
setahun) atau sesuai
musim (asumsi level of
competition berbeda by
musim)
Recording pemanfaatan
TEK dilaksanakan secara
kontinyu sesuai dengan
pentahapan pengelolaan
perikanan. Evaluasi dari
record ini dilakukan
setiap siklus pengelolaan
dan dilakukan secara
partisipatif

INDIKATOR
1. Partisipasi
pemangku
kepentingan

1 = kurang dari 50%;
2 = 50-100%;
3 = 100 %

2

BOBOT
(%)
40

1 = lebih dari 5
kali/tahun;
2 = 2-5 kali/tahun;
3 = kurang dari 2
kali/tahun

1

35

35

1 = tidak ada;
2 = ada tapi tidak
efektif;
3 = ada dan efektif
digunakan

3

25

75

KRITERIA

SKOR

Agregat

NILAI
80

190

4.1.4.1 Indikator Partisipasi Pemangku Kepentingan
Partisipasi pemangku kepentingan merupakan frekuensi keiikutsertaan
pemangku kepentingan dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Jumlah
kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan yang diikuti oleh pemangku kepentingan
dihitung

kemudian

dibandingkan

dengan

seluruh

kegiatan

pengelolaan

sumberdaya ikan yang pernah dilakukan di lokasi yang diteliti. Pengukuran
partisipasi pemangku kepentingan ini bertujuan untuk melihat keaktifan
pemangku kepentingan dalam seluruh kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan.
Tingkat keaktifan pemangku kepentingan sangat menentukan keberhasilan
kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Oleh karena itu, semakin aktif pemangku
49
kepentingan dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan, semakin tinggi tingkat
keberhasilan pengelolaan sumberdaya ikan (Modul EAFM, 2012).
Indikator partisipasi pemangku kepentingan diberikan status sedang, status
ini diberikan karena Tim Pengkajian dan Penetapan Kawasan Konservasi Perairan
Daerah (PPKKPD) dalam tahapan pembuatan zonasi, telah melibatkan
multistakeholder pengguna sumberdaya pesisir dan laut di 7 kecamatan dan
melibatkan 394 orang perwakilan tiap desa pesisir yang menyatakan sikap dalam
mendukung proses perencanaan zonasi tersebut. Berdasarkan hasil interview
didapatkan 11,11% responden menyatakan adanya keterlibatan dan kesepakatan
dalam aktivitas pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, kegiatan dan
kesepakatan tersebut antara lain: mencegah pengrusakan karang (konservasi
terumbu karang), larangan menangkap biota laut yang dilindungi dan masih
yuwana/belum layak tangkap, penempatan bubu tidak boleh di atas terumbu
karang, dan bersih pantai.
Pelibatan masyarakat dalam setiap proses pembangunan mulai dari
pembuatan perencanaan, implementasi, pemantauan hingga evaluasi dalam perlu
dilakukan, diketahui bahwa salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam
perencanaan adalah melalui kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan
(Musrembang) baik ditingkat desa hingga kabupaten.
4.1.4.2 Indikator Konflik Perikanan
Konflik perikanan merupakan pertentangan yang terjadi antar nelayan
akibat perebutan fishing ground (resources conflict) dan benturan alat tangkap
(fishing gear conflict). Konflik perikanan juga dapat terjadi akibat pertentangan
kebijakan (policy conflict) pada kawasan yang sama atau pertentangan kegiatan
antar sektor. Konflik diukur dengan frekuensi terjadinya konflik sebagai unit
indikator. Indikator ini bertujuan untuk melihat potensi kontra produktif dan
tumpang tindih pengelolaan

yang

berakibat

pada kegagalan implementasi

kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan. Semakin tinggi

frekuensi

perikanan, semakin sulit pengelolaan sumberdaya perikanan.

konflik

Demikian pula

sebaliknya, semakin rendah frekuensi terjadinya konflik diharapkan semakin
mudah implementasi pengelolaan sumberdaya perikanan (Modul EAFM, 2012).
50
Hasil analisis data primer (wawancara nelayan) menyatakan bahwa,
konflik wilayah penangkapan terkategori tinggi dengan frekuensi rata-rata 5
kejadian/kasus disebutkan oleh 50,37% responden yang diwawancarai, jenis
konflik yang ditemukan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut di
Kabupaten Alor yaitu: konflik antar wilayah lebih disebabkan karena pemasangan
rumpon (termasuk oleh nelayan dari luar daerah), konflik alat tangkap antara
pemancing dan pemilik jala lompo dalam perebutan lokasi rumpon, konflik
dengan nelayan pengguna bom ikan dan konflik antar sektor menurut responden
yaitu pariwisata. Jenis dan frekuensi konflik ini harus menjadi perhatian semua
stakeholder yang punya kaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut
(Perairan Alor sebagai kawasan konservasi laut).
Rumpon kembali menjadi isu social yang berdampak negatif dalam
pengelolaan perikanan di kabupaten Alor jika tidak dikelola dengan baik, seperti
dijelaskan didalam domain teknis penangkapan. Faktor pengawasan yang efesien
dalam meminimalisir penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan terus
diuupayakan, mendorong system pelaporan yang efektif ditingkat masyarakat
menjadi agenda yang juga perlu diprioritaskan oleh Dinas dan aparat terkait.
4.1.4.3 Indikator Pemanfaatan Pengetahuan Lokal dalam Pengelolaan
Sumberdaya Ikan
Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan
merupakan ukuran dari keberadaan serta keefektifan pengetahuan lokal dalam
kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Ada tidaknya pengetahuan lokal dalam
kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan yang diikuti oleh efektif tidaknya
penerapan pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan yang
pernah dilakukan di lokasi yang diteliti. Tingkat keefektifan penerapan
pengetahuan lokal sangat menentukan keberhasilan kegiatan pengelolaan
sumberdaya ikan. Oleh karena itu, semakin efektif penerapan pengetahuan lokal
dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan, semakin tinggi tingkat keberhasilan
pengelolaan sumberdaya ikan
Indikator pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya
ikan diberikan status sedang, hal ini dikarenakan dari 135 responden yang
51
diwawancarai 14,81% responden menyatakan terdapat pengetahuan lokal dalam
pengelolaan sumberdaya ikan. Kearifan lokal yang telah teridentifkasi adalah di
desa Pura yang mengatur alat tangkap pada wilayah perairan desa mereka,
kearifan ini telah diperkuat dalam bentuk Perdes, sedangkan kearifan lokal
lainnya yaitu adanya pengaturan pemanfaatan perairan Pulau Batang dan Lapang
oleh 4 suku yang dominan mewakili 5 desa pesisir yaitu desa Baranusa,
Blangmerag, Baralel, Piring Sina dan Beangonong. Penguatan kearifan lokal
dalam pengelolaan perikanan ini masih perlu didokumentasikan dalam aturan
yang lebih kuat. Oleh Karena itu Tim PPKKPD kabupaten Alor bersama WWF
Lessser Sunda Solor Alor memasukan kearifan lokal dalam memperkuat
pengaturan zonasi pada proses pembentukan KKPD kabupaten Alor, namun
dalam tataran pelaksanaannya masih memerlukan dukungan politik yang lebih
kuat dengan berpijak pada prinsip-prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan
dan berbasis ekosistem (Adrianto, dkk, 2011).

Gambar 7. Agregat Domain Sosial
Secara keseluruhan domain sosial di Kabupaten Alor diberikan status
sedang dengan nilai komposit 165 dari nilai total komposit 300, 2 indikator
berstatus sedang yaitu Partisipasi pemangku kepentingan dan pemanfaatan
pengetahuan lokal dan 1 indikator berstatus buruk, yaitu indikator konflik
perikanan.
Pentingnya meningkatkan pemahaman dan mengefisiensikan pelibatan
masyarakat dalam setiap pembangunan terutama dalam pengelolaan wilayah laut
52
sangat dibutuhkan, kajian lebih mendetail di setiap desa pesisir perlu diidentifikasi
lebih lanjut, dikarenakan kearifan lokal yang ada pun masih bisa diperkuat untuk
mendukung pengelolaan perikanan yang lebih selektif dan tetap mengakomodir
nilai-nilai budaya setempat.
Meminimalisir konflik perikanan dapat dilakukan dengan melakukan
pengawasan yang efektif dan penegakan hukum yang tegas terhadap pemanfaatan
perikanan yang merusak baik pihak nelayan lokal maupun nelayan luar dan juga
perlu adanya kebijakan pengaturan rumpon untuk kepentingan bersama antara
nelayan dengan alat tangkap yang berbeda.

53
4.1.5. Hasil Penilaian Per Indikator Pada Domain Ekonomi
Gambaran mengenai indikator-indikator yang termasuk dalam domain
ekonomi berdasarkan hasil analisis EAFM ditampilkan dalam Tabel di bawah ini.
Tabel 10. Analisis Komposit Domain Ekonomi

1. kepemilikan aset

2. Nilai Tukar
Nelayan (NTN)

DEFINISI/
PENJELASAN
perubahan
nilai/jumlah
aset usaha RTP
cat :aset usaha
perikanan atau
aset RT.

MONITORING/
PENGUMPULAN
Arahan frekuensi
survey dan
pengumpulan data
pendapatan RTP
adalah menurut
musim tangkapan ikan

Rasio
penerimaan
terhadap
pengeluaran.

INDIKATOR

Pengumpulan data
NTN menggunakan
sumber sekunder (BPS
dan PUSDATIN) yang
dikumpulkan setiap
tahun
Arahan frekuensi
survey (atau
penggunaan
note/catatan yang ada
di lapangan, mis:
pengumpul ikan) dan
pengumpulan data
pendapatan RTP
adalah menurut
musim tangkapan ikan
Arahan frekuensi
survey dan
pengumpulan data
pendapatan RTP
adalah menurut
musim tangkapan ikan

3. Pendapatan
rumah tangga
(RTP)

Pendapatan
total RTP yang
dihasilkan dari
usaha RTP

4. Saving rate

menjelaskan
tentang rasio
tabungan
terhadap
income

1

BOBOT
(%)
35

1

30

30

1= kurang dari rata-rata
UMR,
2= sama dengan ratarata UMR,
3 = > rata-rata UMR

1

20

20

1 = kurang dari bunga
kredit pinjaman;
2 = sama dengan
bungan kredit
pinjaman;
3 = lebih dari bunga
kredit pinjaman

1

15

15

KRITERIA

SKOR

1 = nilai aset berkurang
(lebih dari 50%) ;
2 = nilai aset tetap
(kurang dari 50%);
3 = nilai aset bertambah
(di atas 50%)
1 = kurang dari 100,

NILAI
35

2 = 100,
3 = lebih dari 100

Agregat

100

4.1.5.1 Indikator Kepemilikan Aset
Kepemilikan aset merupakan perbandingan antara jumlah aset produktif
yang dimiliki rumah tangga perikanan saat ini dengan tahun sebelumnya. Bila aset
produktif dari rumah tangga nelayan bertambah maka diberi nilai tinggi dan
sebaliknya. Aset produkstif merupakan aset rumah tangga yang digunakan untuk
kegiatan penangkapan ikan, budidaya ikan, pengolahan ikan, atau perdagangan
ikan, bahkan kegiatan ekonomi lainnya

seperti pertanian.

Pengukuran

54
kepemilikan aset ini bertujuan untuk melihat kemampuan rumah tangga
nelayan dalam meningkatkan usaha ekonominya (Modul EAFM, 2012).
Data penelitian menunjukkan 15,15% responden menyatakan bahwa
terjadi penambahan aset produktif berupa mesin dan alat tangkap, sementara
84,85% menyatakan tidak terjadi pertambahan (tetap) aset produktif yang
mendukung pekerjaan sebagai nelayan dan bahkan menurun yang disebabkan oleh
besarnya biaya operasional ketika musim puncak. Aset produktif yang
teridentifikasi berupa alat tangkap, mesin perahu, armada penangkapan, lahan,
dan generator sedangkan aset non produktif berupa barang elektronik seperti TV,
sound system dan DVD/VCD player. Walaupun terjadi penurunan asset produktif,
50% responden masih memiliki aset non produktif. Priortas responden terhadap
asset non produktif masih lebih besar dibandingkan usaha produktif yang justru
dapat untuk mendukung usaha/mata pencaharian.
4.1.5.2 Indikator Nilai Tukar Nelayan
Indikator selanjutnya adalah Nilai Tukar Nelayan yang didefinsikan
sebagai rasio perbandingan antara pendapatan dengan pengeluaran rumah tangga
nelayan. Pengukuran nilai tukar ini bertujuan untuk melihat kemampuan
rumah tangga nelayan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan
primer (pangan) maupun kebutuhan sekunder (non pangan) (Modul EAFM,
2012).
Berdasarkan analisa survey diberikan status rendah, hal ini bukan
disebabkan karena pendapatan nelayan lebih kecil atau pengeluaran besar dari
pendapatan, namun tidak tersedia data nilai tukar nelayan dari Badan Pusat
Statistik Kabupaten Flores Timur, yang teridentifikasi adalah Nilai Tukar Petani.
Dengan ketiadaan data indikator NTN, kami menyarankan kepada kepada instansi
yang punya kompeten dalam hal ini BPS Kabupaten Alor, agar kedepannya data
menyangkut NTN perlu disiapkan, karena NTN merupakan salah satu indikator
untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan.

55
4.1.5.3 Indikator Pendapatan Rumah Tangga Perikanan
Pendapatan rumah tangga perikanan merupakan seluruh pendapatan
yang diterima rumah tangga nelayan, yang bersumber dari pendapatan kepala
rumah tangga serta anggota rumah tangga, baik yang berasal dari bidang
perikanan maupun di luar bidang perikanan. Ukuran pendapatan adalah
rupiah/kepala keluarga/bulan. Indikator pendapatan rumah tangga menggunakan
upah minimum regional (UMR) sehingga bila pendapatan rumah tangga sama
dengan UMR maka rumah tangga perikanan tersebut dapat dikatakan tidak miskin
(Modul EAFM, 2012).

Gambar 8. Pendapatan Nelayan Perikanan Pelagis per Jenis Alat Tangkap
Berdasarkan hasil analisa indikator

pendapatan rumah tangga (RTP)

dikabupaten Alor termasuk dalam kategori Baik. Gambar 8 menunjukkan bahwa
dari 8 jenis alat tangkap yang dianalisis pendapatan rumah tangga perikanan untuk
kategori perikanan pelagis, didapatkan nilai rata-rata terendah sebesar Rp.
802.365 per bulan untuk alat tangkap jaring insang dan tertinggi untuk alat
tangkap lampara sebesar Rp. 5.313.333/bulannya, dengan data ini menunjukkan
bahwa tingkat kesejahteraan nelayan pelagis di Kabupaten Alor sudah cukup baik
berdasarkan nilai UMR Provinsi NTT Rp. 825.000 pada tahun 2011.

56
Gambar 9. Pendapatan Nelayan Perikanan Demersal per Jenis Alat Tangkap
Berbeda halnya dengan pendapatan nelayan ikan demersal seperti
ditunjukan pada Gambar 9, dari 4 jenis alat tangkap yaitu bubu, jarring insang,
pancing dan senapan didapatkan nilai rata-rata terendah sebesar Rp. 309.524 per
bulan untuk alat tangkap bubu dan tertinggi untuk alat tangkap pancing sebesar
Rp. 659.231 per bulannya, dengan data ini menunjukkan bahwa tingkat
kesejahteraan nelayan perikanan demersal dengan 4 alat tangkat tersebut masih
rendah karena kisaran nilai RTP perikanan demersal masih dibawah nilai UMR
Provinsi NTT.
Penyebab dan solusinya apa?
Kebijakan yang dapat mendukung peningkatan pedapatan nelayan
demersal adalah peningkatan harga jual perikanan demersal.
4.1.5.4 Indikator Rasio Tabungan atau Saving Ratio
Rasio tabungan atau saving ratio (SR) merupakan rasio perbandingan
antara selisih pendapatan dan pengeluaran rumah tangga nelayan dengan
pendapatannya. Pengukuran rasio tabungan (SR) ini bertujuan untuk melihat
potensi rumah tangga nelayan dalam menyimpan kelebihan pendapatannya
(Modul EAFM, 2012)

57
Berdasarkan hasil analisa pada indikator saving rate pada nelayan pelagis
dan demersal diberikan status buruk, kecuali nelayan dengan alat tangkap
Lampara dan Jala Lompo. Data penelitian menunjukkan nilai tertinggi saving
ratio pada alat tangkap Lampara sebesar Rp. 3.463.333 dan terendah pada alat
tangkap Pukat pantai yang mendapatkan nilai minus (Gambar 10). Data ini
memberikan gambaran bahwa nelayan di Kabupaten Alor pada umumnya sulit
untuk menabung, pengelolaan keuangan rumah tangga kurang berjalan dengan
baik dengan ditunjukan bahwa tingkat pengeluaran nelayan jauh lebih besar
dibandingkan pendapatan disektor perikanan. Pada alat tangkap pukat pantai,
lebih didominasi terhadap nelayan sambilan, sehingga pendapatan rumah tangga
lebih didominasi diluar sektor perikanan. Namun disisi lain, banyak responden
juga tidak memberikan informasi yang sesuai. terkait pengeluaran rumah tangga
dan penghasilan tambahan dari rumah tangga perikanan tersebut. Sehingga
pendataan perekonomian yang lebih detail perlu dikaji lebih lanjut.

Gambar 10. Saving Ratio Perikanan Pelagis per Jenis Alat Tangkap

58
Gambar 11. Saving Ratio Perikanan Demersal per Jenis Alat Tangkap
Untuk saving ratio perikanan demersal (Gambar 11) juga menunjukkan
pola yang hampir sama dengan perikanan pelagis, dimana alat tangkap bubu,
pancing dan senapan mendapatkan nilai minus. Hal ini disebabkan juga responden
tidak memberikan informasi yang sesuai. Perlunya survey terkait tingkat
menabung nelayan perlu dikaji lebih lanjut

Gambar 12. Agregat Domain Ekonomi
Berdasarkan perhitungan komposit yang ditunjukan pada gambar 12.
Secara keseluruhan domain ekonomi di Kabupaten Alor diberikan status buruk
dengan nilai komposit 100 dari nilai komposit total sebesar 300. Hal ini

59
dikarenakan 4 indikator yang diuji/dianalisis semua indikator dibawah standar
kriteria.
Kajian lebih lanjut terkait tingkat menabung nelayan masih perlu
dilakukan, dikarenakan Rasio tingkat menabung atau Saving Rate merupakan
salah satu indikator kesejahteraan masyarakat nelayan. Memberikan pemahaman
terhadap

management

ekonomi

rumah

tangga

dengan

memprioritaskan

pengeluaran produktif, pendidikan, dan kesehatan dapat menata kembali
kesejahteraan masyarakat nelayan di Alor dengan tingkat pendapatannya yang
cukup sederhana.
Sektor pariwisata merupakan salah satu solusi non ekstraktif terhadap
peningkatan pendapatan nelayan disekitar wilayah zona pemanfaatan pariwisata
yang telah diatur. Menjaga kondisi terumbu karang tetap sehat dan mengurangi
ancaman terhadap mamalia laut dan jenis ikan-ikan besar yang menarik untuk
sector pariwisata akan mendatangkan pendapatan secara berkelanjutan.

60
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor
Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt?

Pengantar pedoman umum RBFM di kawasan konservasi perairan
Pengantar pedoman umum RBFM di kawasan konservasi perairanPengantar pedoman umum RBFM di kawasan konservasi perairan
Pengantar pedoman umum RBFM di kawasan konservasi perairanDidi Sadili
 
SNI Benih Nila SNI 6140-2009
SNI Benih Nila SNI 6140-2009SNI Benih Nila SNI 6140-2009
SNI Benih Nila SNI 6140-2009Lutfi Adam
 
bahan baku pakan
bahan baku pakanbahan baku pakan
bahan baku pakanpoiuytrew
 
Pim1221 2 sejarah menangkap ikan
Pim1221 2 sejarah menangkap ikanPim1221 2 sejarah menangkap ikan
Pim1221 2 sejarah menangkap ikanPT. SASA
 
Uu no. 45 tahun 2009 ttg perikanan
Uu no. 45 tahun 2009 ttg perikananUu no. 45 tahun 2009 ttg perikanan
Uu no. 45 tahun 2009 ttg perikananSei Enim
 
Penyuluhan perikanan &amp; kelautan (ppk) minggu ke 2 dan 3
Penyuluhan perikanan &amp; kelautan (ppk) minggu ke 2 dan 3Penyuluhan perikanan &amp; kelautan (ppk) minggu ke 2 dan 3
Penyuluhan perikanan &amp; kelautan (ppk) minggu ke 2 dan 3Syawalina Soerbakti
 
Dasar Dasar Budaya Perairan
Dasar Dasar Budaya PerairanDasar Dasar Budaya Perairan
Dasar Dasar Budaya PerairanlombkTBK
 
Budidaya udang vannamei
Budidaya udang vannameiBudidaya udang vannamei
Budidaya udang vannameiHanapi Suteja
 
15. budidaya udang di tambak
15. budidaya udang di tambak15. budidaya udang di tambak
15. budidaya udang di tambakPutra putra
 
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan - Presentasi Kelas XI IPS 1 - SMA Mardi Walu...
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan - Presentasi Kelas XI IPS 1 - SMA Mardi Walu...Pengelolaan Sumberdaya Perikanan - Presentasi Kelas XI IPS 1 - SMA Mardi Walu...
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan - Presentasi Kelas XI IPS 1 - SMA Mardi Walu...Cahya Panduputra
 
ANALISIS PENGARUH MOTIVASI DAN PELATIHAN TERHADAP KINERJA KARYAWAN DIVISI SAL...
ANALISIS PENGARUH MOTIVASI DAN PELATIHAN TERHADAP KINERJA KARYAWAN DIVISI SAL...ANALISIS PENGARUH MOTIVASI DAN PELATIHAN TERHADAP KINERJA KARYAWAN DIVISI SAL...
ANALISIS PENGARUH MOTIVASI DAN PELATIHAN TERHADAP KINERJA KARYAWAN DIVISI SAL...Uofa_Unsada
 
Jenis jasa ekosistem
Jenis jasa ekosistemJenis jasa ekosistem
Jenis jasa ekosistemNur Baqin
 
Perlindungan dan Pelestarian Jenis Ikan Terancam Punah (penyu, hiu, pari, dan...
Perlindungan dan Pelestarian Jenis Ikan Terancam Punah (penyu, hiu, pari, dan...Perlindungan dan Pelestarian Jenis Ikan Terancam Punah (penyu, hiu, pari, dan...
Perlindungan dan Pelestarian Jenis Ikan Terancam Punah (penyu, hiu, pari, dan...Didi Sadili
 

Was ist angesagt? (20)

Pengantar pedoman umum RBFM di kawasan konservasi perairan
Pengantar pedoman umum RBFM di kawasan konservasi perairanPengantar pedoman umum RBFM di kawasan konservasi perairan
Pengantar pedoman umum RBFM di kawasan konservasi perairan
 
SNI Benih Nila SNI 6140-2009
SNI Benih Nila SNI 6140-2009SNI Benih Nila SNI 6140-2009
SNI Benih Nila SNI 6140-2009
 
bahan baku pakan
bahan baku pakanbahan baku pakan
bahan baku pakan
 
Pim1221 2 sejarah menangkap ikan
Pim1221 2 sejarah menangkap ikanPim1221 2 sejarah menangkap ikan
Pim1221 2 sejarah menangkap ikan
 
Uu no. 45 tahun 2009 ttg perikanan
Uu no. 45 tahun 2009 ttg perikananUu no. 45 tahun 2009 ttg perikanan
Uu no. 45 tahun 2009 ttg perikanan
 
Penyuluhan perikanan &amp; kelautan (ppk) minggu ke 2 dan 3
Penyuluhan perikanan &amp; kelautan (ppk) minggu ke 2 dan 3Penyuluhan perikanan &amp; kelautan (ppk) minggu ke 2 dan 3
Penyuluhan perikanan &amp; kelautan (ppk) minggu ke 2 dan 3
 
Sistem perikanan tangkap
Sistem perikanan tangkapSistem perikanan tangkap
Sistem perikanan tangkap
 
Dasar Dasar Budaya Perairan
Dasar Dasar Budaya PerairanDasar Dasar Budaya Perairan
Dasar Dasar Budaya Perairan
 
Budidaya udang vannamei
Budidaya udang vannameiBudidaya udang vannamei
Budidaya udang vannamei
 
Slide Seminar Hasil
Slide Seminar HasilSlide Seminar Hasil
Slide Seminar Hasil
 
15. budidaya udang di tambak
15. budidaya udang di tambak15. budidaya udang di tambak
15. budidaya udang di tambak
 
Amdal
AmdalAmdal
Amdal
 
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan - Presentasi Kelas XI IPS 1 - SMA Mardi Walu...
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan - Presentasi Kelas XI IPS 1 - SMA Mardi Walu...Pengelolaan Sumberdaya Perikanan - Presentasi Kelas XI IPS 1 - SMA Mardi Walu...
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan - Presentasi Kelas XI IPS 1 - SMA Mardi Walu...
 
Slide Ujian Skripsi
Slide Ujian SkripsiSlide Ujian Skripsi
Slide Ujian Skripsi
 
21. penangkapan
21.  penangkapan21.  penangkapan
21. penangkapan
 
ANALISIS PENGARUH MOTIVASI DAN PELATIHAN TERHADAP KINERJA KARYAWAN DIVISI SAL...
ANALISIS PENGARUH MOTIVASI DAN PELATIHAN TERHADAP KINERJA KARYAWAN DIVISI SAL...ANALISIS PENGARUH MOTIVASI DAN PELATIHAN TERHADAP KINERJA KARYAWAN DIVISI SAL...
ANALISIS PENGARUH MOTIVASI DAN PELATIHAN TERHADAP KINERJA KARYAWAN DIVISI SAL...
 
7. teknologi biofloc
7. teknologi biofloc7. teknologi biofloc
7. teknologi biofloc
 
Kebutuhan energi 2
Kebutuhan energi 2Kebutuhan energi 2
Kebutuhan energi 2
 
Jenis jasa ekosistem
Jenis jasa ekosistemJenis jasa ekosistem
Jenis jasa ekosistem
 
Perlindungan dan Pelestarian Jenis Ikan Terancam Punah (penyu, hiu, pari, dan...
Perlindungan dan Pelestarian Jenis Ikan Terancam Punah (penyu, hiu, pari, dan...Perlindungan dan Pelestarian Jenis Ikan Terancam Punah (penyu, hiu, pari, dan...
Perlindungan dan Pelestarian Jenis Ikan Terancam Punah (penyu, hiu, pari, dan...
 

Ähnlich wie Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor

Lap. industri jasa kelautan pdf
Lap. industri jasa kelautan pdfLap. industri jasa kelautan pdf
Lap. industri jasa kelautan pdfrozidagual
 
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdfEkonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdfismunandarsaebani1
 
Budidaya rumputlauttaliletakdasar
Budidaya rumputlauttaliletakdasarBudidaya rumputlauttaliletakdasar
Budidaya rumputlauttaliletakdasarDuwi Yahya
 
Teknologi penangkapan ikan
Teknologi penangkapan ikanTeknologi penangkapan ikan
Teknologi penangkapan ikanshihatin
 
Kelautan dan perikanan dalam angka 2009
Kelautan dan perikanan dalam angka 2009Kelautan dan perikanan dalam angka 2009
Kelautan dan perikanan dalam angka 2009People Power
 
Praktek Kerja Lapang pada Usaha Pembesaran Ikan Nila (Oreochromis niloticus) ...
Praktek Kerja Lapang pada Usaha Pembesaran Ikan Nila (Oreochromis niloticus) ...Praktek Kerja Lapang pada Usaha Pembesaran Ikan Nila (Oreochromis niloticus) ...
Praktek Kerja Lapang pada Usaha Pembesaran Ikan Nila (Oreochromis niloticus) ...Fathur Fathur
 
3839-Article Text-13812-1-10-20210630.pdf
3839-Article Text-13812-1-10-20210630.pdf3839-Article Text-13812-1-10-20210630.pdf
3839-Article Text-13812-1-10-20210630.pdfnrwahyudi77
 
Pesisir 9 PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR
Pesisir 9 PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIRPesisir 9 PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR
Pesisir 9 PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIRsuningterusberkarya
 
ENG_Indonesia Blue Economy Roadmap_ebook_ISBN[001-076].en.id.pdf
ENG_Indonesia Blue Economy Roadmap_ebook_ISBN[001-076].en.id.pdfENG_Indonesia Blue Economy Roadmap_ebook_ISBN[001-076].en.id.pdf
ENG_Indonesia Blue Economy Roadmap_ebook_ISBN[001-076].en.id.pdfAndriWibisonoSHMSi
 
SUMBERDAYA IKAN HIAS EKSOTIS INJEL NAPOLEON Pocanthus xanthometopon (4)-dikom...
SUMBERDAYA IKAN HIAS EKSOTIS INJEL NAPOLEON Pocanthus xanthometopon (4)-dikom...SUMBERDAYA IKAN HIAS EKSOTIS INJEL NAPOLEON Pocanthus xanthometopon (4)-dikom...
SUMBERDAYA IKAN HIAS EKSOTIS INJEL NAPOLEON Pocanthus xanthometopon (4)-dikom...maulikasmi
 
MAKALAH WIRAUSAHA BUDIDAYA PEMBENIHAN IKAN HIAS.docx
MAKALAH WIRAUSAHA BUDIDAYA PEMBENIHAN IKAN HIAS.docxMAKALAH WIRAUSAHA BUDIDAYA PEMBENIHAN IKAN HIAS.docx
MAKALAH WIRAUSAHA BUDIDAYA PEMBENIHAN IKAN HIAS.docxShelsyalesiyah2906
 
Makalah Rizky Juanda.Pdf
Makalah Rizky Juanda.PdfMakalah Rizky Juanda.Pdf
Makalah Rizky Juanda.PdfSyahdikin20
 
Selayang pandang bpa 2010
Selayang pandang bpa 2010Selayang pandang bpa 2010
Selayang pandang bpa 2010BPA_ADMIN
 
Profile Identification of Scallop Producers in Batang Regency, Central Java
Profile Identification of Scallop Producers in Batang Regency, Central JavaProfile Identification of Scallop Producers in Batang Regency, Central Java
Profile Identification of Scallop Producers in Batang Regency, Central Javalala firdaus
 
Bab iibalai besar pengembangan dan budi daya laut
Bab iibalai besar pengembangan dan budi daya lautBab iibalai besar pengembangan dan budi daya laut
Bab iibalai besar pengembangan dan budi daya lautRohman Efendi
 
Budidaya ikankerapudengankerambajaringapungkonvensi
Budidaya ikankerapudengankerambajaringapungkonvensiBudidaya ikankerapudengankerambajaringapungkonvensi
Budidaya ikankerapudengankerambajaringapungkonvensiNus Leftungun
 

Ähnlich wie Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor (20)

1 ikan-mas
1 ikan-mas1 ikan-mas
1 ikan-mas
 
Lap. industri jasa kelautan pdf
Lap. industri jasa kelautan pdfLap. industri jasa kelautan pdf
Lap. industri jasa kelautan pdf
 
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdfEkonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
Ekonomi_Biru_Sumber_Daya_Pesisir.pdf
 
Budidaya rumputlauttaliletakdasar
Budidaya rumputlauttaliletakdasarBudidaya rumputlauttaliletakdasar
Budidaya rumputlauttaliletakdasar
 
Teknologi penangkapan ikan
Teknologi penangkapan ikanTeknologi penangkapan ikan
Teknologi penangkapan ikan
 
Pikp modul06-ss perik tangkap
Pikp modul06-ss perik tangkapPikp modul06-ss perik tangkap
Pikp modul06-ss perik tangkap
 
Kelautan dan perikanan dalam angka 2009
Kelautan dan perikanan dalam angka 2009Kelautan dan perikanan dalam angka 2009
Kelautan dan perikanan dalam angka 2009
 
Luht4335 m1
Luht4335 m1Luht4335 m1
Luht4335 m1
 
Praktek Kerja Lapang pada Usaha Pembesaran Ikan Nila (Oreochromis niloticus) ...
Praktek Kerja Lapang pada Usaha Pembesaran Ikan Nila (Oreochromis niloticus) ...Praktek Kerja Lapang pada Usaha Pembesaran Ikan Nila (Oreochromis niloticus) ...
Praktek Kerja Lapang pada Usaha Pembesaran Ikan Nila (Oreochromis niloticus) ...
 
3839-Article Text-13812-1-10-20210630.pdf
3839-Article Text-13812-1-10-20210630.pdf3839-Article Text-13812-1-10-20210630.pdf
3839-Article Text-13812-1-10-20210630.pdf
 
Pesisir 9 PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR
Pesisir 9 PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIRPesisir 9 PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR
Pesisir 9 PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR
 
ENG_Indonesia Blue Economy Roadmap_ebook_ISBN[001-076].en.id.pdf
ENG_Indonesia Blue Economy Roadmap_ebook_ISBN[001-076].en.id.pdfENG_Indonesia Blue Economy Roadmap_ebook_ISBN[001-076].en.id.pdf
ENG_Indonesia Blue Economy Roadmap_ebook_ISBN[001-076].en.id.pdf
 
SUMBERDAYA IKAN HIAS EKSOTIS INJEL NAPOLEON Pocanthus xanthometopon (4)-dikom...
SUMBERDAYA IKAN HIAS EKSOTIS INJEL NAPOLEON Pocanthus xanthometopon (4)-dikom...SUMBERDAYA IKAN HIAS EKSOTIS INJEL NAPOLEON Pocanthus xanthometopon (4)-dikom...
SUMBERDAYA IKAN HIAS EKSOTIS INJEL NAPOLEON Pocanthus xanthometopon (4)-dikom...
 
MAKALAH WIRAUSAHA BUDIDAYA PEMBENIHAN IKAN HIAS.docx
MAKALAH WIRAUSAHA BUDIDAYA PEMBENIHAN IKAN HIAS.docxMAKALAH WIRAUSAHA BUDIDAYA PEMBENIHAN IKAN HIAS.docx
MAKALAH WIRAUSAHA BUDIDAYA PEMBENIHAN IKAN HIAS.docx
 
Makalah Rizky Juanda.Pdf
Makalah Rizky Juanda.PdfMakalah Rizky Juanda.Pdf
Makalah Rizky Juanda.Pdf
 
Selayang pandang bpa 2010
Selayang pandang bpa 2010Selayang pandang bpa 2010
Selayang pandang bpa 2010
 
Profile Identification of Scallop Producers in Batang Regency, Central Java
Profile Identification of Scallop Producers in Batang Regency, Central JavaProfile Identification of Scallop Producers in Batang Regency, Central Java
Profile Identification of Scallop Producers in Batang Regency, Central Java
 
Bab iibalai besar pengembangan dan budi daya laut
Bab iibalai besar pengembangan dan budi daya lautBab iibalai besar pengembangan dan budi daya laut
Bab iibalai besar pengembangan dan budi daya laut
 
Mmpi5203 m1
Mmpi5203 m1Mmpi5203 m1
Mmpi5203 m1
 
Budidaya ikankerapudengankerambajaringapungkonvensi
Budidaya ikankerapudengankerambajaringapungkonvensiBudidaya ikankerapudengankerambajaringapungkonvensi
Budidaya ikankerapudengankerambajaringapungkonvensi
 

Penilaian Performa Perikanan Kabupaten Alor

  • 1. Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM (Ecosystem Approach to Fisheries Management) Kajian pada perikanan di Wilayah Kabupaten Alor Disusun Oleh : • Donny M Bessie - FPIK Universitas Kristen Arta Wacana Kupang • Dwi Ariyogagautama - WWF-Indonesia Juni 2012 1
  • 2. DAFTAR ISI Daftar Isi............................................................................................................................2 Daftar Tabel.....................................................................................................................................3 Daftar Gambar.................................................................................................................................4 Kata Pengantar.................................................................................................................................5 BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................................................6 1.1 Latar Belakang......................................................................................................6 1.2 Tujuan dan Manfaat Studi....................................................................................9 BAB II. SEKILAS KONDISI PERIKANAN.........................................................................................10 2.1. Perikanan Berbasis Wilayah Kabupaten Alor...................................................10 2.1.1 Aspek Geografi dan Demografi Kabupaten Alor...........................................10 2.1.2. Statistik Perikanan Kabupaten Alor..........................................................................11 3.1. Pengumpulan Data.............................................................................................13 2.2. Analisa Komposit..............................................................................................14 Lampiran 1. Kuesioner Perikanan Karang dan Pelagis...............................................................80 Interviewer : ……………………. Tanggal : ……………………. ............92 2
  • 3. DAFTAR TABEL Tabel 1. Estimasi potensi sumberdaya ikan pada WPP 573, WPP 713 & WPP 714... 7 Tabel 2. Status tingkat pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Perairan ...................... 8 Tabel 3. Komposisi Alat Tangkap di Kabupaten Alor............................................ 12 Tabel 4. Lokasi Pengambilan Data Survey EAFM................................................. 14 Tabel 5. Penggolongan Nilai Indeks Komposit dan Visualisasi Model Bendera.... 15 Tabel 6. Analisis Komposit Domain Sumberdaya Ikan.......................................... 16 Tabel 7. Analisis Komposit Domain Habitat dan Ekosistem.................................. 25 Tabel 8. Analisis Komposit Domain Teknis Penangkapan Ikan ............................ 37 Tabel 9. Analisis Komposit Domain Sosial............................................................ . 45 Tabel 10. Analisis Komposit Domain Ekonomi........................................................ 50 Tabel 11. Analisis Komposit Domain Kelembagaan................................................. 57 Tabel 12. Status dan Performa Sumberdaya Perikanan di Kabupaten Alor……….. 65 Tabel 13. Elemen Dasar Rencana Pengelolaan Perikanan......................................... 67 3
  • 4. DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan................................................. 6 Gambar 2. Peta Kabupaten Alor........................................................................... 11 Gambar 3. Grafik CPUE Kabupaten Alor peridoe 2006 – 2010.......................... 19 Gambar 4. Agregat Domain Sumberdaya Ikan.................................................... 24 Gambar 5. Agregat Domain Habitat dan Ekosistem............................................ 35 Gambar 6. Agregat Domain Teknis Penangkapan Ikan....................................... 44 Gambar 7. Agregat Domain Sosial....................................................................... 48 Gambar 8. Pendapatan Nelayan Perikanan Pelagis per Jenis Alat Tangkap........ 52 Gambar 9. Pendapatan Nelayan Perikanan Demersal per Jenis Alat Tangkap.... 53 Gambar 10. Saving Ratio Perikanan Pelagis per Jenis Alat Tangkap.................... 54 Gambar 11. Saving Ratio Perikanan Demersal per Jenis Alat Tangkap................ 55 Gambar 12. Agregat Domain Ekonomi.................................................................. 55 Gambar 13. Agregat Domain Kelembagaan.......................................................... 64 4
  • 5. KATA PENGANTAR Pengelolaan perikanan merupakan sebuah kewajiban seperti yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang No. 31 tahun 2004 yang ditegaskan kembali pada perbaikan undang-undang tersebut yaitu pada Undang-Undang No 45 tahun 2009. Secara alamiah, pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu (1) dimensi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri. Dalam konteks ini lah, pendekatan terintegrasi melalui pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan perikanan (ecosystem approach to fisheries management, selanjutnya disingkat EAFM) menjadi sangat penting. Kabupaten Alor sebagai salah satu kabupaten perikanan terbesar di Nusa Tenggara Timur memiliki potensi sumberdaya perikanan ekonomis yang menjanjikan disepanjang perairan Alor seluas 10.773,62 km² telah menopang perekonomian daerah. Kebijakan yang berdampak berkelanjutannya sektor kelautan dan perikanan sudah menjadi urgensi dalam setiap sendi kebijakan daerah. Melalui kajian EAFM yang bersifat komprehensif, meliputi domain Sumberdaya ikan, Teknologi Penangkapan, Habitat dan ekosistem, Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan diharapkan dapat menggambarkan performa pengelolaan perikanan berbasis ekosistem yang diterapkan di kabupaten Alor. Laporan Kajian EAFM ini dapat dijadikan salah satu acuan sebagai dasar pembuatan perencanaan pengelolaan perikanan berbasis ekosistem di kabupaten Alor agar lebih efisien dan terfokus. Demikian laporan ini dibuat, semoga dapat bermanfaat bagi sebesar-besarnya bagi pengembangan sector kelautan dan perikanan di Kabupaten Alor secara berkelanjutan dan bertanggungjawab. Kalabahi, Juli 2012 Tim Penyusun 5
  • 6. BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang beragam dan melimpah pada lautnya yang mencapai luas sekitar 5,8 juta km2. Estimasi potensi sumberdaya perikanan laut di Indonesia diperkirakan oleh kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2011 sebesar 6.520.300 ton/tahun. Potensi tersebut terdiri atas 55,9% dari perikanan pelagis kecil,22,3% berasal dari perikanan demersal, 17,6% perikanan pelagis besar, 2,2% perikanan ikan karang konsumsi, 1,5% bersumber dari udang Penaeid, 0,4% berasal dari cumi-cumi dan 0,1% berasal dari lobster. Besarnya potensi perikanan yang tersebar di perairan Indonesia, membuat KKP membagi perairan di Indonesia menjadi 11 bagian yang sering disebut dengan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), hal ini dilakukan untuk mengefesiensikan pengelolaan perikanan yang ada. Perhitungan estimasi potensi perikanan, pengkajian stock assesment hingga kebijakan perikanan selalu berdasarkan 11 WPP tersebut. Berikut pembagian WPP di Indonesia : Gambar 1. Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan (KepMen No, 45 tahun 2011) 6
  • 7. Berdasarkan Kepmen KP 45 Tahun 2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) bersinggungan dengan 3 WPP yang ada, dengan potensi sumberdaya ikan sebesar 26,1% dari total 1.699,4 Ton pertahunnnya, yang daerah itu berada di WPP 573 mulai dari Perairan Samudera Hindia bagian selatan Jawa hingga Nusa Tenggara, Laut Sawu dan Laut Timor bagian barat, WPP 713 yaitu dari Perairan Selat Makasar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Bali dan WPP 714 yaitu Perairan Teluk Tolo dan Laut Banda. Sedangkan Kabupaten Flores Timur, Lembata dan Alor termasuk dalam 2 WPP yaitu WPP 573 dan WPP 714. Tabel 1. Estimasi potensi sumberdaya ikan pada WPP 573, WPP 713 dan WPP 714 (KepMen 45 tahun 2011) Kelompok Sumberdaya Ikan Ikan Pelagis Besar Ikan Pelagis Kecil Ikan Demersal Udang Penaeid Ikan Karang konsumsi Lobster Cumi-Cumi Total Potensi (1.000 ton/tahun) Samudera Hindia (WPP 573) 201,4 210,6 66,2 5,9 4,5 1,0 2,1 491,7 Selat MakasarLaut Flores (WPP 713) 193,6 605,4 87,2 4,8 34,1 0,7 3,9 929,7 Laut Banda (WPP 714) 104,1 132,0 9,3 32,1 0,4 0,1 278,0 Total 499,1 948 162,7 10,7 70,7 2,1 6,1 1.699,4 Melalui Kepmen ini, KKP juga sudah mengestimasi besaran pemanfaatan perikanan berdasarkan WPP yang ada. Pendugaan status pemanfaatan perikanan tersebut digolongkan menjadi 4 bagian yaitu Over exploited (O), Fully exploited (F), Moderate (M), dan Moderate to Exploited (M-F). 7
  • 8. Tabel 2. Status tingkat pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Perairan Indonesia (KepMen 45 tahun 2011) Namun dalam assessment potensial (KepMen 45 tahun 2011 ) oleh KKP ini, yang dilakukan hanya mempertimbangkan kondisi pemanfaatan perikanannya saja, sedangkan aspek ekosistem, aspek sosek dan kelembagaan masih belum terkaji dalam format yang baku. Untuk itu sejak tahun 2010 hingga saat ini WWF Indonesia dalam hal ini berinisiasi dalam memfasilitasi pembuatan Indikator pengelolaan perikanan yang berbasis ekosistem bersama Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementrian Kelautan dan Perikanan dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) dengan konsep tersebut dinamakan Ecosystem Approach for Fisheries Management (EAFM).EAFM merupakan indikator asessment perikanan yang akan dilakukan bertahap di masing-masing WPP yang ada di Indonesia. Kabupaten Flores Timur, Lembata dan Alor yang merupakan kabupaten kepulauan yang memiliki 2 WPP yaitu WPP 573 dan 714. Pendataan di kedua kabupaten ini penting dilakukan mengingat semakin meningkatnya permintaan pasar akan produk perikanan diwilayah timur Indonesia termasuk ketiga kabupaten ini. Tanpa diimbangi oleh pendataan dari sisi ekosistem, sosek, teknik penangkapan yang ada dan 8
  • 9. kelembagaan yang tergabung dalam EAFM sebagai dasar pengelolaan perikanan tentunya hal ini akan berdampak semakin tidak terarahnya kebijakan perikanan dalam mendukung perikanan yang berkelanjutan dalam meningkatkan perekonomian kabupaten. Melalui pendataan perikanan berdasarkan indikator EAFM ini, diharapkan dapat menjadi baseline data bagi pemerintah baik itu di KKP pusat dan Pemerintah masingmasing kabupaten dan akan menjadi data pendukung untuk dalam pembentukan kawasan konservasi dan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) masing-masing kabupaten, untuk mendukung kesejahteraan masyarakat pesisir dan sekitarnya. 1.2 Tujuan dan Manfaat Studi Kegiatan ini memiliki tujuan,antara lain : 1. Mengumpulkan data indikator EAFM di kabupaten Alor 2. Pembaharuan pemetaan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut 3. Mengumpulkan data dasar perikanan didesa yang memiliki aktivitas perikanan yang tinggi. (Perikanan pelagis besar, pelagis kecil dan demersal). 9
  • 10. BAB II. SEKILAS KONDISI PERIKANAN 2.1. Perikanan Berbasis Wilayah Kabupaten Alor 2.1.1 Aspek Geografi dan Demografi Kabupaten Alor Kabupaten Alor merupakan kabupaten kepulauan yang terdiri atas 15 pulau 10 pulau berpenghuni dan 5 pulau tidak dihuni.Secara geografis daerah ini terletak di bagian utara dan paling timur dari wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur pada: Lintang Selatan8º6’ LS - 8º36’ LS dan Bujur Timur 123º48’ BT - 25º48’ BT dengan batas-batas sebagai berikut: Utara berbatasan dengan Laut Flores, Selatan berbatasan dengan Selat Ombay dan Timor Leste, Timur berbatasan dengan pulau-pulau Maluku, dan bagian barat berbatasan dengan Selat Lomlen (Lembata). Kabupaten Alor memiliki luas wilayah sebesar. 13.638,26 Km2 yang terdiri dari luas wilayah daratan 2.864,64 km2 (21%) dan luas wilayah perairan 10.773,62 km2 (79 %) dengan panjang garis pantai sepanjang 287,10 km. Semenjak tahun 2009, melalui Peraturan Bupati Nomor 6 Tahun 2009 kabupaten Alor telah menetapkan pencadangan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKPD). sebesar 400.083 ha atau sebesar 37,14% dari luas wilayah perairan kabupaten Alor yang merupakan perluasan dari kawasan konservasi laut daerah Selat Pantar. Secara administratif pemerintahan Kabupaten Alor terdiri dari 17 (Tujuh Belas) kecamatan yang terdiri atas 175 desa. Dari 175 desa/kelurahan jumlah desa pesisir sebanyak 104 desa/kelurahan (59,43%) dan jumlah desa yang bukan tipologi desa pesisir sebanyak 71 desa (40,57%). Secara potensi biodiversitas di Kabupaten Alor memiliki 16 jenis bakau dari 11 famili dengan luasan 678,65 ha disepanjang pesisir, sedangkan jenis lamun yang ditemukan sebanyak 7 jenis dengan luasan padang lamun sebesar649.37 Ha. Tutupan karang hidup di kabupaten Alor secara umum 34,95% yang artinya termasuk dalam kondisi Sedang, jenis karang batu yang tercatat sebanyak 345 jenis dari 19 suku/famili dengan luasan sebesar 3,011.31 ha dan sedangkan ikan karang yang tercatat sebanyak 275 jenis yang termasuk dalam 19 suku (WWF, 2009). 10
  • 11. Gambar 2. Peta Kabupaten Alor (Bappeda Kabupaten Alor, 2011) 2.1.2. Statistik Perikanan Kabupaten Alor Penduduk Kabupaten Alor sampai pada tahun 2010 berjumlah 181.913 jiwa dan jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 41.052, dengan tingkat kepadatan rumah tangga sebesar 64 dan penduduk sebesar 64 jiwa/km 2. Dari jumlah tersebut penduduk berjenis kelamin laki-laki sebanyak 90.889 jiwa (49,96%) dan perempuan sebanyak 91.024 jiwa (50,04 %). Kecamatan Teluk Mutiara memiliki jumlah penduduk paling banyak yakni 45.413 (24,96%) dengan tingkat kepadatan 690 jiwa/km 2, menyusul Kecamatan Alor Barat Daya sebanyak 20.590 jiwa (11,32%) dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi sebesar 47 jiwa/km2.(Alor dalam Angka, 2010) Dalam penangkapan ikan terdapat 646 nelayan yang tidak memiliki armada, sedangkan nelayan dengan armada tercatat sebanyak 3.768 armada, 65,4% (2.465 armada) menggunakansampan, 23% (866 armada)adalah perahu papan, 7,2%(271 armada) menggunakan motor tempel, dan 4,4%(166 armada merupakan kapal motor. (Alor dalam Angka, 2010) Terdapat 8 golongan Alat tangkap yang digunakan di Kabupaten Alor dengan jumlah sebanyak6.44 6buah/set. Berikut tabel jumlah alat tangkap yang ditemukan di Kabupaten Alor: 11
  • 12. Tabel 5. Alat Tangkap di Kabupaten Alor ( Data Statistik Perikanan Tangkap Provonsi NTT, 2008) No 1 2 3 4 5 6 7 8 Alat Tangkap Jumlah Pesentase (%) Payang/Lampara Pukat Pantai Jaring Insang Bubu Bagan Pancing Tonda Pancing Lainnya Alat Lainnya 38 3 1.205 692 13 174 2.493 1.828 0,59 0,05 18,69 10,74 0,20 2,70 38,68 28,36 12
  • 13. BAB III METODE PENILAIAN PERFORMA INDIKATOR EAFM 3.1. Pengumpulan Data Data yang dibutuhkan untuk Survey EAFM mencakup 6 Indikator, antara lain: Sumberdaya Ikan, Teknik Penangkapan, Habitat, Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan. Dalam pengumpulan data dibagi menjadi 2 proses yaitu melalui data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan denganpengambilan data yang dilakukan dengan metode interview dan observasi terarah secara kualitatif melalui kuesioner perikanan pelagis besar, pelagis kecil dan ikan karang (demersal) kepada responden rumah tangga perikanan. Interview akan dilakukan secara perorangan Penentuan responden berdasarkan pada hal-hal berikut ini : a. Nelayan yang telah memiliki pengalaman dalam bidang tersebut minimal 5 tahun (tentatif), diutamakan lebih dari 10 tahun. b. Bersedia diwawancarai. c. Dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu membuat cluster dari populasi berdasarkan kriteria Klasifikasi alat tangkap dan jenis armada d. Jumlah sampel tidak terikat, wawancara hanya menargetkan terpenuhinya semua informasi yang dibutuhkan. e. Perwakilan terhadap pemilik kapal yang mengoperasikan armada penangkapan, pemilik kapal yang tidak mengoperasikan kapal dan ABK Pengambilan data Sekunder dalam survey ini yaitu dengan observasi kajian ilmiah, dokumen laporan pemerintah dan Kebijakan nasional dan daerah yang mencakup pengelolaan wilayah pesisir dan laut di kabupaten Alor Dalam Metode penentuan lokasi, berdasarkan pada hal-hal berikut ini : a. Dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu membuat cluster dari populasi berdasarkan kriteria Jumlah RTP, Klasifikasi alat tangkap dan jenis armada b. Merupakan daerah yang dikelola dalam perrencanaan tata ruang wilayah atau zonasi 13
  • 14. Pemilihan lokasi pendataan perikanan dilakukan pada 3 jenis perikanan tangkap yang terdapat di kabupaten Alor, yaitu: perikanan Pelagis Besar (Tuna), Pelagis kecil dan Demersal (Ikan Karang). Desa yang teridentifikasi sebanyak 14 desa yang terbagi atas 7 Kecamatan di kabupaten Alor. Berikut lokasi survei yang teridentifikasi: Tabel 4. Lokasi Pengambilan Data Survey EAFM Kecamatan Desa No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Pantar Pantar Pantar Barat Laut Pantar Barat Laut Pantar Barat Laut Pantar Timur Pantar Barat Alor Barat Daya Alor Barat Daya Alor Barat Laut Alor Barat Laut Alor Barat Laut Kabola Kabola Kabir Bana Beangonong Khayang Marissa Treweng Blangmerang Pulau Pura Tribur Adang Alor Kecil Pulau Buaya Alila Timur Kabola 2.2. Analisa Komposit Domain Sumberdaya Ikan, Teknik Penangkapan Ikan, Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan yang terdapat pada kuesinoer (Terlampir) akan diberikan nilai berdasarkan status atau kondisi terkini pada saat kajian EAFM dilakukan. Penentuan nilai status untuk setiap indikator dalam domain habitat dilakukan dengan menggunakan pendekatan skoring yang sederhana, yakni memakai skor Likert berbasis ordinal 1,2,3. Semakin baik status indikator, maka semakin besar nilainya, sehingga berkontribusi besar terhadap capaian EAFM. Perkalian bobot dan nilai akan menghasilkan nilai indeks untuk indikator yang bersangkutan atau dengan rumusan: Nilai Indeks = Nilai Skor * 100 * Nilai Bobot. Nilai indeks dari indikator ini, nantinya akan dijumlahkan dengan nilai indeks dari indikator lainnya dalam setiap domain menjadi suatu nilai indeks komposit. Kemudian, nilai indeks komposit ini akan dikategorikan menjadi 5 penggolongan kriteria dan 14
  • 15. ditampilkan dengan menggunakan bentuk model bendera (flag model) seperti terlihat pada Tabel berikut ini: Tabel 5. Penggolongan Nilai Indeks Komposit dan Visualisasi Model Bendera Nilai Agregat Komposit 100-125 126-150 151-200 201-250 251-300 Model Bendera Deskripsi/Keterangan Buruk Kurang Sedang Baik Baik Sekali 15
  • 16. BAB IV ANALISIS TEMATIK WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN 4.1. Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan di Kabupaten Alor 4.1.1. Hasil Penilaian Per Indikator Pada Domain Sumberdaya Ikan Domain Sumberdaya ikan terdapat 6 indikator yang dikaji dalam penentuan status pada kondisi sumberdaya ikan, gambaran mengenai indikatorindikator yang termasuk dalam domain sumberdaya ikan berdasarkan hasil analisis EAFM ditampilkan dalam Tabel di bawah ini : Tabel 6. Analisis Komposit Domain Sumberdaya Ikan INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/ PENGUMPULA N Logbook, Enumerator, Observer SKOR BOBOT (%) NILAI 1 = menurun tajam 2 = menurun sedikit 3 = stabil atau meningkat 2 40 80 KRITERIA 1. CPUE Baku CPUE adalah hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan. Upaya penangkapan harus distandarisasi sehingga bisa menangkap tren perubahan upaya penangkapan. 2. Ukuran ikan - Panjang total - Panjang standar - Panjang karapas / sirip (minimum dan maximum size, modus) Interview, Sampling program secara reguler untuk LFA (Length Frequency Analysis) 1 = trend ukuran ratarata ikan yang ditangkap semakin kecil; 2 = trend ukuran relatif tetap; 3 = trend ukuran semakin besar 2 20 40 3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap Persentase ikan yang ditangkap sebelum mencapai umur dewasa (maturity). Interview, Sampling program secara reguler 1 = banyak sekali (> 60%) 2 = banyak (30 - 60%) 3 = sedikit (<30%) 1 15 15 16
  • 17. INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/ PENGUMPULA N Logbook, observasi, interview 4. Komposisi spesies Jenis target dan non-target (discard dan by catch) 5. Spesies ETP Populasi spesies ETP (Endangered species, Threatened species, and Protected species) sesuai dengan kriteria CITES Survey dan monitoring, logbook, observasi, interview 6. "Range Collapse" sumberdaya ikan SDI yang mengalami tekanan penangkapan akan "menyusut" biomassa-nya secara spasial sehingga semakin sulit / jauh untuk ditemukan/dicari. Survey dan monitoring, logbook, observasi, interview SKOR BOBOT (%) NILAI 1 = proporsi target lebih sedikit 2 = proporsi target sama dgn nontarget 3 = proporsi target lebih banyak 1= banyak tangkapan spesies ETP; 2= sedikit tangkapan spesies ETP; 3 = tidak ada spesies ETP yang tertangkap 1 = semakin sulit; 2 = relatif tetap; 3 = semakin mudah 3 10 30 1 5 5 3 10 30 1 = fishing ground menjadi sangat jauh 2= fishing ground jauh 3= fishing ground relatif tetap jaraknya 3 KRITERIA Agregat 200 4.1.1.1 Indikator CPUE Sesuai pada tabel indikator Catch Per Unit Effort (CPUE) Baku dalam domain Sumberdaya Ikan memiliki bobot terbesar dibandingkan indikator lainnya, yaitu disebut dengan killer indikator sebesar 40 point. Hal ini dikarenakan kuatnya hubungan antara CPUE dengan status biomass stock ikan, sehingga indicator ini banyak digunakan sebagai pengganti pada parameter biomasa, manakala data biomassa tidak tersedia (Modul EAFM, 2012). CPUE didefinisikan sebagai laju tangkap perikanan per tahun yang diperoleh dengan menggunakan data time series, minimal selama 5 tahun. 17
  • 18. Sedangkap effort atau upaya penangkapan ikan itu sendiri diartikan jumlah waktu yang dihabiskan untuk menangkap ikan di wilayah perairan tertentu. Tujuan perlunya menganalisa indikator ini adalah untuk mengetahui trend perubahan stock perikanan dari waktu ke waktu. Trend CPUE yang cenderung menurun, dapat dijadikan sebagai indikasi dampak negatif terhadap stok ikan atau bahkan kecenderungan overfishing. Oleh karena itu nilai CPUE tertinggi adalah ketika penangkapan ikan yang banyak namun tetap memberikan ruang ikan untuk bereproduksi dan berkembang untuk terus mendukung penangkapanyang lestari. Gambar 3. Grafik CPUE Kabupaten Alor peridoe 2006 – 2010 Berdasarkan analisa data statistik perikanan provinsi NTT selama 5 tahun (tahun 2006-2010) di kabupaten Alor bentuk grafik CPUE pada gambar no.3 menunjukkan tren kenaikan pada tahun 2006 sampai 2009, dan menurun nilainya pada tahun 2010. Dalam hasil wawancara dengan responden dalam kaitan dengan hasil tangkapan per unit usaha (CPUE), menunjukkan bahwa nelayan menyatakan telah terjadi penurunan hasil tangkap dalam 5 tahun terakhir, dimana 77,44% setuju jika hasil tangkapan berkurang, 18,80% tidak ada kendala dengan hasil tangkapannya, dan 3,76% responden menyatakan bahwa dalam 5 tahun terakhir terjadi kenaikan hasil tangkapan. Berdasarkan data CPUE dan persepsi responden terdapat perbedaan dalam kondisi produksi hasil tangkapan nelayan, hal ini disebabkan penurunan hasil tangkapan yang terjadi didominasi pada nelayan dengan alat tangkap pancing dan 18
  • 19. jaring insang pada perikanan demersal dan pelagis. Komoditi yang dianggap berkurang dalam kurun waktu 5 tahun (2007-2011) adalah kerapu, kakap pada perikanan demersal, dan pada perikanan pelagis adalah tuna, tongkol dan belobelo. Sedangkan berdasarkan data produksi kabupaten Alor cenderung meningkat dikarenakan oleh beberapa komoditi saja seperti Ikan Selar, Layang, dan tongkol dengan alat tangkap seperti Lampara dan Jala lompo. Peningkatan produksi tangkapan tiap tahun berdasarkan CPUE tidak menunjukan adanya peningkatan perekonomian nelayan secara umum, karena hanya terbatas pada pemilik modal atau nelayan dengan armada dan alat tangkap yang lebih baik. Oleh karena itu menurunnya hasil tangkapan bagi nelayan pancing dan jaring insang, perlu disikapi dengan baik dalam pemerataan penghasilan nelayan dalam mendukung perekonomian dan kesejahteraan masyarakat pada jenis alat dan komoditi tangkapan tertentu. Memberikan kesempatan pada nelayan pemodal kecil dalam mengakses sumberdaya ikan dengan mengatur effort terhadap penggunaan jaring besar merupakan salah satu solusi pemerataaan hasil tangkapan tersebut dan juga perlu mengakomodir kepentingan nelayan tradisional dalam pengaturan daerah pemanfaatan pada proses pembentukan zonasi Kawasan Konservasi Perairan Daerah yang sedang berjalan di kabupaten Alor. 4.1.1.2 Indikator Ukuran Ikan Pengambilan data indikator ukuran ikan hal ini dilakukan bertujuan mengetahui ukuran panjang ikan sebagai data untuk analisis frekuensi panjang (length frequency analysis) yang selanjutnya akan dapat diduga laju eksploitasi dari suatu unit stok ikan. Jika terjadi penurunan nilai ukuran ikan secara temporal maka mengindaksikan terjadinya kecenderungan tangkap lebih (overfishing) pada perairan tersebut. (Jackson et al., 2001; Orensanz et al., 1998, dalam Modul EAFM, 2012). Kedewasaan ikan yang siap bertelur dapat ditentukan melalui ukuran ikan, oleh karena itu tren mengecilnya ukuran jenis ikan tertentu yang tertangkap menunjukan terganggunya pola reproduksi ikan tersebut sehingga akan berdampak pada produktivitas hasil tangkapan diperairan tersebut kedepannya. 19
  • 20. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa 61,72% responden (baik untuk nelayan ikan pelagis kecil, pelagis besar dan demersal) lebih setuju ukuran ikan dalam lima tahun terakhir relatif berukuran sama, 36,72% responden menyatakan ukuran ikan yang ditangkap lebih kecil, dan 1,56% responden menyatakan tidak tahu. Secara umum hasil analisa menunjukan pada status sedang atau kriteria 2 yang menyatakan ukuran ikan yang didapatkan dalam 5 tahun terakhir relatif tetap, indikator ini menunjukan bahwa menurut mayoritas persepsi responden perikanan di Kabupaten Alor cenderung belum terjadi penangkapan berlebih. Jumlah responden yang menyatakan ukuran ikan lebih kecil tidak terpaut signifikan dengan yang menyatakan berukuran tetap, umumnya responden dengan hasil tangkapan kerapu dan kakap yang dominan menyatakan terjadinya penurunan ukuran ikan yang tertangkap, hal ini perlu disikapi dengan adanya pengembangan teknik penangkapan yang selektif pada ukuran ikan dewasa dan juga perlu menerapkan kebijakan yang menganut kehati-hatian dalam melakukan penambahan effort untuk penangkapan ikan demersal. 4.1.1.3 Indikator Proporsi Ikan Yuana (Juvenile) Indikator selanjutnya adalah mengetahui proporsi ikan yuana (juvenile) dalam penangkapan nelayan berdasarkan alat tangkapnya.Secara definisi Ikan yuana (juvenile) merupakan ukuran suatu tahap dalam pertumbuhan ikan yang belum masuk kategori ukuran dewasa (mature). Unit satuan yang digunakan untuk indikator proporsi ikan yuana yang ditangkap ialah (ton, kg, % proporsi) yang dibandingkan dengan biomasa ikan secara keseluruhan dari hasil tangkapan untuk setiap alat tangkap pada perairan tertentu yang diamati. Indikator ini dapat menggambarkan ukuran mata jarring suatu alat tangkap yang digunakan. dengan demikian jika ikan ukuran yuana pada setiap penangkapan memiliki proporsi yang lebih besar, mengindikasikan bahwa ukuran mata jaring yang digunakan terlalu kecil dan perlu disesuaikan kembali dengan ukuran ikan yang sudah dewasa (Modul EAFM, 2012). Indikator proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap diberikan status sedang (nilai 30) dengan kriteria 2 yaitu terjadi penangkapan ikan belum dewasa (juvenile) sebanyak 30-60% dari setiap hasil tangkapan. Indikator ini 20
  • 21. menyediakan pilihan yang bersifat luas untuk penggolongan keberlanjutan yang buruk dan baik. Untuk ikan-ikan yang belum dewasa tertangkap lebih dari 60% dari total tangkapan, maka penggolongan keberlanjutan termasuk buruk karena penangkapan juvenile berlebih akan berdampak pada reproduksi ikan yang rendah atau terjadi perubahan pola repoduksi dengan berkurangnya ukuran jenis ikan yang tertangkap (mengecil), Sebaliknya keberlanjutan termasuk baik, bila yang belum dewasa tertangkap kurang dari 30% dari total tangkapan. Di Kabupaten Alor pada musim puncak dan musim sedang rata-rata ikan yuwana (juvenile) yang tertangkap 30% sementara musim paceklik rata-rata 60%. Berdasarkan data interview didapatkan 20,31% responden mendapatkan jenis ikan juvenile berkisar 30-60% dan 79,69% responden tidak menjawab. Spesies ikan juvenile yang sering ditangkap nelayan pada perikanan demersal yaitu: Kerapu, Kakap (Kaburak, Kamera), dan Biji Nangka (Gerot-gerot), sedangkan pada perikanan pelagis seperti ikan Belo-belo (layang), Tongkol, Tuna dan Mane (Sembe). Pemahaman nelayan terhadap identifikasi dan pentingnya penangkapan ikan dewasa masih masih tergolong rendah, berdasarkan wawancara hanya 18,8% responden yang memahami, 78,2% tidak memahami dan 3% tidak menjawab. Hal ini menjadi kendala ketika pengambilan data dengan mayoritas responden tidak menjawab pertanyaan yang diajukan. Perlu adanya upaya sosialisasi terhadap ukuran tangkap yang layak tiap jenis perikanan ekonomis baik perikanan demersal dan pelagis dan juga perlu adanya menegaskan kembali aturan alat tangkap yang selektif terutama pada ukuran mess size jarring. Upaya selanjutnya adalah perlu adanya pendataan secara berkala terhadap ukuran ikan ekonomis disetiap lokasi pendaratan ikan hasil tangkapan, sehingga akan terlihat tren ukuran penangkapan permusim per alat tangkap. 4.1.1.4 Indikator Komposisi spesies Indikator komposisi spesies merupakan ukuran biomassa spesies tertentu yang menjadi target penangkapan dan spesies yang bukan target penangkapan terhadap jumlah seluruh hasil tangkapan dari suatu alat tangkap. Tujuan dari penentuan indeks komposisi spesies ialah untuk mengetahui komposisi spesies ikan dan non-ikan yang menjadi target penangkapan dan yang bukan target 21
  • 22. penangkapan atau dengan kata lain non target (bycatch). Penentuan proporsi ikan tersebut dilakukan terhadap hasil tangkapan suatu alat tangkap di daerah yang diamati. Interpretasi indikator untuk nilai komposisi spesies yaitu dengan melihat tingkat selektifitas alat tangkap yang digunakan untuk menangkap stock ikan. Jika hasil tangkapan dari suatu alat tangkap didapati spesies non target (bycatch) proporsinya lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang menjadi target penangkapan, menunjukan bahwa alat tangkap tersebut tidak selektif (Modul EAFM, 2012). Dalam analisa indikator komposisi spesies melalui interview terhadap responden menyatakan hasil tangkapan ikan non target lebih kecil dibandingkan hasil tangkapan target. Persentase rata-rata penangkapan ikan non target yaitu sebesar 6,31% dari hasil tangkapan target berdasarkan 4 alat tangkap yaitu Bubu, Jaring Insang, Jala Lompo dan Pancing. Pada alat tangkap lainnya yaitu Pukat pantai hasil tangkapan tidak dihitung sebagai hasil sampingan, karena tidak ada target ikan secara khusus, sedangkan alat tangkap lampara tidak ada informasi. Persentase tangkapan sampingan berdasarkan alat tangkap yaitu : bubu sebesar 6,89%, Jaring Insang sebesar 3,58%, Jala lompo sebesar 10,88%, pancing sebesar 22,83%. tangkap pancing justru paling banyak menangkap hasil ikan non target terjadi pada nelayan pancing pelagis besar, contohnya seperti Ikan Layar, Lemadang, dan Baby tuna (satuan dalam kg). Diidentifikasi juga adanya tangkapan non target yang tergolong jenis biota yang dilindungi seperti Lumba-lumba dan penyu, umumnya tangkapan tersebut masih dalam kondisi hidup dan dilepas, namun masih ada responden yang memanfaatkan penyu hasil tangkapan non target untuk dimakan dan dijual. Penangkapan sampingan perlu disikapi terutama pada jenis-jenis biota yang dilindungi secara undang-undang atau jenis yang terancam punah dan stocknya di alam kurang. Sosialisasi jenis-jenis bioat yang dilindungi berdasarkan Undangundang yang berlaku, pengembangan teknologi yang selektif dan cara penangkapan yang efisien untuk ikan target perlu dikembangkan. Pembuatan modul cara tangkap yang ramah lingkungan untuk perikanan demersal dan pelagis merupakan salah satu media dalam peningkatan kapasitas nelayan di kabupaten Alor. 22
  • 23. 4.1.1.5 Indikator Spesies ETP Indikator spesies Endangered species, Threatened species, and Protected species (ETP) atau Jenis biota yang terancam punah, rentan dan yang sudah dilindungi. Menurut kategori IUCN Red List Endangered (EN) atau Genting species diartikan sebagai jenis biota yang tidak termasuk dalam terancam kritis (Critically endangered) namun mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dan dimasukkan ke dalam kategori Extinct in the Wild jika dalam waktu dekat tindakan perlindungan yang cukup berarti tidak dilakukan. Sedangkan peraturan jenis biota yang dilindung dalam perundangan di Indonesia tercakup dalam lampiran Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa di nelayan di desa target penelitian tidak seluruhnya memahami jenis-jenis biota yang dilindungi tersebut. 97,74% responden menyatakan jenis biota yang dilindungi antara lain : paus, lumba-lumba, penyu, hiu, duyung, akar bahar dan batu laga. 1,5% responden tidak memahami jenis biota yang dilindungi dan 0,75 tidak menjawab. Dalam sepanjang tahun 2011, data hasil penelitian yang menunjukkan bahwa masih tertangkapnya spesies-spesies yang dilindungi yaitu: Penyu 64 ekor, Lumba-lumba 18 ekor, Batu laga 14 ekor, Duyung 3 ekor, dan Paus 1 ekor. Prinsip kehati-hatian berlaku pada indikator ini setidaknya penangkapan ETP lebih dari 3 ekor sudah tergolong buruk. Hal ini dikarenakan jenis-jenis ETP sebagai bagian ekosistem dan rantai makanan jika mengalami ketidakstabilan akan berpengaruh terhadap ekosistem yang ada. Dikarenakan tidak semua jenis biota ETP dipahami oleh masyarakat, oleh karena itu perlu adanya sosialisasi mengenai jenis-jenis biota ETP disetiap kegiatan kemasyarakat dan juga adanya penerapan aturan yang tegas dalam perdagangannya merupakan salah satu solusi dalam mengurangi pemanfaatan biota yang terancam punah, rentan punah dan diindungi. 4.1.1.6 Indikator Range Collapse 23
  • 24. Indikator "Range Collapse" dalam indikator sumberdaya ikan dapat diartikan suatu fenomena yang umum terjadi pada stok ikan jika stok ikan yang bersangkutan mengalami kondisi overfishing. Secara teknis, didefinisikan sebagai yakni pengurangan drastis wilayah/ruang spasial ekosistem laut yang biasanya dihuni oleh stok ikan tertentu. Untuk menentukan ada tidak range collapse ini, maka indikator yang paling mudah adalah melihat apakah terjadi indikasi terhadap semakin sulitnya mencari lokasi penangkapan ikan (fishing ground), karena secara spasial, wilayah penangkapan ikan menjadi semakin jauh dari lokasi fishing ground sebelumnya. Unit yang digunakan untuk indikator range collapse sumberdaya ikan ialah dilihat berdasarkan hasil tangkapan per upaya (CPUE) secara temporal dari tahun ke tahun serta seberapa jauh jarak tempuh (mil atau km) untuk setiap kali trip penangkapan ikan dibandingkan jarak pada tahun-tahun sebelumnya (Modul EAFM). Berdasarkan hasil analisa interview, responden menyatakan 54,14% nelayan demersal dan pelagis setuju bahwa lokasi penangkapan responden semakin jauh, 43,61% menyatakan sama saja dan 2,26% menyatakan lokasi penangkapan (fishing ground) semakin dekat. Penangkapan semakin jauh umumnya masih dilakukan dalam perairan Alor, kecuali pada nelayan tuna yang menangkap hingga perairan Batu Tara, kabupaten Lembata dan dan nelayan teripang dengan lokasi penangkapan yang sering dikunjungi di Atapupu, kabupaten Belu. Upaya pengaturan pemanfaatan perikanan pada lokasi tangkapan tertentu di sepanjang perairan kabupaten Alor perlu diperhatikan dalam mengurangi tekanan perikanan dalam beberapa titik fishing ground saja, terutama pada perikanan pelagis pengaturan alat tangkap, alat bantu penangkapan seperti rumpon dan musim penangkapan merupakan solusi yang baik dalam menjaga hasil penangkapan nelayan yang berkelanjutan. 24
  • 25. Gambar 4. Agregat Domain Sumberdaya Ikan Berdasarkan nilai komposit di tiap indikator seperti ditunjukan pada gambar no. 4. Secara keseluruhan domain sumberdaya ikan di Alor diberikan status baik atau dalam bendera berwarna hijau dengan nilai komposit 205 dari pengukuran maksimal 300. Pengelolaan perikanan yang baik dalam domain ini perlu memperhatikan dari setiap indikator yang masih perlu ditingkatkan. 4 indikator dalam domain ini berstatus sedang yaitu CPUE, Ukuran ikan, Proporsi yuwana yang ditangkap, dan Range collapse sumberdaya ikan. Indikator tersebut secara umum dapat ditingkatkan melalui adanya pengaturan wilayah tangkap yang dapat tertuang dalam rencana zonasi Kawasan Konservasi Perairan Daerah, yang didalamnya mengatur alat tangkap, alat bantu tangkap dan musim penangkapan yang disesuaikan dengan tipe nelayan didaerah masing-masing. Indikator yang perlu mendapat perhatian selanjutnya adalah penangkapan sampingan berupa jenis-jenis biota yang rentan terhadap kepunahan dan dilindungi secara hukum. Memberikan pemahaman lebih dalam terhadap jenisjenis biota yang dilindungi di masyarakat Alor untuk tidak menangkap, melepaskan jika tidak sengaja tertangkap dan tidak membeli hasil tangkapan tersebut kemudian diimbangi dengan adanya pembinaan oleh petugas pemantauan merupakan solusi yang efektif dalam meminimalisir pemanfaatan biota ETP tersebut. Upaya dalam meningkatkan sumberdaya ikan demersal dan pelagis di perairan kabupaten Alor untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sudah 25
  • 26. seharusnya menjadi prioritas kebijakan di kabupaten ini. Kebijakan dalam pengumpulan data primer yang konsisten baik dalam perikanan dalam mendukung hasil analisa yang lebih akurat juga perlu diterapkan. Hal ini bisa didukung dengan pengumpulan data logbook perikanan tangkap dari private sector atau pengusaha perikanan, pengumpulan data profil perikanan didesa pesisir dan juga bekerjasama dengan akademisi yang melakukan riset di kabupaten Alor. 26
  • 27. 4.1.2. Hasil Penilaian Per Indikator Pada Domain Habitat dan Ekosistem Gambaran mengenai indikator-indikator yang termasuk dalam domain habitat dan ekosistem berdasarkan hasil analisis EAFM ditampilkan dalam Tabel di bawah ini. Tabel 7. Analisis Komposit Domain Habitat dan Ekosistem INDIKATOR 1. Kualitas perairan DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/ PENGUMPULAN Limbah yang teridentifikasi secara klinis, audio dan atau visual (Contoh :B3-bahan berbahaya & beracun) Tingkat kekeruhan (NTU) untuk mengetahui laju sedimentasi perairan Data sekunder, sampling, monitoring, >> Sampling dan monitoring : 4 kali dalam satu tahun (mewakili musim dan peralihan) Survey, monitoring dan data sekunder, CITRA SATELIT >> monitoring : dengan coastal bouy/ water quality checker (continous), Citra satelite (data deret waktu) dan sedimen trap (setahun sekali) => pengukuran turbidity di Lab >> Survey : 4 kali dalam satu tahun (mewakili musim dan peralihan) >> monitoring : dengan coastal bouy/ water quality checker (continous), Citra satelite (data deret waktu) Eutrofikasi 2. Status lamun Luasan tutupan, densitas dan jenis Lamun. Survey dan data sekunder, monitoring, CITRA SATELIT. >> Sampling dan monitoring : Seagrass watch (www.seagrasswatch.org) dan seagrass net (www.seagrassnet.org) SKOR BOBOT (%) NILAI 1= tercemar; 2=tercemar sedang; 3= tidak tercemar 0 20 0 1= > 20 mg/m^3 konsentrasi tinggi ; 2= 10-20 mg/m^3 konsentrasi sedang; 3= <10 mg/m^3 konsentrasi rendah Satuan NTU 0 1= konsentrasi klorofil a > 10 mg/m^3 terjadi eutrofikasi; 2= konsentrasi klorofil a 1-10 mg/m^3 potensi terjadi eutrofikasi; dan 3= konsentrasi klorofil a <1 mg/m^3 tidak terjadi eutrofikasi 1=tutupan rendah, ≤29,9%; 2=tutupan sedang, 3049,9%; 3=tutupan tinggi, ≥50% 0 15 30 1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3) 2 KRITERIA 2 27
  • 28. 3. Status mangrove > Persentase tutupan karang keras hidup (live hard coral cover). Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara >> Citra satelite dengan resolusi tinggi (minimum 8 m) minimal satu tahun sekali dengan diikuti oleh survey lapangan >> Survey : Plot sampling Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara >> Survey : Transek (2 kali dalam setahun) >> Citra satelite dengan hiper spektral - minimal tiga tahun sekali dengan diikuti oleh survey lapangan 5. Habitat unik/khusus (spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling). Luasan, waktu, siklus, distribusi, larva drift, spill over, dan kesuburan perairan Fish Eggs and Larva survey, GIS dgn informasi Citra Satelit, Informasi Nelayan, SPAGs (Kerapu dan kakap), ekspedisi oseanografi 6. dan Tingkat produktivitas Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara Status 1=kerapatan rendah, <1000 pohon/ha, tutupan <50%; 2=kerapatan sedang 1000-1500 pohon/ha, tutupan 50-75%; 3=kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha, tutupan >75% 1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3) 1= luasan mangrove berkurang dari data awal; 2= luasan mangrove tetap dari data awal; 3= luasan mangrove bertambah dari data awal 3 1 = INP rendah; 2 = INP sedang; 3 = INP tinggi 4. Status terumbu karang Kerapatan, nilai penting, perubahan luasan dan jenis mangrove 15 37,5 2 1=tutupan rendah, <25%; 2=tutupan sedang, 2549,9%; 3=tutupan tinggi, >50% 2 15 37,5 1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3) 1=tidak diketahui adanya habitat unik/khusus; 2=diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak dikelola dengan baik; 3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan dikelola dengan baik 1=produktivitas rendah; 3 2 15 30 0 10 0 3 2 28
  • 29. produktivitas Estuari dan perairan sekitarnya perairan estuari 7. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat Untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat >> Survey : 2 kali dalam setahun >> Citra satelite dengan resolusi tinggi - minimal dilakukan 2 kali setahun dengan diikuti oleh survey lapangan Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, data deret waktu, monitoring 2=produktivitas sedang; 3=produktivitas tinggi > State of knowledge level : 1= belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim; 2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi; 3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi > state of impact (key indikator menggunakan terumbu karang): 1= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching >25%); 2= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching 5-25%); 3= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching <5%) 1 10 3 Agregat 151,25 4.1.2.1 Indikator Kualitas Perairan Indikator kualitas perairan merupakan indikator dengan bobot terbesar pada domain habitat ini. Hal dikarenakan indicator ini dievaluasi dalam rangka mengetahui kualitas dan kesehatan lingkungan perairan, serta mengetahui tingkat percemaran perairan yang baik secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak terhadap keseluruhan ekosistem atau habitat laut. 20 Lebih lanjut, pencemaran perairan ini didefinisikan sebagai dampak negatif (pengaruh yang membayakan) bagi kehidupan biota, sumberdaya, kenyamanan ekosistem perairan, serta kesehatan manusia, dan nilai guna lainnya dari ekosistem perairan tersebut. Suatu perairan dikatakan tercemar jika salah satu dari parameter baku 29
  • 30. mutu air melebihi ambang batas atau standar pencemaran yang telah ditetapkan. Standar pencemaran atau baku mutu air di Indonesia ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Kualitas perairan mencakup karakteristik fisika, kimia, dan biologi perairan, yaitu suatu ukuran tentang kondisi relatif suatu perairan terhadap standar yang ditentukan untuk kesehatan ekosistem di dalamnya. Kualitas perairan dapat ditentukan oleh keberadaan dan kuantitas kontaminan serta oleh faktor fisik dan kimia seperti pH, konduktifitas, oksigen terlarut, salinitas dll. Dalam melakukan kajian EAFM terdapat tiga sub-indikator kualitas perairan yang penting untuk diukur yaitu keberadaan limbah yang dapat dideteksi secara klinis dan visual, tingkat kekeruhan perairan, dan eutrofikasi (Modul EAFM, 2012). Berdasarkan pengumpulan data sekunder, indikator kualitas perairan merupakan salah satu dari indikator yang tidak dapat dianalisa dan dibahas dalam domain ini karena tidak tersedia data atau kajian ilmiah yang mencakup limbah (B3), tingkat kekeruhan, dan eutrofikasi di perairan Kabupaten Alor. Oleh karena itu penilaian indikator ini menjadi 0. Pentingnya mengetahui kondisi perairan laut sebagai barometer kualitas habitat sudah sebaiknya didukung dengan program pengambilan data secara periodik oleh Dinas yang terkait. 4.1.2.2 Indikator Status Lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Lamun tumbuh subur terutama di daerah terbuka pasang surut dan perairan pantai atau goba yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan karang mati, dengan kedalaman sampai dengan 4 meter. Dalam perairan yang sangat jernih, beberapa jenis lamun bahkan ditemukan tumbuh sampai kedalaman 8–15 meter dan 40 meter. Kajian pada indikator ini bertujuan untuk mengetahui tutupan densitas (kerapatan) lamun, serta keberadaan jenis lamun di suatu dan wilayah. Ekosistem padang lamun sangat penting artinya bagi kehidupan penyu hijau dan dugong, karena tumbuhan ini merupakan sumber makanan bagi kedua jenis 30
  • 31. hewan yang dilindungi tersebut. Selain itu, ekosistem padang lamun juga dikenal sebagai daerah asuhan berbagai juvenil ikan dan sebagai daerah perlindungan dari predator bagi ikan-ikan kecil. Beberapa studi menyatakan bahwa telah ditemukan 360 spesies ikan yang berasosiasi dengan padang lamun. Spesies yang bernilai ekonomi dan dominan adalah siganid (Baronang). Berbagai fungsi penting ekosistem lamun tersebut mendasari bahwa status padang lamun merupakan salah satu indikator yang penting untuk diketahui dengan tujuan untuk mengetahui kualitas dan produktivitas ekosistem perairan; untuk mengetahui keberhasilan rekruitmen suatu biota; dan untuk mengetahui daerah pemijahan dan asuhan berbagai biota perairan yang dapat mendukung ketersediaan sumberdaya ikan (Modul EAFM, 2012). Berdasarkan hasil kajian Survey Ekologi di kabupaten Alor tahun 2009 oleh WWF menunjukan luasan lamun di kabupaten Alor tergolong sedang yaitu berada pada kisaran angka 30%-49,9% dan berdasarkan analisa Citra Aster pada tahun 2009 teridentifikasi luasan lamun di Kabupaten Alor adalah 649,37 ha. Dari 13 jenis lamun yang ditemukan di sepanjang perairan Indonesia (Den Hartog 1970 dalam Modul EAFM, 2012), di perairan kabupaten Alor teridentifikasi sebanyak 7 (tujuh) spesies lamun yang dijumpai. Ketujuh spesies tersebut antara lain: Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Syringodium isoetifolium, Cymomodocea rotundata, Halophila ovalis, Halodule uninervis, dan Halodule sp. Persen tutupan lamun tertinggi yaitu di Pulau Lapang sebesar 58,8% dan tutupan terendah di lokasi Mali sebesar 15%.. Keberadaan lamun di perairan kabupaten Alor perlu dijaga dikarenakan secara alami fungsi fisika-kimia lamun dapat memperlambat laju abrasi pantai, karena lamun merupakan perangkap sedimen (sedimen trap) dan fungsi penting lainnya adalah lamun dapat mengendapkan zat pencemar untuk diolah kembali oleh biota pengurai (detritus), sehingga mendukung perbaikan kualitas perairan secara alami. 4.1.2.3 Indikator Status Mangrove Hutan mangrove seringkali disebut dengan hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Bila dibandingkan dengan hutan daratan, hutan mangrove memiliki produktifitas primer yang paling tinggi. Hutan mangrove 31
  • 32. dapat memberikan kontribusi besar terhadap detritus organik yang sangat penting sebagai sumber energi bagi biota yang hidup di perairan sekitarnya. Secara singkat, mangrove merupakan ekosistem pesisir yang penting bagi manusia dengan banyak manfaat dan fungsi diantaranya: Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen; Penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon mangrove; daerah asuhan (nursery ground); daerah mencari makan (feeding ground), dan daerah pemijahan (spawning ground) berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya; pemasok larva ikan, udang, dan biota laut lainnya dan juga dapat menjadi tempat wisata. Berdasarkan pada berbagai fungsi penting mangrove, maka indikator mangrove merupakan salah satu indikator yang penting dalam kajian EAFM. Tingkat kerapatan, nilai penting, keanekaragaman, dan perubahan luasan mangrove merupakan informasi yang dibutuhkan untuk melihat kualitas dan kuantitas ekosistem mangrove di suatu wilayah pesisir. Evaluasi atau kajian kondisi mangrove dilakukan dalam rangka mengetahui kualitas dan produktivitas ekosistem; untuk mengetahui keberhasilan rekruitmen terutama bagi spesiesspesies penting yang siklus hidupnya berada pada ekosistem mangrove; dan untuk mengetahui kondisi daerah pemijahan dan asuhan berbagai jenis ikan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove (Modul EAFM, 2012). Penilaian pada indikator status mangrove dapat dianalisa berdasarkan 4 kriteria yaitu : Kerapatan pohon bakau, Keanekaragaman jenis, perbandingan Luasan bakau, dan Indeks Nilai Penting (INP) direrata berdasarkan analisa di ke 4 kriteria tersebut diberikan status sedang. Berikut analisa per kriteria yang dapat dianalisa, berdasarkan hasil penelitian WWF (2009), di 20 stasiun yang diteliti di Kabupaten Alor menunjukkan bahwa kerapatan tingkat pohon berkategori tinggi yaitu dengan rata-rata 7.235 pohon/hektar, kerapatan ini menunjukan kondisi yang baik dalam mendukung pertumbuhan mangrove didaerah tersebut baik mencakup faktor suhu, salinitas dan substrat (Romadhon, A, 2008), Sedangkan keanekaragaman bakau cukup tinggi dengan hasil sampling ditemukan 16 jenis bakau dari 11 famili, Jenis bakau yang ditemukan antara lain : Avicennia marina, Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, 32
  • 33. Sonneratia alba, Aegiceras corniculatum, Avicennia alba, Avicennia marina, Bruguiera gymnorrhiza, Aegialitis annulata, Heritiera globosa, Aegialitis annulata, Acanthus ilicifolius, Nypa fruticans, Excoecaria agallocha, dan Lumnitzera racemosa. Tercatat juga luasan bakau yang dapat diidentifikasi berdasarkan citra Aster tahun 2009 seluas 678.65 ha, berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat menyatakan bahwa luasan hutan bakau cenderung tetap. Sementara Nilai penting suatu jenis berkisar antara 0 – 300 %, dari 20 lokasi yang dilakukan sampling di kabupaten Alor didapatkan nilai rata-rata 180,42% yang termasuk dalam kondisi sedang. Adapun jenis-jenis mangrove yang memiliki INP dominan, disetiap stasiunnya antara lain : Sonneratia alba di daerah Kabola, desa Pantai Deere, dan Desa Alaang, Rhizopora apiculata didaerah Kabola, Pantai Deere, Alila, Alaang, Welai Barat, Bagang, dan Baranusa, Bruguiera gymnorhiza di daerah Mali, Alila, Ilu, Blangmerang, Baraler, dan Alaang; Avicenia alba di daerah Moru; Rhizopora mucronata di daerah Kelurahan Mutirara; Rhizopora stylosa di desa Piring Sina; Aegalitis annulata di kelurahan Kokar, dan Desa Baolang; Avicenia marina di desa Bana; Lumnitzera racemosa didaerah Makuru dan Alemba (WWF, 2009). 9 Jenis yang memiliki nilai penting dalam ekosistem mangrove tersebut ditiap stasiun sampling seharusnya lebih diprioritaskan untuk dijaga dan dilestarikan disamping juga jenis lainnya, karena nilai memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh penting atau peranan jenis ini suatu jenis tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove dan nilai penting dari tiap jenis mangrove sangat tergantung pertumbuhan mangrove yang didukung oleh ketersediaan nutrient dan bahan oganik (Supriharyono dalam Romadhon , 2008) 4.1.2.4 Indikator Status Terumbu Karang Seperti halnya ekosistem Mangrove dan Padang Lamun, Terumbu karang juga dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari ancaman erosi dan ombak besar, serta sebagai aset pariwisata bahari yang banyak menghasilkan devisa bagi negara. Ditinjau dari aspek ekonomi, terumbu karang memberikan sumbangan yang cukup besar untuk sektor perikanan. CAESAR (1996) menyatakan bahwa 33
  • 34. terumbu karang yang termasuk dalam kategori sangat baik dapat menyumbangkan 18 ton ikan per km 2/tahun, sedangkan yang termasuk dalam kategori baik dan cukup adalah sebesar 13 ton/km 2 /tahun dan 8 ton/km 2 /tahun. Apabila dikalkulasikan secara ekonomi, nilai terumbu karang yang ada di perairan Indonesia adalah sebesar 4,2 milyar $US dari aspek perikanan, wisata dan perlindungan laut. Nilai ini belum termasuk nilai manfaat terumbu karang sebagai pelindung pantai, bahan bangunan, sumber pangan serta obat-obatan. Namun demikian, terumbu karang juga merupakan ekosistem yang sangat rentan terhadap gangguan akibat kegiatan manusia yang tidak terkendali, dan pemulihannya memerlukan waktu yang lama. Kajian kondisi terumbu karang bertujuan untuk mengetahui persentase tutupan karang hidup dan keanekaragaman jenis karang di dalam suatu wilayah. Persentase tutupan karang hidup ini merupakan indikator kondisi terumbu karang dimana semakin tinggi tutupan karang hidup maka semakin baik kondisi dan produktifitas perikanan, terutama ikan-ikan yang secara langsung berasosiasi dengan terumbu karang. Sedangkan keanekaragaman jenis terumbu karang merupakan indikator kesehatan lingkungan perairan. Kondisi terumbu karang dievaluasi dalam rangka mengetahui kualitas dan produktivitas ekosistem. Selain itu, tutupan karang hidup dan keanekaragaman jenis terkait langsung dengan keberhasilan juga rekruitmen; dan untuk mengetahui daerah pemijahan dan asuhan di suatu perairan (Modul EAFM, 2012) Status terumbu karang di Kabupaten Alor secara umum termasuk dalam kategori sedang. Hal ini ditunjukan berdasarkan data WWF tahun 2012 dengan metode Reef Health didapatkan kondisi terumbu karang di Kabupaten Alor berada pada kondisi buruk-sedang (< 50%), dan dengan tutupan rata-rata karang keras hidup 35,41% yang termasuk kategori sedang. Pada data dasar ditahun 2009 melalui Survey ekologi, mencatat jumlah genus karang keras tertinggi ditemukan di Pulau Buaya sebanyak 31 genus yang tergolong dalam 13 famili dan di pulau Ternate sebanyak 27 genus dan 14 family karang. Identifikasi spesies karang penyusun ekosistem terumbu karang yang ditemukan sebanyak 75 spesies karang keras. Famili karang keras yang paling banyak dijumpai adalah Acroporidae, Poritidae, Faviidae dan Fungiidae. Sedangkan genus karang paling umum 34
  • 35. dijumpai yaitu Acropora, Montipora, Porites, Favites, Favia, Montastrea, Diploastrea Oxypora, Goniopora,Echinopora, Pocillopora, Stylopora dan Seriatopora. Untuk Karang lunak genus yang dijumpai pada stasiun pengamatan adalah Sarcophyton, Sinularia, Lobophyton, Nepthea, Lemnalia dan Alertigorgia. Berdasarkan analisa peta Aster tahun 2009 teridentifikasi luasan terumbu karang di Kabupaten Alor adalah 3,011.31 ha. Ancaman utama terhadap ekosistem terumbu karang di perairan KKPD Kabupaten Alor, adalah faktor alamiah dan faktor akibat kegiatan pemanfaatan laut yang tidak ramah lingkungan (destructive fishing). Di beberapa lokasi pengamatan seperti pada stasiun Pulau Batang dan Bana ditemukan koloni karang yang mengalami pemutihan secara alami, juga dijumpai adanya bintang laut berduri (Acanthaster planci) dan kerang Drupela yang merupakan predator karang. Di Pulau Batang kerusakan fisik ekosistem terumbu karang lebih banyak disebabkan oleh aktivitas penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan pembiusan menggunakan potasium. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya persentase penutupan patahan karang dengan ukuran yang seragam dan dalam area yang luas terutama pada kedalaman 5 - 8 meter. Kerusakan ini telah terjadi pada waktu lampau dan sekarang terlihat mulai adanya pemulihan. Selain aktivitas pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan, kerusakan terumbu karang pada semua lokasi pengamatan juga ditandai dengan dijumpainya patahan karang dengan ukuran yang bervariasi dan tidak seragam, hal ini dapat menjadi indikasi bahwa kerusakan karang (terutama karang bercabang) terjadi karena jangkar perahu atau adanya kegiatan manusia untuk menangkap/mengambil biota laut (WWF, 2009). Rusaknya terumbu karang secara langsung akan berdampak pada produktivitas perikanan terutama perikanan demersal yang selanjutnya juga akan berpengaruh terhadap perikanan pelagis sebagai satu siklus rantai makanan (food chain) di laut. Perlunya upaya dalam menjaga dan merehabilitasi ekosistem terumbu karang mutlak dilakukan di Kabupaten Alor bukan saja dalam mendukung perikanan yang berkelanjutan, namun juga mendukung pendapatan disektor pariwisata bahari. 35
  • 36. 4.1.2.5 Indikator Habitat Unik atau Khusus Habitat unik atau khusus didefinisikan sebagai habitat atau spesies khusus yang mempunyai nilai ekologi dan ekonomi yang sangat tinggi, sehingga perlu mendapat perhatian khusus dalam pemantauannya. Informasi tentang lokasi-lokasi spawning ground, nursery ground, feeding ground, dan upwelling sangat penting untuk menentukan bahwa suatu perairan memiliki habitat unik/khusus yang berperan dalam mendukung keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Selain itu, spesies endemik, langka, dan terancam punah adalah beberapa kriteria lain yang dapat dipakai dalam menentukan habitat/spesies unik/langka. Hal ini penting dikaji karena lokasi-lokasi tersebut merupakan tempat bagi berbagai jenis ikan tumbuh dan berkembangbiak, yang pada akhirnya dapat mendukung kegiatan perikanan di sekitarnya. Indikator habitat/spesies unik/khusus dievaluasi dalam rangka untuk memberikan dasar yang kuat bagi pengelolaan perikanan yang harus dilakukan baik melalui Pengaturan dengan system buka tutup berdasarkan musim (open close area season), pengaturan alat tangkap, penentuan lokasi tangkap (fishing ground), atau pun dengan pengembangan kawasan konservasi perairan. Dengan mengetahui habitat-habitat unik/khusus tersebut, maka pengelola perikanan dapat dengan mudah memetakan dan mengatur bagaimana pengelolaan perikanan berkelanjutan dapat dijelaskan kepada stakeholders terkait dan diimplementasikan secara optimal (Modul EAFM, 2012). Habitat penting yang teridentifikasi di kabupaten Alor adalah terdapatnya lokasi upwelling di perairan Selat Pantar, feeding ground Duyung (Dugong dugon) di perairan Mali, wilayah migrasi mamalia laut, lokasi peneluran penyu dan beberapa lokasi yang diduga merupakan tempat peneluran ikan kerapu. Habitat penting tersebut merupakan salah satu indikator dalam penetapan zonasi dalam pembentukan Kawasan Konservasi Perairan Daerah di Kabupaten Alor. Saat ini proses zonasi masih dalam tahap konsultasi publik untuk disepakati, rencana pengelolaan tersebut belum berlangsung ketika survey ini sedang berlangsung. Mengelola habitat penting dengan memprioritaskannya dalam zona perlindungan atau zona inti sangat direkomendasikan. Hal ini dikarenakan habitat 36
  • 37. tersebut memiliki dampak ekologis yang berpengaruh terhadap ekosistem lainnya, sehingga perlu diprioritaskan untuk dikelola. 4.1.2.6 Indikator Produktivitas Estuary Indikator selanjutnya adalah menganalisa produktivitas estuary dan perairan sekitarnya. Perlu diketahui bahwa defiisi Estuari adalah suatu perairan semi tertutup yang berada di bagian hilir sungai dan masih berhubungan dengan laut, sehingga memungkinkan terjadinya percampuran antara air tawar dan air laut. Kebanyakan estuari didominasi oleh substrat lumpur yang berasal dari endapan yang dibawa oleh air tawar maupun air laut. Karena partikel yang mengendap kebanyakan bersifat organik, substrat dasar estuari biasanya kaya akan bahan organik, yang menjadi cadangan makanan utama bagi organisme estuaria. Tujuan dari kajian produktifias estuary dan perairan sekitarnya ini adalah untuk mengetahui kualitas dan produktivitas perairan yang dihitung dari konsentrasi klorofil a; Selain itu, indikator ini dapat menjelaskan tentang pentingnya suatu estuari sebagai daerah asuhan bagi beberapa spesies perikanan yang bernilai ekonomis (Modul EAFM, 2012). Indikator status dan produktivitas estuari dan perairan sekitarnya tidak dapat dianalisis tidak tersedianya data primer dan sekunder menyangkut produktivitas estuari di Kabupaten Alor. Oleh karena itu penilaian pada indikator ini adalah kosong (0). Pentingnya mengetahui informasi indikator ini bagi kabupaten Alor yaitu produktivitas estuarine menyediakan unsur hara bagi ekosistem laut. Semakin tinggi produktivitas perairan estuari, maka akan semakin besar peran estuari dalam mendukung produksi sumberdaya ikan di perairan sekitarnya. 4.1.2.7 Indikator Perubahan Iklim Terhada Kondisi Perairan dan Habitat Indikator terakhir pada domain ini adalah pengaruh perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat. Indikator ini perlu diketahui untuk menunjukan semakin besar dampak perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat, maka keberlanjutan sumberdaya perikanan semakin terancam, 37
  • 38. sehingga diperlukan strategi adaptasi dan mitigasi untuk menekan pengaruh perubahan iklim tersebut. Perubahan iklim dapat menyebabkan kenaikan suhu udara, kenaikan suhu permukaan laut, dan peningkatan konsentrasi karbondioksida di udara. Pengaruh perubahan iklim ini sangat mempengaruhi kondisi perairan, perubahan musim perikanan, kejadian kekeringan dan kebanjiran, serta degradasi terumbu karang akibat tingginya suhu permukaan laut yang menyebabkan pemutihan/bleaching. Pada indikator ini tidak teridentifikasi adanya penelitian yang secara spesifik terkait dampak perubahan iklim yang terjadi. Namun berdasarkan survey Reef Health yang dilakukan oleh WWF tahun 2012, turut mengambil data pemutihan karang sebagai salah satu indikator dampak perubahan suhu laut. Hasil pengamatan menunjukan pemutihan karang di 33 titik penyelaman pemutihan karang tidak teridentifikasi adanya pemutihan karang. (Laporan Reef Health kabupaten Alor, 2012) Data kajian ini diperlukan diketahui untuk kepentingan pengelolaan perikanan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Beberapa kasus yang terjadi di bidang perikanan adalah bergesernya musim perikanan pelagis, kondisi cuaca yang sulit diprediksi hingga menurunnya produktivitas perikanan demersal dikarenakan adanya pemutihan karang. Informasi dampak perubahan iklim mendukung dalam pembuatan strategi adapatasi dan mitigasi perubahan iklim dalam sendi-sendi kebijakan pengelolaan perikanan untuk mengurangi kerentanan masyarakat pesisir yang terkendala dampak langsung fenomena perubahan iklim. 38
  • 39. Gambar 5. Agregat Domain Habitat dan Ekosistem Berdasarkan nilai komposit di tiap indikator seperti ditunjukan pada gambar no.5 Secara keseluruhan domain habitat dan ekosistem di Kabupaten Alor diberikan status sedang atau kuning dengan nilai komposit 155 dari nilai total komposit 300. Kurangnya performa domain habitat ini dikarenakan adanya indikator yang tidak bisa dianalisa dikarenakan belum adanya data yang tersedia di wilayah survey yaitu pada indikator kualitas perairan dan produktivitas estuari. Domain habitat akan sangat menentukan kelimpahan dan keanekaragaman sumberdaya ikan yang terdapat di dalamnya. Secara umum, semakin baik kondisi habitat maka kelimpahan dan keanekaragaman sumberdaya semakin baik. Perlunya upaya Pemerintah Daerah dalam mendorong pengumpulan data terkait pengecheckan kualitas air dan status produktivitas estuaris perlu diketahui dan diidentifikasi kondisinya sebagai satu bagian habitat yang tidak bisa dipisahkan. Baik buruknya kualitas air dan produktivitas estuarine akan mempengaruhi kesehatan ekosistem didalamnya yang termasuk terumbu karang, lamun dan bakau yang berpengaruh terhadap produktivitas perikanan disuatu perairan. 39
  • 40. 4.1.3. Hasil Penilaian Per Indikator Pada Domain Teknis Penangkapan Ikan Gambaran mengenai indikator-indikator yang termasuk dalam domain teknis penangkapan ikan berdasarkan hasil analisis EAFM ditampilkan dalam Tabel di bawah ini. Tabel 8. Analisis Komposit Domain Teknis Penangkapan Ikan INDIKATOR 1. Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal 2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan. DEFINISI/ PENJELASAN Penggunaan alat dan metode penangkapan yang merusak dan atau tidak sesuai peraturan yang berlaku. Penggunaan alat tangkap dan alat bantu yang menimbulkan dampak negatif terhadap SDI MONITORING/ PENGUMPULA N Laporan hasil pengawas perikanan, survey SKOR BOBOT (%) NILAI 1=frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun ; 2 = frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per tahun ; 3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun 1 30 30 Sampling ukuruan ikan target/ikan dominan. 1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm ; 2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm 3 = <25% ukuran target spesies < Lm 3 25 75 KRITERIA 3. Fishing capacity dan Effort Besarnya kapasitas dan aktivitas penangkapan Interview, survey, logbook 1 = R kecil dari 1; 2 = R sama dengan 1; 3 = R besar dari 1 2 15 30 4. Selektivitas penangkapan Aktivitas penangkapan yang dikaitkan dengan luasan, waktu dan keragaman hasil tangkapan Sesuai atau tidaknya fungsi dan ukuran kapal dengan dokumen legal Statistik Perikanan Tangkap, logbook, survey 1 = rendah (> 75%) ; 2 = sedang (50-75%) ; 3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat tangkap yang tidak selektif) 3 15 45 Survey/monito ring fungsi, ukuran dan jumlah kapal. 1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 2 = kesesuaiannya sedang (3050% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dengan dokumen legal 1 10 10 Kualifikasi kecakapan awak kapal perikanan. Sampling kepemilikan sertifikat 1 = Kepemilikan sertifikat <50%; 2 = Kepemilikan sertifikat 50-75%; 3 = Kepemilikan sertifikat >75% 1 5 5 5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal 6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan. Agregat 195 40
  • 41. 4.1.3.1 Indikator Metode Penangkapan Ikan yang bersifat destruktif dan/atau ilegal Indikator ini merupakan indikator dengan bobot terbesar dalam domain teknik penangkapan. Hal ini dikarenakan penangkapan ikan yang merusak dan atau ilegal merupakan ancaman yang paling besar bagi kelestarian ekosistem pesisir dan laut di Indonesia, terutama ekosistem terumbu karang. Dampak dari praktek-praktek penangkapan ikan yang destruktif dan atau ilegal tersebut, kini mulai dirasakan oleh masyarakat nelayan, khususnya untuk nelayan perikanan karang, yang semakin sulit untuk mendapatkan hasil tangkapan ikan. Secara definisi metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif atau merusak adalah cara menangkap ikan yang dapat menimbulkan kerusakan secara langsung, baik terhadap habitat (tempat hidup dan berkembang biak) ikan maupun terhadap sumber daya ikan itu sendiri. Sementara, yang dimaksud dengan metode penangkapan ikan yang ilegal adalah cara menangkap ikan yang melanggar atau bertentangan dengan ketentuan peraturan yang berlaku, baik ditingkat lokal, nasional, regional maupun internasional (Modul EAFM, 2012). Kriteria penilaian baik atau buruknya indikator metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal dalam pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem di suatu perairan, adalah dengan melihat jumlah kasus pelanggaran yang terjadi dalam penggunaan metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal tersebut. Dengan demikian, unit yang digunakan untuk indikator ini adalah jumlah kasus pelanggaran. Berdasarkan hasil penelitian terhadap 133 responden yang tersebar di 14 desa pesisir menginformasikan bahwa terdapat aktivitas perikanan yang merusak dengan jumlah rata-rata frekuensi aktivitas sebanyak 16 kasus per tahun sejak 2011-2012, dari jumlah tersebut 97,1% responden menyebut bom ikan sebagai penyebab terbesar, dan 2,9% akibat penggunaan potasium. Lokasi yang menjadi wilayah aktivitas merusak tersebut antara lain : Tanjung Kumbang, Tanjung Margeta, Buraga, Marataing, Manatang, Lamalu, Pulau Kangge, Pulau Rusa, Pulau Lapang, Pulau Batang, Perairan Blangmerang, Tanjung Ara, Ilawei, Tanjung Sibela, dan Tanjung Umafutung. 41
  • 42. Pengawasan dan jalur informasi yang efektif perlu dilakukan oleh berbagai pihak mulai dari masyarakat, pengusaha, pemerintah hingga aparat penegak hukum mengingat hampir setiap bulan ditemukan aktivitas tersebut di perairan Kabupaten Alor. Pencabutan izin usaha bagi pengusaha yang membeli produk tidak ramah lingkungan, pembinaan terhadap papaplele atau pembeli ditingkat pasar dapat dilakukan sebagai salah satu solusi megurangi permintaan pasar terhadap produk yang tidak ramah lingkungan. 4.1.3.2 Indikator Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan didefinisikan sebagai penggunaan alat tangkap dan dan alat bantu yang tidak sesuai dengan peraturan yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap sumber daya ikan. Penentuan indikator ini dilakukan karena modifikasi alat tangkap dan alat bantu yang tidak sesuai dengan peraturan akan memberikan dampak langsung terhadap kelestarian sumber daya ikan. Umumnya alat tangkap yang dimodifikasi tanpa memperhatikan peraturan atau panduan yang telah ditetapkan pemerintah akan berpotensi mengancam kelestarian sumber daya ikan. Sebagai contoh: penggunaan rumpon yang berlebihan dengan jarak yang sangat berdekatan. Hal tersebut, tentu akan mengganggu pola ruaya atau migrasi ikan, sehingga siklus hidup sumber daya ikan akan terhalangi atau terpotong, yang pada akhirnya menyebabkan sumber daya ikan akan menipis (depletion) dan bahkan bisa habis atau punah Berdasarkan pengumpulan data dikabupaten Alor modifikasi alat tangkap teridentifikasi pada alat tangkap jaring, dan Bubu. 6,02% responden memodifikasi ukurang mata jaring dari gillnet/pukat, 3,01% memodifikasi bagian sayap, kantong, dan ukuran mata jaring jala lompo, 0,75% menggunakan pemberat dari batu karang untuk bubu (merusak habitat karang). Pada alat tangkap jaring insang dan jala lompo target tangkapannya adalah ikan belo-belo (layang) dan Tongkol Ukuran ikan target yang dominan tertangkap rata-rata berukuran layak tangkap yaitu berkisar 15-20 cm. 42
  • 43. Adapun berdasarkan alat tangkap yang digunakan responden yang mencakup perikanan demersal dan pelagis di kabupaten Alor, secara keseluruhan terdapat 40 spesies ikan yang biasa ditangkap nelayan di Kabupaten Alor (Ikan Bayar/Kembung, Bawo/Lamoru, Belo-belo (Layang), Biji Nangka, Cakalang, Gergahing, Golok-golok, Kaburak, Kakaktua, Kakap Merah, Kakap Putih, Kamera, Kerapu Bakau, Kerapu Bebek, Kerapu Capan, Kerapu Karet Hitam, Kerapu Kwaci Abu-abu, Kerapu Kwaci Putih, Kerapu Lumpur, Kerapu Macan, Kerapu Malabar, Kerapu Merah, Kerapu Sosis, Kerapu Sue-sue, Kerapu Sunu, Kulit Pasir, Lamada, Layang/Terbang, Lember, Mane, Motonggolong, Phada/Baronang, Sembe/Lember, Simba, Sura/Motong, Tembang, Tenggiri, Tuna Mata Besar, Tuna Sirip Kuning, dan Tunung Lolong/Sweet Lips). 4.1.3.3 Indikator Fishing capacity Fishing capacity didefinisikan sebagai jumlah hasil tangkapan ikan maksimum yang dapat dihasilkan pada periode waktu tertentu (tahun) oleh satu kapal atau armada bila dioperasikan secara penuh, dimana upaya dan tangkapan tersebut tidak dihalangi oleh berbagai tindakan pengelolaan perikanan yang menghambatnya. Satuan unit yang digunakan untuk fishing capacity adalah ton/tahun. Fishing capacity menjadi input control dalam manajemen perikanan tangkap. Input perikanan yang berlebih berpotensi menimbulkan kapasitas yang berlebih (over capacity). Overcapacity yang berlangsung terus menerus akan menyebabkan overfishing, sehingga hal ini tentu saja akan dapat menghambat terwujudnya perikanan yang berkelanjutan dan lestari (Modul EAFM, 2012). Tujuan penggunaan indikator ini adalah untuk mengetahui tingkat intensitas penangkapan ikan dan perkiraan dampaknya terhadap kelestarian sumber daya ikan di suatu wilayah perairan tertentu. Berdasarkan hasil analisa survey, indikator fishing capacity dan effort diberikan status buruk. Hasil analisa menunjukkan bahwa hasil tangkapan per unit usaha (CPUE) menunjukan tren kenaikan pada tahun 2006 sampai 2009 dan mulai menurun nilainya pada tahun 2010, sedangkan berdasarkan interview didapatkan 73,91% responden yang menyatakan telah terjadi penurunan hasil tangkapan dalam kurun waktu 5 tahun 43
  • 44. terakhir (2008 - 2012). Namun pada ukuran ikan dalam 5 tahun terakhir 66,17% responden (baik untuk nelayan ikan pelagis kecil/besar dan demersal) yang menyatakan berukuran relatif sama, sementara trip penangkapan per alat tangkap menurut responden yaitu: jaring insang hanyut/dasar 3-6 jam, pancing 3-4 jam (pada perikanan tuna 7-15 jam), bubu 2-3 hari, jala lompo 4-5 jam, senapan 3-4 jam, lampara malam 7 jam. Hal ini menunjukan bahwa aktifitas penangkapan yang dilakukan oleh nelayan pelagis cenderung meningkat dengan menambahkan effort dalam penangkapannya, melalui lamanya waktu melaut dan frekuensi trip terutama pada musim puncak. Penilaian keberhasilan implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan dapat diindikasikan dengan meningkat atau menurunnya kecenderungan fishing capacity dan effort. Bila kecenderungannya relatif tetap, apalagi menurun, maka pengelolaan perikanannya dapat dianggap berhasil dalam mengendalikan input perikanan, namun sebaliknya, pengelolaan perikanan dianggap belum berhasil, bila kecenderungannya selalu terus meningkat. Oleh karena itu Pemerintah Daerah Kabupaten Alor perlu menegaskan kembali penggunaan alat tangkap yang selektif dengan mengatur ukuran mata jarring yang sesuai dengan peraturan yang berlaku pada perikanan pelagis untuk memberikan kesempatan ikan target berkembangbiak. 4.1.3.4 Indikator Selektivitas Penangkapan Ikan Selektivitas penangkapan didefinisikan sebagai aktivitas penangkapan ikan yang dikaitkan dengan luasan, waktu dan keragaman hasil tangkapan.Pemilihan indikator ini dilakukan karena selektivitas penangkapan yang rendah akan memberikan dampak langsung terhadap kelestarian sumber daya ikan. Kriteria penilaian baik atau buruknya indikator selektivitas penangkapan dalam pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem di suatu perairan, adalah dengan menghitung prosentase penggunaan alat tangkap yang tergolong tidak atau kurang selektif terhadap jumlah total alat tangkap yang ada di suatu perairan tertentu. Alat tangkap yang tergolong memiliki selektivitas tinggi antara lain : Pancing; jaring insang; alat pengumpul kerang; jaring angkat (bagan perahu, 44
  • 45. bagan tancap), pukat cincin (purse seine), perangkap (Sero, Bubu). Sedangkan yang tergolong selektivitas rendah antara lain : Pukat hela (pukat udang, pukat ikan); pukat kantong (lampara, pukat pantai);dan muroami (Modul EAFM, 2012). Indikator selektivitas penangkapan diberikan status baik yaitu alat tangkap yang kurang selektif berada < 50% berdasarkan proporsi alat tangkap yang digunakan oleh responden yang diwawancarai. Analisa prosentase penggunaan alat penangkapan ikan yang tergolong tidak atau kurang selektif (PS') sebesar 5,3%, karena dari total 12 jenis alat tangkap yang digunakan (bagan apung, bubu, jaring insang dasar, jaring insang hanyut, lampara, panah, pancing dasar, pancing hanyut, pancing tonda,) terdapat 3 alat tangkap yang berselektivitas rendah yaitu: lampara, pukat hela atau jala lompo dan pukat pantai. Hasil serupa juga ditemukan jika menggunakan data statistik perikanan tangkap provinsi NTT tahun 2010. Alat tangkap yang kurang selektif di kabupaten Alor sebanyak 41 unit sebesar 0,69% dari jumlah total alat tangkap sebanyak 6.449 unit. Prosentase alat tangkap yang tergolong kurang selektif sangat rendah ditemukan di kabupaten Alor merupakan hal yang baik, namun perlu dicermati dalam intensitas penggunaanya yang dikombinasikan dengan alat bantu berupa rumpon. Semakin efektifnya penangkapan ikan target memicu berkembangnya jumlah rumpon yang tidak terkontrol disepanjang perairan utara kabupaten Alor. Tercatat rumpon yang terdapat disepanjang perairan utara Kelurahan Adang mencapai 44 unit di bulan Desember 2011, jumlah tersebut belum termasuk diperairan utara pulau Pantar.Tanpa adanya pengaturan jumlah pemasangan sesuai KepMen KKP No.30 tahun 2004 akan berdampak tidak saja jumlah stok ikan pelagis yang berkurang, menggangu migrasi perikanan tuna, jalur pelayaran namun akan terjadi konflik horizontal diantara nelayan yang berakibat terjadinya pemutusan rumpon diantara nelayan. Perlunya kebijakan Pemerintah Daerah dalam pengaturan jumlah rumpon yang terpasang perairan kabupaten Alor perlu segera dibuat yang akan melengkapi kebijakana pembentukan Kawasan Konservasi Perairan Daerah kabupaten Alor. 45
  • 46. 4.1.3.5 Indikator Kesesuaian Fungsi dan Ukuran Kapal Penangkapan Ikan dengan Dokumen Legal Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal didefinisikan sebagai perbandingan antara dokumen surat legal yang dimiliki dengan aktivitas nyata dari fungsi dan dimensi ukuran kapal dalam melakukan operasi penangkapan ikan. Pemilihan indikator ini dilakukan, karena bila antara surat ijin yang dikeluarkan berbeda dengan aktivitas kenyataan yang ada, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai tindakan melanggar aturan atau illegal fishing, dan secara tidak langsung tentunya akan berpotensi mengancam kelestarian sumber daya ikan. Akibat selanjutnya tentu akan sulit atau bahkan tidak akan mungkin mewujudkan perikanan tangkap yang bertanggungjawab (responsible fisheries) (Modul EAFM, 2012). Indikator kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal diberikan status buruk (nilai 10) dengan kriteria >50% responden tidak memiliki kesesuaian fungsi dan ukuran kapal. Berdasarkan hasil interview 91,9% responden tidak memliki izin, hanya 8,1% saja armada yang memiliki izin. Armada yang memiliki dokumen kesesuai ukuran kapal adalah armada diatas 5GT, sedangkan mayoritas responden merupakan armada dibawah 5 GT, sehingga penilaian indikator ini menjadi rendah. Pemerintah Daerah sebaiknya melakukan pendataan dan pendaftaran setiap armada kecil (<5GT) yang ada dikabupaten Alor, sehingga selain mempermudah analisa kesesuain fungsi dan ukuran kapal, informasi ini dapat digunakan dalam analisa indikator fishing capacity. 4.1.3.6 Indikator Sertifikasi Awak Kapal Perikanan Sesuai dengan Peraturan Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan dapat didefinisikan sebagai awak kapal perikanan yang telah memenuhi syarat kecakapan tertentu untuk bekerja diatas kapal. Sertifikasi awak kapal dilakukan dengan manfaat untuk penerapan kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab oleh awak kapal perikanan. Tujuan penggunaan indikator ini adalah untuk mengestimasi tingkat prosentase sampel kapal penangkapan ikan yang dioperasikan oleh awak kapal yang bersertifikat sesuai dengan peraturan dan 46
  • 47. perkiraan penerapan kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab di suatu wilayah perairan tertentu (Modul EAFM, 2012). Tantangan analisa indikator sertifikasi awak kapal perikanan di kabupaten Alor adalah responden didominasi oleh kapal perikanan dibawah 5 GT dan terdidentifikasi bahwa tidak memiliki sertifikasi awak kapal. karena tidak bisa terukur secara formal, hanya berdasarkan pengalaman saja. Oleh karena itu indikator ini diberikan status buruk. Sebaiknya indikator ini perlu disesuaikan kembali dengan mempertimbangkan armada kecil yang berada diperairan kabupaten Alor. Faktor keselamatan pada aktivitas penangkapan (Sea Safety) di daerah dengan dominasi armada kecil menjadi salah satu indikator yang perlu dipertimbangkan dalam domain ini. Gambar 6. Agregat Domain Teknis Penangkapan Ikan Secara keseluruhan domain teknis penangkapan ikan di Alor diberikan status sedang atau kuning dengan nilai komposit 195 dari nilai total nilai komposit 300. 6 indikator yang diuji/dianalisis terdapat 2 indikator yang berstatus baik yaitu modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan dan selektivitas penangkapan), 1 indikator berstatus sedang dan 3 indikator lainnya berstatus buruk. Masih teridentifikasinya aktivitas destructive fishing yang cukup tinggi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh besar terhadap rendahnya status 47
  • 48. domain Teknik penangkapan ikan dan juga berpengaruh negatif terhadap domain lainnya terutama pada domain habitat dan ekosistem. Begitu pula dengan indikator Fishing capacity terutama pada perikanan pelagis, berlebihnya kapasitas input perikanan, yakni frekuensi penangkapan dan tingginya jumlah rumpon yang terdapat disepanjang perairan utara kabupaten Alor menghasilkan hasil tangkapan ikan yang baik namun tidak diiringi dengan peningkatan hasil tangkapan yang signifikan dalam jangka waktu yang panjang (5 tahun). Oleh karena itu perlunya kebijakan yang mengatur penggunaan alat bantu penangkapan rumpon yang dikombinasikan dengan alat tangkap yang kurang selektif seperti lampara dan jala lompo. Inventarisasi armada yang digunakan nelayan perlu juga dilakukan proses registrasi di Dinas terkait dalam upaya meningkatkan performa dalam indikator kesesuaian fungsi dan ukuran kapal, terutama pada armada penangkapan tuna yang didominasi oleh armada < 5 GT. Hal ini juga dapat mendukung ketelusuran (tracebility) produk unggulan tuna di kabupaten Alor sehingga produk tuna kabupaten Alor dapat terhindar dari issue Illegal, Unreported and Unregulated (IUU). 48
  • 49. 4.1.4. Hasil Penilaian Per Indikator Pada Domain Sosial Gambaran mengenai indikator-indikator yang termasuk dalam domain sosial berdasarkan hasil analisis EAFM ditampilkan dalam Tabel di bawah ini. Tabel 9. Analisis Komposit Domain Sosial DEFINISI/ PENJELASAN Keterlibatan pemangku kepentingan// MONITORING/ PENGUMPULAN Recording partisipasi dilaksanakan secara kontinyu sesuai dengan pentahapan pengelolaan perikanan. Evaluasi dari record ini dilakukan setiap tahap dan siklus pengelolaan. 2. Konflik perikanan Resources conflict, policy conflict, fishing gear conflict, konflik antar sector. 3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge) Pemanfaatan pengetahuan lokal yang terkait dengan pengelolaan perikanan Arahan pengumpulan data konflik adalah setiap semester (2 kali setahun) atau sesuai musim (asumsi level of competition berbeda by musim) Recording pemanfaatan TEK dilaksanakan secara kontinyu sesuai dengan pentahapan pengelolaan perikanan. Evaluasi dari record ini dilakukan setiap siklus pengelolaan dan dilakukan secara partisipatif INDIKATOR 1. Partisipasi pemangku kepentingan 1 = kurang dari 50%; 2 = 50-100%; 3 = 100 % 2 BOBOT (%) 40 1 = lebih dari 5 kali/tahun; 2 = 2-5 kali/tahun; 3 = kurang dari 2 kali/tahun 1 35 35 1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak efektif; 3 = ada dan efektif digunakan 3 25 75 KRITERIA SKOR Agregat NILAI 80 190 4.1.4.1 Indikator Partisipasi Pemangku Kepentingan Partisipasi pemangku kepentingan merupakan frekuensi keiikutsertaan pemangku kepentingan dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Jumlah kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan yang diikuti oleh pemangku kepentingan dihitung kemudian dibandingkan dengan seluruh kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan yang pernah dilakukan di lokasi yang diteliti. Pengukuran partisipasi pemangku kepentingan ini bertujuan untuk melihat keaktifan pemangku kepentingan dalam seluruh kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Tingkat keaktifan pemangku kepentingan sangat menentukan keberhasilan kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Oleh karena itu, semakin aktif pemangku 49
  • 50. kepentingan dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan, semakin tinggi tingkat keberhasilan pengelolaan sumberdaya ikan (Modul EAFM, 2012). Indikator partisipasi pemangku kepentingan diberikan status sedang, status ini diberikan karena Tim Pengkajian dan Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (PPKKPD) dalam tahapan pembuatan zonasi, telah melibatkan multistakeholder pengguna sumberdaya pesisir dan laut di 7 kecamatan dan melibatkan 394 orang perwakilan tiap desa pesisir yang menyatakan sikap dalam mendukung proses perencanaan zonasi tersebut. Berdasarkan hasil interview didapatkan 11,11% responden menyatakan adanya keterlibatan dan kesepakatan dalam aktivitas pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, kegiatan dan kesepakatan tersebut antara lain: mencegah pengrusakan karang (konservasi terumbu karang), larangan menangkap biota laut yang dilindungi dan masih yuwana/belum layak tangkap, penempatan bubu tidak boleh di atas terumbu karang, dan bersih pantai. Pelibatan masyarakat dalam setiap proses pembangunan mulai dari pembuatan perencanaan, implementasi, pemantauan hingga evaluasi dalam perlu dilakukan, diketahui bahwa salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam perencanaan adalah melalui kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) baik ditingkat desa hingga kabupaten. 4.1.4.2 Indikator Konflik Perikanan Konflik perikanan merupakan pertentangan yang terjadi antar nelayan akibat perebutan fishing ground (resources conflict) dan benturan alat tangkap (fishing gear conflict). Konflik perikanan juga dapat terjadi akibat pertentangan kebijakan (policy conflict) pada kawasan yang sama atau pertentangan kegiatan antar sektor. Konflik diukur dengan frekuensi terjadinya konflik sebagai unit indikator. Indikator ini bertujuan untuk melihat potensi kontra produktif dan tumpang tindih pengelolaan yang berakibat pada kegagalan implementasi kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan. Semakin tinggi frekuensi perikanan, semakin sulit pengelolaan sumberdaya perikanan. konflik Demikian pula sebaliknya, semakin rendah frekuensi terjadinya konflik diharapkan semakin mudah implementasi pengelolaan sumberdaya perikanan (Modul EAFM, 2012). 50
  • 51. Hasil analisis data primer (wawancara nelayan) menyatakan bahwa, konflik wilayah penangkapan terkategori tinggi dengan frekuensi rata-rata 5 kejadian/kasus disebutkan oleh 50,37% responden yang diwawancarai, jenis konflik yang ditemukan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut di Kabupaten Alor yaitu: konflik antar wilayah lebih disebabkan karena pemasangan rumpon (termasuk oleh nelayan dari luar daerah), konflik alat tangkap antara pemancing dan pemilik jala lompo dalam perebutan lokasi rumpon, konflik dengan nelayan pengguna bom ikan dan konflik antar sektor menurut responden yaitu pariwisata. Jenis dan frekuensi konflik ini harus menjadi perhatian semua stakeholder yang punya kaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut (Perairan Alor sebagai kawasan konservasi laut). Rumpon kembali menjadi isu social yang berdampak negatif dalam pengelolaan perikanan di kabupaten Alor jika tidak dikelola dengan baik, seperti dijelaskan didalam domain teknis penangkapan. Faktor pengawasan yang efesien dalam meminimalisir penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan terus diuupayakan, mendorong system pelaporan yang efektif ditingkat masyarakat menjadi agenda yang juga perlu diprioritaskan oleh Dinas dan aparat terkait. 4.1.4.3 Indikator Pemanfaatan Pengetahuan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan merupakan ukuran dari keberadaan serta keefektifan pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Ada tidaknya pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan yang diikuti oleh efektif tidaknya penerapan pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan yang pernah dilakukan di lokasi yang diteliti. Tingkat keefektifan penerapan pengetahuan lokal sangat menentukan keberhasilan kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Oleh karena itu, semakin efektif penerapan pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan, semakin tinggi tingkat keberhasilan pengelolaan sumberdaya ikan Indikator pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan diberikan status sedang, hal ini dikarenakan dari 135 responden yang 51
  • 52. diwawancarai 14,81% responden menyatakan terdapat pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Kearifan lokal yang telah teridentifkasi adalah di desa Pura yang mengatur alat tangkap pada wilayah perairan desa mereka, kearifan ini telah diperkuat dalam bentuk Perdes, sedangkan kearifan lokal lainnya yaitu adanya pengaturan pemanfaatan perairan Pulau Batang dan Lapang oleh 4 suku yang dominan mewakili 5 desa pesisir yaitu desa Baranusa, Blangmerag, Baralel, Piring Sina dan Beangonong. Penguatan kearifan lokal dalam pengelolaan perikanan ini masih perlu didokumentasikan dalam aturan yang lebih kuat. Oleh Karena itu Tim PPKKPD kabupaten Alor bersama WWF Lessser Sunda Solor Alor memasukan kearifan lokal dalam memperkuat pengaturan zonasi pada proses pembentukan KKPD kabupaten Alor, namun dalam tataran pelaksanaannya masih memerlukan dukungan politik yang lebih kuat dengan berpijak pada prinsip-prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan dan berbasis ekosistem (Adrianto, dkk, 2011). Gambar 7. Agregat Domain Sosial Secara keseluruhan domain sosial di Kabupaten Alor diberikan status sedang dengan nilai komposit 165 dari nilai total komposit 300, 2 indikator berstatus sedang yaitu Partisipasi pemangku kepentingan dan pemanfaatan pengetahuan lokal dan 1 indikator berstatus buruk, yaitu indikator konflik perikanan. Pentingnya meningkatkan pemahaman dan mengefisiensikan pelibatan masyarakat dalam setiap pembangunan terutama dalam pengelolaan wilayah laut 52
  • 53. sangat dibutuhkan, kajian lebih mendetail di setiap desa pesisir perlu diidentifikasi lebih lanjut, dikarenakan kearifan lokal yang ada pun masih bisa diperkuat untuk mendukung pengelolaan perikanan yang lebih selektif dan tetap mengakomodir nilai-nilai budaya setempat. Meminimalisir konflik perikanan dapat dilakukan dengan melakukan pengawasan yang efektif dan penegakan hukum yang tegas terhadap pemanfaatan perikanan yang merusak baik pihak nelayan lokal maupun nelayan luar dan juga perlu adanya kebijakan pengaturan rumpon untuk kepentingan bersama antara nelayan dengan alat tangkap yang berbeda. 53
  • 54. 4.1.5. Hasil Penilaian Per Indikator Pada Domain Ekonomi Gambaran mengenai indikator-indikator yang termasuk dalam domain ekonomi berdasarkan hasil analisis EAFM ditampilkan dalam Tabel di bawah ini. Tabel 10. Analisis Komposit Domain Ekonomi 1. kepemilikan aset 2. Nilai Tukar Nelayan (NTN) DEFINISI/ PENJELASAN perubahan nilai/jumlah aset usaha RTP cat :aset usaha perikanan atau aset RT. MONITORING/ PENGUMPULAN Arahan frekuensi survey dan pengumpulan data pendapatan RTP adalah menurut musim tangkapan ikan Rasio penerimaan terhadap pengeluaran. INDIKATOR Pengumpulan data NTN menggunakan sumber sekunder (BPS dan PUSDATIN) yang dikumpulkan setiap tahun Arahan frekuensi survey (atau penggunaan note/catatan yang ada di lapangan, mis: pengumpul ikan) dan pengumpulan data pendapatan RTP adalah menurut musim tangkapan ikan Arahan frekuensi survey dan pengumpulan data pendapatan RTP adalah menurut musim tangkapan ikan 3. Pendapatan rumah tangga (RTP) Pendapatan total RTP yang dihasilkan dari usaha RTP 4. Saving rate menjelaskan tentang rasio tabungan terhadap income 1 BOBOT (%) 35 1 30 30 1= kurang dari rata-rata UMR, 2= sama dengan ratarata UMR, 3 = > rata-rata UMR 1 20 20 1 = kurang dari bunga kredit pinjaman; 2 = sama dengan bungan kredit pinjaman; 3 = lebih dari bunga kredit pinjaman 1 15 15 KRITERIA SKOR 1 = nilai aset berkurang (lebih dari 50%) ; 2 = nilai aset tetap (kurang dari 50%); 3 = nilai aset bertambah (di atas 50%) 1 = kurang dari 100, NILAI 35 2 = 100, 3 = lebih dari 100 Agregat 100 4.1.5.1 Indikator Kepemilikan Aset Kepemilikan aset merupakan perbandingan antara jumlah aset produktif yang dimiliki rumah tangga perikanan saat ini dengan tahun sebelumnya. Bila aset produktif dari rumah tangga nelayan bertambah maka diberi nilai tinggi dan sebaliknya. Aset produkstif merupakan aset rumah tangga yang digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan, budidaya ikan, pengolahan ikan, atau perdagangan ikan, bahkan kegiatan ekonomi lainnya seperti pertanian. Pengukuran 54
  • 55. kepemilikan aset ini bertujuan untuk melihat kemampuan rumah tangga nelayan dalam meningkatkan usaha ekonominya (Modul EAFM, 2012). Data penelitian menunjukkan 15,15% responden menyatakan bahwa terjadi penambahan aset produktif berupa mesin dan alat tangkap, sementara 84,85% menyatakan tidak terjadi pertambahan (tetap) aset produktif yang mendukung pekerjaan sebagai nelayan dan bahkan menurun yang disebabkan oleh besarnya biaya operasional ketika musim puncak. Aset produktif yang teridentifikasi berupa alat tangkap, mesin perahu, armada penangkapan, lahan, dan generator sedangkan aset non produktif berupa barang elektronik seperti TV, sound system dan DVD/VCD player. Walaupun terjadi penurunan asset produktif, 50% responden masih memiliki aset non produktif. Priortas responden terhadap asset non produktif masih lebih besar dibandingkan usaha produktif yang justru dapat untuk mendukung usaha/mata pencaharian. 4.1.5.2 Indikator Nilai Tukar Nelayan Indikator selanjutnya adalah Nilai Tukar Nelayan yang didefinsikan sebagai rasio perbandingan antara pendapatan dengan pengeluaran rumah tangga nelayan. Pengukuran nilai tukar ini bertujuan untuk melihat kemampuan rumah tangga nelayan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan primer (pangan) maupun kebutuhan sekunder (non pangan) (Modul EAFM, 2012). Berdasarkan analisa survey diberikan status rendah, hal ini bukan disebabkan karena pendapatan nelayan lebih kecil atau pengeluaran besar dari pendapatan, namun tidak tersedia data nilai tukar nelayan dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Flores Timur, yang teridentifikasi adalah Nilai Tukar Petani. Dengan ketiadaan data indikator NTN, kami menyarankan kepada kepada instansi yang punya kompeten dalam hal ini BPS Kabupaten Alor, agar kedepannya data menyangkut NTN perlu disiapkan, karena NTN merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan. 55
  • 56. 4.1.5.3 Indikator Pendapatan Rumah Tangga Perikanan Pendapatan rumah tangga perikanan merupakan seluruh pendapatan yang diterima rumah tangga nelayan, yang bersumber dari pendapatan kepala rumah tangga serta anggota rumah tangga, baik yang berasal dari bidang perikanan maupun di luar bidang perikanan. Ukuran pendapatan adalah rupiah/kepala keluarga/bulan. Indikator pendapatan rumah tangga menggunakan upah minimum regional (UMR) sehingga bila pendapatan rumah tangga sama dengan UMR maka rumah tangga perikanan tersebut dapat dikatakan tidak miskin (Modul EAFM, 2012). Gambar 8. Pendapatan Nelayan Perikanan Pelagis per Jenis Alat Tangkap Berdasarkan hasil analisa indikator pendapatan rumah tangga (RTP) dikabupaten Alor termasuk dalam kategori Baik. Gambar 8 menunjukkan bahwa dari 8 jenis alat tangkap yang dianalisis pendapatan rumah tangga perikanan untuk kategori perikanan pelagis, didapatkan nilai rata-rata terendah sebesar Rp. 802.365 per bulan untuk alat tangkap jaring insang dan tertinggi untuk alat tangkap lampara sebesar Rp. 5.313.333/bulannya, dengan data ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan nelayan pelagis di Kabupaten Alor sudah cukup baik berdasarkan nilai UMR Provinsi NTT Rp. 825.000 pada tahun 2011. 56
  • 57. Gambar 9. Pendapatan Nelayan Perikanan Demersal per Jenis Alat Tangkap Berbeda halnya dengan pendapatan nelayan ikan demersal seperti ditunjukan pada Gambar 9, dari 4 jenis alat tangkap yaitu bubu, jarring insang, pancing dan senapan didapatkan nilai rata-rata terendah sebesar Rp. 309.524 per bulan untuk alat tangkap bubu dan tertinggi untuk alat tangkap pancing sebesar Rp. 659.231 per bulannya, dengan data ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan nelayan perikanan demersal dengan 4 alat tangkat tersebut masih rendah karena kisaran nilai RTP perikanan demersal masih dibawah nilai UMR Provinsi NTT. Penyebab dan solusinya apa? Kebijakan yang dapat mendukung peningkatan pedapatan nelayan demersal adalah peningkatan harga jual perikanan demersal. 4.1.5.4 Indikator Rasio Tabungan atau Saving Ratio Rasio tabungan atau saving ratio (SR) merupakan rasio perbandingan antara selisih pendapatan dan pengeluaran rumah tangga nelayan dengan pendapatannya. Pengukuran rasio tabungan (SR) ini bertujuan untuk melihat potensi rumah tangga nelayan dalam menyimpan kelebihan pendapatannya (Modul EAFM, 2012) 57
  • 58. Berdasarkan hasil analisa pada indikator saving rate pada nelayan pelagis dan demersal diberikan status buruk, kecuali nelayan dengan alat tangkap Lampara dan Jala Lompo. Data penelitian menunjukkan nilai tertinggi saving ratio pada alat tangkap Lampara sebesar Rp. 3.463.333 dan terendah pada alat tangkap Pukat pantai yang mendapatkan nilai minus (Gambar 10). Data ini memberikan gambaran bahwa nelayan di Kabupaten Alor pada umumnya sulit untuk menabung, pengelolaan keuangan rumah tangga kurang berjalan dengan baik dengan ditunjukan bahwa tingkat pengeluaran nelayan jauh lebih besar dibandingkan pendapatan disektor perikanan. Pada alat tangkap pukat pantai, lebih didominasi terhadap nelayan sambilan, sehingga pendapatan rumah tangga lebih didominasi diluar sektor perikanan. Namun disisi lain, banyak responden juga tidak memberikan informasi yang sesuai. terkait pengeluaran rumah tangga dan penghasilan tambahan dari rumah tangga perikanan tersebut. Sehingga pendataan perekonomian yang lebih detail perlu dikaji lebih lanjut. Gambar 10. Saving Ratio Perikanan Pelagis per Jenis Alat Tangkap 58
  • 59. Gambar 11. Saving Ratio Perikanan Demersal per Jenis Alat Tangkap Untuk saving ratio perikanan demersal (Gambar 11) juga menunjukkan pola yang hampir sama dengan perikanan pelagis, dimana alat tangkap bubu, pancing dan senapan mendapatkan nilai minus. Hal ini disebabkan juga responden tidak memberikan informasi yang sesuai. Perlunya survey terkait tingkat menabung nelayan perlu dikaji lebih lanjut Gambar 12. Agregat Domain Ekonomi Berdasarkan perhitungan komposit yang ditunjukan pada gambar 12. Secara keseluruhan domain ekonomi di Kabupaten Alor diberikan status buruk dengan nilai komposit 100 dari nilai komposit total sebesar 300. Hal ini 59
  • 60. dikarenakan 4 indikator yang diuji/dianalisis semua indikator dibawah standar kriteria. Kajian lebih lanjut terkait tingkat menabung nelayan masih perlu dilakukan, dikarenakan Rasio tingkat menabung atau Saving Rate merupakan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat nelayan. Memberikan pemahaman terhadap management ekonomi rumah tangga dengan memprioritaskan pengeluaran produktif, pendidikan, dan kesehatan dapat menata kembali kesejahteraan masyarakat nelayan di Alor dengan tingkat pendapatannya yang cukup sederhana. Sektor pariwisata merupakan salah satu solusi non ekstraktif terhadap peningkatan pendapatan nelayan disekitar wilayah zona pemanfaatan pariwisata yang telah diatur. Menjaga kondisi terumbu karang tetap sehat dan mengurangi ancaman terhadap mamalia laut dan jenis ikan-ikan besar yang menarik untuk sector pariwisata akan mendatangkan pendapatan secara berkelanjutan. 60